56
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003) Angka kematian ibu adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih tergolong tinggi (BPS dan ORC, 2003) Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah pre-eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi (Prawirohardjo, 1981.). Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui. Pada kondisi berat pre-eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang (Wiknyosastro, 1994). Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia adalah iskemia plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang bertalian dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia ( multiple causation ). Faktor yang sering ditemukan

LAPORAN KASUS PEB

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN KASUS PEB

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003) Angka kematian ibu adalah 307 per

100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh

pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih

tergolong tinggi (BPS dan ORC, 2003)

Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah pre-

eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi (Prawirohardjo,

1981.). Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria

yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui. Pada kondisi berat pre-

eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang (Wiknyosastro,

1994).

Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia adalah iskemia

plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang bertalian

dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang

menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia ( multiple causation ). Faktor yang

sering ditemukan sebagai faktor risiko antara lain nulipara, kehamilan ganda, usia kurang

dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, punya riwayat keturunan, dan obesitas. Namun

diantara faktor- faktor yang ditemukan sering kali sukar ditentukan mana yang menjadi sebab

dan mana yang menjadi akibat.

Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan kesatuan penyakit, yakni yang langsung

disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana hal ini terjadi, istilah kesatuan

penyakit diartikan bahwa kedua peristiwa dasarnya sama karena eklamsia merupakan

peningkatan dari pre-eklamsia yang lebih berat dan berbahaya dengan tambahan gejala-gejala

tertentu (Wiknyosastro, 1994).

Page 2: LAPORAN KASUS PEB

Pre-eklampsia berat dan eklampsia merupakan risiko yang membahayakan ibu di

samping membahayakan janin melalui placenta (Hovatta O & Lipasti A, 1983). Setiap tahun

sekitar 50.000 ibu meninggal di dunia karena eklampsia (Dudley, 1992). Incidens eklampsia

di negara berkembang berkisar dari 1:100 sampai 1:1700 (Crowther, 1985). Beberapa kasus

memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada stadium akhir yang

disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia tidak ditangani secara

cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena kegagalan jantung,

kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak (Royston, 1989). Oleh karena itu

kejadian kejang pada penderita eklampsia harus dihindari (Crowther, 1985) Karena

eklampsia menyebabkan angka kematian sebesar 5% atau lebih tinggi (Royston, 1989) .

Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 Angka Kematian Ibu

(AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF,2000).

Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu

sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang

memadai, atau pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan (GOI

& UNICEF,2000) .

Untuk memenuhi target penurunan Angka Kematian Ibu pada Indonesia Sehat 2010

menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup adalah cukup memprihatinkan, oleh karenanya

perlu adanya antisipasi terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian ibu. Salah

satu upaya untuk menurunkan angka kematian maternal dan perinatal yaitu dengan

peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kehamilan yang erat kaitannya dengan

kemajuan ilmu kedokteran, fasilitas dan keterampilan serta pengetahuan tenaga kesehatan

yang memeberikan pelayanan. Sectio caesarea (bedah caesar) merupakan salah satu cara

yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Relative mudah dan nyamannya tindakan ini

mendorong semakin banyaknya cara ini dipilih sebagai cara pengakhiran kehamilan (Mahdi,

1998).

Semakin meningkatnya kecenderungan persalinan Sectio caesarea khususnya atas

permintaan tentu bukan tanpa alasan walaupun Dirjen Yanmed dan WHO telah menetapkan

standar pelayanan persalianan Sectio caesarea tidak boleh melebihi dari 15% dari seluruh

persalinan di rumah sakit..

Page 3: LAPORAN KASUS PEB

Sectio caesarea memberikan jalan keluar bagi kebanyakan kesulitan yang timbul bila

persalinan pervaginam tidak memungkinkan atau berbahaya, menurut statistic tentang 3.509

kasus Sectio caesarea, indikasi untuk Sectio caesarea adalah disproporsi janin-panggul 21%,

gawat janin 15%, plasenta previa 11%, pernah Sectio caesarea 10%, kelainan letak janin

10%, preeklamsia dan hipertensi 7%, dengan angka kematian ibu yang belum dikoreksi

sebesar 17% dan sudah dikoreksi 0,5%, sedangkan kematian janin 14,5% (Wikanjosastro,

2002)

WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan dengan

sectiocaesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara berkembang

dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat. Kanada pada 2003

memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian

dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan

normal (Anonim, 2012)

Bedah cesar paling umum dilakukan dalam anestesi epidural atau spinal. Kedua blok

tersebut membuat ibu untuk tetap sadar. Anestesi regional dihubungkan dengan

berkurangnya morbiditas dan mortalitas maternal dibandingkan dengan anestesi umum. Yang

secara besar dikarenakan pengurangan insiden dari aspirasi pulmo dan intubasi yang gagal

(Kleinman, et all, 2006)

1.2 Permasalahan

Metode dan teknis anestesi apa yang aman dan sebaiknya digunakan pada proses persalinan

dalam upaya untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janinnya.

Page 4: LAPORAN KASUS PEB

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.3 Pre-eklamsia

1.3.1 Definisi

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi

(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin

(proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam

triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan

(Manuaba, 1998). Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang

bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat bahkan

dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma

(Wiknyosastro,1994). Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3%

sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-eklampsia berat

dan eklampsia (Manuaba, 1998).

Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala

eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan.

Dikemukakan beberapa teori yang dapat menerangkan kejadian preeklampsia dan

eklamsia sehingga dapat menetapkan uapaya promotif dan preventif (Manuaba, 1998)

1.3.2 Epidemiologi

Di negara-negara sedang berkembang, angka kematian ibu jauh lebih tinggi. Di

Afrika sub-Sahara, angka kematian ibu rata-rata 600 per 100.000 kelahiran hidup; di

Asia selatan, 500 per 100.000 per kelahiran; di Asia Tenggara dan Amerika Latin 300

per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa neraga maju telah menerbitkan hasil

penyelidikan konfidensial atas kematian ibu setiap 3 tahun, dengan menganalisa sebab-

sebab kematian ibu dan dibuat saran-saran untuk mencegah kematian yang terjadi, ini

telah diterbitkan di Inggris sejak 1952 dan di Australia sejak 1965. Pada tahun 1990,

diterbitkan sebuah laporan yang menganalisis semua kematian ibu yang terjadi di

Amerika Serikat yang terjadi antara tahun 1979 dan 1986. Studi dari ketiga laporan

Page 5: LAPORAN KASUS PEB

tersebut menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu sama pada ketiga negara tersebut

(Derek, 2001).

Dalam grafik berikut dapat ditunjukan turunnya penyebab utama kematian ibu di

England dan Wales.

Periode tiga tahun

Sumber: Derek Lewellyn John, Dasar-dasar obstetric dan ginekologi

Page 6: LAPORAN KASUS PEB

Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di

negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur usia

disebabkan berkaitan dengan hal kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi

faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktifitasnya. Tahun 1996,

WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu per tahunnya meninggal saat hamil atau

persalinan (Crowther, 1985).

Di Afrika yang beriklim tropis ini dapat timbul dengan cepat, mlai dari tanda fisik

yang dini eklampsia berat dapat terjadi dalam 24 jam. Sekolompok peneliti

memperkirakan bahwa mulai dari timbulnya gejala eklampsia sampai dengan kematian

rata-rata memerlukan waktu hanya 2 hari (Royston, 1989).

Menurut data dari Departement Obstetrics & Ginacology, india, dari 271 ibu

hamil dengan eklampsia di “Tertiary Level Teaching Institution South India “ tercatat

70% pasien primigravida dan lebih dari 95% dari mereka tidak melaksanakan antenatal

care dan tidak menyadari bahaya eklampsia (Departement Obstetrics & Ginacology,

india).

Dari beberapa kepustakaan lain frekuensi penderita preeklampsia berkisar 3% -

10% (Rochjati dkk, 1986), hasil penelitian Erwati dkk (1994) di Padang didapatkan

kejadian preeklampsia berat 4,32 % dan eklampsia 0,89 % dengan jumlah kematian

perinatal 1,08%.

1.3.3 Gejala – gejala

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain

(Wiknyosastro,1994). Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan

pertama kali dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa

penderita menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat

pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeclampsia

(Michael,1992).

Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan

tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-

Page 7: LAPORAN KASUS PEB

kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih

atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose

(Ben-zion, 1994). Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak

waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg

atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat (Pauline, 1993).

Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan

tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada

kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan

muka(Wiknyosastro, 1994). Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada

kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosa pre-

eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap

normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan pre-

eklampsia harus dicurigai (Wiknyosastro, 1994). Atau bila terjadi pertambahan berat

badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda

preeklampsia (Michael,1992). Tambah berat yang sekonyong-konyong ini desebabkan

retensi air dalam jaringan dan kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang dengan

istirahat (Suhardiyanto, 1996). Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap

timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH ( Hipertensi dalam

kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya

general (Derek,2001).

Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter

dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 +

( menggunakan metode turbidimetrik standard ) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing

yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih

yang diambil minimal 2 kali dengan jarak 6 jam (Wiknyosastro, 1994). Proteinuri

biasanya timbul lebih lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering

ditemukan pada pre-eklampsia, rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh

darah ginjal. Karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius. (Ben-

zion, 1994). Disamping adanya gejala yang nampak diatas pada keadaan yang lebih

lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang membawa pasien ke dokter.

Page 8: LAPORAN KASUS PEB

Gejala subyektif tersebut ialah: (FK. Unpad,1984)

1. Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.

2. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau

sakit kerena perubahan pada lambung.

3. Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien

buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan

ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.

4. Gangguan pernafasan sampai sianosis

5. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran

Pre-eklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat, tanda /gejala

preeklampsia ringan adalah:

1. Tekanan darah sistol 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dengan interval

pemeriksaan 6 jam.

2. Tekanan darah diastol 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dengan interval

pemeriksaan 6 jam

3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu

4. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada urin

kateter atau urin aliran pertengahan.

Sedangkan penyakit preeklampsia digolongkan berat apabila satu atau lebih

tanda / gejala dibawah ini ditemukan:

1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau

lebih

2. Proteinuria 5 gram atau lebih dalam 24 jam, 3+ atau 4+ pada pemeriksaan

semikuantitatif.

Page 9: LAPORAN KASUS PEB

3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam.

4. Keluhan cerebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium.

5. Edema paru-paru atau sianosis (Jeffery et all, 1999)

Disamping terdapat preeklampsia ringan dan berat / eklampsia, dapat pula

ditemukan hipertensi cronis yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang

menetap. Kebanyakan wanita dengan hipertensi kronik ( Hipertensi esensial ) telah

didiognose sebelum kehamilan; kebanyakan wanita didapat menderita hipertensi pada

kunjungan antenatal pertama. Bila tanpa penyebab sekunder hipertensi (misalnya stenosis

arteri renalis atau feokromositoma), peninggian tekanan darah (> 140/90) yang menetap

dan terjadi sebelum kehamilan atau dideteksi sebelum kehamilan minggu ke 20,

diagnosis hipertensi esensial dapat ditegakkan.

Tanda klinik dan diagnosis:

1. Hipertensi terjadi pada awal kehamilan

2. Fungsi ginjal normal atau hanya terdapat sedikit albuminuria

3. Jika kehamilan kebelakang terdapat peningkatan tekanan darah dan albuminuria

secara bermakna, maka akan sulit dibedakan dengan preeklampsia berat

( Superimposed preeklampsia ).

Page 10: LAPORAN KASUS PEB

1.3.4 Etiologi dan Patofisiologi

Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah

banyak teori yang mencoba menerangkan sebab – musabab penyakit tersebut, akan

tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus

dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) sebab bertambahnya frekuensi pada

primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; (2) sebab

bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3) sebab terjadinya perbaikan

keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi

eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi,

edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknyosastro, 1994).

Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan ischaemia

rahim dan plascenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan uterus

memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda,

multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah

ibu, diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-zat dari

placenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi (FK. Unpad,

Page 11: LAPORAN KASUS PEB

1984). Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan

penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan

eklampsia (Wiknyosastro, 1994).

Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotensin,

renin, dan aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme

dapat berlangsung. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, terjadi penurunan

angiotensin, renin, dan aldosteron, tetapi dijumpai edema, hipertensi, dan proteinuria.

Berdasarkan teori iskemia implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam

sirkulasi, yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan

aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air (Manuaba,

1998).

Teori iskemia daerah implantasi plasenta, didukung kenyataan sebagai berikut:

1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda,

dan mola hidatidosa.

2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan

3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin (Manuaba, 1998).

Dampak terhadap janin, pada pre-eklapsia / eklampsia terjadi vasospasmus yang

menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat menurunya

aliran darah ke placenta. Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi fetoplacentair yang

berfungsi baik sebagai nutritive maupun oksigenasi. Pada gangguan yang kronis akan

menyebabakan gangguan pertumbuhan janin didalam kandungan disebabkan oleh

mengurangnya pemberian karbohidrat, protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya

yang seharusnya diterima oleh janin (Sibai et all, 1981).

1.3.5 Patogenesis PIH ( Pregnancy-Induced Hypertension )

Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini

disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat

berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai

Page 12: LAPORAN KASUS PEB

batas tertentu hingga mengganggu fungsi placenta. Ketika kehamilan berlanjut,

hipoksia placenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis

trofoblas yang mungkin menggangu fungsi metabolik placenta. Sekresi vasodilator

prostasiklin oleh sel-sel endotial placenta berkurang dan sekresi trombosan oleh

trombosit bertambah, sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron

menurun. Akibat perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi placenta sebanyak 50

persen, hipertensi ibu, penurunan volume plasma ibu, Jika vasospasmenya menetap,

mungkin akan terjadi cedera sel epitel trofoblas, dan fragmen-fragmen trofoblas dibawa

ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya

tromboplastin menyebabkan koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam

glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan

secara tidak langsung meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit

fibrin ini terdapat di dalam pembuluh darah sistem saraf pusat, sehingga menyebabkan

konvulsi (Derek, 2001).

Vasospasme merupakan dasar patofisiologi untuk preeklampsia-eklampsia.

Konsep ini, yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918) , dibuat berdasarkan hasil

pengamatan langsung terhadap pembuluh darah kecil pada pangkal kuku, fundus okuli

serta konjungtiva bulbi, dan juga sudah diperkirakan dari perubahan histologi pada

berbagai organ yang terkena. Pada preeklampsia, Hinselmann (1924), dan lalu beberapa

ahli lainnya menemukan beberapa perubahan ukuran arteriol pada dasar kuku,

dengan bukti adanya spasmesegmental yang menghasilkan daerah - daerah kontriksi

dan dilatasi yang silih berganti. Landesman dkk (1954) menjelaskan adanya

penyempitan arteriol yang nyata pada konjungtiva bulbi, yang bahkan terjadi hingga

sirkulasi kapiler secara intermiten menghilang. Bukti selanjutnya menunujukkan bahwa

perubahan vaskuler memegang peranan penting pada preeklampsia-eklampsia

ditunjukkan oleh frekuensi ditemukannya spasme arteriol retina, yang biasanya segmental

(Cunningham et all, 1995).

Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah dan menerangkan

proses terjadinya hipertensi arteriol. Kemungkinan vasospasme membahayakan

pembuluh darah sendiri, karena peredaran darah dalam vasa vasorum terganggu, sehingga

Page 13: LAPORAN KASUS PEB

terjadi kerusakan vaskuler. Pelebaran segmental, yang biasanya disertai penyempitan

arteriol segmental, mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan vaskuler

mengingat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang melebar

dan teregang. Lebih lanjut, angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel endotel

dengan membuatnya berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel

antar endotel, sehingga melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah, seperti

trombosit dan fobrinogen, tertimbun pada lapisan subendotel (Bruner dan Gavras, 1975).

Perubahan vaskuler yang disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya,

diperkirakan menimbulkan perdarahan, necrose dan kelainan organ akhir lainnya yang

sering dijumpai pada pre-eklampsia berat (Cunningham et all, 1995).

Respon Presor yang Meningkat

Pada keadaan normal, wanita hamil memiliki resistensi terhadap efek presor dari

pemberian angiotensin II (Abdul karim dan Assali, 1961). Kepekaan pembuluh darah

yang meningkat terhadap hormon presor ini dan hormon lainnya pada wanita yang

menderita preeklampsia dini telah diamati oleh Raab dkk. (1956) dan Talledo dkk.

(1968), dengan menggunakan angiotensin II atau norepinefrin, dan oleh Diekmann serta

Michel (1937) dan Browne (1946) dengan menggunakan vasopresin. Selanjutnya, Gant

dkk. (1973) menunjukkna bahwa kepekaan pembuluh darah yang meningkat

terhadap angiotesin II jelas mendahului awal terjadinya hipertensi karena kehamilan.

Nulipara normal yang tensinya tetap normal (normotensif) tidak rentan terhadap efek

presor angiotensin II. Namun, wanita yang kemudian menjadi hipertensi akan kehilangan

resistensi, yang seharusnya ada terhadap angiotensin II selama kehamilan, dalam waktu

beberapa minggu sebelum timbulnya hipertensi. Dari wanita yang diteliti pada usia

kehamilan minggu ke-28 sampai ke-32 dan memerlukan pemberian angiotensin II dengan

takaran >8ng pekilogram permenit untuk merangsang respon presor yang baku, 91%

tetap normotensif sepajang kehamilan. Sebaliknya, diantara primigravida normotensif

yang yang pada minggu ke-28 sampai ke-32 memerlukan takaran <8ng per kg per menit

untuk suatu respon presor, 90% kemudian akan mengalami hipertensi yang nyata

(Cunningham et all, 1995).

Page 14: LAPORAN KASUS PEB

1.3.6 Faktor Predisposisi

Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami pre-eklampsia biala mempunyai

faktor-faktor predisposing sebagai berikut:

1. Nulipara

2. Kehamilan ganda

3. Usia < 20 atau > 35 th

4. Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya

5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia

6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum kehamilan

7. Obesitas.

1.3.7 Pencegahan kejadian pre-eklampsia dan eklampsia.

Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang

berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis

dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk

dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan

memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan untuk

menentukan proteinuria (Wiknyosastro, 1994).

Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini

pre-eklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Karena para

wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda

preeklampsia yang sudah terjadi, maka deteksi dini keadaan ini memerlukan pengamatan

yang cermat dengan masa-masa interval yang tepat (Cunningham et all, 1995). Kita perlu

lebih waspada akan timbulnya pre-eklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi

seperti yang telah diuraikan diatas. Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat

dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan

secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil, antara lain:

Page 15: LAPORAN KASUS PEB

a. Diet makanan

Makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin, dan rendah lemak. Kurangi

garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat

sehat lima sempurna. Untuk meningkatkan protein dengan tambahan satu butir telus

setiap hari.

b. Cukup istirahat

Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya dan

disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring ke arah

punggung janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.

c. Pengawasan antenatal ( hamil )

Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat

pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian:

1. Uji kemungkinan pre-eklampsia:

a. Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya

b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri

c. Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema

d. Pemeriksaan protein urin

e. Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran

darah umum, dan pemeriksaan retina mata.

2. Penilainan kondisi janin dalam rahim

a. Pemantauan tingi fundus uteri

b. Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin,

pemantauan air ketuban

c. Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.

Page 16: LAPORAN KASUS PEB

Dalam keadaan yang meragukan, maka merujuk penderita merupakan sikap yang

harus dipilah (Manuaba, 1998).

1.3.8 Penanganan pre-eklampsia

Eklampsia merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20 – 30%

kematian ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah sejak masa

kehamilan (preeklampsia). Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak lanjut yang

adekuat ( dirujuk ke dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan persalinan di rumah

sakit ) dapat menyebabkan terjadinya eklampsia pada trimester ketiga yang dapat

berakhit dengan kematian ibu dan janin.

Penanganan pre-eklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi

eklampsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan optimal

dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal. Pengobatan hanya dilakukan secara

simtomatis karena etiologi pre-eklampsia, dan faktor-faktor apa dalam kahamilan yang

menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama penanganan ialah (1) mencegah

terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia; (2) melahirkan janin hidup; (3) melahirkan

janin dengan trauma sekecil-kecilnya.

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medik dan

penanganan obtetrik (Wiknyosastro, 1994). Pada pre-eklampsia ringan ( tekanan darah

140/90 mmHg samoai 160/100 mmHg ) penanganan simtomatis dan berobat jalan masih

mungkin ditangani di puskesmas dan dibawah pengawasan dokter, dengan tindakan yang

diberikan:

1. Menganjurkan ibu untuk istirahat ( bila bekerja diharuskan cuti ), dan menjelaskan

kemungkinan adanya bahaya. )

2. Sedativa ringan.

a. Phenobarbital 3 x 30 mg

b. Valium 3 x 10 mg

3. Obat penunjang

Page 17: LAPORAN KASUS PEB

a. Vitamin B kompleks

b. Vitamin C atau vitamin E

c. Zat besi

4. Nasehat

a. Garam dalam makan dukurangi

b. Lebih banyak istirahat baring kearah punggung janin

c. Segera datang memeriksakan diri, bila terdapat gejala sakit kepala, mata kabur,

edema mendadak atau berat badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri

epigastrium, kesadaran makin berkurang, gerak janin melemah-berkurang,

pengeluaran urin berkurang (Manuaba,1998).

5. Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketat.

Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk penderita

perlu memperhatikan hal berikut:

a. Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih

b. Protein dalam urin 1 plus atau lebih

c. Kenaikan berat badan 11/2 kg atau lebih dalam seminggu

d. Edema bertambah dengan mendadak

e. Terdapat gejala dan keluhan subyektif.

Penanganan abstetri ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal,

yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk

hidup di luar uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsia, dan janin

yang sudah cukup matur lebih baik hidup diluar kandungan dari pada dalam uterus.

Page 18: LAPORAN KASUS PEB

1.4 Sectio Caesarea

1.4.1 Definisi

Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan Latin yaitu ”caedere”, yang artinya

memotong. Pengertian ini semula ditemukan dalam Roman Law (Lex Regia) dan

Emperor’s Law (Lex Caesarea), yaitu undang-undang yang meghendaki supaya janin

dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim (Mochtar,

2000). Sectio caesarea adalah persalinan melalui pembedahan untuk mengeluarkan bayi

dari rahim lewat suatu irisan/sayatan pada perut bagian bawah dan rahim (Whalley dkk,

2008). Menurut Mochtar (2000), pada masa dulu, sectio caesarea dilakukan atas

indikasi yang terbatas pada panggul sempit dan plasenta previa. Meningkatnya angka

kejadian sectio caesarea pada waktu sekarang ini, disebabkan karena berkembangnya

indikasi dan makin kecilnya resiko dan mortalitas dengan cara ini karena kemajuan

teknik operasi dan anastesi, serta ampuhnya antibiotika dan kemoterapi.

Menurut Indiarti (2006), alasan untuk melakukan sectio caesarea pada ibu hamil

atau ibu dalam persalinan adalah plasenta menghalangi jalan lahir (placenta previa),

perdarahan dalam kehamilan lanilla, kelainan letak (seperti letak lintang, letak

sungsang), ketidaksesuaian antara jalan lahir ibu dengan besarnya janin atau presentasi

janin (panggul sempit, anak besar, letak dahi, letak muka, dan sebagainya), ketuban

pecah sebelum waktunya yang setelah diantisipasi tidak memberikan kemajuan dalam

persalinan, persalinan tidak maju, drip oksitosin yang gagal, ibu mengalami preeklamsi

berat (keracunan kehamilan, hipertensi dalam kehamilan) atau eklamsi (preeklamsi yang

disertai kejang), serta kelainan bentuk rahim.

1.4.2 Jenis Sectio Caesarea

Menurut Sinaga (2009), ada dua jenis jenis sectio caesarea yang dikenal yaitu

sectio caesarea transperitonealis dan sectio caesarea ekstraperitonealis. Sectio caesarea

transperitonealis terdiri atas dua bagian yaitu sectio caesarea klasik dan sectio caesarea

profunda. Sectio caesarea klasik merupakan pembedahan dimana pembedahan

dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm.

Keuntungan tindakan ini adalah mengeluarkan janin lebih cepat, tidak mengakibatkan

Page 19: LAPORAN KASUS PEB

komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan bias diperpanjang proksimal dan distal.

Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi mudah menyebar secara intraabdominal dan

lebih sering terjadi ruptura uteri spontan pada persalinan berikutnya.

Sectio caesarea profunda dikenal juga dengan sebutan low cervical yaitu

sayatan pada segmen bawah rahim. Keuntungannya adalah penjahitan luka lebih mudah,

kemungkinan rupture uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan sectio caesarea

dengan cara klasik, sedangkan kekurangannya yaitu perdarahan yang banyak dan

keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.

Sectio caesarea ekstraperitonealis, yaitu sectio caesarea berulang pada seorang

pasien yang pernah melakukan sectio caesarea sebelumnya. Biasanya dilakukan di atas

bekas luka yang lama. Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen

sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus

sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum. Pada saat ini pembedahan ini tidak

banyak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal.

1.4.3 Indikasi Sectio Caesarea

1. Indikasi Medis

Melahirkan dengan cara sectio caesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan

medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Artinya, janin atau ibu

dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika persalinan dilakukan dengan

jalan sectio caesarea, dengan tujuan untuk memperkecil terjadinya risiko yang

membahayakan jiwa ibu dan bayinya.

a. Faktor janin

Menurut Sinaga (2009), faktor janin turut menjadi indikasi medis dari section

caesarea. Faktor janin meliputi bayi terlalu besar, kelainan letak bayi, ancaman

gawat janin (fetal distress), bayi kembar, dan faktor plasenta. Berat bayi lahir

sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari

jalan lahir. Umumnya, pertumbuhan janin yang berlebihan karena ibu menderita

kencing manis (diabetes mellitus), yang biasanya disebut bayi besar objektif.

Page 20: LAPORAN KASUS PEB

Bayi terlalu besar mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk terjadinya

komplikasi persalinan.

Kelainan letak bayi meliputi letak sungsang dan letak lintang. Saat ini lebih

banyak bayi letak sungsang yang lahir dengan sectio caesarea. Hal ini karena

risiko kematian dan cacat/kecelakaan lewat vagina (spontan) jauh lebih tinggi.

Lebih dari 50% bayi pernah mengalami letak sungsang dalam kurun 9 bulan

kehamilan. Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui pasti, secara teori

dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk rahim, tumor jinak

rahim/mioma, dan letak plasenta yang lebih rendah (Sinaga, 2009). Letak lintang

merupakan kelainan letak janin di dalam rahim pada kehamilan tua (hamil 8-

9bulan) yaitu kepala ada di samping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Bayi letak

lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir biasa, karena sumbu tubuh janin

melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi membutuhkan pertolongan sectio

caesarea.

Ancaman gawat janin (fetal distress), yaitu keadaan gawat janin pada tahap

persalinan, dimana pada keadaan tersebut memungkinkan dokter memutuskan

untuk melakukan operasi, apalagi ditunjang kondisi ibu yang kurang

menguntungkan. Bila ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim,

mengakibatkan gangguan pada ari-ari dan tali pusat sehingga aliran oksigen

kepada bayi menjadi berkurang. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami

kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim.

Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan

kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi. Oleh

karena itu dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan

hamil yang lebih intensif. Namun jika ibu mengandung 3 janin atau lebih maka

sebaiknya menjalani sectio caesarea. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut

dilahirkan dalam kondisi sebaik mungkin dengan trauma minimum.

Faktor plasenta meliputi plasenta previa dan solusio plasenta. Plasenta Previa

adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae=di depan; vias = jalan). Jadi

Page 21: LAPORAN KASUS PEB

yang dimaksud dengan plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah

sekali sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi

plasenta yang normal ialah pada dinding depan atau dinding belakang rahim di

daerah fundus uteri (Sinaga, 2009). Plasenta previa dibagi menjadi tiga, yaitu

plasenta previa totalis, plasenta previa lateralis, dan plasenta previa marginalis.

Plasenta previa menyebabkan bagian terdepan janin sering sekali sulit untuk

memasuki pintu atas panggul, oleh karena itu dilakukan sectio caesarea. Sectio

caesarea pada plasenta previa selain untuk mengurangi kematian bayi, juga

terutama dilakukan untuk kepentingan ibu, maka sectio caesarea juga dilakukan

pada plasenta previa walaupun anak sudah mati.

Solusio plasenta merupakan kondisi dimana plasenta terlepas dari dinding rahim

baik sebagian maupun seluruhnya dari tempatnya berimplantasi sebelum anak

lahir. Solusio plasenta bisa terjadi setiap waktu setelah kehamilan 20 minggu,

kebanyakan terjadi dalam trimester ketiga. Pelepasan plasenta biasanya ditandai

dengan perdarahan yang bisa keluar dari vagina, tetapi bisa juga tersembunyi

dalam rahim, yang dapat membahayakan ibu dan janinnya. Persalinan dengan

sectio caesarea biasanya dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir

sebelum mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban dan

menghentikan perdarahan yang mengancam nyawa ibu.

b. Faktor Ibu

Faktor ibu yang menjadi indikasi medis dari tindakan sectio caesarea adalah

disproporsi sefalo pelvik (ketidakseimbangan kepala dan panggul ibu), mencakup

panggul sempit, fetus yang tumbuh terlampau besar atau adanya

ketidakseimbangan relatif antara ukuran kepala bayi dan pelvis (panggul). Selain

itu, ada faktor disfungsi uterus yang mencakup kerja uterus yang tidak

terkoordinasi, hal ini menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi

keluar dari rahim, sehingga menyebabkan kemajuannya terhenti sama sekali, dan

perlu penanganan dengan sectio caesarea.

Page 22: LAPORAN KASUS PEB

Ruptura uteri (robekan rahim) juga menjadi salah satu indikasi medis sectio

caesarea yang berasal dari ibu. Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim

dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga

peritoneum. Secara teori robekan rahim dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptura

uteri spontan (karena dinding rahim lemah) dan ruptura uteri violenta (karena

trauma pertolongan versi dan ekstraksi, ekstraksi forsep, kuretase, manual

plasenta).

Partus tak maju juga merupakan indikasi medis yang lain dari sectio caesarea.

Partus tak maju berarti bahwa meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak dapat

turun karena faktor mekanis. Partus tak maju dapat disebabkan oleh karena

disproporsi sefalo pelvik, malpresentase dan neoplasma yang menyumbat jalan

lahir. Partus tak maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada

primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara. Indikasi yang lain yaitu Pre-

eklampsia dan eklampsia (PE/E). Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang

dijumpai pada ibu hamil di atas 20 minggu ditandai dengan hipertensi dan

proteinuria dengan atau tanpa edema. Eklampsia adalah pre-eklampsia disertai

dengan gejala kejang umum yang terjadi pada waktu hamil, waktu partus atau

dalam 7 hari post partum bukan karena epilepsi.

2. Indikasi Sosial

Selain indikasi medis terdapat indikasi sosial untuk melakukan sectio caesarea.

Menurut penelitian yang dilakukan sebuah badan di Washington DC, Amerika

Serikat, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa setengah dari jumlah persalinan sectio

caesarea, yang secara medis sebenarnya tidak diperlukan. Artinya tidak ada

kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dikandungnya.

Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak ada masalah

atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya mitos-mitos

yang berkembang di masyarakat.

Persalinan yang dilakukan dengan sectio caesarea sering dikaitkan dengan

masalah kepercayaan yang masih berkembang di Indonesia. Masih banyak penduduk

Page 23: LAPORAN KASUS PEB

di kota-kota besar mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dilihat

dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan sectio caesarea dilakukan dengan harapan

apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu, maka akan memperoleh rezeki

dan kehidupan yang baik. Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir

(vagina) sebagai akibat dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin

dengan cara sectio caesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut

tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna.

Pendapat lain yaitu, bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea menjadi lebih

pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Padahal sebenarnya tidak ada

perbedaan antara kecerdasan bayi yang dilahirkan dengan cara sectio caesarea

ataupun pervagina. Di sisi lain, persalinan dengan sectio caesarea dipilih oleh ibu

bersalin karena tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini

terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan

normal.

1.4.4 Diet pada Pasien Pascabedah Sectio Caesarea

Kebanyakan ahli gizi menyarankan agar wanita yang memberikan ASI dalam

periode setelah melahirkan mendapatkan paling sedikit 2500 kalori (10500 kJ) dalam satu

hari (Llewellyn, 2002). Sama halnya dengan wanita yang melahirkan secara normal,

wanita yang melahirkan secara sectio caesarea juga memerlukan asupan makanan yang

kaya energi dan protein. Pemberian diet pada pasien pascabedah sectio caesarea pada

dasarnya sama dengan diet yang diberikan pada pasien pascabedah lainnya yaitu dengan

memberikan diet yang mengandung tinggi kalori dan protein.

Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invansif

dengan cara membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan yang akan ditangani

melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan dan penjahitan luka, dimana pada

masa setelah operasi terjadi suatu fase metabolisme baik anabolisme maupun katabolisme

(Susetyowati, 2010).

Suatu survei populasi pasien bedah di Rumah Sakit Pendidikan Auckland (New

Zealand) menemukan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami kurang energi protein, pada

Page 24: LAPORAN KASUS PEB

pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor dijumpai bahwa 1 dari 2 atau

3 pasien mengalami kurang energi protein, sehingga dalam perawatannya perlu diberikan

diet TKTP untuk mengatasi kekurangan energi dan protein tersebut (Susetyowati, dkk,

2010). Demikian halnya dengan pasien pascabedah sectio caesarea, diberikan diet TKTP

dalam perawatannya untuk mendukung kecepatan pemulihan pasien.

Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah juga beresiko mengalami

malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan peningkatan metabolisme yang

terjadi sehingga diberikan nutrisi perioperatif yaitu nutrisi yang diberikan pada pasien

prabedah/praoperatif, durante/intraoperatif, dan pascabedah/pascaoperatif, yang bertujuan

untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi, dan mengurangi morbiditas operasi

diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia, dan sepsis

(Pennington, et al, 2000).

Pemberian diet pada pasien bedah adalah menyediakan kalori, protein, vitamin,

mineral, dan trace element yang adekuat untuk mengkoreksi kehilangan komposisi

tubuh dan untuk mempertahankan keadaan normal dari zat-zat gizi tersebut. Oleh karena

itu pada pasien-pasien hipoalbumin khususnya dan pasien bedah pada umumnya di

RSUP Dr. Kariadi diberikan diet TKTP (Anonymous, 2011).

Survei menemukan bahwa 40-50% dari pasien dirawat rumah sakit beresiko

untuk malnutrisi dan sampai dengan 12% yang mengalami gizi buruk. Menurut

Nurhidayah (2009), pada kasus bedah kejadian kekurangan nutrisi lebih sering ditemukan

pada penderita pascaoperasi yang membutuhkan perawatan lama atau memang sudah

didasari oleh kondisi preoperatif yang dialami sebelumnya. Hal ini menyebabkan

penyembuhan menjadi terhambat, diikuti dengan meningkatnya resiko infeksi

pascabedah, lama rawat inap dan mortalitas. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian

diet berupa makanan tinggi kalori dan protein.

Menurut Bobak (2000), makanan yang mengandung protein dan vitamin C tinggi

dan makanan berserat serta kalori dan cairan yang cukup direkomendasikan kepada

wanita yang baru melahirkan untuk mencegah sembelit dan mempercepat penyembuhan.

Protein berfungsi sebagai zat pembangun bagi pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan

Page 25: LAPORAN KASUS PEB

tubuh, sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh, sebagai pemberi tenaga

dalam keadaan energi kurang tercukupi oleh karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra,

2008).

Penatalaksanaan diet dalam asuhan keperawatan pada pasien pascabedah kanker

kolon adalah dengan pemberian diet tinggi kalori, protein, dan karbohidrat apabila

kondisi pasien memungkinkan setelah sebelumnya diberikan diet cair penuh hingga

tanda-tanda usus mulai bekerja (Sutrisno, 2010).

Intervensi pada pasien penderita hepatoma yang telah menjalani tindakan bedah

hati yaitu dengan mendorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya protein dengan

masukan cairan adekuat, serta penggunaan suplemen dan makanan dengan porsi lebih

sedikit dan pemberian lebih sering (Wantohape, 2010).

Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi “sedang”.

(Heys SD, 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan dengan

perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah. Akibat dari

berat badan kurang preoperatif akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas

postoperatif. Komplikasi seperti bocornya anastomosis usus, dehisensi luka dan sepsis

sering ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi yang adekuat

pada pasien pascabedah berupa diet tinggi kalori tinggi protein, pada saat yang tepat,

dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga keseimbangan

pasien (Labeda, 2011).

Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah pasien mengalami platus

(usus mulai bekerja yang ditandai dengan buang angin), lalu dimulailah dengan

pemberian minuman dan makanan per oral. Sebenarnya pemberian sedikit minuman

sudah dapat diberikan 6-10 jam pascabedah berupa air putih atau air teh atau air es hisap

(ijs chip) yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua pascabedah

(Mochtar, 2000). Pemberian minuman secara bertahap dapat disebut sebagai diet

pascabedah.

Diet pascabedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani

pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam

Page 26: LAPORAN KASUS PEB

pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2006). Menurut Almatsier (2006),

adapun tujuan dari pemberian diet pascabedah adalah untuk mengupayakan agar status

gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan

meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar

(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi

lain, serta memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan

1.5 Induksi Persalinan

Induksi persalinan merupakan salah satu prosedur yang dilaksanakan untuk

impending postterm pregnancy atau kehamilan yang terancam post-term, yaitu pada usia

kehamilan lebih dari 40 minggu, tetapi sebelum 42 minggu. Jika melebihi 42 minggu, maka

termasuk kehamilan post-term, dan sebelum 40 minggu termasuk kehamilan aterm (38-

40minggu) atau preterm (20-37 minggu) (Aaron & Jennifer, 2011).

Penatalaksanaan kehamilan yang terancam akan post-term ada 3 jenis penanganan,

yaitu 1) Induksi kehamilan, 2) Tunggu hingga 42 minggu, dan 3) uji antenatal. Sebaiknya

kehamilan diakhiri sebelum minggu ke 42, karena resiko kematian janin dan ibu lebih tinggi

pada kehamilan post-term.3Metode yang terpilih untuk digunakan pada pasien adalah induksi

persalinan. Ada duametode induksi persalinan, yaitu 1) Secara kimiawi dengan menggunakan

PGE2 (misoprostol, dinoprostone cervival atau vaginal insert) atau oksitocin, 2) Secara

mekanik dengan menggunakan kateter foley pada cervix, infus saline extra-amniotik, dan

laminaria. Pada pasien, metode yang terpilih digunakan adalah drip oksitosin ditambah

dengan pemasangan kateter foley pada cervix dengan pengulangan satu kali setelah yang

pertama gagal. Ketika pengulangannya itu gagal, maka dilakukan sectio caesarea.

1.6 Anestesi Spinal

Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subArachnoid) ialah anestesi

regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang subArachnoid.

Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan memblock konduksi

impuls syaraf. Terdapat tiga bagian syarat yaitu motor, sensori dan otonom. Motor

Page 27: LAPORAN KASUS PEB

menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan ketika diblok, otot akan mengalami

paralisis. Syaraf sensori akan menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum

tulang dan ke otak, sedangkan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi

usus dan fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri

yang pertama kali diblock dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan memiliki timbal

balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang mendadak

mungkin akan terjadi ketika serabut otonom diblock dan pasien merasakan sentuhan dan

masih merasakan sakit ketika tindakan pembedahan dimulai (Said dkk, 2010)

Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal, kepuasan pasien,

tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien

diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat tonus

visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi

spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak

lebih dari dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid

dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache (Chris & William,2003)

Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus,

misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah perineum dan

genitalia. Anestesi spinal khususnya diindikasikan pada pasien lanjut usia dan pasien dengan

penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes

mellitus). Pada bagian obstetri, dengan anestesi spinal pada sectiocaesarea didapatkan

keuntungan ganda yaitu pada ibu dan bayinya. Anestesi spinal dikontra-indikasikan bila

peralatan dan obat resusitasi tidak adekuat, gangguan perdarahan, hipovolemia, pasien

menolak, pasien tidak kooperatif, septikemia, deformitas anatomi, penyakit neurologi (Chris

& William,2003)

Kontraindikasi absolut pemakaian anestesi spinal yaitu pasien menolak, infeksi pada

tempat penyuntikan, hipovolemia berat, syok, koagulopati (mendapatkan terapi

antikoagulan), tekanan intrakranial tinggi, fasilitas resusitasi minimun, kurang pengalaman,

tanpa didampingi konsultan anestesi. Sedangkan kontraindikasi relatif diantaranya infeksi

sistemik (sistemik,bakteriemia), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,

Page 28: LAPORAN KASUS PEB

kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan dan nyeri punggung

kronis (Chris & William,2003)

Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada anestesi

umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa, adakah kelainan anatomis tulang punggung

atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba prosessus spinosus. Selain itu juga harus

dipersiapkan informed consent, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang meliputi

hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial thromboplastine time).

Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan, sehingga diharapkan pasien dipersiapkan

semaksimal mungkin dan bila terdapat penyulit dapat dilakukan medikasi pre-operasi (Said

dkk, 2010)

Pasien yang telah dijadwalkan untuk pembedahan elektif umumnya berada dalam

keadaan optimal baik fisik maupun mental dengan diagnosis yang definitif dan penyakit lain

yang kadang-kadang menyertainya sudah terkendali dengan baik. Berbeda dengan penderita

emergensi yang memerlukan tindakan bedah darurat baik dengan anestesi umum atau

regional merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Hal ini disebabkan penderita

datang secara mendadak dan pada umumnya berada dalam keadaan yang kurang baik, waktu

untuk memperbaiki keadaan umum terbatas, kadang-kadang sulit untuk mengatasi penyakit

lain dan bahkan memperburuk keadaan (Said dkk, 2010).

Premedikasi pada anestesi spinal tidak perlu, namun pada pasien tertentu, dapat

diberikan benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam secara oral yang diberikan 1 jam

sebelum operasi. Agen narkotik dan sedatif dapat digunakan sesuai keadaan. Pemberaian

anticholinergics seperti atropine atau scopolamine (hyoscine) tidak perlu.(6) 

Agen anestesi lokal dapat berupa molekul berat (hiperbarik), ringan (hipobarik), dan

beberapa isobaric seperti LCS. Larutan hiperbarik cenderung menyebar kebawah, sementara

isobaric tidak dipengaruhi oleh arah. Hal ini akan lebih memudahkan untuk memperkirakan

dari pemakaian agen hiperbarik. Agen isobaric dapat dijadikan hiperbarik dengan

menambahkan dextrose. Agen hipobarik pada umumnya tidak digunakan. Beberapa agen

anestesi lokal yang digunakan pada anestesi spinal, diantaranya:(Chris & William,2003)

Page 29: LAPORAN KASUS PEB

1. Bupivacaine (Marcaine). 0.5% hiperbarik (heavy). Bupivacaine memiliki durasi kerja 2-3

jam.

2. Lignocaine (Lidocaine/Xylocaine). 5% hiperbarik (heavy), dengan durasi 45-90 minutes.

Jika ditambahkan 0.2ml adrenaline 1:1000 akan memperpanjang durasi kerja. 

3. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5% hiperbarik (heavy) sama

dengan bupivacaine. 

4. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain, Butethanol, Anethaine,

Dikain). 

5. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin). A 4% hiperbarik (heavy) sama

dengan lignocaine. 

Semua pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal, sebelumnya harus

mendapatkan cairan intravena. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan usia pasien

dan luasnya block. Seorang dewasa muda, sehat yang akan dilakukan repair hernia

membutuhkan 500cc. Pasien lanjut usia yang tidak mampu melakukan kompensasi terhadap

terjadinya vasodilatasi dan hipotensi maka minimal mendapatkan 1000cc. Jika direncanakan

akan dilakukan block tinggi, minimal 1000 cc. Pasien yang akan dilakukan sectiocaesarea

membutuhkan minimal 1500 cc. cairan yang digunakan yaitu normal saline atau larutan

Hartmann's. Dektrose 5% tidak segera dimetabolisme sehingga tidak efektif untuk

mempetahankan tekanan darah (Chris & William,2003).

Teknik anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus

dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Tempat

penyuntikan pada perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista illiaka dengan

tulang punggung, ialah L4 atau L4-5. setelah dilakukan tindakan asepsis dan diberi zat

anestesi lokal (lidokain 1-2%, 2-3 ml). Cara tusukan median atau paramedian. Tusukan

introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian dimasukkan jarum

spinal berikut mandrinnya ke lubang tersebut. Struktur yang dilalui oleh jarum spinal

sebelum mencapai CSF, diantaranya kulit, lemak sukutan, ligamentum interspinosa,

ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, ruang subarachnoid. Setelah resistensi

Page 30: LAPORAN KASUS PEB

menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisis obat dan

obat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit (Said dkk, 2010). 

Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran penyuntikan larutan anestesi lokal

adalah berat jenis dari larutan anestesi lokal, posisi pasien, konsentrasi dan volume zat

anestesi, ukuran jarum, keadaan fisik pasien tekanan intraabdominal, level penyuntikan dan

kecepatan penyuntikan. Lama kerja anestesi lokal tergantung dari berat jenis anestesi lokal,

beratnya dosis, ada tidaknya vasokonstriktor dan besarnya penyebaran anestesi local (Said

dkk, 2010). 

Komplikasi tindakan anestesi spinal diantaranya hipotensi berat, bradikardi, trauma

pembuluh darah, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-muntah,

gangguan pendengaran, block spinal tinggi atau spinal total. Sedangkan komplikasi pasca

tindakan diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala, retensi urin,

meningitis (Said dkk, 2010). 

Page 31: LAPORAN KASUS PEB

BAB III

LAPORAN KASUS

1. Identitas Pasien

Nama : Ny. Haediah

Umur : 30 Tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Alamat : Suela, Lombok Timur

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Status : Menikah

Pendidikan terakhir : SMP

MRS : 21 November 2012

No. Rekam Medik : 211574

2. Anamnesis

Keluhan Utama : nyeri di ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien seorang wanita usia 30 Tahun, G2P1H1A0, hamil 37-38 minggu bekerja sebagai

Ibu rumah tangga masuk rumah sakit tanggal 21 November 2012 nomor register 211574.

Pasien kiriman dari Puskesmas dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu

(20/11/2012), pada hari pertama nyeri dirasakan hilang timbul namun pada hari kedua

nyeri yang dirasakan semakin sering, nyeri yang dirasakan seperti diremas-remas,

memberat ketika pasien bekerja dan membaik ketika istirahat, ketika nyerinya datang

pasien merasa agak susah bernafas dan pusing berputar, selain itu pasien mengeluh 2

Page 32: LAPORAN KASUS PEB

minggu terakhir tekanan darahnya tinggi, pasien mengaku rutin memeriksa

kandungannya di bidan dan tekanan darahnya tidak pernah tinggi berkisar antara 120-

110, dan 2 minggu terakhir tekanan darah pasien berkisar 150-160. Karena tekanan

darahnya yang tinggi tersebut pasien pergi memeriksakan dirinya ke dokter, pasien

mengaku kalau dia diberikan obat penurun tekanan darah, pasien lupa nama obatnya

namun tekanan darah pasien tidak kunjung turun.

Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat hipertensi sebelumnya (-), riwayat diabetes (-),

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat tekanan darah tinggi saat hamil dalam keluarga (-), diabetes (-), riwayat tekanan

darah tinggi (-).

Riwayat Alergi :

Pasien menyangkal adanya alergi obat dan makanan

Riwayat Pengobatan :

Pasien hanya mengkonsumsi obat penurun tekanan darah yang diberikan oleh dokter

selama 2 minggu terakhir namun pasien lupa nama obatnya, pasien menyangkal

mengkonsumsi obat sebelum-sebelumnya.

3. Pemeriksaan Fisik

a. Tanggal pemeriksaan : 22 November 2012

b. Status generalis

Keadaan umum : Baik

Kesadaran : Compos mentis

Kesan gizi : Cukup

c. Pemeriksaan tanda vital

TD : 150/110 mmHg

Nadi : 104 x/ menit

Page 33: LAPORAN KASUS PEB

RR : 22 x/menit

Suhu : 36,3 oC

Kepala : Normocephali, simestris, tumor (-), jejas (-)

Mata :Anemis (-/-), ikterus (-/-), Eksophtalmus (-),pupil isokor,

reflek cahaya (+/+)3 mm, pergerakan mata ke segala arah

baik.

Hidung : Septum lurus, deformitas (-),deviasi septum (-)

Mulut : Sariawan (-), atrofi papil (-), lidah Kotor (-),sianosis (-).

Gigi : gigi palsu (-), gigi goyang (-).

Telinga : Bentuk telinga normal, simetris antara kiri dan kanan,

tanda-tanda infeksi (-)

Leher : Simetris, trakea ditengah, pembesaran KGB (-)kaku

kuduk (-),penggunaan otot SCM (-).

Thorax : pulmo : inspeksi : Bentuk dada simetris, dada kanan = dada kiri;

pergerakan dinding dada simetris, dada kanan = dada kiri,

massa (-), sikatriks (-).

Palpasi : Tidak teraba adanya massa (-), krepitasi (-),

edema (-), nyeri tekan (-),Pergerakan simetris, dada kanan

= dada kiri

Perkusi : Sonor didapatkan pada seluruh lapangan paru kiri.

Auskultasi : Vesikular +/+ di seluruh lapang paru, rhonki

-/- di seluruh lapang paru, wheezing -/-.

Cor : Iktus cordis tidak tampak, S1S2 tunggal regular, murmur

(-), gallop (-).

Extremitas : Akral hangat : +/+, deformitas (-/-), sianosis (-/-)

d. Status lokalis

Region abdomen

Inspeksi : kesan hamil, striae gravidarum (+)

Auskultasi : bising usus (+), DJJ (+) 150 x/menit

Palpasi : Tinggi fundus Uterus (TFU) 28 cm, taksiran berat janin

(TBJ) 2635 gram , His (-) 

Page 34: LAPORAN KASUS PEB

Leopold I : Teraba bagian besar, bulat, lunak 

Leopold II : Teraba tahanan memanjang di kanan, Teraba bagian kecil

di kiri

Leopold III : Teraba bagian besar, bulat , keras

Leopold IV : Hodge I

VT : VT ф 2

4. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan tanggal 21/11/2012

Urin

- Berat jenis : 1,01

- PH : 5,0

- Protein : +1

- Leukosit : 2-5

- Eritrosit : 5-10

- Epitel : 0-5

Darah

- GDS : 84 mg/dl

- Ureum : 18,2 mg/dl

- Creatinin : 0,66 mg/dl

- SGOT : 30,3 U/L

- SGPT : 33,5 U/L

- Cholesterol total : 229 mg/dl

Page 35: LAPORAN KASUS PEB

Kimia darah :

Na : 136 mmol/L

K : 4,1 mmol/L

Cl : 104 mmol/L

2. Pemeriksaan darah tanggal 22/11/2012

- WBC : 9,6 x 103/µl

- RBC : 3,59 x l06 / µl

- HB : 11,0 g/dl

- HCT : 31,7 %

- MCV : 88 fL

- MCH : 30,6 pg

- MCHC : 34,7 g/dl

- PLT : 244 x 103 / µl

5. Diagnosis

G2P1H1A0 37-38 minggu T/H/IU letkep dengan PEB + primi tua sekunder

6. Kesimpulan Pemeriksaan Fisik

Status ASA 2

Pasien dengan preeklamsia + primi tua sekunder

7. Tindakan

Tindakan yang dilakukan : Sectio Caesarea

Tanggal : 22 November 2012

Page 36: LAPORAN KASUS PEB

8. Laporan Anastesi

Status anastesi

Persiapan Anastesi

1. Informed consent

2. Stop makan dan minum selama minimal 6 jam pre-operatif

Penatalaksanaa anastesi

Jenis anastesi : Regional Anestesi (RA)

- Premedikasi : Ondansentron 1 ampul

- Medikasi : Ketorolac 30 mg

Bufanest 2 ml

Oxytosin 2 ampul

Tramadol 2 ml

Midazolam 2 mg

Pethidine 25 mg

Tekhnik anastesi :

- Pasien dalam posisi posisi tidur lateral dekubitus

- Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4

- Dilakukan Sub Arachnoid Block dengan jarum spinal no. 27 pada regio vertebra

lumbal 3-4.

- LCS keluar (+) jernih

Page 37: LAPORAN KASUS PEB

- Respirasi : Spontan 

- Posisi : Supine

- Perdarahan selama operasi : ± 150 ml

Pemantauan selama anastesi

Mulai anastesi : 09.15

Mulai operasi : 09.25

Bayi lahir : 04.45

Selesai operasi : 10.15

Cairan yang masuk:

- Pre Operasi, RL : 500 ml

- DO, Hest : 500 ml

RL : 500 ml

9. Prognosis

Dubia ad Bonam

Page 38: LAPORAN KASUS PEB

BAB IV

KESIMPULAN

G2P1H1A0 Usia 30 tahun Hamil 37-38 minggu Janin Tunggal Hidup Intra Uterin, letak

membujur presentasi kepala punggung kanan dengan Pre Eklamsia Berat disertai dengan primia

tua sekunder, maka dilakukan tindakan sectio caesarea pada tanggal 22 November 2012 di kamar

operasi atas Pre Eklamsia Berat disertai dengan primia tua sekunder. Teknik anestesi dengan

spinal anestesi (subarachnoid block) merupakan teknik anestesi sederhana, cukup efektif.

Anestesi dengan menggunakan Bufanest 2 ml. Untuk mengatasi nyeri digunakan ketorolac

sebanyak 30 mg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dengan diawasi vital sign,

tanda-tanda perdarahan.