Upload
lenhu
View
238
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN
MODEL PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PADI:
Analisis Ekonomi dan Kelembagaan Pemanfaatan Alsintan
Tim Peneliti:
Handewi P. Saliem
Sumaryanto Henny Mayrowani Adang Agustian
Syahyuti
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP/RDHP/RKTM : Analisis Kebijakan: Model Pengembangan
Agribisnis Padi 2. Unit Kerja : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
3. Alamat Unit Kerja : Jalan Jend. A. Yani 70 Bogor 4. Sumber Dana : APBN 5. Status Penelitian : Baru
6. Penanggung Jawab a. Nama : Dr. Ir. Handewi P. Saliem
b. Pangkat : Pembina Utama/IV-e c. Jabatan : Peneliti Utama
7. Lokasi : Jawa Tengahdan Sulawesi Selatan 8. Agroekosistem : Lahan Sawah 9. Tahun Mulai : 2016
10. Tahun Selesai : 2016 11. Output Tahunan : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan
Agribisnis Padi 12. Output Akhir : Rekomendasi Kebijakan Pengembangan
Agribisnis Padi
13. Biaya : Rp 49.975.000
Kepala Bidang Program dan
Evaluasi
Penanggung Jawab,
Dr.Ir. Ketut Kariyasa, MS Dr. Ir.Handewi. P. Saliem, MS NIP.19690419 199803 1002 NIP. 19570604 198103 2001
Mengetahui,
Kepala Unit Kerja
Dr. Ir. Abdul Basit, MS NIP. 196109291986031003
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI
i
DAFTAR TABEL ii
DAFTAR GAMBAR iii
I PENDAHULUAN 1
1.1. Latar belakang 1
1.2. Tujuan 3
1.3. Keluaran 3
1.4. Perkiraan Dampak 3
II METODOLOGI 4
2.1. Lokasi Penelitian 4
2.2. Jenis dan Sumber Data 4
2.3. Metode Analisis 4
III HASIL DAN PEMBAHASAN 5
3.1. Kinerja, Ketersediaan dan Pemanfaatan Alsintan 5
3.1.1. Potensi Lahan dan Pola Tanam 5
3.1.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Alsintan 9
3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan 16
3.2. Analisis Kelembagaan PengelolaanAlsintan 27
3.2.1. Peran Kelembagaan Agribisnis 27
3.2.2. Kelembagaan PengelolaanAlsintan 35
3.3. Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Padi Skala
Komersial 52
3.4. Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Padi Skala Konersial 55
IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 59
DAFTAR PUSTAKA 62
ii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di
Kabupaten Cilacap, 2014 5
2 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2014 6
3 Luas baku lahan sawah berdasarkan index pertanaman padi di
Kabupaten Soppeng, 2014 7
4 Potensi lahan sawah Kabupaten Soppeng, 2015 8
5 Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per
kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 8
6 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten
Cilacap, 2015 (unit) 10
7 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2015 (Ha) 12
8 Jumlah penduduk bekerja pada lapangan kerja pertanian per
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2013 (orang) 13
9 Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten
Soppeng, 2015 (unit) 14
10 Rasio luas tanam dengan jumlah alsintan per jenis menurut
kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 15
11 Rasio luas tanam dengan jumlah pompa air menurut kecamatan
di Kabupaten Soppeng, 2015 16
12 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015 (Rp/ha) 17
13 Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19
14 Struktur ongkos dan sewa traktor roda-4 di UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 19
15 Struktur ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong 21
Cilacap, 2015
16 Struktur ongkos dan sewa power thresher di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015 23
17 Struktur ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa
Bojong, Cilacap,2015 24
18 Struktur ongkos dan sewa Combine Harvesterdi UPJA Semangat
Kelurahan Appanang, Kec. Liliriaja, Kab. Soppeng, 2015 (Rp/ha) 26
19 Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin
pertanian pada kedua lokasi studi, 2016 31
20 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten
Cilacap, 2016 33
21 Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten
Soppeng, 2016 34
iii
22 Kelas kemampuan UPJA dan karakteristiknya 41
23 Pengelolaan alsintan pada UPJA Setia Dadi, Kabupaten Cilacap
berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 44
24 Pengelolaan alsintan pada UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng
berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016 47
25 Aturan main dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA
Semangan di Kabupaten Soppeng, 2016 49
27 Analisa Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM)
dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kec Liliriaja,
Kab. Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha) 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1
Luas baku lahan sawah menurut IP diKabupaten Cilacap,
2014 7
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras sebagai bahan pangan pokok memiliki nilai startegis dilihat dari dari
berbagai aspek. Dari sisi produsen, usahatani padi membutuhkan banyak tenaga
kerja yang terlibat dan menjadi sumber mata pencaharian, dalam pengolahan
banyak tenaga kerja yang bekerja di penggilingan skala kecil maupun skala besar,
dari usaha individu, usaha rumah tangga maupun perusahaan besar. Dari sisi
pemasaran, banyak melibatkan pedagang, mulai tingkat desa, kecamatan,
kabupaten, provinsi, antar pulau maupun eksportir/importir. Dari sisi konsumen,
beras merupakan pangan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasar hal
tersebut sangatlah bijak bahwa Pemerintah memberikan perhatian yang serius pada
masalah perberasan di Indonesia. Pengalaman menunjukkan bahwa ketidakstabilan
harga dan ketersediaan beras dapat berdampak luas menjadi krisis ekonomi, sosial,
dan politik.
Terkait dengan kebijakan perberasan, Kementerian Pertanian telah
menetapkan target swasembada padi (dalam Program UPSUS Pajale) dapat dicapai
untuk tiga tahun ke depan. Pencapaian swasembada antara diupayakan dengan
peningkatan produksi padi melalui intensifikasi, ektensifikasi dan rehabilitasi sarana
irigasi serta bantuan alat mesin pertanian. Beberapa kendala yang dihadapi dalam
upaya peningkatan produksi padi antara lain adalah produktivitas yang cenderung
stagnan bahkan menurun, jaringan irigasi sebagian besar tidak berfungsi,
ketersediaan sarana produksi terutama benih pupuk di tingkat petani yang belum
sepenuhnya memenuhi 6 tepat (tepat jenis, jumlah, kualitas, waktu, tempat dan
harga). Selain itu, masalah kelembagaan mulai dari penyediaan sarana produksi,
budidaya, pengolahan dan pemasaran padi – beras merupakan masalah klasik yang
sampai saat ini belum terselesaikan dengan tuntas. Hal lain yang penting adalah
terkait dengan upaya meningkatkan kesejahteraan petani (padi), pada kondisi saat
ini skala usaha petani yang relatif sempit (< 0.5 Ha, tidak memenuhi skala ekonomi)
sehingga sulit meningkatkan kesejahteraan petani padi jika hanya mengandalkan
pendapatan dari usahatani padi. Nilai tambah dari berbagai produk olahan berbahan
baku padi belum dinikmati oleh petani.
2
Permasalahan dan kendala peningkatan produksi padi tersebut juga dialami
oleh beberapa negara lain di Asia dimana mekanisasi pertanian menjadi salah satu
solusinya. Kasus di Vietnam misalnya, dikembangkan “The Small Farmer, Large
Field”, dimana kelembagaan pengelolaan usahatani secara luas (komersial)
menggunakan mekanisasi pertanian yang diawali dengan proses konsolidasi lahan
(Mohanty, 2015).
Pertanian modern yang sedang dikembangkan Kementerian Pertanian dengan
menggunakan full mekanisasi (di hulu sampai hilir) ditujukan untuk meningkatkan
produksi dan pendapatan petani juga diharapkan menarik minat generasi muda
untuk terlibat di sektor pertanian, pada dasarnya dapat dipertimbangkan sebagai
upaya untuk menumbuhkan model pengembangan agribisnis padi (Badan Litbang
Pertanian, 2015). Namun demikian, dalam implementasinya pengembangan model
pertanian modern masih menghadapai beberapa kendala terutama terkait masalah
skala usaha petani yang sempit dan terpencar serta masalah sosial dan
kelembagaan pengelolaan alsintan di tingkat usahatani (PSEKP, 2015). Berdasar hal
tersebut, kajian tentang model kelembagaan agribisnis padi skala komersial menjadi
relevan untuk dilakukan.
Agribisnis (baku menurut KBBI: agrobisnis) adalah bisnis berbasis usaha
pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir.
Penyebutan "hulu" dan "hilir" mengacu pada pandangan pokok
bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Berdasar
definisi tersebut, dalam analisis ini, agribisnis padi mencakup beberapa komponen
sub sistem yaitu, sub sistem usaha tani/yang memproduksi bahan baku (padi); sub
sistem pengolahan hasil pertanian (dari padi menjadi beras), dan sub sistem
pemasaran padi (gabah) dan beras. Model pengembangan agribisnis padi seperti
apakah yang perlu dikembangkan agar para pelaku yang terlibat dalam agribisnis
padi dapat menikmati nilai tambah secara proporsional sesuai dengan kontribusinya
dalam usaha agribisnis tersebut? Kelembagaan seperti apakah yang perlu
dikembangkan di masing-masing sub sistem tersebut ? Bagaimana mekanisme
keterkaitan antar sub sistem tersebut dalam suatu rantai nilai yang efisien ?
Mengingat aspek mekanisasi atau alat mesin pertanian di sub sistem usahatani (on
3
farm) dan pengolahan merupakan salah satu Kajian ini bertujuan untuk menjawab
beberapa pertanyaan tersebut.
1.2. Tujuan
Secara umum tujuan umum kajian ini adalah merumuskan model kelembagaan
agribisnis padi skala komersial. Secara khusus tujuan kajian ini adalah :
1. Mengkaji tambahan manfaat dari penggunaan alat mesin pertanian dalam
rantai agribisnis padi skala komersial
2. Mengkaji kelembagaan pengelolaan alat mesin pertanian pada tingkat
usahatani dan pengolahan pada sistem agribisnis skala komersial
3. Merumuskan model kelembagaan agribisnis padi skala komersial (500 – 1000
Ha).
1.3. Keluaran
Keluaran umum dari kajian ini adalah rumusan model kelembagaan agribisnis
padi skala komersial. Secara rinci keluaran dari kajian ini adalah:
1. Informasi tambahan manfaat dari penggunaan alat mesin pertanian dalam
rantai agribisnis padi skala komersial
2. Informasi kelembagaan pengelolaan alat mesin pertanian pada di tingkat
usahatani dan pengolahan
3. Rumusan model kelembagaan agribisnis padi skala komersial
1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemangku kepentingan dalam
pengembangan agribisnis skala komersial, utamanya kelembagaan pengelolaan alat
dan mesin pertanian, agar peningkatan produksi dan usahatani lebih efekif. Dengan
tersedianya kajian ini diharapkan pemangku kepentingan dapat merumuskan
kebijakan pengembangan agribisnis padi berbasis mekanisasi pertanian dengan lebih
baik, yang mampu meningkatkan produktivitas usahatani dan produksi padi secara
lebih efisien. Sebagai dampak, diharapkan hasil kajian ini bisa dimanfaatkan sebagai
acuan dalam kebijakan pengembangan kelembagaan agribisnis padi skala komersial
berbasis mekanisasi pertanian, khususnya yang terkait dengan kelembagaan
pengelolaan alat dan mesin pertanian secara berkelanjutan.
4
II. METODOLOGI
2.1. Lokasi Penelitian
Untuk menggambarkan karakteristik skala penguasaan lahan, lokasi penelitian
dipilih secara purposif, yaitu yang mewakili model pengembangan usahatani padi di
Jawa dan Luar Jawa. Untuk Jawa dipilih Kasus di Kabupaten Cilacap. Kabupaten
Cilacap dapat dipilih sebagai contoh dengan pertimbangan adanya keberhasilan
UPJA. Sementara untuk lokasi Luar Jawa dipilih Kabupaten Soppeng-Sulawesi
Selatan (lokasi program Pertanian Modern, Kementerian Pertanian).
2.2. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dibutuhkan adalah data sekunder dan primer. Data dan
informasi sekunder dikumpulkan dari berbagai instansi pemerintah terkait di Jakarta,
Provinsi Sulawesi Selatan, dan Provinsi Jawa Tengah. Data dan informasi sekunder
juga diperoleh melalui penelusuran dokumen berupa laporan, jurnal, dan karya
ilmiah lainnya. Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara dengan
aparat pertanian tingkat provinsi/kabupaten dan pengurus gabungan kelompok tani
(gapoktan), dan diskusi kelompok dengan petani padi sawah di lokasi penelitian.
Data sekunder meliputi dokumen dan data terkait tentang usahatani padi,
pengembangan lahan dan pengembangan alat dan mesin pertanian (alsintan) serta
berbagai kebijakan terkait. Data primer yang dikumpulkan adalah pengelolaan
usahatani, kelembagaan pengelolaan alsintan, kelembagaan pemasaran input dan
output. Selain itu, untuk menggali informasi yang lebih komprehensif dari berbagai
pihak yang terkait dengan pengembangan model kelembagaan agribisnis padi kajian
ini juga dilakukan diskusi dengan berbagai pihak yang terkait yang mewakili dari
Ditjen PSP, Ditjen Tanaman Pangan, PERPADI, Badan Litbang Pertanian (BB Mektan,
BB Pasca Panen), Bulog, dan Perguruan Tinggi.
2.3. Metode Analisis
Data Data kuantitatif akan dianalisis dengan menggunakan analisis tabulasi
sederhana. Sementara itu, data kualitatif menyangkut aspek kebijakan dan
kelembagaan akan dianalisis secara deskriptif.
5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kinerja, Ketersediaan dan Pemanfaatan Alsintan
3.1.1. Potensi lahan dan pola tanam
Kondisi perkembangan pertanaman padi sawah di Kabupaten Cilacap tentu
tidak terlepas dari kesungguhan petani dalam mengelolaan lahan pertaniannya,
keberadaan baku lahan sawah yang ada saat ini, dukungan ketersediaan air irigasi
dan dukungan alat mesin pertanian. Berdasarkan data Dinas Pertanian dan
Peternakan Kabupaten Cilacap (2015), bahwa total luas baku lahan sawah seluas
64.744 ha. Dari luasan tersebut, berdasarkan indeks pertanaman padi dalam
setahun sebagian besar (60,17%) memiliki IP diatas 200%, namun tetap dibawah
300%. Sekitar 37,59 persen luas lahan baku tersebut memiliki IP antara 100-200
persen, serta hanya sekitar 2,24 persen memiliki tepat IP sebesar 200 persen.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lahan sawah di
Kabupaten Cilacap dapat ditanami padi minimal 2 kali tanam dalam setahun.
Tabel 1. Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di Kabupaten Cilacap, 2014.
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. IP Padi > 2 kali 38.959 60,17
2. IP Padi 1- <2 kali 1.450 2,24
3. IP Padi 1- <2 kali 24.335 37,59
Total 64.744 100
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Bila dirinci, luas baku lahan sawah per kecamatan dapat diketahui bahwa luas
lahan sawah cukup menyebar di 24 kecamatan dengan proporsi luas antara 0,19-
7,19 persen. Luas lahan sawah terrendah berada di Kecamatan Cilacap Selatan (122
ha) dan tertinggi di Kecamatan Kawunganten (4.657 ha) (Tabel 2). Di lokasi kajian
yaitu di kecamatan Kawunganten, indeks pertanaman pada lahan sawah hanya
sebesar 181 persen, yang artinya pertanaman lahan sawah di wilayah ini secara
rata-rata masih dibawah 2 kali (<200%). Hal ini disebabkan, lahan sawah yang ada
di Kawunganten merupakan lahan sawah tadah hujan. Pada kondisi lahan sawah
seperti ini, ketersediaan air hujan menjadi andalan utama bagi pertanaman padi
6
sawah. Pada saat MH (Musim hujan), padi ditanam pada bualan September/Oktober
dan panen saat bulan Januari/Februari, kemudian saat MK (Musim kemarau) I tanam
padi disaat bulan Maret/April dan panen sekitar bulan Juli/Agustus. Kemudian
setelah itu, lahan sawah ditanami palawija saat bulan Agustus akhir hingga panen
menjelang musim hujan kembali. Dengan Demikian pola tanaman yang
berkembang di lahan sawah Kabupaten Cilacap adalah Padi-Padi-palawija. Palawija
yang ditanam cukup beragam seperti kacang-kacangan, dan sayuran yang
memungkinkan ditanam dilahan sawah dengan tingkat ketersediaan air yang kurang.
Tabel 2. Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per
kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2014
No. Kecamatan Luas Lahan (ha) % Luasan Luas Tanam Padi IP
1 Dayeuhluhur 2.976 4,60 6.755 227
2 Wanareja 4.229 6,53 6.298 149
3 Majenang 4.229 6,53 9.447 223
4 Cimanggu 3.288 5,08 7.770 236
5 Karangpucung 1.728 2,67 4.586 265
6 Cipari 2.150 3,32 4.095 190
7 Sidareja 1.450 2,24 2.900 200
8 Kedungreja 4.636 7,16 8.614 186
9 Patimuan 3.836 5,92 6.750 176
10 Gandrungmangu 4.831 7,46 9.945 206
11 Cilacap Selatan 122 0,19 319 261
12 Cilacap Tengah 286 0,44 754 264
13 Cilacap Utara 579 0,89 1.469 254
14 Kesugihan 3.138 4,85 8.339 266
15 Jeruklegi 1.123 1,73 3.046 271
16 Kawunganten 4.657 7,19 8.430 181
17 Bantarsari 2.271 3,51 4.501 198
18 Kampung Laut 2.556 3,95 2.743 107
19 Sampang 1.954 3,02 4.005 205
20 Maos 1.984 3,06 4.017 202
21 Adipala 3.219 4,97 7.039 219
22 Kroya 3.212 4,96 7.922 247
23 Binangun 2.935 4,53 7.277 248
24 Nusawungu 3.355 5,18 7.579 226
JUMLAH 64.744 100 134.600 208 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
7
Gambar 1. Luas baku Lahan sawah menurut IP di Kabupaten Cilacap, 2014
Untuk Kabupaten Soppeng, perkembangan pertanaman padi sawah
berdasarkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten
Soppeng (2015), total luas baku lahan sawah seluas 27.289 ha. Sebagian besar
index pertanaman padi adalah 200% (80,49%), hanya 1,25% yang memiliki indeks
pertanaman padi lebih dari 200%. Sedangkan 18,26%, indeks pertanamannya
adalah 100%. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar lahan sawah di Kabupaten
Soppeng hanya dapat ditanami padi 2 kali tanam dalam setahun (Tabel 3).
Tabel 3 : Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi di
Kabupaten Soppeng, 2015
Uraian Luas (Ha) Persen (%)
1. IP Padi > 2 kali 341 1,25
2. IP Padi 2 kali 21.964 80,49
3. IP Padi 1 kali 4.984 18,26
Total 27.289 100 Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015
Dari delapan kecamatan di Kabupaten Soppeng, daerah pertanaman padi adalah
Kecamatan Liliriaja, Donri-donri dan Morioriawa dengan sebagian besar lahan sawah
8
yang ditanami padi 2 kali setahun dengan luas lahan IP padi 2 kali per tahun
masing-masing 4.234 ha, 4.077 ha dan 3.570 ha (Tabel 4)
Tabel 4 : Potensi lahan sawah Kabupaten Soppeng, 2015.
Kecamatan
Penggunaan lahan (ha)
Jumlah Padi 1 kali Padi 2 kali Padi > 2 kali
Tan. Lainnya
Marioriwawo 200 2.794 2.994
Liliriaja 30 4.234 4.264
Lilirilau 739 1.195 1.934
Lalabata 11 3.296 111 3.418
Donri-donri 400 4.077 4.477
Marioriawa 2.430 3.570 989 6.989
Ganra 986 2.590 230 3.806
Citta 188 208 396
Jumlah 4.984 21.964 341 989 28.278
Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015
Apabila dirinci, luas baku lahan sawah per kecamatan dapat diketahui bahwa
luas lahan sawah cukup menyebar di 8 kecamatan dengan proporsi luas antara 1,4 –
24,72 persen. Luas lahan sawah terrendah berada di Kecamatan Citta (396 ha)
yang merupakan daerah lahan kering dan tertinggi di Kecamatan Morioriawa (6.989
ha) (Tabel 12). Di Kecamatan Morioriawa sebagian lahan sawah merupakan lahan
tadah hujan (2.430 ha) dan sawah irigasi (3.570 ha).
Tabel 5 : Luas baku lahan sawah berdasarkan indeks pertanaman padi per kecamatan di Kabupaten Soppeng 2015
Kecamatan Luas lahan padi
(ha) % luas tiap kecamatan
Luas areal padi (ha) IP
Marioriwawo 2.994 10,59 5788 1,93
Liliriaja 4.264 15,08 8498 1,99
Lilirilau 1.934 6,84 3129 1,62
Lalabata 3.418 12,09 6936 2,03
Donri-donri 4.477 15,83 8554 1,91
Marioriawa 6.989 24,72 9570 1,37
Ganra 3.806 13,46 6856 1,80
Citta 396 1,40 604 1,53
Jumlah 28278 100,00 49935 1,77 Sumber : BPS Kabupaten Soppeng, 2015
9
3.1.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Alsintan
Perkembangan mekanisasi pertanian di Kabupaten Cilacap cukup pesat dimana
salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
pertanian antara lain untuk pengolahan lahan, tanam dan panen hasil pertanian.
Jumlah dan ketersedian alat mesin pertanian yang ada pun saat ini masih bervariasi
(Tabel 6).
Berdasarkan data hingga posisi tahun 2015, jumlah traktor yang ada mencapai
3.687 unit yang tersebar di 24 kecamatan. Sebagian besar traktor tersebut adalah
traktor roda 2 yang lebih fleksibel dalam penggunaannya terutama pada lahan
sawah dengan tofografi yang berteras. Jumlah traktor dominan terdapat di
kecamatan Gandrungmangu (408 unit), Kedungreja (352 unit), Nusawungu (296
unit), dan Binangun (242 unit). Aktivitas tanam pun di Cilacap saat ini dominan telah
menggunakan alat transplanter yang jumlahnya telah mencapai 46 unit yang
tersebar di 21 kecamatan. Tingkat ketersediaan alat transplanter yang berada pada
kecamatan tersebut berkisar antara 1-4 unit. Sulit berkembangnya penggunaan alat
tanam ini disebabkan karena masih terbatasnya sumberdaya operator alat tersebut.
Sumberdaya untuk mengoperasikan alat transplanter masih sangat terbatas, yaitu
pada kelompok tani yang memang pernah mendapatkan pelatihan mengoperasikan
alat tanam tersebut. Namun demikian seiring dengan makin berkembangnya
program bantuan alat, dan dukungan peningkatan keterampilan penggunaan alat
pada kelompok maka kedepannya perkembangan ketersediaan alat tanam tersebut
meningkat seiring dengan meningkatnya keterampilan mengoperasikan alat
tersebut. Karena itu, kedepan penggunaan alat tanam dengan caplak dan manual
nantinya akan semakin menurun.
Peralatan lainnya yaitu berupa alat mesin perontok gabah hasil panen. Alat
perontok gabah yang digunakan adalah power tresher. Jumlah power tresher yang
tersedia hingga tahun 2015 mencapai 3.838 unit. Jumlah power tresher terbanyak
terdapat di Kecmatan Gandrungmangu yaitu sebanyak 1.105, kemudian terdapat di
Kecamatan Patimuan sebanyak 525 unit, di Kecamatan Kroya sebanyak 320 unit
dan di Kecamatan Nusawunggu sebanyak 306 unit. Selanjutnya kesediaan alsintan
Combine Harvester, jumlahnya masih terbatas yaitu sebanyak 29 unit dan baru
terdapat di 16 kecamatan. Adapun ketersediaan Combine Harvester di kecamatan
10
tersebut berkisar antara 1-4 unit. Masih terbatasnya penggunaan combine harvester
di Kabupaten Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga
combine harvester pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK.
Selain itu, combine harvester tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah
lahan basah dengan kedalaman > 20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek.
Tabel 6. Ketersediaan alsintan per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Cilacap,
2015 (Unit). Kecamatan Jumlah Alsintan (Unit)
No Traktor
R2 Traktor
R4 Transplan-
ter Power
Tresher Combine Harvester
1 Dayeuhluhur 111 1 2 96 2
2 Wanareja 186 0 2 27 2
3 Majenang 167 0 2 140 3
4 Cimanggu 179 0 2 6 2
5 Karangpucung 85 0 2 19 0
6 Cipari 84 1 2 34 0
7 Sidareja 74 0 1 23 2
8 Kedungreja 352 0 2 275 2
9 Patimuan 205 0 1 525 1
10 Gandrungmangu 408 1 2 1.105 1
11 Cilacap Selatan 7 0 0 4 0
12 Cilacap Tengah 26 0 0 27 0
13 Cilacap Utara 28 0 2 38 1
14 Kesugihan 155 0 2 181 2
15 Jeruklegi 91 0 1 48 1
16 Kawunganten 182 1 3 62 4
17 Bantarsari 109 1 1 26 1
18 Kampung Laut 34 0 1 14 0
19 Sampang 124 0 4 58 0
20 Maos 117 1 2 130 0
21 Adipala 152 0 2 199 2
22 Kroya 273 0 6 320 2
23 Binangun 242 0 0 175 0
24 Nusawungu 296 1 4 306 1
Jumlah 3.687 7 46 3.838 29
Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015).
Bila dinalisis kebutuhan alsintan terhadap luas tanam yang ada, maka
analisisnya disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas tanam
terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor roda 2
secara rata-rata sebesar 36,51: 1 traktor. Artinya setiap traktor yang ada (traktor
11
roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 36,51 ha. Dengan kondisi rasio tersebut,
bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Cilacap secara rataan belum cukup.
Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan
ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat mengolah lahan
antara 11-15 ha/tahun. Namun demikian, bila dilihat per kecamatan terdapat
beberapa kecamatan yang memiliki rasio luas tanam dengan ketersediaan traktor
yang cukup yaitu kecamatan: Kedungreja, Gandrungmangu, dan Nusawunggu.
Lebih lanjut hasil perhitungan rasio luas baku lahan terhadap transplanter
sekitar 2.926: 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan
sekitar 2.926 ha (Tabel 7). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Cilacap masih sangat kurang, dan kurangnya
terjadi merata di setiap kecamatan. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan
(2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal transplanter tercapai kondisi impas
minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar 32 ha/tahun. Oleh karena itu,
dalam kegiatan tanam padi sawah di Cilacap masih dominan menggunakan alat
tanam seperti dengan caplak dan secara manual kegiatan tanamnya.
Untuk rasio luas baku lahan terhadap alat panen power tresher sekitar 35,07:
1. Artinya setiap power tresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 35,07
ha (Tabel 7). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power tresher yang ada
di Kabupaten Cilacap mendekati cukup. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian PSEKP
di Sulawesi Selatan (2015) yang menyatakan bahwa arael power tresher dalam
setahun (rata-rata sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari)
sehingga dapat bekerja ideal seluas 30 ha/musim. Adapun beberapa kecamatan
yang ketersediaan power treshernya di pandang cukup terdapat di Kecamatan:
Kedungreja, Patimuan, Gandrungmangu, Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, Kroya,
dan Nusawunggu. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap
sebagian besar menggunakan power tresher, dan sebagian kecil sesuai dengan
kondisi dan kesesuaian lahannya telah menggunakan alat panen mini combine
harvester.
12
Tabel 7. Rasio luas tanam dengan jumlah alsinten per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2015 (Ha)
No. Kecamatan Rasio Luas Tanam dengan Jenis alsintan
Traktor R2 Transplanter Tresher
1 Dayeuhluhur 60,86 3.378 70,36
2 Wanareja 33,86 3.149 233,26
3 Majenang 56,57 4.724 67,48
4 Cimanggu 43,41 3.885 1.295,00
5 Karangpucung 53,95 2.293 241,37
6 Cipari 48,75 2.048 120,44
7 Sidareja 39,19 2.900 126,09
8 Kedungreja 24,47 4.307 31,32
9 Patimuan 32,93 6.750 12,86
10 Gandrungmangu 24,38 4.973 9,00
11 Cilacap Selatan 45,57 - 79,75
12 Cilacap Tengah 29,00 - 27,93
13 Cilacap Utara 52,46 735 38,66
14 Kesugihan 53,80 4.170 46,07
15 Jeruklegi 33,47 3.046 63,46
16 Kawunganten 46,32 2.810 135,97
17 Bantarsari 41,29 4.501 173,12
18 Kampung Laut 80,68 2.743 195,93
19 Sampang 32,30 1.001 69,05
20 Maos 34,33 2.009 30,90
21 Adipala 46,31 3.520 35,37
22 Kroya 29,02 1.320 24,76
23 Binangun 30,07 - 41,58
24 Nusawungu 25,60 1.895 24,77
Jumlah 36,51 2.926 35,07 Sumber: Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015)
Penggunaan alat panen combine harvester di lokasi kajian masih sangat
kurang. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa
cakupan ideal combine harvester tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan
kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan
panen padi sawah di Cilacap masih sangat kecil menggunakan alat panen combine
harvester. Kedepan penggunaan combine harvester perlu ditingkatkan lagi.
13
Tabel 8. Jumlah penduduk bekerja pada lapangan kerja pertanian per kecamatan di Kabupaten Cilacap, 2013 (Orang)
No. Kecamatan Tenaga Kerja yang bekerja di Pertanian
Pddk bekerja Bekerja di pertanian %
1 Dayeuhluhur 24.121 17.007 70,51
2 Wanareja 45.728 30.700 67,14
3 Majenang 59.020 32.864 55,68
4 Cimanggu 59.713 38.856 65,07
5 Karangpucung 27.130 15.377 56,68
6 Cipari 33.726 20.879 61,91
7 Sidareja 24.756 12.662 51,15
8 Kedungreja 54.631 43.512 79,65
9 Patimuan 19.783 12.036 60,84
10 Gandrungmangu 48.796 35.330 72,40
11 Cilacap Selatan 41.275 30.228 73,24
12 Cilacap Tengah 71.047 54.096 76,14
13 Cilacap Utara 4.392 2.733 62,23
14 Kesugihan 27.689 15.232 55,01
15 Jeruklegi 87.375 49.489 56,64
16 Kawunganten 35.497 21.961 61,87
17 Bantarsari 30.282 20.418 67,43
18 Kampung Laut 23.261 19.373 83,29
19 Sampang 49.353 20.832 42,21
20 Maos 37.280 19.230 51,58
21 Adipala 34.374 12.927 37,61
22 Kroya 55.704 12.816 23,01
23 Binangun 31.948 4.532 14,19
24 Nusawungu 28.429 3.798 13,36
Jumlah 955.310 546.888 57,25
Sumber: BPS Cilacap (2014)
Bila dianalisis atas jumlah penduduk per kecamatan di Kabupaten Cilacap
diketahui bahwa dari total penduduk usia kerja (Usia > 15 tahun- 64 tahun) sekitar
57,25% bekerja di lapangan kerja sektor pertanian. Bahkan jika ditelaah per
kecamatan, beberapa kecamatan seperti di: Dayeuhluhur, Wanareja, Cimanggu,
Kedungreja, Gandrungmangu, Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, dan Bantarsari
jumlah penduduk usia kerjanya diatas 65% bekerja pada lapangan pekerjaan
pertanian (Tabel 8). Hal ini mengingat pada kecamatan tersebut merupakan sentra
pertanian baik padi sawah maupun lahan kering. Dengan demikian, peluang
peningkatan mekanisasi yang ditopang dengan jumlah SDM pertanian yang
memadai akan memungkinkan lebih berkembang lagi.
Untuk Kabupaten Soppeng, perkembangan mekanisasi pertanian cukup pesat
yang salah satunya ditandai oleh semakin berkembangnya penggunaan alat mesin
14
pertanian untuk pengolahan lahan, tanam dan panen. Jumlah dan ketersedian alat
mesin pertanian yang ada pun saat ini masih bervariasi (Tabel 9).
Berdasarkan data hingga tahun 2015, jumlah traktor roda 2 mencapai 3.819
unit yang tersebar di 8 kecamatan, jumlah traktor roda 4 baru ada 13 unit. Jumlah
traktor roda 2 cukup banyak karena telah lama digunakan oleh petani untuk
mengolah tanah. Untuk menunjang ketersediaan air, selain jaringan irigasi, petani
Kabupaten Soppeng menggunakan pompa air dalam dan permukaan. Kebanyakan
pompa yang digunakan adalah pompa dengan ukuran 3 inci, jumlahnya mencapai
820 unit.
Trnasplanter merupakan alat tanam yang baru diperkenalkan di Kabupaten
Soppeng, jumlahnya masih terbatas (13 unit). Namun seiring dengan semakin
sulitnya tenaga kerja pertanian, alat ini mulai diminati petani Kabupaten Soppeng.
Saat ini kesulitan penggunaan alat ini adalah masih terbatasnya sumberdaya
operator alat tersebut. Namun demikian seiring dengan makin berkembangnya
program bantuan alat, dan dukungan peningkatan keterampilan penggunaan alat
pada kelompok, keterampilan mengoperasikan alat tersebut akan meningkat.
Tabel 9 : Ketersediaan alsinten per jenis kenurut Kecamatan di Kabupaten Soppeng, 2015 (unit).
Kecamatan TR2 TR4
Pompa Air Power Thresher
RMU Trans
planter Combine Harvester
Paddy Mower 2" 3" 4" 6" 8" 10"
Marioriwawo 292 0 20 54 1 4 0 0 11 60 1 0 6
Liliriaja 651 1 22 60 14 1 7 1 59 50 3 24 1
Lilirilau 237 0 35 46 31 8 18 5 41 14 0 1 5
Lalabata 565 3 14 47 14 0 1 0 29 34 2 4 4
Donri-donri 712 3 50 250 54 5 2 0 76 41 1 24 1
Marioriawa 820 6 33 248 26 4 2 0 44 22 5 2 7
Ganra 503 0 6 109 26 1 0 4 26 20 1 1 11
Citta 39 0 3 6 2 1 0 1 0 5 0 0 0
Jumlah 3.819 13 183 820 168 24 30 11 286 246 13 56 35
Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)
Peralatan lainnya yaitu berupa alat mesin perontok gabah. Alat perontok gabah
yang digunakan adalah power tresher. Jumlah power thresher yang tersedia hingga
tahun 2015 mencapai 286 unit. Mesin panen Combine Harvester berkembang pesat
di Kabupaten Soppeng, karena kurangnya tenaga panen, hingga tahun 2015
jumlahnya telah mencapai 56 unit.
15
Tabel 10 : Rasio luas tanam padi dengan jumlah alat dan mesin pertanian per jenis menurut kecamatan di Kabupaten Soppeng , 2015
Kecamatan Luas
tanam (ha) TR2 TR4
Power Thresher
RMU Trans
planter Combine Harvester
Paddy Mower
Marioriwawo 5.788 19,82 526,18 96,47 5.788,00 964,67
Liliriaja 8.498 13,05 8.498,00 144,03 169,96 2.832,67 354,08 8.498,00
Lilirilau 3.129 13,20 76,32 223,50 3.129,00 625,80
Lalabata 6.936 12,28 2.312,00 239,17 204,00 3.468,00 1.734,00 1.734,00
Donri-donri 8.554 12,01 2.851,33 112,55 208,63 8.554,00 356,42 8.554,00
Marioriawa 9.570 11,67 1.595,00 217,50 435,00 1.914,00 4.785,00 1.367,14
Ganra 6.856 13,63 263,69 342,80 6.856,00 6.856,00 623,27
Citta 604 15,49 120,80
Jumlah 49.935 13,08 3.841,15 174,60 202,99 3.841,15 891,70 1.426,71 Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)
Bila dinalisis kebutuhan alsintan terhadap luas tanam yang ada, maka
analisisnya disajikan pada Tabel 10 diatas. Berdasarkan hasil perhitungan rasio luas
tanam terhadap alsintan diperoleh informasi bahwa rasio luas lahan terhadap traktor
roda 2 secara rata-rata sebesar 13,08 : 1 traktor. Artinya setiap traktor yang ada
(traktor roda 2) harus dapat melayani lahan sekitar 13,08 ha. Dengan kondisi rasio
tersebut, bahwa jumlah traktor yang ada di Kabupaten Soppeng secara rataan
sudah cukup. Hal ini sejalan dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan
bahwa cakupan ideal traktor roda 2 agar tercapai kondisi impas minimal dapat
mengolah lahan antara 11-15 ha/tahun.
Mesin tanam (transplanter), perhitungan rasio luas baku lahan terhadap
mesin 3.841 : 1. Artinya setiap trasplanter yang ada harus dapat melayani lahan
sekitar 3.841 ha (Tabel 10.). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah
transplanter yang ada di Kabupaten Soppeng masih sangat kurang. Hal ini sejalan
dengan data dari BB Mektan (2014) yang menyatakan bahwa cakupan ideal
transplanter tercapai kondisi impas minimal dapat melakukan kegiatan tanam sekitar
32 ha/tahun. Oleh karena itu, dalam kegiatan tanam padi sawah di Kabupaten
Soppeng secara manual. Power Thresher cukup banyak digunakan di Kabupaten
Soppeng, rasio luas baku lahan terhadap alat panen power tresher sekitar 174,6 : 1.
Artinya setiap power tresher yang ada harus dapat melayani lahan sekitar 174,6 ha
(Tabel 10.). Dengan kondisi rasio tersebut, bahwa jumlah power thresher yang ada
di Kabupaten Soppeng masih kurang. Hasil penelitian PSEKP di Sulawesi Selatan
16
(2015) yang menyatakan bahwa arael power tresher dalam setahun (rata-rata
sekitar 2 ha/hari dan masa tanam/musim sekitar 15 hari) sehingga dapat bekerja
ideal seluas 350 ha/musim. Kecamatan yang jumlah power thresher cukup banyak
adalah Kecamatan Lilirilau. Demikian juga dengan pompa air, pompa air 3 inci
sudah cukup banyak digunakan oleh petani (Tabel 11).
Tabel 11 : Rasio luas tanam dengan jumlah pompa air menurut kecamatan di Kabupaten
Soppeng, 2015
Kecamatan Luas
tanam (ha)
Pompa Air
2" 3" 4" 6" 8" 10"
Marioriwawo 5.788 289,40 107,19 5.788,00 1.447,00
Liliriaja 8.498 386,27 141,63 607,00 8.498,00 1.214,00 8.498,00
Lilirilau 3.129 89,40 68,02 100,94 391,13 173,83 625,80
Lalabata 6.936 495,43 147,57 495,43 6.936,00
Donri-donri 8.554 171,08 34,22 158,41 1.710,80 4.277,00
Marioriawa 9.570 290,00 38,59 368,08 2.392,50 4.785,00
Ganra 6.856 1.142,67 62,90 263,69 6.856,00 1.714,00
Citta 604 201,33 100,67 302,00 604,00 604,00
Jumlah 49.935 272,87 60,90 297,23 2.080,63 1.664,50 4.539,55 Sumber : Dinas Pertanian TPH Kab. Soppeng (2015)
3.1.3. Analisis Biaya dan Manfaat dari Penggunaan Alsintan
Analisis Usaha Traktor Pada Kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 10 unit traktor tangan yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan
usaha traktor ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha traktor tangan.
Sesuai dengan data dan spesifikasi traktor yang dimiliki UPJA adalah sebagai berikut:
(a) Keputusan Peraturan Desa sesuai rapat UPJA tentang penetapan wilayah kerja
traktor yaitu seluas 10-12 hektar sawah layanan per unit traktor, (b) harga traktor
tangan adalah Rp 15,5 juta/unit, (c) umur ekonomis traktor adalah 15 tahun dan
masa olah tanah adalah 2 kali per tahun yaitu selama 30 hari selama 2 kali musim
tanam, (d) Nilai sisa traktor setelah 15 tahun adalah Rp 4 juta (26%) dan (e) harga
sewa traktor sebesar Rp 900 ribu/ha. Pada Tabel 12 disajikan analisis finansial usaha
traktor tangan di lokasi kajian.
17
Berdasarkan data pada Tabel 12 terlihat bahwa dengan nilai sewa traktor
sebesar Rp 900 ribu/ha, total biaya usaha jasa traktor senilai Rp 569 ribu/ha atau
sebesar 63,25% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
331 ribu/ha atau sekitar 36,77% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,58. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah untuk operator mencapai
40%, diikuti dengan biaya bahan bakar yaitu sebesar 12,50% dari total penerimaan.
Berdasarkan informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan
yang dengan hanya 12 hektar itu kurang memadai, karena pengembalian investasi
traktor harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia ekonomisnya. Idealnya
untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun maka luas layanan pengolahan
lahan minimal harus sekitar 25 hektar per musim tanam dengan asumsi semua
faktor input (BBM, Oli dan Spare part adalah konstan). Analisis ini belum
memperhitungkan perbedaan biaya operasional pada MT1 (MK1), dimana pada MK1
penggunaan bahan bakar relatif lebih efisien mencapai 3-4 liter, sehingga tingkat
keuntungan akan lebih besar sekitar 5% dari pada musim MT-I, karena pada MT-II
tidak dilakukan pembajakan karena lahan sawah masih tergenang air (basah).
Upaya untuk memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah
mengembangkan wilayah layanan pengolahan tanam ke daerah lain, termasuk ke
luar daerah jika memungkinkan.
Tabel 12. Struktor ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga (Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 15,00 7.500 112.500 12,50
1.2. Oli:
-
a. Mesin Liter 0,60 30.000 18.000 2,00
b. Gardan Liter
2.494 0,28
c. Gemuk/stempet Kg
2.493 0,28
1.3. Spare part & service Unit
41.667 4,63
1.4. Penyusutan -
31.944 3,55
1.5. Operator -
360.000 40,00
1.7.Total -
569.098 63,23
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1,00 900.000 900.000 100,00
3 Keuntungan -
330.902 36,77
4 R/C rasio
1.58
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
18
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian modern,
kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah lama
penggunaannya secara luas dimasyarakat, sehingga dalam perkembangannya rasio
pengelolaan traktor dengan luas lahan yang ada untuk diolahnya di lokasi kajian
semakin mengecil. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh
UPJA tentu harus melebarkan jangkauannya ke wilayah yang memang alsintannya
masih terbatas.
Analisis Usaha Traktor Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng. Dalam pengolahan lahan, traktor tangan (traktor roda-2) sudah banyak
digunakan petani. Pada proyek PPM ini diperkenalkan TR-4 untuk mempercepat
kegiatan pengolahan lahan. Kemampuan traktor tangan/kecil (roda 2) ini hanya
dapat mengolah lahan sekitar 0,3 – 0,5 ha/hari. Sedangkan traktor besar bisa
mengolah tanah 2,5 ha per hari. Biasanya dalam pengolahan lahan selalu
mengkombinasikan traktor besar dan kecil. Pada saat pengolahan lahan awal
menggunakan traktor besar, dan untuk meratakannya menggunakan traktor kecil.
Kapasitas traktor tangan yang diusahakan pada UPJA Semangat Kelurahan
Appanang adalah 60 hari per tahun. Harga traktor tangan kecil yang digunakan
adalah Rp 20 juta dengan umur ekonomi 10 tahun, sehingga penyusutan dapat
diperhitungkan sebesar Rp 126.650 per tahun per ha. Harga sewa traktor yang Rp
berlaku di lokasi ini adalah Rp 1.200.000 per ha. Analisis finansial usaha traktor
tangan di lokasi kajian disajikan pada Tabel 13. Total biaya usaha jasa traktor
tangan adalah Rp 721.650, komponen biaya terbesar adalah biaya operator dan
penyusutan. Dari penerimaan sewa sebesar Rp 1.200.000 per ha maka keuntungan
yang diperoleh dari usaha penyewaan traktor tangan adalah Rp 478.350, dengan
R/C rasio sebesar 1,66. Kondisi ini dianggap cukup menguntungkan.
19
Tabel 13. Struktur ongkos dan sewa traktor tangan di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat)
Nilai
(Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 9,70
1.2. Oli dan pelumas 75.000 10,39
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 50.000 6,93
1.4. Penyusutan 126.650 17,55
1.5. Operator 400.000 55,43
1.6.Total 721.650 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan 478.350
4 R/C rasio 1,66
Secara umum dapat dikemukakan bahwa dalam mendukung pertanian
modern, kehadiran alat untuk pengolahan lahan sangatlah penting. Traktor telah
lama penggunaannya secara luas di masyarakat, sehingga usahanya cukup
menguntungkan. Namun traktor besar belum lama diperkenalkan, walaupun
demikian petani sangat menyukainya karena dapat bekerja lebih cepat. Kapasitas
kerja traktor roda–4 (TR4) di UPJA Semangat adalah 2,5 ha per hari, luas lahan 1
(satu) ha bisa dikerjakan dalam waktu 4 jam.
Tabel 14. Struktur ongkos dan sewa traktor roda - 4 di UPJA Semangat Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/ha)
No. Komponen Satuan Volume
Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 12 7.000 84.00 10,01
1.2. Oli dan pelumas
70.000 8,34
1.3. Pemeliharaan dan perawatan Unit 71.250 8,49
1.4. Penyusutan - 213.750 25,48
1.5. Operator - 400.000 47,68
1.6.Total - 839.000 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 1.200.000 1.200.000
3 Keuntungan - 361.000
4 R/C rasio 1,43
20
Saat ini TR-4 yang dikelola UPJA Semangat baru bisa bekerja sebanyak 48
hari per tahun. Dari struktur ongkos penyewaan TR-4 pada Tabel 14, total biaya
penyewaan TR-4 adalah Rp 839.000, komponen biaya terbesar adalah untuk
operator (47,68%) dan biaya penyusutan (25,48%). Dengan pendapatan dari sewa
sebesar Rp 1.200.000 per ha, diperoleh keuntungan Rp 361.000 per ha dengan R/C
rasio 1,43. Upaya meningkatkan kinerja usaha traktor yang dilakukan oleh UPJA
masih memungkinkan di wilayah UPJA tersebut atau di desa sekitar kecamatan
domisili UPJA tersebut. Membangun jaringan kerja merupakan upaya untuk
meningkatkan pengembangan UPJA, sehingga kapasitas alat dapat ditingkatkan.
Analisis Usaha Transplanter pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap UPJA Desa Bojong memiliki 3 unit transplanter yang diusahakan untuk
melayani penanaman padi pada lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui
kelayakan usaha transplanter ini, maka berikut analisis finansial usaha transplanter.
Sesuai dengan data dan spesifikasi transplanter kelompok UPJA yaitu sebagai
berikut: (a) situasi dan kondisi ketebalan lumpur yang ada di sawah desa Bojong,
sehingga luas layanan yaitu 11 hektar sawah layanan per musim per unit
transplanter, (b) harga transplanter adalah Rp 75 juta, (c) umur ekonomis
transpalnter adalah 10 tahun dan masa tanam adalah 2 kali per tahun, yaitu periode
waktu tanamanya 20-30 hari dalam 2 kali musim tanam, (d) Nilai sisa transplanter
setelah 10 tahun adalah 10% (Rp 7,5 juta) dan (e) harga sewa transplanter sebesar
Rp 1,4 juta/ha. Berikut pada Tabel 2 disajikan analisis finansial usaha transplanter di
lokasi kajian.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa transplanter
Rp 1,4 juta/ha, total biaya usaha jasa transplanter senilai Rp 868 ribu/ha atau
sebesar 61,975% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha traktor sebesar Rp
532 ribu/ha atau sekitar 38,03% dari penerimaan serta perolehan R/C rasio sebesar
1,61. Komponen terbesar dari biaya usaha traktor adalah biaya penyusutan
mencapai 22,53% dari total penerimaan dan biaya pengadaan benih dan
pengerjaannya mencapai 15,82%, sedangkan operator adalah urutan ketiga yaitu
sebesar 15% (Tabel 15).
21
Tabel 15. Struktor ongkos dan sewa transplanter di UPJA Desa Bojong Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat)
Nilai (Rp) Pangsa
(%)
1 Biaya penyediaan Benih :
1.1. Benih Padi kg 24,5 7.000 171.500 12,25
1.2. Tenaga pembenihan HOK 1 50.000 50.000 3,57
2 Biaya:
-
2.1. BBM liter 7,00 7.400 51,800 3.70
2.2. Oli:
-
a. Mesin liter 0,05 30.000 1.500 0,11
b. Hidroulik liter 0,05 40.000 2.000 0,14
c. Gemuk/stempet kg
2,493 0,18
2.3. Spare part & service unit
62.843 4,49
2.4. Penyusutan -
315.421 22,53
2.5. Operator -
210.000 15,00
2.7.Total -
867.556 61,97
3 Pendapatan dari Sewa ha 1,00 1.400.000 1.400.000 100,00
4 Keuntungan -
532.444 38,03
5 R/C rasio
1,61
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, sebenarnya luas lahan layanan yang
dengan hanya 11 hektar itu sangat kurang memadai, karena pengembalian
investasi transplanter harus dicapai maksimal sesuai dengan jangka usia
ekonomisnya. Idealnya untuk pengembalian yang lebih cepat yaitu 5 tahun, luasan
arela yang dilayani transplanter minimal mencapai BEP adalah sekitar 19 ha/musim
tanam. Kendala utama pengembangan Transplanter secara umum di Kabupaten
Cilacap adalah: (a) jenis dan kondisi lahan yang memungkinkan digunakan
transplanter pada MH dan MK, (2) retensi tenaga kerja manual tanam masih cukup
tinggi, karena mereka mengharapkan keikutsertaan dalam panen. Upaya untuk
memperpendek pengembalian investasi, maka UPJA telah mengembangkan wilayah
layanan penanam sampai ke daerah lain.
Secara umum pada penggunaan alat transplanter dalam rangka mendukung
pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman sangatlah
penting. Namun, jumlah alat trasplanter masih terbatas jumlahnya, sehingga rasio
luas lahan untuk diolahnya terhadap alat transplanter di lokasi kajian masih besar,
artinya peluang pengembangan alat mekanisasi transplanter masih sangat besar.
Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan alat transplanter dan juga
kelembagaan pengelolaannya masih perlu terus ditingkatkan.
22
Untuk kasus UPJA di Kelurahan Appanang, transplanter belum diusahakan,
beberapa petani yang menggunakan kebanyakan petani anggota Gapoktan/Keltan
yang hanya meminjam dimana biaya operasional seperti BBM dan operator
ditanggung sendiri oleh petani yang meminjam alat tanam tersebut. Hal ini karena
transplanter merupakan alsintan yang masih relatif baru diperkenalkan di Kelurahan
Appanang.
Analisis Usaha Power Tresher pada kelompok UPJA Desa Bojong
Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 5 unit power tresher yang diusahakan untuk
melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk mengetahui kelayakan
usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha power tresher. Sesuai
dengan data dan spesifikasi power tresher yang dimiliki UPJA adalah sebagai
berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang penetapan wilayah power tresher
yaitu seluas 15 hektar sawah layanan per unit power tresher, (b) harga power
tresher adalah Rp 12 juta/unit, (c) umur ekonomis power tresher adalah sekitar 8-10
tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana periode kerja tresher dalam
satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21 hari), (d) Nilai sisa power tresher
setelah 8-10 tahun adalah Rp 1,2 juta (10%) dan (e) harga sewa power tresher
sebesar Rp 720 ribu/ha. Pada Tabel 16 disajikan analisis finansial usaha power
tresher di lokasi kajian di Kabupaten Cilacap.
Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa dengan nilai sewa power
tresher Rp 720 ribu/ha, total biaya usaha jasa power tresher senilai Rp 263 ribu/ha
atau sebesar 36,59% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha power tresher
sebesar Rp 457 ribu/ha atau sekitar 63,41% dari penerimaan serta perolehan R/C
rasio sebesar 2,73. Komponen terbesar dari biaya usaha power tresher adalah biaya
operator mencapai 16,67% dari total penerimaan dan penyusutan mencapai 6,25%.
Pada kegiatan usaha jasa power tresher ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan power tresher harus membayar (mengeluarkan)
sebanyak 25 kg per setiap 1 ton hasil panen. Dari hasil tersebut, maka UPJA harus
mengalokasikan 1/7 untuk bagian operator dan yang membantu operasional power
tresher dan sisanya untuk bagian UPJA tersebut.
23
Tabel 16. Struktor ongkos dan sewa power tresher di UPJA Desa Bojong Cilacap,
2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 3,57 7.400 26.418 3,67
1.2. Oli: 0,00
a. Mesin Liter 0,714 30.000 21.429 2,98
b. Gardan Liter 0,5 30.000 15.000 2,08
c. Gemuk/stempet Kg 15.000 2,08
1.3. Spare part & service Unit 20.605 2,86
1.4. Penyusutan - 45.000 6,25
1.5. Operator - 120.000 16,67
1.7.Total - 263.452 36,59
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 720.000 720.000 100,00
3 Keuntungan - 456.548 63,41
4 R/C rasio 2,73
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
power tresher saat ini sekitar 15 yang dinilai masih kurang memadai. Idealnya area
layanan power tresher seluas 30 ha/musim. Namun bila dianalisis secara
keseluruhan dengan terdapatnya power tresher yang masuk dari daerah lain, kondisi
power tresher saat ini tidak dikeluhkan kekurangan oleh petani disaat panen padi.
Saat ini, kegiatan panen padi sawah di Cilacap sebagian besar menggunakan power
tresher, dan sebagian kecil sesuai dengan kondisi dan kesesuaian lahannya telah
menggunakan alat panen mini combine harvester.
Secara umum pada penggunaan alat panen power tresher dalam rangka
mendukung pertanian dapat dikemukakan bahwa kehadiran alat untuk penanaman
sangatlah penting. Jumlah alat power tresher di lokasi kajian Desa Bojong memang
masih kurang, namun dalam lingkup Kabupaten keberadaan alsintan ini sudah
cukup. Dengan demikian, upaya meningkatkan pengadaan power tresher secara
khusus dapat disediakan pada daerah yang masih membutuhkannya, atau melalui
relokasi/optimalisasi penggunaan alsintan power tresher dari wilayah yang cukup ke
wilayah yang masih kekurangan.
24
Analisis Usaha Combine Harvester pada kelompok UPJA Desa Bojong Kecamatan Kawunganten- Cilacap
UPJA Desa Bojong memiliki 4 unit power mini Combine Harvester yang
diusahakan untuk melayani pengolahan lahan petani di desa Bojong. Untuk
mengetahui kelayakan usaha ini, maka berikut disajikan analisis finansial usaha
power tresher. Sesuai dengan data dan spesifikasi Combine Harvester yang dimiliki
UPJA adalah sebagai berikut: (a) Sesuai rapat kelompok UPJA tentang wilayah yang
memungkin kondisi lahannya dpat dilayani dalam panenya oleh Combine Harvester
adalah bisa seluas 50 hektar sawah layanan per unit Combine Harvester, (b) harga
mini Combine Harvester adalah Rp 240 juta/unit, (c) umur ekonomis Combine
Harvester adalah sekitar 10 tahun dan masa panen adalah 2 kali per tahun dimana
periode kerja Combine Harvester dalam satu kali musim panen sekitar 3 minggu (21
hari), (d) Nilai sisa Combine Harvester setelah 10 tahun adalah Rp 24 juta (10%)
dan (e) harga sewa Combine Harvester sebesar Rp 2,97 juta/ha. Pada Tabel 17
disajikan analisis finansial usaha Combine Harvester di lokasi kajian.
Tabel 17. Struktor ongkos dan sewa Mini Combine Harvester di UPJA Desa Bojong
Cilacap, 2015
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa (%)
1 Biaya:
1.1. BBM Liter 7,00 6.900 48.300 1,63
1.2. Oli:
a. Mesin Liter 0,37 30.000 11.100 0,37
b. Gardan Liter 0,25 30.000 7.500 0,25
c. Gemuk/stempet Kg 5.000 0,17
1.3. Spare part & service Unit 112.000 3,77
1.4. Penyusutan - 78.000 2,63
1.5. Operator - 1.600.000 53,85
1.7.Total - 1.861.900 62,66
2 Pendapatan dari Sewa Ha 1 2.971.429 2.971.429 100,00
3 Keuntungan - 1.109.529 37,34
4 R/C rasio 1,60
Sumber : Data Hasil Wawancara dengan Ketua UPJA, 2015
25
Data pada Tabel 17 menunjukkan bahwa dengan nilai sewa Combine Harvester
Rp 2,97 juta/ha, total biaya usaha jasa Combine Harvester senilai Rp 1,86 juta/ha
atau sebesar 62,66% terhadap penerimaan, dan keuntungan usaha Combine
Harvester sebesar Rp 1,11 juta/ha atau sekitar 37,34% dari penerimaan serta
perolehan R/C rasio sebesar 1,60. Komponen terbesar dari biaya usaha Combine
Harvester adalah biaya operator mencapai 53,85% dari total penerimaan, biaya
spare part sekitar 3,77% dan penyusutan hanya mencapai 2,63%.
Pada kegiatan usaha jasa Combine Harvester ini (UPJA), setiap petani yang
menggunakan jasa panen alsintan Combine Harvester harus membayar
(mengeluarkan) dengan sistem 1:7, yaitu jika mendapat 7 ton hasil panen maka
Combine Harvester memperoleh 1 ton bagian. Dari bagian Combine Harvester
tersebut, sekitar 35% dialokasikan untuk operator dan yang membantu operasional
Combine Harvester dan sisanya 65% untuk bagian UPJA tersebut.
Menurut informasi dari kelompok UPJA, bahwa rataan luas lahan layanan
Combine Harvester sekitar 50 ha. Ideal combine harvester tercapai kondisi impas
minimal dapat melakukan kegiatan panen rata-rata sekitar 35 ha/tahun. Adapun
alasan masih rendahnya penggunaan combine harvester pada sistem panen di lokasi
kajian disebebkan oleh: (a) jumlah combine Harvester masih terbatas, dimana UPJA
baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan, terutama pada MT-I tidak memungkinkan
menggunakan combine harvester, dan (c) masih adanya retensi dari tenaga kerja
panen yang masih cukup tinggi, sehingga UPJA tidak terlalu bersemangat untuk
menggunakan Combine Harvester, walaupun untuk memperoleh Combine harvester
cukup mudah baik dengan cara sewa atau pembelian melalui kredit.
Selain itu, masih terbatasnya penggunaan combine harvester di Kabupaten
Cilacap antara lain disebabkan kondisi lahan yang ada, dan harga combine harvester
pun cukup mahal sekitar Rp 280 juta/unit untuk ukuran 60 PK. Combine harvester
tidak bisa digunakan bila kondisi lahannya adalah lahan basah dengan kedalaman >
20 cm dan kondisi tanah di bawahnya lembek. Untuk mengoptimalkan peran mesin
harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke
Sumatera. Oleh karena itu, dalam kegiatan panen padi sawah di Cilacap masih
sangat kecil menggunakan alat panen combine harvester. Kedepan penggunaan
26
combine harvester dapat ditingkatkan menjadi dua kali lipat dibandingkan dengan
jumlah yang ada saat ini.
Analisis Usaha Combine Harvester Pada UPJA Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng.
Pengusahaan combine harvester cukup baik di Kelurahan Appanang, karena
dianggap bisa mengatasi masalah panen. Kurangnya tenaga kerja akibat persaingan
dengan usaha perkebunan, dimana upah pada usaha perkebunan lebih besar
daripada upah usahatani padi, menyebabkan combine harvester sangat dibutuhkan.
Analisis finansial pengusahaan combine harvester di Kelurahan Appanang, diperoleh
R/C rasio sebesar 2,30, berarti usaha tersebut cukup menguntungkan. Hal ini
didukung oleh pernyataan pengurus UPJA bahwa keuntungan UPJA terutama
diperoleh dari usaha penyewaan combine harvester. Komponen biaya terbesar
(64,72%) adalah upah operator, yang biasanya terdiri dari 5–6 orang sebesar Rp
720.000. Keuntungan yang diperoleh adalah Rp 1.443.000 per ha (Tabel 18).
Tabel 18. Struktur ongkos dan sewa combine harvester di UPJA Semangat Kelurahan
Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten Soppeng, 2015 (Rp/Ha)
No. Komponen Satuan Volume Harga
(Rp.sat) Nilai (Rp)
Pangsa
(%)
1 Biaya:
1.1. BBM liter 10 7.000 70.000 6,29
1.2. Oli dan pelumas 12.500 1,12
1.3. Pemeliharaan dan perawatan 100.000 8,99
1.4. Penyusutan 210.000 18,88
1.5. Operator 720.000 64,72
1.6.Total 1.112.500 100,00
2 Pendapatan dari Sewa ha 1 2.556.000 2.556.000
3 Keuntungan 1.443.500
4 R/C rasio 2,30
Wilayah pengusahaan combine harvester saat ini masih terbatas di sekitar
Kelurahan Appanang. Kapasitas bisa diperluas dengan membangun jaringan kerja
dengan petani di wilayah lain yang waktu panennya sedikit berbeda dengan wilayah
Kelurahan Appanang. Kapasitas kerja combine harvester UPJA Semangat Kelurahan
27
Appanang baru mencapai 60 hari kerja per tahun untuk melayani hamparan sawah
di Kelurahan Appanang. Dengan kecepatan kerja 5 jam per ha dalam sehari bisa
melayani 2 ha sehingga dalam 1 tahun bisa melayani kira-kira 120 ha. Biaya sewa
diperhitungkan dengan natura yaitu 1 karung gabah per 10 karung yang berhasil di
panen. Produksi gabah per hektar rata-rata 90 karung GKP dengan harga gabah Rp
3.550/kg. Setelah diperhitungkan dengan rupiah, pendapatan dari sewa adalah Rp
2.556.000 per ha. Harga combine harvester yang diusahakan UPJA Kelurahan
Appanang adalah Rp 280 juta, dengan umur ekonomis 10 tahun.
3.2.Analisis Kelembagaan Pengelolaan Alsintan
3.2.1.Peran Kelembagaan Agribisnis Padi
Kelembagaan agribisnis padi dapat mencakup kelembagaan penyediaan input,
kelembagaan pengelolaan usahatani, panen dan pasca panen. Pada pengelolaan
usahatani pada daerah yang mendapat pelayanan Usaha Pengelolaan Jasa Alsintan
(UPJA) sepenuhnya dilaksanakan oleh petani. Hanya saja petani menggunakan jasa
Alsintan untuk melakukan pengolahan tanah, penanaman, dan pemanenan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa total luas lahan sawah di lokasi
kajian Desa Bojong, Kecamatan Kawunganten mencapai 921 hektar, yang
mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas 531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha,
dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha. Pada lokasi tersebut, penanaman lahan
seluruhnya menggunakan jasa traktor yang ada di desa tersebut. Jumlah traktor
keseluruhan terdapat 72 unit dimana 10 diantaranya adalah milik UPJA. UPJA
melakukan inisiatif melakukan pertemuan/rembugan diantara para pemilik
transplanter perorangan yang dihadiri oleh seluruh aparat desa termasuk Babinsa
untuk menetapkan Perdes (Peraturan Desa) tentang pengaturan luas maksimal
pelayanan untuk masing-masing traktor yang ada di Desa Bojong. Diantara
keputusan yang dibuat adalah: (a) menetapkan luas maksimal pelayanan masing-
masing traktor yaitu berkisar antara 10-12 hektar per unit traktor. Hal ini dengan
mempertimbangkan jadwal pengaturan air, jadwal tanam, dan jumlah traktor, (b)
menetapkan besaran biaya atau upah traktor untuk pengolahan tanah sampai siap
tanam, dimana untuk tahun 2014/2015 ditetapkan sebesar Rp 900.000 per hektar,
yang tidak dibedakan antara musim MT-I (MH) dengan MT-II (MK1), dan (c)
28
menetapkan larangan adanya traktor dari luar daerah/desa untuk melakukan
pengolahan lahan sawah di Desa Bojong, hal ini tentu dengan memperhatikan
bahwa jumlah traktor di desa ini sudah melebihi luas areal yang ideal untuk satu unit
traktor, yaitu idealnya adalah 15-20 hektar per musim.
Secara sosiologis, penggunaan traktor di desa ini sudah sangat diterima dan
bahkan terindikasi kelebihan alat traktor. Hal yang mendasari bahwa masyarakat
bahwa traktor ini diterima secara social adalah : (a) ketersediaan tenaga kerja untuk
mengolah sudah kurang, bahkan untuk tanaga kerja muda sudah tidak ada, karena
opportunity cost tenaga kerja di luar sektor pertanian lebih tinggi dan lebih
bergengsi, (b) waktu yang dibutuhkan dalam pengolahan lahan sangat cepat untuk
mengejar jadwal tanam, sehingga yang memungkinkan adalah dengan
menggunakan traktor, (c) lebih efisien bagi sisi pemilik lahan, dan (d) tidak ada
ketergantungan, karena traktor setiap saat senantiasa stand by.
Sementara terkait dengan mengadaan input seperti benih, pupuk dan pestisida.
Untuk benih dan pestisida petani dapat melakukan dua pilihan yaitu langsung
membeli ke kios saprotan atau dapat juga memperoleh melalui kelompok atau
gapoktan. Bagi petani yang langsung membelinya ke kios saprotan adalah petani
yang memiliki sumberdaya modal yang cukup, yang memang harganya lebih murah
namun harus dibayar secara tunai. Sementara petani yang kurang mampu biasanya
memperoleh dari Kelompok tani atau Gapoktan, dimana pembayarannya adalah
dengan cara di bayar setelah panen, namun konsekuensinya harga diperhitungkan
berbeda (sedikit lebih mahal). Selanjutnya untuk memperoleh pupuk hampir
seluruhnya memperoleh melalui kelompok atau gapoktan, karena perencanaan
pengadaan dan perolehan pupuk menyesuaikan dengan RDKK yang sudah di
rencanakan dan dikelola oleh kelompok. Bagi petani keberadaan kelompok atau
gapoktan sangat menolong, terutama jika terjadi musibah serangan OPT dan
kekeringan. Dengan kondisi kegagalan panen, maka akan ada penangguhan
pembayaran sarana produksi ke kelompok atau gapoktan, yang didalamnya juga
merupakan kelompok UPJA.
Selain itu, pada UPJA juga tersedia pelayanan jasa tanam dengan alat
transplanter. Pada pengelolaan usahatani khususnya adalah pengadaan benih padi,
maka ketersedian benih dengan mempertimbangkan varietas, ketepatan, dosis benih
29
sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini disebabkan, ketika petani menggunakan
jasa transplanter, maka pengadaan benih dan persemaiannya tidak mungkin
dilakukan oleh petani, akan tetapi dipenuhi oleh pemilik UPJA. Sistem persemaian
dengan menggunakan transplanter memerlukan keahlian yang cukup memadai atau
berbeda dengan sistem persemaian tapin (tanam pindah). Dengan demikian adopsi
inovasi khususnya penggunaan varietas unggul dan efisiensi penggunaan benih padi
menjadi sangat ideal jika menggunakan transplanter. Namun disayangkan
penggunaan transplanter memiliki keterbatasan terutama pada MT-I (MH), sehingga
dari 921 hektar sawah hanya baru sekitar sekitas 50 hektar saja yang menggunakan
jasa transplanter. Pada saat MH, penggunaan transplanter terkendala oleh
kedalaman lumpur sawah. Disamping itu, untuk jasa tanam masih bersaing dengan
kelompok tanam manual, dimana pada kondisi saat ini masih mengharapkan
lapangan pekerjaan untuk kegiatan tanam tersebut. Hal ini mengingat, aktivitas
kegiatan tanam yang dilakukan secara manual berkaitan dengan kesempatan
memanen hasil padi yang ditanamnya.
Penyediaan benih yang berkualitas pada petani atau sawah yang sudah
mendapat palayanan jasa transplanter dapat dilakukan oleh UPJA dan menjadi
bagian usaha UPJA dalam penyediaan benih. Pada luasan 50 hektar, UPJA dapat
melakukan penangkaran benih dari label biru untuk dijadikan label ungu, sehingga
kualitas benih dapat terkontrol, atau UPJA dapat menyesuaikan penggunaan varietas
sesuai dengan perkembangan pasar gabah dan mempertimbangkan eksplosif hama
penyakit. Jumlah benih yang digunakan per hektarnya pun juga dapat dikontrol,
sehingga menjadi lebih efisien dan pertumbuhan anakan akan menjadi lebih baik.
Selain itu, bagi petani yang penggunaan jasa transplanter lebih cepat dan lebih
murah dibanding dengan harus menggunakan jasa tanam manual. Upaha jasa
tanam manual cukup mahal yaitu Rp 45.000 per hari, sedangkan jika dengan
pelaksanaan borongan 16 orang x Rp 45.000. Pada tanam manual, petani juga harus
menyiapkan benih dan pengolahan perbenihan sendiri.
Pada kelembagaan pengelolaan panen, di lokasi kajian Desa Bojong Kecamatan
Kawunganten sebagian besar masih menggunakan panen sistem manual, dimana
panen menggunakan tenaga rombongan sekitar 10-15 orang dengan menggunakan
sabit dan dirontokan dengan menggunakan power thresher. Adapun upah yang
30
diberikan adalah 1/7 bagian pemanen, dan 6/7 bagian pemilik lahan sawah. Pada
bagian 1/7 tersebut, sekitar 25 kg per bau (1 bau= 0,714 ha) diberikan untuk biaya
thresher.
Pada luasan sawah yang terdapat di Desa Bojong, masih terdapat sekitar 750
hektar sistem panennya menggunakan manual. Adapun alasan masih tingginya
luasan lahan sawah dengan sistem panen manual adalah: (a) jumlah combine
Harvester masih terbatas, dimana UPJA baru memiliki 3 unit, (b) kondisi lahan,
terutama pada MT-I tidak memungkinkan menggunakan combine harvester, dan (c)
masih adanya retensi dari tenaga kerja panen yang masih cukup tinggi, sehingga
UPJA tidak terlalu bersemangat untuk menggunakan Combine Harvester, walaupun
sebenarnya untuk memperoleh Combine harvester cukup mudah baik dengan cara
sewa atau pun pembelian melalui kredit. Untuk mengoptimalkan peran mesin
harvester, UPJA telah melakukan ekspansi lokasi panen ke luar Jawa yaitu ke
Sumatera.
Sementara itu, pada kegiatan panen manual sesungguhnya juga terdapat
kendala yang dihadapi petani, yaitu: (a) kehilangan hasil masih relatif tinggi, karena
ada ”moral hazard” dimana ada kelompok panen yang terkadang diantaranya juga
sebagai pemilik bebek, sehingga gabah banyak tercecer dan malai juga masih
banyak yang tidak terpanen, (b) pengerjaannya lebih lama, (c) jaminan ketersediaan
tenaga penen tidak terjamin, dan (d) biaya panen relatif lebih mahal.
Selanjutnya pada kelembagaan pengelolaan pemasaran hasil, sebagian besar
petani biasanya menjual hasilnya dalam bentuk gabah kering panen (GKP), setelah
mereka menyisihkan gabah untuk keperluan rumah tangganya. Penjualan gabah
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dijual ke kelompok tani atau UPJA, atau juga
petani dapat menjual gabahnya ke para tengkulak.
Gabah yang dibeli kelompok tani/UPJA selanjutnya dijual sesuai permintaan
gabah dari BULOG Kabupaten Ciamis. BULOG biasanya membeli gabah sesuai
persyaratan/spesifikasi tertentu yang harus dipenuhi kelompok tani/UPJA, dan
biasanya volumenya telah ditentukan. Harga gabah yang diterima UPJA berbeda
antara musim MT-I dan MT-II, pada MT-II harga gabah mencapai Rp 4.200/kg dan
pada MT-I hanya sekitar Rp. 3.800/kg. Pada kedua musim tersebut, harga gabah di
masyarakat umumnya berada di atas harga patokan pembelian Pemerintah,
31
sehingga pemerintah untuk pengadaan stok gabah otomatis harus membeli dengan
harga yang sama dengan harga yang terdapat di masyarakat.
Cukup berkembangnya UPJA Sido Dadi tidak terlepas dari keaktifan dan
soliditas pengurus UPJA terutama Ketuanya. Jumlah pengurus UPJA sebanyak 4
orang, dan anggota melingkupi petani di Desa Bojong. Luas Lahan sawah di Desa
Bojong mencapai 921 hektar, yang mencakup: lahan pemilikan perorangan seluas
531 ha, lahan bengkok seluas 100 ha, dan lahan Perhutani (sawah) seluas 290 ha.
Tabel 19 menyajikan informasi tentang keragaan agribisnis padi di kedua lokasi
studi, yakni di dua kabupaten contoh Kabupaten Cilacap (Jateng) dan Kabupaten
Soppeng (Sulsel). Sistem agribisnis yang dideskripsikan disini dibatasi hanya pada
konteks penggunaan alat dan mesin pertanian pada keseluruhan prosesnya, dari
hulu sampai ke hilir.
Tabel 19. Keragaan agribisnis padi dalam penggunaan alat dan mesin pertanian
pada kedua lokasi studi, 2016
Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap
Kabupaten Soppeng
1. Pengolahan tanah
Umumnya sudah
menggunakan traktor, kecuali di daerah tanah kering dataran tinggi dan wilayah
rawa
Umumnya sudah menggunakan
traktor
2. Pasokan air irigasi Pada daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan
sebagian menggunakan pompa air permukaan.
Daerah irigasi menggunakan air permukaan, sedangkan sebagian menggunakan pompa air
permukaan.
3. Penanaman Seluruhnya masih tanam
menggunakan tenaga penanam berupa rombongan tanam
Sudah mulai menggunakan
transplanter, walaupun baru sebagian kecil.
4. Pemotongan batang
padi
Umumnya menggunakan
sabit, combine harvester baru berjalan pada 1-2 desa
Menggunakan sabit. Combine
harvester sudah banyak digunakan terutama di Kecamatan Liliriaja.
5. Perontokan Menggunakan tresher dan
perontokan secara manual. Hanya wilayah Cilacap bagian Timur yang bisa
menggunakan combine harvester, sedangkan bagian
Barat yang merupakan
Combine harvester sudah banyak
digunakan, karena terbatasnya tenaga kerja.
32
Aspek agribisnis Kabupaten Cilacap
Kabupaten Soppeng
dataran tinggi dengan lahan sempit-sempit lebih senang
menggunakan tresher. 6. Pengeringan gabah Umumnya menggunakan
sinar matahari. Beberapa alat pengering yang dimiliki
masyarakat dan Bulog belum berfungsi.
Dijemur dibawah sinar matahari
7. Penggilingan padi Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik
penggilingan kecil maupun besar.
Seluruhnya sudah menggunakan huller, baik penggilingan kecil
maupun besar.
Jika dibandingkan dengan konsep Pertanian Modern sebagaimana
diprogramkan oleh Kementerian Pertanian, sebagian subsistem telah sejalan dan
sebagian belum. Dalam konsep Pertanian Modern oleh Kementan, semestinya semua
sub sistem dijalankan dengan alat dan mesin pertanian.
Dalam buku “Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern
Tahun 2015” (Ditjen Sarana dan Prasarana, 2015), disebutkan bahwa mulai tahun
2014 telah dilaksanakan Kegiatan Percontohan Pertanian Modern di 3 (tiga)
kabupaten pada 2 (dua) provinsi. Sementara pada tahun 2015 kegiatan diperluas
di 15 kabupaten pada 8 (delapan) provinsi. Kegiatan Percontohan Pertanian Modern
adalah kegiatan usaha tani yang dilaksanakan dengan penerapan mekanisasi
pertanian dengan pemanfaatan bantuan kegiatan peningkatan kemampuan UPJA
dalam bidang pelayanan jasa alsintan mulai kegiatan pengolahan tanah, penanaman
bibit sampai dengan panen dengan cakupan pelayanan seluas minimal 100 ha.
Sesuai dengan MOU Kementan dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh
Indonesia (APPSI) tahun 2014, kegiatan Percontohan Pertanian Modern seluas
minimal 100 Ha di masing-masing Provinsi. Dalam skema ini, peran serta kelompok
tani/Gapoktan dan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) merupakan komponen
penting.
Dengan demikian, dari 7 (tujuh) subsistem produksi padi/gabah sebagaimana
pada tabel di atas, tingkat penerapan pertanian modern di Kabupaten Cilacap secara
umum telah berada pada kondisi sedang. Sebagian subsistem telah dijalankan
dengan alsintan sedangkan sebagian belum (Tabel 20).
33
Tabel 20. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Cilacap, 2016
Tingkat
mekanisasi dan
kegiatan
Karakteristik
Tinggi
1.Penggilingan
padi
Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,
meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.
2.Pengolahan
tanah
Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa
traktor roda dua. Jumlah traktor roda 2 sudah berlebih,
sehingga under capacity, dimana masing-masing alat hanya
beroperasi maksimal 15 ha per MT. Traktor roda 4 kurang
sesuai dengan wilayah Cilacap dimana banyak lahan sawah
sempit-sempit dengan format pematang yang tidak sejajar,
terutama di dataran tinggi.
Sedang
3.pemenuhan air
irigasi
Sebagian areal sawah mengandalkan pompa, sementara
sebagian besar menggunakan air irigasi. Mesin pompa yang
digunakan merupakan pompa portable dengan ukuran kecil.
4.Perontokan
gabah
umumnya menggunakan tresher, namun di sebagian wilayah
masih secara manual dengan dipukulkan ke kayu. Baru 1 alat
combine harvester yang sudah diperasikan dari 29 unit alat yang
sudah ada saat ini
Rendah
5.Penanaman Baru 1-2 unit alat transplater yang sudah dioperasikan, dari 46
unit total alat trasnplanter tahun 2016.
6.pemotongan
batang padi
Umumnya menggunakan sabit secara manual, yang
dikombinasikan dengan perontokan dengan tresher. Pemanenan
dilakukan regu pemanen baik yang disewa oleh pemilik tanah
atau buruh yang dibawa pedagang pengumpul.
7.Pengeringan
gabah
Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi
kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang
ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.
34
Tabel 21. Tingkat penerapan mekanisasi agribisnis padi di Kabupaten Soppeng, 2016
Tingkat
mekanisasi dan
kegiatan
Karakteristik
Tinggi
1.Penggilingan
padi
Seluruh hasil panen sudah seluruhnya menggunakan huller,
meskipun tingkat teknologi hullernya beragam.
2.Pengolahan
tanah
Sudah semua sawah menggunakan traktor, umumnya berupa
traktor roda dua. Traktor roda 4 sudah mulai digunakan
Sedang
3.pemenuhan air
irigasi
Sebagian areal sawah sebagian besar menggunakan air irigasi,
tetapi ada sebagian yang menggunakan pompa air.
4.Panen dan
perontokan
Umumnya sudah menggunakan combine harvester. Hanya
daerah berbukit yang masih menggunakan sabit dan power
thesher.
Rendah
5.Penanaman Rice transplanter baru diperkenalkan, baru beberapa kelompok
tani yang menggunakan
6. Pengeringan
gabah
Seluruhnya menggunakan sinar matahari. Pengeringan menjadi
kendala di musim penghujan, sedangkan alat pengering yang
ada, baik bantuan Pemda ataupun milik Bulog, tidak beroperasi.
Penggunaan alsin khususnya traktor roda 2 (hand tractor) sudah merupakan
hal yang biasa bagi petani setempat. Combine harvester sudah digunakan oleh
petani di sekitar lokasi percontohan karena kekurangan tenaga panen. Rice
transplanter merupakan hal baru namun itu pun sudah pernah dilihat di desa lain.
Hanya traktor roda 4 yang benar-benar baru bagi petani setempat. Awalnya petani
setempat ragu untuk menggunakannya, karena hasil bajakannya berupa bongkahan-
bongkahan besar. Namun setelah dipraktikkan, membajak dengan traktor roda 4
dan diikuti dengan roda 2 dan hasilnya berupa lahan yang siap tanam, maka petani
35
mulai tertarik untuk menggunakan traktor roda 4 (satu paket dengan TR2). Adopsi
penggunaan traktor roda 4 juga didukung oleh fakta bahwa pekerjaan mengolah
tanah bisa dilakukan secara lebih cepat dibandingkan dengan traktor roda 2, dari
biasanya 3 hari kerja/ha menjadi 4 jam/ha. Alsin yang belum dimiliki oleh UPJA
adalah Rice Milling Unit (RMU).
3.2.2.Kelembagaan Pengelolaan Alsintan
Kelembagaan pengelolaan alsintan di Kabupaten Cilacap tidak terlepas dari
kelembagaan UPJA sesungguhnya telah lama berkembang. Kelembagaan UPJA
berkembang sejak dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman
Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian.
Dengan dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah khususnya di Cilacap
diberi mandat untuk membina dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya
masing-masing, sehingga UPJA tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang
profesional.
UPJA merupakan lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang
pelayanan jasa dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian
untuk mendapatkan keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/
gapoktan. Latar belakang kegiatan penumbuhan dan pengembangan UPJA ini antara
lain adalah: (1) masih kurang optimalnya kepemilikan alsintan oleh petani, (2) masih
rendahnya tingkat penguasaan informasi dan teknologi dalam pengelolaan
mekanisasi pertanian, dan (3) terdapatnya indikasi penurunan daya dukung lahan
pertanian. Sementara tujuan penumbuhan dan pengembangan UPJA adalah untuk
mendorong pengembangan dan kemajuan kinerja UPJA, mengoptimalkan
pemanfaatan alsintan dari aspek teknis, ekonomis, organisasi dan aspek penunjang.
UPJA mempunyai fungsi sebagai pelayanan jasa alsintan dalam penanganan
budidaya (penyiapan lahan, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan,
perlindungan tanaman), pelayanan pengolahan hasil pertanian (jasa pemanenan,
perontokan, pengeringan dan penggilingan padi), dan secara luas mendorong
pengembangan produk dalam rangka peningkatan nilai tambah yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan petani. Ke depannya pengembangan UPJA
meliputi berbagai subsistem yaitu Kelembagaan UPJA, Penyediaan alsintan, suku
36
cadang, pelayanan, perbaikan, perbengkelan, pengguna jasa alsintan (kelompok
tani, gapoktan, P3A), Permodalan dan pendanaan, Pembinaan dan pengendalian
oleh instansi.
Pengembangan mekanisasi di Jawa Tengah (Jateng) dan khususnya di
Kabupaten Cilacap didukung tumbuhnya bengkel alat mesin pertanian (alsintan).
Data pda tahun 2013, di Jawa Tengah telah terdapat 11 bengkel alsintan yang
dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin
Jawa Tengah. Bengkel alsin mulai berkembang karena semakin banyak petani yang
menggunakan alsintan untuk menggarap lahan pertaniannya, antara lain
penggunaan traktor untuk mengolah lahan pertanian.
Kegiatan yang dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada
perbaikan alsintan saja melainkan merancang teknologi alsintan yang dapat
disesuaikan dengan pemesanan. Melalui kelembagaan UPJA dan Paguyuban Bengkel
Alsintan di Jateng, maka bahwa Jateng yang merupakan salah satu sentra produksi
pangan, sangat didukung oleh kondisi mekanisasi pertanian yang maju.
Pada tahun 2015, guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten
Cilacap, sebanyak 49 mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan
dari Presiden RI. Upaya tersebut dalam rangka meningkatkan produksi melalui
peningkatan Indeks Pertanaman (IP), sehingga diperlukan tambahan jumlah alat
mesin, khususnya untuk tanaman pangan. Kebijakan pengembangan mekanisasi
pertanian harus mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, mutu dan nilai
tambah, mendorong tumbuhnya industri alat dan mesin dalam negeri dan
mendorong kemitraan antara industri besar dan UKM. Strategi yang perlu ditempuh
dalam pengembangan mekanisasi pertanian adalah membangun industri pertanian
di pedesaan berbasis mekanisasi pertanian pada sentra produksi. Unit traktor tangan
diserahkan kepada 49 kelompok tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan
(UPJA) di 20 kecamatan. Sementara 22 mesin pompa air diserahkan kepada 22
kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13 wilayah kecamatan.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap (2015),
bahwa jumlah kelompok tani di Kabupaten Cilacap berjumlah sekitar 2.033 kelompok
dan jumlah gapoktan sebanyak 279. Adapun jumlah kelompuk Usaha Pengelola Jasa
Alsintan (UPJA) sebanyak 115 UPJA. Jumlah UPJA terbanyak terdapat di Kecamatan
37
Gandrungmangu sebanyak 23 UPJA, dan UPJA yang paling aktif terdapat di
Kecamatan Kawunganten. Jumlah UPJA di Kawunganten berjumlah 2 UPJA, dan
UPJA teraktif adalah UPJA Setia Dadi.
UPJA Setia Dadi berada di Desa Bojong-Kawunganten yang berdiri sejak tahun
2014 dan berbadan hukum dengan akta notaris. UPJA ini pada awal berdirinya
hanya memiliki 2 unit alsintan yaitu hand traktor, dan saat ini telah memiliki antara
lain: (1) Hand traktor 10 unit, (2) PowerTresher 5 unit, (3) Dryer: 1 unit, (3)
Transplanter: 1 unit, (4) Combine Harvester: 3 unit, (5) RMU: 1 unit, (6) Alat
Bengkel 1 unit.
Adapun daerah operasional kegiatan UPJA Setia Dadi yaitu meliputi seluruh
Kecamatan di Kabupaten Cilacap, Kabupaten Jepara, Kabupaten Subang, dan
bahkan luar Jawa seperti Palembang dan Lampung. Areal operasional ini terutama
pada kegiatan aktivitas panen dengan alat panen Combine Harvester. UPJA ini juga
sebagai tempat belajar UPJA lain dan petani/kelompok tani dari berbagai daerah
seperti, dari: dalam Kabupaten Cilacap sendiri, Kabupaten Jepara, Kabupaten Tegal,
Kabupaten Klaten, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Banyumas, Kabupaten
Semarang, Provinsi Papua, Riau, Sulawesi Selatan dan Maluku.
Program Bantuan Alsintan untuk Mewujudkan Pertanian Modern
Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Penyaluran Bantuan Alat Dan Mesin
Pertanian TA 2015 dijelaskan bahwa untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di
pusat berupa Traktor Roda 2 (10.000 unit), Pompa Air (3.425 unit), Rice
Transplanter (5.000 unit) dan Traktor Roda 4 untuk Tanaman Pangan (1.000 unit).
Sedangkan untuk kegiatan bantuan alsintan pengadaan di provinsi berupa Traktor
Roda 2 (10.000 unit) dan Pompa Air (3.425 unit). Jenis dan spesifikasi alsintan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi spesifik lokasi di masing-masing daerah.
Alsintan yang diadakan merupakan alsintan yang sudah mempunyai Sertifikat Produk
Pengguna Tanda Standard Nasional Indonesia (SPPT SNI) dan atau sudah memiliki
Test Report dari lembaga penguji alsintan yang terakreditasi.
Kriteria lokasi untuk kegiatan bantuan alsintan untuk pengadaan di pusat
maupun di provinsi mempertimbangkan beberapa hal, yakni: (a) Diprioritaskan pada
daerah sentra produksi tanaman pangan; (b) Mempertimbangkan kondisi lokal
38
spesifik yang secara teknis memenuhi persyaratan untuk operasional alat dan mesin
pertanian; dan (c) Mempertimbangkan daerah yang tingkat kejenuhan alsin masih
rendah serta memiliki komitmen yang kuat dalam mendukung program peningkatan
produksi pertanian dengan melihat proposal yang disampaikan ke provinsi maupun
ke pusat.
Penerima bantuan Alsintan, baik kelompok tani, Gapoktan, maupun UPJA;
harus memenuhi persyaratan yakni dinyatakan layak setelah diverifikasi oleh Dinas
Pertanian Kabupaten/Kota setempat, bersedia mengikuti semua kewajiban yang
diberikan dan bertanggung jawab dalam operasional alsintan, serta bersedia
memanfaatkan dan mengelola alat dan mesin pertanian.
Sedangkan untuk pengelola dalam bentuk Brigade, penerima bantuan adalah
Pemerintah Daerah Provinsi/ Kabupaten (pengadaan bantuan alsintan di pusat),
dengan persyaratan sebagai berikut: (a) Bersedia mengelola bantuan alsintan dalam
bentuk Brigade Tanam, (2) Bersedia menyediakan gudang penyimpanan alsintan,
(3) Bersedia memobilisir alsintan antar Kabupaten/ Kecamatan, dan (4)
Mengalokasikan dana APBD I/II untuk biaya pemeliharaan alsintan.
Alsintan yang didistribusikan harus segera dimanfaatkan oleh penerima
bantuan. Apabila hasil evaluasi pemanfaatan alsintan oleh Penerima bantuan tidak
dimanfaatkan optimal, maka Dinas Pertanian Kabupaten/Kota dapat merelokasi
alsintan tersebut ke kelompok lainnya di wilayah kecamatan yang sama/antar
kecamatan. Apabila diperlukan relokasi antar kabupaten/kota, maka menjadi
kewenangan Kepala Dinas Pertanian Provinsi.
Dalam Pedoman Umum Pengembangan UPJA dan LDM Direktorat
Penanganan Pasca Panen, Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
program pembangunan pertanian yang berorientasi pada sistem dan usaha
agribisnis, pada pokoknya harus dikembangkan agar sesuai dengan proses
pergeseran mendasar dari masyarakat tradisional/subsisten menjadi masyarakat
modern berbasis pertanian yang merupakan rangkaian upaya untuk memfasilitasi,
melayani dan mendorong berkembangnya usaha pertanian secara komersial untuk
meningkatkan nilai tambah produk, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani.
Upaya-upaya pembangunan pertanian tersebut dilaksanakan dengan
pendekatan sistem dan usaha agribisnis yang berarti mencakup upaya-upaya pada
39
keseluruhan subsistem agribisnis yang meliputi subsistem hulu yang termasuk di
dalamnya adalah sarana produksi pertanian (agrokimia, sarana alsin pertanian,
perbenihan/pembibitan); subsistem produksi pertanian (budidaya tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan dan peternakan); dan subsistem hilirnya yang termasuk di
antaranya pengolahan, pemasaran dan distribusi hasil pertanian serta sub sistem
jasa pendukungnya.
Penerapan dan pengembangan sarana alat mesin pasca panen dalam
mendukung pembangunan agroindustri dan agribisnis mempunyai peranan yang
sangat penting dalam rangka meningkatkan efisiensi, produktivitas dan perbaikan
mutu hasil pertanian. Sarana alat mesin pasca panen merupakan salah satu
masukan teknologi yang mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis
yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, dimana
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat tani di pedesaan.
Penggunaan alat dan mesin pertanian termasuk mesin pasca panen
diharapkan dapat mempercepat alih teknologi kepada masyarakat tani, menciptakan
lapangan kerja, meningkatkan nilai tambah, memperbaiki penanganan panen dan
pasca panen, menurunkan kehilangan hasil dan perbaikan mutu hasil yang pada
akhirnya akan berdampak kepada peningkataan kinerja dari perusahaan/industri
pengolahan pangan serta terbentuknya proses industrialisasi dalam menunjang
pembangunan agroindustri di pedesaan. Jenis-jenis alat mesin pasca panen yang
dapat dioperasionalkan oleh UPJA mencakup mesin pemanen (reaper), mesin
perontok (thresher), mesin pembersih (cleaner), mesin penggilingan padi (RMU),
mesin pengering (dryer), mesin pemisah (grader), mesin pengarungan (bag closer),
dan mesin pengemas.
Pada tahun 2015, pemerintah telah menyalurkan sekitar 356.883 unit alsintan
dari pagunya sebanyak 357.253 unit. Beragam alsintan tersebut diserahkan melalui
anggaran pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Selain alsintan untuk produksi,
juga diserahkan beragam alsintan untuk pra panen, pasca panen dan penggilingan
padi. Total anggaran bantuan alsintan pada tahun 2015 sebesar Rp 3,291 triliun.
Jenis-jenis alsintan yang disalurkan pemerintah antara lain: traktor roda 2, traktor
roda 4, pompa air, transplanter, combane harvester, indojarwo transplanter,
cultivator, drayer, pemipil jagung, nursery tray, excavator, corn combine harvester,
40
vertical dryer padi, bed dryer, vertical dryer jagung, corn sheller, power thresher dan
penggilingan padi.
Kelembagaan UPJA
UPJA sudah sejak lama ada di Indonesia, namun baru semakin terlihat sejak
dikeluarkannya Permentan No.25/2008 tentang Pedoman Penumbuhan dan
Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian. Dengan
dikeluarkannya Permentan ini, Pemerintah Daerah diberi mandat untuk membina
dan memfasilitasi UPJA yang terdapat di daerahnya masing-masing. Sehingga UPJA
tersebut dapat menuju ke arah kelembagaan yang profesional.
Pendayagunaan alsintan melalui Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA) sudah
dimulai sejak tahun 1996/1997 dengan membentuk kelompok UPJA percontohan di
13 Provinsi (Daerah Istimewa Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat), dan kemudian
tanggal 2 Desember 1998, Departemen Pertanian telah mengeluarkan Keputusan
Direktur Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura Nomor I.HK.05098.71 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pendayagunaan dan Pengembangan Alat dan Mesin
Pertanian, dengan output (keluaran) yaitu pengembangan penggunaan alsintan di
kalangan masyarakat tani/kelompoktani; tumbuhnya kelompok-kelompoktani; UPJA
dan bengkel pembuatan, perawatan dan perbaikan alsintan serta berkembangnya
sistem agribisnis dan agroindustri di perdesaan.
Secara teori, mestinya pengelolaan alsintan dilakukan dalam UPJA, sebagai
organisasi petani yang khusus dibentuk untuk pengelolaan alsintan. Tingkat
kemampuan UPJA dalam pengelolaan alsintan terdiri atas 3 (tiga) kelas. Dalam
Permentan Nomor 25/Permentan/Pl.130/5/2008 Tentang Pedoman Penumbuhan
Dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat Dan Mesin Pertanian, kelas UPJA
dibagi atas 3 kelompok dengan karateristik sebagaimana Tabel 22 berikut.
41
Tabel 22. Kelas kemampuan UPJA dan karaketristiknya
Kelas UPJA Kareteristik
UPJA Pemula Memiliki jumlah alsintan 1-4 unit dan 1- 2 jenis
alsintan.
UPJA Berkembang Jumlah alsintan yang dimiliki 5-9 unit dan jenis
alsintan 3-4 jenis dan telah memiliki sistem organisasi
lengkap.
UPJA Profesional Memiliki alsintan > 10 unit serta memiliki > 5 jenis
alsintan, dan telah memiliki sistem organisasi lengkap.
Kelas kemampuan UPJA didasarkan atas jenis dan jumlah alsintan yang
dikelola, serta kelengkapan prasarana lain. UPJA dituntut untuk mempunyai gudang
penyimpanan alat dan mesin pertanian sendiri, dan kondisi alat dan mesin pertanian
terawat. Untuk kategori paling tinggi, yakni UPJA Profesional atau Mandiri, UPJA
juga harus sudah mempunyai kemitraan usaha antara Poktan/Gapoktan, perusahaan
alsintan bengkel/pengrajin untuk perawatan/perbaikan dan penyediaan suku
cadang.
Tingkat kemampuan UPJA memperhatikan aspek teknis, organisasi, ekonomi
dan aspek penunjang. Aspek Teknis meliputi jenis, jumlah, kondisi alsintan, gudang
dan bengkel alsintan. Aspek Organisasi meliputi legalitas dan struktur organisasi
termasuk kelengkapan pembukuan UPJA. Aspek Ekonomi meliputi penambahan
jumlah alsintan, sumber pendanaan serta penambahan jumlah pelanggan dan
jumlah pelanggan dan jangkuan wilayah pelayanan. Sedangkan, aspek Penunjang
meliputi cara memperoleh pelayanan jasa UPJA, jadual pelayanan operasional UPJA
dan jumlah petani anggota kelompoktani yang membutuhkan jasa pelayanan UPJA.
UPJA Profesional mempunyai persyaratan sebagai berikut:
(1) Mempunyai organisasi yang lengkap meliputi manajer, tenaga teknis
operator, tenaga administrasi (administrasi umum dan keuangan).
42
(2) Adanya kemitraan usaha antara kelompok tani atau gapoktan, perusahaan
alsintan, bengkel/pengrajin untuk perawatan, perbaikan dan penyediaan suku
cadang, serta distributor/penyalur alsintan dan suku cadang.
(3) Jumlah dan jenis alsintan (hulu, on farm dan hilir) pemanfaatannya secara
optimal dan memenuhi skala ekonomi.
(4) Mampu mengakses ke sumber pendanaan alsintan.
(5) Adanya pelatihan dan peningkatan kemampuan dan keterampilan teknis dan
manajemen.
(6) Mempunyai kemampuan mengelola alsintan secara profesional dengan
sumberdaya manusia yang terlatih dan berorientasi pada keuntungan.
(7) Kelembagaan telah berbadan hukum dan mempunyai Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP)
(8) Adanya mutu pelayanan yang baik dengan dukungan sarana penyimpanan
alsintan dan kantor.
Sistem pengembangan UPJA meliputi berbagai subsistem dari kelembagaan ekonomi
yang bekerja secara sinergik. Subsistem dimaksud meliputi :
(1) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan kelompok UPJA.
(2) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam bentuk
kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan dan
sebagainya.
(3) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,
petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A).
(4) Permodalan dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau
lembaga keuangan non Bank.
(5) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur pemerintah dan
kelembagaan penyuluh.
Pengelolaan Alsintan dalam UPJA: studi Kasus UPJA Setia Dadi di Kabupaten Cilacap dan UPJA Semangat di Kabupaten Soppeng
Kasus di Kabupaten Cilacap, pengelola alsintan terdiri atas pengusahaan
pribadi dan juga kelompok. Khusus untuk alsintan yang berasal dari bantuan
pemerintah dikelola dalam organisasi milik petani, baik berupa Gapoktan, kelompok
43
tani, maupun Gapoktan. Usaha Pelayanan Jasa Alat dan Mesin Pertanian (UPJA)
adalah suatu lembaga ekonomi perdesaan yang bergerak di bidang pelayanan jasa
dalam rangka optimalisasi penggunaan alat dan mesin pertanian untuk mendapatkan
keuntungan usaha baik di dalam maupun di luar kelompok tani/gapoktan.
Guna mendukung swasembada pangan di Kabupaten Cilacap, sebanyak 49
mesin traktor tangan dan 22 pompa air merupakan bantuan mulai dibagikan kepada
sejumlah petani di Kabupaten Cilacap. Peralatan diserahkan kepada 71 kelompok
tani di Cilacap. Sejumlah 49 unit traktor tangan diserahkan kepada 49 kelompok
tani, Gapoktan dan Unit Pengelola Jasa Alsintan (UPJA) di 20 kecamatan. Sedangkan
22 mesin pompa air diserahkan kepada 22 kelompok tani, Gapoktan dan P3A di 13
wilayah kecamatan.
UPJA Setia Dadi merupakan salah satu UPJA yang sudah mampu menjadikan
kelompoknya menjadi lembaga layanan jasa alsintan yang sudah mampu melayani
hingga antar pulau. Bahkan menjadikan UPJA ini adalah UPJA percontohan.
Perkembangan UPJA sangat dibantu oleh keberadaan bengkel. Di Provinsi
Jateng sudah ada 11 bengkel alsintan yang dibina oleh Balai Alsintan Jateng yang
tergabung ke dalam Paguyuban Bengkel Alsin Jawa Tengah. Kegiatan yang
dilakukan oleh bengkel alsintan tidak hanya sebatas pada perbaikan alsintan saja
melainkan merancang teknologi alsintan. Bahkan dapat disesuaikan dengan
pemesanan.
Sesuai dengan kelas kemampuan yang ada di Kementan, maka UPJA Setia
Dadi tergolong sebagai UPJA yang sudah mencapai kelas tertinggi, atau kelas
Mandiri atau profesional, dimana jumlah alsintan yang dikelola melebihi 10 unit dan
jenisnya lebih dari 5 jenis. Saat ini alsintan yang dikelola UPJA terdiri atas hand
traktor 18 unit, pompa air 5 unit, power tresher 5 unit, combine harvester 3 unit,
rice milling 1 unit, dan tranplanter 2 unit. Selain ini, masih ada puluhan alat-alat dan
mesin lain seperti handsprayer dan lain-lain. Struktur organisasi UPJA juga sudah
lengkap yang terdiri atas manajer dengan dibantu pengelola keuangan dan
administrasi, lalu ada 4 seksi yang terdiri atas seksi RMU, seksi bengkel, seksi
operator alsintan, dan seksi produksi pupuk organik.
Dalam buku “Pedoman Teknis Pengembangan UPJA Mandiri” yang
dikeluarkan oleh Direktorat Alat dan Mesin Pertanian, Ditjen Parasarana dan Sarana
44
Pertanian, Kementan Tahun 2012 disebutkan bahwa sesuai dengan Peraturan
Menteri Pertanian RI Nomor 25/Permentan/PL.130/5/2008 tanggal 22 Mei 2008
tentang Pedoman Penumbuhan dan Pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alat dan
Mesin Pertanian (UPJA), kelembagaan UPJA diharapkan dapat berperan penting dan
strategis dalam rangka menggerakkan perekonomian di perdesaan. Keberadaan
UPJA di daerah sentra produksi tidak saja menjadi solusi dalam mengatasi
kebutuhan alsintan bagi petani untuk mengolah lahan pertanian, pengairan, panen
dan pasca panen, tapi juga menjadi solusi dalam mengatasi kelangkaan tenaga kerja
di perdesaan.
Fungsi utama kelembagaan UPJA yaitu melakukan kegiatan ekonomi dalam
bentuk pelayanan jasa alsintan dalam penanganan budidaya seperti jasa penyiapan
lahan dan pengolahan tanah, pemberian air irigasi, penanaman, pemeliharaan;
perlindungan tanaman termasuk pengendalian kebakaran; maupun kegiatan panen,
pasca panen dan pengolahan hasil pertanian seperti jasa pemanenan, perontokan,
pengeringan dan penggilingan padi; termasuk mendorong pengembangan produk
dalam rangka peningkatan nilai tambah, perluasan pasar, daya saing dan perbaikan
kesejahteraan petani. Berdasarkan pedoman ini, maka pengelolaan alsintan di UPJA
Setia Dadi dipaparkan dalam matrik di Tabel 23 berikut.
Tabel 23. Pengelolaan alsintan pada UPJA Setia Dadi, Kabupaten Cilacap berdasarkan pedoman dan kondisi existing, tahun 2016
Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing
Kelengkapan organisasi Dikelola dalam struktur
organisasi yang lengkap dengan
dikepalai manajer dan dibantu
pada kepala seksi
Struktur organisasi yang
terbentuk sesuai dengan
panduan, dan tergolong
lengkap
Manajemen organisasi Setiap bagian dalam organisasi
menjalankan tugasnya secara
optimal
Peran ketua UPJA masih paliing
dominan sibandingkan yang
lain, dan cenderung
menerapkan manajemen yang
belum partisipatif
Operasional alat dan
mesin
Pelayanan alat dan mesin
diutamakan kepada petani di
wilayah sendiri, utamanya lagi
Pelayanan meluas sampai ke
luar daerah, mencakup
Sumatera Selatan dan Sulawesi
45
Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing
anggota UPJA Selatan, sedangkan pelayanan
dalam wilayah sendiri belum
optimal
Administrasi organisasi Semestinya pengelolaan
administrasi UPJA dilakukan
secara rapih dan jelas
Pengelolaan administrasi belum
rapih, dan sulit memisahkan
antara kegiatan UPJA dengan
usaha ketuanya secara pribadi
Pembinaan kepada
UPJA lain
UPJA mandiri sesungguhnya
tidak disiapkan untuk melakukan
pembinaan kepada UPJA lain
secara horizontal
UPJA Setia Dadi sering menjadi
lokasi magang bagi pengelola
UPJA dari daerah lain, namun
belum dilakukan secara
terorganisir. Sebaiknya UPJA
membentuk P4S.
UPJA Setia Dadi merupakan UPJA yang tergolong “paling maju” di wilayah
Kabupaten Cilacap dari ratusan UPJA yang sudah terbetuk. Meskipun demikian,
sesungguhnya organisasi dan manajemen pengelolaan alsintan belum dijalankan
sesuai dengan pedoman yang ada. Keberadaan organisasi UPJA dapat dijelaskan
secara mudah ke dalam dua segmen berikut, yakni sisi internal dan eksternalnya.
Dari sisi internal, sesungguhnya UPJA belum dikelola dalam format yang
sesuai dengan pedoman pengelolaan UPJA. Meskipun kelengkapan struktur telah
dipenuhi, namun belum semua bagian menjalankan bagiannya dengan optimal.
Manajemen yang diterapkan cenderung kurang partisipatif, dimana peran ketua
UPJA sangat dominan. Kondisi ini bisa menjadi titik lemah ke depan, karena terlalu
mengandalkan kepada satu sosok saja.
Dari sisi eksternal, relasi UPJA dengan pihak luar cukup berhasil. Dalam
lingkup kecil misalnya, yakni di desa, UPJA merupakan pihak yang menjadi
pengambil keputusan bersama-sama pihak Pemerintahan desa dalam mengatur
jadwal dan jatah operasional alsintan, terutama untuk pengaturan traktor
pengolahan lahan yang sudah over supply. Demikian pula pada lingkup yang lebih
luas, dimana UPJA telah sanggup mengoperasikan mesin sampai dengan ke luar
daerah yakni ke Propinsi Sumsel dan Sulsel. Di wilayah ini permintaan alat combine
46
harvester sangat tinggi, dan topgrafinya juga sesuai dimana luas petakan sawah
memadai dan juga berlangsung kelangkaan tenaga kerja pemanen.
Secara keseluruhan, meskipun penerapan alsintan sudah populer di wilayah
Kabupaten Cilacap, namun masih banyak areal persawahan yang tingkat
penerapannya rendah. Secara umum, dari hasil wawancara dengan berbagai pihak,
maka beberapa kendala penerapan mekanisasi di Kabupaten Cilacap adalah:
1. Wilayah persawahan di Cilacap bagian Barat merupakan dataran tinggi
dengan luas sawah yang sempit dan bentuk tidak beraturan, sehingga
penggunaan alat combine harvester sulit.
2. Ketiadaan jalan usahatani, sehingga alat tanam transplanter dan combine
harvester yang berukuran besar menyulitkan mobilitas antar petak sawah.
Saat ini, agar mobilisasi traktor tidak merusak pertanaman, maka dalam
“Rembug Desa” diatur sedemikian rupa, dimana petak sawah yang berada di
bagian dalam diolah dan ditaman lebih dahulu, menyusul petak yang lebih di
pringgir.
3. Penggunaan tresher terkendala dimana sebagian buruh tani lebih senang
dengan metoda dipukulkan (“digebug”) karena hasil beras lebih banyak, atau
tidak banyak hasil hampa. Pendapatan buruh pemanen dengan sistem bawon
adalah seberapa banyak hasil padi yang bisa mereka bawa pulang. Semakin
kurang butir hampa berarti jumlah berasnya semakin tinggi.
4. Sebagian wilayah sawah di Cilacap bagian Timur yang dekat ke pantai ada
yang tergolong rawa, sehingga traktor untuk pengolahan tanah dan mesin
pemanen sulit dioperasikan. Bahkan adakalanya panen menggunakan perahu
karena sawah tergenang air yang cukup tinggi. Tinggi air di permukaan
sawah maskimal yang masih operasional untuk combine harvester adalah 20
cm.
5. Pelatihan bagi operator tranplanter dan combine harvester dirasa masih
kurang. Paket pelatihan yang telah mereka terima saat pelatihan di Bandung
terlalu sedikit berupa praktek. Anggaran untuk pelatihan operator belum
tersedia, sehingga salah satu solusinya yang mungkin adalah berupa
pelatihan mandiri pada UPJA yang lebih maju misalnya pada UPJA Setia Dadi.
Namun ketua UPJA saat ini, Bapak Edi Siswanto, belum memiliki sertifikat
sebagai pelatih, dan belum membentuk P4S sebagai wadah untuk farmer to
farmer extension.
6. Operasional alsintan yang berada dalam brigade belum optimal karena
dukungan dana dari APBD masih dalam proses pengajuan.
Berdasarkan pedoman UPJA, pengelolaan alsintan di UPJA Semangat, Kabupaten
Soppeng dipaparkan dalam Tabel 24 berikut.
47
Tabel 24. Pengelolaan alsintan pada UPJA Semangat, Kab. Soppeng berdasarkan
pedoman dan kondisi existing, 2016
Aspek Pedoman pengelolaan Pengolaan secara existing
Kelengkapan
organisasi
Dikelola dalam struktur
organisasi yang lengkap
dengan dikepalai manajer
dan dibantu pada kepala
seksi
Struktur organisasi yang
terbentuk sesuai dengan
panduan, dan tergolong
lengkap
Manajemen
organisasi
Setiap bagian dalam
organisasi menjalankan
tugasnya secara optimal
Peran ketua UPJA masih
paling dominan
dibandingkan yang lain, dan
cenderung menerapkan
manajemen yang belum
partisipatif
Operasional alat dan
mesin
Pelayanan alat dan mesin
diutamakan kepada petani di
wilayah sendiri, utamanya
lagi anggota UPJA
Pelayanan baru terbatas
wilayah sendiri dan belum
optimal.
Administrasi
organisasi
Pengelolaan administrasi
UPJA dilakukan secara rapih
dan jelas
Pengelolaan administrasi
belum baik, dan sulit
memisahkan antara kegiatan
UPJA dengan usaha
ketuanya secara pribadi
Pembinaan kepada
UPJA lain
UPJA mandiri sesungguhnya
tidak disiapkan untuk
melakukan pembinaan
kepada UPJA lain secara
horizontal
Belum melakukan
pembinaan terhadap UPJA
lainnya
UPJA Semangat didirikan tahun 1998. Struktur kepengurusan UPJA terdiri
dari Manajer, Sekretaris dan Bendahara. Selain pengurus inti tersebut, UPJA
Semangat memiliki 6 (enam) orang operator traktor, 5 (lima) orang operator
combine harvester, dan 6 (enam) orang operator rice transplanter.
48
Pengguna jasa UPJA adalah petani setempat yang tergabung dengan
beberapa kelompok dan semuanya berada di bawah Gapoktan Appanang. Aturan
main dalam penggunaan alat belum ditentukan, baik untuk petani anggota Gapoktan
Appanang maupun petani di luar Gapoktan Appanang. Menurut rencana, aturan
main mengenai penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA baru akan dibahas dalam
pertemuan UPJA musim berikutnya. Saat ini anggota Kelompok Tani/Gapoktan yang
ingin menggunakan alsin, terutama transplanter, cukup meminjam dari UPJA, kecuali
dalam penggunaan Combine Harvester (CH). Petani yang bersangkutan hanya
membiayai operasional alsin yang digunakannya berupa BBM dan upah operator
(jika menggunakan operator UPJA, namun ada juga petani yang mengoperasikannya
sendiri). Khusus untuk Combine Harvester, ongkos sewanya berupa natura, untuk
10 karung GKP yang berhasil dipanen upahnya 1 karung GKP.
Operator yang bekerja pada UPJA Semangat ada 17 orang, berdomisili di
desa setempat, pekerjaan utama adalah bertani (penggarap). Umumnya operator
belajar secara sendiri, mendapat bimbingan teori dari teknisi dan langsung praktik,
rata-rata dua hari sudah mampu mengoperasikan alat. Mengingat operator sekaligus
adalah petani, maka pekerjaan mengoperasikan alat dilakukan setelah pekerjaan di
lahannya sudah selesai. Tabel 25 menyajikan informasi tentang aturan main
penggunaan jasa alsin di UPJA Semangat, Kabupaten Soppeng.
Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA. UPJA
Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat
seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung
jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan per telepon, dan
direspons dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin yang
dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut.
Teknisi merupakan pelaku lain yang mendukung operasional UPJA. UPJA
Semangat belum secara khusus memiliki teknisi, hanya saja di desa ini terdapat
seorang teknisi Yanmar perwakilan Pare-pare, yang biasanya menjadi penghubung
jika ada kerusakan. Kontak dengan pihak Yanmar bisa dilakukan melalui telepon,
dan direspon dengan mengirimkan teknisi 2-3 hari kemudian. Hampir semua alsin
yang dikelola UPJA Semangat bermerk Yanmar, kecuali alat angkut.
49
Tabel 25. Aturan main dalam penggunaan jasa alsin yang dikelola UPJA Semangat, di Kabupaten Soppeng, 2016
Jenis alat Penggunaan rutin oleh petani
Traktor roda 2 - Jika yang digunakan hanya TR2, sewa Rp 1,2-1,3 juta/ha plus
biaya konsumsi operator 2 orang selama tiga hari (2 org x 3 hari x Rp 75.000 (2 x mkn + rokok sebungkus) = Rp 450.000,-)
- Jika digunakan satu paket dengan TR4 (menghaluskan hasil
bajakan TR4), aturan main seperti di bawah.
Traktor roda 4 TR4 biasanya digunakan satu paket dg TR2, ongkos Rp 1,2-1,3
juta + biaya konsumsi (3 orang x 1 x makan + rokok sebungkus
= Rp150.000,-)
MH membajak dilakukan 2 kali: (1) TR 4 =4 jam/ha; (2) TR 4
diikuti TR2 =5 jam/ha
MK hanya TR4 3-4 jam/ha
Rice transplanter Hanya pinjam, biaya oprasional per ha : (5 liter bensin x Rp
7500) + (ongkos oprator Rp 100.000 + konsumsi Rp
100.000/hari)
Combine
harvester
Natura, 10 karung keluar 1, 1= karung=98-100kg. Rata-rata 50-
70 karung/ha. Karyawan (bagian angkut karung, jahit karung, 7-
8 orang/CH) dapat Rp5.000/karung, operator Rp3000/karung, 5-
6 ha/hari. Setiap total 3-4 bulan kerja/tahun di dalam dan luar
desa
Sumber: Hasil wawancara dengan petani, pengurus UPJA Semangat, dan pengurus
Gapoktan Appanang, Kabupaten Soppeng, 2015
Dalam kaitannya dengan UPJA, gapoktan memprioritaskan penggunaan UPJA
setempat dalam penggunaan jasa alsin untuk kegiatan usahatani. Sebagai pengguna
jasa alsin yang dikelola oleh UPJA Semangat, Gapoktan Appanang juga dilibatkan
dalam pembahasan aturan main penggunaan alsin.
Pengelolaan Alsintan dalam Brigade Alsintan
Selain dalam organsiasi petani (UPJA, kelompok tani dan Gapoktan), sebagian
alsin juga dikelola oleh Brigade Alsintan. Ini merupakan organisasi di level provinsi
dan juga di level Kabupaten dan Kota yang memiliki struktur organisasi pengelolaan
yang terdiri atas unsur Pemda dan jajaran TNI. Pengelolaan Brigade Alsintan
dilaksanakan oleh Dinas Pertanian bersama-sama dengan Korem/Kodim untuk
mendukung kelancaran penerapan tanam serempak dalam rangka pelayanan kepada
petani/kelompok tani yang membutuhkan layanan penggunaan alsintan dengan
50
mempertimbangkan keberadaan/operasional UPJA di daerah tersebut. Alat dan
mesin dikelola oleh Brigade namun operasional pemanfaatan alsintan dibebankan
kepada pengguna jasa yakni petani.
Dalam rangka mendukung pengembangan Brigade Tanam, Kementerian
Pertanian mengadakan bantuan alsintan berupa 50 unit Traktor Roda 2 di 16
Propinsi di Indonesia. Meskipun sebagian alat ditempatkan di Kodim setempat,
penerima dan pengelola adalah Dinas Pertanian Provinsi atau Kabupaten. Di
Kabupaten Cilacap dan Soppeng, ditemukan kendala utamanya kemampuan
memobilisir alat dan membiayai operasionalnya. Dalam aturan disebutkan bahwa
mobilisasi alat perlu didukung dengan APBD, faktanya dukungan ini belum ada.
Brigade Alsintan lahir dari upaya mencapai gerak cepat untuk memanfaatkan
iklim yang tak menentu. Ketika air cukup, lahan sawah perlu segera dibajak.
Mekanisasi menjadi pilihan, termasuk melibatkan Komando Distrik Militer (Kodim) di
sentra-sentra produksi padi. Pembentukan Brigade Alsintan Dinas diharapkan bisa
menutup kekurangan manajemen alsintan di kalangan petani melalui Poktan,
Gapoktan dan UPJA. Target operasional brigade adalah bukan hanya mempercepat
dan menambah luas areal penanaman, melainkan juga agar jadwal tanam bisa
berjalan secara serempak.
Optimalisasi pemanfaatan alsintan dalam skala luas melalui Brigade Alsintan
ke depan, Dinas Pertanian di tingkat Kabupaten harus mampu mengambil peran
tersebut dengan dukungan instansi/pihak-pihak terkait serta dukungan informasi
dari: (a) UPTD terkait tentang pemetaan luasan dan jadwal tanam padi, jadwal
panen, kebutuhan alsintan menurut jenis, tipe, jumlah, wilayah dan luasannya; (b)
Pengamat Hama tentang luasan serangan, informasi dini potensi adanya serangan
OPT, dsb.
Analisis Usahatani Padi Konvensional vs Penggunaan Alsintan
Untuk memberikan gambaran analisis finasial usahatani padi dengan
menggunakan alsintan penuh (usahatani pada Percontohan Pertanian Modern-PPM)
dan usahatani konvensional, dianalisis keragaan usahatani padi di Soppeng seperti
disajikan pada Tabel 25.
51
Tabel 27. Analisis Usahatani Padi pada Percontohan Pertanian Modern (PPM) dan Konvensional di Kelurahan Appanang, Kecamatan Liliriaja, Kabupaten
Soppeng, MH 2014/2015 (Rp/ha)
No. Uraian PPM (A) Non-PPM (B) Perubahan (A-B)
%
A Biaya
I Sarana produksi
Benih 220.000 360.000 -38,9
Pupuk
- Urea 180.000 360.000 -50
- NPK 345.000 690.000 -50
-PPC/POC 60.000 0 100
- pupuk kandang 500.000 0 100
Obat-obatan 225.000 300.000 -25
Subtotal 1.530.000 1.710.000 -11,7
II Tenaga kerja
Olah tanah 1.450.000 1.750.000 -17,14
Menggaru/meratakan tanah 0 340.000 -100
Merapikan pematang 340.000 340.000 0
Persemaian 0 170.000 -100
Cabut dan angkut bibit* 0 340.000 -100
Tanam 575.000 900.000 -36,11
Pemupukan 85.000 170.000 -50
Penyiangan 340.000 340.000 0
Penyemprotan 170.000 170.000 0
Panen + perontokkan 2.857.750 2.502.500 14,2
Subtotal 5.817.750 7.022.500
III Lainnya
- pajak lahan/musim 0 0 0
- pengairan (tadah hujan) 285.775 250.250 14,2
- sewa lahan/musim 3.000.000 3.000.000 0
Subtotal 3.285.775 3.250.250 1,09
Biaya total 10.633.525 11.982.750 -9,87
B Penerimaan** 28.577.500 23.785.000 20,15
C Keuntungan atas biaya total 17.943.975 11.802.250 51,51
RCR atas biaya total 2,69 1,98
Sumber data : Hasil wawancara dengan petani di Kelurahan Appang, Kabupaten Soppeng, 2016 * Cabut benih petani non-PPM dilakukan 4 org @ Rp 60.000/HOK plus makan Rp 100.000 , total Rp 340.000/ha
** GKP @ Rp 3550/kg
Dalam penggunaan sarana produksi, Percontohan Pertanian Modern (PPM)
mengintroduksi penggunaan sarana produksi yang lebih sedikit dibandingkan
kebiasaan petani setempat. Perbedaan tersebut yaitu : (1) Benih : petani 40-45
52
kg/ha, PPM 25 kg/ha; (2) Pupuk Urea: petani 200-250 kg/ha, PPM 100 kg/ha, pupuk
NPK: petani 300-350 kg/ha, PPM 150 kg/ha; (3) pestisida: petani senilai minimal
Rp300.000/ha, PPM senilai Rp 225.00/ha. Namun pelaksanaan PPM juga
mengintroduksi penggunaan pupuk organik dan PPC/POC, yang tidak digunakan
atau digunakan dalam jumlah sedikit oleh petani.
Selain penggunaan alsintan, PPM dilaksanakan dengan menerapkan teknologi
usahatani padi sistem SRI, berupa : tanam bibit muda, 1-2 bibit/lubang, intermeten
dan hemat air (genangan maksimal 3 cm dari biasanya sampai setinggi tanggul),
pemupukan berimbang plus pupuk organik dan 6 tepat, jajar legowo 2:1,
pengawalan ketat terhadap serangan OPT (antara lain dosis dan aplikasi
penggunaan obat-obatan secara benar).
Dibanding dengan pertanian konvensional dengan teknologi yang biasa
dipraktikkan petani, maka dalam pelaksanaan kegiatan PPM terjadi peningkatan hasil
dari 65-79 karung/ha @ 98-100kg (6,37-7,9 ton/ha) menjadi 80 karung/ha @115 kg
(9,2 ton/ha), hasil ubinan bahkan menunjukkan hasil tertinggi sampai 11 ton/ha.
Keterangan resmi dalam laporan pelaksanaan PPM, produksi meningkat dari 6,7
ton/ha menjadi 8,05 ton/ha.
3.3.Prospek dan Kendala Pengembangan Agribisnis Padi Skala Komersial
Cakupan kegiatan usaha dalam sistem agribisnis meliputi bisnis dari hulu
sampai ke hilir sehingga mencakup bisnis input usahatani, usahatani, dan bisnis di
bidang pasca panen. Secara umum, yang merupakan usaha inti (core business)
adalah usahatani.
Dalam analisis kebijakan ini yang dimaksud agribisnis padi skala komersial
adalah bisnis berbasis usahatani padi dalam suatu skala yang cukup untuk
mendukung terwujudnya sistem usaha yang secara mandiri mampu bertumbuh
kembang menjadi bisnis modern yang berkelanjutan. Untuk itu, secara teknis dan
finansial harus feasible dan secara sosial budaya acceptable; serta tangguh
menghadapi ancaman eksternal. Dengan kata lain memiliki viabilitas ekonomi yang
tinggi dan resilience.
53
Ukuran skala komersial pada dasarnya relatif; dalam arti tidak ada suatu
patokan tertentu. Berdasarkan masukan dari sejumlah pakar diperkirakan skala yang
dipandang sesuai setidaknya adalah 500 hektar. Acuan penentuan skala minimal
tersebut adalah besaran yang memungkinkan terwujudnya peningkatan efisiensi
yang bersumber dari konsolidasi pengelolaan dalam pengadaan input, penggunaan
modal dan optimalisasi pemanfaatan alat/mesin pertanian, serta pemasaran hasil
pertanian. Dengan konsolidasi pengelolaan dalam besaran seperti itu dimungkinkan
untuk meningkatkan daya tawar (bargaining position) usahatani dalam pasar input
maupun output usahatani; sementara itu kondusif pula untuk mendukung
optimalisasi pemanfaatan alat dan mesin pertanian.
Untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya strategi komprehensif dari sudut
pandang aspek teknis, finansial/ekonomi, maupun kelembagaan sosial. Sudah
barang tentu pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak dapat
diberlakukan secara masal dan di semua tempat. Alasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, kondisi obyektif di lapangan menunjukkan bahwa usahatani padi di
Indonesia terdiri atas jutaan unit usahatani skala kecil yang sebagian diantaranya
bersifat subsisten. Pada cukup banyak komunitas, faktor-faktor yang mempengaruhi
eksistensi usahatani padi tidak hanya melibatkan aspek finansial/ekonomi tetapi juga
aspek sosial budaya sehingga rekayasa kelembagaan untuk mentransformasinya ke
arah sistem usaha komersial skala luas perlu memperhatikan kearifan lokal yang
berpijak pada nilai-nilai budaya setempat. Kedua, sebagian besar petani padi di
Indonesia tidak hanya menggantungkan nafkahnya dari usahatani padi. Pekerjaan
dan sumber pendapatan tidak hanya dari usahatani padi/usahatani pangan tetapi
juga dari berburuh tani, buruh non pertanian, industri rumah tangga/perdagangan
kecil, dan lain sebagainya. Ketiga, jika dikaitkan dengan fakta bahwa diantara
jutaan petani tentunya ada puluhan ribu petani yang memiliki jiwa kewira usahaan
dan memiliki modal yang cukup tetapi kenyataannya usahatani padi komersial skala
luas hampir tak pernah diketemukan maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada
business as usual (BAU) tidak ada insentif yang memadai bagi tumbuh dan
berkembangnya sistem tersebut. Keempat, teknologi usahatani padi yang selama
ini diterapkan mayoritas petani adalah teknologi padat tenaga kerja (labor
54
intensive). Kelima, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas
usahatani padi di Indonesia pada saat ini adalah berada pada kondisi constant
returns to scale; yang berarti bahwa ceteris paribus maka peningkatan skala usaha
tidak berdampak nyata pada peningkatan produktivitas jika tidak disertai dengan
perubahan dalam aspek manajemen dan aplikasi teknologi.
Prospek dan kendala pengembangan sistem agribisnis skala komersial
ditentukan oleh terpenuhinya prasyarat berikut:
1. Tersedianya hamparan lahan sawah dengan luasan setidaknya 500 hektar. Untuk
di Pulau Jawa, ini bisa melibatkan 2 – 4 desa sedangkan untuk di luar Pulau Jawa
antara 1 – 2 desa tergantung pada kondisi setempat.
2. Hamparan lahan sawah tersebut berada dalam satu sistem pengelolaan irigasi.
Dalam konteks ini dapat berupa irigasi permukaan (gravitasi) ataupun irigasi
pompa dengan sumber air sadapan air sungai, air danau, ataupun air tanah
dalam (ground water) dengan debit pemompaan yang setidaknya mampu
mengairi 25 hektar per unit pompa irigasi. Faktor pengikat ini sangat penting,
dan berdasarkan pengalaman di lapang faktor pengikat yang paling kuat adalah
irigasi. Penyebabnya: (i) ketersediaan air irigasi tidak hanya menentukan indeks
pertanaman tetapi juga merupakan jaminan usahatani padinya aman dari
ancaman kekeringan/kebanjiran, (ii) sistem irigasi (infrastruktur maupun sistem
pengelolaannya) mengkondisikan terbentuknya suatu hamparan yang
agroekosistemnya homogen, (iii) secara relatif sistem irigasi tidak mudah diubah-
ubah karena selain biaya investasinya mahal, sistem tersebut juga melibatkan
stakeholders yang jumlahnya sangat banyak.
3. Adanya homogenitas dalam komunitas petani pada wilayah pengembangan yang
dimaksud di atas. Aspek-aspek utama yang diharapkan homogen mencakup: (i)
sistem penguasaan lahan; terutama yang berkenaan dengan pemilikan lahan
(dimungkinkan adanya sistem sewa dan atau bagi hasil akan tetapi norma yang
berlaku dalam transaksi penguasaan lahan dikenal dan berlaku pada komunitas
tersebut), (ii) profesi petani; dalam arti bahwa para pemilik lahan dan atau
penggarap lahan sebaiknya sebagian besar dan atau seluruhnya berstatus petani
– andaikanpun mempunyai pekerjaan yang lain akan tetapi tetap memperhatikan
55
usahataninya, (iii) sistem pertanian; dalam arti bahwa sebagian besar/seluruh
petani yang menggarap hamparan lahan sawah tersebut berusahatani padi dan
tetap ingin mempertahankan usahatani padi sebagai basis komoditas utamanya.
4. Sebagian besar/seluruh petani yang menguasai lahan garapan pada hamparan
tersebut responsif atau bersikap positif terhadap perubahan teknologi. Hal ini
penting mengingat perubahan teknologi akan dijadikan salah satu instrumen
pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala komersial.
5. Kelembagaan/sosial budaya setempat tidak tabu atau bertentangan dengan
kelembagaan ekonomi yang kondusif untuk mendukung pengembangan
agribisnis padi skala komersial.
6. Tenaga kerja pertanian makin langka dan angkatan kerja usia muda lebih tertarik
bekerja di non pertanian. Makin tinggi kelangkaan tenaga kerja pertanian makin
tinggi kelayakan teknis dan finansial aplikasi mekanisasi pertanian dan makin
tinggi tuntutan atas skala pengelolaan yang lebih luas karena sinergis dengan
efisiensi pemanfaatan peralatan mekanis.
7. Adanya fasilitasi dari Pemerintah. Fasilitasi pemerintah sangat diperlukan
utamanya dalam pengembangan infrastruktur, (b) penyediaan modal melalui
kredit murah, (c) kemudahan untuk memperoleh peralatan dan mesin pertanian
dan input usahatani, (d) dukungan kebijakan di bidang pasar input dan
pemasaran output, dan (e) pendampingan teknologi dan manajemen usaha.
3.4.Pengembangan Kelembagaan Agribisnis Padi Skala Komersial
Bentuk kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak
dapat diseragamkan. Argumen dasarnya, adaptasi dan inovasi kelembagaan yang
merupakan determinan eksistensi kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut berada. Konkritnya adalah
sebagai berikut.
Secara teoritis, setidaknya ada dua bentuk kelembagaan agribisnis padi skala
komersial yaitu: (1) Integrasi vertikal, dan (2) Koordinasi vertikal. Model integrasi
vertikal mensyaratkan bahwa penguasaan atas hamparan berada dalam satu
tangan. Pada sistem usahatani padi di Indonesia yang saat ini berlaku (eksisting),
56
model ini hampir tak dapat diimplementasikan karena secara legal tidak
dimungkinkan seseorang memiliki lahan sawah seluas 500 hektar; bahkan
andaikanpun secara ilegal memiliki lahan seluas itu maka akan terdiri dari puluhan
persil yang sumber irigasinya tidak berada dalam satu sistem. Pola Integrasi vertikal
hanya mungkin dilakukan pada lahan sawah hasil pencetakan baru dari lahan negara
yang kemudian dijalankan oleh suatu perusahaan dengan Hak Guna Usaha (HGU).
Jadi, bentuknya hampir sama dengan Perusahaan Pekebunan Swasta tetapi core
businessnya adalah usaha pertanian dengan komoditas utama padi. Sudah barang
tentu kelayakan teknis dan kelayakan usahanya dilengkapi dengan kajian atas aspek
sosial yang lebih lengkap karena implikasi dalam dimensi sosial/kelembagaan dari
karakteristik bisnis padi sangat berbeda dengan bisnis komoditas perkebunan.
Mempertimbangkan kondisi obyektif profil pemilikan dan penguasaan lahan
sawah untuk usahatani padi mayoritas petani padi di Indonesia pada saat ini
(eksisting), yang berpeluang diterapkan koordinasi vertikal. Secara garis besar model
koordinasi vertikal dapat dipilah lebih lanjut menjadi 2 kategori: (i) Koordinasi
Vertikal Penuh (KVP) dan (ii) Quasi Koordinasi Vertikal (QKV). Pada prinsipnya,
model KVP dapat mengadopsi model Perkebunan Inti Rakyat (PIR), sedangkan
model QKV pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip pengelolaan
usahatani secara terkonsolidasi pada kelembagaan Gabungan Kelompok Tani
Sehamparan.
Jika dikaitkan dengan profil pemilikan dan penguasaan lahan sawah petani
saat ini, di beberapa lokasi di Luar Pulau Jawa dimungkinkan untuk dikembangkan
Pilot Proyek KVP maupun QKV, sedangkan di beberapa lokasi di Pulau Jawa
seyogyanya adalah QKV.
Prinsip umum dari eksistensi kelembagaan pengembangan agribisnis padi
skala komersial adalah bahwa net social benefit harus lebih tinggi daripada net social
benefit usahatani padi saat ini berlaku. Perlu digaris bawahi bahwa tidaklah cukup
net financial benefit, tetapi net social benefit; artinya bahwa penghitungan
keuntungan finansial tidak cukup hanya didasarkan atas sudut pandang perusahaan
tetapi dari sudut pandang keseluruhan stakeholders (petani dan perusahaan). Hal ini
57
merupakan implikasi logis dari kondisi obyektif yang menunjukkan bahwa simpul-
simpul kritis pengembangan usahatani padi melibatkan pula dimensi sosial budaya.
Salah satu faktor pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala
komersial adalah pemanfaatan peralatan mekanis. Ada tiga peralatan mekanis yang
terpenting dalam hal ini (sesuai dengan urutan prioritasnya) yaitu: traktor, combine
harvester, dan transplanter. Sesuai dengan kondisi setempat, keberadaan pompa
irigasi juga perlu diperhitungkan.
Agar viabilitas finansial/ekonomi sistem usahatani padi skala komersial yang
bersumber dari aplikasi mekanisasi pertanian maka pemilik/penggarap lahan sawah
sehamparan dalam sistem tersebut harus dapat dikonsolidasikan dengan baik. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari faktor-faktor berikut:
(1) Penerapan traktor, transplanter, dan combine harvester akan optimal di
wilayah yang jadwal tanamnya sesuai dengan jadwal irigasi dan sistem irigasi
maupun drainasenya baik. Untuk itu amalgamasi Kelompok Tani dengan
Asosiasi Petani Pemakai Air Irigasi (P3A) sangat diperlukan.
(2) Penerapan transplanter akan optimal jika sistem pembibitan benih padi
dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin
tersebut dan petani tepat dalam memilih varietas tanaman padi yang paling
sesuai untuk penanaman dengan sistem jajar legowo.
Sumber lain dari tambahan keuntungan usahatani padi yang terkonsolidasi
dalam model kelembagaan koordinasi vertikal adalah meningkatnya bargaining
position petani di pasar input dan output usahatani padi. Dengan volume pengadaan
input dan volume penjualan output yang lebih besar secara terkonsolidasi maka efek
negatif dari struktur pasar oligopolistik (dalam pasar input) dan oligopsonistik (dalam
pasar hasil pertanian) dapat ditekan/diminimalkan.
Dukungan pemerintah yang diperlukan utamanya adalah fasilitasi dalam
penguatan kelembagaan yakni berbadan hukum sehingga aksesnya terhadap
lembaga perkreditan formal (perbankan) meningkat. Aspek lain tentu saja adalah
bimbingan teknis budidaya, bimbingan sistem manajemen usaha, dan dukungan
asuransi pertanian.
58
Setidaknya ada dua faktor kunci dalam pengembangan model kelembagaan
pengelolaan alsintan yang sudah ada agar dapat dimanfaatkan secara optimal, yaitu:
(1) Pentingnya peningkatan kapasitas dan ketrampilan sumberdaya manusia (SDM)
pengelola dan operator alsintan. Pelatihan bagi operator alsintan perlu dilakukan
untuk menghasilkan tenaga yang multi tasking, artinya seorang operator alsintan
setidaknya bisa mengoperasikan 2 - 3 jenis alsintan, agar tenaga kerja yang sudah
dilatih tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal; dan (2) Pentingnya penyediaan
dan pelayanan purna jual sesuai dengan jenis alsintan yang digunakan serta
senantiasa siap melayani di lokasi terdekat dengan lembaga pengelola alsintan.
Model kelembagaan pengelolaan alsintan dalam agribisnis padi skala
komersial yang akan dikembangkan perlu diintegrasikan dengan berbagai subsistem
dari kelembagaan ekonomi yang yang telah ada untuk dapat bekerja secara sinergis.
Subsistem dimaksud meliputi :
(1) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan kelompok UPJA.
(2) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam bentuk
kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan
dan sebagainya.
(3) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,
petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A).
(4) Permodalan dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau
lembaga keuangan non Bank.
(5) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur pemerintah
dan kelembagaan penyuluh.
59
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Hasil analisis dari pemanfaatan berbagai jenis alsintan meliputi traktor roda 2,
alat tanam (transplanter), power thresher, dan alat panen (mini combine harvester)
di tingkat usahatani secara finansial menguntungkan yang ditunjukkan oleh nilai R/C
(return cost ratio) dari penggunaan masing-masing alat tersebut yang lebih besar
dari 1 (satu). Selain itu, dibandingkan dengan pengelolaan usahatani padi secara
konvensional (tanpa menggunakan alsintan), maka penggunaan alsintan dalam
usahatani padi memberikan manfaat dalam meningkatkan produktivitas, menghemat
tenaga kerja manusia, dan memberikan tambahan keuntungan. Namun demikian
dalam program fasilitasi bantuan alsintan perlu diperhatikan rasio jumlah alsintan
menurut jenis dengan luasan lahan sawah yang perlu dilayani agar alsintan dapat
dimanfaatkan secara optimal. Selain itu, pengembangan alsintan di setiap wilayah
perlu memperhatikan kebutuhan spesifik lokasi dan preferensi petani pengguna.
Prospek pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak dapat
diberlakukan secara masal dan di semua tempat, namun perlu disesuaikan dengan
potensi wilayah, kondisi petani/pertanian yang memenuhi beberapa prasyarat
berikut: (1) Tersedianya hamparan lahan sawah sekitar 500 hektar; (2) Hamparan
lahan sawah tersebut berada dalam satu sistem pengelolaan irigasi, berupa irigasi
permukaan (gravitasi) ataupun irigasi pompa dengan sumber air sadapan air sungai,
air danau, ataupun air tanah dalam (ground water) dengan debit pemompaan yang
setidaknya mampu mengairi 25 hektar per unit pompa irigasi; (3) Adanya
homogenitas dalam komunitas petani pada wilayah pengembangan meliputi aspek
sistem penguasaan lahan; para pemilik lahan dan atau penggarap lahan sebaiknya
sebagian besar dan atau seluruhnya berstatus petani; sebagian besar/seluruh petani
yang menggarap hamparan lahan sawah tersebut berusahatani padi dan tetap ingin
mempertahankan usahatani padi sebagai basis komoditas utamanya; (4) Sebagian
besar/seluruh petani yang menguasai lahan garapan pada hamparan tersebut
responsif atau bersikap positif terhadap perubahan teknologi; (5)
Kelembagaan/sosial budaya setempat mendukung pengembangan agribisnis padi
skala komersial; (6) Adanya kelangkaan tenaga kerja di sektor pertanian khususnya
60
pada usahatni padi yang medorong dibutuhkannya alsintan dalam pengusahaan padi
skala komersial, dan (7) Adanya fasilitasi dari Pemerintah dalam pengembangan
infrastruktur, penyediaan modal melalui kredit murah, kemudahan untuk
memperoleh alsintan dan input usahatani, dukungan kebijakan di bidang pasar input
dan pemasaran output, dan pendampingan teknologi dan manajemen usaha.
Bentuk kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial tidak
dapat diseragamkan, hal ini karena adaptasi dan inovasi kelembagaan yang
merupakan determinan eksistensi kelembagaan tersebut dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan sosial ekonomi dimana lembaga tersebut berada. Prinsip umum dari
eksistensi kelembagaan pengembangan agribisnis padi skala komersial adalah
bahwa net social benefit harus lebih tinggi daripada net social benefit usahatani padi
saat ini berlaku. Perlu digaris bawahi bahwa tidaklah cukup net financial benefit,
tetapi net social benefit.
Berdasar kondisi obyektif profil pemilikan dan penguasaan lahan sawah untuk
usahatani padi mayoritas petani padi di Indonesia pada saat ini (eksisting), model
pengembangan yang berpeluang diterapkan adalah model koordinasi vertikal. Secara
garis besar model koordinasi vertikal dapat dipilah lebih lanjut menjadi 2 kategori: (i)
Koordinasi Vertikal Penuh (KVP) dan (ii) Quasi Koordinasi Vertikal (QKV). Pada
prinsipnya, model KVP dapat mengadopsi model Perkebunan Inti Rakyat (PIR),
sedangkan model QKV pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip
pengelolaan usahatani secara terkonsolidasi pada kelembagaan Gabungan Kelompok
Tani Sehamparan. Jika dikaitkan dengan profil pemilikan dan penguasaan lahan
sawah petani saat ini, di beberapa lokasi di Luar Pulau Jawa dimungkinkan untuk
dikembangkan Pilot Proyek KVP maupun QKV, sedangkan di beberapa lokasi di Pulau
Jawa seyogyanya adalah QKV.
Salah satu faktor pendukung pengembangan sistem agribisnis padi skala
komersial adalah pemanfaatan peralatan mekanis. Ada tiga peralatan mekanis yang
terpenting dalam hal ini (sesuai dengan urutan prioritasnya) yaitu: traktor, combine
harvester, dan transplanter. Sesuai dengan kondisi setempat, keberadaan pompa
irigasi juga perlu diperhitungkan.
61
Agar viabilitas finansial/ekonomi sistem usahatani padi skala komersial yang
bersumber dari aplikasi mekanisasi pertanian maka pemilik/penggarap lahan sawah
sehamparan dalam sistem tersebut harus dapat dikonsolidasikan dengan baik. Hal ini
merupakan konsekuensi logis dari faktor-faktor berikut: (1) Penerapan traktor,
transplanter, dan combine harvester akan optimal di wilayah yang jadwal tanamnya
sesuai dengan jadwal irigasi dan sistem irigasi maupun drainasenya baik. Untuk itu
amalgamasi Kelompok Tani dengan Asosiasi Petani Pemakai Air Irigasi (P3A) sangat
diperlukan; dan (2) Penerapan transplanter akan optimal jika sistem pembibitan
benih padi dilakukan dengan cara yang sesuai tuntutan teknis pengoperasian alsin
tersebut dan petani tepat dalam memilih varietas tanaman padi yang paling sesuai
untuk penanaman dengan sistem jajar legowo.
Model kelembagaan pengelolaan alsintan dalam agribisnis padi skala komersial
yang akan dikembangkan perlu diintegrasikan dengan berbagai subsistem dari
kelembagaan ekonomi yang yang telah ada untuk dapat bekerja secara sinergis.
Subsistem dimaksud meliputi: (i) Pelayanan jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan
kelompok UPJA; (ii) Penyediaan alsintan, suku cadang, pelayanan perbaikan, dalam
bentuk kelembagaan produsen alsintan, usaha perbengkelan/pengrajin alsintan dan
sebagainya; (iii) Pengguna jasa alsintan dalam bentuk kelembagaan usahatani,
petani/kelompoktani dan Perhimpunan Petani Pemakai Air (P3A); (iv) Permodalan
dan pendanaan dalam bentuk kelembagaan perbankan atau lembaga keuangan non
Bank; dan (v) Pembinaan dan pengendalian, berupa kelembagaan aparatur
pemerintah dan kelembagaan penyuluh.
62
DAFTAR PUSTAKA
BB. Mektan. 2014. Data Analisis Alsintan dan Titik Impasnya. Balai Besar Mekanisasi
Pertanian. Serpong.
Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2010. Pedoman Teknis
Revitalisasi Penggilingan Padi Kecil. Ditjen P2HP (Pengolahan dan Pemasaran
Hasil Pertanian) Kementerian Pertanian RI. Jakarta.
Mohanty, Sam. 2015. Economic Transition and Demographic. Report to the Board
Programe Committee, agenda Item 4. IRRI. Manila
PSEKP. 2015. Hasil penelitian Pertanian Modern di Kabupaten Soppeng Sulawesi
Selatan. Analisis Kebijakan, Tidak dipublikasikan. Pusat Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.