67
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI: Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Pemanfaatan Alsintan Tim Peneliti: Handewi P. Saliem Sumaryanto Henny Mayrowani Adang Agustian Syahyuti PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2016

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2016_08.pdf · LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI: Analisis

  • Upload
    lenhu

  • View
    238

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN

MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI:

Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Pemanfaatan Alsintan

Tim Peneliti:

Handewi P. Saliem

Sumaryanto Henny Mayrowani Adang Agustian

Syahyuti

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN

2016

LEMBAR PENGESAHAN

1. Judul RPTP/RDHP/RKTM : Analisis Kebijakan: Model Pengembangan

Agribisnis Padi 2. Unit Kerja : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

3. Alamat Unit Kerja : Jalan Jend. A. Yani 70 Bogor 4. Sumber Dana : APBN 5. Status Penelitian : Baru

6. Penanggung Jawab a. Nama : Dr. Ir. Handewi P. Saliem

b. Pangkat : Pembina Utama/IV-e c. Jabatan : Peneliti Utama

7. Lokasi : Jawa Tengahdan Sulawesi Selatan 8. Agroekosistem : Lahan Sawah 9. Tahun Mulai : 2016

10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan

Agribisnis Padi 12. Output Akhir : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan

Agribisnis Padi

13. Biaya : Rp 49.975.000

Kepala Bidang Program dan

Evaluasi

Penanggung Jawab,

Dr.Ir. Ketut Kariyasa, MS Dr. Ir.Handewi. P. Saliem, MS NIP.19690419 199803 1002 NIP. 19570604 198103 2001

Mengetahui,

Kepala Unit Kerja

Dr. Ir. Abdul Basit, MS NIP. 196109291986031003

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar belakang 1

1.2. Tujuan 3

1.3. Keluaran 3

1.4. Perkiraan Dampak 3

II METODOLOGI 4

2.1. Lokasi Penelitian 4

2.2. Jenis dan Sumber Data 4

2.3. Metode Analisis 4

III HASIL DAN PEMBAHASAN 5

3.1. Kinerja, Ketersediaan dan Pemanfaatan Alsintan 5

3.1.1. Potensi Lahan dan Pola Tanam 5

3.1.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Alsintan 9

3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan 16

3.2. Analisis Kelembagaan PengelolaanAlsintan 27

3.2.1. Peran Kelembagaan Agribisnis 27

3.2.2. Kelembagaan PengelolaanAlsintan 35

3.3. Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Padi Skala

Komersial 52

3.4. Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Padi Skala Konersial 55

IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 59

DAFTAR PUSTAKA 62

ii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di

Kabupaten Cilacap, 2014 5

2 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per

kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2014 6

3 Luas baku lahan sawah berdasarkan index pertanaman padi di

Kabupaten Soppeng, 2014 7

4 Potensi lahan sawah Kabupaten Soppeng, 2015 8

5 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per

kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 8

6 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten

Cilacap, 2015 (unit) 10

7 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut

kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2015 (Ha) 12

8 Jumlah penduduk bekerja pada lapangan kerja pertanian per

kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2013 (orang) 13

9 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten

Soppeng, 2015 (unit) 14

10 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut

kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 15

11 Rasio luas tanam dengan jumlah pompa air menurut kecamatan

di Kabupaten Soppeng, 2015 16

12 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong

Cilacap, 2015 (Rp/ha) 17

13 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat

Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19

14 Struktur ongkos dan sewa traktor roda-4 di UPJA Semangat

Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19

15 Struktur ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong 21

Cilacap, 2015

16 Struktur ongkos dan sewa power thresher di UPJA Desa Bojong

Cilacap, 2015 23

17 Struktur ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa

Bojong, Cilacap,2015 24

18 Struktur ongkos dan sewa Combine Harvesterdi UPJA Semangat

Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 26

19 Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin

pertanian pada kedua lokasi studi, 2016 31

20 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten

Cilacap, 2016 33

21 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten

Soppeng, 2016 34

iii

22 Kelas kemampuan UPJA dan karakteristiknya 41

23 Pengelolaan alsintan pada UPJA Setia Dadi, Kabupaten Cilacap

berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 44

24 Pengelolaan alsintan pada UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng

berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 47

25 Aturan main dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA

Semangan di Kabupaten Soppeng, 2016 49

27 Analisa Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM)

dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kec Liliriaja,

Kab. Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha) 51

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1

Luas baku lahan sawah menurut IP diKabupaten Cilacap,

2014 7

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Beras sebagai bahan pangan pokok memiliki nilai startegis dilihat dari dari

berbagai aspek. Dari sisi produsen, usahatani padi membutuhkan banyak tenaga

kerja yang terlibat dan menjadi sumber mata pencaharian, dalam pengolahan

banyak tenaga kerja yang bekerja di penggilingan skala kecil maupun skala besar,

dari usaha individu, usaha rumah tangga maupun perusahaan besar. Dari sisi

pemasaran, banyak melibatkan pedagang, mulai tingkat desa, kecamatan,

kabupaten, provinsi, antar pulau maupun eksportir/importir. Dari sisi konsumen,

beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasar hal

tersebut sangatlah bijak bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang serius pada

masalah perberasan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakstabilan

harga dan ketersediaan beras dapat berdampak luas menjadi krisis ekonomi, sosial,

dan politik.

Terkait dengan kebijakan perberasan, Kementerian Pertanian telah

menetapkan target swasembada padi (dalam Program UPSUS Pajale) dapat dicapai

untuk tiga tahun ke depan. Pencapaian swasembada antara diupayakan dengan

peningkatan produksi padi melalui intensifikasi, ektensifikasi dan rehabilitasi sarana

irigasi serta bantuan alat mesin pertanian. Beberapa kendala yang dihadapi dalam

upaya peningkatan produksi padi antara lain adalah produktivitas yang cenderung

stagnan bahkan menurun, jaringan irigasi sebagian besar tidak berfungsi,

ketersediaan sarana produksi terutama benih pupuk di tingkat petani yang belum

sepenuhnya memenuhi 6 tepat (tepat jenis, jumlah, kualitas, waktu, tempat dan

harga). Selain itu, masalah kelembagaan mulai dari penyediaan sarana produksi,

budidaya, pengolahan dan pemasaran padi – beras merupakan masalah klasik yang

sampai saat ini belum terselesaikan dengan tuntas. Hal lain yang penting adalah

terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani (padi), pada kondisi saat

ini skala usaha petani yang relatif sempit (< 0.5 Ha, tidak memenuhi skala ekonomi)

sehingga sulit meningkatkan kesejahteraan petani padi jika hanya mengandalkan

pendapatan dari usahatani padi. Nilai tambah dari berbagai produk olahan berbahan

baku padi belum dinikmati oleh petani.

2

Permasalahan dan kendala peningkatan produksi padi tersebut juga dialami

oleh beberapa negara lain di Asia dimana mekanisasi pertanian menjadi salah satu

solusinya. Kasus di Vietnam misalnya, dikembangkan “The Small Farmer, Large

Field”, dimana kelembagaan pengelolaan usahatani secara luas (komersial)

menggunakan mekanisasi pertanian yang diawali dengan proses konsolidasi lahan

(Mohanty, 2015).

Pertanian modern yang sedang dikembangkan Kementerian Pertanian dengan

menggunakan full mekanisasi (di hulu sampai hilir) ditujukan untuk meningkatkan

produksi dan pendapatan petani juga diharapkan menarik minat generasi muda

untuk terlibat di sektor pertanian, pada dasarnya dapat dipertimbangkan sebagai

upaya untuk menumbuhkan model pengembangan agribisnis padi (Badan Litbang

Pertanian, 2015). Namun demikian, dalam implementasinya pengembangan model

pertanian modern masih menghadapai beberapa kendala terutama terkait masalah

skala usaha petani yang sempit dan terpencar serta masalah sosial dan

kelembagaan pengelolaan alsintan di tingkat usahatani (PSEKP, 2015). Berdasar hal

tersebut, kajian tentang model kelembagaan agribisnis padi skala komersial menjadi

relevan untuk dilakukan.

Agribisnis (baku menurut KBBI: agrobisnis) adalah bisnis berbasis usaha

pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.

Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok

bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Berdasar

definisi tersebut, dalam analisis ini, agribisnis padi mencakup beberapa komponen

sub sistem yaitu, sub sistem usaha tani/yang memproduksi bahan baku (padi); sub

sistem pengolahan hasil pertanian (dari padi menjadi beras), dan sub sistem

pemasaran padi (gabah) dan beras. Model pengembangan agribisnis padi seperti

apakah yang perlu dikembangkan agar para pelaku yang terlibat dalam agribisnis

padi dapat menikmati nilai tambah secara proporsional sesuai dengan kontribusinya

dalam usaha agribisnis tersebut? Kelembagaan seperti apakah yang perlu

dikembangkan di masing-masing sub sistem tersebut ? Bagaimana mekanisme

keterkaitan antar sub sistem tersebut dalam suatu rantai nilai yang efisien ?

Mengingat aspek mekanisasi atau alat mesin pertanian di sub sistem usahatani (on

3

farm) dan pengolahan merupakan salah satu Kajian ini bertujuan untuk menjawab

beberapa pertanyaan tersebut.

1.2. Tujuan

Secara umum tujuan umum kajian ini adalah merumuskan model kelembagaan

agribisnis padi skala komersial. Secara khusus tujuan kajian ini adalah :

1. Mengkaji tambahan manfaat dari penggunaan alat mesin pertanian dalam

rantai agribisnis padi skala komersial

2. Mengkaji kelembagaan pengelolaan alat mesin pertanian pada tingkat

usahatani dan pengolahan pada sistem agribisnis skala komersial

3. Merumuskan model kelembagaan agribisnis padi skala komersial (500 – 1000

Ha).

1.3. Keluaran

Keluaran umum dari kajian ini adalah rumusan model kelembagaan agribisnis

padi skala komersial. Secara rinci keluaran dari kajian ini adalah:

1. Informasi tambahan manfaat dari penggunaan alat mesin pertanian dalam

rantai agribisnis padi skala komersial

2. Informasi kelembagaan pengelolaan alat mesin pertanian pada di tingkat

usahatani dan pengolahan

3. Rumusan model kelembagaan agribisnis padi skala komersial

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam

pengembangan agribisnis skala komersial, utamanya kelembagaan pengelolaan alat

dan mesin pertanian, agar peningkatan produksi dan usahatani lebih efekif. Dengan

tersedianya kajian ini diharapkan pemangku kepentingan dapat merumuskan

kebijakan pengembangan agribisnis padi berbasis mekanisasi pertanian dengan lebih

baik, yang mampu meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi padi secara

lebih efisien. Sebagai dampak, diharapkan hasil kajian ini bisa dimanfaatkan sebagai

acuan dalam kebijakan pengembangan kelembagaan agribisnis padi skala komersial

berbasis mekanisasi pertanian, khususnya yang terkait dengan kelembagaan

pengelolaan alat dan mesin pertanian secara berkelanjutan.

4

II. METODOLOGI

2.1. Lokasi Penelitian

Untuk menggambarkan karakteristik skala penguasaan lahan, lokasi penelitian

dipilih secara purposif, yaitu yang mewakili model pengembangan usahatani padi di

Jawa dan Luar Jawa. Untuk Jawa dipilih Kasus di Kabupaten Cilacap. Kabupaten

Cilacap dapat dipilih sebagai contoh dengan pertimbangan adanya keberhasilan

UPJA. Sementara untuk lokasi Luar Jawa dipilih Kabupaten Soppeng-Sulawesi

Selatan (lokasi program Pertanian Modern, Kementerian Pertanian).

2.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dan primer. Data dan

informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah terkait di Jakarta,

Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Jawa Tengah. Data dan informasi sekunder

juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa laporan, jurnal, dan karya

ilmiah lainnya. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan

aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan pengurus gabungan kelompok tani

(gapoktan), dan diskusi kelompok dengan petani padi sawah di lokasi penelitian.

Data sekunder meliputi dokumen dan data terkait tentang usahatani padi,

pengembangan lahan dan pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) serta

berbagai kebijakan terkait. Data primer yang dikumpulkan adalah pengelolaan

usahatani, kelembagaan pengelolaan alsintan, kelembagaan pemasaran input dan

output. Selain itu, untuk menggali informasi yang lebih komprehensif dari berbagai

pihak yang terkait dengan pengembangan model kelembagaan agribisnis padi kajian

ini juga dilakukan diskusi dengan berbagai pihak yang terkait yang mewakili dari

Ditjen PSP, Ditjen Tanaman Pangan, PERPADI, Badan Litbang Pertanian (BB Mektan,

BB Pasca Panen), Bulog, dan Perguruan Tinggi.

2.3. Metode Analisis

Data Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi

sederhana. Sementara itu, data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan

kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif.

5

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Kinerja, Ketersediaan dan Pemanfaatan Alsintan

3.1.1. Potensi lahan dan pola tanam

Kondisi perkembangan pertanaman padi sawah di Kabupaten Cilacap tentu

tidak terlepas dari kesungguhan petani dalam mengelolaan lahan pertaniannya,

keberadaan baku lahan sawah yang ada saat ini, dukungan ketersediaan air irigasi

dan dukungan alat mesin pertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan

Peternakan Kabupaten Cilacap (2015), bahwa total luas baku lahan sawah seluas

64.744 ha. Dari luasan tersebut, berdasarkan indeks pertanaman padi dalam

setahun sebagian besar (60,17%) memiliki IP diatas 200%, namun tetap dibawah

300%. Sekitar 37,59 persen luas lahan baku tersebut memiliki IP antara 100-200

persen, serta hanya sekitar 2,24 persen memiliki tepat IP sebesar 200 persen.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lahan sawah di

Kabupaten Cilacap dapat ditanami padi minimal 2 kali tanam dalam setahun.

Tabel 1. Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di Kabupaten Cilacap, 2014.

Uraian Luas (Ha) Persen (%)

1. IP Padi > 2 kali 38.959 60,17

2. IP Padi 1- <2 kali 1.450 2,24

3. IP Padi 1- <2 kali 24.335 37,59

Total 64.744 100

Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).

Bila dirinci, luas baku lahan sawah per kecamatan dapat diketahui bahwa luas

lahan sawah cukup menyebar di 24 kecamatan dengan proporsi luas antara 0,19-

7,19 persen. Luas lahan sawah terrendah berada di Kecamatan Cilacap Selatan (122

ha) dan tertinggi di Kecamatan Kawunganten (4.657 ha) (Tabel 2). Di lokasi kajian

yaitu di kecamatan Kawunganten, indeks pertanaman pada lahan sawah hanya

sebesar 181 persen, yang artinya pertanaman lahan sawah di wilayah ini secara

rata-rata masih dibawah 2 kali (<200%). Hal ini disebabkan, lahan sawah yang ada

di Kawunganten merupakan lahan sawah tadah hujan. Pada kondisi lahan sawah

seperti ini, ketersediaan air hujan menjadi andalan utama bagi pertanaman padi

6

sawah. Pada saat MH (Musim hujan), padi ditanam pada bualan September/Oktober

dan panen saat bulan Januari/Februari, kemudian saat MK (Musim kemarau) I tanam

padi disaat bulan Maret/April dan panen sekitar bulan Juli/Agustus. Kemudian

setelah itu, lahan sawah ditanami palawija saat bulan Agustus akhir hingga panen

menjelang musim hujan kembali. Dengan Demikian pola tanaman yang

berkembang di lahan sawah Kabupaten Cilacap adalah Padi-Padi-palawija. Palawija

yang ditanam cukup beragam seperti kacang-kacangan, dan sayuran yang

memungkinkan ditanam dilahan sawah dengan tingkat ketersediaan air yang kurang.

Tabel 2. Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per

kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2014

No. Kecamatan Luas Lahan (ha) % Luasan Luas Tanam Padi IP

1 Dayeuhluhur 2.976 4,60 6.755 227

2 Wanareja 4.229 6,53 6.298 149

3 Majenang 4.229 6,53 9.447 223

4 Cimanggu 3.288 5,08 7.770 236

5 Karangpucung 1.728 2,67 4.586 265

6 Cipari 2.150 3,32 4.095 190

7 Sidareja 1.450 2,24 2.900 200

8 Kedungreja 4.636 7,16 8.614 186

9 Patimuan 3.836 5,92 6.750 176

10 Gandrungmangu 4.831 7,46 9.945 206

11 Cilacap Selatan 122 0,19 319 261

12 Cilacap Tengah 286 0,44 754 264

13 Cilacap Utara 579 0,89 1.469 254

14 Kesugihan 3.138 4,85 8.339 266

15 Jeruklegi 1.123 1,73 3.046 271

16 Kawunganten 4.657 7,19 8.430 181

17 Bantarsari 2.271 3,51 4.501 198

18 Kampung Laut 2.556 3,95 2.743 107

19 Sampang 1.954 3,02 4.005 205

20 Maos 1.984 3,06 4.017 202

21 Adipala 3.219 4,97 7.039 219

22 Kroya 3.212 4,96 7.922 247

23 Binangun 2.935 4,53 7.277 248

24 Nusawungu 3.355 5,18 7.579 226

JUMLAH 64.744 100 134.600 208 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).

7

Gambar 1. Luas baku Lahan sawah menurut IP di Kabupaten Cilacap, 2014

Untuk Kabupaten Soppeng, perkembangan pertanaman padi sawah

berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten

Soppeng (2015), total luas baku lahan sawah seluas 27.289 ha. Sebagian besar

index pertanaman padi adalah 200% (80,49%), hanya 1,25% yang memiliki indeks

pertanaman padi lebih dari 200%. Sedangkan 18,26%, indeks pertanamannya

adalah 100%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Kabupaten

Soppeng hanya dapat ditanami padi 2 kali tanam dalam setahun (Tabel 3).

Tabel 3 : Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di

Kabupaten Soppeng, 2015

Uraian Luas (Ha) Persen (%)

1. IP Padi > 2 kali 341 1,25

2. IP Padi 2 kali 21.964 80,49

3. IP Padi 1 kali 4.984 18,26

Total 27.289 100 Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015

Dari delapan kecamatan di Kabupaten Soppeng, daerah pertanaman padi adalah

Kecamatan Liliriaja, Donri-donri dan Morioriawa dengan sebagian besar lahan sawah

8

yang ditanami padi 2 kali setahun dengan luas lahan IP padi 2 kali per tahun

masing-masing 4.234 ha, 4.077 ha dan 3.570 ha (Tabel 4)

Tabel 4 : Potensi lahan sawah Kabupaten Soppeng, 2015.

Kecamatan

Penggunaan lahan (ha)

Jumlah Padi 1 kali Padi 2 kali Padi > 2 kali

Tan. Lainnya

Marioriwawo 200 2.794 2.994

Liliriaja 30 4.234 4.264

Lilirilau 739 1.195 1.934

Lalabata 11 3.296 111 3.418

Donri-donri 400 4.077 4.477

Marioriawa 2.430 3.570 989 6.989

Ganra 986 2.590 230 3.806

Citta 188 208 396

Jumlah 4.984 21.964 341 989 28.278

Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015

Apabila dirinci, luas baku lahan sawah per kecamatan dapat diketahui bahwa

luas lahan sawah cukup menyebar di 8 kecamatan dengan proporsi luas antara 1,4 –

24,72 persen. Luas lahan sawah terrendah berada di Kecamatan Citta (396 ha)

yang merupakan daerah lahan kering dan tertinggi di Kecamatan Morioriawa (6.989

ha) (Tabel 12). Di Kecamatan Morioriawa sebagian lahan sawah merupakan lahan

tadah hujan (2.430 ha) dan sawah irigasi (3.570 ha).

Tabel 5 : Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per kecamatan di Kabupaten Soppeng 2015

Kecamatan Luas lahan padi

(ha) % luas tiap kecamatan

Luas areal padi (ha) IP

Marioriwawo 2.994 10,59 5788 1,93

Liliriaja 4.264 15,08 8498 1,99

Lilirilau 1.934 6,84 3129 1,62

Lalabata 3.418 12,09 6936 2,03

Donri-donri 4.477 15,83 8554 1,91

Marioriawa 6.989 24,72 9570 1,37

Ganra 3.806 13,46 6856 1,80

Citta 396 1,40 604 1,53

Jumlah 28278 100,00 49935 1,77 Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015

9

3.1.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Alsintan

Perkembangan mekanisasi pertanian di Kabupaten Cilacap cukup pesat dimana

salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin

pertanian antara lain untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.

Jumlah dan ketersedian alat mesin pertanian yang ada pun saat ini masih bervariasi

(Tabel 6).

Berdasarkan data hingga posisi tahun 2015, jumlah traktor yang ada mencapai

3.687 unit yang tersebar di 24 kecamatan. Sebagian besar traktor tersebut adalah

traktor roda 2 yang lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan

sawah dengan tofografi yang berteras. Jumlah traktor dominan terdapat di

kecamatan Gandrungmangu (408 unit), Kedungreja (352 unit), Nusawungu (296

unit), dan Binangun (242 unit). Aktivitas tanam pun di Cilacap saat ini dominan telah

menggunakan alat transplanter yang jumlahnya telah mencapai 46 unit yang

tersebar di 21 kecamatan. Tingkat ketersediaan alat transplanter yang berada pada

kecamatan tersebut berkisar antara 1-4 unit. Sulit berkembangnya penggunaan alat

tanam ini disebabkan karena masih terbatasnya sumberdaya operator alat tersebut.

Sumberdaya untuk mengoperasikan alat transplanter masih sangat terbatas, yaitu

pada kelompok tani yang memang pernah mendapatkan pelatihan mengoperasikan

alat tanam tersebut. Namun demikian seiring dengan makin berkembangnya

program bantuan alat, dan dukungan peningkatan keterampilan penggunaan alat

pada kelompok maka kedepannya perkembangan ketersediaan alat tanam tersebut

meningkat seiring dengan meningkatnya keterampilan mengoperasikan alat

tersebut. Karena itu, kedepan penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual

nantinya akan semakin menurun.

Peralatan lainnya yaitu berupa alat mesin perontok gabah hasil panen. Alat

perontok gabah yang digunakan adalah power tresher. Jumlah power tresher yang

tersedia hingga tahun 2015 mencapai 3.838 unit. Jumlah power tresher terbanyak

terdapat di Kecmatan Gandrungmangu yaitu sebanyak 1.105, kemudian terdapat di

Kecamatan Patimuan sebanyak 525 unit, di Kecamatan Kroya sebanyak 320 unit

dan di Kecamatan Nusawunggu sebanyak 306 unit. Selanjutnya kesediaan alsintan

Combine Harvester, jumlahnya masih terbatas yaitu sebanyak 29 unit dan baru

terdapat di 16 kecamatan. Adapun ketersediaan Combine Harvester di kecamatan

10

tersebut berkisar antara 1-4 unit. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester

di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga

combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK.

Selain itu, combine harvester tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah

lahan basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek.

Tabel 6. Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Cilacap,

2015 (Unit). Kecamatan Jumlah Alsintan (Unit)

No Traktor

R2 Traktor

R4 Transplan-

ter Power

Tresher Combine Harvester

1 Dayeuhluhur 111 1 2 96 2

2 Wanareja 186 0 2 27 2

3 Majenang 167 0 2 140 3

4 Cimanggu 179 0 2 6 2

5 Karangpucung 85 0 2 19 0

6 Cipari 84 1 2 34 0

7 Sidareja 74 0 1 23 2

8 Kedungreja 352 0 2 275 2

9 Patimuan 205 0 1 525 1

10 Gandrungmangu 408 1 2 1.105 1

11 Cilacap Selatan 7 0 0 4 0

12 Cilacap Tengah 26 0 0 27 0

13 Cilacap Utara 28 0 2 38 1

14 Kesugihan 155 0 2 181 2

15 Jeruklegi 91 0 1 48 1

16 Kawunganten 182 1 3 62 4

17 Bantarsari 109 1 1 26 1

18 Kampung Laut 34 0 1 14 0

19 Sampang 124 0 4 58 0

20 Maos 117 1 2 130 0

21 Adipala 152 0 2 199 2

22 Kroya 273 0 6 320 2

23 Binangun 242 0 0 175 0

24 Nusawungu 296 1 4 306 1

Jumlah 3.687 7 46 3.838 29

Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).

Bila dinalisis kebutuhan alsintan terhadap luas tanam yang ada, maka

analisisnya disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas tanam

terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor roda 2

secara rata-rata sebesar 36,51: 1 traktor. Artinya setiap traktor yang ada (traktor

11

roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 36,51 ha. Dengan kondisi rasio tersebut,

bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Cilacap secara rataan belum cukup.

Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan

ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan

antara 11-15 ha/tahun. Namun demikian, bila dilihat per kecamatan terdapat

beberapa kecamatan yang memiliki rasio luas tanam dengan ketersediaan traktor

yang cukup yaitu kecamatan: Kedungreja, Gandrungmangu, dan Nusawunggu.

Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter

sekitar 2.926: 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan

sekitar 2.926 ha (Tabel 7). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah

transplanter yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang, dan kurangnya

terjadi merata di setiap kecamatan. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan

(2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal transplanter tercapai kondisi impas

minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar 32 ha/tahun. Oleh karena itu,

dalam kegiatan tanam padi sawah di Cilacap masih dominan menggunakan alat

tanam seperti dengan caplak dan secara manual kegiatan tanamnya.

Untuk rasio luas baku lahan terhadap alat panen power tresher sekitar 35,07:

1. Artinya setiap power tresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 35,07

ha (Tabel 7). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power tresher yang ada

di Kabupaten Cilacap mendekati cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian PSEKP

di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa arael power tresher dalam

setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)

sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Adapun beberapa kecamatan

yang ketersediaan power treshernya di pandang cukup terdapat di Kecamatan:

Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, Kroya,

dan Nusawunggu. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap

sebagian besar menggunakan power tresher, dan sebagian kecil sesuai dengan

kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan alat panen mini combine

harvester.

12

Tabel 7. Rasio luas tanam dengan jumlah alsinten per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2015 (Ha)

No. Kecamatan Rasio Luas Tanam dengan Jenis alsintan

Traktor R2 Transplanter Tresher

1 Dayeuhluhur 60,86 3.378 70,36

2 Wanareja 33,86 3.149 233,26

3 Majenang 56,57 4.724 67,48

4 Cimanggu 43,41 3.885 1.295,00

5 Karangpucung 53,95 2.293 241,37

6 Cipari 48,75 2.048 120,44

7 Sidareja 39,19 2.900 126,09

8 Kedungreja 24,47 4.307 31,32

9 Patimuan 32,93 6.750 12,86

10 Gandrungmangu 24,38 4.973 9,00

11 Cilacap Selatan 45,57 - 79,75

12 Cilacap Tengah 29,00 - 27,93

13 Cilacap Utara 52,46 735 38,66

14 Kesugihan 53,80 4.170 46,07

15 Jeruklegi 33,47 3.046 63,46

16 Kawunganten 46,32 2.810 135,97

17 Bantarsari 41,29 4.501 173,12

18 Kampung Laut 80,68 2.743 195,93

19 Sampang 32,30 1.001 69,05

20 Maos 34,33 2.009 30,90

21 Adipala 46,31 3.520 35,37

22 Kroya 29,02 1.320 24,76

23 Binangun 30,07 - 41,58

24 Nusawungu 25,60 1.895 24,77

Jumlah 36,51 2.926 35,07 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015)

Penggunaan alat panen combine harvester di lokasi kajian masih sangat

kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa

cakupan ideal combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan

kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan

panen padi sawah di Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine

harvester. Kedepan penggunaan combine harvester perlu ditingkatkan lagi.

13

Tabel 8. Jumlah penduduk bekerja pada lapangan kerja pertanian per kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2013 (Orang)

No. Kecamatan Tenaga Kerja yang bekerja di Pertanian

Pddk bekerja Bekerja di pertanian %

1 Dayeuhluhur 24.121 17.007 70,51

2 Wanareja 45.728 30.700 67,14

3 Majenang 59.020 32.864 55,68

4 Cimanggu 59.713 38.856 65,07

5 Karangpucung 27.130 15.377 56,68

6 Cipari 33.726 20.879 61,91

7 Sidareja 24.756 12.662 51,15

8 Kedungreja 54.631 43.512 79,65

9 Patimuan 19.783 12.036 60,84

10 Gandrungmangu 48.796 35.330 72,40

11 Cilacap Selatan 41.275 30.228 73,24

12 Cilacap Tengah 71.047 54.096 76,14

13 Cilacap Utara 4.392 2.733 62,23

14 Kesugihan 27.689 15.232 55,01

15 Jeruklegi 87.375 49.489 56,64

16 Kawunganten 35.497 21.961 61,87

17 Bantarsari 30.282 20.418 67,43

18 Kampung Laut 23.261 19.373 83,29

19 Sampang 49.353 20.832 42,21

20 Maos 37.280 19.230 51,58

21 Adipala 34.374 12.927 37,61

22 Kroya 55.704 12.816 23,01

23 Binangun 31.948 4.532 14,19

24 Nusawungu 28.429 3.798 13,36

Jumlah 955.310 546.888 57,25

Sumber: BPS Cilacap (2014)

Bila dianalisis atas jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Cilacap

diketahui bahwa dari total penduduk usia kerja (Usia > 15 tahun- 64 tahun) sekitar

57,25% bekerja di lapangan kerja sektor pertanian. Bahkan jika ditelaah per

kecamatan, beberapa kecamatan seperti di: Dayeuhluhur, Wanareja, Cimanggu,

Kedungreja, Gandrungmangu, Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, dan Bantarsari

jumlah penduduk usia kerjanya diatas 65% bekerja pada lapangan pekerjaan

pertanian (Tabel 8). Hal ini mengingat pada kecamatan tersebut merupakan sentra

pertanian baik padi sawah maupun lahan kering. Dengan demikian, peluang

peningkatan mekanisasi yang ditopang dengan jumlah SDM pertanian yang

memadai akan memungkinkan lebih berkembang lagi.

Untuk Kabupaten Soppeng, perkembangan mekanisasi pertanian cukup pesat

yang salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin

14

pertanian untuk pengolahan lahan, tanam dan panen. Jumlah dan ketersedian alat

mesin pertanian yang ada pun saat ini masih bervariasi (Tabel 9).

Berdasarkan data hingga tahun 2015, jumlah traktor roda 2 mencapai 3.819

unit yang tersebar di 8 kecamatan, jumlah traktor roda 4 baru ada 13 unit. Jumlah

traktor roda 2 cukup banyak karena telah lama digunakan oleh petani untuk

mengolah tanah. Untuk menunjang ketersediaan air, selain jaringan irigasi, petani

Kabupaten Soppeng menggunakan pompa air dalam dan permukaan. Kebanyakan

pompa yang digunakan adalah pompa dengan ukuran 3 inci, jumlahnya mencapai

820 unit.

Trnasplanter merupakan alat tanam yang baru diperkenalkan di Kabupaten

Soppeng, jumlahnya masih terbatas (13 unit). Namun seiring dengan semakin

sulitnya tenaga kerja pertanian, alat ini mulai diminati petani Kabupaten Soppeng.

Saat ini kesulitan penggunaan alat ini adalah masih terbatasnya sumberdaya

operator alat tersebut. Namun demikian seiring dengan makin berkembangnya

program bantuan alat, dan dukungan peningkatan keterampilan penggunaan alat

pada kelompok, keterampilan mengoperasikan alat tersebut akan meningkat.

Tabel 9 : Ketersediaan alsinten per jenis kenurut Kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 (unit).

Kecamatan TR2 TR4

Pompa Air Power Thresher

RMU Trans

planter Combine Harvester

Paddy Mower 2" 3" 4" 6" 8" 10"

Marioriwawo 292 0 20 54 1 4 0 0 11 60 1 0 6

Liliriaja 651 1 22 60 14 1 7 1 59 50 3 24 1

Lilirilau 237 0 35 46 31 8 18 5 41 14 0 1 5

Lalabata 565 3 14 47 14 0 1 0 29 34 2 4 4

Donri-donri 712 3 50 250 54 5 2 0 76 41 1 24 1

Marioriawa 820 6 33 248 26 4 2 0 44 22 5 2 7

Ganra 503 0 6 109 26 1 0 4 26 20 1 1 11

Citta 39 0 3 6 2 1 0 1 0 5 0 0 0

Jumlah 3.819 13 183 820 168 24 30 11 286 246 13 56 35

Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)

Peralatan lainnya yaitu berupa alat mesin perontok gabah. Alat perontok gabah

yang digunakan adalah power tresher. Jumlah power thresher yang tersedia hingga

tahun 2015 mencapai 286 unit. Mesin panen Combine Harvester berkembang pesat

di Kabupaten Soppeng, karena kurangnya tenaga panen, hingga tahun 2015

jumlahnya telah mencapai 56 unit.

15

Tabel 10 : Rasio luas tanam padi dengan jumlah alat dan mesin pertanian per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Soppeng , 2015

Kecamatan Luas

tanam (ha) TR2 TR4

Power Thresher

RMU Trans

planter Combine Harvester

Paddy Mower

Marioriwawo 5.788 19,82 526,18 96,47 5.788,00 964,67

Liliriaja 8.498 13,05 8.498,00 144,03 169,96 2.832,67 354,08 8.498,00

Lilirilau 3.129 13,20 76,32 223,50 3.129,00 625,80

Lalabata 6.936 12,28 2.312,00 239,17 204,00 3.468,00 1.734,00 1.734,00

Donri-donri 8.554 12,01 2.851,33 112,55 208,63 8.554,00 356,42 8.554,00

Marioriawa 9.570 11,67 1.595,00 217,50 435,00 1.914,00 4.785,00 1.367,14

Ganra 6.856 13,63 263,69 342,80 6.856,00 6.856,00 623,27

Citta 604 15,49 120,80

Jumlah 49.935 13,08 3.841,15 174,60 202,99 3.841,15 891,70 1.426,71 Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)

Bila dinalisis kebutuhan alsintan terhadap luas tanam yang ada, maka

analisisnya disajikan pada Tabel 10 diatas. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas

tanam terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor

roda 2 secara rata-rata sebesar 13,08 : 1 traktor. Artinya setiap traktor yang ada

(traktor roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 13,08 ha. Dengan kondisi rasio

tersebut, bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Soppeng secara rataan

sudah cukup. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan

bahwa cakupan ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat

mengolah lahan antara 11-15 ha/tahun.

Mesin tanam (transplanter), perhitungan rasio luas baku lahan terhadap

mesin 3.841 : 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan

sekitar 3.841 ha (Tabel 10.). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah

transplanter yang ada di Kabupaten Soppeng masih sangat kurang. Hal ini sejalan

dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal

transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar

32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Kabupaten

Soppeng secara manual. Power Thresher cukup banyak digunakan di Kabupaten

Soppeng, rasio luas baku lahan terhadap alat panen power tresher sekitar 174,6 : 1.

Artinya setiap power tresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 174,6 ha

(Tabel 10.). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada

di Kabupaten Soppeng masih kurang. Hasil penelitian PSEKP di Sulawesi Selatan

16

(2015) yang menyatakan bahwa arael power tresher dalam setahun (rata-rata

sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari) sehingga dapat bekerja

ideal seluas 350 ha/musim. Kecamatan yang jumlah power thresher cukup banyak

adalah Kecamatan Lilirilau. Demikian juga dengan pompa air, pompa air 3 inci

sudah cukup banyak digunakan oleh petani (Tabel 11).

Tabel 11 : Rasio luas tanam dengan jumlah pompa air menurut kecamatan di Kabupaten

Soppeng, 2015

Kecamatan Luas

tanam (ha)

Pompa Air

2" 3" 4" 6" 8" 10"

Marioriwawo 5.788 289,40 107,19 5.788,00 1.447,00

Liliriaja 8.498 386,27 141,63 607,00 8.498,00 1.214,00 8.498,00

Lilirilau 3.129 89,40 68,02 100,94 391,13 173,83 625,80

Lalabata 6.936 495,43 147,57 495,43 6.936,00

Donri-donri 8.554 171,08 34,22 158,41 1.710,80 4.277,00

Marioriawa 9.570 290,00 38,59 368,08 2.392,50 4.785,00

Ganra 6.856 1.142,67 62,90 263,69 6.856,00 1.714,00

Citta 604 201,33 100,67 302,00 604,00 604,00

Jumlah 49.935 272,87 60,90 297,23 2.080,63 1.664,50 4.539,55 Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)

3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan

Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap

UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk

melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan

usaha traktor ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha traktor tangan.

Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut:

(a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja

traktor yaitu seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor

tangan adalah Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan

masa olah tanah adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim

tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga

sewa traktor sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha

traktor tangan di lokasi kajian.

17

Berdasarkan data pada Tabel 12 terlihat bahwa dengan nilai sewa traktor

sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau

sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp

331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar

1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai

40%, diikuti dengan biaya bahan bakar yaitu sebesar 12,50% dari total penerimaan.

Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan

yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi

traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya

untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun maka luas layanan pengolahan

lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua

faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Analisis ini belum

memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1), dimana pada MK1

penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter, sehingga tingkat

keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I, karena pada MT-II

tidak dilakukan pembajakan karena lahan sawah masih tergenang air (basah).

Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah

mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah lain, termasuk ke

luar daerah jika memungkinkan.

Tabel 12. Struktor ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015 (Rp/ha)

No. Komponen Satuan Volume Harga (Rp.sat)

Nilai (Rp) Pangsa (%)

1 Biaya:

1.1. BBM Liter 15,00 7.500 112.500 12,50

1.2. Oli:

-

a. Mesin Liter 0,60 30.000 18.000 2,00

b. Gardan Liter

2.494 0,28

c. Gemuk/stempet Kg

2.493 0,28

1.3. Spare part & service Unit

41.667 4,63

1.4. Penyusutan -

31.944 3,55

1.5. Operator -

360.000 40,00

1.7.Total -

569.098 63,23

2 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 900.000 900.000 100,00

3 Keuntungan -

330.902 36,77

4 R/C rasio

1.58

Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015

18

Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,

kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama

penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio

pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian

semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh

UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya

masih terbatas.

Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Dalam pengolahan lahan, traktor tangan (traktor roda-2) sudah banyak

digunakan petani. Pada proyek PPM ini diperkenalkan TR-4 untuk mempercepat

kegiatan pengolahan lahan. Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya

dapat mengolah lahan sekitar 0,3 – 0,5 ha/hari. Sedangkan traktor besar bisa

mengolah tanah 2,5 ha per hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu

mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal

menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil.

Kapasitas traktor tangan yang diusahakan pada UPJA Semangat Kelurahan

Appanang adalah 60 hari per tahun. Harga traktor tangan kecil yang digunakan

adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomi 10 tahun, sehingga penyusutan dapat

diperhitungkan sebesar Rp 126.650 per tahun per ha. Harga sewa traktor yang Rp

berlaku di lokasi ini adalah Rp 1.200.000 per ha. Analisis finansial usaha traktor

tangan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 13. Total biaya usaha jasa traktor

tangan adalah Rp 721.650, komponen biaya terbesar adalah biaya operator dan

penyusutan. Dari penerimaan sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha maka keuntungan

yang diperoleh dari usaha penyewaan traktor tangan adalah Rp 478.350, dengan

R/C rasio sebesar 1,66. Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan.

19

Tabel 13. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)

No. Komponen Satuan Volume

Harga

(Rp.sat)

Nilai

(Rp)

Pangsa

(%)

1 Biaya:

1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 9,70

1.2. Oli dan pelumas 75.000 10,39

1.3. Pemeliharaan dan perawatan 50.000 6,93

1.4. Penyusutan 126.650 17,55

1.5. Operator 400.000 55,43

1.6.Total 721.650 100,00

2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000

3 Keuntungan 478.350

4 R/C rasio 1,66

Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian

modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah

lama penggunaannya secara luas di masyarakat, sehingga usahanya cukup

menguntungkan. Namun traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun

demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Kapasitas

kerja traktor roda–4 (TR4) di UPJA Semangat adalah 2,5 ha per hari, luas lahan 1

(satu) ha bisa dikerjakan dalam waktu 4 jam.

Tabel 14. Struktur ongkos dan sewa traktor roda - 4 di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)

No. Komponen Satuan Volume

Harga

(Rp.sat) Nilai (Rp)

Pangsa

(%)

1 Biaya:

1.1. BBM Liter 12 7.000 84.00 10,01

1.2. Oli dan pelumas

70.000 8,34

1.3. Pemeliharaan dan perawatan Unit 71.250 8,49

1.4. Penyusutan - 213.750 25,48

1.5. Operator - 400.000 47,68

1.6.Total - 839.000 100,00

2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000

3 Keuntungan - 361.000

4 R/C rasio 1,43

20

Saat ini TR-4 yang dikelola UPJA Semangat baru bisa bekerja sebanyak 48

hari per tahun. Dari struktur ongkos penyewaan TR-4 pada Tabel 14, total biaya

penyewaan TR-4 adalah Rp 839.000, komponen biaya terbesar adalah untuk

operator (47,68%) dan biaya penyusutan (25,48%). Dengan pendapatan dari sewa

sebesar Rp 1.200.000 per ha, diperoleh keuntungan Rp 361.000 per ha dengan R/C

rasio 1,43. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA

masih memungkinkan di wilayah UPJA tersebut atau di desa sekitar kecamatan

domisili UPJA tersebut. Membangun jaringan kerja merupakan upaya untuk

meningkatkan pengembangan UPJA, sehingga kapasitas alat dapat ditingkatkan.

Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk

melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui

kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter.

Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai

berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong,

sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit

transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis

transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode

waktu tanamanya 20-30 hari dalam 2 kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter

setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar

Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 2 disajikan analisis finansial usaha transplanter di

lokasi kajian.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter

Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau

sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp

532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar

1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan

mencapai 22,53% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih dan

pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu

sebesar 15% (Tabel 15).

21

Tabel 15. Struktor ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015

No. Komponen Satuan Volume Harga

(Rp.sat)

Nilai (Rp) Pangsa

(%)

1 Biaya penyediaan Benih :

1.1. Benih Padi kg 24,5 7.000 171.500 12,25

1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 3,57

2 Biaya:

-

2.1. BBM liter 7,00 7.400 51,800 3.70

2.2. Oli:

-

a. Mesin liter 0,05 30.000 1.500 0,11

b. Hidroulik liter 0,05 40.000 2.000 0,14

c. Gemuk/stempet kg

2,493 0,18

2.3. Spare part & service unit

62.843 4,49

2.4. Penyusutan -

315.421 22,53

2.5. Operator -

210.000 15,00

2.7.Total -

867.556 61,97

3 Pendapatan dari Sewa ha 1,00 1.400.000 1.400.000 100,00

4 Keuntungan -

532.444 38,03

5 R/C rasio

1,61

Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015

Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang

dengan hanya 11 hektar itu sangat kurang memadai, karena pengembalian

investasi transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia

ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan

arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim

tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten

Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan

transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup

tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk

memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah

layanan penanam sampai ke daerah lain.

Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung

pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah

penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio

luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar,

artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar.

Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter dan juga

kelembagaan pengelolaannya masih perlu terus ditingkatkan.

22

Untuk kasus UPJA di Kelurahan Appanang, transplanter belum diusahakan,

beberapa petani yang menggunakan kebanyakan petani anggota Gapoktan/Keltan

yang hanya meminjam dimana biaya operasional seperti BBM dan operator

ditanggung sendiri oleh petani yang meminjam alat tanam tersebut. Hal ini karena

transplanter merupakan alsintan yang masih relatif baru diperkenalkan di Kelurahan

Appanang.

Analisis Usaha Power Tresher pada kelompok UPJA Desa Bojong

Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap

UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power tresher yang diusahakan untuk

melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan

usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha power tresher. Sesuai

dengan data dan spesifikasi power tresher yang dimiliki UPJA adalah sebagai

berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang penetapan wilayah power tresher

yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit power tresher, (b) harga power

tresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur ekonomis power tresher adalah sekitar 8-10

tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana periode kerja tresher dalam

satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power tresher

setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2 juta (10%) dan (e) harga sewa power tresher

sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel 16 disajikan analisis finansial usaha power

tresher di lokasi kajian di Kabupaten Cilacap.

Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa power

tresher Rp 720 ribu/ha, total biaya usaha jasa power tresher senilai Rp 263 ribu/ha

atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha power tresher

sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari penerimaan serta perolehan R/C

rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya usaha power tresher adalah biaya

operator mencapai 16,67% dari total penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%.

Pada kegiatan usaha jasa power tresher ini (UPJA), setiap petani yang

menggunakan jasa panen alsintan power tresher harus membayar (mengeluarkan)

sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus

mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power

tresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut.

23

Tabel 16. Struktor ongkos dan sewa power tresher di UPJA Desa Bojong Cilacap,

2015

No. Komponen Satuan Volume Harga

(Rp.sat) Nilai (Rp)

Pangsa

(%)

1 Biaya:

1.1. BBM Liter 3,57 7.400 26.418 3,67

1.2. Oli: 0,00

a. Mesin Liter 0,714 30.000 21.429 2,98

b. Gardan Liter 0,5 30.000 15.000 2,08

c. Gemuk/stempet Kg 15.000 2,08

1.3. Spare part & service Unit 20.605 2,86

1.4. Penyusutan - 45.000 6,25

1.5. Operator - 120.000 16,67

1.7.Total - 263.452 36,59

2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 720.000 720.000 100,00

3 Keuntungan - 456.548 63,41

4 R/C rasio 2,73

Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015

Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan

power tresher saat ini sekitar 15 yang dinilai masih kurang memadai. Idealnya area

layanan power tresher seluas 30 ha/musim. Namun bila dianalisis secara

keseluruhan dengan terdapatnya power tresher yang masuk dari daerah lain, kondisi

power tresher saat ini tidak dikeluhkan kekurangan oleh petani disaat panen padi.

Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power

tresher, dan sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah

menggunakan alat panen mini combine harvester.

Secara umum pada penggunaan alat panen power tresher dalam rangka

mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman

sangatlah penting. Jumlah alat power tresher di lokasi kajian Desa Bojong memang

masih kurang, namun dalam lingkup Kabupaten keberadaan alsintan ini sudah

cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power tresher secara

khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui

relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power tresher dari wilayah yang cukup ke

wilayah yang masih kekurangan.

24

Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap

UPJA Desa Bojong memiliki 4 unit power mini Combine Harvester yang

diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk

mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha

power tresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang dimiliki

UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang

memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh Combine Harvester

adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester, (b) harga

mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine

Harvester adalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana

periode kerja Combine Harvester dalam satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21

hari), (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10 tahun adalah Rp 24 juta (10%)

dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2,97 juta/ha. Pada Tabel 17

disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi kajian.

Tabel 17. Struktor ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong

Cilacap, 2015

No. Komponen Satuan Volume Harga

(Rp.sat) Nilai (Rp)

Pangsa (%)

1 Biaya:

1.1. BBM Liter 7,00 6.900 48.300 1,63

1.2. Oli:

a. Mesin Liter 0,37 30.000 11.100 0,37

b. Gardan Liter 0,25 30.000 7.500 0,25

c. Gemuk/stempet Kg 5.000 0,17

1.3. Spare part & service Unit 112.000 3,77

1.4. Penyusutan - 78.000 2,63

1.5. Operator - 1.600.000 53,85

1.7.Total - 1.861.900 62,66

2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.971.429 2.971.429 100,00

3 Keuntungan - 1.109.529 37,34

4 R/C rasio 1,60

Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015

25

Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine Harvester

Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha

atau sebesar 62,66% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine

Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha atau sekitar 37,34% dari penerimaan serta

perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine

Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya

spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63%.

Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang

menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar

(mengeluarkan) dengan sistem 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil panen maka

Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine Harvester

tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional

Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut.

Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan

Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine harvester tercapai kondisi impas

minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Adapun

alasan masih rendahnya penggunaan combine harvester pada sistem panen di lokasi

kajian disebebkan oleh: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas, dimana UPJA

baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak memungkinkan

menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari tenaga kerja

panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu bersemangat untuk

menggunakan Combine Harvester, walaupun untuk memperoleh Combine harvester

cukup mudah baik dengan cara sewa atau pembelian melalui kredit.

Selain itu, masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten

Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga combine harvester

pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester

tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman >

20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin

harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke

Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih

sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan penggunaan

26

combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan

jumlah yang ada saat ini.

Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng.

Pengusahaan combine harvester cukup baik di Kelurahan Appanang, karena

dianggap bisa mengatasi masalah panen. Kurangnya tenaga kerja akibat persaingan

dengan usaha perkebunan, dimana upah pada usaha perkebunan lebih besar

daripada upah usahatani padi, menyebabkan combine harvester sangat dibutuhkan.

Analisis finansial pengusahaan combine harvester di Kelurahan Appanang, diperoleh

R/C rasio sebesar 2,30, berarti usaha tersebut cukup menguntungkan. Hal ini

didukung oleh pernyataan pengurus UPJA bahwa keuntungan UPJA terutama

diperoleh dari usaha penyewaan combine harvester. Komponen biaya terbesar

(64,72%) adalah upah operator, yang biasanya terdiri dari 5–6 orang sebesar Rp

720.000. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 1.443.000 per ha (Tabel 18).

Tabel 18. Struktur ongkos dan sewa combine harvester di UPJA Semangat Kelurahan

Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/Ha)

No. Komponen Satuan Volume Harga

(Rp.sat) Nilai (Rp)

Pangsa

(%)

1 Biaya:

1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 6,29

1.2. Oli dan pelumas 12.500 1,12

1.3. Pemeliharaan dan perawatan 100.000 8,99

1.4. Penyusutan 210.000 18,88

1.5. Operator 720.000 64,72

1.6.Total 1.112.500 100,00

2 Pendapatan dari Sewa ha 1 2.556.000 2.556.000

3 Keuntungan 1.443.500

4 R/C rasio 2,30

Wilayah pengusahaan combine harvester saat ini masih terbatas di sekitar

Kelurahan Appanang. Kapasitas bisa diperluas dengan membangun jaringan kerja

dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah

Kelurahan Appanang. Kapasitas kerja combine harvester UPJA Semangat Kelurahan

27

Appanang baru mencapai 60 hari kerja per tahun untuk melayani hamparan sawah

di Kelurahan Appanang. Dengan kecepatan kerja 5 jam per ha dalam sehari bisa

melayani 2 ha sehingga dalam 1 tahun bisa melayani kira-kira 120 ha. Biaya sewa

diperhitungkan dengan natura yaitu 1 karung gabah per 10 karung yang berhasil di

panen. Produksi gabah per hektar rata-rata 90 karung GKP dengan harga gabah Rp

3.550/kg. Setelah diperhitungkan dengan rupiah, pendapatan dari sewa adalah Rp

2.556.000 per ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Kelurahan

Appanang adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun.

3.2.Analisis Kelembagaan Pengelolaan Alsintan

3.2.1.Peran Kelembagaan Agribisnis Padi

Kelembagaan agribisnis padi dapat mencakup kelembagaan penyediaan input,

kelembagaan pengelolaan usahatani, panen dan pasca panen. Pada pengelolaan

usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan

(UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja petani menggunakan jasa

Alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan.

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa total luas lahan sawah di lokasi

kajian Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten mencapai 921 hektar, yang

mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha,

dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan

seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor

keseluruhan terdapat 72 unit dimana 10 diantaranya adalah milik UPJA. UPJA

melakukan inisiatif melakukan pertemuan/rembugan diantara para pemilik

transplanter perorangan yang dihadiri oleh seluruh aparat desa termasuk Babinsa

untuk menetapkan Perdes (Peraturan Desa) tentang pengaturan luas maksimal

pelayanan untuk masing-masing traktor yang ada di Desa Bojong. Diantara

keputusan yang dibuat adalah: (a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-

masing traktor yaitu berkisar antara 10-12 hektar per unit traktor. Hal ini dengan

mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b)

menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap

tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 900.000 per hektar,

yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c)

28

menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan

pengolahan lahan sawah di Desa Bojong, hal ini tentu dengan memperhatikan

bahwa jumlah traktor di desa ini sudah melebihi luas areal yang ideal untuk satu unit

traktor, yaitu idealnya adalah 15-20 hektar per musim.

Secara sosiologis, penggunaan traktor di desa ini sudah sangat diterima dan

bahkan terindikasi kelebihan alat traktor. Hal yang mendasari bahwa masyarakat

bahwa traktor ini diterima secara social adalah : (a) ketersediaan tenaga kerja untuk

mengolah sudah kurang, bahkan untuk tanaga kerja muda sudah tidak ada, karena

opportunity cost tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih tinggi dan lebih

bergengsi, (b) waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan sangat cepat untuk

mengejar jadwal tanam, sehingga yang memungkinkan adalah dengan

menggunakan traktor, (c) lebih efisien bagi sisi pemilik lahan, dan (d) tidak ada

ketergantungan, karena traktor setiap saat senantiasa stand by.

Sementara terkait dengan mengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida.

Untuk benih dan pestisida petani dapat melakukan dua pilihan yaitu langsung

membeli ke kios saprotan atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau

gapoktan. Bagi petani yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani

yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah

namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya

memperoleh dari Kelompok tani atau Gapoktan, dimana pembayarannya adalah

dengan cara di bayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan

berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya untuk memperoleh pupuk hampir

seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau gapoktan, karena perencanaan

pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan dengan RDKK yang sudah di

rencanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani keberadaan kelompok atau

gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi musibah serangan OPT dan

kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka akan ada penangguhan

pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang didalamnya juga

merupakan kelompok UPJA.

Selain itu, pada UPJA juga tersedia pelayanan jasa tanam dengan alat

transplanter. Pada pengelolaan usahatani khususnya adalah pengadaan benih padi,

maka ketersedian benih dengan mempertimbangkan varietas, ketepatan, dosis benih

29

sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan, ketika petani menggunakan

jasa transplanter, maka pengadaan benih dan persemaiannya tidak mungkin

dilakukan oleh petani, akan tetapi dipenuhi oleh pemilik UPJA. Sistem persemaian

dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau

berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi

inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi

menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Namun disayangkan

penggunaan transplanter memiliki keterbatasan terutama pada MT-I (MH), sehingga

dari 921 hektar sawah hanya baru sekitar sekitas 50 hektar saja yang menggunakan

jasa transplanter. Pada saat MH, penggunaan transplanter terkendala oleh

kedalaman lumpur sawah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan

kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan

lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas

kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan

memanen hasil padi yang ditanamnya.

Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah

mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi

bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat

melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga

kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas

sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama

penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,

sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.

Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih

murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upaha jasa

tanam manual cukup mahal yaitu Rp 45.000 per hari, sedangkan jika dengan

pelaksanaan borongan 16 orang x Rp 45.000. Pada tanam manual, petani juga harus

menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.

Pada kelembagaan pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Bojong Kecamatan

Kawunganten sebagian besar masih menggunakan panen sistem manual, dimana

panen menggunakan tenaga rombongan sekitar 10-15 orang dengan menggunakan

sabit dan dirontokan dengan menggunakan power thresher. Adapun upah yang

30

diberikan adalah 1/7 bagian pemanen, dan 6/7 bagian pemilik lahan sawah. Pada

bagian 1/7 tersebut, sekitar 25 kg per bau (1 bau= 0,714 ha) diberikan untuk biaya

thresher.

Pada luasan sawah yang terdapat di Desa Bojong, masih terdapat sekitar 750

hektar sistem panennya menggunakan manual. Adapun alasan masih tingginya

luasan lahan sawah dengan sistem panen manual adalah: (a) jumlah combine

Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan,

terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c)

masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga

UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan Combine Harvester, walaupun

sebenarnya untuk memperoleh Combine harvester cukup mudah baik dengan cara

sewa atau pun pembelian melalui kredit. Untuk mengoptimalkan peran mesin

harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke

Sumatera.

Sementara itu, pada kegiatan panen manual sesungguhnya juga terdapat

kendala yang dihadapi petani, yaitu: (a) kehilangan hasil masih relatif tinggi, karena

ada ”moral hazard” dimana ada kelompok panen yang terkadang diantaranya juga

sebagai pemilik bebek, sehingga gabah banyak tercecer dan malai juga masih

banyak yang tidak terpanen, (b) pengerjaannya lebih lama, (c) jaminan ketersediaan

tenaga penen tidak terjamin, dan (d) biaya panen relatif lebih mahal.

Selanjutnya pada kelembagaan pengelolaan pemasaran hasil, sebagian besar

petani biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah

mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjualan gabah

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual ke kelompok tani atau UPJA, atau juga

petani dapat menjual gabahnya ke para tengkulak.

Gabah yang dibeli kelompok tani/UPJA selanjutnya dijual sesuai permintaan

gabah dari BULOG Kabupaten Ciamis. BULOG biasanya membeli gabah sesuai

persyaratan/spesifikasi tertentu yang harus dipenuhi kelompok tani/UPJA, dan

biasanya volumenya telah ditentukan. Harga gabah yang diterima UPJA berbeda

antara musim MT-I dan MT-II, pada MT-II harga gabah mencapai Rp 4.200/kg dan

pada MT-I hanya sekitar Rp. 3.800/kg. Pada kedua musim tersebut, harga gabah di

masyarakat umumnya berada di atas harga patokan pembelian Pemerintah,

31

sehingga pemerintah untuk pengadaan stok gabah otomatis harus membeli dengan

harga yang sama dengan harga yang terdapat di masyarakat.

Cukup berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan

soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 4

orang, dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa

Bojong mencapai 921 hektar, yang mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas

531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha.

Tabel 19 menyajikan informasi tentang keragaan agribisnis padi di kedua lokasi

studi, yakni di dua kabupaten contoh Kabupaten Cilacap (Jateng) dan Kabupaten

Soppeng (Sulsel). Sistem agribisnis yang dideskripsikan disini dibatasi hanya pada

konteks penggunaan alat dan mesin pertanian pada keseluruhan prosesnya, dari

hulu sampai ke hilir.

Tabel 19. Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin pertanian

pada kedua lokasi studi, 2016

Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap

Kabupaten Soppeng

1. Pengolahan tanah

Umumnya sudah

menggunakan traktor, kecuali di daerah tanah kering dataran tinggi dan wilayah

rawa

Umumnya sudah menggunakan

traktor

2. Pasokan air irigasi Pada daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan

sebagian menggunakan pompa air permukaan.

Daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan sebagian menggunakan pompa air

permukaan.

3. Penanaman Seluruhnya masih tanam

menggunakan tenaga penanam berupa rombongan tanam

Sudah mulai menggunakan

transplanter, walaupun baru sebagian kecil.

4. Pemotongan batang

padi

Umumnya menggunakan

sabit, combine harvester baru berjalan pada 1-2 desa

Menggunakan sabit. Combine

harvester sudah banyak digunakan terutama di Kecamatan Liliriaja.

5. Perontokan Menggunakan tresher dan

perontokan secara manual. Hanya wilayah Cilacap bagian Timur yang bisa

menggunakan combine harvester, sedangkan bagian

Barat yang merupakan

Combine harvester sudah banyak

digunakan, karena terbatasnya tenaga kerja.

32

Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap

Kabupaten Soppeng

dataran tinggi dengan lahan sempit-sempit lebih senang

menggunakan tresher. 6. Pengeringan gabah Umumnya menggunakan

sinar matahari. Beberapa alat pengering yang dimiliki

masyarakat dan Bulog belum berfungsi.

Dijemur dibawah sinar matahari

7. Penggilingan padi Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik

penggilingan kecil maupun besar.

Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik penggilingan kecil

maupun besar.

Jika dibandingkan dengan konsep Pertanian Modern sebagaimana

diprogramkan oleh Kementerian Pertanian, sebagian subsistem telah sejalan dan

sebagian belum. Dalam konsep Pertanian Modern oleh Kementan, semestinya semua

sub sistem dijalankan dengan alat dan mesin pertanian.

Dalam buku “Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern

Tahun 2015” (Ditjen Sarana dan Prasarana, 2015), disebutkan bahwa mulai tahun

2014 telah dilaksanakan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern di 3 (tiga)

kabupaten pada 2 (dua) provinsi. Sementara pada tahun 2015 kegiatan diperluas

di 15 kabupaten pada 8 (delapan) provinsi. Kegiatan Percontohan Pertanian Modern

adalah kegiatan usaha tani yang dilaksanakan dengan penerapan mekanisasi

pertanian dengan pemanfaatan bantuan kegiatan peningkatan kemampuan UPJA

dalam bidang pelayanan jasa alsintan mulai kegiatan pengolahan tanah, penanaman

bibit sampai dengan panen dengan cakupan pelayanan seluas minimal 100 ha.

Sesuai dengan MOU Kementan dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh

Indonesia (APPSI) tahun 2014, kegiatan Percontohan Pertanian Modern seluas

minimal 100 Ha di masing-masing Provinsi. Dalam skema ini, peran serta kelompok

tani/Gapoktan dan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan komponen

penting.

Dengan demikian, dari 7 (tujuh) subsistem produksi padi/gabah sebagaimana

pada tabel di atas, tingkat penerapan pertanian modern di Kabupaten Cilacap secara

umum telah berada pada kondisi sedang. Sebagian subsistem telah dijalankan

dengan alsintan sedangkan sebagian belum (Tabel 20).

33

Tabel 20. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Cilacap, 2016

Tingkat

mekanisasi dan

kegiatan

Karakteristik

Tinggi

1.Penggilingan

padi

Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,

meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.

2.Pengolahan

tanah

Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa

traktor roda dua. Jumlah traktor roda 2 sudah berlebih,

sehingga under capacity, dimana masing-masing alat hanya

beroperasi maksimal 15 ha per MT. Traktor roda 4 kurang

sesuai dengan wilayah Cilacap dimana banyak lahan sawah

sempit-sempit dengan format pematang yang tidak sejajar,

terutama di dataran tinggi.

Sedang

3.pemenuhan air

irigasi

Sebagian areal sawah mengandalkan pompa, sementara

sebagian besar menggunakan air irigasi. Mesin pompa yang

digunakan merupakan pompa portable dengan ukuran kecil.

4.Perontokan

gabah

umumnya menggunakan tresher, namun di sebagian wilayah

masih secara manual dengan dipukulkan ke kayu. Baru 1 alat

combine harvester yang sudah diperasikan dari 29 unit alat yang

sudah ada saat ini

Rendah

5.Penanaman Baru 1-2 unit alat transplater yang sudah dioperasikan, dari 46

unit total alat trasnplanter tahun 2016.

6.pemotongan

batang padi

Umumnya menggunakan sabit secara manual, yang

dikombinasikan dengan perontokan dengan tresher. Pemanenan

dilakukan regu pemanen baik yang disewa oleh pemilik tanah

atau buruh yang dibawa pedagang pengumpul.

7.Pengeringan

gabah

Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi

kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang

ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.

34

Tabel 21. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Soppeng, 2016

Tingkat

mekanisasi dan

kegiatan

Karakteristik

Tinggi

1.Penggilingan

padi

Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,

meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.

2.Pengolahan

tanah

Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa

traktor roda dua. Traktor roda 4 sudah mulai digunakan

Sedang

3.pemenuhan air

irigasi

Sebagian areal sawah sebagian besar menggunakan air irigasi,

tetapi ada sebagian yang menggunakan pompa air.

4.Panen dan

perontokan

Umumnya sudah menggunakan combine harvester. Hanya

daerah berbukit yang masih menggunakan sabit dan power

thesher.

Rendah

5.Penanaman Rice transplanter baru diperkenalkan, baru beberapa kelompok

tani yang menggunakan

6. Pengeringan

gabah

Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi

kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang

ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.

Penggunaan alsin khususnya traktor roda 2 (hand tractor) sudah merupakan

hal yang biasa bagi petani setempat. Combine harvester sudah digunakan oleh

petani di sekitar lokasi percontohan karena kekurangan tenaga panen. Rice

transplanter merupakan hal baru namun itu pun sudah pernah dilihat di desa lain.

Hanya traktor roda 4 yang benar-benar baru bagi petani setempat. Awalnya petani

setempat ragu untuk menggunakannya, karena hasil bajakannya berupa bongkahan-

bongkahan besar. Namun setelah dipraktikkan, membajak dengan traktor roda 4

dan diikuti dengan roda 2 dan hasilnya berupa lahan yang siap tanam, maka petani

35

mulai tertarik untuk menggunakan traktor roda 4 (satu paket dengan TR2). Adopsi

penggunaan traktor roda 4 juga didukung oleh fakta bahwa pekerjaan mengolah

tanah bisa dilakukan secara lebih cepat dibandingkan dengan traktor roda 2, dari

biasanya 3 hari kerja/ha menjadi 4 jam/ha. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA

adalah Rice Milling Unit (RMU).

3.2.2.Kelembagaan Pengelolaan Alsintan

Kelembagaan pengelolaan alsintan di Kabupaten Cilacap tidak terlepas dari

kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang. Kelembagaan UPJA

berkembang sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman

Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian.

Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah khususnya di Cilacap

diberi mandat untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya

masing-masing, sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang

profesional.

UPJA merupakan lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang

pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian

untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/

gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara

lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih

rendahnya tingkat penguasaan informasi dan teknologi dalam pengelolaan

mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan

pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk

mendorong pengembangan dan kemajuan kinerja UPJA, mengoptimalkan

pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang.

UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan

budidaya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan,

perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan,

perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong

pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya

akan meningkatkan kesejahteraan petani. Ke depannya pengembangan UPJA

meliputi berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku

36

cadang, pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok

tani, gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian

oleh instansi.

Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah (Jateng) dan khususnya di

Kabupaten Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan).

Data pda tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang

dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin

Jawa Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang

menggunakan alsintan untuk menggarap lahan pertaniannya, antara lain

penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian.

Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada

perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat

disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel

Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi

pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju.

Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten

Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan

dari Presiden RI. Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui

peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat

mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi

pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai

tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan

mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh

dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian

di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan

diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan

(UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22

kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan.

Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),

bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok

dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa

Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan

37

Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di

Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan

UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi.

UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong-Kawunganten yang berdiri sejak tahun

2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. UPJA ini pada awal berdirinya

hanya memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara

lain: (1) Hand traktor 10 unit, (2) PowerTresher 5 unit, (3) Dryer: 1 unit, (3)

Transplanter: 1 unit, (4) Combine Harvester: 3 unit, (5) RMU: 1 unit, (6) Alat

Bengkel 1 unit.

Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh

Kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan

bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama

pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga

sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah

seperti, dari: dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal,

Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten

Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku.

Program Bantuan Alsintan untuk Mewujudkan Pertanian Modern

Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Alat Dan Mesin

Pertanian TA 2015 dijelaskan bahwa untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di

pusat berupa Traktor Roda 2 (10.000 unit), Pompa Air (3.425 unit), Rice

Transplanter (5.000 unit) dan Traktor Roda 4 untuk Tanaman Pangan (1.000 unit).

Sedangkan untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di provinsi berupa Traktor

Roda 2 (10.000 unit) dan Pompa Air (3.425 unit). Jenis dan spesifikasi alsintan

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masing-masing daerah.

Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah mempunyai Sertifikat Produk

Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT SNI) dan atau sudah memiliki

Test Report dari lembaga penguji alsintan yang terakreditasi.

Kriteria lokasi untuk kegiatan bantuan alsintan untuk pengadaan di pusat

maupun di provinsi mempertimbangkan beberapa hal, yakni: (a) Diprioritaskan pada

daerah sentra produksi tanaman pangan; (b) Mempertimbangkan kondisi lokal

38

spesifik yang secara teknis memenuhi persyaratan untuk operasional alat dan mesin

pertanian; dan (c) Mempertimbangkan daerah yang tingkat kejenuhan alsin masih

rendah serta memiliki komitmen yang kuat dalam mendukung program peningkatan

produksi pertanian dengan melihat proposal yang disampaikan ke provinsi maupun

ke pusat.

Penerima bantuan Alsintan, baik kelompok tani, Gapoktan, maupun UPJA;

harus memenuhi persyaratan yakni dinyatakan layak setelah diverifikasi oleh Dinas

Pertanian Kabupaten/Kota setempat, bersedia mengikuti semua kewajiban yang

diberikan dan bertanggung jawab dalam operasional alsintan, serta bersedia

memanfaatkan dan mengelola alat dan mesin pertanian.

Sedangkan untuk pengelola dalam bentuk Brigade, penerima bantuan adalah

Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat),

dengan persyaratan sebagai berikut: (a) Bersedia mengelola bantuan alsintan dalam

bentuk Brigade Tanam, (2) Bersedia menyediakan gudang penyimpanan alsintan,

(3) Bersedia memobilisir alsintan antar Kabupaten/ Kecamatan, dan (4)

Mengalokasikan dana APBD I/II untuk biaya pemeliharaan alsintan.

Alsintan yang didistribusikan harus segera dimanfaatkan oleh penerima

bantuan. Apabila hasil evaluasi pemanfaatan alsintan oleh Penerima bantuan tidak

dimanfaatkan optimal, maka Dinas Pertanian Kabupaten/Kota dapat merelokasi

alsintan tersebut ke kelompok lainnya di wilayah kecamatan yang sama/antar

kecamatan. Apabila diperlukan relokasi antar kabupaten/kota, maka menjadi

kewenangan Kepala Dinas Pertanian Provinsi.

Dalam Pedoman Umum Pengembangan UPJA dan LDM Direktorat

Penanganan Pasca Panen, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,

program pembangunan pertanian yang berorientasi pada sistem dan usaha

agribisnis, pada pokoknya harus dikembangkan agar sesuai dengan proses

pergeseran mendasar dari masyarakat tradisional/subsisten menjadi masyarakat

modern berbasis pertanian yang merupakan rangkaian upaya untuk memfasilitasi,

melayani dan mendorong berkembangnya usaha pertanian secara komersial untuk

meningkatkan nilai tambah produk, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani.

Upaya-upaya pembangunan pertanian tersebut dilaksanakan dengan

pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang berarti mencakup upaya-upaya pada

39

keseluruhan subsistem agribisnis yang meliputi subsistem hulu yang termasuk di

dalamnya adalah sarana produksi pertanian (agrokimia, sarana alsin pertanian,

perbenihan/pembibitan); subsistem produksi pertanian (budidaya tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan peternakan); dan subsistem hilirnya yang termasuk di

antaranya pengolahan, pemasaran dan distribusi hasil pertanian serta sub sistem

jasa pendukungnya.

Penerapan dan pengembangan sarana alat mesin pasca panen dalam

mendukung pembangunan agroindustri dan agribisnis mempunyai peranan yang

sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas dan perbaikan

mutu hasil pertanian. Sarana alat mesin pasca panen merupakan salah satu

masukan teknologi yang mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis

yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, dimana

keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat tani di pedesaan.

Penggunaan alat dan mesin pertanian termasuk mesin pasca panen

diharapkan dapat mempercepat alih teknologi kepada masyarakat tani, menciptakan

lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, memperbaiki penanganan panen dan

pasca panen, menurunkan kehilangan hasil dan perbaikan mutu hasil yang pada

akhirnya akan berdampak kepada peningkataan kinerja dari perusahaan/industri

pengolahan pangan serta terbentuknya proses industrialisasi dalam menunjang

pembangunan agroindustri di pedesaan. Jenis-jenis alat mesin pasca panen yang

dapat dioperasionalkan oleh UPJA mencakup mesin pemanen (reaper), mesin

perontok (thresher), mesin pembersih (cleaner), mesin penggilingan padi (RMU),

mesin pengering (dryer), mesin pemisah (grader), mesin pengarungan (bag closer),

dan mesin pengemas.

Pada tahun 2015, pemerintah telah menyalurkan sekitar 356.883 unit alsintan

dari pagunya sebanyak 357.253 unit. Beragam alsintan tersebut diserahkan melalui

anggaran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selain alsintan untuk produksi,

juga diserahkan beragam alsintan untuk pra panen, pasca panen dan penggilingan

padi. Total anggaran bantuan alsintan pada tahun 2015 sebesar Rp 3,291 triliun.

Jenis-jenis alsintan yang disalurkan pemerintah antara lain: traktor roda 2, traktor

roda 4, pompa air, transplanter, combane harvester, indojarwo transplanter,

cultivator, drayer, pemipil jagung, nursery tray, excavator, corn combine harvester,

40

vertical dryer padi, bed dryer, vertical dryer jagung, corn sheller, power thresher dan

penggilingan padi.

Kelembagaan UPJA

UPJA sudah sejak lama ada di Indonesia, namun baru semakin terlihat sejak

dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan

Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian. Dengan

dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat untuk membina

dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing. Sehingga UPJA

tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.

Pendayagunaan alsintan melalui Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) sudah

dimulai sejak tahun 1996/1997 dengan membentuk kelompok UPJA percontohan di

13 Provinsi (Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Lampung, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat), dan kemudian

tanggal 2 Desember 1998, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan

Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura Nomor I.HK.05098.71 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Pendayagunaan dan Pengembangan Alat dan Mesin

Pertanian, dengan output (keluaran) yaitu pengembangan penggunaan alsintan di

kalangan masyarakat tani/kelompoktani; tumbuhnya kelompok-kelompoktani; UPJA

dan bengkel pembuatan, perawatan dan perbaikan alsintan serta berkembangnya

sistem agribisnis dan agroindustri di perdesaan.

Secara teori, mestinya pengelolaan alsintan dilakukan dalam UPJA, sebagai

organisasi petani yang khusus dibentuk untuk pengelolaan alsintan. Tingkat

kemampuan UPJA dalam pengelolaan alsintan terdiri atas 3 (tiga) kelas. Dalam

Permentan Nomor 25/Permentan/Pl.130/5/2008 Tentang Pedoman Penumbuhan

Dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat Dan Mesin Pertanian, kelas UPJA

dibagi atas 3 kelompok dengan karateristik sebagaimana Tabel 22 berikut.

41

Tabel 22. Kelas kemampuan UPJA dan karaketristiknya

Kelas UPJA Kareteristik

UPJA Pemula Memiliki jumlah alsintan 1-4 unit dan 1- 2 jenis

alsintan.

UPJA Berkembang Jumlah alsintan yang dimiliki 5-9 unit dan jenis

alsintan 3-4 jenis dan telah memiliki sistem organisasi

lengkap.

UPJA Profesional Memiliki alsintan > 10 unit serta memiliki > 5 jenis

alsintan, dan telah memiliki sistem organisasi lengkap.

Kelas kemampuan UPJA didasarkan atas jenis dan jumlah alsintan yang

dikelola, serta kelengkapan prasarana lain. UPJA dituntut untuk mempunyai gudang

penyimpanan alat dan mesin pertanian sendiri, dan kondisi alat dan mesin pertanian

terawat. Untuk kategori paling tinggi, yakni UPJA Profesional atau Mandiri, UPJA

juga harus sudah mempunyai kemitraan usaha antara Poktan/Gapoktan, perusahaan

alsintan bengkel/pengrajin untuk perawatan/perbaikan dan penyediaan suku

cadang.

Tingkat kemampuan UPJA memperhatikan aspek teknis, organisasi, ekonomi

dan aspek penunjang. Aspek Teknis meliputi jenis, jumlah, kondisi alsintan, gudang

dan bengkel alsintan. Aspek Organisasi meliputi legalitas dan struktur organisasi

termasuk kelengkapan pembukuan UPJA. Aspek Ekonomi meliputi penambahan

jumlah alsintan, sumber pendanaan serta penambahan jumlah pelanggan dan

jumlah pelanggan dan jangkuan wilayah pelayanan. Sedangkan, aspek Penunjang

meliputi cara memperoleh pelayanan jasa UPJA, jadual pelayanan operasional UPJA

dan jumlah petani anggota kelompoktani yang membutuhkan jasa pelayanan UPJA.

UPJA Profesional mempunyai persyaratan sebagai berikut:

(1) Mempunyai organisasi yang lengkap meliputi manajer, tenaga teknis

operator, tenaga administrasi (administrasi umum dan keuangan).

42

(2) Adanya kemitraan usaha antara kelompok tani atau gapoktan, perusahaan

alsintan, bengkel/pengrajin untuk perawatan, perbaikan dan penyediaan suku

cadang, serta distributor/penyalur alsintan dan suku cadang.

(3) Jumlah dan jenis alsintan (hulu, on farm dan hilir) pemanfaatannya secara

optimal dan memenuhi skala ekonomi.

(4) Mampu mengakses ke sumber pendanaan alsintan.

(5) Adanya pelatihan dan peningkatan kemampuan dan keterampilan teknis dan

manajemen.

(6) Mempunyai kemampuan mengelola alsintan secara profesional dengan

sumberdaya manusia yang terlatih dan berorientasi pada keuntungan.

(7) Kelembagaan telah berbadan hukum dan mempunyai Nomor Pokok Wajib

Pajak (NPWP)

(8) Adanya mutu pelayanan yang baik dengan dukungan sarana penyimpanan

alsintan dan kantor.

Sistem pengembangan UPJA meliputi berbagai subsistem dari kelembagaan ekonomi

yang bekerja secara sinergik. Subsistem dimaksud meliputi :

(1) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan kelompok UPJA.

(2) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam bentuk

kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan dan

sebagainya.

(3) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,

petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A).

(4) Permodalan dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau

lembaga keuangan non Bank.

(5) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur pemerintah dan

kelembagaan penyuluh.

Pengelolaan Alsintan dalam UPJA: studi Kasus UPJA Setia Dadi di Kabupaten Cilacap dan UPJA Semangat di Kabupaten Soppeng

Kasus di Kabupaten Cilacap, pengelola alsintan terdiri atas pengusahaan

pribadi dan juga kelompok. Khusus untuk alsintan yang berasal dari bantuan

pemerintah dikelola dalam organisasi milik petani, baik berupa Gapoktan, kelompok

43

tani, maupun Gapoktan. Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA)

adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa

dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan

keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/gapoktan.

Guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten Cilacap, sebanyak 49

mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan mulai dibagikan kepada

sejumlah petani di Kabupaten Cilacap. Peralatan diserahkan kepada 71 kelompok

tani di Cilacap. Sejumlah 49 unit traktor tangan diserahkan kepada 49 kelompok

tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) di 20 kecamatan. Sedangkan

22 mesin pompa air diserahkan kepada 22 kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13

wilayah kecamatan.

UPJA Setia Dadi merupakan salah satu UPJA yang sudah mampu menjadikan

kelompoknya menjadi lembaga layanan jasa alsintan yang sudah mampu melayani

hingga antar pulau. Bahkan menjadikan UPJA ini adalah UPJA percontohan.

Perkembangan UPJA sangat dibantu oleh keberadaan bengkel. Di Provinsi

Jateng sudah ada 11 bengkel alsintan yang dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang

tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin Jawa Tengah. Kegiatan yang

dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada perbaikan alsintan saja

melainkan merancang teknologi alsintan. Bahkan dapat disesuaikan dengan

pemesanan.

Sesuai dengan kelas kemampuan yang ada di Kementan, maka UPJA Setia

Dadi tergolong sebagai UPJA yang sudah mencapai kelas tertinggi, atau kelas

Mandiri atau profesional, dimana jumlah alsintan yang dikelola melebihi 10 unit dan

jenisnya lebih dari 5 jenis. Saat ini alsintan yang dikelola UPJA terdiri atas hand

traktor 18 unit, pompa air 5 unit, power tresher 5 unit, combine harvester 3 unit,

rice milling 1 unit, dan tranplanter 2 unit. Selain ini, masih ada puluhan alat-alat dan

mesin lain seperti handsprayer dan lain-lain. Struktur organisasi UPJA juga sudah

lengkap yang terdiri atas manajer dengan dibantu pengelola keuangan dan

administrasi, lalu ada 4 seksi yang terdiri atas seksi RMU, seksi bengkel, seksi

operator alsintan, dan seksi produksi pupuk organik.

Dalam buku “Pedoman Teknis Pengembangan UPJA Mandiri” yang

dikeluarkan oleh Direktorat Alat dan Mesin Pertanian, Ditjen Parasarana dan Sarana

44

Pertanian, Kementan Tahun 2012 disebutkan bahwa sesuai dengan Peraturan

Menteri Pertanian RI Nomor 25/Permentan/PL.130/5/2008 tanggal 22 Mei 2008

tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan

Mesin Pertanian (UPJA), kelembagaan UPJA diharapkan dapat berperan penting dan

strategis dalam rangka menggerakkan perekonomian di perdesaan. Keberadaan

UPJA di daerah sentra produksi tidak saja menjadi solusi dalam mengatasi

kebutuhan alsintan bagi petani untuk mengolah lahan pertanian, pengairan, panen

dan pasca panen, tapi juga menjadi solusi dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja

di perdesaan.

Fungsi utama kelembagaan UPJA yaitu melakukan kegiatan ekonomi dalam

bentuk pelayanan jasa alsintan dalam penanganan budidaya seperti jasa penyiapan

lahan dan pengolahan tanah, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan;

perlindungan tanaman termasuk pengendalian kebakaran; maupun kegiatan panen,

pasca panen dan pengolahan hasil pertanian seperti jasa pemanenan, perontokan,

pengeringan dan penggilingan padi; termasuk mendorong pengembangan produk

dalam rangka peningkatan nilai tambah, perluasan pasar, daya saing dan perbaikan

kesejahteraan petani. Berdasarkan pedoman ini, maka pengelolaan alsintan di UPJA

Setia Dadi dipaparkan dalam matrik di Tabel 23 berikut.

Tabel 23. Pengelolaan alsintan pada UPJA Setia Dadi, Kabupaten Cilacap berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016

Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing

Kelengkapan organisasi Dikelola dalam struktur

organisasi yang lengkap dengan

dikepalai manajer dan dibantu

pada kepala seksi

Struktur organisasi yang

terbentuk sesuai dengan

panduan, dan tergolong

lengkap

Manajemen organisasi Setiap bagian dalam organisasi

menjalankan tugasnya secara

optimal

Peran ketua UPJA masih paliing

dominan sibandingkan yang

lain, dan cenderung

menerapkan manajemen yang

belum partisipatif

Operasional alat dan

mesin

Pelayanan alat dan mesin

diutamakan kepada petani di

wilayah sendiri, utamanya lagi

Pelayanan meluas sampai ke

luar daerah, mencakup

Sumatera Selatan dan Sulawesi

45

Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing

anggota UPJA Selatan, sedangkan pelayanan

dalam wilayah sendiri belum

optimal

Administrasi organisasi Semestinya pengelolaan

administrasi UPJA dilakukan

secara rapih dan jelas

Pengelolaan administrasi belum

rapih, dan sulit memisahkan

antara kegiatan UPJA dengan

usaha ketuanya secara pribadi

Pembinaan kepada

UPJA lain

UPJA mandiri sesungguhnya

tidak disiapkan untuk melakukan

pembinaan kepada UPJA lain

secara horizontal

UPJA Setia Dadi sering menjadi

lokasi magang bagi pengelola

UPJA dari daerah lain, namun

belum dilakukan secara

terorganisir. Sebaiknya UPJA

membentuk P4S.

UPJA Setia Dadi merupakan UPJA yang tergolong “paling maju” di wilayah

Kabupaten Cilacap dari ratusan UPJA yang sudah terbetuk. Meskipun demikian,

sesungguhnya organisasi dan manajemen pengelolaan alsintan belum dijalankan

sesuai dengan pedoman yang ada. Keberadaan organisasi UPJA dapat dijelaskan

secara mudah ke dalam dua segmen berikut, yakni sisi internal dan eksternalnya.

Dari sisi internal, sesungguhnya UPJA belum dikelola dalam format yang

sesuai dengan pedoman pengelolaan UPJA. Meskipun kelengkapan struktur telah

dipenuhi, namun belum semua bagian menjalankan bagiannya dengan optimal.

Manajemen yang diterapkan cenderung kurang partisipatif, dimana peran ketua

UPJA sangat dominan. Kondisi ini bisa menjadi titik lemah ke depan, karena terlalu

mengandalkan kepada satu sosok saja.

Dari sisi eksternal, relasi UPJA dengan pihak luar cukup berhasil. Dalam

lingkup kecil misalnya, yakni di desa, UPJA merupakan pihak yang menjadi

pengambil keputusan bersama-sama pihak Pemerintahan desa dalam mengatur

jadwal dan jatah operasional alsintan, terutama untuk pengaturan traktor

pengolahan lahan yang sudah over supply. Demikian pula pada lingkup yang lebih

luas, dimana UPJA telah sanggup mengoperasikan mesin sampai dengan ke luar

daerah yakni ke Propinsi Sumsel dan Sulsel. Di wilayah ini permintaan alat combine

46

harvester sangat tinggi, dan topgrafinya juga sesuai dimana luas petakan sawah

memadai dan juga berlangsung kelangkaan tenaga kerja pemanen.

Secara keseluruhan, meskipun penerapan alsintan sudah populer di wilayah

Kabupaten Cilacap, namun masih banyak areal persawahan yang tingkat

penerapannya rendah. Secara umum, dari hasil wawancara dengan berbagai pihak,

maka beberapa kendala penerapan mekanisasi di Kabupaten Cilacap adalah:

1. Wilayah persawahan di Cilacap bagian Barat merupakan dataran tinggi

dengan luas sawah yang sempit dan bentuk tidak beraturan, sehingga

penggunaan alat combine harvester sulit.

2. Ketiadaan jalan usahatani, sehingga alat tanam transplanter dan combine

harvester yang berukuran besar menyulitkan mobilitas antar petak sawah.

Saat ini, agar mobilisasi traktor tidak merusak pertanaman, maka dalam

“Rembug Desa” diatur sedemikian rupa, dimana petak sawah yang berada di

bagian dalam diolah dan ditaman lebih dahulu, menyusul petak yang lebih di

pringgir.

3. Penggunaan tresher terkendala dimana sebagian buruh tani lebih senang

dengan metoda dipukulkan (“digebug”) karena hasil beras lebih banyak, atau

tidak banyak hasil hampa. Pendapatan buruh pemanen dengan sistem bawon

adalah seberapa banyak hasil padi yang bisa mereka bawa pulang. Semakin

kurang butir hampa berarti jumlah berasnya semakin tinggi.

4. Sebagian wilayah sawah di Cilacap bagian Timur yang dekat ke pantai ada

yang tergolong rawa, sehingga traktor untuk pengolahan tanah dan mesin

pemanen sulit dioperasikan. Bahkan adakalanya panen menggunakan perahu

karena sawah tergenang air yang cukup tinggi. Tinggi air di permukaan

sawah maskimal yang masih operasional untuk combine harvester adalah 20

cm.

5. Pelatihan bagi operator tranplanter dan combine harvester dirasa masih

kurang. Paket pelatihan yang telah mereka terima saat pelatihan di Bandung

terlalu sedikit berupa praktek. Anggaran untuk pelatihan operator belum

tersedia, sehingga salah satu solusinya yang mungkin adalah berupa

pelatihan mandiri pada UPJA yang lebih maju misalnya pada UPJA Setia Dadi.

Namun ketua UPJA saat ini, Bapak Edi Siswanto, belum memiliki sertifikat

sebagai pelatih, dan belum membentuk P4S sebagai wadah untuk farmer to

farmer extension.

6. Operasional alsintan yang berada dalam brigade belum optimal karena

dukungan dana dari APBD masih dalam proses pengajuan.

Berdasarkan pedoman UPJA, pengelolaan alsintan di UPJA Semangat, Kabupaten

Soppeng dipaparkan dalam Tabel 24 berikut.

47

Tabel 24. Pengelolaan alsintan pada UPJA Semangat, Kab. Soppeng berdasarkan

pedoman dan kondisi existing, 2016

Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing

Kelengkapan

organisasi

Dikelola dalam struktur

organisasi yang lengkap

dengan dikepalai manajer

dan dibantu pada kepala

seksi

Struktur organisasi yang

terbentuk sesuai dengan

panduan, dan tergolong

lengkap

Manajemen

organisasi

Setiap bagian dalam

organisasi menjalankan

tugasnya secara optimal

Peran ketua UPJA masih

paling dominan

dibandingkan yang lain, dan

cenderung menerapkan

manajemen yang belum

partisipatif

Operasional alat dan

mesin

Pelayanan alat dan mesin

diutamakan kepada petani di

wilayah sendiri, utamanya

lagi anggota UPJA

Pelayanan baru terbatas

wilayah sendiri dan belum

optimal.

Administrasi

organisasi

Pengelolaan administrasi

UPJA dilakukan secara rapih

dan jelas

Pengelolaan administrasi

belum baik, dan sulit

memisahkan antara kegiatan

UPJA dengan usaha

ketuanya secara pribadi

Pembinaan kepada

UPJA lain

UPJA mandiri sesungguhnya

tidak disiapkan untuk

melakukan pembinaan

kepada UPJA lain secara

horizontal

Belum melakukan

pembinaan terhadap UPJA

lainnya

UPJA Semangat didirikan tahun 1998. Struktur kepengurusan UPJA terdiri

dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara. Selain pengurus inti tersebut, UPJA

Semangat memiliki 6 (enam) orang operator traktor, 5 (lima) orang operator

combine harvester, dan 6 (enam) orang operator rice transplanter.

48

Pengguna jasa UPJA adalah petani setempat yang tergabung dengan

beberapa kelompok dan semuanya berada di bawah Gapoktan Appanang. Aturan

main dalam penggunaan alat belum ditentukan, baik untuk petani anggota Gapoktan

Appanang maupun petani di luar Gapoktan Appanang. Menurut rencana, aturan

main mengenai penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA baru akan dibahas dalam

pertemuan UPJA musim berikutnya. Saat ini anggota Kelompok Tani/Gapoktan yang

ingin menggunakan alsin, terutama transplanter, cukup meminjam dari UPJA, kecuali

dalam penggunaan Combine Harvester (CH). Petani yang bersangkutan hanya

membiayai operasional alsin yang digunakannya berupa BBM dan upah operator

(jika menggunakan operator UPJA, namun ada juga petani yang mengoperasikannya

sendiri). Khusus untuk Combine Harvester, ongkos sewanya berupa natura, untuk

10 karung GKP yang berhasil dipanen upahnya 1 karung GKP.

Operator yang bekerja pada UPJA Semangat ada 17 orang, berdomisili di

desa setempat, pekerjaan utama adalah bertani (penggarap). Umumnya operator

belajar secara sendiri, mendapat bimbingan teori dari teknisi dan langsung praktik,

rata-rata dua hari sudah mampu mengoperasikan alat. Mengingat operator sekaligus

adalah petani, maka pekerjaan mengoperasikan alat dilakukan setelah pekerjaan di

lahannya sudah selesai. Tabel 25 menyajikan informasi tentang aturan main

penggunaan jasa alsin di UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng.

Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA. UPJA

Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat

seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung

jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan per telepon, dan

direspons dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin yang

dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut.

Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA. UPJA

Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat

seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung

jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan melalui telepon,

dan direspon dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin

yang dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut.

49

Tabel 25. Aturan main dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA Semangat, di Kabupaten Soppeng, 2016

Jenis alat Penggunaan rutin oleh petani

Traktor roda 2 - Jika yang digunakan hanya TR2, sewa Rp 1,2-1,3 juta/ha plus

biaya konsumsi operator 2 orang selama tiga hari (2 org x 3 hari x Rp 75.000 (2 x mkn + rokok sebungkus) = Rp 450.000,-)

- Jika digunakan satu paket dengan TR4 (menghaluskan hasil

bajakan TR4), aturan main seperti di bawah.

Traktor roda 4 TR4 biasanya digunakan satu paket dg TR2, ongkos Rp 1,2-1,3

juta + biaya konsumsi (3 orang x 1 x makan + rokok sebungkus

= Rp150.000,-)

MH membajak dilakukan 2 kali: (1) TR 4 =4 jam/ha; (2) TR 4

diikuti TR2 =5 jam/ha

MK hanya TR4 3-4 jam/ha

Rice transplanter Hanya pinjam, biaya oprasional per ha : (5 liter bensin x Rp

7500) + (ongkos oprator Rp 100.000 + konsumsi Rp

100.000/hari)

Combine

harvester

Natura, 10 karung keluar 1, 1= karung=98-100kg. Rata-rata 50-

70 karung/ha. Karyawan (bagian angkut karung, jahit karung, 7-

8 orang/CH) dapat Rp5.000/karung, operator Rp3000/karung, 5-

6 ha/hari. Setiap total 3-4 bulan kerja/tahun di dalam dan luar

desa

Sumber: Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA Semangat, dan pengurus

Gapoktan Appanang, Kabupaten Soppeng, 2015

Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA

setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna

jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan

dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin.

Pengelolaan Alsintan dalam Brigade Alsintan

Selain dalam organsiasi petani (UPJA, kelompok tani dan Gapoktan), sebagian

alsin juga dikelola oleh Brigade Alsintan. Ini merupakan organisasi di level provinsi

dan juga di level Kabupaten dan Kota yang memiliki struktur organisasi pengelolaan

yang terdiri atas unsur Pemda dan jajaran TNI. Pengelolaan Brigade Alsintan

dilaksanakan oleh Dinas Pertanian bersama-sama dengan Korem/Kodim untuk

mendukung kelancaran penerapan tanam serempak dalam rangka pelayanan kepada

petani/kelompok tani yang membutuhkan layanan penggunaan alsintan dengan

50

mempertimbangkan keberadaan/operasional UPJA di daerah tersebut. Alat dan

mesin dikelola oleh Brigade namun operasional pemanfaatan alsintan dibebankan

kepada pengguna jasa yakni petani.

Dalam rangka mendukung pengembangan Brigade Tanam, Kementerian

Pertanian mengadakan bantuan alsintan berupa 50 unit Traktor Roda 2 di 16

Propinsi di Indonesia. Meskipun sebagian alat ditempatkan di Kodim setempat,

penerima dan pengelola adalah Dinas Pertanian Provinsi atau Kabupaten. Di

Kabupaten Cilacap dan Soppeng, ditemukan kendala utamanya kemampuan

memobilisir alat dan membiayai operasionalnya. Dalam aturan disebutkan bahwa

mobilisasi alat perlu didukung dengan APBD, faktanya dukungan ini belum ada.

Brigade Alsintan lahir dari upaya mencapai gerak cepat untuk memanfaatkan

iklim yang tak menentu. Ketika air cukup, lahan sawah perlu segera dibajak.

Mekanisasi menjadi pilihan, termasuk melibatkan Komando Distrik Militer (Kodim) di

sentra-sentra produksi padi. Pembentukan Brigade Alsintan Dinas diharapkan bisa

menutup kekurangan manajemen alsintan di kalangan petani melalui Poktan,

Gapoktan dan UPJA. Target operasional brigade adalah bukan hanya mempercepat

dan menambah luas areal penanaman, melainkan juga agar jadwal tanam bisa

berjalan secara serempak.

Optimalisasi pemanfaatan alsintan dalam skala luas melalui Brigade Alsintan

ke depan, Dinas Pertanian di tingkat Kabupaten harus mampu mengambil peran

tersebut dengan dukungan instansi/pihak-pihak terkait serta dukungan informasi

dari: (a) UPTD terkait tentang pemetaan luasan dan jadwal tanam padi, jadwal

panen, kebutuhan alsintan menurut jenis, tipe, jumlah, wilayah dan luasannya; (b)

Pengamat Hama tentang luasan serangan, informasi dini potensi adanya serangan

OPT, dsb.

Analisis Usahatani Padi Konvensional vs Penggunaan Alsintan

Untuk memberikan gambaran analisis finasial usahatani padi dengan

menggunakan alsintan penuh (usahatani pada Percontohan Pertanian Modern-PPM)

dan usahatani konvensional, dianalisis keragaan usahatani padi di Soppeng seperti

disajikan pada Tabel 25.

51

Tabel 27. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten

Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha)

No. Uraian PPM (A) Non-PPM (B) Perubahan (A-B)

%

A Biaya

I Sarana produksi

Benih 220.000 360.000 -38,9

Pupuk

- Urea 180.000 360.000 -50

- NPK 345.000 690.000 -50

-PPC/POC 60.000 0 100

- pupuk kandang 500.000 0 100

Obat-obatan 225.000 300.000 -25

Subtotal 1.530.000 1.710.000 -11,7

II Tenaga kerja

Olah tanah 1.450.000 1.750.000 -17,14

Menggaru/meratakan tanah 0 340.000 -100

Merapikan pematang 340.000 340.000 0

Persemaian 0 170.000 -100

Cabut dan angkut bibit* 0 340.000 -100

Tanam 575.000 900.000 -36,11

Pemupukan 85.000 170.000 -50

Penyiangan 340.000 340.000 0

Penyemprotan 170.000 170.000 0

Panen + perontokkan 2.857.750 2.502.500 14,2

Subtotal 5.817.750 7.022.500

III Lainnya

- pajak lahan/musim 0 0 0

- pengairan (tadah hujan) 285.775 250.250 14,2

- sewa lahan/musim 3.000.000 3.000.000 0

Subtotal 3.285.775 3.250.250 1,09

Biaya total 10.633.525 11.982.750 -9,87

B Penerimaan** 28.577.500 23.785.000 20,15

C Keuntungan atas biaya total 17.943.975 11.802.250 51,51

RCR atas biaya total 2,69 1,98

Sumber data : Hasil wawancara dengan petani di Kelurahan Appang, Kabupaten Soppeng, 2016 * Cabut benih petani non-PPM dilakukan 4 org @ Rp 60.000/HOK plus makan Rp 100.000 , total Rp 340.000/ha

** GKP @ Rp 3550/kg

Dalam penggunaan sarana produksi, Percontohan Pertanian Modern (PPM)

mengintroduksi penggunaan sarana produksi yang lebih sedikit dibandingkan

kebiasaan petani setempat. Perbedaan tersebut yaitu : (1) Benih : petani 40-45

52

kg/ha, PPM 25 kg/ha; (2) Pupuk Urea: petani 200-250 kg/ha, PPM 100 kg/ha, pupuk

NPK: petani 300-350 kg/ha, PPM 150 kg/ha; (3) pestisida: petani senilai minimal

Rp300.000/ha, PPM senilai Rp 225.00/ha. Namun pelaksanaan PPM juga

mengintroduksi penggunaan pupuk organik dan PPC/POC, yang tidak digunakan

atau digunakan dalam jumlah sedikit oleh petani.

Selain penggunaan alsintan, PPM dilaksanakan dengan menerapkan teknologi

usahatani padi sistem SRI, berupa : tanam bibit muda, 1-2 bibit/lubang, intermeten

dan hemat air (genangan maksimal 3 cm dari biasanya sampai setinggi tanggul),

pemupukan berimbang plus pupuk organik dan 6 tepat, jajar legowo 2:1,

pengawalan ketat terhadap serangan OPT (antara lain dosis dan aplikasi

penggunaan obat-obatan secara benar).

Dibanding dengan pertanian konvensional dengan teknologi yang biasa

dipraktikkan petani, maka dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil

dari 65-79 karung/ha @ 98-100kg (6,37-7,9 ton/ha) menjadi 80 karung/ha @115 kg

(9,2 ton/ha), hasil ubinan bahkan menunjukkan hasil tertinggi sampai 11 ton/ha.

Keterangan resmi dalam laporan pelaksanaan PPM, produksi meningkat dari 6,7

ton/ha menjadi 8,05 ton/ha.

3.3.Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Padi Skala Komersial

Cakupan kegiatan usaha dalam sistem agribisnis meliputi bisnis dari hulu

sampai ke hilir sehingga mencakup bisnis input usahatani, usahatani, dan bisnis di

bidang pasca panen. Secara umum, yang merupakan usaha inti (core business)

adalah usahatani.

Dalam analisis kebijakan ini yang dimaksud agribisnis padi skala komersial

adalah bisnis berbasis usahatani padi dalam suatu skala yang cukup untuk

mendukung terwujudnya sistem usaha yang secara mandiri mampu bertumbuh

kembang menjadi bisnis modern yang berkelanjutan. Untuk itu, secara teknis dan

finansial harus feasible dan secara sosial budaya acceptable; serta tangguh

menghadapi ancaman eksternal. Dengan kata lain memiliki viabilitas ekonomi yang

tinggi dan resilience.

53

Ukuran skala komersial pada dasarnya relatif; dalam arti tidak ada suatu

patokan tertentu. Berdasarkan masukan dari sejumlah pakar diperkirakan skala yang

dipandang sesuai setidaknya adalah 500 hektar. Acuan penentuan skala minimal

tersebut adalah besaran yang memungkinkan terwujudnya peningkatan efisiensi

yang bersumber dari konsolidasi pengelolaan dalam pengadaan input, penggunaan

modal dan optimalisasi pemanfaatan alat/mesin pertanian, serta pemasaran hasil

pertanian. Dengan konsolidasi pengelolaan dalam besaran seperti itu dimungkinkan

untuk meningkatkan daya tawar (bargaining position) usahatani dalam pasar input

maupun output usahatani; sementara itu kondusif pula untuk mendukung

optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian.

Untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya strategi komprehensif dari sudut

pandang aspek teknis, finansial/ekonomi, maupun kelembagaan sosial. Sudah

barang tentu pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak dapat

diberlakukan secara masal dan di semua tempat. Alasannya adalah sebagai berikut.

Pertama, kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa usahatani padi di

Indonesia terdiri atas jutaan unit usahatani skala kecil yang sebagian diantaranya

bersifat subsisten. Pada cukup banyak komunitas, faktor-faktor yang mempengaruhi

eksistensi usahatani padi tidak hanya melibatkan aspek finansial/ekonomi tetapi juga

aspek sosial budaya sehingga rekayasa kelembagaan untuk mentransformasinya ke

arah sistem usaha komersial skala luas perlu memperhatikan kearifan lokal yang

berpijak pada nilai-nilai budaya setempat. Kedua, sebagian besar petani padi di

Indonesia tidak hanya menggantungkan nafkahnya dari usahatani padi. Pekerjaan

dan sumber pendapatan tidak hanya dari usahatani padi/usahatani pangan tetapi

juga dari berburuh tani, buruh non pertanian, industri rumah tangga/perdagangan

kecil, dan lain sebagainya. Ketiga, jika dikaitkan dengan fakta bahwa diantara

jutaan petani tentunya ada puluhan ribu petani yang memiliki jiwa kewira usahaan

dan memiliki modal yang cukup tetapi kenyataannya usahatani padi komersial skala

luas hampir tak pernah diketemukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada

business as usual (BAU) tidak ada insentif yang memadai bagi tumbuh dan

berkembangnya sistem tersebut. Keempat, teknologi usahatani padi yang selama

ini diterapkan mayoritas petani adalah teknologi padat tenaga kerja (labor

54

intensive). Kelima, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas

usahatani padi di Indonesia pada saat ini adalah berada pada kondisi constant

returns to scale; yang berarti bahwa ceteris paribus maka peningkatan skala usaha

tidak berdampak nyata pada peningkatan produktivitas jika tidak disertai dengan

perubahan dalam aspek manajemen dan aplikasi teknologi.

Prospek dan kendala pengembangan sistem agribisnis skala komersial

ditentukan oleh terpenuhinya prasyarat berikut:

1. Tersedianya hamparan lahan sawah dengan luasan setidaknya 500 hektar. Untuk

di Pulau Jawa, ini bisa melibatkan 2 – 4 desa sedangkan untuk di luar Pulau Jawa

antara 1 – 2 desa tergantung pada kondisi setempat.

2. Hamparan lahan sawah tersebut berada dalam satu sistem pengelolaan irigasi.

Dalam konteks ini dapat berupa irigasi permukaan (gravitasi) ataupun irigasi

pompa dengan sumber air sadapan air sungai, air danau, ataupun air tanah

dalam (ground water) dengan debit pemompaan yang setidaknya mampu

mengairi 25 hektar per unit pompa irigasi. Faktor pengikat ini sangat penting,

dan berdasarkan pengalaman di lapang faktor pengikat yang paling kuat adalah

irigasi. Penyebabnya: (i) ketersediaan air irigasi tidak hanya menentukan indeks

pertanaman tetapi juga merupakan jaminan usahatani padinya aman dari

ancaman kekeringan/kebanjiran, (ii) sistem irigasi (infrastruktur maupun sistem

pengelolaannya) mengkondisikan terbentuknya suatu hamparan yang

agroekosistemnya homogen, (iii) secara relatif sistem irigasi tidak mudah diubah-

ubah karena selain biaya investasinya mahal, sistem tersebut juga melibatkan

stakeholders yang jumlahnya sangat banyak.

3. Adanya homogenitas dalam komunitas petani pada wilayah pengembangan yang

dimaksud di atas. Aspek-aspek utama yang diharapkan homogen mencakup: (i)

sistem penguasaan lahan; terutama yang berkenaan dengan pemilikan lahan

(dimungkinkan adanya sistem sewa dan atau bagi hasil akan tetapi norma yang

berlaku dalam transaksi penguasaan lahan dikenal dan berlaku pada komunitas

tersebut), (ii) profesi petani; dalam arti bahwa para pemilik lahan dan atau

penggarap lahan sebaiknya sebagian besar dan atau seluruhnya berstatus petani

– andaikanpun mempunyai pekerjaan yang lain akan tetapi tetap memperhatikan

55

usahataninya, (iii) sistem pertanian; dalam arti bahwa sebagian besar/seluruh

petani yang menggarap hamparan lahan sawah tersebut berusahatani padi dan

tetap ingin mempertahankan usahatani padi sebagai basis komoditas utamanya.

4. Sebagian besar/seluruh petani yang menguasai lahan garapan pada hamparan

tersebut responsif atau bersikap positif terhadap perubahan teknologi. Hal ini

penting mengingat perubahan teknologi akan dijadikan salah satu instrumen

pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala komersial.

5. Kelembagaan/sosial budaya setempat tidak tabu atau bertentangan dengan

kelembagaan ekonomi yang kondusif untuk mendukung pengembangan

agribisnis padi skala komersial.

6. Tenaga kerja pertanian makin langka dan angkatan kerja usia muda lebih tertarik

bekerja di non pertanian. Makin tinggi kelangkaan tenaga kerja pertanian makin

tinggi kelayakan teknis dan finansial aplikasi mekanisasi pertanian dan makin

tinggi tuntutan atas skala pengelolaan yang lebih luas karena sinergis dengan

efisiensi pemanfaatan peralatan mekanis.

7. Adanya fasilitasi dari Pemerintah. Fasilitasi pemerintah sangat diperlukan

utamanya dalam pengembangan infrastruktur, (b) penyediaan modal melalui

kredit murah, (c) kemudahan untuk memperoleh peralatan dan mesin pertanian

dan input usahatani, (d) dukungan kebijakan di bidang pasar input dan

pemasaran output, dan (e) pendampingan teknologi dan manajemen usaha.

3.4.Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Padi Skala Komersial

Bentuk kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak

dapat diseragamkan. Argumen dasarnya, adaptasi dan inovasi kelembagaan yang

merupakan determinan eksistensi kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut berada. Konkritnya adalah

sebagai berikut.

Secara teoritis, setidaknya ada dua bentuk kelembagaan agribisnis padi skala

komersial yaitu: (1) Integrasi vertikal, dan (2) Koordinasi vertikal. Model integrasi

vertikal mensyaratkan bahwa penguasaan atas hamparan berada dalam satu

tangan. Pada sistem usahatani padi di Indonesia yang saat ini berlaku (eksisting),

56

model ini hampir tak dapat diimplementasikan karena secara legal tidak

dimungkinkan seseorang memiliki lahan sawah seluas 500 hektar; bahkan

andaikanpun secara ilegal memiliki lahan seluas itu maka akan terdiri dari puluhan

persil yang sumber irigasinya tidak berada dalam satu sistem. Pola Integrasi vertikal

hanya mungkin dilakukan pada lahan sawah hasil pencetakan baru dari lahan negara

yang kemudian dijalankan oleh suatu perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU).

Jadi, bentuknya hampir sama dengan Perusahaan Pekebunan Swasta tetapi core

businessnya adalah usaha pertanian dengan komoditas utama padi. Sudah barang

tentu kelayakan teknis dan kelayakan usahanya dilengkapi dengan kajian atas aspek

sosial yang lebih lengkap karena implikasi dalam dimensi sosial/kelembagaan dari

karakteristik bisnis padi sangat berbeda dengan bisnis komoditas perkebunan.

Mempertimbangkan kondisi obyektif profil pemilikan dan penguasaan lahan

sawah untuk usahatani padi mayoritas petani padi di Indonesia pada saat ini

(eksisting), yang berpeluang diterapkan koordinasi vertikal. Secara garis besar model

koordinasi vertikal dapat dipilah lebih lanjut menjadi 2 kategori: (i) Koordinasi

Vertikal Penuh (KVP) dan (ii) Quasi Koordinasi Vertikal (QKV). Pada prinsipnya,

model KVP dapat mengadopsi model Perkebunan Inti Rakyat (PIR), sedangkan

model QKV pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan

usahatani secara terkonsolidasi pada kelembagaan Gabungan Kelompok Tani

Sehamparan.

Jika dikaitkan dengan profil pemilikan dan penguasaan lahan sawah petani

saat ini, di beberapa lokasi di Luar Pulau Jawa dimungkinkan untuk dikembangkan

Pilot Proyek KVP maupun QKV, sedangkan di beberapa lokasi di Pulau Jawa

seyogyanya adalah QKV.

Prinsip umum dari eksistensi kelembagaan pengembangan agribisnis padi

skala komersial adalah bahwa net social benefit harus lebih tinggi daripada net social

benefit usahatani padi saat ini berlaku. Perlu digaris bawahi bahwa tidaklah cukup

net financial benefit, tetapi net social benefit; artinya bahwa penghitungan

keuntungan finansial tidak cukup hanya didasarkan atas sudut pandang perusahaan

tetapi dari sudut pandang keseluruhan stakeholders (petani dan perusahaan). Hal ini

57

merupakan implikasi logis dari kondisi obyektif yang menunjukkan bahwa simpul-

simpul kritis pengembangan usahatani padi melibatkan pula dimensi sosial budaya.

Salah satu faktor pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala

komersial adalah pemanfaatan peralatan mekanis. Ada tiga peralatan mekanis yang

terpenting dalam hal ini (sesuai dengan urutan prioritasnya) yaitu: traktor, combine

harvester, dan transplanter. Sesuai dengan kondisi setempat, keberadaan pompa

irigasi juga perlu diperhitungkan.

Agar viabilitas finansial/ekonomi sistem usahatani padi skala komersial yang

bersumber dari aplikasi mekanisasi pertanian maka pemilik/penggarap lahan sawah

sehamparan dalam sistem tersebut harus dapat dikonsolidasikan dengan baik. Hal ini

merupakan konsekuensi logis dari faktor-faktor berikut:

(1) Penerapan traktor, transplanter, dan combine harvester akan optimal di

wilayah yang jadwal tanamnya sesuai dengan jadwal irigasi dan sistem irigasi

maupun drainasenya baik. Untuk itu amalgamasi Kelompok Tani dengan

Asosiasi Petani Pemakai Air Irigasi (P3A) sangat diperlukan.

(2) Penerapan transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi

dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin

tersebut dan petani tepat dalam memilih varietas tanaman padi yang paling

sesuai untuk penanaman dengan sistem jajar legowo.

Sumber lain dari tambahan keuntungan usahatani padi yang terkonsolidasi

dalam model kelembagaan koordinasi vertikal adalah meningkatnya bargaining

position petani di pasar input dan output usahatani padi. Dengan volume pengadaan

input dan volume penjualan output yang lebih besar secara terkonsolidasi maka efek

negatif dari struktur pasar oligopolistik (dalam pasar input) dan oligopsonistik (dalam

pasar hasil pertanian) dapat ditekan/diminimalkan.

Dukungan pemerintah yang diperlukan utamanya adalah fasilitasi dalam

penguatan kelembagaan yakni berbadan hukum sehingga aksesnya terhadap

lembaga perkreditan formal (perbankan) meningkat. Aspek lain tentu saja adalah

bimbingan teknis budidaya, bimbingan sistem manajemen usaha, dan dukungan

asuransi pertanian.

58

Setidaknya ada dua faktor kunci dalam pengembangan model kelembagaan

pengelolaan alsintan yang sudah ada agar dapat dimanfaatkan secara optimal, yaitu:

(1) Pentingnya peningkatan kapasitas dan ketrampilan sumberdaya manusia (SDM)

pengelola dan operator alsintan. Pelatihan bagi operator alsintan perlu dilakukan

untuk menghasilkan tenaga yang multi tasking, artinya seorang operator alsintan

setidaknya bisa mengoperasikan 2 - 3 jenis alsintan, agar tenaga kerja yang sudah

dilatih tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal; dan (2) Pentingnya penyediaan

dan pelayanan purna jual sesuai dengan jenis alsintan yang digunakan serta

senantiasa siap melayani di lokasi terdekat dengan lembaga pengelola alsintan.

Model kelembagaan pengelolaan alsintan dalam agribisnis padi skala

komersial yang akan dikembangkan perlu diintegrasikan dengan berbagai subsistem

dari kelembagaan ekonomi yang yang telah ada untuk dapat bekerja secara sinergis.

Subsistem dimaksud meliputi :

(1) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan kelompok UPJA.

(2) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam bentuk

kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan

dan sebagainya.

(3) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,

petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A).

(4) Permodalan dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau

lembaga keuangan non Bank.

(5) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur pemerintah

dan kelembagaan penyuluh.

59

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

Hasil analisis dari pemanfaatan berbagai jenis alsintan meliputi traktor roda 2,

alat tanam (transplanter), power thresher, dan alat panen (mini combine harvester)

di tingkat usahatani secara finansial menguntungkan yang ditunjukkan oleh nilai R/C

(return cost ratio) dari penggunaan masing-masing alat tersebut yang lebih besar

dari 1 (satu). Selain itu, dibandingkan dengan pengelolaan usahatani padi secara

konvensional (tanpa menggunakan alsintan), maka penggunaan alsintan dalam

usahatani padi memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas, menghemat

tenaga kerja manusia, dan memberikan tambahan keuntungan. Namun demikian

dalam program fasilitasi bantuan alsintan perlu diperhatikan rasio jumlah alsintan

menurut jenis dengan luasan lahan sawah yang perlu dilayani agar alsintan dapat

dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, pengembangan alsintan di setiap wilayah

perlu memperhatikan kebutuhan spesifik lokasi dan preferensi petani pengguna.

Prospek pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak dapat

diberlakukan secara masal dan di semua tempat, namun perlu disesuaikan dengan

potensi wilayah, kondisi petani/pertanian yang memenuhi beberapa prasyarat

berikut: (1) Tersedianya hamparan lahan sawah sekitar 500 hektar; (2) Hamparan

lahan sawah tersebut berada dalam satu sistem pengelolaan irigasi, berupa irigasi

permukaan (gravitasi) ataupun irigasi pompa dengan sumber air sadapan air sungai,

air danau, ataupun air tanah dalam (ground water) dengan debit pemompaan yang

setidaknya mampu mengairi 25 hektar per unit pompa irigasi; (3) Adanya

homogenitas dalam komunitas petani pada wilayah pengembangan meliputi aspek

sistem penguasaan lahan; para pemilik lahan dan atau penggarap lahan sebaiknya

sebagian besar dan atau seluruhnya berstatus petani; sebagian besar/seluruh petani

yang menggarap hamparan lahan sawah tersebut berusahatani padi dan tetap ingin

mempertahankan usahatani padi sebagai basis komoditas utamanya; (4) Sebagian

besar/seluruh petani yang menguasai lahan garapan pada hamparan tersebut

responsif atau bersikap positif terhadap perubahan teknologi; (5)

Kelembagaan/sosial budaya setempat mendukung pengembangan agribisnis padi

skala komersial; (6) Adanya kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian khususnya

60

pada usahatni padi yang medorong dibutuhkannya alsintan dalam pengusahaan padi

skala komersial, dan (7) Adanya fasilitasi dari Pemerintah dalam pengembangan

infrastruktur, penyediaan modal melalui kredit murah, kemudahan untuk

memperoleh alsintan dan input usahatani, dukungan kebijakan di bidang pasar input

dan pemasaran output, dan pendampingan teknologi dan manajemen usaha.

Bentuk kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak

dapat diseragamkan, hal ini karena adaptasi dan inovasi kelembagaan yang

merupakan determinan eksistensi kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut berada. Prinsip umum dari

eksistensi kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial adalah

bahwa net social benefit harus lebih tinggi daripada net social benefit usahatani padi

saat ini berlaku. Perlu digaris bawahi bahwa tidaklah cukup net financial benefit,

tetapi net social benefit.

Berdasar kondisi obyektif profil pemilikan dan penguasaan lahan sawah untuk

usahatani padi mayoritas petani padi di Indonesia pada saat ini (eksisting), model

pengembangan yang berpeluang diterapkan adalah model koordinasi vertikal. Secara

garis besar model koordinasi vertikal dapat dipilah lebih lanjut menjadi 2 kategori: (i)

Koordinasi Vertikal Penuh (KVP) dan (ii) Quasi Koordinasi Vertikal (QKV). Pada

prinsipnya, model KVP dapat mengadopsi model Perkebunan Inti Rakyat (PIR),

sedangkan model QKV pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip

pengelolaan usahatani secara terkonsolidasi pada kelembagaan Gabungan Kelompok

Tani Sehamparan. Jika dikaitkan dengan profil pemilikan dan penguasaan lahan

sawah petani saat ini, di beberapa lokasi di Luar Pulau Jawa dimungkinkan untuk

dikembangkan Pilot Proyek KVP maupun QKV, sedangkan di beberapa lokasi di Pulau

Jawa seyogyanya adalah QKV.

Salah satu faktor pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala

komersial adalah pemanfaatan peralatan mekanis. Ada tiga peralatan mekanis yang

terpenting dalam hal ini (sesuai dengan urutan prioritasnya) yaitu: traktor, combine

harvester, dan transplanter. Sesuai dengan kondisi setempat, keberadaan pompa

irigasi juga perlu diperhitungkan.

61

Agar viabilitas finansial/ekonomi sistem usahatani padi skala komersial yang

bersumber dari aplikasi mekanisasi pertanian maka pemilik/penggarap lahan sawah

sehamparan dalam sistem tersebut harus dapat dikonsolidasikan dengan baik. Hal ini

merupakan konsekuensi logis dari faktor-faktor berikut: (1) Penerapan traktor,

transplanter, dan combine harvester akan optimal di wilayah yang jadwal tanamnya

sesuai dengan jadwal irigasi dan sistem irigasi maupun drainasenya baik. Untuk itu

amalgamasi Kelompok Tani dengan Asosiasi Petani Pemakai Air Irigasi (P3A) sangat

diperlukan; dan (2) Penerapan transplanter akan optimal jika sistem pembibitan

benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin

tersebut dan petani tepat dalam memilih varietas tanaman padi yang paling sesuai

untuk penanaman dengan sistem jajar legowo.

Model kelembagaan pengelolaan alsintan dalam agribisnis padi skala komersial

yang akan dikembangkan perlu diintegrasikan dengan berbagai subsistem dari

kelembagaan ekonomi yang yang telah ada untuk dapat bekerja secara sinergis.

Subsistem dimaksud meliputi: (i) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan

kelompok UPJA; (ii) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam

bentuk kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan dan

sebagainya; (iii) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,

petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A); (iv) Permodalan

dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau lembaga keuangan non

Bank; dan (v) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur

pemerintah dan kelembagaan penyuluh.

62

DAFTAR PUSTAKA

BB. Mektan. 2014. Data Analisis Alsintan dan Titik Impasnya. Balai Besar Mekanisasi

Pertanian. Serpong.

Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2010. Pedoman Teknis

Revitalisasi Penggilingan Padi Kecil. Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran

Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian RI. Jakarta.

Mohanty, Sam. 2015. Economic Transition and Demographic. Report to the Board

Programe Committee, agenda Item 4. IRRI. Manila

PSEKP. 2015. Hasil penelitian Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng Sulawesi

Selatan. Analisis Kebijakan, Tidak dipublikasikan. Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian. Bogor.