47
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah, misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis. 1,2 Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna, komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen. Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas bedah. 1,3,4 Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, 1

Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gawat abdomen menggambarkan keadaan klinis akibat kegawatan di rongga

perut yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagai keluhan utama.

Keadaan ini memerlukan penanganan segera yang sering berupa tindak bedah,

misalnya pada perforasi, obstruksi, atau perdarahan masif di rongga perut maupun

di saluran cerna. Infeksi, obstruksi, atau strangulasi saluran cerna dapat

menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut oleh isi

saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.1,2

Peradangan peritoneum (peritonitis) merupakan komplikasi berbahaya yang

sering terjadi akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya

apendisitis, salpingitis, perforasi ulkus gastroduodenal), ruptura saluran cerna,

komplikasi post operasi, iritasi kimiawi, atau dari luka tembus abdomen.

Peritonitis menggambarkan sebuah penyebab penting morbiditas dan mortalitas

bedah.1,3,4

Peritonitis dapat terjadi secara lokalisata maupun generalisata, dan

diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat kontaminan-

kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase interaksi

sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan tubuh

untuk melokalisasi infeksi. Peritonitis generalisata umumnya sering berhubungan

dengan disfungsi/kegagalan organ, dan mortalitas dapat mencapai 20-40%.4

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Kepaniteraan

Klinik Senior Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara – RSUP H. Adam Malik Medan dan meningkatkan

pemahaman penulis maupun pembaca mengenai aspek anestesi pada peritonitis.

1

Page 2: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

1.3. Manfaat

Manfaat penulisan makalah ini adalah untuk meningkatkan pemahaman

mengenai aspek anestesi pada peritonitis yang berlandaskan teori sehingga

peritonitis dapat dikenali dan ditatalaksana sedini mungkin sesuai kompetensinya

pada tingkat pelayanan primer.

2

Page 3: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

BAB 2

ISI

2.1. Anatomi dan Fisiologi Peritoneum

Peritoneum merupakan membran serosa terbesar tubuh, yang terdiri dari

selapis epitel gepeng (mesotelium) dengan lapisan penyokong berupa jaringan

penghubung areolar yang mendasarinya. Peritoneum dibagi menjadi peritoneum

parietal yang melapisi dinding kavum abdominopelvik, dan peritoneum viseral

yang melapisi beberapa organ di dalam kavum. Suatu ruang sempit yang

mengandung cairan serosa pelumas yang berada di antara peritoneum parietal dan

viseral disebut kavum peritoneum. Pada beberapa penyakit, kavum peritoneum

dapat membesar akibat akumulasi beberapa liter cairan, dan kondisi ini disebut

asites.5

Beberapa organ berada pada bagian posterior dari dinding abdomen dan

dilapisi peritoneum hanya pada permukaan anteriornya saja. Organ-organ tersebut

tidak berada di dalam kavum peritoneum. Organ-organ seperti ginjal, kolon

asenden dan desenden, duodenum dari usus halus, dan pankreas disebut sebagai

organ retroperitoneal.5

Tidak seperti perikardium dan pleura yang melindungi jantung dan paru,

peritoneum mengandung lipatan-lipatan besar yang melingkupi visera. Lipatan-

lipatan tersebut mengikat organ-organ satu sama lain dan juga mengikat dinding

kavum abdomen. Lipatan-lipatan tersebut juga mengandung pembuluh darah,

saluran limfe, dan saraf-saraf yang menyuplai organ-organ pada abdomen. Ada

lima lipatan peritoneum utama, yakni omentum besar, ligamentum falsiformis,

omentum kecil, mesenterium, dan mesokolon.5

Peritoneum parietal mendapat inervasi dari nervus interkostalis 8-11 dan

nervus subkostalis. Peritoneum parietal yang melapisi sisi kaudal diafragma

diinervasi oleh nervus frenikus (v.c 3-5). Peritoneum viseral mendapat inervasi

sesuai organ yang ditutupinya.5

Peritoneum berfungsi untuk mengurangi gesekan antar organ intra abdomen

agar dapat bergerak bebas. Peritoneum menghasilkan cairan peritoneum sekitar

3

Page 4: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

100 cc berwarna kuning jernih. Jika terjadi cedera peritoneum, daerah defek

mesotelium akan segera ditutupi oleh mesotelium sekitarnya dan sembuh dalam

waktu 3-5 hari. Jika cedera cukup luas dan membran basalis terpapar cairan

peritoneum maka akan memacu timbulnya jaringan fibrosis sehingga timbul

adhesi yang akan mencapai maksimal 2-3 minggu setelah cedera.6

2.2. Peritonitis

2.2.1. Definisi

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-

sel, dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada

abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan

oleh infeksi pada peritoneum.1,3,7

Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri (secara

inokulasi kecil-kecilan), namun apabila terjadi kontaminasi yang terus menerus,

bakteri yang virulen, resistensi yang menurun, dan adanya benda asing atau enzim

pencerna aktif, hal tersebut merupakan faktor-faktor yang memudahkan terjadinya

peritonitis.7

2.2.2. Etiologi

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga

disebabkan oleh zat kimia (aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi

obat atau diinduksi oleh penyebab lainnya yang jarang. Peritonitis bakterial dapat

diklasifikasikan primer atau sekunder, bergantung pada apakah integritas saluran

gastrointestinal telah terganggu atau tidak.4

Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP)

merupakan infeksi bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas

saluran gastrointestinal. Hal ini jarang terjadi, tetapi umumnya muncul wanita usia

remaja. 90% kasus SBP terjadi akibat infeksi monomikroba. Streptococcus

pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang

berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,

imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan

4

Page 5: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis

hepatis dengan asites.3,4,6,7

Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang

terjadi akibat hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan

anaerob sering terlibat, dan kuman tersering adalah Escherichia coli dan

Bacteroides fragilis.4

Bakteri dapat menginvasi kavum peritoneum melalui empat cara: (1)

invasi langsung dari lingkungan eksternal (misalnya pada luka tusuk abdomen,

infeksi saat laparatomi); (2) translokasi dari organ dalam intra abdomen yang

rusak (misalnya pada perforasi ulkus duodenum, gangren usus yakni pada

apendisitis, trauma, atau iatrogenik pada bocornya anastomosis); (3) melalui

aliran darah dan/atau translokasi usus, misalnya pada peritonitis primer dimana

terjadi tanpa sumber infeksi yang jelas (sebagai contoh peritonitis Streptococcus

β-hemolyticus primer dan pasien post splenektomi, SBP pada pasien dengan gagal

hati dan asites); dan (4) melalui saluran reproduksi wanita (misalnya penyebaran

langsung dari lingkungan eksternal, peritonitis pneumkokus primer, salpingitis

akut, perforasi uterus akibat alat intra uterus).4

Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus

peritonitis, dan biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster.

Peritonitis steril akan berlanjut menjadi peritonitis bakterial dalam waktu

beberapa jam akibat transmigrasi mikroorganisme (misalnya dari usus).4

Peritonitis biliaris merupakan bentuk yang jarang dari peritonitis steril dan

dapat terjadi berbagai sumber penyebab: iatrogenik (misalnya kelicinan saat

penyatuan duktus sistikus saat kolesistektomi), kolesistitis akut, trauma, dan

idiopatik.4

Bentuk peritonitis lainnya yang dapat terjadi adalah peritonitis

tuberkulosis, peritonitis klamidia, dan peritonitis akibat obat dan benda asing.4

2.2.3. Patofisiologi

Peritonitis diperkirakan melalui tiga fase: pertama, fase pembuangan cepat

kontaminan-kontaminan dari kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik; kedua, fase

5

Page 6: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

interaksi sinergistik antara aerob dan anaerob; dan ketiga; fase usaha pertahanan

tubuh untuk melokalisasi infeksi.4

Pada fase pertama terjadi pembuangan cepat kontaminan-kontaminan dari

kavum peritoneum ke sirkulasi sistemik. Hal ini terjadi karena cairan peritoneum

yang terkontaminasi bergerak ke arah sefal sebagai respons terhadap perbedaan

gradien tekanan yang dibuat oleh diafragma. Cairan tersebut melewati stomata

pada peritoneum diafragmatika dan diabsorpsi ke lakuna limfatik. Cairan limfe

akan mengalir ke duktus limfatikus utama melalui nodus substernal. Septikemia

yang terbentuk umumnya melibatkan bakteri Gram negatif fakultatif anaerob dan

berhubungan dengan morbiditas yang tinggi.4

Pada fase kedua terjadi interaksi sinergistik antara kuman aerob dan

anaerob dimana mereka akan menghadapi sel-sel fagosit dan komplemen pejamu.

Aktivasi komplemen merupakan kejadian awal pada peritonitis dan melibatkan

imunitas bawaan dan didapat. Aktivasi tersebut muncul terutama melalui jalur

klasik, dengan jalur alternatif dan lektin yang membantu. Surfaktan fosfolipid

yang diproduksi oleh sel mesotel peritoneum bekerja secara sinergis dengan

komplemen untuk meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Sel mesotel

peritoneum juga merupakan sekretor poten mediator pro-inflamasi, termasuk

interleukin-6, interleukin-8, monocyte chemoattractant protein-1, macrophage

inflammatory protein-1α, dan tumor necrosis factor-α. Oleh karena itu, sel

mesotel peritoneum memegang peranan penting pada jalur pensinyalan sel untuk

memanggil sel-sel fagosit ke kavum peritoneum dan upregulation sel mast dan

fibroblas pada submesotelium.4

Pada fase ketiga terjadi usaha sistem pertahanan tubuh untuk melokalisasi

infeksi, terutama melalui produksi eksudat fibrin yang mengurung mikroba di

dalam matriksnya dan mempromosikan mekanisme efektor fagositik lokal.

Eksudat fibrin tersebut juga mempromosikan perkembangan abses. Pengaturan

pembentukan dan degradasi fibrin merupakan hal vital pada proses ini. Aktivitas

pengaktifan plasminogen yang dibuat oleh sel mesotel peritoneum menentukan

apakah fibrin yang terbentuk setelah cedera peritoneum dilisiskan atau dibentuk

menjadi adhesi fibrin. Secara khusus, tumor necrosis factor-α menstimulasi

6

Page 7: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

produksi plasminogen activator-inhibitor-1 oleh sel mesotel peritoneum, yang

menghambat degradasi fibrin.4

2.2.4. Manifestasi Klinis

Pada peritonitis terjadi pergeseran cairan dan gangguan metabolik.

Frekuensi jantung dan frekuensi napas pada awalnya akan meningkat sebagai

hasil dari refleks volumetrik, intestinal, diafragmatik, dan nyeri. Asidosis

metabolik dan peningkatan sekresi aldosteron, antidiuretic hormone (ADH), dan

katekolamin yang juga menyusul akan mengubah cardiac output dan respirasi.

Protein akan dirusak dan glikogen hati dimobilisasikan akibat tubuh sedang

memasuki suatu keadaan katabolisme yang hebat. Ileus paralitik dapat terjadi,

yang kemudian akan menyebabkan sekuestrasi hebat cairan, dan hilangnya

elektrolit dan eksudat kaya protein. Distensi abdomen yang hebat akan

menyebabkan elevasi diafragma, dan akan menyebabkan atelektasis dan

pneumonia. Gagal organ multipel, koma, dan kematian akan mengancam jika

peritonitis tetap berlangsung dan gagal untuk terlokalisasi.4

2.2.5. Diagnosis

Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Anamnesis sebaiknya

termasuk operasi abdomen yang baru saja, peristiwa sebelum peritonitis,

perjalanan anamnesis, penggunaan agen immunosuppresif, dan adanya penyakit

(contoh: inflammatory bowel disease, diverticulitis, peptic ulcer disease) yang

mungkin menjadi predisposisi untuk infeksi intra abdomen.3

Pada pemeriksaan fisik, banyak dari pasien yang mempunyai suhu tubuh

lebih dari 38oC, meskipun pasien dengan sepsis berat bisa menjadi hipotermi.

Takikardia bisa ada, sebagai hasil dari pelepasan mediator inflamasi, dan

hipovolemia intravaskular akibat muntah dan demam. Dengan dehidrasi progresif,

pasien bisa menjadi hipotensif (5-14% pasien), juga oliguria atau anuria. Dengan

peritonitis berat, akan tampak jelas syok sepsis. Syok hipovolemik dan gagal

organ multipel pun dapat terjadi.3,4

7

Page 8: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Ketika melakukan pemeriksaan abdomen pasien yang dicurigai peritonitis,

posisi pasien harus supinasi. Bantal dibawah lutut pasien bisa membuat dinding

abdominal relaksasi.3

Pada pemeriksaan abdomen, hampir semua pasien menunjukkan

tenderness pada palpasi, juga menunjukkan kekakuan dinding abdomen.

Peningkatan tonus muskular dinding abdomen mungkin volunter, respons

involunter sebab iritasi peritoneum. Abdomen sering mengembung dengan suara

usus hipoaktif atau tidak ada. Tanda gagal hepatik (contoh: jaundice, angiomata)

bisa terjadi. Pemeriksaan rektal sering meningkatkan nyeri abdomen, terutama

dengan inflamasi organ pelvik, tetapi jarang mengindikasikan diagnosis spesifik.

Massa inflamasi kenyal di kanan bawah mengindikasikan appendisitis, dan

fluktuasi dan penuh bagian anterior bisa mengindikasikan cul de sac abscess.3,7

Pada pasien wanita, penemuan pemeriksaan bimanual dan vaginal bisa

dengan penyakit inflamasi pelvik (contoh: endometriosis, salpingo-ooforitis, abses

tubo-ovarian), tetapi pada pemeriksaan sulit untuk menginterpretasikan peritonitis

berat.3

Pemeriksaan fisik lengkap penting untuk menghindari adanya gejala yang

mirip dengan peritonitis. Masalah toraks dengan iritasi diafragma (contoh:

empiema), ekstraperitoneal (pielonefritis, sistitis, retensi urin akut), dan dinding

abdomen (contoh: infeksi, hematoma rektus) bisa meniru tanda dan gejala pasti

dari peritonitis.3

Jadi keluhan pokok pada peritonitis adalah nyeri abdomen dan lemah.

Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien peritonitis antara lain

pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak, perut kembung, nyeri

tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau menghilang, dan

pekak hati menghilang.3

Hasil pemeriksaan laboratorium yang dapat ditemukan pada pasien

peritonitis antara lain leukositosis, peningkatan hematokrit, dan asidosis

metabolik.6

Prediktor tunggal paling baik dari SBP adalah jumlah neutrofil cairan

asites ≥ 500 sel/µL, dengan sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%. Cairan

8

Page 9: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

peritoneum seharusnya dievaluasi untuk glukosa, protein, Laktat Dehidrogenase

(LDH), jumlah sel, pewarnaan gram, dan kultur aerobik dan anaerobik. Cairan

peritoneum pada peritonitis bakterial umumnya menunjukkan pH rendah dan level

glukosa munurun dengan level LDH dan protein meningkat. Biasanya, pH cairan

asites < 7,34 adalah diagnosis SBP. SBP ditegakkan ketika jumlah PMN ≥ 250

sel/µL dengan hasil kultur bakterial positif. Keraguan menegakkan SBP jika hasil

kultur cairan asites negatif tetapi jumlah PMN ≥ 250 sel/µL.3

Pada peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior,

lateral). Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus peptikum, pecahnya usus

buntu (apendiks) atau karena sebab lain, tanda utama radiologi: (1) posisi

supinasi, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line menghilang, dan

kekaburan pada kavum abdomen; (2) posisi duduk atau berdiri, didapatkan free

air subdiafragma berbentuk bulan sabit (semilunar shadow); dan (3) posisi Left

Lateral Decubitus (LLD), didapatkan free air intra peritoneal pada daerah perut

yang paling tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara

pelvis dengan dinding abdomen. Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu

adanya kekaburan pada kavum abdomen, preperitonial fat dan psoas line

menghilang, dan adanya udara bebas subdiafragma atau intra peritoneal.6,8

2.2.6. Diagnosis Banding

Pneumonia basal, infark miokardium, gastroenteritis, hepatitis, dan infeksi

saluran kemih mungkin sering salah didiagnosis dengan peritonitis. Penyebab lain

nyeri abdomen yang hebat adalah obstruksi saluran cerna, kolik ureter, dan kolik

bilier.4

2.2.7. Penatalaksanaan

2.2.7.1. Terapi Konservatif

Terapi medikamentosa diindikasikan jika: (1) infeksi telah terlokalisasi

(misalnya appendix mass); (2) penyebab peritonitis tidak membutuhkan tindakan

pembedahan (misalnya pankreatitis akut); (3) pasien tidak cocok untuk anestesi

umum/general anaesthesia (misalnya pada pasien lanjut usia, pasien sekarat

9

Page 10: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

dengan komorbiditas yang hebat); dan (4) fasilitas medis tidak dapat mendukung

manajemen bedah yang aman. Elemen utama pada terapi medikamentosa adalah

hidrasi cairan melalui i.v. line dan antibiotik spektrum luas. Terapi suportif

sebaiknya mencakup early enteral feeding (daripada total parenteral nutrition)

untuk pasien dengan sepsis abdomen yang kompleks di ICU.4

2.2.7.2. Terapi Segera (Immediate)

Penanganan pasien peritonitis saat pertama kali datang tetap mengikuti

kaidah primary survey (Airway, Breathing, Circulation, Disability, dan

Exposure).9,10,11

Dalam hal airway, kelancaran jalan napas harus dijaga. Penilaian adanya

obstruksi jalan napas harus dilakukan segera. Selain melakukan pembebasan jalan

napas, harus juga dijaga agar leher tetap dalam posisi netral.9,10,11

Dalam hal breathing, penolong harus membebaskan leher dan dada

sambil menjaga imobilisasi leher dan kepala. Lalu dinilai laju dan dalamnya

pernapasan. Inspeksi dan palpasi leher dan dada dilakukan untuk menentukan

adanya deviasi trakea, pemakaian otot pernapasan tambahan, dan tanda cedera

lainnya. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi merupakan hal vital untuk semua

pasien syok. Hipoksia dapat dipantau melalui pulse oximetry atau pemeriksaan

Analisis Gas Darah (AGDA).4,9,10,11

Dalam hal circulation, harus dilakukan kontrol perdarahan. Penilaian

kecepatan, kualitas, dan keteraturan nadi harus dilakukan. Warna kulit dan

tekanan darah juga harus dinilai. 2 i.v line berukuran besar harus segera dipasang,

terutama pada pasien dengan ancaman syok. Pasien peritonitis umumnya datang

dengan keadaan dehidrasi bahkan syok. Resusitasi cairan merupakan hal penting

dalam menangani keadaan tersebut. Resusitasi cairan diawali dengan pemberian

kristaloid i.v. hangat. Volume cairan yang diberikan disesuaikan dengan derajat

dehidrasi dan syok. Substitusi elektrolit (terutama kalium) kadang diperlukan.

Pasien perlu dipasang kateter urin untuk memantau urine output tiap jam. Sampel

darah diambil untuk pemeriksaan darah rutin, analisis kimia, tes kehamilan,

golongan darah dan cross match, dan AGDA.4,9,10,11

10

Page 11: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Dalam hal disability, dilakukan pemeriksaan neurologis singkat. Tingkat

kesadaran ditentukan dengan menggunakan skor Glasgow Comma Scale (GCS).

Pupil dinilai besarnya dan refleks cahayanya.4,9,10,11

Dalam hal exposure, pakaian penderita dibuka dan dilakukan

pencegahan hipotermia.9

Bila seluruh penilaian dan penangan awal pada primary survey sudah

dilakukan dan pasien telah stabil, maka dapat dilakukan secondary survey. Pada

secondary survey, dilakukan penilaian terhadap seluruh sistem organ secara

lengkap dan komprehensif, yakni sistem pernapasan (breathing/B1), sistem

peredaran darah (blood/B2), sistem saraf (brain/B3), sistem saluran kemih

(bladder/B4), sistem pencernaan (bowel/B5), dan sistem muskuloskeletal

(bone/B6).9

Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan

mungkin syok. Dehidrasi dideskripsikan sebagai suatu keadaan keseimbangan

cairan yang negatif atau terganggu yang bisa disebabkan oleh berbagai jenis

penyakit. Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak daripada

pemasukan air (input). Cairan yang keluar biasanya disertai dengan elektrolit.12

Pada dehidrasi gejala yang timbul berupa rasa haus, berat badan turun,

kulit bibir dan lidah kering, saliva menjadi kental. Turgor kulit dan tonus

berkurang, apatis, gelisah, dan kadang-kadang disertai kejang. Akhirnya timbul

gejala asidosis dan renjatan dengan nadi dan jantung yang berdenyut cepat dan

lemah, tekanan darah menurun, kesadaran menurun, dan pernapasan

Kussmaul.12,13

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan fisik, dehidrasi dapat dibagi

menjadi dehidrasi ringan, sedang, dan berat.2,12,13,14

Tabel 2.1. Klasifikasi Dehidrasi Berdasarkan Gejala Klinis dan Pemeriksaan Fisik

Tanda-Tanda

Klinis

Ringan Sedang Berat

Hemodinamik Takikardi Takikardi,

hipotensi

ortostatik, nadi

Takikardi,

sianosis, nadi sulit

diraba, akral

11

Page 12: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

lemah, vena

kolaps

dingin

Jaringan Mukosa lidah

kering

Lidah lunak,

keriput

Atonia, mata

cekung/corong

Turgor Kulit < << <<<

Urin Pekat Pekat, jumlah

menurun

Oliguria

Kesadaran Normal Apatis, gelisah Koma

Defisit 3-5% BB 6-8% BB 10% BB

Berdasarkan gambaran elektrolit serum, dehidrasi dapat dibagi menjadi:

(1) dehidrasi hiponatremik atau hipotonik, (2) dehidrasi isonatremik atau isotonik,

dan (3) dehidrasi hipernatremik atau hipertonik.12,13,14

Dehidrasi hiponatremik merupakan kehilangan natrium yang relatif lebih

besar daripada air, dengan kadar natrium kurang dari 130 mEq/L. Apabila

terdapat kadar natrium serum 120-125 mEq/L, maka akan terjadi keluhan pusing,

mual, muntah, atau bingung. Apabila kadar natrium turun sampai di bawah 115

mEq/L, akan terjadi kejang, koma, bahkan kerusakan neurologis permanen.

Kehilangan natrium dapat dihitung dengan rumus :

Defisit natrium (mEq) = (135 - S Na) air tubuh total (dalam L) (0,6 x berat badan

dalam kg).12,13,14,15

Dehidrasi isonatremik (isotonik) terjadi ketika hilangnya cairan sama

dengan konsentrasi natrium dalam darah. Kehilangan natrium dan air adalah sama

jumlahnya/besarnya dalam kompartemen cairan ekstravaskular maupun

intravaskular. Kadar natrium pada dehidrasi isonatremik 130-150 mEq/L. Tidak

ada perubahan konsentrasi elektrolit darah pada dehidrasi isonatremik.12,13,14,15

Dehidrasi hipernatremik (hipertonik) terjadi ketika cairan yang hilang

mengandung lebih sedikit natrium daripada darah (kehilangan cairan hipotonik),

kadar natrium serum > 150 mEq/L. Kehilangan natrium serum lebih sedikit

daripada air, karena natrium serum tinggi, cairan di ekstravaskular pindah ke

intravaskular meminimalisir penurunan volume intravaskular. Dehidrasi

12

Page 13: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

hipertonik dapat terjadi karena pemasukan (intake) elektrolit lebih banyak

daripada air. Cairan rehidrasi oral yang pekat, susu formula pekat, larutan gula

garam yang tidak tepat takar merupakan faktor resiko yang cukup kuat terhadap

kejadian hipernatremia. Terapi cairan untuk dehidrasi hipernatremik dapat sukar

karena hiperosmolalitas berat dapat mengakibatkan kerusakan serebrum dengan

perdarahan dan trombosis serebral luas, serta efusi subdural. Jejas serebri ini dapat

mengakibatkan defisit neurologis menetap.12,13,14,15

Resusitasi cairan adalah tindakan mengganti kehilangn cairan tubuh

yang hilang patologis kembali menjadi normal. Algoritme penanganan pasien

dengan dehidrasi meliputi langkah-langkah berikut ini: (1) Pemasangan jalur

intravena ukuran besar untuk akses pemberian terapi cairan; (2) Menilai kondisi

umum pasien seperti hemodinamik, jaringan, turgor kulit, urin, dan kesadaran,

untuk kemudian pasien diklasifikasikan berdasarkan derajat dehidrasinya; (3)

Menghitung perkiraan kehilangan cairan berdasarkan derajat dehidrasi dan berat

badan pasien; (4) Memberikan terapi cairan berdasarkan derajat dehidrasinya

dimana pasien dengan dehidrasi berat, dilakukan pemberian cairan awal (dehidrasi

tahap cepat) dengan kecepatan 20-40 ml/kgBB/jam selama 30-60 menit.

Selanjutnya diberikan terapi cairan tahap lambat yang dibagi menjadi 2 bagian,

yaitu 8 jam pertama dan 16 jam berikutnya. Pada 8 jam pertama, diberikan

setengah dari kekurangan cairan yang telah dihitung sebelumnya dikurangi cairan

yang diberikan pada tahap cepat, ditambah dengan cairan rumatan untuk 8 jam.

Untuk 16 jam berikutnya, diberikan setengah dari kekurangan cairan yang telah

dihitung sebelumnya dikurangi cairan yang diberikan pada tahap cepat, ditambah

dengan cairan rumatan untuk 16 jam. Terapi cairan pada dehidrasi derajat ringan

atau sedang langsung dimulai dengan tahap lambat seperti yang telah disebutkan

sebelumnya. Jenis cairan yang dipilih untuk terapi cairan pada pasien dengan

dehidrasi adalah kristaloid seperti Ringer Laktat, Ringer Asetat, atau NaCl 0,9%.

Kristaloid juga dipilih untuk memberikan cairan rumatan; (5) Melakukan

penilaian dari respon pasien terhadap terapi cairan yang diberikan. Apabila pasien

berespon dengan baik, diteruskan pemberian cairan rumatan. Apabila pasien tidak

berespon terhadap terapi cairan yang diberikan, dilakukan pemeriksaan lebih

13

Page 14: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

lanjut untuk menemukan penyebab lain dari dehidrasi. Selain itu, kondisi ini dapat

pula diakibatkan oleh terapi cairan yang kurang adekuat, sehingga perlu dilakukan

penilaian ulang terhadap derajat dehidrasi pasien dan kebutuhan cairannya.12,13,14

Kebutuhan normal untuk rumatan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2. Kebutuhan Nornal Cairan Rumatan12,13,14

Berat Badan Jumlah cairan

0 – 10 kg 4ml/kg/jam

10 – 20 kg berikutnya Tambahkan 2ml/kg/jam

Untuk setiap kg di atas 20kg Tambahkan 1ml/kg/jam

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang

hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotik yang sesuai,

dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,

pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila

mungkin mengalirkan nanah keluar, dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Antibiotik yang diberikan harus spektrum luas, dapat menjangkau bakteri aerob

dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Sefalosporin generasi ketiga dan

metronidazole merupakan terapi antibiotik utama yang sering diberikan. Untuk

pasien yang menderita peritonitis yang didapat di rumah sakit (misalnya

kebocoran anastomosis) atau yang membutuhkan terapi intensif, terapi garis

kedua dengan meropenem atau kombinasi piperacilin dan tazobactam

direkomendasikan. Terapi antijamur juga sebaiknya dipertimbangkan untuk

menjangkau spesies Candida yang mungkin menginfeksi. Penggunaan antibiotik

lebih awal dan sesuai merupakan kunci untuk mengurangi mortalitas pada pasien

dengan syok septik yang berhubungan dengan peritonitis. Selain untuk

dekompresi saluran cerna, penggunaan pipa nasogastrik juga berfungsi untuk

mengurangi risiko pneumonia aspirasi.1,4

2.2.7.3. Terapi Definitif

14

Page 15: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Laparotomi biasanya dilakukan melalui upper atau lower middle incision

(bergantung pada dugaan lokasi patologis). Tujuan dari laparotomi adalah: (1)

membuktikan penyebab peritonitis, (2) mengontrol sumber sepsis dengan

membuang organ yang meradang atau iskemik (atau menutup organ yang bocor),

(3) melakukan pencucian kavum peritoneum yang efektif.4

Mengontrol sumber utama sepsis adalah hal yang esensial. Hanya

terdapat sedikit bukti tentang manfaat klinis irigasi peritoneum. Hal ini mungkin

dikarenakan adanya resistensi koloni mikroba peritoneum terhadap pencucian

peritoneum, atau karena adanya kerusakan ikutan yang timbul pada sel

mesotelium. Pembuangan debris-debris, fekal, atau pus dari kavum peritoneum

mungkin cukup berguna daripada melakukan irigasi yang hebat pada kavum

peritoneum. Antibiotik dapat diberikan hingga 5 hari setelah operasi pada kasus

peritonitis difusa atau kompleks.4

Laparoskopi juga merupakan modalitas terapi alternatif yang dapat

dilakukan. Laparoskopi juga terbukti efektif untuk penanganan apendisitis akut

dan perforasi ulkus duodenum. Laparoskopi juga bisa digunakan untuk perforasi

kolon, namun angka konversi ke laparotomi tinggi Syok atau ileus merupakan

kontraindikasi laparoskopi.4

Penggunaan drain cenderung efektif untuk mendrainase ruang yang

terlokalisasi, namun kurang efektif bila digunakan untuk mendrainase seluruh

kavum peritoneum. Hanya sedikit bukti yang mendukung penggunaan drain

profilaksis setelah laparotomi.4

2.2.8. Prognosis

Prognosis dari peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis

sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai

prognosis yang makin buruk. Pembagian prognosis dapat dibagi menjadi tiga,

tergantung lamanya peritonitis: (1) kurang dari 24 jam: prognosisnya > 90 %; (2)

24 – 48 jam: prognosisnya 60 %; dan (3) lebih dari 48 jam: prognosisnya 20 %.1

15

Page 16: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Belum ada suatu tes laboratorium yang mudah dan tersedia untuk

memprediksi keparahan dan prognosis pasien peritonitis. Konsentrasi interleukin-

18 intraperitoneum dan kultur jamur berhubungan dengan prognosis yang buruk,

namun tes laboratorium ini memiliki aplikabilitas klinis yang kecil.4

2.2.9. Komplikasi

Syok septik, abses intraabdomen, dan adhesi merupakan komplikasi yang

dapat terjadi pada peritonitis. Pasien dengan syok septik membutuhkan perawatan

di ICU. Sepsis abdomen membawa mortalitas 30-60%. Keluaran dari sepsis

abdomen biasanya buruk meskipun telah dirawat di ICU. Faktor-faktor yang

berhubungan dengan risiko mortalitas antara lain usia, skor APACHE II (skor

prognostik), syok septik, penyakit kronik, jenis kelamin wanita, sepsis yang

berasal dari saluran cerna atas, dan kegagalan mengatasi sumber sepsis. Adhesi

dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna atau volvulus.4

16

Page 17: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1. Anamnesis Pribadi

Nama : Dalan Nggit

Umur : 37 tahun

No MR : 53.51.77

Alamat : Jl. Jamin Ginting Gg. HKBP Padang Bulan

Tanggal Masuk : 27 Oktober 2012

Pukul : 16.00 WIB

3.2. Anamnesis Penyakit

Keluhan Utama : Nyeri seluruh lapangan perut

Telaah : Hal ini dialami pasien ± sejak 1 minggu yang lalu.

Awalnya nyeri dirasakan di daerah ulu hati kemudian

menjalar ke perut kanan bawah dan menetap selama ± 3

hari, kemudian menjalar ke seluruh lapangan perut. Mual

dan muntah tidak dijumpai. Demam dialami sejak 2 hari

ini. BAB tidak dijumpai dan BAK dijumpai. Sebelumnya

pasien sudah berobat ke poli penyakit dalam RSUPHAM

dan didiagnosis dengan apendisitis. Pasien dikonsulkan

ke bagian bedah untuk tindakan operasi namun pasien

menolak.

RPT : -

RPO : Buscopan

3.3. Time Sequence

27 Okt 2012 16.00 WIB Pasien datang ke IGD RSUP HAM

27 Okt 2012 19.00 WIB Konsul tindakan anestesi

27 Okt 2012 21.30 WIB Dilakukan operasi

17

Page 18: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

3.4. Pemeriksaan Fisik Primary Survey

(Tanggal 27 0ktober 2012 Pukul 19.10 WIB)

A (Airway) : Clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-)

B (Breathing) : Spontan, RR: 30 x/menit, SP: vesikuler ka=ki, ST: -/-,

pernapasan cuping hidung (-), hematopneumotoraks (-),

jejas pada toraks (-), flail chest (-)

C (Circulation) : Akral D/M/K, Nadi: 100 x/menit, reguler, t/v kurang, TD:

110/70 mmHg, suhu: 38,8°C

D (Disability) : GCS 15 (E4V5M6), pupil: isokor, ø ka=ki (3mm/3mm),

RC +/+, pingsan (-), kejang (-), muntah (-)

E (Exposure) : Edema (-), fraktur (-)

3.5. Penanganan di IGD (Tanggal 27 Oktober 2012 Pukul 19.15 WIB)

- Oksigenisasi nasal canule 2 liter/menit

- Pasang IV line dengan abocath no. 18G

- Pasien diklasifikasikan:

Dehidrasi ringan (defisit 3-5% BB) = 5/100 x 70000 (gram) = 3500 cc

Rehidrasi lambat: 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 8 jam

pertama kemudian 50% defisit cairan + rumatan diberikan dalam 16 jam

kedua.

8 jam pertama :

50% defisit cairan + rumatan :

50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 8 jam)

= 281,75 cc/jam

Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :

(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam

Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:

281,75 cc/jam + 110 cc/jam = 328,75 cc/jam

= 328,75 x 20 tetes/60 menit

= 109 tetes/menit

16 jam berikutnya :

18

Page 19: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

50% defisit cairan + rumatan :

50% defisit cairan = 50% x 3500 = 1750 cc (dalam 16 jam)

= 109,375 cc/jam

Kebutuhan Rumatan cairan rumatan BB = 70 kg adalah :

(10x4) + (10x2) + (50x1) = 110 cc/jam

Maka, dalam 8 jam pertama diberikan cairan sebanyak:

109,75 cc/jam + 110 cc/jam = 219,75 cc/jam

= 219,75 x 20 tetes/60 menit

= 73,125 tetes/menit

- Pemasangan NGT

- Pemasangan kateter urin

- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium dan crossmatch

- Persiapan alat dan obat anestesi

- Foto toraks, foto polos abdomen, EKG

- Puasakan pasien sejak direncanakan operasi

3.6. Pemeriksaan Fisik Secondary Survey

(Tanggal 27 Oktober 2012 Pukul 19.30 WIB)

B1 : Airway clear, snoring (-), gurgling (-), crowing (-), RR: 30 x/mnt, SP:

vesikuler ka=ki, ST: -/-, Mallampati: 1cm, JMH > 6 cm, GL: bebas, BM:

3 jari. Riwayat asma/batuk/sesak/alergi : -/-/-/-

B2 : Akral: D/M/K, TD 110/70, HR 100 x/menit, reguler, T/V kurang, bibir

kering (+), suhu : 38,7°C

B3 : Sens: Compos mentis, pupil isokor, ø 3mm=3mm, RC +/+

B4 : UOP residual 80 cc, kateter terpasang warna kuning pekat

B5 : Abdomen distensi, nyeri tekan pada seluruh lapangan perut (+), peristaltik

(+) lemah, MMT 12 jam SMRS, NGT terpasang warna kuning kehijauan.

RT: perineum biasa, sfingter ani ketat, mukosa licin, ampula rekti kosong,

nyeri tekan pada seluruh arah, ST: feses (-), lender (-), darah (-)

B6 : Edema (-), fraktur (-)

19

Page 20: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

3.7. Pemeriksaan Laboratorium (27 Oktober 2012)

Darah Lengkap

- Hemoglobin : 15,70 g%

- Hematokrit : 43,50 %

- Leukosit : 23,49x103/mm3

- Trombosit : 302x103/mm3

Faal Hemostasis

- PT/APTT/TT/INR : 13,4 (12,2)/33,2 (26,8)/15,8 (17,4)/1,03

Kimia Klinik

- Na/K/Cl : 135/4.1/107 mEq/L

- KGD ad random : 101,60 mg/dl

- Ureum/Kreatinin : 30,9/0,96 mg/dl

3.8. Pemeriksaan Radiologi dan EKG

Foto Toraks

Foto Polos Abdomen

20

Page 21: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Pemeriksaan EKG (Pre-Operasi)

3.9. Rencana Pre-Operasi

Diagnosa Pre-Operasi : Diffuse Peritonitis d/t Appendiks Perforasi

21

Page 22: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

Tindakan : Explorasi Laparotomy + Appendectomy

PS ASA : 1E

Anestesi : GA-ETT

Posisi : Supine

3.10. Pemeriksaan Fisik di KBE

(Tanggal 27/10/2012 Pukul 21.30 WIB)

B1 : Airway clear, terintubasi, dengan manual bagging 16x/menit, SP:

vesikuler, ST -/-, SpO2 100%

B2 : Akral: H/M/K, TD 110/70 mmHg, HR 90 x/menit, T/V kuat/cukup,

reguler, suhu : 38,5°C

B3 : Sens: Compos mentis, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+

B4 : UOP (+), vol. ± 400cc/ 2 jam, warna kuning jernih

B5 : Abdomen distensi (+), peristaltik (+) lemah, NGT (+)

B6 : Edema (-)

3.11. Anestesi

- Teknik anestesi (GA ETT)

Premedikasi dengan midazolam 5 mg dan fentanyl 100 mcg

secara IV

Induksi dengan propofol 100 mg

Relaksasi dengan rocuronium 60 mg

Intubasi ETT no.7

Cuff (+)

Suara pernapasan: kanan = kiri

Fiksasi pada kedalaman 20cm

- Maintenance dengan N2O : O2 = 2 l/i : 2l/i dan isoflurane 1%

3.12. Durante Operasi

- Lama operasi : 2 jam

22

Page 23: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

- TD : 120-130/70-90 mmHg

- HR : 75-92 x/menit

- RR : 14 x/menit

- SpO2 : 100%

- Perdarahan : ±100cc

- Penguapan + maintenance: (8+2) x 70 = 700 cc/jam

- UOP = 120 cc/jam

- Cairan :

PO : RL 500 cc

DO : RL 1000 cc

23

Page 24: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

24

Page 25: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

25

Page 26: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

3.13. Post Operasi

Diagnosa Post \Operasi:

Post Laparotomy a/i Diffuse Peritonitis + Appendectomy

3.14. Pemeriksaan Fisik Post Operasi di RR KBE

B1 : Airway clear, pasien diekstubasi diruang KBE. RR:14x/men, SP vesikuler,

ST -/-, SpO2 100%

B2 : Akral: H/M/K, TD 110/60 mmHg, HR 84 x/menit, T/V kuat/cukup,

reguler, suhu : 38,1°C

B3 : Sens : DPO, pupil isokor, φ 3 mm/3 mm, RC +/+

B4 : UOP (+), vol. ± 500cc/ 2 jam, warna kuning

B5 : Abdomen distensi (-), peristaltik (-), NGT (+), luka operasi tertutup

verband, drain satu buah di kanan

B6 : Edema (-), fraktur (-)

3.15. Rencana Post Operasi

- Cek darah rutin

- Cek elektrolit

- Cek RFT

- Cek KGD

- Pemeriksaan histopatologi jaringan appendiks

- Pemeriksaan pus dari kavum abdomen

3.16. Terapi Post Operasi

- Bed Rest

- Head Up 30 derajat

26

Page 27: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

- Diet Sementara Puasa à Rencana TPN

- Teruskan terapi rehidrasi dan pemberian cairan rumatan

- Inj. Fentanyl 200 mcg/50 cc (4 mcg/cc) à 10 cc bolus à 10 cc/jam iv

syringe pump

- Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam iv

- Inj. Ceftriaxone 1gr/12 jam iv

- Inj. Metronidazole 500 mg/24 jam drips

- Inj. Gentamicin 80mg/12 jam iv

- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam

3.17. Problem List Pre-Operasi

Masalah Pemecahan

- Operasi emergency + gangguan

peristaltik à gastric emptying time

memanjang à anggap lambung

penuh à bahaya aspirasi

- Pasien dehidrasi ringan + ancaman

syok

- Pasien dengan leukositosis

- NPO sejak direncanakan operasi,

pasang NGT (dekompresi) à suction

aktif à pilihan GA ETT RSI

- Pemasangan iv line dengan abocath

No. 18 G à rehidrasi cairan à target

perbaikan hemodinamik, volume

cairan cukup, UOP = 0,5-1

cc/kgBB/jam

- Pasang kateter urin → menilai UOP

(menilai respons rehidrasi)

- Beri antibiotik yang adekuat

3.18. Problem List Durante Operasi

Masalah Pemecahan

- Antisipasi operasi berkepanjangan

à penguapan besar

- Balans cairan penguapan 6-8

cc/kgBB ditambah dengan

maintenance 2 cc/kgBB, target urine

27

Page 28: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

- Operasi lama, suhu kamar OK,

cairan

- Balance anesthesia

output per jam 0,5-1 cc/kgBB,

ingatkan operator untuk

membungkus hollow organ untuk

mengurangi evaporasi, pertahankan

suhu ruangan > 210C (terutama pada

1 jam pertama anestesi)

- Matras penghangat, hangatkan

cairan, hangatkan cairan pembilas,

- Memonitor hemodinamik, sedasi

cukup, analgetika adekuat, relaksasi

cukup, operator nyaman

3.19. Problem List Post Operasi

Masalah Pemecahan

- Nyeri pasca operasi à luka insisi

tinggi à nyeri saat napas

dalam/batuk à volume tidal ↓ à

atelektasis à v/q mismatch

(shunting) à oksigenasi ↓, selain

itu batuk tidak adekuat à mucous

stasis à pneumonia

- Infeksi pasca operasi

- Nutrisi pasca operasi à pasca

pembedahan à stres metabolik à

- Mekanisme nyeri yang

multipathway à analgetika

multimodal à NSAID (perifer) &

Opioid (sentral), menurunkan dosis

tiap regimen à efek samping obat

berkurang

- Pastikan analgesia cukup

- Antibiotika empirik à hasil kultur

keluar à antibiotika tunggal yang

sensitif (deesklasi)

- Awasi asupan nutrisi, kebutuhan

protein meningkat untuk regenerasi

sel dan jaringan à penyembuhan

28

Page 29: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

hiperkatabolisme à bila sumber

energi tak adekuat à protein

dirombak à nitrogen balance (-)

à malnutrisi à wound dehisence

- End point resuscitation

- Peritonitis à peristaltik

membutuhkan waktu untuk pulih,

mulai dengan diet enteral, bila

tidak mencukupi kombinasi dengan

parenteral untuk memenuhi

kebutuhan kalori

BAB 4

29

Page 30: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

KESIMPULAN

Peritonitis adalah radang peritoneum dengan eksudasi serum, fibrin, sel-sel,

dan pus; biasanya disertai dengan gejala nyeri abdomen dan nyeri tekan pada

abdomen, konstipasi, muntah, dan demam peradangan yang biasanya disebabkan

oleh infeksi pada peritoneum.

Diagnosis peritonitis biasanya secara klinis. Keluhan pokok pada peritonitis

adalah nyeri abdomen. Sedangkan tanda penting yang dapat dijumpai pada pasien

peritonitis antara lain pasien tampak ketakutan, diam atau tidak mau bergerak,

perut kembung, nyeri tekan abdomen, defans muskular, bunyi usus berkurang atau

menghilang, dan pekak hati menghilang.

Pasien peritonitis umumnya datang dengan keadaan dehidrasi bahkan syok.

Resusitasi cairan merupakan hal penting dalam menangani keadaan tersebut.

Selain resusitasi cairan, umumnya terapi pembedahan dan antibiotik yang adekuat

juga penting dalam mengatasi peritonitis.

Prognosis peritonitis tergantung dari berapa lamanya proses peritonitis

sudah terjadi. Semakin lama orang dalam keadaan peritonitis akan mempunyai

prognosis yang makin buruk.

DAFTAR PUSTAKA

30

Page 31: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

1. Sjamsuhidajat, R., Dahlan, Murnizal, dan Jusi, Djang. Buku Ajar Ilmu Bedah

Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Gawat Abdomen.

2. James, David. Anaesthetic Assessment of Patients with Gastrointestinal

Problems. Anaesthesia and Intensive Care Medicine 2009; 10 (7): 318-322.

3. Arief, M., Suprohaita, Wahyu, I.K., and Wieiek, S. Kapita Selekta Kedokteran

Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius FKUI, 2000; Bedah Digestif.

4. Skipworth, R.J.E and Fearon, K.C.H. Acute Abdomen: Peritonitis. Surgery

2007; 26 (3): 98-101.

5. Tortora, Gerard J and Derrickson, Bryan. Principles of Anatomy and

Physiology 12th Edition. USA: John Wiley & Sons, 2009, Chapter 24; The

Digestive System.

6. Ramli, Rosdiana. 2011. Peradangan Peritoneum. Available from:

http://www.infokedokteran.com/info-obat/diagnosis-dan-penatalaksanaan-

pada-penyakit-peritonitis.html/feed. [Accessed October 30, 2012].

7. James, Brian Daley. 2011. Peritonitis and Abdominal Sepsis. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/789105-overview. [Accessed October

30, 2012].

8. Rasad, S., Kartoleksono, S., dan Ekayuda, I. Radiologi Diagnostik. Jakarta:

Gaya Baru, 1999; Abdomen Akut.

9. Komisi Trauma IKABI. 2004. ATLS (Advanced Trauma Life Support) Untuk

Dokter.

10. Bac D-J, Siersema, P.D., Mulder, P.G.H., De-Marie, S., and Wilson, J.P.H.

Spontaneous Bacterial Peritonitis: Outcome and Predictive Factors. Eur J

Gastroenterol Hepatol 1993; 5: 635-640.

11. Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. Kapita Selekta Gastroenterologi.

Jakarta: CV Sagung Seto, 2007; Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang

Memerlukan Tindakan Bedah.

12. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi

Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;

Terapi Cairan pada Pembedahan.

31

Page 32: Laporan Kasus Penanganan Peritonitis Dalam Anestesiologi

13. Leksana, E. Terapi Cairan dan Darah. Cermin Dunia Kedokteran 2010; 177:

282-320.

14. Latief, S.A., Suryadi, K.A., dan Dachlan, M.R. Petunjuk Praktis Anestesiologi

Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UI, 2002;

Transfusi Darah pada Pembedahan.

15. Hardiono, Hanindito, Elizeus, Rahardjo, Puger, dan Rahardjo, Eddy. Buku

Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: EGC, 2011; Keseimbangan Cairan,

Elektrolit, dan Asam Basa.

32