Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Bidang unggulan: Sosial, Ekonomi, dan BahasaKode/Nama Bidang Ilmu: 561/Ekonomi Pembangunan
LAPORAN AKHIR PENELITIANHIBAH GRUP RISET UDAYANA
JUDUL PENELITIAN
POLA PERAWATAN PENDUDUK LANJUT USIA (LANSIA)PADA MASYARAKAT BALI
NAMA GRUP RISET: KEPENDUDUKAN
Prof. Dr. Drs. I Ketut Sudibia, SU (0031124819)Dr. A.A. I. N. Marhaeni, SE., MS (0031126264)Dr. I G A Manuati Dewi, SE., MA (0027046203)Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, SE., MP (0006076003)
Dibiayai olehDIPA PNBP Universitas Udayana
Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan PenelitianNomor: 246-356/UN14.2/PNL.01.03.00/2015, tanggal 21 April 2015
iii
DAFTAR ISI
Halaman sampul.................................................................................................................... iHalaman pengesahan ............................................................................................................ iiDaftar isi ............................................................................................................................... iiiDaftar tabel&gambar ............................................................................................................ ivRingkasan ............................................................................................................................. viiAbstrak ................................................................................................................................. viii
BAB I. PENDAHULUAN................................................................................................... 11.1. Latar Belakang................................................................................................... 11.2. Permasalahan Penelitian .................................................................................... 91.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 91.4. Manfaat Penelitian ............................................................................................. 101.5. Urgensi Penelitian............................................................................................... 10
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 132.1. Keberadaan Penduduk Lansia.............................................................................. 132.2. Usia Harapan Hidup dan Penduduk Lanjut Usia ................................................. 162.3. Lansia dan Dukungan Sosial ............................................................................... 192.4. Pendekatan dan Nilai-nilai Agama Hindu dalam Perawatan Lansia ................... 242.5. Teori tentang Lansia ............................................................................................ 27
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................................... 303.1. Rancangan Penelitian........................................................................................... 303.2. Lokasi Penelitian ................................................................................................. 303.3. Variabel Penelitian............................................................................................... 313.4. Populasi, Sampel, Responden, dan Informan ...................................................... 313.5. Instrumen Penelitian ............................................................................................ 333.6. Metode Pengumpulan Data.................................................................................. 333.7.Teknik Analisis Data ............................................................................................ 34
BAB IV. KARAKTERISTIK RESPONDEN PENELITIAN ......................................... 354.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian ................................................................... 354.2. Karakteristik Responden...................................................................................... 38
4.2.1. Karakteristik responden lansia .................................................................. 384.2.2. Karakteristik responden keluarga lansia ................................................... 47
4.3. Pola Perawatan Penduduk Lansia........................................................................ 544.3.1. Pola perawatan yang dilakukan oleh lansia .............................................. 544.3.2. Pola perawatan yang dirasakan oleh lansia............................................... 764.3.3. Pola perawatan yang diinginkan oleh lansia ............................................. 894.3.4. Pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh keluarganya ......... 994.3.5. Pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan oleh keluarganya
di Masa Depan .......................................................................................... 124
BAB V. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .................................................. 1285.1. Simpulan.............................................................................................................. 1285.2. Implikasi Kebijakan............................................................................................. 129
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... 131LAMPIRAN......................................................................................................................... 135
iv
Daftar Tabel
Tabel Judul Halaman1.1 Perkembangan Angka Mortalitas Bayi dan Angka
Harapan Hidup Penduduk di Provinsi Bali MenurutHasil Sensus Penduduk (SP) 1971, 1980, 1990, 2000,dan 2010
4
1.2 Perkembangan Jumlah dan Distribusi Penduduk Lansiadi Provinsi BaliBerdasarkan Hasil SP 1971, 1980, 1990,2000, dan 2010
5
3.1 Jumlah Responden Dirinci Menurut Lokasi Penelitian(Kabupaten/Kota, Kecamatan, dan Desa/Kelurahan)
32
4.1 Distribusi Responden Lansia Menurut Pendidikan (%) 404.2 Distribusi Responden Lansia Menurut Umur Lima
Tahunan (%)42
4.3 Distribusi Responden Keluarga Lansia Menurut Umur,Pada Studi Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia PadaMasyarakat Bali di Kota Denpasar dan KabupatenTabanan, 2015
49
4.4 Distribusi Pendidikan Responden Keluarga Lansia, PadaPola Perawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat
Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan, 2015
50
4.5 Distribusi Status Perkawinan Responden KeluargaLansia Pada Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia PadaMasyarakat Bali di Kota Denpasar dan KabupatenTabanan, 2015
51
4.6 Distribusi Umur Anak Terakhir Responden KeluargaLansia,Studi Pola Perawatan Penduduk Lanjut UsiaPada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan KabupatenTabanan, 2015
53
4.7 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Fisik
57
4.8 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Fisik di Kedua Wilayah Penelitian
59
4.9 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap SehatSecara Fisik Menurut Pendidikan (%)
60
4.10 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Psikis
63
4.11 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Psikis Menurut Daerah Tempat Tinggal
64
4.12 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap SehatSecara Psikis Menurut Pendidikan (%)
66
4.13 Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap SehatSecara Sosial/Ekonomi
67
v
Tabel Judul Halaman4.14 Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat
Secara Sosial/Ekonomi Menurut Daerah TempatTinggal
70
4.15 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehatdari Aspek Sosial Ekonomi menurut Pendidikan (%)
71
4.16 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Spiritual
74
4.17 Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehatsecara Spiritual menurut Daerah Tempat Tinggal
74
4.18 Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap SehatSecara Spiritual menurut Pendidikan (%)
75
4.19 Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh Lansiadari Keluarganya Selama ini
78
4.20 Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh LansiaMenurut Kabupaten/Kota
81
4.21 Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga 824.22 Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga
Menurut Kabupaten/Kota84
4.23 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yangDilakukan Dalam Perawatan Fisik Penduduk Lansia,Studi Pola Perawatan Penduduk Lansia PadaMasyarakat Bali
102
4.24 Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal DenganUpaya-upaya yang Dilakukan Responden DalamPerawatan Penduduk Lansia Secara Fisik
105
4.25 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan Responden Dalam PerawatanPenduduk Lansia Secara Fisik
108
4.26 Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan Responden Dalam PerawatanPenduduk Lansia Secara Fisik
111
4.27 Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upayayang Dlakukan Responden Dalam Perawatan PendudukLansia Secara Fisik
112
4.28 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yangDilakukan Dalam Perawatan Psikis Penduduk Lansia,Studi Pola Perawatan Penduduk Lansia PadaMasyarakat Bali
115
4.29 Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal DenganUpaya-upaya yang Dilakukan Responden DalamPerawatan Penduduk Lansia Secara Psikis
117
vi
Tabel Judul Halaman4.30 Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya-
upaya yang Dilakukan Responden Dalam PerawatanPenduduk Lansia Secara Psikis
118
4.31 Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan Responden Dalam PerawatanPenduduk Lansia Secara Psikis
119
4.32 Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upayayang Dilakukan Responden Dalam Perawatan PendudukLansia Secara Psikis
121
4.33 Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yangDilakukan Dalam Perawatan Penduduk Lansia dariSegi Sosial/Ekonomi
122
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Lansia Hasil SP 1971-2010 di Provinsi Bali.
vii
RINGKASAN
Penelitian tentang “Pola Perawatan Penduduk Lanjut Usia (Lansia) PadaMasyarakat Bali” bertujuan untuk (1) mengetahui pola perawatan penduduk lansiayang dilakukan oleh anaknya selama ini; (2) merumuskan pola perawatanpenduduk lansia yang diinginkan oleh anaknya di masa depan; (3) mengetahuipola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia selama ini; dan (4)merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masadepan. Lokasi penelitian dipilih di dua tempat, yang memiliki ciri yang kontrasyaitu di daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Daerah perkotaan diwakili olehKota Denpasar, sedangkan daerah perdesaan diwakili oleh Kabupaten Tabanan.Dengan memilih lokasi penelitian yang berlatar belakang perkotaan dan perdesaandiharapkan dapat diperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang polaperawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali. Penelitian ini menggunakanrancangan penelitian campuran, antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif.Pengambilan sampel dilakukan secara probability sampling, yang diawali denganmelakukan pendataan (listing) terhadap kepala keluarga yang orang tuanya sudahlansia (KK lansia). Jumlah sampel yang diambil sebanyak 150 KK lansia, dandalam setiap KK lansia akan diambil 2 orang responden, yaitu kepala keluargadan orang tuanya yang lansia. Teknik pengumpulan data dilakukan denganwawancara terstruktur, baik kepada KK maupun orang tuanya yang lansia.Sementara itu data kualitatif tentang perawatan lansia juga dikumpulkan melaluidiskusi kelompok terfokus dengan para pemuka adat dan pemuka agama Hindu.Data yang sudah dikumpulkan akan dianalisis secara deskriptif kualitatif denganmenggunakan tabel distribusi frekuensi tunggal dan tabel silang.
Kata kunci : perawatan lansia, penduduk lansia
viii
POLA PERAWATAN PENDUDUK LANJUT USIA (LANSIA)PADA MASYARAKAT BALI
Oleh:I G A Manuati Dewi, Ketut Sudibia, A A I N Marhaeni, Ni Nyoman Yuliarmi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Udayana, Denpasar, 80232,Telp/Fax : 0361229508,
Email: [email protected]
Abstrak
Perkembangan penduduk lansia di Provinsi Bali selama empat dasawarsa terakhir(1971-2010) menunjukkan peningkatan hampir tiga kali lipat (380.114/ 137.619), padahalpeningkatan jumlah penduduk kurang dari dua kali lipat (3.890.757/ 2.120.091). Salah satumasalah yang muncul dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk lansia adalah terkaitdengan perawatan penduduk lansia. Sehubungan dengan permasalahan di atas, dapatdikemukakan tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) mengetahui pola perawatan penduduk lansiaoleh anaknya selama ini; (2) merumuskan pola perawatan penduduk lansia yang diinginkananaknya di masa depan; (3) mengetahui pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansiaselama ini; dan (4) merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia di masadepan.
Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang salah satu anggotakeluarganya adalah orang tua yang sudah lansia. Orang tua lansia adalah orang tua yang padasaat penelitian ini dilakukan sudah berumur 60 tahun ke atas. Proses penentuan jumlah populasidiawali dengan melakukan listing KK lansia di empat desa, masing-masing dua desa di KotaDenpasar dan dua desa di Kabupaten Tabanan. Berdasarkan hasil listing KK lansia, selanjutnyadiambil sampel secara acak yaitu sebanyak 75 KK lansia di Kota Denpasar dan 75 KK lansia diKabupaten Tabanan. Di setiap sampel KK lansia dipilih dua orang responden, yaitu kepalakeluarga (KK) dan penduduk lansia. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancaraterstruktur dan diskusi kelompok terfokus atau focus group discussion (FGD). Data yang telahdikumpulkan dan diedit selanjutnya diproses melalui komputer dan analisis data dilakukan secaradeskriptif kualitatif.
Temuan-temuan penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut: 1). Pola perawatanyang dilakukan oleh keluarga lansia selama ini antara lain berkaitan dengan aspek psikis sepertiselalu menjaga perasaan lansia, dari aspek sosial ekonomi seperti menjaga komunikasi yangintens dengan lansia, dari aspek fisik seperti memeriksakan kesehatan lansia jika sakit, dari aspekspiritual yaitu mengajak bersembahyang secara rutin; 2). Pada masa yang akan datang anaktetap menginginkan untuk merawat orang tuanya sebagai bagian dari kewajiban anak kepadaorang tua dan anak masih merasa membutuhkan bimbingan orang tua; 3). Lansia merasakanpola perawatan yang diterimanya selama ini sangat memadai antara lain berkaitan denganperawatan kesehatan, perhatian, cinta kasih, dan dari pemenuhan kebutuhan secara ekonomi; 4).Lansia tetap menginginkan dirinya dirawat oleh keluarga pada masa yang akan datang, karenaorang tua merasa nyaman jika dirawat oleh keluarganya dan orang tua menganggap hal ituadalah sebuah bentuk tanggung jawab anak terhadap orang tua. Hasil penelitian memberikanimplikasi bahwa pada masa yang akan datang institusi yang terkait diharapkan ikut berperanlebih aktif dalam memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tetang pola perawatanlansia yang lebih berkualitas baik dari segi kesehatan fisik, kesehatan non fisik, maupunpeningkatan kepedulian masyarakat terhadap kelompok penduduk lansia tersebut.
Kata kunci: lansia, pola perawatan, keluarga, tanggungjawab, kasih sayang
ix
THE CARETAKING PATTERNS OF THE ELDERLYPOPULATION IN THE COMMUNITY OF BALI
By:I G A Manuati Dewi, Ketut Sudibia, A A I N Marhaeni, Ni Nyoman YuliarmiThe Faculty of Economics and Business, University of Udayana, Denpasar,80232,
Phone/Fax : 0361 229508, email: [email protected]
Abstract
The development of the elderly or senior citizens in the Province of Bali over the pastfour decades (1971-2010) showed an increase almost three-fold (380, 114/137, 619), whereas theincrease in population was less than two-fold (3,890,757 / 2,120,091). One of the problems thatarise with the increasing number of elderly people is related to the caretaking of the elderlypopulation. In connection with the above problems, it can be stated the objectives of this study, i.e.to: (1) determine the pattern of caretaking of the elderly population by their children all this time;(2) formulate a caretaking patterns of the elderly population which is desired by their children inthe future; (3) determine the patterns of care experienced by the elderly population far; and (4)formulate a treatment pattern desired by the elderly population in the future.
The study population was the whole heads of the family (KK) whose ones of their familymembers are the elderly parents. An elderly parent is a parent who is at the time of this researchhave been aged 60 years old and above. The process of determining the amount of the populationwas started with a listing of elderly households in four villages, respectively, two villages inDenpasar and two villages in Tabanan. Based on the results of listing of the elderly households,samples were further taken randomly as many as 75 families of elderly in the city of Denpasar and75 families of elderly in Tabanan. In each sample of the elderly households, it has been selectedtwo respondents, namely the head of families (KK) and the elderly population. Data collection wasconducted by using structured interviews and focus group discussion (FGD). The data that havebeen collected and edited, then processed by a computer and the data analysis was conducted bydescriptive qualitative methods.
The findings of the study can be stated as follows: 1). Patterns of caretaking by thefamilies of the elderly people during this time, among others, related to the psychological aspect,for example, always keep the feeling of the elderly, the social and economic aspects such askeeping the intense communication with the elderly, the physical aspects such as health check ifthe elderly are sick, the spiritual aspects such as praying together regularly; 2). In the future, thechildren still want to take care for their parents as part of the obligation of children to parents andthey still feel the need for parental guidance; 3). The elderly people feel that the patterns ofcaretaking they had so far was good enough in terms of health care, attention, love, and of thefulfillment of economic needs; 4). The elderly still wanted to be cared for by their families in thefuture, because the parents feel comfortable if they are taken care by their own families and theparents think that it is the responsibility of children to their parents. Results of the study impliesthat in future the relevant institutions are expected to participate more actively in providing CIE(Communication, Information, and Education) to provide good quality patterns of care for theelderly in terms of physical health, non-physical health, as well as awareness-raising societytowards the elderly population group.
Keywords: the elderly, patterns of caretaking, family, responsibility, love
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah kependudukan tidak hanya dihadapi oleh negara-negara yang
sedang berkembang, namun juga dihadapi oleh negara-negara maju. Negara-
negara sedang berkembang menghadapi persoalan kependudukan yang terkait
dengan angka kelahiran dan kematian yang tinggi, bahkan ada pula yang
menghadapi laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, dan jumlah penduduk yang
besar. Di sisi lain, negara-negara maju yang telah berhasil menurunkan angka
kelahiran, angka kematian, dan laju pertumbuhan penduduknya, ternyata tidak
luput dari masalah kependudukan. Menurunnya angka kematian memberi
petunjuk bahwa angka harapan hidup (life expectancy) penduduk cenderung
mengalami peningkatan. Dampak dari angka harapan hidup yang cenderung
meningkat akan berpengaruh terhadap semakin besarnya jumlah penduduk lanjut
usia (lansia). Meningkatnya proporsi penduduk lansia di negara-negara maju akan
memunculkan masalah baru, karena mereka yang selama ini bekerja di sektor
pemerintah atau swasta sudah pensiun dari pekerjaannya atau produktivitasnya
sudah mulai menurun. Secara alamiah kekuatan fisik mereka mulai menurun, dan
berbagai jenis penyakit akibat penuaan mulai menggerogotinya, seperti
ingatannya mulai menurun, kemampuan penglihatannya mulai berkurang, dan
sebagainya. Mereka akan menjadi orang-orang yang tergantung. Beban
2
ketergantungan (age dependency burden ratio) mulai bergeser dari anak-anak ke
penduduk lansia.
Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, sebetulnya
sudah menyadari adanya persoalan kependudukan sejak Indonesia merdeka,
meskipun dalam lingkup yang relatif terbatas. Penggarapan masalah
kependudukan yang lebih komprehensif dilakukan pada era Orde Baru. Pada masa
itu pemecahan masalah kependudukan dilakukan melalui pendekatan
pembangunan integratif, baik secara regional maupun sektoral, terarah, dan
berkesinambungan. Provinsi Bali yang merupakan salah satu provinsi di Indonesia
juga tidak tinggal diam, melainkan ikut secara aktif ambil bagian dalam
memecahkan berbagai masalah kependudukan yang terjadi di Provinsi Bali. Di
antara berbagai program kependudukan yang diprogramkan pemerintah pada
masa itu, program kependudukan yang akan disoroti pada uraian ini adalah
program keluarga berencana (KB).
Program KB secara resmi mulai dilaksanakan di Indonesia, dan demikian
pula di Provinsi Bali adalah pada awal tahun 1970-an. Pada periode tersebut
tingkat kelahiran penduduk di Provinsi Bali relatif tinggi, yaitu sekitar 6 kelahiran
per wanita (Sudibia, 1992). Angka kelahiran ini menurun dengan tajam selama
dua dasawarsa (1967/1970 – 1987/1990), yaitu dari sekitar 6 menjadi 2,3
kelahiran per wanita. Atau selama 20 tahun terakhir telah terjadi penurunan angka
kelahiran sebesar 61,7 persen di Provinsi Bali. Penurunan angka kelahiran yang
dicapai oleh Provinsi Bali ternyata melebihi target nasional, yang mencanangkan
penurunan angka kelahiran sebesar 50 persen selama periode 1970-1990.
3
Penurunan angka kelahiran yang demikian tinggi di Provinsi Bali terutama
didukung oleh tingginya partisipasi masyarakat dalam program KB. Hal ini
terlihat dari peningkatan proporsi peserta KB aktif dari 35,08 persen (1976/1977)
menjadi 46,01 persen (1979/1980), dan naik lagi secara tajam menjadi 84,82
persen (1969/1990) (Laporan tahunan BKKBN Provinsi Bali). Keberhasilan Bali
meraih partisipasi masyarakat untuk mengikuti program KB tidak terlepas dari
pendekatan yang digunakan oleh pemerintah, yang populer dengan sebutan “KB
Sistem Banjar”.
Berbeda dengan sistem pemerintahan pada era Orde Baru yang lebih dikenal
dengan sistem pemerintahan sentralistis, maka pada era Reformasi dikenal dengan
sistem pemerintahan desentralisasi. Pada era desentralisasi, pelaksanaan program
KB mengalami pengendoran, karena kelembagaan program KB sudah berubah
dengan berbagai variasi. Ada yang berbentuk kantor KB tersendiri, ada yang
digabung dengan instansi pemberdayaan perempuan, ada yang digabung dengan
instansi kependudukan dan catatan sipil, ada pula yang digabung dengan beberapa
instansi lain seperti instansi tenaga kerja dan transmigrasi, kependudukan dan
catatan sipil, serta pemberdayaan perempuan. Dengan adanya kelembagaan KB
yang sangat bervariasi pada tingkat kabupaten/kota, telah mengakibatkan
terjadinya kesulitan koordinasi dalam pelaksanaan program KB. Pada akhirnya
hal ini berdampak pada sulitnya menurunkan angka kelahiran pada era
desentralisasi, sehingga hasil SDKI 2002/2003 dan SDKI 2007 menunjukkan
angka kelahiran yang stagnan pada angka 2,1 kelahiran per wanita (BPS, 2003;
4
BPS, 2008). Bahkan yang lebih parah adalah meningkatnya angka kelahiran
menjadi 2,3 kelahiran per wanita pada hasil SDKI 2012 (BPS, 2013).
Pembicaraan di atas, lebih banyak mengupas tentang kelahiran atau
fertilitas, dan sama sekali belum menyentuh tentang mortalitas. Ukuran mortalitas
yang akan dibahas berikut ini adalah angka mortalitas bayi (infant mortality rate),
yang menggambarkan banyaknya kematian anak yang berumur kurang dari satu
tahun per 1000 kelahiran hidup pada tahun tertentu. Angka mortalitas bayi
umumnya berkorelasi negatif dengan usia harapan hidup; artinya makin rendah
angka mortalitas bayi suatu daerah akan makin panjang usia harapan hidup
penduduk di daerah tersebut, dan demikian pula sebaliknya. Hubungan antara
angka mortalitas bayi dan usia harapan hidup penduduk Provinsi Bali dapat
diikuti pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1Perkembangan Angka Mortalitas Bayi dan Angka Harapan Hidup Penduduk
di Provinsi Bali Menurut Hasil Sensus Penduduk(SP) 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010
Sensus Penduduk Angka Mortalitas Bayi Angka Harapan Hidup
SP 1971 130 48,27
SP 1980 92 55,37
SP 1990 51 64,33
SP 2000 36 68,05
SP 2010 20 72,67
Sumber: Putrawan (2012).
Berdasarkan hasil SP 1971 diperoleh bahwa angka mortalitas bayi sebesar
130 kematian per 1000 kelahiran hidup, dan pada periode yang sama angka
harapan penduduk adalah 48,27 tahun. Periode berikutnya (hasil SP 1980),
5
terungkap bahwa angka mortalitas bayi mengalami penurunan dari 130 menjadi
92 kematian per 1000 kelahiran hidup. Pada periode yang sama, angka harapan
hidup justru menunjukkan peningkatan dari 48,27 tahun menjadi 55,37 tahun.
Selanjutnya jika diperhatikan hasil SP 2010, terungkap bahwa angka kematian
bayi cenderung turun menjadi 20 kematian per 1000 kelahiran hidup. Sementara
itu, di pihak lain angka harapan hidup cenderung semakin meningkat menjadi
72,67 tahun. Berdasarkan hasil pembahasan singkat di atas, dapat disimpulkan
bahwa antara angka mortalitas bayi dan angka harapan hidup.terdapat hubungan
yang negatif.
Semakin meningkatnya angka harapan hidup penduduk akan membawa
konsekuensi bertambah besarnya jumlah maupun proporsi penduduk yang
tergolong lansia. Batasan penduduk lansia yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penduduk yang berumur 60 tahun ke atas. Penduduk lansia dapat dirinci ke
dalam kelompok-kelompok umur berikut ini: 60-64, 65-69, 70-74, dan ≥75 tahun.
Gambaran tentang jumlah dan distribusi penduduk lansia menurut kelompok umur
dapat diikuti pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2Perkembangan Jumlah dan Distribusi Penduduk Lansia di Provinsi Bali
Berdasarkan Hasil SP 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010Umur SP 1971 SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010
60-64 59,062 71,942 80,590 95,239 123,214
65-69 29,235 37,995 51,669 69,864 101,301
70 -74 26,590 39,006 46,359 54,631 70,608
≥75 22,732 41,029 51,896 56,140 84,991
Jumlah: 137.619 189.972 230.514 275.874 380.114
Sumber: Hasil SP 1971, 1980, 1990, 2000, dan 2010.
6
Data pada Tabel 1.2 memberikan informasi bahwa jumlah penduduk lansia
pada tahun 2010 berlipat ganda hampir tiga lipat (380.114/137.619), sementara
jumlah penduduk Bali hanya berlipat ganda hampir dua kali lipat (3.890.757/
2.120.091). Semakin cepatnya peningkatan jumlah penduduk lansia di Provinsi
Bali akan menimbulkan berbagai masalah tidak semata-mata terkait dengan
pemenuhan kebutuhan yang bersifat konsumtif atau kegiatan-kegiatan yang
bersifat produktif atau sosial. Namun demikian yang lebih penting adalah
pemeliharaan atau perawatan penduduk lansia agar mereka tetap sehat dan
berumur panjang, serta dapat menjalani sisa kehidupan dengan aman dan nyaman.
Secara grafis perkembangan jumlah penduduk lansia di Provinsi Bali selama
periode 1971-2010 dapat diikuti pada Gambar 1.1.
Dalam masyarakat Bali dikenal adanya ajaran “catur guru”, yang meliputi
(1) guru swadhyaya; (2) guru wisesa; (3) guru pengajian; dan (4) guru rupaka
yang wajib dihormati oleh setiap orang. Guru swadhyaya adalah bakti atau hormat
kepada Tuhan Yang Maha Esa, sementara guru wisesa adalah bakti atau hormat
kepada pemerintah, guru pengajian adalah bakti atau hormat kepada guru di
sekolah, dan guru rupaka adalah bakti atau hormat kepada orang tua (Sudarsana,
2005). Terkait dengan penelitian ini, pembahasan “catur guru” akan difokuskan
pada guru rupaka. Setiap orang/anak tidak hanya bakti atau hormat kepada orang
tuanya, akan tetapi juga berkewajiban untuk memelihara/merawat orang tuanya,
bahkan sampai orang tua meninggal pun tetap menjadi tanggung jawabnya.
7
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Lansia Hasil SP 1971-2010 di Provinsi Bali.
Kondisi yang digambarkan di atas sejalan dengan salah satu ketentuan
dalam kitab Upanisad bahwa ibu dan ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam
rumah tangga, sehingga dengan demikian ibu dan ayah patut mendapatkan puji
dan bakti dari anak-anak atau keturunannya (Suprapti dkk, 2014; Radhakrihnan,
2008). Demikian besarnya jasa orang tua dan leluhur serta banyaknya pahala yang
akan diperoleh bila anak berbakti kepada orang tua atau leluhur, maka
sesungguhnya bakti kepada orang tua atau leluhur sudah merupakan kewajiban
moral.
Bakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya secara eksplisit
tercantum pula dalam kitab Manawa Dharmasastra yang menyebutkan bahwa
seorang putra yang dilahirkan dari perkawinan terhormat, dan jika putra tersebut
0
50
100
150
200
250
300
350
400
SP 1971 SP 1980
PENDUDUK LANSIA (RIBUAN ORANG)
7
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Lansia Hasil SP 1971-2010 di Provinsi Bali.
Kondisi yang digambarkan di atas sejalan dengan salah satu ketentuan
dalam kitab Upanisad bahwa ibu dan ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam
rumah tangga, sehingga dengan demikian ibu dan ayah patut mendapatkan puji
dan bakti dari anak-anak atau keturunannya (Suprapti dkk, 2014; Radhakrihnan,
2008). Demikian besarnya jasa orang tua dan leluhur serta banyaknya pahala yang
akan diperoleh bila anak berbakti kepada orang tua atau leluhur, maka
sesungguhnya bakti kepada orang tua atau leluhur sudah merupakan kewajiban
moral.
Bakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya secara eksplisit
tercantum pula dalam kitab Manawa Dharmasastra yang menyebutkan bahwa
seorang putra yang dilahirkan dari perkawinan terhormat, dan jika putra tersebut
SP 1980 SP 1990 SP 2000 SP 2010
PENDUDUK LANSIA (RIBUAN ORANG)
7
Gambar 1.1 Jumlah Penduduk Lansia Hasil SP 1971-2010 di Provinsi Bali.
Kondisi yang digambarkan di atas sejalan dengan salah satu ketentuan
dalam kitab Upanisad bahwa ibu dan ayah sebagai leluhur adalah sinar suci dalam
rumah tangga, sehingga dengan demikian ibu dan ayah patut mendapatkan puji
dan bakti dari anak-anak atau keturunannya (Suprapti dkk, 2014; Radhakrihnan,
2008). Demikian besarnya jasa orang tua dan leluhur serta banyaknya pahala yang
akan diperoleh bila anak berbakti kepada orang tua atau leluhur, maka
sesungguhnya bakti kepada orang tua atau leluhur sudah merupakan kewajiban
moral.
Bakti seorang anak kepada orang tua atau leluhurnya secara eksplisit
tercantum pula dalam kitab Manawa Dharmasastra yang menyebutkan bahwa
seorang putra yang dilahirkan dari perkawinan terhormat, dan jika putra tersebut
SP 2010
≥75
70 -74
65-69
60-64
UMUR
8
melakukan hal-hal yang berguna maka akan dapat menebus dosa-dosa 10 tingkat
leluhurnya dan 10 tingkat keturunannya (Puja dan Rai Sudharta, 2004). Keturunan
wajib berbakti kepada leluhurnya dan leluhur wajib mencurahkan kasih sayang
kepada keturunannya. Kalau keturunan berbakti kepada leluhurnya maka bakti itu
juga akan dapat mengurangi dosa-dosa leluhurnya. Begitu pula, kalau leluhur
mencurahkan kasih sayang dan kepada keturunannya maka hal itu akan menebus
dosa-dosa keturunannya. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa antara leluhur dan
keturunannya.terdapat jalinan hubungan yang sangat erat.
Sementara itu, sejalan dengan keberhasilan program KB yang digambarkan
di atas maka ukuran besarnya keluarga mengalami pergeseran dari keluarga besar
menjadi keluarga kecil. Di samping itu keberhasilan pembangunan serta merta
membawa perubahan pada pengetahuan, sikap, dan perilaku dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern. Berbagai perubahan yang dipaparkan di atas
berpengaruh pula terhadap pandangan yang selama ini mengutamakan pendidikan
anak laki-laki, kini juga memberikan peluang yang sama terhadap pendidikan
anak-anak perempuan. Kemajuan pendidikan generasi muda ternyata berdampak
pula terhadap pekerjaan yang mereka inginkan; mereka bukannya melanjutkan
kegiatan yang selama ini digeluti orang tuanya, melainkan berusaha untuk
mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih menjanjikan di tempat lain (Sudibia,
2004). Dengan adanya berbagai pergeseran di atas, baik pengetahuan, sikap,
perilaku, maupun pekerjaan tentunya akan berpengaruh pula terhadap pola
perawatan penduduk lanjut usia dikaitkan dengan azas “catur guru”, khususnya
“guru rupaka”.
9
Kondisi yang disebutkan terakhir tentunya akan menyebabkan persoalan-
persoalan dilematis, antara kewajiban untuk memelihara/merawat orang tuanya
dan di sisi lain mereka juga harus bekerja di tempat lain untuk menghidupi diri
atau keluarganya. Hal ini bukanlah masalah sederhana, karena berkaitan erat
dengan kelangsungan hidup orang tuanya maupun keluarga anak itu sendiri (jika
sudah berkeluarga). Untuk memecahkan masalah-masalah dilematis seperti
diungkapkan di atas, maka penelitian tentang “Pola Perawatan Penduduk Lanjut
Usia (Lansia) Pada Masyarakat Bali’ sangat mendesak untuk dilakukan.
1.2 Permasalahan Penelitian
Bertolak dari uraian pada latar belakang dapat dirumuskan beberapa
masalah penelitian sebagai berikut.
1) Bagaimanakah pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan oleh
anaknya selama ini?
2) Bagaimanakah pola perawatan penduduk lansia yang diiinginkan
anaknya di masa depan?
3) Bagaimanakah pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk lansia
selama ini?
4) Bagaimanakah pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk lansia
di masa depan?
1.3 Tujuan Penelitian
1) Untuk mengetahui pola perawatan penduduk lansia yang dilakukan
oleh anaknya selama ini.
10
2) Untuk merumuskan pola perawatan penduduk lansia yang diinginkan
oleh anaknya di masa depan.
3) Untuk mengetahui pola perawatan yang dirasakan oleh penduduk
lansia selama ini.
4) Untuk merumuskan pola perawatan yang diinginkan oleh penduduk
lansia di masa depan.
1.4 Manfaat Penelitian
1) Manfaat Akademik
Manfaat penelitian ini tidak hanya dimaksudkan untuk menambah
khasanah ilmu pengetahuan terkait dengan pola perawatan penduduk
lansia, akan tetapi juga untuk menganalisis nilai-nilai kearifan lokal
yang selama memiliki peranan penting dalam perawatan penduduk
lansia pada masyarakat Bali.
2) Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
masukan yang sangat berharga bagi para pembuat kebijakan (policy
maker) dalam menyusun kebijakan-kebijakan sosial terutama yang
terkait dengan pola perawatan penduduk lansia pada masyarakat Bali di
masa depan.
1.5 Urgensi Penelitian
Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh pemerintah pada masa yang
lalu juga tercermin dari keberhasilan pelaksanaan dalam bidang kependudukan,
11
khususnya program KB. Pelaksanaan program KB di Provinsi Bali telah berhasil
menurunkan fertilitas dan mortalitas bayi. Angka fertilitas total berhasil
diturunkan dari sekitar 6 kelahiran menjadi 2,3 kelahiran per wanita selama
periode 1970-2012. Begitu pula angka mortalitas bayi berhasil diturunkan dari
130 kematian menjadi 20 kematian per 1000 kelahiran hidup selama periode
1971-2010. Sementara itu, di pihak lain angka harapan hidup penduduk
mengalami peningkatan secara signifikan, dari sekitar 46,27 tahun menjadi 72,67
tahun selama periode 1971-2010. Sebagai konsekuensi dari meningkatnya angka
harapan penduduk, maka jumlah penduduk lanjut usia (60 tahun ke atas) juga
meningkat pesat. Selama kurun waktu sekitar 40 tahun (1971-2010), penduduk
lanjut usia (lansia) telah meningkat hampir tiga kali lipat, yaitu dari 137.619 orang
pada tahun 1971 menjadi 380.114 orang pada tahun 2010.
Meningkatnya jumlah penduduk lansia, akan menimbulkan berbagai
permasalahan, karena peningkatan jumlah lansia tidak sekedar hanya terkait
dengan kebutuhan yang bersifat fisik, tetapi juga kebutuhan psikis, sosial, maupun
spiritual. Apalagi penduduk lansia adalah tergolong penduduk rentan, berbagai
penyakit mulai menghampirinya seperti tulang keropos (osteoporosis),
kelumpuhan, darah tinggi, jantung koroner, stroke, demikian pula pendengaran
dan penglihatannya mulai terganggu.
Kemajuan pembangunan telah serta merta mengubah pola kehidupan
dalam masyarakat, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Masyarakat
dengan banyak anak (keluarga besar) berubah menjadi keluarga kecil. Mereka
akan lebih mampu meningkatkan pendidikan anak-anaknya, dan setelah tamat
12
anak-anak cenderung bekerja sesuai dengan aspirasi mereka. Bahkan
kemungkinan besar mereka akan bekerja jauh dari tempat tinggal orang tuanya.
Sementara itu, orang tuanya yang selama ini telah melahirkan, memelihara,
membesarkan, dan mendidiknya, telah menjadi penduduk lansia dengan berbagai
permasalahan hidup. Padahal dalam masyarakat Bali dikenal adanya ajaran “catur
guru”, yang salah satunya adalah guru rupaka (orang tua), artinya anak wajib
bakti atau hormat pada orang tuanya. Bakti atau hormat pada orang tua bukan
semata-mata pada saat orang tuanya masih hidup, namun juga setelah orang
tuanya meninggal (menjadi leluhur) kewajiban bakti tersebut tetap dilakukan.
Berangkat dari fenomena dilematis seperti di atas, maka sangat mendesak
dilakukan penelitian tentang pola perawatan penduduk lansia pada masyarakat
Bali agar harmoni kehidupan dalam masyarakat Bali tetap terjaga
keberlanjutannya.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keberadaan Penduduk Lanjut Usia
Penduduk lanjut usia (lansia) muncul sebagai tantangan sosial-ekonomi
terbesar di seluruh belahan dunia (Novak et al., 2015). Pengaruh keberadaan
lansia terhadap kondisi dan kebijakan sosial-ekonomi serta luaran individu
merupakan salah satu isu penting di sebagian besar negara-negara sedang
berkembang (Tae-jeong & Hewings, 2013; Vidovicova, 2014). Hal ini disebabkan
pertumbuhan penduduk lansia di negara-negara sedang berkembang semakin
cepat─pada tahun 2050 penduduk lansia di dunia diproyeksikan mencapai 2
milyar orang, dua pertiganya terdapat di kelompok negara ini, seperti yang
dikemukakan oleh Chand dan Tung (2014). Oleh karena itu, menurut kelompok
penulis ini, negara-negara sedang berkembang akan memiliki waktu yang lebih
pendek untuk melakukan penyesuaian dan pengembangan infrastruktur serta
kebijakan yang diperlukan untuk menanggulangi pertumbuhan penduduk
lansianya.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan menyatakan
bahwa lansia adalah seseorang yang karena usianya mengalami perubahan
biologis, fisik, kejiwaan, dan sosial. Keberadaan penduduk lansia erat kaitannya
dengan terminologi proses penuaan (aging). Dalam kaitan dengan itu, Geller dan
Simpson (1999) (dalam Halme & Moilanen, 2004) memandang penuaan sebagai
suatu proses kronologis umur atau penurunan kapasitas fungsi-fungsi fisik,
14
mental, dan sosial. Arking (2006) (dalam Dalgaard & Strulik, 2014) menyatakan
bahwa penuaan didefinisi sebagai hilangnya fungsi intrinsik, kumulatif, dan
progresif yang pada akhirnya mengarah pada kematian. Dijelaskan bahwa
penuaan individu sebaiknya lebih dipandang sebagai kejadian yang tergantung
pada proses, dibanding kejadian, yang tergantung pada waktu. Artinya, bisa jadi
seseorang yang berumur 65 tahun berada pada kondisi kesehatan yang lebih baik
dibandingkan dengan orang lain yang berusia 50 tahun. Studi tentang lansia
menjadi menarik karena adanya diversitas pada kelompok penduduk ini
(http://us.sagepub.com). Diberikan contoh bahwa para peneliti tertarik untuk
mengetahui mengapa seseorang yang telah berumur 70 masih bisa menduduki
jabatan presiden, sedangkan orang lain yang berusia sama sudah menjalani
perawatan di tempat penitipan lansia. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
penuaan tidak berkaitan dengan “jam biologis” (biological clock) sebagai
mekanisme yang mengendalikan aktivitas fisiologis organisme yang berubah
secara harian, mingguan, tahunan, atau siklus reguler lainnya.
Saat ini, Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah
penduduk lansia terbanyak di dunia, yakni mencapai 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen
dari jumlah penduduk, dan diproyeksikan oleh Bappenas akan mencapai 36 juta
orang pada tahun 2025 (http://www.buk.kemkes.go.id). Kondisi ini menyebabkan
Indonesia dikategorikan sebagai negara berstruktur penduduk tua yang pada
akhirnya membawa konsekuensi pada peningkatan kebutuhan pelayanan terhadap
lansia (Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga, 2013).
15
Menurut Sutikno (2011), jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun
2025 dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990 akan mengalami kenaikan
sebesar 414 persen, yang mana kondisi ini merupakan kenaikan paling tinggi di
seluruh dunia. Mengacu pada Departemen Kesehatan (2003) peneliti ini
mengadakan komparasi antar negara-negara di dunia tentang kenaikan tersebut
pada periode yang sama yaitu Kenya (347%); Brazil (255%); India (242%); China
(220%); Jepang (129%); Jerman (66%); dan Swedia (33%). Jika diadakan
komparasi antar provinsi di Indonesia, dari kelompok tiga besar provinsi yang
memiliki proporsi penduduk lansia tertinggi, Bali menempati urutan kedua yaitu
mencapai 10,51 persen, disusul oleh Provinsi Jawa Timur (10,35%), sedangkan
Daerah Istimewa Yogyakarta berada pada urutan teratas (13,65%) (BPS
Indonesia, 2005).
Prosespenuaan penduduk dapat diukur melalui tiga besaran yakni
pertumbuhan umur median penduduk, pertumbuhan indeks penuaan, dan
pertumbuhan persentase penduduk lansia (Novak et al., 2015). Pertama, umur
median merupakan umur yang membagi penduduk menjadi dua kelompok sama
besar─separuh penduduk lebih muda dan separuh lebih tua dari umur median.
Kedua, indeks penuaan merupakan rasio antara penduduk yang lebih tua (umur 65
tahun atau lebih) dengan penduduk yang lebih muda (umur 0-14 tahun) dikalikan
dengan 100. Ketiga, persentase penduduk lansia adalah jumlah penduduk umur 65
tahun atau lebih, dari total penduduk dikalikan 100 persen.
16
2.2. Usia Harapan Hidup dan Penduduk Lanjut Usia
Angka harapan hidup global meningkat hampir sebesar 20 persen selama
50 tahun belakangan ini (Oster et al., 2013). Naiknya angka harapan hidup
merupakan faktor utama penuaan penduduk (Novak et al., 2015). Tingginya
proporsi penduduk lansia di suatu wilayah sejalan dengan naiknya usia harapan
hidup (life expectancy). Semakin tinggi usia harapan hidup, terdapat
kecenderungan semakin besar proporsi penduduk lansia di suatu wilayah. Salah
satu sebab utama meningkatnya usia harapan hidup di suatu wilayah/negara
adalah meningkatnya pendapatan perkapita penduduknya (Dalgaard & Strulik,
2014). Selanjutnya dijelaskan bahwa kondisi ini memunculkan gagasan
“kemakmuran mengarah pada umur panjang” (prosperity leads to greater
longevity). Selain itu, usia harapan yang tinggi adalah sebagai konsekuensi dari
meningkatnya kondisi kesehatan masyarakatnya. Kondisi kesehatan masyarakat
yang tinggi menyebabkan penduduknya dapat bertahan hidup relatif lebih lama
dibandingkan dengan kelompok masyarakat dengan taraf kesehatan yang lebih
rendah.
Jika dikaitkan dengan proporsi penduduk lansia di Indonesia, hal ini dapat
mencerminkan bahwa kondisi kesehatan penduduk Indonesia relatif lebih baik
dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki proporsi penduduk lansia
yang lebih rendah. Sejalan dengan itu, dapat juga dinyatakan bahwa kondisi
kesehatan penduduk Provinsi Bali lebih baik dari pada provinsi lain di Indonesia
dengan proporsi penduduk lansia yang relatif lebih kecil.
17
Secara umum, kondisi di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat
berbedaan angka harapan hidup menurut jenis kelamin, dimana perempuan
berumur lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki (Clark & Peck, 2012).
Dijelaskan bahwa perbedaan gaya hidup menjadi salah satu penyebab terjadinya
kondisi ini. Merokok dan mengkonsumsi minuman keras, menyebabkan laki-laki
cenderung lebih pendek umurnya dibandingkan dengan perempuan karena
perilaku tersebut dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti kanker, kerusakan
paru-paru, dan sakit jantung. Laki-laki juga dikatakan lebih terpengaruh secara
emosional oleh tekanan sosial-ekonomi dibandingkan perempuan. Jika laki-laki
mengalami masalah dalam hidupnya, mereka cenderung menyimpannya
sendiri─tidak berbagi dengan orang lain untuk meringankan beban tersebut.
Selain itu, perempuan memiliki keunggulan secara biologis dibandingkan laki-laki
karena pengalaman menstruasi dan reproduksi.
Selain meningkatnya angka harapan hidup, menurut Chand dan Tung
(2014), meningkatnya jumlah penduduk lansia juga disebabkan oleh penurunan
angka kelahiran dan penurunan angka kematian yang menggantikan penurunan
kelahiran. Dijelaskan bahwa penyebab turunnya angka kelahiran antara lain
disebabkan oleh meningkatnya status sosial perempuan, perluasan ketersediaan
mekanisme pengendalian kelahiran, meningkatnya akses terhadap pendidikan
tinggi untuk kaum perempuan, meningkatnya biaya perawatan anak, serta
melemahnya norma atau nilai yang menekankan pentingnya keluarga besar.
Meningkatnya status sosial perempuan antara lain direfleksikan dengan
meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan (Novak et al., 2015).
18
Perempuan yang bekerja cenderung memiliki akses yang lebih luas terhadap
pengetahuan tentang kesehatan dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup.
Sementara itu, “baby boom” kohor, terutama di negara maju, yang saat ini
mencapai usia sekitar 65 tahun, tidak diikuti oleh kohor yang lebih muda,
sehingga proporsi mereka menjadi besar. Usia harapan hidup mereka tinggi
karena pada fase awal transisi demografi saat mana mereka dilahirkan, angka
kematian bayi cenderung turun sebelum angka kelahiran, mengalami menurun.
Jumlah penduduk lansia yang relatif tinggi, terutama yang berada pada
kelompok tidak potensial, memerlukan penanganan secara “lebih mengkhusus”
dibandingkan dengan mereka yang termasuk ke dalam kategori potensial.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Penduduk Lanjut Usia, dinyatakan bahwa penduduk lansia (seseorang berusia 60
tahun ke atas) dibedakan menjadi dua kelompok yaitu Lanjut Usia Potensial dan
Lanjut Usia Tidak Potensial (Suprapti, dkk, 2014). Lanjut Usia potensial adalah
lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat
menghasilkan barang dan/atau jasa, sedangkan Lanjut Usia Tidak Potensial adalah
lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung
pada bantuan orang lain. Sementara itu, mengacu pada Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), Notoatmojo (2007) (dalam Sutikno, 2011), lansia meliputi:
1. Usia pertengahan (middle age), kelompok usia 45-59 tahun.
2. Usia lanjut (elderly), kelompok usia 60-70 tahun.
3. Usia lanjut tua (old), kelompok usia 75-90 tahun.
4. Usia sangat tua (very old), kelompok usia di atas 90 tahun.
19
Pada hakikatnya, menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti
seseorang telah melalui tiga tahap kehidupannya yaitu masa kanak-kanak, masa
dewasa, dan masa tua, yang mana ketiga tahap tersebut berbeda baik secara
biologis maupun psikologis (http://repository.usu.ac.id). Secara biologis, pada
masa tuanya, seseorang akan mengalami kemunduran secara fisik, misalnya pada
pendengaran, penglihatan, serta organ tubuh yang lain. Secara psikologis,
hambatan akan dialami akibat kemunduran daya ingat (fungsi kognitif). Menurut
Dalgaard dan Strulik (2014), kondisi ini disebut sebagai proses akumulasi defisit
(process of deficit accumulation) yang mengacu pada pendekatan reduksionis
yang menyatakan bahwa organisme menua karena terjadinya proses penuaan
organ tubuh yang diakibatkan oleh penuaan jaringan dan sel tubuh. Secara umum
Nugroho (2002) (dalam Sutikno, 2011) mengemukakan bahwa perubahan-
perubahan yang terjadi pada lansia meliputi perubahan fisik, mental, psikososial,
dan spiritual.
2.3. Lansia dan Dukungan Sosial
Kemunduran kondisi fisik dan psikologis, khususnya, dapat
mempengaruhi aktivitas sehari-hari (activity of daily living) para lansia. Activity of
daily living merupakan kegiatan-kegiatan yang dibutuhkan seseorang dalam
rangka menyelenggarakan kehidupannya secara mandiri (Bozo et al., 2009).
Kelompok peneliti ini juga menjelaskan bahwa para lansia, terutama yang
tergolong pada kelompok tidak potensial, cenderung tergantung pada orang lain
dalam melakukan aktivitas sehari-harinya. Kegiatan-kegiatan dasar yang tidak
20
dapat dilakukan secara mandiri seperti makan, mandi, berpakaian, serta buang air,
dapat menjadi pemicu munculnya ketidakberdayaan, sehingga akhirnya dapat
menimbulkan stres atau depresi.
Kebutuhan akan bantuan orang lain menyebabkan para lansia perlu
memperoleh dukungan secara sosial. Bozo et al. (2012) mengemukakan bahwa
dukungan sosial diperlukan terutama dalam kaitannya dengan ketidakberdayaan
fungsional lansia dalam melaksanakan kebutuhan fisik sehari-hari. Dukungan
semacam ini pada umumnya lebih mudah diperoleh pada masyarakat yang bersifat
kolektivis yang dicirikan oleh lebih kentalnya ikatan kekeluargaan/kekerabatan,
dibandingkan dengan pada budaya individualis dengan gaya hidup yang
cenderung mengutamakan kepentingan individu.
Terdapat variasi antar peneliti tentang definisi dukungan sosial. Secara
mendasar, dukungan sosial merefleksikan informasi tentang persepsi terhadap
terpenuhinya kebutuhan akan perlindungan, dukungan, dan umpan balik (Dewi,
2013) atau dukungan yang diterima melalui proses komunikasi dan interaksi
sosial dengan pihak seperti teman, rekan kerja, dan keluarga/kerabat (Lobburi,
2012). Weiss (1974) (dalam Cutrona & Russel, 1987) mengemukakan bahwa
terdapat enam komponen dukungan sosial yakni:
1. Guidance: hubungan yang memungkinkan individu untuk memperoleh
nasehat atau informasi yang diperlukan.
2. Reliable alliances: jaminan tentang adanya keberadaan seseorang yang
dapat diandalkan bantuannya.
21
3. Reassurance of worth: perolehan pengakuan atas kemampuan, keahlian,
dan penghargaan dari orang lain.
4. Opportunity of nurturance: perasaan dibutuhkan oleh orang lain (salah
satu aspek hubungan interpersonal).
5. Attachment: perolehan rasa aman karena adanya kedekatan emosional.
Sumber dukungan ini dapat berasal dari pasangan hidup, kerabat atau
teman dekat.
6. Social integration: perasaan tentang keterlibatan dalam suatu kelompok
yang memungkinkan dapat membagi minat serta melakukan aktivitas yang
sama. Dukungan semacam ini memungkinkan individu memperoleh rasa
nyaman, aman, senang, serta rasa memiliki identitas.
Sementara itu, menurut Safrino (2002) dukungan sosial dapat dibedakan
menjadi empat bentuk yakni:
1. Dukungan emosional: melibatkan ekspresi rasa simpati dan perhatian terhadap
individu yang menyebabkan timbulnya rasa nyaman, dicintai, dan diperhatikan.
2. Dukungan penghargaan: melibatkan ekspresi yang berupa pernyataan setuju
dan penilaian positif terhadap ide-ide, perasaan, dan performa orang lain.
3. Dukungan instrumental: melibatkan bantuan langsung, misalnya bantuan
keuangan atau bantuan dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu.
4. Dukungan informasi: dapat berupa saran, pengarahan, atau umpan balik tentang
pemecahan masalah.
Menurut Wadsworth dan Owens (2007), dukungan sosial dicirikan oleh
tindakan-tindakan yang menunjukkan ketanggapan terhadap kebutuhan orang lain.
22
Kelompok peneliti ini mengkategorikan dukungan sosial ke dalam dua kategori
umum yakni yang bersumber dari pekerjaan dan nonpekerjaan. Berhubung
responden utama dalam studi ini adalah lansia yang notabene tidak bekerja atau
tidak lagi bekerja (pensiun), maka dukungan sosial difokuskan pada dukungan
yang bersumber dari aspek nonpekerjaan, yaitu teman, pasangan, dan/atau
anggota keluarga yang lain.
Dukungan dari pasangan (oleh Watkins et al., 2012 disebut sebagai “the
closest significant other”), atau anggota keluarga lain, akan dapat membantu para
lansia dalam menghadapi dan menanggulangi hambatan-hambatan yang dihadapi
baik dari segi fisik, fisiologis, maupun psikologis. Dilihat dari dukungan
pasanganpun, terdapat beberapa variasi seperti yang dikemukakan oleh Peeters
dan Le Blanc (2001). Dijelaskan bahwa dukungan pasangan ini dapat
dikategorikan menjadi dukungan emosional (empati, kasih sayang, dan
kepercayaan); penilaian (penyaluran informasi yang relevan sebagai evaluasi diri);
dan instrumental (bantuan praktis).
Lansia membutuhkan dukungan keluarga akibat penurunan kemandirian
mereka yang terutama disebabkan oleh kondisi fisik yang menurun. Dukungan
keluarga merupakan informasi verbal, non-verbal, saran, bantuan nyata, dan
tingkah laku dari orang-orang yang akrab berupa kehadiran, kepedulian,
kesediaan, dan hal-hal yang dapat memberikan keuntungan emosional serta
meningkatkan fisik lansia, sehingga mendorong mereka untuk mandiri dalam
pemenuhan aktivitas sehari-hari (Kuntjoro, 2002) (dalam Khulaifah, dkk,
2012).Hasil studi kelompok peneliti ini terhadap lansia yang tinggal bersama
23
anak-anaknya di Desa Sembayat Timur, Kecamatan Manyar, Kabupaten Gresik,
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara dukungan keluarga
dengan kemandirian lansia dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari. Berarti,
semakin tinggi dukungan yang diberikan oleh keluarga (termasuk anak-anaknya),
semakin tinggi pula tingkat kemandirian lansia dalam melaksanakan kegiatan
harian mereka. Sebaliknya, semakin rendah dukungan yang diberikan oleh
keluarga, maka tingkat kemandirian lansia dalam melaksanakan aktivitas sehari-
hari akan semakin rendah.
Pada studi yang dilakukan oleh Departemen Sosiologi, Universitas
Airlangga pada Tahun 2013, disebutkan bahwa terdapat 4 kelompok dukungan
keluarga. Pertama, dukungan emosional antara lain berupa ungkapan empati,
kasih sayang, dan kepedulian. Kedua, dukungan penghargaan lewat ungkapan
hormat dan dorongan untuk hidup sehat dan beraktivitas. Ketiga, dukungan
instrumental, meliputi bantuan langsung yang bersifat nyata dan dalam bentuk
materi. Keempat, dukungan informatif yang mencakup meminta nasehat,
petunjuk, saran/umpan balik dalam menyelesaikan permasalahan keluarga. Dalam
definisi lansia dan jenis dukungan ini tersirat bahwa dukungan keluarga
direfleksikan melalui upaya perawatan keluarga baik terhadap fisik maupun
emosional lansia.
Selain terjadinya defisiensi pada kondisi fisik dan psikologis, lansia juga
mengalami perubahan psikososial yang sifatnya beragam bergantung pada
kepribadian individu yang bersangkutan (http://repository.usu.ac.id). Tidak jarang
seseorang merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan masa pensiun setelah
24
sekian lama aktif bekerja, misalnya. Selain itu, menurut Andrioni dan Schmidt
(2011), lansia merupakan kelompok rentan yang seringkali mengalami masalah
terkait dengan isolasi sosial, kesehatan yang buruk, kondisi keuangan yang buruk,
ketersediaan makanan yang tidak layak, dan kesepian. Kesepian biasanya
disebabkan oleh meninggalnya pasangan hidup, ketiadaan teman, dan tempat
tinggal yang terpisah engan anaak-anak. Sejalan dengan itu, van Marrewijk dan
Becker (2004) juga mengemukakan bahwa meningkatnya jumlah penduduk lansia
di suatu negara akan menimbulkan masalah selain berhubungan dengan naiknya
biaya kesehatan, juga berdampak buruk pada kondisi personal lansia seperti
rendahnya rasa percaya diri dan tidak memungkinkannya pencapaian determinasi
diri. Maka dari itu, dibutuhkan penanganan atau perawatan dengan pola tertentu
agar lansia dapat mencapai kehidupan yang sejahtera seperti yang diamanatkan
oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998.
2.4. Pendekatan dan Nilai-nilai Agama Hindu dalam Perawatan Lansia
Terdapat wacana bahwa bagi para lansia, perawatan yang tulus ikhlas dari
anak-anaknya akan dirasakan jauh lebih berharga dari pada dukungan berupa
materi. “Sewaktu kecil, orangtua yang merawat kita, setelah mereka tua, kitalah
yang harus merawat mereka” (http://telaga.org/audio), tampak sebagai pernyataan
yang menyiratkan bahwa anak memiliki tanggung jawab untuk menjaga kondisi
fisik dan psikologis orangtua. Terkait dengan hal ini, terdapat empat pendekatan
yang dapat digunakan untuk melakukan perawatan lansia. Meskipun keempat
pendekatan ini pada dasarnya digunakan sebagai acuan perawatan bagi lansia
25
pada tatanan klinik (keperawatan), tidak tertutup kemungkinan untuk diterapkan
di rumah tangga oleh anak-anak dalam merawat orangtuanya. Keempat
pendekatan tersebut terdiri dari pendekatan fisik, psikis, sosial, dan spiritual
(http://yh4princ3ss.wordpress.com). Dijelaskan lebih lanjut bahwa pada
pendekatan fisik, perawatan dilakukan dengan memperhatikan kesehatan,
kebutuhan, serta kejadian-kejadian yang dialami oleh lansia semasa hidupnya.
Kunci pendekatan psikis terletak pada pendekatan edukatif bagi lansia, misalnya
anak berperan sebagai pendukung dan “penterjemah” terhadap sesuatu yang asing.
Pendekatan sosial perawatan lansia dilakukan melalui diskusi, tukar pikiran,
bercerita, dan rekreasi. Pemberian ketenangan dan kepuasan batin dalam
hubungan dengan Tuhan atau agama terkait dengan perawatan melalui pendekatan
spiritual. Keempat jenis pendekatan ini dapat membantu lansia dalam
mempertahankan serta membesarkan daya hidup atau semangat hidupnya.
Indonesia sendiri merupakan negara yang masih memiliki kultur keluarga
besar yakni terdiri dari orang tua, anak dan cucu (Ningsi, 2013). Selanjutnya
dinyatakan bahwa keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang didalamnya
terdapat kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu
tempat di bawah suatu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Jika dikaitkan
dengan keberadaan lansia, kondisi ini bermakna bahwa anak (dan cucu) adalah
orang terdekat yang secara langsung bertanggungjawab untuk merawat
orangtuanya, terlebih pada saat orangtua sudah memasuki usia lanjut.
Berbeda halnya dengan hasil penelitian Khulaifah, dkk (2012), hasil studi
Ningsi (2013) terhadap responden lansia yang tinggal di Panti Werdha Dharma
26
Bakti, Palembang, menunjukkan adanya pergeseran perilaku anak kandung dalam
merawat orangtuanya yang lansia. Hal ini ditunjukkan oleh lansia yang dititipkan
di panti werdha tersebut senantiasa meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun.
Apakah hasil studi ini mencerminkan berkurangnya respek terhadap orangtua
seperti yang dinyatakan oleh O’Shea (1994), perlu dilakukan penelitian lebih
lanjut. Menurut peneliti ini, respek bisa berkonotasi negatif jika dihubungkan
dengan persepsi terhadap meningkatnya ketergantungan ketika seseorang beranjak
tua. Kedua hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kecenderungan
perbedaan pola perawatan oleh anak terhadap orangtuanya yang sudah memasuki
usia lanjut.
Sebagai Guru Rupaka, orangtua melahirkan dan membesarkan anak-
anaknya sebagai manusia, sehingga sudah sepatutnya anak memberi perhatian dan
dukungan moral agar orangtua tetap bergairah untuk hidup lebih lama, khususnya
bagi orangtua yang telah memasuki usia lanjut (http://bali.kemenag.go.id).
Berbakti adalah kewajiban setiap anak terhadap orangtuanya. Dalam pustaka Jawa
Kuno berjudul Putra Sasana diuraikan kewajiban setiap anak untuk menunjukkan
sikap hormat atau sujud bhakti terhadap orangtua (gurunya) serta pantangan-
pantangan sekaligus keharusan-keharusan yang mesti dilaksanakan (Sudharta,
1993). Dalam Kitab Taittiriya Upanisad I.11 dinyatakan bahwa ayah dan ibu
adalah sinar suci dalam rumah tangga, oleh karenanya mereka wajar memperoleh
bhakti dari keturunannya (Suprapti, dkk, 2014). Dari pernyataan ini secara implisit
dapat tersirat bahwa untuk menunjukkan pengabdian serta baktinya kepada
27
orangtua, anak berkewajiban untuk membalas budi orangtua yang mengadakannya
di dunia ini melalui ketulusikhlasan untuk merawat mereka di hari tuanya.
2.5. Teori Tentang Lansia
Kegunaan utama teori dalam sebuah studi adalah untuk menjelaskan dan
memprediksi (Neuman, 2000). Dijelaskan bahwa secara umum terdapat dua
makna tentang kegunaan penjelas dari sebuah teori, yakni penjelasan teoritis
(theoretical explanation) sebagai argumen logis yang menjelaskan mengapa
sesuatu terjadi dan penjelasan biasa (ordinary explanation) untuk menjelaskan
sesuatu, sehingga dapat bermakna keilmuan. Sementara itu memprediksi
merupakan suatu kegiatan untuk menyatakan sesuatu akan terjadi. Dalam
penelitian ini, teori digunakan untuk menjelaskan guna menyajikan struktur studi
dan memedomani pengembangan pertanyaan riset (pokok masalah).
Teori tentang proses penuaan (baca:lansia), pada umumnyaa
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yakni Teori Biologis, Teori Psikologis,
dan Teori Sosiologis (National Concil of Elderly, 1994). Teori Biologis dibagi
menjadi tiga yakni Teori Radikal Bebas, Teori Cross-Link, dan Teori Imunologis.
Pertama, Teori Radikal Bebas menyatakan bahwa proses penuaan diakibatkan
oleh adanya pengaruh radikal bebas dimana proses metabolisme oksigen
merupakan sumber radikal bebas yang terbesar. Kedua, Teori Cross-Link
menyatakan bahwa rigiditas tubuh disebakan oleh terjadinya reaksi kimia yang
menimbulkan senyawa antara molekul-molekul yang normal menjadi terpisah.
Ketiga, Teori imunologis menyatakan bahwa penuaan terjadi karena adanya
penurunan daya tahan tubuh (imun), sehingga tubuh kehilangan kemampuan
28
untuk membedakan proteinnya sendiri dengan protein asing. Akibatnya, sistem
imun menyerang dan menghancurkan jaringannya sendiri pada kecepatan yang
meningkat secara bertahap.
Teori Psikologis juga dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni Teori
pembebasan (Disengagement Theory), Teori Aktivitas (Activity Theory); dan
Teoi Kontinuitas (Coninuity Theory). Pertama, Teori Pembebasan menyatakan
bahwa orang yang menua cenderung menarik diri dari peran yng biasanya dan
terikat pada aktivitas yang lebih introspeksi dan berfokus pada diri sendiri. Kedua,
Teori Aktivitas mempostulasi bahwa lansia dengan keterlibatan yang lebih besar,
memiliki semangat dan kepuasan hidup yang lebih tinggi, penyesuaian serta
kesehatan mental yang lebih positif dari pada lansia yang kurang terlibat secara
sosial. Ketiga, Teori Kontinuitas adalah merupakan teori perkembangan yang
menyatakan bahwa kepribadian seseorang tetap sama dan perilaku akan lebih
mudah diprediksi seiring dengan terjadinya proses penuaan. Teori ini juga pada
dasarnya dirancang untuk menjelaskan proses penuaan yang berhasil/sukses.
Teori Sosiologis dikelompokkan menjadi Teori Modernisasi, Teori
Politikal Ekonomi, dan Teori Stratifikasi Sosial. Pertama, Teori Modernisasi
menjelaskan cara dengan mana perubahan sosial mempengaruhi posisi lansia.
Masyarakaat yang lebih modern, cenderung meletakkan lansia pada posisi yang
lebih periperal yang sedikit banyak diakibatkan oleh keberadaan keluarga luas
yang cenderung memisahkan orangtua dengan anak-anaknya. Kedua, Teori
Politikal Ekonomi, menjelaskan bagaimana struktur sosial dan ekonomi
menyebabkan situasi lingkungan negatif bagi orangtua. Ketiga, Teori Stratifikasi
29
Sosial menjelaskan bahwa usia, seperti halnya jenis kelamin dan suku bangsa,
bertindak sebagai alat untuk mengatur kehidupan sosial masyarakat. Dalam studi
ini, Teori Aktivitas digunakan sebagai acuan. Teori ini dipilih sebagai pedoman
karena studi ini dilakukan untuk melakukan pengkajian tentang keberadaan
penduduk lansia dalam melakukan aktivitasnya baik secara fisik, psikis, sosial-
ekonomi, maupun spiritualnya. Melalui pengkajian ini diharaapkan dapat
diketahui pola perawatan yang selama ini dilakukan oleh keluarga dan lansia serta
pola perawatan yang diinginkan oleh keluarga dan lansia itu sendiri.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Secara garis besar rancangan penelitian dapat dibagi menjadi tiga, yaitu
rancangan penelitian kuantitatif, kualitatif, dan campuran (mixed methods)
(Creswell, 2010). Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah rancangan penelitian campuran (mixed methods), yang merupakan
kombinasi antara pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Dalam rancangan
penelitian campuran ini di samping dikumpulkan data kuantitatif juga
dikumpulkan data kualitatif.
Penelitian dengan rancangan penelitian campuran dilakukan secara
bersamaan dengan tujuan saling melengkapi gambaran hasil studi mengenai
fenomena yang diteliti dan untuk memperkuat analisis penelitian. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif yang merupakan pendekatan utama (metode
primer) dan secara bersama-sama dengan metode kualitatif yaitu sebagai
pelengkap (metode sekunder). Penelitian campuran seperti yang diungkapkan di
atas disebut juga penelitian tidak berimbang atau concurrent embedded
(Sugiyono, 2012).
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di dua wilayah, yaitu wilayah perkotaan dan
wilayah perdesaan. Wilayah perkotaan diwakili oleh Kota Denpasar, sedangkan
31
wilayah perdesaan diwakili oleh Kabupaten Tabanan. Pemilihan kedua wilayah
ini dilakukan secara purposive, dengan dasar pertimbangan bahwa kedua wilayah
ini memiliki angka harapan hidup yang menduduki peringkat pertama dan kedua.
Menurut BPS (2014), angka harapan hidup tertinggi pada tahun 2013 dicapai oleh
Kabupaten Tabanan, dengan angka harapan hidup 74,91 tahun, sedangkan Kota
Denpasar menduduki tempat kedua dengan angka harapan hidup 73,46 tahun.
3.3 Variabel Penelitian
Secara garis besar variabel penelitiannya mencakup dua jenis variabel,
yaitu yang berkaitan dengan (1) karakteristik responden meliputi umur, jenis
kelamin, tempat tinggal, pendidikan, status pekerjaan, pekerjaan responden, dan
lapangan pekerjaan responden; (2) perawatan lansia, lebih dijabarkan lagi ke
dalam variabel-variabel yang menggambarkan kondisi fisik, psikis, sosial, dan
spiritual.
3.4 Populasi, Sampel, Responden, dan Informan
Populasi penelitian ini adalah seluruh kepala keluarga (KK) yang salah
satu anggota keluarganya adalah orang tuanya yang sudah lansia. Orang tua lansia
adalah orang tua yang pada saat penelitian ini dilakukan sudah berumur 60 tahun
ke atas. Untuk menyederhanakan istilah KK yang salah satu anggota keluarganya
adalah orang tuanya yang sudah lansia, selanjutnya diringkas dengan KK lansia.
Dengan demikian sampel penelitian ini adalah bagian dari KK lansia.
Persoalannya adalah, kerangka sampel (sampling frame) dari KK lansia tidak
32
tersedia, sehingga menyulitkan dalam pengambilan sampel secara acak (random).
Cara yang ditempuh untuk mengatasi masalah di atas adalah melakukan listing
terhadap KK lansia di dua desa dari satu kecamatan terpilih, untuk Kabupaten
Tabanan dan Kota Denpasar. KK lansia yang diambil sebagai sampel berjumlah
150 KK lansia yang didistribusikan secara merata di dua kabupaten/kota, yaitu 75
KK lansia di Kabupaten Tabanan dan 75 KK lansia di Kota Denpasar.
Pengambilan sampel KK lansia (di Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar)
dilakukan secara random berdasarkan hasil listing di masing-masing lokasi
penelitian.
Selanjutnya, berdasarkan sampel terpilih dilakukan wawancara terstruktur
terhadap responden penelitian, dari setiap KK yang terpilih sebagai sampel akan
diambil dua responden penelitian, yaitu seorang KK dan seorang orang tua lansia.
Rincian responden di masing lokasi penelitian dapat diikuti pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1Jumlah Responden Dirinci Menurut Lokasi Penelitian (Kabupaten/Kota,
Kecamatan, dan Desa/Kelurahan)
Lokasi Penelitian Responden Penelitian (Orang)
Kabupaten/Kota
Kecamatan Desa/Kelurahan KK Lansia Total
Denpasar DenpasarTimur
Sumerta75 75 150
Dangin Puri
TabananPenebel Buruan
75 75 150Jegu
Total : 150 150 300
33
Selain penentuan responden, dalam penelitian ini juga akan ditentukan
informan kunci yang diambil dari tokoh-tokoh masyarakat, seperti pemuka adat
dan pemuka agama Hindu. Penentuan informan kunci ini dimaksudkan untuk
menggali informasi yang bersifat kualitatif, untuk melengkapi hasil penelitian
secara kuantitatif.
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam penelitian akan digunakan tiga jenis instrumen penelitian, yaitu
daftar pertanyaan, panduan diskusi, dan tape recorder. Daftar pertanyaan atau
kuesioner dibuat secara rinci yang ditujukan kepada responden penelitian untuk
menggali informasi terkait dengan karakteristik responden, dan informasi tentang
pola perawatan lansia yang berkaitan kondsi fisik, psikis, sosial, dan spiritual.
Sementara itu, panduan diskusi dan tape recorder, digunakan pada saat
pengumpulan data melalui diskusi kelompok terfokus (focus group discussion).
Kegiatan diskusi kelompok terfokus adalah salah satu cara untuk mengumpulkan
data penelitian yang bersifat kualitatif.
3.6 Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pengumpulan data, yang
dimaksudkan agar data yang dikumpulkan betul-betul dapat digunakan untuk
memberikan gambaran yang lebih realistis terhadap obyek yang sedang diteliti.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
mencakup metode wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terfokus, dengan
rincian sebagai berikut:
34
1) Wawancara terstruktur, adalah wawancara yang dilakukan melalui tatap muka
langsung dengan responden dan menggunakan daftar pertanyaan atau
kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.
2) Diskusi Kelompok Terfokus adalah diskusi yang dilakukan dengan
menghadirkan para informan kunci, yang terdiri atas pemuka adat, pemuka
agama, dan para peneliti. Agar diskusi betul-betul terarah, jumlah peserta
diskusi kelompok terfokus berkisar antara 7 sampai dengan 10 orang. Untuk
menjamin kelancaran diskusi para peneliti dilengkapi dengan panduan diskusi
dan alat perekam diskusi (tape recorder).
3.7 Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan akan diedit atau diperiksa, untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan selama pengumpulan data
lapangan. Setelah edting data dilakukan, langkah berikutnya adalah melakukan
data entry dengan komputer. Jika semua data sudah dimasukkan dan dinyatakan
bersih dari kesalahan, proses selanjutnya adalah pengolahan data dengan SPSS
PC+. Melalui beberapa fase pengolahan data seperti di atas, selanjutnya
ditentukan teknik analisis data yang digunakan mengupas masalah penelitian.
Penelitian ini tergolong penelitian campuran, sehingga analisis yang digunakan
adalah teknik analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggunakan tabel distribusi
tunggal dan tabel silang.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Bali yang hanya memiliki luas wilayah 5.636,66 km2 atau0,29 per sen
dari luas wilayah Indonesia, sudah cukup dikenal sebagai salah satu destinasi
wisata baik untuk wisatawan domestic maupun mancanegara . Wilayah Bali
terbagi dalam enam wilayah daratan (pulau), yaitu Pulau Bali sebagai pulau
terbesar, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan,
Pulau Serangan, dan PulauMenjangan. Sementara jika dilihat dari posisinya,
Provinsi Bali secara astronomis terletak pada 8°03’40” - 8°50’48” Lintang
Selatan dan 114°25’53” - 115°42’40” Bujur Timur. Berbatasan dengan Laut Bali
di sebelah utara, Samudra Indonesia di sebelah selatan, Selat Bali di sebelah
barat serta Selat Lombok di sebelah timur.
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi 8 Kabupaten, 1
Kota, 57 Kecamatan, 716 Desa/Kelurahan, dan secara adat terdiri dari 1.48 8
Desa Pekraman, dan 3.625 Banjar Pekraman. Jika dilihat berdasarkan luas
wilayahnya, Kabupaten Buleleng merupakan kabupaten terluas dengan wilayah
seluas 1.365,88 km2, diikuti Kabupaten Jembrana 841,80 km2, Karangasem
839,54 km2,Tabanan 839,33 km2, Bangli 520,81 km , Badung 418,52 km2,
Gianyar 368,00 km2, Klungkung 315,00 km2 dan terkecil adalah Kota Denpasar
dengan luas wilayah sebesar 127,78 km2.
Pembangunan Bali diarahkan untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi
36
yang tinggi (pro growth), sehingga mampu menciptakan lapangan kerja (pro
job), yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat/menurunkan
tingkat kemiskinan (pro poor) dengan tetap menjaga kualitas lingkungan (pro
environment) sehingga dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan
(sustainable development). Untuk itu arah kebijakan pembangunan daerah Bali
dijabarkan dalam 8 (delapan) Prioritas pembangunan diantara 8 prioritas
pembangunan tersebut antara lain adalah: Penanggulangan kemiskinan dan
pengurangan pengangguran, dengan langkah nyata yang telah diambil antara lain
program beasiswa masyarakat miskin, Jaminan Kesehatan Bali Mandara
(JKBM), Bedah rumah, dan bursa kerja (job fair). Sedangkan di bidang
pendidikan dan kesehatan telah dilakukan peningkatan akses dan mutu layanan
pendidikan dan kesehatan masyarakat. Peningkatan mutu layanan pendidikan
diwujudkan melalui peningkatan kualitas pendidik, mengembangkan sekolah
berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ITC) dan pembangunan SMA Bali
Mandara yang merupakan sekolah unggulan dengan menampung siswa
berprestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu (Bali Membangun, 2013).
Lebih lanjut dijelaskan jumlahpenduduk Bali tahun 2010 hasil Sensus
Penduduk (SP2010) mencapai 3.890.757 orang atau meningkat rata-rata
sebesar 2,14 persen per tahun jika dibandingkan hasil Sensus Penduduk tahun
2000 yang mencapai 3.146.999 orang. Bila dirinci menurut jenis kelamin maka
jumlah penduduk laki –laki tahun 2010 sebanyak 1.961.348 orang dan
penduduk perempuan sebanyak 1.929.409 orang. Untuk tingkat kabupaten/kota,
maka Kota Denpasar merupakan kota dengan total penduduk terbanyak yaitu
37
788.589 orang atau 20,27 persen dari total penduduk Bali diikuti Kabupaten
Buleleng dengan total penduduk mencapai 624.125 orang atau 16,04 dari total
penduduk Bali.
Jumlah penduduk berdasarkan atas umur sebagian besar berada pada
distribusi umur 20-59 tahun (58,12%), kemudian diikuti oleh rentang umur 0-19
tahun (33,36%) dan yang paling kecil adalah yang tergolong umur lanjut usia
(lansia), yaitu penduduk yang berumur 60 tahun keatas (8,52%) (Tabel 6.7.5, Bali
Membangun 2013). Walaupun jumlah penduduk lansia Bali paling sedikit
diantara kelompok umur lainnya, namun perhatian terhadap lansia terutama terkait
dengan kesejahteraan yang meliputi pemenuhan sandang dan pangan, dan
kesehatan serta perhatian keluarga sangat mendukung keberadaaan dari lansia
tersebut. Lansia merasa berada dalam kondisi nyaman sangat ditentukan oleh
dukungan dari keluarga dan lingkungan serta keiklasan keluarga yang merawat
lansia tersebut, terutama bagi lansia yang tidak produktif lagi. Pada lansia yang
tergolong masih produktif, untuk memenuhi kebutuhan hidup masih dapat
berusaha sendiri dari pekerjaan yang ditekuni selama ini.
Berdasarkan Data Bali Membangun (2013), dari laju pertumbuhan
penduduk, ternyata laju pertumbuhan penduduk tertinggi terjadi di Kabupaten
Badung, yaitu 4,62 persen diikuti Kota Denpasar 4,01persen, Jembrana 1,22
persen dan Kabupaten Gianyar sebesar 1,80 persen. Kepadatan penduduk Bali
tahun 2010 mencapai 690,26 jiwa/km2, dimana kepadatan tertinggi terdapat
pada Kota Denpasar yang mencapai 6.171,46 jiwa/km2 dan terendah di
Kabupaten Jembrana yang mencapai 310,81 jiwa/km2.. Tingkat kepadatan
38
penduduk yang tinggi sudah semestinya diikuti dengan penyediaan infrastruktur
yang memadai termasuk pelayanan publik yang memenuhi pelayanan prima
seperti layanan kesehatan, pendidikan dan layanan sosial lainnya.
Dilihat dari tingkat pendidikan, secara umum ditunjukkan bahwa jumlah
lulusan SD tahun 2013 mencapai 66.115 orang dengan rincian 33.252 orang
laki-laki dan 32.863 orang perempuan. Sementara jika dibandingkan dengan
tahun 2012, maka jumlah lulusan tahun 2013 mengalami peningkatan hampir 2
kali lipat. Jumlah murid SLTP tahun 2013 sebanyak 193.406 orang atau
meningkat hingga 7,96 persen dibandingkan tahun 2012 yang berjumlah 179.152
orang. Peningkatan jumlah anak yang melanjutkan di tingkat SLTP ini
berdampak pada capaian APK SLTP, dimana pada tahun 2013 tercatat sebesar
107. Jumlah lulusan SMU pada tahun 201 3 sebanyak 26.234 orang atau
meningkat jika dibandingkan tahun 2012 yang mencapai 25.177 orang. Capaian
angka partisipasi kasar untuk tingkat SMU/SMK/MA tahun 2013 sebesar 92,40
lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2012 yang hanya 87,44. Angka
partisipasi kasar untukt ingkat SMU/SMK/MA diharapkan akan mencapai 100
pada tahun 2015.
4.2. Karakteristik Responden
4.2.1. Karakteristik Responden Lansia
Responden dalam penelitian ini ada 2 jenis yaitu responden lansia dan
keluarga lansia. Dalam tulisan ini akan dibahas tentang beberapa karakteristik
dari responden tersebut. Data yang digunakan untuk melihat karakteristik
responden tersebut adalah data yang telah diperoleh dari sebagian besar responden
39
yang telah diteliti sampai perkembangan kemajuan penelitian ini ditulis. Jumlah
lansia yang akan diteliti di 2 kabupaten/kota yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten
Tabanan adalah sebanyak 150 responden lansia dan juga 150 responden keluarga
lansia di kedua kabupaten/kota tersebut.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lasia yang berjenis kelamin
perempuan sebanyak 53 persen dan laki-laki sekitar 47 persen dari data yang telah
terkumpul.Jika kondisi ini dibandingkan dengan data secara makro dimana
perempuan memiliki harapan hidup yang lebih panjang daripada laki-laki, data
hasil penelitian ini sepertinya belum mendukung kondisi data makro tersebut.Hal
ini besar kemungkinan akibat data lansia yang direncanakan dicari sebanyak 150
sampel responden lansia belum dapat terkumpul sesuai dengan
perencanaan.Kondisi ini dapat menjadi penyebab yang terlihat dari data primer
jika dibandingkan dengan kondisi data sekunder khususnya data tentang harapan
hidup. Demikian pula jika dibandingkan dengan data secara makro pula yang
berkaitan dengan jumlah penduduk lansia misalnya umur 65 ke atas, data
sekunder baik kondisi Bali maupun Indonesia menunjukkan bahwa jumlah lansia
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki, dimana hal ini
terkait dengan lebih panjangnya harapan hidup penduduk perempuan secara rata-
rata dibandingkan dengan penduduk laki-laki. Setelah penelitian secara lengkap
terkumpul khususnya tentang data lansia menurut jenis kelamin, maka analisis
akan kembali dilakukan untuk melihat persentase penduduk lansia dari segi jenis
kelamin jika dibandingkan dengan persentase lansia dari data primer yang
dikumpulkan. Demikian juga jika dilihat dari beberapa tayangan televise tentang
40
penghuni panti-panti jompo atau panti werda, terlihat sebagian besar penghuninya
adalah para lansia perempuan. Kondisi ini juga menjadi sebuah cerminan bahwa
penduduk lansia perempuan lebih banyak dibandingkan dengan lansia laki-laki.
Dari data yang terkumpul pendidikan responden lansia secara umum
berada pada tingkat pendidikan yang cenderung rendah. Sekitar 58 persen
responden lansia berpendidikan sekolah dasar ke bawah, dan sisanya 42 persen
berpendidikan SLTP ke atas.Data juga menunjukkan ternyata ada lansia yang
berpendidikan perguruan tinggi yaitu 4 persen dari total responden.Mereka juga
terlihat hanya 13 persen yang berpendidikan SLTA. Secara rinci tingkat
pendidikan penduduk lansia disajikan dalam Tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1Distribusi Responden Lansia Menurut Pendidikan (%)
No Tingkat pendidikan Persentase (%)1 Tidak pernah sekolah 11,002 Tidak tamat SD 14,003 SD 33,004 SLTP 25,005 SLTA 13,006 PT 4,007 Total 100,00
Sumber: Data Primer, 2015
Data Tabel 4.1 menunjukkan bahwa sebagian besar responden lansia dalam
penelitian ini berpendidikan Sekolah Dasar.Kondisi ini juga menunjukkan secara
umum kondisi ekonomi lansia. Di Indonesia ataupun di Bali secara umum terlihat
bahwa kondisi pendidikan seseorang akan dapat mempengaruhi kondisi ekonomi
mereka, demikian sebaliknya kondisi ekonomi dapat juga mempengaruhi kondisi
pendidikan yang dapat dicapai. Melihat responden adalah lansia, dapat
diperkirakan pada saat mereka usia sekolah kondisi ekonomi keluarga tidak
41
mampu untuk membiayai kelanjutan sekolah mereka walaupun hanya untuk
melanjutkan di tingkat sekolah menengah pertama. Demikian pula responden
lansia yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat sekolah dasar kemungkinan
besar kondisi ekonomi keluarganya pada saat mereka usia sekolah juga cenderung
tidak mampu mendukung kebutuhan mereka untuk mengenyam pendidikan yang
lebih tinggi.Responden lansia yang tidak pernah sekolah juga dapat
mencerminkan bahwa mereka adalah buta huruf (illiteracy), yang tentunya sangat
tinggi jika dibandingkan dengan data makro tentang tingkat buta huruf di Provinsi
Bali maupun di Indonesia. Memang patut dihargai berbagai usaha pemerintah
untuk menurunkan angka buta huruf di Indonesia, sehingga Unesco memberikan
penghargaan pada pemerintah Indonesia pada tahun 2009 atas usahanya untuk
meningkatkat persentase penduduk yang mampu membaca dan menulis (literacy)
sampai pada tingkat 93 persen pada haun 2009, yang hampir menyamai Negara
Malaysia. Hal ini berarti pada saat itu tingkat buta huruf (illiteracy) mencapai
hanya 7 persen.Jika dibandingkan dengan data primer hasil penelitian ini terlihat
data primer ini sangat tinggi tingkat buta hurufnya yang dicerminkan dari mereka
yang tidak pernah sekolah.Kondisi ini dapat dipahami mengingat data primer ini
adalah semuanya lansia, yang kemungkinannya jauh lebih besar untuk menjadi
buta huruf jika dibandingkan dengan mereka yang berumur lebih muda. Dalam
perhitungan tingkat buta huruf secara makro adalah menggunakan data penduduk
umur 15-44 tahun yang tentu saja kemungkinan untuk menjadi buta huruf akan
jauh lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang sudah menjadi lansia saat
ini. Namun demikian, tingkat buta huruf pada kelompok umur 15-44 tahun tentu
42
saja mencerminkan kondisi ekonomi dan sosial yang lebih buruk saat ini jika
dibandingkan dengan tingkat buta huruf pada mereka yang lansia.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lansia ini sebagian
besar berumur di atas 64 tahun atau berumur 65 tahun ke atas, dan bahkan ada
yang bermur 86 tahun. Dalam penelitian ini konsep lansia yang digunakan adalah
mereka yang berumur 60 tahun ke atas.Secara rinci distribusi responden menurut
umur dapat dilihat dalam Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2Distribusi Responden Lansia Menurut Umur Lima Tahunan (%)
No Kelompok Umur Persentase (%)1 60-64 25,002 65-69 27,003 70-74 23,004 75-79 12,005 80+ 13,007 Total 100,00
Sumber: Data Primer, 2015
Data Tabel 4.2 menunjukkan bahwa sekitar 75 persen responden lansia dalam
penelitian ini yang berumur 65 tahun ke atas, bahkan data tersebut juga
menunjukkan tidak ada responden yang berumur 60 tahun sesuai dengan konsep
yang digunakan, dimana responden yang paling muda berumur 61 tahun dan yang
paling tua berumur 86 tahun. Jika dibandingkan dengan usia harapan hidup untuk
daerah Bali yang mencapai rata-rata 71 tahun pada tahun 2013, dengan angka
yang sangat bervariasi antar kabupaten/kota, dapat disimpulkan bahwa sebagian
responden yaitu sekitar 48 persen responden sudah melewati batas usia harapan
hidup tersebut. Kondisi ini juga secara tidak langsung dapat menjadi cermin
tentang kondisi kesehatan mereka yang dapat bertahan sampai melewati batas usia
43
harapan hidup untuk daerah Bali tersebut. Dalam kajian yang lebih mendalam
tentang lansia di masa depan, tidak hanya melihat mereka yang berhasil hidup
sampai melewati usia harapan hidup secara makro, juga penting artinya derajat
kesehatan mereka. Apalah artinya dapat bertahan hidup atau panjang umur sampai
melewati batas umur atau usia harapan hidup jika hidup dalam keadaan yang
sakit-sakitan. Oleh karena itu sangat penting juga dianalisis tentang kondisi
kesehatan mereka yang lansia.
Dilihat dari status perkawinan responden sebagian besar dalam status
janda/duda/cerai mencapai 59 persen, kawin mencapai 40 persen, dan sisanya ada
yang belum kawin sampai saat penelitian dilakukan. Mengingat responden ini
adalah lansia yang berumur 60 tahun ke atas, maka cukup banyak yang sudah
ditinggalkan oleh pasangannya sehingga yang berstatus janda/duda.Jumlah anak
yang dimiliki oleh responden lansia ini sangat bervariasi dari 1 orang sampai 8
orang yang paling banyak. Responden paling banyak frekuensinya memiliki anak
2 orang yang dimiliki oleh sekitar 26 persen responden, dan 20 persen responden
memiliki anak 3 orang, dan sekitar 16 persen yang memiliki anak 4 orang. Sisanya
sekitar 38 persen responden memiliki anak ada yang 1 orang, 5 orang sampai 8
orang.Anak terakhir yang dimiliki responden lansia cenderung sudah dewasa, dan
umur anak terakhir yang dimiliki responden paling muda berumur 15 tahun, dan
yang paling tua berumur 49 tahun. Responden lansia yang masih memiliki anak
berumur 15 tahun, berarti keluarga mereka melahirkan anak pada umur yang
cukup tua yang dimiliki oleh sekitar 4 persen responden.Responden lansia paling
banyak yang memiliki anak terakhir berumur 37 tahun yang dimiliki oleh sekitar
44
16 persen responden lansia.Sisanya bervariasi pada umur anak terakhir 25 tahun
sampai dengan 48 tahun.
Responden lansia memiliki pasangan baik sebagai suami maupun istri
berumur 55 tahun sampai dengan yang paling tua berumur 81 tahun.Data
menunjukkan bahwa pasangan responden lansia sebagian besar juga sudah
tergolong lansia, yaitu sekitar 85 persen. Hanya 15 persen yang tergolong belum
lansia yaitu dalam katagori umur 55 tahun, dan 57 sampai dengan 59 tahun.
Pendidikan yang dimiliki oleh pasangan dari responden lansia juga tidak terlalu
jauh berbeda yaitu sebagian besar berpendidikan sekolah dasar, dan hanya sekitar
20 persenyang berpendidikan SLTP, SLTA, dan PT.
Jika dilihat dari status pekerjaan responden lansia, ternyata sekitar 34
persen dalam status bekerja, dan sisanya 66 persen tidak bekerja.Responden lansia
dalam penelitian ini berumur 60 tahun ke atas dan sebagian besar berumur 65
tahun ke atas dan responden ini cukup banyak yang masih bekerja. Kondisi ini
juga menunjukkan bahwa kondisi ekonomi mereka yang memaksa mereka untuk
bekerja dalam usia yang sudah lanjut. Berbagai jenis bidang pekerjaan yang
mereka geluti untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka dan keluarganya
antara lain pada pekerjaan sebagai petani yang paling banyak, kemudian sebagai
usaha dagang, ada juga sebagian wiraswasta, tukang kayu, sopir, makelar, dan
buruh harian, dan PNS. Berbagai jenis pekerjaan tersebut memberikan mereka
penghasilan paling rendah Rp. 300.000,- rata-rata per bulan dan paling tinggi Rp.
5.000.000,- ke atas per bulan.
45
Penghasilan yang diperoleh responden lansia ini tentu saja dengan
mengorbankan waktu yang mereka miliki dalam pekerjaan tersebut. Dalam
bekerja sebenarnya yang dikorbankan atau dipasarkan oleh pekerja adalah waktu
yang dimiliki oleh pekerja untuk digunakan dalam proses produksi guna
menghasilkan barang dan jasa, yang diatur dalam kesepakatan kerja bersama.
Data hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu kerja yang paling singkat pada
responden lansia ini adalah 3 jam rata-rata per hari, dan yang paling lama 8 jam
per hari.
Seperti halnya responden lansia yang sebagian masih bekerja, status
pekerjaan pasangan responden lansia juga ada yang bekerja sebagian dan
persentasenya yang bekerja dibandingkan dengan responden lansia ternyata lebih
tinggi.Persentase pasangan responden lansia yang bekerja sekitar 42 persen,
sehingga sisanya sekitar 58 persen dalam status tidak bekerja.Bidang pekerjaan
yang mereka tekuni antara lain sebagai buruh, paling banyak sebagai pedagang,
petani, dan sebagai tukang kayu. Dengan jenis pekerjaan seperti itu akan
mempengaruhi penghasilan yang mereka dapatkan. Sebagian besar pasangan
responden lansia memiliki penghasilan Rp. 500-600 ribu rupiah per bulan. Untuk
mendapatkan penghasilan tersebut mereka mengorbankan waktu paling sedikit 5
jam per hari, dan paling lama selama 8 jam.Penghasilan yang mereka dapatkan
baik suami dan istri sebagian besar menyatakan penghasilannya sekitar 96 persen
menyatakan penghasilan keluarga mereka mencukupi untuk biaya hidup, dan
hanya 4 persen yang menyatakan tidak.Ada kemungkinan karena mereka sudah
46
tergolomg lansia, mereka kemungkinan tidak memiliki kebutuhan yang demikian
banyak, sehingga penghasilan mereka mencukupi untuk kebutuhan hidup mereka.
Data yang terkumpul menunjukkan bahwa rata-rata kebutuhan biaya hidup
per bulan bagi lansia dan keluarganya sangat bervariasi. Paling banyak kebutuhan
mereka sekitar Rp. 5.000.000,- per bulan dan paling sedikit Rp. 200.000,-.
Sebagian besar mereka memiliki pengeluaran rata-rata per bulan atau biaya hidup
rutin per bulan sebanyak Rp. 1.000.000,- dan urutan ke dua dan ketiga masing-
masing Rp. 700.000,- dan Rp. 600.000,- per bulan. Dengan melihat data ini dapat
disimpulkan kebutuhan biaya hidup rutin per bulan tidak begitu besar atau relatif
kecil. Kondisi ini dapat disebabkan karena mereka terpaksa berbelanja atau
mengeluarkan biaya hidup sejumlah itu karena mereka tidak dapat
mengeluarkannya lebih daripada itu.Selain itu ada juga kemungkinan kebutuhan
hidup mereka yang terbatas karena mereka sudah lansia, dan ada kemungkinan
biaya yang paling banyak adalah untuk kesehatan.
Jika dilihat dari kondisi lingkungan permukiman, seluruh responden lansia
memiliki rumah semdiri, tidak ada yang menyewa atau pun mengontrak
rumah/tanah.Hal ini juga berarti kondisi ekonomi mereka mendukung dan selain
itu ada juga kemungkinan mereka yang bertempat tinggal di desa memiliki rumah
dari warisan keluarga atau orang tuanya misalnya tanah yang ditempati berasal
dari orang tua mereka. Sumber penerangan yang digunakan oleh responden lansia
adalah semuanya menggunakan listrik PLN.Penggunaan sumber air untuk mandi,
cuci, kakus (MCK) sebagian menggunakan sumber air dari PDAM (PAM) sekitar
52 persen responden lansia, dan sisanya 48 persen menggunakan sumur pompa.
47
Lantai rumah yang dimiliki oleh responden lansi hampir seluruhnya menggunakan
keramik. Dengan memperhatikan semua kondisi yang telah disebutkan
sebelumnya dapat disimpulkan bahwa kondisi ekonomi responden lansia cukup
baik.
4.2.2. Karakteristik Responden Keluarga Lansia
Setelah mendapatkan gambaran tentang responden lanjut usia
(lansia),berikut ini akan dipaparkan lebih jauh mengenai responden keluarga
lansia. Pada dasarnya yang menjadi responden keluarga lansia adalah kepala
keluarga atau anggota keluarga lainnya yang paling mengetahui informasi tentang
lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini. Beberapa informasi yang
dikumpulkan sehubungan dengan karakteristik keluarga, yang mencakup umur,
jenis kelamin, pendidikan, status kawin, jumlah anak masih hidup, umur anak
terakhir, lapangan pekerjaan, dan pendapatan. Masing-masing karakteristik
responden keluarga lansia akan dibahas secara berturut-turut berikut ini.
Pembahasan tentang karakteristik responden keluarga lansia akan diawali
dengan menyoroti umur responden keluarga lansia. Rentangan umur responden
keluarga lansia berkisar dari umur terendah 19 tahun dan tertinggi adalah 59
tahun. Atau jarak antara umur terendah dan tertinggi dalam penelitian ini adalah
40 tahun. Memperhatikan rentangan umur yang diperoleh dalam penelitian ini
dapat dikemukakan bahwa semua responden berada dalam usia produktif. Atau
usia yang menggambarkan kemampuan penduduk untuk menghasilkan barang dan
jasa, atau memiliki kemampuan untuk membantu keluarga atau orang lain dalam
menghasilkan barang dan jasa. Lebih jauh jika diperhatikan komposisinya, maka
48
akan diperoleh gambaran tentang komposisi umur sebagai berikut. Komposisi
umur yang paling menonjol dijumpai pada kelompok umur 40-49 tahun, karena
lebih dari separuh (56,00 persen) responden keluarga lansia terletak pada
kelompok umur tersebut. Kelompok umur 40-49 tahun sering pula disebut
sebagai usia puncak (prime age), karena pada kelompok umur tersebut seseorang
umumnya memiliki tingkat produktivitas paling tinggi. Sementara itu, kelompok
umur yang paling rendah proporsinya ditemukan pada kelompok umur kurang
dari 20 tahun, yaitu hanya sebanyak 1,33 persen. Selengkapnya informasi tentang
distribusi responden keluarga lansia menurut umur dapat diikuti pada Tabel 4.3.
Selain umur, karakteristik demografi yang penting dibahas dalam laporan
penelitian ini adalah karakteristik responden keluarga lansia menurut jenis
kelamin, yang mencakup laki-laki dan perempuan. Kalau dikaitkan dengan
pembahasan sebelumnya, komposisi responden lansia menggambarkan bahwa
sebagian besar responden lansia adalah perempuan, dan sisanya sebagai kecil
adalah responden lansia berjenis laki-laki. Sementara itu, responden keluarga
lansia menggambarkan kebalikannya, yaitu sekitar 85 persen adalah laki-laki dan
sisanya 15 persen adalah perempuan. Hal ini tentu akan menimbulkan pertanyaan,
mengapa perempuan lansia lebih lama bertahan hidup ketimbang lansia laki-laki?
Pertanyaan ini akan memunculkan berbagai versi jawaban. Mungkin ada yang
mengatakan bahwa laki-laki memikul beban yang lebih berat dibandingkan
perempuan, karena menjadi tiang ekonomi rumah tangga. Atau pekerjaan laki-laki
jauh lebih berat daripada perempuan. Kebanyakan perempuan bekerja mengurus
rumah tangga, sementara laki-laki cenderung bekerja di luar rumah tangga dan
49
memiliki risiko kecelakaan lebih besar. Atau, bahkan mungkin ada yang
mengatakan bahwa perempuan memang diciptakan lebih kuat daripada laki-laki
karena tidak hanya mengerjakan pekerjaan dengan irama rutin, namun lebih dari
itu. Kelebihannya adalah perempuan memiliki fungsi reproduksi, hamil,
melahirkan, merawat dan membesarkan anak.
Tabel 4.3Distribusi Responden Keluarga Lansia Menurut Umur, Pada Studi Pola Perawatan
Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan KabupatenTabanan, 2015
Kelompok Umur(Tahun)
Responden Keluarga Lansia PersentaseKumulatifOrang Persen
0Kurang dari 20 2 1,33
1,3320-29 3 2,00
3,3330-39 40 26,67
30,0040-49 84 56,00
86,0050-59 21 14,00
100,00Jumlah: 150 100,00
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Berikutnya adalah tentang karakteristik pendidikan responden keluarga
lansia. Pendidikan responden keluarga lansia sangat variatif; mulai dari mereka
yang tidak pernah sekolah sampai dengan yang berhasil mengenyam pendidikan
di perguruan tinggi ditemukan dalam penelitian ini (Tabel 4.4). Pendidikan yang
paling menonjol adalah SLTA, yang mencakup sekitar 55 persen responden
keluarga lansia. Besarnya proporsi responden yang berpendidikan SLTA
tampaknya sesuai dengnan pola umum kecenderungan pendidikan masyarakat
50
secara keseluruhan di Provinsi Bali. Selanjutnya, tempat kedua yang menonjol
adalah pendidikan Perguruan Tinggi, dengan cakupan hampir mencapai 35 persen
dari seluruh responden keluarga lain. Hal ini mengindikasikan ada hubungan
antara banyaknya penduduk lansia dengan kondisi pendidikan responden
keluarga. Artinya, bahwa mereka yang berpendidikan lebih tinggi akan memiliki
pengetahuan, sikap, dan praktek lebih baik dalam hal perawatan secara fisik dan
non fisik terhadap lansia yang ada di keluarga mereka. Berbeda halnya dengan
pendidikan SLTA dan Perguruan Tinggi, responden keluarga lansia yang
berpendidikan SLTP yang ditemukan dalam penelitian kurang dari tiga persen.
Tabel 4.4Distribusi Pendidikan Responden Keluarga Lansia, Pada Pola Perawatan
Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan KabupatenTabanan, 2015
TingkatPendidikan
Responden Keluarga Lansia PersentaseKumulatifOrang Persen
0Tidak pernah
sekolah1 0,66
0,66Sekolah Dasar 10 6,67
7,33SLTP 4 2,67
10,00SLTA 83 55,33
65,33Perguruan Tinggi 52 34,67
100,00Jumlah: 150 100,00
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Gambaran berikutnya tentang responden keluarga lansia adalah status
perkawinan. Status perkawinan responden dalam penelitian ini dibedakan menjadi
(1) kawin; (2) belum kawin; (3) janda/duda/cerai. Distribusi responden keluarga
51
lansia menurut status perkawinan dapat dilihat langsung pada Tabel 4.3. Informasi
yang dapat dipetik dari Tabel 4.5 sangat menarik, sebab hampir keseluruhan (94
persen) responden keluarga lansia ada dalam status kawin. Hal ini menandakan
bahwa sebagian besar para lansia yang diteliti hidup dalam keluarga yang masih
utuh. Sisanya sebanyak 6 (enam) persen responden lansia menunjukkan bahwa
mereka hidup dalam keluarga yang berstatus membujang (belum kawin), dan
menjanda/duda/cerai.
Tabel 4.5Distribusi Status Perkawinan Responden Keluarga Lansia Pada Pola PerawatanPenduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan Kabupaten
Tabanan, 2015
StatusPerkawinan
Responden Keluarga Lansia PersentaseKumulatifOrang Persen
0Kawin 141 94,00
94,00Belum Kawin 5 3,33
97,33Janda/Duda/Cerai 4 2,67
100,00Jumlah: 150 100,00
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Informasi yang berkaitan erat dengan status perkawinan adalah jumlah
anak yang masih hidup atau umur anak terakhir. Sehubungan dengan hal tersebut
berikut ini akan disoroti lebih jauh tentang kondisi kedua variabel tersebut. Hal ini
sangat penting, berkaitan dengan banyaknya perhatian yang dicurahkan oleh
responden keluarga lansia baik terhadap anak-anaknya maupun terhadap lansia
yang mesti diurusnya. Dalam penelitian ditemukan bahwa proporsi tertinggi
digambarkan oleh responden dengan 2 (dua) anak, yang hampir mencapai 50
persen dari seluruh responden keluarga lansia. Selanjutnya disusul oleh responden
52
dengan seorang anak masih hidup, yang digambarkan oleh sekitar 30 persen
responden keluarga lansia. Responden keluarga lansia dengan anak masih hidup
antara 3 sampai 4 orang sekitar 15 persen dari seluruh responden, dan sisanya
sebanyak 5 persen adalah responden keluarga lansia yang menyatakan tidak punya
anak. Berdasarkan berbagai kondisi yang digambarkan di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa responden keluarga lansia memiliki kondisi yang sangat
bervariasi, setidaknya ditinjau dari banyaknya anak yang mesti diurusnya.
Informasi tentang jumlah anak masih hidup yang dipaparkan di atas masih
membuka peluang untuk menyoroti lebih jauh mengenai tingkat kesibukan dan
kesulitan dalam mengurus anak-anak mereka. Orang tua akan sangat sibuk atau
bahkan memberikan perhatian lebih terutama pada anak-anak balita (bawah lima
tahun) ketimbang anak-anak yang lebih besar. Begitu pula untuk mengurus
mereka yang kurang dari 15 tahun lebih berat dibandingkan mereka yang sudah
tergolong usia kerja (15 tahun ke atas). Kesibukan mereka mengurus anak-anak
yang masih kecil, sementara di sisi lain responden keluarga lansia juga
dihadapkan pada kepelikan dalam mengurus lansia yang notabene adalah orang-
orang tua mereka. Disinilah diperlukan adanya seni di dalam mengelola waktu
agar tidak menimbulkan konflik, melainkan keduanya dapat berjalan dengan baik.
Pembahasan lebih jauh tentang kondisi yang dipaparkan di atas, akan
didekati dengan menyoroti umur anak terakhir seperti tertera pada Tabel 4.6.
Untuk memudahkan pemahaman dalam uraian ini umur anak terakhir akan
dikelompokkan ke dalam interval lima tahunan, yang dimulai dari kelompok umur
0-4, 5-9, 10-14, 15-19, dan 20 tahun ke atas. Dari seluruh responden keluarga
53
lansia yang menyatakan mempunyai anak masih hidup; distribusinya
menggambarkan keadaan yang sangat variatif.
Tabel 4.6
Distribusi Umur Anak Terakhir Responden Keluarga Lansia,Studi PolaPerawatan Penduduk Lanjut Usia Pada Masyarakat Bali di Kota Denpasar dan
Kabupaten Tabanan, 2015
Umur AnakTerakhir(tahun)
Responden Keluarga Lansia PersentaseKumulatifOrang Persen
00-4 39 26,90
26,905-9 23 15,86
42,7610-14 35 24,14
66,9015-19 23 15,86
82,7620+ 25 17,24
100,00Jumlah: 145 100,00
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Memang secara keseluruhan responden yang memiliki anak balita (0-4 tahun)
paling tinggi proporsinya, mencakup 26,90 persen responden, sementara mereka
dengan anak terakhir umur 5-9 tahun hanya sebesar 15,86 persen, dan yang
menarik adalah anak terakhir umur 10-14 tahun mencapai 24,14 persen dari
seluruh responden keluarga lansia. Memperhatikan uraian di atas maka sebanyak
26,90 persen responden keluarga membutuhkan waktu ekstra untuk mengurus
anak-anak balita mereka. Sementara itu, jika diperhatikan secara umum maka
akan diperoleh sebanyak 67 persen responden keluarga membutuhkan perhatian
untuk mengurus anak-anak yang berumur 0-14 tahun.
54
4.3 Pola Perawatan Penduduk Lansia
4.3.1 Pola perawatan yang dilakukan oleh Lansia
Pola perawatan penduduk lansia akan dapat mencerminkan bagaimana
kesejahteraan lansia baik secara fisik maupun mental. Sangat penting untuk
diketahui pola perawatan yang ideal diterapkan yang disenangi oleh lansia dan
juga yang dapat dilakukan oleh keluarga lansia. Dengan demikian pandangan atau
harapan baik dari sisi lansianya sendiri dan juga dari keluarga lansia yang akan
merawatnya perlu diketahui atau dikaji sehingga pada masa yang akan datang
dapat diterapkan pola perawatan yang lebih baik daripada sebelumnya.
1). Pengetahuan tentang Bina Keluarga Lansia (BKL)
Bina Keluarga Lansia (BKL) adalah sebuah kelompok yang terdiri atas
keluarga yang memiliki lansia dan lansia tersebut yang berkumpul untuk
mendapatkan pengetahuan dan cara-cara atau pola perawatan terhadap lansia
yang mereka miliki. Sampai saat ini kelompok BKL dianggap sebagai sebuah
kelompok yang ideal untuk mensejahterakan lansia dimana kelompok atau
kegiatan ini dilaksanakan atau dikomandani oleh BKKBN (Badan Kependudukan
dan Keluarga Berencana Nasional). Untuk mengkaji bagaimana pola perawatan
terhadap lansia yang ada selama ini di wilayah penelitian, maka salah satu
pertanyaan yang diberikan kepada lansia adalah tentang pengetahuan mereka para
lansia tentang BKL. Sebagian besar responden lansia yaitu sekitar 61 persen
mereka pernah mendengar tentang BKL. Sisanya hanya 39 persen yang belum
pernah mendengar tentang kelompok BKL. Persentase lansia yang pernah
mendengar BKL relatif tinggi, hal ini menjadi modal yang sangat penting untuk
55
mengajak mereka para lansia untuk mengikuti kegiatan BKL tersebut dalam
mengelola hari-hari mereka baik untuk bekerja maupun untuk kegiatan lainnya
agar mereka dapat mencapai kesejahteraan dalam kehidupan hari tua mereka.
Sumber informasi dari mana mereka mendengar tentang BKL tersebut memang
bervariasi. Paling banyak mereka mendengar informasi tentang BKL dari sumber
informasi dari banjar yang mencapai 49 persen, sisanya ada yang mendengar dari
desa, sebanyak 38 dan sisanya dari puskesmas ataupun dari saudara. Selanjutnya
responden lansia yang pernah mengikuti BKL atau menjadi anggota BKL hanya
sekitar 25 persen dari total responden lansia, atau sekitar 41 persen dari responden
lansia yang pernah mendengar tentang BKL. Jadi sekitar 59 persen responden
lansia yang pernah mendengar tentang BKL tidak pernah menjadi anggota BKL.
Saat penelitian dilakukan hanya sekitar 7 persen dari responden lansia yang masih
aktif menjadi anggota BKL sampai sekarang saat penelitian dilakukan, atau
sekitar 27 persen dari lansia yang pernah menjadi anggota BKL.
BKL yang mereka ikuti apakah pernah mendapatkan pembinaan dalam 12
bulan atau setahun terakhir ini, juga ditanyakan kepada mereka yang pernah
menjadi BKL, dan yang sampai saat ini masih aktif menjadi anggota BKL. Data
menunjukkan bahwa mereka yang memperoleh pembinaan sekitar 7 persen dari
total responden lansia, dan 100 persen dari lansia yang masih aktif menjadi
anggota BKL. Dengan demikian semua responden lansia yang masih aktif
mengikuti BKL pernah memperoleh pembinaan dalam jangka waktu 12 bulan
terakhir ini. Lembaga yang melakukan pembinaan tehadap lansia tersebut
sebagian besar dilakukan oleh PUSKESMAS.
56
Pola perawatan terhadap penduduk lansia dapat ditinjau dari berbagai
aspek yang memang dibutuhkan oleh para lansia dan dilakukan oleh mereka.
Aspek-aspek tersebut antara lain secara fisik, psikis, sosial/ekonomi, spiritual
yang dilakukan selama ini oleh lansia untuk menjaga agar lansia tetap sehat dan
dapat melakukan aktivitas yang diperlukan. Secara fisik dari hasil penelitian yang
dilakukan, terdapat beberapa aktivitas yang mereka lakukan seperti
mengkonsumsi gizi seimbang, mengatur jadual makan, mengatur asupan makanan
sesuai dengan diet yang dianjurkan, menjaga kebersihan diri, menjaga kebersihan
lingkungan, pemeriksaan kesehatan secara teratur, memeriksakan diri ke dokter
jika sakit, dan berolah raga secara rutin/teratur. Secara rinci kegiatan yang
dilakukan oleh lansia untuk menjaga kesehatannya dari aspek fisik disampaikan
dalam Tabel 4.7.
Data dalam Tabel 4.7 menunjukkan bahwa berbagai kegiatan sebenarnya
telah dilakukan oleh lansia untuk menjaga kesehatan mereka. Hampir 91 persen
dari responden lansia memeriksakan diri ke dokter jika sakit. Hal ini berarti para
lansia sudah sadar tentang pentingnya menjaga kesehatan jika sakit dengan
mendatangi pusat-pusat kesehatan seperti dokter praktek swasta maupun rumah
sakit. Kegiatan ini yang paling banyak dilakukan oleh responden lansia untuk
menjaga kesehatan mereka secara fisik. Urutan nomor 2 yang mereka lakukan
adalah menjaga kebersihan diri yang dilakukan oleh sekitar 83 persen responden
lansia. Menjaga kebersihan diri juga merupakan hal yang sangat penting untuk
dilakukan dalam menjaga kesehatan penduduk lansia secara fisik.
57
Tabel 4.7Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Fisik
No. Keterangan Ya(%)
Tidak(%)
Missing(%)
Total(%)
1 Mengkonsumsi gizi seimbang 66,7 33,3 0,0 100,02 Mengatur jadual makan 68,7 31,3 0,0 100,03 Mengatur asupan makan
sesuai diet yang dianjurkan44,0 56,0 0,0 100,0
4 Menjaga kebersihan diri 82,7 17,3 0,0 100,05 Menjaga kebersihan
lingkungan56,7 42,0 1,3 100,0
6 Melakukan pemeriksaankesehatan secara teratur
34,7 65,3 0,0 100,0
7 Memeriksakan diri ke dokterjika sakit
90,7 9,3 0,0 100,0
8 Berolah raga secara teratur 58,7 41,3 0,0 100,0Sumber: Data Primer, 2015
Jika dilihat dari 8 aspek yang dinilai hanya 2 aspek yang boleh dikatakan
relative sedikit yang dilakukan oleh lansia untuk menjaga kesehatannya yaitu
melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur yang dilakukan oleh sekitar
sepertiga dari total responden lansia, dan mengatur asupan makan sesuai diet
yang dianjurkan sekitar 40 persen dari total responden lansia. Dari data ini juga
dapat dilihat bahwa responden hanya sedikit yang melakukan kegiatan preventif
untuk menjaga kesehatannya, namun sebagian besar mereka memeriksakan
dirinya ke dokter jika sudah menderita kesakitan. Jadi mereka lebih banyak
melakukan kegiatan kuratif dibandingkan dengan preventif. Data juga
menunjukkan bahwa cukup banyak responden lansia yang melakukan kegiatan
yang sangat mendukung kesehatan mereka seperti mengkonsumsi gizi seimbang
dan mengatur jadual makan yang dilakukan oleh sekitar dua per tiga dari total
responden lansia, suatu persentase yang cukup tinggi. Data tersebut juga
58
menunjukkan secara umum, bahwa banyak kegiatan yang dilakukan oleh para
lansia untuk menjaga kesehatan mereka secara fisik.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan juga dapat dilihat perbandingan
usaha-usaha yang dilakukan oleh para lansia di kedua daerah penelitian untuk
untuk mengetahui semangat mereka dalam mengusahakan kehidupan mereka
menjadi lebih nyaman dalam kehidupannya.
Berikut disampaikan data berbagai usaha yang telah dilakukan oleh
responden lansia dalam menjaga kesehatan mereka secara fisik di kedua wilayah
penelitian. Jawaban yang disampaikan dalam Tabel 4.8 adalah responden yang
menjawab “ya” pada semua pertanyaan tersebut.
Data yang ditampilkan dalam Tabel 4.8 bervariasi di antara kedua
kabupate/kota tersebut. Ada kegiatan-kegiatan yang dilakukan lebih baik di Kota
Denpasar, demikian pula ada yang lebih baik dilakukan oleh lansia di Kabupaten
Badung. Untuk kegiatan mengkonsumsi gizi seimbang jauh lebih tinggi
persentase lansia di Kota Denpasar yang melalukan kegiatan tersebut. Sebaliknya
untuk kegiatan mengatur jadwal makan jauh lebih banyak dilakukan oleh lansia
yang ada di Kabupaten Tabanan. Demikian pula kegiatan untuk mengatur asupan
makan sesuai dengan diet yang dianjurkan juga persentasenya lebih rendah di
Kota Denpasar dibandingkan dengan di Kabupaten Tabanan. Ada kemungkinan
kedua kegiatan ini dilakukan lebih sedikit di Kota Denpasar dibandingkan dengan
di Kabupaten Tabanan karena memang tidak ada atau sedikit lansia yang perlu
melakukan kegiatan tersebut misalnya karena kesehatannya cukup terjamin.
Demikian pula aktivitas melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur juga
59
dilakukan lebih sedikit oleh lansia di Kota Denpasar dibandingkan dengan lansia
di Kabupaten Tabanan. Kondis ini ada juga kemungkinannya berkaitan dengan
kondisi kesehatan mereka, karena mereka merasa sehat lalu kegiatan tersebut
tidak dilakukan.
Tabel 4.8Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Fisik
di Kedua Wilayah Penelitian
No. KeteranganDenpasar Tabanan
N % N %1 Mengkonsumsi gizi seimbang 62 82,7 38 50,72 Mengatur jadual makan 47 62,7 66 88,03 Mengatur asupan makan sesuai
diet yang dianjurkan21 28,0 45 60,0
4 Menjaga kebersihan diri 68 90,7 56 74,75 Menjaga kebersihan lingkungan 56 74,7 29 38,76 Melakukan pemeriksaan
kesehatan secara teratur16 21,3 36 48,0
7 Memeriksakan diri ke dokter jikasakit
69 92,0 67 89,3
8 Berolah raga secara teratur 50 66,7 38 50,7Sumber: Data Primer, 2015
Secara umum memang masih rendah keinginan masyarakat untuk
melakukan aktivitas pemeriksaan kesehatan diri secara teratur jika tidak sangat
diperlukan misalnya akibat sakit, Jika masih sehat atau tidak ada keluhan apapun
umumnya rendah keinginan untuk memeriksakan kesehatan. Jika sakit maka
mereka akan datang ke pusat kesehatan misalnya untuk memeriksakan diri dan
mencari pengobatan. Data untuk kegiatan ini lebih banyak dilakukan oleh lansia
di Kota Denpasar dibandingkan dengan di Kabupaten Tabanan. Delapan aktivitas
yang dilakukan oleh lansia untuk menjaga kesehatan lansia secara fisik, 5 aktivitas
diantaranya dilakukan lebih banyak oleh lansia di Kota Denpasar, sedangkan 3
aktivitas lainnya lebih banyak dilakukan oleh lansia di Kabupaten Tabanan.
60
Kondisi ini juga mencerminkan bahwa lansia di Kota Denpasar secara umum
lebih banyak persentasenya yang melakukan kegiatan untuk menjaga kesehatan
mereka secara fisik dibandingkan dengan lansia di Kabupaten Tabanan.
Kegiatan yang dilakukan oleh lansia untuk menjaga dirinya agar tetap
sehat secara fisik juga dapat ditinjau menurut pendidikan lansia tersebut. Secara
rinci hubungan antara usaha-usaha yang dilakukan lansia agar tetap sehat secara
fisik menurut pendidikan disajikan dalam Tabel 4.9.
Tabel 4.9Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat Secara Fisik
Menurut Pendidikan (%)
No Upaya yang dilakukan keluarga agarlansia tetap sehat secara fisik
Tingkat PendidikanRendah Menengah Tinggi
1 Mengkonsumsi gizi seimbang 62,1 71,9 83,32 Mengatur jadwal makan 75,9 59,6 50,03 Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan51,7 35,1 16,7
4 Menjaga kebersihan dirinya 78,2 89,5 83,35 Menjaga kebersihan lingkungan 47,1 70,2 83,36 Melakukan pemeriksaan kesehatan
secara teratur37,9 31,6 16,7
7 Memeriksakan diri ke dokter jikasakit
89,7 91,2 100,0
8 Berolahraga secara rutin 42,5 78,9 100,0Sumber : Data Primer, 2015
Data Tabel 4.9 menunjukkan bahwa keterkaitan antara upaya-upaya yang
dilakukan oleh lansia agar tetap sehat secara fisik dengan pendidikan yang
dimiliki oleh lansia terlihat sangat bervariasi kondisinya. Untuk kegiatan
mengkonsumsi gizi seimbang terlihat hubungan yang nyata atau konsisten dilihat
dari pendidikan lansia tersebut. Semakin tinggi pendidikan responden lansia
terlihat semakin tinggi persentase responden yang mengkonsumsi gizi yang
61
seimbang. Kondisi ini dapat mencerminkan bahwa pendidikan lansia
mempengaruhi aktivitas lansia untuk mengkonsi gizi seimbang di dalam menjaga
dirinya agar tetap sehat secara fisik. Untuk aktivitas mengatur jadwal makan,
ternyata terlihat kondisi yang sebaliknya, artinya semakin tinggi pendidikan
responden lansia, maka semakin rendah persentase mereka yang mengatur jadwal
untuk makan. Ada kemungkinan hal ini berkaitan dengan aktivitas yang dimiliki
oleh lansia yang sangat terkait dengan pendidikan mereka. Semakin tinggi
pendidikan ada kemungkinan mereka masuk pasar kerja, sehingga untuk mengatur
jadwal makan yang ketat mungkin akan agak sulit, dan mereka mungkin merasa
bahwa tidak terlalu perlu atau belum diperlukan untuk mengatur jadwal untuk
makan. Kapan ada kesempatan dan meresa membutuhkan makanan, mereka dapat
melakukannya.
Senada dengan variabel sebelumnya mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan juga memiliki hubungan terbalik dengan pendidikan
lansia. Semakin tinggi pendidikan lansia, terlihat semakin rendah persentase
mereka yang mengatur asupan makanan sesuai dengan diet yang dianjurkan. Jadi
besar kemungkinan mereka belum perlu atau tidak perlu melakukan kegiatan
untuk mengatur asupan makanan untuk diet, karena mereka masih sehat. Untuk
kegiatan menjaga kesehatan diri dan kesehatan lingkungan secara umum juga
terlihat ada hubungannya dengan pendidikan yang dimiliki oleh lansia. Semakin
tinggi pendidikan lansia, maka semakin tinggi persentase lansia yang melakukan
kegiatan tersebut. Untuk kegiatan melakukan pemeriksaan kesehatan secara
teratur memiliki hubungan terbalik dengan pendidikan lansia. Semakin tinggi
62
pendidikan lansia semakin rendah persentase mereka yang melakukan
pemeriksaan kesehatan secara teratur. Kondisi ini kemungkinan dapat dijelaskan
bahwa mereka mungkin merasa tidak perlu melakukan kegiatan seperti itu karena
masih merasa sehat. Kondisi atau penjelasan ini diperkuat dengan fenomena
hubungan antara pendidikan dengan kegiatan melakukan pemeriksaan diri ke
dokter jika sakit, dimana hubungannya terlihat positif. Semakin tinggi pendidikan
responden lansia, semakin tinggi persentase lansia yang memeriksakan dirinya ke
dokter jika sakit. Jadi mereka lebih bersifat kuratif bukan preventif. Jika sakit
mereka akan datang ke dokter untuk memeriksakan dirinya. Demikian pula
kegiatan untuk berolah raga terlihat juga hubungan yang positif dengan
pendidikan yang mereka miliki. Semakin tinggi pendidikan lansia, semakin tinggi
pula persentase lansia yang berolah raga. Hubungan-hubungan yang terlihat
antara pendidikan lansia dengan aktivitas yang dilakukan untuk menjaga
kesehatan secara fisik dapat dipahami dan dilakukan oleh lansia.
Selain secara fisik lansia juga ditanyakan tentang usaha-usaha atau
kegiatan yang mereka lakukan agar tetap sehat secara psikis. Hal ini juga
ditanyakan kepada responden lansia. Secara psikis juga ada beberapa kegiatan
yang mereka lakukan akan tetap sehat. Beberapa kegiatan tersebut disampaikan
dalam Tabel 4.10.
Selain lansia menjaga kesehatan secara fisik, lansia juga melakukan
kegiatan yang ditujukan untuk menjaga kesehatan dari aspek psikis. Seseorang
yang merasa berperan dan dapat berguna bagi orang lain tentunya akan merasa
senang dan akan merasa bahwa orang lain membutuhkan dirinya. Demikian pula
63
yang terjadi pada lansia yang merasa hidupnya masih berguna bagi keluarganya
atau orang lain tentu juga akan merasa senang. Menyadari hal tersebut para lansia
dalam penelitian ini selalu berusaha untuk memberikan peran dalam keluarganya.
Tabel 4.10Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Psikis
No. Keterangan Ya (%) Tidak (%) Total (%)1 Berusaha berperan dalam keluarga 91,3 8,7 100,02 Berusaha berperan dalam memberi
nasehat kepada keluarga lainnya61,3 38,7 100,0
3 Melakukan kegiatan yang menjadihobi
40,7 59,3 100,0
Sumber: Data Primer, 2015
Lebih dari 91 persen responden lansia menyatakan bahwa mereka
berusaha dalam kesehariannya untuk berperan dalam keluarga, hal ini berarti
mereka merasa perlu melakukan sesuatu dalam sisa hidup mereka saat ini
sehingga mereka tidak hanya merasa menjadi beban tetapi juga menjadi seseorang
yang tetap dibutuhkan dalam keluarga. Oleh karena lansia bagaimanapun juga
memiliki pengalaman yang lebih banyak, dan dengan umur yang lebih tua
tentulah kearifan yang dimiliki akan lebih tinggi dibandingkan dengan anggota
keluarga lainnya khususnya dibandingkan dengan anak-anak ataupun cucu
mereka. Dengan kondisi seperti mereka maka mereka juga berusaha berperan
dalam memberikan nasehat kepada keluarga lainnya yang dilakukan oleh sekitar
61 persen responden lansia dalam penelitian ini. Selain itu ada juga sekelompok
lansia yang masih melaksanakan hobi mereka untuk menjaga kesehatan secara
psikis. Kegiatan ini dilaksanakan oleh lansia dalam penelitian ini sekitar 41 persen
dari total responden lansia. Data ini juga menunjukkan bahwa meskipun sudah
64
lansia, namun mereka cukup banyak yang masih melakukan hobi mereka secara
rutin. Dengan tetap dapat melaksanakan hobi yang mereka miliki, maka dapat
diharapkan mereka akan merasa senang dan kesehatan mereka secara psikis akan
dapat terjaga.
Selain secara total apa yang dilakukan oleh lansia untuk menjaga agar
dirinya tetap sehat secara psikis, juga dapat dilihat menurut daerah tempat tinggal
lansia. Berikut disampaikan perbandingan kondisi lansia menurut daerah tempat
tinggal berkaitan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh mereka agar tetap sehat
secara psikis.
Tabel 4.11Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Psikis
Menurut Daerah Tempat Tinggal
No. Keterangan Denpasar TabananN % N %
1 Berusaha berperan dalam keluarga 73 97,3 64 85,32 Berusaha berperan dalam memberi
nasehat kepada keluarga lainnya45 60,0 47 62,7
3 Melakukan kegiatan yang menjadihobi
32 42,7 29 38,7
Sumber: Data Primer, 2015
Data yang terlihat pada Tabel 4.11 memperlihatkan pola yang sama antara
lansia yang ada di Kota Denpasar dengan lansia yang ada di Kabupaten Tabanan.
Berusaha berperan dalam keluarga memiliki persentase tertinggi yang berarti
kegiatan tersebut paling banyak dilakukan oleh lansia untuk menjaga kesehatan
mereka secara psikis. Kegiatan yang paling sedikit dilakukan oleh mereka adalah
melakukan kegiatan yang menjadi hobi, hal ini terjadi baik pada lansia di Kota
Denpasar maupun di Kabupaten Tabanan. Secara umum persentase lansia di Kota
65
Denpasar lebih tinggi persentasenya yang melakukan kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan usahanya untuk menjaga kesehatan secara psikis.
Selain berdasarkan daerah tempat tinggal, usaha yang dilakukan oleh
lansia agar tetap sehat secara psikis juga dapat dianalisis menurut tingkat
pendidikan lansia. Data yang menunjukkan hubungan antara pendidikan lansia
dengan usahanya agar tetap sehat secara psikis disampai dalam Tabel 4.12. Ada 3
kegiatan yang dilakukan oleh lansia agar tetap sehat secara psikis yang dapat
dihubungkan dengan pendidikan mereka. Berusaha berperan dalam keluarga yang
dilakukan lansia memiliki hubungan yang jelas dengan tingkat pendidikan mereka
dengan arah hubungan yang positif. Semakin tinggi pendidikan lansia semakin
tinggi persentase lansia yang berusaha berperan dalam keluarga. Kondisi ini ada
kemungkinan berkaitan dengan peran lansia dalam bidang ekonomi. Dengan
pendidikan yang semakin tinggi, ada kemungkinan penghasilan yang juga
semakin tinggi, sehingga akan lebih besar peran mereka dalam keluarga, demikian
sebaliknya. Usaha dalam memberikan nasehat dalam keluarga juga terlihat
berkaitan dengan pendidikan lansia meskipun sedikit ada fluktuasi pada
pendidikan sedang. Namun secara umum juga ada hubungan yang positif antara
pendidikan lansia dengan usaha mereka untuk berperan dalam memberikan
nasehat kepada keluarga lainnya. Satu variabel yang terlihat kondisinya berbalik
adalah melakukan kegiatan yang menjadi hobi dengan tingkat pendidikan lansia.
Polanya terlihat seperti huruh U terbalik yaitu meningkatnya pendidikan dari
pendidikan renah ke pendidikan sedang meningkatkan persentase lansia yang
melaksanakan kegiatan sebagai hobi, namun pada pendidikan tinggi persentase
66
lansia yang melaksanakan kegiatan yang menjadi hobi terlihat menurun dengan
drastis jika dibandingkan dengan lansia yang berpendidikan sedang atau
menengah. Hal ini juga ada kemungkinan dengan kesibukan dalam pasar kerja
bagi lansia yang berpendidikan tinggi, sehingga tidak dapat melakukan kegiatan
yang menjadi hobi mereka. Secara rinci hubungan tersebut dapat dilihat dalam
Tabel 4.12.
Tabel 4.12Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat Secara Psikis
Menurut Pendidikan (%)
No Upaya yang dilakukan keluarga untukmenjaga lansia agar tetap sehat secarapsikis
Tingkat PendidikanRendah Menengah Tinggi
1 Berusaha berperan dalam keluarga 90,8 91,2 100,02 Berusaha berperan dalam memberikan
nasehat dalam keluarga lainnya64,4 52,6 100,0
3 Melakukan kegiatan yang menjadi hobi 40,2 43,9 16,7Sumber : Data Primer, 2015
Selain kesehatan secara fisik maupun psikis, lansia juga perlu melakukan
hal-hal yang dapat menjaga kesehatan mereka dari aspek sosial/ekonomi. Dari
aspek sosial/ekonomi ini banyak hal yang dilakukan oleh lansia yang dapat
diidentifikasi dalam penelitian ini. Partisipasi lansia di bidang sosial/ekonomi
dapat diartikan mereka akan dapat memanfaatkan waktu yang mereka miliki
untuk kegiatan-kegiatan baik yang mendatangkan uang maupun kegiatan-kegiatan
sosial yang umumnya memiliki frekuensi yang tinggi di Provinsi Bali. Data yang
berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa sekitar 34 persen responden lansia
dalam status bekerja, dan sebagian besar dari mereka yang bekerja memperoleh
penghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan. Kondisi ini menunjukkan bahwa
67
kemungkinan besar memang mereka membutuhkan pekerjaan tersebut untuk
kelangsungan hidup mereka, meskipun mungkin sudah ada yang menanggung
kehidupan mereka. Berikut disampaikan berbagai kegiatan yang mereka lakukan
untuk menjaga kesehatan lansia secara sosial/ekonomi.
Tabel 4.13Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat
Secara Sosial/Ekonomi
No. Keterangan Ya (%) Tidak (%) Total (%)1 Berusaha menjaga komunikasi
dengan keluarga96,0 4,0 100,0
2 Berkumpul dengan teman sebaya 76,0 24,0 100,03 Berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan40,7 59,3 100,0
4 Berpartisipasi dalam kegiatanekonomi produktif
34,0 66,0 100,0
5 Berekreasi (jalan pagi, nonton film,jalan-jalan)
54,7 45,3 100,0
Sumber: Data Primer, 2015
Data dalam Tabel 4.13 menunjukkan bahwa lansia melakukan berbagai
kegiatan agar mereka tetap sehat secara sosial/ekonomi. Hal yang paling banyak
dilakukan oleh responden lansia adalah berusaha menjaga komunikasi dengan
keluarga yang dilakukan oleh hampir semua lansia. Hal ini berarti mereka
memandang bahwa komunikasi dengan keluarga menjadi hal yang sangat penting
bagi kehidupan mereka saat ini. Data juga menunjukkan bahwa sebagian besar
responden lansia yaitu sekitar 66 persen adalah tidak bekerja, hal ini juga berarti
bahwa secara ekonomi sebagian besar responden lansia akan tergantung dari
keluarga mereka, meskipun mungkin mereka memiliki simpanan untuk
membiayai kehidupan mereka, namun dalam kondisi mereka yang sudah lansia
saat ini tentu keberadaan keluarga menjadi sangat penting. Dengan demikian
68
menjaga komunikasi dengan keluarga mereka lakukan agar mereka merasa sehat
secara sosial/ekonomi, dan ini dilakukan oleh hampir seluruh lansia. Dapat juga
disimpulkan bahwa dalam kondisi yang sudah lansia, maka keberadaan keluarga
menjadi sangat penting. Sebagian responden lansia juga menyatakan bahwa
berkumpul dengan teman sebaya juga merupakan kegiatan yang dapat dipandang
sebagai kegiatan untuk dapat menjaga kesehatan mereka secara sosial/ekonomi.
Dengan teman sebaya mereka dapat memperoleh dan membagikan pengalaman
yang mereka miliki yang dapat berguna bagi orang lain, demikian sebaliknya.
Berolah raga seperti berjalan di pagi hari, jalan-jalan, ataupun menonton film
merupakan kegiatan yang juga cukup banyak dilakukan oleh lansia dalam
penelitian ini, yaitu lebih dari setengahnya responden melakukan kegiatan ini.
Selain menjaga kesehatan secara fisik dengan berolah raga, juga kegiatan tersebut
dapat memungkinkan mereka bertemu dengan teman-teman ataupun keluarga
lainnya. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial kemasyarakatan juga menjadi hal
yang cukup banyak dilakukan oleh responden lansia untuk menjaga kesehatan
mereka secara sosial. Di Bali secara umum kegiatan adat dan agama yang dapat
diperluas menjadi kegiatan sosial kemasyarakatan relative tinggi frekuensinya jika
dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya, karena dengan melaksanakan
kegiatana adat dan agama masyarakat akan bertemu termasuk mereka yang sudah
lansia, sehingga kesehatan mereka secara sosial juga akan menjadi lebih terjamin
dengan melaksanakan kegiatan tersebut. Data menunjukkan hampir 41 persen
responden lansia menyatakan hal tersebut. Aktivitas sosial/ekonomi yang
dilaksanakan oleh lansia, paling sedikit adalah kegiatan ekonomi produktif. Jika
69
menggunakan konsep Penduduk Usia Kerja dari United Nation atau konsep di
berbagai negara penduduk usia kerja adalah umur 15-64 tahun. Dengan demikian
lansia yang masih berumur di bawah 65 tahun masih tergolong sebagai penduduk
usia kerja atau kelompok penduduk yang masih produktif. Data juga
menunjukkan bahwa hanya sekitar 28 persen responden lansia masih dalam
kelompok umur produktif yaitu dibawah 65 tahun. Namun demikian responden
lansia yang melakukan aktivitas ekonomi produktif dalam artian bekerja sekitar
34 persen, sedikit lebih tinggi daripada responden lansia yang tergolong dalam
usia masih produktif. Kondisi ini menunjukkan bahwa lansia yang bekerja ada
sebagian kecil yang sudah berumur tidak produktif lagi atau di atas 65 tahun.
Keadaan ini dapat menunjukkan bahwa kondisi ekonomi yang dimiliki oleh
keluarga lansia relative tidak terlalu tinggi sehingga masih memaksa lansia untuk
masuk pasar kerja guna memperoleh penghasilan untuk membiayai diri sendiri
maupun keluarganya. Data tersebut juga dapat menjadi sebuah indikasi bahwa
lansia yang tidak masuk pasar kerja lagi, tidak memiliki jaminan pensiun,
sehingga membutuhkan pendapatan dari bekerja. Salah satu alasan yang
menyebabkan di Indonesia menggunakan konsep Penduduk Usia Kerja adalah
yang berumur 15 tahun ke atas adalah dalam kenyataannya masih ada penduduk
yang berumur 65 tahun ke atas yang masih bekerja akibat ketiadaan jaminan
pensiun bagi mereka itu. Sepertinya hasil penelitian ini dapat mendukung alasan
tersebut dimana lansia yang sudah tergolong tidak produktif lagi masih tetap harus
bekerja.
70
Tabel 4.14Kegiatan yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap SehatSecara Sosial/Ekonomi Menurut Daerah Tempat Tinggal
No. Keterangan Denpasar TabananN % N %
1 Berusaha menjaga komunikasidengan keluarga
74 98,7 70 93,3
2 Berkumpul dengan teman sebaya3 Berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan24 32,0 37 49,3
4 Berpartisipasi dalam kegiatanekonomi produktif
6 8,0 9 12,0
5 Berekreasi (jalan pagi, nonton film,jalan-jalan)
52 69,3 30 40,0
Sumber: Data Primer, 2015
Data Tabel 4.14 menunjukkan bahwa pola kegiatan yang dilakukan oleh
lansia di kedua wilayah ini dalam hubungannya dengan menjaga kesehatan secara
sosial/ekonomi adalah sama. Untuk aktivitas usaha untuk menjaga komunikasi
dengan keluarga merupakan variabel yang memiliki persentase tetinggi baik di
Kota Denpasar maupun di Kota Denpasar, namun persentase kegiatan ini
kondisinya lebih tinggi di Kota Denpasar dibandingkan dengan di Kabupaten
Tabanan. Untuk variabel lainnya seperti berpartisipasi dalam kegiatan sosial
kemasyarakatan lebih rendah dibandingkan dengan variabel atau aktivitas
sebelumnya baik di Kota Denpasar maupun di Kabupaten Tabanan. Demikian
juga aktivitas ekonomi produktif juga dilakukan lebih sedikit oleh responden
sebagai cara untuk menjaga kesehatan secara sosial/ekonomi, dan kegiatan ini
persentasenya paling rendah dibandingkan dengan aktivitas lainnya di kedua
wilayah penelitian. Kegiatan berekreasi juga dilakukan oleh lansia untuk menjaga
kesehatan secara sosial/ekonomi dan aktivitas ini jauh lebih banyak dilakukan
71
oleh lansia dibandingkan dengan kegiatan lainnya seperti kegiatan ekonomi
produktif. Kegiatan rekreasi yang dilakukan oleh lansia di Kota Denpasar jauh
lebih banyak dibandingkan dengan lansia di Kabupaten Tabanan. Hal ini mungkin
berkaitan dengan keberadaan fasilitas untuk berekreasi yang lebih tersedia di Kota
Denpasar dibandingkan dengan di Kabupaten Tabanan, sehingga peluang untuk
melakukan rekreasi bagi lansia di Kota Denpasar lebih tinggi dibandingkan
dengan lansia di Kabupaten Tabanan.
Tabel 4.15Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehatdari Aspek Sosial Ekonomi menurut Pendidikan (%)
No Upaya yang dilakukan keluargauntuk menjaga lansia agar tetapsehat dari aspek sosial ekonomi
Tingkat PendidikanRendah Menengah Tinggi
1 Berusaha menjaga komunikasidengan keluarga
95,4 96,5 100,0
2 Berkumpul dengan temansebayanya
70,1 82,5 100,0
3 Berpartisipasi dalam kegiatan sosialkemasyarakatan
46,0 29,8 66,7
4 Berpartisipasi dalam kegiatanekonomi produktif
12,6 7,0 0,0
5 Mengikuti kursus-kursus 0,0 0,0 0,06 Berekreasi 37,9 77,2 83,3
Sumber : Data Primer, 2015
Data yang terlihat dalam Tabel 4.15 menunjukkan bahwa ada keterkaitan
antara upaya-upaya yang dilakukan oleh lansia agar tetap sehat dari aspek sosial
ekonomi dengan pendidikan yang dimiliki lansia. Ada hubungan yang konsisten
terlihat pada sikap lansia yaitu berusaha menjaga komunikasi dengan keluarga
dengan pendidikan yang dimiliki, yaitu semakin tinggi pendidikan lansia semakin
tinggi pula persentase lansia yang berusaha menjaga komunikasi dengan keluarga.
Ada hubungan positif yang terjadi antara kedua variabel tersebut. Demikian pula
72
sikap atau aktivitas berkumpul dengan teman sebaya juga berhubungan positif
dengan tingkat pendidikan lansia. Kegiatan berekreasi sebagian bagian dari usaha
lansia untuk tetap sehat secara sosial ekonomi juga berhubungan positif dengan
pendidikan lansia, semakin tinggi pendidikan lansia, maka semakin tinggi pula
persentase mereka yang melakukan rekreasi. Hal ini dapat dimengerti bahwa pada
umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin mengetahui
tentang pentingnya melakukan kegiatan rekreasi untuk menurunkan ketegangan
pikiran, rasa tertekan/stress, dan dalam penelitian ini juga terlihat seperti itu. Satu
hal yang terlihat agak berbeda adalah hubungan antara pendidikan dengan
partisipasi lansia dalam kegiatan ekonomi produktif. Terlihat ada hubungan
negatif yaitu semakin tinggi pendidikan lansia semakin rendah persentase mereka
yang berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, malah untuk lansia yang
berpendidikan tinggi tidak ada yang berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi.
Lansia yang berpendidikan rendah malah yang paling tinggi yang masih
melakukan kegiatan ekonomi. Hal ini dapat diduga berkaitan dengan kemampuan
ekonomi dari lansia tersebut, dengan kondisi ekonomi yang cenderung lemah,
maka akan memaksa mereka untuk tetap melakukan kegiatan ekonomi. Demikian
sebaliknya lansia yang memiliki pendidikan tinggi dan tidak ada yang masuk
pasar kerja atau tidak melakukan kegaiatan ekonomi, ada kemungkinan mereka
tidak perlu melakukan kegiatan tersebut lagi karena kondisi ekonomi keluarga
sudah mencukupi atau pun juga kemungkinan mereka sudah tidak mampu
melakukannya lagi. Lansia tidak ada lagi yang melakukan kursus-kursus di
seluruh tingkatan pendidikan. Secara umum ada hubungan yang positif antara
73
upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga agar tetap sehat secara sosial
ekonomi dengan pendidikan mereka, hanya partisipasi lansia dalam kegiatan
ekonomi produktif yang berhubungan negative dengan pendidikan mereka.
Selain melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan
sosial/ekonomi, lansia dalam penelitian ini juga melakukan kegiatan agar mereka
tetap sehat secara spiritual. Sebagai manusia yang beragama aktivitas spiritual
tentu menjadi bagian yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan sehari-hari
termasuk bagi mereka yang sudah lansia. Aktivitas spiritual yang dilakukan
penduduk lansia akan dapat membuat mereka merasa lebih tenang didalam
menghadapi hari-hari selanjutnya. Data hasil penelitian ini juga mendukung hal
tersebut dimana hampir seluruh responden menyatakan melakukan
persembahyangan secara rutin agar tetap sehat secara spiritual, hanya sekitar 2
persen responden lansia tidak melakukan kegiatan ini secara rutin. Ada
kemungkinan mereka tidak dapat melakukan kegiatan tersebut secara rutin
mengingat usia yang mereka miliki. Data menunjukkan bahwa cukup banyak
responden yang berumur 75 tahun ke atas bahkan ada yang berumur 80 tahun.
Dengan usia seperti ini ada kemungkinan mereka tidak mampu melakukan
kegiatan tersebut secara rutin, dan mungkin juga dilakukan secara incidental pada
saat-saat tertentu. Agama Hindu memiliki 2 cara dalam melakukan
persembahyangan dari segi waktunya yaitu dilakukan sehari-hari atau pada saat
hari-hari tertentu yang dikenal dengan istilah nitya karma dan naimitika karma.
Selain kegiatan sembahyang secara rutin sebagai sebuah aktivitas untuk membuat
mereka sehat dari aspek spiritual, variabel atau aktivitas lainnya yang juga
74
dilakukan oleh responden lansia untuk menjaga kesehatan secara spiritual adalah
berpartisipsi dalam kegiatan keagamaan yang juga dilakukan cukup banyak oleh
lansia, walaupun tidak sebanyak kegiatan bersembahyang secara rutin. Kegiatan
yang dilakukan lansia agar tetap sehat secara spiritual disampaikan dalam Tabel
4.16.
Tabel 4.16Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Spiritual
No. Keterangan Ya (%) Tidak (%) Total (%)1 Bersembahyang secara rutin 98,0 2,0 100,02 Berpartisipasi dalam organisasi/
kegiatan keagamaan34,0 66.0 100,0
Sumber: Data Primer, 2015
Hal ini dapat dipahami karena kegiatan bersembahyang dapat dilakukan secara
rutin di rumah oleh semua lansia, namun partisipsi dalam kegiatan keagamaan
pada umumnya akan dilakukan di luar rumah, dan tentu saja akan sedikit
menghambat partisipasi mereka. Keadaan tersebut berpengaruh terhadap
persentase partisipasi mereka dalam organisasi/kegiatan keagamaan. Data
menunjukkan jauh lebih banyak responden lansia yang tidak berpartisipasi dalam
organisasi/kegiatan keagamaan, hanya sekitar sepertiga dari responden lansia yang
berpartisipasi dan sisanya dua per tiga tidak mengikuti kegiatan tersebut.
Tabel 4.17Kegiatan yang dilakukan oleh Lansia agar tetap sehat secara Spiritual
menurut Daerah Tempat TinggalNo. Keterangan Denpasar Tabanan
N % N %1 Bersembahyang secara rutin 75 100,0 72 96,02 Berpartisipasi dalam organisasi/
kegiatan keagamaan21 28,0 30 40,0
Sumber: Data Primer, 2015
75
Selain secara total, kegiatan lansia yang dilakukan untuk menjaga
kesehatan secara spiritual dapat juga dilihat menurut daerah tempat tinggal yaitu
di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan. Data menunjukkan baik di Kota
Denpasar maupun di Kabupaten Tabanan, paling tinggi persentase responden
yang melakukan kegiatan bersembahyang secara rutin sebagai cara untuk menjaga
kesehatan diri secara spiritual. Data menunjukkan lansia di Kota Denpasar sedikit
lebih tinggi persentasenya yang melakukan kegiatan sembahyang secara rutin
dibandingkan dengan lansia yang ada di Kabupaten Tabanan. Keadaan yang
sebaliknya terjadi untuk kegiatan partisipasi lansia dalam organisasi/kegiatan
kemasyarakatan, persentase/jumlah lansia yang melaksanakan kegiatan tersebut
lebih banyak di Kabupaten Tabanan dibandingkan dengan di Kota Denpasar,
namun polanya adalah sama.
Tabel 4.18Usaha yang Dilakukan oleh Lansia Agar Tetap Sehat
Secara Spiritual menurut Pendidikan (%)
No Upaya yang dilakukan keluargauntuk menjaga lansia agar tetapsehat secara spiritual
Tingkat Pendidikan
Rendah Menengah Tinggi
1 Bersembahyang secara rutin 97,7 98,2 100,0
2 Berpartisipasi dalamorganisasi/kegiatan keagamaan
36,8 28,1 50,0
Sumber : Data Primer, 2015
Upaya yang dilakukan oleh lansia agar tetap sehat secara spiritual juga
dapat dihubungkan dengan pendidikan lansia tersebut. Terlihat secara umum ada
hubungan positif antara usaha yang dilakukan lansia untuk sehat secara spiritual
76
dengan pendidikan yang dimiliki oleh lansia. Semakin tinggi pendidikan lansia,
semakin tinggi pula persentase responden lansia yang bersembahyang secara
rutin. Untuk aktivitas berpartisipasi dalam organisasi/kegiatan keagamaan
memiliki pola yang berbentuk huruf U dengan pendidikan lansia, untuk
pendidikan menengah terlihat ada penurunan persentase jika dibandingkan dengan
lansia yang berpendidikan rendah, namun persentase tersebut meningkat kembali
pada pendidikan tinggi. Namun jika dilihat persentase antara responden lansia
yang berpendidikan remdah dan yang berpendidikan tinggi terlihat ada hubungan
positif antara kegiatan yang dilakukan lansia untuk menjaga kesehatan mereka
secara spiritual dengan pendidikan dari lansia tersebut.
4.3.2 Pola perawatan yang dirasakan oleh lansia
Selain apa yang dilakukan oleh lansia itu sendiri untuk menjaga dirinya
agar tetap sehat dari berbagai aspek, keluarga dimana lansia tersebut tinggal juga
memberikan perawatan kepada lansia tersebut. Bagaimana perasaan lansia atau
penilaian lansia tentang pola perawatan yang telah diberikan oleh keluarganya
menjadi hal yang sangat penting untuk dikaji. Apakah konsep hutang kepada
leluhur atau orang tua tetap menjadi landasan keluarga lansia untuk merawat
lansia yang mereka miliki sebagai kewajiban untuk membayar hutang (Rna) yang
dimiliki sebagai anak. Hal ini ditanyakan kepada responden lansia bagaimana
mereka merasakan pola perawatan dari keluarga mereka. Responden lansia
ditanyakan apakah para lansia merasakan bahwa keluarga mereka memberikan
perawatan yang memadai. Data menunjukkan bahwa sekitar 96 persen responden
menyatakan bahwa keluarga mereka memberikan perawatan yang memadai
77
kepada mereka, dan hanya sekitar 4 persen yang merasakan bahwa keluarga
mereka tidak memberikan perawatan yang memadai selama ini. Data ini
menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga lansia memberikan perawatan yang
memadai kepada lansia yang ada dalam keluarga mereka. Hal ini dapat dikatakan
mereka masih menganggap bahwa kewajiban merawat orang tua harus dilakukan
sebagai bagian dalam membayar hutang (Rna) kepada orang tua (leluhur). Hanya
sangat sedikit lansia yang menyatakan bahwa keluarga mereka tidak memberikan
perawatan yang memadai selama ini. Ada beberapa alasan yang mereka katakana
kenapa keluarga tidak memberikan perawatan yang memadai kepada lansia
tersebut antara lain: 1). Anak atau menantu tidak perhatian/cuek mereka katakan
kepada lansia yang bersangkutan; 2) mereka merasa masih mampu mengurus diri
mereka sendiri. Bagi lansia yang merasa masih mampu mengurus diri mereka
sendiri tidak atau belum memerlukan perawatan dari keluarganya sehingga
keluarga lansia kurang memberikan perawatannya kepada lansia tersebut. Ada
satu alasan mungkin yang perlu mendapatkan perhatian adalah alasan yang
disampaikan oleh lansia adalah keluarga yaitu anak atau menantu tidak perhatian
atau cuek kepada lansia, namun belum diketahui kenapa hal itu dapat terjadi.
Apakah karena anak atau menantu sibuk bekerja sehingga tidak dapat merawat
lansia sepenuhnya, itu tetap ada kemungkinannya. Dengan untuk dapat
mengetahui alasan tersebut secara lebih baik, maka sangat penting dilakukan
wawancara mendalam untuk mengetahui informasi tersebut secara lebih baik.
Namun demikian secara umum bahwa lansia merasa bahwa keluarga mereka
78
mengurus lansia secara memadai selama ini. Berikut disampaikan berbagai jenis
perawatan yang dirasakan oleh lansia yang diberikan oleh keluarganya.
Tabel 4.19Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh Lansia
dari Keluarganya Selama ini
No. Keterangan Ya (%) Tidak (%) Total (%)1 Perawatan yang memadai secara
ekonomi85,3 14,7 100,0
2 Perawatan yang memadai dari segikesehatan
98,7 1,3 100,0
3 Perhatian yang memadai 98,7 1,3 100,04 Cinta kasih yang memadai 98,7 1,3 100,05 Penerimaan oleh lingkungan sebagai
lansia98,7 1,3 100,0
6 Memperoleh informasi yangmemadai tentang hal-hal positif yangharus dilakukan sebagai lansia
98,7 1,3 100,0
7 Memperoleh dukungan dan motivasidari keluarga untuk melakukankegiatan keagamaan
98,7 1,3 100,0
8 Memperoleh perlindungan yangmemadai dari keluarga
98,7 1,3 100,0
Sumber: Data Primer, 2015
Secara umum lansia yang menyatakan bahwa keluarganya memberikan
perawatan yang memadai kepada mereka memberikan jawaban yang hampir sama
untuk seluruh indikator yang ditanyakan kepada mereka. Data dalam Tabel 4.19
menujukkan sekitar 15 persen responden lansia menyatakan bahwa secara
ekonomi mereka tidak memperoleh perawatan yang memadai. Namun secara
keseluruhan mereka menyatakan bahwa lansia memperoleh perawatan yang
memadai dari keluarganya. Satu hal yang mungkin perlu diperdalam adalah
pandangan lansia yang menyatakan mereka tidak memperoleh perawatan yang
memadai dari segi ekonomi. Ada kemungkinan bahwa keluarga lansia mengalami
79
persoalan ekonomi atau kondisi ekonomi keluarga lansia yang tidak begitu
memadai sehingga tidak mampu memberikan perawatan ekonomi secara memadai
seperti yang mereka inginkan atau harapkan. Untuk indikator-indikator selain
indikator ekonomi, dapat dilihat hampir semua menyatakan bahwa mereka
memperoleh perawatan yang memadai dari keluarganya selama ini. Satu hal yang
sangat menarik dari apa yang disampaikan oleh para lansia adalah mengenai
dukungan oleh keluarganya untuk berkeluarga lagi terutama bagi mereka yang
berstatus janda atau duda. Dari data yang ada sekitar 59 persen responden lansia
yang berstatus janda atau cerai. Data menunjukkan bahwa semua responden
lansia yang berstatus janda/duda/cerai tidak memperoleh dukungan dari
keluarganya untuk berkeluarga atau mencari pasangan hidup lagi. Responden
lansia yang diteliti dalam penelitian ini berumur 60 tahun ke atas, dan sebagian
besar responden lansia berumur diatas 65 tahun dan bahkan ada yang berumur 80
tahun. Dengan kondisi yang seperti ini kemungkinan keluarganya tidak
mendukung lansia untuk berkeluarga lagi, dan ini ditunjukkan oleh 100 persen
keluarga responden lansia tidak mendukung hal tersebut. Hal ini juga didukung
oleh pernyataan dari lansia sendiri bahwa mereka juga tidak berkeinginan
berkeluarga lagi dengan beberapa alasan seperti masih mencintai suami/istrinya
yang telah tiada, kasihan anak dan cucunya yang sudah ada sekarang, merasa
sudah tua, dan merasa bahagia dengan keadaan yang sekarang.
Ada alasan yang menarik bagi responden yang menjawab keluarga tidak
perhatian secara ekonomi antara lain karena masih mampu mencari nafkah sendiri
karena masih bekerja atau ada juga yang memiliki tempat kontrakkan sehingga
80
memperoleh penghasilan. Data juga menunjukkan bahwa sekitar 34 persen
responden lansia adalah bekerja, sehingga memperoleh penghasilan sendiri,
sehingga keluarga mungkin tidak perlu memberikan perhatian dari segi ekonomi
yang sangat serius seperti lansia yang tidak bekerja. Ada juga kemungkinan lansia
masuk pasar kerja atau terpaksa bekerja karena keluarganya tidak memberikan
perhatian secara ekonomi yang memadai kepada mereka. Untuk itu informasi
yang lebih mendalam tentang hal ini perlu untuk digali melalui kegiatan
wawancara mendalam.
Pola perawatan yang dirasakan oleh responden lansia dapat juga dilihat
dari segi daerah tempat tinggal yaitu di Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan,
apakah polanya sama. Jumlah responden di kedua tempat tersebut adalah sama
yaitu masing-masing 75 orang, sehingga total responden lansia sebanyak 150
orang. Dalam Tabel 4.17 persentase responden lansia yang memberikan jawaban
ya terhadap pertanyaan yang diajukan dihitung dari total 75 orang lansia dari
masing-masing kabupaten/kota. Data berikut ini menunjukkan informasi di kedua
daerah penelitian tentang pola perawatan yang dirasakan oleh lansia.
Data yang ditunjukkan oleh data pada Tabel 4.20 menunjukkan bahwa
lansia yang berada di Kota Denpasar hampir seluruh butir pertanyaan yang
ditanyakan kondisinya 100 persen, yang menyatakan bahwa ya. Hal ini berarti
responden lansia di Kota Denpasar mempersepsikan atau merasakan perawatan
yang diberikan oleh keluarganya dalam segala segi sudah memadai. Kondisi
lansia di Kota Denpasar sedikit lebih baik persepsi yang disampaikan
dibandingkan dengan lansia di Kabupaten Tabanan. Hanya satu variabel yang
81
dipersepsikan oleh responden di Kabupaten Tabanan lebih baik dibandingkan
dengan Kota Denpasar yaitu berkaitan dengan persepsi lansia tentang perawatan
dari sisi ekonomi. Responden lansia di Kabupaten Tabanan sedikit lebih tinggi
persentasenya yang menyatakan bahwa mereka menerima perawatan yang
memadai dari segi ekonomi. Variabel lainnya dipersepsikan oleh responden lansia
di Kabupaten Tabanan lebih rendah daripada responden di Kota Denpasar. Data
secara umum menunjukkan persepsi lansia di Kota Denpasar lebih tinggi pada
semua variabel yang lainnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa lansia
mempersepsikan bahwa mereka menerima perawatan yang memadai dari keluarga
dan anak-anak mereka.
Tabel 4.20Jenis Perawatan yang Dipersepsikan Oleh Lansia
Menurut Kabupaten/Kota
No. Persepsi lansia tentang polaperawatan yang dirasakan oleh lansia
Denpasar TabananN % N %
1 Perawatan yang memadai secaraekonomi
61 81,3 67 89,3
2 Perawatan yang memadai dari segikesehatan
75 100,0 73 97,3
3 Perhatian yang memadai 75 100,0 73 97,34 Cinta kasih yang memadai 75 100,0 73 97,35 Penerimaan oleh lingkungan sebagai
lansia75 100,0 73 97,3
6 Memperoleh informasi yangmemadai tentang hal-hal positif yangharus dilakukan sebagai lansia
75 100,0 73 97,3
7 Memperoleh dukungan dan motivasidari keluarga untuk melakukankegiatan keagamaan
75 100,0 73 97,3
8 Memperoleh perlindungan yangmemadai dari keluarga
75 100,0 73 97,3
Sumber: Data Primer, 2015
82
Lebih lanjut dalam penelitian ini juga ditanyakan apakah responden lansia
merasa bahagia dengan perawatan yang telah diberikan oleh keluarganya selama
ini. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 97 persen responden
lansia menyatakan merasa bahagia dengan perawatan yang telah diberikan oleh
keluarganya selama ini, dan hanya sekitar 3 persen yang menyatakan tidak.
Jawaban responden lansia cukup konsisten dengan pertanyaan berikut yang
disampaikan yaitu apakah mereka merasa ada yang kurang dari perawatan selama
ini yang diberikan oleh keluarganya, sekitar 97 persen juga menyatakan tidak
artinya mereka merasakan tidak ada yang kurang dari perawatan yang selama ini
diberikan oleh keluarganya dan hanya sekitar 3 persen yang menjawab ya atau
lansia masih ada yang merasakan kekurangan dari perawatan yang diterimanya
selama ini dari keluarganya. Alasan yang diajukan oleh lansia kenapa mereka
merasakan seperti itu antara lain karena: 1) keluarga kurang perhatian kepada
lansia, 2). Seringkali lansia merasa sakit hati karena perkataan keluarganya; dan
3). tidak mendapatkan kasih sayang dari anak. Secara rinci jawaban responden
lansia tentang hal tersebut disampaikan berikut ini.
Tabel 4.21Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga
No Persepsi lansia terhadap perawatan yang diberikan olehkeluarga
Persen
1 Merasa bahagia 97,32 Merasa ada yang kurang 2,73 Merasa bahwa perawatan yang diberikan menjadi tanggung
jawab keluarga98,7
4 Keluarga merasa keberatan merawat lansia sehari-hari 1,35 Sering merasa kesal/tidak enak hati atas sikap yang
ditunjukkan keluarga3,3
6 Ada keluarga lain yang ikut merawat lansia 93,37 Partisipasi keluarga lain dirasakan tulus ikhlas 93,3
Sumber: Data Primer, 2015
83
Data dalam Tabel 4.21 menunjukkan jawaban yang konsisten antara
pertanyaan yang satu dengan pertanyaan yang lainnya. Untuk pertanyaan yang
bermakna positif dijawab oleh responden dengan persentase yang semuanya diatas
93 persen, bahkan untuk persepsi bahwa keluarga menganggap perawatan
terhadap lansia adalah menjadi tanggung jawab anak/keluarga hampir 99 persen
yang menjawab demikian. Untuk pertanyaan yang bermakna negatif dalam
hubungannya dengan perawatan pada lansia dijawab dengan persentase yang
sangat rendah seperti responden lansia merasa ada perawatan yang kurang,
keluarga merasa keberatan merawat lansia, dan lansia merasa kesal/tidak enak hati
atas sikap yang ditunjukkan oleh keluarganya yang kesemuanya memiliki
persentase sekitar 3 persen ke bawah. Kondisi ini menunjukkan bahwa lansia
sebagian besar mempersepsikan bahwa perawatan yang mereka terima selama ini
dari keluarganya sudah bagus, memadai dan sesuai dengan keinginan lansia.
Pandangan lansia tentang perawatan yang diterimanya juga dapat dilihat menurut
daerah penelitian yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Tabanan dan disampaikan
berikut ini.
Data Tabel 4.22 menunjukkan ada sedikit perbedaan persentase jawaban
responden lansia menurut tempat tinggal dan hasil ini konsisten dengan hasil
sebelumnya, untuk makna yang positif Kota Denpasar memiliki persentase yang
lebih tinggi pada semua variabel dibandingkan dengan Kota Denpasar. Demikian
sebaliknya pada variabel yang memiliki makna negatif, responden di Kota
Denpasar lebih rendah persentasenya menjawab variabel tersebut dibandingkan
dengan responden lansia di Kabupaten Tabanan untuk seluruh variabel yang
84
bermakna negatif. Data ini juga menunjukkan bahwa secara umum lansia yang
berada di Kota Denpasar mempersepsikan diri mereka lebih mendapatkan
perawatan yang memadai atau sesuai dengan yang diharapkan dibandingkan
dengan lansia di Kabupaten Badung.
Tabel 4.22Persepsi Lansia Terhadap Perawatan dari Keluarga Menurut Kabupaten/Kota
No Persepsi lansia terhadap perawatanyang diberikan oleh keluarga
Denpasar Tabanan
N % N %1 Merasa bahagia 75 100,0 71 94,72 Merasa ada yang kurang 0 0,0 4 5,33 Merasa bahwa perawatan yang
diberikan menjadi tanggung jawabkeluarga
75 100.0 73 97,3
4 Keluarga merasa keberatan merawatlansia sehari-hari
0 0,0 2 2,7
5 Sering merasa kesal/tidak enak hati atassikap yang ditunjukkan keluarga
1 1,3 4 5,3
6 Ada keluarga lain yang ikut merawatlansia
72 96,0 68 90,7
7 Partisipasi keluarga lain dirasakan tulusikhlas
72 96,0 68 90,7
Sumber: Data Primer, 2015
Lansia yang menyatakan bahwa tidak ada yang kurang perawatan yang
diberikan oleh keluarganya selama ini juga mempunyai beberapa alasan. Beberapa
alasan yang disampai antara lain: 1). Anak selama ini sudah memberikan yang
terbaik; 2). Anak sudah bertanggung jawab; 3). Anak menyayangi, menghormati,
dan merawat dengan baik; 4). Anak bertanggung jawab; 5). Keluarga selalu
mendampingi; 6). Perawatan yang diberikan selama ini sudah cukup; 7). Merasa
bangga dengan anak dalam merawat; 7). Selalu diperhatikan dan dirawat dengan
baik; 8). Selalu memberikan perhatian dan kasih sayang; 8). Selalu
85
memperhatikan dan merawat; 9). Sudah dilayani dengan baik setiap hari; 10).
Sudah sesuai dengan yang diharapkan. Dari beberapa alternatif jawaban yang
diberikan oleh lansia tentang alasan-alasan tersebut dapat dilihat yang paling
banyak menyatakan perawatan yang diberikan oleh keluarganya selama ini kepada
lansia mereka rasakan sudah cukup.
Jika dihubungkan dengan kondisi sosial masyarakat khususnya bagi umat
Hindu merawat orang tua adalah sebuah kewajiban sebagai sebuah cara untuk
membayar hutang (Rna) kepada orang tua atau leluhur. Dalam penelitian ini juga
dikaji dengan menanyakan apakah perawatan terhadap lansia yang mereka miliki
menjadi tanggungjawab keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar
99 persen menyatakan ya, artinya merawat orang tua/lansia memang menjadi
tanggung jawab keluarga mereka, hanya 1 persen yang menyatakan sebaliknya
bahwa merawat orang tua adalah bukan tanggung jawab keluarga. Pertanyaan ini
dijawab secara konsisten oleh para responden lansia dengan pertanyaan
berikutnya, dimana sekitar 99 persen responden lansia juga menyatakan bahwa
keluarga mereka tidak merasa berkeberatan dalam merawat lansia yang mereka
miliki, dan hanya 1 persen juga yang merasa berkeberatan dalam merawat orang
tuanya yang sudah lansia. Oleh karena keluarga lansia yang hanya merasa bahwa
merawat orang tua mereka bukanlah tanggung jawabnya, maka terlihat juga
jawabannya bahwa mereka merasa berkeberatan dalam merawat orang tuanya.
Meskipun demikian jawaban seperti ini hanya disampaikan oleh hanya 1 persen
responden lansia.
86
Ada hal yang menarik terlihat dalam hasil penelitian ini dimana hal ini
ditunjukkan oleh sikap yang ditunjukkan oleh lansia kepada keluarga yang
merawatnya. Sekitar 3 persen responden lansia menyatakan bahwa mereka sering
merasa kesal/tidak enak hati atas sikap yang ditunjukkan oleh keluarga yang
merawat mereka. Namun demikian tetap jauh lebih banyak yaitu sekitar 97 persen
responden lansia tidak merasa kesal atas sikap yang ditunjukkan oleh keluarga
yang merawat ini. Jawaban ini juga konsisten dengan jawaban-jawaban yang
lainnya, seperti jawaban bahwa keluarga responden lansia menganggap bahwa
merawat orang tua sebagai kewajibannya untuk membayar hutang (Rna) kepada
leluhur atau orang tua, sehingga sikap mereka akan secara tulus merawat lansia.
Kondisi ini tentu saja tidak akan menyebabkan responden lansia merasa kesal,
sehingga sebagian besar responden lansia menyatakan tidak pernah kesal atas
sikap yang ditunjukkan keluarga yang merawatnya, karena sikap keluarga yang
merawatnya sesuai dengan harapan lansia. Lansia yang merasa kesal atas sikap
yang ditunjukkan oleh keluarganya sering berkaitan dengan masalah kesehatan
dan kebersihan.
Lansia yang menjadi responden dalam penelitian ini tidak hanya dirawat
oleh anak atau menantunya yang ada di keluarga dimana mereka tinggal, ada juga
keluarga lainnya yang ikut berpartisipasi dalam merawat lansia. Hal ini dijawab
oleh sekitar 93 persen responden yang menyatakan bahwa ada keluarga lainnya
yang juga ikut berpartisipasi dalam merawat lansia yang bersangkutan. Sisanya
sekiyat 7 persen responden lansia menyatakan tidak ada orang lain lagi yang
berpartisipasi merawat mereka selain keluarganya yang sekarang merawatnya
87
dimana lansia itu tinggal. Keluarga-keluarga yang disebutkan oleh responden
lansia yang ikut berpartisipasi dalam merawat mereka antara lain adik
kandung/saudara, adik ipar, cucu, menantu, anak yang sudah menikah keluar,
keponakan, dan sepupu. Lansia yang dirawat oleh mereka itu hampir semuanya
menyebutkan tidak hanya 1 orang yang juga ikut berpastisipasi dalam merawat
lansia, namun 2 sampai 3 orang yang juga berpartisipasi dalam merawat mereka,
seperti kombinasi antara keponakan, adik, dan ipar; atau ada juga yang dirawat
oleh sepupu, dan keponakan; atau menantu, cucu, dan anak. Demikian juga
kombinasi-kombinasi lainnya yang mencerminkan hampir semua lansia boleh
dikatakan memiliki keluarga besar yang juga ikut berpartisipsi dalam merawat
mereka. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh keluarga lainnya tersebut dalam
partisipasinya merawat lansia tersebut ada berbagai macam aktivitas, dan keluarga
yang ikut membantu tersebut juga membantu dalam berbagai kegiatan. Kegiatan-
kegiatan yang dibantu oleh mereka tersebut antara lain kegiatan yang berkaitan
dengan kesehatan lansia, kebersihan badan dari lansia, pola makan yang
sebaiknya dilakukan oleh lansia, membantu membelikan perlengkapan atau
kebutuhan lansia, memberikan saran kepada lansia, membuatkan makanan,
mengajak makan bersama, membantu membuatkan sesajen, mengajak jalan-jalan,
mengantar berolah raga, mengantar ke dokter disaat sedang sakit, membantu
merawat di saat sedang sakit, menyuapi lansia di saat sedang sakit.
Berbagai kombinasi kegiatan-kegiatan itulah yang dilakukan oleh keluarga
lainnya dalam berpartisipasi merawat lansia selama ini. Data yang ada
menunjukkan paling banyak keluarga tersebut membantu merawat lansia pada
88
saat lansia tersebut sedang sakit. Selain itu juga mereka banyak membantu lansia
untuk menyiapkan makanan atau mengantarkan makanan kesukaan lansia
tersebut. Data juga menunjukkan bahwa responden lansia merasakan bahwa
semua (100 persen) keluarga lain yang juga berpartisipasi dalam merawat lansia
tersebut dilakukan secara tulus. Responden lansia juga merasakan bahwa keluarga
lain tersebut yang ikut berpartisipasi dalam merawat lansia juga menganggap
bahwa tugas tersebut adalah kewajiban sebagai penerus/anggota keluarga. Dengan
memperhatikan data dari hasil penelitian yang telah disampaikan tersebut dapat
disimpulkan bahwa keeratan kekeluargaan masih sangat kental di Bali khususnya
bagi umat Hindu, sehingga mereka menganggap bahwa merawat orang tua adalah
kewajiban sebagai anak untuk membayar hutang (Rna) kepada leluhur atau orang
tua. Hal ini tentulah sangat menyenangkan atau membahagiakan orang tua karena
masih memiliki harapan bahwa di masa depan anak akan tetap merawat mereka
sampai akhir hayat. Kondisi ini juga menunjukkan bahwa meskipun Bali
mengalami perkembangan atau kemajuan di segala bidang, dan dengan kemajuan
teknologi informasi dimana dunia ini seolah-olah tanpa batas, namun kondisi
sosial dan kekerabatan penduduk Bali khususnya umat Hindu dalam merawat
orang tua masih tetap terjaga dengan baik. Hal ini tentu sebuah kondisi yang
sangat ideal mengingat lansia akan merasakan ketenangan dan kebersamaan
dalam menghadapi hari tua mereka jika orang yang merawatnya adalah orang
orang yang dekat dan yang mereka kenal dengan baik.
89
4.3.3 Pola perawatan yang diinginkan oleh lansia
Data hasil penelitian yang telah dijelaskan secara deskriptif sebelumnya
terlihat bahwa sampai saat ini di Bali khususnya umat Hindu masih dirawat oleh
keluarga mereka, baik keluarga terdekat seperti anak atau menantu dimana lansia
itu tinggal sehari-hari maupun keluarga luas lainnya yang tidak tinggal bersama
dengan lansia tersebut. Data ini juga menunjukkan sampai saat ini hubungan
kekerabatan masih sangat kental terlihat di Bali. Dengan pengalaman lansia
dirawat oleh keluarganya dalam penelitian ini juga ingin dianalisis atau ingin
diketahui bagaimana keinginan lansia tersebut saat ini maupun pada masa yang
akan datang. Pertanyaan yang diajukan kepada responden lansia apakah mereka
atau lansia lainnya menurut responden menginginkan tetap dirawat oleh
keluarganya sendiri atau anak-anak mereka. Data hasil penelitian menunjukkan
bahwa semua responden lansia (100 persen) tetap menginginkan dirawat oleh
keluarganya/anak-anak mereka. Jawaban ini konsisten dengan pernyataan-
pernyataan mereka sebelumnya dimana mereka merasa keluarga mereka selama
ini sudah merawat mereka dengan baik dan tulus. Jawaban-jawaban tersebut
menunjukkan bahwa mereka merasa puas dan bahagia dengan perawatan yang
telah dilakukan oleh keluarga lansia selama ini. Oleh karena itu sangatlah masuk
akal jika lansia tetap mengharapkan mereka dirawat oleh keluarganya. Ada
beberapa alasan yang mereka ajukan kenapa tetap mengharapkan agar keluarga
mereka yang tetap antara lain: 1). Agar anak dapat memperhatikan keluarga; 2).
Agar dapat member kasih saying kepada orang tua; 3). Agar hubungan anak dan
orang tua tetap terjaga; 4). Anak adalah penerus; 5). Anak bertanggung jawab
90
terhadap orang tua; 6). Anak lebih mengerti kondisi orang tua; 7). Anak masih
membutuhkan orang tua; 8). Anak merawat dengan kasih saying; 9). Anak tulus
merawat orang tua; 10). Anak wajib merawat orang tua; 11).Dirawat anak lebih
nyaman; 12). Dapat bertukar pikiran dengan anak; 13). Ingin tetap disamping anak
cucu; 14). Lebih bahagia bersama anak; 15). Lebih nyaman dengan anak; dan 16).
Lebih senang dirawat di rumah sendiri.
Cukup banyak alasan yang disampaikan oleh responden lansia mengenai
keinginannya tetap untuk dirawat oleh keluarga mereka seperti yang disampaikan
sebelumnya. Namun inti dari semua itu adalah mereka para lansia merasa lebih
bahagia atau lebih senang jika dirawat oleh keluarganya dibandingkan dengan
orang lain. Kiranya alasan ini adalah sesuatu yang sangat rasional atau masuk akal
dan sangat manusiawi. Keluarga adalah orang terdekat yang diajak berkeluh kesah
selama hidupnya, dengan demikian hidup bersama keluarga adalah sebuah
kebiasaan yang mereka lalui selama hidupnya, sehingga akan terasa sulit atau
tidak diinginkan orang lain yang menggantikan kedudukan keluarga. Bagaimana
pun juga keluarga menjadi bagian yang sangat penting bagi keberadaan lansia,
dan tentu saja mereka tidak akan mau digantikan oleh orang lainnya dalam urusan
merawat mereka. Jawaban yang mereka sampaikan memang konsisten dengan
jawaban dari pertanyaan-pertanyaan lainnya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa
memang demikianlah yang diinginkan oleh para lansia tersebut. Selanjutnya
mereka juga memberikan pandangan yang konsisten tentang ide atau pemikiran
mereka mengenai siapa yang sebaiknya merawat lansia pada masa yang akan
datang. Data menunjukkan sekitar 99 persen responden tidak memiliki idea atau
91
pemikiran bahwa pada masa yang akan datang perawatan lansia sebaiknya
diserahkan kepada lembaga lain untuk melaksanakannya, meskipun semakin
kompleksnya aktivitas di dalam pekerjaan dan masyarakat. Sisanya hanya 1
persen yang memiliki ide bahwa perawatan lansia sebaiknya diserahkan kepada
lembaga lainnya untuk melaksanakannya. Data ini dapat dikatakan bahwa hampir
semua responden lansia tidak menginginkan dirinya maupun lansia lainnya
dirawat oleh lembaga lain pada masa yang akan datang. Mereka semuanya
menginginkan tetap dirawat oleh keluarganya. Dengan demikian jelas terlihat
meskipun pada saat ini maupun pada masa-masa yang akan datang semakin
kompleksnya aktifitas dalam pekerjaan dan masyarakat tidaklah menjadi
hambatan bagi lansia untuk tetap menginginkan di rawat oleh keluarganya.
Dengan pemahaman bahwa anak memiliki kewajiban untuk merawat orang
tuanya sebagai bagian dari cara untuk membayar hutang (Rna) kepada leluhur
(orang tua), sepertinya orang tua tetap memilih untuk dirawat oleh keluarganya
dengan dukungan perhatian dan kasih sayang yang diberikan oleh keluarganya
dalam merawat lansia selama ini.
Berbagai alasan yang disampaikan oleh responden lansia tentang kenapa
mereka tidak menginginkan untuk dirawat oleh lembaga lainnya pada masa yang
akan datang ternyata konsisten dengan alasan kenapa mereka menginginkan untuk
tetap dirawat oleh keluarganya sendiri atau oleh anak-anak mereka. Beberapa
alasan tersebut antara lain: 1). Ada anak cucu yang akan merawat; 2). Ada
keluarga yang mengurus; 3). Anak lebih mampu merawat orang tua; 4). Anak
lebih memahami dan mengerti orang tuanya dibandingkan dengan orang lain; 5).
92
Anak masih membutuhkan orang tua; 6). Agar terus dapat berkumpul dengan
keluarga; 7). SEnang diurus oleh anak; 8). Merasa lebih aman dengan keluarga;
9). Tidak nyaman dengan orang lain; 10). Dengan anak dapat lebih leluasa ; 11).
Sudah menjadi tanggung jawab anak untuk merawat orang tua. Berdasarkan
jawaban yang disampaikan sebelumnya, ternyata alasan yang paling banyak
dipilih kenapa mereka tidak menginginkan dirawat oleh lembaga lainnya pada
masa yang akan datang, karena mereka masih memiliki anak yang akan merawat
mereka sehingga tidak membutuhkan lembaga lainnya untuk kegiatan tersebut.
Selain itu alasan yang juga banyak disampaikan selain alasan yang pertama tadi
adalah anak berkewajiban merawat orang tuanya, sehingga orang tua akan
menjadi tanggung jawab anak pada masa yang akan datang dalam perawatan yang
dibutuhkan. Pemahaman ini juga memberikan makna bahwa keluarga yang dalam
hal ini meliputi anak, menantu, keponakan, cucu, adik, saudara, ipar akan menjadi
tumpuan bagi lansia kelak di masa tuanya. Semasih ada keluarga-keluarga
tersebut, maka orang tua tidak akan pernah berpikir untuk mau dirawat oleh pihak
atau lembaga lainnya. Dengan demikian keluarga, tidak hanya keluarga inti
(nuclear family) yang mereka harapkan, juga keluarga luas (extended family) yang
menjadi demikian penting bagi para lansia di Bali. Sekarang persoalannya
bagaimana jika lansia tidak memiliki keluarga, hidup sebatang kara, tidak ada
istri/suami/anak maupun keluarga luas lainnya, siapa pihak yang akan
mengurusnya. Kelompok masyarakat yang seperti ini mungkin menjadi tanggung
jawab pemerintah atau pihak lainnya yang berkecimpung dibidang ini. Namun
demikian apakah kelompok masyarakat yang sebatang kara, hidup sendiri tanpa
93
keluara inti maupun keluarga luas bersedia untuk tinggal terpisah dengan
warganya dimana dia sudah hidup sekian lama. Hal ini juga menjadi pertanyaan
tersendiri jika suatu saat pemerintah daerah maupun lembaga-lembaga lainnya
berkeinginan untuk mendirikan panti jompo atau panti werda mengingat
kekerabatan di Bali masih demikian kental khususnya umat Hindu. Walaupun
tidak ada hubungan darah, namun masih dalam satu Banjar misalnya, maka
kemungkinan mereka akan tetap menghendaki tinggal dilingkungannya, apalagi
pada mereka yang masih memiliki keluarga inti atau pun keluarga luas.
Satu hal yang juga ditanyakan kepada para lansia dalam penelitian ini
adalah apakah mereka setuju jika para lansia dirawat oleh lembaga lain yang lebih
professional dalam memberikan perawatan kepada lansia. Dengan penambahan
kata professional dalam pertanyaan tersebut juga tidak memberikan respon yang
jauh berbeda dengan sebelumnya. Sebanyak 95 persen responden lansia
menyatakan tidak setuju dirawat oleh lembaga lain yang lebih professional, hanya
5 persen yang menyatakan setuju. Responden lansia yang menayatakan setuju
dirawat oleh lembaga lain yang lebih professional memberikan alasan agar para
lansia mendapatkan perawatan yang lebih baik, dan jika tidak ada yang
bertanggung jawab terhadap lansia tersebut. Alasan ini dapat dimaknai jika tidak
ada keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga luas yang bertanggung jawab
terhadap lansia tersebut, maka lebih baik dirawat oleh lembaga lain yang lebih
professional tersebut. Dengan kata lain jika masih ada keluarga yang bertanggung
jawab terhadap para lansia, maka lebih baik keluarga sendiri yang merawat lansia
tersebut. Jawaban responden mengenai pertanyaan ini mungkin akan berkaitan
94
erat dengan kondisi responden lansia saat ini. Responden lansia yang menyatakan
tidak setuju jika dirawat oleh lembaga yang lebih professional kemungkinan telah
merasa bahagia dan senang dirawat oleh keluarganya, sehingga tidak memerlukan
lagi lembaga tersebut. Di pihak lain jika ada responden lansia yang merasa tidak
memperoleh perawatan yang dirasakan memadai dari keluarganya selama ini,
mungkin mereka akan setuju jika lansia dirawat oleh lembaga yang lebih
professional. Mengingat kondisi responden lansia hampir semuanya merasa
senang, nyaman, dan bahagia dirawat oleh keluarganya, maka mereka
memberikan jawaban tidak setuju jika para lansia dirawat oleh lembaga yang lebih
professional dalam memberikan perawatan. Sangat sedikit yang setuju jika lansia
yang ada dirawat oleh lembaga lain yang lebih professional.
Alasan yang disampaikan oleh responden lansia kenapa mereka tidak
setuju jika para lansia dirawat oleh lembaga lain yang lebih professional juga
konsisten dengan alasan-alasan lain yang telah disebutkan sebelumnya. Ada
beberapa alasan penting yang disampaikan oleh para lansia antara lain: 1). Anak
lebih memahami keadaan orang tua. Mereka beranggapan tidak ada orang lain lagi
yang lebih memahami apa yang diinginkan oleh orang tua, apa kemauan orang
tua, apa kebiasaannya dan sebagainya selain anaknya sendiri atau keluarganya, hal
inilah yang mendasari jawaban responden lansia tersebut. 2). Lebih nyaman dan
lebih senang dirawat oleh anak/keluarga. Anak/keluarga adalah orang-orang dekat
yang biasa mereka lihat dan diajak bergaul dalam kesehariannya, maka sangatlah
masuk akal jika mereka akan merasa lebih nyaman jika dihari tuanya hidup
dengan anak/keluarganya. 3). Merawat orang tua adalah tanggung jawab dan
95
kewajiban anak, sehingga mereka tidak setuju jika lembaga lain yang mengambil
alih tanggung jawab tersebut; 4). Masih ada anak dan keluarga yang akan merawat
para lansia, agar terus dapat berkumpul dengan keluarga, sehingga tidak setuju
jika para lansia dirawat oleh lembaga lain. Dengan demikian dapat dikatakan
mereka para lansia lebih menginginkan dirawat oleh keluarga atau anak-anak
mereka meskipun mungkin mereka kurang professional dalam merawat orang tua.
Namun yang lebih penting mungkin kasih saying, dan perhatian yang tulus yang
diterima oleh para lansia yang menyebabkan mereka tetap memilih keluarga
sebagai tempat dalam menghabiskan hari tua.
Pertanyaan lain yang diajukan kepada responden lansia juga dijawab
konsisten oleh responden. Dalam penelitian ini ditanyakan jika ada lembaga
lain/organisasi lain yang bersedia merawat para lansia apakah mereka bersedia?
Jawaban dari pertanyaan ini juga konsisten dengan jawaban-jawaban mereka pada
pertanyaan-pertanyaan lain sebelumnya. Sebanyak 99 persen dari responden
lansia atau hampir seluruhnya yang menyatakan tidak bersedia, hanya 1 persen
yang menjawab bersedia. Responden lansia yang menyatakan bersedia juga
memiliki alasan jika tidak ada yang akan merawat lansia di rumah, artinya jika
ada yang akan merawat lansia di rumah maka lebih baik di rawat di rumah oleh
keluarga. Secara implisit juga berarti dibandingkan dengan tidak ada orang yang
merawat lansia tersebut, maka lebih baik lansia dirawat oleh lembaga lain
tersebut, demikian sebaliknya. Alasan mereka tidak bersedia dirawat oleh lembaga
lain tersebut juga konsisten dengan jawaban-jawaban sebelumnya. Alasan-alasan
tersebut antara lain: 1) Tidak mau berpisah atau jauh dari anak-anak/keluarga dan
96
cucu, artinya mereka tidak menginginkan perpisahan dengan keluarganya. 2).
Anak masih membutuhkan orang tua, artinya orang tua tidak akan tega
meninggalkan anaknya jika harus tinggal di tempat lain; 3). Ingin berada di rumah
sampai tua; 4). Lebih senang dirawat oleh anak/keluarga sendiri dibandingkan
dengan orang lain, dan tidak merasa nyaman dengan orang lain; 5). Ini tanggung
jawab anak dalam merawat orang tua di hari tua mereka. Penjelasan ini dapat
disimpulkan bahwa mereka tidak mau dirawat oleh lembaga lain walaupun ada
yang bersedia untuk itu. Mereka tetap menginginkan kelaurga atau anak-anak
mereka yang akan merawatnya di hari tua.
Pertanyaan untuk memastikan keinginan mereka juga ditanyakan disini,
dengan pertanyaan apakah mereka tetap menginginkan untuk dirawat oleh anak-
anak atau keluarga sendiri, ternyata semua responden (100 persen) menjawab ya.
Ini berarti semua responden tetap menginginkan mereka dirawat oleh
keluarga/anak-anak mereka. Alasan mereka senada dengan alasan-alasan
sebelumnya antara lain: 1). Agar dekat dengan anak dan cucu, mereka adalah
kebahagiaan lansia di hari tua; 2). Agar dapat menikmati hari tua dengan anak dan
cucu; 3). Anak dan orang tua saling membutuhkan; 4). Agar anak tidak lupa pada
orang tua, sehingga tidak lepas ikatan dengan anak.
Responden lansia juga menyatakan dan memahami bahwa keturunan/anak
memiliki kewajiban secara etika/moral dan agama untuk merawat orang tua di
hari tua mereka. Semua responden menyatakan mengetahui tentang hal tersebut.
Pengetahuan lansia tentang hal ini juga dapat dibuktikan dari beberapa alasan
yang telah dibahas sebelumnya antara lain pernyataan dari responden yang
97
menyatakan bahwa anak bertanggung jawab atau berkewajiban untuk mengurus
orang tua mereka pada saat mereka sudah lanjut usia. Jawaban mereka tersebut
secara implicit sudah bermakna mereka memiliki pengetahuan bahwa
keturunan/anak memiliki kewajiban secara etika/moral dan agama untuk merawat
orang tuanya pada masa tuanya. Beberapa ajaran agama yang dipandang sesuai
dengan hal tersebut antara lain Ajaran tentang Catur Guru yang didalamnya
mengandung nilai tentang Guru Rupaka, yang menyebutkan anak harus hormat
kepada ayah dan ibu atau orang tua yang melahirkan mereka ke dunia. Dengan
pemahaman tentang konsep ini, maka para lansia akan merasa bahwa sudah ada
anak/keluarga yang memiliki kewajiban untuk merawat mereka di hari tua,
sehingga mereka merasa tidak perlu untuk memikirkan lembaga lainnya untuk
merawat mereka nanti.
Selain itu ada Ajaran agama yang lainnya yang juga disebutkan seperti Tri
Hita Karana, yang salah satu didalamnya menjaga hubungan yang harmonis antar
sesama manusia, dalam hal ini antara anak/keluarga dengan lansia. Ajaran ini juga
akan menguatkan tekad lansia bahwa mereka nantinya akan diurus oleh
keluarga/anak-anak mereka. Selain itu ada juga nilai-nilai lain yang mereka
sampaikan seperti Tri Kaya Parisudha, yang berarti berpikir, berkata, dan berbuat
yang benar. Hal ini juga menjadi dasar nilai-nilai dari lansia yang menguatkan
mereka untuk dirawat di rumah. Dengan pemahaman tentang nilai-nilai Ajaran
Agama Hindu tersebut, maka lansia tetap menginginkan di rawat di rumah sebagai
bagian dari implementasi ajaran agama dalam kehidupan. Hal ini didukung oleh
jawaban responden tentang pertanyaan apakah perawatan yang lansia dapatkan
98
sudah sesuai dengan ajaran agama. Semua responden lansia (100 persen)
menyatakan sudah sesuai dengan ajaran agama tentang perawatan yang dilakukan
oleh keluarga/anak-anaknya selama ini. Responden secara umum dan sebagian
besar merasakan bahwa keluarga/anak-anak mereka merawatnya dengan tulus
karena memahami dan bersedia melaksanakan ajaran agama dalam kaitannya
dengan ajaran Catur Guru khususnya hormat kepada Guru Rupaka/orang tua yang
sudah melahirkan mereka.
Dengan pandangan yang seperti itu dan merasakan bahwa keluarga/anak-
anaknya merawat lansia dengan sebaik-baiknya yang merupakan sebuah
implementasi dari ajaran agama khususnya Agama Hindu, maka semua responden
lansia menginginkan kondisi tersebut harus tetap dipertahankan pada masa yang
akan datang. Hal ini juga berarti bahwa responden lansia tidak bersedia
memberikan ruang untuk lembaga atau pihak lain untuk memberikan perawatan
kepada lansia pada masa yang akan datang. Beberapa alasan yang disampaikan
kenapa responden lansia tetap menginginkan kondisi ini dipertahankan artinya
tetap menginginkan perawatan sesuai dengan ajaran agama yang ada antara lain:
1) Agar anak cucu tetap hormat dan berbakti pada orang tua, tidak durhaka dan
bertanggung jawab kepada orang tua; 2). Agar hubungan antara anak dan orang
tua selalu terjaga, saling mengormati, rukun dalam keluarga; 3). Kewajiban anak
melayani orang tuanya di masa tuanya; 4). Harus dilaksanakan turun temurun,
artinya kondisi ini harus dipertahankan dimasa yang akan datang sehingga ajaran-
ajaran agama tersebut nilai-nilainya dapat dilestarikan untuk generasi penerus, 5).
Tradisi memang harus dipertahankan sampai kapanpun.
99
Memperhatikan bagaimana pandangan responden tentang bagaimana
perawatan yang telah dirasakan oleh lansia selama ini, maka mereka
berpendapatan bahwa perawatan yang diberikan oleh keluarga selama ini sudah
cukup, memadai, dan merasa sudah aman dan nyaman yang disampaikan oleh
sebagian besar responden. Ada sebagian kecil yaitu hanya 1 persen yang masih
merasa tidak puas terhadap perawatan yang diberikan oleh anak/keluarganya
selama ini, sehingga akan mempengaruhi persepsinya tentang pola perawatan
yang diinginkan oleh lansia. Mereka menginginkan dirawat dengan penuh kasih
sayang, iklas, perhatian, dirawat dengan lebih baik, dan tidak mengabaikan oleh
keluarga/anak-anak mereka. Hal ini diinginkan oleh hanya sangat sedikit
responden yang merasa belum mendapatkan apa yang diinginkan atau diharapkan.
Dengan demikian pola perawatan yang diinginkan oleh mereka berdasarkan
pengalaman yang kurang baik yang mereka rasakan selama ini. Bagi responden
lansia yang dirawat dengan baik oleh keluarga/anak-anaknya, mereka sudah
merasa cukup apa yang mereka sudah dapatkan sehingga tidak menginginkan pola
perawatan yang lainnya lagi.
4.3.4 Pola Perawatan Penduduk Lansia yang Dilakukan oleh Keluarganya
Sebelum mengupas lebih jauh mengenai perawatan penduduk lansia,
terlebih dahulu akan dipaparkan tentang keberadaan penduduk lansia, informasi
terkait bina keluarga lansia (BKL), dan pengalaman yang diperoleh keluarga ini
dalam pembinaan lansia. Keberadaaan lansia dapat ditelusuri melalui banyaknya
lansia yang menjadi cakupan keluarga responden. Jumlah lansia dalam keluarga
tidak banyak variasinya, yaitu berkisar dari satu hingga tiga orang. Sekitar 65
100
persen responden keluarga lansia menyatakan masing-masing memiliki seorang
penduduk lansia dalam keluarganya, sebanyak 33 persen menyatakan masing-
masing memiliki dua orang penduduk lansia, dan sebagian kecil sisanya masing-
masing memiliki tiga orang penduduk lansia. Selain itu diinformasikan pula
bahwa hampir seluruh penduduk lansia yang digambarkan di atas adalah
penduduk lansia yang aktif.
Selanjutnya, terkait dengan pengetahuan responden terhadap bina keluarga
lansia (BKL), tampak bahwa lebih dari 70 persen menyatakan pernah mendengar
tentang BKL. Informasi tentang BKL diperoleh responden dari berbagai sumber,
seperti dari banjar, desa, kelurahan, puskesmas, dari tetangga, atau saudara.
Meskipun demikian, dalam penelitian ini ditemukan bahwa hanya tiga sumber
informasi yang menonjol; yaitu yang berasal dari banjar (35,3 persen), dari banjar
dan kelurahan (16,0 persen), dan dari desa (7,3 persen). Tingginya pengetahuan
responden terhadap BKL tidak secara otomatis berarti bahwa jumlah keluarga
yang menjadi anggota BKL juga banyak. Persentase keluarga yang menyatakan
pernah menjadi anggota BKL sebesar 22,00 persen. Sementara yang tetap aktif
mnegikuti kegiatan BKL sampai saat penelitian ini dilakukan hanya sekitar 7
persen, dan umumnya mereka memperoleh pembinaan dari petugas yang berasal
dari Puskesmas.
Meskipun proporsi responden yang mengikuti kegiatan BKL angkanya
relatif rendah, bukan berarti para responden lainnya tidak melakukan upaya-upaya
terkait dengan perawatan penduduk lansia. Bahkan upaya-upaya yang dilakukan
oleh para responden relatif beragam, baik berkaitan dengan kesehatan secara fisik,
101
kesehatan secara psikis, kesehatan secara sosial ekonomi, dan kesehatan secara
spiritual. Masing-masing upaya yang dilakukan responden dalam perawatan
penduduk lansia akan diuraikan secara berturut-turut berikut ini.
1) Upaya-upaya yang dilakukan keluarga untuk menjaga penduduk lansiaagar tetap sehat secara fisik
Upaya yang dilakukan terkait dengan kesehatan secara fisik adalah (1)
memberikan gizi seimbang; (2) mengatur jadwal makannya; (3) mengatur asupan
makan sesuai dengan diet yang dianjurkan; (4) menyarankan berolahraga; (5)
menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya; (6) menyarankan dan/atau
menjaga kebersihan lingkungan; (7) menyarankan dan/atau melakukan
pemeriksaan kesehatan secara teratur; dan (8) mengajak/memeriksakan
kesehatannya jika sakit.
Selanjutnya hasil penelitian tentang upaya-upaya yang dilakukan
responden untuk menjaga kesehatan penduduk lansia secara fisik dapat
digambarkan sebagai berikut: Posisi pertama ditunjukkan oleh upaya
mengajak/memeriksakan kesehatannya jika sakit (lebih dari 90 persen), disusul
oleh upaya menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya (sekitar 80 persen).
Upaya yang bersifat mengatur jadwal makannya, memberikan gizi seimbang, dan
menyarankan dan/atau menjaga kebersihan lingkungan dengan proporsi masing-
masing sekitar 70 persen. Sementara itu upaya yang menyarankan berolahraga
hampir mencapai 60 persen, sedangkan upaya yang bersifat mengatur asupan
makanan sesuai diet yang dianjurkan dan mengajak dan/atau melakukan
pemeriksaan kesehatan secara teratur masing-masing proporsinya kurang dari 50
102
persen. Selengkapnya hal- hal yang dipaparkan di atas disajikan secara rinci pada
Tabel 4.23.
Tabel 4.23Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang Dilakukan Dalam Perawatan
Fisik Penduduk Lansia, Studi Pola Perawatan Penduduk LansiaPada Masyarakat Bali
No. Upaya yang dilakukan responden Jumlahresponden
memilih “ya”*)(dalam orang)
Proporsiresponden
memilih “ya”**)(dalam persen)
1. Memberikan gizi seimbang 107 71,32. Mengatur jadwal makannya 111 74,03. Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan66 44,0
4. Menyarankan berolahraga 88 58,75. Menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya121 80,7
6. Menyarankan dan/atau menjagakebersihan lingkungan
105 70,0
7. Menjaga dan/atau melakukanpemeriksaan kesehatan secara teratur
59 39,3
8. Mengajak/memeriksakan kesehatanjika sakit
139 92,7
Sumber: Hasil Penelitian Data PrimerCatatan: *) Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban sesuai dengan
upaya yang dilakukan.**) Proporsi dihitung dari jumlah responden yang menjawab “ya”
dibagi dengan total responden.
Upaya-upaya yang dilakukan responden keluarga lansia terhadap
penduduk lansia (orang tua responden) tampaknya masih tetap sejalan dengan
prinsip-prinsip “guru rupaka”. Salah satu prinsipnya adalah bahwa anak memiliki
kewajiban moral untuk memelihara dan merawat orang tuanya hingga akhir
hayatnya, karena orang tualah yang telah melahirkan, membesarkan, serta
mengantarkan anak-anaknya sampai berhasil. Hal ini terungkap dari tingginya
persentase jawaban responden untuk pernyataan-pernyataan yang meliputi (1)
103
mengajak/memeriksakan kesehatan jika sakit; (2) menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya; (3) mengatur jadwal makannya; (4) memberikan gizi
seimbang; dan (5) menyarankan dan/atau menjaga kebersihan lingkungan.
Persentase yang tinggi atas pernyataan-pernyataan di atas mencerminkan bahwa
anak-anak sudah menunaikan kewajiban untuk menjaga atau merawat orang
tuanya dengan cara mengajak/memeriksakan kesehatan jika sakit. Tindakan yang
dilakukan responden untuk menjaga kesehatan orang tuanya jika sakit tergolong
tindakan yang bersifat kuratif atau pengobatan. Selain tindakan kuratif, secara
tidak langsung dari hasil penelitian ini juga terungkap bahwa responden telah
melakukan tindakan preventif, yaitu tindakan yang bersifat mencegah timbulnya
penyakit-penyakit yang kemungkinan akan menyerang penduduk lansia. Hal ini
dicerminkan oleh tingginya persentase jawaban yang berkaitan dengan
“menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya“, “mengatur jadwal
makannya”, “memberikan gizi seimbang”, “menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan lingkungan”. Bahkan yang menarik pula dalam penelitian ini adalah
“menyarankan penduduk lansia untuk berolahraga”. Meskipun persentasemya
hanya sekitar 60 persen, namun melalui olahraga yang teratur sangat efektif untuk
mencegah kemungkinan timbulnya serangan penyakit terhadap penduduk lansia.
Pola perawatan penduduk lansia secara fisik yang digambarkan di atas
masih bersifat umum, karena belum dikaitkan dengan variabel-variabel lain, yaitu
tempat tinggal, pendidikan, status pekerjaan, dan penghasilan responden. Tempat
tinggal dibedakan menjadi daerah perkotaan yang diwakili oleh Kota Denpasar,
dan daerah perdesaan yang diwakili oleh Kabupaten Tabanan. Tingkat pendidikan
104
dibagi menjadi dua kategori, yaitu pendidikan SLTA ke bawah dan pendidikan
tinggi. Status pekerjaan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu status formal adalah
untuk pekerjaan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan pegawai swasta, dan di
pihak lain pekerjaan-pekerjaan yang berstatus informal adalah petani, buruh
bangunan, wiraswasta, pedagang, dan lainnya. Penghasilan responden mencakup
dua kelompok, yaitu kurang dari Rp.2 juta dan Rp.2 juta ke atas.
a) Hubungan antara daerah tempat tinggal dengan upaya-upaya yangdilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia secara fisik
Daerah perkotaan sering dikonotasikan sebagai daerah dimana ikatan-
ikatan sosial kekerabatan yang semakin mengendor, dan di pihak lain di daerah
perdesaan, ikatan-ikatan kekerabatan umumnya masih relatif kental. Namun
demikian, dengan semakin majunya tingkat pendidikan, meningkatnya status
ekonomi, kemajuan di bidang komunikasi dan informasi, ditambah pula semakin
lancarnya hubungan antara daerah perkotaan dengan perdesaan ternyata turut
berpengaruh terhadap kekentalan ikatan kekerabatan yang ada di daerah
perdesaaan. Selanjutnya, hal ini akan turut berpengaruh terhadap seberapa jauh
perbedaan antara daerah perkotaan dengan perdesaan khususnya terkait dengan
upaya-upaya yang dilakukan responden terhadap perawatan penduduk lansia
secara fisik (Tabel 4.24).
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Tabel 4.24 dapat digambarkan
bahwa di daerah perkotaan terdapat tiga upaya menonjol yang dilakukan
responden dalam perawatan kesehatan penduduk lansia secara fisik, yaitu (1)
memberikan gizi yang seimbang; (2) menyarankan berolahraga; dan (3)
mengajak/memeriksakan kesehatannya jika sakit. Sementara itu, di daerah
pedesaan ditemukan lebih banyak upaya yang menonjol yang dilakukan
105
responden, yaitu (1) mengatur jadwal makannya; (2) mengatur asupan makanan
sesuai dengan diet yang dianjurkan; (3) menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya; (4) menyarankan dan/atau menjaga kebersihan lingkungan;
dan (5) mengajak dan/atau melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur.
Tabel 4.24Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik
No. Upaya yang dilakukan responden DaerahPerkotaan
memilih “ya”(dalam persen)
DaerahPerdesaan
memilih “ya”(dalam persen)
1. Memberikan gizi seimbang 77,3 65,32. Mengatur jadwal makannya 66,0 88,03. Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan38,0 52,0
4. Menyarankan berolahraga 73,3 44,05. Menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya32,7 78,7
6. Menyarankan dan/atau menjagakebersihan lingkungan
69,3 70,3
7. Menjaga dan/atau melakukanpemeriksaan kesehatan secara teratur
21,3 57,3
8. Mengajak/memeriksakan kesehatanjika sakit
94,7 90,7
Sumber: Hasil Penelitian Data PrimerCatatan: 1) Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban sesuai dengan
upaya yang dilakukan.2) Persen dihitung dari jumlah responden yang menjawab “ya”
dibagi dengan total responden.
Tiga upaya menonjol yang dilakukan oleh responden di daerah perkotaan
sangat logis, karena upaya atau tindakan yang diambil oleh responden di daerah
cenderung lebih bersifat rasional mengingat kedekatan hubungan antara
masyarakat di daerah perkotaan relatif berbeda dengan masyarakat di daerah
perdesaan. Mengatur gizi yang seimbang adalah tindakan yang berupaya untuk
menjaga kestabilan kesehatan fisik penduduk, dalam hal ini termasuk penduduk
106
lansia. Demikian pula, upaya yang menyarankan penduduk lansia untuk
berolahraga adalah saran yang positif. Kegiatan berolahraga akan menyebabkan
tubuh tetap sehat dan bugar, sirkulasi darah dalam tubuh menjadi stabil dan
teratur, dan dapat mencegah kemungkinan terjadinya timbunan lemak yang sangat
berbahaya bagi kesehatan. Demikian pula terkait dengan upaya
mengajak/memeriksakan kesehatannya jika sakit adalah sebuah tindakan yang
rasional, karena semakin cepat memperoleh pelayanan kesehatan akan cepat pula
dapat diketahui penyebab penyakitnya. Pada akhirnya, hal ini akan berimplikasi
pada pemberian terapi yang tepat kepada penderita, yang dalam hal ini adalah
penduduk lansia. Tentu saja kecepatan penanganan kesehatan penduduk lansia di
daerah perkotaan sangat didukung oleh aksesibilitas pelayanan kesehatan di
daerah perkotaan jauh lebih baik dibandingkan dengan di daerah perdesaan.
Telah dikemukakan pada bagian sebelumnya bahwa ikatan kekerabatan
pada masyarakat di daerah perdesaan relatif lebih kental dibandingkan dengan
masyarakat di daerah perkotaan. Kondisi seperti ini tentunya tidak dapat
dilepaskan dari ciri-ciri perekonomian perdesaan pada masa lalu yang cenderung
bersifat monokultur, yaitu sektor agraris atau pertanian. Ketergantungan pada
sektor pertanian juga mencerminkan siklus kegiatan atau pekerjaan yang sama
antarwarga masyarakat. Beranjak dari kondisi inilah munculnya kekentalan ikatan
kekerabatan masyarakat di daerah perdesaan. Hubungan kekerabatan antarwarga
masyarakat di daerah perdesaan lebih bersifat emosional, sedangkan di daerah
perkotaan lebih bersifat rasional. Memperhatikan keseharian warga masyarakat di
daerah perdesaan seperti di atas, maka wajar apabila ditemukan upaya-upaya
107
menonjol yang dilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia di
perdesaan antara lain (1) mengatur jadwal makannya; (2) mengatur asupan
makanan sesuai dengan diet yang dianjurkan; (3) menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya; (4) menyarankan dan/menjaga kebersihan lingkungan; dan (5)
mengajak dan/atau melakukan kesehatan secara teratur. Kelima upaya yang
diungkapkan di atas akan lebih banyak menyita waktu dalam perawatan kesehatan
penduduk lansia sehari-hari. Kondisi ini dimungkinkan, karena pengaturan waktu
kerja pada aktivitas di sektor pertanian relatif lebih fleksibel dibandingkan dengan
kegiatan-kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian. Aktivitas ekonomi di luar
pertanian umumnya lebih menonjol di daerah perkotaan.
b) Hubungan antara tingkat pendidikan dengan upaya-upaya yangdilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia secara fisik
Pada pembahasan hubungan antara tingkat pendidikan dengan upaya-
upaya yang dilakukan oleh responden dalam perawatan penduduk lansia secara
fisik, dapat dikemukakan bahwa tingkat pendidikan responden hanya dibagi dua,
yaitu pendidikan SLTA ke bawah dan pendidikan tinggi. Alasan pemilahan
tingkat pendidikan menjadi dua kelompok adalah atas dasar pertimbangan
kecilnya poporsi responden yang berpendidikan rendah (SD ke bawah). Hubungan
antara tingkat pendidikan dengan upaya-upaya yang dilakukan responden dalam
perawatan penduduk lansia secara fisik disajikan secara rinci pada Tabel 4.25.
Berdasarkan data pada Tabek 4.25, diperoleh bahwa upaya-upaya yang
lebih menonjol dilakukan oleh responden berpendidikan tinggi adalah sebagai
berikut (1) memberikan gizi seimbang; (2) mengatur jadwal makannya; (3)
108
mengatur asupan makanan sesuai dengan diet yang dianjurkan; (4) menyarankan
berolahraga; (5) menjaga dan/atau melakukan pemeriksaan kesehatan secara
teratur; dan (6) mengajak/memeriksakan kesehatan jika sakit. Sementara itu,
responden yang berpendidikan SLTA ke bawah hanya melakukan dua upaya
menonjol yaitu (1) menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya; dan (2)
menyarankan dan/atau menjaga kebersihan lingkungan.
Tabel 4.25Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik
No. Upaya yang dilakukan responden SLTA kebawah
(dalam persen)
PendidikanTinggi
(dalam persen)1. Memberikan gizi seimbang 68,4 76,92. Mengatur jadwal makannya 73,5 75,03. Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan39,8 51,9
4. Menyarankan berolahraga 51,0 73,15. Menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya82,6 76,9
6. Menyarankan dan/atau menjagakebersihan lingkungan
76,5 67,7
7. Menjaga dan/atau melakukanpemeriksaan kesehatan secara teratur
35,7 46,2
8. Mengajak/memeriksakan kesehatanjika sakit
91,8 94,2
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Jika diperhatikan kedua upaya yang dilakukan oleh responden yang berpendidikan
SLTA ke bawah ternyata masih terbatas pada menyarankan apa yang harus
dilakukan oleh penduduk lansia agar yang bersangkutan sehat secara fisik.
Upaya-upaya yang bersifat menyarankan tentu saja tidak memiliki risiko
pengeluaran biaya. Hal ini tentu berbeda jika dikaitkan dengan upaya-upaya yang
dilakukan oleh responden yang berpendidikan tinggi, ternyata lebih banyak yang
109
memiliki risiko pengeluaran. Misalnya memberi gizi seimbang; mengatur jadwal
makannya; mengatur asupan makanan sesuai diet yang dianjurkan; menjaga
dan/atau memeriksakan kesehatan secara teratur; dan menjaga/memriksakan
kesehatannya jika sakit semuanya mengandung risiko pengeluaran. Artinya,
bahwa mereka yang lebih berpendidikan ternyata lebih berani mengambil risiko
pengeluaran ketimbang mereka yang berpendidikan lebih rendah. Responden
berpendidikan tinggi bertindak lebih rasional, lebih tanggap, dan lebih berani
mengambil risiko dibandingkan dengan responden berpendidikan rendah.
c) Hubungan antara status pekerjaan dengan upaya-upaya yang dilakukanresponden dalam perawatan penduduk lansia secara fisik
Status pekerjaan responden dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
formal dan informal. Status formal mencakup pekerjaan sebagai PNS dan pegawai
swasta, dan yang berstatus informal adalah petani, buruh bangunan, wiraswasta,
pedagang, dan lainnya. Pengelompokan pekerjaan menjadi formal dan informal
tersebut sejalan dengan pengelompokan yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), yang menyebutkan bahwa pekerjaan informal adalah (1) mereka yang
memiliki status pekerjaan berusaha sendiri (tanpa bantuan orang lain); (2)
berusaha dibantu anggota rumah tangga atau dibantu buruh tidak tetap; dan (3)
pekerja keluarga yang tidak dibayar. Sementara itu pekerjaan formal adalah (1)
mereka yang memiliki status pekerjaan berusaha dibantu buruh tetap dan (2)
status pekerjaan sebagai buruh/karyawan. Pada Tabel 4.26 disajikan data yang
menggambarkan hubungan antara status pekerjaan responden dengan upaya-upaya
yang dilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia.
110
Status pekerjaan formal ternyata menonjol pada upaya-upaya yang
dilakukan responden terkait dengan upaya (1) memberikan gizi seimbang; (2)
mengatur jadwal makannya; (2) mengatur asupan makanan sesuai dengan diet
yang dianjurkan; (4) menyarankan berolahraga; dan (5) menjaga dan/atau
melakukan pemeriksaan kesehatan secara teratur. Perbedaan anatara pekerjaan
formal dan informal sesungguhnya terkait dengan masalah pengaturan baik terkait
dengan syarat-syarat kerja dan hak-hak pekerja, seperti umur, pendidikan,
keterampilan, jam/hari kerja, maupun penghasilan. Dengan demikian penghasilan
yang diperoleh responden pada pekerjaan-pekerjaan formal cenderung lebih
teratur. Sebagai implikasinya, responden pada pekerjaan formal lebih berpeluang
melakukan upaya-upaya seperti memberikan gizi yang seimbang, mengatur
jadwal makannya, menjaga dan/atau melakukan pemeriksaan kesehatan secara
teratur. Sebaliknya, para responden dengan status pekerjaan informal
kemungkinan akan menghadapi persoalan kurang teraturnya penghasilan yang
mereka peroleh, sehingga hal ini berdampak pada upaya-upaya yang dilakukan
responden dalam perawatan penduduk lansia. Mereka cenderung mengambil
peluang pada upaya-upaya yang tidak berisiko pada pengeluaran secara teratur,
seperti menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya dan/atau menjaga
kebersihan lingkungan. Akhirnya, yang cukup menarik adalah upaya
menjaga/memeriksakan kesehatan jika sakit, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara responden dengan status pekerjaan formal dan informal. Artinya,
bahwa upaya yang terakhir diambil bukan semata-mata dilandasi oleh
pertimbangan ekonomi, melainkan lebih merupakan kewajiban yang harus dipikul
111
oleh anak terhadap orang tuanya. Anak tidak cukup hanya berbakti atau
menghormati orang tuanya, namun harus diwujudkan dalam tindakan-tindakan
nyata seperti upaya melakukan perawatan orang tua selama hidupnya sampai
melakukan upaya kematian apabila orang tuanya meninggal.
Tabel 4.26Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik
No. Upaya yang dilakukan responden Status Formal(dalam persen)
Status Informal(dalam persen)
1. Memberikan gizi seimbang 71,6 66,72. Mengatur jadwal makannya 73,5 71,43. Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan44,1 42,9
4. Menyarankan berolahraga 64,7 45,25. Menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya79,4 81,0
6. Menyarankan dan/atau menjagakebersihan lingkungan
67,6 73,8
7. Menjaga dan/atau melakukanpemeriksaan kesehatan secara teratur
39,2 31,0
8. Mengajak/memeriksakan kesehatanjika sakit
92,2 92,9
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
d) Hubungan antara penghasilan dengan upaya-upaya yang dilakukanresponden dalam perawatan penduduk lansia secara fisik
Untuk merealisasikan berbagai upaya yang dilakukan responden dalam
perawatan penduduk lansia sangat erat kaitannya dengan ketersediaan dana, dan
hal ini tercermin dari penghasilan yang diperoleh responden. Informasi mengenai
penghasilan responden digali dari pertanyaan tentang status ketenagakerjaan
responden, apakah bekerja atau tidak bekerja, Jika ternyata menjawab bekerja,
maka disusul dengan pertanyaan lanjutan yang terkait dengan lapangan pekerjaan
responden. Berdasarkan informasi yang terakhir inilah kemudian ditanyakan
112
tentang penghasilan rata-rata responden per bulan. Penghasilan per bulan yang
diperoleh responden dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu < Rp 2,0 juta
dan ≥ Rp 2,0 juta. Hubungan antara penghasilan dengan upaya-upaya yang
dilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia disajikan pada Tabel 4.27.
Tabel 4.27Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upaya yang Dlakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Fisik
No. Upaya yang dilakukan responden < Rp 2,0 juta(dalam persen)
≥ Rp 2,0 juta(dalam persen)
1. Memberikan gizi seimbang 61,2 74,72. Mengatur jadwal makannya 91,8 63,23. Mengatur asupan makanan sesuai
dengan diet yang dianjurkan49,0 41,1
4. Menyarankan berolahraga 36,7 70,55. Menyarankan dan/atau menjaga
kebersihan dirinya81,6 78,9
6. Menyarankan dan/atau menjagakebersihan lingkungan
71,6 65,3
7. Menjaga dan/atau melakukanpemeriksaan kesehatan secara teratur
44,9 32,6
8. Mengajak/memeriksakan kesehatanjika sakit
85,7 95,8
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer.
Besar kecilnya penghasilan responden dapat dijadikan proksi terkait
dengan kemampuan responden dalam membiayai pengeluaram-pengeluaran,
termasuk pengeluaran untuk perawatan penduduk lansia. Pada penelitian ini
ditemukan bahwa responden yang memiliki pendapatan Rp 2,0 juta ke atas,
ternyata menonjol pada tiga upaya yang meliputi (1) memberikan gizi seimbang;
(2) menyarankan berolahraga; dan (3) mengajak/memeriksakan kesehatan jika
sakit. Kecuali upaya yang menyarankan penduduk lansia berolahraga, upaya yang
terkait dengan memberikat gizi seimbang dan mengajak/memeriksakan kesehatan
113
jika sakit berkaitan secara langsung dengan pengeluaran. Artinya, bahwa untuk
upaya-upaya yang berisiko pengeluaran seperti memberikan gizi seimbang, dan
mengajak/memeriksakan jika sakit lebih banyak digambarkan oleh responden
dengan penghasilan Rp 2,0 ke atas.
Di pihak lain, responden dengan penghasilan kurang dari Rp 2,0 juta
menonjol pada upaya-upaya seperti (1) mengatur jadwal makannya; (2) mengatur
asupan makanan sesuai dengan diet yang dianjurkan; (3) menyarankan dan/atau
menjaga kebersihan dirinya; (4) menyarankan dan/atau menjaga kebersihan
lingkungan; dan (5) menjaga dan/atau melakukan pemeriksaan kesehatan secara
teratur. Berdasarkan informasi di atas diperoleh bahwa, meskipun mereka juga
terlibat pada upaya-upaya perawatan penduduk lansia yang memiliki risiko
pengeluaran, namun sebagian besar upaya yang dilakukan kurang berkaitan
dengan risiko pengeluaran. Misalnya upaya yang terkait dengan mengatur jadwal
makannya, menyarankan dan/atau menjaga kebersihan dirinya,serta menyarankan
dan/atau menjaga kebersihan lingkungan.
Bertolak dari temuan di atas, terungkap bahwa justru responden dengan
pendapatan lebih rendah (kurang dari Rp 2.0 juta) melakukan upaya yang lebih
banyak dalam perawatan penduduk lansia, baik yang memiliki maupun tidak
memiliki risiko pengeluaran. Tampaknya hal ini erat kaitannya dengan alokasi
waktu responden yang berpenghasilan lebih rendah, lebih banyak punya waktu
untuk mengurus orang tuanya yang sudah lansia daripada responden yang
berpenghasilan lebih tanggi. Namun demikian yang perlu diketahui, bahwa dalam
merawat penduduk lansia tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomis,
114
namun jauh lebih luas yaitu mengacu kepada tanggung jawab dan kewajiban dari
anak terhadap orang tuanya. Hal ini sejalan dengan prinsip-prinsip “guru rupaka”,
bahwa anak tidak cukup hanya menghormati orang tuanya, namun juga memiliki
kewajiban moral untuk memelihara dan merawat orang tuanya selama hidupnya,
serta membuatkan upacara pengabenan setelah meninggal.
2) Upaya-upaya yang dilakukan keluarga untuk menjaga penduduk lansiaagar tetap sehat secara psikis
Upaya-upaya yang dilakukan keluarga untuk menjaga kesehatan penduduk
lansia secara psikis adalah sebagai berikut (1) memberikan peran dalam keluarga;
(2) selalu menjaga perasaannya; (3) memberikan perhatian yang cukup; (4)
menjadikan lansia sebagai tempat meminta nasihat; dan (5) memberikan
kesempatan untuk menyalurkan hobinya. Pentingnya keluarga melakukan upaya
untuk menjaga kesehatan penduduk lansia secara psikis didukung oleh adanya
kenyataan dalam masyarakat bahwa seringkali penduduk lansia kehilangan
perhatian sosial baik dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Kondisi
seperti ini akan dapat menjadi penyebab terjadinya depresi dan keterasingan
dalam dirinya (Direktorat Perkembangan Kependudukan, Direktorat Jenderal
Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri R.I., 2006).
Terkait dengan upaya-upaya di atas hasil penelitian menunjukkan bahwa
peringkat teratas digambarkan oleh upaya “selalu menjaga perasaannya” sebanyak
94,7 persen, disusul oleh upaya “memberikan peran dalam keluarga” sebanyak
93,3 persen, kemudian disusul pula oleh upaya “memberikan perhatian yang
cukup” menduduki tempat ketiga (Tabel 4.28). Sementara itu, upaya-upaya
lainnya seperti “menjadikan lansia sebagai tempat meminta nasihat” dan upaya
115
“memberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya masing-masing berada
pada peringkat yang lebih rendah. Upaya-upaya yang dilakukan oleh keluarga
dalam perawatan penduduk lansia terutama terkait dengan menjaga perasaan,
pemberian peran dalam keluarga dan perhatian yang cukup adalah sangat positif
dalam mendukung keberadaan lansia dalam keluarga. Pengakuan terhadap
keberadaan lansia dalam keluarga bukan semata-mata karena kepedulian keluarga,
melainkan lebih kepada tanggung jawab anak terhadap orang tunanya.
Tabel 4.28Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang Dilakukan
Dalam Perawatan Psikis Penduduk Lansia, Studi Pola Perawatan PendudukLansia Pada Masyarakat Bali
No. Upaya yang dilakukan responden Jumlahresponden
memilih “ya”*)(dalam orang)
Proporsiresponden
memilih “ya”**)(dalam persen)
1. Memberikan peran dalam keluarga 140 93,32. Selalu menjaga perasaannya 142 94,73. Memberikan perhatian yang cukup 120 80,04. Menjadikan lansia sebagai tempat
meminta nasihat106 70,7
5. Memberikan kesempatan untukmenyalurkan hobinya
77 51,3
Sumber: Hasil Penelitian Data PrimerCatatan: *) Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban sesuai dengan
upaya yang dilakukan.**) Proporsi dihitung dari jumlah responden yang menjawab “ya”
dibagi dengan total responden.
Upaya-upaya yang terkait dengan pola perawatan penduduk lansia secara
psikis yang dipaparkan di atas masih bersifat umum, karena belum dikaitkan
dengan perbedaan menurut tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, dan
penghasilan responden. Hubungan antara upaya-upaya perawatan penduduk lansia
116
secara psikis dengan berbagai variabel yang disebutkan di atas akan dibahas
berturut berikut ini.
a) Hubungan antara daerah tempat tinggal dengan upaya-upaya yangdilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia secara psikis
Sebagaimana dikemukakan pada uraian sebelumnya, bahwa daerah tempat
tinggal dibedakan menjadi daerah perkotaan dan daerah perdesaan. Daerah
perkotaan diwakili oleh Kota Denpasar, sedangkan daerah perdesaan diwakili oleh
Kabupaten Tabanan. Temuan yang menarik dari hubungan antara variabel tempat
tinggal dengan upaya-upaya yang dilakukan responden dalam perawatan
penduduk lansia secara psikis, semuanya menggambarkan di daerah perdesaan
lebih menonjol dibandingkan dengan di daerah perkotaan (Tabel 4.29). Kondisi
ini tidak terlepas dari kekentalan ikatan kekerabatan di daerah perdesaan daripada
di daerah perkotaan, dan kentalnya ikatan kekerabatan tersebut tercermin dari
upaya yang cenderung lebih mendahulukan peran orang tua (penduduk lansia)
karena dipandang lebih kaya pengalaman. Terkait dengan pernyataan yang disebut
terakhir (orang tua lebih kaya pengalaman), juga tercermin dari adanya semacam
tradisi yang cenderung menjadikan lansia sebagai tempat meminta nasihat. Di
daerah perdesaan hal ini lebih menonjol daripada di daerah perkotaan.
Selanjutnya, dalam kaitannya dengan upaya untuk memberikan perhatian yang
cukup, ternyata di daerah perdesaan juga lebih menonjol daripada di perkotaan.
Hal ini mengindikasikan bahwa hubungan kemasyarakatan di daerah perdesaan
cenderung lebih bersifat emosional, sementara di daerah perkotaan cenderung
lebih bersifat rasional.
117
Tabel 4.29Hubungan Antara Daerah Tempat Tinggal Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis
No. Upaya yang dilakukan responden DaerahPerkotaan
(dalam persen)
Daerah Perdesaan(dalam persen)
1. Memberikan peran dalam keluarga 89,3 97,32. Selalu menjaga perasaannya 92,0 97,33. Memberikan perhatian yang cukup 73,3 86,74. Menjadikan lansia sebagai tempat
meminta nasihat56,0 85,3
5. Memberikan kesempatan untukmenyalurkan hobinya
50,7 52,0
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer
b) Hubungan antara tingkat pendidikan dengan upaya-upaya yangdilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia secara psikis
Untuk membahas hubungan antara tingkat pendidikan dengan upaya-
upaya yang dilakukan responden dalam perawatan penduduk lansia secara psikis,
terlebih dahulu akan dilakukan pengelompokan tingkat pendidikan menjadi dua,
yaitu (1) SLTA ke bawah dan (2) Pendidikan Tinggi. Hubungan antara tingkat
pendidikan dengan upaya-upaya yang dilakukan responden dalam perawatan
penduduk lansia secara psikis dapat diikuti pada Tabel 4.30. Informasi yang
menarik dari Tabel 5.8 adalah kecuali upaya “memberikan peran dalam keluarga”,
semua upaya lainnya menggambarkan kecenderungan yang menonjol pada tingkat
pendidikan yang lebih rendah (SLTA ke bawah). Kondisi tersebut
mengindikasikan bahwa secara psikis responden yang berpendidikan lebih rendah,
cenderung lebih emosional daripada mereka yang berpendidikan lebih tinggi.
Namun demikian bukan berarti bahwa mereka yang berpendidikan tinggi melulu
hanya mementingkan rasonalitas, atau dengan perkataan lain tidak berperasaan.
Contoh yang berkaitan dengan pernyataan terakhir adalah upaya “selalu menjaga
118
perasaannya”, persentasenya tidak berbeda secara signifikan antara responden
yang berpendidikan SLTA ke bawah dengan mereka yang berpendidikan tinggi.
Artinya, dalam konteks perawatan penduduk lansia tentulah mereka tidak dapat
mengingkari perasaan atau kata hatinya. Lebih-lebih jika hal ini dikaitkan dengan
tugas dan tanggung jawab setiap anak terhadap orang tuanya, seyogyanya nilai-
nilai tradisional yang bersifat positif tersebut harus dapat dilestarikan dan
diteruskan ke generasi berikutnya.
Tabel 4.30
Hubungan Antara Tingkat Pendidikan Dengan Upaya-upaya yang DilakukanResponden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis
No. Upaya yang dilakukan responden SLTA kebawah
(dalam persen)
PendidikanTinggi
(dalam persen)1. Memberikan peran dalam keluarga 91,8 96,22. Selalu menjaga perasaannya 94,9 94,73. Memberikan perhatian yang cukup 83.7 73,14. Menjadikan lansia sebagai tempat
meminta nasihat71,4 69,2
5. Memberikan kesempatan untukmenyalurkan hobinya
55,1 44,2
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer
c) Hubungan antara status pekerjaan dengan upaya-upaya yang dilakukanresponden dalam perawatan penduduk lansia secara psikis
Tabel 4.31 memberikan gambaran tentang hubungan antara status
pekerjaan responden dengan upaya-upaya yang dilakukannya dalam perawatan
penduduk lansia secara psikis. Untuk beberapa upaya, seperti “memberikan peran
dalam keluarga”, “selalu menjaga perasaannya”, dan “memberikan perhatian yang
cukup” tampaknya tidak menggambarkan perbedaan yang signifikan antara
responden dengan status pekerjaan formal dengan informal. Artinya, bahwa dalam
119
perawatan penduduk lansia secara psikis, responden dengan status pekerjaan
formal dan status pekerjaan informal memberikan perhatian yang sama untuk
ketiga upaya tersebut di atas. Sementara itu di pihak lain, upaya-upaya yang
terkait dengan “menjadikan lansia sebagai tempat meminta nasihat” dan
“memberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya”, ternyata lebih menonjol
pada responden dengan status pekerjaan informal. Mereka yang memiliki status
pekerjaan informal umumnya melakukan kegiatan berusaha sendiri tanpa bantuan
orang lain, berusaha dibantu buruh tidak tetap atau anggota rumah tangga, dan
pekerja keluarga. Kebanyakan mereka melakukan kegiatan ekonomi masih di
lingkungan keluarga, sehingga kedekatan mereka dengan para lansia juga relatif
tinggi. Dengan demikian tidak mengherankan apabila upaya-upaya yang terkait
dengan “menjadikan lansia sebagai tempat meminta nasihat” dan “memberikan
kesempatan untuk menyalurkan hobinya”, relatif menonjol pada responden
dengan status pekerjaan informal.
Tabel 4.31Hubungan Antara Status Pekerjaan Dengan Upaya-upaya yang Dilakukan
Responden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis
No. Upaya yang dilakukan responden Formal(dalam persen)
Informal(dalam persen)
1. Memberikan peran dalam keluarga 94,1 90,52. Selalu menjaga perasaannya 96,1 90,53. Memberikan perhatian yang cukup 79,4 78,64. Menjadikan lansia sebagai tempat
meminta nasihat65,7 78,6
5. Memberikan kesempatan untukmenyalurkan hobinya
47,1 57,1
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer
120
d) Hubungan antara penghasilan dengan upaya-upaya yang dilakukanresponden dalam perawatan penduduk lansia secara psikis
Untuk memperoleh gambaran lebih jauh mengenai hubungan antara
penghasilan dengan upaya-upaya yang dilakukan responden dalam perawatan
penduduk lansia secara psikis dapat diikuti pada Tabel 4.32. Penghasilan
responden dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu penghasilan (1) kurang dari
Rp 2,0 juta, dan (2) Rp 2,0 juta atau lebih. Upaya yang dilakukan responden
seperti “memberikan peran dalam keluarga” dan “selalu menjaga perasaannya”
menggambarkan proporsi yang relatif tinggi, namun tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara responden yang berpenghasilan kurang dari Rp
2,0 juta dengan mereka yang berpenghasilan Rp 2,0 juta atau lebih. Tampaknya
masing-masing responden sudah menyadari bahwa urusan merawat penduduk
lansia sudah menjadi tanggung jawab anak terhadap orang tua, tanpa membedakan
kondisi ekonominya. Namun demikian berkaitan dengan upaya-upaya
“memberikan perhatian yang cukup”, “menjadikan lansia sebagai tempat meminta
nasihat”, dan “memberikan kesempatan untuk menyalurkan hobinya”, ternyata
lebih menonjol pada responden berpenghasilan kurang dari Rp 2,0 juta
dibandingkan dengan yang berpenghasilan Rp 2,0 juta atau lebih. Kondisi ini
tampaknya sejalan dengan temuan sebelumnya, bahwa yang menonjol adalah
responden dengan status pekerjaan informal. Responden dengan status pekerjaan
informal umumnya memperoleh penghasilan yang relatif rendah.
121
Tabel 4.32Hubungan Antara Penghasilan Dengan Upaya-upaya yang DilakukanResponden Dalam Perawatan Penduduk Lansia Secara Psikis
No. Upaya yang dilakukan responden < Rp 2,0 juta(dalam persen)
≥ Rp 2,0 juta(dalam persen)
1. Memberikan peran dalam keluarga 93,9 92,62. Selalu menjaga perasaannya 93,9 94,73. Memberikan perhatian yang cukup 87,8 74,74. Menjadikan lansia sebagai tempat
meminta nasihat83,7 62,1
5. Memberikan kesempatan untukmenyalurkan hobinya
57,1 46,3
Sumber: Hasil Penelitian Data Primer
3) Upaya-upaya yang dilakukan keluarga untuk menjaga penduduk lansiaagar tetap sehat dari segi aspek sosial/ekonomi
Selain melakukan berbagai upaya untuk menjaga kesehatan penduduk
lansia secara fisik dan psikis, upaya tidak kalah pentingnya dilakukan oleh
keluarga responden adalah menjaga kesehatan penduduk lansia dari segi
sosial/ekonomi. Upaya-upaya yang menyangkut aspek sosial/ekonomi antara lain
(1) menjaga komunikasi; (2) menyarankan berkumpul dengan sebayanya; (3)
menganjurkan berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan; (4) menganjurkan
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif; (5) menganjurkan mengikuti
kegiatan kursus-kursus; dan (6) mengajak rekreasi (jalan pagi, nonton film, jalan-
jalan). Semua butir pertanyaan yang terkait dengan aspek sosial/ekonomi
ditanyakan kepada setiap keluarga responden, dan setiap keluarga dapat memilih
lebih dari satu jawaban sesuai dengan upaya-upaya yang mereka lakukan.
Selengkapnya distribusi dari jawaban responden dapat diikuti pada Tabel 4.33.
Berdasarkan jawaban-jawaban tersebut, upaya yang paling menonjol dilakukan
oleh responden dari segi sosial/ekonomi adalah “menjaga komunikasi”, disusul
122
kemudian dengan upaya “menyarankan berkumpul dengan sebayanya”.
Sementara itu upaya yang dilakukan oleh responden, seperti “menganjurkan
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif” tergolong relatif rendah, dan
yang paling rendah adalah upaya yang “menganjurkan mengikuti kursus-kursus”.
Rendahnya upaya yang dilakukan responden terkait dengan “menganjurkan
berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi produktif” dan “menganjurkan mengikuti
kursus-kursus”, tampaknya lebih banyak bersifat etis untuk menjaga perasaan
penduduk lansia.
Tabel 4.33Distribusi Responden Menurut Upaya-upaya yang Dilakukan Dalam Perawatan
Penduduk Lansia dari Segi Sosial/Ekonomi
No. Upaya yang dilakukan responden Jumlahresponden
memilih “ya”*)(dalam orang)
Proporsiresponden
memilih “ya”**)(dalam persen)
1. Menjaga komunikasi 150 100,02. Menyarankan berkumpul dengan
sebayanya118 78,7
3. Menganjurkan berpartisipasi dalamkegiatan kemasyarakatan
74 49,3
4. Menganjurkan berpartisipasi dalamkegiatan ekonomi produktif
36 24,0
5. Menganjurkan mengikuti kegiatankursus-kursus
10 6,7
6. Mengajak rekreasi (jalan pagi,nonton film, jalan-jalan)
89 59,3
Sumber: Hasil Penelitian Data PrimerCatatan: *) Responden boleh memilih lebih dari satu jawaban sesuai dengan
upaya yang dilakukan.**) Proporsi dihitung dari jumlah responden yang menjawab “ya”
dibagi dengan total responden.
Sebelum memasuki usia lanjut, sebetulnya mereka yang kini tergolong penduduk
lansia telah berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan ekonomi produktif untuk
meningkatkan status sosial ekonominya. Dengan demikian wajarlah apabila
123
responden lebih menganjurkan penduduk lansia untuk berkumpul dengan teman
sebayanya atau melakukan kegiatan rekreasi. Bahkan untuk menjaga kesehatan
penduduk lansia secara sosial/ekonomi, semua responden setuju bahwa
komunikasi, karena komunikasi merupakan obat mujarab dalam kehidupan
bermasyarakat.
4) Upaya-upaya yang dilakukan keluarga dalam perawatan penduduklansia agar tetap sehat dari segi spiritual
Untuk menjaga kelangsungan hidup seseorang, maka sangat penting
diperhatikan keseimbangan antara kesehatan jasmaniah dan rohaniah/spiritual.
Pembahasan mengenai kesehatan penduduk lansia dari segi fisik, psikis, dan
sosial/ekonomi telah dipaparkan secara mendalam pada uraian sebelumnya,
namun sama sekali belum menyentuh aspek spiritual. Berkaitan dengan persoalan
tersebut, maka berikut ini akan difokuskan untuk menyoroti upaya-upaya yang
dilakukan responden dalam menjaga kesehatan penduduk lansia dari segi spiritual.
Dalam hal ini kegiatan yang dilakukan responden adalah sebagai berikut (1)
mengajak penduduk lansia bersembahyang secara rutin; dan (2) mengajak lansia
berpartisipasi dalam organisasi/kegiatan keagamaan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk kegiatan yang pertama, semua responden menyatakan
mengajak penduduk lansia bersembahyang secara rutin. Sementara itu responden
yang menyatakan bahwa mereka mengajak penduduk lansia berpartisipasi dalam
organisasi/kegiatan keagamaan persentasenya relatif kecil, yaitu hanya 36,7
persen.
124
4.3.5 Pola Perawatan Penduduk Lansia yang Diinginkan oleh Keluarganya diMasa Depan
Untuk menggali informasi terkait dengan pola perawatan penduduk lansia
yang diinginkan oleh keluarganya di masa depan, maka kepada responden
keluarga lansia diajukan beberapa butir pertanyaan yang hasilnya akan diuraikan
berikut ini. Pada dasarnya semua responden mempersepsikan bahwa penduduk
lansia yang ada dalam keluarga ini sudah menjadi tanggung jawab mereka untuk
merawatnya. Karena hal itu sudah menjadi tanggung jawabnya, maka tugas
merawat penduduk lansia yang notabene adalah orang tuanya maka sudah
seyogyanya wajib dilakukan dengan baik. Meskipun demikian, tidak semuanya
dapat berjalan secara mulus, karena dalam proses perawatan lansia ada saja hal-
hal yang kurang menyenangkan. Hal ini adalah umum terjadi pada penduduk
lansia, misalnya semakin cerewet, suka menyindir, kurang bersih, dan lain
sebagainya. Namun demikian persentase penduduk lansia yang berperilaku seperti
itu tidak mencolok.
Meskipun tanggung jawab untuk merawat orang tua yang sudah lansia
adalah anaknya, bukan berarti bahwa anggota keluarga yang lain tidak ikut
berpartisipasi. Apalagi jika diperhatikan bahwa dalam masyarakat Bali juga
dikenal adanya keluarga luas. Keluarga luas tidak hanya meliputi bapak, ibu, dan
anak, tetapi juga mencakup orang tua, saudara, menantu, cucu, ipar, dan
sebagainya. Pada penelitian ini ditemukan bahwa hampir 90 persen responden
menyatakan ada keluarga lain yang turut berpartisipasi dalam merawat penduduk
lansia. Anggota keluarga lainnya yang turut berpartisipasi dalam merawat
penduduk lansia relatif banyak, namun yang menonjol selain responden adalah
125
istrinya, anaknya, saudaranya, dan iparnya. Partisipasi anggota keluarga lainnya
menonjol dilakukan pada saat penduduk lansia dalam keadaan sakit. Kegiatan
partisipasi dalam merawat penduduk lansia yang dilakukan oleh anggota keluarga
lainnya umumnya bersifat tulus ikhlas, dan 88,0 persen responden menyebutkan
partisipasi tersebut terkait dengan kewajiban sebagai penerus keluarga.
Selanjutnya jika ditelusuri lebih jauh mengenai keinginan responden
dalam perawatan penduduk lansia di masa depan, apakah tetap dirawat oleh
anaknya atau keluarganya sendiri. Ternyata hasil penelitian menunjukkan bahwa
seluruh responden menginginkan agar penduduk lansia tetap dirawat oleh anak-
anak atau keluarganya sendiri. Alasan utama yang dikemukakan oleh responden
terkait dengan jawaban di atas adalah karena sudah menjadi tanggung jawab atau
kewajiban anak-anak untuk merawat orang tuanya, kemudian disusul oleh alasan-
alasan lainnya seperti lebih nyaman dirawat oleh anak sendiri, mencerminkan
kerukunan keluarga, dan lebih mudah dalam memantau kesehatan orang tua.
Sehubungan semakin kompleksnya aktivitas dalam pekerjaan dan
masyarakat serta sejalan dengan perkembangan yang terjadi akhir-akhir ini, maka
dalam penelitian ini dijajagi pula apakah para responden ada pemikiran untuk
menyerahkan perawatan orang tuanya ke lembaga lain. Ternyata respon terhadap
pemikiran di atas sangat tidak signifikan, yaitu hanya direspon “ya” oleh 2 dari
150 orang responden. Alasan utama responden tidak menyerahkan perawatan
orang tuanya ke lembaga lain adalah karena perawatan orang tua adalah menjadi
tanggung jawab atau kewajiban dari anak-anak atau keluarganya sendiri. Atau
lebih pantas orang tuannya dirawat oleh anak-anak atau keluarganya sendiri.
126
Kemudian disusul oleh alasan-alasan lainnya seperti lebih nyaman atau lebih
senang dirawat oleh anak-anaknya sendiri, ada rasa malu perawatan orang tuanya
diserahkan pada orang atau lembaga lain, ingin melewatkan masa tuanya bersama
anak-anaknya, dan masih ada anak-anak atau keluarga yang mengurusnya.
Penelusuran terhadap pendapat responden masih dijajagi lebih jauh melalui
pertanyaan apakah responden akan menyerahkan perawatan penduduk lansia
kepada lembaga lain, jika lembaga tersebut lebih profesional. Jawaban terhadap
pertanyaan terakhir nasibnya sama dengan pertanyaan sebelumnya, yaitu hanya
dijawab “ya” oleh 4 dari 150 orang responden. Alasan utama yang dikemukakan
oleh sekitar 97 persen responden yang menjawab “tidak” menyerahkan perawatan
orang tuanya ke lembaga lain yang lebih profesional adalah karena urusan
perawatan orang tua merupakan tanggung jawab atau kewajiban anak-anaknya.
Pertanyaan lebih lanjut juga ditujukan kepada responden sendiri, jika suatu
ketika menjadi lansia apakah tetap menginginkan dirawat oleh anak-anak/keluarga
sendiri. Jawaban atas pertanyaan tersebut ternyata tetap konsisten, bahwa seluruh
responden tetap ingin dirawat oleh anak-anak/keluarga sendiri. Alasan yang
diberikan juga hampir sama, yaitu sebagian besar menyebutkan karena perawatan
lansia sudah merupakan kewajiban atau tanggung jawab anak-anak/keluarga
sendiri. Jawaban-jawaban yang disampaikan oleh responden terhadap berbagai
pertanyaan sebelumnya, selanjutnya dikonfirmasi melalui pengetahuan responden
bahwa keturunan atau anak-anak memiliki kewajiban secara etika/moral dan
agama untuk merawat orang tuanya di hari tua. Terkait dengan konfirmasi
terhadap pengetahuan responden, ternyata keseluruhan responden mengaku
127
memiliki pengetahuan tersebut. Menurut responden, pengetahuan tentang
kewajiban atau tanggung jawab anak terhadap perawatan orang tuanya diatur
dalam “catur guru”, atau lebih spesifik lagi adalah “guru rupaka”.
Lebih jauh konsep perawatan lansia terkait dengan filosofi “catur guru”
(khususnya “guru rupaka”) yang menyoroti kewajiban anak dalam perawatan
penduduk lansia (orang tuanya) juga ditanyakan contoh nyata yang dilakukan
responden apakah sudah sesuai dengan pemahaman tersebut.Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut ternyata tetap konsisten dengan jawaban-jawaban responden
sebelumnya, yaitu semua responden menyatakan apa yang mereka kerjakan sudah
sesuai dengan pemahaman terhadap kewajiban anak untuk merawat orang tuanya,
apalagi kalau sudah lansia. Bahkan keyakinan ini semakin diperkuat dengan
adanya pernyataan seluruh responden yang menginginkan untuk tetap
mempertahankan kondisi seperti ini di masa yang akan datang, karena konsep
“guru rupaka” sangat kental dengan nilai-nilai etika/moral dan agama yang
menjunjung tinggi rasa kebersamaan, kerukunan, dan kekerabatan.
128
BAB V
SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil analisis yang telah disampaikan sebelumnya dapat
dibuat beberapa simpulan berikut ini.
1) Pola perawatan yang dilakukan oleh keluarga lansia selama ini kepada
lansia yang mereka miliki dapat dilihat dari aspek psikis, sosial ekonomi,
aspek fisik, dan aspek spiritual. Dari aspek psikis yang paling banyak
dilakukan oleh keluarga lansia adalah selalu menjaga perasaan lansia, dari
aspek sosial ekonomi yang paling banyak dilakukan oleh keluarga lansia
adalah menjaga komunikasi yang intens dengan lansia. Selain itu agar
lansia tetap sehat dari aspek fisik, hal yang dilakukan oleh keluarga lansia
yang paling banyak adalah memeriksakan kesehatan lansia jika sakit.
Mengajak lansia bersembahyang secara rutin adalah kegiatan yang
dilakukan oleh keluarga lansia untuk menjaga lansia agar tetap sehat
secara spiritual.
2) Walaupun dunia sudah mengalami kemajuan yang pesat seperti sekarang
ini, namun anak tetap merasa hormat kepada orang tuanya. Dalam
penelitian ini terlihat bahwa pada masa yang akan datang, anak tetap
menginginkan untuk merawat orang tuanya, sebagai bagian dari kewajiban
anak kepada orang tua. Anak tetap merasa wajib untuk merawat orang
tuanya di usia senja sebagai rasa terima kasih telah melahirkannya
kedunia, dan juga sebagai bagian dalam membayar hutang atau “rna” anak
129
kepada orang tuanya, dan anak masih tetap merasakan membutuhkan
bimbingan orang tuanya, sehingga anak tetap menginginkan merawat
orang tuanya pada masa yang akan dating.
3) Lansia merasakan pola perawatan yang diterimanya selama ini dari
keluarganya seperti dari anak, menantu, cucu, maupun keluarga lainnya
sangat memadai antara lain berkaitan dengan perawatan kesehatan,
perhatian, cinta kasih, dan dari pemenuhan kebutuhan secara ekonomi.
Lansia tetap merasakan dihormati oleh keluarganya lansia yang mereka
miliki sebagai orang yang patut
4) Lansia tetap menginginkan dirinya dirawat oleh keluarga pada masa yang
akan datang, karena orang tua merasa nyaman jika dirawat oleh
keluarganya dan orang tua menganggap hal itu adalah sebuah bentuk
tanggung jawab anak terhadap orang tua. Lansia yang dirawat selama ini
oleh keluarganya atau anak/menantunya merasakan bahwa keluarganya
merawatnya dengan baik sehingga mereka tetap berharap baik masa
sekarang maupun masa yang akan datang lansia dirawat di rumahnya
sendiri.
5.2. Implikasi kebijakan
1) Hasil penelitian memberikan implikasi bahwa pada masa yang akan datang
institusi yang terkait diharapkan ikut berperan lebih aktif dalam
memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) tetang pola
perawatan lansia yang lebih berkualitas baik dari segi kesehatan fisik,
130
kesehatan non fisik, maupun peningkatan kepedulian masyarakat terhadap
kelompok penduduk lansia tersebut.
2) BKL (Bina Keluarga Lansia) seyogyanya tetap digalakkan oleh
pemerintah dengan lebih mengintensifkan berbagai kegiatan yang dapat
dilakukan oleh lansia, sehingga secara psikologis lansia tidak merasa
hanya untuk menunggu dipanggil Tuhan, tetapi tetap merasa berguna bagi
masyarakatnya.
3) Dengan derajat kesehatan yang semakin baik pada masa yang akan
datang, dapat diperkirakan bahwa lansia akan semakin banyak jumlahnya,
oleh karenanya perlu diterapkan politik anggaran yang lebih memihak
pada kebutuhan lansia, sehingga kualitas kehidupan lansia akan semakin
meningkat. Selain itu meningkatkan kepedulian semua pihak terhadap
kelompok penduduk lansia ini menjadi hal yang sangat penting untuk
dilakukan, termasuk dari perusahaan-perusahaan melalui kebijakan
Corporate social responsibility (CSR).
4) Memantapkan pemahaman tentang filosofi budaya Bali terkait dengan
konsep “Guru Rupaka” sehingga generasi berikutnya memahami betul
tugas-tugas atau kewajiban dari seorang anak terhadap orang tuanya.
131
Daftar Pustaka
Andrioni, F., and Schmidt, M.C. 2011. Economic and social problems from theJiu Valley and the need for development support network for elderlypeople from Petrosani. Annals of the University of Petrosani, Economics,11(2): 25-32.
Badan Pusat Statistik Indonesia. 2005. Survei Sosial Ekonomi Nasional: StatistikPenduduk Lanjut Usia 2005. BPS: Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2014. Bali Dalam Angka 2013. BPS Provinsi Bali.
Badan Pusat Statistik (BPS) and Macro International,Inc. 2008. Survei Demografidan Kesehatan Indonesia 2007. Calverton, Maryland, USA:BPS andMacro International, Inc.
---------------------,. 2013. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012.Calverton, Maryland, USA:BPS and Macro International, Inc.
Bozo, O., Tokssabay, N.E., and Kurum, O. 2009. Activities of daily living,depression, and social support among elderly Turkish People. TheJournal of Psychology, 14(2): 193-205.
Chand, M., and Tung, R.L. 2014. The aging of the world’s population and itseffects on global business. The Academy of Management Perspectives,28(4): 409-429.
Clark, R., and Peck, B.M. 2012. Examining the gender gap in life expectancy: across-national analysis, 1980-2005. Social Science Quarterly, 93(3): 820-837.
Creswell, J, W., and Clark, V.P. 2007. Designing and Conducting Mixed MethodResearch. California: Sage Publications, Inc.
Cutrona, C.E., and Russel, D.W. 1987. The provisions of social relationships andadaptation to stress. Advances in Personal Relationships, 1: 37-67.
Dalgard, C., and Strulik, H. 2014. Optimal aging and death: understanding thePreston Curve. Journal of the European Economic Association, 12(3):672-701.
Departemen Sosiologi, Fisip, Universitas Airlangga. 2013. Pergeseran nilai dalamhubungan antar generasi serta dampak terhadap lansia (Studi deskriptiflansia yang tinggal di Panti Werdha “Majapahit” Mojokerto.Jurnal IlmuSosial dan Politik, 1-18.
132
Dewi, I G.A.M. 2013. Anteseden dan konsekuensi konflik pekerjaan-keluarga-budaya. Disertasi. Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas GadjahMada, Yogyakarta.
Halme, P., and Moilanen, R. 2004. Discussion on responsibility: the aging society,organization, and the individual. EBS Review, Winter 2004/Spring 2005:31-41.
http://telaga.org/audio/memahami_orangtua_lansia (diunduh tanggal 3 Februari,2015).
https://yh4princ3ss.wordpress.com/2010/04/17/asuhan (diunduh tanggal 3Februari 2015).
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26925/5/Chapter. (diunduhtanggal 3 Februari 2015).
http://www.buk.kemkes.go.id/index.php?option=com. (diunduh tanggal 3Februari 2015.
http://bali.kemenag.go.id/index.php?a=berita&id=212683. (diunduh tanggal 3Februari 2015).
Khulaifah, S., Haryanto, J., dan Nihayati, H.E. 2012. Hubungan DukunganKeluarga Dengan Kemandirian Lansia dalam Pemenuhan Activitie DailyLiving di Dusun Sembayat Timur, Kecamatan Manyar, KabupatenGresik. Program Studi Ners, Fakultas Keperawatan, UniversitasAirlangga, 91-98.
Lobburi, P., Maung, K., and Samutsakaron. 2012. The influence of organizationaland social support on turnover intention in collectivist contexts. TheJournal of Applied Business Research, 28(1): 67-78.
National Council of Elderly, 1994. Theories of aging and attitudes to ageing inIreland. Proceeding of Round Table,Publication, 33: 1-33.
Neuman, W.L. 2000. Social Research Method, Qualitative and QuantitativeApproaches. Fourth Edition. Boston: Allyn and Bacon.
Ningsi, H.Y. 2013. Pergeseran perilaku anak kandung dalam memelihara orangtualanjut usia (studi pada anak anggota Panti Werdha Dharma Bakthi,Palembang). Skripsi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FakultasSosiologi, Universitas Sriwijaya.
Novak, A., Cepar, Z., and Trunk, A. 2015. Status of women in society and lifeexpectancy at birth. Management, 10(1): 61-77.
133
O’Shea, E. 1994. Social integration of older people of Eurobarometer findings.National Council for the Elderly. Proceeding of Round Table, Theories of Ageingand Attitude to Ageing in Ireland. Publication no. 33: 1-28.
Oster, E., Shoulson, I., Dorsey, E.R. 2013. Limited life expectancy, humancapital, and health investments. American Economic Review, 103(5):1977-2002.
Peeters, M.C.W., and Le Blanc, P.M. 2001. Towards a match between jobdemands and sources of social support: a study among oncology careproviders. European Journal of Work and Organizational Psychology, 10(1): 53-72.
Pudja, G, dan Rai Sudharta, Tjokorda. 2004. Manava Dharmasastra (ManuDharmasastra) atau Veda Smrti Compendium Hukum Hindu. Surabaya:Penerbit Paramita.
Putrawan, I Wayan. 2012. Perkembangan Kependudukan di Provinsi Bali HasilSensus Penduduk 2010, makalah disampaikan dalam RakerdaKependudukan dan KB Provinsi Bali Tahun 2012.
Radhakrishnan, S. 2008. Upanisad-Upanisad Utama. Surabaya: PenerbitParamita.
Safarino, E.P. 2002. Health psychology: Healthy Psychology BiopsychosicialInteraction. New York: John Willeyant.
Sudharta, T.R. 1993. Manusia Hindu, Dari Kandungan Sampai Perkawinan.Yayasan Dharma Naradha, Jakarta.
Sudibia, I Ketut. 1992. Penduduk Indonesia Selama Pembangunan JangkaPanjang Tahap I, Bali. Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukandan Lingkungan Hidup.
Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Method). Bandung :Penerbit Alfabeta.
Suprapti, N.W.S., Purnawati, N.K., Rastini, N.M., dan Nurcaya, N. 2014. NiatMenitipkan orangtua lansia di panti Lansia: aplikasi theory of plannedbehavior dipandang dari perspektif Agama Hindu. Paper pada KonferensiNasional Riset Manajemen, 10-12 Oktober 2014 di Denpasar.
Sutikno, E. 2011. Hubungan antara fungsi keluarga dan kualitas hidup lansia.Jurnal Kedokteran Indonesia, 2(1): 73-79.
134
Thae-jeong, K., and Hewings, G.J.D. 2013. Endeogenous growth in an agingeconomy: evidence and policy measures. Annuals of Regional Science,50: 705-730.
van Marrewijk, M., and Becker, H.M. 2004. The hidden hand of culturalgovernance: the transformation process of humanitas, a community-drivenorganization providing, cure, care, housing, and well-being to elderlypeople. Journal of Business Ethics, 55: 205-214.
Vidovicova, L. 2014. Conceptual framework of the active ageing policies inemployment in Czech Republic. Warsaw Bishkek Kjiv Tbilisi Chisinau,CASE Network Studies & Analysis, 496: 1-56.
Wadsworth, L.L., and Owens, B.P. 2007. The effects of social support on work-family enhancement and work-family conflict in the public sector. PublicAdministration Review, January-February: 75-87.
Watkins. M.B., Ren, R., Boswell, W.R., Umphress, E.E, delCarmen Triana, M.,and Zardkoohi, A. 2012. Your work is interfering with our life! Theinfluence of a significant other on employee job search activity. Journal ofOccuptional and Organizational Psychology, 85: 531-538.