32
BAB I KASUS 1.1 Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Identitas Pasien • Nama : Ny. Y • TTL : Sukabumi, 14 April 1984 • Usia : 30 tahun • Jenis Kelamin : Perempuan • Status : Menikah • Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga • Agama : Islam • Alamat : Cibadak • Tgl masuk RS : 27 Juni 2014 • No. Rekam Medik : 00 10 60 12 Anamnesis Keluhan Utama: OS datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Keluhan Tambahan: Batuk, mual, sakit kepala Riwayat Peyakit Sekarang: OS MRS dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS. Sesak napas dirasakan hilang timbul, bertambah saat beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak napas 1

Lapkas Asma

  • Upload
    depe35

  • View
    34

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ftft

Citation preview

Page 1: Lapkas Asma

BAB I

KASUS

1.1 Hasil Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Identitas Pasien

• Nama : Ny. Y

• TTL : Sukabumi, 14 April 1984

• Usia : 30 tahun

• Jenis Kelamin : Perempuan

• Status : Menikah

• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

• Agama : Islam

• Alamat : Cibadak

• Tgl masuk RS : 27 Juni 2014

• No. Rekam Medik : 00 10 60 12

Anamnesis

Keluhan Utama:

OS datang dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam sebelum masuk Rumah Sakit.

Keluhan Tambahan:

Batuk, mual, sakit kepala

Riwayat Peyakit Sekarang:

OS MRS dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam SMRS. Sesak napas dirasakan

hilang timbul, bertambah saat beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak napas

disertai dengan batuk, batuk dirasakan sejak 3 minggu SMRS, batuk berdahak berwarna

hijau, dan batuk tidak bercampur darah. OS mengatakan saat batuk tenggorokan terasa

gatal dan dahak susah dikeluarkan. OS juga mengeluhkan sakit kepala yang hilang timbul,

mual tapi tidak muntah. Selain itu, OS juga mengaku sesak mengganggu tidur dan kadang

terdengar bunyi mengi. BAB dan BAK tidak ada keluha. Demam dan pilek disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu :1

Page 2: Lapkas Asma

Riwayat asma (+), maag (+)

Riwayat Tuberkulosis paru, DM, hipertensi, disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ibu OS mempunyai riwayat asma

Riwayat tuberkulosis paru, DM, hipertensi, disangkal.

Riwayat Alergi :

udang (+)

Debu, obat-obatan dan makanan disangkal

Riwayat Pengobatan:

OS sempat berobat ke klinik 24 jam namun tidak ada perbaikan.

Riwayat Psikososial:

Pola makan tidak teratur, jarang olahraga, tidak merokok, dan lingkungan sekitar

rumah polusi.

Pemeriksaan Umum:

KU : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Composmentis, kooperatif

BB : 52 kg

TB : 158 cm

Status Gizi : Normal

Tanda Vital

TD : 100/80 mmHg

N : 90 kali/menit

RR : 44 kali/menit

S : 36 0 C

Kepala : Bentuk normocephal, rambut warna hitam, distribus merata, tidak

mudah dicabut.

Mata : Alis mata madarosis (-/-), bulu mata rontok (-), konjungtiva anemis

(-), sklera ikterik (-), refleks pupil (+), isokor kanan-kiri.

2

Page 3: Lapkas Asma

Kulit : Peteki (-), hematom (-), skar (-), eritema (-), ikterik (-).

Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), sekret (-), darah (-).

Telinga : Normotia, nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-), darah (-/-),

Mulut : Bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), tepi lidah hiperemis (-),

perdarahan gusi (-).

Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-)

Thorax : Normochest

Paru-paru:

Inspeksi : Simetris, skar (-), otot pernapasan (+/+),

spider nevi (-)

Palpasi : Vokal fremitus simetris, nyeri tekan (-/-)

Perkusi : Sonor pada semua lapang paru, batas paru-hepar setinggi

ICS 6, midclavicularis dextra

Auskultasi : Vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing(+/+)

Jantung:

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : Batas kanan jantung linea sternalis dextra

Batas kiri jantung linea midclavikularis sinistra

Auskultasi : BJ 1 dan 2 reguler, Murmur (-), Gallop (-).

Abdomen

Inspeksi : cekung (-), skar (-), caput medusa (-), spider nevi (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri tekan abdomen (-),

Hepatomegali (-), Splenomegali (-),

Rebound tes (-), Ballotement (-)

Perkusi : Timpani pada 4 kuadran, shifting dullness (-)3

Page 4: Lapkas Asma

Ekstremitas

Ekstr. Atas : Pucat, akral hangat, edema (-/-), palmar eritem (-/-)

Ekstr. Bawah : Pucat, akral hangat, edema (-/-), eritem (-/-), luka (-/-)

Pemeriksaan Laboratorium 2 7 Mei 201 4

Pemeriksaan Nilai Rujukan

GDS 94 <120

SGOT 15 0-37

SGPT 12 0-40

Ureum 19 20-40

Creatinin 0,5 0,6-1,2

Na 140 134-146

K 3,5 3,4-4,5

Cl 90 96-108

Analisa Gas Darah Nilai Rujukan

Measured 37,0 C -

Ph 7,271 7,350-7,450

PCO2 46,8 32,0-45,0 mmHg

PO2 87,7 75,0-100,0 mmHg

Calculated data - -

HCO3 act 21,1 -

HCO3std 19,6 21-25 mmol/L

BE (ecf) -5,8 2,5- +2,5 mmol/L

BE (B) -5,9 mmol/L

Ct CO2 22,5 mmol/l

02 sat 95,5 85-95 %

Laju Endap Darah 22 0-20

Hb 13,5 11,3-

4

Page 5: Lapkas Asma

Leukosit 15,700 4,3-10,4/mm3

Diff - -

Basofil 0 0-0,3 %

Eosinofil 2 2-4 %

Nuetrofil batang 3 1-5 %

Neutrofil segmen 75 51-67 %

Limfosit 15 20-30 %

Monosit 5 2-6 %

Hematokrit 40,0 38-47

Trombosit 299 132-440

Pemeriksaan Sputum

BTA I (-) Negatif

BTA II (-) Negatif

Resume

Ny. I, 37 tahun MRS dengan keluhan sesak napas sejak 3 jam SMRS. Sesak hilang

timbul, bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak dirasakan

mengganggu saat tidur dan kadang terdengar bunyi mengi. Sesak disertai batuk, batuk

berdahak berwarna hijau sejak 3 minggu SMRS. Sakit kepala (+), mual (+),. Riwayat asma

(+), riwayat sinusitis (+). Pemeriksaan Fisik didapatkan pernapasan 44 kali/menit

(takipneu), mukosa bibir kering, pada auskultasi terdengar bunyi wheezing (+/+), pada

palpasi abdomen terdapat nyeri tekan eipigastrium (+). Pada pemeriksaan laboratorium

didapatkan hasil Ureum ↓, kreatinin ↓, Clorida ↓, (pH ↓, PCO2 ↑, HCO3std ↓, O2Sat ↑

asidosis metabolik), LED ↑, Leukosit ↑, Neutrofil segmen ↑, limfosit ↓, Pemeriksaan BTA

I dan II hasil negatif (-).

5

Page 6: Lapkas Asma

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

ASMA BRONKIAL

2.1 Definisi

Asma adalah penyakit paru dengan karakteristikobstruksi saluran napas yang

reversibel (tetapi tidak lengkap pada beberapa pasien) baik secara spontan maupun

dengan pengobatan, inflamasi saluran napas, dan peningkatan respons saluran napas

terhadap berbagai rangsangan (hipereaktivitas).

2.2 Prevalensi

Prevalensi asma dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain jenis kelamin,

umur pasien, status atopi, faktor keturunan serta faktor lingkungan. Pada masa kanak-

kanak ditemukan prevalensi anak laki-laki berbanding anak perempuan 1,5:1, tetapi

menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause

perempuan lebih banyak dari laki-laki. Umumnya prevalensi asma anak lebih tinggi

dari dewasa, tetapi ada pula yang melaporkan prevalensi dewasa lebih tinggi dari anak.

Angka ini juga berbeda-beda antara satu kota dengan kota yang lain di negara yang

sama. Di Indonesia prevalensi berkisar antara 5-7 %.

2.3 Klasifikasi

Sangat sukar membedakan satu jenis asama dengan asma yang lain. Dahulu

dibedakan asma alergik (ekstrinsik) dan non-alergik (instrinsik). Asma alergik terutama

munculnya pada waktu kanak-kanak, mekanisme serangannya melalui reaksi alergi tipe

I terhadap alergen. Sedangkan asma dikatakan asma instrinsik bila tidak ditemukan

tanda-tanda reaksi hipersensitivitas terhadap alergen. Namun klasifikasi tersebut pada

prakteknya tidak mudah dan sering pasien mempunyai kedua sifat alergik dan non-

alergik, sehingga Mc Connel dan Holgate membagi asma dalam 3 kategori, yaitu asma

6

Page 7: Lapkas Asma

ekstrinsik, asma instrinsik, dan asma yang berkaitan dengan penyakit paru obstruksi

kronik.

2.4 Etiologi

2.5 Patogenesis

Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui dengan pasti, namun

berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa dasar gejala asma adalah inflamasi dan

respons saluran napas yang berlebihan.

a. Asma sebagai penyakit inflamasi

Asma saat ini dipandang sebagai penyakit inflamasi saluran napas. Inflamasi

ditandai dengan adanya kalor (panas karena vasodilatasi) dan rubor (kemerahan

karena vasodilatasi), tumor (eksudasi plasma dan edema), dolor (rasa sakit karena

rangsangan sensoris), dan functio laesa (fungsi yang terganggu). Akhir-akhir ini

syarat terjadinya radang harus disertai satu syarat lagi yaitu infiltrasi sel-sel radang.

Ternyata keenam syarat tadi dijumpai pada asma tanpa membedakan penyebabnya

baik yang alergik maupun non-alergik.

7

Page 8: Lapkas Asma

Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non-alergik

dijumpai adanya inflamasi dan hipereaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling

tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan terebut. Jalur imunologis yang

terutama didominasi oleh IgE dan jalur saraf autonom. Pada jalur IgE, masuknya

alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting Cell = sel

penyaji antigen), untuk selanjutnya hasil olahan alergen akan dikomunikasikan

kepada sel Th. Sel Th ini akan memberikan instruksi melalui interleukin atau

sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-sel radang lain seperti

mastosit, makrofag, sel epitel, eosinofil, neutrofil, trombosit serta limfosit untuk

mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin,

leukotrien, platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksin, dan lain-lain

akan mempengaruhi organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan

permeabilitas dinding vaskuler, edema saluran napas, infiltrasi sel-sel radang,

sekresi mukus dan fibrosis subepitel sehingga menimbulkan hipereaktivitas saluran

napas (HSN). Jalur non-alergik selain merangsang sel inflamasi, juga merangsang

sistem saraf autonom dengan hasil akhir berupa inflamasi dan HSN.

b. Hipereaktivitas saluran napas

Yang membedakan asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien

asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat kimia

(histamin, metakolin) dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik, selain peka

terhadap rangsangan tersebut di atas pasien juga sangat peka terhadap alergen yang

spesifik. Sebagian HSN diduga didapat sejak lahir, tetapi sebagian lagi didapat.

Berbagai keadaan dapat meningkatkan hipereaktivitas saluran napas seseorang,

yaitu:

Inflamasi saluran napas. Sel-sel inflamasi serta mediator kimia yang

dikeluarkan terbukti berkaitan erat dengan gejala asma dan HSN. Konsep ini

didukung oleh fakta bahwa intervensi pengobatan dengan anti-inflamasi dapat

menurunkan derajat HSN dan gejala asma.

Kerusakan epitel. Salah satu konsekuensi inflamasi adalah kerusakan epitel.

Pada asma kerusakan bervariasi dari yang ringan sampai berat. Perubahan

struktur ini akan meningkatkan penetrasi alergen, mediator inflamasi serta

8

Page 9: Lapkas Asma

mengakibatkan iritasi ujung-ujung saraf autonom sering lebih mudah

terangsang. Sel-sel epitel bronkus sendiri sebenarnya mengandung mediator

yang dapat bersifat sebagai bronkodilator. Kerusakan sel-sel epitel bronkus

akan mengakibatkan bronkodilatasi lebih mudah terjadi.

Mekanisme neurologis. Pada pasien asma terdapat peningkatan respons saraf

parasimpatis.

Gangguan Instrinsik. Otot polos saluran napas dan hipertrofi otot polos pada

saluran napas diduga berperan pada HSN.

Obstruksi Saluran Napas. Meskipun bukan faktor utama, obstruksi saluran

napas diduga ikut berperan pada HSN.

2.6 Patofisiologi

Obstruksi saluran napas pada asma merupakan kombinasi spasme otot

bronkus, sumbatan mukus, edema, dan iflamasi dinding bronkus. Obstruksi

bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran napas menyempit

pada fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obstruksi

terjebak tidak bisa diekspirasi. Selanjutnya terjadi peningkatan volume residu,

kapasitas residu fungsional (KRF). Dan pasien akan bernapas pada volume yang

tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar

saluran napas tetap terbuka dan pertukaran gas berjalan lancar. Untuk

mempertahankan hiperinflasi ini diperlukan otot-otot bantu napas.

Gangguan yang berupa obstruksi saluran napas dapat dinilai secara objektif

dengan VEP1 (Volume Ekspirasi Paksa detik pertama) atau APE (Arus Puncak

Ekspirasi), sedangkan penurunan KVP (Kapasitas Vital Paksa) menggambarkan

derajat hiperinflasi paru. Penyempitan saluran napas dapat terjadi baik pada saluran

napas yang besar, sedang maupun kecil. Gejala mengi menandakan ada penyempitan

di saluran napas besar, sedangkan pada saluran napas yang kecil gejala batuk dan

sesak lebih dominan dibanding mengi.

9

Page 10: Lapkas Asma

Penyempitan saluran napas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru. Ada

daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga daerah kapiler yang melalui daerah

tersebut mengalami hipoksemia. Penurunan PaO2 mungkin merupakan kelainan pada

asma sub-klinis. Untuk mengatasi kekurangan oksigen, tubuh melakukan

hiperventilasi agar kebutuhan oksigen terpenuhi. Tetapi akibatnya pengeluaran CO2

menjadi berlebihan sehingga PaCO2 menurun yang kemudian menimbulkan alkalosis

respiratorik. Pada serangan asma yang lebih berat lagi banyak saluran napas dan

alveolus tertutup oleh mukus sehingga tidak memungkinkan lagi terjadinya

pertukaran gas. Hal ini menyebabkan hipoksemia dan kerja otot-otot pernapasan

bertambah berat serta terjadi peningkatan produksi CO2. Peningkatan produksi CO2

yang disertai dengan penurunan ventilasi alveolus menyebabkan retensi CO2

(hiperkapnia) dan terjadi asidosis respiratorik atau gagal napas. Hipoksemia yang

berlangsung lama menyebabkan asidosis metabolik dan konstriksi pembuluh darah

paru yang kemudian menyebabkan shunting yaitu peredaran darah tanpa melalui unit

pertukaran gas yang baik, yang akibatnya memperburuk hiperkapnia. Dengan

demikian penyempitan saluran napas pada asma akan menimbulkan hal-hal sebagai

berikut, yaitu gangguan ventilasi berupa hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi

perfusi dimana distribusi ventilasi tidak serta dengan sirkulasi darah paru, dan

gangguan difusi gas di tingkat alveoli.

2.7 Gambaran Klinis

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan

sesak napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan

pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk

tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan

sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien

asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough

variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan

spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan

metakolin.

10

Page 11: Lapkas Asma

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala

asma tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap

faktor pencetus non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran

napas ataupun perubahan cuaca.

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada

awal minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap

memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan

dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak

flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja

mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

2.8 Diagnosis

Diagnosis asma didasarkan pada riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Pada riwayat penyakit akan dijumpai keluhan batuk, sesak,

mengi, atau rasa berat di dada. Tetapi kadang-kadang pasien hanya mengeluh batuk-

batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani.

Adanya penyakit alergi yang lain pada pasien maupun keluarganya seperti rinitis alergi,

dermatitis atopik membantu diagnosis asma. Gejala asma sering timbul pada malam

hari, tetapi dapat pula muncul sembarang waktu. Adakalanya gejala lebih sering terjadi

pada musim tertentu. Yang perlu diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan.

Dengan mengetahui faktor pencetus, kemudian menghindarinya, maka diharapkan

gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma yaitu:

1. Infeksi virus saluran napas: influenza

2. Pemajanan terhadap alergen tungau, debu rumah, bulu binatang.

3. Pemajanan terhadap iritan asap rokok, minyak wangi.

4. Kegiatan jasmani: lari.

5. Ekspresi emosional takut, marah, frustasi.

6. Obat-obat aspirin, penyekat beta, anti-inflamasi non-steroid.

7. Lingkungan kerja: uap zat kimia.11

Page 12: Lapkas Asma

8. Polusi udara: asap rokok.

9. Pengawet makanan; sulfit.

10. Lain-lain, misalnya haid, kehamilan, sinusitis.

2.9 Pemeriksaan Fisik

Penemuan tanda pada pemeriksaan fisik pasien asma, tergantung dari derajat

obstruksi saluran napas. Ekspirasi memanjang, mengi, hiperinflasi dada, pernapasan

cepat sampai sianosis dapat dijumpai pada pasien asma. Dalam praktek jarang dijumpai

kesulitan dalam membuat diagnosis asma, tetapi sering pula dijumpai pasien bukan

asma mempunyai mengi, sehingga diperlukan pemeriksaan penunjang untuk

menegakkan diagnosis.

2.10 Pemeriksaan Penunjang

1. Spirometri

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma

adalah melihat respons pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometri

dilakukan sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator hirup (inhaler atau

nebulizer) golongan adrenergik beta. Peningkatan VEP1 atau KVP sebanyak 20%

menunjukkan diagnosis asma. Hal-hal tersebut dapat dijumpai pada pasien yang

sudah normal atau mendekati normal. Demikian pula respons terhadap

bronkodilator tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat, oleh karena

obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan efek yang diharapkan.

Untuk melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas mungkin diperlukan

kombinasi obat golongan adrenergik beta, teofilin dan bahkan kortikosteroid untuk

jangka waktu pengobatan 2-3 minggu. Reversibilitas dapat terjadi tanpa pengobatan

yang dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan pada saat yang

berbeda-beda misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian.

12

Page 13: Lapkas Asma

Pemeriksaan spirometri selain penting untuk menegakkan diagnosis, juga

penting untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan. Kegunaan

spirometri pada asma dapat disamakan dengan tensimeter pada penatalaksanaan

hipertensi atau glukometer pada diabetes melitus. Banyak pasien asma tanpa

keluhan, tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi. Hal ini

mengakibatkan pasien mudah mendapat serangan asma dan bahkan bilaberlangsung

lama atau kronik dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik.

2. Uji Provokasi Bronkus

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya

hipereaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Ada beberapa cara untuk

melakukan uji provokasi bronkus seperti uji provokasi dengan histamin, metakolin,

kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan bahkan dengan aqua

destilata. Penurunan VEP1 sebesar 20% atau lebih dianggap bermakna. Uji dengan

kegiatan jasmani, dilakukan dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit

sehingga mencapai denyut jantung 80-90% dari maksimum. Dianggap bermakna

bila menunjukkan penurunan APE (Arus Puncak Ekspirasi) paling sedikit 10%.

Akan halnya uji provokasi dengan alergen, hanya dilakukan pada pasien yang alergi

terhadap alergen yang diuji.

3. Pemeriksaan Sputum

Sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat

dominan pada bronkitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, kristal

Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat

adanya miselium Aspergillus fumigatus.

4. Pemeriksaan Eosinofil Total

Jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat pada pasien asma dan hal ini

dapat membantu dalam membedakan asma dari bronkitis kronik. Pemeriksaan ini

dapat juga dipakai sebagai patokan untuk menentukan cukup tidaknya dosis

kortikosteroid yang dibutuhkan paien asma.

5. Uji Kulit

13

Page 14: Lapkas Asma

Tujuan uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik dalam

tubuh. Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji alergen yang positif tidak

selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya.

6. Pemeriksaan Kadar IgE Total dan IgE Spesifik dalam Sputum

Kagunaan pemeriksaan IgE total hanya untuk menyokong atofi. Pemeriksaan IgE

spesifik lebih bermakna dilakukan bila uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya

kurang dapat dipercaya.

7. Foto Dada

Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan penyebab lain obstruksi saluran

napas dan adanya kecurigaan terhadap proses patologis di paru atau komplikasi

asma seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.

8. Analisis Gas Darah

Pemeriksaan ini hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan,

terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada stadium

yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya

pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 ≥ 45 mmHg),

hipoksemia, dan asidosis respiratorik.

2.11 Diagnosis Banding

1. Bronkitis Kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang

mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab

batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan

dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien

berumur > 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari,

lama-kelamaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.pada

stadium lanjut dapat ditemukan sianosis dan tanda-tanda kor pulmonal.

2. Emfisema Paru. Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan

mengi jarang menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada

14

Page 15: Lapkas Asma

emfisema tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas,

hipersonor, pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto

dada menunjukkan hiperinflasi.

3. Gagal Jantung Kiri Akut. Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma

kardial, dan bila timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dyspnea.

Pasien tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang

atau berkurang bila duduk. Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat

atau memperingan gejala gagal jantung. Di samping ortopnea, pada pemeriksaan

fisis ditemukan kardiomegali dan edema paru.

4. Emboli Paru. Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah

imobilisasi, gagal jantung dan tromboflebitis. Di samping gejala sesak napas, pasien

batuk-batuk yang dapat disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan

pingsan. Pada pemeriksaan fisis ditemukan adanya ortopnea, takikardia, gagal

jantung kanan, pleural friction, irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan

elektrokardiogram menunjukkan perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.

2.12 Komplikasi

1. Pneumotoraks

2. Pneumomediastinum dan emfisema subkutis

3. Atelektasis

4. Aspergillosis bronkopulmoner alergik

5. Gagal napas

6. Bronkitis

7. Fraktur iga

15

Page 16: Lapkas Asma

2.13 Penatalaksaan

1. Mencegah Ikatan Alergen IgE

a. Menghindari alergen, tampaknya sederhana tetapi sering sukar dilakukan

b. Hiposensitisasi, dengan menyuntikkan dosis kecil alergen yang dosisnya makin

diharapkan tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan

mencegah ikatan alergen dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada

orang dewasa saat ini masih diragukan.

2. Mencegah Penglepasan Mediator

Premedikasi dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus

yang dicetuskan oleh alergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga

mencegah penglepasan mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi

spasme bronkus yang telah terjadi. Oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat

profilaktik pada terapi pemeliharaan.

Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang penyebabnya alergi,

meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma instrinsik dan asma karena

kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teofilin selain bersifat

sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator.

3. Melebarkan Saluran Napas dengan Bronkodilator

a. Simpatomimetik: 1). Agonis beta 2 (salbutamol, terbutalin, fenoterol,

prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi serangan asma akut.

Dapat diberikan secara inhalasi melalui MDI (Metere Dosed Inhaler) atau

nebulizer; 2). Epinefrin diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2

pada serangan asma yang berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anakatau

dewasa muda.

b. Aminofilin dipakai sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti

dengan dosis pemeliharaan.

16

Page 17: Lapkas Asma

c. Kortikosteroid. Tidak termasuk obat golongan bronkodilator tetapi secara tidak

langsung, dapat melebarkan saluran napas. Dipakai pada serangan asma akut

atau terapi pemeliharaan.

d. Antikolinergik (ipatropium bromida) terutama dipakai sebagai suplemen

bronkodilator agonis beta 2.

4. Mengurangi Respons dengan Jalan Meredam Inflamasi Saluran Napas

Banyak peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang

berat menunjukkan inflamasi saluran napas. Secara histopatologis ditemukan

adanya infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut.

Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada baik

dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid baik secara

oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut atau kronik.

2.14 Pengobatan Asma Menurut GINA (Global Initiative for Asthma)

1. Penyuluhan kepada pasien

2. Penilaian derajat beratnya asma

3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan

4. Perencanaan obat-obat jangka panjang

Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma,

ada 3 hal yang harus dipertimbangkan yaitu obat-obat anti asma, pengobatan

farmakologis berdasarkan sistem anak tangga, pengobatan asma berdasarkan sistem

wilayah bagi pasien.

a. Obat-obat anti asma. Pada dasarnya dipakai untuk mencegah dan mengendalikan

gejala asma yang berfungsi:

- Pencegah (controller) yaitu obat-obat yan dipakai setiap hari, dengan tujuan

agar gejala asma persisten tetap terkendali. Termasuk golongan ini yaitu obat-

obat anti-inflamasi dan bronkodilator kerja panjang (long acting). Obat-obat

17

Page 18: Lapkas Asma

anti-inflamasi khususnya kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif

sebagai pencegah. Obat-obat antialergi, bronkodilator atau obat golongan lain

sering dianggap termasuk obat pencegah, meskipun sebenarnya kurang tepat,

karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang lingkup yang terbatas

misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma kronik,

memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktivitas bronkus dan memperbaiki

kualitas hidup. Obat antiinflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta

mempunyai daya profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan antiinflamasi

jangka panjang ternyata perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta

penurunan reaktivitas bronkus lebih baik bila dibandingkan bronkodilator.

Termasuk golongan obat pencegah adalah kortikosteroid hirup, kortikosteroid

sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL),

agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral,dan

obat-obat anti alergi.

- Penghilang gejala (reliever). Obat penghilang gejala yaitu obat-obat yang

dapat merelaksasi bronkokonstriksi dan gejala-gejala akut yang menyertainya

dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu agonis beta 2 hirup kerja

pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, antikolinergik hirup, teofilin

kerja pendek, agonis beta 2 kerja pendek. Agonis beta 2 hirup (fenoterol,

salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih untuk gejala asma

akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah serangan

asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai

penghilang gejala pada asma episodik. Peran kortikosteroid sistemik pada

asma akut adalah untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut. Obat

tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan

di ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau Ipatropium

bromida selain dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma

akut, juga dipakai sebagai obat alternatif pada pasien yang tidak dapat

mentoleransi efek samping agonis beta 2. Teofilin maupun agonis beta 2

dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa memakai sediaan sirup.

b. Berdasarkan pengobatan farmakologis sistemik anak tangga, maka menurut berat

ringannya gejala, asma dapat dibagi menjadi 4 derajat;

18

Page 19: Lapkas Asma

1. Asma intermiten

Gambaran klinis sebelum pengobatan

o Gejala intemiten (kurang dari sekali seminggu)

o Serangan singkat (beberapa jam sampai hari)

o Gejala asma malam kurang dari 2 kali sebulan

o Di antara serangan pasien bebas gejala dan fungsi paru normal

o Nilai APE dan VEP1 > 80% dari nilai prediksi, variabilitas < 20 %.

Obat yang dapat dipakai agonis beta 2 hirup, obat lain tergantung intensitas

serangan, bila berat dapat ditambahkan kortikosteroid oral

2. Asma persisten ringan

Gambaran klinis sebelum pengobatan

o Gejala lebih dari 1x seminggu, tetapi kurang dari 1x per hari

o Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

o Serangan asma malam lebih dari 2x/sebulan

o Nilai APE atau VEP1 antara >80% dari nilai prediksi, variabilitas 20-30

%.

Obat yang digunakan setiap hari obat pencegah, agonis beta 2 bila perlu

3. Asma persisten sedang

Gambaran klinis sebelum pengobatan

o Gejala setiap hari

o Serangan mengganggu aktivitas dan tidur

o Serangan asma malam lebih dari 1x seminggu

19

Page 20: Lapkas Asma

o Setiap hari menggunakan beta 2 agonis hirup

o Nilai APE atau VEP1 antara 60- 80% dari nilai prediksi, variabilitas >30

%.

Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah (kortikosteroid hirup) dan

bronkodiltor kerja panjang.

4. Asma persisten berat

o Gejala terus-menerus, sering mendapat serangan

o Gejala asma malam sering

o Aktivitas fisis terbatas karena gejala asma

o Nilai APE atau VEP1 < 60% dari nilai prediksi, variabilitas >30 %.

Obat yang dipakai setiap hari obat pencegah, dosis tinggi, kortikosterois

hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid jangka panjang.

5. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma) untuk gejala asma akut serta

bila diberikan sebelum kegiatan jasmani

6. Berobat secara teratur

2.15 Pasien dirujuk

1. Pasien dengan risiko tinggi kematian karena asma

2. Serangan asma berat APE < 60 % nilai prediksi

3. Respons bronkodilator tidak segera, dan bila ada respons hanya bertahan < 3 jam

4. Tidak ada perbaikan dalam waktu 2-6 jam setelah pengobatan kortikosteroid

5. Gejala asma makin memburuk.

20

Page 21: Lapkas Asma

BAB III

ANALISA KASUS

3.1 Asma Bronkial

Atas dasar anamnesis OS mengeluh sesak napas (+), sesak hilang timbul,

bertambah jika beraktivitas dan berkurang saat beristirahat. Sesak dirasakan

mengganggu saat tidur dan kadang terdengar bunyi mengi. Sesak disertai batuk,

batuk berdahak berwarna hijau sejak 3 minggu SMRS. Sakit kepala (+). Riwayat

asma (+), riwayat sinusitis (+), riwayat alergi cuaca dingin (+), dikeluarga ibu OS

riwayat asma (+)

Pada Pemeriksaan Fisik pernapasan 44 kali/menit (takipneu), mukosa bibir kering,

pada auskultasi terdengar bunyi wheezing (+/+)

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik yang telah dilakukan, maka dipikirkan asma

bronkial

Rencana diagnostik: Spirometri, uji provokasi bronkus, pemeriksaan sputum

Rencana terapi : beta 2 agonis, hindari faktor pencetus

21

Page 22: Lapkas Asma

DAFTAR PUSTAKA

Harisson. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Vol 3.ed.13. 2000. EGC: Jakarta.

Ismail, Dasnan, Idrus Alwi, Muin Rahman. 2006. Panduan Pelayanan Medik. Departemen

Ilmu Penyakit Dalam FKUI: Jakarta.

Mubin, Halim. Buku Panduan Praktis : Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi Edisi 2.

Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Price Sylvia A, Wilson Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit. 2006. EGC :

Jakarta

Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Sudoyo, W. Aru. et. al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

22