37
Laporan Kasus SIDA Disusun oleh : Veresa Chintya 11.2013.215 Pembimbing : dr. Ruswhandi, Sp.PD, KGEH Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

zzzz

Citation preview

Page 1: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Laporan Kasus

SIDA

Disusun oleh :

Veresa Chintya

11.2013.215

Pembimbing :

dr. Ruswhandi, Sp.PD, KGEH

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jakarta

Page 2: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)

Jl.Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk-Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

Hari/Tanggal ujian/Presentasi Kasus:………………………………….

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

============================IDENTITAS PASIEN==============================

Nama lengkap: Ny. YO Jenis kelamin: Perempuan

Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 15 Oktober 1980 Suku bangsa: Indonesia

Status perkawinan: Menikah Agama: Islam

Pekerjaan: Ibu rumah tangga Pendidikan: SMA

Alamat: Rawasari Timur I dalam, Cempaka Putih

A.ANAMNESIS

Diambil dari: Auto/Alloanamnesis Tanggal: 8/01/2015 Jam: 09.00

Keluhan utama

Badan lemas sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

Pasien mengeluh lemas sejak 1 minggu SMRS. Selain itu pasien juga mengeluh kepala terasa

pusing, jantung berdebar-debar, demam hilang timbul, suhu badan tidak diukur oleh pasien.

Demam tidak diikuti dengan menggigil, tidak ada nyeri sendi, tidak ada riwayat mimisan

maupun gusi berdarah, tidak ada riwayat batuk-batuk lama, tidak ada nyeri tenggorokan maupun

nyeri menelan, dan tidak diare. Tidak terdapat nyeri ulu hati. Terdapat mual namun tidak

Nama : Veresa Chintya

NIM : 11.2013.215

Dr.Pembimbing/Penguji : dr. Ruswhandi, Sp.PD, KGEH

Page 3: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

muntah. Nafsu makan biasa, dan tidak terdapat penurunan berat badan. BAK tidak nyeri, tidak

anyang anyangan, dengan konsistensi jernih kekuningan dalam sehari kira kira 6 gelas aqua.

BAB normal. Pasien diketahui menderita SIDA sejak 4 bulan yang lalu. Suami pasien meninggal

1,5 bulan yang lalu karena SIDA. Terdapat riwayat meminum ARV( Anti Retroviral) sejak 1,5

bulan yang lalu, obat ARV yang digunakan yaitu Nevirapin 1xsehari, Lamivudin 1xsehari. Saat

diketahui SIDA CD4 302.

Penyakit Dahulu (Tahun, diisi bila ya (+), bila tidak (-))

(-) Cacar (-) Malaria (-)Batu ginjal/Saluran kemih

(-) Cacar air (-)Disentri (-)Burut (Hernia)

(-)Difteri (-)Hepatitis (-)Penyakit prostat

(-)Batuk rejan (-)Tifus abdominalis (-) Wasir

(-)Campak (-)Skrofula (-)Diabetes

(-)Influensa (-)Sifilis (-)Alergi

(-)Tonsilitis (-)Gonore (-)Tumor

(-)Korea (-)Hipertensi (-)Penyakit Pembuluh

(-)Demam Rematik Akut (-)Ulkus Ventrikuli (-)Perdarahan otak

(-)Pneumonia (-)ulkus duodeni (-)Psikosis

(-)Pleuritis (-)Gastritis (-)Neurosis

(-)Tuberkulosis (-)Batu Empedu Lain-lain: (-)Operasi

(-)Kecelakaan

Riwayat Keluarga

Suami pasien menderita SIDA, dan telah meninggal 1,5 bulan yang lalu.

Tidak ada keluarga pasien yang menderita DM, Asma, Hipertensi, Penyakit jantung, penyakit ginjal.

Adakah kerabat yang menderita:

Penyakit Ya Tidak Hubungan

Alergi V

Asma V

Tuberculosis V Suami

Arthritis V

Rematisme V

Hipertensi V

Page 4: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Jantung V

Ginjal V

Lambung V

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

Habitus : Atleticus

Keadaan gizi : Normoweight

Tinggi badan : 153 cm

Berat badan : 50 kg

IMT : 21,4 kg/m2

Tanda-tanda vital :

o TD : 110/70 mmHg

o Nadi : 104x/menit , reguler, isi penuh

o RR : 20 x/menit

o Suhu : 37 0 C per axilla

Kepala :bentuk normocephal, ekspresi wajah biasa, rambut hitam,

distribusi merata, tidak mudah dicabut, muka simetris

Mata :Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-, pupil bulat isokor

diameter 3mm/3mm, reflek cahaya +/+ N, udem palpebra -/-

Telinga :Bentuk normal, serumen +/+, liang telinga lapang, membran

timpani intak

Page 5: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Hidung : Deviasi septum (-), secret (-/-), epistaksis (-/-)

Mulut : Bibir tidak sianosis, mukosa basah,

: gusi berdarah(-), lidah kotor (-),

: tonsil tidak membesar (T1-T1) tenang

Tenggorokan : faring tidak hiperemis

Leher : kelenjar tyroid tidak teraba membesar,

: kelenjar getah bening tidak teraba membesar,

: JVP: 5-2 cm

Thorax : simetris saat statis dan dinamis

Pulmo : I : normochest, retraksi -/-, sela iga tidak melebar

: P : vokal fremitus kanan = kiri

: P : sonor pada lapang paru kanan dan kiri

: A: suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-

Cor : I : tidak tampak ictus cordis

P : iktus cordis teraba, tidak kuat angkat

P : batas pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra

Batas kiri jantung ICS V linea midklavicula sinistra

Batas kanan jantung ICS V linea stemalis dextra

A : BJ I dan II reguler, Gallop -, Murmur -

Abdomen : I : datar, jaringan parut (-)

Page 6: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

: P : datar, Hepar tidak teraba besar, lien tidak teraba,

Ballotement (-/-), Defens Muscular (-), Nyeri tekan

epigastrium (-) Nyeri tekan hipokondrium dextra (-),.

: P : timpani

: A : bising usus (+) normal

Ekstremitas : superior : akral hangat, edema (-), kulit terlihat pucat

Inferior : akral hangat ,edema (-), kulit terlihat pucat

C.LABORATORIUM & PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA

Hasil pemeriksaan laboratorium pada tanggal 08/01/2015 jam 16.50

Hasil Nilai Rujukan

Hemoglobin 4,2 12-16 gr/dL

Hematokrit 11 37-47 %

Eritrosit 1,1 4,3-6,0 juta/uL

Leukosit 1880 4800-10.800/uL

Trombosit 192000 150.000-400.000/uL

MCV 103 80-96 fl

MCH 39 27-32 pg

MCHC 38 32-36 g/dL

Ureum 17 20-50 mg/dL

Kreatinin 0.6 0.5-1.5 mg/dL

Glukosa darah (sewaktu) 99 <140 mg/dL

Natrium (Na) 135 135-147 mmol/L

Page 7: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Kalium (K) 3.6 3.5-5.0 mmol/L

Klorida (Cl) 100 95-105 mmol/L

D. RINGKASAN (RESUME)

Wanita 34 tahun datang ke RSPAD Gatot Soebroto dengan keluhan badan terasa lemas sejak 1

minggu SMRS. Selain itu pasien juga mengeluh badan terasa pusing, jantung berdebar-debar,

demam hilang timbul. Terdapat mual namun tidak muntah. Pasien diketahui menderita SIDA

sejak 4 bulan yang lalu. Suami pasien meninggal 1,5 bulan yang lalu karena SIDA. Terdapat

riwayat meminum ARV( Anti Retroviral) sejak 1,5 bulan yang lalu, obat ARV yang digunakan

yaitu Nevirapin 1xsehari, Lamivudin 1xsehari. Saat diketahui SIDA CD4 302.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang kesadaran compos

mentis TD 110/70 Nadi 104x/menit RR 20x/menit Suhu 37 o C, terdapat konjungtiva anemis +/+

dan kulit terlihat pucat. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 4,2 g/dl Ht 11% Eritrosit

1,1 juta/uL, Leukosit 1880, MCV 103 fL, MCH 39 pg, MCHC 38 g/dL, dan ureum 17mg/dL.

E. MASALAH

1. SIDA

2. Anemia Gravis

F.PENGKAJIAN MASALAH DAN RENCANA TATALAKSANA

1. SIDA

Dasar yang mendukung :

Anamnesis : - Pasien diketahui mengidap SIDA sejak 4 bulan SMRS

- Suami pasien mengidap SIDA dan telah meninggal

Pemeriksaan Fisik : - Candidiasis oral +

Pemeriksaan Penunjang : - Leukosit 1880

Rencana diagnostik : - Cek Viral Load

-Cek CD4

-Rontgen Thorax

Rencana terapi : - Tenofovir 1x1

Page 8: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

- Hiviral 2x1

- Neviral 1x1

2. Anemia Gravis ec ARV dd/ defisiensi asam folat dd/ defisiensi vitamin B12

Dasar yang mendukung

Anamnesis: - Badan terasa lemah sejak 1 minggu SMRS

- Kepala terasa pusing dan jantung berdebar debar

Pemeriksaan Fisik : - Konjungtiva anemis

- Kulit terlihat pucat

Pemeriksaan Penunjang : - Hemoglobin 4,2 gr/dL

- Hematokrit 11 %

- Eritrosit 1,1 juta /uL

Rencana diagnostik : - Apusan darah tepi

Rencana terapi : - IVFD RL 500 cc/8jam

-Asam folat 1x 15mg

-Vitamin B12 3x500mg

-Tranfusi PRC bertahap. Target Hb >10 g/dL

-Premedikasi dexamethason 1 amp IV

-Premedikasi Lasix 1 amp IV

G.KESIMPULAN

1. Perempuan 34 tahun mengidap SIDA dan mengalami Anemia gravis ec ARV

H.PROGNOSIS

Ad vitam : dubia

Ad functionam : dubia

Ad sanationam : dubia

Page 9: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

I. CATATAN PERKEMBANGAN

Tanggal 09/01/2015 pukul 08.00

S: Pasien mengatakan badan terasa lemas, kepala pusing, jantung berdebar, dan terkadang

demam yang hilang timbul.

O: Pemeriksaan fisik

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Nadi : 104x/menit

Suhu : 37oC

Nafas : 20x/menit

Kepala : Normocephali

Mata : Konjungtiva anemis +/+, Sklera Ikterik -/-.

Thorax : simetris saat statis dan dinamis

Paru : SN vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-

Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : Supel, datar, nyeri tekan epigastrium(-)

Ekstremitas : akral hangat, oedem – CRT >2”, kulit pucat

A: Anemia gravis ec susp. ARV pada SIDA

P: IVFD RL 500cc/8jam

Diet biasa 1500 kal/hari

O2 3Lpm

Parasetamol 3x 500mg

Asam folat 1x 15mg’

Vitamin B12 3x500mg

Tenofovir 1x1

Hiviral 2x1

Neviral 2x1

Tranfusi PRC bertahap. Target Hb >10 g/dL (premedikasi dexamethason 1 amp IV,

Lasix 1 amp IV)

Page 10: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

HIV - AIDS

DEFINISI

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang

diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human

Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir

dari infeksi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)

EPIDEMIOLOGI

Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.

Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah kasus

baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat

peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.

(Djoerban Z dkk, 2006)

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.

Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi

(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks

(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur

telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of

epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized epidemic).

( Mustikawati DE dkk, 2009)

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS

yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat

dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.

Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS dimana pada

tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah mencapai angka 16.110

kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).

Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar

74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan

48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan

Page 11: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok

homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun

hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada

kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun. (Depkes RI, 2008)

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah kumulatif

kasus AIDS berasal dari propinsi Jawa Barat sebesar 2.888 kasus, disusul DKI Jakarta dengan

2.781 kasus, kemudian diikuti oleh Jawa Timur, Papua, dan Bali dengan masing-masing jumlah

kasus secara berurutan sebesar 2.591 kasus, 2.382 kasus, dan 1.177 kasus AIDS. (Depkes

RI,2008)

Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008

adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia 227.132.350

jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan meninggal sebesar

20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC sebanyak 8.986 kasus,

diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus, dermatitis generalisata 1.146

kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus. (Depkes RI,2008)

ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk

retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana

lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41.

Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper

lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17.

Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim

transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP dkk,2006)

Page 12: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Struktur virus HIV-1

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama

disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang

terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan erat

dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)

MODE PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital

(hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang

terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal dari ibu

ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.

Risiko penularan HIV dari cairan tubuh.

Risiko tinggi Risiko masih sulit ditentukan

Risiko rendah selama tidak terkontaminasi darah

Darah, serumSemenSputumSekresi vagina

Cairan amnionCairan serebrospinalCairan pleuraCairan peritoneal

Mukosa seriksMuntahFesesSalivaKeringat

Page 13: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Cairan perikardialCairan synovial

Air mataUrin

Sumber : Djauzi S, 2002

PATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus

mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi

mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi kehilangan

fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif. (Djoerban Z dkk,

2006)

Namun beberapa se lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan

invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,

mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit

CD8, sel retina dan epitel ginjal. (Merati TP dkk, 2006)

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan

bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul adhesi

pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific

intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Antigen gp120 yang berada

pada permukaan HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5,

dan dengan mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel

CD4, sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan

bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA

pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai

provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim

polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan protein-

protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein virus.

Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya akan

menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran sel, virion

akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi HIV terjadi di

kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Page 14: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,

akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan

hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada berbagai

antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi muncul di

sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi pertama kali

Page 15: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut masa jendela.

Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang dapat membentuk

antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi tersebut tidak dapat

mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek. Sedangkan respon imun

selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang sebagian besar adalah sel T

CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan

terus laju replikasi HIV. (Djoerban Z dkk, 2006)

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan

progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,

terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada pasien

HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus. (Djoerban Z dkk, 2006)

PERJALANAN PENYAKIT

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali

seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang masuk

tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10 tahun,

dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan

kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang

kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap. (Djoerban Z dkk,

2006)

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala

infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.

Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam,

diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan. (Djoerban Z

dkk, 2006)

Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung

selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat cepat,

dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor). Sejalan dengan

Page 16: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala akibat infeksi

oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah, pembesaran kelenjar getah

bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-lainnya.

Kelompok Gejala Kekerapan (%)

Umum Demam 90 Nyeri otot 54

Nyeri sendi -

Rasa lemah -

Mukokutan Ruam kulit 70 Ulkus di mulut 12

Limfadenopati

74

Neurologi Nyeri kepala 32 Nyeri belakang mata -

Fotofobia -

Depresi -

Meningitis 12

Saluran cerna Anoreksia - Nausea -

Diare 32

Jamur di mulut 12

Gejala klinis infeksi primer HIV

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan

memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan

menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.

Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit

CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati generalisata

yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan turnover HIV dalam

kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun tubuh adalah kerusakan

mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas ke jaringan limfoid, yang

dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian replikasi HIV terjadi di kelenjar

getah bening, bukan di peredaran darah tepi. (Djoerban Z dkk, 2006)

Page 17: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan

gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi yang

cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan dengan

replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih bisa

mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari. (Djoerban

Z dkk, 2006)

Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna

narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang

dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang

tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi

pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin

mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan menimbulkan

efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus HIV membelah

dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu juga dapat

menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan penyakitnya biasanya

lebih progresif. (Djoerban Z dkk, 2006).

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV menyebar

luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada pemeriksaan darah tepi.

Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan penurunan viremia.

Page 18: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Perjalanan alamiah infeksi HIV

Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga mencapai

di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

DIAGNOSIS

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yang

tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV,

deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh yakni

melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit

Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi

oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. ( Depkes RI, 2007)

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan jika

ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika

suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular seksual, hamil,

mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil

pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.

Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C yakni confidential (rahasia),

Page 19: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan dengan informed consent.

(Djoerban Z dkk,2006)

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas

tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka

pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi

oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western Blot

(WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin HIV, dan

kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif belum

tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari darah ibu. IgG ini

dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18

bulan. (Djoerban Z dkk,2006)

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes

konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan

WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan

strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak melibatkan

pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali

positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes tidak sama missal

hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes

pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate

dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila

orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan

dilaporkan sebagai non-reaktif. (Djoerban Z dkk,2006).

Page 20: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Alogaritma pemeriksaan HIV

Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),

stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS).

Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat dijadikan sebagai

panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai atau mengubah

terapi ARV.

Stadium 1 AsimptomatikTidak ada penurunan berat badanTidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringanPenurunan BB 5-10%ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitisHerpes zoster dalam 5 tahun terakhirLuka di sekitar bibir (keilitis angularis)Ulkus mulut berulangRuam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)Dermatitis seboroikInfeksi jamur kuku

Page 21: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Stadium 3 Sakit sedangPenurunan berat badan > 10%Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan Kandidosis oral atau vaginalOral hairy leukoplakiaTB Paru dalam 1 tahun terakhirInfeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)TB limfadenopatiGingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akutAnemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis (<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)Sindroma wasting HIVPneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulangHerpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.Kandidosis esophagealTB Extraparu*Sarkoma kaposiRetinitis CMV*Abses otak Toksoplasmosis*Encefalopati HIVMeningitis Kriptokokus*Infeksi mikobakteria non-TB meluas

PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun data selam 8

tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan dengan

menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan morbiditas dan

mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).

Page 22: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai

infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma

kaposi, limfoma, kanker serviks.

c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik dan

pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama serta

juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang

lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan

kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

Terapi Antiretroviral (ARV)

Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin, zalsitabin,

stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir

Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan

nevirapin

Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat

antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi

penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang

tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada

dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting yang

tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV. ( Depkes RI, 2007)

Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai

terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama, setidaknya

setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul gejala atau tanda

klinis yang baru. (Depkes RI, 2007)

Terapi pada ODHA dewasa

Stadium Klinis

Bila tersedia pemeriksaan CD4Jika tidak tersedia pemeriksaan CD4

Page 23: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

1Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200

Terapi ARV tidak diberikan

2Bila jumlah total limfosit <1200

3

Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan terapi sebelum CD4 <200/mm3.Pada kehamilan atau TB: Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil

dengan CD4 350 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan

CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi bakterial berat

Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total

4Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB paru

dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang menyerupai

penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam berkepanjangan).

2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum dapat

ditentukan.

3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4

tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau

III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada

pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat ini

belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV

adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit

akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi

dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi ARV

sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum untuk

memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui, dan pasien

dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun imunologis. Terapi

ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat dan CD4 < 350/mm3.

Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 / mm3. Keputusan untuk

memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada pemeriksaan klinis dan

imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja dapat memandu keputusan

Page 24: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai

pemandu keputusan memulai terapi. (Depkes RI, 2007)

Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang

aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.

Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan

fungsi kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin

(AIII). Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan

lainnya, misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu

setelah terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga

untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS. (Depkes RI, 2007)

Panduan Kombinasi Obat ARV

Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan

oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART.

Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV

menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan

manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi. (Yunihastuti E, 2005)

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI

dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin

(3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan

efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007)

Page 25: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +

NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan

anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC + NVP.

Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T seperti

lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat

digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan hamil

karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI tentunya

dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.

Page 26: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal

terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber dayanya

masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama (bersama

kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan CD4>250/ mm3

yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan intoleransi NNRTI.

Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok besar yakni

(Djauzi S dkk, 2002) :

1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi. Misalnya

pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk mencegah

Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi risiko PCP.

2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi. Contohnya

setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam dosis yang

lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.

Page 27: Laporan Kasus SIDA Non Anamnesis Sistem(Edit 3)

Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi

oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan. Namun

bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel berikut

menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi oportunistik.

Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti vaksinasi

pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A. (Djauzi S dkk, 2002)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar. Jakarta:

Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and related

disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL, Jameson JL.

editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United States of

America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z, editors.

Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat

Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

6. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA, Munasir Z,

Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and children in

Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan

Anak FKUI-RSCM 2009

7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada

orang Dewasa dan Remaja” edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik Indonesia

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2007

8. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive summary.

Geneva. 2010.