46
LxAPORAN KASUS Sindrom esktrapiramidal Pembimbing: dr. Novita Dewi Sp.A Oleh: R R BONO PAZIO (2011730160) KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI RSIJ SUKAPURA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2015

Lapkas Ekstra Piramidal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Lapkas Ekstra Piramidal

Citation preview

Page 1: Lapkas Ekstra Piramidal

LxAPORAN KASUS

Sindrom esktrapiramidal

Pembimbing: dr. Novita Dewi Sp.A

Oleh:

R R BONO PAZIO (2011730160)

KEPANITERAAN KLINIK STASE PEDIATRI RSIJ SUKAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

Page 2: Lapkas Ekstra Piramidal

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat yang sangat luas kepada kita

semua. Atas pertolongan dan kekuasaan-Nya yang begitu sempurna, penulis dapat

menyelesaikan tugas kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak ini. Shalawat serta salam juga

penulis haturkan ke junjungan besar Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat

manusia dari zaman Jahilliyah menuju zaman yang penuh cahaya bagi umat yang bertaqwa

kepada-Nya.

Penulis menyadari ketidaksempurnaan tugas laporan kasus ini. Oleh karena itu,

penulis sangat mengharapkan saran, kritik, dan koreksi untuk perbaikan penyajian laporan

kasus ini. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi khalayak.

Jakarta, Desember 2015

Penulis

Page 3: Lapkas Ekstra Piramidal

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

LAPORAN KASUS

PEMBAHASAN 11

1. Definisi 11

2. Epidemiologi

3. Etiologi 11

4. Patofisiologi 12

5. Manifestasi Klinis 17

6. Diagnosis 19

7. Penatalaksanaan 22

8. Diagnosa Banding 28

9. Komplikas i

10. Prognosis 29

DAFTAR PUSTAKA 30

Page 4: Lapkas Ekstra Piramidal

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Nama : An M A

Jenis Kelamin : Laki-laki

Tempat/tanggal lahi : Jakarta, 5 februari 2002

Umur : 12 tahun 21 kg

Nama ayah : Tn. Z Umur :37 tahun

Pekerjaan ayah : Wiraswasta Pendidikan : SMEA

Nama ibu : Ny. N Umur : 35 tahun

Pekerjaan ibu : Ibu Rumah Tangga Pendidikan : SMEA

Alamat : Ujung Menteng, Cakung, Jakarta Timur

Masuk RS/Pukul : senin 23 februari 2015 pukul 19.25

II. ANAMNESA (Alloanamnesa dengan ibu pasien & autoanamnesis 06/12/ 2014 19.45)

Keluhan Utama

Kaku otot leher 1 jam smrs

Riwayat Penyakit Sekarang

Anak mulai mengalami kaku otot leher 1 jam smrs.kaku masih bisa digerakkan ke satu arah

yaitu arah kanan,masih bisa berbicara walaupun terbata bata.mata dan leher melirik kearah

yang sama.lidah keluar dan terus mengeluarkan air liur,tetapi an masih bisa diajak bicara.

Ibu tidak mengukur suhunya karena tidak memiliki termometer dan anak juga tidak

mengeluhkan demam sebelum nya. tidak ada kaku esktremitas. Ketika di rs Anak tidak

mengalami mual muntah tetapi sebelum nya Anak mengaku mual muntah 3 hari sebelum

masuk rumah sakit lalu dibawa ke klinik dan diberi obat. Setelah minum obat otot leher

dirasakan kaku.

Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada keluhan.

Riwayat Pengobatan dan Alergi

Riwayat pemberian metcloloperamid

Page 5: Lapkas Ekstra Piramidal

Riwayat Penyakit pada Keluarga

Tida ada

Riwayat Kehamilan dan Persalinan

Ibu rutin memeriksakan kehamilannya ke dokter (±8 kali). Persalinan spontan ditolong

dokter. Bayi langsung menangis dan tidak terdapat cacat bawaan. BBL 3500gr PB 50cm

Riwayat Psikososial

Pasien aktif bermain dengan teman seusia di lingkungan rumah dan sekolah

Riwayat Tumbuh Kembang

Motorik kasar: Usia 6 bulan anak mulai merangkak, usia 10 bulan anak sudah mulai

berjalan.

Motorik halus: Usia 3 bulan sudah memegang gerincingan. Saat ini anak sudah bisa

menggambar dengan jelas.

Bicara: Usia 3 bulan mulai mengoceh. Saat ini anak sudah dapat berbicara lancar.

Sosial: Anak mulai mengenal wajah orangtuanya dan tersenyum usia 3 bulan. Saat ini

anak sudah bermain dengan teman-teman sebayanya.

Riwayat Makanan

Anak diberikan ASI eksklusif hingga usia 6 bulan, kemudian diberi makanan tambahan

pendamping ASI seperti bubur tim. Asi tetap diberikan hingga usia anak mencapai 2 tahun.

Saat ini anak sudah bisa makan padat, tiga kali sehari tapi porsinya sedikit dibanding

dengan anak seusianya. Makan selingan diberikan seperti buah. Anak sering jajan makanan

ringan, 3-4 kali dalam sehari.

Jenis Imunisasi Jumlah Usia

Page 6: Lapkas Ekstra Piramidal

BCG 1x 0 bln dengan skar 4 mm

DPT 3x 2 bln/ 4 bln/ 6 bln

Polio 4x 0bln/ 2 bln/ 4 bln/ 6 bln

Hepatitis B 3x 0bln/ 1bln/ 6bln

Campak 1x 9bln

Riwayat Imunisasi

Kesan: Imunisasi dasar (PPI) lengkap

Anamnesis Sistem:

SSP : leher kaku disertai mata menoleh kearah kanan dan lidah terus

menjulur

Mata : mata merah (-), mata berair (-), nyeri pada mata (-)

THT : gangguan pendengaran (-), riwayat keluar cairan dari telinga (-), nyeri

telinga

Kardiovaskular : berdebar-debar (-)

Respirasi : dyspneu

Gastrointestinal : BAB normal, busa, lendir (-), darah (-).

Urogenital : nyeri saat BAK(-), kencing sedikit-sedikit (-)

Endokrin : pembesaran kelenjar di leher (-), kelainan genital disangkal

Muskuloskeletal :gangguan gerak (+), nyeri tekan (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK (Dilakukan pada 06 Desember 2014)

Kesan Umum : TampakSakit sedang

Tanda vital

1. Suhu : 36,1

2. Nadi : 86 kali/menit, teratur, teraba kuat, isi cukup

3. Nafas : 26 kali/menit, cepat, torakal

4. Tekanan darah: 110/70 mmHg

Page 7: Lapkas Ekstra Piramidal

Status Gizi

1. Tinggi badan : 157 cm

2. Berat badan : 19 kg

3. Lingkar kepala: tidak diukur

4. Lingkar lengan atas: tidak diukur

IMT : BB/TB2= 49/2,45 =19,91

Kesimpulan status gizi (NCHS): Gizi baik

Pemeriksaan Khusus

Kulit : tidak ada kelainan .

Kelenjar : Tidak ada pembesaran KGB

Kepala dan leher

1. Bentuk : Normocephal

2. Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut, distribusi rata

3. Mata : Konjungtiva tidak anemis. Sklera tidak ikterik. Pupil isokor.

4. Hidung : Nampak sekret jernih +/+. Bekas perdarahan -/-.

5. Mulut : Mukosa bibir tidak sianosis, lidah tidak kotor, tidak tremor

6. Gigi : Tidak karies gigi. Tidak ginggivitis

7. Faring : Hiperemis. Tidak edema

8. Telinga : Normotia. Tidak tampak sekret. Tidak nyeri tekan

9. Leher : Kelenjar getah bening tidak membesar. Kelenjar tiroid tidak

membesar

Dada

1. Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak tampak kelainan

2. Palpasi : Tidak ada fraktur costae. Tidak nyeri tekan.

3. Auskultasi : Bising jantung 1, 2 murni. Gallop negatif. Murmur negatif

Abdomen

1. Inspeksi : datar, tidak tampak venektasi

2. Auskultasi : Peristaltik usus baik, terdengar 8x/menit.

Page 8: Lapkas Ekstra Piramidal

3. Perkusi : Timpani seluruh lapang abdomen

4. Palpasi : Nyeri tekan seluruh lapang abdomen. Nyeri lepas negatif. Hepar dan

lien tidak membesar

Ekstremitas

1. Akral : hangat

2. Otot : Tidak atrofi. Tidak hipertrofi

3. Tulang : Tidak fraktur. Tidak kifosis. Tidak lordosis. Tidak skoliosis

4. Sendi : Tidak edema, tidak ada gangguan pergerakan sendi.

Tungkai

kanan

Tungkai kiri Lengan kanan Lengan kiri

Gerakan + + + +

Tonus + + + +

Trofi _ _ _ _

Klonus

Refleks fisiologis + + + +

Refleks patologis _ _ _ _

Meningeal sign _ _ _ _

Sensibilitas + + + +

Pemeriksaan saraf : tidak dilakukan Genitalia : Laki-laki, tidak ada kelainan.

Page 9: Lapkas Ekstra Piramidal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG (E):

Pemeriksaan Hasil Satuan Normal

Darah rutin

Hemaglobin 11,9 mg/dL 11,5-14,5

Leukosit 7,0 10^3/uL 5,0-11,0

Hematokrit 39 % 37-45

Trombosit 250* 10^3/uL 150-400

URIN

V. RESUME

Anak mengalami kaku otot leher 1 jam smrs.kaku otot leher disertai kaku otot wajah

dan mata yang kesatu arah ,yaitu arah kanan terus menerus dan mulu juga sukar

membuka . Suhu tubuh anaknya normal, anak mengalami mual muntah 3 hari smrs dan

dibawa berobat ke klinik .Pada senin sore, anak tiba-tiba mengalami kaku otot leher

wajah dan mulut.. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu: 36,10C, nadi: 86

kali/menit, nafas: 26 kali/menit, tekanan darah:110/70 mmHg; status gizi baik; status

imunisasi lengkap, status tumbuh kembang sesuai usia..

IV. DIAGNOSIS KERJA

EKSTRA PIRAMIDAL

DD : EPILEPSI

V. RENCANA PEMERIKSAAN

1. Hemoglobin, hematokrit, trombosit, leukosit (H2TL) setiap dua belas jam

2. test elektrolit ureum kreatinin

Page 10: Lapkas Ekstra Piramidal

`

VI. TERAPI

1. Diazepam 2cc 1 ampul drip

2. Kalsium glukonat 100cc diberikan via infus selama 1 jam

3. Betahistin 12 mg = 3*1

4. Eperison 25 mg = 2*1

5. Dexamethason : 1 cc injeksi

6. Infus RL dimana kebutuhan cairan = 1450 cc+ (12%x1450)= 1624 cc

MIkrodrip= 1 624 cc x 20 tetes = 23 tetes/ menit

24x 60

7. Terapi Non-medikamentosa:

- Banyak minum air putih

- Berikan gizi seimbang (menu makan bervariasi)

8. Kebutuhan kalori usia 13= 2100 kkal, BBI= 49 kg

VII. PROGNOSIS

Vitam : bonam

Fungtionam : bonam

Sanactionam: bonam

LANDASAN TEORI

Page 11: Lapkas Ekstra Piramidal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gejala psikosis dikaitkan terutama dengan adanya hiperaktivitas dari

neurotransmiter dopamin. Oleh karena itu, obat-obat yang digunakan untuk mengurangi

atau bahkan menghilangkan gejala psikosis mempunyai mekanisme memblok reseptor

dari dopamin, khususnya reseptor D2 dopamin.

Selain dari pengurangan gejala psikosis, penggunaan obat-obat antipsikosis juga

mempunyai efek samping yang berkaitan dengan neurotransmiter dopamin.

Efek samping ekstrapiramidal merupakan efek samping dari obat-obat antipsikosis

yang sering muncul dan sangat mengganggu pasien sehingga dapat menurunkan ketaatan

pasien untuk teratur mengkonsumsi obat, yang mana akan menyebabkan sulitnya gejala-

gejala psikosis untuk berkurang atau hilang.

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan syaraf yang terdapat pada otak bagian

sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari ekstrapimidal

adalah terutama di formatio retikularis dari pons dan medulla, dan di target saraf di

medulla spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang kompleks, dan kontrol

postur tubuh

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang

ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping

gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine,

dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot

Page 12: Lapkas Ekstra Piramidal

skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus

kortikospinal (piramidal).

A. Definisi

Sindrom ekstrapiramidal merupakan suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan

oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik

golongan tipikal dikarenakan terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia

basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yan mengandung banyak

reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga

bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.

B. EPIDEMIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal yang terdiri dari reaksi distonia akut, akhatisia, dan

sindrom parkinsonism umumnya terjadi akibat penggunaan obat-obat antipsikotik.

Lebih banyak diakibatkan oleh antipsikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi

tinggi.

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria

muda. Tardive dyskinesia berupa gerakan involunter otot seperti mulut, rahang,

umumnya terjadi akibat penggunaan antipsikotik golongan tipikal jangka panjang.

Sekitar 20-30% pasien telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6

bulan atau lebih, berkembang menjadi tardive dyskinesia. Sindrom parkinson

umumnya timbul 1-3 minggu setelah pengobatan awal, lebih sering pada dewasa

muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.

C. ETIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik yang

menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan

Page 13: Lapkas Ekstra Piramidal

dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya

sebagai berikut

Obat antispikosis dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai

berikut :

Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gej. ekstrapiramidal

Chlorpromazine

Thioridazine

Perphenazine

trifluoperazine

Fluphenazine

Haloperidol(metchloperamid

Pimozide

Clozapine

Zotepine

Sulpride

Risperidon

Quetapine

Olanzapine

Aripiprazole

150-1600

100-900

8-48

5-60

5-60

2-100

2-6

25-100

75-100

200-1600

2-9

50-400

10-20

10-20

++

+

+++

+++

+++

++++

++

-

+

+

+

+

+

+

D. PATOFISIOLOGI

Susunan Piramidal

Semua neuron yang menyalurkan impuls motorik secara langsung ke lower

motor neuron (LMN) atau melalui interneuronnya, tergolong dalam kelompok upper

Page 14: Lapkas Ekstra Piramidal

motor neuron (UMN). Neuron-neuron tersebut merupakan penghuni girus presentralis

. Oleh karena itu, maka girus tersebut dinamakan korteks motorik. Mereka berada

dilapisan ke-V dan masing-masing memiliki hubungan dengan gerak otok tertentu.

Melalui aksonnya neuron korteks motorik menghubungi motoneuron yang

membentuk inti motorik saraf kranial dan motor neuron dikornu anterius medula

spinalis.

Akson-akson tersebut menyusun jaras kortikobulbar dan kortikospinal. Sebagai

berkas saraf yang kompak mereka turun dari korteks motorik dan ditingkat thalamus

dan ganglia basalia mereka terdapat diantara kedua bangunan yang dikenal sebagai

kapsula interna.Sepanjang batang otak, serabut-serabut kortikobulbar meninggalkan

kawasan mereka untuk menyilang garis tengah dan berakhir secara langsung di

motorneuron saraf kranial motorik atau interneuronnya disisi kontralateral. Sebagian

dari serabut kortikobulbar berakhir di inti-inti saraf kranial motorik sisi ipsilateral

juga.

Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, serabut-serabut

kortikospinal sebagian besar menyilang dan membentuk jaras kortikospinal lateral

yang berjalan di funikulus posterolateral kontralateralis. Sebagian dari mereka tidak

menyilang tapi melanjutkan perjalanan ke medula spinalis di funikulus ventralis

ipsilateralis dan dikenal sebagai jaras kortikospinal ventral atau traktus piramidalis

ventralis.

Susunan Ekstrapiramidal

Susunan ekstrapiramidal terdiri dari : korpus striatum, globus palidus, inti-inti

talamik, nukleus subtalamikus, subtansia nigra, formatio retikularis batang otak,

serebelum berikut dengan korteks motorik tambahan yaitu area 4, area 6 dan area 8.

Page 15: Lapkas Ekstra Piramidal

Komponen-komponen tersebut dihubungkan satu dengan yang lain oleh akson

masing-masing komponen itu. Dengan demikian terdapat lintasan yang melingkar

yang dikenal sebagai sirkuit. Oleh karena korpus striatum merupakan penerima

tunggal dari serabut-serabut segenap neokorteks, maka lintasan sirkuit tersebut

dinamakan sirkuit striatal yang terdiri dari sirkuit striatal utama (principal) dan 3

sirkuit striatal penunjang (aksesori).

Sirkuit striatal prinsipal tersusun dari tiga mata rantai, yaitu :

hubungan segenap neokorteks dengan korpus striatum serta globus palidus

hubungan korpus striatum/globus palidus dengan thalamus

hubungan thalamus dengan korteks area 4 dan 6.

Data yang tiba diseluruh neokorteks seolah-olah diserahkan kepada korpus

striatum/globus paidus/thalamus untuk diproses dan hasil pengolahan itu merupakan

bahan feedback bagi korteks motorik dan korteks motorik tambahan. Oleh karena

komponen-komponen susunan ekstrapiramidal lainnya menyusun sirkuit yang pada

hakekatnya mengumpani sirkuit striata utama, maka sirkuit-sirkuit itu disebut sirkuit

striatal asesorik.

Sirkuit striatal asesorik ke-1 merupakan sirkuit yang menghubungkan

stratum-globus palidus-talamus-striatum. Sirkuit-striatal asesorik ke-2 adalah lintasan

yang melingkari globus palidus-korpus subtalamikum-globus palidus. Dan akhirnya

sirkuit asesorik ke-3, yang dibentuk oleh hubungan yang melingkari striatum-

subtansia nigra-striatum.

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi

ekstrapiramidal dikarenakan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Pada

pasien skizofrenia dan pasien dengan gangguan psikotik lainnya terjadi disfungsi pada

sitem dopamin sehingga antipsikotik tipikal berfungsi untuk menghambat transmisi

Page 16: Lapkas Ekstra Piramidal

dopamin di jaras ekstrapiramidal dengan berperan sebagai inhibisi dopaminergi yakni

antagonis reseptor D2 dopamin. Namun penggunaan zat-zat tersebut menyebabkan

gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2

dopamin. Gangguan jalur striatonigral dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik

sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik

tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia

basalis yang lebih poten, dab sebagai akibatnya menyebabkan efek samping gejala

ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

Dengan mengetahui jalur neuronal dopamin, dapat dimengerti bagaimana efek

dari obat-obat antipsikosis dan juga efek sampingnya. Terdapat 4 jalur dopamin dalam

otak :

Jalur dopamin mesolimbik

Jalur ini dimulai dari batang otak sampai area limbik, berfungsi mengatur

perilaku dan terutama menciptakan delusi dan halusinasi jika dopamin berlebih.

Dengan jalur ini ‘dimatikan’ maka diharapkan delusi dan halusinasi dapat

dihilangkan.

Jalur dopamin nigrostriatal

Jalur ini berfungsi mengatur gerakan. Ketika reseptor dopamin pada jalur

ini dihambat pada postsinaps, maka akan menyebabkan gangguan gerakan yang

muncul serupa dengan penyakit Parkinson, sehingga sering disebut drug-induced

Parkinsonism. Oleh karena jalur nigrostriatal ini merupakan bagian dari sistem

ekstrapiramidal dari sistem saraf pusat, maka efek samping dari blokade reseptor

dopamin juga disebut reaksi ekstrapiramidal.

Jalur dopamin mesokortikal

Page 17: Lapkas Ekstra Piramidal

Masih merupakan perdebatan bahwa blokade reseptor dopamin pada jalur

ini akan menyebabkan timbulnya gejala negatif dari psikosis, yang disebut

neuroleptic-induced deficit syndrome.

Jalur dopamin tuberoinfundibular

Jalur ini mengontrol sekresi dari prolaktin. Blokade dari reseptor dopamin

pada jalur ini akan menyebabkan peningkatan level prolaktin sehingga

menimbulkan laktasi yang tidak pada waktunya, disebut galaktorea.

E. GEJALA KLINIS

Sistem ekstrapiramidal merupakan jaringan saraf yang terdapat pada otak bagian

sistem motorik yang mempengaruhi koordinasi dari gerakan. Letak dari sistem

ekstrapiramidal adalah terutama di formatio reticularis dari pons dan medulla dan di

target saraf di medula spinalis yang mengatur refleks, gerakan-gerakan yang

kompleks, dan kontrol postur tubuh.

Istilah sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu kelompok atau

reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi

antipsikotik. Istilah ini mungkin dibuat karena banyak gejala bermanifestasikan

sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigitas, tetapi gejala-gejala itu di luar kendali

traktus kortikospinal (piramidal).

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Reaksi distonia akut

Page 18: Lapkas Ekstra Piramidal

2. Tardive diskinesia

3. Akatisia

4. Parkinsonism (Sindrom Parkinson)

1. Reaksi Distonia Akut (Acute Dystonia Reaction)

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet

yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya

menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal. Kelompok otot yang paling

sering terlibat adalah otot wajah, leher, lidah atau otot ekstraokuler,

bermanifestasi sebagai tortikolis, disastria bicara, krisis okulogirik dan sikap

badan yang tidak biasa hingga opistotonus (melibatkan seluruh otot tubuh).

Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah

pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja. Distonia lebih banyak

diakibatkan oleh psikotik tipikal terutama yang mempunyai potensi tinggi dan

dosis tinggi seperti haloperidol, trifluoroperazin dan fluphenazine. Terjadi pada

kira-kira 10% pasien, lebih lazim pada pria muda.

Perkembangan gejala distonik ditandai oleh onsetnya yang awal selama

perjalanan terapi dengan neuroleptik dan tingginya insiden pada laki-laki, pada

pasien di bawah usia 30 tahun, dan pada pasien yang mendapatkan dosis tinggi

medikasi antipsikotik potensi tinggi (contohnya haloperidol). Walaupun onset

seringkali tiba-tiba, onset dalam tiga sampai enam jam dapat terjadi, seringkali

keluhan pasien berupa lidah yang tebal atau kesulitan menelan. Kontraksi

distonik dapat cukup kuat sehingga dapat mendislokasi sendi, distonia laring

dapat menyebabkan tercekik jika pasien tidak segera diobati. Otot-otot yang

Page 19: Lapkas Ekstra Piramidal

sering mengalami spasme adalah otot leher (torticolis dan retrocolis), otot rahang

(trismus, gaping, grimacing), lidah (protrusion, memuntir) atau spasme pada

seluruh otot tubuh (opistotonus). Pada mata terjadi krisis okulogirik. Distonia

glosofaringeal yang menyebabkan disartri, disfagia, kesulitan bernafas hingga

sianosis bahkan kematian. Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya

yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang

juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.

Mekanisme patofisiologi distonia adalah tidak jelas, walaupun perubahan

dalam konsentrasi neuroleptik dan perubahan yang terjadi dalam mekanisme

homeostatik di dalam ganglia basalis mungkin merupakan penyebab utama

distonia.

Reaksi distonia akut dapat merupakan penyebab utama dari ketidakpatuhan

dengan neuroleptik karena pandangan pasien mengenai medikasi secara

permanen dapat memudar oleh suatu reaksi distonik yang menyusahkan.

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM

IV adalah sebagai berikut :

Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang

tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan

dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan

untuk mengobati gejala ekstrapiramidal)

A. Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang

berhubungan dengan medikasi neuroleptik :

1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh

Page 20: Lapkas Ekstra Piramidal

(misalnya tortikolis)

2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)

3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-

faring, disfonia)

4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar

(disartria, makroglosia)

5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah

6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)

7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh

B. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari

setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi

neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk

mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat

antikolinergik)

C. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan

mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda

bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat

berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi

neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis

(misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau

pemberian antikolinergik)

D. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi

neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena

kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului

pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis

Page 21: Lapkas Ekstra Piramidal

fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa

adanya perubahan medikasi.

Terapi distonia harus dilakukan dengan segera, paling sering dengan

antikolinergik atau antihistaminergik. Jika pasien tidak berespon dengan tiga

dosis obat-obatan tersebut dalam dua jam, klinisi harus mempertimbangkan

penyebab gerakan distonik selain medikasi neuroleptik.

Untuk terapi distonia akut akibat neuroleptik, diberikan 1-2 mg benztropine

IM. Jika dosis tersebut tidak efektif dalam 20-30 menit, obat harus diberikan lagi.

Jika pasien masih tidak membaik dalam 20-30 menit lagi, suatu benzodiazepin

(contohnya 1 mg lorazepam IM/IV) harus diberikan.

Distonia laring merupakan kegawatdaruratan medis dan harus diberikan 4

mg benztropine dalam 10 menit, diikuti dengan 1-2 mg lorazepam, diberikan

perlahan melalui jalur IV.

Profilaksis terhadap distonia diindikasikan pada pasien yang pernah

memiliki satu episode atau pada pasien yang berada dalam resiko tinggi (laki-laki

muda yang menggunakan antipsikotik potensi tinggi). Profilaksis diberikan

selama 4-8 minggu dan selanjutnya diturunkan perlahan selama periode 1-2

minggu untuk memungkinkan pemeriksaan tentang kebutuhan untuk melanjutkan

terapi profilaksis.

2. Tardive Diskinesia

Sindrom yang terjadi lambat dalam bentuk gerakan koreoatetoid abnormal,

gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik

memperngaruhi gaya berjalan, berbicara dan bernafas. Ini merupakan efek yang

Page 22: Lapkas Ekstra Piramidal

tidak dikehendaki dari obat antipsikotik. Hal ini disebabkan defisiensi kolinergik

yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamine di putamen kaudatus. Wanita

tua yang diobati jangka panjang mudah mendapatkan gangguan tersebut

walaupun dapat terjadi di perbagai tingkat umur pria ataupun wanita. Prevalensi

bervariasi tetapi tardive diskinesia diperkirakan terjadi 20-40% pasien yang

berobat lama. Tetapi sebagian kasus sangat ringan dan hanya sekitar 5% pasien

memperlihatkan gerakan berat nyata. Namun, kasus-kasus berat sangat

melemahkan sekali, yaitu mempengaruhi berjalan, berbicara, bernapas dan

makan.

Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan

pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Pasien dengan gangguan afektif

atau organik juga lebih berkemungkinan untuk mengalami tardive diskinesia.

Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan

umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika

mempertimbangkan tardive diskinesia meliputi penyakit Hutington, Khorea

Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat

(contohnya levodopa, stimulant dan lain-lain). Perlu dicatat bahwa tardive

diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamine

pasca sinaptik akibat blokade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom

Parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak

mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit di obati. Banyak

terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat

beragam dan kadang-kadang terbatas. Tardive diskinesia dini atau ringan mudah

terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan

Page 23: Lapkas Ekstra Piramidal

Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang

mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.

3. Akatisia

Sejauh ini EPS ini merupakan yang paling sering terjadi. Kemungkinan

terjadi pada sebagian besar pasien yang diobati dengan medikasi neuroleptik,

terutama pada populasi pasien lebih muda. Manifestasi berupa keadaan gelisah,

gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak, atau rasa gatal pada otot.

Manifestasi klinis berupa perasaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang

panjang, dengan gerakan yang gelisah, umumnya kaki yang tidak bisa tenang.

Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya

menjadi cemas atau iritabel, juga telah dilaporkan sebagai rasa gatal pada otot.

Pasien dapat mengeluh karena anxietas atau kesukaran tidur yang dapat

disalah tafsirkan sebagai gejala psikotik yang memburuk. Sebaliknya, akatisia

dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik akibat perasaan tidak nyaman

yang ekstrim. Agitasi, pemacuan yang nyata, atau manifestasi fisik lain dari

akatisia hanya dapat ditemukan pada kasus yang berat. Juga, akinesis yang

ditemukan pada parkinsonisme yang ditimbulkan neuroleptik dapat menutupi

setiap gejala objektif akatisia.

Akatisia sering timbul segera setelah memulai medikasi neuroleptik dan

pasien sudah pada tempatnya mengkaitkan perasaan tidak nyaman. Yang

dirasakan ini dengan medikasi sehingga menimbulkan masalah ketidakpatuhan

pasien.

4. Sindrom Parkinson

Page 24: Lapkas Ekstra Piramidal

Merupakan EPS lain yang agak lazim yang dapat dimulai berjam-jam

setelah dosis pertama neuroleptik atau dimulai secara berangsur-angsur setelah

pengobatan bertahun-tahun. Patofisiologi parkinsonisme akibat neuroleptik

melibatkan penghambatan reseptor D2 dalam kaudatus pada akhir neuron

dopamin nigrostriatal, yaitu neuron yang sama yang berdegenerasi pada penyakit

Parkinson idiopatik. Pasien yang lanjut usia dan wanita berada dalam resiko

tertinggi untuk mengalami parkinsonisme akibat neuroleptik.

Manifestasinya meliputi berikut :

Akinesia : yang meliputi wajah topeng, kejedaan dari gerakan spontan,

penurunan ayunan lengan pada saat berjalan, penurunan kedipan, dan

penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada

bentuk yang yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status

perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk

memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala

negative skizofrenia.

Tremor : khususnya saat istirahat, secara klasik dari tipe penggulung pil.

Tremor dapat mengenai bibir dan otot-otot perioral yang disebut sebagai

“sindrom kelinci”. Keadaan ini dapat dikelirukan dengan tardive diskinesia,

tapi dapat dibedakan melalui karakter lebih ritmik, kecerendungan untuk

mengenai rahang daripada lidah dan responnya terhadap medikasi

antikolinergik.

Kekakuan otot/rigiditas : merupakan gangguan pada tonus otot, yaitu derajat

ketegangan yang ada pada otot. Gangguan tonus otot dapat menyebabkan

hipertonia. Hipertonia yang berhubungan dengan parkinsonisme akibat

neuroleptik adalah tipe pipa besi (lead-pipe type) atau tipe roda gigi (cogwheel

Page 25: Lapkas Ekstra Piramidal

type). Istilah tersebut menggambarkan kesan subjektif dari anggota gerak atau

sendi yang terkena.

Penanganan Efek Samping Ekstrapiramidal

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga banyak ahli menganjurkan

terapi profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat EPS atau para

pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis tinggi.

Medikasi anti-EPS yang digunakan terutama adalah antikolinergik. Hal tersebut

disebabkan adanya reaksi reciprocal (berlawanan) antara dopamin dan asetilkolin pada jalur

dopamin nigrostriatal. Neuron-neuron dopamin pada jalur nigrostriatal mempunyai koneksi

postsinaps dengan neuron kolinergik. Secara normal, dopamin menghambat pelepasan

asetilkolin dari postsinaps jalur kolinergik nigrostriatal. Obat antipsikosis menghambat

dopamin sehingga menyebabkan aktivitas asetilkolin yang berlebih.

Untuk mengurangi efek asetilkolin yang berlebih ini, digunakan antikolinergik.

Sehingga untuk setiap pemberian obat antipsikosis diberikan antikolinergik untuk mencegah

adanya efek samping ekstrapiramidal.

Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan

komplians yang buruk. Antikolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan

kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Selain dengan medikasi anti-EPS,

dapat juga dilakukan pengurangan dosis obat anti-psikosis atau dengan mengganti obat anti-

psikosis dengan jenis atipikal seperti olanzapine, risperidone, atau clozapine. Obat anti-

psikosis atipikal ini hanya sedikit berpengaruh terhadap jalur nigrostriatal sehingga efeknya

terhadap ekstrapiramidal lebih sedikit dibanding obat-obat anti-psikosis konvensional.

Page 26: Lapkas Ekstra Piramidal

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik

medikasi anti-EPS pasien dengan pengawasan seksama terhadap kembalinya gejala.

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni dengan mulai

menurunkan dosis antipsikotik, kemudian pasien diterapi dengan antihistamin seperti

difenhidramine, sulfas atropine atau antikolinergik seperti trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per

hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap

minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek

samping sindrom ekstrapiramidal ini. Dosis antipsikotik diturunkan hingga mencapai dosis

minimal yang efektif. Antihistamin yang dapat digunakan seperti difenhidramin pada pasien

yang mengalami distonia. Selain itu epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek

menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin

berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan untuk memberikan terapi

profilaktik. Gejala ini penting terutama pada pasien dengan riwayat pernah mengalami

sindrom ekstrapiramidal sbelumnya atau pada pasien yang mendapat neuroleptik poten dosis

tinggi.

Umumnya disarankan bahwa suatu usaha dilakukan setiap enam bulan untuk menarik

medikasi anti-ekstrapiramidal sindrom pasien dengan pengawasan seksama terhadap

kembalinya gejala.

Pasien yang mengalami reaksi distonia akut harus segera ditangani. Penghentian obat-

obatan psikotik yang sangat dicurigai sebagai penyebab reaksi harus dilakukan sesegera

mungkin. Pemberian terapi antikolinergik merupakan terapi primer yang diberikan. Bila

reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih

Page 27: Lapkas Ekstra Piramidal

praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan

benztropin 2 mg IM.

Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan

pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

Untuk sindrom parkinson diberikan agen antikolinergik. Sementara untuk tardive dyskinesia

ditangani dengan pemakaian obat neuroleptik secara bijaksana untuk dosis medikasinya.

Levadopa yang dipakai untuk pengobatan penyakitan Parkinson idiopatik umumnya untuk

tidak efektif akibat efek sampingnya yang berat. Namun penggunaan golongan

Benzodiazepin dapat mengurangi gerakan involunter pada banyak pasien.

G. DIAGNOSIS BANDING

Sindrom ekstrapiramidal dapat didiagnosis banding sebagai berikut:

1.Sindroma putus obat

2.Parkinson disease

3.Tetanus

4.Gangguan gerak ekstrapiramidal primer

5.Distonia primer

Pada pasien dengan tardive diskinesia dapat pula didiagnosis banding meliputi penyakit

Hutington, Khorea Sindenham

H. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila

gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan

sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga

distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena,

kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama

lebih dari 10 tahun.

Page 28: Lapkas Ekstra Piramidal

I. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga

menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gaangguan gerak saat berjalan dapat

menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur. Pada distonia laring dapat

menyebabkan asfiksia dan kematian. Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri

yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan

mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine

dapat mengeksaserbasi gejala psikotik

Page 29: Lapkas Ekstra Piramidal

BAB III

KESIMPULAN

Sindrom ekstrapiramidal merupakan kumpulan gejala yang dapat diakibatkan oleh

penggunaan antipsikotik. Antipsikotik yang menghambat transmisi dopamine di jalur

striatonigral juga memberikan inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya

gangguan transmisi di korpus striatum menyebabkan depresi fungsi motorik. Umumnya

terjadi pada pemakaian jangka panjang antipsikotik tipikal dan penggunaan dosis tinggi.

Manifestasi sindrom ini dapat berupa reaksi distonia, sindrom parkinsonisme, dan tardive

dyskinesia.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi

profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik,

kemudian pasien diterapi dengan antihistamin dan antikolinergik seperti trihexyphenidil

(THP) dan difenhidrami. Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat

umumnya diberikan Beztropin secara IV atau difenhidramin secara IM. Untuk akatisia

diberikan antikolinergik dan amantadin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti

klonazepam dan lorazepam.

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki

prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala

yang irreversibel hingga kematian.

Penggunaan obat-obat antipsikosis mempunyai efek samping yang bisa

mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat. Hal tersebut dapat

menyebabkan penyakit pasien berlangsung kronis dan terus-menerus relaps.

Page 30: Lapkas Ekstra Piramidal

Efek samping ekstrapiramidal memang mengganggu pasien, namun tanpa obat

antipsikosis sulit untuk pasien untuk sembuh dari gejala psikosisnya.

Dengan adanya agen antikolinergik, diharapkan efek samping ekstrapiramidal akibat

obat antipsikosis dapat ditekan dan pasien dapat lebih teratur mengkonsumsi obat antipsikosis

dan diharapkan dapat meningkatkan kesembuhan dari pasien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, dkk.Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 vol.2. Jakarta : EGC

2. Soedarmo, Sumarmo S.Poorwo, dkk.2008.Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi

kedua.jakarta : Balai penerbit IDAI

Page 31: Lapkas Ekstra Piramidal

3. Kemenkes RI. 2005. Di download dari www.depkes.go.id/downloads/Tata

%20Laksana%20DBD.pdf pada tanggal 25 Juni 2014 pukul 23.00 WIB

4. Gama, Herry, dkk. 2005. Ilmu Kesehatan Anak Pedoman diagnosis dan Terapi edisi ke

3 . Jakarta

5. Hamzah, Emelia Suroto, dkk. 2008.Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).Jakarta :

Departemen Kesehatan Republik Indonesia

6. Roespandi, Hanny, dkk. 2008. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah

Sakit.jakarta : Departemen Kesehatan RI