Upload
others
View
15
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN HASIL PENELITIAN
PEMAKNAAN TANAH SWAPRAJA KERATON KASAPUHAN
DALAM KONFLIK PERTANAHAN DI KOTA CIREBON
Oleh
Haryo Budhiawan Sardjita
Akur Nurasa
KEMENTRIAN AGRARIA DAN TATA RUANG / BADAN
PERTANAHAN NASIONAL SEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
2019
Lembar Pengesahan Penelitian Srategis
PEMAKNAAN TANAH SWAPRAJA KERATON KASAPUHAN
DALAM KONFLIK PERTANAHAN DI KOTA CIREBON
Yogyakarta, NOPEMBER 2019 A.n. Ketua
Kepala PPPM STPN
(Bambang Suyudi, ST., MT.)
DAFTAR ISI
halaman
Lembar Judul .i
Lembar Pengesahan ii
Daftar Isi
BAB I : 1. Latar belakang. 1
2. Rumusan Masalah . 2
3. Metode Penelitian 2
4. Manfaat dan tujuan penelitian 3
5. Sumber dan Jenis Data 3
6. Tehnik Pengumpulan. 3
7. Tehnik analisis 4
BAB II Tinjauan Pustaka dan kearangka peneilitian 5
Pengertian Tanah swapraja menurut UUD 1945 7
BAB III Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Sejarah singkat Kasultanan Cirebon 12
Perbedaan pandangan tentang Daerah tanah ex swapraja 12
Sekilas pandang sejarah Kasultanan Kasapuhan dan kedudukan
Kedudukan status tanah Hak turun temurun Sultan Sepuh 15
BAB IV Politik Hukum Pertanahan dalam Pemaknaan Tanah Swapraja 18
Indikator Penetapan Tanah swapraja di Kota Cirebon 19
BAB V Penutup
Kesimpulan 29
BAB VI Rekomendasi 30
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
Segala Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, atas segala
petunjuk, bimbingan, dan hidayahn-Nya sehingga penyusunan Laporan
Penelitian ini Tahun 2019 yang berjudul Pemaknaan Tanah Swapraja Keraton
Kasapuhan Dalam Konflik Pertanahan Di Kota Cirebon ini dapat deselesaikan.
Penelitian ini dimaksudkan melakukan kajian hukum secara mendalam terhadap penyelesaian
mengenai pemaknaan tanah Swapraja Kasultanan Kasapuhan di Kota Cirebon.
Selanjutnya peneliti mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
2. Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STPN yang telah
memberikan kepercayaan kepada peneliti untuk melaksanakan penelitian ini,
3. Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon. Yang memberikan ijin serta memberikan
keteranagn tentang riwatyat ksaultanan Cirebon,
4. Ibu Kepala Kantor Pertanahan Kota Cirebon dan jajarannya
Tentunya Laporan penelitian ini masih terdapat kekurangan, karena keterbatasan
pengetahuan peneiliti, untuk itu saran dan masukan yang bersifat membangun demi
kesempurnaan Laporan ini sangat diharapkan..
Yogyakarta, 19 Desember 2019
Penyusun :
Haryo Budhiawan
Sarjita
Akur Nurasa
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya manusia berhubungan dengan manusia yang lain didorong oleh adanya
suatu kebutuhan yang harus dipenuhi. Kebutuhan yang diperlukan oleh manusia ini sering
menyangkut berbagai sumber daya, seperti sumber daya ekonomi, politik, alam,
kekuasaan dan sebagainya. Oleh karena kebutuhan manusia tidak selalu sama bahkan sering
bertentangan, maka diperlukan adanya pengaturan- pengaturan, agar kebutuhan manusia dapat
terpenuhi secara adil, karena penerapan dan pelaksanaan keadilan dapat dilihat dari seluruh
aspek sebagai pelaksananan kehidupan. Sumber daya alam salah satunya adalah
tanah, dimana manusia melakukan berbagai aktifitas kehidupan. Sebagai konsekuensi
logis dari negara kesatuan sesuai dengan UUD 1945, bahwa di seluruh wilayah
negara berlaku peraturan perundang – undangan yang sama. Untuk mewujudkan hal
yang demikian, tentunya tidak mudah karena memerlukan proses konstitusional
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945, terlebih apabila menyangkut kepentingan
masyarakat luas khususnya dibidang pertanahan atau keagrariaan.
Dalam bidang pertanahan karena belum bisa dibuat peraturan dengan segera setelah
proklamasi kemerdekaan. Akibat ketentuan tersebut, di Indonesia terdapat dualisme
hukum dalam bidang pertanahan, yaitu sistem hukum barat peninggalan jaman kolonial
dan sistem hukum adat yang merupakan hukum asli bangsa Indonesia.
Tanah yang diatur dalam hukum barat muncul di saat datangnya Belanda di Indonesia ,
mereka membawa perangkat hukum Belanda tentang tanah yang mula mula masih
merupakan hukum Belanda kuno yang didasarkan pada hukum kebiasaan yang tidak
tertulis, misalnya Bataviasche Groundhuur, dan hukum tertulis seperti Overschrijvings
ordonnatie, Stbl.1834-27.Tahun 1870 mulai diberlakukannya suatu ketentuan hukum barat
yang tertulis yaitu Burgerlijk Wetboek (BW) yang sampai saat ini masih kita kenal
sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan hukum adat merupakan.
2
hukum sejak yang berlaku di kalangan masyarakat asli Indonesia.
Dengan diberlakukannya UUPA dapat dikatakan telah tercapai suatu kodifikasi dan
unifikasi hukum agraria di Indonesia. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan masih
terdapat kendala dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan UUPA khususnya yang berkaitan
dengan tanah-tanah swapraja atau bekas swapraja. Berbicara mengenai tanah swapraja atau
bekas swapraja maka akan merujuk kepada masalah tanah di wilayah Kerajaan atau
Kesultanan. Terhadap tanah-tanah semacam ini, Diktum IV huruf A UUPA menentukan sebagai
berikut:
a. Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih
ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus dan beralih kepada Negara.
b. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf a di atas diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang masalah diatas, untuk
membatasinya perlu diidentifikasi permasalahan yang hendak diteliti guna memecahkan masalah
pokok yang timbul secara jelas dan sistematis sehingga penelitian akan dicapai, maka dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana politik hukum Pertanahan dalam pemaknaan tanah swapraja?
2. Bagaimana prosedur dan indikator penetapan tanah swapraja di Pemerintah
Kota Cirebon?
C. METODE PENELITIAN
Dilihat dari bidang keilmuannya, penelitian ini merupakan penelitian dalam bidang ilmu
hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum karena didasarkan pada metode sistematika
dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk menganalisanya. Di dalam usaha mencari kebenaran
yang ilmiah, metode penelitian menjadi bagian yang cukup penting dalam menyusun suatu
penelitian. Suatu penelitian ilmiah dapat dipercaya kebenarannya apabila disusun dengan suatu
metode yang tepat.
Pendekatan socio-legal berangkat dari asumsi bahwa “pekerjaan teoritis tanpa konten teori
3
yang mendukung sama dengan sangkal”. Dalam kajian pendekatnnya socio-legal merupakan
kajian hukum dengan menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial,
pendekatan yang mengarah suatu penelitian untuk menunujukan dan mengkaji sisi realitas sosial
maupun hukum yang berlaku terhadap suatu gap. Mengutip dari penjelasan Wheller dan Tomas
bahwa socio-legal merupakan suatu pendekatan alternatif yang menguji studi dokrinal terhadap
hukum. Socio-legal mempresentasikan koreksi dimana hukum berada pun dalam menelaah objek
kajiannya, studi socio-legal menggunakan satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
teori-teori sosial yang berhubungan langsung dengan masyarakat untuk menganalisa permasalahn
hukum yang terjadi.
D.Manfaat dan Tujuan Penelitian:
1. Manfaat secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pemikiran
guna pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan pengembangan ilmu hukum yang
berkaitan konflik tanah eks swapraja kraton kasapuhan kota cirebon
2. Manfaat secara praktis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan jawaban atas
permasalahan yang diteliti serta memberikan masukan kepada Kantor Pertanahan Kota cirebon,
dan Pemerintah Kota Cirebon
E. Sumber dan Jenis Data
Sumber dan jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang
diperoleh secara langsung di lapangan dari responden serta narasumber dan data sekunder yang
diperoleh melalui kepustakaan dengan jalan membaca, mengkaji serta mempelajari buku-buku
yang relevan dengan obyek yang diteliti. Data sekunder dipergunakan untuk mendukung
keterangan atau menunjang kelengkapan data primer.
F. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara mendapatkan data yang kita inginkan. Dengan ketepatan
teknik pengumpulan data, maka data yang diperoleh akan sesuai dengan apa yang
diinginkan.Data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni kantor pertanahan
kota cirebon,keraton kasapuhan Sistem wawancara yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara bebas terpimpin, artinya terlebih dahulu dipersiapkan daftar pertanyaan
4
sebagai pedoman tetapi masih dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi pada saat wawancara dilakukan.
b.Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan mempelajari literatur dan peraturan
perundangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Data sekunder diperoleh melalui penelitian
kepustakaan yang dilakukan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-pendapat atau
tulisan-tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh
informasi baik dalam bentuk-bentuk ketentuan formal maupun data melalui naskah resmi yang
ada.
G.. Teknik Analisis
Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis secara analitis kualitatif, yaitu
dengan memperhatikan fakta-fakta yang ada dilapangan kemudian dikelompokkan, dihubungkan
dan dibandingkan dengan ketentuan hukum yang berkaitan. Dalam penarikan kesimpulan,
terdapat dua buah metode penalaran yang dapat digunakan, yaitu metode penalaran deduktif dan
metode penalaran induktif. Penalaran deduktif merupakan prosedur yang berpangkal pada suatu
peristiwa umum, yang kebenarannya telahdiketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu
kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus
Dalam penulisan ini penulis menggunakan metode deduktif, yaitu suatu metode yang
berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip
umum menuju penulisan yang bersifat khusus.
5
BAB II
Tinjauan Pustaka/kerangka teori
Politik hukum Agraria dalam pemaknaan tanah swapraja masalah Agraria, sepanjang
jaman pada hakikatnya adalah masalah politik. Siapa yang menguasai pangan, atau,
menguasai saana-sarana kehidupan serta siapa yang menguasai sarana kehidupan
manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan politik agraria adalah garis besar
kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha memelihara, mengawetkan,
memperuntukan dan mengusahakan, mengambil manfaat, mengurus
dan membagikan tanah serta sumber alam lainya termasuk kepentingan
kesejahteraan rakyat dan negara . Kegagalan konsep perubahan yang tertuang dalam
UUPA, sepanjang sejarah antara lain karena sebab-sebab internal yang berorientasi
pada tarik ulur kepentingan partai-partai politik, penyeleragaran di bidang hukum yang
menggeser unikum-unikum masyarakat adat, serta berubahnya politik agraria. Gunawan
Wiradi dalam, Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian
Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2009. Soedikno Mertokusumo, Hukum dan
Politik Agraria, Universitas terbuka, Jakarta, 1988, ekonomi yang tidak mengedepankan
kepentingan rakyat yang bercorak agraris.
Beberapa konsep kebijakan masa lalu yang melahirkan ketimpangan struktur dan sengketa
penguasaan tanah serta sumber lainnya, acapkali bukan semata-mata kelemahan pada konsep
tersebutakan tetapi pada sisi implementasinya. Perubahan Politik ekonomi yang tidak
populis, ketidaksiapan untuk menjabarkan ide yang diidolakan dan rapuhnya penegakan
hukum di bidang hukum agraria yang sejiwa dengan UUPA. Selama lebih 59 tahun
sejak diberlakukannya UUPA terlebih mengenai hak menguasai negara dalam Pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA, kedua pasal tersebut menjadikan kekuasaan
negara seakan tidak terbatas. Hegemoni pemerintah dalam penguasaan tanah dengan
alasan demi kepentingan umum, tampa melihat sejarah kepemilikan tanah tersebut, hanya
slogan dengan kata-kata semua atas nama negara.
Ketidakjelasan pemaknaan tanah swapraja yang berada dalam hukum nasional tidak
menjadikan apakah hukum tersebut bisa berlaku secara adil bagi masyarakat. Bila
dikaitkan dengan eksistensi tanah swapraja atau bekas swapaja, Achmad Sodiki dalam,
Politik Hukum Agraria, Konstitusi Press, Jakarta, 2003, swapraja dapat dikatakan
6
bagian dari politik hukum di bidang pertanahan (konsepsi agraria dalam arti sempit).
Indonesia dalam proses perjalanan menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia
mengalami dua kepemimpinan yakni Kerajaan Keraton dan Pemerintah Kolonial. Untuk
tanah bekas kolonial sudah jelas dalam UUPA langsung di nasionalisasikan, sedangkan
untuk tanah keraton diatur dalam aturan tersendiri. Tanah keraton tersebut dikenal dengan
istilah tanah Swapraja. Meskipun dalam Diktum IV huruf A UUPA telah dijelaskan
bahwa tanah swapraja dan penguasaannya beralih kepada Negara, namun hingga saat ini
aturan yang merinci mengenai hal itu belum ada . Akibatnya, seringkali dihadapkan dengan
pembahasan secara rinci mengenai tanah swapraja yang dituangkan dalam Diktum IV
huruf A UUPA, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 224 Tahun 1961.
Secara faktual yuridis aturan tersebut belum dapat diberlakukan secara maksimal di
beberapa daerah, seperti di wilayah Cirebon. Dalam konstitusi Negara Republik Indonesia
tidak ada yang memberikan pengertian secara jelas mengenai apa yang menurut Bakhrul
Amal, Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Keraton Kesepuhan di Kota Cirebon
(suatu kajian terhadap putusan MA No 1825/K/PDT/2002) Dispute of
Ownership Of Land In Kesepuhan Palace Cirebon, 2016, E Journal Program MKN
UNDIP Semarang, dimaksud dengan tanah swapraja atau bekas swapraja .
Berikut juga pada UUPA tidak terdapat penjelasan secara rinci mengenai pengertian
swapraja, walaupun ada kata swaparaja hanya dalam diktum IV huruf A UUPA. Kemudian
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 224 Tahun 1961 tentang pelaksanaan
pembagian tanah pembelian ganti kerugian bahwa dalam rangka pelaksanaan Landreform
perlu diadakan peraturan pembagian tanah serta soal-soal yang bersangkutan dengan
itu. Memperhatikan hasil-hasil kumpulan Seminar Landerform di Pusat dan didaerah-
daerah yang terdapat pada Pada pasal 4 ayat 1 menyatakan bahwa: Tanah Swapraja dan
Bekas Swapraja yang dengan ketentuan diktum IV A UndangUndang Pokok Agraria
beralih kepada Negara, diberikan peruntukan, sebagaimana untuk kepentingan Pemerintah,
sebagian untuk mereka yang langsung dirugikan karena dihapuskannya hak Swapraja atas
tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan, menurut
ketentuan-ketentuan dalam Pemerintah ini.
7
Pengertian Tanah Swapraja Menurut Undang-Undang Dasar 1945
Pada tahun 2000, melalui perubahan kedua UUD, pasal 18 asli diamandemenkan menjadi
pasal 18, 18A, dan 18B. Pengaturan daerah istimewa ditempatkan dalam pasal 18B ayat
(1) yang menjelaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan
pemerintah daerah yang bersifat khusus atau
bersifat umum yang diatur dengan undang-undang, sehingga istilah swapraja yang
digunakan juga berbeda menjadi “satuan pemerintah daerah yang bersifat istimewa “dan”
satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus. Dalam perjalanan politik hukum
agararia tidak ada satupun pengertian secara jelas mengenai swapraja tersebut,
sehingga menimbulkan realitas yang beragam mengenai pemaknaan Swapraja yang
bersifat subyektif berbagi pihak yaitu pemerintah maupun pihak keraton Kasepuhan
Cirebon dalam menginterprestasikan makna dari swapraja. Disini perlunya kejelasan pihak
pemerintah sebagai perwakilan dari negara dalam memaknai dari swapraja
tersebut. Dari sudut filsafat, terdapat relevansi epistemologis antara konsepsi negara
hukum baik rechtstaat maupun rule of law dengan pemikiran dua tokoh negara hukum
klasik yakni J.Locke dan JJ Rosseau yang memliki kesamaan pandang bahwa negara
hukum merupakan produk dari sebuah legitimasi yang berbasis pada kontrak sosial.
Berkaitan dengan pemaknaan swapraja atau bekas swapraja dalam pertanahan
yang menjadikan berdebatan pemaknaan swapraja sehingga berimplikasikan
konflik berkepanjangan, antara Pemerintah Kota Cirebon dengan pihak Kesultanan
Kesepuhan. Perbedaan pemaknaan dalam UUPA Diktum IV huruf A bahwa tanah-tanah eks
Kesultanan-Kesultanan itu telah diambil alih oleh Pemerintah Kota Cirebon dengan alasan
tanah tersebut dikatagorikan sebagai tanah swapraja atau bekas swapraja, yang dilakukan
oleh Panitia Landreform Kota Praja Cirebon.
Kaitannya dengan perdebatan mengenai pemaknaan swapraja atau bekas swapraja
mengungkapkan pendekatan dan pendapat yang multi tafsir. Eks Kesultanan
Kesepuhan Cirebon belum mengakui dan berpendapat bahwa tidak termasuk dalam
pemaknaan swapraja atau bekas swapraja seperti apa yang tertuang dalam Diktum IV
huruf A UUPA bahwa Hak-hak dan wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau
bekas swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus
dan beralih kepada Negara. Pada sisi lain Pemerintah Kota Cirebon telah melakukan
8
penelitian dan penolakan terhadap klaim pihak Kesultanan Kesepuhan Cirebon tersebut.
Bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sekarang berubah nama menjadi Kantor
Kementrian Agraria dan Tata Ruang /Badan Pertanahan Nasional Kota Cirebon melului
Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Gubenur Jawa Barat, tim dalam
Wawancara, Kepala Seksi Sengketa Konflik dan Perkantoran Pertanahan Kantor Agraria
dan Tata Ruang /BPN Kota Cirebon. Barat, nomor 400-1581 tertanggal 24 Juni 2003,
menyebutkan bahwa tanah eks Kesultanan Kesepuhan Cirebon, adalah tanah swapraja.
Namun hingga saat ini pihak Pemerintah belum bisa menjelaskan makna swapraja
dengan jelas. UUPA dalam Diktum IV huruf A , masih menyebutkan adanya tanah
swapraja atau bekas swapraja , namun demikian hingga kini Peraturan Pemerintah yang
secara khusus merupakan pelaksanaan dari Diktum IV huruf A belum ada, yang ada adalah
Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai
pembagian tanah swapraja atau bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan
Landeform. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 sebagaimana juga dengan
Undang-undang lainnya, tidak memberikan pengertian mengenai pemaknaan apa
yang dimaksud dengan swapraja atau bekas swapraja. Seperti yang sudah diuraikan diawal
tidak ada pemaknaan swapraja dalam Undang-Undang terdahulu, walaupun ada
pemaknaan swapraja yang dijelaskan oleh Boedi Harsono saja. Dalam hal ini negara
dianggap person moral , sehingga tindakan dan monuver- monuver yang dilakukan oleh
negara dianggap memiliki nilai-nilai tinggi.. Pandangan klasik yang demikian tidak lagi dapat
dipertahankan dalam kondisi masyarakat yang sedemkian kompleks. Untuk itu negara harus
dipandang sebagai komponen sistem sosial yang berdiri sendiri sejak dengan komponen-
komponen sistem lain didalam masyarakat, dan kehidupan sosial dewasa ini harus dilihat
dari tiga sudut yang sama kuat yakni negara, pasar dan masyarakat sipil..Akan tetapi
lebih sesuai bila pemerintahan negara disebut pengelola atau manager dalam tatanan
masyarakat sipil (masyarakat madani). Indikator penetapan tanah swapraja di Pemerintah
Kota Cirebon Wilayah/daerah swapraja adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan
sendiri. Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia Belanda dikenal rumit
dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda.
Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan
mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan, kerajaan, dan keadipatian.
Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur urusan
administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh
9
daerah swapraja adalah Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan Jepang (1942-
1945) menggantikan status daerah swapraja menjadi kochi. Setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia, daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja
oleh pemerintahan antara Hindia Belanda melalui berbagai Lembaran Negara
(Staatsblad). Pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah- daerah swapraja menjadi
bagian dari "negara" /negara bagian. Arti swapraja , pengertian swapraja dalam Politik
swapraja : daerah kesultanan yang berdiri sendiri. Pengertian swapraja dalam pemerintahan
swapraja : daerah istimewa. Pengertian lain dari “swapraja” terpaut pada cita-cita
individualisme warga masyarakat, setiap orang harus menentukan sendiri cara hidupnya
asalkan ia melakukan secara damai dan menghormati keputusan serupa yang diambil orang
lain. Hal ini sulit dilakukan dalam masyarakat yang kompleks, meskipun demikian, inilah
yang dimaksud dengan swapraja manakala kita mempertimbangkan soal keragaman dan
tanggung jawab individu.
Berkaitan dengan swapraja yang menyebutkan bahwa negara tidak diatur oleh negara
lain, melainkan oleh dirinya sendiri, sepanjang dapat menangkal pemerintah
sewenangwenang oleh elite atau diktaktor, dari dalam atau luar. Pengertian lain
dari”swapraja” terpaut pada cita -cita individualisme, berarti kebebasan itu harus
dibatasi, dalam kaitan swapraja, cara untuk melindungi individualisme. Adapun
rujukan pemerintah kota Cirebon dalam memaknai swapraja adalah apa yang disampaikan
oleh Boedi Harsono yaitu bahwa swapraja adalah suatu wilayah pemerintahan yang
merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang kepala wilayahnya (dengan sebutan;
Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah
Hindia Belanda menyelenggarakan pemerintahan sendiri (dalam Indische Staatsregeling
1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing
berdasarkan perjanjian tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka
ragam.
Dari uraian pemahaman mengenai makna swpraja atau bekas swapraja yang beragam
dimasyarakat khususnya di Kota Cirebon antara Pemerintah Kota Cirebon maupun pihak
Keraton Kesepuhan Cirebon sampai saat ini masih memaknai berbeda. Seperti apa
dalam pemikiran Max Weber, menilai perilaku manusia secara......
10
fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang
mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna
maupun pemahaman perilaku. Menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk
kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat
dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat
bahwa Boedi Harsono, Peralihan Tanah-Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja Menjadi
Tanah Negara, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional; Pertanahan Nasional
Berkenaan Dengan Tanah-Tanah Eks Swapraja, yang diselenggarakan oleh: Universitas
Swadaya Gunung Jati, Cirebon, Weber, Max. The Protestant Ethic and The Spirit of
Capitalisme. 1958, New York, yang mengatakan: individu akan memberikan pengaruh dalam
masyarakatnya.
. PEMBUKTIAN SEJARAH DAN HUKUM BAHWA CIREBON TIDAK PERNAH JADI
DAERAH SWAPRAJA / EX SWAPRAJA
A. ASAL USUL MASALAH
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
Yang terkena Landeform :
1) Tanah-tanah lebih dari batas maksimum
2) Tanah-tanah yang pemiliknya bertempat tinggal di laur daerah
3) Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja
4) Tanah-tanah lainnya
2. Surat Panitia Landreform Daerah Kotapraja Cirebon Nomor : 179/Agr/8/61 tanggal 14-
12-1961, yang intinya Tanah Kasultanan Kasepuhan seluas 337 ha dikategorikan tanah
swapraja – ex swapraja sehingga beralih ke Negara.
3. Pengumuman Panitia Landeform Daerah Kotapraja Cirebon Nomor : 01/Peng/61,
tanggal 28-12-1961, dengan substansi yang sama.
4. Keputusan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pusat nomor 400-1581 tertanggal 24
Juni 2003 soal keberadaan tanah milik Keraton Kasepuhan di Kota Cirebon yang
dinyatakan dengan keptusan tersebut sebagai milik Negara.
11
B. DASAR KEPEMILIKAN TANAH KERATON KASEPUHAN DAN PEMBUKTIAN
KERATON KASEPUHAN BUKAN DAERAH SWAPRAJA
1. AKTE 20 Juli 1913 :
a. Sultan Cirebon menyerahkan administrasi pemerintahan kepada Inggris secara
sukarela
b. Sultan mendapat ganti rugi dalam bentuk uang setiap tahunnya atas tanah yang
diambil oleh pemerintah Inggris
c. Sultan tetap memiliki tanah-tanah yang dikehendaki sebagai tanah milik turun
temurun, yaitu tanah-tanah khusus (Kasepuhan)
2. RESOLUSI 19 Oktober 1819 NO.6 :
Kepada Sultan Sepuh akan diutamakan permohonannya, atas dasar tanah-tanah yang
telah diserahkan, sebagai pengganti dari pendapatan yang variatif (Wissel Vallige)
3. PENJELASAN DEMANG RAKSADIRJA ddo 2 Agustus 1871
Berkenaan dengan hal hal yang khusus mengenai timbang terima tanah di Cirebon
kepada Gubernemen (dibawah pemerintahan selingan Inggris) mencakup tentang
penguraian batas-batas tanah milik Sultan Kasepuhan diakui (in jasa).
C. APABILA KERATON KASEPUHAN TERBUKTI EX SWAPARJA :
Berdasarkan PERATURAN PEMERINTAH 224 tahun 1961 bahwa tanah swapraja dan
bekas swapraja yang dengan ketentuan UUPA beralih ke Negara, diberikan peruntukannya
:Sebagai untuk kepentingan Pemerintah (bukan pejabat pemerintah)
1. Sebagai untuk masyarakat yang membutuhkan (para penggarap)
2. Sebagai untuk mereka yang langsung dirugikan (Sultan Kasepuhan)
Jadi jelas, bagaimana prosedur dan aturan main SERTA tatacara pengambilan alihan tanah
swapraja. Tidak semena-mena dan menjadi bancakan oknum penguasa.
Jika memang demikian, yang patut dipertanyakan adalah :
1. Sudahkah yang katanya Tanah Negara itu dibagikan untuk kepentingan Pemerintah ?
Siapa yang menerima ? Untuk kepentingan apa ? Berapa luasnya ? Dimana ?
2. Sudah kah yang katanya TANAH Negara itu diberikan kepada masyarakat ? Siapa
yang menerima ? Dimana ? Berapa luas ? Fiktif atau Nyata ? Atau Formalitas ?
3. Sudahkah yang katanya Tanah Negara itu diberikan sebagian kepada Pihak Keraton ?
Jawabannya BELUM ! katanya sudah habis dibagikan kepada masyarakat ?
SUDAH SANGAT JELAS PEMDA MELANGGAR PP 224/61
12
BAB III
Gambaran Umum Wilayah Penelitian
Sejarah Singkat Kesultanan Cirebon
Sejarah Cirebon dimulai dari kampung Kebon Pesisir, pada tahun 1445 dipimpin oleh Ki
Danusela, yang selanjutnya muncul perkampungan baru yaitu Caruban Larang dengan
Pemimpinyabernama Pangeran Cakrabuana. Caruban larang terus berkembang, Pada tahun
1479 sudah disebut sebagai Nagari Cerbon yang dipimpin oleh Tumenggung Syarif
Hidayatulah bergelar Susuhunan Jati. Pada tahun 1677 Cirebon terbagi, Pangeran Martawijaya
dinobatkan sebagai Sultan Sepuh bergelarSultan Raja Syamsudin. Pangeran Kertawijaya
sebagai Sultan Anom bergelar Sultan Muhamad Badriddin. Sultan Sepuh menempati Kraton
Pakungwati, dan Sultan Anom membangun Keraton di bekas rumah pangeran Cakrabuwana,
sedangkan Sultan Cerbon berkedudukan sebagai wakil Sultan sepuh, sehingga sekarang
dikenal terdapat 3 (tiga) sultan
Perbedaan Pandangan tentang Status tanah Ex. Swapraja antara Pemerintah dengan
Pihak Keraton
a. Versi Pemerintah Bahwa dengan berlakunya UUPA Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 224
tahun 1961, maka tanah Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan di wilayah Cirebon,
oleh Pemerintah dikualifikasikan sebagai Tanah bekas Swapraja dan karenanya dinyatakan
hapus dan beralih kepada Negara, hal ini oleh karena Kesultanan Kasepuhan dapat
dikategorikan sebagai bekas Pemerintahan Swaparaja, mengingat Kesultanan Kasepuhan
pernah menyelenggarakan pemerintahan dan peradilan sendiri sampai tahun 1816.
Selanjutnya, berdasarkan Laporan Hasil Kerja Tim Peneliti Tanah Kesultanan Cirebon, yang
dibentuk oleh Kementrian Dalam negeri pada tahun 1977 berdasarkan SK Mendagri Nomor
415 Tahun 1977 tentang Pembentukan Team Peneliti tanah Kesultanan Kasepuhan Cirebon
yang terkena Undang Undang Landreform tanggal 24 Desember 1977, Tanah-tanah keraton
Kasepuhan di Cirebon khususnya Tanah Kasultanan Kasepuhan ada 2 (dua) Macam, yaitu : 1.
Tanah yang dikenakan Pajak, yaitu tanah tanah yang ber letter C yangtercatat atas nama R.
Rajaningrat, artinya : Tanah-tanah yang dikenai pajak dan tercatat di letter C adalah
merupakan tanah hak milikpribadi Sultan. 2. Tanah yang tidak dikenakan pajak, yaitu tanah-
tanah yang tercatat atas nama Kesultanan, artinya : Tanah yang tidak dikankan pajak dan
13
tercatatatas nama Kesultanan adalah tanah bekas swapraja sebagimana yang dimaksud dalam
Diktum keempat huruf A UUPA.
Berdasarkan Data Hasil Penelitian dari berkas tanah-tanah Keraton Cirebon dari daftar yang
dibuat oleh Residen Cirebon Cq. Kepala Bagian Agraria tanggal 21 Maret 1956, tanah milik
pribadi dan tanah Kesultanan Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan Luasnya sebagai
berikut:
1. Keraton Kasepuhan , seluas..412,9900 Ha Milik Pribadi Sultan Kasepuhan seluas ...40,6034
Ha Tanah Kesultanan Kasepuhan seluas..371,9900Ha,
2. Keraton Kanoman , seluas 1.247,7742 Ha Milik Pribadi Sultan Kanoman seluas .22,8942Ha
Tanah Kesultanan Kanoman, seluas .1.224,8800Ha 3. Keraton Kacirebonan, seluas .....30,6250
Ha Milik Pribadi Kacirebonan seluas .27,6250 Ha Tanah Kesultanan seluas..3,0000 Ha
Catatan Luas tersebut berada di Wilayah Kota dan Kabupaten Cirebon Pelaksanaan
LANDREFORM : Tanah-Tanah Milik Pribadi Sultan : 1. Sultan Kasepuhan, oleh karena
Sultan Kasepuhan Meninggal dunia sebelum berlakunya UUPA, maka tanah milik tersebut
telah dibagi wariskan. 2. Sultan Kanoman, oleh karena tanah Milik Sultan Kanoman terkena
ketentuan kelebihan batas maksimumkepemilikan seluas 13,0390 Ha dan telah diberikan uang
ganti kerugian sebesar Rp. 651.950,- dan telah dibayar pada tanggal 31 Oktober 1968. Untuk
Tanah-Tanah Kasultanan, baik Kasepuhan, Kanoman maupun Kacirebonan sebagian telah di
berikan hak milik kepada Masyarakat, Sebagian diberikan SIM, dan sebagian lainya telah
dipergunakan untuk kepentingan umum seperti Kuburan, Masjid-masjid, Alun Alun, Jalan,
Sungai,Bangunan Keraton, Pasardan lain-lain. b. Versi Keraton/Kasultanan (Khususnya
KASEPUHAN) Menurut Sultan Sepuh XIII (P.R.A. DR. H MAULANA PAKUNINGRAT)
memberikan sikap yang dituangkan dalam tulisan berjudul Sejarah Kasultanan Kasepuhan
Tidak Pernah menjadi daerah Swapraja, yang ditujukan untuk bahan kajian Tim Peneliti dan
Inventarisasi Masalah di Keraton Kasepuhan pada Tahun 2001, menjelaskan bahwa
Kesultanan Cirebon hanyalah sebuah Lembaga adat yang memelihara budaya, tradisi dan
agama secara turun temurun, tidak lagi mengadakan pemerintahan sendiri seperti Kerajaan
Kerajaan lain di Nusantara, pemeliharaan adat, tradisi, budaya dan agama pada waktu itu tanah
adalah merupakan hak turun temurun sultan (Tanah Wewengkon), dalam tulisanya dijelaskan
sebelum adanya Conventie London 1814, dimana Inggris menyerahkan tanah jajahan (bekas
Hindia Belanda) ditimur jauh kembali kepada Belanda, tidak termasuk tanahtanah milik
14
Kesultanan Cirebon, sebab tanah tanah milik Kasultanan Cirebon tidak lagi milik Jajahan
Inggris yang diserahkan kepada Belanda, akantetapi tetap menjadi milikKesultanan Cirebon.
Kemudian dijelaskan pula Kesultanan Cirebon tidak pernah mengadakan Kontrak Politik
dengan Kolonial, dimana Kerajaan yang mengadakan Kontrak Politik dengan Kolonial disebut
SWAPRAJA atau INDERECT BESTUURD GEBIED atau ZELFSBESTUURDLANSCHAP.
Hal tersebutjuga dibuktikan bahwa pada tahun 1932 pernah menjadi jaminan (BORG) pada
Centraal Kas Bank untuk peminjaman Sultan Sepuh Mohamad Djamaloedien Aleoda.
Kemudian berdasarkan hal Tersebut, Sultan Sepuh Kasepuhan pada tahun 2001 mengajukan
usulan penyelesaian dengan Pemerintah dengan memohon kepada Pemerintah sebagai berikut:
1. Untuk Tanah Merdika (Sunyaragi) seluas 337 Ha dan Tanah Yasa (Pegambiran) seluas
23,164 Ha untuk dikembalikan seluruhnya, untuk yang telah diterbitkan Sertipikat agar diganti
rugi dengan mengacu kekentuan Ganti Rugi menurut Keppres No. 55/1993, dengan ganti rugi
senilai 40 tahun x Luas tanah x pendapatan per tahun, karena keraton Kasepuhan tidak pernah
menerima pendapatan selama 40 tahun. 2. Untuk tanah Keramat/Adat Karena merupakan
Cagar Budaya Situs Purbakala mempunyai nilai adat dan keramat, maka sebaiknya
disertipikatkan atas nama Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan untuk kepentingankelestarian adat
istiadat.
Sebelumnya Sultan Kasepuhan juga melakukan Upaya mengajukan Permohonan Dispensasi
agar tidak dilaksanakan pelaksanaan Landreform atas tanah tanah Keraton Kasepuhan kepada
Presiden RI dengan suratnya tertanggal 7 Desember 1961, yang selanjutnya berdasarkan Surat
dari SetNeg atas nama Presiden RI tertanggal 30 Juli 1962, MENOLAK permohonan
dispensasi tersebut, dan atas tanahtanah Kesultanan tetap terkena ketentuan dan ditetapkan
sebagai tanah bekas Swapraja dan telah beralih kepada Negara sejak tanggal 24september
1960. 2. Akibat Perbedaan Pandangan Tentang Status tanah Ex Swapraja antara Pemerintah
dengan Kesultanan Cirebon
Bahwa atas kondisi tersebut selama kurun waktu sejak berlakunya UUPA sampai saat ini
belum ada penyelesaian permasalahan tersebut, seiring berjalannya waktu menjadi salah satu
pemicu adanya sengketa/konflk pertanahan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
15
SEKILAS PANDANG SEJARAH KASULTANAN KASEPUHAN DAN
KEDUDUKAN STATUS TANAH HAK TURUN TEMURUN SULTAN SEPUH.
1. ERA SUNAN GUNUNG JATI
Pada abad XV Pangeran Cakrabuana putra mahkota Pajajaran membangun keraton dan
memproklamirkan kemerdekaannya dari kerajaan Pajajaran. Karena putrinya bernama Ratu
Ayu Pakungwati, maka keratonnya dinamai keraton Pakungwati yang kemudian dikenal
dengan sebutan Dalem Agung Pakungwati hingga sekarang.
Ratu Ayu Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya bernama Syekh Syarif
Hidayatullah putra Ratu Mas Larasantang (adik Pngeran Cakrabuana) yang lebih dikenal
dengan sebutan Sunan Gunung Jati.
Kemudian Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai pimpinan atau Kepala Negara di Cirebon
dan bersemayam di keraton Pakungwati, semenjak itu Cirebon merupakan pusat
pengembangan agama Islam di Jawa dengan adanya Walisanga yang dipimpin yang dipimpin
oleh Sunan Gunungjati dan peninggalan-peninggalannya diantaranya Masjid Agung Sang
Cipta Rasa.
Pada abad XVI Sunan Gunung Jati wafat, kemudian Pangeran Emas Zaenul Arifin cicit dari
Sunan Gunung Jati bertahta menggantikannya, yang kemudian pada tahun candra sangkala
Tunggal Tata Gunaning Wong atau 1451 saka yaitu tahun 1529 mendirikan keratin baru di
sebelah barat daya Keraton Dalem Agung Pakungwati, Keraton ini dinamai Keraton
Pakungwati dan beliau pun bergelar Panembahan Pakungwati I.
Pada kurang lebih tahun 1679 didirikan Keraton Kanoman oleh Pangeran Kartawidjaja atau
Sultan Badidrin yang bergelar Sultan Anom, Sultan Badidrin adalah adik dari Pangeran
Martawidjaja atau Sultan sepuh Kasepuhan, mereka putra dari Panembahan Pakungwati II.
- Selanjutnya, terkait kepemilikan Tanah Wewengkon/Merdika/Hak Turun Temurun
Sultan Sepuh, ditetapkan dengan RESOLUSI 19 OKTOBER 1819 NO. 6 sebagai
berikut :
Kepada Sultan Sepuh akan diutamakan permohonannya, atas dasar tanah-tanah
yang telah diserahkan, sebagai pengganti dari pendapatan yang variatif (Wissel
Vallige)
- Dari dokumen sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa Cirebon TIDAK PERNAH
menjadi daerah SWAPRAJA, tidak seperti Keraton-keraton lain di Indonesia. Karena
pada waktu berlakunya era swapraja (Belanda), Keraton Kasepuhan sudah tidak
16
memiliki Pemerintahan dan Politik, dan tidak ada kontrak Politik, tetapi hanya sebagai
lemaga adat dan tradisi.
2.ERA BELANDA (1834 – 1945)
- Berkenaan dengan hal-hal yang khusus mengenai timbang terima tanah di Cirebon
kepada Gubernemen (dibawah pemerintahan selingan Inggris) mencakup tentang
penguraian batas-batas tanah milik Sultan Kasepuhan diakui (in jasa). Fakta tersebut
sesuai dengan PENJELASAN DEMANG RAKSADIRDJA ddo 2 Agustus 1871.
Gouvernement Besluit 26 April 1872
benda tidak bergerak yang merupakan BEZIT dari masing-masing ketiga cabang famili
Sultan Cirebon.
Dalam keputusan ini digaris bawahi keputusan Rahasia Gubernemen tertanggal September
1884 no 1a2 yang menyebutkan bahwa gelar “ Sultan harus beralih kepada Putra laki-laki
sulung dari pangeran Gelar.
Tanah Sultan Kasapuhan adalah tanah hak turun temurun, karena selalu disebut BEZIT
Selama krurun waktu 1834-1945, Kasultanan Kasapuhan tidak pernah mengadakan kontrak
politik dengan kolonial dimana kerajaan yang pernah mengadakan kontrak politik.
3. ERA REFORMASI
Di era reformasi, ada beberapa kemajuan proses penyelesaian yang berkeputusan tetap,
itupun harus ditempuh melalui pengadilan (jalur hukum)), dan dimenangkan oleh Sultan
Sepuh Keraton Kasapuhan. Dengan dimenangkannya proses hukum oleh Sultan Sepuh
semakin menguatkan fakta bahwa demi hukum dan keadilan tanah keraton Kasapuhan
tersebut seharusnya tidak terkena Landreform dalam kategori ewapraja/ex swapraja.
Adapun beberapa fakta hukum yang terjadi di era reformasi adalah sebagai berikut :
a. Surat Mendagri.
b. Keputusan Mahkamah Agung RI tenatng tanah Keraton No 373 K /PDT/2004 Kasus
tanah Kasapuhan di Blok satim Desa Sakur jaya Kecamatan Ujung jaya Kab
Sumedang yang dimenangkan Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon.
17
c. Keputusan MA RI no. 311 pk/ pdt 2009 tgl 24-08-2009 tentang tanah keraton yang
digunakan kantor Dinas Pertanian di Kota Cirebon yang dimenangkan Sultan Sepuh
Keraton Kasapuhan Cirebon
d. KEPUTUSAN pk No,28 PK/TUN 2004 jo No 121/G/2001/PTUN-BDG dan
Penetapan Eksekusi No. 121 /DG 2001/PTUN jo no 02/PEN EKS/2003 PTUN BDG,
tenatng tanah Sultan Sepuh di desa Banjarwangun Kec. Mundu Kab Cirebon yang
dimenangkan Sultan Sepuh Keraton Kasapuhan Cirebon.
18
BAB IV
A.Politik hukum Pertanahan dalam pemaknaan tanah swapraja
Dari penjelaskan diatas mengenai pemaknaan swapraja atau bekas swapraja dilihat
dari politik hukum, indikator yang dapat ditetapkan bahwa yang dikatakan swapraja atau
bukan swapraja yaitu: (1) merupakan daerah yang memiliki pemerintahan yang tidak
diatur oleh negara lain, melainkan oleh dirinya sendiri, (2) daerah yang berdasarkan
perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda yang dituangkan dalam perjanjian pendek
yang disebut Korte Verklaring.
Pemaknaan kata swapraja yang diawali dengan berdebatan dalam bermula untuk membahas
daerah istimewa melalui voting negara di sidang BPUPKI. Keadaan tersebut diwarnai diskusi
para bapak pendiri bangsa mengenai bentuk negara, yang kemudian istilah daerah
istimewa atau Zelfbesturen delandchappen. Daerah istimewa hanya muncul sekali
dalam konstitusi RIS tahun 1949. Itupun hanya menyangkut satu daerah yang berstatus
sebagai”Satuan Kenegaraan yang Tegak Sendiri”. Dalam konstitusi ini muncul daerah
swapraja sebagai ganti istilah dari bahasa Belanda Zelfbesturen delandchappen yaitu
daerah – daerah kerajaan atau berpemerintahan sendiri.
Daerah yang berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda yang
dituangkan dalam Korte Verklaring perjanjian pendek berisikan pernyataan setia kepada
Raja Belanda atau Gebenur jendral atau wakilnya, sehingga dalam membedakan mana
yang masuk kepada daerah swapraja atau bekas swapraja bila melihat dari makna yang
terdapat dalam beberapa pemahamanan yang ada.
19
B.INDIKATOR PENETAPAN TANAH SWAPRAJA DI PEMERINTAH KOTA
CIREBON
Wilayah/daerah swapraja adalah wilayah yang memiliki hak pemerintahan sendiri.
Istilah ini dipakai sebagai peranan bagi istilah pada masa kolonial Belanda,
zelfbestuur (jamak zelfbesturen). Sistem administrasi daerah Indonesia pada masa Hindia-
Belanda dikenal rumit dan mengakui bentuk-bentuk pemerintahan daerah yang berbeda-beda.
Daerah swapraja adalah salah satu bentuk yang diakui oleh pemerintah kolonial dan
mencakup berbagai bentuk administrasi, seperti kesultanan , kerajaan, dan keadipatian .
Status swapraja berarti daerah tersebut dipimpin oleh pribumi berhak mengatur
urusan administrasi, hukum, dan budaya internalnya. Contoh daerah swapraja adalah
Kesunanan Surakarta. Pemerintahan pendudukan Jepang (1942- 1945) menggantikan
status daerah swapraja menjadi kochi. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia,
daerah-daerah di Indonesia memperoleh status daerah swapraja oleh pemerintahan
antara Hindia-Belanda melalui berbagai Lembaran Negara (Staatsblad).
Pada masa Republik Indonesia Serikat, daerah-daerah swapraja menjadi bagian dari
"negara" / negara bagian. Reorganisasi pemerintahan daerah semenjak berlakunya UU no. 1
tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah secara efektif menghapus status
swapraja dan membentuk "daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri ",
yang juga disebut Daerah Swatantra dan Daerah Istimewa (Pasal 1).
Pengertian Tanah Swapraja
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Swapraja berasal dari kata “Swa”
yang berarti; “sendiri ” dan “Praja” yang berarti; “kota-negeri ”, Swapraja, berarti daerah
yang berpemerintahan sendiri. Dengan demikian, daerah Swapraja berati daerah yang
memiliki Pemerintahan sendiri. Sebutan swapraja tidak terdapat di dalam Undang-
Undang Dasar 1945, dalam penjelasan Pasal 18 disebut; Zelfbesturende
Landschappen. Baru di dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Undang-Undang
Dasar Sementara 1950 di jumpai sebutan swapraja, masing-masing dalam Bab II dan Bab
IV. Di dalam II bagian III Konstitusi Republik
20
Indonesia Serikat yang berjudul daerah Swapraja, dinyatakan dalam pasal 64 dan 65,
bahwa; daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, diakui.
Mengatur kedudukan daerah-daerah swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan
daerah-daerah bagian yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengatur daerah itu
dilakukan dengan kontrak, yang diadakan antara daerah- daerah bagian dengan daerah-
daerah swapraja yang bersangkutan. Dalam Bab IV Undang-Undang Dasar Sementara
1950 yang berjudul; Pemerintah Daerah dan Pemerintah Swapraja, dinyatakan dalam
pasal 32, bahwa kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan Undang-Undang.
UUPA dalam Diktum ke IV, masih menyebut adanya daerah swapraja dan bekas
swapraja, namun demikian, hingga kini Peraturan Pemerintah yang secara khusus
merupakan pelaksanaan dari Diktum ke IV UUPA huruf A tersebut, belum juga ada. Yang
ada adalah Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 yang memuat ketentuan mengenai
pembagian tanah swapraja dan bekas swapraja dalam rangka pelaksanaan Landreform.
Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah- daerah yang
diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan
daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa yang
dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja adalah
suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda, yang
kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain ),
berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan
pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut;
Zelfbestuur ) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian
tersebut serta adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.
Hapusnya Daerah Swapraja.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintahan swapraja
dibanyak daerah menjadi hapus. Wilayah-wilayah bekas daerah swapraja itu kemudian
menjadi daerah yang diperintah langsung oleh negara Republik
21
Indonesia, dan kemudian menjadi wilayah administrasi biasa, misalnya menjadi
Karesidenan.
Tanah-tanah yang semula dikuasai oleh pemerintah swapraja dengan hak penguasaan
yang bersifat publik, menjadi tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara, seperti tanah-tanah
dalam daerah pemerintahan langsung. Sedangkan tanah-tanah yang dikuasai dengan hak
yang bersifat Perdata, tetap dalam penguasaan bekas kepala swapraja, yang umumnya
masih menggunakan sebutan lama sebagai kepala swapraja, Sunan, Sultan atau Raja sebagai
kepala keluarga kerajaan.
Tanah-tanah yang dikuasai secara pribadi tersebut, pada hakikatnya adalah merupakan
tanah milik pribadi seperti tanah-tanah hak milik di daerah lain. Pada waktu Sunan,
Sultan atau Raja wafat, maka tanah tersebut diwarisi oleh ahli warisnya.
Eks Kasunanan Surakarta, eks Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten
Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman, adalah daerah-daerah bekas swapraja, masing-
masing mempunyai wilayah tanah dan hutan, yang merupakan wilayah tanah dan
hutan swapraja, dimana semuanya hapus sejak berlakunya Undang- Udang Pokok
Agraria.
Dalam pandangan Pemerintah, ternyata disamping daerah-daerah bekas swapraja
tersebut diatas, masih ada daerah-daerah yang merupakan daerah swapraja dengan
segala hak dan kewenangan yang dimiliki oleh suatu daerah swapraja, yaitu; Cirebon,
yang terdiri dari eks Kesultanan Kasepuhan, eks Kesultanan Kanoman dan eks
Kesultanan Kacirebonan, yang dahulunya menguasai tanah-tanah yang sangat luas.
Dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria ( UUPA ), dan dengan berdasarkan
kepada Diktum Keempat huruf A Undang-Undang tersebut, maka tanah-tanah yang
dikuasai oleh eks Kesultanan-Kesultanan itu, telah diambil alih oleh Pemerintah Daerah
Kota Cirebon karena tanah-tanah itu dikategorikan sebagai tanah swapraja/ bekas swapraja,
yang dilakukan melalui Panitia Landreform Kota Praja Cirebon.
Sejak adanya keputusan itu, Sultan Sepuh Kasepuhan dari Keraton eks Kesultanan
Kasepuhan Cirebon mengajukan keberatan dan menuntut agar seluruh
22
tanah-tanah itu dikembalikan kepada eks Keraton Kasepuhan dengan pertimbangan bahwa, e
ks Kesultanan Kasepuhan bukan bekas swapraja sebagaimana yang dimaksud dalam
Diktum Keempat huruf A UUPA, karena eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon tidak
berstatus swapraja lagi jauh sebelum lahirnya negara Republik Indonesia.
Keberatan Sultan Sepuh Kasepuhan tersebut ditolak oleh Presiden Republik Indonesia
dengan Suratnya tanggal 30 Juli 1962 Nomor 1893/TU/62, dimana ditegaskan
bahwa, Keraton Kasepuhan adalah bekas swapraja , sebagaimana dimaksud dalam
Diktum ke IV UUPA, sehingga proses pembagian tanah-tanah tersebut dalam
rangka Landreform tetap dilanjutkan. Kenyataanya kemudian, seluruhnya habis
di- redistribusikan dan tidak ada sisa yang seharusnya dikembalikan kepada pihak eks
Kesultanan Kasepuhan Cirebon ,. Hal inilah yang merupakan awal timbulnya “konflik
pertanahan ” di Kota Cirebon, yang terus berlanjut hingga saat ini.
Indonesia pada waktu masih menjadi Hindia Belanda, terdiri atas daerah- daerah yang
diperintah langsung oleh Pemerintah Hindia Belanda ( Rechtstreeks Bestuurgebeid ) dan
daerah-daerah yang pemerintahannya diserahkan kepada Zelfbestuurders, yaitu apa
yang dikenal sebagai daerah-daerah swapraja. Menurut Prof.Boedi Harsono, “swapraja
adalah suatu wilayah pemerintahan yang merupakan bagian dari daerah Hindia Belanda,
yang kepala wilayahnya ( dengan sebutan; Sultan, Sunan, Raja atau nama adat yang lain
), berdasarkan perjanjian dengan Pemerintah Hindia Belanda menyelenggarakan
pemerintahan sendiri ( dalam Indische Staatsregeling 1855 Pasal 21 disebut; Zelfbestuur
) di wilayah yang bersangkutan, masing-masing berdasarkan perjanjian tersebut serta
adat-istiadat daerahnya masing-masing yang beraneka ragam.
Kerajaan-kerajaan itu disebut Landschap atau Zelfbestuur, sedangkan Rajanya
disebut Zelfbestuurder. Lansdchap itu merupakan bagian dari daerah Kerajaan Hindia
Belanda, serta semua Zelfbestuurder harus mengakui Raja Belanda sebagai kekuasaan
pemerintah tertinggi yang sah. Tanah-tanah, termasuk hutan dalam wilayah Swapraja,
merupakan tanah-tanah Swapraja, yang kewenangan
23
penguasaan dan pemberian haknya kepada pihak lain, ada pada Pemerintah Swapraja
yang bersangkutan. Ada tanah-tanah yang dikuasai dengan hak yang bersifat Perdata
oleh Kepala Swapraja secara pribadi atau dalam kedudukannya sebagai Kepala
Keluarga Kerajaan, misalnya adalah; tanah untuk istana, tempat peristirahatan dan
keperluan pribadi lainnya . Sisanya adalah tanah-tanah, termasuk hutan yang dikuasai
dengan hak yang bersifat Publik oleh pemerintah swapraja. Tanah-tanah inilah yang
oleh pemerintah swapraja diberikan kepada pihak lain dengan hak-hak yang dikenal di
swapraja yang bersangkutan.
Syarat bahwa kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri itu didapatkan
berdasarkan pemberian oleh Pemerintah Hindia Belanda, yang dituangkan dalam
perjanjian-perjanjian dan disebut sebagai Korte Verklaring , adalah merupakan syarat mutlak ,
karena tanpa adanya Korte Verklaring itu tidak akan ada daerah swapraja. Hal itu adalah
karena pada masa tersebut, Pemerintah Hindia Belanda adalah penguasa atas seluruh
wilayah Indonesia, sehingga dengan demikian tanpa adanya Korte Verklaring, ia
bukan daerah swapraja, melainkan merupakan daerah pemerintahan langsung dibawah
Hindia Belanda.
Kota Cirebon menyatakan diri sebagai Kota Wali, namun ironisnya di kota yang
memproklamirkan diri sebagai kota wali ini, ternyata berlangsung “konflik pertanahan ”
berkepanjangan antara Pemerintah Kota Cirebon disatu pihak melawan eks Kesultanan
Kasepuhan Cirebon pada pihak lainnya. Konflik dan perdebatan tersebut telah
berlangsung lebih dari 50 ( lima puluh ) tahun dan belum juga menunjukan tanda-
tanda akan berakhir. Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumen dan
pendapatnya sendiri-sendiri. Bagi Pemerintah Kota Cirebon, dengan telah dilakukannya
Redistribusi atas tanah-tanah milik eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon tersebut, maka
permasalahan dianggap telah selesai.
Pihak eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon belum bisa menerima bila tanah- tanah milik
eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon itu dianggap sebagai tanah swapraja/bekas
swapraja. Menurut mereka, pihak Keraton hanya berusaha meluruskan
permasalahan tanah milik eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon yang diambil dan dikuasai
oleh pihak-pihak tertentu secara tidak benar.
24
Perdebatan mengenai tanah tersebut, mengungkapkan sejumlah pendekatan dan pendapat
yang berbeda-beda. Eks Kesultanan Kanoman dan eks Kesultanan Kacirebonan menerima
pembagian tersebut, sedangkan eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon sampai saat ini masih
belum mengakui dan berpendapat bahwa tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon
tersebut bukan merupakan tanah swapraja/bekas swapraja. Pada sisi lain, Pemerintah
telah melakukan penelitian dan penolakan terhadap klaim pihak Kesultanan Kasepuhan
Cirebon tersebut. Bahkan Badan Pertanahan Nasional (BPN), melalui Surat Kepala Badan
Pertanahan Nasional kepada Gubernur Jawa Barat, tertanggal 20 Januari 2003 No. 400-
1581, beranggapan bahwa tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon itu, adalah tanah
swapraja. Namun hingga saat ini pihak Pemerintah belum bisa menjelaskan arti swapraja
dengan jelas dan disamping itu, Pemerintah juga tidak mampu membuktikan mana saja
yang termasuk kedalam tanah swapraja/bekas swapraja dan yang bukan tanah
swapraja/bekas swapraja.
Untuk menyelesaikan masalah ini, sesungguhnya telah beberapa kali dibetuk Team Peneliti,
baik Team Peneliti yang dibentuk oleh Pemerintah sendiri, maupun Team Peneliti yang
dibentuk bersama-sama antara Pemerintah dengan pihak eks Kesultanan Kasepuhan
Cirebon, namun demikian masalah tersebut tidak juga bisa terselesaikan.
Tanah Kesultanan Kasepuhan Cirebon.
Tahun 1813, Sultan Cirebon melakukan perjanjian dengan pihak Inggris sebagai
penguasa baru Hindia Belanda, yaitu untuk menyerahkan seluruh kekuasaan pemerintahan
yang ada kepada Inggris , yang tercantum dalam Akta tertanggal 20 Juli 1813. Berdasarkan
Akta itu dan keterangan Sultan Sepuh XI tanggal 10 September 1931 , maka
seluruh kekuasaan Pemerintahan Kesultanan Cirebon beserta wilayah
pemerintahannya, telah diserahkan sepenuhnya kepada Inggris selaku penguasa pada saat
itu, sedangkan yang tersisa hanyalah tanah milik pribadi Kesultanan Kasepuhan, sebagaimana
tercantum dalam Peta Kadaster tanggal 20 Mei 1890.
25
Sejak adanya Akta 20 Juli 1813 seluruh kekuasaan pemerintahan maupun wilayah
kekuasaan Sultan Cirebon, telah berakhir, dan Cirebon menjadi wilayah yang diperintah
langsung oleh Inggris, sedangkan tanah yang tersisa adalah tanah-tanah pribadi yang tidak
diserahkan kepada Inggris, karena sifat dan nilai-nilainya yang khusus, yaitu Keraton dan
tanah peristirahatan Sunyaragi ( Sunyaragi, dahulunya adalah tanah / hutan larangan ). Hal
tersebut juga diperkuat dengan adanya bukti bahwa tanah-tanah tersebut, pernah dijadikan
jaminan/agunan untuk peminjaman uang kepada Centraal Kas oleh Sultan Sepuh Mohamad
Djamaloedin Aloeda tahun 1932.
Jadi yang dimaksud dengan tanah eks Kesultanan Kasepuhan Cirebon, adalah hanya
meliputi tanah-tanah pribadi saja ( bersifat Hak Perdata ) yang tidak diserahkan
kepada Inggris , dan bukan merupakan wilayah/desa-desa yang dahulu menjadi bagian
wilayah kekuasaan pemerintahannya, karena dengan adanya penyerahan tahun 1813
tersebut, Sultan Cirebon tidak lagi mempunyai kekuasaan apapun diluar wilayah
Keratonnya.
C .Konflik Tanah Kasultanan Kasepuhan Cirebon versus Pemerintah dan
Masyrakat.
Pada tanggal 24 September 1961, berdasarkan Keputusan Menteri Agraria, dimulailah
penguasaan tanah-tanah yang dikuasai dengan melebihi batas luas maksimum oleh
negara. Pelaksanaannya dilakukan dengan berangsur-angsur, setelah ditetapkan bagian
atau bagian-bagian mana yang tetap menjadi tanah hak pemilik dan mana yang akan
dikuasai oleh Pemerintah.
Menurut Penjelasan Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tanah-tanah yang diambil
oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada para petani yang membutuhkan itu,
tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Pemberian ganti
kerugian ini merupakan perwujudan dari pada azas yang terdapat dalam Hukum Agraria
Nasional kita, yang mengakui adanya hak milik perorangan atas tanah.
Peraturan pemerintah No. 224 tahun 1961 mencantumkan ketentuan- ketentuan
mengenai ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah sebagai pelaksanaan dari
Pasal 17 UUPA. Pemberian ganti kerugian kepada para bekas
26
pemilik tanah yang diambil oleh Pemerintah, baik karena melebihi luas maksimum ataupun
karena absentee, merupakan ciri pokok landreform Indonesia, demikian dikatakan oleh
Prof. Boedi Harsono. Kepada bekas pemilik dari tanah-tanah yang berdasarkan ketentuan
Pasal 1 ketentuan ini diambil oleh Pemerintah untuk dibagi- bagikan kepada yang berhak
atau dipergunakan oleh Pemerintah sendiri, diberikan ganti kerugian, yang besarnya
ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan.
Jadi redistribusi tanah yang menjadi objek Landreform adalah, pembagian tanah-tanah
pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah, karena terkena ketentuan larangan
pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja/bekas swapraja,
kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah
tersebut. Redistribusi tanah eks Kesultanan Kasepuhan tersebut telah dan tetap
dilaksanakan oleh Pemerintah Kota Cirebon, walaupun hingga saat ini, pihak eks
Kesultanan Kasepuhan tetap beranggapan bahwa tanah tersebut bukan merupakan tanah
swapraja/bekas swapraja.
Dilihat dari latarbelakang sejarah, politis maupun yuridis, Kesultanan Cirebon tidak pernah
menjadi daerah Swapraja, karena ia tidak pernah melakukan persetujuan politik
apapun dengan Pemerintah Hindia Belanda, dan telah menyerahkan kekuasaan
pemerintahannya sepenuhnya kepada Pemerintahan Inggris dibawah Gubernur Jenderal
Raffles, dengan Akta perjanjian 20 Juli 1813 . Sampai dengan saat diserahkannya
seluruh kekuasaan pemerintahan oleh Kesultanan Cirebon kepada Inggris tersebut,
Cirebon adalah suatu wilayah dengan pemerintahan yang benar-benar merdeka, terlepas
dari pengaruh dan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda.
Dengan keadaan dan posisi tersebut, Cirebon tentu tidak dapat dikategorikan sebagai
wilayah swapraja/bekas swapraja, sebab suatu wilayah swapraja/bekas swapraja harus
tunduk kepada pihak yang memberikannya kekuasaan untuk memerintah, seperti
halnya yang terjadi dengan daerah-daerah swapraja lain. Hal itu tidak berlaku untuk
Kesultanan Cirebon. Setelah Pemerintah Inggris menyerahkan kembali penguasaan
Hindia Belanda kepada Pemerintah Belanda, keadaan itu diteruskan oleh Pemerintah
Belanda, dimana Cirebon dianggap sebagai
27
daerah pemerintahan langsung dibawah Belanda. Cirebon sejak saat itu, adalah
merupakan daerah kekuasaan langsung dan sepenuhnya dari pemerintahan Belanda.
Oleh karena itu, Cirebon, tidak bisa dikategorikan sebagai daerah Swapraja/ bekas
Swapraja.
Pada sisi lain, pelaksanaan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 telah
dilaksanakan tidak sesuai dengan ketentuan yang disyaratkan oleh ketentuan itu
sendiri. Menurut Peraturan Pemerintah tersebut, terhadap tanah swapraja dan bekas
swapraja yang beralih kepada negara, diberi peruntukan; sebagian untuk kepentingan
Pemerintah, sebagian untuk kepentingan mereka yang langsung dirugikan karena
dihapuskannya hak swapraja atas tanah itu dan sebagian untuk dibagikan kepada rakyat
yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini. Lebih lanjut
ditentukan bahwa tanah yang diperuntukan bagi mereka yang langsung dirugikan, letak dan
luasnya ditetapkan oleh Menteri Agraria, setelah mendengar Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah.
Dengan latar belakang seperti itu, serta dengan mengacu kepada pendapat Prof. Boedi
Harsono, SH, mengenai syarat suatu daerah untuk dapat disebut sebagai daerah
swparaja/bekas swapraja, juga Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961 dan kemudian
membandingkannya dengan pelaksanaan re-distribusi terhadap tanah-tanah itu adalah
wajar bila terjadi penolakan keras oleh pihak eks. Kesultanan Kasepuhan Cirebon atas
tindakan yang dilakukan Pemerintah Kota Cirebon terhadap tanahnya.
Jadi pelaksanaan ketentuan Diktum ke IV huruf A UUPA dan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, mengenai tanah-tanah swapraja/bekas
swapraja di wilayah Eks Kesultanan Cirebon, khususnya terhadap tanah-tanah eks
Kesultanan Kasepuhan Cirebon, telah menimbulkan “konflik pertanahan ” yang
berkepanjangan, kerena tidak adanya kejelasan mengenai status tanah tersebut.
Hingga saat ini belum juga bisa diambil suatu kesimpulan yang tegas, apakah Cirebon
merupakan daerah swapraja/bekas swapraja atau bukan. Secara historis, politis maupun
yuridis, Cirebon bukan dan tidak pernah menjadi daerah Swapraja atau bekas Swapraja,
karena sepanjang sejarah berdirinya kekuasaan Kesultanan di
28
Cirebon. Cirebon merupakan suatu daerah yang merdeka dalam arti yang
sesungguhnya, karena tidak pernah disentuh oleh kekuasaan pemerintah Hindia
Belanda.
Pada sisi lain, pelaksanaan redistribusi atas tanah-tanah Eks Kesultanan Kasepuhan
Cirebon tersebut juga telah menimbulkan permasalahan, karena tidak dilakukan
sebagaimana mestinya, yaitu distribusi yang tidak terencana dengan baik, bahkan hingga
saat ini redistribusi itu belum juga selesai. Hak-hak pihak eks Kesultanan
Kasepuhan sebagai pemilik tanah itu, yang seharusnya tetap diperhatikan,
malah dikesampingkan sama sekali. Disamping itu, sebagaimana dinyatakan oleh
Sultan Sepuh Kasepuhan Cirebon, ditengarai juga terjadi pelanggaran ketentuan
mengenai larangan pemilikan tanah secara absentee. Oleh karena itu perlu dicarikan suatu
cara penyelesaian yang baik dan bermartabat, agar permasalahan ini bisa segera
diselesaikan dan sekaligus memberikan jaminan kepastian hukum terhadap masyarakat
yang telah menguasai tanah tersebut dengan itikad baik.
29
BAB V
KESIMPULAN
Keberadaan tanah swapraja atau bekas swapraja dilihat dari politik hukum agraria tidak ada
yang menjelaskan pemaknaan tanah swapraja.Dari penjelasan diatas mengenai pemaknaan
swapraja atau bekas swapraja dilihat dari politik hukjum, indikator yang dapat ditetapkan
bahwa atau bukan swapraja :
A. . 1. merupakan daerah yang memiliki pemerintahan yang tidak diatur oleh negara lain,
melainkan oleh dirinya sendiri.
2.Daerah yang berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Hindia belanda yang
dituangkan dalam perjanjian yang disebut Korte Verklaring
B.Indikator penetapan swapraja dalam pemerintahan Kota Cirebon, tidak melibatkan
pihak dari keraton Kasapuhan Cirebon. Pemerintah hanya memaknaai swapraja yang
tertulis dalam UUPA, tanpa melihat historis dan yuridis tanah eks Keraton Kasapuhan
Cirebon.
30
BAB VI
REKOMENDASI
PENANGANAN TANAH KASAPUHAN CIREBON
Pertama, pendekatan melalui UUPA dengan menerapkan PP Nomor 38 Tahun 1963;yi
badan badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
Permen ATR /BPN Nomor 128 Tahun 2015
. Pasal 1.: Badan-badan hukum yang disebut dibawah ini dapat mempunyai hak milik atas
tanah, masing-masing dengan pembatasan yang disebutkan pada pasal-pasal 2, 3 dan 4
peraturan ini :
a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara);
b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasarkan atas
Undangundang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran- Negara Tahun 1958 No. 139);
c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah
mendengar Menteri Agama;
d. Badan-badan sosial, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria, setelah mendengar Menteri Kesejahteraan Sosial. Badan-Badan hukum Yg Dapat Mempunyai HM-
Pasal 4.
Badan-badan keagamaan dan sosial dapat mempunyai hak milik atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang langsung berhubungan dengan usaha
keagamaan dan sosial.
Pasal 5.
(1) Didalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan ini, maka badan-badan
hukum tersebut pada pasal 1 huruf-huruf a dan b, wajib memberitahukan kepada Menteri
Pertanian/Agraria tentang semua tanah yang dipunyainya, dengan menyebutkan macam
haknya, letak, luas dan penggunaannya.
(2) Mengenai badan-badan keagamaan dan sosial, kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini
berlaku pada waktu badan hukum yang dapat mempunyai hak milik, seperti termaksud pada
pasal 1 huruf c dan d.
• (3) Untuk dapat memperoleh tanah hak milik sesudah mulai berlakunya peraturan ini,
31
tetap diperlu(kakan ijin Menteri Pertanian/Agraria atau penjabat lain yang
ditunjuknya, sebagai yang diatur didalam Peraturan Menteri Agraria No. 14 Tahun
1962 (Tambahan Lembaran Negara No. 2346).
Kedua, pendekatan dengan UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 Tntang Cagar Budaya;
Penguasaan dan Kepemilikan Cagar Budaya
• Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
• Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah,
Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap
memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.
Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang, masyarakat, badan usaha berbadan
hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.
Cagar Budaya yang tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh Negara.
Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya peringkat nasional, peringkat
provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali
dengan izin Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan tingkatannya
Ketiga
pendekatan dengan memaknai Kraton Kasepuhan Cirebon sebagai Masyarakat Hukum Adat
dengan hak-hak adanya, termasuk tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan
Cirebon: dengan menerapkan Permen ATR/BPN tentang Penatausahaan Tanah Ulayat
Masyarakat Hukum Adat.
Untuk ini pihak keraton Kasapuhan bisa memilih salah satu dari 3hal tersebut diatas dengan
segala konsekwensinya.
32
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad Sodiki, 2003, Politik Hukum Agraria, Jakarta, Konstitusi Press.
Ahmad Fauzi Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Jakarta: Dewaruci Press.
Budi Hardiman, Demokrasi Delberati: Model Indonesia Pasca Soeharto, dalam basic No 11-
12 November-Desember, Yogyakarta, 2004 hlm 17. Lihat juga dalam Reza A.A Watimena,
Melampau Negara Hukum Klasik Locke-Rausseau Habermas, 2007, Yogyakarta: Kanisius.
Gunawan Wiradi, 2009, Seluk Beluk Masalah Agraria Reforma Agraria dan Penelitian
Agraria, Yogyakarta, STPN Press.
Kartini Soejendro, 2001, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Yogyakarta: Kanisius.
Nezar Patria dan Andi Arif, 2003, Antonio Gramsci: Negara & Hegemoni, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Rob van Getstel, Hans -W Micklitz & Miquel Poiares Maduro, Meyhodology In The New
Legal World, 2012, Italy: European University Intitue Badia Fiesolana.
Sidartha, Filsafat Penelitian Hukum, 2013, Disgest Epistema Volume 3, Jakarta: Epistema
Institute.
Soedikno Mertokusumo, 1988, Hukum dan Politik Agraria, Jakarta: Universitas Terbuka.
Soejono Soekamto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, 1984, Jakarta, UI-Press.
Soejono Soekamto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Cet 3, Jakarta: UI-Press.
Weber, Max. 1958, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalisme. New York.
Jurnal dan Karya Ilmiah
Bakhrul Amal, Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah Keraton Kesepuhan di Kota Cirebon
(suatu kajian terhadap putusan MA No 1825/K/PDT/2002) Dispute of Owernship Of
Land In Kesepuhan Palace Cirebon, 2016, E Journal Program MKN UNDIP
33
Semarang.
Boedi Harsono, Peralihan Tanah-Tanah Swapraja dan Bekas Swapraja Menjadi Tanah
Negara, Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional; Pertanahan Nasional
Berkenaan Dengan Tanah-Tanah Eks Swapraja, yang diselenggarakan 15 Februari
2003: Universitas Swadaya Gunung Jati, Cirebon.
Daniel Fitzp Trick, Disputea NS Pluralism in Modern Indonesia Law, 1997, Yale Journal Of
International Law, Vol 22.
Dayanto, Rekonstruksi Paradigma Pembangunan Negara Hukum Indonesia Berbasis
Pancasila,” Jurnal Dinamika Hukum Universitas Darussalam Ambon, Vol 12 No 3
September 2013.
Gunawan Wiradi, Identifikasi dan Inventarisasi Permasalahan Dalam Penguasaan dan
Penggunaan Tanah di Pedesaan Suatu Kajian Sosiologis, Makalah Seminar Nasional
Tri Dasawarsa UUPA, 1990, Yogyakarta, diselenggarakan oleh Kerjasama BPN-FH
UGM, 24 Oktober 1990.
H.A. Mattulada, Kesukubangsaan dan Negara Kebangsaan Indonesia: Prospek Budaya
Politik Abad 21”. April 1999 dalam jurnal Antropologi Indonesia, th XXII No. 58
Jurnal.
Julius Sebiring, Tanah Dalam Prespektif Filsafat Hukum, Jurnal Mimbar HUkum Volume 23
Nomor 2, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta