Upload
fauzan-basyith
View
172
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN MAKALAH
GEOLOGI SEJARAH "PETA GEOLOGI
LEMBAR JAKARTA dan KEPULAUAN
SERIBU"
Oleh:
JEMMY HARYANTO
072.11.062
PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI
FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya,
saya dimampukan untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Adapun proses
penyusunan makalah ini sekitar 2 hari berturut-turut terhitung dari 9 Januari 2014.
Makalah tentang "Geologi Sejarah" ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi tugas
akhir semester V dan diharapkan melalui makalah ini, saya sebagai penulis dapat
memahami konsep penulisan geologi sejarah pada peta geologi lembar Jakarta dan
Kepulauan seribu dengan skala 1:100.000.
Kemudian saya mengambil referensi dari kuliah-kuliah sebelumnya termasuk geologi
sejarah.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya
dalam proses penyusunan makalah ini khususnya kepada dosen penginderaan jauh
yang telah membimbing dan mengarahkan saya dalam penyusunan makalah ini.
Semoga penyusunan makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca
makalah ini.
Jakarta, 9 Januari 2014
Jemmy Haryanto
DAFTAR ISI
Contents
BAB I..............................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.............................................................................................................................................4
BAB II...........................................................................................................................................................17
TEKTONIK PULAU JAWA BARAT..................................................................................................................17
Geologi Regional Jawa Barat.............................................................................................................17
BAB III..........................................................................................................................................................25
PETA GEOLOGI JAKARTA dan KEPULAUAN SERIBU.....................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
Geologi Sejarah dan Peta Geologi
Bumi merupakan tempat hidup manusia, binatang, dan tumbuhan. Namun banyak
manusia diantara kita yang tidak tahu bagaimana bumi ini terbentuk. Bumi telah lama ada
sebelum manusia, mungkin hal inilah yang menyebabkan banyaknya diantara kita, manusia
yang tidak mengetahui sejarah pembentukkan bumi. Namun sebagai manusia yang memiliki
rasio dan bersifat empiris disertai rasa ingin tahu yang tinggi, berusaha untuk menjelaskan
sejarah terbentuknya bumi ini melalui teori-teorinya. Terdapat berbagai macam teori yang
berkenaan dengan sejarah terbentuknya bumi ini. Tidak ada yang tahu kebenaran dari teori-
teori tersebut, sebab memang terdapat suatu distansi waktu yang cukup jauh antara
terbentuknya bumi dengan munculnya teori-teori tersebut.
Pada awal terbentuknya, bumi ini tidak berpenghuni. Bumi terbentuk sejak 4,6 miliyar
tahun yang lalu. Namun pada saat itu sebelum ada makhluk hidup yang menghuninya. Pada
saat itu bumi masih berupa bola api yang mengalami akulasi panas, akibat kontraksi
gravitasi peluruhan radioaktif dan hujan mikroit. Sejarah kehidupan di bumi mulai sekitar
3.500.000.000 tahun yang lalu dengan munculnya mikroorganisme sederhana seperti
bakteri dan ganggang. Kemudian pada 1000.000.000 tahun lalu baru muncul organisme
bersel banyak. Pada sekitar 540.000.000 tahun lalu secara bertahap kehidupan yang lebih
kompleks mulai berevolusi.
Didalam perkembangan selanjutnya, ada proses alam yang membentuk bumi, yakni
proses endogen dan eksogen. Berhubungan dengan sejarah pembentukkan bumi, maka
Geologi Sejarah merupakan salah satu cabang geologi yang mempelajari sejarah terjadinya
bumi dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi padanya.
Untuk dapat memahami ilmu geologi, pemahaman tentang konsep-konsep dan hukum-
hukum dalam ilmu geologi sangatlah penting dan merupakan dasar dalam mempelajari ilmu
geologi. Adapun hukum dan konsep geologi yang menjadi acuan dalam geologi antara lain
adalah konsep tentang susunan, aturan dan hubungan antar batuan dalam ruang dan
waktu. Pengertian ruang dalam geologi adalah tempat dimana batuan itu terbentuk
sedangkan pengertian waktu adalah waktu pembentukan batuan dalam skala waktu geologi.
Konsep uniformitarianisme (James Hutton), hukum superposisi (Steno), konsep keselarasan
dan ketidakselarasan, konsep transgresi-regresi, hukum potong memotong (cross cutting
relationship) dan lainnya.
1. Doktrin Uniformitarianisme
James Hutton (1785) : Sejarah ilmu geologi sudah dimulai sejak abad ke 17 dan 18
dengan doktrin katastrofisme yang sangat populer. Para penganutnya percaya
bahwa bentuk permukaan bumi dan segala kehidupan diatasnya terbentuk dan
musnah dalam sesaat akibat suatu bencana (catastroph) yang besar. James Hutton,
bapak geologi modern, seorang ahli fisika Skotlandia, pada tahun 1795 menerbitkan
bukunya yang berjudul “Theory of the Earth”, dimana ia mencetuskan doktrinnya
yang terkenal tentang Uniformitarianism. Uniformitarianisme merupakan konsep
dasar geologi modern. Doktrin ini menyatakan bahwa hukum-hukum fisika, kimia dan
biologi yang berlangsung saat ini berlangsung juga pada masa lampau. Artinya,
gaya-gaya dan proses-proses yang membentuk permukaan bumi seperti yang kita
amati saat ini telah berlangsung sejak terbentuknya bumi. Doktrin ini lebih terkenal
sebagai “The present is the key to the past” dan sejak itulah orang menyadari bahwa
bumi selalu berubah. Dengan demikian jelaslah bahwa geologi sangat erat
hubungannya dengan waktu. Pada tahun 1785, Hutton mengemukakan perbedaan
yang jelas antara hal yang alami dan asal usul batuan beku dan sedimen. James
Hutton berhasil menyusun urutan intrusi yang menjelaskan asal usul gunungapi. Dia
memperkenalkan hukum superposisi yang menyatakan bahwa pada tingkatan yang
tidak rusak, lapisan paling dasar adalah yang paling tua. Ahli paleontologi telah mulai
menghubungkan fosil-fosil khusus pada tingkat individu dan telah menemukan
bentuk pasti yang dinamakan indek fosil. Indek fosil telah digunakan secara khusus
dalam mengidentifikasi horison dan hubungan suatu tempat dengan tempat lainnya.
William Smith (1769-1839): Mengemukakan suatu konsep yang diterapkan pada
perulangan lapisan-lapisan batuan sedimen yang ada di Inggris. Smith telah
membuktikan bahwa dalam perioda waktu yang sama akan terjadi perulangan
lapisan batuan yang sama dan setiap formasi pada lapisan batuan akan
mempertlihatkan karakter yang sama. Berdasarkan hal tersebut, Smith mengajukan
suatu konsep yang dikenal dengan hukum suksesi fauna.
2. Hukum Superposisi (Nicholas Steno)
1. Horizontalitas (Horizontality) : Kedudukan awal pengendapan suatu lapisan batuan
adalah horisontal, kecuali pada tepi cekungan memiliki sudut kemiringan asli (initial-
dip) karena dasar cekungannya yang memang menyudut.
2. Superposisi (Superposition) : Dalam kondisi normal (belum terganggu), perlapisan
suatu batuan yang berada pada posisi paling bawah merupakan batuan yang
pertama terbentuk dan tertua dibandingkan dengan lapisan batuan diatasnya.
3. Kesinambungan Lateral (Lateral Continuity) : Pelamparan suatu lapisan batuan akan
menerus sepanjang jurus perlapisan batuannya. Dengan kata lain bahwa apabila
pelamparan suatu lapisan batuan sepanjang jurus perlapisannya berbeda litologinya
maka dikatakan bahwa perlapisan batuan tersebut berubah facies. Dengan
demikian, konsep perubahan facies terjadi apabila dalam satu lapis batuan terdapat
sifat, fisika, kimia, dan biologi yang berbeda satu dengan lainnya.
3. Keselarasan dan Ketidakselarasan (Conformity dan Unconformity)
a) Keselarasan (Conformity): adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan lapis batuan
lainnya diatas atau dibawahnya yang kontinyu (menerus), tidak terdapat selang waktu
(rumpang waktu) pengendapan. Secara umum di lapangan ditunjukkan dengan kedudukan
lapisan (strike/dip) yang sama atau hampir sama, dan ditunjang di laboratorium oleh umur
yang kontinyu.
b) Ketidak Selarasan (Unconformity): adalah hubungan antara satu lapis batuan dengan
lapis batuan lainnya (batas atas atau bawah) yang tidak kontinyu (tidak menerus), yang
disebabkan oleh adanya rumpang waktu pengendapan. Dalam geologi dikenal 3 (tiga) jenis
ketidak selarasan, yaitu (lihat gambar 1.3):
Gambar 1.3 Tiga jenis bentuk ketidakselarasan dalam geologi: Angular unconformity,
Disconformity, dan Nonconformity
1) Disconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis
batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya) yang
dibatasi oleh satu rumpang waktu tertentu (ditandai oleh selang waktu dimana tidak terjadi
pengendapan).
2) Angular Unconformity (Ketidakselarasan Bersudut) adalah salah satu jenis
ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis batuan (sekelompok batuan) dengan
satu batuan lainnya (kelompok batuan lainnya), memiliki hubungan/kontak yang membentuk
sudut.
3) Nonconformity adalah salah satu jenis ketidakselarasan yang hubungan antara satu lapis
batuan (sekelompok batuan) dengan satu batuan beku atau metamorf.
Gambar 1.4 Foto singkapan batuan-batuan yang memperlihatkan hubungan yang tidak
selaras: ketidakselarasan bersudut (Angular Unconformity)
4) Paraconformity Adalah hubungan antara dua lapisan sedimen yang bidang
ketidakselarasannya sejajar dengan perlapisan sedimen. Pada kasus ini sangat sulit sekali
melihat batas ketidakselarasannya karena tidak ada batas bidang erosi. Cara yang
digunakan untuk melihat keganjilan antara lapisan tersebut adalah dengan melihat fosil di
tiap lapisan. Karena setiap sedimen memiliki umur yang berbeda dan fosil yang terkubur di
dalamnya pasti berbeda jenis.
4. Genang laut dan Susut laut (Transgresi dan Regresi )
a). Transgresi (Genang Laut). Transgresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi adalah
laju penurunan dasar cekungan lebih cepat dibandingkan dengan pasokan sedimen
(sediment supply). Garis pantai maju ke arah daratan.
b). Regresi (Susut Laut). Regresi dalam pengertian stratigrafi/sedimentologi adalah laju
penurunan dasar cekungan lebih lambat dibandingkan dengan pasokan sedimen (sediment
supply). Garis pantai maju ke arah lautan.
5 Hubungan potong memotong (Cross-cutting relationships)
Hubungan petong-memotong (cross-cutting relationship) adalah hubungan kejadian antara
satu batuan yang dipotong/diterobos oleh batuan lainnya, dimana batuan yang
dipotong/diterobos terbentuk lebih dahulu dibandingkan dengan batuan yang menerobos.
Pada gambar 1.6 terlihat urutan kejadian dan umur batuan adalah sebagai berikut: batuan
yang terbentuk/terendapkan pertama kali adalah Formasi (Fm) Lutgrad, selanjutnya
berturut-turut adalah Fm Birkland, Fm. Leet Junction.
Gambar 1.5 Hubungan potong memotong (crosscutting relationships): Fm. Lutgrad, Fm.
Birkland, dan Fm. Leet Junction diterobos oleh intrusi Granit dan kemudian terbentuk Fm.
Larsonton disertai intrusi Dike, kemudian dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Foster, Fm.
Hamlinville, dan Skinner Guich Limestone.
Ketiga formasi batuan tersebut kemudian mengalami orogenesa disertai terbentuknya
batuan terobosan (Intrusi) Granit dan kemudian tererosi membentuk bidang ketidak
selarasan bersudut dan dilanjutkan dengan pengendapan Fm. Larsonton dan aktivitas
magma berupa Intrusi Dike, dilanjutkan dengan pembentukan Fm. Foster City, Fm.
Hamlinville, dan batuan termuda dan terakhir terbentuk adalah Skinner Guich Limestone.
Gambar 1.6 dan gambar 1.7 adalah contoh lain dari hubungan batuan yang saling potong-
memotong. Pada gambar 1.6 merupakan intrusi berbentuk dike (warna hitam) yang
memotong batuan sampingnya (warna putih), sedangkan gambar 1.7 adalah intrusi
berbentuk gang/korok (warna coklat muda) yang menerobos batuan samping (warna abu-
abu kecoklatan).
Gambar 1.6 Foto singkapan batuan intrusi dyke (warna gelap) memotong batuan samping
(warna terang). Intrusi dyke lebih muda terhadap batuan sampingnya.
Gambar 1.7 Foto singkapan batuan intrusi korok (warna coklat muda) memotong batuan
samping (warna abu-abu kecoklatan). Intrusi gang lebih muda terhadap batuan sampingnya.
6.Hukum Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778)
Pada setiap lapisan yang berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil yang berbeda pula.
Secara sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang berada pada lapisan bawah akan berbeda
dengan fosil di lapisan atasnya.
Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan digantikan (terlindih) dengan fosil yang ada
sesudahnya, dengan kenampakan fisik yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan fosil ini
bisa dijadikan sebagai pembatas satuan formasi dalam lithostratigrafi atau dalam koreksi
stratigrafi.
7.Hukum Strata Identified by Fosils (Smith, 1816)
Perlapisan batuan dapat dibedakan satu dengan yang lain dengan melihat kandungan
fosilnya yang khas.
8.Hukum Facies Sedimenter (Selly,1975)
Suatu kelompok litologi dengan ciri-ciri yang khas yang merupakan hasil dari suatu
lingkungan pengendapan yang tertentu. Aspek fisik, kimia atau biologi suatu endapan dalam
kesamaan waktu. Dua tubuh batuan yang diendapakan pada waktu yang sama dikatakan
berbeda fsies apabila kedua batuan tersebut berbeda fisik, kimia atau biologi (Sandi
Stratigrafi Indonesia).
6. Faunal Succession (Abble Giraud-Soulavie, 1778): Pada setiap lapisan yang
berbeda umur geologinya akan ditemukan fosil yang berbeda pula. Secara
sederhana bisa juga dikatakan Fosil yang berada pada lapisan bawah akan berbeda
dengan fosil di lapisan atasnya. Fosil yang hidup pada masa sebelumnya akan
digantikan (terlindih) dengan fosil yang ada sesudahnya, dengan kenampakan fisik
yang berbeda (karena evolusi). Perbedaan fosil ini bisa dijadikan sebagai pembatas
satuan formasi dalam lithostratigrafi atau dalam koreksi stratigrafi. dan bisa untuk
mengetahui lingkunan sebelum terfossilkan.
9.Law of Inclusion :
Inklusi terjadi bila magma bergerak keatas menembus kerak, menelan fragmen2 besar
disekitarnya yang tetap sebagai inklusi asing yang tidak meleleh. Jadi jika ada fragmen
batuan yang terinklusi dalam suatu perlapisan batuan, maka perlapisan batuan itu terbentuk
setelah fragmen batuan. Dengan kata lain batuan/lapisan batuan yang mengandung
fragmen inklusi, lebih muda dari batuan/lapisan batuan yang menghasilkan fragmen
tersebut.
Peta Geologi
Peta geologi adalah bentuk ungkapan data dan informasi geologi suatu daerah /
wilayah / kawasan dengan tingkat kualitas yang tergantung pada skala peta yang digunakan
dan menggambarkan informasi sebaran, jenis dan sifat batuan, umur, stratigrafi, struktur,
tektonika, fisiografi dan potensi sumber daya mineral serta energi yang disajikan dalam
bentuk gambar dengan warna, simbol dan corak atau gabungan ketiganya, serta semua
proses yang pernah terjadi pada daerah yang terdapat di peta geologi tersebut.
Untuk membuat sejarah geologi yang baik dan benar, maka kita perlu untuk
menganalisa semua runtutan-runtutan formasi dan kejadian tektonik dari tua berangsur-
angsur ke muda didukung oleh umur dari fosil yang terkandung dalam formasi yang ada di
peta geologi tersebut.
Bagian-bagian yang terdapat di peta geologi yang perlu untuk diperhatikan antara
lain, judul peta, skala peta, pembuat peta, indeks lokasi dan nomor lembar peta, badan
pembuat, tahun pembuatan, penampang geologi, peta indeks, edisi cetakan, supervisor
cartografi, penyunting, deklinasi, daftar istilah, lambang peta, legenda, keterangan, dan
korelasi satuan peta. Selain itu bagian yang terdapat di peta geologinya adalah koordinat,
kontur umum. sungai, nama kota, dan struktur.
Setelah kita menganalisa penampang geologi, maka kita dapat merekonstruksi
formasi/litologi dari tua ke muda dan struktur2 yang berpengaruh dari awal sampai akhir
secara berurut.
BAB II
TEKTONIK PULAU JAWA BARAT
Geologi Regional Jawa Barat
Pola Umum struktur Jawa Barat
GEOLOGI REGIONAL JAWA BARAT
Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Paparan Sunda dan terbentuk dari batuan yang
berasosiasi dengan suatu aktif margin dari lempeng yang konvergen. Pulau tersebut terdiri
dari komplek busur pluton-vulkanik, accretionary prism, zona subduksi, dan batuan sedimen.
Pada Zaman Kapur, Paparan Sunda yang merupakan bagian tenggara dari Lempeng
Eurasia mengalami konvergensi dengan Lempeng Pasifik. Kedua lempeng ini saling
bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng Samudra menunjam di bawah Lempeng
Benua. Zona tumbukan (subduction zone) membentuk suatu sistem palung busur yang aktif
(arc trench system). Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis batuan yang terdiri atas
batuan sedimen laut dalam (pelagic sediment), batuan metamorfik (batuan ubahan), dan
batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit). Percampuran berbagai jenis
batuan di dalam palung ini dikenal sebagai batuan bancuh (batuan campur-aduk) atau
batuan melange. Singkapan batuan melange dari paleosubduksi ini dapat dilihat di Ciletuh
(Sukabumi, Jawa Barat), Karangsambung (Kebumen, Jawa Tengah), dan Pegunungan Jiwo
di Bayat (Yogyakarta). Batuan tersebut berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan
tertua di Jawa yang dapat diamati secara langsung karena tersingkap di permukaan.
FISIOGRAFI REGIONAL
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu sama lain
dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur geologinya. Van Bemmelen
(1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi, masing-masing dari
utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona Bandung, dan
Zona Pegunungan Selatan
Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barat-timur mulai
dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Daerah ini bermorfologi dataran
dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan endapan gunungapi muda.
Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang mulai
dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Zona Bogor
umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar maksimum
sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan batuan beku baik
intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh batuan beku intrusif,
seperti yang ditemukan di Komplek Pegunungan Sanggabuana, Purwakarta. Van
Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai antiklinorium kuat yang
disertai oleh pensesaran.
Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara 20 km
hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui Cianjur,
Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung bermorfologi perbukitan curam
yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup luas. Van Bemmelen (1949)
menamakan lembah tersebut sebagai depresi di antara gunung yang prosesnya diakibatkan
oleh tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di dalam zona ini terdiri atas
batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak selaras oleh batuan vulkanik
berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut membentuk struktur lipatan
besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung merupakan puncak dari Geantiklin
Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses pengangkatan berakhir (van Bemmelen,
1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek (1946)
menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat diamati di Lembah
Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah Cimandiri yang merupakan
bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi (plateau) Zona
Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh Pannekoek (1946)
dinamakan sebagai Plateau Jampang.
2.1.3 TEKTONIK REGIONAL
Lempeng Paparan Sunda dibatasi oleh kerak samudra di selatan dan pusat pemekaran
kerak samudra di timur. Bagian barat dibatasi oleh kerak benua dan di bagian selatan
dibatasi oleh batas pertemuan kerak samudra dan benua berumur kapur (ditandai adanya
Komplek Melange Ciletuh) dan telah tersingkap sejak umur Tersier. Sejak awal tersier
(Oligosen akhir), kerak samudra secara umum telah miring ke arah utara dan tersubduksi di
bawah Dataran Sunda (Hamilton, 1979).
Tektonik kompresi dan ekstensi dihasilkan oleh gaya tekan pergerakan Lempeng Indo-
Australia dan putaran Kalimantan ke utara, membentuk rift dan half-graben sepanjang batas
selatan Lempeng Paparan Sunda pada Eosen-Oligosen (Hall, 1977). Karakter struktur di
daratan terdiri dari perulangan struktur cekungan dan tinggian, dari barat ke timur yaitu
Tinggian Tangerang, Rendahan Ciputat, Tinggian Rengasdengklok, Rendahan Pasir Putih,
Tinggian dan Horst Pamanukan-Kandanghaur, Rendahan Jatibarang dan Rendahan
Cirebon . Pola struktur batuan dasar di lepas pantai merupakan pola struktur yang sama
pada Cekungan Sunda, Cekungan Asri, Seribu Platform, Cekungan Arjuna, Tinggian F,
Cekungan Vera, Eastern Shelf, Cekungan Biliton, Busur Karimun Jawa dan Bawean Trough.
Beberapa bukti menunjukan adanya gabungan antara asymmetrical sag dan half graben
pada tektonik awal pembentukan cekungan di daerah Jawa Barat Utara.
STRUKTUR REGIONAL
Di daerah Jawa Barat terdapat banyak pola kelurusan bentang alam yang diduga
merupakan hasil proses pensesaran. Jalur sesar tersebut umumnya berarah barat-timur,
utara-selatan, timurlaut-baratdaya, dan baratlaut-tenggara. Secara regional, struktur sesar
berarah timurlaut-baratdaya dikelompokkan sebagai Pola Meratus, sesar berarah utara-
selatan dikelompokkan sebagai Pola Sunda, dan sesar berarah barat-timur dikelompokkan
sebagai Pola Jawa. Struktur sesar dengan arah barat-timur umumnya berjenis sesar naik,
sedangkan struktur sesar dengan arah lainnya berupa sesar mendatar. Sesar normal umum
terjadi dengan arah bervariasi.
Dari sekian banyak struktur sesar yang berkembang di Jawa Barat, ada tiga struktur regional
yang memegang peranan penting, yaitu Sesar Cimandiri, Sesar Baribis, dan Sesar
Lembang. Ketiga sesar tersebut untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh van Bemmelen
(1949) dan diduga ketiganya masih aktif hingga sekarang.
Sesar Cimandiri merupakan sesar paling tua (berumur Kapur), membentang mulai dari
Teluk Pelabuhanratu menerus ke timur melalui Lembah Cimandiri, Cipatat-Rajamandala,
Gunung Tanggubanperahu-Burangrang dan diduga menerus ke timurlaut menuju Subang.
Secara keseluruhan, jalur sesar ini berarah timurlaut-baratdaya dengan jenis sesar
mendatar hingga oblique (miring). Oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini
dikelompokkan sebagai Pola Meratus.
Sesar Baribis yang letaknya di bagian utara Jawa merupakan sesar naik dengan arah relatif
barat-timur, membentang mulai dari Purwakarta hingga ke daerah Baribis di Kadipaten-
Majalengka (Bemmelen, 1949). Bentangan jalur Sesar Baribis dipandang berbeda oleh
peneliti lainnya. Martodjojo (1984), menafsirkan jalur sesar naik Baribis menerus ke arah
tenggara melalui kelurusan Lembah Sungai Citanduy, sedangkan oleh Simandjuntak (1986),
ditafsirkan menerus ke arah timur hingga menerus ke daerah Kendeng (Jawa Timur).
Penulis terakhir ini menamakannya sebagai “Baribis-Kendeng Fault Zone”. Secara tektonik,
Sesar Baribis mewakili umur paling muda di Jawa, yaitu pembentukannya terjadi pada
periode Plio-Plistosen. Selanjutnya oleh Martodjojo dan Pulunggono (1986), sesar ini
dikelompokkan sebagai Pola Jawa.
Sesar Lembang yang letaknya di utara Bandung, membentang sepanjang kurang lebih 30
km dengan arah barat-timur. Sesar ini berjenis sesar normal (sesar turun) dimana blok
bagian utara relatif turun membentuk morfologi pedataran (Pedataran Lembang). Van
Bemmelen (1949), mengaitkan pembentukan Sesar Lembang dengan aktifitas Gunung
Sunda (G. Tangkubanperahu merupakan sisa-sisa dari Gunung Sunda), dengan demikian
struktur sesar ini berumur relatif muda yaitu Plistosen.
Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya berkembang di utara Jawa
(Laut Jawa). Sesar ini termasuk kelompok sesar tua yang memotong batuan dasar
(basement) dan merupakan pengontrol dari pembentukan cekungan Paleogen di Jawa
Barat.
Mekanisme pembentukan struktur geologi Jawa Barat terjadi secara simultan di bawah
pengaruh aktifitas tumbukan Lempeng Hindia-Australia dengan Lempeng Eurasia yang
beralangsung sejak Zaman Kapur hingga sekarang. Posisi jalur tumbukan (subduction zone)
dalam kurun waktu tersebut telah mengalami beberapa kali perubahan. Pada awalnya
subduksi purba (paleosubduksi) terjadi pada umur Kapur, dimana posisinya berada pada
poros tengah Jawa sekarang. Jalur subduksinya berarah relatif barat-timur melalui daerah
Ciletuh-Sukabumi, Jawa Barat menerus ke timur memotong daerah Karangsambung-
Kebumen, Jawa Tengah. Jalur paleosubduksi ini selanjutnya menerus ke Laut Jawa hingga
mencapai Meratus, Kalimantan Timur (Katili, 1973). Penulis ini menarik jalur paleosubduksi
berdasarkan pada singkapan melange yang tersingkap di Ciletuh (Sukabumi),
Karangsambung (Kebumen), dan Meratus (Kalimantan Timur). Berdasarkan penanggalan
radioaktif yang dilakukan terhadap beberapa contoh batuan melange, diketahui umur
batuannya adalah Kapur.
Peristiwa subduksi Kapur diikuti oleh aktifitas magmatik yang menghasilkan endapan
gunungapi berumur Eosen. Di Jawa Barat, endapan gunungapi Eosen diwakili oleh Formasi
Jatibarang dan Formasi Cikotok. Formasi Jatibarang menempati bagian utara Jawa dan
pada saat ini sebarannya berada di bawah permukaan, sedangkan Formasi Cikotok
tersingkap di daerah Bayah dan sekitarnya.
Jalur gunungapi (vulcanic arc) yang umurnya lebih muda dari dua formasi tersebut di atas
adalah Formasi Jampang. Formasi ini berumur Miosen yang ditemukan di Jawa Barat
bagian selatan. Dengan demikian dapat ditafsirkan telah terjadi pergeseran jalur subduksi
dari utara ke arah selatan.
Untuk ketiga kalinya, jalur subduksi ini berubah lagi. Pada saat sekarang, posisi jalur
subduksi berada Samudra Hindia dengan arah relatif barat-timur. Kedudukan jalur subduksi
ini menghasilkan aktifitas magmatik berupa pemunculan sejumlah gunungapi aktif.
Beberapa gunungapi aktif yang berkaitan dengan aktifitas subduksi tersebut, antara lain G.
Salak, G. Gede, G. Malabar, G. Tanggubanperahu, dan G. Ciremai.
Walaupun posisi jalur subduksi berubah-ubah, namun jalur subduksinya relatif sama, yaitu
berarah barat-timur. Posisi tumbukan ini selanjutnya menghasilkan sistem tegasan (gaya)
berarah utara-selatan.
Aktifitas tumbukan lempeng di Jawa Barat, menghasilkan sistem tegasan (gaya) berarah
utara-selatan.
Bagian utara didominasi oleh struktur ekstensi, sedangkan struktur kompresi sedikit sekali.
Sesar-sesar yang terbentuk yaitu sesar-sesar berarah baratlaut-tenggara, utara dan timur
laut membentuk rift dan beberapa cekungan pengendapan yang dikenal sebagai Sub-
cekungan Arjuna Utara, Sub-cekungan Arjuna Tengah dan Sub-cekungan Arjuna Selatan,
serta Sub-cekungan Jatibarang dan sesar-sesar geser menganan berarah baratlaut-
tenggara.
Fase rifting pada Eosen-Oligosen memiliki arah ekstensi utama berarah timurlaut-baratdaya
hingga barat-timur. Cekungan ini tidak terbentuk sebagai cekungan busur belakang, namun
sebagai pull-apart. Hamilton (1979) menyebutkan dua alasan yang dapat menjelaskan hal
tersebut yaitu pertama, arah ekstensi cekungan hampir tegak lurus dengan zona subduksi
saat ini, dan kedua, kerak benua yang tebal terlihat dalam pembentukan struktur rift
cekungan tersebut.
Terdiri atas dua grup sedimen, yaitu syn rift sedimen yang didominasi oleh non
marin/sedimen darat dan post rift sedimen (sag) yang didominasi oleh sikuen endapan marin
dan transisi.
Batuan dasar cekungan merupakan batuan dasar Pra-Tersier yang mewakili kerak benua
Daratan Sunda, terdiri atas batuan beku dan metamorf berumur Kapur atau lebih tua dan
juga endapan klastik dan gamping yang terbentuk pada awal Tersier.
Endapan syn rift diawali oleh pengendapan Formasi Jatibarang (di Cekungan Sunda
diendapkan Formasi Banuwati), dicirikan oleh perselingan volkanik-klastik dan sedimen
lakustrin.
Endapan Post rift/sag basin fill (Miosen Awal-Plistosen) merupakan fase transgresif di
daerah Laut Jawa. Pada endapan Post-rift tersebut diendapkan secara selaras setara
batugamping Formasi Baturaja. Pengendapan selanjutnya berupa endapan laut dangkal
Formasi Cibulakan Atas dan Formasi Parigi. Pengendapan terakhir adalah Formasi Cisubuh
yang berada di bawah endapan aluvial yang terjadi saat ini.
BAB III
PETA GEOLOGI JAKARTA dan KEPULAUAN SERIBU
Sejarah geologi berdasarkan peta geologi Jakarta dan Kepulauan Seribu di atas
yaitu pada penampang A-B dari Selatan ke Utara. Pada secara keseluruhan, kala
Miosen awal mula-mula diendapkan secara selaras yaitu berupa batu pasir-halus
konglomeratan dan batu lempung yang menunjukkan formasi Rengganis, hal ini
menunjukkan lingkungan pengendapan darat dan tebalnya formasi ini kira-kira 180m.
Kemudian mengalami kenaikan sea level/transgressi dengan diendapkan secara tidak
selaras berupa batu gamping koral, sisipan batu gamping pasiran, napal, dan batu pasir
kuarsa glaukonit hijau di formasi Bojongmanik yang menandakan lingkungan
pengendapan laut. Formasi ini berumur Miosen awal-tengah dan tebalnya formasi ini
100m-200m. Kemudian pada bagian selatan di daerah sungai Cidangdeur mengalami
regressi dengan daerah pengendapan darat dimana pada daerah ini terjadi intrusi dari
Basal piroxene, Tmpb dari gunung Dago yang memotong Tmb dan berumur Miosen
akhir disertai tektonik dimana Basal piroxene ini terkekarkan dan mengalami pelapukan.
Lapisan Tmpb ini kira-kira 200m. Kemudian terdapat nonconformity endapan breksi,
lahar, tuff breksi, dan tuff batuapung menunjukkan hasil aktivitas Volkanik ditandai Qv
pada peta. Lapisan Qv cukup tebal dengan tebalnya 100m dengan menipis ke arah
utara. Endapan ini diendapkan berbarengan dengan Andesit-hornblende-piroksen
porfiritik yang dihasilkan oleh gunung api Sudamanik, Qvas yang berumur Plistosen.
Lapisan Qv kira-kira 30m ketebalnnya serta Qvas tebalnya 50m.
Pada pertengahan penampang A-B, dari formasi Bojongmanik Tmb pada peta,
terdapat regresi diendapkan secara tidak selaras nonconformity yaitu tuf batuapung,
batu pasir tufaan, breksi andesit, konglomerat dan sisipan batu lempung tuffaan
ditunjukkan oleh formasi genteng, Tpg pada peta dengan umur plistosen dengan tebal
kira-kira 50m. Kemudian terdapat ketidak selarasan berupa endapan breksi, lahar, tuff
breksi, dan tuff batuapung menunjukkan hasil aktivitas Volkanik ditandai Qv pada peta.
Endapan ini berumur Plistosen dan penyebarannya lebih tipis dan sempit dibanding di
bagian selatan sungai Cidangdeur kira-kira 50m. Kemudian muncul endapan aluvium
yang diendapkan secara tidak selaras di atas formasi genteng berupa lempung, lanau,
pasir, kerikil, dan bongkah dengan umur holosen dan penyeberannya di titik-titik tertentu
dan tak luas. Endapan ini ditandai Qa pada peta. Ketebalannya mencapai 10m.
Pada bagian Utara/kanan dari penampang A-B, dari formasi Bojongmanik, Tmb pada
peta terlihat formasi Bojongmanik menipis ke arah utara yang menunjukkan bagian
utara pada miosen awal-tengah, daerah ini semakin mendekati daerah pantai dengan
sedikit koral yang tumbuh dengan tebalnya 20m. Kemudian mengalami regresi
diendapkan secara tidak selaras nonconformity yaitu tuf batuapung, batu pasir tufaan,
breksi andesit, konglomerat dan sisipan batu lempung tuffaan ditunjukkan oleh formasi
genteng, Tpg pada peta dengan umur plistosen dengan tebal 30m. Setelah itu
diendapkan kembali secara tidak selaras, yaitu tuf, tuf batu apung, batu pasir tuffaan
sebagai Banten Tuff, Qtvb pada peta. Endapan ini berumur Pliosen dengan tebal 30m.
Kemudian muncul endapan aluvium yang diendapkan secara tidak selaras di atas
formasi genteng berupa lempung, lanau, pasir, kerikil, dan bongkah dengan umur
holosen dan penyeberannya meluas di daerah utara namun tipis. Endapan ini ditandai
Qa pada peta dengan tebal 5-15m.
Sejarah geologi dari Barat daya-Timur laut, ditunjukkan oleh penampang geologi C-
D. Pada secara keseluruhan, kala Miosen awal mula-mula diendapkan secara selaras
yaitu berupa batu pasir-halus konglomeratan dan batu lempung yang menunjukkan
formasi Rengganis Tmrs, hal ini menunjukkan lingkungan pengendapan darat. Lapisan
Tmrs ini tebalnya kira-kira 50m. Kemudian mengalami kenaikan sea level/transgressi
dengan diendapkan secara tidak selaras berupa batu gamping koral, sisipan batu
gamping pasiran, napal, dan batu pasir kuarsa glaukonit hijau di formasi Bojongmanik,
Tmb yang menandakan lingkungan pengendapan laut. Formasi ini berumur Miosen
awal-tengah dan tebalnya formasi ini 80m-200m. kemudian pada daerah barat daya,
terdapat sesar naik sehingga lapisan Tmrs naik dan muncul di penampang dan
kemungkinan mengalami regresi dengan lingkungan pengendapan darat. Di barat daya
ini, terdapat pusat vulkanisme berupa pembentukkan gunung api Sudamanik andesit
yang menghasilkan andesit-hornblende-piroksen porfiritik, Qvas dan diendapkan secara
tidak selaras nonconformity berbarengan dengan batu gunung api muda, Qv berupa
breksi, lahar, tuff breksi, dan tuff batu apung dengan tebalnya 30m dan diendapkan
pada kala Plistosen. Qvas ini merupakan gunung api andesit di daerah sungai
Cidangdeur. Lapisan Qv ini memanjang di sebelah kiri dan kanan gunung api andesit.
Di pertengahan sampai timur laut,. Lapisan Qv terlihat melensa. Di daerah Cisadane
dari diendapkannya Tmb pada miosen awal-tengah, diendapkan secara selaras,
endapan aluvial fan dengan litologinya tuf halus berlapis, tuf pasiran berselingan
dengan tuf konglomerat. Endapan ini merupakan hasil perombakan dari batu piroklastik
yang bernama epiklastik yang merupakan hasil dari erosi bukit akibat adanya sesar
turun yang merombak hasil endapan tuff dan bercampur pada batu lain menjadi batu
sedimen. Lapisan ini bernama Qav pada peta dengan endapannya yang memanjang
dan berumur pliosen-pleistosen tebalnya 20-50m. . Kemudian muncul endapan aluvium
yang diendapkan secara tidak selaras di atas aluvium fan berupa lempung, lanau, pasir,
kerikil, dan bongkah dengan umur holosen dan penyeberannya di titik-titik tertentu dan
sangat kecil sekali. Endapan ini ditandai Qa pada peta. Ketebalannya mencapai 1m.
Pada penampang E-F pada ujung peta sebelah kanan 60 25' LS-60 30'LS dan 1060
55'BT-1070 'BT. Pada masa miosen awal-tengah diendapkan batu gamping koral,
sisipan batu gamping pasiran, napal, batu pasir kuarsa glaukonit hijau yang merupakan
lingkungan pengendapannya laut dan dinamakan formasi Klapanunggal. Formasi ini
merupakan bagian dari fasies formasi jatiluhur berupa endapan napal dan batulempung
sisipan batu pasir gampingan dimana kedua formasi ini diendapkan pada miosen awal-
tengah dengan tebalnya kira-kira 200m. Pada kala miosen awal-tengah, terjadi peristiwa
uplift menjadi darat dan kemudian terlipatkan menjadi antiklin yang besar dan terjadi
sesar vertikal pada lapisan Tmk. Pada saat bersamaan lapisan Tmj pun terkena struktur
sehingga memiliki arah trend timur laut. Pada waktu selanjutnya banyak sekali lapisan
yang tererosi pada kala berikutnya. Sampai diendapkan aluvial fan dengan litologi tuf
halus berlapis, tuf pasir berselingan dengan konglomerat, Qav pada kala pliosen.
Pada kepulauan seribu terdapat banyak sekali batugamping koral berupa koloni
koral, hancuran koral dan cangkang molusca yang berumur dari pliosen akhir-holosen
yang mengalami uplift dan muncul di permukaan hingga sekarang.
Gambar penampang dan potongan peta:
Penampang E-F dan potongan petanya
Penampang C-D dan potongan petanya
Penampang A-B dan potongan petanya
BAB V
KESIMPULAN
Kepulauan seribu merupakan hasil pertumbuhan koral yang terangkat.
Formasi klapanunggal secara genesa waktu sama dengan formasi jatiluhur
dan kedua fromasi tertektonikan, sehingga formasi klapanunggal menjadi
antiklin dan formasi jatiluhur memliki trend.
Urutan umur dari tua ke muda adalah Formasi rengganis Tmrs dengan umur
miosen awal, Formasi Bojongmanik Tmb, formasi Klapanunggal Tmk, dan
formasi jatiluhur Tmj mempunyai umur yang sama yaitu miosen awal-
miosen tengah, Formasi genteng dan formasi basal gunung Dago
mempunyai umur yang sama yaitu miosen akhir, Formasi banten tuff
memiliki umur pliosen, Formasi gunung api muda, Andesit gunung
sudamanik, dan aluvial fan memiliki umur plistosen, Coraline limestone
berumur plistosen-holosen, dan endapan aluvial merupakan umur termuda
yaitu resen.
Pada bagian barat daya peta geologi ini, memiliki aktivitas vulkanisme dan
sesar naik yang melintasi gunung apinya.
Endapan aluvial dan aluvial fan mendominasi peta geologi jakarta dan
coraline limestone mendominasi kepulauan seribu.
DAFTAR PUSTAKA
http://wingmanarrows.wordpress.com/2012/10/08/konsep-konsep-dan-hukum-
hukum-dalam-ilmu-geologi/
http://boezsay.blogspot.com/2013/09/hukum-dasar-geologi.html
http://alfred8steven.wordpress.com/2012/10/27/hukum-hukum-geologi/
http://fahriadhari.blogspot.com/2013/07/hukum-hukum-dasar-geologi.html
http://banyudata.blogspot.com/2010/03/peta-geologi-indonesia.html
http://syawal88.wordpress.com/2011/10/05/geologi-regional-jawa-barat/