Upload
lili-suriani
View
589
Download
21
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat tinggi. Menurut
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003) Angka kematian ibu adalah 307 per
100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh
pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih
tergolong tinggi (BPS dan ORC, 2003)
Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah pre-
eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi (Prawirohardjo,
1981.). Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria
yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui. Pada kondisi berat pre-
eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang (Wiknyosastro,
1994).
Teori yang dewasa ini banyak dikemukakan sebagai sebab preeklampsia adalah iskemia
plasenta. Akan tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangkan semua hal yang bertalian
dengan penyakit itu. Rupanya tidak hanya satu faktor, melainkan banyak faktor yang
menyebabkan terjadinya preeklampsia dan eklampsia ( multiple causation ). Faktor yang
sering ditemukan sebagai faktor risiko antara lain nulipara, kehamilan ganda, usia kurang
dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, punya riwayat keturunan, dan obesitas. Namun
diantara faktor- faktor yang ditemukan sering kali sukar ditentukan mana yang menjadi sebab
dan mana yang menjadi akibat.
Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan kesatuan penyakit, yakni yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, walaupun belum jelas bagaimana hal ini terjadi, istilah kesatuan
penyakit diartikan bahwa kedua peristiwa dasarnya sama karena eklamsia merupakan
peningkatan dari pre-eklamsia yang lebih berat dan berbahaya dengan tambahan gejala-gejala
tertentu (Wiknyosastro, 1994).
Pre-eklampsia berat dan eklampsia merupakan risiko yang membahayakan ibu di
samping membahayakan janin melalui placenta (Hovatta O & Lipasti A, 1983). Setiap tahun
sekitar 50.000 ibu meninggal di dunia karena eklampsia (Dudley, 1992). Incidens eklampsia
di negara berkembang berkisar dari 1:100 sampai 1:1700 (Crowther, 1985). Beberapa kasus
memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada stadium akhir yang
disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia tidak ditangani secara
cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena kegagalan jantung,
kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak (Royston, 1989). Oleh karena itu
kejadian kejang pada penderita eklampsia harus dihindari (Crowther, 1985) Karena
eklampsia menyebabkan angka kematian sebesar 5% atau lebih tinggi (Royston, 1989) .
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 1994 Angka Kematian Ibu
(AKI) masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF,2000).
Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua sebab itu
sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC) yang
memadai, atau pelayanan berkualitas dengan standar pelayanan yang telah ditetapkan (GOI
& UNICEF,2000) .
Untuk memenuhi target penurunan Angka Kematian Ibu pada Indonesia Sehat 2010
menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup adalah cukup memprihatinkan, oleh karenanya
perlu adanya antisipasi terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan kematian ibu. Salah
satu upaya untuk menurunkan angka kematian maternal dan perinatal yaitu dengan
peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kehamilan yang erat kaitannya dengan
kemajuan ilmu kedokteran, fasilitas dan keterampilan serta pengetahuan tenaga kesehatan
yang memeberikan pelayanan. Sectio caesarea (bedah caesar) merupakan salah satu cara
yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan. Relative mudah dan nyamannya tindakan ini
mendorong semakin banyaknya cara ini dipilih sebagai cara pengakhiran kehamilan (Mahdi,
1998).
Semakin meningkatnya kecenderungan persalinan Sectio caesarea khususnya atas
permintaan tentu bukan tanpa alasan walaupun Dirjen Yanmed dan WHO telah menetapkan
standar pelayanan persalianan Sectio caesarea tidak boleh melebihi dari 15% dari seluruh
persalinan di rumah sakit..
Sectio caesarea memberikan jalan keluar bagi kebanyakan kesulitan yang timbul bila
persalinan pervaginam tidak memungkinkan atau berbahaya, menurut statistic tentang 3.509
kasus Sectio caesarea, indikasi untuk Sectio caesarea adalah disproporsi janin-panggul 21%,
gawat janin 15%, plasenta previa 11%, pernah Sectio caesarea 10%, kelainan letak janin
10%, preeklamsia dan hipertensi 7%, dengan angka kematian ibu yang belum dikoreksi
sebesar 17% dan sudah dikoreksi 0,5%, sedangkan kematian janin 14,5% (Wikanjosastro,
2002)
WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa angka persalinan dengan
sectiocaesarea sekitar 10-15% dari semua proses persalinan di negara-negara berkembang
dibandingkan dengan 20% di Britania Raya dan 23% di Amerika Serikat. Kanada pada 2003
memiliki angka 21%. Data statistik dari 1990-an menyebutkan bahwa kurang dari 1 kematian
dari 2.500 yang menjalani bedah caesar, dibandingkan dengan 1 dari 10.000 untuk persalinan
normal (Anonim, 2012)
Bedah cesar paling umum dilakukan dalam anestesi epidural atau spinal. Kedua blok
tersebut membuat ibu untuk tetap sadar. Anestesi regional dihubungkan dengan
berkurangnya morbiditas dan mortalitas maternal dibandingkan dengan anestesi umum. Yang
secara besar dikarenakan pengurangan insiden dari aspirasi pulmo dan intubasi yang gagal
(Kleinman, et all, 2006)
1.2 Permasalahan
Metode dan teknis anestesi apa yang aman dan sebaiknya digunakan pada proses persalinan
dalam upaya untuk mengurangi angka mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janinnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.3 Pre-eklamsia
1.3.1 Definisi
Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi
(hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin
(proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam
triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan
(Manuaba, 1998). Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang
bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat bahkan
dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma
(Wiknyosastro,1994). Kejadian eklampsia di negara berkembang berkisar antara 0,3%
sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-eklampsia berat
dan eklampsia (Manuaba, 1998).
Perkataan “eklampsia” berasal dari Yunani yang berarti “halilintar” karena gejala
eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan.
Dikemukakan beberapa teori yang dapat menerangkan kejadian preeklampsia dan
eklamsia sehingga dapat menetapkan uapaya promotif dan preventif (Manuaba, 1998)
1.3.2 Epidemiologi
Di negara-negara sedang berkembang, angka kematian ibu jauh lebih tinggi. Di
Afrika sub-Sahara, angka kematian ibu rata-rata 600 per 100.000 kelahiran hidup; di
Asia selatan, 500 per 100.000 per kelahiran; di Asia Tenggara dan Amerika Latin 300
per 100.000 kelahiran hidup. Beberapa neraga maju telah menerbitkan hasil
penyelidikan konfidensial atas kematian ibu setiap 3 tahun, dengan menganalisa sebab-
sebab kematian ibu dan dibuat saran-saran untuk mencegah kematian yang terjadi, ini
telah diterbitkan di Inggris sejak 1952 dan di Australia sejak 1965. Pada tahun 1990,
diterbitkan sebuah laporan yang menganalisis semua kematian ibu yang terjadi di
Amerika Serikat yang terjadi antara tahun 1979 dan 1986. Studi dari ketiga laporan
tersebut menunjukkan bahwa penyebab kematian ibu sama pada ketiga negara tersebut
(Derek, 2001).
Dalam grafik berikut dapat ditunjukan turunnya penyebab utama kematian ibu di
England dan Wales.
Periode tiga tahun
Sumber: Derek Lewellyn John, Dasar-dasar obstetric dan ginekologi
Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah masalah besar di
negara berkembang. Di negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita subur usia
disebabkan berkaitan dengan hal kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi
faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktifitasnya. Tahun 1996,
WHO memperkirakan lebih dari 585.000 ibu per tahunnya meninggal saat hamil atau
persalinan (Crowther, 1985).
Di Afrika yang beriklim tropis ini dapat timbul dengan cepat, mlai dari tanda fisik
yang dini eklampsia berat dapat terjadi dalam 24 jam. Sekolompok peneliti
memperkirakan bahwa mulai dari timbulnya gejala eklampsia sampai dengan kematian
rata-rata memerlukan waktu hanya 2 hari (Royston, 1989).
Menurut data dari Departement Obstetrics & Ginacology, india, dari 271 ibu
hamil dengan eklampsia di “Tertiary Level Teaching Institution South India “ tercatat
70% pasien primigravida dan lebih dari 95% dari mereka tidak melaksanakan antenatal
care dan tidak menyadari bahaya eklampsia (Departement Obstetrics & Ginacology,
india).
Dari beberapa kepustakaan lain frekuensi penderita preeklampsia berkisar 3% -
10% (Rochjati dkk, 1986), hasil penelitian Erwati dkk (1994) di Padang didapatkan
kejadian preeklampsia berat 4,32 % dan eklampsia 0,89 % dengan jumlah kematian
perinatal 1,08%.
1.3.3 Gejala – gejala
Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu dari pada tanda-tanda lain
(Wiknyosastro,1994). Bila peningkatan tekanan darah tercatat pada waktu kunjungan
pertama kali dalam trimester pertama atau kedua awal, ini mungkin menunjukkan bahwa
penderita menderita hipertensi kronik. Tetapi bila tekanan darah ini meninggi dan tercatat
pada akhir trimester kedua dan ketiga, mungkin penderita menderita preeclampsia
(Michael,1992).
Peningkatan tekanan sistolik sekurang-kurangnya 30 mm Hg, atau peningkatan
tekanan diastolik sekurang-kurangnya 15 mm Hg, atau adanya tekanan sistolik sekurang-
kurangnya 140 mmHg, atau tekanan diastolik sekurang-kurangnya 90 mm Hg atau lebih
atau dengan kenaikan 20 mm Hg atau lebih, ini sudah dapat dibuat sebagai diagnose
(Ben-zion, 1994). Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak
waktu 6 jam pada keadaan istirahat. Tetapi bila diastolik sudah mencapai 100 mmHg
atau lebih, ini sebuah indikasi terjadi preeklampsia berat (Pauline, 1993).
Edema ialah penimbunan cairan secara umum dan kelebihan dalam jaringan
tubuh, dan biasanya dapat diketahui dari kenaikan berat badan serta penbengkakan pada
kaki, jari-jari tangan, dan muka, atau pembengkan pada ektrimitas dan
muka(Wiknyosastro, 1994). Edema pretibial yang ringan sering ditemukan pada
kehamilan biasa, sehingga tidak seberapa berarti untuk penentuan diagnosa pre-
eklampsia. Kenaikan berat badan ½ kg setiap minggu dalam kehamilan masih diangap
normal, tetapi bila kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali atau 3 kg dalam sebulan pre-
eklampsia harus dicurigai (Wiknyosastro, 1994). Atau bila terjadi pertambahan berat
badan lebih dari 2,5 kg tiap minggu pada akhir kehamilan mungkin merupakan tanda
preeklampsia (Michael,1992). Tambah berat yang sekonyong-konyong ini desebabkan
retensi air dalam jaringan dan kemudian oedema nampak dan edema tidak hilang dengan
istirahat (Suhardiyanto, 1996). Hal ini perlu menimbulkan kewaspadaan terhadap
timbulnya pre-eklampsia. Edema dapat terjadi pada semua derajat PIH ( Hipertensi dalam
kehamilan) tetapi hanya mempunyai nilai sedikit diagnostik kecuali jika edemanya
general (Derek,2001).
Proteinuria berarti konsentrasi protein dalam air kencing yang melebihi 0,3 g/liter
dalam air kencing 24 jam atau pemeriksaan kualitatif menunjukkan 1+ atau 2 +
( menggunakan metode turbidimetrik standard ) atau 1g/liter atau lebih dalam air kencing
yang dikeluarkan dengan kateter atau midstream untuk memperoleh urin yang bersih
yang diambil minimal 2 kali dengan jarak 6 jam (Wiknyosastro, 1994). Proteinuri
biasanya timbul lebih lambat dari hipertensi dan tambah berat badan. Proteinuri sering
ditemukan pada pre-eklampsia, rupa-rupanya karena vasospasmus pembuluh-pembuluh
darah ginjal. Karena itu harus dianggap sebagai tanda yang cukup serius. (Ben-
zion, 1994). Disamping adanya gejala yang nampak diatas pada keadaan yang lebih
lanjut timbul gejala-gejala subyektif yang membawa pasien ke dokter.
Gejala subyektif tersebut ialah: (FK. Unpad,1984)
1. Sakit kepala yang keras karena vasospasmus atau oedema otak.
2. Sakit di ulu hati karena regangan selaput hati oleh haemorrhagia atau edema, atau
sakit kerena perubahan pada lambung.
3. Gangguan penglihatan: Penglihatan menjadi kabur malahan kadang-kadang pasien
buta. Gangguan ini disebabkan vasospasmus, edema atau ablatio retinae. Perubahan
ini dapat dilihat dengan ophtalmoscop.
4. Gangguan pernafasan sampai sianosis
5. Pada keadaan berat akan diikuti gangguan kesadaran
Pre-eklampsia dibagi dalam golongan ringan dan berat, tanda /gejala
preeklampsia ringan adalah:
1. Tekanan darah sistol 140 mmHg atau kenaikan 30 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam.
2. Tekanan darah diastol 90 mmHg atau kenaikan 15 mmHg dengan interval
pemeriksaan 6 jam
3. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam seminggu
4. Proteinuria 0,3 gr atau lebih dengan tingkat kualitatif plus 1 sampai 2 pada urin
kateter atau urin aliran pertengahan.
Sedangkan penyakit preeklampsia digolongkan berat apabila satu atau lebih
tanda / gejala dibawah ini ditemukan:
1. Tekanan darah sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastole 110 mmHg atau
lebih
2. Proteinuria 5 gram atau lebih dalam 24 jam, 3+ atau 4+ pada pemeriksaan
semikuantitatif.
3. Oliguria, air kencing 400 ml atau kurang dalam 24 jam.
4. Keluhan cerebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium.
5. Edema paru-paru atau sianosis (Jeffery et all, 1999)
Disamping terdapat preeklampsia ringan dan berat / eklampsia, dapat pula
ditemukan hipertensi cronis yaitu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang
menetap. Kebanyakan wanita dengan hipertensi kronik ( Hipertensi esensial ) telah
didiognose sebelum kehamilan; kebanyakan wanita didapat menderita hipertensi pada
kunjungan antenatal pertama. Bila tanpa penyebab sekunder hipertensi (misalnya stenosis
arteri renalis atau feokromositoma), peninggian tekanan darah (> 140/90) yang menetap
dan terjadi sebelum kehamilan atau dideteksi sebelum kehamilan minggu ke 20,
diagnosis hipertensi esensial dapat ditegakkan.
Tanda klinik dan diagnosis:
1. Hipertensi terjadi pada awal kehamilan
2. Fungsi ginjal normal atau hanya terdapat sedikit albuminuria
3. Jika kehamilan kebelakang terdapat peningkatan tekanan darah dan albuminuria
secara bermakna, maka akan sulit dibedakan dengan preeklampsia berat
( Superimposed preeklampsia ).
1.3.4 Etiologi dan Patofisiologi
Sebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah
banyak teori yang mencoba menerangkan sebab – musabab penyakit tersebut, akan
tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang diterima harus
dapat menerangkan hal-hal berikut: (1) sebab bertambahnya frekuensi pada
primigrafiditas, kehamilan ganda, hidramnion dan mola hidatidosa; (2) sebab
bertambahnya frekuensi dengan makin tuanya kehamilan; (3) sebab terjadinya perbaikan
keadaan penderita dengan kematian janin dalam uterus; (4) sebab jarangnya terjadi
eklampsia pada kehamilan-kehamilan berikutnya; dan (5) sebab timbulnya hipertensi,
edema, proteinuria, kejang dan koma (Wiknyosastro, 1994).
Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklampsia disebabkan ischaemia
rahim dan plascenta (ischemaemia uteroplacentae). Selama kehamilan uterus
memerlukan darah lebih banyak. Pada molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda,
multipara, pada akhir kehamilan, pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah
ibu, diabetes , peredaran darah dalam dinding rahim kurang, maka keluarlah zat-zat dari
placenta atau decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi (FK. Unpad,
1984). Tetapi dengan teori ini tidak dapat diterangakan semua hal yang berkaitan dengan
penyakit tersebut. Rupanya tidak hanya satu faktor yang menyebabkan pre-eklampsia dan
eklampsia (Wiknyosastro, 1994).
Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotensin,
renin, dan aldosteron, sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme
dapat berlangsung. Pada pre-eklampsia dan eklampsia, terjadi penurunan
angiotensin, renin, dan aldosteron, tetapi dijumpai edema, hipertensi, dan proteinuria.
Berdasarkan teori iskemia implantasi plasenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam
sirkulasi, yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap angiotensin II, renin, dan
aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air (Manuaba,
1998).
Teori iskemia daerah implantasi plasenta, didukung kenyataan sebagai berikut:
1. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda,
dan mola hidatidosa.
2. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan
3. Gejala penyakitnya berkurang bila terjadi kamatian janin (Manuaba, 1998).
Dampak terhadap janin, pada pre-eklapsia / eklampsia terjadi vasospasmus yang
menyeluruh termasuk spasmus dari arteriol spiralis deciduae dengan akibat menurunya
aliran darah ke placenta. Dengan demikian terjadi gangguan sirkulasi fetoplacentair yang
berfungsi baik sebagai nutritive maupun oksigenasi. Pada gangguan yang kronis akan
menyebabakan gangguan pertumbuhan janin didalam kandungan disebabkan oleh
mengurangnya pemberian karbohidrat, protein, dan faktor-faktor pertumbuhan lainnya
yang seharusnya diterima oleh janin (Sibai et all, 1981).
1.3.5 Patogenesis PIH ( Pregnancy-Induced Hypertension )
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini
disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat
berkurang. Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai
batas tertentu hingga mengganggu fungsi placenta. Ketika kehamilan berlanjut,
hipoksia placenta menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis
trofoblas yang mungkin menggangu fungsi metabolik placenta. Sekresi vasodilator
prostasiklin oleh sel-sel endotial placenta berkurang dan sekresi trombosan oleh
trombosit bertambah, sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron
menurun. Akibat perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi placenta sebanyak 50
persen, hipertensi ibu, penurunan volume plasma ibu, Jika vasospasmenya menetap,
mungkin akan terjadi cedera sel epitel trofoblas, dan fragmen-fragmen trofoblas dibawa
ke paru-paru dan mengalami destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya
tromboplastin menyebabkan koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam
glomeruli ginjal (endoteliosis glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan
secara tidak langsung meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit
fibrin ini terdapat di dalam pembuluh darah sistem saraf pusat, sehingga menyebabkan
konvulsi (Derek, 2001).
Vasospasme merupakan dasar patofisiologi untuk preeklampsia-eklampsia.
Konsep ini, yang pertama kali diajukan oleh Volhard (1918) , dibuat berdasarkan hasil
pengamatan langsung terhadap pembuluh darah kecil pada pangkal kuku, fundus okuli
serta konjungtiva bulbi, dan juga sudah diperkirakan dari perubahan histologi pada
berbagai organ yang terkena. Pada preeklampsia, Hinselmann (1924), dan lalu beberapa
ahli lainnya menemukan beberapa perubahan ukuran arteriol pada dasar kuku,
dengan bukti adanya spasmesegmental yang menghasilkan daerah - daerah kontriksi
dan dilatasi yang silih berganti. Landesman dkk (1954) menjelaskan adanya
penyempitan arteriol yang nyata pada konjungtiva bulbi, yang bahkan terjadi hingga
sirkulasi kapiler secara intermiten menghilang. Bukti selanjutnya menunujukkan bahwa
perubahan vaskuler memegang peranan penting pada preeklampsia-eklampsia
ditunjukkan oleh frekuensi ditemukannya spasme arteriol retina, yang biasanya segmental
(Cunningham et all, 1995).
Penyempitan vaskuler menyebabkan hambatan aliran darah dan menerangkan
proses terjadinya hipertensi arteriol. Kemungkinan vasospasme membahayakan
pembuluh darah sendiri, karena peredaran darah dalam vasa vasorum terganggu, sehingga
terjadi kerusakan vaskuler. Pelebaran segmental, yang biasanya disertai penyempitan
arteriol segmental, mungkin mendorong lebih jauh timbulnya kerusakan vaskuler
mengingat keutuhan endotel dapat terganggu oleh segmen pembuluh darah yang melebar
dan teregang. Lebih lanjut, angiotensin II tampaknya mempengaruhi langsung sel endotel
dengan membuatnya berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel
antar endotel, sehingga melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah, seperti
trombosit dan fobrinogen, tertimbun pada lapisan subendotel (Bruner dan Gavras, 1975).
Perubahan vaskuler yang disertai dengan hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya,
diperkirakan menimbulkan perdarahan, necrose dan kelainan organ akhir lainnya yang
sering dijumpai pada pre-eklampsia berat (Cunningham et all, 1995).
Respon Presor yang Meningkat
Pada keadaan normal, wanita hamil memiliki resistensi terhadap efek presor dari
pemberian angiotensin II (Abdul karim dan Assali, 1961). Kepekaan pembuluh darah
yang meningkat terhadap hormon presor ini dan hormon lainnya pada wanita yang
menderita preeklampsia dini telah diamati oleh Raab dkk. (1956) dan Talledo dkk.
(1968), dengan menggunakan angiotensin II atau norepinefrin, dan oleh Diekmann serta
Michel (1937) dan Browne (1946) dengan menggunakan vasopresin. Selanjutnya, Gant
dkk. (1973) menunjukkna bahwa kepekaan pembuluh darah yang meningkat
terhadap angiotesin II jelas mendahului awal terjadinya hipertensi karena kehamilan.
Nulipara normal yang tensinya tetap normal (normotensif) tidak rentan terhadap efek
presor angiotensin II. Namun, wanita yang kemudian menjadi hipertensi akan kehilangan
resistensi, yang seharusnya ada terhadap angiotensin II selama kehamilan, dalam waktu
beberapa minggu sebelum timbulnya hipertensi. Dari wanita yang diteliti pada usia
kehamilan minggu ke-28 sampai ke-32 dan memerlukan pemberian angiotensin II dengan
takaran >8ng pekilogram permenit untuk merangsang respon presor yang baku, 91%
tetap normotensif sepajang kehamilan. Sebaliknya, diantara primigravida normotensif
yang yang pada minggu ke-28 sampai ke-32 memerlukan takaran <8ng per kg per menit
untuk suatu respon presor, 90% kemudian akan mengalami hipertensi yang nyata
(Cunningham et all, 1995).
1.3.6 Faktor Predisposisi
Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami pre-eklampsia biala mempunyai
faktor-faktor predisposing sebagai berikut:
1. Nulipara
2. Kehamilan ganda
3. Usia < 20 atau > 35 th
4. Riwayat pre-eklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya
5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita pre-eklampsia
6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum kehamilan
7. Obesitas.
1.3.7 Pencegahan kejadian pre-eklampsia dan eklampsia.
Pre-eklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang
berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis
dini dapat mengurangi kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian. Untuk
dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan
memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan untuk
menentukan proteinuria (Wiknyosastro, 1994).
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda dini
pre-eklampsia, dan dalam hal itu harus dilakukan penanganan semestinya. Karena para
wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan tanda-tanda
preeklampsia yang sudah terjadi, maka deteksi dini keadaan ini memerlukan pengamatan
yang cermat dengan masa-masa interval yang tepat (Cunningham et all, 1995). Kita perlu
lebih waspada akan timbulnya pre-eklampsia dengan adanya faktor-faktor predisposisi
seperti yang telah diuraikan diatas. Walaupun timbulnya pre-eklampsia tidak dapat
dicegah sepenuhnya, namun frekuensinya dapat dikurangi dengan pemberian penerangan
secukupnya dan pelaksanaan pengawasan yang baik pada wanita hamil, antara lain:
a. Diet makanan
Makanan tinggi protein, tinggi karbohidrat, cukup vitamin, dan rendah lemak. Kurangi
garam apabila berat badan bertambah atau edema. Makanan berorientasi pada empat
sehat lima sempurna. Untuk meningkatkan protein dengan tambahan satu butir telus
setiap hari.
b. Cukup istirahat
Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya dan
disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring ke arah
punggung janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
c. Pengawasan antenatal ( hamil )
Bila terjadi perubahan perasaan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat
pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian:
1. Uji kemungkinan pre-eklampsia:
a. Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b. Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c. Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d. Pemeriksaan protein urin
e. Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran
darah umum, dan pemeriksaan retina mata.
2. Penilainan kondisi janin dalam rahim
a. Pemantauan tingi fundus uteri
b. Pemeriksaan janin: gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin,
pemantauan air ketuban
c. Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi.
Dalam keadaan yang meragukan, maka merujuk penderita merupakan sikap yang
harus dipilah (Manuaba, 1998).
1.3.8 Penanganan pre-eklampsia
Eklampsia merupakan komplikasi obstetri kedua yang menyebabkan 20 – 30%
kematian ibu. Komplikasi ini sesungguhnya dapat dikenali dan dicegah sejak masa
kehamilan (preeklampsia). Preeklampsia yang tidak mendapatkan tindak lanjut yang
adekuat ( dirujuk ke dokter, pemantauan yang ketat, konseling dan persalinan di rumah
sakit ) dapat menyebabkan terjadinya eklampsia pada trimester ketiga yang dapat
berakhit dengan kematian ibu dan janin.
Penanganan pre-eklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi
eklampsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan optimal
dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal. Pengobatan hanya dilakukan secara
simtomatis karena etiologi pre-eklampsia, dan faktor-faktor apa dalam kahamilan yang
menyebabkannya, belum diketahui. Tujuan utama penanganan ialah (1) mencegah
terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia; (2) melahirkan janin hidup; (3) melahirkan
janin dengan trauma sekecil-kecilnya.
Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medik dan
penanganan obtetrik (Wiknyosastro, 1994). Pada pre-eklampsia ringan ( tekanan darah
140/90 mmHg samoai 160/100 mmHg ) penanganan simtomatis dan berobat jalan masih
mungkin ditangani di puskesmas dan dibawah pengawasan dokter, dengan tindakan yang
diberikan:
1. Menganjurkan ibu untuk istirahat ( bila bekerja diharuskan cuti ), dan menjelaskan
kemungkinan adanya bahaya. )
2. Sedativa ringan.
a. Phenobarbital 3 x 30 mg
b. Valium 3 x 10 mg
3. Obat penunjang
a. Vitamin B kompleks
b. Vitamin C atau vitamin E
c. Zat besi
4. Nasehat
a. Garam dalam makan dukurangi
b. Lebih banyak istirahat baring kearah punggung janin
c. Segera datang memeriksakan diri, bila terdapat gejala sakit kepala, mata kabur,
edema mendadak atau berat badan naik, pernafasan semakin sesak, nyeri
epigastrium, kesadaran makin berkurang, gerak janin melemah-berkurang,
pengeluaran urin berkurang (Manuaba,1998).
5. Jadwal pemeriksaan hamil dipercepat dan diperketat.
Petunjuk untuk segera memasukkan penderita ke rumah sakit atau merujuk penderita
perlu memperhatikan hal berikut:
a. Bila tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
b. Protein dalam urin 1 plus atau lebih
c. Kenaikan berat badan 11/2 kg atau lebih dalam seminggu
d. Edema bertambah dengan mendadak
e. Terdapat gejala dan keluhan subyektif.
Penanganan abstetri ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal,
yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk
hidup di luar uterus. Setelah persalinan berakhir, jarang terjadi eklampsia, dan janin
yang sudah cukup matur lebih baik hidup diluar kandungan dari pada dalam uterus.
1.4 Sectio Caesarea
1.4.1 Definisi
Istilah sectio caesarea berasal dari perkataan Latin yaitu ”caedere”, yang artinya
memotong. Pengertian ini semula ditemukan dalam Roman Law (Lex Regia) dan
Emperor’s Law (Lex Caesarea), yaitu undang-undang yang meghendaki supaya janin
dalam kandungan ibu-ibu yang meninggal harus dikeluarkan dari dalam rahim (Mochtar,
2000). Sectio caesarea adalah persalinan melalui pembedahan untuk mengeluarkan bayi
dari rahim lewat suatu irisan/sayatan pada perut bagian bawah dan rahim (Whalley dkk,
2008). Menurut Mochtar (2000), pada masa dulu, sectio caesarea dilakukan atas
indikasi yang terbatas pada panggul sempit dan plasenta previa. Meningkatnya angka
kejadian sectio caesarea pada waktu sekarang ini, disebabkan karena berkembangnya
indikasi dan makin kecilnya resiko dan mortalitas dengan cara ini karena kemajuan
teknik operasi dan anastesi, serta ampuhnya antibiotika dan kemoterapi.
Menurut Indiarti (2006), alasan untuk melakukan sectio caesarea pada ibu hamil
atau ibu dalam persalinan adalah plasenta menghalangi jalan lahir (placenta previa),
perdarahan dalam kehamilan lanilla, kelainan letak (seperti letak lintang, letak
sungsang), ketidaksesuaian antara jalan lahir ibu dengan besarnya janin atau presentasi
janin (panggul sempit, anak besar, letak dahi, letak muka, dan sebagainya), ketuban
pecah sebelum waktunya yang setelah diantisipasi tidak memberikan kemajuan dalam
persalinan, persalinan tidak maju, drip oksitosin yang gagal, ibu mengalami preeklamsi
berat (keracunan kehamilan, hipertensi dalam kehamilan) atau eklamsi (preeklamsi yang
disertai kejang), serta kelainan bentuk rahim.
1.4.2 Jenis Sectio Caesarea
Menurut Sinaga (2009), ada dua jenis jenis sectio caesarea yang dikenal yaitu
sectio caesarea transperitonealis dan sectio caesarea ekstraperitonealis. Sectio caesarea
transperitonealis terdiri atas dua bagian yaitu sectio caesarea klasik dan sectio caesarea
profunda. Sectio caesarea klasik merupakan pembedahan dimana pembedahan
dilakukan dengan sayatan memanjang pada korpus uteri kira-kira sepanjang 10 cm.
Keuntungan tindakan ini adalah mengeluarkan janin lebih cepat, tidak mengakibatkan
komplikasi kandung kemih tertarik dan sayatan bias diperpanjang proksimal dan distal.
Kerugian yang dapat muncul adalah infeksi mudah menyebar secara intraabdominal dan
lebih sering terjadi ruptura uteri spontan pada persalinan berikutnya.
Sectio caesarea profunda dikenal juga dengan sebutan low cervical yaitu
sayatan pada segmen bawah rahim. Keuntungannya adalah penjahitan luka lebih mudah,
kemungkinan rupture uteri spontan lebih kecil dibandingkan dengan sectio caesarea
dengan cara klasik, sedangkan kekurangannya yaitu perdarahan yang banyak dan
keluhan pada kandung kemih postoperative tinggi.
Sectio caesarea ekstraperitonealis, yaitu sectio caesarea berulang pada seorang
pasien yang pernah melakukan sectio caesarea sebelumnya. Biasanya dilakukan di atas
bekas luka yang lama. Tindakan ini dilakukan dengan insisi dinding dan fasia abdomen
sementara peritoneum dipotong ke arah kepala untuk memaparkan segmen bawah uterus
sehingga uterus dapat dibuka secara ekstraperitoneum. Pada saat ini pembedahan ini tidak
banyak dilakukan lagi untuk mengurangi bahaya infeksi puerperal.
1.4.3 Indikasi Sectio Caesarea
1. Indikasi Medis
Melahirkan dengan cara sectio caesarea sebaiknya dilakukan atas pertimbangan
medis dengan memperhatikan kesehatan ibu maupun bayinya. Artinya, janin atau ibu
dalam keadaan gawat dan hanya dapat diselamatkan jika persalinan dilakukan dengan
jalan sectio caesarea, dengan tujuan untuk memperkecil terjadinya risiko yang
membahayakan jiwa ibu dan bayinya.
a. Faktor janin
Menurut Sinaga (2009), faktor janin turut menjadi indikasi medis dari section
caesarea. Faktor janin meliputi bayi terlalu besar, kelainan letak bayi, ancaman
gawat janin (fetal distress), bayi kembar, dan faktor plasenta. Berat bayi lahir
sekitar 4000 gram atau lebih (giant baby), menyebabkan bayi sulit keluar dari
jalan lahir. Umumnya, pertumbuhan janin yang berlebihan karena ibu menderita
kencing manis (diabetes mellitus), yang biasanya disebut bayi besar objektif.
Bayi terlalu besar mempunyai risiko 4 kali lebih besar untuk terjadinya
komplikasi persalinan.
Kelainan letak bayi meliputi letak sungsang dan letak lintang. Saat ini lebih
banyak bayi letak sungsang yang lahir dengan sectio caesarea. Hal ini karena
risiko kematian dan cacat/kecelakaan lewat vagina (spontan) jauh lebih tinggi.
Lebih dari 50% bayi pernah mengalami letak sungsang dalam kurun 9 bulan
kehamilan. Penyebab letak sungsang sering tidak diketahui pasti, secara teori
dapat terjadi karena faktor ibu seperti kelainan bentuk rahim, tumor jinak
rahim/mioma, dan letak plasenta yang lebih rendah (Sinaga, 2009). Letak lintang
merupakan kelainan letak janin di dalam rahim pada kehamilan tua (hamil 8-
9bulan) yaitu kepala ada di samping kanan atau kiri dalam rahim ibu. Bayi letak
lintang tidak dapat lahir melalui jalan lahir biasa, karena sumbu tubuh janin
melintang terhadap sumbu tubuh ibu. Bayi membutuhkan pertolongan sectio
caesarea.
Ancaman gawat janin (fetal distress), yaitu keadaan gawat janin pada tahap
persalinan, dimana pada keadaan tersebut memungkinkan dokter memutuskan
untuk melakukan operasi, apalagi ditunjang kondisi ibu yang kurang
menguntungkan. Bila ibu menderita tekanan darah tinggi atau kejang pada rahim,
mengakibatkan gangguan pada ari-ari dan tali pusat sehingga aliran oksigen
kepada bayi menjadi berkurang. Kondisi ini bisa menyebabkan janin mengalami
kerusakan otak, bahkan tidak jarang meninggal dalam rahim.
Kehamilan kembar adalah kehamilan dengan dua janin atau lebih. Kehamilan
kembar dapat memberi risiko yang lebih tinggi terhadap ibu dan bayi. Oleh
karena itu dalam menghadapi kehamilan kembar harus dilakukan pengawasan
hamil yang lebih intensif. Namun jika ibu mengandung 3 janin atau lebih maka
sebaiknya menjalani sectio caesarea. Hal ini akan menjamin bayi-bayi tersebut
dilahirkan dalam kondisi sebaik mungkin dengan trauma minimum.
Faktor plasenta meliputi plasenta previa dan solusio plasenta. Plasenta Previa
adalah plasenta yang ada di depan jalan lahir (prae=di depan; vias = jalan). Jadi
yang dimaksud dengan plasenta yang implantasinya tidak normal ialah rendah
sekali sehingga menutupi seluruh atau sebagian ostium internum. Implantasi
plasenta yang normal ialah pada dinding depan atau dinding belakang rahim di
daerah fundus uteri (Sinaga, 2009). Plasenta previa dibagi menjadi tiga, yaitu
plasenta previa totalis, plasenta previa lateralis, dan plasenta previa marginalis.
Plasenta previa menyebabkan bagian terdepan janin sering sekali sulit untuk
memasuki pintu atas panggul, oleh karena itu dilakukan sectio caesarea. Sectio
caesarea pada plasenta previa selain untuk mengurangi kematian bayi, juga
terutama dilakukan untuk kepentingan ibu, maka sectio caesarea juga dilakukan
pada plasenta previa walaupun anak sudah mati.
Solusio plasenta merupakan kondisi dimana plasenta terlepas dari dinding rahim
baik sebagian maupun seluruhnya dari tempatnya berimplantasi sebelum anak
lahir. Solusio plasenta bisa terjadi setiap waktu setelah kehamilan 20 minggu,
kebanyakan terjadi dalam trimester ketiga. Pelepasan plasenta biasanya ditandai
dengan perdarahan yang bisa keluar dari vagina, tetapi bisa juga tersembunyi
dalam rahim, yang dapat membahayakan ibu dan janinnya. Persalinan dengan
sectio caesarea biasanya dilakukan untuk menolong agar janin segera lahir
sebelum mengalami kekurangan oksigen atau keracunan air ketuban dan
menghentikan perdarahan yang mengancam nyawa ibu.
b. Faktor Ibu
Faktor ibu yang menjadi indikasi medis dari tindakan sectio caesarea adalah
disproporsi sefalo pelvik (ketidakseimbangan kepala dan panggul ibu), mencakup
panggul sempit, fetus yang tumbuh terlampau besar atau adanya
ketidakseimbangan relatif antara ukuran kepala bayi dan pelvis (panggul). Selain
itu, ada faktor disfungsi uterus yang mencakup kerja uterus yang tidak
terkoordinasi, hal ini menyebabkan tidak adanya kekuatan untuk mendorong bayi
keluar dari rahim, sehingga menyebabkan kemajuannya terhenti sama sekali, dan
perlu penanganan dengan sectio caesarea.
Ruptura uteri (robekan rahim) juga menjadi salah satu indikasi medis sectio
caesarea yang berasal dari ibu. Ruptura uteri adalah keadaan robekan pada rahim
dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dengan rongga
peritoneum. Secara teori robekan rahim dapat dibagi menjadi dua, yaitu ruptura
uteri spontan (karena dinding rahim lemah) dan ruptura uteri violenta (karena
trauma pertolongan versi dan ekstraksi, ekstraksi forsep, kuretase, manual
plasenta).
Partus tak maju juga merupakan indikasi medis yang lain dari sectio caesarea.
Partus tak maju berarti bahwa meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak dapat
turun karena faktor mekanis. Partus tak maju dapat disebabkan oleh karena
disproporsi sefalo pelvik, malpresentase dan neoplasma yang menyumbat jalan
lahir. Partus tak maju adalah persalinan yang berlangsung lebih dari 24 jam pada
primipara, dan lebih dari 18 jam pada multipara. Indikasi yang lain yaitu Pre-
eklampsia dan eklampsia (PE/E). Pre-eklampsia adalah suatu sindrom yang
dijumpai pada ibu hamil di atas 20 minggu ditandai dengan hipertensi dan
proteinuria dengan atau tanpa edema. Eklampsia adalah pre-eklampsia disertai
dengan gejala kejang umum yang terjadi pada waktu hamil, waktu partus atau
dalam 7 hari post partum bukan karena epilepsi.
2. Indikasi Sosial
Selain indikasi medis terdapat indikasi sosial untuk melakukan sectio caesarea.
Menurut penelitian yang dilakukan sebuah badan di Washington DC, Amerika
Serikat, pada tahun 1994 menunjukkan bahwa setengah dari jumlah persalinan sectio
caesarea, yang secara medis sebenarnya tidak diperlukan. Artinya tidak ada
kedaruratan persalinan untuk menyelamatkan ibu dan janin yang dikandungnya.
Indikasi sosial timbul oleh karena permintaan pasien walaupun tidak ada masalah
atau kesulitan dalam persalinan normal. Hal ini didukung oleh adanya mitos-mitos
yang berkembang di masyarakat.
Persalinan yang dilakukan dengan sectio caesarea sering dikaitkan dengan
masalah kepercayaan yang masih berkembang di Indonesia. Masih banyak penduduk
di kota-kota besar mengaitkan waktu kelahiran dengan peruntungan nasib anak dilihat
dari faktor ekonomi. Tentunya tindakan sectio caesarea dilakukan dengan harapan
apabila anak dilahirkan pada tanggal dan jam tertentu, maka akan memperoleh rezeki
dan kehidupan yang baik. Adanya ketakutan ibu-ibu akan kerusakan jalan lahir
(vagina) sebagai akibat dari persalinan normal, menjadi alasan ibu memilih bersalin
dengan cara sectio caesarea. Padahal penelitian membuktikan bahwa mitos tersebut
tidak benar karena penyembuhan luka di daerah vagina hampir sempurna.
Pendapat lain yaitu, bayi yang dilahirkan dengan sectio caesarea menjadi lebih
pandai karena kepalanya tidak terjepit di jalan lahir. Padahal sebenarnya tidak ada
perbedaan antara kecerdasan bayi yang dilahirkan dengan cara sectio caesarea
ataupun pervagina. Di sisi lain, persalinan dengan sectio caesarea dipilih oleh ibu
bersalin karena tidak mau mengalami rasa sakit dalam waktu yang lama. Hal ini
terjadi karena kekhawatiran atau kecemasan menghadapi rasa sakit pada persalinan
normal.
1.4.4 Diet pada Pasien Pascabedah Sectio Caesarea
Kebanyakan ahli gizi menyarankan agar wanita yang memberikan ASI dalam
periode setelah melahirkan mendapatkan paling sedikit 2500 kalori (10500 kJ) dalam satu
hari (Llewellyn, 2002). Sama halnya dengan wanita yang melahirkan secara normal,
wanita yang melahirkan secara sectio caesarea juga memerlukan asupan makanan yang
kaya energi dan protein. Pemberian diet pada pasien pascabedah sectio caesarea pada
dasarnya sama dengan diet yang diberikan pada pasien pascabedah lainnya yaitu dengan
memberikan diet yang mengandung tinggi kalori dan protein.
Pembedahan merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invansif
dengan cara membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan yang akan ditangani
melalui sayatan yang diakhiri dengan penutupan dan dan penjahitan luka, dimana pada
masa setelah operasi terjadi suatu fase metabolisme baik anabolisme maupun katabolisme
(Susetyowati, 2010).
Suatu survei populasi pasien bedah di Rumah Sakit Pendidikan Auckland (New
Zealand) menemukan bahwa 1 dari 5 pasien mengalami kurang energi protein, pada
pasien bedah umum dengan penyakit gastrointestinal mayor dijumpai bahwa 1 dari 2 atau
3 pasien mengalami kurang energi protein, sehingga dalam perawatannya perlu diberikan
diet TKTP untuk mengatasi kekurangan energi dan protein tersebut (Susetyowati, dkk,
2010). Demikian halnya dengan pasien pascabedah sectio caesarea, diberikan diet TKTP
dalam perawatannya untuk mendukung kecepatan pemulihan pasien.
Pasien yang menjalani operasi atau tindakan bedah juga beresiko mengalami
malnutrisi akibat menjalani puasa, stress operasi, dan peningkatan metabolisme yang
terjadi sehingga diberikan nutrisi perioperatif yaitu nutrisi yang diberikan pada pasien
prabedah/praoperatif, durante/intraoperatif, dan pascabedah/pascaoperatif, yang bertujuan
untuk mencapai hasil yang optimal dari operasi, dan mengurangi morbiditas operasi
diantaranya infeksi luka operasi, penyembuhan luka yang lambat, pneumonia, dan sepsis
(Pennington, et al, 2000).
Pemberian diet pada pasien bedah adalah menyediakan kalori, protein, vitamin,
mineral, dan trace element yang adekuat untuk mengkoreksi kehilangan komposisi
tubuh dan untuk mempertahankan keadaan normal dari zat-zat gizi tersebut. Oleh karena
itu pada pasien-pasien hipoalbumin khususnya dan pasien bedah pada umumnya di
RSUP Dr. Kariadi diberikan diet TKTP (Anonymous, 2011).
Survei menemukan bahwa 40-50% dari pasien dirawat rumah sakit beresiko
untuk malnutrisi dan sampai dengan 12% yang mengalami gizi buruk. Menurut
Nurhidayah (2009), pada kasus bedah kejadian kekurangan nutrisi lebih sering ditemukan
pada penderita pascaoperasi yang membutuhkan perawatan lama atau memang sudah
didasari oleh kondisi preoperatif yang dialami sebelumnya. Hal ini menyebabkan
penyembuhan menjadi terhambat, diikuti dengan meningkatnya resiko infeksi
pascabedah, lama rawat inap dan mortalitas. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian
diet berupa makanan tinggi kalori dan protein.
Menurut Bobak (2000), makanan yang mengandung protein dan vitamin C tinggi
dan makanan berserat serta kalori dan cairan yang cukup direkomendasikan kepada
wanita yang baru melahirkan untuk mencegah sembelit dan mempercepat penyembuhan.
Protein berfungsi sebagai zat pembangun bagi pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan
tubuh, sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh, sebagai pemberi tenaga
dalam keadaan energi kurang tercukupi oleh karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra,
2008).
Penatalaksanaan diet dalam asuhan keperawatan pada pasien pascabedah kanker
kolon adalah dengan pemberian diet tinggi kalori, protein, dan karbohidrat apabila
kondisi pasien memungkinkan setelah sebelumnya diberikan diet cair penuh hingga
tanda-tanda usus mulai bekerja (Sutrisno, 2010).
Intervensi pada pasien penderita hepatoma yang telah menjalani tindakan bedah
hati yaitu dengan mendorong pasien untuk makan diet tinggi kalori kaya protein dengan
masukan cairan adekuat, serta penggunaan suplemen dan makanan dengan porsi lebih
sedikit dan pemberian lebih sering (Wantohape, 2010).
Lebih dari 1/3 pasien bedah gastrointestinal mengalami malnutrisi “sedang”.
(Heys SD, 1999). Malnutrisi dan berat badan yang kurang berhubungan dengan
perubahan fisiologi seluler dan fungsi organ yang penting pada pasien bedah. Akibat dari
berat badan kurang preoperatif akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
postoperatif. Komplikasi seperti bocornya anastomosis usus, dehisensi luka dan sepsis
sering ditemukan pada pasien-pasien dengan malnutrisi. Terapi nutrisi yang adekuat
pada pasien pascabedah berupa diet tinggi kalori tinggi protein, pada saat yang tepat,
dengan pemberian antibiotik dan terapi suportif lainnya akan menjaga keseimbangan
pasien (Labeda, 2011).
Pemberian cairan per infus biasanya dihentikan setelah pasien mengalami platus
(usus mulai bekerja yang ditandai dengan buang angin), lalu dimulailah dengan
pemberian minuman dan makanan per oral. Sebenarnya pemberian sedikit minuman
sudah dapat diberikan 6-10 jam pascabedah berupa air putih atau air teh atau air es hisap
(ijs chip) yang jumlahnya dapat dinaikkan pada hari pertama dan kedua pascabedah
(Mochtar, 2000). Pemberian minuman secara bertahap dapat disebut sebagai diet
pascabedah.
Diet pascabedah adalah makanan yang diberikan kepada pasien setelah menjalani
pembedahan. Pengaturan makanan sesudah pembedahan tergantung pada macam
pembedahan dan jenis penyakit penyerta (Almatsier, 2006). Menurut Almatsier (2006),
adapun tujuan dari pemberian diet pascabedah adalah untuk mengupayakan agar status
gizi pasien segera kembali normal untuk mempercepat proses penyembuhan dan
meningkatkan daya tahan tubuh pasien, dengan cara memberikan kebutuhan dasar
(cairan, energi, protein), mengganti kehilangan protein, glikogen, zat besi, dan zat gizi
lain, serta memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan cairan
1.5 Induksi Persalinan
Induksi persalinan merupakan salah satu prosedur yang dilaksanakan untuk
impending postterm pregnancy atau kehamilan yang terancam post-term, yaitu pada usia
kehamilan lebih dari 40 minggu, tetapi sebelum 42 minggu. Jika melebihi 42 minggu, maka
termasuk kehamilan post-term, dan sebelum 40 minggu termasuk kehamilan aterm (38-
40minggu) atau preterm (20-37 minggu) (Aaron & Jennifer, 2011).
Penatalaksanaan kehamilan yang terancam akan post-term ada 3 jenis penanganan,
yaitu 1) Induksi kehamilan, 2) Tunggu hingga 42 minggu, dan 3) uji antenatal. Sebaiknya
kehamilan diakhiri sebelum minggu ke 42, karena resiko kematian janin dan ibu lebih tinggi
pada kehamilan post-term.3Metode yang terpilih untuk digunakan pada pasien adalah induksi
persalinan. Ada duametode induksi persalinan, yaitu 1) Secara kimiawi dengan menggunakan
PGE2 (misoprostol, dinoprostone cervival atau vaginal insert) atau oksitocin, 2) Secara
mekanik dengan menggunakan kateter foley pada cervix, infus saline extra-amniotik, dan
laminaria. Pada pasien, metode yang terpilih digunakan adalah drip oksitosin ditambah
dengan pemasangan kateter foley pada cervix dengan pengulangan satu kali setelah yang
pertama gagal. Ketika pengulangannya itu gagal, maka dilakukan sectio caesarea.
1.6 Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal, intradural, subdural, subArachnoid) ialah anestesi
regional dengan tindakan penyuntikan obat anestesi lokal ke dalam ruang subArachnoid.
Larutan anestesi lokal yang disuntikan pada ruang subarachnoid akan memblock konduksi
impuls syaraf. Terdapat tiga bagian syarat yaitu motor, sensori dan otonom. Motor
menyampaikan pesan ke otot untuk berkontraksi dan ketika diblok, otot akan mengalami
paralisis. Syaraf sensori akan menghantarkan sensasi seperti rabaan dan nyeri ke sumsum
tulang dan ke otak, sedangkan syaraf otonom akan mengontrol tekanan darah, nadi, kontraksi
usus dan fungsi lainnya yang diluar kesadaran. Pada umumnya, serabut otonom dan nyeri
yang pertama kali diblock dan serabut motor yang terakhir. hal ini akan memiliki timbal
balik yang penting. Contohnya, vasodilatasi dan penurunan tekanan darah yang mendadak
mungkin akan terjadi ketika serabut otonom diblock dan pasien merasakan sentuhan dan
masih merasakan sakit ketika tindakan pembedahan dimulai (Said dkk, 2010)
Kelebihan pemakaian anestesi spinal, diantaranya biaya minimal, kepuasan pasien,
tidak ada efek pada pernafasan, jalan nafas pasien terjaga, dapat dilakukan pada pasien
diabetes mellitus, perdarahan minimal, aliran darah splancnic meningkat, terdapat tonus
visceral, jarang terjadi gangguan koagulasi. Sedangkan kekurangan pemakaian anestesi
spinal akan menimbulkan hipotensi, hanya dapat digunakan pada operasi dengan durasi tidak
lebih dari dua jam, bila tidak aseptik akan menimbulkan infeksi dalam ruang subarachnoid
dan meningitis, serta kemungkinan terjadi postural headache (Chris & William,2003)
Anestesi spinal merupakan pilihan anestesi pada daerah dibawah umbilikus,
misalnya repair hernia, ginekologi, operasi urogenital dan operasi di daerah perineum dan
genitalia. Anestesi spinal khususnya diindikasikan pada pasien lanjut usia dan pasien dengan
penyakit sistemik seperti penyakit pernafasan, hepar, renal dan gangguan endokrin (diabetes
mellitus). Pada bagian obstetri, dengan anestesi spinal pada sectiocaesarea didapatkan
keuntungan ganda yaitu pada ibu dan bayinya. Anestesi spinal dikontra-indikasikan bila
peralatan dan obat resusitasi tidak adekuat, gangguan perdarahan, hipovolemia, pasien
menolak, pasien tidak kooperatif, septikemia, deformitas anatomi, penyakit neurologi (Chris
& William,2003)
Kontraindikasi absolut pemakaian anestesi spinal yaitu pasien menolak, infeksi pada
tempat penyuntikan, hipovolemia berat, syok, koagulopati (mendapatkan terapi
antikoagulan), tekanan intrakranial tinggi, fasilitas resusitasi minimun, kurang pengalaman,
tanpa didampingi konsultan anestesi. Sedangkan kontraindikasi relatif diantaranya infeksi
sistemik (sistemik,bakteriemia), infeksi sekitar tempat suntikan, kelainan neurologis,
kelainan psikis, bedah lama, penyakit jantung, hipovolemia ringan dan nyeri punggung
kronis (Chris & William,2003)
Pada dasarnya persiapan untuk anestesia spinal seperti persiapan pada anestesi
umum. Daerah sekitar tempat tusukan diperiksa, adakah kelainan anatomis tulang punggung
atau pasien gemuk sekali sehingga tidak teraba prosessus spinosus. Selain itu juga harus
dipersiapkan informed consent, pemeriksaan fisik dan laboratorium yang meliputi
hemoglobin, hematokrit, PT (prothrombine time) dan PTT (partial thromboplastine time).
Persiapan pre-operasi sangat penting dilakukan, sehingga diharapkan pasien dipersiapkan
semaksimal mungkin dan bila terdapat penyulit dapat dilakukan medikasi pre-operasi (Said
dkk, 2010)
Pasien yang telah dijadwalkan untuk pembedahan elektif umumnya berada dalam
keadaan optimal baik fisik maupun mental dengan diagnosis yang definitif dan penyakit lain
yang kadang-kadang menyertainya sudah terkendali dengan baik. Berbeda dengan penderita
emergensi yang memerlukan tindakan bedah darurat baik dengan anestesi umum atau
regional merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Hal ini disebabkan penderita
datang secara mendadak dan pada umumnya berada dalam keadaan yang kurang baik, waktu
untuk memperbaiki keadaan umum terbatas, kadang-kadang sulit untuk mengatasi penyakit
lain dan bahkan memperburuk keadaan (Said dkk, 2010).
Premedikasi pada anestesi spinal tidak perlu, namun pada pasien tertentu, dapat
diberikan benzodiazepine seperti 5-10 mg diazepam secara oral yang diberikan 1 jam
sebelum operasi. Agen narkotik dan sedatif dapat digunakan sesuai keadaan. Pemberaian
anticholinergics seperti atropine atau scopolamine (hyoscine) tidak perlu.(6)
Agen anestesi lokal dapat berupa molekul berat (hiperbarik), ringan (hipobarik), dan
beberapa isobaric seperti LCS. Larutan hiperbarik cenderung menyebar kebawah, sementara
isobaric tidak dipengaruhi oleh arah. Hal ini akan lebih memudahkan untuk memperkirakan
dari pemakaian agen hiperbarik. Agen isobaric dapat dijadikan hiperbarik dengan
menambahkan dextrose. Agen hipobarik pada umumnya tidak digunakan. Beberapa agen
anestesi lokal yang digunakan pada anestesi spinal, diantaranya:(Chris & William,2003)
1. Bupivacaine (Marcaine). 0.5% hiperbarik (heavy). Bupivacaine memiliki durasi kerja 2-3
jam.
2. Lignocaine (Lidocaine/Xylocaine). 5% hiperbarik (heavy), dengan durasi 45-90 minutes.
Jika ditambahkan 0.2ml adrenaline 1:1000 akan memperpanjang durasi kerja.
3. Cinchocaine (Nupercaine, Dibucaine, Percaine, Sovcaine). 0.5% hiperbarik (heavy) sama
dengan bupivacaine.
4. Amethocaine (Tetracaine, Pantocaine, Pontocaine, Decicain, Butethanol, Anethaine,
Dikain).
5. Mepivacaine (Scandicaine, Carbocaine, Meaverin). A 4% hiperbarik (heavy) sama
dengan lignocaine.
Semua pasien yang akan dilakukan tindakan anestesi spinal, sebelumnya harus
mendapatkan cairan intravena. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan usia pasien
dan luasnya block. Seorang dewasa muda, sehat yang akan dilakukan repair hernia
membutuhkan 500cc. Pasien lanjut usia yang tidak mampu melakukan kompensasi terhadap
terjadinya vasodilatasi dan hipotensi maka minimal mendapatkan 1000cc. Jika direncanakan
akan dilakukan block tinggi, minimal 1000 cc. Pasien yang akan dilakukan sectiocaesarea
membutuhkan minimal 1500 cc. cairan yang digunakan yaitu normal saline atau larutan
Hartmann's. Dektrose 5% tidak segera dimetabolisme sehingga tidak efektif untuk
mempetahankan tekanan darah (Chris & William,2003).
Teknik anestesi spinal yaitu dengan posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus
dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Tempat
penyuntikan pada perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista illiaka dengan
tulang punggung, ialah L4 atau L4-5. setelah dilakukan tindakan asepsis dan diberi zat
anestesi lokal (lidokain 1-2%, 2-3 ml). Cara tusukan median atau paramedian. Tusukan
introducer sedalam kira-kira 2cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian dimasukkan jarum
spinal berikut mandrinnya ke lubang tersebut. Struktur yang dilalui oleh jarum spinal
sebelum mencapai CSF, diantaranya kulit, lemak sukutan, ligamentum interspinosa,
ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, ruang subarachnoid. Setelah resistensi
menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisis obat dan
obat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi aspirasi sedikit (Said dkk, 2010).
Faktor yang berpengaruh terhadap penyebaran penyuntikan larutan anestesi lokal
adalah berat jenis dari larutan anestesi lokal, posisi pasien, konsentrasi dan volume zat
anestesi, ukuran jarum, keadaan fisik pasien tekanan intraabdominal, level penyuntikan dan
kecepatan penyuntikan. Lama kerja anestesi lokal tergantung dari berat jenis anestesi lokal,
beratnya dosis, ada tidaknya vasokonstriktor dan besarnya penyebaran anestesi local (Said
dkk, 2010).
Komplikasi tindakan anestesi spinal diantaranya hipotensi berat, bradikardi, trauma
pembuluh darah, hipoventilasi, trauma pembuluh darah, trauma saraf, mual-muntah,
gangguan pendengaran, block spinal tinggi atau spinal total. Sedangkan komplikasi pasca
tindakan diantaranya nyeri tempat suntikan, nyeri punggung, nyeri kepala, retensi urin,
meningitis (Said dkk, 2010).
BAB III
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. Haediah
Umur : 30 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Suela, Lombok Timur
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SMP
MRS : 21 November 2012
No. Rekam Medik : 211574
2. Anamnesis
Keluhan Utama : nyeri di ulu hati
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien seorang wanita usia 30 Tahun, G2P1H1A0, hamil 37-38 minggu bekerja sebagai
Ibu rumah tangga masuk rumah sakit tanggal 21 November 2012 nomor register 211574.
Pasien kiriman dari Puskesmas dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 2 hari yang lalu
(20/11/2012), pada hari pertama nyeri dirasakan hilang timbul namun pada hari kedua
nyeri yang dirasakan semakin sering, nyeri yang dirasakan seperti diremas-remas,
memberat ketika pasien bekerja dan membaik ketika istirahat, ketika nyerinya datang
pasien merasa agak susah bernafas dan pusing berputar, selain itu pasien mengeluh 2
minggu terakhir tekanan darahnya tinggi, pasien mengaku rutin memeriksa
kandungannya di bidan dan tekanan darahnya tidak pernah tinggi berkisar antara 120-
110, dan 2 minggu terakhir tekanan darah pasien berkisar 150-160. Karena tekanan
darahnya yang tinggi tersebut pasien pergi memeriksakan dirinya ke dokter, pasien
mengaku kalau dia diberikan obat penurun tekanan darah, pasien lupa nama obatnya
namun tekanan darah pasien tidak kunjung turun.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi sebelumnya (-), riwayat diabetes (-),
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat tekanan darah tinggi saat hamil dalam keluarga (-), diabetes (-), riwayat tekanan
darah tinggi (-).
Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi obat dan makanan
Riwayat Pengobatan :
Pasien hanya mengkonsumsi obat penurun tekanan darah yang diberikan oleh dokter
selama 2 minggu terakhir namun pasien lupa nama obatnya, pasien menyangkal
mengkonsumsi obat sebelum-sebelumnya.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Tanggal pemeriksaan : 22 November 2012
b. Status generalis
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Kesan gizi : Cukup
c. Pemeriksaan tanda vital
TD : 150/110 mmHg
Nadi : 104 x/ menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,3 oC
Kepala : Normocephali, simestris, tumor (-), jejas (-)
Mata :Anemis (-/-), ikterus (-/-), Eksophtalmus (-),pupil isokor,
reflek cahaya (+/+)3 mm, pergerakan mata ke segala arah
baik.
Hidung : Septum lurus, deformitas (-),deviasi septum (-)
Mulut : Sariawan (-), atrofi papil (-), lidah Kotor (-),sianosis (-).
Gigi : gigi palsu (-), gigi goyang (-).
Telinga : Bentuk telinga normal, simetris antara kiri dan kanan,
tanda-tanda infeksi (-)
Leher : Simetris, trakea ditengah, pembesaran KGB (-)kaku
kuduk (-),penggunaan otot SCM (-).
Thorax : pulmo : inspeksi : Bentuk dada simetris, dada kanan = dada kiri;
pergerakan dinding dada simetris, dada kanan = dada kiri,
massa (-), sikatriks (-).
Palpasi : Tidak teraba adanya massa (-), krepitasi (-),
edema (-), nyeri tekan (-),Pergerakan simetris, dada kanan
= dada kiri
Perkusi : Sonor didapatkan pada seluruh lapangan paru kiri.
Auskultasi : Vesikular +/+ di seluruh lapang paru, rhonki
-/- di seluruh lapang paru, wheezing -/-.
Cor : Iktus cordis tidak tampak, S1S2 tunggal regular, murmur
(-), gallop (-).
Extremitas : Akral hangat : +/+, deformitas (-/-), sianosis (-/-)
d. Status lokalis
Region abdomen
Inspeksi : kesan hamil, striae gravidarum (+)
Auskultasi : bising usus (+), DJJ (+) 150 x/menit
Palpasi : Tinggi fundus Uterus (TFU) 28 cm, taksiran berat janin
(TBJ) 2635 gram , His (-)
Leopold I : Teraba bagian besar, bulat, lunak
Leopold II : Teraba tahanan memanjang di kanan, Teraba bagian kecil
di kiri
Leopold III : Teraba bagian besar, bulat , keras
Leopold IV : Hodge I
VT : VT ф 2
4. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan tanggal 21/11/2012
Urin
- Berat jenis : 1,01
- PH : 5,0
- Protein : +1
- Leukosit : 2-5
- Eritrosit : 5-10
- Epitel : 0-5
Darah
- GDS : 84 mg/dl
- Ureum : 18,2 mg/dl
- Creatinin : 0,66 mg/dl
- SGOT : 30,3 U/L
- SGPT : 33,5 U/L
- Cholesterol total : 229 mg/dl
Kimia darah :
Na : 136 mmol/L
K : 4,1 mmol/L
Cl : 104 mmol/L
2. Pemeriksaan darah tanggal 22/11/2012
- WBC : 9,6 x 103/µl
- RBC : 3,59 x l06 / µl
- HB : 11,0 g/dl
- HCT : 31,7 %
- MCV : 88 fL
- MCH : 30,6 pg
- MCHC : 34,7 g/dl
- PLT : 244 x 103 / µl
5. Diagnosis
G2P1H1A0 37-38 minggu T/H/IU letkep dengan PEB + primi tua sekunder
6. Kesimpulan Pemeriksaan Fisik
Status ASA 2
Pasien dengan preeklamsia + primi tua sekunder
7. Tindakan
Tindakan yang dilakukan : Sectio Caesarea
Tanggal : 22 November 2012
8. Laporan Anastesi
Status anastesi
Persiapan Anastesi
1. Informed consent
2. Stop makan dan minum selama minimal 6 jam pre-operatif
Penatalaksanaa anastesi
Jenis anastesi : Regional Anestesi (RA)
- Premedikasi : Ondansentron 1 ampul
- Medikasi : Ketorolac 30 mg
Bufanest 2 ml
Oxytosin 2 ampul
Tramadol 2 ml
Midazolam 2 mg
Pethidine 25 mg
Tekhnik anastesi :
- Pasien dalam posisi posisi tidur lateral dekubitus
- Dilakukan desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio vertebra lumbal 3-4
- Dilakukan Sub Arachnoid Block dengan jarum spinal no. 27 pada regio vertebra
lumbal 3-4.
- LCS keluar (+) jernih
- Respirasi : Spontan
- Posisi : Supine
- Perdarahan selama operasi : ± 150 ml
Pemantauan selama anastesi
Mulai anastesi : 09.15
Mulai operasi : 09.25
Bayi lahir : 04.45
Selesai operasi : 10.15
Cairan yang masuk:
- Pre Operasi, RL : 500 ml
- DO, Hest : 500 ml
RL : 500 ml
9. Prognosis
Dubia ad Bonam
BAB IV
KESIMPULAN
G2P1H1A0 Usia 30 tahun Hamil 37-38 minggu Janin Tunggal Hidup Intra Uterin, letak
membujur presentasi kepala punggung kanan dengan Pre Eklamsia Berat disertai dengan primia
tua sekunder, maka dilakukan tindakan sectio caesarea pada tanggal 22 November 2012 di kamar
operasi atas Pre Eklamsia Berat disertai dengan primia tua sekunder. Teknik anestesi dengan
spinal anestesi (subarachnoid block) merupakan teknik anestesi sederhana, cukup efektif.
Anestesi dengan menggunakan Bufanest 2 ml. Untuk mengatasi nyeri digunakan ketorolac
sebanyak 30 mg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dengan diawasi vital sign,
tanda-tanda perdarahan.