32
LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI KUANTITATIF LAUT Oleh : Shendi Priono H1K012023 Rafid Arifuddin S. H1K012028 Olief Nur Alifah H1K012040 Faisal Yunus H1K012045 Adi Saputra H1K012048 Kelompok 4 JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO 2015

Laporan Kelompok 4 Ekokula

Embed Size (px)

DESCRIPTION

eee

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUM

EKOLOGI KUANTITATIF LAUT

Oleh :

Shendi Priono H1K012023Rafid Arifuddin S. H1K012028Olief Nur Alifah H1K012040Faisal Yunus H1K012045Adi Saputra H1K012048

Kelompok 4

JURUSAN ILMU KELAUTANFAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANPURWOKERTO

2015

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Sumberdaya pesisir dan lautan memiliki arti yang sangat strategis bagi pembangunan dan

kehidupan masyarakat. Secara biofisik, wilayah pesisir dan lautan mengandung sumberdaya alam

yang beragam jenisnya. Salah satu sumberdaya pesisir yang penting peranannya ditinjau dari

aspek produksi, konservasi, rekreasi dan pariwisata adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu

karang merupakan salah satu ekosistem khas perairan tropik, dengan keanekaragaman jenis biota

yang tinggi. Biota yang hidup di terumbu karang merupakan suatu komunitas yang terdiri dari

berbagai tingkatan tropik, dimana masing-masing komponen dalam komunitas ini saling

tergantung satu sama lain, sehingga membentuk suatu ekosistem yang lengkap. Salah satu jenis

biota yang hidup di terumbu karang adalah ikan karang, yang umumnya memiliki tingkat

keanekaragaman jenis yang tinggi pada ekosistem tersebut.

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan ikan karang dipengaruhi oleh

kondisi terumbu karang, dimana pada daerah yang terlindung (leeward) dan daerah terbuka

(windward) biasanya terdapat terumbu karang yang mempunyai struktur morfologi yang berbeda.

12.000 spesies ikan laut dunia, kurang lebih 7.000 spesies (58,3%) merupakan ikan yang hidup

didaerah terumbu karang. Selanjutnya dikatakan bahwa wilayah antara bagian utara dan selatan

Sulawesi hingga ujung barat Papua termasuk kepulaun Raja Ampat dan Halmahera merupakan

wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi, terutama untuk karang dan ikan karang.

Komunitas ikan karang merupakan bagian yang sangat penting dalam ekosistem terumbu

karang, tidak hanya bagi ikan itu sendiri yang menjadikan ekosistem terumbu karang sebagai

habitat vitalnya, yaitu sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

ground) dan mencari makan (feeding ground), namun juga penting dalam menjaga keseimbangan

antara berbagai komponen penyusun ekosistem terumbu karang. Secara ekonomis, ikan karang

sangat penting bagi nelayan dan dunia pariwisata. Bagi masyarakat nelayan, ikan karang menjadi

sumber pendapatan atau sebagai bahan makanan sehari-hari. Dalam kehidupan sehari-hari, di

pasar-pasar tradisional sekitar wilayah pesisir selalu banyak ditemui ikan karang untuk

diperjualbelikan. Mereka biasanya ditangkap menggunakan pancing, spear gun atau dengan

jaring.Untuk dunia pariwisata, kepentingan ikan karang tidak diragukan lagi sebagai objek yang

diburu oleh para turis akibat warna dan bentuknya yang beraneka. Ikan karang tersebut akan

menjadikan ekosistem terumbu karang menjadi hidup dan sengat indah. Bagi masyarakat sekitar

ekosistem terumbu karang, ikan karang merupakan salah satu sumberdaya penghasil kebutuhan

hidup mereka.

Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) merupakan salah satu daerah perikanan artisanal

(tradisional) penting di Laut Jawa, dengan 64 genera karang dan 353 spesies ikan karang,

Karimunjawa merupakan salah satu kawasan yang dapat mewakili kondisi terumbu karang

dengan kategori baik dari Kawasan Barat Indonesia (WCS-technical report, 2004). Kepulauan

Karimunjawa merupakan wilayah Kabupaten Jepara yang ditetapkan sebagai taman nasional

pada tahun 1998. Kepulauan ini terdiri atas gugusan 27 pulau yang terbagi menjadi dua wilayah

yaitu wilayah taman nasional dan wilayah luar taman nasional. Taman Nasional Karimunjawa

sendiri merupakan gugusan 22 pulau di Laut Jawa yang terletak sekitar 60 mil laut sebelah utara

Jawa Tengah seluas 111.625 ha. Kegiatan utama pemanfaatan disekitar ekosistem terumbu

karang TNKJ meliputi kegiatan perikanandan wisata bahari.Sebesar 60% masyarakat

Karimunjawa berprofesi sebagai nelayan, hal ini mengindikasikan tingginya tingkat

ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya perikanan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Metode Catch Effort

Catch (hasil tangkapan), Effort (upaya pengkapan) dan CPUE (hasil tangkapan per-unit

upaya) adalah tiga pekan yang dijadikan salah satu indikator pengelolaan perikanan

keberlanjutan. Pola umum suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfished

indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan

(catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE). Pada saat

menjelang overfishing diperoleh suatu kenyataan bahwa peningkatan upaya ternyata tidak dapat

lagi meningkatkan hasil tangkapan, bahkan CPUE turun drastic (Badrudin dan Wudianto 2004

dalam Evi andriana 2007).

Hasil tangkapan per unit upaya sebagai indicator besarnya (ukuran) stok. Hampir semua

ahli perikanan di dunia menggunakan data hasil tangkapan per unit upaya dalam menduga stok

ikan, diasumsikan ketika stok ikan mengalami penurunan, hasil tangkapan nelayan akan menurun

secara bertahap. Dengan asumsi ini, ahli perikanan mengabaikan kemampuan adaptasi dan

kapasitas sumberdaya nelayan. Ketika nelayan tidak puas dengan hasil tangkap harian yang

didapat, kemungkinan dipindahkan ke bagian lain dimana ikan diperkirakan masih cukup banyak

(Sadovy,dkk dalam Evi andriani, 2007).

Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang

menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Nilai ini bisa

digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus. Nilai

CPUE yang menurun dapat menandakan bahwa potensi sumberdaya sudah tidak mampu

menghasilkan lebih banyak walaupun upaya ditingkatkan. Catch Per Unit Effort (CPUE)

merupakan hasil tangkapan per unit alat tangkap pada kondisi bimassa yang maksimum (King,

1995).

II.2. Metode LIT

Metode Transek garis (Line Intercept transect/LIT) merupakan metode yang digunakan

untuk mengestimasi penutupan karang dan penutupan komunitas bentos yang hidup bersama

karang. Metode ini cukup praktis, cepat dan sangat sesuai untuk wilayah terumbu karang di

daerah tropis. Pengambilan data dilakukan pada umumnya di kedalaman 3 meter dan 10 meter,

sehingga bagi tim kerja yang terlibat dalam metode ini sebaiknya memiliki keterampilan

menyelam yang baik.

Pengamatan dengan menggunakan metode Transek garis (LIT) membutuhkan paling

sedikit 3 orang anggota tim dengan masing‐masing orang mengetahui tugas dan fungsinya,

sebagai berikut:

1 orang bertugas memasang patok, membentangkan meteran dan menggulungnya kembali.

1 orang bertugas sebagai pengamat (observer).

1 orang bertugas mengemudikan perahu motor yang digunakan menuju lokasi pengambilan

data. Selain itu, bertugas untuk merekam posisi pengambilan sampel dengan GPS.

Besar persentase tutupan karang mati, karang hidup, dan jenis lifeform lainnya dihitung

dengan rumus (English et al., 1997):

C= aA

x100 %

Dimana :

C = Presentase penutupan lifeform I

a = Panjang transek lifeform I

A = Panjang total transek

II.3. Persentase tutupan karang

Proses pembentukan karang membutuhkan waktu yang lama bahkan sudah mulai sejak

jutaan tahun lalu sebelum zaman masehi mulai ada gambaran tersebut dapat dilihat dari luasnya

bentangan terumbu karang, baik secara horizontal maupun vertikal di dunia terutama di daerah

tropis (Risyad, 2002). Prosentase pengukuran karang hidup yang ditentukan dengan pengukuran

berbagai bentuk pertumbuhan karang karang penyusun terumbu yang meliputi karang keras

(Acropora dan non Acropora), serta menghitung prosen penutupannya dapat dilakukan dengan

menggunakan persamaan (English et al., 1994).

Ni = liL

x 100%

Dimana :

Ni : Presentase tutupan karang hidup (%)

li : Panjang koloni per panjang transek garis (cm)

L : Panjang transek garis 20 m

Untuk menentukan dan mengetahui bagaimana keadaan suatu kondisi dari penutupan

karang pada suatu daerah dalam keadaan baik atau tidak, dapat dilakukan dengan cara melihat

daftar kategori berikut:

75 – 100% : Sangat baik

50 – 79,9% : Baik

25 – 49,9% : Sedang, dan

0 – 24,9% : Rusak/Buruk

Selain dibedakan berdasarkan bentuk skeletonnya, terumbu karang juga dibedakan

berdasarkan bentuk dan hubungan perbatasan tumbuhnya terumbu karang dengan daratan (land

masses). Terdapat tiga klasifikasi terumbu karang yang sampai sekarang masih secara luas

dipergunakan. Ketiga tipe tersebut adalah:

1. Terumbu karang tepi (fringing reefs)

Gambar 2. Terumbu karang tepi

Terumbu karang tepi bisa mencapai kedalaman 40 meter dengan pertumbuhan ke atas dan

ke arah luar menuju laut lepas. Terumbu karang ini tumbuh keatas atau kearah laut. Pertumbuhan

terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. tumbuh mengelilingi pulau, jarak dari pantai

bervariasi dari 3-300 m. Pada pantai yang curam, pertumbuhan terumbu jelas mengarah secara

vertical (Sprung et al., 2001).

2. Terumbu karang penghalang (barrier reefs)

Gambar 3. Terumbu karang penghalang

Terumbu karang ini terletak pada jarak yang relatif jauh sekitar 52 km dari pulau, ke arah

laut lepas dengan dibatasi oleh perairan berkedalaman hingga 75 meter. Terkadang membentuk

lagoon (kolom air) atau celah perairan yang lebarnya mencapai puluhan kilometer. Umumnya

karang penghalang tumbuh di sekitar pulau sangat besar atau benua dan membentuk gugusan

pulau karang yang terputus-putus. Contoh: Great Barrier Reef (Australia), Spermonde (Sulawesi

Selatan), Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah) (Sprung et al., 2001).

3. Terumbu karang cincin (atolls)

Gambar 4. Terumbu karang cincin

III. MATERI DAN METODE

III.1. Materi

III.1.1. Alat dan Bahan

Untuk melakukan pengamatan terumbu karang dengan menggunakan metode lit ini

diperlukan peralatan sebagai berikut : kaca mata selam (masker), alat bantu pernapasan di

permukaan air (snorkel), alat bantu renang di kaki (fins), perahu bermotor (minimal 5 pk), scuba,

meteran gulung 50 meter. Patok besi, papan plastik putih yang permukaannya telah dikasarkan

dengan kertas pasir, pensil, tas peralatan, tali nilon sepanjang paling sedikit 60 meter, global

positioning system (gps)

III.2. Cara kerja

Garis transek dibuat dengan cara membentangkan tali atau rol meter sepanjang 50 m

sejajar garis pantai. Transek ini diberi tanda (sebagai transek permanen) dengan menancapkan

besi beton sepanjang 1.2 m sebanyak 5 buah, dengan jarak antara 12.5 m.

Genera atau spesies dari komunitas bentos utama (seperti karang dan alga makro) serta

kategori‐kategori lifeform kemudian dicatat pada data sheet, oleh penyelam yang bergerak

sepanjang garis yang dibentangkan secara paralel dengan reef crest, pada kedalaman 3 dan 10 m

disetiap lokasi pengamatan. Semua bentuk pertumbuhan karang dan biota yang terletak di bawah

transek dicatat.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

IV.1.1. Tutupan Karang

Gambar 6. Penutupan Karang

CM ACT ACS ACB CE CF ACD HC DC SC SandStasiun 1 46,66 11,11 28,88 13,33 0 0 0 0 0 0 40Stasiun 2 66,84 0 22,73 10,43 0 0 0 37,4 11 23 27

Stasiun 3 7,5 0 39,28 41,0712,1

4 0 0 56 0 0 14

Stasiun 4 35,51 34,87 3,34 21,34 0 3,5 1,43 60,54,8 0 32

IV.1.2. Hasil tangkapan ikan

Tabel 1. CPUE Ikan LidahTahun Hasil tangkapan

(ci)Effort

(fi)CPUE

(Yi=ci/fi)Akumulasi

(Ki)2001 6750 207 32.60869565 02002 6375 128 49.8046875 6750

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6 STASIUN 7 STASIUN 80%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

5039

56 61.753

26.2 24.6

51

50

27

44 32.5

1052.4 6.5

11

5.8

36.5

69.8

11.235

237

0.5 2 11.80.52

PENUTUPAN KARANG

OtherTurf AlgaeSoft CoralDeath CoralSandHard Coral

2003 6609 230 28.73478261 131252004 7623 1109 6.873760144 197342005 6625 476 13.91806723 273572007 6083 927 6.562028047 339822008 7456 201 37.09452736 400652009 8555 1026 8.338206628 475212010 8315 735 11.31292517 560762011 10187 1166 8.73670669 74578

Jumlah (∑)     203.984387 383579

34870.81818

C 0.000132481

20.3984387

N 188843.387218.5225467

SE = √218.5225467 = 14.895%CL = N±tα(SE) = 188843 ± 1.96(14.8) = 188843 ± 29Total Populasi = 188814 sampai 188872 ekor

Jadi, total populasi ikan lidah sebesar 188814 sampai dengan 188872 ekor

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Kategori tutupan

STASIUN 1

STASIUN 2

STASIUN 3

STASIUN 4

STASIUN 5

STASIUN 6

STASIUN 7

STASIUN 8

0

20

40

60

80

100

120

Komposisi SubstratCMACECSCMRCFCEACTACDACFACSACBOtherTurf AlgaeSoft CoralDeath CoralSand

Gambar 7. Komposisi Substrat

Berdasarkan hasil diatas didapatkan jenis acropora sangat banyak ditemukan pada setiap

setiap stasiun, hal tersebut menandakan komposisi di perairan Karimunjawa sangat didominasi

oleh acropora. Hal ini didukung referensi Menurut Veron (1986)dalam Tomasciket al.(1997)

bahwa dari 368 jenis, hanya 73 jenis telah diakui dari Timur Australia. Namun, hasil survey

terbaru yang dilakukan oleh Wallacebahwa Kepulauan Indonesia merupakan pusat

keanekaragaman Acropora, dengan lebih dari 90 jenis yang ada dan dalam daftar endemik yang

belum diberi nama. Untuk FamiliFaviidaememiliki 26 genera, dan di Indonesia ada 16 genera

dengan habitat yang tersebar luas mulai dari kedalaman dangkal hingga kedalaman 90

meter.Famili ini merupakan salah satu komponen utama pembentuk terumbu di Indonesia,

sedangkan untuk FamiliFungiidaesendiri banyak ditemukan karena karang ini mempunyai 11

genus dan 40 jenis, serta Polip dari Fungiidaesalah satu yang terbesar dengan berdiameter lebih

dari 50 cm. Sedangkan Poritidae 4 genera terdiri atas genusGoniopora dengan memiliki 39 jenis,

untuk Porites lebih dari 122 jenis.Famili ini tersebar luas dan cenderung mendominasi di daerah

terumbu belakang atau habitat lagoon (Tomasciket al., 1997).

Faktor lain yang mendukung dominannya keempat Famili tersebut, selain karena

kekayaan jenisnya yang tinggi juga kerena adaptasi dan reproduksinya. Untuk

FamiliAcroporidaememiliki distribusi yang paling banyak dan biasa ditemukan pada daerah yang

nutrientnya rendah dan daerah dengan energi yang tinggi (gelombang dan arus). Tingkat integrasi

koloni yang tinggi dan dispersi local yang cepat melalui fragmentasi (reproduksi aseksual).

Sehingga habitat dan pertumbuhannya lebih cepat daripada spesies lainnya (Tomasciket al.,

1997).

Gambar 8. Indeks Mortalitas

Berdasarkan menurut dari hasil indeks mortalitas didapatkan pada stasiun 2,4,5,6,7,8

terdapat angka mortalitas yang berbeda beda, nila tertinggi terdapat pada stasiun 63,7. Sedangkan

pada stasiun 1 dan 3 tidak terdapat nilai mortalitas hal ini menyatakan bahwa pada stasiun 1 dan 3

tergolong dalam kawasan yang baik, sebaliknya pada stasiun 2,4,5,6,7,8 terdapat karang yang

terkena penyakit karang dan menyebabkan karang tersebut mati.

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6 STASIUN 7 STASIUN 80

10

20

30

40

50

60

70

0

40

0

63

54

27 26

52

Indeks Mortalitas

Indeks Mortalitas

Gambar 9. Indeks Keanekaragaman

Nilai indeks keragaman yang diperoleh di setiap stasiun berkisar 0,41 – 1,13. Pada

Stasiun 1,2,3,6,7 diperoleh nilai keragaman antara 0,41 – 0,99, nilai ini termasuk dalam

keragaman baik. Di Stasiun 4,5,8 diperoleh indeks keragaman 1.12 – 1.13 yang berada daalam

kategori keragaman yang sedang. Dari hasil analisis indeks keragaman diatas menunjukkan

bahwa nilai indeks keragaman yang relatif baik – sedang. Nilai tersebut menunjukkan bahwa

jumlah individu masing-masing jenis karang batu dalam suatu komunitas berada dalam kondisi

relatif baik (Krebs, 1972).

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6 STASIUN 7 STASIUN 80.00

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

1.20

0.93

0.72

0.991.13 1.12

0.540.41

1.13

Indeks Keanekaragaman

Indeks Keanekaragaman

STASIUN 1 STASIUN 2 STASIUN 3 STASIUN 4 STASIUN 5 STASIUN 6 STASIUN 7 STASIUN 80

1

2

3

4

5

6

3.63

2.61

3.64

5.64

1.47

0.830.42

1.85

Indeks Dominansi

Indeks Dominansi

Gambar 10. Indeks Dominansi

Berdasarkan nilai indeks dominansi yang diperoleh disetiap stasiun yang berkisar antara

0.42 – 5,64 nilai ini termasuk dalam kategori tinggi. Nilai indeks dominansi berkisar antara 0 - 1.

Jika indeks dominansi mendekati 0 berarti hampir tidak ada individu yang mendominasi dan

biasanya diikuti indeks keragaman yang tinggi. Apabila indeks dominansi mendekati 1 berarti

ada salah satu jenis yang mendominasi dan nilai indeks keragaman semakin kecil (Krebs, 1972).

IV.2.2. Pembahasan metode Catch Effort

Catch (hasil tangkapan), Effort (upaya pengkapan) dan CPUE (hasil tangkapan per-unit

upaya) adalah tiga pekan yang dijadikan salah satu indikator pengelolaan perikanan

keberlanjutan. Pola umum suatu perikanan yang di eksploitasi yang mengalami overfished

indikatornya adalah bahwa naiknya total upaya (effort) diikuti oleh naiknya hasil tangkapan

(catch) yang kemudian diikuti oleh turunnya hasil tangkapan per-satuan upaya (CPUE).

Hasil tangkapan per unit upaya atau Catch Per Unit Effort (CPUE) merupakan angka yang

menggambarkan perbandingan antara hasil tangkapan per unit upaya atau usaha. Dimana, nilai

ini dapat digunakan untuk melihat kemampuan sumberdaya apabila dieksplotasi terus menerus.

Gambar 11. CPUE Ikan Lidah

Berdasarkan dari diagram diatas dapat diketahui bahwa catch per unit effort ikan lidah

mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2002 CPUE ikan lidah mencapai puncak diwilayah ini

berkisar 49,80 (Ton/Kapal) dan kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2004 hingga

mencapai 6,56 (Ton/Kapal). Jika dihubungkan dengan banyaknya upaya penangkapan (kapal)

yang dilakukan wilayah ini dapat dinyatakan semakin banyak nelayan yang melakukan

penangkapan diwilayah ini maka hasil penangkapan ikan lidah pun pada tahun 2002 cenderung

meningkat. Berbeda halnya pada tahun 2004. Rendahnya hasil tangkapan ikan lidah pada wilayah

penangkapan dianggap telah terjadi penurunan stock sumberdaya ikan lidah. Sehingga

penambahan upaya pun tidak dapat meningkatkan hasil tangkapan. Hasil analisis ini sesuai

dengan pernyataan Ali (2005), bahwa penambahan upaya penangkapan tidak dapat lagi

meningkatkan CPUE. Selanjutnya dikatakan oleh Ali (2005) Apabila penambahan upaya terus

berlanjut, maka secara biologis berbahaya terhadap populasi dan akan menimbulkan kerugian

ekologi dan ekonomi.

2001 2002 2003 2004 2005 2007 2008 2009 2010 20110

10

20

30

40

50

60

CPUE Ikan Lidah

CPUE Ikan Lidah

CPUE

(Ton

/Hau

ling)

Sedangkan rendahnya jumlah nelayan yang melakukan penangkapan di wilayah

penangkapan selai disebabkan oleh tingginya biaya yang diperlukan untuk persiapan

penangkapan, juga dikarenakan tingginya pajak yang dikenakan oleh pemerintah. Hal ini

diperkuat oleh analisis Ali (2005) yang menyatakan sumberdaya ikan terbang di duga telah

mengalami penurunan populasi akibat penangkapan secara berlebihan yang berdampak kepada

penurunan hasil tangkapan per upaya nelayan.

Adanya asumsi mengenai menurunnya stock sumberdaya ikan lidah ini menyebabkan

nelayan ikan lidah mencari tempat penangkapan baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Sadovy,

dkk dalam Andriani (2007) yang mengemukakan bahwa ketika stok sumberdaya mengalami

penurunan maka hasil tangkapan nelayan akan menurun secara bertahap. Ketika nelayan tidak

puas dengan hasil tangkap harian yang didapat, kemungkinan dipindahkan ke bagian lain dimana

ikan diperkirakan masih cukup banyak.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari praktikum dapat disimpulkan bahwa:

1) Berdasarkan hasil diatas didapatkan jenis acropora sangat banyak ditemukan pada setiap

setiap stasiun, hal tersebut menandakan komposisi di perairan Karimunjawa sangat

didominasi oleh acropora.

2) Berdasarkan dari diagram diatas dapat diketahui bahwa catch per unit effort ikan lidah

mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2002 CPUE ikan lidah mencapai puncak diwilayah

ini berkisar 49,80 (Ton/Kapal) dan kemudian mengalami penurunan drastis pada tahun 2004

hingga mencapai 6,56 (Ton/Kapal).

V.2. Saran

Dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa kondisi terumbu karang yang ada di Pulau

Karimunjawa terdapat penyakit yang membuat terumbu karang mengalami kerusakan yang

cukup tinggi sehingga perlu dilakukan suatu langkah kebijakan peraturan yang tegas tentang

Daerah Perlindungan Laut serta pemanfaatan yang baik untuk menjaga kondisi terumbu karang

tetap dalam kondisi stabil.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, S. A. 2005. Kondisi Sediaan dan Keragaman Populasi Ikan Terbang (H. oxycephalus) di Laut Flores dan Selat Makassar. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Universitas Hasanuddin. Makassar

Andriani. E. 2007. Produksi, CPUE dan Musim Rajungan (Portunnus Pelagicus) di pulau salemo. Skripsi jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar.

English, S., C. Wikinson and V. Barker .1994. Survei Manual For Tropical Marine Resources. Australia Institute Of Marine Science, Townville. Australia.

King, M. 1995. Fisheries Biology. Assessment and Management. Fishing News Books, Blackwell Science Ltd.

Krebs, C. J., 1972. Ecology, The Experimental Analisys of Distribution and Abundance. Haper and Row Publication. New York.

Risyad, I., M. 2002. Peran Manusia yang Melatar Belakangi Rusaknya Terumbu Karang di Pantai Selatan. Universitas Sumatra Utara, USU Repository. Medan

Sprung, J. 2001. Invertebrates: A Quick Reference Guide. Ricordea Publishing. Miami: 240 hlm.

Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The ecology of Indonesian seas, Part I, Periplus Editions (HK) Ltd., Singapore. 642p

LAMPIRAN

STASIUN 5

LIFE FORM% LIFE FORM PANJANG pi ln pi pi ln pi Hard

CoralSand

Death Coral

Soft Coral

Turf Algae

CM 10.50 105 0.105 -2.25379

-0.23665 530 100 365 5

ACB 21.50 215 0.215 -1.53712

-0.33048 53 10 36.5 0.5

CMR 5.00 50 0.05 -2.99573

-0.14979

ACT 7.50 75 0.075 -2.59027

-0.19427

ACS 8.50 85 0.085 -2.4651 -0.20953 530 H' = 1.475 -1.12072 E = H'/LOG S -1.60339 D= S-1/LOG N 1.474116

INDEKS

MORTALITAS = DC/DC + HC

54

STASIUN 6

LIFE FORM PANJANG pi ln pi pi ln pi% LIFE FORM

Hard Coral

SandDeath Coral

Soft Coral

Turf Algae

other

ACB 196 0.196 -1.62964 -0.31941 19.60 262 698 20 20CS 34 0.034 -3.38139 -0.11497 3.40 26.2 69.8 2 2

ACS 32 0.032 -3.44202 -0.11014 3.20 TOTAL 262 26.20

H' = 0.739 -0.54452

E = H'/LOG S -1.14126 D= S-1/LOG

N 0.827027

INDEKS

MORTALITAS = DC/DC +

HC

27.2

STASIUN 7

LIFE FORMPANJAN

G pi ln pi pi ln pi% LIFE FORM

Hard Coral

SandDeath Coral

Soft Coral

Turf Algae

ACB 226 0.22600 -1.48722

-0.33611 22.60 246 524 112 118

CM 20 0.02000 -3.91202

-0.07824 2.00 24.6 52.4 11.2 11.8

246 H' = 0.282 -0.41435

E = H'/LOG S -1.37645

D= S-1/LOG N 0.418246

INDEKS MORTALITAS = DC/DC +

HC 25.60

STASIUN 8

LIFE FORMPANJAN

G pi ln pi pi ln pi%

LIFE FORM

Hard Coral

SandDeath Coral

Soft Coral

Turf Algae

ACB 145 0.15 -1.93102

-0.28 14.50 51 6.5 35 7 0.5

ACS 145 0.15 -1.93102

-0.28 14.50

ACT 130 0.13 -2.04022

-0.26523 13.00

ACE 15 0.02 -4.19971

-0.063 1.50

CM 55 0.06 -2.90042

-0.15952 5.50

CMR 20 0.02 -3.91202

-0.07824 2.00

TOTAL 510 51.00 H' = 1.534 -1.12598

E = H'/LOG S -1.447

D= S-1/LOG N 1.846674

INDEKS MORTALITAS = DC/DC +

HC 52