46
LAPORAN KASUS APENDISITIS AKUT Oleh: dr. Felisitas Pembimbing: dr. Edwar Martin, Sp.B dr. Dinaili Maili dr. H. Alfian Nasution

Lapkas Bedah Appendisitis Akut

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas

Citation preview

LAPORAN KASUS

APENDISITIS AKUT

Oleh:

dr. Felisitas

Pembimbing:

dr. Edwar Martin, Sp.B

dr. Dinaili Maili

dr. H. Alfian Nasution

INTERSHIP PROPINSI JAMBI

KABUPATEN BATANGHARI

Jambi, 30 Maret 2015

Bab I

STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

Usia : 20 tahun

Alamat : Sungai Lingkar Rt.07

Status perkawinan : Belum menikah

Status pendidikan : Tamat SMA

Pekerjaan : Karyawan swasta

Agama : Islam

Tanggal masuk RS : 20 Maret 2015 (pukul 22.05 WIB)

II. ANAMNESIS

Autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap keluarga pasien

Keterangan dari tim medis Puskesmas Sungai Rengas

KELUHAN UTAMA:

Nyeri perut kanan bawah 10 jam SMRS

KELUHAN TAMBAHAN:

Demam, mual, dan muntah

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG:

Pasien datang ke IGD RSUD HAMBA atas rujukan dari Puskesmas Sungai Rengas dengan

keluhan nyeri perut kanan bawah 10 jam SMRS. Awalnya nyeri dirasakan di ulu hati dan

bersifat hilang-timbul. Kurang lebih 5 jam kemudian nyeri berpindah dan menetap di perut

kanan bawah dan bersifat terus-menerus. Pasien tampak kesakitan. Pasien juga mengeluh

demam, mual, dan muntah lebih dari 2 kali. Isi muntahan berupa sisa makanan dan air.

Napsu makan pasien berkurang. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada gangguan.

Pasien sempat dibawa ke dukun untuk diurut namun keluhan tidak membaik. Akhirnya

pasien di bawa ke Puskesmas Sungai Rengas dan diberikan terapi injeksi Ranitidin, sirup

antasida, dan tablet parasetamol, kemudian segera dirujuk ke RSUD HAMBA.

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

Riwayat penyakit serupa disangkal

Riwayat maag disangkal

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat sakit kuning disangkal

Riwayat trauma disangkal

Riwayat alergi makanan dan obat-obatan disangkal

KEBIASAAN:

Kebiasaan merokok disangkal

Kebiasaan alkohol disangkal

Kebiasaan minum obat-obatan dan jamu disangkal

RIWAYAT KELUARGA:

Riwayat penyakit serupa dengan pasien disangkal

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat kencing manis disangkal

Riwayat sakit kuning disangkal

III.PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum : Tampak sakit berat

Kesadaran : Compos mentis; GCS 15 (E=4;M=6;V=5)

Tanda-tanda vital

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Pulsasi : 76 x/menit (teratur, kuat dan penuh)

Laju pernafasan : 24 x/ menit

Suhu : 37oC

KEPALA DAN WAJAH

Kepala : Normocephali, deformitas (-), simetris (+), edema (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor diameter3mm/3mm

Telinga : Deformitas (-/-), sekret (-/-), serumen (-/-)

Hidung : Deformitas (-), sekret (-), Septum nasi di tengah

Mulut : Mukosa oral tidak hiperemis, coated tongue (-)

Leher : Trakea ditengah, tidak tampak jejas ataupun lesi kulit lain, KGB tidak teraba

THORAKS-PARU

Inspeksi : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis, retraksi sela iga (–)

Palpasi : Gerak nafas teraba simetris, stem fremitus kiri = kanan

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru, batas paru-hepar di ICS 5 midklavikularis dextra

Auskultasi : Bunyi nafas vesikular ( +/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

THORAKS-JANTUNG

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavikularis sinistra

Perkusi : Batas atas : ICS II linea parasternalis sinistra

Batas kanan : ICS V linea sternalis dextra

Batas kiri : ICS V linea midklavikularis sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, gallop(-), murmur(-)

PUNGGUNG

Inspeksi : Gerak nafas simetris, tidak tampak deformitas

Palpasi : Gerak nafas simetris, stem fremitus kiri = kanan

Perkusi : Sonor pada punggung kanan dan kiri

Auskultasi : Suara nafas vesikular (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)

ABDOMEN

Inspeksi : Datar, sikatriks (-), pelebaran vena (-), rash (-)

Palpasi : Tidak teraba masa, nyeri tekan (+) pada titik McBurney, rebound

phenomene (+), defans muskuler (+), Rovsing sign (+). Psoas sign dan

obturator sign sulit dilakukan karena pasien kesakitan.

Perkusi : Timpani diseluruh kuadran

Auskultasi : Bising usus (+) di seluruh kuadran

EKSTREMITAS:

Akral hangat, capillary refill time <2 detik

Edema (-)

Motorik dan sensorik baik

STATUS UROLOGIS

Pinggang / CVA

Inspeksi : Tampak simetris, inflamasi(-), lesi(-), massa(-)

Palpasi : Massa (-/-), nyeri tekan (-/-)

Perkusi : Nyeri ketok CVA (-/-)

Suprapubis

Inspeksi : Massa (-), lesi (-), hiperemis(-)

Palpasi : Distensi VU(-), massa(-), nyeri tekan(-)

Genitalia eksterna : Tidak diperiksa

IV. PEMERIKSAAN PENUNJAN G (22 MARET 2015)

Pemeriksaan Darah Lengkap (Pukul 23.09 WIB)

Pemeriksaan Nilai Normal SatuanRBC 4.68 3.50-5.50 1012/l

MCV 82.6 75.0-100.0 fl

MCH 29.8 25.0-35.0 pg

MCHC 36.1 31.0-38.0 g/dl

Hemoglobin 13.9 11.5-16.5 g/dl

Hematokrit 38.6 35.0-55.00 %

Trombosit 140 100-400 109/l

Leukosit 9.7 3.5-10.0 109/l

Limfosit 1.5 0.5-5.0 109/l

Granulosit 7.6 1.2-8.0 109/l

Eosinofil 0.6 0.1-0.6 109/l

GDS 95 <120 mg/dl

Bleeding Time 2 1-3 menit

Cloting Time 4 2-6 menit

Golongan darah B-

V. DIAGNOSIS KERJA

Akut abdomen e.c. suspek apendisitis akut

VI. DIAGNOSIS BANDING

1. Kolik ureter e.c ureterolitiasis

2. Gastroenteritis akut

3. Kolesistitis akut

VII. PENATALAKSANAAN IGD

Persiapan pre operasi Apendektomi cito

Informed consent

Pasien dipuasakan 6 jam

Pemasangan NGT dan DC urin

IVFD Ringer Laktat 20 tetes per menit

Injeksi Ranitidine 2 x 1 ampul (25 mg/ml) IV

Injeksi Ondansetron 2 x 1 ampul (8mg/4 ml) IV

Injeksi Ketorolac 2 x 1 ampul (30 mg/ml) IV

Injeksi Ceftriaxone 1 x 1 gram IV (Skin Test terlebih dahulu)

Pemeriksaan Rontgen Thorax PA dan EKG

Hasil Rontgen Thorax PA

Kesan: Thorax dalam batas normal

Hasil EKG

Kesan: dalam batas normal

VIII. LAPORAN OPERASI (21 Maret 2015 pukul 00.10 WIB)

Diagnosis Pra Bedah Akut abdomen e.c apendisitis akut

Jenis Pembedahan Apendektomi cito

Diagnosis Pasca Bedah Post apendektemi e.c. apendisitis akut

Tindakan Operasi Pasien dalam posisi supine

Tindakan aseptik dan antiseptik

Insisi pada titik Mc Burney

Insisi diperdalam sampai memotong lemak, dan

tampak muskulus, dilakukan musle spliting,

sampai tampak peritoneum

Peritoneum dibuka, sekum dicari dan

dikeluarkan (luxir)

Apendiks tampak hiperemis dan erosif

Dilakukan apendektomi

Kontrol perdarahan

Luka operasi dijahit

IX. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad fungsionam : bonam

Quo ad sanationam : bonam

X. FOLLOW UP

TANGGAL S O A P21 / 03/ 2015 Nyeri pada luka

bekas operasi,

demam (-), mual

(-), muntah (-),

flatus (-)

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos

mentis

TD: 110-120/70-80 mmHg

HR: 65-70 x/menit

Laki-laki, 20

tahun, Hari rawat

I, post

apendektomi e.c.

apendisitis akut

Rawat Zaal bedah

IVFD Ringer Laktat 20

tetes per menit

Bising usus (+) boleh

minum

RR: 12-20 x/menit

Suhu: 37°C

BU (+)

Status lokalis regio iliaka

dextra:

tampak luka tertutup kasa,

rembesan darah (-), nyeri

(+)

Medikamentosa:

Ceftriaxon 1 x 1 gram

IV

Ketorolac 2 x 1 ampul

(30 mg/ml)

Ranitidine 2 x 1 ampul

(25 mg/ml)

22 / 03/ 2015 Nyeri berkurang

pada luka bekas

operasi, demam

(-), mual (-),

muntah (-), flatus

(+)

KU : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos

mentis

TD: 130/70 mmHg

HR: 70-80 x/menit

RR: 20-22 x/menit

Suhu: 36,5°C

Status lokalis regio iliaka

dextra:

tampak luka tertutup kasa,

rembesan darah (-), nyeri

(+)

Laki-laki, 20

tahun, Hari rawat

II, Post Op I,

post

apendektomi e.c.

apendisitis akut

Rawat Zaal bedah

IVFD Ringer Laktat 20

tetes per menit

Medikamentosa:

Ceftriaxon 1 x 1 gram

IV

Ketorolac 2 x 1 ampul

(30 mg/ml)

Ranitidine 2 x 1 ampul

(25 mg/ml)

23 / 03/ 2015 Nyeri minimal

pada bekas

operasi, demam

(-), mual (-),

muntah (-), nafsu

makan baik

KU : tampak sakit ringan

Kesadaran : compos

mentis

TD: 110/70 mmHg

HR: 70-80 x/menit

RR: 22 x/menit

Suhu: 37°C

Status lokalis regio iliaka

dextra:

tampak luka tertutup kasa,

rembesan darah (-), nyeri

(+)

Laki-laki, 20

tahun, Hari rawat

III, post op II,

post

apendektomi e.c.

apendisitis akut

Rawat jalan

Edukasi perawatan luka

dan kontrol jahitan ke poli

bedah

Medikamentosa:

Ciprofloxacin 2 x 500

mg tab

Parasetamol 3 x 500

mg tab

Ranitidine 2 x 150 mg

tab

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Appendiks

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan

Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin.(1-3) Appendiks adalah suatu struktur

kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum.

Pangkalnya terletak pada posteromedial saekum. Pada Ileosaekal junction terdapat Valvula

Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis

(Gerlachi). .(4-6) Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian

proksimal dan melebar di bagian distal.(7) Appendiks terletak di kuadran kanan bawah

abdomen. Tepatnya di ileosaekum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera,

taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada

pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilikus dan SIAS kanan yang berjarak

1/3 dari SIAS kanan.(8)

Appendiks vermiformis disangga oleh mesoappendiks (mesenteriolum) yang bergabung

dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a.

apendikularis (cabang a.ileocolica). Orifisiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileosaekal.

Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiseal dan

terkadang juga memiliki limfonodi kecil. (1.2)

Gambar 1. Appendiks Vermiformis

Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa,

muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin

tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang

menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup saekum dan appendiks.

Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan elastik membentuk jaringan saraf,

pembuluh darah dan limfe. Antara mukosa dan submukosa terdapat limfonodus. Mukosa

terdiri dari satu lapis kolumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut kripta

lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan saekum (inner circular layer).

Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada

pertemuan saekum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk

mencari appendiks.(2)

Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu

bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari

sekum yang berlebih akan menjadi appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju

katup ileosaekal. (14)

Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah

ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendiks pada usia itu.

Pada 65 % kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan

appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoappendiks

penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang

sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis

appendiks ditentukan oleh letak appendiks.(3)

Gambar 2. Posisi-Posisi Appendiks

Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis

berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri

appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena

itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.(3)

Pendarahan appendiks berasal dari arteri appendikularis , cabang dari a.ileosaekalis,

cabang dari a. mesenterica superior. A. appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika

arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami

gangren.(3)

Gambar 3. Perdarahan Appendiks Vermiformis

Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar.

Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa oleh mukosa muskularis. Bagian luar

dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang

terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks.

Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa.

Histologis :

- Tunika mucosa : memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.

- Tunika submucosa : banyak folikel lymphoid.

- Tunika muscularis : stratum sirkulare sebelah dalam dan stratum longitudinal (gabungan

tiga tinea coli) sebelah luar.

- Tunika serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari peritoneum viseral.(6)

Gambar 4. Potongan Transversus Appendiks

2.2 Fisiologi Appendiks

Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke

dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke saekum. Hambatan aliran lendir di muara

appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.(3)

Dinding appendiks terdiri dari jaringan limfe yang merupakan bagian dari sistem imun

dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut

associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks,

ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun

demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah

jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna

dan di seluruh tubuh.(3)

Jaringan limfoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2 minggu setelah lahir.

Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang

mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan limfoid lagi di appendiks dan

terjadi obliterasi lumen appendiks komplit. (14)

2.3 Definisi

Appendisitis merupakan peradangan pada appendiks vermiformis. Peradangan akut

appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya

berbahaya.(3)

2.4 Epidemiologi

Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur. Namun jarang pada anak kurang dari

satu tahun. Rasio pria : wanita = 1,2-1,3 : 1.

2.5 Etiologi

Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendiks. Fekalit merupakan penyebab

tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa

barium dari pemeriksaan rontgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris.

Trauma tumpul atau trauma karena kolonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada

appendiks. Post operasi appendiks juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau

stasis fekal. (11) Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit

ditemukan pada 40% dari kasus appendiks akut, sekitar 65% merupakan appendiks

gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus appendiks gangrenous dengan rupture. (11)

Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendiks adalah erosi mukosa

appendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran

kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya

appendiks. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut.(3)

Flora pada appendix yang meradang berbeda dengan flora appendix normal. Sekitar

60% cairan aspirasi yang didapatkan dari appendicitis didapatkan bakteri jenis anaerob,

dibandingkan yang didapatkan dari 25% cairan aspirasi appendix yang normal. Diduga

lumen merupakan sumber organisme yang menginvasi mukosa ketika pertahanan mukosa

terganggu oleh peningkatan tekanan lumen dan iskemik dinding lumen. Flora normal kolon

memainkan peranan penting pada perubahan appendisitis akut ke appendisitis gangrenosa

dan appendicitis perforata. 10,11)

Appendisitis merupakan infeksi polimikroba, dengan beberapa kasus didapatkan lebih

dari 14 jenis bakteri yang berbeda dikultur pada pasien yang mengalami perforasi. 10) Flora

normal pada appendix sama dengan bakteri pada kolon normal. Flora pada appendix akan

tetap konstan seumur hidup kecuali Porphyomonas gingivalis. Bakteri ini hanya terlihat pada

orang dewasa. Bakteri yang umumnya terdapat di appendiks, appendisitis akut dan

appendicitis perforasi adalah Eschericia coli dan Bacteriodes fragilis. Namun berbagai

variasi dari bakteri fakultatif, anaerob dan Mycobacteria dapat ditemukan. (10,11)

Tabel 1. Organisme yang ditemukan pada appendisitis akut (10)

Bakteri Aerob dan Fakultatif Bakteri Anaerob

Batang Gram (-)

Eschericia coli

Pseudomonas aeruginosa

Klebsiella sp.

Coccus Gr (+)

Streptococcus anginosus

Streptococcus sp.

Enteococcus sp.

Batang Gram (-)

Bacteroides fragilis

Bacteroides sp.

Fusobacterium sp.

Batang Gram (-)

Clostridium sp.

Coccus Gram (+)

Peptostreptococcus sp.

Kultur intraperitonal rutin yang dilakukan pada pasien appendisitis perforata dan non

perforata masih dipertanyakan kegunaannya. Saat hasil kultur selesai, seringkali pasien telah

mengalami perbaikan. Apalagi, organisme yang dikultur dan kemampuan laboratorium untuk

mengkultur organisme anaerob secara spesifik sangat bervariasi. Kultur peritoneal harus

dilakukan pada pasien dengan keadaan imunosupresi, sebagai akibat dari obat-obatan atau

penyakit lain, dan pasien yang mengalami abses setelah terapi appendisitis. Perlindungan

antibiotik terbatas 24-48 jam pada kasus appendisitis non perforata. Pada appendisitis

perforata, antibiotik diberikan 7-10 hari secara intravena hingga leukosit normal atau pasien

tidak demam dalam 24 jam. Penggunaan irigasi antibiotik pada drainage rongga peritoneal

dan transperitoneal masih kontroversi. (4,10)

2.6 Patofisiologi

Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh hyperplasia

folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya,

atau neoplasma.(12)

Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya

dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa appendiks yang distensi.

Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.

Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai

keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen appendiks

normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen

sekitar 60 cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat

mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau

terjadi perforasi.(14)

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,

menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan

pembengkakan appendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis

pembuluh darah intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendiks akut fokal

yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36

jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. (9,12)

Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.

Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri

didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendiks supuratif akut.(12)

Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks yang diikuti

dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendiks gangrenosa. Bila dinding yang telah

rapuh itu pecah, akan terjadi appendiks perforasi. (12)

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate

apendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.(12)

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi appendiks yang dimulai dimukosa

dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini

merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup

appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa

periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat

mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, appendiks akan sembuh dan massa

periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. (3)

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih panjang, dinding

appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi

karena telah ada gangguan pembuluh darah.(12)

Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya

tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale

dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir

proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi

maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum

cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam kavum abdominalis, oleh karena itu

penderita harus benar-benar istirahat (bedrest). (2)

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan

membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya.

Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu

ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. (3)

2.7 Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain :

1. Nyeri abdominal

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samar-

samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar

umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah

(titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa

nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan

mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(3)

2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.

3. Nafsu makan menurun.

4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.

5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh

belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya

rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala

yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. (3)

Kelainan patologi Keluhan dan tanda

Peradangan awal

Apenditis mukosa

Radang di seluruhKetebalan dinding

Appendiks komplet radangPeritoneum parietale appendiks

Radang alat/jaringan yangMenempel pada appendiks

Perforasi

Pendindingan (Infiltrat)Tidak berhasil

Berhasil

Abses

Kurang enak ulu hati/daerah pusat, mungkin kolik

Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan automik)

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,mual dan muntah

Rangsangan peritoneum lokal (somatik)nyeri pada gerak aktif dan pasif,defans muskuler lokal

Genitalia interna, ureter, m.psoas, kantung kemih, rektum

Demam sedang, takikardia, mulai toksik, leukositosis

Demam tinggi, dehidrasi,Syok, toksik

Massa perut kanan bawah, keadaanumum berangsur membaik

Demam remiten, keadaan umum toksik,keluhan dan tanda setempat

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang

terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah

perforasi. (3)

Pada kehamilan, keluhan utama appendiks adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang

perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan

muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga

keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (3)

2.8 Pemeriksaan Fisik

Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5°C. Bila suhu lebih tinggi,

mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1°C.

1. Inspeksi

Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang

perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran

spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi.

Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.

2. Palpasi

Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:

Nyeri tekan di Mc. Burney

Nyeri lepas

Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan

peritoneum parietal.

Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri

pinggang.

Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung :

Nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)

Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)

Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk,

mengedan.

Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya penonjolan

di perut kanan bawah.(3)

3. Auskultasi

Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada

peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.

Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada

appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. (3)

Pada appendiks pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah

nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan.

Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan

untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas

lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila appendiks yang meradang menempel di

m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk

melihat apakah appendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang

merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul

pada posisi terlentang, pada appendiks pelvika akan menimbulkan nyeri. (3)

Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan

kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada

pinggul / pangkal paha kanan.

Dasar anatomi dari tes psoas. Appendiks yang mengalami peradangan kontak

dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.

Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi

samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.

Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan appendiks dipelvis yang kontak dengan

otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium

a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus

appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein

meningkat. Pada appendikular infiltrat, LED akan meningkat.

b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.

Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti

infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir

sama dengan appendisitis.

2. Abdominal X-Ray

Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan ini

dilakukan terutama pada anak-anak.

3. USG

Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama

pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk

menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adneksitis dan sebagainya.

Gambar 5. Ultrasonogram pada potongan longitudinal Appendicitis 6

4. Barium enema

Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.

Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada

jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendikogram

memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk

menegakkan diagnosis appendisitis kronis. Dimana akan tampak pelebaran/penebalan

dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh

fekalit.

Gambar 6. Apendikogram

5. CT-scan

Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan

komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.

Gambar 7. Gambaran CT Scan abdomen: Appendisitis perforata

dengan abses dan kumpulan cairan di pelvis11

Gambar 8. Gambaran CT Scan abdomen: Penebalan Appendiks

(panah) dengan appendicolith11

6. Laparoskopi

Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptik yang dimasukan dalam abdomen,

appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah

pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan

pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan

appendiks.

7. Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis

appendisitis akut. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi

appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya

kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak ada

gambaran histopatologi appendiks akut pada orang yang tidak dilakukan operasi. Riber

et al, pernah meneliti variasi diagnosis histopatologi appendisitis akut. Hasilnya adalah

perlu adanya komunikasi antara ahli patologi dan antara ahli patologi dengan ahli

bedahnya.

Definisi histopatologi appendiks akut:

1 Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di

lapisan epitel.

2 Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel.

3

Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke

dalam lapisan epitel.

4

Sel granulosit diatas lapisan serosa appendiks dengan abses

apendikuler, 

  dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.

5

Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses

mukosa dan

 

keterlibatan lapisan mukosa, bukan appendiks akut tetapi

periappendiks.

2.10 Diagnosis

Sistem skor Alvarado 

Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan

gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara  anak, orang tua dan

dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang

relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendektomi

negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah

satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat

diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi

apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor

Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan

kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986

membuat sistem skor yang didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan

laboratorium.

Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat

keparahan appendiks. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko

meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus,  nyeri tekan di abdomen

kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan

netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai

nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor

ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999).

Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut :

Gejala dan tanda: SkorNyeri berpindah 1Anoreksia 1Mual-muntah 1Nyeri fossa iliaka kanan 2Nyeri lepas 1Peningkatan suhu > 37,30C 1Jumlah leukosit > 10x103/L 2Jumlah neutrofil > 75% 1Total skor: 10

Keterangan Alavarado score :

Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point

Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:

1 – 4 dipertimbangkan appendicitis akut

5 – 6 possible appendicitis tidak perlu operasi

7 – 9 appendicitis akut perlu pembedahan

Penanganan berdasarkan skor Alvarado :

1– 4 : observasi

5 – 6 : antibiotik

7 – 10 : operasi dini

2.11 Diagnosis Banding

1. Gastroenteritis

Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih

ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan

leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.

2. Limfadenitis mesenterika

Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut

yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mual-

muntah.

3. Ileitis akut

Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia,

mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendektomi insidental

diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.

4. DHF

Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni, rumple

leed (+), hematokrit meningkat.

5. Peradangan pelvis

Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini

sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau adnecitis. Untuk

menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu

biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih

difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan

maka akan terasa nyeri.

6. Kehamilan ektopik

Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi

ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang

mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada

pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di kavum Douglas, dan

pada kuldosentesis akan didapatkan darah.

7. Divertikulitis

Meskipun diverkulitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang

dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada

diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis.

8. Batu ureter atau batu ginjal

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan

gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau

urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

2.12 Penatalaksanaan

Appendektomi

§         Cito  : akut, abses & perforasi

§         Elektif  : kronik 

Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi

dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil

memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks

normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa

komplikasi tidak banyak masalah.

Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi dilindungi oleh

omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk

tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi

dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak

dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis

umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera

menjadi abses yang jelas batasnya. (5)

Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah

bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk

membuang appendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang

longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih

terfiksasi dan vaskular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu

pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.(5)

Massa appendiks terjadi bila terjadi appendiks gangrenosa atau mikroperforasi

ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa

periapendikular yang pendindingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus

keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh

karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk

mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan

untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular

yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan

diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila

sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita

boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar

perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi,

akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi

nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka

leukosit. (3)

Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan

tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi

abses appendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan

sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada

appendiks sederhana tanpa perforasi. (13)

Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah

apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa

appendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan

dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis

umum. (13)

Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil,

wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau

berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya. (3)Bila pada waktu membuka

perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, appendiks

dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :

1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.

2. Diet lunak bubur saring

3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap

kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu

kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja

dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada

keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak

menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan

bedah.(2,3)

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48

jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus

dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi)

setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila

massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera

dibuka dan didrainase.(2)

Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri

tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila

appendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber

infeksi. Bila appendiks sukar dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika

dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang

yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase

didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain dapat diputar

dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik

dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap

hari penderita di RT. (2)

Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :

LED

Jumlah leukosit

Massa

Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :

1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen

2. Pemeriksaan fisik :

o Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal

dan aksiler)

o Tanda-tanda appendiks sudah tidak terdapat

o Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil

dibanding semula.

o Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal

Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :

1. Bila LED telah menurun kurang dari 40

2. Tidak didapatkan leukositosis

3. Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak

mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa:

o Apakah penderita sudah bed rest total

o Pemakaian antibiotik penderita

o Kemungkinan adanya sebab lain.

4. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan,

operasi tetap dilakukan.

5. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi

adalah drainase.(2)

Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi

Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus

appendiks akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui

laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).

Lapisan  kulit yang dibuka pada Appendektomi :

  1.          Cutis                                          6.    MOI

  2.          Sub cutis                                   7.    M. Transversus

  3.          Fascia Scarfa                            8.    Fascia transversalis

  4.          Fascia Camfer                           9.    Pre Peritoneum

  5.          Aponeurosis MOE                   10.   Peritoneum

2.13 Komplikasi

Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi

bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah mengalami pendindingan berupa

massa yang terdiri atas kumpulan appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.(3)

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis

generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :

Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh

Suhu tubuh naik tinggi sekali.

Nadi semakin cepat.

Defance Muskular yang menyeluruh

Bising usus berkurang

Perut distensi

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :

1. Pelvic Abses

2. Subphrenic abses

3. Intra peritoneal abses lokal.(2)

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen,

dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

2.14 Prognosis

Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas

penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan

mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak

diangkat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit

Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

2. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw

Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic

Publication.

3. Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03

September 2004.

4. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.

8.Jehan, E., 2003.

5. .Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.

6. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines.http://www.patholoyoutlines.com

7. Gray, H.(1826-1861). 1918. Anatomy of The Human Body.www.Bartleby.com

8. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National

Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004.

www.digestive.niddk.nih.gov

9. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

10.Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of

Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas

http://www.aafg.org

11.Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada

University Press. Yogyakarta.