123
Laporan Kasus ISK Oleh : Dita Irmaya NIM. I1A010010 Pembimbing : Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM

Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lap

Citation preview

Page 1: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Laporan Kasus

ISK

Oleh :

Dita Irmaya

NIM. I1A010010

Pembimbing :

Dr. dr. Agus Yuwono, Sp.PD, K-EMD FINASIM

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAMFK UNLAM – RSUD ULIN

BANJARMASIN

Mei, 2014

Page 2: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh

hiperglikemia yang disebabkan oleh gangguan pada sekresi insulin, resistensi

insulin, atau kombinasi keduanya. Perubahan metabolisme lemak dan protein juga

merupakan manifestasi penting dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin.

Kebanyakan penderita diabetes mellitus memiliki diabetes tipe I (yang

diperantarai imun atau idiopatik) atau diabetes tipe 2 (dengan komplek

patofisiologi yang menggabungkan resistensi insulin dan kegagalan sel β dan

dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat juga berkaitan dengan lingkungan

hormonal gestasional, defek genetik, infeksi lainnya, dan obat-obat tertentu.

(Jurnal Farmasi)

Diabetes mellitus tipe 2 mencakup susunan disfungsi ditandai dengan

hiperglikemia dan merupakan akibat dari kombinasi resistensi insulin, inadekuat

sekresi insulin, dan sekresi glukagon tidak sesuai atau berlebihan. Diabetes tipe 2

yang tidak terkontrol terkait dengan berbagai komplikasi neuropati,

makrovaskular, mikrovaskular. (medscape)

Komplikasi mikrovaskular dari diabetes mencakup retina, renal, dan

kemungkinan penyakit neuropati. Komplikasi mikrovaskular mencakup arteri

koroner dan penyakit vaskular perifer. Neuropati diabetik mempengaruhi saraf

otonom dan perifer. (medscape)

2

Page 3: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, pasien dengan diabetes tipe 2 tidak

sepenuhnya bergantung pada insulin untuk hidup. Perbedaan ini menjadi dasar

pada istilah lama untuk tipe 1 dan 2, diabetes tergantung insulin dan diabetes tidak

tergantung insulin.(medscape)

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian

medis jangka panjang untuk membatasi perkembangan komplikasi dan

merawatnya jika terjadi. Ini merupakan penyakit yang membutuhkan biaya mahal,

di Amerika Serikat pada tahun 2007, biaya yang langsung berhubungan dengan

diabetes adalah 116 milyar dolar, dan total biaya sekitar 174 milyar dolar; orang

dengan diabetes mengeluarkan biaya medis rata-rata 2,3 kali lebih besar

dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. (Medscape)

Di Indonesia, 8.426.000 penduduk menderita diabetes pada tahun 2000,

dan diperkirakan menjadi 21.257.000 pada tahun 2030. Sedangkan untuk dunia,

171.000.000 penduduk menderita diabetes, dan diperkirakan menjadi 366.000.000

pada 2030. Sepuluh negara dengan penderita diabetes terbanyak adalah India,

China, Amerika Serikat, Indonesia, Jepang, Pakistan, Rusia, Brazil, Italia, dan

Bangladesh.

Predisposisi terjadinya infeksi saluran kemih (ISK) pada penderita

diabetes melitus diakibatkan berbagai faktor. Kepekaan meningkat seiring

lamanya durasi dan beratnya derajat diabetes. Kandungan glukosa darah yang

tinggi menyebabkan gangguan faktor imun penjamu terhadap infeksi.

Hiperkalsemia menyebabkan disfungsi neutrofil dengan meningkatkan kadar

kalsium intraselular dan mengintervensi dengan aktin, diapedesis dan fagositosis.

3

Page 4: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Kandidiasis vagina dan penyakit vaskular juga berperan penting pada infeksi yang

berulang.(medscape)

Sepanjang waktu, pasien dengan diabetes dapat berkembang sistopati,

nefropati, dan nekrosis papilar renal, mempermudah terjadinya ISK. Efek jangka

panjang sistopati diabetik mencakup refluks vesikouretral dan ISK berulang .

Sebagai tambahan, sebanyak 30 persen wanita dengan diabetes mempunyai

sistokel, sistouretrokel, atau rektokel dalam berbagai derajat. Semua hal ini

berperan dalam frekuensi dan beratnya ISK pada wanita dengan diabetes.

(medscape).

Hipertensi merupakan kondisi komorbid diabetes yang sangat sering

terjadi, mempengaruhi 20-60% pasien diabetes, tergantung pada obesitas, etnis,

dan usia. Pada diabetes tipe 2, hipertensi sering terjadi sebagai bagian dari

sindrom metabolik dari resistensi insulin juga mencakup obesitas sentral dan

dislipidemia. Pada diabetes tipe 1, hipertensi dapat menandakan onset nefropati

diabetik. Hipertensi meningkatkan risiko dari komplikasi makrovaskular dan

mikrovaskular, meliputi stroke, penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskular

perifer, retinopati, nefropati, dan kemungkinan neuropati.

4

Page 5: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

BAB II

LAPORAN KASUS

3.1. Identitas pasien

Nama : Ny. SN

Umur : 55 tahun

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Jl. Tunas Baru Banjarmasin

MRS : 21 April 2014 pukul 10.20 WITA

RMK : 70-02-72

3.2. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 21 April 2014.

3.2.1 Keluhan Utama

Demam.

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan demam sejak 1 minggu sebelum

masuk rumah sakit. Demam terus menerus dan muncul tiba-tiba. Demam

5

Page 6: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

disertai menggigil. Pasien sudah minum obat penurun panas tetapi demam

cuma turun sebentar kemudian naik lagi. Pasien merasa badan lemas

kurang lebih 1 minggu terakhir. Tidak ada mual muntah. Tidak ada

keluhan sakit kepala, tidak ada pusing. Pasien mengaku sering kencing

dalm 1 bulan terakhir. Kencing jernih, kencing kemerahan tidak ada, tidak

ada nyeri kencing, tidak ada ada kencing berpasir, nyeri pinggang tidak

ada. Pasien mengaku kurang lebih satu minggu yang lalu diperiksa gula

darahnya dan ternyata tinggi, sejak itu pasien rutin mengkonsumsi obat

gula darah setiap hari. Pasien menyangkal adanya rasa selalu ingin makan

dan selalu ingin minum, pasien juga menyangkal adanya penurunan berat

badan.

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tmemiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus, hipertensi

(sejak 2010), stroke.

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengaku di keluarganya memiliki riwayat penyakit hipertensi.

Pada keluarga tidak memiliki riwayat penyaki diabetes mellitus, stroke.

3.3. Pemeriksaan fisik

21 April 2014

Deskripsi Umum

Kesan sakit : Sedang

Gizi : Baik

6

Page 7: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Berat Badan : 62 kg

Tinggi Badan : 158 cm

Tanda vital

Kesadaran : Compos mentis GCS : 4-5-6

Tekanan darah : 130/90 mm Hg

Laju nadi : 95 kali/menit

Laju nafas : 28 kali/menit

Suhu tubuh (aksiler) : 38,5oC

Kepala dan leher

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-),

edema periorbita (-/-), konj. palpebra hiperemis

(-/-)

Leher : Peningkatan JVP (-), pembesaran KGB (-/-)

Toraks

Pulmo I : Tarikan nafas simetris

P : Fremitus raba simetris

P : Suara perkusi sonor (+/+)

A : Suara nafas vesikuler, rhonkii (-/-), wheezing (-/-)

Jantung I : Ictus cordis (+)

7

Page 8: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

P : Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula,

getaran/ thrill (-)

P : Suara perkusi pekak, batas kanan ICS III, IV, V

linea parasternalis dextra, batas kiri ICS V linea

midclavicula sinistra

A : S1 dan S2 tunggal, reguler, dan tidak terdengar

suara bising

Abdomen

Inspeksi : Cembung, distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Turgor cepat kembali, nyeri tekan epigastrik (-),

hepar, lien, massa tidak teraba

Perkusi : Timpani

Eksremitas

Atas : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

Bawah : Akral hangat (+/+), edema (-/-), parese (-/-)

3.4. Pemeriksaan penunjang

Tabel 1. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 21 April 2014.

Pemeriksaan HasilNilai

RujukanSatuan

Hemoglobin 15,4 11.00 – 16.00 g/dLLekosit 7,2 4.0 – 10.5 ribu/uL

8

Page 9: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Eritrosit 5,07 4.0 – 5.50 juta/uLHematokrit 45,7 32.00 – 44.00 vol%Trombosit 155 150 – 450 ribu/uLMCV 90,3 80.0 – 97.0 FlMCH 30,3 27.0 – 32.0 PgMCHC 33.6 32.0 – 38.0 %GDS 92 <200 mg/dLSGOT 119 0-46 U/ISGPT 93 0-45 U/IUreum 17 10-50 mg/dLKreatinin 0.8 0.6-1.2 mg/dLNatrium 127.0 135-146 mmol/lKalium 3.9 3.4-5.4 mmol/lKlorida 91.2 95-100 mmol/l

Widal Hasil Rujukan

Salmonella typhi O Negative NegativeSalmonella typhi H 1/80 NegativeSalmonella paratyphi AO Negative NegativeSalmonella paratyphi AH 1/40 NegativeSalmonella paratyphi BO Negative NegativeSalmonella paratyphi BH 1/40 NegativeSalmonella paratyphi CO 1/40 NegativeSalmonella paratyphi CH 1/40 Negative

3.5. Daftar Masalah

1. Demam Menggigil

2. Poliuria

3. Tekanan darah tinggi

3.6. Rencana awal

Demam menggigil, badan lemas, sering kencing:

a. Assessment : 1. Infeksi Saluran Kemih

2. DHF

3. Malaria

9

Page 10: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

b. Planning : 1. Diagnostik : darah rutin, widal slide test,

imunoserologi DHF

2. Terapetik : resusitasi cairan, antibiotik, obat

simptomatis (demam, nyeri)

3. Monitoring : tanda vital, perdarahan (epistaksis,

melena), asupan cairan

4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,

makanan gizi seimbang, diet rendah

serat, teratur minum obat

3.7. Evaluasi

Tanggal 2 2 April 2014

a. Subjective : Demam (<), Menggigil (-), Lemas (-), Nyeri perut (-),

Mual (-), Muntah (-), Makan (+), Minum (-) Sakit

kepala (-), banyak kencing (-), pandangan kabur (-)

b. Objective :

TD = 130/90 mmHg RR = 24 kali/menit

N =76 kali/menit T = 37oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal

(-/-)

Tabel 2. Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 22 April 2014.

10

Page 11: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

DARAHHemoglobin 15.0 11.00 – 14.00 g/dLLekosit 7.8 4.0 – 10.5 ribu/uLEritrosit 4.92 4.0 – 5.50 juta/uLHematokrit 41.3 32.00 – 44.00 vol%Trombosit 140 150 – 450 ribu/uLMCV 83.9 80.0 – 97.0 FlMCH 30.5 27.0 – 32.0 PgMCHC 36.3 32.0 – 38.0 %GDP 67 70-105 mg/dLKolesterol Total 137 150-220 mg/dLTrigliserida 142 40-140 mg/dLSGOT 125 0 – 46 U/ISGPT 110 0 – 45 U/IUreum 32 10 – 50 mg/dLCreatinin 0.9 0.6 – 1.2 mg/dLAsam Urat 3.6 2.4-5.7 mg/dLSalmonella typhi O Negative NegativeSalmonella typhi H Negative NegativeSalmonella paratyphi AO Negative NegativeSalmonella paratyphi AH Negative NegativeSalmonella paratyphi BO Negative NegativeSalmonella paratyphi BH Negative NegativeSalmonella paratyphi CO Negative NegativeSalmonella paratyphi CH Negative NegativeURINALISISWarna-Kekeruhan Kuning-ag

KeruhKuning-Jernih

BJ 1.015 1.005 – 1.030Ph 5.0 5.0 – 6.5Keton Negative NegativeProtein-Albumin Negative NegativeGlukosa Negative NegativeBilirubin Negative NegativeDarah Samar Negative NegativeNitrit Negative NegativeUrobilinogen 0.1 0.1 – 1.0Leukosit 2+ NegativeURINALISIS (SEDIMEN)Leukosit 10-15 0 - 3Keton 0 – 2 0 - 2Protein-Albumin Negative NegativeGlukosa 1+ 1+

11

Page 12: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Bilirubin Negative NegativeDarah Samar Negative NegativeNitrit Negative Negative

c. Assessment : 1. ISK

2. DHF

3. Malaria

d. Planning : 1. Diagnostik : darah rutin, imunoserologi DHF, SGOT/

SGPT, ureum/creatinin, urinalisis, kultur

urin

2. Terapetik : IVFD RL 20 tpm

Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

PO. Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda vital, perdarahan (epistaksis,

melena), asupan cairan

4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,

makanan gizi seimbang, diet rendah

serat, teratur minum obat

Tanggal 2 3 April 2014

a. Subjective : Demam (-), Menggigil (-), Lemas (-), Nyeri perut (-),

Mual (-), Muntah (-), Makan (+), Minum (+) Sakit

kepala (-), banyak kencing (-), pandangan kabur (-)

12

Page 13: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

b. Objective :

TD = 100/70 mmHg RR = 24 kali/menit

N = 74 kali/menit T = 36,8oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)

c. Assessment : ISK

d. Planning : 1. Diagnostik : darah rutin, kultur urin

2. Terapetik : IVFD RL 20 tpm

Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

PO.Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda vital, perdarahan (epistaksis,

melena), asupan cairan

4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,

makanan gizi seimbang, diet rendah

serat, teratur minum obat

Tanggal 24 April 2014

a. Subjective : Demam (-), Menggigil (-), Lemas (-), Nyeri perut (-),

Mual (-), Muntah (-), Makan (+), Minum (+) Sakit

kepala (-), banyak kencing (-), pandangan kabur (-)

b. Objective :

TD = 100/70 mmHg RR = 24 kali/menit

13

Page 14: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

N = 72 kali/menit T = 36,9oC

Konjungtiva anemis (-), ptekie (-), epistaksis (-), Nyeri ketok ginjal (-/-)

e. Assessment : ISK

f. Planning : 1. Diagnostik : darah rutin, kultur urin

2. Terapetik : IVFD RL 20 tpm

Inf. Ceftriakson 2 x 1 gr

Inj. Ranitidin 2 x 1 amp

PO.Parasetamol 3x500 mg

3. Monitoring : tanda vital, perdarahan (epistaksis,

melena), asupan cairan

4. Edukasi : tirah baring, perbanyak asupan cairan,

makanan gizi seimbang, diet rendah

serat, teratur minum obat

BLPL

14

Page 15: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi organ urogenitalia seringkali dijumpai pada praktk dokter sehari-

hari mulai infeksi ringan yang baru diketahui pada saat pemeriksaan urine

maupun infeksi berat yang dapat mengancam jiwa. Pada dasarnya infeksi ini

dimulai dari infeksi pada saluran kemih (ISK) yang kemudian menjalar ke organ-

organ genitalia bahkan sampai ke ginjal. ISK itu sendiri adalah merupakan reaksi

inflamasi sel-sel urotelium melapisi saluran kemih.

Infeksi akut pada organ padat (testis, epididimis, prostat, ginjal) biasanya

lebih berat daripada yang mengenai organ berongga (buli-buli, ureter, atau uretra);

hal itu ditunjukkan dengan keluhan nyeri atau keadaan klinis yang lebih berat.

Cara penanggulangannya kadang-kadang cukup dengan pemberian antibiotika

yang sederhana, atau bahkan tiak perlu diberi antibiotika. Namun pada infeksi

yang berat dan sudah menimbulkan kerusakan pada berbagai macam organ,

membutuhkan terapi suportif dan antibiotik yang adekuat. Tujuan terapi pada

infeksi organ urogenitalia adalah mencegah atau menghentikan diseminasi kuman

dan produk yang dihasilkan oleh kuman pada sirkulasi sistemik dan mencegah

kerusakan terjadinya kerusakan organ urogenitalia.

Beberapa istilah dalam ISK:

● ISK uncomplicated (sederhana) yaitu infeksi saluran kemih pada pasien tanpa

disertai kelainan anatomi maupun kelainan struktur saluran kemih.

15

Page 16: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

● ISK complicated (rumit) adalah infeksi saluran kemih yang terjadi pada pasien

yang menderita kelainan anatomik/struktur saluran kemih, atau adanya penyakit

sistemik. Kelainan ini akan menyulitkan pemberantasan kuman oleh antibiotika.

● First infection (infeksi pertama kali) atau isolated infection adalah infeksi

saluran kemih yang baru pertama kali diderita atau infeksi yang didapat setelah

sekurang-kurangnya 6 bulan telah bebas dari ISK.

● Unresolved bakteriuria adalah ineksi yang tidak mempan dengan pemberian

antibiotika. Kegagalan ini biasanya terjadi karena mikroorganisme penyebab

infeksi telah resisten (kebal) terhadap pemberian antibiotika yang dipilih.

● Infeksi berulang adalah timbulnya kembali bakteriuria setelah sebelumnya

dapat dibasmi dengan terapi antibiotika pada infeksi yang pertama. Timbulnya

infeksi berulang ini dapat berasal dari re-infeksi atau bakteriuria persisten. Pada

reinfeksi kuman berasal dari luar saluran kemih, sedangkan bakteriuria persisten

bakteri penyebab berasal dari dalam saluran kemih

1. Insiden

Infeksi saluran kemih dapat menyerang pasien dari segala usia mulai bayi

baru lahir hingga orang tua. Pada umumnya wanita lebih sering mengalami

episode ISK daripada pria, hal ini karena uretra wanita lebih pendek daripada pria.

Namun pada neonatus ISK lebih banyak terdapat pada bayi laki-lak (2,7%) yang

tidak menjalani sirkumsisi daripada bayi perempuan (0,7%). Dengan

bertambahnya usia, insiden ISK terbalik yaitu pada masa sekolah, ISK pada anak

perempuan 3% sedangkan anak laki-laki 1,1%. Insiden ISK ini pada usia remaja

16

Page 17: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

anak perempuan meningkat 3,3 sampai 5,8%. Bakteriuria asimtomatik pada

wanita usia 18-40 tahun adalah 5-6% dan angka itu meningkat menjadi 20% pada

wanita usia lanjut.

2. Patogenesis

Sejauh ini diketahui bahwa saluran kemih atau urine bebas dari mikroorganisme

atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme masuk ke

dalam saluran kemih dan berbiak di dalam media urine. Mikroorganisme

memasuki saluran kemih melalui cara: (1) ascending, (2) hematogen seperti pada

penularan M. Tuberculosis atau S. Aureus, (3) limfogen dan (4) langsung dari

organ sekitarnya yang sebelumnya telah terinfeksi. Sebagian besar

mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui cara ascending. Kuman

penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari flora normal usus

dan hidup secara komensal di dalam introitus vagina, prepusium penis, kulit

perineum, dan di sekitar anus. Mikroorganisme memasuki saluran kemih melalui

uretra-prostat-vas deferens-testis (pada pria)-buli-buli – ureter, dan sampai ke

ginjal. Terjadinya infeksi saluran kemih karena adanya gangguan keseimbangan

antara mikroorganisme penyebab infeksi (uropatogen) sebagai agen dan epitel

saluran kemih sebagai pejamu. Gangguan keseimbangan ini disebabkan oleh

karena pertahanan tubuh dari pejamu yang menurun atau karena virulensi agen

meningkat.

Kemampuan pejamu untuk menahan mikroorganisme masuk ke dalam

saluran kemih disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain adalah: (1) pertahanan

lokal dari pejamu, dan (2) peranan dari sistem kekebalan tubuh yang terdiri atas

17

Page 18: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

imunitas humoral maupun imunitas selular. Diabetes mellitus, usia lanjut,

kehamilan, penyakit-penyakit imunosupresif merupakan keadaan-keadaan yang

mempermudah terjadinya infeksi saluran kemih dan menyulitkan pengobatannya.

Tabel. Pertahanan lokal tubuh terhadap infeksi

Beberapa faktor pertahanan lokal dari tubuh terhadap suatu infeksi

○ Mekanisme pengosongan urine yang teratur dari buli-buli dan gerakan

peristaltik ureter (wash out mechanism)

○ Derajat keasaman (pH) urine yang rendah

○ Adanya ureum dalam urine

○ Osmolalitas urine yang cukup tinggi

○ Estrogen pada wanita usia produktif

○ Panjang uretra pada pria

○ Adanya zat antibakteria pada kelenjar prostat atau PAF (prostatic antibacterial

factor) yang terdiri atas unzur Zn

○ Uromukoid (protein Tamm-Horsfall) yang menghambat penempelan bakteri

pada urotelium

Kuman E. Coli yang menyebabkan ISK mudah berbiak di dalam urine, di sisi lain

urine bersifat bakterisidal terhadap hampir sebagian besar kuman dan spesies

E.coli. Derajat keasamaan urine, osmolalitas, kandungan urea dan asam organik,

serta protein-protein yang ada di dalam urine bersifat bakterisidal. Protein di

dalam urine yang bertindak sebagai bakterisidal adalah uromukoid atau protein

Tamm-Horsfall (THP). Protein ini disintesis sel epitel tubuli pars ascenden Loop

18

Page 19: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

of Henle dan epitel tubulus distalis. Setelah disekresikan ke dalam urine,

uromukuoid ini mengikat fimbria bakteri tipe I dan S sehingga mencegah bakteri

menempel pada urotelium. Sayangnya protein ini tidak dapat berikatan dengan

pili P sehingga baktei yang mempunyai jenis pili ini, mampu menempel pada

urotelium. Bakteri jenis ini sangat virulen dibandingkan dengan yang lain. Pada

usia lanjut, produksi uromukuoid ini menurun sehingga mudah sekali terjangkit

ISK. Selain itu, uromukuoid mengadakan ikatan dengan neutrofil sehingga

meningkatkan daya fagositosisnya. Sebenarnya pertahan sistem saluran kemih

yang paling baik adalah mekanisme wash out urine, yaitu aliran urine yang

mampu membersihkan kuman-kuman yang adal di dalam urine. Gangguan dari

mekanisme ini menyebabkan kuman mudah sekali mengadakaan replikasi dan

menempel pada urotelium. Supaya aliran urine adekuat dan mampu menjamin

mekanisme wash out adalah jika (1) jumlah urine cukup dan (2) tidak ada

hambatan di dalam saluran kemih. Oleh karena itu kebiasaan jarang inum dan

pada gagal ginjal, menghasilkan jumlah urine yang tidak adekuat, sehinga

memudahkan terjadi infeksi saluran kemih. Keadaan lain yang bisa

mempengaruhi aliran urine dan menghalangi mekanisme wash out adalah adanya

(1) stagnasi atau stasis urine dan (2) didapatkannya benda asing di dalam saluran

kemih yang dipakai sebagai tempat persembunyian oleh kuman. Stagnasi urine

bisa terjadi pada keadaan : (1) miksi yang tidak teratur atau sering menahan

kencing, (2) obstruksi saluran kemih seperti pada BPH, striktura uretra, batu

saluran kemih atau obstruksi karena sebab lain (3) adanya kantong-kantong di

dalam saluran kemih yang tidak dapat mengalir dengann baik, misalkan pada

19

Page 20: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

divertikula, dan (4) adanya dilatasi atau refluks sistem urinaria. Batu saluran

kemih, benda asing d dalam saluran kemih ( di antaranya adalah pemakaian

kateter menetap), dan jaringan atau sel-sel kanker yang nekrosis, semuanya

merupakan tempat persembunyian bakteri sehingga sulit untuk dibersihkan oleh

aliran urine.

Faktor dari mikroorganisme

Bakteri diperlengkapi dengan pili atau fimbirae yang terdapat di permukaannya.

Pili berfungsi untuk menempel urotelium melalui reseptor yang ada di permukaan

urotelium. Ditinjau dari jenis pilinya, terdapat 2 jenis bakteri yang mempunyai

virulensi berbeda, yaitu bakteritipe pili 1 (yang banyak menimbulkan infeksi pada

sistitis) dan tipe pili P (yang sering menimbulkan infeksi berat pielonefritis akut).

Selain itu beberapa bakteri mempunyai sifat dapat membentuk antigen,

menghasilakn toksin (hemolisin), dan menghasilkan enzim urease yang dapat

merubah suasana menjadi basa.

3. Diagnosis

Gambaran klinis infeksi saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala

hingga menunjukkan gejala yang sangat berat akibat kerusakan organ-organ lain.

Pada umumnya infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat,

epididimis, dan testis) memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada

organ-organ beronggga (buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang

lebih ringan.

Pemeriksaan Urine

20

Page 21: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pemeriksaan urine merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada

infeksi saluran kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan

pemeriksaan kultur urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan

dipstick mauun secara mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau

piuria jika secara mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5

leukosit per lapangan pandang besar. Pemeriksaan kultur urine dimaksudkan

untuk menentukan keberadaan kuman, jenis kuman, dan sekaligus menentukan

jenis antibiotika yang cocok untuk membunuh kuman itu. Untuk mencegah

timbulnya kontaminasi sampel urine oleh kuman yang berada di kulit vagina atau

prepusium, perlu diperhatikan cara pengambilan sampel urine. Sampel urine

dapat diambil dengan cara: (1) aspirasi suprapubik yang sering dilakukan pada

bayi, (2) kateterisasi per-uretram pada wanita untuk menghindari kontaminasi

oleh kuman-kuman di sekitar introitus vagina, dan (3) miksi dengan pengambilan

urine porsi tengah atau midstream urine. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan

lebih dari 105 cfu (colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine

porsi tengah, sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan

bakteriruria bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk mengungkapkan adanya proses

inflamasi atau infeksi. Didapatkannya leukositosis, peningkatan laju endap darah,

atau didapatkannya sel-sel muda pada sediaan hapusan darah menandakan adanya

proses inflamasi akut.

21

Page 22: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pada keadaan infeksi berat, perlu diperiksaa faal ginjal, faal hepar, faal

hemostasis, elektrolit darah, analisis gas darah, serta kultur kuman untuk

penanganan ISK secara intensif.

Pencitraan

Pada ISK sederhana tidak diperlukan pemeriksaan pencitraan, tetapi pada

ISK rumit perlu dilakukan pemeriksaan pencitraan untuk mencari

penyebab/sumber terjadinya infeksi. Foto polos abdomen. Pembuatan foto polos

berguna untuk mengetahu adanya batu radio-opak pada saluran kemih atau adanya

distribusi gas yang abnormal pada pielonefritis akut. Adanya kekaburan atau

hilangnya bayangan garis psoas dan kelainan dari bayangan bentuk ginjal

merupakan petunjuk adanya abses perirenal atau abses ginjal. Batu kecil atau batu

semiopak kadangkala tidak tampak pada foto ini, sehingga perlu dilakukan

pemeriksaan foto tomografi. PIV adalah pemeriksaan rutin untuk mengevaluasi

pasien yang mendertia ISK complicated. Pemeriksaan ini dapat mengungkapkan

adanya pielonefritis akut dan adanya obstruksi saluran kemih, tetapi pemeriksaan

ini sulit untuk mendeteksi adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses

ginjal yang fungsinya sangat jelek. Voiding sistouretrografi. Pemeriksaan ini

diperlukan untuk mengungkapkan adanya refluks vesikoureter, buli-buli

neurogenik, atau divertikulum ureta pada wanita yang sering menyebabkan infeksi

yang sering kambuh. Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang sangat berguna

untuk mengungkapkan adanya hidronefrosis, pielonefrosis, ataupun abses pada

perirenal/renal terutama pada pasien gagal ginjal. Pada pasien gemuk, adanya luka

operasi, terpasangnya pipa drainase, atau pembalut luka pasca operasi dapat

22

Page 23: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

menyulitkan pemeriksaan ini. CT scan merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif

dalam mendeteksi penyebab ISK daripada PIV atau USG, tetapi biaya yang

diperlukan untuk pemeriksaan ini relatif mahal.

4. Terapi

Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak

perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera

mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan

di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian

medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang

diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.

5. Penyulit

Infeksi saluran kemih dapat menimbulkan beberapa penyulit, di antaranya: (1)

gagal ginjal akut, (2) urosepsis, dan (3) nekrosis papilla ginjal, (4) terbentuknya

batu saluran kemih, (5) supurasi atau pembentukan abses, dan (6) granuloma.

Infeksi saluran kemih pada pasien diabetes mellitus Prevalensi bakteriuria

asimtomatik pada pasien diabetes wanita dua kali lebih sering daripada wanita

non diabetes. Demikin pula resiko untuk mendapatkan penyakit akibat ISK lebih

besar. Hal ini diduga karena pada diabetes sudah terjadi kelainan fungsional pada

sistem urinaria maupung fungsi leukosit sebagai pertahanan tubuh. Kelainan

fungsional yang sering dijumpai adalah sistopati diabetikum. Oleh karena pada

diabetes, terjadi penurunan sensitifitas buli-buli sehingga memudahkan distensi

buli-buli serta penurunan kontraktilitas detrusor dan kesemuanya ini

menyebabkan terjadinya peningkatan residu urine. Kesemuanya itu menyebabkan

23

Page 24: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

mudah terjadi infeksi. Komplikasi yang bisa terjadi pada pasien diabetes yang

menderita ISK adalah: sistisitis emfisematosa, pielonefritis emfisematosa,

nekrosis papiller ginjal, abses perinefrik, dan bakteriemia. Mudahnya terjadi

komplikasi emfisematosa pada organ dimungkinkan karena pada diabetes (1)

sering terinfeksi oleh kuman yang membentuk gas, (2) menurunnya perfusi

jaringan, dan (3) kadar glukosa yang tinggi memudahkan pertumbuhan

uropatogen. Pielonefritis pada pasien diabetes mendapatkan terapi antibiotik

parenteral sampai 24 jam bebas deman dan gejalanya mereda, setelah itu

diteruskan dengan pemberian obat-obatan per oral sampai 14 hari. Pemilihan

antibiotik disesuaikan dengan kultur dan sensitifitas kuman. Golongan

trimetoprim-sulfametoksazol cukup baik untuk ISK, namun harus hati-hati jika

bersama dengan obat antidiabetikum.

B. Diabetes Mellitus

1. Definisi

Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang kompleks, yang

memerlukan perawatan medis secara terus menerus dengan strategi penurunan

risiko multifaktor untuk mengontrol kadar gula darah. Diabetes mellitus adalah

kelainan metabolik kronis yang ditandai oleh hiperglikemia yang disebabkan oleh

gangguan pada sekresi insulin, resistensi insulin, atau kombinasi keduanya.

Perubahan metabolisme lemak dan protein juga merupakan manifestasi penting

dari gangguan pada kerja atau sekresi insulin. Kebanyakan penderita diabetes

mellitus memiliki diabetes tipe I (yang diperantarai imun atau idiopatik) atau

diabetes tipe 2 (dengan komplek patofisiologi yang menggabungkan resistensi

24

Page 25: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

insulin dan kegagalan sel β dan dasarnya secara turun-temurun). Diabetes dapat

juga berkaitan dengan lingkungan hormonal gestasional, defek genetik, infeksi

lainnya, dan obat-obat tertentu.(Jurnal Farmasi)

2. Klasifikasi

Diabetes dapat diklasifikasikan ke delam empat kategori klinis:

○ Diabetes tipe 1 (disebabkan destruksi sel β, biasanya menjadi tergantung

terhadap insulin secara absolut)

○ Diabetes tipe 2 (disebabkan defek pada sekresi insulin secara progresif yang

melatarbelakangi terjadinya resistensi insulin)

○ Diabetes karena penyebab spesifik lainnya, contohnya disebabkan defek genetik

pada fungsi sel β, defek pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti

fibrosis kistik), dan dipicu obat atau zat kimia (seperti pada terapi HIV/AIDS

atau setelah transplantasi organ.

○ Diabetes mellitus gestasional (diabetes didiagnosis selama hamil)

Beberapa pasien tidak bisa diklasifikasikan secara jelas termasuk diabetes

tipe 1 atau tipe 2. Presentasi klinis dan perjalanan penyakit bervariasi luas pada

kedua tipe diabetes. Kadang-kadang, pasien yang didiagnosis dengan diabetes tipe

2 dapat menjadi ketoasidosis. Anak-anak dengan diabetes tipe 1 secara khas

menampilkan gejala poliuria/polidipsia dan kadang-kadang dengan ketoasidosis.

Bagaimanapun, kesulitan diagnosis dapat terjadi pada anak-anak, dewasa muda,

dan dewasa tua, dengan diagnosis sebenarnya semakin jelas seiring waktu.

(standar medical care)

25

Page 26: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

3. Gejala Klinis Diabetes Mellitus

Berikut gejala klinis pada diabetes mellitus

Gejala Umum Gejala diabetes tipe 1 Gejala diabetes tipe 2

Poliuria

Nokturia

Deplesi garam & air: rasa

haus, pusing

Kelelahan

Perubahan aktivitas

visual

Gejala infeksi : Puritis,

infeksi kulit & kuku

Diare

Penurunan berat badan

mendadak diikuti

poliurea, noktureea, dan

polidipsia

Umumnya muncul pada

usia 10-12 tahun

Kelelahan berlebihana,

peningkatan nafsu makan

Atrofi muskular pada

paha

Bau aseton

Biasa menngenai orang

dengan kelebihan berat

badan

Sebagian besar mengenai

usia 40 tahun

Kandidiasis genital,

tinfeksi trsktus urinarius

3. Diagnosis

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan

diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan

glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan

darah utuh (wholeblood), vena, ataupun angka kriteria diagnostik yang berbeda

26

Page 27: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

sesuai pembakuan oleh WHO. Sedangkan untuk tujuan pemantauan hasil

pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah

kapiler dengan glukometer. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang

diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik

DM seperti di bawah ini:

- Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya

- Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan

disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:

1. Jika keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu

>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM

2. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dL dengan adanya keluhan

klasik.

3. Tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO

sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang

dilakukan karena membutuhkan persiapan khusus.

Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, bergantung

pada hasil yang diperoleh, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok toleransi

glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

27

Page 28: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

1. TGT: Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan

glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140 – 199 mg/dL (7,8-11,0

mmol/L).

2. GDPT:Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma

puasa didapatkan antara 100 – 125 mg/dL (5,6 – 6,9 mmol/L) dan pemeriksaan

TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL.

Tabel kriteria diagnostik DM

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat

pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir

Atau

2. Gejala klasik DM

+

Kadar glukosa plasma puasa 126 mg/dL (7.0 mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam

Atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa

yang setara dengan 75 g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

* Pemeriksaan HbA1c (>6.5%) oleh ADA 2011 sudah dimasukkan menjadi salah

satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium yang telah

terstandardisasi dengan baik.

28

Page 29: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994):

• Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari

(dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti

biasa)

• Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum

air putih tanpa gula tetap diperbolehkan • Diperiksa kadar glukosa darah puasa

• Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak),

dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit

• Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam

setelah minum larutan glukosa selesai • Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua)

jam sesudah beban glukosa

• Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok

5. Pemeriksaan Penyaring

Pemeriksaan penyaring dilakukan pada mereka yang mempunyai risiko

DM, namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan penyaring

bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT, maupun GDPT, sehingga

dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga

disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju DM.

Kedua keadaan tersebut juga merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan

penyakit kardiovaskular dikemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan

melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah

puasa.

29

Page 30: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak

dianjurkan mengingat biaya yang mahal yang pada umumnya tidak diikuti dengan

rencana tindak lanjut bagi merekayang diketemukan adanya kelainan.

Pemeriksaan penyaring dianjurkan dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk

penyakit lain atau general check-up

Tabel . Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dL)

Bukan DM Belum pasti

DM

DM

Kadar glukosa

darah sewaktu

(mg/dL)

Plasma

vena

<100 100-199 ≥ 200

Darah

kapiler

<90 90-199 ≥ 200

Kadar glukosa

darah puasa

(mg/dL)

Plasma

vena

<100 100-125 ≥ 125

Darah

kapiler

<90 90-99 ≥ 100

Catatan :

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan

ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia >45 tahun tanpa faktor risiko lain,

pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

30

Page 31: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Bagan . Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi

Glukosa

31

Page 32: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

4. Petalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes.

5.1 Tujuan Pelaksanaan

- Jangka pendek: menghilangkan keluhan dan tanda DM,mempertahankan rasa

nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa darah.

- Jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit

mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati.

- Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah,

tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara

holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku.

4.1 Pilar Pelaksanann DM

a. Edukasi

b. Terapi gizi medis

c. Latihan jasmani

d. Intervensi farmakologis

Pengelolaan DM dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama

beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai

sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO)

dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan

secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan

32

Page 33: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan

yang menurun dengan cepat, dan adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

a. Edukasi

Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah

terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan

partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi

pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Untuk mencapai keberhasilan

perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya

peningkatan motivasi. Pengetahuan tentang pemantauan glukosa darah mandiri,

tanda dan gejala hipoglikemia serta cara mengatasinya harus diberikan kepada

pasien. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah

mendapat pelatihan khusus.

b. Terapi gizi medis

- Terapi Nutrisi Medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes

secara total. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara menyeluruh

dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan

keluarganya).

- Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TNM sesuai dengan

kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi.

- Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan

anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan

sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada

penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal

33

Page 34: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang

menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

1) Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:

Karbohidrat

Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.

Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan

Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.

Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan

sama dengan makanan keluarga yang lain

Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.

Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi

batas aman konsumsi harian (Accepted- Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam

sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan

lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Lemak

Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.

Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori

Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.

Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak

jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole

milk).

34

Page 35: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari.

Protein

Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi.

Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa

lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu,

dan tempe.

Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8

g/KgBB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai

biologik tinggi.

Natrium

Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk

masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram

(1 sendok teh) garam dapur.

Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg.

Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.

Serat

Seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan

mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta

sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,

serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.

Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari.

Pemanis alternatif

35

Page 36: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.

Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.

Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan

xylitol.

Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan

kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek

samping pada lemak darah.

Pemanis tak berkaloriyang masih dapat digunakan antara lain aspartam,

sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.

Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted Daily

Intake / ADI)

2. Kebutuhan Kalori

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang

diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal

yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada

beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat

badan, dan lain-lain.

Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi

adalah sbb:

Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,

rumus dimodifikasi menjadi :

36

Page 37: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.

BB Normal : BB ideal ± 10 %

Kurus : < BBI - 10 %

Gemuk : > BBI + 10 %

Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT).Indeks massa

tubuh dapat dihitung dengan rumus:

IMT = BB(kg)/ TB(m2)

Klasifikasi IMT*

BB Kurang < 18,5

BB Normal 18,5-22,9

BB Lebih ≥ 23,0

Dengan risiko 23,0-24,9

Obes I 25,0-29,9

Obes II > 30

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain :

Jenis Kelamin

Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita

sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/ kg BB.

Umur

Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk dekade

antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69 tahun dan

dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.

Aktivitas Fisik atau Pekerjaan

37

Page 38: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.

Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan istirahat,

20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50%

dengan aktivitas sangat berat.

Berat Badan

Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat kegemukan

Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk

meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori yang

diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kkal

perhari untuk pria.

Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas

dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),

serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan

kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan.

Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan

disesuaikan dengan penyakit penyertanya.

C. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam

pengelolaan DM tipe 2. Kegiatan sehari-hari seperti berjalan kaki ke pasar,

menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan jasmani selain

untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki

sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan

38

Page 39: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan

kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya

disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif

sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah

mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang

kurang gerak atau bermalas-malasan.

Kurangi Aktivitas

Hindari aktivitas sedenter

Misalnya, menonton televisi,

menggunakan internet, main game

komputer

Persering Aktivitas

Mengikuti olahraga rekreasi dan

beraktivitas fisik tinggi pada waktu

liburan

Misalnya, jalan cepa, golf, olah otot,

bersepeda, sepakbola

Aktivitas Harian

Kebiasaan bergaya hidup sehat

Misalnya, berjalan kaki ke pasar (tidak

menggunakan mobil), menggunakan

tangga (tidak menggunakan lift),

menemui rekan kerja (tidak hanya

melalui telepon internal), jalan dari

tempat parkir

d. Terapi farmakologis

39

Page 40: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan.

1. Obat hipoglikemik oral

Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 5 golongan:

a) Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid

b) Peningkat sensitivitas terhadap insulin: metformin dan tiazolidindion

c) Penghambat glukoneogenesis (metformin)

d) Penghambat absorpsi glukosa: penghambat glukosidase alfa.

e) DPP-IV inhibitor

a) Pemicu Sekresi Insulin

1) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel

beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan

normal dan kurang. Namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat

badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai

keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta

penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang.

2) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan

penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri

dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid

40

Page 41: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

(derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara

oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial.

b) Peningkatan sensitivtas terhadap insulin

1) Tiazolidindion

Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated

Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak.

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan

ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien

dengan gagal jantung kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan

dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion

perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.

c) Penghambat glukoneogenesis

Metformin

Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati

(glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer.

Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin

dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin

>1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia

(misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin

dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat

diberikan pada saat atau sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa

41

Page 42: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

pemberian metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan

dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.

d) Penghambat glukosidase alfa (acarbose)

Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose

tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering

ditemukan ialah kembung dan flatulens

e) DPP-IV Inhibitor

Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang

dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel mukosa usus

bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran pencernaan. GLP-1 merupakan

perangsang kuat penglepasan insulin dan sekaligus sebagai penghambat sekresi

glukagon. Namun demikian, secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl

peptidase-4 (DPP-4), menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.

Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan untuk

meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam pengobatan DM

tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai dengan pemberian obat yang

menghambat kinerja enzim DPP-4 (penghambat DPP-4), atau memberikan

hormon asli atau analognya (analog incretin=GLP-1 agonis).

Berbagai obat yang masuk golongan DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja

DPP-4 sehingga GLP-1 tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif

dan mampu merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan

glukagon..

42

Page 43: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.

Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.

Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.

Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

2. Suntikan

a) Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

Penurunan berat badan yang cepat

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis

Ketoasidosis diabetik

Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

Hiperglikemia dengan asidosis laktat

Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)

Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali

dengan perencanaan makan

Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat

43

Page 44: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO

Jenis dan lama kerja insulin

Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat

jenis, yakni:

Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)

Insulin kerja pendek (short acting insulin)

Insulin kerja menengah (intermediate actinginsulin)

Insulin kerja panjang (long acting insulin)

Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin).

Efek samping terapi insulin

Efek samping utama terapi insulin adalah terjadinya hipoglikemia..

Efek samping yang lain berupa reaksi imunologi terhadap insulin yang dapat

menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin.

Dasar pemikiran terapi insulin:

Sekresi insulin fisiologis terdiri dari sekresi basal dan sekresi prandial. Terapi

insulin diupayakan mampu meniru pola sekresi insulin yang fisiologis.

Defisiensi insulin mungkin berupa defisiensi insulin basal, insulin prandial atau

keduanya. Defisiensi insulin basal menyebabkan timbulnya hiperglikemia pada

keadaan puasa, sedangkan defisiensi insulin prandial akan menimbulkan

hiperglikemia setelah makan.

Terapi insulin untuk substitusi ditujukan untuk melakukan koreksi terhadap

defisiensi yang terjadi.

44

Page 45: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Sasaran pertama terapi hiperglikemia adalah mengendalikan glukosa darah

basal (puasa, sebelum makan). Hal ini dapat dicapai dengan terapi oral maupun

insulin. Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah basal

adalah insulin basal (insulin kerja sedang atau panjang).

Penyesuaian dosis insulin basal untuk pasien rawat jalan dapat dilakukan

dengan menambah 2-4 unit setiap 3-4 hari bila sasaran terapi belum tercapai.

Apabila sasaran glukosa darah basal (puasa) telah tercapai, sedangkan A1C

belum mencapai target, maka dilakukan pengendalian glukosa darah prandial

(meal-related). Insulin yang dipergunakan untuk mencapai sasaran glukosa darah

prandial adalah insulin kerja cepat (rapid acting) atau insulin kerja pendek (short

acting). Kombinasi insulin basal dengan insulin prandial dapat diberikan subkutan

dalam bentuk 1 kali insulin basal + 1 kali insulin prandial (basal plus), atau 1 kali

basal + 2 kali prandial (basal 2 plus), atau 1 kali basal + 3 kali prandial (basal

bolus).

Insulin basal juga dapat dikombinasikan dengan OHO untuk menurunkan

glukosa darah prandial seperti golongan obat peningkat sekresi insulin kerja

pendek (golongan glinid), atau penghambat penyerapan karbohidrat dari lumen

usus (acarbose).

Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien

dan respons individu, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

harian.

Cara Penyuntikan Insulin

45

Page 46: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Insulin umumnya diberikan dengan suntikan di bawah kulit (subkutan), dengan

arah alat suntik tegak lurus terhadap cubitan permukaan kulit.

Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena secara bolus atau

drip.

Terdapat sediaan insulin campuran (mixed insulin) antara insulin kerja pendek

dan kerja menengah,dengan perbandingan dosis yang tertentu. Apabila

tidak terdapat sediaan insulin campuran tersebut atau diperlukan perbandingan

dosis yang lain, dapat dilakukan pencampuran sendiri antara kedua jenis insulin

tersebut. Teknik pencampuran dapat dilihat dalam buku panduan tentang insulin.

Lokasi penyuntikan, cara penyuntikan maupun cara insulin harus dilakukan

dengan benar, demikian pula mengenai rotasi tempat suntik.

Apabila diperlukan, sejauh sterilitas penyimpanan terjamin, semprit insulin dan

jarumnya dapat dipakai lebih dari satu kali oleh penyandang diabetes yang sama.

Harus diperhatikan kesesuaian konsentrasi insulin dalam kemasan (jumlah

unit/mL) dengan semprit yang dipakai (jumlah unit/mL dari semprit). Dianjurkan

memakai konsentrasi yang tetap. Saat ini yang tersedia hanya U100 (artinya 100

unit/mL).

b) Agonis GLP-1

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk

pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai perangsang penglepasan

insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat badan

yang biasanya terjadi pada pengobatan dengan insulin ataupun sulfonilurea.

Agonis GLP-1 bahkan mungkin menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1

46

Page 47: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

yang lain adalah menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan

pada proses glukoneogenesis. Pada percobaan binatang, obat ini terbukti

memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul pada

pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

c) Terapi Kombinasi

Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk

kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah.

Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat

dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO sejak dini. Terapi

dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixed-combination dalam bentuk

tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai

mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat

pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi

OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana

insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO

dapat menjadi pilihan.

Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi

OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang) yang

diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut

pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis

insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit

yang diberikan sekitar jam 22.00,kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut

dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara

47

Page 48: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka

OHO dihentikan dan diberikan terapi kombinasiinsulin.

6.3 Penilaian hasil terapi

Dalam praktek sehari-hari, hasil pengobatan DM tipe 2 harus dipantau secara

terencana dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan jasmani, dan pemeriksaan

penunjang. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah:

a) Pemeriksaan kadar glukosa darah

Tujuan pemeriksaan glukosa darah:

Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi.

Guna mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah

puasa, glukosa 2 jam post prandial, atau glukosa darah pada waktu yang lain

secara berkala sesuai dengan kebutuhan.

b) Pemeriksaan A1C

Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau

hemoglobin glikosilasi (disingkat sebagai A1C), merupakan cara yang digunakan

untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat

digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C

dianjurkan dilakukan setiap 3 bulan, minimal 2 kali dalam setahun.

c) pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM)

Untuk memantau kadar glukosa darah dapat dipakai darah kapiler. Saat ini banyak

dipasarkan alat pengukur kadar glukosa darah cara reagen kering yang umumnya

48

Page 49: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

sederhana dan mudah dipakai. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah memakai

alat-alat tersebut dapat dipercaya sejauh kaliberasi dilakukan dengan baik dan cara

pemeriksaan dilakukan sesuai dengan cara standar yang dianjurkan. Secara

berkala, hasil pemantauan dengan cara reagen kering perlu dibandingkan dengan

cara konvensional.PGDM dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau

pemicu sekresi insulin. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi, tergantung pada

tujuan pemeriksaan yang pada umumnya terkait dengan terapi yang diberikan.

Waktu yang dianjurkan adalah pada saat sebelum makan, 2 jam setelah makan

(menilai ekskursi maksimal glukosa), menjelang waktu tidur (untuk menilai risiko

hipoglikemia), dan di antara siklus tidur(untuk menilai adanya hipoglikemia

nokturnal yang kadang tanpa gejala),atau ketika mengalami gejala seperti

hypoglycemic spells

PDGM terutama dianjurkan pada:

Penyandang DM yang direncanakan mendapat terapi insulin

Penyandang DM dengan terapi insulin berikut

Pasien dengan A1C yang tidak mencapai target setelah terapi

Wanita yang merencanakan hamil

Wanita hamil dengan hiperglikemia

Kejadian hipoglikemia berulang.

49

Page 50: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

50

Page 51: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

*ADA menganjurkan pemeriksaan kadar glukosa darah malam hari (bed-time)

dilakukan

pada jam 22.00

d) Pemeriksaan Glukosa Urin

Pengukuran glukosa urin memberikan penilaian yang tidak langsung.

Hanya digunakan pada pasien yang tidak dapat atau tidak mau memeriksa kadar

glukosa darah. Batas ekskresi glukosa renal rata-rata sekitar 180 mg/dL, dapat

bervariasi pada beberapa pasien, bahkan pada pasien yang sama dalam jangka

waktu lama. Hasil pemeriksaan sangat bergantung pada fungsi ginjal dan tidak

dapat dipergunakan untuk menilai keberhasilan terapi.

e) Pemantauan Benda Keton

Pemantauan benda keton dalam darah maupun dalam urin cukup penting

terutama pada penyandang DM tipe 2 yang terkendali buruk (kadar glukosa darah

>300 mg/dL). Pemeriksaan benda keton juga diperlukan pada penyandang

51

Page 52: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

diabetes yang sedang hamil. Tes benda keton urin mengukur kadar asetoasetat,

sementara benda keton yang penting adalah asam beta hidroksibutirat. Saat ini

telah dapat dilakukan pe meriksaan kadar asam beta hidroksibutirat dalam darah

secara langsung dengan menggunakan strip khusus. Kadar asam beta

hidroksibutirat darah <0,6 mmol/L dianggap normal, di atas 1,0 mmol/L disebut

ketosis dan melebihi 3,0 mmol/L indikasi adanya KAD. Pengukuran kadar

glukosa darah dan benda keton secara mandiri, dapat mencegah terjadinya

penyulit akut diabetes, khususnya KAD.

f) Kriteria Pengendalian DM

Untuk pasien berumur lebih dari 60 tahun dengan komplikasi, sasaran kendali

kadar glukosa darah dapat lebih tinggi dari biasa (puasa 100-125 mg/dL, dan

sesudah makan 145-180 mg/dL). Demikian pula kadar lipid, tekanan darah, dan

lain-lain, mengacu pada batasan kriteria pengendalian sedang. Hal ini dilakukan

mengingat sifat-sifat khusus pasien usia lanjut dan juga untuk mencegah

kemungkinan timbulnya efek samping hipoglikemia dan interaksi obat.

Parameter Risiko KV (-) RisikoKV (+)

IMT (kg/m3) 18,5-<23 18,5-<23

Tekanan darah sistolik (mmHg) <130 <130

Tekanan darah diastolik (mmHg) <80 <80

Glukosa Darah Puasa (mg/dL) <100 <100

Glukosa Darah 2 jam PP (mg/dL) <140 <140

52

Page 53: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

HbA1c (%) <7 <7

Kolesterol LDL (mg/dL) <100 <70

Kolesterol HDL (mg/dL) Pria > 40

Wanita > 50

Pria > 40

Wanita > 50

Trigliserid (mg/dL) <150 <150

Hipertensi pad Diabetes

Indikasi pengobatan :

Bila TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80 mmHg.

Sasaran (target penurunan) tekanan darah:

Tekanan darah <130/80 mmHg

Bila disertai proteinuria ≥1gram /24 jam :

< 125/75 mmHg

Pengelolaan:

Non-farmakologis:

Modifikasi gaya hidup antara lain: menurunkan berat badan, meningkatkan

aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol, serta mengurangi

konsumsi garam

Farmakologis:

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat antihipertensi (OAH):

Pengaruh OAH terhadap profil lipid

Pengaruh OAH terhadap metabolisme glukosa

Pengaruh OAH terhadap resistensi insulin

53

Page 54: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pengaruh OAH terhadap hipoglikemia terselubung

Obat anti hipertensi yang dapat dipergunakan:

Penghambat ACE

Penyekat reseptor angiotensin II

Penyekat reseptor beta selektif, dosis rendah

Diuretik dosis rendah

Penghambat reseptor alfa

Antagonis kalsium

Pada pasien dengan tekanan darah sistolik antara 130-39 mmHg atau

tekanan diastolik antara 80-89 mmHg diharuskan melakukan perubahan

gaya hidup sampai 3 bulan. Bila gagal mencapai target dapat ditambahkan

terapi farmakologis

Pasien dengan tekanan darah sistolik >140 mmHg atau tekanan diastolik

>90 mmHg, dapat diberikan terapi farmakologis secara langsiks

ung.

Diberikan terapi kombinasi apabila target terapi tidak dapat dicapai dengan

monoterapi.

Catatan

- Penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II (ARB = angiotensin II

receptor blocker) dan antagonis kalsium golongan non-dihidropiridin dapat

memperbaiki mikroalbuminuria.

- Penghambat ACE dapat memperbaiki kinerja kardiovaskular.- Diuretik (HCT)

dosis rendah jangka panjang, tidak terbukti memperburuk toleransi glukosa.

54

Page 55: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

- Pengobatan hipertensi harus diteruskan walaupun sasaran sudah tercapai.

- Bila tekanan darah terkendali, setelah satu tahun dapat dicoba menurunkan dosis

secara bertahap.

- Pada orang tua, tekanan darah diturunkan secara bertahap.

C. Hipertensi

Hipertensi adalah salah satu penyakit terbanyak yang mengnai manusia

dan merupakan faktor risiko mayor untuk strok, infark miokard, penyakit

vaskular, dan penyakit ginjal kronik. Hipertensi merupakan faktor risiko

terpenting yang bisa diubah pada penyakit jantng koroner (penyebab kematian

terbanyak pada Amerika Utara), stroke (penyebab ketiga kematian), gagal jantung

kongestif, penyakit ginjal stadium akhir, dan penyakit vaskular perifer.

1. Klasifikasi

Berdasarkan rekomendasi dari Joint National Comitte (JNC) 7, klasifikasi tekanan

darah (dalam mmHg), untuk dewasa dengan umur 18 tahun ke atas adalah:

● Normal : sistolik lebih renddah dari 120 mmHg, diastolik lebih rendah dari 80

mmHg

● Prehipertensi : sistolik 120-139 mmHg, diastolik 80-89 mmHg

● Derajat 1 : sistolik 140-159 mmHg, diastolik 90-99 mmHg

● Derajat 2 : sistolik ≥ 160 mmHg, diastolik ≥ 100 mmHg

2. Etiologi

55

Page 56: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

2.1 Hipertensi Primer

Sekitar 95% dari orang dewasa dengan hipertensi menderita hipertensi

primer (disebut juga hipertensi esensial). Penyebab dari hipertensi primer tidak

diketahui meskipun faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi regulasi

tekanan darah saat ini sedang dipelajari.Faktor lingkungan mencakup asupan

garam berlebih, obesitas, dan mungkin gaya hidup sedentari. Beberapa faktor

faktor genetik yang terkait mencakup aktivitas tinggi yang tidak sesuai dari

sisttem renin-angiotensin-aldosteron dan sistem saraf simpatis dan sensitivitas

terhadap efek garam pada tekanan darah.

Penyebab lainnya yang umum adalah penebalan aorta seiring

bertambahnya usia. Ini menyebabkan hipertensi yang dikenal dengan hipertensi

sistolik predominan atau terisolasi yang ditandai dengan tekanan sistolik yang

tinggi ( sering dengan tekanan diastolik yang normal), yang sering ditemukan

pada lansia.

2.2 Hipertensi sekunder

Hipertensi jenis ini relatif dalam jumlah kecil, sekitar 5% dari semua

hipertensi, dimana penyebab tekanan darah tinggi dapat diidentifikasi dan kadang-

kadang dapat ditangani. Tipe utama dari hipertensi sekunder adalah penyakit

ginjal kronis, stenosis arteri renal, sekresi aldosteron berlebih, feokromositoma,

dan sleep apnea. (ash-ish guidelines)

1. Hipertensi Primer

2. Hipertensi Sekunder Koarktatio aorta

56

Page 57: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Renal

• Parenkim renal

–Nefritis kronis

– Penyakit polikistik

– Nefropati diabetik

– Hidronefrosis

• Renovaskular

– Stenosis arteri renal

– Vaskulitis intrarenal

• Renin-producing tumours

• Renoprival

• Retensi natrium primer (Sindrom

Liddle, Sindrom Gordon)

Endokrin

• Akromegali

• Hipotiroidisme

• Hiperthiroidisme

• Hiperkalsemia

(hiperaparatiroidisme)

• Adrenal

i. Cortical

– Sindrom Cushing

– Aldosteronisme primer

Pregnancy-induced hypertension

Kelainan neurologis

• Peningkatan tekanan intrakranial

– Tumor otak

– Ensefalitis

– Asidosis respiratori

• Sleep apnoea

• Quadriplegia

• Disautonomia familial

Definition and classification

• Porfiria akut

• Guillain-Barre syndrome

• Keracunan timah

Stress akut,mencakup operasi

• Hiperventilasi psikogenik

• Hipoglikemia

• Luka bakar

• Pankreatitis

• Ketergantungan Alkohol

• Penyalahgunaan alkohol dan obat-

obatan

• Krisis sel sabit

57

Page 58: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

– Hiperplasia adrenal kongenital

– apparent mineralocorticoid

excess (liquorice)

ii. Medulla

– feokromositoma

• Tumor kromafin ekstra adrenal

• Karsinoid

• Hormon eksogenous: estrogen,

glukokortikoids, mineralokortikoids,

simpatomimetik, makanan mengandung

tiramin, monoamine oxidase

inhibitors

• Setelah resusitasi

• Pasca operasi

Peningkatan volume intravaskular

3. Hipertensi sistolik

1. Peningkatan cardiac output

Insuffisiensi katup aorta

Fistula arteriovenousa, duktus

arteriosus paten

Tirotoksikosis

2. Rigiditas aorta

3. Hipertensi iatrogenik

Penyakit Paget tulang

Beri-beri

Sirkulasihiperkinetik

3. Faktor Risiko

58

Page 59: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Terdapatnya faktor risiko kardiovaskular, terutama diabetes mellitus,

kerusakan organ target, penyakit ginjal dan kardiovaskular, akan meningkatkan

risiko hipertensi. (WHO)

Tabel. Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis hipertensi

Faktor Risiko

Tekanan darah sistolik dan diastolik

Pria : usia > 55 tahun

Wanita : usia > 65 tahun

Merokok

Dislipidemia

Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskuular prematur (pria usia < 55

tahun, wanita usia < 65 tahun)

Obesitas abdominal (lingkar perut ≥ 102 cm untuk pria, ≥ 88 cm untuk wanita)

Protein C reaktif ≥ 1 mg/dL

Kerusakan organ target

Hipertrofi ventrikel kiri (indeks massa LV > 125 g/m2 pada pria, > 110 g/m2 pada

wanita

Ketebalan intima media karotis ≥ 0,9 mm atau plak aterosklerotik

Kreatinin serum > 1,3 mg/dL pada pria, 1,2 mg/dL pada wanita

Mikroalbuminaria

Diabetes mellitus

Gula darah puasa ≥ 126 mg/dL

59

Page 60: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Gula darah pasca puasa ≥ 200 mg/dL

Kondisi klinis terkait

Penyakit serebrovaskular (serangan iskemik transien, stroke, perdarahan)

Penyakit jantung (angina, infark miokard, gagal jantung)

Penyakit ginjal (nefropati diabetik, kreatinin serum > 1,5 mg pada pria, > 1,4 mg

pada wanita, proteinuria > 300 mg/24 jam)

Penyakit vaskular perifer

Retinopati lanjut (perdarahan, eksudat, papilledema)

4. Tatalaksana

4.1 Tujuan talaksana

Tujuan utama tatalaksana pasien dengan hipertensi adalah untuk

menurunkan secara maksimum risiko morbiditas dan mortalitass kardiovaskular.

Hal ini memerlukan:

● Terapi terhadap semua faktor risiko yang reversibel mencakup merokok,

dislipidemia, dan diabetes mellitus

● Manajemen yang sesuai terhadap kondisi klinis seperti gagal ginjal kongestif,

penyakit arteri koroner, penyakit vaskular perifer dan serangan iskemik transien.

● Mencapai nilai tekanan darah <130/80 mmHg untuk pasien dengan diabetes

mellitus atau penyakit ginjal kronis.

60

Page 61: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pengobatan hipertensi terdiri dari terapi nonfarmakologis dan farmakologis.

Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan

tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta

penyakit penyerta lainnya.

Terapi nonfarmakologis terdiri dari:

● menghentikan merokok

● menurunkan berat badan berlebih

● menurunkan konsumsi alkohol berlebih

● latihan fisik

● menurunkan asupan garam

● meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang

dianjurkan oleh JNC 7:

● diuretika, terutama jenis thiazid dan antagonis aldosteron

● Beta blocker

● Calcium Channel Blocker atau Calcium Antagonist

● Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)

● Angiotensin II Receptor Blocker

61

Page 62: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Masing-masing obat antihipertensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam

pengobatan hipertensi, terapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi

beberapa faktor, yaitu :

● faktor sosio ekonomi

● profil faktor risiko kardiovaskular

● ada tidaknya kerusakan organ target

● ada tidaknya penyakit penyerta

● variasi individu dari respon pasien terhadap obat antihipertensi

● kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang digunakan pasien untuk

penyakit lain

● bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam

menurunkan risiko kardiovaskular

Berdasarkan uji klinis, hampir seluruh pedoman penanganan hipertensi

menyatakan keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan

darah itu sendiri, terlepas dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan.

Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang menyatakan bahwa kelas obat antihipertensi

tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu.

Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang

memerlukan pertimbangan khusus (Special Consideration), yaitu kelompok

Indikasi yang Memaksa (Compelling Indication) dan Keadaan Khusus lainnya

(Special Situation).

62

Page 63: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Indikasi yang memaksa meliputi:

● gagal jantung

● pasca infark miokardium

● risiko penyakit pembuluh darah koroner tinggi

● diabetes

● penyakit ginjal kronis

● pencegahan strok berulang

Keadaan khusus lainnya meliputi:

● populasi minoritas

● obesitas dan sindrom metabolik

● hipertrofi ventrikel kanan

● penyakit arteri perifer

● hipertensi pada usia lanjut

● hipotensi postural

● demensia

● hipertensi pada perempuan

63

Page 64: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

● hipertensi pada anak dan dewasa muda

● hipertensi urgensi dan emergensi

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target

tekanan darah dicapai secara progresif dala beberapa minggu. Dianjurkan untuk

menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang

memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah

memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan kombinasi

tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi

dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan

darah belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan

dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah.

Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik

tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien memerlukan kombinasi obat

antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat

meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah

obat yang harus diminum bertambah.

Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah

● diuretika dan ACEI atau ARB

● CCB dan BB

● CCB dan ACEI atau ARB

64

Page 65: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

● CCB dan diuretika

● AB dan BB

● kadang-kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

Kelas Obat Indikasi Kontraindikasi

Mutlak Tidak

Mutlak

Diuretika

(thiazid)

Gagal jantung kongestif, usia

lanjut, isolated systolic

hypertension, ras afrika

Gout Kehamilan

Diuretika (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal

jantung kongestif

Diuretika (anti

aldosteron)

Gagal jantung kongestif,

pasca infark miokardium

Gagal ginjal,

hiperkalemia

Penyekat β Angina pektoris, pasca infark

miokardium, gagal jantung

kongestif, kehamilan,

takiaritmia

Asma,

penyakit

paru

obstruktif

menahun, A-

V block

(derajat 2

Penyakit

pembuluh

darah

perifer,

intoleransi

glukosa, atlit

atau pasien

65

Page 66: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

atau 3) yang aktif

secara fisik

Calcium

Antagonist

(dihydropiridine)

Usia lanjut, isolated systolic

hypertension, angina pektoris,

penyakit pembuluh darah

perifer, aterosklerosis karotis,

kehamilan

Takiaritmia,

gagal

jantung

kongestif

Calcium

Antagonist

(Verapamil,

diltiazem)

Angina pektoris,

aterosklerosis karotis,

takikardia supraventrikuler

A-V block

(derajat 2

atau 3), gagal

jantung

kongestif

Penghambat ACE Gagal jantung kongestif,

disfungsi ventrikel kiri, pasca

infark miokardium, non-

diabetik nefropati, nefropati

DM tipe 1, proteinuria

Kehamilan,

hiperkalemia

, stenosis

arteri renalis

bilateral

Angiotensin II

receptor

antagonist (ATI-

blocker)

Nefropati, DM tipe 2,

mikroalbuminaria diabetik,

proteinuria, hipertrofi

ventrikel kiri, batuk karena

Kehamilan,

hiperkalemia

, stenosis

arteri renalis

66

Page 67: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

ACEI bilateral

Penyekat ∝ Hiperplasia prostat (BPH),

hiperlipidemia

Hipotensi

ortostatis

Gagal

jantung

kongestif

Indikasi yang memaksa Pilihan terapi awal

Gagal jantung Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo ant

Pasca infark miokard BB, ACEI, Aldo Ant

Risiko penyakit pembuluh darah

koroner

Thiaz, BB, ACEI, CCB

Diabetes Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB

Penyakit ginjal kronis ACEI, ARB

Pencegahan stroke berulang Thiaz, ACEI

5. Pemantauan

Pasien yang telah mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi

lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah

tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6

67

Page 68: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya

komorbiditas seperti gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes,

dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.

Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:

● empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasi, dan kepatuhan pasien

● dokter harus mempertimbangkan latar belakang budaya kepercayaan pasien

serta sikap terhadap pengobatan.

● pasien diberitahu hasil pengukuran tekanan darah, target yang masih harus

dicapai, rencana pengobatan selanjutnya, serta pentingnya mengikuti rencana

tersebut.

Penyebab hipertensi resisten:

1. pengukuran tekanan darah yang tidak benar

2. dosis belum memadai

3. ketidakpatuhan pasien dalam penggunaan obat antihipertensi

4. ketidakpatuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup

○ asupan alkohol berlebih

○ kenaikan berat badan berlebih

5. kelebihan volume cairan tubuh

68

Page 69: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

○ asupan garam berlebih

○ terapi diuretika tidak cukup

○ penurunan fungsi ginjal berjalan progresif

6. adanya terapi lain

○ masih menggunakan bahan/obat lain yang meningkatkan tekanan darah

○ adanya obat lain yang mempengaruhi atau berinterkasi dengankerja obat

antihiperteni

7. adanya penyebab hipertensi lain/sekunder.

Jika dalam 6 bulan target pengobatan ( termasuk target tekanan darah) tidak

tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau

subspesialis.Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes mellitus atau

penyakit ginjal, baik American Diabetes Association (ADA) maupun

International Society of Nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan

kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60

ml/men/1,73 m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau

hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi

glomerulus mencapai < 30 ml.men/1,73 m2 atau lebih awal jika pasien berisiko

mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis

pasien diragukan.

69

Page 70: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan

cepat atau lambat akan diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti

sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada

kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara

bertahap bagi pasien yang diagnoss hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh

terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus disertai pengawasan

tekanan darah yang ketat.

70

Page 71: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

BAB IV

DISKUSI

Infeksi saluran kemih adalah infeksi pada saluran kemih yang secara

mikrobiologis terdapat mikroorganisme dalam urin. Infeksi organ urogenitalia

seringkali dijumpai pada praktk dokter sehari-hari mulai infeksi ringan yang baru

diketahui pada saat pemeriksaan urine maupun infeksi berat yang dapat

mengancam jiwa. Pada dasarnya infeksi ini dimulai dari infeksi pada saluran

kemih (ISK) yang kemudian menjalar ke organ-organ genitalia bahkan sampai ke

ginjal. ISK itu sendiri adalah merupakan reaksi inflamasi sel-sel urotelium

melapisi saluran kemih.

Diagnostik ISK dibuat dengan terdapatnya gejala klinis yang sesuai

ditambah dengan pemeriksaan penunjang yang sesuai. Gambaran klinis infeksi

saluran kemih sangat bervariasi mulai dari tanpa gejala hingga menunjukkan

gejala yang sangat berat akibat kerusakan organ-organ lain. Pada umumnya

infeksi akut yang mengenai organ padat (ginjal, prostat, epididimis, dan testis)

memberikan keluhan yang hebat sedangkan infeksi pada organ-organ beronggga

(buli-buli, ureter, dan pielum) memberikan keluhan yang lebih ringan.

Diagnosis berdasarkan simptom iritatif (disuria, frekuensi, dan urgensi)

dan tidak terdapatnya sekret atau rasa gatal pada vagina. Pemeriksaan urine

merupakan salah satu pemeriksaan yang sangat penting pada infeksi saluran

kemih. Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan urinalisis dan pemeriksaan kultur

urine. Sel-sel darah putih (leukosit) dapat diperiksa dengan dipstick mauun secara

71

Page 72: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

mikroskopik. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara

mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per

lapangan pandang besar. Dikatakan bakteriuria jika didapatkan lebih dari 105 cfu

(colony forming unit) per mL, pada pengambilan sampel urine porsi tengah,

sedangkan pada pengambilan melalui aspirasi suprapubik dikatakan bakteriruria

bermakna jika didapatkan > 103 cfu per mL.(18_uro)

Pada anamnesis yang dilakukan pada tanggal 21 April 2014, pasien

menunjukkan salah satu tanda klinis dari infeksi saluran kemih yaitu demam.

Demam merupakan gejala sistemik yang paling sering muncul pada kasus infeksi

saluran kemih. Keluhan ini juga disertai keluhan iritatif yaitu urgensi dan poliuria,

dan tidak ada riwayat keluar sekret ataupun rasa gatal pada vagina.

Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan penderita tampak sakit sedang,

demam. Namun pada pasien tidak ditemukan adanya nyeri ketok ginjal. Untuk

pemeriksaan laboratorium yang menunjang, pada pasien ini dilakukan

pemeriksaan urinalisa pada tanggal 22 April 2014. Dari hasil urinalisa didapatkan

warna kuning agak keruh, leukosit 2+, dan pada urinalisa sedimen didapatkan

hasil leukosit 10-15. Urine dikatakan mengandung leukosit atau piuria jika secara

mikroskopik didapatkan > 10 leukosit per mm3 atau terdapat > 5 leukosit per

lapangan pandang besar. Hal ini menunjukkan terjadi piuria pada pasien. Namun

tidak terdapat bukti telah terjadi bakteriuria pada pasien ini.

Pada ISK yang tidak memberikan gejala klinis (asymptomatic bacteriuria) tidak

perlu pemberian terapi, tetapi ISK yang telah memberikan keluhan harus segera

mendapatkan antibiotika; bahkan jika infeksi cukup parah diperlukan perawatan

72

Page 73: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

di rumah sakit guna tirah baring, pemberian hidrasi, dan pemberian

medikamentosa secara intravena berupa analgetik dan antibiotika. Antibiotik yang

diberikan berdasarkan atas kultur kuman dan tes kepekaan antibiotik.

Pada kepustakaan yang lain,pada ISK yang disertai dengan komplikasi

seperti abnormalitas struktur urologi, diabetes, imunosupresi, hamil, atau baru saja

mengalami manipulasi pada traktus urulogi, maka untuk tatalaksana pertama

dapat diberikan antibiotik trimetoprim/sulfa atau golongan fluoroquionolone

selama 7-14 hari (fluoroquinolone kontraindikasi pada kehamilan).

Pada pasien ini cairan intravena Ringer Laktat (RL) 20 tetes per menit,

injeksi ceftriakson 2 x 1 gram, injeksi ranitidin 2 x 1, dan parasetamol 3 x 500 mg

per oral. Pemberian RL dimaksudkan sebagai hidrasi pada pasien di atas.

Ceftriakson digunakan sebagai antibiotik yang dipilih.

Ceftriakson merupakan antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yang

memiliki aktivitas spektrum luas pada gram negatif, dan lebih lemah pada gram

positif. Ceftirakson memiliki efektivitas yang lebih tinggi pada organisme yang

resisten, sangat stabil pada bakteri penghasil beta laktamase. Efek antibakteri

ditimbulkan dari hambatan sintesis dinding sel oelh pengikatan 1 atau lebih

protein pengikat penisilin, menimbulkan efek antimikrobial dengan mengganggu

sintesis dari peptidoglikan (komponen struktur utama dari dinding sel bakteri).

Ceftriakson diabsorpsi secara baik melalui intramuskular dan didistribusikan ke

seluruh tubuh, mencakup kandung empedu, paru, tulang, cairan serebrospinal,

dimetabolisme di hati dan di ekskresi lewat urin (33-65% dalam bentuk awal),

feses. Pada infeksi saluran kemih, seftriakson dapat diberikan dengan dosis 1-2

73

Page 74: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

gram/hari secara IV/IM dengan dosis tunggal atau dosis terbagi setiap 12 jam

selama 4 sampai 14 hari tergantung tipe dan beratnya infeksi.

Pada kepustakaan, antibiotik terpilih pada pengobata ISK pada pasien

diabetes melitus bisa diberikan trimetoprim-sulfametoksazol(TMS). TMS bekerja

dengan menghambat dua tahapanpada biosintesis anam nukleat dan protein

esensial untuk banyak bakter. Trimetoprim bekerja dengan menghambat

dihydrofolate reductase, yang menghambat produksi asam tetrahidrofolat dari

asam dihidrofolat. Sulfametoksazol bekerja dengan menghambat sintesis asam

dihidrofolat dengan berkompetisi terhadap asam paraaminobenzoat. TMS

dimetabolisme di hati dan dieksresi di urine dalam bentuk obat awal (tidak

berubah). TMS diberikan pada infeksi saluran kemih yang disebabkan oleh

bakteri yang sensitif seperti Escherichia coli, spesies Klebsiella, spesies

Enterobacter, Morganella morganii, Proteus mirabilis, dan Proteus vulgaris.

Pada pielonefritis dapat diberikan 1 tablet dosis ganda atau 2 tablet dosis normal

per oral setiap 12 jam selama 14 hari. Ada sistitis akut dapat berikan selama 3

hari.

Pada penelitian Rosenberg JM et al yang membandingkan efektivitas

penggunaan seftriakson dengan pengobatan standar yaitu trimetoprim

sulfametoksazol. Peneliti membagi menjadi dua kelompok yaitu 20 orang yang

mendapatkan pengobatan seftriakson, dan 13 orang yang mendapat trimetoprim

sulfametoksazol. Hasil penelitian menunjukkan angka kesembuhan pada

kelompok yang mendapat seftriakson (18 dari 20, 90%) tidak didapatkan

74

Page 75: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

perbedaan signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol yang mendapatkan

trimetoprim sulfametoksazol (13 dari 13). (single dose...)

Pada pasien diberikan ranitidin 2 x 1. Ranitidin merupakan antagonis

reseptor H2. Ranitidin bekerja dengan menghambat reseptor H2 pada sel parietal

lambung untuk menimbulkan hambatan pada sekresi lambung. Ranitidin pada

pasien rawat inap diberikan sebagai profilaksis stress ulser atau acid supressive

therapy (AST). Pemberian ranitidin sebagai AST mengikuti indikasi yang telah

ditetapkan. Faktor risiko pada pasein sebagai indikasi untuk pemberian AST

adalah pasien yang menggunakan bantuan ventilasi mekanik selama lebih dari 48

jam, pasien dengan koagulopati (ditandai dengan jumlah trombosit di bawah 50 x

109 /L, atau international normalized ratio INR lebih besar dari 1,5 atau waktu

partial thromboplastin meningkan 2x dibandingkan dengan nilai normal), sepsis

berat, syok, gagal hati, gagal ginjal, luka bakar dengan luas lebih dari 35%

permukaan tubuh, transplantasi organ, trauma kepala, trauma korda spinalis,

riwayat penyakit ulkus peptik, riwayat perdarahan saluran cerna. Penggunaan

terapi steroid tidak dianggap sebagai faktor risiko terjadinya stress ulkus kecuali

digunakan bersamaan dengan adanya faktor risiko lainnya seperti penggunaan

aspirin atau obat antiinflamasi non steroid.

Pemberian ranitidin sebagai AST merupakan obat tersering yang

diresepkan pada pasien rawat inap. Berbagai penelitian menunjukkan pemberian

AST sering berlebihan pada pasien rawat inap. Pada penelitian Ruchi Gupta et al,

70% dari pasien rawat inap mendapatkan AST, dan 73% diantaranya tidak perlu.

75

Page 76: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Untuk gejala demamnya, pada pasien ini mendapatkan parasetamol per

oral 3 x 500 mg. Parasetamol merupaka golongan analgesik antipiretik yang

bekerja di hipotalamus untuk menimbulkan efek antipiretik, dan bekerja di perifer

pada pembentukan sensasi nyeri, juga menghambat sisntesis prostaglandin pada

sistem saraf pusat. Parasetamol dimetabolisme di hati dan dieksresi lewat urin.

Untuk mendapatkan efek antipiretik dan analgetik, diberikan dosis 325-650 mg

per oral atau per rektal setiap 4 jam jika perlu, atau 500 mg per oral setiap 8 jam

jika perlu. Dosis maksimal per hari adalah 4 gram.

Pada tanggal 24 April 2014, pasien tidak lagi mengalami, demam. Pasien

juga sudah dapat makan dan minum serta tidak lagi memerlukan pemberian cairan

intravena. Dengan demikian, pasien ini diperbolehkan pulang dan menjalani rawat

jalan.

Pasien di atas juga mengidap diabetes mellitus dan hipertensi terkontrol.

Diabtetes mellitus diketahui dari anamnesis bahwa pasien sudah mengkonsumsi

obat anti diabetes sejak seminggu terakhir. Pengelolaan DM dimulai dengan

pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu).

Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi

farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin.

Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung

kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat,

misalnya ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun dengan cepat, dan

adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan.

76

Page 77: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan

bentuk suntikan. Pada pasien ini menerima obat hipoglikemik oral (OHO).

Cara Pemberian OHO, terdiri dari:

OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai

respons kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis optimal.

Sulfonilurea: 15 –30 menit sebelum makan.

Repaglinid, Nateglinid: sesaat sebelum makan.

Metformin : sebelum /pada saat / sesudah makan.

Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama

Tiazolidindion: tidak bergantung pada jadwal makan.

DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan atau sebelum makan.

Pasien juga diketahui mengidap hipertensi sejak tahun 2010. Pasien rutin

mengkonsumsi obat antihipertensi. Saat datang, tekanan darah pasien 130/90

mmHg. Pada pasien hipertensi dengan DM, maka pilihan untuk obat

antihipertensinya adalah thiazid, beta blocker, ACEI, ARB, CCB.

77

Page 78: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan kasus seorang wanita berusia 55 tahun yang didiagnosis

ISK dengan diabetes mellitus dan hipertensi. Diagnosis ditegakkan berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pasien telah

ditatalaksana dengan terapi suportif, simptomatik dan definitif. Setelah pasien

dirawat selama 4 hari dari tanggal 21 s/d 24 April 2014 akhirnya pasien

diperbolehkan pulang dan mendapat pengobatan lanjutan secara rawat jalan.

78

Page 79: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

2. Simanjuntak CH, Hoffman SL, Punjabi NH, Edman DC, Hasibuan MA, Sumarno W et al. Epidemiologi demam tifoid di duatu daerah pedesaan di Paseh, Jawa Barat. CDK 2007;6: 16-18.

3. FK UI. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: FK UI, 2005.

4. World Health Organization. 2003. Background Document:” The Diagnosis, Treatment And Prevention Of Typhoid Fever, Geneva, Switzerland.

5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2011 (online) (http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_KESEHATAN_INDONESIA_2010.pdf.

6. Parry CM, Hien TT, Dougan G, White NJ, Farrar JJ. Typhoid fever. N Engl J Med 2002; 347(22): 1770-1782.

7. Pramitasari, O. P. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Pada Penderita Yang Dirawat Di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Journal Kesehatan Masyarakat. 2013; Volume 2.

8. James, Chin MD, MPH. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17. Jakarta: Infomedia.

9. Aru W. Sudoyo. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing, 2009.

10. Huan J. Chang, MD, MPH. Typhoid Fever. JAMA. 2009;302(8):914.

11. Dan L. Longo, Anthony S. Fauzy. Horrison’s Gastroenterology and Hepatology. 2010. China : The McGraw-Hill.

12. Gladwin, M., Trattler, B., 1999, The enteric. In: Clinical Microbiology Made Ridiculously Simple. Med Master Inc.Miami, 54-61.

13. Herawati, M.H., dan L. Ghanie.2009. Hubungan Faktor Determinan Dengan Kejadian Demam Tifoid Di Indonesia Tahun 2007. Media Peneliti Dan Pengembang Kesehatan.Volume XIXNomor 4: hal 165-173.

79

Page 80: Laporan Kasus^^ (ISK).docx

14. Wardana IMTN, Herawati S, dan Yasa IWPS. 2010. Diagnosis demam thypoid dengan pemeriksaan widal. SMF patologi klinik FK Udayana. 1-13

15. Wardhani P, Prihatini, Probohoesodo MY. Kemampuan uji tabung widal menggunakan antigen import dan antigen lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. 2005; 12 (1): 31-37.

16. Saraswati NA, Junaidi AR, dan Ulfa M. 2012. Karakteristik tersangka demam tifoid pasien rawat inap di rumah sakit muhammadiyah palembang periode tahun 2010. syifa'MEDIKA; 3(1): 1-11.

17. Mulyawan Sylvia, Surjawidjaja Julius. Tinjauan Ulang Peranan Uji Widal Sebagai Alat Diagnostik Penyakit Demam Typhoid Di Rumah Sakit. Jakarta:2004. p. 14-6.

18. Camilo Acusta, Dr et all. Background Document: The Diagnosis, Treatment and Prevention of Typhoid Fever. WHO. 2007.

19. Anonymous. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. KEMENKES RI. 2006: no. 364.

20. Loho, T., Sutanto, H., Silman, E., 2000, Dalam: Demam tifoid peran mediator, diagnosis dan terapi. (Editor: Zulkarnain). Pusat Informasi dan Penerbitan bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta, 22-42.

21. Suswati I, Juniarti A. Sensitivitas salmonella typhi terhadap kloramfenikol dan seftriakson di RSUD Dr. Soetomo dan di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tahun 2008-2009. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang: 27-32.

22. Bhan MK, Bahl R, Bhatnagar S. Typhoid fever and paratyphoid fever. Lancet 2005; 366: 749-62.

23. Background document: the diagnosis, treatment, and prevention of typhoid fever [Internet]. 2003 [cited 2010 Nov 25]. Available from: www.who-int/vaccines-documents/

24. Nelwan RHH, Chen K, Nafrialdi, Paramita D. Open study on efficacy and safety of levofloxacin in treatment of uncomplicated typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2006; 37(1): 126-30.

25. Thaver D, Zaidi AKM, Critchley J, Azmatullah A, Madni SA, Bhutta ZA. A comparison of fluoroquinolones versus other antibiotics for treating enteric fever: meta-analysis. BMJ 2009; 338: 1-11.

80