Click here to load reader
Author
dedybrianericsonnainggolan
View
32
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan
Abstrak
Kontrol suhu merupakan sebuah metode dimana kita akan mengatur kerja suatu alat pada besar suhu yang kita kehendaki. Adanya perubahan suhu pada suatu sistem tentunya berpengaruh terhadap kerja suatu alat. Untuk menyelamatkan alat dari suhu yang terlalu tinggi maka dapat digunakan pengatur suhu yang dipasang pada alat tersebut. Kita dapat mengatur sampai pada batas suhu berapa alat dapat beroperasi, selebihnya dari suhu tersebut maka alat akan berhenti beroperasi.
Pengaturan suhu bisa dilakukan dengan metode on-off. Dimana alat akan hidup jika berada di bawah suhu yang ditentukan dan alat akan mati jika melebihi suhu yang telah ditentukan. Selain itu pengaturan suhu juga bisa dilakukan dengan metode proporsional dimana kerja alat akan menyesuaikan dengan range suhu yang telah ditentukan. Sehingga alat bisa bekerja dengan maksimal jika masih berada di sekitar range bawah dan alat akan bekerja minimum jika telah berada di sekitar range atas.
BAB IV
PERCOBAAN III
KONTROL SUHU
4.1 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan Kontrol Suhu ialah :
1. Memahami karakteristik sensor J-TC thermocouple, NTC (Negative
Temperature Coefficient), Platinum Pt 100.
2. Memahami dasar-dasar penguat operasional dan aplikasinya.
3. Memahami aplikasi dan pengaturan sederhana kalang tertutup (close
loop) dengan on-off controller
4. Memahami mekanisme dan aplikasi pengaturan sederhana kalang
tertutup (close loop) dengan proporsional kontroler
4.2 Dasar Teori
4.2.1 On-Off Controller
Pada dasarnya, On-off controller merupakan sistem kontrol loop tertutup.
Dalam sistem kontrol dua posisi, elemen penggerak hanya mempunyai dua posisi
tetap, yang dalam beberapa hal, benar- benar merupakan posisi “on” dan “off”.
Kontrol dua posisi atau on-off controller relatif sederhana dan murah, oleh
karenanya banyak digunakan dalam sistem kontrol industri maupun rumah-
rumah.
Sinyal kesalahan penggerak, yang merupakan selisih antara sinyal masukan
dan sinyal umpan balik diumpankan ke kontroller. Keluaran kontroller
diumpankan ke plant untuk memperkecil kesalahan dan membuat agar keluaran
sistem mendekati harga yang diinginkan. Sistem kontrol umpan balik bisa
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 4.1 Sistem Kontrol Loop Tertutup
Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan penggerak
adalah e(t). Pada kontrol dua posisi, sinyal m(t) akan tetap pada harga maksimum
atau minimumnya, bergantung pada kesalahan penggerak, positif atau negatif,
sedemikian rupa sehingga :
M(t) = M1untuk e(t)>0 . . . . . disebut error positif
M(t) = M2 untuk e(t)<0 . . . . disebut error negatif
Dimana M1 dan M2 adalah konstanta. Harga minimum, M2, biasanya nol,
atau –M1. Kontroller dua posisi biasanya berupa perangkat listrik, salah satu
contoh yang digunakan secara luas dengan penggerak selenoid listrik.
Gambar 4.2 (a) dan (b) menunjukkan diagram blok kontroller dua posisi.
Daerah harga sinyal penggerak antara posisi on dan off disebut celah diferensial
(differential gap). Suatu celah differensial ditunjukkan pada gambar 4.2 (b). Celah
diferensial ini menyebabkan keluaran kontroller m(t) tetap pada harga sekarang
sampai sinyal kesalahan penggerak bergeser sedikit dari harga nol. Pada beberapa
kasus, celah diferensial ini disebabkan oleh gesekan yang tidak diinginkan adanya
celah diferensial untuk mencegah operasi mekanisme on-off yang terlalu sering.
Gambar 4.2 (a) Diagram Blok Kontroller on-off. (b) Diagram blok on-off dengan celah diferensial
Celah diferensial
me M1 M
2
me M1 M
2
( a ) ( b )
Dari gambar 4.2, dapat dilihat bahwa amplitudo osilasi keluaran dapat
diperkecil dengan memperkecil celah diferensial. Akan tetapi hal ini akan
menyebabkan kenaikan angka switching on-off permenit sehingga akan
memperpendek umur ketahanan komponen. Besar celah diferensial harus
ditentukan berdasarkan beberapa pertimbangan seperti ketelitian yang diperlukan
dan umur komponen.
Gambar 4.3 Respon output pada sistem kontrol on-off
Pada percobaan on-off controller, on-off controller digunakan digunakan
untuk mengatur temperatur air sehingga didapatkan kestabilan di sekitar
temperatur referensi yang digunakan.
4.2.2 Proporsional Kontroler
Pada dasarnya, proporsional kontroler merupakan penguat dengan
penguatan yang dapat diatur. Apabila dibandingkan dengan On-Off controller,
proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi, sehingga
waktu transient menjadi lebih cepat.
Gambar 4.4 Proporsional Kontroler
Celah diferensial
H(t)
T0
OutputKp
Misal sinyal keluaran kontroller adalah m(t) dan sinyal kesalahan
penggerak adalah e(t). Pada proporsional kontroler, sinyal m(t) bergantung pada
kesalahan penggerak, sedemikian rupa sehingga :
m(t) = Kp. e(t)
Akan tetapi, hasil keluaran dari proporsional kontroler melenceng dari
tegangan referensi yang diharapkan. Dalam penggunaan proporsional kontroler,
semakin besar tegangan referensi yang diinginkan, semakin besar pula penguatan
yang digunakan.
4.2.3 Sensor
Sensor adalah peralatan yang digunakan untuk mengubah suatu besaran fisik
menjadi besaran listrik, sehingga keluarannya dapat dianalisa dengan rangkaian
listrik tertentu. Hampir seluruh peralatan elektronik yang ada memiliki sensor di
dalamnya. Pada saat ini, sensor telah dibuat dengan ukuran sangat kecil hingga
orde nanometer dimana hal ini menjadikan sensor sangat memudahkan pemakaian
dan menghemat energi.
Adapun sensor terklasifikasi ke dalam dua jenis besar sensor, yaitu sensor
fisika dan sensor kimia. Sensor fisika merupakan jenis sensor yang mendeteksi
suatu besaran berdasarkan hukum-hukum fisika, seperti sensor cahaya, suara,
gaya, kecepatan, percepatan, maupun sensor suhu. Sedangkan jenis sensor kimia
merupakan sensor yang mendeteksi jumlah suatu zar kimia dengan jalan
mengubah besaran kimia menjadi besaran listrik dimana di dalamnya dilibatkan
beberapa reaksi kimia, seperti misalnya pada sensor pH, sensor oksigen, sensor
ledakan, serta pada sensor gas.
Sensor merupakan sebuah tipe dari transducer yang mengindikasi secara
langsung dengan atau tanpa penguat dan pengolah sinyal yang terbentuk dalam
satu sistem pengindra, seperti halnya sebuah thermometer air raksa yang dapat
membaca manusia. Sensor lain dapat dipasangkan dengan sebuah indikator
ataupun display, dalam keadaan ini misalnya pada sebuah thermocouple.
Kebanyakan sensor merupakan sensor kelistrikan maupun peralatan
elektroniknya, meskipun tipe-tipe sensor lainnya juga tetap ada dan bertahan.
Sensor digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dimana aplikasinya mencakup
automobile, mesin, kedokteran, indistri, robot, maupun aerospace. Dalam
lingkungan sistem pengendali dan robotika, sensor memberikan kesamaan yang
menyerupai mata, pendengaran, hidung, maupun lidah yang kemudian akan diolah
oleh kontroller sebagai otaknya.
Sensor memiliki banyak macam dan bentuk sesuai kegunaan yang
dibutuhkan. Adapun macam – macam sensor diantaranya ialah :
1. Sensor Kedekatan (proximity)
Sensor Kedekatan (proximity) merupakan sensor atau saklar yang
dapat mendeteksi adanya target yang merupakan jenis logam dengan tanpa
adanya kontak fisik.
2. Sensor Magnet
Sensor Magnet atau disebut juga relai buluh, adalah alat yang akan
terpengaruh medan magnet dan akan memberikan perubahan kondisi pada
keluaran.
3. Sensor Sinar
Sensor sinar terdiri dari 3 kategori. Fotovoltaic atau sel solar
adalah alat sensor sinar yang mengubah energi sinar langsung menjadi
energi listrik, dengan adanya penyinaran cahaya akan menyebabkan
pergerakan elektron dan menghasilkan tegangan.
4. Sensor Efek Hall
Sensor Efek-Hall dirancang untuk merasakan adanya objek magnetis
dengan perubahan posisinya. Perubahan medan magnet yang terus
menerus menyebabkan timbulnya pulsa yang kemudian dapat ditentukan
frekuensinya, sensor jenis ini biasa digunakan sebagai pengukur
kecepatan.
5. Sensor Ultrasonik
Sensor ultrasonik bekerja berdasarkan prinsip pantulan gelombang
suara, dimana sensor ini menghasilkan gelombang suara yang kemudian
menangkapnya kembali dengan perbedaan waktu sebagai dasar
penginderaannya.
6. Sensor Tekanan
Sensor tekanan - sensor ini memiliki transduser yang mengukur
ketegangan kawat, dimana mengubah tegangan mekanis menjadi sinyal
listrik. Dasar penginderaannya pada perubahan tahanan pengantar
(transduser) yang berubah akibat perubahan panjang dan luas
penampangnya.
7. Sensor Kecepatan (RPM)
Proses penginderaan sensor kecepatan merupakan proses kebalikan
dari suatu motor, dimana suatu poros/object yang berputar pada suatui
generator akan menghasilkan suatu tegangan yang sebanding dengan
kecepatan putaran object.
8. Sensor Penyandi (Encoder)
Sensor Penyandi (Encoder) digunakan untuk mengubah gerakan linear
atau putaran menjadi sinyal digital, dimana sensor putaran memonitor
gerakan putar dari suatu alat.
9. Sensor Suhu
Pada percobaan ini menggunakan sensor untuk mendeteksi suhu, yaitu
sensor suhu. Terdapat 4 jenis utama sensor suhu yang umum digunakan,
yaitu thermocouple (T/C), resistance temperature detector (RTD),
termistor dan IC sensor. Thermocouple pada intinya terdiri dari sepasang
transduser panas dan dingin yang disambungkan dan dilebur bersama,
dimana terdapat perbedaan yang timbul antara sambungan tersebut dengan
sambungan referensi yang berfungsi sebagai pembanding. Resistance
Temperature Detector (RTD) memiliki prinsip dasar pada tahanan listrik
dari logam yang bervariasi sebanding dengan suhu. Kesebandingan variasi
ini adalah presisi dengan tingkat konsisten/kestabilan yang tinggi pada
pendeteksian tahanan. Platina adalah bahan yang sering digunakan karena
memiliki tahanan suhu, kelinearan, stabilitas dan reproduksibilitas.
Termistor adalah resistor yang peka terhadap panas yang biasanya
mempunyai koefisien suhu negatif, karena saat suhu meningkat maka
tahanan menurun atau sebaliknya. Jenis ini sangat peka dengan perubahan
tahan 5% per C sehingga mampu mendeteksi perubahan suhu yang kecil.
Sedangkan IC Sensor adalah sensor suhu dengan rangkaian terpadu yang
menggunakan chipsilikon untuk kelemahan penginderanya. Mempunyai
konfigurasi output tegangan dan arus yang sangat linear.
Pada plant kontrol suhu digunakan beberapa sensor suhu seperti :
1. J-TC Thermocouple
JTC merupakan sensor yang mengubah besaran suhu menjadi tegangan,
dimana sensor ini dibuat dari sambungan dua bahan metallic yang berlainan
jenis. Sambungan ini dikomposisikan dengan campuran kimia tertentu,
sehingga dihasilkan beda potensial antar sambungan yang akan berubah
terhadap suhu yang dideteksi. Karakteristik serbaguna thermocouple
dikombinasikan dengan sifat mereka yang relatif murah membuat mereka
ideal untuk digunakan dalam aplikasi industri, terutama pada suhu ekstrim di
mana menggunakan peralatan yang lebih sensitif dapat menyebabkan merusak
sensor yang lebih kompleks dan berharga. Sebuah platinum rhodium
thermocouple, misalnya, memiliki kapasitas untuk mengambil pembacaan
jangka pendek dalam suhu -580 farenhait sampai 30920 farenhait membuat ini
bahkan alat praktis untuk mengukur suhu logam cair untuk keperluan analisis
metalurgi. Bahkan thermocouple dibangun dari bahan eksotis kurang memiliki
kemampuan untuk mengambil bacaan akurat dalam lingkungan suhu yang
lebih umum
2. NTC (Negative Temperature Coefficient)
Lain halnya dengan JTC, NTC merupakan sensor yang mengubah besaran
suhu menjadi hambatan. NTC dibuat dari campuran bahan semikonduktor
yang dapat menghasilkan hambatan intrinsik yang akan berubah terhadap
temperatur. NTC adalah termistor yang pertama kali ada dan di temukan pada
tahun 1833 oleh Michael Faraday. Faraday melaporkan perilaku dari
semikonduktor sulfida perak, ia melihat resistansi dari sulfida perak yang
menurun drastis karena suhu meningkat. Namun, karena sulitnya pembuatan
termistor tersebut serta aplikasi-aplikasinya untuk teknologi terbatas,
pembuatan termistor secara komersil tidak pernah di mulai sampai tahun
1930. Pembuatan termistor komersil baru di buat oleh Samuel Ruben pada
tahun 1930. Range untuk sensor NTC bermacam – macam antara lain : -
40o+125o , -55o + 150o dan lain – lain.
3. Platinum Pt 100
PT100 merupakan salah satu jenis sensor suhu yang terkenal dengan
keakurasiannya. PT100 termasuk golongan RTD (Resistive Temperature
Detector) dengan koefisien suhu positif, yang berarti nilai resistansinya naik
seiring dengan naiknya suhu. PT100 terbuat dari logam platinum. Oleh
karenanya namanya diawali dengan ‘PT’. Disebut PT100 karena sensor ini
dikalibrasi pada suhu 0°C pada nilai resistansi 100 ohm. Ada juga PT1000
yang dikalibrasi pada nilai resistansi 1000 ohm pada suhu 0°C.
Menurut keakurasiannya, terdapat dua jenis PT100, yakni Class-A dan Class-
B. PT100 Class-A memiliki akurasi ±0,06 ohm dan PT100 Class-B memiliki
akurasi ±0,12 ohm. Keakurasian ini menurun seiring dengan naiknya suhu.
Akurasi PT100 Class-A bisa menurun hingga ±0,43 ohm (±1,45°C) pada suhu
600°C, dan PT100 Class-B bisa menurun hingga ±1,06 ohm (±3,3°C) pada
suhu 600°C.
PT100 tipe DIN (Standard Eropa) memiliki resolusi 0,385 ohm per 1°C.
Jadi resistansinya akan naik sebesar 0,385 ohm untuk setiap kenaikan suhu
1°C. Untuk mengukur suhu secara elektronik menggunakan sensor suhu
PT100, maka kita harus mengeksitasinya dengan arus yang tidak boleh
melebihi nilai 1mA. Hal ini karena jika dialiri arus melebihi 1 mA, maka akan
timbul efek self-heating. Jadi, seperti layaknya komponen resistor, maka
kelebihan arus akan diubah menjadi panas. Akibatnya hasil pengukuran
menjadi tidak sesuai lagi.
Aplikasi sensor PT100 temperatur untuk RTD temperatur controller filling
machine dan sealbar
Gambar 4.5 Sensor Platinum Pt100
4.2.4 Penguat
Penguat atau amplifier pada dasarnya adalah suatu rangkaian yang
digunakan untuk mengubah suatu besaran. Dalam percobaan ini amplifier
diidentikkan dengan penguatan sinyal listrik. Amplifier dapat dibedakan menjadi
beberapa macam tergantung dari penggolongan masing-masing. Adapun penguat
yang digunakan dalam percobaan ini adalah Operasional Amplifier dan Loop
Amplifier.
4.2.4.1 OP-AMP
Op-Amp merupakan suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung,
yang umpan baliknya ditambahkan untuk mengendalikan karakteristik
keseluruhan. Op-Amp digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang
bermacam-macam dan sering disebut sebagai analog .
Nama penguat operasional telah diberikan kepada penguat gain-tinggi yang
dirancang untuk melaksanakan tugas-tugas matematis seperti penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian. Semuanya bekerja dengan tegangan
tinggi sampai setinggi 300V, tetapi sanggup menyelesaikan berbagai perhitungan.
Op-Amp adalah suatu penguat berperolehan tinggi dikopel-langsung, yang umpan
baliknya ditambahkan untuk mengendalikan karakteristik keseluruhan. Op-Amp
digunakan untuk membentuk fungsi-fungsi linier yang bermacam-macam dan
sering disebut sebagai analog .
Terminal- terminal Op-Amp yaitu:
1. Terminal catu daya.
Op-Amp membutuhkan catu daya +V dan –V yang keduanya dihubungkan
ke supply daya.
2. Terminal keluaran
Ujung tegangan keluaran Vo diukur terhadap ground, karena dalam
sebuah Op-Amp hanya ada satu terminal keluaran. Batas keluaran Vo disebut
tegangan kejenuhan positif (+Vsat) dan batas bawahnya disebut tegangan
kejenuhan negatif (-Vsat).
3. Terminal- terminal masukan
Dalam Op-Amp terdapat masukan bertanda (-) yang kemudian disebut
masukan inverting dan yang bertanda (+) disebut masukan non inverting.
Tegangan keluaran Vo tergantung pada perbedaan tegangan kedua terminal
tersebut.
Penguat operasional ini banyak digunakan dalam berbagai aplikasi karena
beberapa keunggulan yang dimiliki, seperti penguatan yang tinggi, impedansi
masukan tinggi, impedansi keluaran yang rendah dan lain sebagainya. Sebuah Op-
Amp yang ideal memiliki beberapa karakteristik khusus, yaitu :
1. Resistansi masukan Ri = tak terhingga
2. Resistansi keluaran Ro = 0.
3. Perolehan tegangan Av = - tak terhingga.
4. Lebar pita = tak terhingga.
5. Vo = 0 kalau V1 = V2 tidak tergantung pada besarnya V1.
6. Karakteristiknya tidak tergantung pada temperatur.
Bentuk dasar penguat operasi adalah suatu blok dengan dua masukan, satu
keluaran dan dicatu secara simetris, seperti diperlihatkan gambar 4.6.
VCC
VEE
(a) (b)
Gambar 4.6 (a) Simbol penguat operasi, (b)IC LM741
Catu daya pada Op-Amp diberikan lewat jalur VCC dan VEE, catu positif
melalui VCC dan catu negatif melalui VEE. Adanya catu simetris ini memungkinkan
tegangan keluaran Vout berayun positif maupun negatif terhadap jalur ground
(netral, nol volt) Pencatuan asimetris masih dimungkinkan dengan konsekuensi
timbulnya beberapa keterbatasan.
Tegangan keluaran bersifat kebalikan dari tegangan masukan inverting
(membalik). Bila tegangan masukan inverting positif (+), tegangan akan
cenderung negatif (-), begitu pula sebaliknya. Masukan non inverting (tak
membalik) berlawanan sifat dari masukan inverting. Polaritas tegangan keluaran
cenderung mengikuti polaritas masukan noninverting ini. Untuk alasan ini,
masukan (-) nya disebut masukan pembalik dan masukan (+)nya disebut tak
membalik.
Op-amp yang lazin mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan rout yang
rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati
tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol. Rangkaian Op-Amp terdiri dari
dua macam, yaitu rangkaian inverting amplifier dan non-inverting amplifier.
Rangkaian inverting amplifier merupakan salah satu dari rangkaian op-amp
yang paling luas digunakan. Rangkaian ini terdiri dari sebuah penguat yang gain
rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo yang ditentukan oleh Rf dan Ri dan dapat
memperkuat isyarat AC dan DC.
masukannoninverting
-
+
masukaninverting keluaran
Gambar 4.7 Inverting Amplifier
Rangkaian inverting amplifier adalah salah satu dari rangkaian op-amp yang
paling luas digunakan. Rangkaian itu merupakan sebuah penguat yang gain
rangkaian tertutupnya dari Ei ke Vo ditentukan oleh Rf dan Ri yang dapat
memperkuat isyarat AC dan DC. Untuk memahami kerja rangkaian diperlihatkan
pada gambar :
Pada inverting amplifier, bila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan
acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu positif. Sebaliknya
bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran
akan mendekati tegangan catu negatif. Secara grafis, koinsidensi masukan –
keluaran diperlihatkan pada gambar 4.8.
VEE
Gambar 4.8 Koisidensi input-output
Vcc
Vreff
Input
Output
Dimana pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa :
1. Tegangan Ed antara masukan (+) dan masukan (-) pada dasarnya nol.
2. Arus yang dialirkan antara terminal (+) dan (-) dapat diabaikan.
Dalam gambar tegangan positif Ei diterapkan melalui tahanan masukan Ri
kemasukan (-) op-amp. Umpan balik negatif dibust oleh tahanan umpan balik Rf.
Tegangan antara masukan (+) dan (-)nya pada dasarnya sama dengan 0V.
karenanya, terminal masukan (-)juga 0V,juga potensial ground yang berada pada
masukan (-)nya. Karena ujung Ri yang satu ada di Ei dan yang lain ada di 0V,
penurunan tegangan melalui Ri adalah Ei. Arus I yang melalui Ri didapat dari
hukum Ohm:
I = Vi/Ri ................................................(4.1)
Seluruh arus masukan I mengalir melalui Rf, karena jumlah yang dialirkan
oleh terminal masukan (-)nya dapat diabaikan,maka penurunan tegangan yang
melalui Rf:
VRf = (Vi/Ri).Rf……………………….(4.2)
Dari gambar ujung Rf dan RL beban terhubung, tegangan dari hubungan ini
ke ground adalah Vo. Ujung Rf dan RL yang lain ke ground, karenanya Vo
menyamai VRf. Untuk memperoleh polaritas Vo,diingatkan bahwa ujung kiri dari
Rf memaksa ujung kanan Rf menjadi negatif. Karenanya, Vo negatif bila Ei
positif, sehingga persamaan Vo:
Vo = 0- (Vi/Ri)Rf...................................(4.3)
Sehingga gain tegangannya:
A = -Rf...................................................(4.4)
Tanda minus dalam persamaan diatas menandakan bahwa polaritas keluaran
Vo terbalik terhadap Ei. Sehingga rangkaian tersebut dinamakan pengaut
pembalik.
Pada rangkaian inverting amplifier ini sinyal keluaran yang dihasilkan akan
mempunyai beda fasa sebesar 180 dari sinyal masukannya.
Untuk memahami kerja rangkaian ini diajukan dua pemisalan sebagai berikut:
1. Tegangan Positif yang diterapkan ke masukan pembalik
Dari gambar tegangan positif diterapkan melalui tahanan masukan
kemasukan (-) penguat operasional. Umpan-balik negatif dibuat oleh tahanan
umpan balik . Tegangan masukan (+) dan (-) pada dasarnya sama dengan 0V.
Oleh karena itu, terminal masukan (-) juga 0V juga potensial ground yang ada
pada masukan negatifnya. Untuk alasan ini masukan negatifnya dikatakan ada
pada ground semu.
Karena ujung yang satu ada di dan yang ada di 0V, penurunan
tegangan melalui adalah Arus I yang melalui didapat dari hukum ohm.
…………………………(4.5)
meliputi resistansi dari pembangkit isyaratnya. Seluruh arus yang
masukan I mengalir melalui , karena jumlah yang dialirkan oleh terminal
masukan (-) dapat diabaikan. Yang perlu diperhatikan disini adalah arus yang
melalui ditentukan oleh dan bukan oleh , atau penguat
operasional-nya .Tegangan yang melaui adalah:
…………………(4.6)
Tegangan keluaran sama dengan tegangan yang melalui , dan akan
menjadi negatif apabila menjadi positif diperoleh persamaan untuk :
…………………………..(4.7)
Akhirnya dengan melihat ulang definisi penguatan (gain) untai/ikal tertutup
dari penguat tersebut adalah , persamaan (4.7) dapat dituliskan kembali
menjadi persamaan (4.8) sebagai berikut :
……………………………...(4.8)
dengan satu catatan, bahwa tanda minus menunjukkan polaritas terbalik
terhadap dengan alasan inilah penguat ini dikatakan penguat pembalik.
2. Arus Beban dan Arus Keluaran
Arus beban IL yang mengalir melaui hanya ditentukan oleh dan
saja . Persamaan arus beban dan arus keluarannya adalah:
Io = I + IL………………………………(4.9)
Sedangkan penguat tak membalik atau non-inverting amplifier merupakan
sebuah penguat yang tidak dapat membalik, yaitu tegangan keluaran Vo
mempunyai polaritas yang sama dengan tegangan masukan Ei, tahanan masukan
dari penguat pembalik adalah Ri, tahanan masukan dari penguat tak-pembalik luar
biasa besarnya, biasanya melebihi 100 Mohm.
Gambar 4.9 Non inverting Amplifier
Pada noninverting amplifier, berlaku kebalikan dengan kondisi pada
inverting amplifier, yaitu apabila tegangan masukan lebih rendah dari tegangan
acuan Vref, tegangan keluaran akan mendekati tegangan catu negatif. Sebaliknya
bila tegangan masukan lebih tinggi dari tegangan acuan Vref, tegangan keluaran
akan mendekati tegangan catu positif.
Input
Vreff
V
EE
Gambar 4.10 Koinsidensi input-outputKarena tegangan Ed antara masukan (+) dan (-) dari Op-Amp adalah nol
kedua masukan tersebut berada pada potensial X yang sama. Karenanya Ei
tampak melintasi Ri, Ei menyebabkan arus I mengalir seperti diberikan oleh I =
Ei/Ri. Arah I tergantung pada polaritas Ei.
Karenanya I mengalir melalui Rf dan penurunan tegangan melintasi Rf
dinyatakan oleh Vri dan dinyatakan sebagai:
VRf = I (Rf) ................................................(4.10)
Tegangan Vo didapat dengan menambah penurunan tegangan yang melintas
Ri yaitu Ei ketegangan yang melintasi Rf yaitu VRf :
Vo = ( 1 + Rf/Ri) Vi...................................(4.11)
Sehingga gain tegangannya adalah :
A = 1 + Rf/Ri............................................(4.12)
Persamaan tersebut memperlihatkan bahwa gain tegangan dari sebuah
penguat tak pembalik menyamai besarnya gain sebuah penguat pembalik (Rf/Ri)
Operational Amplifier atau penguat operasional memiliki setidaknya dua ragam
kerja dasar, yaitu ragam kerja saturasi dan ragam kerja linear. Ragam kerja
saturasi atau ragam kerja umpan balik positif, hanya mengenal dua keadaan, yaitu
tegangan keluaran mendekati catu positif dan tegangan keluaran mendekati catu
negatif. Ekpresi matematis yang sesuai untuk keadaan ini adalah:
Ragam kerja saturasi merupakan dasar dari pembanding tegangan atau
komparator. Pada aplikasi ini penguat operasional digunakan untuk
membandingkan tegangan yang berubah terhadap waktu dengan suatu level
tegangan yang besarnya tetap sebagai acuan (refference), sehingga tegangan
keluaran hanya akan berubah jika tegangan input telah melewati level refference.
Output
Vcc
Oleh karena itu pada ragam kerja saturasi penguat operasional dapat digunakan
sebagai elemen pengingat (multivibrator). Salah satu rangkaian yang termasuk
dalam ragam kerja saturasi adalah pembanding dengan hysterisis (Schmitt
trigger).
(a) (b)Gambar 4.11 (a)Komparator dengan hysterisis; (b)Koinsidensi input outputnya
Rangkaian pembanding dengan hysterisis diatas mengambil ground sebagai
titik acuan (reference). Besarnya hysterisis dapat bergantung pada nilai R1 dan
R2, secara matematis untuk rangkaian gambar 4.6 berlaku persamaan – persamaan
berikut :
VHYST = VUT - VLT ..........................................(4.13)
Sedangkan pada ragam kerja linier tidak hanya dikenal dua keadaan
keluaran sebagaimana ragam kerja saturasi, tegangan keluaran dapat bernilai
berapapun dalam range VCC dan VEE. Konfigurasi ragam kerja linier meliputi
penguat proporsional, derivator dan integrator.
4.2.4.2 Penguat Differensial
Rangkaian dasar penguat differensial ditunjukkan pada gambar. Hubungan
antara input dan output ditunjukkan pada persamaan berikut ini.
Gambar 4.12 Penguat differensial
4.2.4.3 Loop Amplifier
Penguat ini digunakan untuk memberikan penguatan dalam proses kontrol.
Penguatan dapat dirubah dengan memutar P6. Namun penguat ini hanya
berfungsi untuk mode proporsional kontrol.
4.2.4.4 Summing Amplifier
Untuk menjumlah dua atau lebih masukan makan menggunakan summing
amplifier, dengan membalik beberapa masukan, masing-masing mempunyai bati
tegangan satu. Karena semua tahanannya berharga sama, makin setiap masukan
mempunyai bati tegangan satu.
Gambar 4.13 Impedansi masuk dan rangkaian keluar Thevenin
Dari gambar, VTH = A (V1 – V2)
Op-amp yang lazinm mempunyai rin yang tinggi, A yang tinggi, dan rout yang
rendah. Untuk op-amp yang ideal maka impedansi masuk tak terhingga, bati
tegangan tak terhingga, dan impedansi keluar nol.
4.2.5 PWM (Pulse Width Modulation)
PWM (Pulsa width modulation) adalah suatu cara modulasi, dimana
gelombang pembawa yang digunakan terdiri dari pulsa-pulsa segi empat yang
berulang-ulang, dengan lebar pulsa yang dapat diubah-ubah oleh amplitudo dari
sinyal informasi.
PWM dipergunakan dalam pengaturan tegangan, tegangan beban diatur
dengan cara mengatur duty cycle dari gelombang kotak yang disupplykan ke basis
dari switching transistor.
Untuk mengukur duty cycle dapat digunakan rumus :
………………………..(4.14)
Adapun prinsip dasar PWM ditunjukkan pada Gambar 4.10 di bawah ini.
Gambar 4.14 Blok Sederhana PWM
Masukan pada PWM adalah sinyal-sinyal segi empat, dimana hal ini dapat
diamati dari tampilan osiloskop sebagai berikut:
Siklus total
Siklus Aktif
Gambar 4.15 Duty Cycle
Gambar 4.16 Output PWM
PWM diperoleh dengan mengumpankan sinyal segitiga e(t) dan sinyal
modulasi em(t) ke sebuah komparator. Lebar pulsa dari sinyal menggambarkan
informasi atau besar sinyal dari modulasi.
Bila sinyal segitiga e(t) lebih besar dari em(t) maka keluaran komparator
e0=Vo yang merupakan nilai dari saturasi komparator. Bula e(t) kurang dari em(t)
maka keluarannya e0=-Vo.
Bila em(t)=0, lebar pulsa sama dengan siklus kerja yang berubah secara
linear terhadap em(t) dan besarnya akan mencapai 50%. Besarnya siklus kerja
dirumuskan :
.........................…………………(4.15)
4.2.6 Transistor Sebagai Saklar
Suatu relay dalam rangkaian on-off kontroler biasanya tidak dikendalikan
langsung melalui rangkaian on-off kontroler melainkan melalui suatu rangkaian
transistor seperti pada Gambar. Fungsi dari relay adalah untuk menghubungkan
dua rangkaian yang tidak terhubung langsung.
Gambar 4.17 Diagram Pengatur Suhu
Pada rangkaian tersebut digunakan transistor NPN. Rangkaian on-off
kontroler disambungkan pada basis transistor melaui sebuah resistor dan dioda.
Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya tinggi maka akan
menggerakkan basis transistor. Akibatnya antara kolektor dan emiter seakan-akan
terhubung singkat sehingga tegangan pada kolektor menuju ground. Relay yang
dihubung seri dengan emiter tegangan Vcc +12V dan kolektor akan ikut teraliri
arus sehingga relay on mengakibatkan PWM driver tidak dicatu oleh sumber AC.
Bila rangkaian on-off kontroler level tegangannya menuju ground maka
basis dioda tidak ditrigger. Akibatnya antara kolektor dengan emiter seakan-akan
terhubung buka, sehingga tegangan pada kolektor tidak dapat menuju ground.
Dengan kata lain tak ada arus yang lewat koil relay sehingga relay off dan PWM
driver tercatu daya dari sumber AC.
Bisa juga disebut Driver Transistor yaitu penggunaan transistor sebagai
saklar, yang ketika basis transistor ini dibias, maka akan mengalir arus dari
kolektor ke emitor, dan arus ini digunakan untuk memicu relai yang
mengubungkan tegangan jala-jala dengan PWM yang mensuplay mesin pemanas.
Rangkaian driver transistor ini adalah sebagai berikut :
Gambar 4.18 Rangkaian driver transistor
Ketika ada arus yang masuk dari kontroller ke basis transistor, maka
transistor akan On, sehingga akan memicu relay, yang tadinya berada pada
normally close setelah terpicu menjadi open. Ketika tidak ada arus memicu
transistor ini (arus basis = 0),maka transistor akan Off sehingga posisi rellay akan
kembali pada posisi NC.
Berikut plant pengatur suhu :
Gambar 4.19 Plant sensor suhu
Percobaan ini memakai blok pengatur suhu yang bagian-bagiannya meliputi:
1. Oven atau pemanas
Terdiri dari lempengan alumunium yang sudah dilengkapi dengan elemen
pemanas dan sensor. Elemen pemanas ( 25W/12 ohm) ini dapat disuplai oleh
rangkaian driver power supply dengan mode AC maupun DC.
2. Sensor
Sensor adalah suatu alat yang berfungsi merubah suatu besaran fisis (suhu,
tekanan, dan lain-lain) menjadi besaran listrik (tegangan, arus, dan hambatan).
Sensor pada plant yang digunakan, terdiri dari JTC thermocouple, NTC (Negative
Temperature Coefficient), dan Platinum Pt 100. JTC adalah sensor yang
mengubah suatu besaran suhu menjadi tegangan. JTC dibuat dari dua sambungan
bahan metallic yang yang berlainan jenis. Sambungan tersebut dikomposisikan
dengan campuran kimia tertentu sehingga menghasilkan beda potensial antar
sambungan yang berubah terhadap suhu. NTC adalah sensor yang dibuat dari
campuran bahan semikonduktor yang dapat menghasilkan hambatan intrinsik
yang berubah terhadap temperatur. Sensor suhu jenis NTC merubah besaran suhu
menjadi hambatan. Platinum Pt 100 adalah sensor ini dibuat dari bahan platinum
dengan resistansi nominal 100Ω pada suhu 00 C. Sensor jenis ini merubah besaran
suhu menjadi hambatan.
3. Pengkondisian Sinyal
Blok ini berfungsi menguatkan sinyal dari sensor yang masih lemah. Disamping
itu, pengkondisi sinyal juga berfungsi merubah besaran keluaran sensor menjadi
tegangan dengan ratio 10 mV/0C.
4. Generator Frekuensi
Generator frekuensi berfungsi memberikan referensi suhu yang diinginkan dengan
memutar potensiometer. Generator frekuensi menghasilkan tegangan yang
berubah yang berubah terhadap perubahan hambatan potensiometer. Untuk
merubah menjadi suhu, digunakan ratio 10 mV/0C.
5. Summing Node
Blok ini berfungsi membandingkan suhu yang diinginkan dengan suhu pemanas
atau dalam hal ini tegangan ini tegangan referensi dengan tegngan output
pengkondisi sinyal yang merupakan hasil pengukuran sensor.
6. Loop Amplifier.
Blok ini berfungsi memberikan penguatan dalam proses kontrol. Penguatan ini
dapat dirubah dengan memutar potensiometer. Penguatan ini hanya berfungsi
untuk mode proporsional kontrol.
7. Burst Controller
Blok ini berfungsi mengatur disipasi daya yang akan disalurkan ke pemanas. Pada
plant ini digunakan PWM (Pulse Width Modullation).
8. DC dan AC Power driver
Blok ini berfungsi mengalirkan arus DC/AC dari sumber tegangan ke elemen
pemanas.
4.3 Pengujian alat
4.3.1 Alat dan bahan
1. Modul praktikum B3510-A
2. Power supply.
3. Jumper
4. Multimeter digital
5. Stopwatch
4.3.2 Cara kerja
Gambar 4.20 Rangkaian Percobaan Kontrol Suhu
Sebelum memulai praktikum, pastikan dulu power supply sudah pada range
yang dibutuhkan, kalibrasi terlebih dahulu alat ukur yang akan digunakan, serta
pastikan kondisi jumper terhubung dengan baik. Setelah selesai menyusun
rangkaian, sebelum menghubungkan dengan catu daya, cek kembali dan minta
asisten untuk memastikan bahwa rangkaian telah benar.
4.3.2.1 Karakteristik Sensor
1. Menyusun rangkaian sesuai petunjuk.
2. Mengatur potensiometer P5 pada posisi minimal, ukur tegangan
referensinya. Catat tegangan keluaran pada sensor JTC dengan
menghubungkan terminal out1 dengan multimeter.
3. Memutar P5 dengan kenaikan konstan (ukur V reff dengan multimeter),
lalu catat tegangan sensor. Lakukan langkah ini sebanyak 5 kali.
4.Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 3 untuk kondisi P5 turun
secara konstan.
5.Melakukan langkah 2 sampai dengan langkah 4 untuk NTC dan Pt 100.
4.3.2.2 On-Off Kontroler
1. Menyusun rangkaian seperti gambar 4.17.
2. Memposisikan SW1 pada mode on-off.
3. Memutar P5 hingga LED menyala dan mencatat tegangan
referensinya.
4. Menunggu hingga LED padam, kemudian mencatat nilai
tegangan transisi ON→OFF.
5. Mencatat tegangan OFF→ON saat LED menyala kembali.
6. Mengulangi langkah 1 s/d 6 untuk tegangan referensi yang
berbeda.
4.3.2.3 Proporsional Kontroler
1. Menyusun rangkaian seperti gambar 4.17.
2. Memastikan SW1 pada posisi proporsional dan
gain P6 pada posisi minimal.
3. Mengukur dan mencatat tegangan referensi yang
ditentukan (sampai lampu indikator menyala).
4. Matikan Powersupply
5. Siapkan Stopwatch untuk menghitung waktu.
6. Nyalakan Powersupply bersamaan dengan
menyalakan waktu Stopwatch
7. Tunggu hingga lampu indikator mati, bersamaan
dengan memberhentikan waktu hitungan pada Stopwatch
8. Mengukur dan mencatat tegangan keluaran
pengkondisi sinyal dengan menghubungkan terminal out pada
pengkondisi sinyal dengan multimeter.
9. Melakukan langkah 3 sampai dengan langkah 8
untuk gain pada posisi medium dan maksimal.
4.3.2 Data Percobaan
a. Karakteristik Sensor
Tabel 4.1 Karakteristik Sensor pada saat Kenaikan Konstan
V ref
(V)
V Sensor (V)
J-TC NTC Pt 100
1.64 3.85 3.39 3.28
2.25 3.81 3.35 3.25
3.16 3.8 3.36 3.28
Tabel 4.2 Karakteristik Sensor pada saat Penurunan Konstan
V ref
(V)
V Sensor (V)
J-TC NTC Pt 100
2.5 3.87 3.47 3.4
2.18 3.92 2.5 3.41
1.97 3.93 3.49 3.39
b. On-Off Kontroler
Tabel 4.3 On-Off Kontroler
Vref (V)
4.25
4.25 4.25
4.25 4.25
4.25 4.25
4.5 4.8 4.2
Transisi ON OFF Transisi OFF ON
4.8 4.2
4.8 4.2
c. Plant Proporsional Kontroler
Tabel 4.4 Plant Proporsional Kontroler
V ref (V) Gain (P6) Voutput (V) Waktu (s) V overshoot
5,3
Maksimal 4,2 1 1,1
Medium 4,9 65 0,4
Minimal 5,3 8 6
4.4 Analisa dan pembahasan
4.4.1 Karakteristik sensor
4.4.1.1 Sensor J-TC
Dari data percobaan tentang sensor J-TC didapatkan selisih antara
tegangan referensi dengan tegangan sensor.Tabel 4.5 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk
tegangan maju
V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)
1.64 3.85 2,21
2.25 3.81 1,56
3.16 3.8 0,64
Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :
Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan referansi sensor JTC untuk tegangan maju :
Gambar 4.21 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan
mundur
Gambar 4.22 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk
tegangan maju
Tabel 4.6 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor pada J-TC untuk
tegangan mundur
V referensi (V) V sensor (V) Selisih (V)
2,5 3,87 1,372,18 3,92 1,741,97 3,93 1,96
Rata-rata selisih dari sensor J-TC sebesar :
Adapun grafik perbandingan antara tegangan keluaran dan tegangan
referansi sensor JTC untuk tegangan mundur :
Gambar 4.23 Grafik perbandingan tegangan sensor J-TC dan tegangan reference untuk tegangan
Mundur
Gambar 4.24 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor J-TC dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur
4.4.1.2 Sensor NTCTabel 4.7 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor NTC untuk
tegangan maju
V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)
1,64 3,39 1,75
2,25 3,35 1,1
3,16 3,36 0,2
Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :
Gambar 4.25 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk
tegangan maju
Gambar 4.26 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference
untuk tegangan maju
Tabel 4.8 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor NTC untuk
tegangan mundur
V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)
2,5 3,47 0,97
2,18 2,5 0,32
1,97 3,49 1,52
Rata-rata selisih dari sensor NTC sebesar :
Gambar 4.27 Grafik perbandingan tegangan sensor NTC dan tegangan reference untuk tegangan
mundur
Gambar 4.28 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor NTC dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur
4.4.1.3 Sensor Pt 100Tabel 4.9 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor Pt untuk
tegangan maju
V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)
1,64 3,28 1,642,25 3,25 13,16 3,28 0,12
Rata-rata selisih dari sensor Pt 100 sebesar :
Gambar 4.29 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk
tegangan maju
Gambar 4.30 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan
reference untuk tegangan maju
Tabel 4.10 Selisih antara tegangan referensi dengan tegangan sensor Pt untuk
tegangan mundur
V referensi (V) V Sensor (V) Selisih (V)
2,5 3,4 0,92,18 3,41 1,231,97 3,39 1,42
Rata-rata selisih dari sensor Pt 100 sebesar :
Gambar 4.31 Grafik perbandingan tegangan sensor Pt-100 dan tegangan reference untuk tegangan
mundur
Gambar 4.32 Grafik hubungan selisih tegangan Sensor Pt-100 dengan tegangan reference untuk
tegangan mundur
Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa selisih nilai V referensi dan
V sensor paling besar dimiliki oleh sensor J-TC, hal ini karena sensor J-TC
memiliki V keluaran yang paling besar dibanding sensor NTC dan PT-100.
Dari analisis di atas diketahui pula bahwa nilai selisih V referensi dan V
sensor untuk V referensi pada tegangan mundur lebih besar dari nilai selisih V
referensi dan V sensor pada tegangan naik. Namun, nilai selisih V referensi dan V
sensor pada NTC untuk tegangan mundur lebih kecil daripada tegangan maju.
Penyimpangan yang terjadi antara tegangan output sensor dengan
tegangan referensi merupakan suatu toleransi yang pada umumnya dimiliki oleh
setiap komponen elektronik. Toleransi ini akan berbeda-beda pada setiap sensor
sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Berikut adalah grafik karakteristik
sensor-sensor yang digunakan dalam percobaan :
Gambar 4.33 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC dan Pt-100 dengan V Referensi
maju
Gambar 4.34 Perbandingan grafik tegangan sensor J-TC, NTC dan Pt-100 dengan V Referensi
Mundur
Dari analisis diatas dapat diketahui bahwa sensor NTC memiliki kinerja dan
ketepatan yang lebih baik diantara sensor yang lain saat tegangan referensi maju.
Selain itu, sensor NTC juga memiliki kinerja dan ketepatan yang lebih baik
diantara sensor yang lain saat tegangan referensi mundur.
4.4.2. On-Off Kontroler
Percobaan ini dilakukan dengan mengamati dan mengukur tegangan pada
saat kontroler mengalami masa peralihan tanggapan atau transisi dari on→off dan
dari off→on. Atau dengan kata lain percobaan ini digunakan untuk mengamati
penyimpangan tegangan output dari tegangan referensi.
Secara teori, on-off kontroler mengubah tanggapan suatu sistem tepat pada
saat tegangan output sama dengan tegangan referensi. Misalnya saja dalam
percobaan ini, pertama kontroler dalam posisi on untuk menyalakan pemanas.
Kemudian jika suhu/tegangan pemanas telah sama dengan tegangan referensi,
maka kontroler akan mengubah tanggapan menjadi off sehingga pemanas akan
mati. Saat tegangan mulai turun dan kemudian tepat sama dengan tegangan
referensi, maka kontroler akan mengubah lagi menjadi posisi on dan seterusnya.
Proses tersebut dapat digambarkan dengan tabel dan grafik berikut.
Tabel 4.11 Percobaan On-Off kontroller
Vref (V)
4,25
4,25 4,25
4,25 4,25
4,25 4,25
4,5
4,8 4,2
4,8 4,2
4,8 4,2
Rata – rata nilai tegangan transisi On – Off untuk V Ref 4,25 V :
V
Rata – rata nilai tegangan transisi On-Off untuk V Ref 4,5V :
V
Transisi OFF ONTransisi ON OFF
Vref
Gambar 4.35 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,24 V Pertama
Vref
Gambar 4.36 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,25 V Kedua
Vref
Gambar 4.37 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,25 V Ketiga
4,25
4,25
4,25
Gambar 4.38 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Pertama
Gambar 4.39 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Kedua
Gambar 4.40 Grafik On-Off Kontroler referensi 4,5 V Ketiga
Dari tabel 4.12 dapat dilihat bahwa untuk tegangan referensi 4,24 V
pertama, mula-mula kontroller dalam posisi on untuk menyalakan pemanas
hingga tegangan referensi yang ditentukan. Kemudian pada saat tegangan
4,8
4,2
4,8
4,2
V Ref (V)
4,8
4,2
V Ref (V)
mencapai nilai rata-rata 4,62 V, controller akan mati (Off) karena telah melampaui
batas tegangan referensi sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan
pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 3,74 V
maka kontroller akan kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh
grafik seperti gambar 4.35. Dari gambar 4.35 juga didapatkan celah antara
tegangan referensi adalah 0,88 V.
Dan pada tegangan referensi 4,24 V kedua, mula-mula kontroller dalam
posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.
Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,8 V, controller akan mati
(Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya akan
turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan referensi
nilai rata-rata tegangan 3,97 V maka kontroller akan kembali menyala (On),
begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.35. Dari gambar
4.35 juga didapatkan celah antara tegangan referensi adalah 0,83 V.
Dan pada tegangan referensi 4,24 V ketiga, mula-mula kontroller dalam
posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.
Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 4,58 V, controller akan
mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya
akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan
referensi nilai rata-rata tegangan 3,95 V maka kontroller akan kembali menyala
(On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.36. Dari
gambar 4.36 juga didapatkan celah antara tegangan referensi adalah 0,63 V.
Sedangkan untuk tegangan referensi 5,03 V pertama, mula-mula kontroller
dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang
ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,4 V,
controller akan mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi
sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di
bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 4,74 V maka kontroller akan
kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti
gambar 4.37. Dari gambar 4.37 juga didapatkan celah antara tegangan referensi
adalah 0,66 V.
Kemudian ketika tegangan referensi 5,03 V kedua, mula-mula kontroller
dalam posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang
ditentukan. Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,25 V,
controller akan mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi
sehingga suhunya akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di
bawah tegangan referensi nilai rata-rata tegangan 4,6 V maka kontroller akan
kembali menyala (On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti
gambar 4.38.
Dan ketika tegangan referensi 5,03 V ketiga, mula-mula kontroller dalam
posisi on untuk menyalakan pemanas hingga tegangan referensi yang ditentukan.
Kemudian pada saat tegangan mencapai nilai rata-rata 5,23 V, controller akan
mati (Off) karena telah melampaui batas tegangan referensi sehingga suhunya
akan turun. Pada saat suhu/tegangan pemanas telah jauh di bawah tegangan
referensi nilai rata-rata tegangan 4,41 V maka kontroller akan kembali menyala
(On), begitu seterusnya sehingga diperoleh grafik seperti gambar 4.39.
Dari analisis di atas, dapat diketahui bahwa perbedaan celah tegangan
referensi untuk keduanya tidak berbeda jauh sehingga sensor dapat dikatakan
dalam keadaan baik.
Pada on-off kontroller, grafik keluaran yang ditunjukkan pada range antara
tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin mendekati
tegangan referensinya. Namun grafik keluaran tidak dapat stabil pada tegangan
referensinya.
Dan apabila dibandingkan dengan, proporsional kontroler, on-off kontroler
relatif lebih lambat mencapai tegangan referensi sehingga waktu transient menjadi
lebih lama.
5 min 18 dtk
Vref
t0.250
0.4080.400
V
4.4.3. Proporsional Kontroler
Pada dasarmya, kontroler proporsional merupakan penguat dengan
penguatan yang dapat diatur. Jadi percobaan ini dilakukan dengan memberikan
variasi penguatan pada sistem untuk melihat pengaruhnya pada sistem kontrol
suhu. Berikut adalah tabel dan grafik hasil percobaan.
Tabel 4. 12 Data Percobaan Proporsional Kontroler
V ref (V) Gain (P6) Voutput (V) Waktu (s) V overshoot
5,3
Minimum 6,2 1 1,1
Medium 5,9 65 0,4
Maksimum 5,6 8 6
Gambar 4.41 Grafik Proporsional Kontroler Gain Maksimum pada V Ref 5,3 V
Gambar 4. 42 Grafik Proporsional Kontroler Gain Medium pada V Ref 5,3 V
5,3
8 detik
65 dtk
Vref
t
5,3
V
5,6
5,9
Gambar 4. 43 Grafik Proporsional Kontroler Gain Minimum pada V Ref 5,3 V
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa hasil keluaran dari
proporsional kontroler sebanding dengan gain yang diberikan. Semakin besar
gain, semakin cepat pula kerja dari kontroler. Waktu yang dibutuhkan untuk
membuat LED menyala lebih cepat. Pada penguatan maksimum, diperoleh waktu
yang paling singkat dibandingkan dengan penguatan medium, apalagi penguatan
minimum.
Dan apabila dibandingkan dengan on-off kontroler, proporsional kontroler
relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi sehingga waktu transient menjadi
lebih cepat. Dari percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaan
proporsional kontroler, semakin besar tegangan referensi yang diinginkan
semakin besar pula penguatan yang digunakan.
1 dtk
Vref
t
5,3
V
6,2
4.5 Penutup
4.5.1 Kesimpulan
1. Dari ketiga sensor suhu yang dicobakan, sensor J-TC memberikan
pembacaan suhu yang lebih sensitif dibanding dua sensor lainnya (NTC dan
Pt100) yang dicobakan.
2. Pada on-off kontroller, tegangan keluaran yang ditunjukkan pada range
antara tegangan minimum dan tegangan maksimum semakin lama semakin
mendekati tegangan referensinya. Namun tegangan keluaran tidak dapat
stabil pada tegangan referensinya. Artinya, pada kontrol on-off hanya bisa
menstabilkan suhu disekitar suhu yang diharapkan, tidak bisa tepat pada
suhu yang dimaksud.
3. Proporsional kontroler relatif lebih cepat mencapai tegangan referensi
sehingga waktu transient menjadi lebih cepat.
4. Pengaruh gain dalam pengontrolan suhu dengan kontrol proporsional
adalah mempercepat pencapaian referensi, artinya respon sistem menjadi
sangat reaktif, sehingga suhu yang diharapkan dapat dicapai dengan cepat.
5. Perbandingan antara kontrol suhu dengan on-off kontroler dan
proporsional kontroler terletak pada pencapaian kestabilan. Pada on-off
kontroler keluaran tidak bisa tepat sama dengan referensi, namun sistem
yang digunakan jauh lebih sederhana. Kontroler proporsional mampu
menghasilkan output sama seperti referensi yang diharapkan, bahkan lebih
cepat dengan adanya penguatan. Dalam kontroler proporsional sinyal
keluaran sebanding dengan sinyal masukan, dengan konstanta
kesebandingan Kp. Nilai keluaran selalu dibandingkan dengan masukan
sehingga error menjadi nol dan referensi sama dengan keluaran.
4.5.2 Saran
1. Untuk memperoleh karakteristik on-off yang lebih baik dapat digunakan
rangkaian integrator pada rangkain histerisis, akan tetapi harus difikirkan
kembali cara untuk penalaan range pengaturan.
2. Sebaiknya kontroler on-off hanya digunakan pada plant-plant yang bersifat
lamban dan tidak membutuhkan presisi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku Petunjuk Praktikum Dasar Sistem Kontrol, Teknik Elektro
Universitas Diponegoro, Semarang. 1999.
2. Ogata,Katsuhiko. Teknik Kontrol Automatik .Jilid 1. Jakarta :
Erlangga.1994
3. Milman,Jacob.Integrated Electronic.Jakarta : Erlangga.1993