Upload
intani-kurnia-savitri
View
98
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tuga
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERANBLOK DERMATOMUSKULOSKELETALPEMERIKSAAN FOSFAT ANORGANIK
(Metode Fotometri UV Test)
Oleh :Kelompok B.1
Fikriah Rismi Febrina G1A012049Fathul Barry G1A012058 Hardina Bawatri G1A012064Regina Wahyu Apriani G1A012069 Davira Azzahra Firjananti G1A012067Melati Nuretika G1A012070 Dimitri Iman Prawira G1A012071Nurul Hidayati G1A012077Khoirunnisa Fajar Iriani P G1A012078Dyah Ajeng Permatahani G1A012079Yona Ajeng Triafatma G1A012085 Ismail Satrio Wibowo G1A012086Nur Indah Rahayu G1A012088Hanif Kun Cahyani Putri G1A012146
AsistenViny Agustiani Lestari
NIM. G1A011031
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013LEMBAR PENGESAHAN
1
PEMERIKSAAN FOSFAT ANORGANIK(Metode Fotometri UV Test)
Oleh :Kelompok B.1
Fikriah Rismi Febrina G1A012049Fathul Barry G1A012058 Hardina Bawatri G1A012064Regina Wahyu Apriani G1A012069 Davira Azzahra Firjananti G1A012067Melati Nuretika G1A012070 Dimitri Iman Prawira G1A012071Nurul Hidayati G1A012077Khoirunnisa Fajar Iriani P G1A012078Dyah Ajeng Permatahani G1A012079Yona Ajeng Triafatma G1A012085 Ismail Satrio Wibowo G1A012086Nur Indah Rahayu G1A012088Hanif Kun Cahyani Putri G1A012146
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum Biokimia Kedokteran Blok Dermatomuskuloskeletal pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu-
Ilmu Kesehatan Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Diterima dan disahkanPurwokerto, November 2013
Asisten
Viny Agustiani Lestari NIM. G1A011031
2
BAB IPENDAHULUAN
A. Judul
Pemeriksaan Fosfat Anorganik (Metode Fotometri UV Test)
B. Hari dan Tanggal
Jumat, 1 November 2013
C. Tujuan
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar fosfat anorganik dengan
metode Fotometri UV Test.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan fosfat
anorganik pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan
nilai normal.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan diagnosa dini penyakit apa saja
yang berkaitan dengan kadar fosfat anorganik abnormal dengan
bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi dan Struktur Fosfat
Fosfat adalah anion utama cairan intrasel. Fosfat mempunyai
kemampuan berkombinasi bolak-balik dengan sejumlah besar sistem
koenzim dan juga dengan sejumlah besar senyawa lain yang penting pada
proses metabolisme (Guyton & Hall, 2007).
Fosfat adalah suatu anion yang terbentuk akibat penguraian asam
anorganik yang disebut asam fosfat (H3PO4). Hilangnya ion hidrogen akibat
penguraian menyebabkan fosfat bermuatan negatif. Senyawa organik yang
mengandung gugus fosfat mempunyai ion fosfat yang terikat secara kovalen
melalui salah satu atom oksigennya ke kerangka karbon. Salah satu fungsi
gugus fosfat adalah dalam transfer energi diantara molekul organik (Campbell
et all, 2010).
Fosfat anoganik dalam plasma terutama terdapat dalam dua bentuk,
yaitu HPO4- dan H2PO4
-. Konsentrasi HPO4- adalah sekitar 1,05 mmol/L dan
konsentrasi H2PO4- sekitar 0,26 mmol/L (Guyton & Hall, 2007).
Gambar 1. Struktur Fosfat (Guyton & Hall, 2007).
B. Bentuk–Bentuk Fosfat Serum
Fosfat serum terdapat dalam beberapa bentuk, yaitu sebagai berikut :
1. Ion fosfat
2. Fosfat yang terikat protein
Fosfat yang terikat protein hanya sekitar 10% dari total kadar fosfat
serum, sehingga tidak bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat
anorganik didalam serum.
3. Fosfat dalam bentuk kompleks yang berikatan dengan Na, Ca, dan
Mg.
4
Jelasin perbanyak lagi ya..janngan Cuma disebutin!
C. Fungsi-Fungsi Fosfat
Fosfat merupakan senyawa penting dari semua jaringan tubuh dan
mempunyai variasi luas dalam fungsi vital, termasuk pembentukan substansi
penyimpanan energi (misalnya adenosin trifosfat); pembentukan sel darah
merah 2,3 difosfogliserat (DPG), yang memudahkan pengiriman oksigen ke
jaringan-jaringan; metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak; serta
pemeliharaan keseimbangan asam-basa. Selain itu, fosfat penting untuk
saraf normal dan fungsi otot serta memberi struktur penyokong untuk tulang
dan gigi. Kadar PO43- plasma bervariasi sesuai usia, dengan pengecualian
akan terjadi sedikit peningkatan PO43- pada wanita setelah menopause.
Makanan yang mengandung glukosa, insulin, atau gula menyebabkan
penurunan sementara kadar PO43- , karena perpindahan PO4
3- serum ke
dalam sel-sel (Horne, 2000).
Fungsi fosfat dengan kalsium adalah untuk menyokong pembentukan
tulang. Kebanyakan fosfat berasal dari masukan diet dari produk unggas,
daging, dan telur. Fosfat merupakan anion intraseluler primer. Fosfat
membantu mengubah energi dalam sel. Sekitar 85% fosfat tubuh berada
dalam tulang dan sisanya 15% berada dalam intraselular. Kira-kira 10%
fosfat plasma dalam bentuk berikatan dengan protein. Fosfat plasma
meningkatkan keseimbangan asam-basa tubuh dengan berperan sebagai
buffer dalam cairan ekstraseluler. Ion fosfat sangat penting dalam
metabolisme selular serta sebagai komponen nukleotida dan membran sel.
(Tambayong, 2000).
Dibkin poit-point ya fungsinya biar jelas!
D. Hormon dan Vitamin yang Berperan dalam Regulasi Fosfat
Keseimbangan fosfat dicapai dengan ekskresi ginjal, proses ini
dipengaruhi oleh hormon paratiroid, yang menurunkan absorpsi fosfat.
Sumber utama fosfat makanan adalah susu, produk susu, dan daging.
Masukan harian yang disarankan adalah 880 mg/24 jam pada anak berusia
1-10 tahun dan 1.200 mg untuk anak yang lebih besar. Absorbsinya
dirangsang oleh vitamin D beserta metabolitnya dan oleh hormon paratiroid
5
(PTH). Absorbsinya diturunkan oleh tirokalsitonin, oleh pengikat seperti
aluminium hidroksida dan karbonat dalam usus (Tambayong, 2000).
1. Hormon paratiroid (PTH)
PTH mengendalikan keseimbangan kalsium dan fosfat dalam
tubuh melalui peningkatan kadar kalsium darah dan penurunan kadar
fosfat darah. Reabsorpsi fosfat di tubulus ginjal diatur oleh PTH, yang
efeknya diperantarai oleh sistem adenilat siklase. Hormon ini
menurunkan reabsorpsi fosfor tubulus ginjal terutama di tubulus
proksimal dan berhubungan dengan fosfaturia. Kondisi yang
menimbulkan urin basa juga menurunkan reabsorpsi fosfat (Sloane,
2003).
2. Hormon kalsitonin
Kalsitonin (tirokalsitonin) diproduksi oleh sel parafolikular
kelenjar tiroid, hormon ini berantagonis langsung dengan PTH dan
menaikkan kadar fosfor darah. Kalsitonin akan dilepas oleh kelenjar
tiroid jika kadar fosfor darah sangat rendah. Kalsitonin akan
menghambat efek PTH terhadap reabsorpsi kalsium dan menstimulasi
osteoklast sehingga mengakibatkan ambilan fosfat oleh tulang
(Sloane, 2003).
3. Vitamin D
Vitamin D dosis tinggi merangsang reabsorpsi fosfat di tubulus
proksimal, seperti juga hormon pertumbuhan. Pada banyak keadaan,
transport fosfat di tubulus ginjal setara dengan natrium. Transport
fosfat juga terkait dengan glukosa dan perubahan pH, hiperglikemia
menurunkan transpor maksimal fosfor dan mengakibatkan fosfaturia
(Behrman, 2000).
Meskipun fosfat ditransportasi aktif melewati dinding usus, ginjal
yang berperan paling penting dalam pengaturan fosfat tubuh. Pengelolaan
fosfat ginjal terdiri dari filtrasi glomerulus dengan reabsorpsi fakultatif di
tubulus. Fosfor ultrafiltrasi dapat secara bebas difiltrasi di glomerulus, 90%
beban filtrasi ini dalam keadaan normal direabsorpsi. Sekitar 80% beban
filtrasi mengalami reabsorpsi fosfor di tubulus secara maksimal ada di
6
tubulus proksimal. Karena transport maksimum ini hanya sedikit diatas
beban filrasi normal, sedikit peningkatan fosfor plasma meningkatkan beban
filtrasi di atas transport maksimum dan meningkatkan ekskresi fosfor urin.
Ekskresi urin fosfat menunjukkan irama sirkadian, dengan tingkat terendah
pada pagi hari dan tertinggi pada sore hari (Behrman, 2000).
Gambar 2. Mekanisme Regulasi Fosfat (Sloane, 2003).
E. Metabolisme Fosfat
Konsentrasi PO43- tidak dikontrol seketat konsentrasi Ca2+ plasma.
Fosfat diatur secara langung oleh vitamin D dan secara tak langsung oleh
lengkung umpan balik Ca2+ plasma melalui PTH. Sebagai gambaran,
penurunan konsentrasi PO43- plasma menimbulkan efek ganda untuk
membantu meningkatkan kadar PO43- kembali ke normal (Sherwood, 2011).
Pertama, karena hubungan terbalik antara konsentrasi PO43- dan Ca2+
di plasma, maka penurunan PO43- plasma meningkatkan Ca2+ plasma, yang
secara tidak langsung menekan sekresi PTH. Dengan berkurangnya PTH
7
maka reabsorpsi PO43- di ginjal meningkat, mengembalikan konsentrasi
PO43-plasma ke arah normal (Sherwood, 2011).
Kedua, penurunan PO43- plasma juga meningkatkan pengaktifan
vitamin D, yang kemudian mendorong penyerapan PO43- di usus. Hal ini
ikut membantu mengatasi pemicu hipofosfatemia. Perubahan-perubahan
tersebut tidak mengganggu keseimbangan Ca2+. Meskipun peningkatan
vitamin D aktif merangsang penyerapan Ca2+, namun penurunan PTH yang
kemudian terjadi menghasilkan peningkatan kompensatorik ekskresi Ca2+ di
urin karena reabsorpsi Ca2+ yang terfiltrasi berkurang (Sherwood, 2011)
F. Faktor yang Meningkatkan dan Menurunkan Kadar Fosfat
1. Peningkatan Kadar Fosfat
Terdapat hubungan terbalik antara konsenstrasi CA2+ dan PO43-
plasma. Ca2+ dan PO43- dibebaskan dari tulang ketika PTH mendorong
disolusi tulang. Karena PTH disekresikan hanya jika Ca2+ plasma
turun dibawah normal maka Ca2+ yang dibebaskan diperlukan untuk
memulihkan Ca2+ plasma ke normal, sedangkan PO43- yang dibebaskan
cenderung menaikkan kadar PO43- plasma melebihi normal. Jika kadar
PO43- dibiarkan meningkat melebihi normal maka sebagian dari Ca2+
yang dibebaskan harus diendapkan kembali ke tulang bersama dengan
PO43- agar produk kalsium fosfat konstan (Sherwood, 2011)
Selain itu, bentuk aktif vitamin D terlepas dari efeknya pada
transpor Ca2+, juga meningkatkan penyerapan PO43-. Vitamin D juga
meningkatkan kepekaan tulang terhadap PTH. Karena itu, vitamin D
dan PTH sangat saling bergantungan (Sherwood, 2011).
2. Penurunan Kadar Fosfat
Konsentrasi fosfat plasma juga dipengaruhi oleh pertukaran
fosfat berkesinambungan antar tempat penyimpanan terbanyak di
tulang dan cairan esktraseluler. Pelepasan fosfor dari tempat
penyimpanannya di tulang dirangsang oleh hormon pengatur yang
sama dengan yang merangsang pelepasan kalsium. Reabsorpsi fosfat
dari tulang dirangsang oleh 1,25-dihidroksivitamin D3 dan PTH,
8
tetapi dihambat oleh tirokalsitonin. Fosfat juga dengan mudah
ditransportasi melewati membran sel (Behrman, 2000).
Pemberian glukosa atau insulin dapat menurunkan kadar fosfat
plasma, mungkin akibat fosforilase glukosa. Hiperventilasi, alkalosis,
dan pemberian epinefrin juga menurunkan konsentrasi fosfat plasma
(Behrman, 2000).
9
BAB IIIMETODE PEMERIKSAAN
A. Alat dan Bahan
Alat
1. Spuit 3 cc
2. Torniquet
3. Vacuum med non-EDTA
4. Sentrifugator
5. Tabung reaksi 3 ml
6. Rak tabung reaksi
7. Mikropipet (10 μL – 100 μL)
8. Makropipet (100 μL – 1000 μL)
9. Yellow tip
10. Blue tip
11. Spektrofotometer
12. Jam (Penunjuk waktu)
Bahan
1. Sampel (Serum)
2. Working Reagen
3. Kapas
4. Alkohol 70%
B. Cara Kerja
1. Persiapan sampel:
a. Mengambil 3cc darah vena pada probandus dengan
menggunakan spuit 3cc, torniquet, kapas, dan alkohol.
b. Mengalirkan darah tersebut ke dalam vacuum med yang
tidak mengandung EDTA.
c. Melakukan sentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama
10 menit.
2. Menyiapkan pada tabung reaksi:
a. Memasukkan working reagen 1 ml
10
b. Menambahkan sampel (serum) sebanyak 10μL
3. Melakukan homogenisasi
4. Melakukan inkubasi selama 1 menit dalam suhu ruangan (20-250 C)
5. Mengukur absorbansi pada spektrofotometer dengan panjang
gelombang 340 nm secara end-point.
C. Nilai Normal
Kadar fosfat anorganik :
Dewasa : 2,5-5,0 mg/dL atau 0,81-1,62 mmol/l
Anak-anak : 4,0-7,0 mg/dL atau 1,30-2,26 mmol/l
11
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
a. Nama : Fikriah Rismi Febriana
b. Usia : 19 tahun
c. Jenis kelamin : Perempuan
2. Hasil pemeriksaan fosfat anorganik serum adalah 3 mg/dL.
3. Interpretasi pemeriksaan fosfat anorganik adalah normal.
Sebelum pembahasan kasih gambar skematis ya!
B. Pembahasan
Kadar fosfat anorganik serum secara normal adalah 2,5-5,0 mg/dL.
Hasil pemeriksaan pada probandus menunjukkan hasil 3 mg/dL, hal ini
menunjukkan bahwa kadar fosfat anorganik pada probandus adalah normal.
Ginjal mengendalikan ekskresi fosfat. Penyakit ginjal yang parah
menyebabkan retensi fosfat dan peningkatan kadar fosfat serum.
Peningkatan kadar fosfat serum, menyebabkan kalsium serum menurun,
efek pada kalsium ini merangsang sekresi PTH. Penyakit ginjal kronis
sering menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder (Sacher & McPherson,
2004).
Insulin menyebabkan ion-ion fosfat berpindah dari cairan ekstrasel ke
intrasel, sehingga kadar fosfat serum biasanya turun setelah makan atau
setelah pemberian karbohidrat. Asiditas isi usus meningkatkan penyerapan
fosfat, dan alkalinitas menyebabkan fosfat yang masuk dalam sirkulasi
berkurang. Pasien yang mendapat antasid memiliki penyerapan fosfat yang
rendah karena keduanya berkaitan, sehingga fosfat tidak dapat diserap
(Sacher & McPherson, 2004).
Peningkatan ekskresi fosfat terjadi pada asidosis sistemik. Pasien yang
mendapat insulin untuk ketoasidosis diabetikum mungkin mengalami
deplesi fosfat yang berat karena peningkatan pengeluaran melalui ginjal dan
pergeseran ion-ion fosfat ke cairan intrasel yang dipicu oleh insulin.
Penyalahgunaan alkohol juga mengurangi fosfat tubuh sebagian karena
12
penurunan penyerapan usus, sebagian oleh defisiensi kronis protein dalam
makanan yang sering terjadi pada pecandu alkohol, dan sebagian lagi oleh
asidosis sistemik yang menyertai metabolisme alkohol (Sacher &
McPherson, 2004).
Pada probandus tidak terjadi peningkatan maupun penurunan kadar
fosfat anorganik serum. Hal tersebut mengindikasikan tidak ada masalah
pada metabolisme fosfat dalam tubuh seperti yang sudah dijelaskan diatas.
C. Aplikasi Klinis
1. Hiperparatiroid primer
a. Definisi
Hiperparatiroidisme adalah suatu keadaan dimana
kelenjar-kelenjar paratiroid memproduksi lebih banyak hormon
paratiroid dari biasanya. Hiperparatiroid primer adalah salah
satu gangguan endokrin tersering dan merupakan penyebab
penting hiperkalsemia (Robbins et all, 2007).
b. Etiologi
Penyakit ini biasanya disebabkan oleh adenoma paratiroid
atau hiperplasia primer kelenjar (Robbins et all, 2007).
c. Tanda dan Gejala
Pada umumnya, hiperparatiroid primer bersifat
asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak pada
tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan
keadaan di tulang yang disebut ostoetis fibrosa cystica yang
ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal. Pada
ginjal akan ditandai oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosi,
hiperkalsiuria, dan penurunan klirens kreatinin. Kelainan
lainnya adalah miopati, ulkus peptikum dan pankreatitis
keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan
ventrikel serta katup jantung (Setiyohadi, B, 2009).
13
d. Patogenesis dan Patofisiologi
Kelenjar paratiroid terletak dekat dengan lobus tiroid.
Kelenjar ini dapat ditemukan dimana saja sepanjang jalur
penurunan kantong faring, termasuk selubung karotis dan timus
serta dimana saja di mediastinum anterior. Berbeda dengan
beberapa kelenjar endokrin lain, aktivitas kelenjar paratiroid
dikendalikan oleh kadar kalsium di dalam darah, bukan karena
aktifitas hormon trofik yang dikeluarkan oleh hipotalamus
dan hipofisis. (Robbins et al, 2007).
Secara normal penurunan kadar kalsium bebas
merangsang sintesis dan sekresi hormon paratiroid (PTH), yang
akhirnya :
1) Mengaktifkan osteoklas sehingga terjadi mobilisasi
kalsium dari tulang
2) Menngkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal
3) Meningkatkan perubahan vitamin D ke bentuk
dihidroksinya yang aktif di ginjal
4) Meningkatkan ekskresi fosfat melalui urin
5) Meningkatkan penyerapan kalsium dalam saluran
cerna.
Hasil akhir aktivitas diatas adalah meningkatnya
kadar kalsium bebas, yang selanjutnya menghambat
sekresi PTH lebih lanjut (Robbins et al, 2007).
2. Hipervitaminosis D
b. Definisi
Hipervitaminosis D adalah suatu kondisi yang dapat
terjadi setelah mengkonsumsi vitamin D dosis tinggi.
c. Etiologi
Kelebihan vitamin D menyebabkan keabnormalan kadar
kalsium darah menjadi sangat tinggi. Hal ini dapat sangat
merusak tulang, jaringan lunak, dan ginjal dari waktu ke waktu.
14
Hipervitaminosis D hampir selalu disebabkan oleh bentuk
vitamin D yang memerlukan resep dokter.
d. Tanda dan gejala
1) Konstipasi
Konstipasi didefinisikan sebagai gerakan usus (buang air
besar) yang kurang dari 3 kali per minggu. Biasanya
dikaitkan dengan feses yang keras atau kesulitan
mengeluarkan feses. Dapat menyebabkan nyeri saat buang
air besar atau mungkin tidak dapat gerakan usus setelah
mendorong selama lebih dari 10 menit.
2) Berkurangnya nafsu makan (anoreksia)
Berkurangnya keinginan untuk makan dalam bahasa medis
disebut sebagai anoreksia. Berkurangnya nafsu makan
dapat menyebabkan berkurangnya berat badan (weight
loss).
3) Dehidrasi
Dehidrasi berarti tubuh tidak memiliki jumlah cairan yang
seharusnya dimiliki. Dehidrasi dapat ringan, sedang, atau
berat berdasarkan berapa banyak cairan tubuh yang hilang
atau tidak diisi ulang. Ketika sudah parah, dehidrasi adalah
keadaan darurat yang mengancam jiwa.
4) Fatigue
Kelemahan adalah perasaan khawatir, kelelahan, atau
kekurangan energi.
5) Mudah tersinggung
6) Kelemahan otot
Berkurangnya kekuatan pada satu atau lebih otot tubuh.
7) Muntah
Mual adalah perasaan adanya dorongan untuk muntah.
Lebih sering disebut dengan sakit pada perut. Muntah
adalah memaksa isi perut untuk naik ke esofagus dan
keluar melalui mulut.
15
e. Patogenesis dan Patofisiologi
Asupan makanan yang mengandung vitamin D (kalsiferol)
seperti susu, margarin, kuning telur, daging, akan masuk ke
dalam intestinal untuk di absorbsi. Adanya getah empedu,
kalsiferol diabsorbsi oleh mukosa intestinal dan
ditransportasikan oleh kilomikron ke hepar dan ginjal untuk
dihidroksilasi di kedua organ tersebut. Bentuk aktifnya, 1,25-
dihidroksivitamin D3 diaktifkan.
Adanya hipokalsemia, hipofosfatemia, dan hormon
paratiroid, berdampak pada beberapa hal sebagai berikut :
1) Pada intestinum, menginduksi absorbsi kalsium
fosfat
2) Pada tulang, menginduksi pembongkaran tulang dan
mineralisasi
3) Pada ginjal, menginduksi tubulus ginjal untuk
mereabsorbsi kalsium
Hipervitaminosis kronik dapat terjadi setelah ingesti
vitamin D dalam jumlah yang berlebihan selama berminggu-
minggu atau berbulan-bulan. Dapat memicu kalsifikasi pada
jaringan lunak, sebagai berikut :
1) Pada jantung, stenosis katup aorta
2) Pada pembuluh darah, hipertensi
3) Pada tubulus ginjal, nefrokalsinosis yang dapat
berkembang menjadi nefrogenik sekunder (poliuri,
polidipsi)
4) Sindrom Fanconi
5) Pada perut, anoreksia, mual, muntah
3. Gagal Ginjal Kronik
a. Definisi
16
Keadaan dimana fungsi ginjal mengalami penurunan yang
progresif secara perlahan tapi pasti, yang dapat mencapai 60 %
dari kondisi normal menuju ketidakmampuan ginjal ditandai
tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia
disebut dengan gagal ginjal kronik (Smeltzer, 2001).
Gagal Ginjal Kronik (GGK) atau penyakit ginjal tahap
akhir (ESRD) adalah gangguan fungsi ginjal yang menahun
bersifat progresif dan irreversible. Dimana kemampuan tubuh
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan
dan elektrolit gagal, menyebabkan uremia, yaitu retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer, 2001).
b. Etiologi
Etiologi dari gagal ginjal kronik adalah glomerulonefritik,
nefropati analgesik, nefropati refluks, ginjal polikistik, nefropati,
diabetik, serta penyebab lain seperti hipertensi, obstruksi, gout,
dan penyebab yang tidak diketahui.
Menurut (Price, 2012), penyebab GGK adalah :
1) Infeksi, seperti pielonefritis kronik
2) Penyakit peradangan, seperti glomerulonefritis
3) Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya
nefrosklerosis dan stenosis arteri renalis
4) Gangguan kongenital dan herediter, seperti penyakit
polikistik ginjal dan asidosis tubulus
5) Penyakit metabolik, seperti diabetes melitus, gout,
hiperparatiroidisme, dan amiloidosis
6) Penyakit ginjal obstruktif, seperti pembesaran
prostat, batu saluran kemih, dan refluks ureter.
c. Tanda dan Gejala
Gambaran klinik gagal ginjal kronik berat disertai sindrom
azotemia sangat kompleks, meliputi kelainan-kelainan berbagai
organ seperti: kelainan hemopoeisis, saluran cerna, mata, kulit,
17
selaput serosa, kelainan neuropsikiatri, dan kelainan
kardiovaskular (Sukandar, 2006).
1) Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-
94 CU), sering ditemukan pada pasien gagal ginjal kronik.
Anemia yang terjadi sangat bervariasi bila ureum darah
lebih dari 100 mg% atau bersihan kreatinin kurang dari 25
ml per menit.
2) Kelainan saluran cerna
Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari
sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium
terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas,
diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh
flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang
menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan
usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera
mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan
antibiotika.
3) Kelainan mata
Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada
sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus
cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan
gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis.
Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus,
miosis, dan pupil asimetris.
Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan
hipertensi maupun anemia yang sering dijumpai pada
pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit
garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red
eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi.
Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien
18
gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme
sekunder atau tersier.
4) Kelainan kulit
Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih
belum jelas dan diduga berhubungan dengan
hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan
segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit
biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai
timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea
frost.
5) Kelainan selaput serosa
Kelainan selaput serosa, seperti pleuritis dan perikarditis
sering dijumpai pada gagal ginjal kronik terutama pada
stadium terminal. Kelainan selaput serosa merupakan
salah satu indikasi mutlak untuk segera dilakukan dialisis.
6) Kelainan neuropsikiatri
Beberapa kelainan mental ringan, seperti emosi labil,
dilusi, insomnia, dan depresi sering dijumpai pada pasien
gagal ginjal kronik. Kelainan mental berat, seperti konfusi,
dilusi, dan tidak jarang dengan gejala psikosis juga sering
dijumpai pada pasien GGK. Kelainan mental ringan atau
berat ini sering dijumpai pada pasien dengan atau tanpa
hemodialisis, dan tergantung dari dasar kepribadiannya
(personalitas).
7) Kelainan kardiovaskular
Patogenesis gagal jantung kongestif (GJK) pada gagal
ginjal kronik sangat kompleks. Beberapa faktor seperti
anemia, hipertensi, aterosklerosis, kalsifikasi sistem
vaskular, sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik
terutama pada stadium terminal dan dapat menyebabkan
kegagalan faal jantung.
19
d. Patofisiologi
Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung
terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah
terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi
sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang
berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang
menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya
gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal
kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun.
Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan
ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat
dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya
keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir
dengan gagal ginjal terminal (Noer, 2006).
20
BAB VKESIMPULAN
A. Pemeriksaan kadar fosfat anorganik pada sampel probandus adalah normal
yaitu 3 mg/dL, nilai normal kadar fosfat serum adalah 2,5-5,0 mg/dL.
B. Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar fosfat anorganik adalah:
1. Konsenstrasi CA2+ dan PO43- plasma
2. Vitamin D aktif
3. Pertukaran fosfat berkesinambungan antar tempat penyimpanan
terbanyak
4. Pemberian glukosa atau insulin
5. Hiperventilasi
6. Alkalosis
7. Pemberian epinefrin
C. Contoh aplikasi klinis yang berkaitan peningkatan maupun penurunan kadar
fosfat anorganik adalah :
1. Hiperparatiroid primer
2. Hipervitaminosis D
3. Gagal ginjal kronik
21
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, R. E., Robert, M.K., Ann, M.A. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 1. Jakarta: EGC.
Campbell, N.A., Jane, B.R., and Lawrence, G.M. 2010. Biologi. Edisi 9. Jakarta: Erlangga.
Guyton, A.C., and John, E.H. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakrta: EGC.
Horne, M.M., Pamela, L.S. 2001. Keseimbangan Cairan, Elektrolit, dan Asam-Basa Edisi 2. Jakarta: EGC.
Noer, M.S. 2006. “Gagal Ginjal Kronik Pada Anak”. Fakultas Kedokteran UNAIR. Judul miring
Price, S.A., Lorraine, M.W. 2012. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Rennert, N.J. dan David, Z. 2011. “Hypervitaminosis D”. Medline Plus National Institutes of Health. Judul miring
Robbins, S.L., Vinay, K., and Ramzy, S.C. 2007. Buku Ajar Patologi Jilid II. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Sacher, R.A., and Richard, A.M. 2004. Tinjauan Klinis Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11. Jakarta: EGC.
Setiyohadi, B. 2009. “Hiperkalsemia dan Hipokalsemia” Dalam: Sudoyo Aru W., Bambang Setyohadi, Idrus Alwi, et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing.
Sherwood, L. 2011. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem. Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sloane, E. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth Volume 2. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Sukandar, E., 2006. “Neurologi Klinik”. Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD
Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta: EGC.
Jurnalnya mana?
22