Upload
fransiska-puteri
View
4.370
Download
6
Embed Size (px)
Citation preview
KIMIA PANGAN
ACARA 3
PROTEIN
KELOMPOK 2
ANDY IMAM H0912012
AGATHA ARISSA H0912003
DEANDA PUTRI H0912033
DWI ASTUTI H0912043
ENDAH PALUPI H0912045
FRANSISKA PUTERI H0912056
IRMA P H0912067
CP Kelompok 3 Protein 087775750871
ACARA III
PROTEIN
A. TUJUAN
Tujuan praktikum acara III Protein adalah:
1. Mengetahui titik isoelektrik dan kelarutan protein.
2. Mengetahui pengaruh penambahan Ca(OH)2 (garam), asam asetat dan
enzim bromelin terhadap penjendalan protein susu sapi dan sari kedelai
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Tinjauan Teori
Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam amino
yang tersusun dari atom nitrogen, karbon, hidrogen dan oksigen, beberapa
jenis asam amino yang mengandung sulfur (metionin, sistin, dan sistein)
yang dihubungkan oleh ikatan peptida. Dalam makhluk hidup, protein
berperan sebagai pembentuk struktur sel dan beberapa jenis protein
memiliki peran fisiologis. Berdasarkan bentuk molekulnya, protein
digolongkan menjadi protein globular (albumin, globulin, dan
hemoglobin) dan protein serabut (keratin pada rambut dan fibroin pada
sutra) (Bintang, 2010).
pH yang menghasilkan konsentrasi keseimbangan zwitterion asam
amino yang maksimum disebut pH isoionik atau pI. Harga pH ini adalah
hampir atau sama dengan titik isoelektrik, yang didefinisikan sebagai harga
pH suatu larutan asam amino, yang asam aminonya (atau protein) tidak
bergerak dalam medan listrik. Titik isoelektrik merupakan jumlah yang
secara eksperimen ditentukan yang tergantung pada sifat garam buffer dan
ion-ion lain dalam larutan (Page, 1997).
Protein mempunyai titik isolistrik yang berbeda-beda. Pada pH di
atas titik isolistrik protein bermuatan negatif, sedangkan di bawah titik
isolistrik protein bermuatan positif. Oleh karena itu untuk mengendapkan
protein dengan ion logam diperlukan pH larutan di atas titik isolistrik,
sedangkan pengendapan oleh ion negatif memerlukan pH di bawah titik
isolistrik. Selain dengan garam, proses pengendapan protein dapat
dilakukan dengan menyesuaikan pH titik isolistrik protein yang
diinginkan. Pada titik isolistrik kelarutan protein berkurang hingga
minimum dan protein yang diinginkan akan mengendap, sedangkan
protein lain yang tidak diinginkan tetap dalam larutan (Poedjiadi, 2005).
Titik isolistrik dapat ditentukan dengan elektroforesis
(electrophoresis), suatu proses untuk mengukur migrasi ion dalam suatu
medan listrik. Proses ini dilakukan dengan menaruh latutan suatu asam
amino berair pada suatu adsorben antara sepasang elektroda. Dalam sel ini
anion bermigrasi ke arah elektroda positif dan kation ke arah elektroda
negatif. Titik isolistrik dapat juga ditetapkan dengan titrasi
(Fessenden, 1999).
Gugus asam amino bebas dan karboksil bebas pada ujung-ujung
rantainya menyebabkan protein mempunyai banyak muatan (polielektrolit)
dan bersifat amfoter yaitu dapat bereaksi dengan asam dan basa. Daya
reaksi berbagai jenis protein terhadap asam dan basa tidaklah sama
tergantung dari jumlah dan letak gugus amino dan karboksil dalam
molekul. Di dalam larutan yang bersifat asam (pH rendah) gugus amino
dari protein akan mengadakan reaksi dengan H+ sehingga protein
bermuatan positif dan akan bergerak ke arah katoda. Sedangkan pada
larutan yang bersifat alkali, gugus hidroksil pada protein akan bereaksi
dengan OH dan menjadi bermuatan negatif sehingga akan bergerak ke arah
anoda. pH yang disebut pH isoelektris (pI), muatan gugus-gugus ini saling
menetralkan sehingga molekul bermuatan nol. Tiap jenis protein
mempunyai titik isoelektris yang berbeda. Pengendapan paling cepat
terjadi dalam titik ini dan prinsip ini digunakan dalam proses-proses
pemisahan dan pemurnian protein (Winarno, 1995).
Tiap jenis protein mempunyai titik isoelektrik pada pH tertentu. Pada
titik isoelektrik protein akan berikatan antara muatannya sendiri
membentuk lipatan ke dalam sehingga terjadi pengendapan yang relatif
cepat. Penambahan asam asetat pada filtrat yang telah dipanaskan berarti
menambahkan konsentrasi dari ion H+ yang kemudian akan mengadakan
reaksi dengan muatan negatif protein yang berasal dari gugus hidroksil
bebasnya. Semakin banyak konsentrasi H+ yang ditambahkan maka
semakin banyak pula penurunan pH dari filtrat sehingga titik
isoelektriknya semakin dekat. Apabila pH isoelektrik sudah tercapai maka
muatan yang saling berlawanan akan saling menetralkan sehingga akan
terbentuk gumpalan. Semakin kecil pH buffer asetatnya, semakin banyak
endapannya. Karena pH yang kecil akan banyak membentuk endapan
berarti selisih muatan listriknya antara yang positif dan negatif sama.
Sehingga, tidak dapat bergerak dan membentuk endapan atau warna keruh
(Triyono, 2010).
2. Tinjauan Bahan
Bahan pangan sumber protein dapat berasal dari hewan, yang disebut
protein hewani dan dapat berasal dari tumbuh-tumbuhan disebut protein
nabati. Pada umumnya protein hewani mempunyai mutu lebih tinggi
daripada protin nabati, karena lebih mirip dengan protein manusia, dengan
kandungan asam amino essensial yang lebih banyak. Protein dari
gabungan bermacam – macam bahan nabati akan dapat menghasilkan
protein lebih lengkap, seperti halnya protein hewani (Handajani, 1994).
Natrium kaseinat dan fosfolipid merupakan bahan alami yang dapat
berperan sebagai pengemulsi. Pengemulsi dibutuhkan untuk menstabilkan
produk pangan seperti emulsi dan buih karena mempunyai kemampuan
menempatkan diri pada antarmuka dengan cara membentuk lapisan di
sekeliling globula lemak atau udara. Pengemulsi, karena sifatnya bersifat
ampifilik (mempunyai afinitas terhadap air dan fase non polar), teradsorpsi
dan membentuk lapisan pada permukaan globula minyak. Natrium
kaseinat merupakan campuran dari protein fleksibel dengan berat molekul
rendah (Estiasih, 2012).
Ion-ion positif yang dapat mengendapkan protein antara lain ialah
Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++, dan Pb++, sedangkan ion-ion negatif yang
dapat mengendapkan protein ialah ion salisilat, trikoasetat, pikrat, tanat
dan sulfosalisilat. Berdasarkan sifat tersebut putih telur atau susu dapat
digunakan sebagai antidotum atau penawar racun apabila orang keracunan
logam berat (Poedjiadi, 2005).
Enzim bromelin merupakan enzim endo protease, aktivitas enzim
bromelin optimum pada pH 6,5 dimana enzim ini mem-punyai konformasi
yang mantap dan juga mempunyai aktivitas yang maksimum dan suhu
optimum untuk enzim bromelin adalah 50°C, di atas atau di bawah suhu
tersebut keaktifan enzim menjadi lebih rendah. Energi kinetik molekul
substrat dan enzim cukup rendah pada suhu yang berada di bawah optimal,
sehingga kemungkinan substrat dan enzim untuk bereaksi kecil serta
kecepatan reaksi menjadi rendah (Tami, 2010).
Susu sapi mengandung sekitar 33 g protein / L. Fraksi protein utama
susu merupakan kasein, yang membentuk sekitar 80% dari protein dalam
susu sapi. Komponen yang tepat dari susu bervariasi menurut jenisnya.
Susu mamalia berisi empat jenis protein kasein as1, as2, b, dan k. Selain
kasein, susu mengandung suatu kelompok protein yang dikenal sebagai
protein whey, mereka membentuk 20% sisanya dari total protein. Whey
protein biasanya campuran b-laktoglobulin, a-laktalbumin, serum albumin,
immunoglobins dan protein minor tambahan dan enzim (Nitsche, 2011).
Sifat koagulasi susu berpengaruh terhadap kemampuan pembuatan
keju, hasi dan kualitas keju. Sifat koagulasi susu merupakan hal yang
penting karena memengaruhi hasil dan kualitas keju. Susu yang digunakan
untuk produksi keju, selain parameter kualitas yang baik harus juga
memiliki sifat rennet koagulasi untuk memastikan konversi padatan susu
keju dan untuk mencegah kerugian laba kepada perusahaan susu
(Joudu, 2009).
Posisi dominan kedelai dan produk terkait dengan kualitas gizi tinggi
terutama berkenaan dengan protein dan asam amino. Komposisi kimia
meliputi kadar air, protein, Nitrogen larut Index ( NSI ), protein 7S/11S,
Protein Dispersbility Index ( PDI ), asam amino, lipoxygenase, Trypsin
Inhibitor ( TI ), minyak, asam lemak, serat, gula dan isoflavon. Hasil dan
kualitas tahu dan susu kedelai dipengaruhi oleh protein dan kandungan
minyak. Hal ini dibuat seluruhnya dari makanan kedelai dan digunakan
sebagai bahan dalam makanan berprotein tinggi termasuk makanan susu,
suplemen gizi, sistem daging, susu formula, minuman nutrisi, krim sup,
saus dan makanan ringan . Ini juga merupakan sumber protein yang baik
pengganti susu. Susu kedelai dapat terdiri dari air murni, ekstrak kedelai,
gula dan garam. Susu kedelai memiliki protein 3-4 %, 1,5-2,0 % lemak
dan karbohidrat 8-10 % (Gandhi, 2009).
Protein dari sumber hewani (yaitu telur, susu, daging, ikan dan
unggas) memberikan penilaian kualitas tertinggi sumber makanan. Hal ini
terutama disebabkan oleh 'kelengkapan' protein dari sumber-sumber.
Walaupun protein dari sumber-sumber ini juga dikaitkan dengan asupan
tinggi lemak jenuh dan kolesterol, telah ada sejumlah studi yang telah
menunjukkan manfaat positif dari protein hewani dalam berbagai
kelompok populasi. Whey adalah istilah umum yang biasanya
menunjukkan bagian cair tembus susu yang tetap mengikuti proses
(koagulasi dan penghapusan dadih) manufaktur keju. Dari cairan ini,
protein whey dipisahkan dan dimurnikan dengan menggunakan berbagai
teknik menghasilkan konsentrasi yang berbeda dari protein whey. Whey
adalah salah satu dari dua kelompok protein utama susu sapi, terhitung
20% dari susu kasein sedangkan account untuk sisanya. Kasein merupakan
komponen utama dari protein yang ditemukan dalam susu sapi akuntansi
selama hampir 70-80% dari total protein dan bertanggung jawab untuk
warna putih susu. Protein nabati, ketika digabungkan untuk mencukupi
kebutuhan semua asam amino esensial, menyediakan sumber yang sangat
baik untuk protein mengingat bahwa mereka mungkin akan menghasilkan
pengurangan asupan lemak jenuh dan kolesterol. Sumber populer
termasuk kacang-kacangan, kacang-kacangan dan kedelai. Kedelai adalah
yang paling banyak digunakan sumber protein nabati. Kedelai, dari
keluarga kacang-kacangan, pertama kali dicatat dalam Cina pada tahun
2838 SM dan dianggap berharga seperti gandum, barley, dan beras sebagai
bahan pokok gizi. Popularitas kedelai membentang beberapa negara lain,
tetapi tidak mendapatkan ketenaran untuk nilai gizi di Amerika Serikat
sampai tahun 1920-an (Hoffman, 2004).
C. METODOLOGI
1. Alat
a. Labu takar 50 ml
b. Tabung reaksi
c. Pipet ukur 1 ml, 5 ml, 10 ml
d. Stopwatch
e. pH meter
f. Rak tabung reaksi
g. Beaker glass 250 ml
h. Pengaduk
i. Penangas air
2. Bahan
a. Larutan kasein Na-asetat
b. Aquades
c. Asam asetat 0,01 N
d. Asam asetat 0,1 N
e. Asam asetat 1 N
f. Susu sapi
g. Sari kedelai
h. Ca(OH)2
i. Asam cuka
j. Bromelin
3. Cara Kerja
a. Titik Isoelektris dan Kelarutan Protein
Aquades (ml): 8,4 7,75 8,75 8,5 8 7 5 1 7,4
As. Asetat (ml) : 0,6 1,25 0,25 0,5 1 2 4 8 1,6
0,01N 0,01N 0,1 N 0,1 N 0,1 N 0,1 N 0,1 N 0,1 N 1N
1
1 ml larutan Kasein Na asetat ditambahkan
dihomogenkan
Dicatat kekeruhan setelah pencampuran setelah 0 menit, 10 menit dan 30 menit
2 3 4 65 87 9
Diambil tabung yang larutannya paling keruh dan endapan yang paling banyak, ukur pH dengan pH meter
9 tabung reaksi disediakan, masing-masing tabung diisi dengan perbandingan air suling dan asam asetat berbeda:
b. Penjendalan protein air susu sapi dan susu kedelai dengan Ca(OH)2, asam asetat atau enzim bromelin
susu sapi @ 100ml
Ca(OH)2 3ml Bromelin 3ml Asam Cuka 3ml Asam Cuka 3ml
Keempat isi gelas diaduk dengan baik dan gelas beker nomor 2 diinkubasikan dalam waterbath bersuhu 40oC selama 15 menitGelas beker nomor 4 diinkubasi dalam waterbath bersuhu 80oC
selama 15 menit
disiapkan 4 gelas beaker 200 ml
Masing-masing gelas beaker diisi:
IVIII III
Mengamati terbentuknya gumpalan
Gelas beker nomor 4 ditambahkan asam cuka sampai pH titik isoelektris
Diamati hingga terbentuknya gumpalan
dilakukan perlakuan yang sama pada sari kedelai masing-masing 100 ml
D. Hasil dan Pembahasan
Tabel 3.1 Pengamatan Titik Isoelektrik dan Kelarutan Protein
KelAquades
(ml)
Asam Asetat (ml)
Waktu (menit)
pH
0,01 N
0,1 N
1 N
0 10 30
P K P K P K
13 8,4 0,6 - - - + - - - - -
13 7,75 1,25 - - - + - + - + -
14 8,75 - 0,25 - - ++ - ++ - + -
14 8,5 - 0,5 - - +++ - ++ x +++ 5
15 8 - 1 - - +++ - +++ xx +++ -
15 7 - 2 - - +++ - +++ xxx +++ 4,4
16 5 - 4 - - +++ - +++ - +++ -
17 1 - 8 - - ++ - ++ - ++ -
18 7,4 - - 1,6 - - - - - - -
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan: K = kekeruhan (+)
P = presipitasi (x)
(-) = tidak ada
(+) = agak keruh (x) = sedikit endapan
(++) = keruh (xx) = cukup endapan
(+++) = sangat keruh (xxx) = banyak endapan
Pembahasan
Percobaan ini dilakukan untuk mengetahui titik isoelektrik dan
kelarutan protein dengan mengamati tingkat kekeruhan dan tingkat presipitasi
yang terjadi pada protein kasein dengan cara memberikan beberapa perlakuan
yang berbeda, yakni perbedaan volume aquades dan asam asetat dengan
normalitas asam asetat yang juga berbeda-beda.
Kelarutan adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat terlarut
(solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan suatu substansi
mencerminkan seberapa jauh substansi tersebut dapat larut dalam suatu
pelarut tertentu. Dalam hal ini kelarutan protein adalah situasi dimana larutan
yang berupa protein, aquades dan asam asetat bercampur dengan rata dan
tidak terdapat endapan. Sedangkan presipitasi adalah pengendapan, yaitu
pembentukan zat solid dalam larutan atau dalam lainnya selama reaksi kimia
atau oleh difusi dalam padatan, dimana zat terlarut tidak larut dengan pelarut
dan terbentuklah endapan. Presipitasi juga memiliki definisi suatu
makroskopik yang menghasilkan perubahan yang visibel (peningkatan
viskositas atau kekeruhan pada larutan). Kemudian titik isoelektrik adalah pH
larutan dengan titik dimana terdapat jumlah gugus bermuatan positif dan
gugus bermuatan negatif yang sama, muatan bersih adalah nol.
Pada percobaan pertama dalam praktikum ini dilakukan dengan
menggunakan tabung reaksi sebanyak 9. Masing-masing berisi campuran
Kasein Na-asetat, aquades dan asam asetat dengan volume yang berbeda-
beda. Setelah 30 menit, kemudian diamati kekeruhannya dan didapatkan
kekeruhan terbesar pada tabung nomor 5 dan 6, yang berisi 8 ml aquades, 1
ml asam asetat 0,1N dan 1 ml larutan Kasein Na-asetat serta tabung 6 yg
berisi 7 ml aquades, 2 ml asam asetat 0, 1N dan 1 ml larutan Kasein Na-
asetat.
Kasein merupakan protein yang memiliki harga pH titik isoelektrik
sebesar 4,6. Sedangkan pH pada praktikum diperoleh sebesar 4,7. Hal
tersebut menunjukkan pH pada praktikum mendekati pH kasein pada titik
isoelektrik. Pada pH isoelektriknya maka kelarutan proteinnya nol atau tidak
larut atau dengan kata lain kelarutan protein akan semakin kecil apabila
protein yang mengendap semakin banyak. Pada pH di bawah titik isoelektrik
protein akan cenderung bermuatan positif sedang pada pH di atas titik
isoelektrik protein cenderung bermuatan negatif. Jika jumlah muatan positif
dan negatif pada molekul protein sama, maka protein bersifat netral dan
mengendap. pH pada saat protein mengendap (menjendal) ini disebut dengan
titik isoelektrik. Semakin jauh dari titik isoelektrik, maka kemampuan protein
dalam mengikat air akan semakin tinggi dan sebaliknya, semakin mendekati
titik isoelektrik, maka kemampuan protein mengikat air akan menurun dan
mencapai minimal pada titik isolektrik.
Pada tabung 5 dengan kekeruhan terbesar ini memiliki presipitasi
dengan sedikit endapan. Padahal secara teori kelarutan dan presipitasi
seharusnya berbanding terbalik, dimana apabila kelarutan semakin besar
maka presipitasi semakin rendah atau dengan kata lain terdapat sedikit atau
bahkan tidak ada endapan dan sebaliknya.
Dalam teori disebutkan bahwa partikel kasein berada pada titik
isoelektris pada pH 4,6. Pada pH tersebut afinitas partikel terhadap air
menurun, dan oleh karenanya terjadi pengendapan. Dengan pH 4,7 yang
mendekati pH titik isoelekktrik maka pada praktikum ini muatan protein
hampir 0 sehingga terjadi interaksi antara molekul-molekul protein yang
maksimum sehingga menyebabkan kekeruhan pada larutan serta adanya
sedikit endapan pada larutan protein tersebut.
Pada percobaan ini digunakan konsentrasi asam asetat yang berbeda
yaitu 0,01N, 0,1N dan 1N. Perbedaan konsentrasi asam asetat ini berpengaruh
pada titik isoelektris dan kelarutan protein. Dari hasil pengamatan yang
dilakukan dalam percobaan ini menunjukkan bahwa dengan konsentrasi asam
asetatat 0,01 N sebanyak 1 ml dengan aquades 8 ml menyebabkan larutan
protein hampir bermuatan 0 dan hampir mencapai titik isoelektriknya serta
kelarutannya menurun dengan ditunjukkan adanya kekeruhan.
Waktu yang digunakan dalam pengamatan kelarutan dan presipitasi
protein ini 0 menit, 10 menit dan 30 menit. Digunakan waktu tersebut untuk
mengetahui bagaimana kondisi awal larutan protein sebelum didiamkan yaitu
pada menit ke 0, kemudian setelah 10 menit diamati lagi kekeruhan dan
presipitasinya, karena perubahan kondisi larutan ini tidak akan terjadi
seketika namun memerlukan waktu. Dan setelah 30 menit diamati lagi
kekeruhan dan presipitasinya, dan hasilnya pada tabung 5 semakin lama
semakin keruh dan terdapat sedikit endapan dari semula tidak ada endapan
pada menit ke 0 dan ke 10.
Tabel 3.2 Hasil Pengamatan Penjedalan Protein Susu Sapi dan Sari Kedelai
No Bahan Inkubasi Intensitas
K P
1
Air susu sapi+ Ca(OH)2 T kamar - -+ Bromelin 40oC, 15’ - x+ Asam asetat 95% T kamar + x+ Asam asetat 95% 80oC, 15’ - xx
2
Air susu kedelai+ Ca(OH)2 T kamar ++ -+ Bromelin 40oC, 15’ + xx+ Asam asetat 95% T kamar - xxx+ Asam asetat 95% 80oC, 15’ +++ xxx
Sumber : Laporan Sementara
Keterangan: K = kekeruhan (+)
P = presipitasi (x)
(-) = tidak ada
(+) = agak keruh (x) = sedikit endapan
(++) = keruh (xx) = cukup endapan
(+++) = sangat keruh (xxx) = banyak endapan
Pembahasan
Pada percobaan kedua ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
penjendalan yang terjadi pada protein air susu sapi dan susu kedelai yang
masih segar dengan menggunakan perlakuan yang berbeda-beda, yakni
dengan penambahan Ca(OH)2, enzim bromelin dan asam asetat dengan
perlakuan inkubasi suhu yang berbeda-beda pula.
Setelah ditambahkan Ca(OH)2, tingkat kekeruhan susu kedelai adalah
agak keruh dan susu sapi tidak. Sedangkan tingkat presipitasi dari susu
kedelai tidak terdapat endapan dan susu sapi terdapat sedikit endapan. Dalam
teori dikatakan bahwa penambahan asam pada protein akan menyebabkan
protein mengalami koagulasi atau penggumpalan atau penjendelan. Dengan
kekeruhan pada susu kedelai serta endapan pada susu sapi menunjukkan
bahwa protein pada susu sapi dan susu kedelai telah mengalami sedikit
denaturasi akibat penambahan Ca(OH)2, meskipun tingkat kekeruhan dan
presipitasinya berbeda-beda sehingga dapat dikatakan percobaan yang telah
dilakukan sudah sesuai dengan teori yang ada.
Pada perlakuan dengan menggunakan enzim bromelin dari nanas, yang
kemudian diinkubasi selama 15 menit pada suhu 40°C, pada susu kedelai
menjadi agak keruh dan presipitasinya terdapat banyak endapan. Pada susu
sapi setelah ditambahkan enzim bromelin menjadi agak keruh dan terdapat
cukup endapan. Hal ini dikarenakan protein dalam susu sapi terdenaturasi
karena adanya panas dan aktivitas enzim meningkat sehingga menjadi tidak
larut dan akhirnya mengendap sehingga menyebabkan kekeruhan akibat
protein dalam susu (kasein) mengalami denaturasi. Seperti dalam teori enzim
merupakan salah satu yang dapat menyebabkan protein mengalami koagulasi
atau penggumpalan atau penjendalan. Dalam percobaan ini didapatkan
penjendalan yang lebih besar ada pada susu kedelai daripada susu sapi.
Pada perlakuan penambahan asam asetat dilakukan dengan 2 cara
inkubasi suhu yaitu pada suhu kamar dan pemanasan dengan suhu 80°C
selama 15 menit. Untuk susu kedelai pada suhu kamar setelah diberi asam
asetat menjadi keruh sedangkan dengan pemanasan suhu 80°C selama 15
menit menjadi sangat keruh dan terdapat banyak endapan. Untuk susu sapi
pada suhu kamar setelah diberi asam asetat tidak mengalami perubahan yang
mencolok sedangkan dengan pemanasan suhu 80°C selama 15 menit menjadi
terdapat banyak endapan. Seperti dalam teori asam merupakan salah satu
yang dapat menyebabkan protein mengalami koagulasi atau penggumpalan
atau penjendelan. Dalam percobaan ini didapatkan tingkat penjendalan dari
penambahan asam asetat 95% dengan pemanasan suhu 80°C selama 15 menit
lebih besar daripada penambahan asam asetat 95% pada suhu kamar.
Sehingga penjendelan yang terjadi sesuai dengan teori Yuliani (2006) yang
mengatakan bahwa protein dari susu dapat rusak atau terkoagulasi karena ada
beberapa sebab seperti panas (suhu), pH, logam berat, alkohol atau senyawa
ionik.
Pada penambahan Ca(OH)2 dilakukan pada suhu kamar dan tidak perlu
dipanaskan karena hanya ingin mengetahui bagaimana pengaruh penambahan
garam pada protein susu sapi dan susu kedelai bukan pengaruh pemanasan.
Penggunaan enzim bromelin harus dalam keadaan telah dipanaskan. Hal ini
dikarenakan enzim bromelin memiliki kemampuan untuk menguraikan
protein, sehingga dengan dipanaskannya enzim terlebih dahulu maka
diharapkan enzim tersebut yang merupakan protein akan dapat terdenaturasi
dan menyebabkan protein pada susu sapi dan susu kedelai akan menjendal.
Pada penambahan asam cuka (asam) dilakukan dengan dan tanpa pemanasan.
Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penambahan asam
pada protein dan bagaimana penambahan asam dengan dipanaskan pada
protein. Asam asetat ditambahkan pada susu dalam kondisi panas. Hal ini
dilakukan karena protein susu telah terdenaturasi parsial dengan ikatan antar
molekulnya agak membuka. Pada perlakuan dengan penambahan asam asetat,
susu sapi dan susu kedelai tidak melewati proses pemanasan. Hal ini
menyebabkan gumpalan-gumpalan yang terbentuk menjadi lebih sedikit
daripada sampel susu yang melewati proses pemanasan karena pada saat
dipanaskan, protein pada susu mengalami denaturasi.
Dari hasil pengamatan diperoleh data bahwa kekeruhan dan presipitasi
yang lebih besar adalah pada susu kedelai daripada susu sapi karena dapat
dilihat pada data yang ada bahwa pada susu kedelai yang diberi Ca(OH)2
kekeruhannya lebih besar daripada susu sapi, lalu yang diberi bromelin
presipitasinya lebih besar daripada susu sapi dengan tingkat kekeruhan yang
sama demikian juga yang diberi asam asetat, kekeruhannya lebih besar 1
tingkat dari pada susu sapi. Pada susu kedelai dengan penambahan enzim
bromelin dari nanas dengan pemanasan 40oC dan penambahan asam asetat
95% dengan pemanasan 80oC lebih besar tingkat kekeruhan dan
presipitasinya pada susu kedelai daripada dengan penambahan Ca(OH)2 dan
asam asetat tanpa pemanasan. Hal ini dikarenakan pemanasan lebih
menambah pengaruh proses denaturasi yang menyebabkan penjendalan
protein. Pada susu sapi, kekeruhan dan presipitasi terbesar adalah dengan
penambahan asam asetat 95% dengan pemanasan 80oC daripada penambahan
Ca(OH)2, enzim dan asam asetat tanpa pemanasan. Dalam penambahan enzim
bromelin dengan suhu 40oC, enzim bromelin dapat bekerja secara optimum
dikarenaka suhu 40oC-60oC adalah suhu optimum dari enzim bromelin untuk
bekerja.
Indikator kerusakan dari bahan pangan terutama susu, baik susu hewani
maupun nabati dapat dilihat dari kandungan protein yang ada di dalam susu.
Jika susu itu rusak maka akan terjadi penjendalan yang disebabkan protein
terdenaturasi sehingga merusak komponen-komponen yang ada dalam susu.
Banyak faktor yang mempengaruhi kerusakan susu tersebut, seperti suhu
yang tidak sesuai, pH karena keasaman susu, penambahan alkohol, dan logam
berat. Namun, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah karena
terjadi perubahan suhu karena pemanasan yang tidak sesuai dan susu yang
disimpan terlalu lama tanpa ada perlakuan pengawetan makan susu tersebut
akan basi karena di dalam susu kondisinya akan berubah menjadi asam.
Aplikasi dalam dunia pangan dalam acara 3 ini adalah pada pembuatan
protein wijen dimana protein wijen diekstraksi alkali atau garam dan endapan
isoelektrik menurut Onsaard (2012), pembuatan jus alfalfa kualitas yang
tinggi gizi terutama dalam hal crude protein (15 sampai 20%), vitamin (A, D,
E, K, C, B1, B2, B6, B12, Niacin, asam Panthothanic, dan lain) dan berbagai
jenis mineral seperti fosfor, kalsium, sulfur, magnesium, dan lain-lain dalam
Gachovska (2006), pembuatan edible film yang dapat digunakan untuk
produk makanan serbaguna untuk mengurangi hilangnya kelembaban, untuk
membatasi penyerapan oksigen, untuk mengurangi migrasi lipid, untuk
meningkatkan sifat mekanik penanganan, untuk memberikan perlindungan
fisik, atau untuk menawarkan alternatif untuk kemasan komersial bahan
menurut Bourtoom (2009), dan pembuatan protein whey yang dipisahkan dan
dimurnikan dengan menggunakan berbagai teknik menghasilkan konsentrasi
yang berbeda dari protein whey (Hoffman, 2004).
E. Kesimpulan
Dari praktikum acara 3 Protein, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
a. pH kasein pada titik isoelektrik adalah 4,4.
b. Penambahan Ca(OH)2 pada susu sapi dan sari kedelai menyebabkan
protein mengalami koagulasi atau penggumpalan atau penjendalan.
c. Tabung yang paling keruh adalah tabung nomor 5, yang berisi 8ml
aquades, 1 ml asam asetat 0, 1N dan 1 ml larutan Kasein Na-asetat.
d. pH pada tabung yang paling keruh sebesar 4,7 dan pH kasein pada titik
isoelektrik adalah 4,6.
e. Faktor yang memepengaruhi titik isoelektris adalah jumlah muatan
proton dan muatan negatifnya.
f. Faktor yang memepengaruhi derajat presipitasi adalah kelarutan zat
terlarut pada pelarutnya
g. Tingkat kekeruhan dari sampel protein berbanding terbalik dengan
jumlah endapan yang dihasilkan. Apabila sampel tersebut dapat
diendapakan dalam jumlah yang besar maka tingkat kekeruhan sampel
tersebut akan semakin rendah.
h. Penambahan Ca(OH)2 pada susu kedelai menyebabkan tingkat
kekeruhan yang lebih besar pada larutan daripada penambahan Ca(OH)2
pada susu sapi.
i. Penambahan enzim bromelin pada susu kedelai menyebabkan tingkat
presipitasi yang lebih besar daripada penambahan enzim bromelin pada
susu sapi.
j. Pemanasan akan lebih meningkatkan jumlah endapan akibat denaturasi.
k. Penjendalan tertinggi pada susu sapi dan kedelai adalah dengan asam
asetat 95% yang dipanaskan, dengan tingkat kekeruhan dan presipitasi
yang sama.
l. Pada sampel susu yang dipanaskan, penjendalan yang terjadi lebih
banyak daripada susu yang tidak dipanaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Bintang, Maria. 2010. Biokimia-Teknik Penelitian. Jakarta: Erlangga.
Estiasih, Teti. 2012. Adsorpsi Kompetitif Fosfolipid Pada Permukaan Globula Minyak Dalam Sistem Emulsi Yang Distabilisasi Kaseinat. Jurnal Teknologi Pangan Vol. 13 No. 1 (April 2012) 16-26.
Fessenden, Ralp. 1999. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Gandhi, A. 2009. Quality of Soybean and its Food Product. International Food Research Journal 16: 11-19 (2009)
Hadiwiyoto, Suwedo. 1994. Pengujian Mutu Susu dan Hasil Olahannya. Yogyakarta: Liberty.
Handajani, Sri. 1994. Pangan dan Gizi. Solo: Sebelas Maret University Press.
Hoffman, Jay. 2004. Protein – Which Is Best?. Journal of Sports Science and Medicine (2004) 3, 118-130.
Joudu, Ivi. 2009. The Effect Of Milk Proteins On Milk Coagulation Properties in Estonian Dairy Breeds. Journal of Zootechnica Volume 48, No.68, 2009.
Nitsche, Rainer. 2011. Milk protein analysis with the Agilent 2100 Bioanalyzer and the Agilent Protein 80 kit. Agilent Technologies Inc.
Page, David. 1997. Prinsip-Prinsip Biokomia. Jakarta: Erlangga.
Poedjiadi, Anna. 2005. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press.
Tami, Rr. 2010. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Nanas dan Lama Perendaman Terhadap Kadar Air, Kadar Lemak dan Kadar Protein Daging Ayam Kampung (Gallus domesticus). Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya.
Triyono, Agus. 2010. Mempelajari Pengaruh Penambahan Beberapa Asam Pada Proses Isolasi Protein Terhadap Tepung Protein Isolat Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.). Seminar Rekayasa Kimia dan Proses 4-5 Agustus 2010.
Winarno, F. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
LAMPIRAN
Percobaan pada menit k 0
Percobaan pada menit ke 10
Percobaan pada menit ke 30