Upload
teguh-soni-reksa
View
60
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jantungan
Citation preview
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. S
Usia : 70 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Cempaka Putih Barat
No RM : 34.27.06
Masuk Rumah Sakit : 24 November 2015
Jam : 13:20 WIB
Tanggal pemeriksaan : 25 November 2015
II. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Nyeri dada
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Jantung Rumah Sakit Moh. Ridwan Meuraksa pada tanggal 24
November 2015 jam 12.10 dengan keluhan nyeri dada sejak malam hari SMRS. Nyeri
dirasakan seperti dihimpit benda berat dan nyeri yang dirasakan tidak menjalar. Nyeri
dada timbul terutama saat pasien sedang beraktivitas. Nyeri dada yang dirasakan tidak
terlalu kuat dan berlangsung selama 15-30 menit. Keluhan nyeri pada pasien disertai
adanya sesak nafas. Pasien juga mengeluhkan sering pusing, tengkuk terasa berat. Mual
(-), muntah (-), demam (-), bengkak dan kebas pada ekstremitas (-). BAK dan BAB tidak
ada keluhan.
3. Riwayat Penyakit Dahulu :
CAD
4. Riwayat Pengobatan :
ISDN 3 x 5 mg
Spironolakton 1 x 25 mg
Apilet 1 x 80 mg
Captopril 1 x 12,5 mg
5. Riwayat Keluarga : DM, hipertensi, jantung dan obesitas disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Compos mentis, lemas
Vital Sign : TD : 15/90 mmHg
N : 88x/menit
Rr : 26x/menit
T : 36° C
Kepala : Normocephale
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)
Thorax : Cor : Inspeksi : iktus cordis tak tampak, dinding dada simetris
kanan dan kiri
Palpasi : iktus cordis di SIC V linea midclavicularis
Perkusi : Batas atas jantung SIC III linea parasternalis
sinistra, batas jantung bawah SIC V linea
midclavicularis.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II reguler, bising (-)
Pulmo : Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri, ketinggalan
gerak (-), retraksi (-)
Palpasi : Fremitus raba kanan = kiri, ketinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Abdomen : Inspeksi : Dinding perut sejajar dengan dinding dada
Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Perkusi : Tympani, nyeri ketok kostovertebral (-)
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), turgor elastisitas kulit normal
Ekstremitas : Akral hangat, oedem (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil pemeriksaan laboratorium darah rutin (24 November 2015)
• Hb : 9.1 g/dL
• Leukosit : 6.4 ribu/µL
• HT : 28 %
• Trombosit : 197 ribu/µL
• Troponin 1 : 1.54
• Ureum : 90
• Creatinin : 4.96
• Uric Acid : 10
• K : 4.7
• Na : 150
• Cl : 118
• Tg : 103
• Cholesterol Total : 214
• HDL : 36
• LDL : 157
V. DIAGNOSIS
- UAP dd NSTEMI
- Hipertensi grade II
VI. TERAPI
Bedrest , O2 3 L/min
IVFD : RL 20 tpm
Arixtra 1 x 2.5mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 20mg
Aspilet 1 x 80 mg
Captopril 2 x 12.5
Laxadin syr 1 x 2 c
VII.FOLLOW-UP
Tanggal 25 November 2015
S/ sesak napas (+), nyeri dada (+),
O/ Vital sign : TD : 150/90 mmHg
N : 88x/menit
Rr : 26x/menit
T : 36,50C
KU : CM
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, Gallop -/- Mur-mur -/-
Pulmo : veskuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ Acute NSTEMI
Hipertensi Grade II
P/
Bedrest , O2 3 L/min
IVFD : RL 20 tpm
Arixtra 1 x 2.5mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 20mg
Aspilet 1 x 80 mg
Captopril 2 x 12.5
Laxadin syr 1 x 2 c
Tanggal 26 Nov ember 2015
S/ Nyeri dada sudah tidak ada, sesak (-)
Belum BAB sejak tiga hari yang lalu
O/Vital sign : TD : 150/80 mmHg
N : 88x/menit
Rr : 26x/menit
T : 36,50C
KU : CM,
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, Gallop -/- Mur-mur -/-
Pulmo : vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ Acute NSTEMI
Hipertensi Grade II
P/ IVFD : RL 20 tpm
Inj. Arixtra 1 x 2.5mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 20mg
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75mg
Laxadin syr 1 x 2 c
Tanggal 27 Nov ember 2015
S/ sudah dapat BAB, kaki keram
O/ Vital sign : TD : 140/100 mmHg
N : 88x/menit
Rr : 26x/menit
T : 360C
KU : CM
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, Gallop -/- Mur-mur -/-
Pulmo : vesikuler(+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ Acute NSTEMI
Hipertensi grade II
P/ IVFD : RL 20 tpm
Inj. Arixtra 1 x 2.5mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 20mg
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75mg
Laxadin syr 1 x 1 c
Tanggal 29 Novemb er 2015
Vital sign : TD : 161/82 mmHg
N : 111x/menit
Rr : 31x/menit
T : 36,50C
S/ Pasien sesak nafas
(pindah ke ICU)
O/ KU : Tampak Sakit berat
Kepala : CA(-/-), SI (-/-)
Thorax : Cor : BJ I-II regular, Gallop -/- Mur-mur -/-
Pulmo : vesikuler (+/+), Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, Peristaltik (+), nyeri tekan (-)
Extremitas : Akral hangat, oedema (-)
A/ dd UAP/NSTEMI
P/
IVFD : NaCl 0.9% 20 tpm
Inj. Lasix 2 x 1 amp
Valsartan 1 x 80
Bisoprolol 1 x 5 mg
ISDN 3 x 5 mg
Simvastatin 1 x 20mg
Aspilet 1 x 80 mg
Plavix 1 x 75mg
Laxadin syr 1 x 1 c
Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa elevasi ST
(NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan
gejala klinis sehingga pada prinsipnya penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis
NSTEMI ditegakkan jika pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti
adanya nekrosis miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang lebih disukai
karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti CK dan CKMB. Pada
pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada darah perifer setelah 3-4 jam dan
dapat menetap sampai 2 minggu.15
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan American Heart
Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark tanpa elevasi segmen ST
( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup berat sehingga dapat menimbulkan
kerusakan pada miokardium, sehingga adanya petanda kerusakan miokardium dapat
diperiksa. Diagnosis angina tak stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan
tak ada kenaikan troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau adannya
gelombang T yang negatif.12
2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme arteri koroner, anemia
berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina pektoris tidak
stabil :
a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina pektoris
tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner
yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang minimal. Plak aterosklerotik terdiri
dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap).
Plak yang tidak stabil terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi
sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima
yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur menyebabkan
aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus.
Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen
ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis
yang berat akan terjadi angin tak stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya
angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena
interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos, makrofag dan kolagen. Inti lemak
merupakan bahan terpenting dalam pembentukan trombus yang kaya trombosit,
sedangkan sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan
dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan
darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi
enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan platelet
melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih luas, vasokonstriksi dan
pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan inflamasi ikut berperan dalam perubahan
terjadinya hemostase dan koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang
intermiten, pada angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil.
Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh
platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan
spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga dapat
menyebabkan angina tak stabil, dan mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
3. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya ada
keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan keadaan klinik.18
a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah beratnya nyeri
dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I bulan, tapi tidak
ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara akut baik
sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.18
b. Keadaan klinis:
1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain atau febris
2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.18
c. Intensitas pengobatan:
1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan yang
maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.18
4. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan angina yang
bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa tapi lebih berat dan lebih
lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul karena aktivitas yang minimal.
Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang
disertai keringat dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.19
b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat terdengar
derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks. Frekuensi denyut
jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada waktu serangan angina.20
c. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal,
stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari
stress test adalah:
a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah utama
akan
c) memberi hasil positif kuat.20
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen ST, depresi
segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen ST, hambatan cabang
ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan gelombang T. perubahan EKG pada
ATS berdifat sementara dan masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun
bersamaan. Perubahan tersebut imbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu 24 jam. Bila
perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi elevasi gelombang Q, maka
disebut sebagai IMA.20
2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau meningkat tetapi
tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB merupakan enzim yang paling sensitive
untuk nekrosis otot miokard, tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini
menunjukkan pentingnya pemeriksaan kadar enzim secara serial untung
menyingkirkan adanya IMA.20
5. Skor Risiko TIMI
Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan angka faktor
resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark miokard, atau iskemia berat
rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor
resiko 6-7.skor resiko ini berasal dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan
telah divalidasi pada empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya
skor resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi dengan
LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker tirofiban versus placebo,
dan strategi invasif versus konservatif.16
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan clopidogrel
menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor resiko juga efektif dalam
memprediksi outcome yang buruk pada pasien setelah pulang.16
Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
- Usia > 65 tahun
- > 3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
- > 2 kejadian angina < 24 jam
- Aspirin dalam 7 hari terakhir
- Peningkatan petanda jantung
Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.16
6. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien
perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau
petidin perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.21
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi wall
stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah oksigen
suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah
kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara
sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4 mg/jam. Bila
keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam beta-
blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian
penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek inotropik
negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi ejeksi
normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload memberikan
keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem). 21
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina tidak
stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti platelet yang
terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51% sampai
72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan
untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis
selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan obat
kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan aspirin. Dalam
pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan terakhir
pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki reseptor
tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet
tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun
untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak
stabil. 21
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai polisakarida
yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang berbeda-beda.
Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja menghambat trombin
dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga diperlukan
pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced
thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan terhadap
protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia
ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan
pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan secara
subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena bekerja
langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh plasma
protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan
infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah
disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan heparin bila ada
efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan iskemi
berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan penyempitan di
left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri
yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke
rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan
pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada kontraindikasi
tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.17
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan
angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter yang
dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke
jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter
digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan
bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau vena
dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran darah
dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering
ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang
dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner menghilangkan
nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang.17
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan volume
sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut jantung). Hal
ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi
duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring,
meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi peningkatan volume
diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
7. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.21
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi, penyakit
DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.21
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui mencetuskan
serangan angina klasik pada seseorang.17
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.21
8. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir terhadap
iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati setelah sekitar
20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk
menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.22
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat dan
dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan darah turun
banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga menyebabkan angina,
gagal jantung.21
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa darah
yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal jantung
disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan
atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang
lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 21
9. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat serta
memberikan pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat menghasilkan prognosis yang
baik. Namun bila tidak dapat menimbulkan kematian.
Definisi
American Society of Hypertension (ASH), pengertian hipertensi adalah suatu sindrom atau
kumpulan gejala kardiovaskuler yang progresif, sebagai akibat dari kondisi lain yang kompleks
dan saling berhubungan.
Menurut WHO tekanan darah dianggap normal bila sistoliknya 120-140 mmHg dan
diastoliknya 80-90 mmHg sedangkan dikatakan Hipertensi bila lebih dari 140/90 mmHg dan
diantara nilai tersebut dikatakan normal tinggi. Batasan ini berlaku bagi orang dewasa diatas 18
tahun.
Hipertensi merupakan suatu keadaan terjadinya peningkatan tekanan darah yang memberi
gejala berlanjut pada suatu target organ tubuh sehingga bisa menyebabkan kerusakan lebih berat
seperti stroke (terjadi pada otak dan berdampak pada kematian yang tinggi), penyakit jantung
koroner (terjadi pada kerusakan pembuluh darah jantung) serta penyempitan ventrikel kiri / bilik
kiri (terjadi pada otot jantung). Selain penyakit tersebut dapat pula menyebabkan gagal ginjal,
diabetes mellitus dan lain-lain.
Etiologi
2.3.1 Penyakit ginjal
Penyakit ginjal adalah penyebab terbanyak pada hipertensi sekunder. Hipertensi dapat
timbul dari penyakit diabetes nefropati ataupun inflamasi glomerulus, penyakit intertisial
tubulus, dan polikista ginjal. Kebanyakan kasus berhubungan dengan peningkatan volume
intravascular atau peningkatan system renin-angiotensin-alodesteron.8
2.3.2 Renal vascular hypertension
Arteri stenosis ginjal dapat muncul pada 1-2 % pasien hipertensi. Penyebabnya pada orang
muda adalah fibromuscular hyperplasia. Penyakit pembuluh darah ginjal yang lain adalah karena
aterosklerosis stenosis dari arteri renal proksimal. Mekanisme hipertensinya berhubungan dengan
peningkatan renin berlebih karena pengurangan dari aliran darah ke ginjal. Hipertensi pembuluh
darah ginjal harus dicurigai jika terdapat keadaan seperti berikut: (1) terdapat pada usia sebelum
20 tahun atau sesudah usia 50 tahun. (2) bruit pada epigastrik atau artery renal. (3) jika terdapat
penyakit atrerosklerosis dari arteri perifer, 15-25 % pasien dengan aterosklerosis tungkai bawah
yang simtomatik terdapat artery stenosis ginjal. (5) terjadi penurunan fungsi ginjal setelah
pemberian penghambat ACE.8
2.3.3 Hiperaldosteron primer
Penyakit ini timbul karena sekresi yang berlebihan dari aldosteron oeh korteks adrenal.
Pada pasien hipertensi dengan hipokalemia, krn pengeluaran kalium yang berlebih melalui urin
(biasanya > 40 mEq/L). 9
2.3.4 Sindrom Cushing
Pada penderita sindroma Cushing, hipertensi timbul sekitar 75-85 %. Patogenesis tentang
terjadinya hipertensi pada sindroma Cushing masih tidak jelas. Mungkin dihubungkan dengan
retensi garam dan air dari efek mineralocorticoid karena glukokortikoid berlebih. 9
2.3.5 Pheochromocytoma
Tumor yang mensekresikan katekolamin yang berada di medulla adrenal dan menyebabkan
hipertensi sekitar 0,05 %. 8
2.3.6 Coarctation of the aorta
Coarctation of the aorta merupakan penyakit jantung congenital tersering yang
menyebabkan hipertensi. Insiden sekitar 1-8 per 1000 kelahiran. 8
2.7 Manisfestasi Klinis
Gejala yang paling sering muncul adalah nyeri kepala. Hypertensi yang meningkat dengan
cepat dapat menimbulkan gejala seperti somnolen, bingung, gangguan penglihatan, mual dan
muntah.8
Pada aldosteronism primer, pasien merasakan lemas otot, polyuria, da nocturia karena
hypokalemia. Hipertensi kronik sering menyebabkan pembesaran jatung kiri, yang dapat
menimbulkan gejala sesak napas yang berhubungan dengan aktivitas dan paroxysmal nocturnal
dyspnea. Keterlibatan cerebral karena stroke yang disebabkan oleh trombosis atau hemoragik
dari mikroaneurisma. 8
Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan bentuk tubuh, termasuk berat dan tinggi badan.
Pada pemeriksaan awal, tekanan darah diukur pada kedua lengan, dan lebih baik dikukur pada
posisi terlentang, duduk, dan berdiri untuk mengevaluasi hipotensi postural. Dilakukan palpasi
leher untuk mempalpasi dari pembesaran tiroid dan penilaian terhadap tanda hipotiroid atau
hipertiroid. Pemeriksaan pada pembuluh darah dapat dilakukan dengan funduskopi, auskultasi
untuk mencari bruit pada arteri karotis. Retina merupakan jaringan yang arteri dan arteriolnya
dapat diperiksa dengan seksama. Seiring dengan peningkatan derajat beratnya hipertensi dan
penyakit aterosklerosis, pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan peningkatan reflex
cahaya arteriol, hemoragik, eksudat, dan papiledema. Pemeriksaan pada jantung dapat ditemukan
pengerasan dari bunyi jantung ke-2 karena penutuan dari katup aorta dan S4 gallop. Pembesaran
jantung kiri dapat dideteksi dengan iktus kordis yang bergeser ke arah lateral. 8
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang rutin yang direkomendasikan sebelum memulai terappi termasuk
elektrokardiogram 12 lead, urinalisis, glukosa darah, dan hematokrit, kalium serum, kreatinin,
dan profil lipid ( termasuk HDL kolesterol, LDL kolesterol, dan trigliserida. Test tambahan
termasuk pengukuran terhadap ekskresi albumin atau albumin/ kreatinin rasio.8
Tabel 2 Pemeriksaan penunjang untuk skrening etiologi hipertensi7
Komplikasi
2.10.1 Jantung
Penyakit jantung merupakan penyebab yang tersering menyebabkan kematian pada pasien
hipertensi. Penyakit jantung hipertensi merupakan hasil dari perubahan struktur dan fungsi yang
menyebabkan pembesaran jantung kiri disfungsi diastolik, dan gagal jantung. 8
2.10.2 Otak
Hipertensi merupakan faktor risiko yang penting terhadap infark dan hemoragik otak.
Sekitar 85 % dari stroke karena infark dan sisanya karena hemoragik. Insiden dari stroke
meningkat secara progresif seiring dengan peningkatan tekanan darah, khususnya pada usia > 65
tahun. Pengobatan pada hipertensi menurunkan insiden baik stroke iskemik ataupun stroke
hemorgik. 8
2.10.3 Ginjal
Hipertensi kronik menyebabkan nefrosklerosis, penyebab yang sering terjadi pada renal insufficiency. Pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan darah harus 130/80 mmHg atau lebih rendah, khususnya ketika ada proteinuria. 8
Prognosis
WHO membuat tabel stratifikasi dan membuat tiga kategori risiko yang berhubungan dengan timbulnya kejadian penyakit kardiovaskular selama 10 tahun ke depan: (1) risiko rendah, kurang dari 15 %. (2) risiko menengah , sekitar 15-20 %. (3) risiko tinggi, lebih dari 20 %.13
Tabel 3 Faktor yang Mempengaruhi Prognosis13
Tabel 4 Prognosis13
2.12 Penatalaksanaan Hipertensi
Algoritme Penanganan Hipertensi
Algoritme penanganan hipertensi menurut JNC 7 (2003), dijelaskan pada
2.12.2 Modifikasi Gaya Hidup
tercapai. Pertimbangkan konsultasi dengan spesialis hipertensi darahOptimalkan dosis atau penambahan jenis obat sampai target tekanan
Sasaran Tekanan Darah tak Tercapai
yang diperlukanantagonis Ca) sesuai
ARB, penyekat β,
penghambat EKA, lainnya (diuretik,
Obat anti hiipertensi
indikasi khusus.obatan untuk -Obat
atau antogonis CaARB atau penyekat β,
penghambat EKA, atau gol. Thiazide dan
obat (biasanya diuretik kombinasi 2 macam Umumnya diberikan
≥ 100 mmHg)diastolik atau TD mmHg
≥ 160 (TD sistolik
Hipertensi derajat 2
kombinasiantagonis Ca atau
EKA, ARB, penyekat β, pemberian penghambat
dipertimbangkan Thiazide.Bisa diuretik gol.
diberikan Umumnya
) mmHg99-diastolik 90mmHg atau TD
-159140TD sistolik (
Hipertensi derajat 1
Indikasi Khusus Hipertensi Hipertensi tanpa Indikasi Khusus
Pilihan obat untuk terapi permulaan
mmHg pada penderita DM atau penyakit ginjal kronikTak mencapai sasaran TD (<140/90 mmHg atau <130/80
Modifikasi Gaya Hidup
dibawah ini: skema
Pelaksanaan gaya hidup yang positif mempengaruhi tekanan darah memiliki implikasi baik
untuk pencegahan dan pengobatan hipertensi. Promosi kesehatan modifikasi gaya hidup
direkomendasikan untuk individu dengan pra-hipertensi dan sebagai tambahan terhadap terapi
obat pada individu hipertensi. Intervensi ini untuk risiko penyakit jantung secara keseluruhan.
Meskipun dampak intervensi gaya hidup pada tekanan darah akan lebih terlihat pada orang
dengan hipertensi, dalam percobaan jangka pendek, penurunan berat badan dan pengurangan
NaCl diet juga telah ditunjukkan untuk mencegah perkembangan hipertensi. Pada penderita
hipertensi, bahkan jika intervensi tersebut tidak menghasilkan penurunan tekanan darah yang
cukup untuk menghindari terapi obat, jumlah obat atau dosis yang dibutuhkan untuk mengontrol
tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang efektif menurunkan tekanan darah adalah
mengurangi berat badan, mengurangi asupan NaCl, meningkatkan asupan kalium, mengurangi
konsumsi alkohol, dan pola diet yang sehat secara keseluruhan (Kotchen, 2008).
Mencegah dan mengatasi obesitas sangat penting untuk menurunkan tekanan darah dan
risiko penyakit kardiovaskular. Rata-rata penurunan tekanan darah 6,3/3,1 mmHg diobseravsi
setelah penurunan berat badan sebanyak 9,2 kg. Berolah raga teratur selama 30 menit seperti
berjalan, 6-7 perhari dalam seminggu, dapat menurunkan tekanan darah. Ada variabilitas
individu dalam hal sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variabilitas ini mungkin
memiliki dasar genetik. Berdasarkan hasil meta-analisis, menurunkan tekanan darah dengan
membatasi asupan setiap hari untuk 4,4-7,4 g NaCl (75-125 meq) menyebabkan penurunan
tekanan darah 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada hipertensi dan penurunan lebih rendah pada orang
darah normal. Konsumsi alkohol pada orang yang mengkonsumsi tiga atau lebih minuman per
hari (minuman standar berisi ~ 14 g etanol) berhubungan dengan tekanan darah tinggi, dan
penurunan konsumsi alkohol dikaitkan dengan penurunan tekanan darah. Begitu pula dengan
DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) meliputi diet kaya akan buah-buahan,
sayuran, dan makanan rendah lemak efektif dalam menurunkan tekanan darah (Kotchen, 2008).
Tabel 2.4. Modifikasi gaya hidup untuk mencegah dan mengatasi hipertensi
Modifikasi Rekomendasi Penurunan potensial TD sistolik
Diet natrium Membatasi diet natrium tidak lebih dari 2400 mg/hari atau 100 meq/hari
2-8 mmHg
Penurunan Berat
Badan
Menjaga berat badan normal;
BMI = 18,5-24,9 kg/
5-20 mmHg per 10 kg
penururnan badan
berat
Olahraga aerobik Olahraga aerobik secara teratur,
bertujuan untuk melakukan
aerobik 30 menit
Latihan sehari-hari dalam seminggu. Disarankan pasien berjalan-jalan 1 mil per hari di atas tingkat aktivitas saat ini
4-9 mmHg
Diet DASH Diet yang kaya akan buahbuahan, sayuran, dan mengurangi jumlah lemak jenuh dan total
4-14 mmHg
Membatasi konsumsi alkohol
Pria ≤2 minum per hari, wanita
≤1 minum per hari
2-4 mmHg
Jadi, modifikasi gaya hidup merupakan upaya untuk mengurangi tekanan darah, mencegah
atau memperlambat insiden dari hipertensi, meningkatkan efikasi obat antihipertensi, dan
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular (National Institutes of Health, 2003).
2.12.4 Terapi Farmakologi
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh
JNC 7 adalah:
a. Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosteron Antagonist b. Beta Blocker (BB) c. Calcium Chanel Blocker atau Calcium antagonist (CCB) d. Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI) e. Angiotensin II Receptor Blocker atau A receptor antagonist/blocker (ARB)
Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap, dan target tekanan
darah tercapai secara progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan untuk menggunakan obat
antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan
pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau
dengan kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi
dimulai dengan satu jenis obat dan dalam dosis rendah, dan kemudian tekanan darah belum
mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau
berpindah ke antihipertensif lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari
dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal maupun kombinasi. Sebagian besar pasien
memerlukan kombinasi obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah, tetapi terapi
kombinasi dapat meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena
jumlah obat yang harus diminum bertambah (Yogiantoro, 2006).
Kombinasi obat yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien adalah:
a. CCB dan BB b. CCB dan ACEI atau ARB c. CCB dan diuretika d. AB dan BB e. Kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat
Tabel 2.5. Indikasi dan Kontraindikasi Kelas-kelas Utama Obat Antihipertensi Menurut ESH (European Society of Hypertension) (2003).
Kelas Obat Indikasi Kontraindikasi
Mutlak Tidak Mutlak
Diuretika
(Thiazide)
Gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated systolic hypertension, ras Afrika
gout Kehamilan
Diuretika (Loop) Insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif
Diuretika (anti
aldosteron)
Gagal jantung kongestif, pasca infark miokardium
Gagal ginjal, hiperkalemia
Penyekat β Angina pektoris, pasca
infark miokardium, gagal
jantung kongestif,
kehamilan, takiaritmia
Asma, penyakit paru obstruktif menahun, A-V block (derajat 2 atau 3)
Penyakit
pembuluh darah
perifer,
intoleransi
glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik
Calcium
Antagonist
Usia lanjut, isolated systolic hypertension, angina
Takiaritmia,
gagal jantung
(dihydropiridine) pektoris, penyakit pembuluh darah
perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan
kongestif
Calcium
Antigonist (verapamil, diltiazem)
Angina pektoris, aterosklerotis karotis, takikardia supraventrikuler
A-V block
(derajat 2 atau 3), gagal jantung kongestif
Pengahambat
ACE
Gagal jantung kongestif, disfungsi ventrikel kiri, pasca infark miokardium, non-diabetik nefropati
Kehamilan,
hiperkalemia,
stenosis arteri renalis bilateral
Angiotensin II
receptor antagonist (AT1-blocker)
Nefropati DM tipe 2,
mikroalbuminuria diabetik,
proteinuria, hipertropi
ventrikel kiri, batuk karena
ACEI
Kehamilan,
hiperkalemia,
stenosis arteri renalis bilateral
Α-Blocker Hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia
Hipotensi ortostatis
Gagal jantung
kongestif
Tabel 2.6. Tatalaksana Hipertensi Menurut JNC 7
Klasifikasi Tekanan Darah
TDS (mmHg)
TDD (mmHg)
Perbaikan Pola Hidup
Terapi Obat Awal
Tanpa Indikasi yang Memaksa
Dengan Indikasi yang Memaksa
Normal < 120 Dan < 80 Dianjurkan ya
Prehipertensi 120-139 Atau 80- ya Tidak indikasi Obat-obatan
89 obat untuk indikasi yang memaksa
Hipertensi derajat 1
140-159 Atau 90-
99
ya Diuretika jenis
Thiazide untuk
sebagian besar
kasus dapat
dipertimbangka n ACEI, ARB, BB, CCB, atau kombinasi
Obat-obatan
untuk indikasi
yang memaksa
obat
antihipertensi
lain
(diuretika,
ACEI, ARB,
BB, CCB)
sesuai kebutuhan
Hipertensi derajat 2
≥ 160 Atau ≥ 100
ya Kombinasi 2
obat untuk
sebagian besar
kasus
umumnya
diuretika jenis
Thiazide dan
ACEI atau
ARB atau BB
atau
CCB
Tabel 6 Pilihan obat pada Indikasi Khusus7
Indikasi Khusus Diuretik B Blocker ACEI ARB CCB Antialdosteron
Gagal Jantung + + + + +
Pasca MCI + + +
Risiko tinggi PJK + + +
Diabetes Mellitus + + + + +
Penyakit ginjal kronik
+ + +
Cegah stoke berulang
+ +
DAFTAR PUSTAKA
1. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome without ST elevation :
implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8
2. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary syndromes. Am
J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2015 Nov Available
from URL : http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on cardiovascular
disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from theory to clinical practice,
Naskah lengkap cardiology-update.Semarang: Badan Penerbit Undip.2003.p.1-1
5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of Medical Students
and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia. Lippincott Williams & Wilkins, 2007;
225-243.
6. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the management
of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial infarction: a report of the
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice
Guidelines 50:e1. Diunduh dari: www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm
(accessed September 18, 2007).
7. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono,
P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB. Evaluation of chest pain in the
emergency department. Ann Intern Med 1995; 123:315;.
8. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin Pathol.
9. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus
A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK
UI. Jakarta.
10. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper,
D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., (eds).
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA. 2005. pp.1532-44
11. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William, L.M., (ed.)
Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC. Jakarta. 2006. Hal : 580-
587
12. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al. Circadian
Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
13. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric: Myocardial
Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed. Pennsylvania: W. B.
Saunders Company. 1996.
14. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen ST. In: Irmalita,
Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,, (ed). Standard Pelayanan Medik
(SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
15. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines for The
Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction. Cardiac Cath Conference
16. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST dalam Aru
W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
17. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2009.hal.492-504.
18. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus
A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK
UI. Jakarta.
19. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised Circulation, 2000.
Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC Guidelines for
the management of acute coronary syndromes in patients presenting without persistent ST-
segment elevation.
20. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna Publishing;2009.hal.1728-
34.
21. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2000.