42
LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL BLOK 15 KELAINAN NEUROMUSKULOSKELETAL MODUL 2 Disusun oleh : Kelompok 6 Deseli Eka R. NIM. 1310015014 Rizqa Mahardhika NIM. 1310015055 Emirra Ramadhani NIM. 1310015080 Dayinta Laksmi NIM. 1310015051 Ratu Tria Nandya NIM. 1310015009 Siti Aminah NIM. 1310015047 Ermina Adriani NIM. 1310015025 Alif Bareizy Aldila Rama K.A Rio Mandala P.R NIM. 1310015029 NIM. 1310015048 NIM 1210015004 Tutor : Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes 1

Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Embed Size (px)

DESCRIPTION

hasil tutorial kami

Citation preview

Page 1: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 15 KELAINAN NEUROMUSKULOSKELETAL

MODUL 2

Disusun oleh : Kelompok 6

Deseli Eka R. NIM. 1310015014

Rizqa Mahardhika NIM. 1310015055

Emirra Ramadhani NIM. 1310015080

Dayinta Laksmi NIM. 1310015051

Ratu Tria Nandya NIM. 1310015009

Siti Aminah NIM. 1310015047

Ermina Adriani NIM. 1310015025

Alif Bareizy

Aldila Rama K.A

Rio Mandala P.R

NIM. 1310015029

NIM. 1310015048

NIM 1210015004

Tutor : Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

1

Page 2: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha baik, karena atas berkahNya kami selaku

kelompok 6 telah menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil pada Blok 15 Modul 2

mengenai Kejang

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Sjarif Ismail, M.Kes selaku tutor kelompok 6 yang telah membimbing kami

selama menjalani diskusi kelompok kecil (DKK) I dan II sehingga materi diskusi dapat

mencapai sasaran pembelajaran yang sesuai.

2. Rekan sekelompok yang telah mengkondusifkan suasana diskusi tutorial dan bekerja

sama dalam penyelesaian laporan ini.

3. Dosen-dosen yang telah memberikan materi pendukung pada pembahasan sehingga

semakin membantu pemahaman kami terhadap materi ini.

4. Kepada seluruh pihak yang turut membantu penyelesaian laporan ini, baik sarana dan

prasarana kampus yang kami pergunakan.

Kami mengharapkan agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi

para pembaca di kemudian hari. Kami memohon maaf apabila dalam penulisan laporan hasil

diskusi kelompok kecil (DKK) ini terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati para

pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.

Semoga laporan kami ini dapat mendukung pemahaman pembaca terhadap materi tersebut.

Samarinda, 6 Desember 2015

Hormat Kami,

Kelompok 6

2

Page 3: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 2

Daftar Isi .......................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 4

1.2. Tujuan dan Manfaat................................................................................... 4

BAB II ISI

2.1. Skenario .................................................................................................... 5

2.2. Step 1 ........................................................................................................ 5

2.3. Step 2 ........................................................................................................ 5

2.4. Step 3 ........................................................................................................ 5

2.5. Step 4 ........................................................................................................ 9

2.6. Step 5 ........................................................................................................ 10

2.7. Step 6 ........................................................................................................ 11

2.8. Step 7 ........................................................................................................ 11

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan ............................................................................................... 29

3.2. Saran ......................................................................................................... 29

Daftar Pustaka .................................................................................................. 30

3

Page 4: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik local pada substansia grisea otak yang

terjadi sewaktu-waktu, mendadak dan sangat cepat. Epilepsi dikenal sebagai salah satu

penyakit tertua di dunia dan menempati ukuran kedua dari penyakit saraf setelah

gangguan peredaran darah otak. Dengan tatalaksana yang baik, sebagian besar penderita

dapat terbebaskan dari penyakitnya, namun untuk ini ditemukan banyak kendala, di

Indonesia di antaranya kurangnya dokter spesialis saraf, kurangnya keterampilan dokter

umum dan paramedis dalam menanggulangi penyakit ini.

Walaupun penyakit ini telah dikenal lama dalam masyarakat, tetapi pengertian akan

penyakit ini masih kurang bahakan salah sehingga penderita digolongkan dalam penyakit

gila, kutukan dan turunan sehingga penderita tidak diobati atau bahkan disembunyikan.

Akibatnya banyak penderita epilepsy yang tidak terdiagnosis dan mendapat pengobatan

yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan

baik bagi penderita maupun keluarganya.

B. Tujuan Pembelajaran

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kecil yang kami lakukan dengan membahas

scenario ini kami telah manentukan tujuan pembelajaran kami, yaitu mengetahui

mengenai:

1. Epilepsi (definisi, etiologi, pathogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis

banding,dan tatalaksana)

2. Status Epileptikus

4

Page 5: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

BAB II

ISI

Step 1

-

Step 2

1. Apa Definisi dan patofisiologi Kejang ?

2. Apa saja kemungkinan penyebab timbulnya Kejang ?

3. Apa saja klasifikasi dari kejang ?

4. Bagaimana Sign and Symptom ?

5. Cara melakukan Diagnosis ?

6. Penatalaksanaan awal ?

Step 3

1. Kejang adalah masalah neurologik yg relatif sering dijumpai. Diperkirakan bahwa 1

dari 10 orang akan mengalami kejang suatu saat selama hidup mereka. dua puncak

usia untuk insidensi kejang adalah dekade pertama kehidupan dan setelah usia 60

tahun. Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu

populasi neuron yang sangat mudah terpicu (fokus kejang) sehingga mengganggu

fungsi normal otak. Namun kejang juga terjadi dari jaringan otak normal dibawah

kondisi patologik tertentu, seperti perubahan keseimbangan asam basa atau elektrolit.

Kejang itu sendiri, apabila berlangsung singkat, jarang menimbulkan kerusakan, tetapi

kejang dapat merupakan manifestasi dari suatu penyakit mendasar yang

5

Page 6: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

membahayakan, misalnya gangguan metabolisme, infeksi intrakranium, gejala putus

obat, intoksikasi obat, atau enselofati obat, atau enselofati hipertensi.

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksimal yang berlebih dari sebuah fokus kejang

atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.

Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan

tersebut. Lesi di otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemunginan besar

bersifat epileptogenik, sedangkan lesi di serebrum dan batang otak umumnya tidak

memicu kejang. Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera

setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat

hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastic meningkat,

lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000/detik. Aliran

darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin

muncul di cairan serebrospinal (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamate

mungkin mengalami depresi selama aktivitas kejang.

2. Penyebab kejang mencakup faktor-faktor perinatal, malformasi otak kongenital,

faktor genetik, penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis), penyakit demam, gangguan

metabilisme, trauma, neoplasma, toksin, gangguan sirkulasi, dan penyakit degeneratif

susunan saraf.

3. Penyebab kejang berdasar ada tidaknya infeksi :

4. Efek fisiologik kejang

Awal (kurang dari 15 menit)

6

Page 7: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Meningkatnya kecepatan denyut jantung

Meningkatnya tekanan darah

Meningkatnya kadar glukosa

Meningkatnya suhu pusat tubuh

Meningkatnya sel darah putih

Lanjut (15-30 menit)

o Menurunnya tekanan darah

o Menurunnya gula darah

o Disritmia

o Edema paru non jantung

Berkepanjangan (lebih dari 1 jam)

o Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi

hipotensi serebrum

o Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum

tonik-klonik demam, paling sering terjadi pada anak-anak berusia < 5 tahun. Teori

menyarankan bahwa kejang ini disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara

cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Kejang ini umumnya

berlangsung singkat dan mungkin terdapat predisposisi familial. Pada beberapa

kasus, kejang dapat berlanjut melewati masa anak dan anak mungkin mengalami

kejang non demam pada kehidupan selanjutnya.

5. Diagnosis

Sebelum memberi OAE pada penderita maka diagnosis epilepsi harus ditegakkan

terlebih dahulu.serangan yang bersifat tunggal tidak dapat dipakai sebagai

alasan sebagai diagnosis epilepsi, karena banyak orang yang hanya memperoleh

serangan sekali saja dan untuk seterusnya tidak dapat serangan lagi.disamping itu

sehubungan dengan upaya menegakkan diagnosis epilepsi. Masih ada beberapa hal

yang perlu di perhatikan antara lain keterbatasan informasi baik penderita maupun

dari saksi mata, jenis epilepsi, epilepsi yang bersifat idiopatik atau simptomatik. Serta

penyakit lain yang menyerupai epilepsi misalnya narkolepsi, migren,

Sementara itu ada beberapa jenis serangan epilepsi yang sering kali tek dikenali

sebagai serangan epilepsi yang terkenal adlah epilepsi parsial dan refleks epilepsi.

7

Page 8: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Epilepsi parsial memiliki jenis serangan yang bervariasi . bisa bersifat tunggal

dan bisa bisa pula dalam bentuk kombinasi. Jenis seringan meliputi sensasi epigastrik,

halusinasi, gangguan memori dan keadaan seperti mimpi , otomatisme, hipergrafia

dan gangguan efektif.

Dengan demikian jelas bhwa untuk meneggakkan diagnosis epilepsi di perlukan

pertimbangan yang cukup luas karena terapi epilepsi bergantung pada diagnosis yang benar.

Diagnosis etiologik dan jenis serangan

Dalam rangka menelusuri diagnosis epilepsi maka dikenal dua hal pokok yang harus

selalu diperhatikan. Pertama diagnosis yang mendasar, yang biasa di sebut diagnosis

etiologik. Diagnosis ini mengandung kepastian penyebab timbulnya serangan epilepsi.

Kedua. Adalah diagnosa yang superfisial, cukup dengan memastikan jenis serangan

yang ada. Diagnosis ini sehubungan dengan farmakoterapi. Dua hal tersebut sangat

diperlukan untuk terapi rasional. Kegagalan mengenal jenis serangan berarti bahawa

penderita akan terus mengalami serangan karena obat yang diterima tidak cocok untuknya.

Kegagalan mengetahui faktor etiologi bahwa penderita dapat terus mengalami

serangan karena, misalnay tumor otak tidak terdiagnosis.

Apabila dalam pengambilan kesimpulan terdapat keragu-raguan apakah kasus yang

sedang di tangani merupakan kasus epilepsi, maka ada petunjuk sebagai berikut :

pemberian OAE ditunda atau sama sekali dihindarkan pada kasus- kasus, (b).

Serangan ulang yang berjarak beberapaa tahun, (c). Kejang demam sederhana.(d).

Epilepsi parsial benigna pada anank-anak,(e). Epilepsi dengan faktor presipitasi

yang spesifik, diketahui secara persis daan dapat di hindarkan, misalnya obat-obat

psikotropik dan kurang tidur.

6. Tx :

-Fenitoin

-Carbamazepin

-As.Valproat

-Fenobarbital

Yang first linenya diberikan Fenitoin dan Carbamazepin karena langsung bekerja

idalam kanal Natrium, mencegah agar tidak masuk kedalam Intrasel secara

berlebihan. Untuk Bumil lebih baik menggunakan fenobarbital meskipun tetap

8

Page 9: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

memiliki efek teratogenik. Namun, penggunaannya jauh lebih baik daripada OAE

yang lain atau efek teratogenik lebih sedikit dalam dosis tertentu sesuai dengan

tingkat kehamilannya.

9

Page 10: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Step 4

10

Faktor Pencetus

Status Epilepticus

Berulang

ETIOLOGI

Primer,Sekunder

KEJANG

KLASIFIKASI

UMUM

Absence,Tonik-Klonik, Myoclonic

PARSIAL

Simple,kompleks,umum sekunder

Penegakkan Diagnosis

Anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan penunjang

Terapi

Non Medikamentosa, Medikamentosa,

pembedahan

Indikasi Rujuk

Spesialis/RS

Tidak terklasifikasi

Page 11: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Step 5

Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi, Epidemiologi, Etiologi, Patofisiologi, Gejala

Klinis, Diagnosis, Diagnosis banding, Penatalaksanaan, Komplikasi, Prognosis, Pencegahan.

1. Epilepsi

2. Status Epilepticus

Step 6

Belajar mandiri untuk persiapan DKK 2

STEP 7

Definisi

Epilepsi adalah gangguan kronik otak dengan ciri timbulnya gejala-gejala yang dating

dalam serangan-serangan, berulang-ulang yang disebabkan lepas muatan listrik abnormal sel-

sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai etiologi.

Epidemiologi

Terdapat perbedaan data epidemiologi dari berbagai negara. Hal ini disebabkan oleh :

a. Belum adanya keseragaman dalam definisi dan klasifikasi

b. Epilepsy bukan merupakan penyakit yang harus dilaporkan

c. Pengambilan data dari kelompok tertentu (bukan populasi umum) misalnya dari statistic

militer dan murid sekolah, sehingga sulit untuk membandingkan hasil penelitian-

penelitian yang sudah dilakukan.

Insidensi epilepsy di berbagai negara bervariasi antara 0,2 – 0,7 o, prevalensinya bervariasi

antara 4 – 7 o. Sedangkan di Indonesia diperkirakan ada 900.000 – 1,8 juta penderita.

Epilepsi dijumpai pada semua ras di ddunia dengan insidensi dan prevalensi yang

hampir sama, walaupun beberapa peneiti menemukan angka yang lebih tinggi di negara

berkembang. Penderita laki-laki lebih banyak pada wanita, dan lebih sering dijumpai pada

anak pertama.

Awitan dapat dimulai pada semua umur tetapi terdapat perbedaan yang mencolok

pada kelompok umur tertentu sekitar 30-32,9 % penderita mendapat sawan pertama pada usia

kurang dari 4 tahun, 50-51,5 % penderita terdapat pada kelompok usia kurang dari 10 tahun

11

Page 12: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

dan mencapai 75-83,4 % pada usia kurang dari 20 tahun, 15 % penderita pada usia lebih dari

25 tahun dan dari 2 % pada usia lebih dari 50 tahun.

ETIOLOGI

a. Idiopatik

Tidak terdapat lesi structural di otak atau deficit neurologis. Diperkirakan mempunyai

predisposisi genetic dan umumnya berhubungan dengan usia.

b. Kriptogenik

Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya masih belum diketahui. Seperti sindrom

West, sindrom Lenox-Gastaut, dan epilepsy mioklonik. Gambaran klinis sesuai

dengan ensefalopati difus .

c. Simtomatis

Bangkitan epilepsy disebabkan oleh kelainan/lesi structural pada otak, misalnya

cedera kepala, infeksi SSP, kelainan congenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran

otak, toksil, metabolic, dan kelainan neurodegenerative.

PATOMEKANISME

Se-sel otak dikelilingi oleh membrane yang dalam keadaan normal membrane sel neuron

dapat dilalui dengan mudah oleh ion Kalium dan sangat sulit untuk dilalui oleh ion Natrium

(Na) dan elektrolit kecuali klorida(Cl). Akibatnya konsentrasi ion Kalium(K) menjadi tinggi

didalam sel dan konsentrasi ion Natirum sedikit. Keadaan sebaliknya terjadi di luar neuron.

Karena ada perbedaan potensial inilah yang mengakibatkan terjadinya potensial membrane

sel neuron. Potensial membrane inilah yang menajadi jalan untuk terjadinya penghantaran

impuls dari presinaps ke post sinaps.

Saat seseorang mengalami serangan kejang , pola listrik saraf tiba-tiba menjadi tidak

normal dan tidak terkendali. Dasar terjadinya serangan epilepsy ialah gangguan fungsi

neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yaitu

neurotransmitter eksitatorik seperti asetilcolin, glutamate, aspartat, norepineprin yang

memiliki peran sebagai pemudah depolarisasi atau lepas muatan listrik yang bisa

menimbulkan hipereksitasi. Dan ada juga neurotransmitter inhibit seperti gamma amino acid

(GABA) dan glisin.

12

Page 13: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Kejang diakibatkan oleh ketidak seimbangan antara eksitator dan inhibitor pada otak,

ketidakseimbangan tersebut bisa diakibatkan oleh beberapa hal antara lain:

Kurangnya jumlah inhibit akibat dari konsumsi antagonis GABA, atau selama

penghentian pemberian agonis GABA ( alcohol, benzodiazepine)

Meningkatnya neurotransmitter eksitatotik

Pada keadaan patologik dapat mengganggu fungsi membrane potensial neuron

sehingga neuron dapat dengan mudah dilalui ion Ca dan Na, hal ini bisa mengakibatkan

keadaan hipereksitasi yang berupa letupan listrik yang berlebihan di otak dan hal ini menjadi

dasar dari serangan epilepsy. Adapaun fase dimana penderita akan merasa serangan terhenti,

hal tersebut diduga terjadi akibat dari kompensasi sel neuron disekitarnya yang mampu

menginhibit sel neuron yang mengalaimi hipereksitasi. Manifestasi dari epilepsy tergantung

dari lokasi terjadinya letupan listrik bisa dibagian otak frontal, temporal, oksipital parietal,

parsial atau bahkan general. Jika kejang bersifat general, lepas muatan listrik yang berlebihan

akan menyebar ke bagian otak secara luas dan bila mencapai 2/3 bagian otak maka akan

menimbulkan pasien tidak sadarkan diri. Ada 2 hal yang bersifat epileptic yaitu asetilcolin

dan estrogen, dimana bila kedua hal tersebut tinggi dalam darah (estrogen) dan

otak( asetilcolin) maka, akan dapat dengan mudah mencetuskan serangan karena kedua hal

tersebut membuat membrane sel neuron menjadi lebih senstive dan cenderung mudah

mengalami hipereksitensi.

Pada tipe epilepsy absent, terdapat banyak hipotesis akan patomekanismenya.

Beberapa penelitian menyimpulkan bahwa absans diduga terjadi akibat perubahan pada

sirkuit antara thalamus dan korteks serebri. Pada absans terjadi sirkuit abnormal pada jaras

thalamo-kortikal akibat dari adanya mutasi gen penyusun protein ion canal calcium sehingga

terjadi aktivitas ritmik korteks saat sadar, dimana secara normal aktivitas ritmik tersebut

terjadi pada saat tidur non-REM 3.

MANIFESTASI KLINIS

Menurut Commision of Classification and Terminology of the international League

Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981, epilepsi diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Sawan Parsial (lokal, fokal)

a. Sawan Parsial Sederhana : sawan parsial dengan kesadaran tetap normal dan dapat

berupa :

gejala motorik fokal yang menjalar atau tidak menjalar. Pada gejala mototrik

fokal yang tidak menjalar terjadi terbatas pada satu bagian tubuh saja, sedangkan

13

Page 14: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

motorik fokal yang menjalar dimulai dari satu bagian tubuh dan menjalar

meluas ke daerah lain. Disebut juga epilepsi Jackson.

Gerakan versif : sawan disertai gerakan memutar kepala, mata, tubuh.

Gejala sensorik fokal menjalar atau sensorik khusus berupa halusinasi

sederhana, seperti :

o Visual : terlihat cahaya

o Auditoris : terdengar sesuatu

o Olfaktoris : terhidu sesuatu

o Gustatoris : terkecap sesuatu

b. Sawan Parsial Kompleks : gangguan kesadaran dan gejala psikis atau gangguan fungsi

luhur, seperti

Dejavu : kenal dengan peristiwa yang belum pernah dialami

Jamaisvu : tidak kenal dengan peristiwa yang pernah dialami

Disfasia

Ilusi

Halusisnasi sederahana, dan

Automatisme

Automatisme yaitu gerakan-gerakan, perilaku yang timbul dengan sendirinya, misalnya

gerakan mengunyah, menelan, raut muka berubah seringkali seperti ketakutan, menata

sesuatu, memegang kancing baju, berjalan, mengembara tak menentu, dll.

c. Sawan Parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum (tonik-klonik, tonik, klonik)

•Sawan parsial sederhana yang berkembang menjadi bangkitan umum.

•Sawan parsial kompleks yang berkembang menjadi bangkitan umum.

•Sawan parsial sederhana yang menjadi bangkitan parsial kompleks lalu berkembang

menjadi bangkitan umum.

2. Sawan Umum (Konvulsif atau NonKonvulsif)

a. Sawan lena (absence)

Pada sawan ini, kegiatan yang sedang dikerjakan terhenti, muka tampak

membengong, bola mata dapat memutar ke atas, tak ada reaksi bila diajak bicara.

Biasanya sawan ini berlangsung selama ¼ – ½ menit dan biasanya dijumpai pada anak

dan dapat berlangsung puluhan kali dalam sehari. Serangan sawan ini juga disertai

14

Page 15: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

dengan kehilangan tonus otot sehingga barang yang dibawanya dapat terjatuh. Setelah

terjadinya serangan pasien akan tersadar kembali.

b. Sawan Mioklonik

Pada sawan mioklonik terjadi kontraksi mendadak, sebentar, dapat kuat atau

lemah sebagian otot atau semua otot, seringkali atau berulang-ulang. Bangkitan ini dapat

dijumpai pada semua umur.

c. Sawan Klonik

Pada sawan ini tidak terjadi gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan

tunggal multiple di lengan, tungkai atau torso. Dijumpai terutama sekali pada anak.

d. Sawan Tonik

Pada sawan ini tidak ada komponen klonik, otot-otot hanya menjadi kaku pada

wajah dan bagian tubuh bagian atas, flaksi lengan dan ekstensi tungkai. Sawan ini juga

terjadi pada anak.

e. Sawan Tonik-Klonik

Sawan ini sering dijumpai pada umur di atas balita yang terkenal dengan nama

grand mal. Serangan dapat diawali dengan aura, yaitu tanda-tanda yang mendahului

suatu sawan. Pasien mendadak jatuh pingsan, otot-otot seluruh badan kaku. Kejang kaku

berlangsung kira-kira ¼ – ½ menit diikutti kejang kejang kelojot seluruh tubuh.

Bangkitan ini biasanya berhenti sendiri. Tarikan napas menjadi dalam beberapa saat

lamanya. Bila pembentukan ludah ketika kejang meningkat, mulut menjadi berbusa

karena hembusan napas. Mungkin pula pasien kencing ketika mendapat serangan.

Setelah kejang berhenti pasien tidur beberapa lamanya, dapat pula bangun dengan

kesadaran yang masih rendah, atau langsung menjadi sadar dengan keluhan badan pegal-

pegal, lelah, nyeri kepala.

f. Sawan Atonik

Pada keadaan ini otot-otot seluruh badan mendadak melemas sehingga pasien

terjatuh. Kesadaran dapat tetap baik atau menurun sebentar. Sawan ini terutama sekali

dijumpai pada anak.

3. Sawan Tak Tergolongkan

Termasuk golongan ini ialah bangkitan pada bayi berupa gerakan bola mata yang ritmik,

mengunyah, gerakan seperti berenang, menggigil, atau pernapasan yang mendadak berhenti

sederhana.

DIAGNOSIS

15

Page 16: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Untuk diagnosis sindrom epileptik, diperlukan data yang dapat diperoleh melalui

anamnesis. Data yang harus didapatkan berhubungan dengan data tipe kejang, dan data

penunjang lainnya. Namun, seringkali penderita datang tidak dalam kondisi kejang. Sehingga

penguatan anamnesis merupakan kunci untuk mendapatkan gambaran serangan. Seringkali

hal ini bergantung pada kemampuan penganamnesis dan saksi kejadian serangan. Biasanya,

yang paling tidak luput dari perhatian adalah serangan tipe tonik-klonik.

Yang perlu dievaluasi pada tahap pertama adalah menetapkan apakah penderita

menderita kejang atau tidak. Sering penderita datang dalam keadaan tidak sadar, sehingga

gambaran bangkitan sebagian besar berdasarkan pada anamnesis. Ini sering bergantung pada

kepandaian pemeriksa untuk menentukan pola bangkitan dan kepandaian saksi mata dalam

melukiskan bangkitan. Untuk penentuan penyebab dari kejang, dokter harus menentukan

apakah ada anamnesa famili dengan epilepsi, trauma kepala, kejang demam, infeksi telinga

tengah atau sinus atau gejala dari keganasan.

Selanjutnya, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Hal ini dilakukan untuk melihat

adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, termasuk tanda-tanda

trauma kepala, infeksi dari telinga atau sinus ataupun keganasan.

Anamnesis : auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai hal-hal

terkait dibawah ini

a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca bangkitan :

Sebelum bangkitan atau gejala prodromal

o Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,

misalnya perubahan prilaku, prasaan lapar, berkeringat, hipotermi,

mengantuk,menjadi sensitive,dll.

Selama bangkitan atau iktal:

o Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?

o Bagaimana pola bentuk bangkitan mulai dari deviasi mata, gerakan kepala,

gerakan tubuh, vokalisasi, automatisasi, gerakan pada salah satu atau

kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik, inkotinensia, lidah

tergigit,pucat,berkeringat,dll. (akan lebih baik bila keluarga dapat diminta

untuk menirukan gerakan bangkitanatau merekam video saat bangkitan.

o Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?

16

Page 17: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

o Apakah terdapat perubahan pola dari bangitan sebelumnya?

o Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan misalnya saat tidur, saat

terjaga,bermain videogame,berkemih,dll.

Pasca bangkitan/post iktal:

o Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah.

b. factor pencetus : kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologi,alcohol.

c. usia awitan, durasi bangkitan, frekwensi bangkitan, interval terpanjang antar

bangkitan, kesadaran antar bangkitan.

d. terapi epilepsy sebelumnya dan respon terhadap OAE sebelumnya : a. jenis obat

OAE, b. dosis OAE, c.jadwal minum OAE, d.kepatuhan minum OAE, E.kadar

OAE dalam plasma, F.kombinasi terapi OAE

e. penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis,psikiatrik maupun

sistemik yang mungkin menjadi penyebab maupun komorbiditas.

f. riwayat epilepsy dan penyakit lain dalam keluarga

g. riwayat saat berada dalam kandungan,kelahiran, dan tumbuh kembang

h. riwayat bangkitan neonatal atau kejang demam

i. riwayat trauma kepala, stroke,infeksisi SSP, dll.

Selain kedua basis pemeriksaan di atas, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang

sebagai berikut.

1. EEG (elektroensefalogram)

Salah satu pemeriksaan tambahan yang penting untuk diagnosa adalah

pemeriksaan ini. EEG merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di

dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki

risiko. Sebuah EEG digunakan untuk mengetes dan merekam aktivitas elektrik

dari otak manusia. Rekaman yang ideal adalah rekaman sewaktu fase iktal

(serangan), tapi seringkali dibuat di luar serangan.

Aktivitas yang abnormal dapat terdeteksi. Utamanya, kelainan EEG akan

berkorelasi dengan kejang atau serangan epileptic. Meskipun 30-40%dapat

terdeteksi normal pada awalnya, sehingga pemeriksaan ulang dan diperpanjang

dapat dilakukan.

17

Page 18: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Terdapat sensor khusus (elektroda) yang dipasang di kepala dan dikaitkan dengan

kabel ke sebuah komputer. Kemudian komputer akan merekam aktivitas elektrik

otak ke layar atau kertas dalam bentuk garis-garis bergelombang. Dalam kondisi

tertentu, seperti keterkejutan, dapat dilihat perubahan hasilnya dalam pola normal

aktivitas elektrik otak di layar.

Berikut fungsi EEG :

• EEG kurang berguna untuk menentukan apakah pasien mengalami serangan

kejang atau sakit epilepsi. Karena 3,5% anak sehat, ada kelainan

“epileptiform” pada EEG. EEG pada 10% anak sehat tidak normal dan pada

50% anak yang ternyata menderita epilepsi, tidak ada kelainan pada EEG rutin

yang pertama. Namun tipe kejang berhububungan dengan susunan tertentu

pada EEG. Maka EEG dapat menolong menentukan klasifikasi epilepsi yang

dialami pasien. EEG sleep-deprived lebih berhasil.

• Mengecek permasalahan pada orang yang mengalami kehilangan kesadaran

• Mencari tahu apakah seseorang dalam keadaan koma

• Mempelajari penyebab susah tidur

• Melihat aktivitas otak ketika seseorang menerima obat anestesi selama operasi

otak

• Membantu orang yang memiliki masalah psikis, seperti rasa gugup, dan

kesehatan mental

Gambar EEG normal

18

Page 19: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Gambar EEG Epilepsi Umum

2. Uji laboratorium

Uji ini dilakukan berdasarkan riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan.

Pemeriksaan darah lengkap dilakukan untuk :

• serum elektrolit, Ca total, dan magnesium serum seringkali diperiksa pada saat

pertama kali terjadi kejang, dan pada anak yang berusia kurang dari 3 bulan,

dengan penyebab elektrolit dan metabolik lebih lazim ditemui (uji glukosa

darah dapat bermamfaat pada bayi atau anak kecil dengan kejang yang

berkepanjangan untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglikemia). mengukur

kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah

• menilai fungsi hati dan ginjal dan untuk menyingkirkan infeksi sebagai

penyebab; dan pada kasus yang diduga disebabkan trauma, dapat

mengevaluasi hematokit dan jumlah trombosit.

• Skrining toksik dari serum dan urin digunakan untuk menyingkirkan

kemungkinan keracunan.

3. CT scan dan MRI

CT scan dan MRI dilakukan untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke,

jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.

CT scan menggunakan kajian sinar-X yang masih lebih sensitive dan biasanya

untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.

19

Page 20: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

MRI (Magnetic Resonance imaging) →menghasilkan bayangan dengan lapangan

magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah-daerah

otak (regio fossa posterior dan regio sella) yang tidak terlihat jelas apabila

menggunakan pemindaian CT.

4. Pungsi Lumbal

Kadang dilakukan pungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi

otak. Punksi lumbal untuk menganalisis cairan serebrospinal, terutama dipakai

untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.

Penatalaksanaan

Tata laksana farmakoterapeutik

Apabila diagnosis epilepsi telah diketahui kebenaaraannya, maka langkah berikutnya adalaah

membuat rancangan tata laksana farmakoterapeutik dengan segala macam konsekuensinya.

Pada prinsipnya, OAE harus segera diberikan dengan tetap memperhatikan apakah ada hal-

hal lain yang harus dilaksanakan secara bersama-sama misalnya opertasi tumor otak,

pemasangan ventriculoperitoneal shunt, dan sebagainya.

Tata laksana farmakoterupetik berjangka panjang. Di dasarkan atas pemberian OAE yang

sebenarnya memiliki potensi toksik. Dengan demikian dapat memutuskan memberikan OAE

kepada penderita epilepsi, hal-hal berikut ini harus selalu di perhatikan : (a). Risk beneffit

ratio, harus dievaluasi secara terus- menerus. (b). Penggunaan OAE harus sehemat mungkin

dan sedapat mungkin dalam jangka waktu yang lebih pendek, (c).dan pemilihan obat yang

paling spesifik untuk jenis serangan yang akan diobati.

Setelah OAE diberikan kepada penderita, maka kadar OAE dalam serum harus di pantau,

dengan alasan-alasan sebagai berikut: (a). Untuk mengevaluasi kepatuhan penderita minum

obat, (b). Menilai faktor farmakokinetika dan farmakodinamika, yang mungkin dapat

memberi sumbangan dalam hal terjadinya kegagalan terapi, (c).untuk mengidentfikasi kadar

obat yang efektif, dengan demikian dapat mengenali perubahan-perubahan dikemudian hari

yang mungkin berupa munculnya serangan ulang atau efek samping, dan (d). Untuk

menentukkan obat apa yang bertanggung jawab atau munculnya efek toksik apabila

dipergunakan obat lebih dari satu macam.

Namun demikian, dalam praktek upaya tersebut sulit dilaksnakan karena dua alasan utama :

(1). Fasilitas laboratprium belum lengkap, sehingga belum dapat memeriksa kadar seluruh

jenis OAE yang kini beredar di indonesia, dan (b). Biaya pemeriksaan laboratorium

20

Page 21: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

memerlukan biaya yang tidak sedikit. Namun bagaimana pun juga, anjuran untuk memantau

kadar OAE dalam serum tetap merupakan anjuran yang sangat berharga.

Pendekatan monoterapi

Dewasa ini strategi yag dipilih ialah monoterapi. Yang paling sesuai dengan jenis epilepsi

yang sedang dihadapi. Obat tadi harus diberikan dengan dosis yang cukup, serta bertahap dari

dosis yan g rendah, untuk dapat mengendalikan. Serangan epilepsi. Terapi dengan adanya

OAE campuran lebih dari satu jenis OAE biasanya kurang efektif karena interaksi OAE tadi

justru akan mengganggu efektivitas, dan efek sampingnya bdapat berakumulasi.

Dalam kaitan ini perlu diperhatikan bahwa dari bernagai jenis OAE yang ada maka

seluruhnya mempunyai efek samping dan tidak samping dan tidak satupun yang mempunyai

keunggulan yang jelas dalam hal pengendalian serangan epilepsi. Dengan demikian pilihlah

obat yang mempunyai efek samping atau toksik yang minimal dan kerjanya cukup efektif.

Dan justru disinilah letak ekstensi dari strategi monoterapi.

Sehubungan dengan strategi monoterapi maka diperlukan pendekatan agar strategi yang

diterapkan dapat efektifitas terkendali. Pendekatannya adalah sebagai berikut :

1. tujuan utama terapi farmakologik untuk epilesi adalah untuk mengendalikan serangan

epilepsi dengan satu jenis obat tertentusetelah serangan epilepsi terkendali dengan

dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali.

2. obat yang dipilih adalah obat yang terbaik dan paling sesuai untuk serangan tertentu

dan juga untuk penderita itu sendiri. Dosis dinaikkan secara bertahap sampai seranga

terkendali atau sampai efek samping yang benar-benar terganggu.apabila gejala-gejala

toksik yang berhubungan dengan dosis maka dosis diturunkan secara bertahap.

3. apabila obat pilihan pertama jelas-jelas tidak efektif, maka obat jenis kedua harus

diberikan. Pemberian kedua ini harus memenuhi ketentuan sebagaimana diberlakukan

terhadap pilihan pertama.. apabila terjadi efek toksik maka keadaan ini dapat

disebabkan oleh inhibisi enzim.

4. penghentian obat pertama tidak dianjurkan berhenti mendadak karena akan

menimbulkan serangan berulang. Penurunan dosis dianjurkan 20% dari dosis harian

total setiap 5 kali waktu-paruh. Serangan berulang-ulang sebagai akibat penghentian

obat secara mendadak.

21

Page 22: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Dalam praktek, pendekatan monoterapi tersebut mungkin sulit diterapkan secara konsisten

mengingat diperlukannya tenaga yang benar-benar profesional. Fasilitas laboratorium yang

mampu mendukungnya serta kerjasama yang sebaik-bauknya denagn penderita serta

keluarganya. Namun demikian, strategi monoterapi memang lebih rasional dan ekonomis

daripada politerapi.

Tujuan utama terapi farmakologi untuk epilepsi adalah mengendalikan serangan epilepsi

dengan satu jenis obat (monoterapi). Setelah serangan epilepsi benar-benar terkendali dengan

dosis yang konstan dalam periode tertentu, serangan epilepsi dapat muncul kembali. Terapi

epilepsi bersifat khas, berbeda dengan terapi terhadap gejala atau penyakit lainnya. Sifat khas

tadi diwarnai oleh program minum obat jangka waktu yang lama, bertahun-taun, bahkan

mungkin seumur hidup.

Pemilihan OAE untuk dewasa :

Nama obat Dosis

mg/kg

T1/2 Status

tetap

Kadar

terapeutik

Efek samping

fenobarbital 1,5-3 4 hari 10-15

hari

20-40

ug/ml

Mengantuk,hiperaktivitas,

bingung, perubahan

perasaan hati

fenitoin 4 22 jam 4-5

hari

10-20

ug/ml

Ataksia, ruam kulit,

perubahan kosmetika,

hiperplasi ginggiva,

osteomalasia

karbamazepin 1,5-8 7-18

jam

2-3

hari

4-12

ug/ml

Ataksia, gangguan GIT,

pandangan kabur,

gangguan fungsi hepar

Obat yang bermanfaat untuk tipe sawan dapat dilihat pada bagan dibawah ini:

Tipe Obat yang efektif

22

Page 23: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

1. Parsial

a. Parsial sederhana

b. Parsial kompleks

c. Umum sekunder

2. Umum

a. Lena

b. Mioklonik

c. Tonik-klonik

d. Atonik

FB, DFH, Kz

FB, DFH, Kz

FB, FH, Kz

ETS, AVP

ETS, AVP

AVP, FB, DFH, Kz

ETS, AVP

STATUS EPILEPTIKUS

Definisi Status epileptikus

Status Epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau adanya

dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat pemulihan

kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai bila bangkitan

konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan keadaan kegawatdaruratan

yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna menghentikakn bangkitan ( dalam

waktu 30 menit). Dikenal dua tipe SE; SE konvusif (terdapat bangkitan motorik) dan SE non-

konfusif (tidak terdapat bangkitan motorik).

Definisi Operasional Status Epileptikus Konvulsif

Status epileptikus konvulsif adalah bangkitan dengan durasi lebih dari 5 menit, atau

bangkitan berulang 2 kali atau lebih tanpa pulihnya kesadaran diantara bangkitan.

Definisi Status Epileptikus Nonkonvulsif

Status epileptikus nonkonvulsif adalah sejumlah kondisi saat aktivitas bangkitan

elektrografik memanjang (EEG status) dan memberikan gejala klinis nonmotorik termasuk

perubahan perilaku atau “ awareness”. SE dibedakan dari bangkitan serial ( frequent

seizures), yaitu bangkitan tonik klonik yang berulang tiga kali atau lebih dalam satu jam.

Klasifikasi Status Epileptikus

Berdasarkan klinis:

23

Page 24: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

- SE fokal

- SE general

Berdasarkan durasi:

- SE Dini( 5-30 menit)

- SE menetap/ Established(>30 menit)

- SE Refrakter ( bangkitan tetap ada setelah mendapat dua atau tiga jenis antikonvulsan awal

dengan dosis adekuat )

Status epileptikus nonkonvulsivus (SE-NK) dibagi menjadi dua kelompok utama:

- SE-NK Umum

- SE-NK fokal

EPIDEMIOLOGI

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-

kira 60.000 -160.000 kasus dari SE tonik-klonik umum yang terjadi di amerika serikat setiap

tahunnya. Pada sepertiga kasus, SE merupakan gejala yang timbul pada pasien yang

mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi,

biasanya karena ketidak teraturan dalam memakan obat anti konvulsan. Mortalitas yang

berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan

dengan penyakit yang menyebabkan SE kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan

menunjukan distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukan bahwa etiologi dari SE dapat dikategorikan pada proses

akut dan kronik. Pada usia tua SE kebanyakan sekunder karena adanya penyakit

24

Page 25: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada negara miskin epilepsi merupakan

kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.

PENGELOLAAN STATUS EPILEPTIKUS KONVULSIF

Pengelolaan Status Epileptikus Konvulsif

Pengelolaan sebelum sampai di Rumah Sakit

Pemberian benzodiazepine rectal/ midozolam buccal merupakan terapi yang utama

selama diperjalanan menuju rumah sakit. Segera panggil ambulan pada kondisi

berikut :

- Bangkitan berlanjut 5 menit setelah obat emergensi diberikan

- Penderita memiliki riwayat sering mengalami bangkitan serial/bangkitan

konvulsivus

- Terdapat kesulitan monitor jalan napas, pernapasan, sirkulasi, atau tanda vital lain

Terapi OAE harus diberikan bersama-sama dengan terapi emergensi. Pilihan obat

tergantung dari terapi sebelumnya, tipe epilepsi, dan klinis/ apapun OAE yang

digunakan sebelumnya, harus dilanjutkan dengan dosis penuh. Bila phenitoin atau

phenobarbital telah diberikan pada terapi emergensi, dosis rumatan dapat

diberikan secara oral atau intravena dengan monitpr kadar obat dalam serum.

OAE rumatan lain dapat diberikan dengan dosis loading peroral. Bila pasien sudah

bebas bangkitan selama 12-24 jam dan terbukti kadar obat dalam plasma adekuat,

maka obat anastesi dapat diturunkan perlahan.

Protokol penanganan status epilektikus konvulsif

Pemeriksaan Umum

Stadium 1 (0-10 menit)

SE Dini

Pertahankan patensi jalan napas dan resusitasi

Berikan oksigen

Periksa fungsi kardiorespirasi

Pasang infuse

Stadium 2 (0-30 menit)

Monitor pasien

Pertimbangkan kemungkinan kondisi non epileptik

Terapi antiepilepsi emergensi

25

Page 26: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Pemeriksaan emergensi (lihat dibawah)

Berikan glukosa (D50% 50ml) dan/atau thiamin 250 mg i.v bila ada

kecurigaan penyalahgunaan alkohol atau defisiensi nutrisi

Terapi asidosis bila terdapat asidosis berat

Stadium 3 (30-60 menit) SE Menetap

Pastikan etiologi

Siapkan untuk rujuk ke ICU

Identifikasi an terapi komplikasi medis yang terjadi

Vasopressor bila diperlukan

Stadium 4 (30-90 menit)

pindah ke ICU

perawatan intensif dan monitor EEG

monitor yekanan intrakranial bila dibutuhkan

berikan antiepilepsi rumatan jangka panjang

Pemeriksaan emergensi

Pemeriksaan gas darah, glukosa, fungsi liver, fungsi ginjal, kalsium, magnesium, darah

lengkap, faal hemostatis, kadar obat antiepilepsi. Bila diperlukan pemeriksaan toksikologi

bila penyebab status epileptikus tidak jelas. Foto toraks diperlukan untuk evaluasi

kemungkinan aspirasi. Pemeriksaan lain tergantung kondisi klinis, bisa meliputi pencitraan

otak dan pungsi lumbal

Pengawasan

Observasi status neurologis, tanda vital, ECG, biokimia, gas darah, pembekuan darah, dan

kadar OAE. Pasien memerlukan fasilitas ICU penuh dan dirawat oleh ahli anestesi bersama

ahli neurologi

Monitor EEG perlu pada status epileptikus refrakter. Pertimbangkan kemungkinan status

epilpsi nonkonvulsif. Pada status epileptikus konvulsif refrakter, tujuan utama adala supresi

aktivitas epileptik pada EEG, dengan tujuan sekunder adalah untuk munculnya pola burst

supression.

26

Page 27: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Pengelolaan Status Epileptikus Non Konvulsif

Dapat ditemukan 1/3 kasus SE

Dapat dibagi SE lena, SE parsial kompleks, SE nonkinvulsivus pada penyandang

dengan koma, dan SE pada penyandang dengan gangguan belajar

Pemilihan terapi untuk status epileptikus nonkonvulsif bermacam-macam sesuai jenis

bengkitan

Tipe Terapi pilihan Terapi lain

SE Lena Benzodiazepin I>V/oral Valproat i.v

SE Parsial kompleks Clobazam oral Lorazepam/phenytoin/

phenobarbital i.v

SE Lena atipikal Valproat oral Benzodiazepine

27

Page 28: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

Lamotrigine, topiramate,

methylphenidate, steroid oral

SE Tonik Lamotrigine oral

SE nonkonvulsif pada

penyandang koma

Phenytoin i.v atau

phenobarbital

Methylphenidate, steroid

Anestesia dengan

thiopentone, phenobarbital,

propofol atau midazolam

28

Page 29: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Epilepsi didefinisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda-tanda klinis yang muncul

disebabkan perbahan potensial membran di sel otak, yang mengakibatkan terjadinya

kekacauan kanal ion. Manifestasi serangan atau bangkitan epilepsi secara klinis dapat

dicirikan sebagai berikut yaitu gejala yang timbulnya mendadak, hilang spontan dan

cenderung untuk berulang.

Status epileptikus (SE) adalah bangkitan yang berlangsung lebuh dari 30 menit, atau

adanya dua bangkitan atau lebih dan diantara bangkitan-bangkitan tadi tidak terdapat 45

pemulihan kesadaran. Namun demikian penanganan bangkitan konvulsif harus dimulai

bila bangkitan konvulsif sudah berlangsung lebih dari 5-10 menit. SE merupakan

keadaan kegawatdaruratan yang memerlukan penanganan dan terapi segera guna

menghentikakn bangkitan ( dalam waktu 30 menit).

3.2 Saran

Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari segi diskusi

kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami mengharapkan kritik

dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor maupun dosen yang

memberikan materi kuliah.

29

Page 30: Laporan Hasil Diskusi Kelompok Kecil Kelompok 6 2015

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, . 2009. Kapita Selekta Neurologi Edisi 2. Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press.

Kusumastuti, Kurnia. 2014. Pedoman Tata Laksana Epilepsi Edisi 5. Surabaya: Airlangga

University Press

Sylvia. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi6. Jakarta: EGC.

30