Upload
sadamhsn
View
97
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN DISKUSI KELOMPOK
PEMICU 3
MODUL KULIT DAN JARINGAN PENUNJANG
Oleh:
Kelompok 8
Irene Eka Renata S I11110020
Briegita Adhelsa M. Dommy I1011131057
Rina Paramita Utami I1011141007
Cahayo Mahandro I1011141017
Verra Apriawanti I1011141032
Muhammad Fathur Arief K I1011141039
Deska Gratama Novtareno I1011141041
Mirantika Audina I1011141045
Adityawarman I1011141061
Irna Aprillia I1011141063
Diah Poppy Utami I1011141070
Agitya Goesvie Adjie I1011141075
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2015
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Pemicu
Seorang coass FK Untan yang sedang berada di poli umum puskesmas
sui.durian mengamati pasien laki-laki dan perempuan dari usia remaja hingga
dewasa. Pasien pertama seorang pria usia 17 tahun yang mengeluh benjolan kecil
di pipi berwarna merah yang bila depegang terasa sakit. Kemudian datang pasien
kedua seorang wanita 20 tahun yang mengeluh benjolan yang berisi cairan jernih
di wajah dan seluruh tubuh. Dan terakhir pasien ke tiga, anak usia 7 tahun yang
mengeluh gatal disela jari tangan dan sekitar kemaluan, terutama malam hari.
Kemudian dia berfikir mengenai penyakit-penyakit tersebut.
1.2. Klarifikasi dan Definisi
1. Gatal : sensai yang menyebabkan rangsangan untuk menggaruk
2. Benjolan : sesuatu yang bengkak
1.3. Kata Kunci
1. Pria 17 tahun
2. Benjolan merah kecil di pipi
3. Benjolan terasa sakit
4. Wanita 20 tahun
5. Benjolan berisi cairan jernih
6. Benjolan di wajah dan
seluruh tubuh
7. Anak 7 tahun
8. Gatal
9. Di sela jari
10. Sekitar kemaluan
11. Gatal malam hari
1.4. Rumusan Masalah
Terdapat 3 pasien yang mempunyai masalah pada kulit : pasien pertama (pria,
17 tahun) mengeluh benjolan berwarna merah di pipi; pasien kedua (wanita, 20
tahun) mengeluh benjolan berisi cairan jernih di wajah dan seluruh tubuh; dan
3
pasien ketiga (anak, 7 tahun) mengeluh gatal di sela jari tangan dan sekitar
kemaluan.
4
1.5. Analisis Masalah
1.6. Hipotesis
Puskesmas Sungai Durian
Pasien
Anak, 7 tahun Pria, 17 tahun Wanita, 20 tahun
a. Benjolan
b. Berisi cairan
jernih
c. Di wajah dan
seluruh tubuh
a. Gatal
b. Di sela jari tangan
dan kemaluan
c. Terutama malam
hari
a. Benjolan kecil
b. Di pipi
c. Berwarnah merah
d. Terasa sakit bila
dipegang
Penyakit Kulit a. Anamnesis
b. Pemeriksaan
fisik
c. Pemeriksaan
laboratorium
d. Diagnosis
banding
e. Tata laksana
Parasit
Virus
Bakteri R
e I
s m
p u
o n
n
Varisela Akne Vulgaris Scabies
Etiologi Epidemiologi Pato-
fisiologi Manifestasi
Klinik
Diagnosis Tata
Laksana
5
Ketiga pasien tersebut menderita gangguan kulit yang disebabkan oleh
mikroorganisme dan parasit dengan gejala yng berbeda.
1.7. Pertanyaan Diskusi
1. Pruritus
a. Definisi
b. Etiologi
c. Klasifikasi
d. Mekanisme
e. Patofisiologi
f. Patogenesis
g. Tata Laksana
h. Mediator
2. Respon imun
3. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit kulit?
4. Jelaskan mengenai hipersensitivitas?
5. Akne vulgaris
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patofisiologi
e. Patogenesis
f. Manifestasi Klinik
g. Diagnosis
h. Tata Laksana
i. Komplikasi
6. Varisela
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Patogenesis
e. Manifestasi Klinik
f. Diagnosis
g. Tata laksna
h. Komplikasi
7. Scabies
a. Definisi
b. Epidemiologi
c. Etiologi
d. Siklus Hidup
e. Patogenesis
f. Manifestasi klinis
g. Diagnosis
h. Tata laksana
i. Komplikasi
8. Pengaruh lingkungan terhadap kulit
9. Ujud Kelainan Kulit (UKK)
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pruritus
2.1.1. Definisi
Pruritus atau gatal adalah sensasi yang menimbulkan keinginan kuat untuk
melakukan penggarukan.17
Definisi ini bahkan telah diungkapkan oleh
Samuel Hafenreffer sekitar 340 tahun yang lalu. Secara umum, pruritus
adalah gejaladari pelbagai penyakit kulit, baik lesi priemr maupun lesi
sekunder, meskipun ada pruritus yang ditimbulkan akibat faktor sistemik
non-lesi kulit. Pruritus yang tidak disertai kelainan kulit Disebut pruritus
esensial (pruritus sinemateria).2
2.1.2. Etiologi
Pruritus dapat disebabkan oleh faktor eksogen dan endogen, yaitu:17
1) Faktor eksogen antara lain:
a. Penyakit dermatologik
b. Dermatitis kontak (dengan pakaian, logam, serta benda asing)
c. Rangsangan dari ektoparasit (misal: serangga, tungau skabies,pedikulus,
larva migrans)
d. Faktor lingkungan (menyebabkan kulit kering atau lembab)
2) Faktor endogen antara lain adanya reaksi obat atau adanya penyakit.
Penyakit sistemik dapat menimbulkan gejala pruritus di kulit. Pruritus
inidisebut dengan pruritus primer, dan dapat bersifat lokalista atau generalista.
Bahkan pruritus psikogenik cenderung dapat muncul pada seseorang
yangsering merasa malu, memiliki perasaan bersealah, masokisme, serta
ekshibisonisme.
Selain itu, pruritus dapat pula timbul akibat faktor sistemik, antara
lain disebabkan oleh:2
1) Kehamilan
Pruritus gravidarum, melibatkan induks oleh estrogen dan kadangberhubungan
dengan kolestasis. Terjadi terutama di trimesterterakhir kehamilan.
7
2) Penuaan
Pruritus yang timbul akibat kulit yang sudah tua dan bisa terjadiakibat
stimulasi yang sangat ringan.
3) Penyakit hepar
Gejala berhubungan dengan kolestasis. Adanya kolestasis
inimengakibatkan peningkatan sintesis opioid.
4) Penyakit endokrin.
Terjadi pada pasien diabetes, terjadi akibat hiperglikemi.
5) Penyakit ginjal, neoplastik, dan penyakit lain
2.1.3. Klasifikasi
a. Pruritus Primer adalah pruritus tanpa adanya penyakit dermatologi atau
alat dalam dan dapat bersifat lokalisata atau generalisata, bisa bersifat
psikogenik yang disebabkan oleh kompenen psikogenik yang memberikan
stimulasi pada itch centre.
b. Pruritus Sekunder adalah pruritus yang timbul sebagai akibat penyakit
sistemik, pada pruritus sistemik toksin-toksin metabolik mungkin
tertimbun di cairan interstisium di bawah kulit3
Sedangkan berdasarkan patofisiologinya pruritus dibagi menjadi 4
kategori, yaitu:3
a. Pruritoceptive,terjadi di kulit dan biasanya disebabkan karena reaksi
inflamasi atau proses patologi yang nampak, seperti urtikaria dan
skabiesis.
b. Neurogenic gatal dihasilkan di sistem saraf pusat dalam respon terhadap
pruritogen,misalnya kolestasis
c. Neuropathic karena lesi anatomi dari sistem saraf pusat maupun tepi,
misalnya,nerve entrapment dan tumor
d. Psychogenic, misalnya delusional parasitosis.
2.1.4. Mekanisme
Zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat memicu
terjadinya pruritus. Sensasi inidipengaruhi oleh stimulasi terhadap ujung
saraf bebas yang terletak didekat junctiondermoepidermal sinaps, terjadi di
akar dorsalkorda spinalis (substansi grisea), bersinaps denganneuron kedua
8
yang menyeberang ke tengah, kemudian menuju traktus spinotalamikus
danberakhir di thalamus. Dari thalamus kemudian terdapat neuron ketiga
yang meneruskanrangsang sampai ke pusat persepsi yang terletak di
korteks serebri.Serabut saraf tipe C tak tereliminasi merupakan serabut
saraf yang khusus menghantarkanrangsang pruritus, baik di sistem saraf
perifer maupun sistem saraf pusat. 80% serabut saraf tipeC adalah
nosiseptor polimodal yang merespons stimulasi mekanik, panas dan
kimiawisedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-insensitif
yang dirangsang olehstimulus kimiawi. Dari 20% saraf tersebut, 15%
merupakan histamin negatif (tidak merangsanggatal), dan hanya 5% yang
merupakan histamin positif yang merangsang gatal. 40
Sel-sel keratinosit juga mengekspresikan mediator neuropeptida dan
reseptor juga terlibat dalamproses terjadinya pruritus, termasuk
diantaranya NGF (nerve growth factor ), reseptor vanilloidTRPV1, PAR 2
( proteinase activated receptor type 2 ) serta kanal ATP berbasis voltase.
Dengandemikian epidermis serta percabangan serabut saraf intraepidermal
terlebih tipe C berpengaruhdalam mekanisme gatal, tidak hanya
persarafan.Melalui serabut asenden stimulus akan dipersepsi oleh korteks
serebri. Sensasi gatal hanyaakan dirasakan apabila serabut-serabut saraf
nosiseptor polimodal tidak terangsang.Rangsangan nosiseptor polimodal
terhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagainyeri dan akan
menginhibisis 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun,
setelahrangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih ada maka
sensasi gatal akan muncul kembali.40
Beberapa mekanisme yang menyebabkan pruritus, antara lain :41
a. Xerosis
Xerosis sering terjadi pada uremia dan disebut sebagai kulit
uremik yaitu kulit kering. Xerosis pada pasien CKD disebabkan
penurunan kandungan air epidermis, menurunnya volume kelenjar
keringat, dan atrofi kelenjar sebasea
b. Atrofi Kelenjar Keringat dan sebasea
9
Menyebabkan hidrasi kulit menurun dan terjadi kerusakan
ekskresi normal elektrolit, laktat, urea, dan senyawa pruritogenik
(vit.A, hormon paratiroid, dan histamin)Atrofi Kelenjar Keringat
dan sebasea
c. Hiperparatiroid
Hiperparatiroid dapat menstimulasi sel mast untuk melepaskan
histamin dan dapat menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium
dan magnesium di kulit yang akan menimbulkan gatal
d. Divalent-ion Abnormalities
Peningkatan konsentrasi divalent kulit ditandai oleh endapan
mikro Klasium dan Magnesium fosfat yang akan menimbulkan gatal.
2.1.5. Patofisiologi
Diketahui bahwa zat-zat kimia dan rangsangan fisik (mekanik) dapat
memicuterjadi pruritus. Stimulasi terhadap ujung saraf bebas yang terletak di
dekat junction dermoepidermal bertanggung jawab untuk sensasi ini.
Sinapsterjadi di akar dorsal korda spinalis (substansia grisea), bersinaps
dengan neuron kedua yang menyeberang ke tengah, lalu menuju
traktusspinotalamikus kontralateral hingga berakhir di thalamus. Dari
thalamus, terdapat neuron ketiga yang meneruskan rangsang hingga ke
pusat persepsidi korteks serebri.
Sempat diduga bahwa pruritus memiliki fungsi untuk menarik
perhatianterhadap stimulus yang tidak terlalu berbahaya ( mild surface
stimuli ), sehingga diharapkan ada antisipasi untuk mencegah sesuatu
terjadi. Namundemikian, seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran
dan penemuanteknik mikroneurografi (di mana potensial aksi serabut saraf
C dapat diukurmenggunakan elektroda kaca yang sangat halus) berhasil
menemukanserabut saraf yang terspesiaslisasi untuk menghantarkan
impuls gatal, dandengan demikian telah mengubah paradigma bahwa
pruritus merupakanstimulus nyeri dalam skala ringan.37
Saraf yang menghantarkan sensasi gatal (dan geli, tickling
sensation)merupakan saraf yang sama seperti yang digunakan untuk
menghantarkanrangsang nyeri. Saat ini telah ditemukan serabut saraf yang
10
khususmenghantarkan rangsang pruritus, baik di sistem saraf perifer,
maupun disistem saraf pusat.2
Ini merupakan serabut saraf tipe C – tak
termielinasi. Hal ini dibuktikan dengan fenomena menghilangnya sensasi
gatal dan geli ketikadilakukan blokade terhadap penghantaran saraf nyeri
dalam proseduranestesi. Namun demikian, telah ditemukan pula saraf yang
hanyamenghantarkan sensasi pruritus. Setidaknya, sekitar 80% serabut saraf
tipeC adalah nosiseptor polimodal (merespons stimulus mekanik, panas, dan
kimiawi), sedangkan 20% sisanya merupakan nosiseptor mekano-
insensitif, yang tidak dirangsang oleh stimulus mekanik namun oleh
stimulus kimiawi.Dari 20% serabut saraf ini, 15% tidak merangsang gatal
(disebut dengan histamine negatif ), sedangkan hanya 5% yang histamine
positif danmerangsang gatal. Dengan demikian, histamine adalah pruritogen
yangpaling banyak dipelajari saat ini. Selain dirangsang oleh pruritogen
sepertihistamin, serabut saraf yang terakhir ini juga dirangsang oleh
temperatur.
Lebih dari itu, perkembangan ilmu kedokteran telah menunjukkan
bahwa sel-sel keratinosit mengekspresikan mediator neuropeptida dan receptor
yangdiduga terlibat dalam patofisiologi pruritus, termasuk diantaranya
NGF(nerve growth factor) dan reseptor vanilloid TRPV1; serta PAR
2 ( proteinase activated receptor type 2), juga kanal ATP berbasis
voltase.Dengan demikian, epidermis dan segala percabangan serabut
saraf intraepidermal terlebih tipe C-lah yang dianggap sebagai reseptor
gatal,bukan hanya persarafan saja.
TRPV1 diaktivasi dan didesentisasi oleh senyawa yang terkandung
dalamcabe, capsaicin . Reseptor kanabioid (CB1) terletak bersama-sama
denganTRPV1 dan menyebabkan endokanabioid juga dapat merangsang TRPV1 dan
memungkinkan kanabioid berperan dalam modulasi pruritus.38
Melaui jaras asenden, stimulus gatal akan dipersepsi oleh korteks serebri.
Saat ini, melalui PET (ositron-emission tomography) dan fMRI
(functionalMRI), aktivitas kortikal dapat dinilai dan terkuak bahwa girus
singuli anterior(anterior singulate) dan korteks insula terlibat dan berperan
dalam “kesadaran” sensasi gatal , menyebabkan efek emosional
11
berpengaruh kepada timbulnya gatal, serta korteks premotor yang diduga terlibat
dalaminisasi tindakan menggaruk.
Sensasi gatal hanya akan dirasakan apabila serabut-serabut
persarafannosiseptor polimodal tidak terangsang. Rangsangan nosiseptor
polimodalterhadap rangsang mekanik akan diinterpretasikan sebagai nyeri,
dan akanmenginhibisi 5% serabut saraf yang mempersepsi gatal. Namun
demikian,setelah rangsang mekanik ini dihilangkan dan pruritogen masih
ada, makasensasi gatal akan muncul lagi.
Perlu diingat bahwa tidaklah semua rangsang gatal dicetuskan dari
serabutsaraf histamin positif ini, melainkan ada pula rangsang gatal yang
dicetuskanoleh rangsangan nosiseptor polimodal.
2.1.6. Patogenesis26
Mekanisme pruritus secara umum berhubungan dengan inisiasi
reseptor saraf yang bertanggungjawab menimbulkan rasa gatal yang ada di
kulit. Sensasi pruritus ditransmisikan lewat saraf nosiseptif tak bermielin
dimana akhiran saraf bebasnya terletak di dekat jembatan dermoepidermal.
Neuron yang mentransmisikan sensasi pruritus ini lebih sensitif terhadap
neurotransmitter-neuropeptida yang menginduksi sensasi gatal dibanding
sensasi nyeri. Neurotransmitter-neuropeptida yang bertanggungjawab atas
sensasi gatal antara lain histamin, serotonin, bradikinin, neuropeptida-P,
protease, dan endothelin (yang menghasilkan oksida nitrat). Opioid juga
dikenal sebagai salah satu modulator terjadinya pruritus. Sensitisasi
reseptor µ-opioid menginisiasi pruritus, sedangkan blokade reseptor µ-
opioid dan stimulasi reseptor-kappa menekan kejadian pruritus. Impuls
kemudian ditransmisikan secara aferen lewat ganglion sensorium nervi
spinalis menuju cornu dorsalis medulla spinalis lalu dilanjutkan ke traktus
spinotalamikus. Proyeksi aferen ini lalu diteruskan ke thalamus untuk
kemudian diterjemahkan di korteks gyrus postcentralis sebagai rasa gatal
(pruritus). Pruritus yang terjadi karena adanya underlying disease atau
penyakit penyerta sistemik bisa mempunyai mekanisme patofisiologi yang
berbeda satu sama lain.
a. Pruritus Renal
12
Pruritus renal terjadi pada pasien dengan gagal ginjal kronis (CRF)
yang mendapat hemodialisis (HD) dan tidak dijumpai pada pasien
dengan gagal ginjal akut (ARF). Pruritus renal bersinonim dengan
pruritus uremia, namun sebenarnya kejadian pruritus ini tidak
ditimbulkan karena adanya uremia. Pruritus ditimbulkan karena
histamin bersirkulasi secara sistemik pada pasien yang menerima HD,
ditemukan kenaikan jumlah mastosit di berbagai organ, dan
peningkatan level serotonin.
b. Pruritus Kolestasis
Kolestasis adalah berhentinya atau tersumbatnya aliran empedu
(bilier). Sumbatan ini bisa terjadi karena gangguan di hepar (misalnya
sirosis hepatis) atau memang karena sumbatan terletak di saluran
empedu. Kenaikan level histamin di vasa darah dan konsentrasi garam
empedu dalam hepar, serta penurunan level albumin intravasa
menginisiasi terjadinya pruritus.
c. Pruritus Hematologis
Ion besi dikenal sebagai substansi kimiawi yang berperan dalam
reaksi enzimatik tubuh. Walaupun defisiensi besi tidak menyebabkan
pruritus secara langsung, namun mekanisme metabolik yang
disebabkan karena defisiensi ini menyebabkan timbulnya pruritus.
Gangguan ini dapat dialami pada pasien dengan anemia defisiensi besi.
Kenaikan level basofil yang bersirkulasi dalam darah dan mastosit
di kulit sehingga menyebabkan pruritus juga dapat dijumpai pada
pasien dengan polisitemia vera. Sensasi gatal pada pasien polisitemia
vera dirasakan setelah mandi dengan air panas. Prostaglandin yang
dihasilkan mastosit dan peningkatan degranulasi platelet ini berkorelasi
dengan pelepasan serotonin, yang akhirnya menyebabkan pruritus.
d. Pruritus Endokrin
Hipertiroidisme berhubungan dengan insidensi pruritus. Elevasi
jumlah hormon tiroid mengaktivasi kinin untuk meningkatkan
metabolisme jaringan. Reaksi vasodilatasi saat metabolisme
13
menurunkan ambang batas gatal pada kulit sehingga pruritus mudah
terjadi.
Hipotiroidisme juga berhubungan dengan pruritus karena penurunan
metabolisme tubuh mengakibatkan xerosis, kulit menjadi kering, timbul
fisura (chapped skin) sehingga mudah mengalami pruritus. Pasien
dengan diabetes mellitus juga dilaporkan bisa mengalami gangguan ini.
Abnormalitas metabolik, disfungsi autonomis, anhidrosis, dan neuropati
diabetikum dimungkinkan mampu menginisiasi terjadinya pruritus.
e. Pruritus Gravidarum
Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan kadang
berhubungan dengan kolestasis (pregnancy cholestasis). Pruritus
terutama terdapat pada trimester akhir kehamilan, yang dimulai dari
abdomen atau badan, kemudian generalisata. Ada kalanya pruritus
disertai anoreksia, nausea, dan muntah. Penampakan objektif terlihat
ekskoriasi karena garukan. Pruritus akan hilang setelah penderita
melahirkan tetapi dapat residif pada kehamilan berikutnya.
f. Pruritus yang berhubungan dengan keganasan
Pengeluaran toksin dan mediator sistem imun mempunyai peran
penting pada mekanisme pruritus yang berhubungan dengan keganasan.
Pada pasien dengan limfoma Hodgkin, leukopeptidase dan bradikinin
nampak sebagai mediator pruritogenik utama dari sel limfoid maligna
tersebut.
2.1.7. Tata Laksana
Penatalaksanaan pruritus dapat dilakukan dengan berbagai cara.
Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan penatalaksanaan sesuai dengan
penyebab serta penatalaksanaan simtomatik. Penatalaksanaan terhadap
penyebabnya harus menemukan kelainan yang mendasarinya dan
kemudian melakukan penatalaksanaan sesuai penyebab tersebut sehingga
dapat menghilangkan keluhan gatal. Penatalaksanaan simtomatik dengan
cara mengalihkan rasa gatal, dapat menggunakan terapi pendinginan dan
pemanasan. Penatalaksanaan secara simtomatik dapat dilakukan lebih awal
sebelum penyebab dari gatal itu sendiri diketahui, sehingga dapat
14
memperingan keluhan yang dirasakan. Sebagian besar pengobatan yang
tersedia dikelompokkan menjadi pengobatan secara simtomatik dan
manajemen.4
Secara farmakologi: 4
1. Antipruritus topikal
a. Barrier creams dan kombinasi
Membantu stratum korneum untuk menahan air dan mencegah
terjadinya kehilangan air pada transepidermal.
b. Topikal salisilat
Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan asam salisilat topikal
berfungsi untuk mengurangi gatal pada kulit. Asam salisilat topikal
merupakan agen keratolitik yang dapat meningkatkan hidrasi dan
menurunhkan pH pada stratum corneum. Aspirin topikal mengurangi
perasaan gatal pada pasien dengan liken simplex chronicus dengan
gejala gatal lokal.
c. Topikal immunodulator
Salah satu obat yang digunakan untuk mengurangi gejala gatal
karena obat tersebut secara langsung mempengaruhi serabut saraf tipe
C.
d. Capsaicin
Merupakan senyawa aktif yang memberikan efek terhadap pelepasan
neuropeptida termasuk serabut saraf tipe C. Namun mekanisme
sebenarnya dari obat ini belum sepenuhnya diketahui. Capsaicin
mengaktifkan reseptor vanilloid TRPV1 yang banyak terdapat dalam
lapisan epidermis.
e. Topikal anastesi
Pramoxine, merupakan salah satu anastesi topikal yang dapat
mengurangi gatal terutama pada daerah wajah dengan menghambat
transmisi impuls saraf. Penelitan dengan menggunakan double-blind
menunjukkan bahwa pamoxine menghambat induksi histamin pada
manusia.
15
Polidocanol merupakan surfaktan non ionik yamng memiliki sifat
anastesi dan pelembab. Dalam sebuah penelitian menunjukkan
kombinasi antara urea 5% dan polidocanol dapat mengurangi gatal pada
pasien dengan dermatitis atopik, dermatitis kontak dan psoriasis
f. Topikal antihistamin
Pada penelitian double blind, dengan jumlah placebo yang besar,
krim doxepin 5% memberikan efek dalam mengurangi sensasi gatal
pada dermatitis atopik.
g. Topical cannabinoids
Penelitian menunjukkan bahwa kombinasi cannabinoids dengan
barrier krim memberikan efek antipruritus pada dermatitis atopic dan
pruritus urea.
2. Antipruritus sistemik
a. Antihistamin
Gatal terjadi ketika histamin dilepaskan sehingga menyebabkan
kemerahan, bengkak dan panas yang merupakan konsekuensi gatal.
Antihistamin atau H1 bekerja dengan cara memblok histamin. Doxepin
yang merupakan senyawa trisiklik dibenzoxepin adalah antihistamin
yang sangat aktif sehingga dapat digunakan pada dermatitis atopik dan
juga mempunyai efek psikoterapi yang baik digunakan pada pruritus.
Kerjanya dengan menurunkan reseptor sensorik kulit. Dosis awal 25-50
mg diminum sebelum tidur. Efek samping dari obat ini adalah
mengantuk, sensasi terbakar atau menyengat yang terlokalisir yang
biasanya bersifat sementara.
Beberian et al, dalam penelitian double blind menunjukkan hasil
bahwa pemeberian doxepin yang dikombinasi dengan hidrokortison
topikal atau triamsinolon topikal lebih memberikan efek yang
signifikan dalam mereduksi gatal daripada pemberian kortikosteroid
tunggal pada pasien dermatitis atopik.
b. Opiate antagonist dan agonis-antagonis
Naloxone dan naltrexone digunakan dalam pengobatan pruritus yang
berkaitan dengan kolestasis, uremia dan penyakit kulit.
16
c. Mirtazapine
Mirtazapine yang merupakan antidperesan oral merupakan salah satu
obat yang menunjukkan hasil dalam menurunkan gatal pada beberapa
pasien. Mitrazapine memiliki efek samping yang minimal dan
merupakan alternatif dalam pengobatan pruritus nokturna. Hal ini
terlihat dari efektivitas yang lebih baik ketika digunakan pada pruritus
sistemik dengan nocturnal pruritus dengan dosis 15mg/malam.
d. Thalidomide
Thalidomide memperlihatkan efek yang baik pada penggunaan obat
terhadap pasien dengan peradangan kulit seperti prurigo dan dermatitis.
Thalidomide telah digunakan selama beberapa tahun sebagai agen
imunomodulator.
e. Gabapentin
Gabapentin efektif dalam pengobatan pruritus brachioradial,
sclerosis multipel dengan pruritus dan bebrapa pruritus neuropati
lainnya. Gabapentin mungkin menghambat pusat gatal sebagaimana
pusat nyeri. Gabapentin juga merubah sensasi gatal pada pruritus yang
berkaitan dengan kerusakan saraf pada kulit dan pruritus dengan
penyakit sistemik.
Secara non-farmakologi yaitu phototherapy. Telah digunakan selama
lebih dari sepuluh tahun untuk mengobatai pruritus tipe lain. Phototherapy
mengurangi kepadatan sel mast dengan menginduksi apoptosis. 4
2.1.8. Mediator
Senyawa terpenting adalah histamin. Histamin merupakan produk
degranulasi sel mast dan basofil, selain dapat dihasilkan oleh makrofag
dan limfosit. Jenis histamin H1 ditemukan menyebabkan gatal. Histamin
banyak dilepaskan setelah terjadi cidera yang melibatkan
dermal. Sementara itu, reseptor H 3 terlibat dalam modulasi gatal, dan
bekerja antagonis dengan H1. H 4 juga dapat menyebabkan gatal.
Serotonin terutama terlibat dalam gatal pusat, dan mungkin berperan
dalam gatal neurogenik pada pasien uremia(gagal ginjal). Keduanya
merupakan golongan amina. Asetilkolin, bekerja melalui reseptor muskarinik,
17
menyebabkan gatal di individu atopik dan sensasi terbakar di individu non-
atopik . Pada penderita dermatitis atopik, ACh yang dihasilkan
oleh keratinosit akibat inflamasi dapat mencetuskan rasa gatal.18
Neuropeptida yang terpenting adalah substansi P (SP) yang dihasilkan
akibat aktivasi serabut saraf C (disebut dengan refleks aksonal), selain
jugaakan melepaskan mediator eikosanoid inflamasi dan histamin.
Substansi Pakan meningkat jumlahnya apabila terjadi inflamasi, sehingga
zat ini adalahsalah satu mediator terpenting yang berperan dalam gatal
akibat inflamasi. Substansi P secara selektif menyebabkan pelepasan histamin oleh
sel mast.Aktivitasnya menurun akibat stress, serta meningkat akibat
penuaan dankeadaan malam. CGRP (Calcitonin Gene Related Peptide) juga
neurotransmiter golongan péptida utama, disamping neuropeptida
lainseperti VIP (Vasoactive intestinal peptide), endothelin, neurotensin,
danneurotrophin, serta neurokinin A (NKA). 18
Neurotrophin, seperti NGF bekerjadengan menurunkan ambang gatal,
meningkatkan regulasi reseptor vanilloid, serta meningkatkan produksi
substansi P. Berperan terutama pada gatal akibat dermatitis atopik. 18
Kelompok mediator dan reseptor yang berperan dalam proses rasa
gatal secara ringkas dapat dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Mediator, reseptor, dan potensinya
Mediator Reseptor di kulit Gatal
Histamin Reseptor H1, H2, H4 Induksi gatal melalui
stimulasi reseptor
Triptase Reseptor yang aktifkan
proteinase 2
Induksi gatal melalui
stimulasi reseptor
Endotelin Reseptor endotelin A Induksi gatal melalui
stimulasi reseptor
Interleukin
(IL-2, IL-4, IL-
6)
Reseptor pada serabut
saraf:
IL-2R, IL-6R
Gatal tertunda/delayed
(sekunder?)
18
Substansi P Reseptor neurokinin
(NKR 1-3)
Induksi gatal melalui
degranulasi sel mast,
histamin, dan pelepasan
triptase
Capsaicin,
panas, pH yang
rendah
Transient reseptor
potensial (TRP); TRPV
1
Induksi gatal seperti terbakar
melalui stimulasi reseptor
Bradikinin Reseptor bradikinin (B1,
B2)
Sensitisasi serabut saraf,
potensi terhadap gatal yang
diinsuksi
Prostaglandin Reseptor prostaglandin
Sensitisasi serabut saraf,
potensiasi terhadap gatal yang
diinduksi histamin
Nerve Growth
Factor Reseptor TRK-A Sensitisasi serabut saraf
Peptida opioid Reseptor µ, δ Inhibisi gatal
Kanabionid Reseptor kanabionid Supresi gatal yang diinduksi
histamin
Sumber: Hubungan Rasa Gatal dan Nyeri1
2.2 Respon Imun
Kulit dan membran mukosa merupakan rintangan paling awal terhadap
infeksi. Kulit yang masih untuk merupakan rintangan yang secara normal
tidak dapat ditembus oleh bakteri maupun virus, meskipun goresan yang
sangat kecil sekalipun memungkinkan masuknya mikroorganisme tersebut.
Dengan demikian, membran mukosa yang melapisi saluran pencernaan,
saluran respirasi, dan saluran genitourine (kelamin dan eksresi urin),
menghalangi masuknya mikroba yang secara potensial bersifat
membahayakan. Selain peranannya sebagai rintangan fisik, kulit dan
membran mukosa juga menghadapi patogen dengan pertahanan kimiawi.
Pada manusia, misalnya, sekresi dari kelenjar minyak dan kelenjar keringat
akan memberikan pH kulit yang berkisar antara 3 sampai 5, yang cukup asam
19
untuk mencegah kolonisasi oleh banyak mikroba. (Bakteri yang merupakan
flora normal kuli telah beradaptasi terhadap lingkungan asam yang relatif
kering itu.) Kolonisasi mikroba juga dihambat oleh aktivitas pencucian yang
dilakukan oleh air liur (saliva), air mata, dan sekresi mukosa yang secara
terus-menerus membasahi permukaan epithelium yang terpapar. Selain itu,
semua eksresi tersebut mengandung protein antimikroba. Salah satu protein
pelindung tersebut adalah lisozim, yaitu enzim yang mencerna dinding sel
dari banyak jenis bakteri sehingga merusak banyak bakteri yang memasuki
saluran respirasi bagian atas dan pembukaan di sekitar mata (Gambar 2.1).2
Mukus, yang merupakan cairan kental yang disekresikan oleh sel-sel
membran mukosa, juga menjerat mikroba dan partikel lain yang
mengadakan kontak dengannya. Di trakea, sel-sel epithelium bersilia
menyapu keluar mukus dengan mikroba yang terjerat di dalamnya, sehingga
mencegah mikroba memasuki paru-paru. Mikroba yang terdapat dalam
makanan atau air, atau dalam mukus yang tertelan, harus menghadapi
lingkungan lambung yang sangat asam. Asam akan merusak banyak
mikroba sebelum mereka dapat masuk saluran usus. Akan tetapi terdapat
pengecualian penting: Virus hepatitis A merupakan salah satu di antara
banyak patogen yang dapat bertahan hidup dalam keasaman lambung dan
bisa masuk ke tubuh melalui saluran pencernaan.2
20
Gambar 2.1 Pertahanan respirasi garis pertama. Bagian penting dari garis
pertahanan pertama tubuh adalah membran mukosa yang melapisi bagian
atas sistem respirasi. Pada lapisan trakea, yang ditunjukkan di sini, sel-sel
khusus (berwarna gelap) menghasilkan mukus yang menjerat mikroba
sebelum penyerang itu dapat memasuki paru-paru. Membran mukosa juga
dilengkapi dengan sel-sel bersilia (berwarna terang). Denyutan silia yang
serentak akan mengeluarkan mukus dan mikroba yang terjerat menuju ke
dalam faring (SEM yang diwarnai).2
a. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Ekstraselular39
Respons imun alamiah terhadap bakteri ekstraselular terutama melalui
mekanisme fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan.
Resistensi bakteri terhadap fagositosis dan penghancuran dalam makrofag
menunjukkan virulensi bakteri. Aktivasi komplemen tanpa adanya antibodi
juga memegang peranan penting dalam eliminasi bakteri ekstraselular.
Lipopolisakarida (LPS) dalam dinding bakteri gram negatif dapat mengaktivasi
komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Salah satu hasil aktivasi
komplemen ini yaitu C3b mempunyai efek opsonisasi bakteri serta
meningkatkan fagositosis. Selain itu terjadi lisis bakteri melalui membrane
attack complex (MAC) serta beberapa hasil sampingan aktivasi komplemen
dapat menimbulkan respons inflamasi melalui pengumpulan (recruitment) serta
aktivasi leukosit. Endotoksin yang merupakan LPS merangsang produksi
sitokin oleh makrofag serta sel lain seperti endotel vaskular. Beberapa jenis
sitokin tersebut antara lain tumour necrosis factor (TNF), IL-1, IL-6 serta
beberapa sitokin inflamasi dengan berat molekul rendah yang termasuk
golongan IL-8. Fungsi fisiologis yang utama dari sitokin yang dihasilkan oleh
makrofag adalah merangsang inflamasi non-spesifik serta meningkatkan
aktivasi limfosit spesifik oleh antigen bakteri. Sitokin akan menginduksi adhesi
neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi yang diikuti
migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang
terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi
bakteri tersebut. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
21
Banyak fungsi sitokin yang sama yaitu sebagai ko-stimulator sel limfosit T dan
B yang menghasilkan mekanisme amplifikasi untuk imunitas spesifik. Sitokin
dalam jumlah besar atau produknya yang tidak terkontrol dapat membahayakan
tubuh serta berperan dalam menifestasi klinik infeksi bakteri ekstraselular.
Yang paling berat adalah gejala klinis oleh infeksi bakteri Gram-negatif yang
menyebabkan disseminated intravascular coagulation (DIC) yang progresif
serta syok septik atau syok endotoksin. Sitokin TNF adalah mediator yang
paling berperan pada syok endotoksin ini.
b. Imunitas Spesifik terhadap Bakteri Ekstraselular39
Kekebalan humoral mempunyai peran penting dalam respons kekebalan
spesifik terhadap bakteri ekstraselular. Lipopolisakarida merupakan komponen
yang paling imunogenik dari dinding sel atau kapsul mikroorganisme serta
merupakan antigen yang thymus independent. Antigen ini dapat langsung
merangsang sel limfosit B yang menghasilkan imunoglobin (Ig)M spesifik
yang kuat. Selain itu produksi IgG juga dirangsang yang mungkin melalui
mekanisme perangsangan isotype switching rantai berat oleh sitokin. Respons
sel limfosit T yang utama terhadap bakteri ekstraselular melalui sel TCD4 yang
berhubungan dengan molekul MHC kelas II yang mekanismenya telah
dijelaskan di atas. Sel TCD4 berfungsi sebagai sel penolong untuk merangsang
pembentukan antibodi, aktivasi fungsi fagosit dan mikrobisid makrofag. Ada 3
mekanisme efektor yang dirangsang oleh IgG dan IgM serta antigen
permukaan bakteri 1. Opsonisasi bakteri oleh IgG serta peningkatan fagositosis
dengan mengikat reseptor Fc_ pada monosit, makrofag dan neutrofil. Antibodi
IgG dan IgM mengaktivasi komplemen jalur klasik yang menghasilkan C3b
dan iC3b yang mengikat reseptor komplemen spesifik tipe 1 dan tipe 3 dan
selanjutnya terjadi peningkatan fagositosis. Pasien defisiensi C3 sangat rentan
terhadap infeksi piogenik yang hebat. 2. Netralisasi toksin bakteri oleh IgM
dan IgG untuk mencegah penempelan terhadap sel target serta meningkatkan
fagositosis untuk eliminasi toksin tersebut. 3. Aktivasi komplemen oleh IgM
dan IgG untuk menghasilkan mikrobisid MAC serta pelepasan mediator
inflamasi akut
c. Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular39
22
Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme
intraselular adalah fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif
resisten terhadap degradasi dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu
mekanisme kekebalan alamiah ini tidak efektif dalam mencegah penyebaran
infeksi sehingga sering menjadi kronik dan eksaserbasi yang sulit diberantas
1. Respons Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular
Respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan
oleh cell mediated immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan
oleh sel limfosit T tetapi fungsi efektornya untuk eliminasi bakteri diperani
oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang diproduksi oleh sel T
terutama interferon α (IFN α). Respons imun ini analog dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan
stimulus kuat sel limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi
makrofag secara langsung sehingga mempunyai fungsi sebagai ajuvan.
Misalnya muramil dipeptida pada dinding sel mikrobakteria. Telah
disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah produksi
sitokin terutama IFN α. Sitokin INF α ini akan mengaktivasi makrofag
termasuk makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa
bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang
kronik. Keadaan ini akan menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang
teraktivasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk
mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan
dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas yang menyebabkan
gangguan fungsi yang berat. Jadi kerusakan jaringan ini disebabkan
terutama oleh respons imun terhadap infeksi oleh beberapa bakteri
intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi
mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim
yang secara langsung merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama
terhadap Mycobacterium tuberculosis akan merangsang inflamasi selular
lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel fagosit. Sebagian ada
yang mati dan sebagian ada yang tinggal dormant. Pada saat yang sama,
pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik.
23
Setelah terbentuk imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi
bakteri persisten atau pada paparan bakteri berikutnya. Jadi imunitas
perlindungan dan reaksi hipersensitif yang menyebabkan kerusakan
jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang sama.
2.3 Cara Mendiagnosis Penyakit Kulit2
Setelah mendapat kesan mengenai kesehatan penderita, membuat
diagnosis penyakit kulit dimulai dengan melihat aspek morfologi kelainan
kulit. Dalam hal ini mempelajari kelainan kulit sebaiknya dicoba untuk
menentukan ciri dasarnya.
Dalam praktek sehati-hari pemeriksaan dan penentuan diagnosis sebaiknya
dilakukan sebagai berikut:
a. Bila penderita datang untuk pertama kali pada dokter dapat ditanyakan
kepada penderita berobat untuk peyakit atau kelulahn apa. Hal yang paling
penting ditanyakan pada penderita adalah: riwayat penyakit, penggunaan
obat-obat untuk penyakit yang dideritanya maupun untuk penyakit lain,
penyakit yang diderita oleh anggota keluarga yang lain, penyakit-penyakit
lain yang diderita sekarang maupun pada masa lampau, dan kebiasaan
tertentu. Anamnesia tidak perlu lebih terperinci, akan tetapi dapat
dilakukan lebih terarah kepada diagnosis banding setelah dan sewaktu
inspeksi.
b. Tindakan berikutnya adalah melakukan inspeksi. Bantuan pemeriksaan
dengan kaca pembesar dapat dilakukan. Pemeriksaan ini mutlak dilakukan
dalam ruangan yang terang.anamnesis terarah biasanya ditanyakan pada
penderita bersamaan dilakukan inspeksi untuk melakukan diagnostik. Pada
inspeksi diperhatikan lokalisasi, warna, bentuk, ukuran, penyebaran, batas,
dan efloresensi yang khusus. Bila terdapat kemerahan pada kulit ada tiga
kemungkinan: eritema, purpura, dan telangiektasis.
c. Setelah inspelsi selesai, dilakukan palpasi.pada pemeriksaan ini
diperhatikan adanya tanda-tanda radang akut atau tidak, misalnya dolor,
kalor, rubor, tumor dan fungsiolaesa, ada tidaknya indurasi, fluktuasi, dan
pembesaran kelenjar regional maupun generalisata.
24
d. Setelah pemeriksaan dermatologik (inspeksi dan palpasi) dan pemeriksaan
umum (intern) selesai dapat dibuat diagnosis sementara dan diagnosis
banding.
e. Bila diperlukan dapat dikonsultasikan ke bagian lain, misalnya untuk
pemeriksaan umum internis dan juga dapat dilakukan pemeriksaan
pembantu, misalnya pemeriksaan bakteriologik, mikologik, histopatologik,
darah, urin, dan imunologik, (antara lain serologik, tes temple,
imunofluoresensi).
f. Setelah pemeriksaan selesai dapat diharapkan sampai pada diagnosis pasti.
2.4 Hipersensitivitas42
a. Hipersensitivitas tipe I
Hipersensitivitas tipe ini disebabkan oleh antibody IgE yang
diadsorbsi pada sel mast atau basofil. Ketika molekul IgE ini berikatan pada
antigen spesifiknya (allergen), molekul akan dipicu untuk melepaskan amina
vasoaktif dan mediator lain yang kemudian memengaruhi permeabilitas
vascular dan kontraksi otot polos di berbagai organ.
Gambar 2.2.1 Hipersensitivitas tipe I 42
b. Hipersensitivitas tipe II
Hipersensitivitas tipe II diperantarai oleh antibody yang diarahkan
untuk melawan antigen target pada permukaan sel atau komponen jaringan
lainnya. Antigen tersebut dapat berupa molekul intrinsic normal bagi
membran sel atau matriks ekstraselular, atau dapat merupakan anigen
25
eksogen yang diadsorbsi (misalnya metabolit obat). Terdapat tiga mekanisme
jejas yang diperantarai oleh antibody pada hipersensitivitas tipe II
a. Reaksi yang bergantung komplemen, reaksi ini menyebabkan lisis sel
atau membuatnya rentan terhadap fagositosit (opsonisasi)
b. Sitotoksisitas diperantarai sel yang bergantung antibody (ADCC), sel
target yang terbungkus IgG dibunuh oleh sel yang membawa reseptor
FC untuk IgG (misalnya, sel NK)
c. Antibodi antireseptor, antibody ini mengganggu fungsi normal reseptor.
Sebagai contoh antibody reseptor asetilkolin mengganggu transmisi
neuromuscular pada miastenia gravis.
Gambar 2.2.2 Hipersensitivitas tipe II 42
c. Hipersensitivitas tipe III
Disebut juga “penyakit kompleks imun”. Antibodi mengikat antigen
untuk membentuk kompleks antigen-antibodi yang besar yang mengendap di
berbagai pembuluh darah dan mengaktivasi komplemen. Kompleks imun
26
serta fragmen aktivasi komplemen juga menarik perhatian neutrofil. Pada
akhirnya, komplemen yang diaktivasi serta pelepasan enzim neurotrofilik dan
molekul toksik lain (misalnya, metabolit oksigen) inilah yang menyebabkan
kerusakan jaringan pada penyakit kompleks imun.
27
Gambar 2.2.3 Hipersensitivitas tipe III 42
28
d. Hipersensitivitas tipe IV
Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara
khusus dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar:
a. Hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oelh sel T CD4+. Pada
hipersensitivitas tipe ini, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin
sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag,
yang merupakan sel efektor utama.
b. Sitoksisitas sel langsung, diperantarai oleh sel T CD8+. Pada tipe ini, sel
T CD8+ sitotoksik menjalankan fungsi efektor.1
Gambar 2.2.4 Hipersensitivitas tipe IV 42
2.5 Akne vulgaris
2.5.1 Definisi
Akne vulgaris adalah penyakit peradangan menahun folikel
pilosebasea yang umumnya terjadi pada masa remaja dan dapat sembuh
sendiri.2
2.5.2 Epidemiologi29
Karena hampir setiap orang pernah menderita penyakit ini, maka
sering dianggap sebagai kelainan kulit yang timbul secara fisiologis. Baru
pada masa remajalah akne vulgaris menjadi salah satu problem. Umumnya
29
insiden terjadi pasa umur 14-17 tahun pada wanita, 16-19 tahun pada pria
dan masa itu lesi yang pradominan adalah komedo dan papul dan jarang
terlihat lesi beradang. Diketahui pula bahwa ras Oriental (Jepang, Cina,
Korea) lebih jarang menderita akne vulgaris dibanding dengan ras
Kaukasia (Eropa dan Amerika), dan lebih sering terjadi nodulo-kistik pada
kulit putih daripada Negro.
2.5.3 Etiologi30
Akne vulgaris adalah penyakit yang disebabkan multifaktor, menurut
Pindha faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya akne adalah:
1. Faktor genetik.
Faktor genetik memegang peranan penting terhadap kemungkinan
seseorang menderita akne. Penelitian di Jerman menunjukkan bahwa akne
terdapat pada 45% remaja yang salah satu atau kedua orang tuanya
menderita akne, dan hanya 8% bila ke dua orang tuanya tidak menderita
akne.
2. Faktor ras.
Warga Amerika berkulit putih lebih banyak menderita akne dibandingkan
dengan yang berkulit hitam dan akne yang diderita lebih berat
dibandingkan dengan orang Jepang.
3. Hormonal.
Hormonal dan kelebihan keringat semua pengaruh perkembangan dan atau
keparahan dari jerawat. Beberapa faktor fisiologis seperti menstruasi dapat
mempengaruhi akne. Pada wanita, 60- 70% akne yang diderita menjadi
lebih parah beberapa hari sebelum menstruasi dan menetap sampai
seminggu setelah menstruasi.
4. Diet.
Tidak ditemukan adanya hubungan antara akne dengan asupan total kalori
dan jenis makanan, walapun beberapa penderita menyatakan akne
bertambah parah setelah mengkonsumsi beberapa makanan tertentu seperti
coklat dan makanan berlemak.
5. Iklim.
30
Cuaca yang panas dan lembab memperburuk akne. Hidrasi pada stratum
koreneum epidermis dapat merangsang terjadinya akne. Pajanan sinar
matahari yang berlebihan dapat memperburuk akne.
6. Lingkungan.
Akne lebih sering ditemukan dan gejalanya lebih berat di daerah industri
dan pertambangan dibandingkan dengan di pedesaan.
7. Stres.
Akne dapat kambuh atau bertambah buruk pada penderita stres emosional.
Mekanisme yang tepat dari proses jerawat tidak sepenuhnya dipahami,
namun diketahui dicirikan oleh sebum berlebih, hiperkeratinisasi folikel,
stres oksidatif dan peradangan. Androgen, mikroba dan pengaruh
pathogenetic juga bekerja dalam proses terjadinya jerawat .
2.5.4 Patofisiologi
Acne vulgaris adalah pembentukan papula, nodal, dan kista pada
muka, leher, bahu, dan punggung akibat sumbatan keratin pada dasar dari
kelenjar minyak (pilosebaseus) di dekat folikel rambut. Sembilan puluh
persen dari penderita adalah mereka dalam usia menjelang dewasa.
Bertambahnya produksi androgen yang terjadi selama pubertas
meningkatkan produksi sebum, suatu pelumas kulit. Sebum bergabung
dongan keratin dan membentuk sumbatan.5
2.5.5 Patogenesis
Ada empat hal penting yang berhubungan dengan patogenesis akne,
yakni peningkatan sekresi sebum, adanya keratinisasi folikel, bakteri, dan
peradangan (inflamasi):27,28
1. Peningkatan sekresi sebum
Faktor pertama yang berperan dalam patogenesis akne ialah
peningkatan produksi sebum oleh glandula sebacea. Pasien dengan akne
akan memproduksi lebih banyak sebum dibanding yang tidak terkena
akne. Hormon androgen juga mempengaruhi produksi sebum. Serupa
dengan aktivitasnya pada keratinosit infundibuler follikular, hormon
androgen berikatan dan mempengaruhi aktifitas sebosit. Orang-orang
dengan akne memiliki kadar serum androgen yang lebih tinggi dibanding
31
dengan orang yang tidak terkena akne. 5α-reduktase, enzim yang
bertanggung jawab untuk mengubah testosteron menjadi DHT poten
memiliki aktifitas yang meningkat pada bagian tubuh yang menjadi
predileksi timbulnya akne yaitu pada wajah, dada, dan punggung.
Peranan estrogen dalam produksi sebum belum diketahui secara pasti.
Dosis estrogen yang diperlukan untuk menurunkan produksi sebum jauh
lebih besar jika dibandingkan dengan dosis yang diperlukan untuk
menghambat ovulasi. Mekanisme dimana estrogen mungkin berperan ialah
dengan secara langsung melawan efek androgen dalam glandula sebacea,
menghambat produksi androgen dalam jaringan gonad melalui umpan
balik negatif pelepasan hormon gonadotropin, dan meregulasi gen yang
yang menekan pertumbuhan glandula sebacea atau produksi lipid.
2. Keratinisasi folikel
Hiperproliferasi epidermis follikular menyebabkan pembentukan lesi
primer akne yaitu mikrokomedo. Epitel folikel rambut paling atas, yaitu
infundibulum menjadi hiperkeratosis dengan meningkatnya kohesi dari
keratinosit. Kelebihan sel dan kekuatan kohesinya menyebabkan
pembentukan plug pada ostium follikular. Plug ini kemudian
menyebabkan konsentrasi keratin, sebum, dan bakteri terakumulasi di
dalam folikel. Hal tersebut kemudian menyebabkan pelebaran folikel
rambut bagian atas, yang kemudian membentuk mikrokomedo. Stimulus
terhadap proliferasi keratinosit dan peningkatan daya adhesi masih belum
diketahui. Namun terdapat beberapa faktor yang diduga menyebabkan
hiperproliferasi keratinosit yaitu stimulasi androgen, penurunan asam
linoleat, dan peningkatan aktifitas interleukin (IL)-1α.
Hormon androgen dapat berperan dalam keratinosit follikular untuk
menyebabkan hiperproliferasi. Dihidrotestosteron (DHT) merupakan
androgen yang poten yang memegang peranan terhadap timbulnya akne.
17β-6 hidroksisteroid dehidrogenase dan 5α-reduktase merupakan enzim
yang berperan untuk mengubah dehidroepiandrosteron (DHEAS) menjadi
DHT. Jika dibandingkan dengan keratinosit epidermal, keratinosit
follikular menunjukkan peningkatan aktifitas 17β-hidroksisteroid
32
dehidrogenase dan 5α-reduktase yang pada akhirnya meningkatkan
produksi DHT. DHT dapat menstimulasi proliferasi keratinosit follikular.
Hal lain yang mendukung peranan androgen dalam patogenesis akne ialah
bahwa pada orang dengan insensitivitas androgen komplet tidak terkena
akne.
Proliferasi keratinosit follikular juga diatur dengan adanya asam
linoleic. Asam linoleic merupakan asam lemak esensial pada kulit yang
akan menurun pada orang-orang yang terkena akne. Kuantitas asam linolic
akan kembali normal setelah penanganan dengan istretinoin. Kadar asam
linoleic yang tidak normal dapat menyebabkan hiperproliferasi keratinosit
follikular dan memproduksi sitokin proinflamasi. Terdapat asumsi bahwa
asam linoleic diproduksi dengan kuantitas yang tetap tetapi akan
mengalami dilusi seiring dengan meningkatnya produksi sebum.
IL-1 juga memiliki peranan dalam hiperproliferasi keratinosit.
Keratinosit follikular pada manusia menunjukkan adanya hiperproliferasi
dan pembentukan mikrokomedoe ketika diberika IL-1. Antagonis reseptor
IL-1 dapat menghambat pembentukan mikrokome.
3. Bakteri
Faktor ketiga yakni bakteri. Propionibacterium aknes juga memiliki
peranan aktif dalam proses inflamasi yang terjadi. P.aknes merupakan
bakteri gram-positif, anaerobik, dan mikroaerobik yang terdapat pada
folikel sebacea. Remaja dengan akne memiliki konsentrasi P.aknes yang
lebih tinggi dibanding orang yang normal. Bagaimanapun tidak terdapat
korelasi antara jumlah P.aknes yang terdapat pada glandula sebacea dan
beratnya penyakit yang diderita.
Dinding sel P.aknes mengandung antigen yang karbohidrat yang
menstimulasi perkembangan antibodi. Pasien dengan akne yang paling
berat memiliki titer antibodi yang paling tinggi pula. Antibodi
propionibacterium meningkatkan respon inflamasi dengan mengaktifkan
komplemen, yang pada akhirnya mengawali kaskade proses pro-inflamasi.
P.aknes juga memfasilitasi inflamasi dengan merangsang reaksi
hipersensitifitas tipe lambat dengan memproduksi lipase, protease,
33
hyaluronidase, dan faktor kemotaktik. Disamping itu, P.aknes tampak
menstimulasi regulasi sitokin dengan berikatan dengan Toll-like receptor 2
pada monosit dan sel polimorfonuklear yang mengelilingi folikel sebacea.
Setelah berikatan dengan Toll-like receptor 2, sitokin proinflamasi seperti
IL-1, IL-8, IL-12, dan TNF-α dilepaskan.
Remaja dengan acne memiliki konsentrasi P. acnes lebih tinggi
dibandingkan remaja tanpa acne, tetapi tidak terdapat korelasi antara
jumlah P. acnes dengan berat acne. Peranan P. acnes pada patogenesis
acne adalah memecah trigliserida, salah satu komponen sebum, menjadi
asam lemak bebas sehingga terjadi kolonisasi P. acnes yang memicu infl
amasi. Selain itu, antibodi terhadap antigen dinding sel P. acnes
meningkatkan respons infl amasi melalui aktivasi komplemen.8
Enzim 5-alfa reduktase, enzim yang mengubah testosteron menjadi
dihidrotestosteron (DHT), memiliki aktivitas tinggi pada kulit yang mudah
berjerawat, misalnya pada wajah, dada, dan punggung. Pada
hiperandrogenisme, selain jerawat, sering disertai oleh seborea, alopesia,
hirsutisme, gangguan haid dan disfungsi ovulasi dengan infertilitas dan
sindrom metabolik, gangguan psikologis, dan virilisasi. Penyebab utama
hiperandrogenisme adalah sindrom polikistik ovarium (polycystic ovarian
syndrome, PCOS). Sebagian penderita PCOS, yaitu sebanyak 70%, juga
menderita acne. Meskipun demikian, sebagian besar acne pada perempuan
dewasa tidak berkaitan dengan gangguan endokrin. Penyebab utama acne
pada kelompok ini adalah perubahan respons reseptor androgen kulit
terhadap perubahan hormon fisiologis siklus haid. Sebagian besar
perempuan mengalami peningkatan jumlah acne pada masa premenstrual
atau sebelum haid.9
4. Inflamasi
Pada awalnya telah diduga bahwa inflamasi mengikuti proses
pembentukan komedo, namun terdapat bukti baru bahwa inflamasi dermal
sesungguhnya mendahului pembentukan komedo. Biopsi yang diambil
pada kulit yang tidak memiliki komedo dan cenderung menjadi akne
menunjukkan peningkatan inflamasi dermal dibandingkan dengan kulit
34
normal. Biopsi kulit dari komedo yang baru terbentuk menunjukkan
aktifitas inflamasi yang jauh lebih hebat.
Mikrokomedo akan meluas menjadi keratin, sebum, dan bakteri yang
lebih terkonsentrasi. Walaupun perluasan ini akan menyebabkan distensi
yang mengakibatkan ruptur dinding follikular. Ekstrusi dari keratin,
sebum, dan bakteri ke dalam dermis mengakibatkan respon inflamasi yang
cepat. Tipe sel yang dominan pada 24 jam pertama ruptur komedo adalah
limfosit. CD4+ limfosit ditemukan di sekitar unit pilosebacea dimana sel
CD8+ ditemuka pada daerah perivaskuler. Satu sampai dua hari setelah
ruptur komedo,mneutrofil menjadi sel yang predominan yang mengelilingi
mikorkomedo. Keempat elemen dari patogenesis akne yaitu
hiperprofliferasi keratinosit follikular, seboroik, inflamasi, dan P.aknes
merupakan langkah-langkah yang saling berkaitan dalam pembentukan
akne.
Gambar 2.3 Patogenesis Akne 30
2.5.6 Manifestasi Klinik43
Tempat predileksi jerawat terutama terdapat di wajah, punggung, dada
danlengan atas. Akne vulgaris ditandai oleh lesi yang polimorfi,
walaupundapat terjadi salah satu bentuk lesi yang dominan pada suatu saat
atau sepanjang perjalanan penyakit. Manifestasi klinik jerawat dapat
35
berupalesi non inflamasi (komedo terbuka dan komedo tertutup), lesi
inflamasisuperfisial (papul, pustule, dan nodul).
2.5.7 Diagnosis6
Diagnosis acne vulgaris ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Keluhan penderita dapat berupa gatal atau sakit, tetapi
pada umumnya keluhan penderita lebih bersifat kosmetik. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan komedo, baik komedo terbuka maupun
komedo tertutup. Adanya komedo diperlukan untuk menegakkan diagnosis
acne. Selain itu, dapat pula ditemukan papul, pustul, nodul, dan kista pada
daerah – daerah predileksi yang mempunyai banyak kelenjar lemak.
Secara umum, pemeriksaan laboratorium bukan merupakan indikasi untuk
penderita acne vulgaris, kecuali jika dicurigai adanya hiperandrogenism.
2.5.8 Tata Laksana
Pemahaman mengenai patogenesis acne dengan keempat faktor yang
berperan akan mempermudah prinsip penanganan acne, yaitu memperbaiki
keratinisasi folikel, menurunkan aktivitas kelenjar sebasea, menurunkan
populasi bakteri P. acnes, dan menekan inflamasi.6 Akan tetapi, penentuan
derajat acne untuk pengobatan tidak hanya berdasarkan jumlah lesi semata,
tetapi juga ditentukan oleh beberapa faktor lain, misalnya distribusi lesi
lokalisata atau generalisata, derajat inflamasi, lama sakit, respons terapi
sebelumnya, dan efek psikososial.12
Sebagian besar acne ringan sampai sedang membutuhkan terapi
topikal. Acne sedang sampai berat menggunakan kombinasi terapi topikal
dan oral.12
Pemeriksaan klinis yang baik diperlukan untuk menentukan
jenis acne inflamasi, noninflamasi, atau campuran keduanya, sehingga
dapat memberikan terapi yang tepat.12
Terapi acne dimulai dari pembersihan wajah menggunakan sabun.
Beberapa sabun sudah mengandung antibakteri, misalnya triclosan yang
menghambat kokus positif gram. Selain itu juga banyak sabun
mengandung benzoil peroksida atau asam salisilat.6
Bahan topikal untuk pengobatan acne sangat beragam. Sulfur, sodium
sulfasetamid, resorsinol, dan asam salisilat, sering ditemukan sebagai obat
36
bebas. Asam azaleat dengan konsentrasi krim 20 persen atau gel 15 persen,
memiliki efek antimikroba dan komedolitik, selain mengurangi pigmentasi
dengan berfungsi sebagai inhibitor kompetitif tirosinase. Benzoil peroksida
merupakan antimikroba kuat, tetapi bukan antibiotik, sehingga tidak
menimbulkan resistensi.6,9
Antibiotik topikal yang sering digunakan adalah
klindamisin dan eritromisin. Keduanya dapat digunakan dengan kombinasi
bersama benzoil peroksida dan terbukti mengurangi resistensi.10
Retinoid merupakan turunan vitamin A yang mencegah pembentukan
komedo dengan menormalkan deskuamasi epitel folikular.10
Retinoid
topikal yang utama adalah tretinoin, tazaroten, dan adapalene.10
Tretinoin
paling banyak digunakan, bersifat komedolitik dan antiinflamasi poten.
Secara umum, semua retinoid dapat menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Pasien dapat disarankan menggunakan tretinoin dua malam sekali pada
beberapa minggu pertama untuk mengurangi efek iritasi. Tretinoin bersifat
photolabile sehingga disarankan aplikasi pada malam hari.6
Salah satu terapi sistemik acne adalah antibiotik. Tetrasiklin banyak
digunakan untuk acne inflamasi. Meskipun tidak mengurangi produksi
sebum tetapi dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas dan
menekan pertumbuhan P .acnes.6 Akan tetapi tetrasiklin tidak banyak
digunakan lagi karena angka resistensi P.acnes yang cukup tinggi.9
Turunan tetrasiklin yaitu doksisiklin dan minosiklin menggantikan
tetrasiklin sebagai terapi antibiotik oral lini pertama untuk acne 1,4
dengan
dosis 50- 100 mg dua kali sehari. Eritromisin dibatasi penggunaannya,
yaitu hanya pada ibu hamil, karena mudah terjadi resistensi P.acnes
terhadap eritromisin. Resistensi dapat dicegah dengan menghindari
penggunaan antibiotik monoterapi, membatasi lama penggunaan
antibiotik, dan menggunakan antibiotik bersama benzoil peroksida jika
memungkinkan.11
Isotretinoin oral adalah obat yang paling efektif untuk acne.6,,7
Dosis
isotretinoin yang dianjurkan adalah 0,5-1 mg/kg/hari dengan dosis
kumulatif 120-150 mg/kg berat badan.6 Obat ini langsung menekan
37
aktivitas kelenjar sebasea, menormalkan keratinisasi folikel kelenjar
sebasea, menghambat inflamasi, dan mengurangi pertumbuhan P. acnes
secara tidak langsung.7 Isotretinoin paling efektif untuk acne nodulokistik
rekalsitran dan mencegah jaringan parut.6,7
Meskipun demikian,
isotretinoin tidak bersifat kuratif untuk acne. Penghentian obat ini tanpa
disertai terapi pemeliharaan yang memadai, akan menimbulkan
kekambuhan acne.7 Selain itu, penggunaan obat ini harus berhati- hati pada
perempuan usia reproduksi karena bersifat teratogenik.7 Penggunaan
isotretinoin dan tetrasiklin bersamaan sebaiknya dihindari karena
meningkatkan risiko pseudotumor serebri.6
Suntikan glukokortiokoid intralesi dapat diberikan untuk lesi acne
nodular dan cepat mengurangi inflamasinya. Risiko tindakan ini adalah
hipopigmentasi dan atrofi. Modalitas lain yang dapat digunakan untuk
mengatasi acne adalah radiasi ultraviolet yang memiliki efek antiinflamasi
terhadap acne. Radiasi UVB atau kombinasi UVB dan UVA dapat
bermanfaat untuk acne inflamasi, tetapi perlu diwaspadai potensi
karsinogeniknya.6
2.5.9 Komplikasi
Semua tipe AV dapat sembuh dengan sequele. Hampir semua tipe AV
meninggalkan makula eritem setelah resolusi. Pada kulit yang lebih hitam
dapat meninggalkan lesi hiperpigmentasi setelah penyembuhan AV. Pada
beberapa individu, dapat mengakibatkan skar. Skar merupakan komplikasi
dari akne non-inflamasi atau inflamasi. 1,4
4 type skar yaitu : ice pick, rolling, boxcar, dan hipertrofik. Skar ice
pick bentuknya sempit ( < 2 mm), dalam, batas tegas dan meluas secara
vertikal ke dalam lapisan dermis dan subkutis. 44
Skar Rolling adalah terjadi dari penarikan dermis sebaliknya dapat
muncul sebagai kulit normal dan biasanya lebarnya sampai 4-5 mm, dan
bentuknya bergelombang. 44
Skar Boxcar adalah lesi berbentuk bulat sampai oval disertai
penurunan dengan tepi tajam. Lesi ini lebih lebar daripada skar ice pick
38
dan dasarnya tidak lancip. Skar ini bisa dangkal (0.1-0.5 mm), atau dalam
(> 0.5 mm), dan diameter dapat bervariasi 1.5 – 4 mm.44
Hipertrofik adalah pertumbuhan jaringan penunjang pada
penyembuhan kulit yang berlebihan. Perlu diperhatikan kembali riwayat
perjalanan penyakit, beberapa kasus acne ditemukan adanya
hiperandrogenisme. 44
2.6 Varisela
2.6.1 Definisi45
Varicella ialah penyakit akut yang menular dan ditandai dengan
adanya vesikula dikulit dan selaput lendir yang disebabkan varicella zoster
virus (VZV). Varisela merupakan salah satu penyakit sangat menular yang
dapat menular dengan sangat cepat. Varisela dapat merupakan penyakit
kongenital, menyerang bayi baru lahir,menyerang anak kurang dari 10
tahun terutama usia 5 sampai 9 tahun, bahkan orang dewasa. Pada anak
sehat penyakit ini biasanya bersifat jinak, jarang menimbulkan komplikasi
dan hanya sedikit yang menderita penyakit, tetapi pada status immunitas
yang menurun, seperti bayi baru lahir, immunodefisiensi, tumor ganas, dan
orang dewasa yang mendapat pengobatan immunosupresan sering
menimbulkan komplikasi bahkan menyebabkan kematian .
Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Herbeden (1967) dan oleh
Steiner (1875)yang dapat memindahkan varisela kepada sukarelawan.
1888 von Bokay pertama kali menemukan adanya hubungan antara
penyebab varisela dengan Herpes Zoster. 1922 Kudratitz melakukan
percobaan skarifikasi yaitu dengan mengambil cairan vesikel dari erupsi
zoster yang khas dan diinokulasikan, ternyata mengkibatkan suatu erupsi
lokal dan generalisata seperti pada varisela. Paschen (1917)
menggambarkan adanya inclusion bodies pada pemeriksaan yang diambil
dari dasar vesikel dan menyebutkan bahwa penyebab penyakit varisella
adalah sebuah virus, kemudian Willer (1953) menemukan pertumbuhan
virus varisela dan Zoster pada kultur jaringan manusia dan didapatkan
bahwa keduanya disebabkan oleh virus yang identik.
39
2.6.2 Epidemiologi
Varicella terdapat diseluruh dunia dan tidak ada perbedaan ras
maupun jenis kelamin. Varicella terutama mengenai anak-anak yang
berusia dibawah 20 tahun terutama usia 3 - 6 tahun dan hanya sekitar 2%
terjadi pada orang dewasa. Di Amerika, varicella sering terjadi pada anak-
anak dibawah usia 10 tahun dan 5% kasus terjadi pada usia lebih dari 15
tahun dan di Jepang, umumnya terjadi pada anak-anak dibawah usia 6
tahun sebanyak 81,4 %.Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai
dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak.
Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir - 9 tahun : 0,74 /
1000 ; usia 10 – 19 tahun :1,38 / 1000 ; usia 20 – 29 tahun : 2,58 / 1000.
Di Amerika, herpes zoster jarang terjadi pada anak-anak, dimana lebih dari
66 % mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia
dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun. Walaupun
herpes zoster merupakan penyakit yang sering dijumpai pada orang
dewasa, namun herpes zoster dapat juga terjadi pada bayi yang baru lahir
apabila ibunya menderita herpes zoster pada masa kehamilan. Dari hasil
penelitian, ditemukan sekitar 3% herpes zoster pada anak, biasanya
ditemukan pada anak – anak yang imunokompromis dan menderita
penyakit keganasan.13
2.6.3 Etiologi
Varisela (cacar air) disebabkan oleh virus varisela-zoster. Varicella
Zooster Virus merupakan family human herpes virus. Virus terdiri atas
genome double stranded DNA, tertutup inti yang mengandung protein dan
dibungkus glikoprotein. Virus ini dapat menyebabkan dua jenis penyakit
yaitu varicella dan herpes zooster.17
Dimana infeksi primer dengan virus varisela zoster (VVZ) akan
menimbulkan varisela kemudian pada keadaan yang lebih parah virus akan
membentuk infeksi laten di akar ganglia dorsal. Reaktivasi akan
menyebabkan herpes zoster (shingles = penyakit ruam saraf). VVZ adalah
virus DNA helai ganda, terselubung. Genom virus mengkode lebih
40
daripada 70 protein, termasuk protein yang merupakan sasaran imunitas
dan timidin kinase virus, yang membuat virus sensitif erhadap hambatan
oleh asiklovir dan dihubungkan dengan agen antivirus. Varicella-zoster
virus ini sangat menular dan mungkin ditularkan dari penderita varisela
atau zoster. Penyebaran dari virus dapat terjadi secara langsung dari orang
ke orang me lalui lesi yang ada, melalui udara (airborne droplets) atau
melalui plasenta.19
2.6.4 Patogenesis
Infeksi VZV mudah menular melalui droplet yang menyebar ketika
seseorang dengan varisela batuk atau bersin, kontak langsung dengan
sekret saluran pernapasan atau dengan lesi pada kulit yang belum
berkrusta, penyebaran melalui udara, dan transmisi melalui
plasenta.Infeksi primer VZV selama kehamilan dapat mengakibatkan
transmisi virus ke janin atau bayi baru lahir.Transmisi intrauterin VZV
dapat menyebabkan CVS, varisela neonatal, atau herpes zoster selama
janin dalam kandungan.31
Masa inkubasi varisela (durasi dari paparan hingga onset munculnya
ruam) dapat berkisar antara 10-21 hari, dengan rata-rata 14-16
hari.Apabila varicella zoster immune globulin (VZIG) diberikan, periode
inkubasi diperkirakan bisa lebih lama hingga 28 hari bahkan lebih31,33
.
Mekanisme pasti infeksi VZV dalam kandungan belum
diketahui.Hipotesis yang ada mengatakan bahwa selama periode inkubasi
terjadi dua kali fase maternal viremia.Infeksi VZV dimulai dari adhesi
virus melalui mukosa, kemudian memasuki sel tersebut dan menyebar
diantara sel-sel mukosa tersebut.VZV diperkirakan memperbanyak dirinya
pada kelenjar getah bening regional sebelum terjadi viremia primer
subklinis.Pada viremia primer yang terjadi pada hari ke 4-6 setelah infeksi
ini, virus menyebar melalui peredaran darah dan sistem getah bening ke
hepar, sistim retikuloendothelial, dan berkumpul terutama dalam
monosit/makrofag, disana virus bereplikasi lebih lanjut.Kemudian terjadi
fase viremia sekunder sekitar 14 hari setelah infeksi (antara hari ke 10-
21).Pada fase viremia sekunder, virus menyebar ke mukosa, terutama
41
mukosa nasofaringeal, dan ke kulit, menyebabkan timbul gejala dan diikuti
ruam makulopapular-vesikular sesuai dengan lesi varisela pada akhir fase
tersebut.
Selama kedua fase viremia ini terdapat kemungkinan transmisi virus
transplasental, namun viremia kedua diperkirakan memegang peranan
lebih penting pada transmisi virus
Gambar 2.4 Skema Patogenesis Infeksi Virus Varisela Zoster35
.
Periode penularan atau infeksiosus dimulai 2 hari sebelum timbulnya
ruam dan berakhir dengan timbulnya krusta pada lesi di kulit (biasanya 4-7
hari setelah timbulnya ruam pertama kali)3. Tingkat infeksiosusvarisela
dari kontak hubungan yang dekat atau menularkan terhadap penghuni
serumah adalah sekitar 70-90%.
Gambar 2.5 Perjalanan Varisela31
.
Infeksi varisela sebelumumnya menghasilkan kekebalan imunitas
seumur hidup. Mereka yang pernah terinfeksi dan kembali
terinfeksiVZV,akan terjadi reinfeksi asimptomatik yang meningkatkan
kadar titer antibodi VZV (booster). Reinfeksi VZVsangat jarang
menyebabkan timbulnya varisela yang kedua kali1,3
.Bayi baru lahir pada
42
beberapa bulan pertama secara umum kebal terhadap infeksi varisela
karena immunitas pasif apabila ibu kandungnya pernah terkena varisela
sebelumnya. Kekebalan ini akan hilang dalam waktu 4-12 bulan34
.
Setelah infeksi VZV primer, infeksi varisela menetap dalam keadaan
tidak aktif atau dormant dalam serabut saraf dorsalis (dorsalis-root
ganglia).Reaktivasi infeksi VZV mengakibatkan timbulnya herpes
zosteratau shingles.Hingga saat ini, ibu hamil yang terkena herpes zoster
selama kehamilan, tidak ditemukan adanya CVS, dan bayi mereka tidak
menunjukkan adanya serokonversi antibodi pada tahun pertama
kehidupannya. Herpes Zoster ini tidak terbukti berisiko atau berbahaya
terhadap janin ataupun neonatus32
.
2.6.5 Manifestasi Klinik
Gejala mulai timbul dalam waktu 10-21 hari setelah terinfeksi pada
anak-anak yang berusia diatas 10 tahun, gejala awalnya berupa sakit
kepala demam sedang dan rasa tidak enak badan, gejala tersebut biasanya
tidak ditemukan pada anak-anak yang lebih musa. Pada permulaannya,
penderita akan merasa sedikit demam, pilek, cepat merasa lelah, lesu, dan
lemah. Gejala-gejala ini khas untuk infeksi virus. Pada kasus yang lebih
berat, bisa didapatkan nyeri sendi, sakit kepala dan pusing. Beberapa hari
kemudian timbullah kemerahan pada kulit yang berukuran kecil yang
pertama kali ditemukan di sekitar dada dan perut atau punggung lalu
diikuti timbul di anggota gerak dan wajah.2
Kemerahan pada kulit ini lalu berubah menjadi lenting berisi cairan
dengan dinding tipis. Ruam kulit ini mungkin terasa agak nyeri atau gatal
sehingga dapat tergaruk tak sengaja. Jika lenting ini dibiarkan maka akan
segera mengering membentuk keropeng (krusta) yang nantinya akan
terlepas dan meninggalkan bercak di kulit yang lebih gelap
(hiperpigmentasi). Bercak ini lama-kelamaan akan pudar sehingga
beberapa waktu kemudian tidak akan meninggalkan bekas lagi.2
Lain halnya jika lenting cacar air tersebut dipecahkan. Krusta akan
segera terbentuk lebih dalam sehingga akan mengering lebih lama. kondisi
ini memudahkan infeksi bakteri terjadi pada bekas luka garukan tadi.
43
setelah mengering bekas cacar air tadi akan menghilangkan bekas yang
dalam. Terlebih lagi jika penderita adalah dewasa atau dewasa muda,
bekas cacar air akan lebih sulit menghilang. Papula di mulut cepat pecah
dan membentuk luka terbuka (ulkus), yang sering menyebabkan gangguan
menelan. Ulkus juga dapat ditemukan di kelopak mata, saluran pernapasan
bagian atas, rectum dan vagina. Papula pada pita suara dan saluran
pernapasan atas kadang menyebabkan gangguan pada pernapasan. Bisa
terjadi pembengkakan kelenjar getah bening dileher bagian samping.Cacar
air jarang menyebabkan pembentukan jaringan parut, kalaupun ada hanya
berupa lekukan kecil di sekitar mata. Luka cacar air bisa terinfeksi akibat
garukan dan biasanya disebabkan oleh staphylococcus. Anak-anak
biasanya sembuh dari cacar air tanpa masalah. Tetapi pada orang dewasa
maupun penderita gangguan sistem kekebalan, infeksi ini bisa berat atau
bahkan berakibat fatal. 2
Pada anak sehat yang sebelumnya nirmal, penyakit ini secara umum
dan biasanya jinak, dengan komplikasi yang paling sering adalah infesi
sekunder bakteri dari lesi kult. Jaringan parut merupakan komplikasi lain
yang sering. Komplikasi neurologis meliputi encephalitis dan ataxia
cerebellar akut. Varisela encephalitis dengan insiden 0,1% secara umum
tampak mengalami nyeri kepala, kejang, pola pemikiran yang terganggu,
dan muntah, dengan angka mortalitas sebear 5 hingga 20%. Ataxia
serebelar akut sedikit lebih jarang (0,025% insidensi) dibandingkan
ensefalitis dan secara umum tampak dalam 1 minggu ruam dengan ataxia,
muntah, pembicaraan yang terganggu, vertigo, dan atau tremor, dengan
resolusi dalam 2 hingga 4 minggu. 31
Pada anak defisiensi imun atau kurang gizi yang tidak ditangani
dengan asiklovir intravena, angka kematian berkisar antara 15 hingga
18%. Kasus ini dikarakteristikan dengan penyebaran, dengan pneumonia,
miokarditis, artritis, hepatitis, perdarahan, dan ensefalopaty (ataxia
serebelar lebih sering). Super infeksi lesi kulit dengan Staphylococcus
aureus atau Streptococcus pyogenes dapat menyebabkan pioderma,
impetigo, erysipelas, nephritis, gangrene, atau sepsis. Pada tropis Amerika,
44
varisella pada anak usia muda, anak kekurangan gizi dapat berkomplikasi
menjadi diare berat. 31
Orang dewasa tampak mempunyai penyakit yang lebih berat
dibandingkan dengan anak-anak. Dengan peningkatan 15 kali lipat pada
mortalitasnya. Varisella onset dewasa lebih sering berkomplikasi dengan
pneumonitis dan ensefalitis, dengan secara klinis pneumonitis lebih dari
15 % kasus. 31
Orang dari area tropis yang pindah ke area temperatur berada dalam
resiko untuk varisela onset dewasa, terutama jika kontak dengan anak usia
muda. Varisela ibu pada gestasi awal menimbulkan secara jarang ke
sindrom varisela kongenital yang ditandai dengan defek kulit, atrofi
ekstremitas, dan disfungsi sistem otonom. Maternal varisela pada gestasi
akhir dapat menimbulkan varisela neonatus, dengan angka mortalitas sama
tingginya dengan 30% pada bayi yang tidak diterapi. 31
Infeksi VZV rekuren bermanifestasi sebagai herpes zoster (shingles),
sebuah penyakit yang biasanya terlihat pada orang dewasa dengan usia
lebih dari 50 tahun. Data menunukkan perbedaan rasial dalam resiko
timbulnya zoster, dengan orang tua kulit putih lebih sering berada dalam
resiko dibandingkan dengan orang tua berkulit hitam. Zoster juga dapat
timbul jarang pada anak-anak. Zoster pada pasien imunnocompromise
dapat menjadi lebih berat. 31
Peningkatan insidensi zoster pada usia sama halnya dengan pasien
imunocompromised dikarenakan penurunan anti-VZV cell-mediated
immunity. Menariknya, ada bukti bahwa paparan pada orang yang
seropositive terhadap varisela terlindungi dari perkembangan zoster,
tertama dengan menambah respon imunnya. Setelah infeksi primer, VZV
(seperti HSV) timbul pada keadaan latent dengan ganglia saraf kranial dan
spinal. Stimuli non spesifik seperti stress, imunodefisiensi atau malignansi
dapat mengaktivasi virus laten dengan keterlibatan distribusi saraf yang
disalurkan melalui ganglion yang terkena. Herpes zoster timbul setelah 3-
to 4-day gejala prodromal demam, lesu, dan gangguan gastrointestinal dan
erupsi vesikular kutaneus yang nyerei pada distribusi dermatomal. Ruam
45
biasanya unilateral dan sepanjang hanya satu dermatom. Pada kasus yang
berat, erupsi dapat menjadi lebih umum dan variseliform. Vesikel sembuh
dalam 5 hari, tetapi postherpetic neuralgia dapat saja ada. Postherpetic
neuralgia, terlihat pada lebih dari 50% pasien diatas 50 tahun,
didefinisikan sebagai nyeri konstan atau intermiten lebih dari durasi satu
bulan pada area yang melibatkan dermatom. Infeksi dari mata, Herpes
zoster ophthalmicusmerupakan kondisi yang serius karena dapat
menyebabkan kebutaan. Sindroma Ramsay Hunt didefinisikan sebagai
keterlibatan trias dari meatus auditorius eksternal, hilangnya rasa pada
lidah dan palsy fasialis ipsilateral. Keterlibatan dari medula spinalis dapat
menyebabkan kelumpuhan atau palsy saraf kranial. 31
Resiko dari ensefalitis meningkat pada orang tua dengan keterlibatan
saraf kranial dan pada pasien AIDS. Postzoster ensefalitis dapat timbul
dalam 3 bentuk : infark yang dikarenakan vaskulitis pembuluh darah
besar, leukoensefalopati multifokal dan ventrikulitis. 31
2.6.6 Diagnosis
Manifestasi Klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu stadium
prodormal dan stadium erupsi. Stadium Prodormal timbul 10-21 hari,
setelah masa inkubasi selesai. Individu akan merasakan demam yang tidak
terlalu tinggi selama 1-3 hari, mengigil, nyeri kepala, anoreksia, dan
malaise.Stadium erupsi terjadi 1-2 hari kemudian yang ditandai dengan
timbulnya ruam-ruam pada kulit yang berlajut dengan vesikel varisela.20
Diagnosis kerja varisela biasanya dapat dibuat hanya berdasarkan
temuan klinis. Lesi yang timbul pada varisela diawali dengan ruam papul
kemerahan yang segera menjadi vesikel jernih.Vesikel ini biasanya
berukuran dari 1 hingga 4 mm. Vesikel ini kemudian menjadi pustul keruh
dan, setelah itu, mengering berbentuk krusta. Lesi yang timbul dari ruam
hingga mengering menjadi krusta terjadi dalam 4-5 hari. Lesi biasanya
dimulai pada wajah dan badan yang kemudian menyebar secara sentripetal
ke ekstremitas.Ruam atau lesi ini dapat ditemukan pada semua tahap
perkembangan vesikel atau bersifat multiformis,dari ruam kemerahan,
vesikel dengan dasar kemerahan, pustula umbilikasi, hingga lesi berkrusta.
46
Lesi yang terbentuk ini terasa gatal.Total lesi yang ditemukan biasanya
sekitar250-500 buah. Mayoritas penderita akan mendapatkan 300-400 lesi
dan kadang disertai demam. Perlu dibedakan dengan herpes zoster, dimana
lesi yang timbul bersifat unilateral, distribusi dermatomal dengan ruam
vesikuler yang nyeri. 21
Krusta akan lepas dalam 1-2 minggu tergantung pada dalamnya
kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk cekungan dangkal berwarna
merah muda, dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur hilang. Lesi-
lesi pada membran mukosa (hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna,
saluran kemih, vagina dan konjungtiva) tidak membentuk krusta, vesikel-
vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh
dengan cepat. Lesi kulit terbatas hanya terjadi pada jaringan epidermis dan
tidak menembus membran basalis, maka penyembuhan terjadi dalam 7-10
hari tanpa meninggalkan jaringan parut. Lesi dengan hiper atau hipo
pigmentasi mungkin dapat menetap sampai beberapa bulan. Pecahnya lesi
pada kulit dan rusaknya membran basalis dapat menyebabkan luka sikatrik
yang permanen. 22
Selain itu, pemeriksaan laboratorium sangat penting untuk
mendiagnosis pasien yang dicurigai menderita varicella atau herpes zoster
serta untuk menentukan terapi antivirus yang sesuai.15
Leukopenia terjadi
pada 72 jam pertama, diikuti oleh limfositosis. Pemeriksaan fungsi hati
(75%) juga mengalami kenaikan. Pasien dengan gangguan neurologi
akibat varicela biasanya mengalami limfositik pleositosis dan peningkatan
protein pada cairan serebrospinal serta glukosa yang umumnya dalam
batas normal.14
a. Tehnik PCR
Metode virologi dengan mendeteksi DNA virus ataupun protein virus
digunakan sebagai salah satu metode diagnosis infeksi VZV. Spesimen
sebaiknya disimpan di dalam es atau pendingin dengan suhu -7 C apabila
penyimpanan dilakukan untuk waktu yang lebih lama.15
b. Teknik Serologi
Salah satu metode serologik yang digunakan untuk mendiagnosis infeksi
47
VZV di dasarkan pada pemeriksaan serum akut dan konvalesens yaitu IgM
dan IgG. Pemeriksaan VZV IgM memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang
rendah. Reaktivasi VZV memacu IgM yang terkadang sulit dibedakandengan
kehadiran IgM pada infeksi primer.15
Salah satu kepentingan pemeriksaan
antibody IgG adalah untuk mengetahui status imun seseorang, dimana
riwayat penyakit varicelanya tidak jelas. Pemeriksaan IgG mempunyai
kepentingan klinis, guna mengetahui antibodi pasif atau pernah mendapat
vaksin aktif terhadap varicela. Keberadaan IgG, pada dasarnya merupakan
petanda dari infeksi laten terkecuali pasien telah menerima antibodi pasif dari
immunoglobulin. Teknik lain adalah dengan menggunakan fluorescent-
antibodi membrane antigen assay, pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi
yang terikat pada sel yang terinfeksi oleh VZV. Tes ini sangat sensitive dan
spesifik, hampir serupa dengan pemeriksaan enzyme immunoassay atau
imunoblotting.15
Pemeriksaan serologik lain yang mendukung adalah lateks
aglutinasi, untuk mengetahui status imunitas terhadap VZV.15
2.6.7 Tata Laksana
Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella. Pengobatan bersifat
simptomatik dengan antipiretik dan analgesik. Untuk panasnya dapat
diberikan asetosal atau antipiretik lain seperti asetaminofen dan
metampiron. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan antihistamin
oral atau sedative. Topikal diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal
(mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk
mencegah pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal.
Jika timbul infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan
oral. Dapat pula diberikan obat-obat antivirus. VZIG (varicella zoster
immunoglobuline) dapat mencegah atau meringankan varicella, diberikan
intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang penting pada penyakit
virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring. 2
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus.
Beberapa analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir,
dan brivudin, dan analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk
mengobati infeksi VZV. Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang
48
secara selektif difosforilasi oleh timidin kinase VZV sehingga
terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular kemudian
mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu
sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. VZV
kira-kira sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir
dibandingkan HSV.46
Valacyclovir dan famcyclovir, merupakan prodrug dari acyclovir yang
mempunyai bioavaibilitas oral lebih baik daripada acyclovir sehingga
kadar dalam darah lebih tinggi dan frekuensi pemberian obat berkurang.46
Pada anak normal varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
Pengobatan topical dapat diberikan. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan
kompres dingin, atau lotion kalamin, antihistamin oral. Cream dan lotion
yang mengandung kortikosteroid dan salep yang bersifat oklusif sebaiknya
tidak digunakan. Kadang diperlukan antipiretik, tetapi pemberian
golongan salisilat sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan
terjadinya sindroma Reye. Mandi rendam dengan air hangat dapat
mencegah infeksi sekunder bakterial.47
Anti virus pada anak dengan pengobatan dini varicella dengan
pemberian acyclovir (dalam 24 jam setelah timbul ruam) pada anak
imunokompeten berusia 2-12 tahun dengan dosis 4 x 20 mg/kgBB/hari
selama 7 hari menurunkan jumlah lesi, penghentian terbentuknya lesi yang
baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala konstitusi bila
dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih
dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini
disebabkan karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada
anak-anak dan manfaat klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak
memerlukan pengobatan acyclovir secara rutin. Namun pada keadaan
dimana harga obat tidak menjadi masalah, dan kalau pengobatan bisa
dimulai pada waktu yang menguntungkan (dalam 24 jam setelah timbul
ruam), dan ada kebutuhan untuk mempercepat penyembuhan sehingga
orang tua pasien dapat kembali bekerja, maka obat antivirus dapat
diberikan.48
49
Pada remaja dan dewasa, pengobatan dini varicella dengan pemberian
acyclovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari menurunkan jumlah lesi,
penghentian terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya
ruam, demam, dan gejala konstitusi bila dibandingkan dengan placebo.49
Secara acak, pemberian placebo dan acyclovir oral yang terkontrol
pada orang dewasa muda yang sehat dengan varicella menunjukkan bahwa
pengobatan dini (dalam waktu 24 jam setelah timbulnya ruam) dengan
acyclovir oral (5x800 mg selama 7 hari) secara signifikan mengurangi
terbentuknya lesi yang baru, mengurangi luasnya lesi yang terbentuk, dan
menurunkan gejala dan demam. Dengan demikian, pengobatan rutin dari
varicella pada orang dewasa tampaknya masuk akal. Meskipun tidak diuji,
ada kemungkinan bahwa famciclovir, yang diberikan dengan dosis 200 mg
per oral setiap 8 jam, atau valacyclovir dengan dosis 1000 mg per oral
setiap 8 jam mudah dan tepat sebagai pengganti acyclovir pada remaja
normal dan dewasa.
Banyak dokter tidak meresepkan acyclovir untuk varicella selama
kehamilan karena risiko bagi janin yang dalam pengobatan belum
diketahui. Sementara dokter lain merekomendasikan pemberian acyclovir
secara oral untuk infeksi pada trisemester ketiga ketika organogenesis
telah sempurna, ketika mungkin ada peningkatan terjadinya resiko
pneumonia varicella, dan ketika infeksi dapat menyebar ke bayi yang baru
lahir. Pemberian acyclovir intravena sering dipertimbangkan untuk wanita
hamil dengan varicella yang disertai dengan penyakit sistemik.49
Percobaan terkontrol yang dilakukan pada orang dewasa
imunokompeten dengan pneumonia varicella menunjukkan bahwa
pengobatan dini (dalam waktu 36 jam dari rumah sakit) dengan acyclovir
intravena (10mg/kgBB setiap 8 jam) dapat mengurangi demam dan
takipnea dan meningkatkan oksigenasi. Komplikasi serius lainnya dari
varicella pada orang yang imunokompeten, seperti ensefalitis,
meningoencephalitis, myelitis, dan komplikasi okular, sebaiknya diobati
dengan acyclovir intravena.49
50
Percobaan terkontrol pada pasien immunocompromised dengan
varicela menunjukkan bahwa pengobatan dengan asiklovir intravena
menurunkan insiden komplikasi yang mengancam kehidupan visceral
ketika pengobatan dimulai dalam waktu 72 jam dari mulai timbulnya
ruam. Acyclovir intravena menjadi standar perawatan untuk varicella pada
pasien yang disertai dengan imunodefisiensi substansial. Meskipun
pemberian terapi oral dengan famciclovir atau valacyclovir mungkin
cukup untuk pasien dengan derajat ringan gangguan kekebalan tubuh,
tetapi tidak ada uji klinis terkontrol yang menunjukkan secara pasti. Pada
penyakit berat atau wanita hamil dapat diberikan acyclovir IV 10mg/kgBB
tiap 8 jam selama 7 hari.48
Serum imuno globulin-gama tidak dianjurkan kecuali pada penderita
leukemia, penyakit keganasan lain dan bila terdapat defisiensi imunologis.
Vidarabine atau adenine arabinoside in vitro mempunyai sifat anti virus
terhadap virus varicella. Vidarabine dapat digunakan dengan hasil yang
baik pada penderita pneumonie varicella. Dosis yang dianjurkan ialah
15mg/kgBB/hari, tidak toksik terhadap sumsum tulang dan tidak menekan
immune response.46
2.6.8 Komplikasi50
Infeksi bakteri sekunder, biasanya akibat dari S.aures ayau
Streptococcus pyegenes, merupakan komplikasi varisela yang paling
sering terjadi. Selulitis, limfadenitis, dan abses sybkutan juga terjadi.
Varisela gangrenosa, biasanya akibat dari S.pyogenes, jarang ada tetapi
mengancam jiwa akibat infeksi sekunder. Sepsis bakteri akut tidak lazim,
tetapi bakteremia sementara dapat menyebabkan infeksi setempat
termasuk pneumonia stafilokokus atau streptokokus, artritis atau
osteomielitis.
Ensafalitis dan ataksi srebellar merupakan komplikasi neurologis
varisela yang diuraikan dengan baik, insiden morbiditas sistem saraf
sentral tertinggi pada penderita sebelum umur 5 tahun dan lebih tua dari
umur 20 tahun. Mengioensefalitis ditandai oleh kejang-kejang, kesadaran
yang berubah dan kaku kuduk, penderita dengan ataksia serebellar
51
mempunyai permulaan gangguan cara berjalan, nistagmus dan bicara
tertelan yang lebih perlahan-lahan.
Hepatitis varisela relatif sering terjadi, dan biasanya subklinis tetapi
beberapa anak menderita muntah berat yang harus dibedakan dari muntah
akibat sindrom Reye. Trombositopenia akut, hematuria dan perdarahan
saluran cerna merupakan komplikasi yang jarang yang biasanya sembuh
sendiri. Komplikasi lain varisela yang jarang adalah nefritis, sindrom
nefrotik, sindrom hemolitik uremik, artritis , miokarditis, perikarditis,
pankreastitis dan orkitis.
2.7 Scabies
2.7.1 Definisi23
Scabies merupakan penyakit kulit yang menular yang disebabkan oleh
sarcoptes scabiei yang menyebabkan iritasi kulit. Parasit ini menggali
parit-parit di dalam epidermis sehingga menimbulkan gata-gatal dan
merusak kulit penderita. Penyakit scabies pada umumnya menyerang
individu yang hidup berkelompok seperti masyarakat terutama ditempat
yang padat penduduknya. Reseptor gatal hanya ditemukan pada lapisan
kulit paling luar yaitu pada lapisan epidermis sehingga gatal tidak pernah
dirasakan pada jaringan yang lebih dalam seperti otot, sendi, maupun
organ dalam. Scabies disebabkan oleh rendahnya faktor pengetahuan,
personal hygiene yang buruk seperti mandi, berganti-ganti pakaian dengan
orang lain, serta kurang terjaganya kebersihan lingkungan. Pada anak–
anak masalah ini lebih banyak dialami karena individu tersebut belum
mampu secara mandiri melakukan kebersihan diri dan lingkungannya,
anak–anak senang bermain dengan teman-temannya tanpa memperhatikan
kebersihan dirinya, sehingga memungkinkan tertularnya penyakit melalui
kontak lansung maupun tidak lansung.
2.7.2 Epidemiologi
Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial
ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya
promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan
52
perkembangan demografi serta ekologi. Selain itu faktor penularannya bisa
melalui tidur bersama dalam satu tempat tidur, lewat pakaian,
perlengkapan tidur atau benda -benda lainnya. Cara penularan (transmisi )
:kontak langsung misal berjabat tangan, tidur be rsama dan kontak seksual.
Kontak tidak langsung misalnya melalui pakaian, handuk, sprei, bantal,
dan lain-lain.16
Faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial
ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual dan sifatnya
promiskuitas (ganti-ganti pasangan), kesalahan diagnosis dan
perkembangan demografi serta ekologi. 16
2.7.3 Etiologi
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo
Ackarima, super famili Sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei
var.hominis.2
Secara morfologik merupaka tungau kecil, berbentuk oval,
punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen,
berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya, yang betina berkisar
antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih
kecil, yani 200-240 mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa mempunyai
4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada
yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat
berakhir dengan alat perekat.2
53
2.7.4 Siklus Hidup
Sumber: https://microbewiki.kenyon.edu
Gambar 2.7 Sarcoptes scabiei tampak bawah (perut)
54
Setelah kopulasi (perkawinan) yang terjadi diatas kulit, yang jantan
akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup beberapa hari dalam
terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betia yang telah dibuahi
menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-3
milimeter sehari dan sambil melekatakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari
sampai mencapai 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup
sebulan lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari, dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal
dalam terowongan, tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan
menjadi nimfa yang mempunyai 2 bentuk, jantan dan etina, dengan 4
pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari.2
Sumber: http://www.nejm.org/
Gambar 2.8 Siklus hidup Sarcoptes scabiei
2.7.5 Patogenesis2
55
Kelainan kulit dapat disebabkan tidak hanya oleh tungau skabies,
tetapi juga oleh penderita sendiri akibat garukan. Dan karena bersalaman
atau bergandengan sehingga terjadi kontak kulit yang kuat, menyebabkan
kulit timbul pada pergelangan tangan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh
sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang memerlukan waktu
kira kira sebulan setelah infestasi. Pada saat itu kelainan kulit menyerupai
dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika dan lain-lain.
Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta dan infeksi
sekunder. Kelainan kulit dan gatal yang terjadi dapat lebih luas dari lokasi
tungau.
Siklus hidup tungau mulai dari telur sampai dewasa memerlukan
waktu selama 10- 14 hari. Pada suhu kamar (21°C dengan kelmbaban
relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup diluar pejamu selama 24-36
jam.
2.7.6 Manifestasi klinis
Mulai gejala prodormal, yakni demam yang tidak terlalu tinggi,
malese dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa
papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi
vesikel. Bentuk vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops).
Vesikel akan berubah menjadi pustul dan kemudian menjadi krusta.
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel yang baru
sehingga menimbulkan gambaran polimorfi.2
Penyebarannya terutama di daerah badan dan kemudian menyebar
secara sentrifugal ke muka dan ekstremitas, serta dapat menyerang selaput
lender mata, mulut, dan saluran napas bagian atas. Jika terdapat infeksi
56
sekunder terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional. Penyakit ini
biasanya disertai rasa gatal.2
Gambar 2.10 Infeksi varisela yang tersebar di badan dan ekstremitas
Infeksi yang timbul pada trimester pertama kehamilan dapat
menimbulkan kelainan kongenital, sedangkan infeksi yang terjadi
beberapa hari menjelang kelahiran dapat menyebabkan varisela kongenital
pada neonatus.2
2.7.7 Diagnosis51
Kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan disertai papula,
vesikula, urtika, dan lain-lain. Garukan tangan dapat timbul erosi,
ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder. Di daerah tropis, hampir setiap
kasus scabies terinfeksi sekunder oleh streptococcus aureus atau
staphylococcus pyogenes.
Diagnosis ditegakkan atas dasar : (1). Adanya terowongan yang
sedikit meninggi, berbentuk garis lurus atau kelok-kelok, panjangnya
beberapa millimeter sampai 1 cm, dan pada ujungnya tampak vesikula,
papula, atau pustula. (2). Tempat predileksi yang khas adalah sela jari,
pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, aerola mame (wanita), umbilicus, bokong, genetalia eksterna (pria).
Pada orang dewasa jarang terdapat di muka dan kepala, kecuali pada
penderita imunosupresif, sedangkan pada bayi, lesi dapat terjadi diseluruh
permukaan kulit. (3). Penyembuhan cepat setelah pemberian obat
antiskabies topikal yang efektif. (4). Adanya gatal hebat pada malam hari.
57
Bila lebih dari satu anggota keluarga menderita gatal, harus dicurigai
adanya scabies. Gatal pada malam hari disebabkan oleh temperatur tubuh
menjadi lebih tinggi sehingga aktivitas kutu meningkat.
Diagnosa skabies dilakukan dengan membuat kerokan kulit pada
daerah yang berwarna kemerahan dan terasa gatal. Kerokan yang
dilakukan sebaiknya dilakukan agak dalam hingga kulit mengeluarkan
darah karena sarcoptes betina bermukim agak dalam di kulit dengan
membuat terowongan. Untuk melarutkan kerak digunakan larutan KOH 10
persen selanjutnya hasil kerokan tersebut diamati dengan mikroskop
dengan perbesaran 10-40 kali. Cara lain adalah dengan meneteskan
minyak immesi pada lesi, dan epidermis diatasnya dikerok secara
perlahan-lahan.
2.7.8 Tata laksana4
Pada pasien dewasa, skabisid topikal harus dioleskan di seluruh
permukaan tubuh kecuali area wajah dan kulit kepala,dan lebih
difokuskan di daerah sela-sela jari, inguinal, genital, area lipatan kulit
sekitar kuku, dan area belakang telinga. Pada pasien anak dan scabies
berkrusta, area wajah dan kulit kepala juga harus dioleskan skabisid
topikal.
Pasien harus diinformasikan bahwa walaupun telah diberikan terapi
skabisidal yang adekuat, ruam dan rasa gatal di kulit dapat tetap menetap
hingga 4 minggu.
Jika tidak diberikan penjelasan, pasien akan beranggapan bahwa
pengobatan yang diberikan tidak berhasil dan kemudian akan
menggunakan obat anti scabies secara berlebihan. Steroid topikal, anti
histamin maupun steroid sistemik jangka pendek dapat diberikan untuk
menghilangkan ruam dan gatal pada pasien yang tidak membaik setelah
pemberian terapi skabisid yang lengkap.
2.7.9 Komplikasi
Infeksi sekunder pada pasien skabies merupakan akibat dari infeksi
bakteri atau karena garukan. Keduanya mendominasi gambaran klinik
yang ada. Erosi merupakan tanda yang paling sering muncul pada lesi
58
sekunder. Infeksi sekunder dapat ditandai dengan munculnya pustul,
supurasi, dan ulkus. Selain itu dapat muncul eritema, skuama, dan semua
tanda inflamasi lain pada ekzem sebagai respon imun tubuh yang kuat
terhadap iritasi. Nodul-nodul muncul pada daerah yang tertutup seperti
bokong, skrotum, inguinal, penis, dan axilla.
Infeksi sekunder lokal
sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan biasanya
mempunyai respon yang bagus terhadap topikal atau antibiotik oral,
tergantung tingkat piodermanya. Selain itu, limfangitis dan septiksemia
dapat juga terjadi terutama pada skabies Norwegian, glomerulonefritis post
streptococcus bisa terjadi karena skabies-induced pyodermas yang
disebabkan oleh Streptococcus pyogens.24
Semua pasien harus diberikan informasi bahwa bercak-bercak dan
gatal karena skabies tersebut mungkin akan menetap lebih dari 2 minggu
setelah terapi selesai. Ketika gejala dan tanda masih menetap lebih dari 12
minggu, terdapat beberapa kemungkinan yang dapat dijelaskan
diantaranya resistensi terapi, kegagalan terapi, reinfeksi dari anggota
keluarga lain atau teman sekamar, alergi obat, atau perburukan gejala
karena reaktivitas silang dengan antigen dari penderita skabies lainnya.
Respon yang buruk dan dugaan resistensi terhadap lindane pernah
dilaporkan di tempat lain. Kegagagalan terapi yang tidak berhubungan
dengan resistensi terapi bisa disebabkan karena kegagalan penggunaan
terapi skabisid topikal.Pasien dengan skabies berkrusta mungkin memiliki
penetrasi obat skabisid yang buruk ke dalam lapisannya yang bersisik
tersebut dan mungkin karena tungau bersembunyi di lapisan yang sulit di
penetrasi. Untuk menghindari infeksi berulang, direkomendasikan agar
seluruh kontak dekat dengan pasien harus dieradikasi.2
2.8 Pengaruh lingkungan terhadap kulit
a. Paparan sinar matahari
Iklim tropis termasuk di Indonesia dengan angin kencang dan sinar
matahari terik yang memancarkan sinar ultra violet dapat mempengaruhi
59
kesehatan kulit sampai merusak kulit seseorang. Paparan sinar matahari
merupakan salah satu faktor untuk timbulnya:
1) Hiperpigmentasi / spot atau bintik hitam terutama di wajah, tangan dan
kaki. Selain bercak hitam, bisa pula timbul bercak putih dengan ukuran 2-
5 mm, di daerah - daerah yang terpajan sinar matahari yaitu: tangan,
lengan bawah dan tungkai bawah.
2) Hiperplasia kelenjar sebasea (kelenjar minyak) kulit, yang ukurannya
bertambah besar, berbentuk bulat, diameter 1-5 mm, menonjol, satu atau
lebih, lunak bewarna kekuningan disertai lekukan di tengah, sering
terdapat di daerah yang terpajan sinar matahari.
3) Karsinoma sel skuamosa, sering dijumpai di daerah tungkai, wajah bagian
atas, telinga, dan daerah mukokutan (batas antara kulit dan mukosa).
Insidennya meningkat dengan bertambahnya umur dan pajanan sinar
matahari. Dapat berupa luka yang meluas dengan tepi keras dan dasar
jaringan granulasi mudah berdarah. Dapat pula berupa tumor dengan
permukaan berbenjol-benjol seperti kembang kol, bewarna merah atau
pucat, berbau khas, rapuh, mudah berdarah.
4) Melanoma maligna merupakan tumor kulit yang paling berbahaya, berasal
dari sel pigmen kulit. Lokasi dilaporkan terbanyak di tungkai bawah,
kemudian badan, kepala / leher, tungkai atas dan kuku. Bentuk klinis yang
paling sering dijumpai adalah berupa bercak dengan ukuran beberapa mm
sampai beberapa cm, warnanya bervariasi (kehitaman, putih, biru) berbatas
tegas dengan sedikit penonjolan di permukaan kulit.
b. Kelembaban udara
1) Temperatur ekstrim mengurangi kelembaban kulit.
2) Angin membawa debu dan kotoran yang dapat masuk ke pori-pori kulit.
3) Polusi, udara kotor dapat juga memasuki pori-pori kulit, berpotensi
menyebabkan iritasi kulit.
c. Tidur, tidur yang cukup memadai, tenang, merupakan kontribusi untuk
proses regenerasi seluruh jaringan tubuh, termasuk kulit.
d. Air, memperbaiki sirkulasi dan mengegah dehidrasi.
60
e. Nutrisi, buah-buahan segar, sayuran, dilengkapi dengan vitamin dan
mineral, penting untuk perawatan kulit sehat.
f. Exercise, menstimulus sirkulasi dan menguatkan otot tubuh.
g. Stress, fisik dan psikologik yang lama mengganggu sistem kimia tubuh,
sirkulasi hormon dan aliran darah, juga berpengaruh pada kulit.
h. Zat toksik, merokok, minum kopi, alkohol, dan beberapa zat terentu, dapat
merusak kulit, memecahkan kapiler dan membuat kulit kering.52
Di samping itu faktor air (kolam renang, laut) yang digunakan untuk
berenang juga berpengaruh terhadap kesehatan kulit seperti Mycobacteria
marinum yang dilaporkan dapat menyebabkan penyakit kulit swimming pool
granuloma atau Buruli ulcer. Serta kulit yang luka juga dapat diinfeksi
oleh Mycobacterium chelonae. Kuman-kuman terssebut masih sensitif
terhadap clarythromycyn, doxycyclin, cotrimoxazole and rifampin.53
2.9 Ujud Kelainan Kulit (UKK)
a. Definisi
Ujud kelainan kulit (UKK) adalah bagian dari ilmu penyakit kulit
yang mutlak diperlukan untuk mengenali ruam atau lesi yang terbentuk pada
kulit untuk membantu dalam diagnosis.2
b. Klasifikasi
Ujud kelainan kulit terbagi menjadi 2 macam, yaiu UKK primer dan
UKK sekunder. UKK primer seperti makula, papul, plak, urtika, nodus,
naodulus, vesikel, bula, pustul, kista. Sedangakan UKK sekunder seperti
skuama, krusta, erosi, ulkus, sikatrik.36
1. Makula
Makula adalah lesi datar berbatas tegas berbeda warna dengan kulit
sekitarnya. Terjadi karena hiperpigmentasi, hipopigmentasi, pigmentasi
dermal, dilatasi kapiler, purpura, abnormalitas vaskuler.
61
Gambar 2.11.1. Makula eritem multipel batas tegas akibat dilatasi
kapiler pada erupsi obat
2. Papula
Papula adalah lesi padat yang menonjol pada permukaan kulit
berukuran kecil (< 1 cm). Terjadi karena deposit metabolik, infiltrat
terbatas pada dermis, hiperplasi lokalisata elemen seluler epidermis dan
dermis.
Gambar 2.11.2 A. Deposit metabolik; B. Infiltrat terbatas pada
dermis; C. Hiperplasi lokalisata elemen seluler epidermis dan dermis
62
Gambar 2.11.3. Papul pada nervus melanositik dan papul multipel
pada liken planus
3. Plakat
Lesi berupa peninggian pada kulit menyerupai permukaan bidang
yang relatif luas dibanding ketebalan kulitnya. Terjadi karena beberapa
papul bergabung menjadi satu seperti psoriasis (B), dan garukan berulang
yang menghasilkan likenifikasi contohnya dermatitis kronik (C).
Gambar 2.11.4. Gambaran plakat
63
Gambar 2.11.5. B. Psoriasis ; C. Dermatitis kronik
4. Nodul
Lesi bentuk bulat atau lonjong padat dan dapat diraba. Terdapat beberapa
tipe:
a. Epidermal, contohnya veruka vulgaris (B)
b. Epidermal-dermal, contohnya Nevus compound
c. Dermal, contohnya dermatofibroma
d. Dermal-subepidermal, contohnya eritema nodusum (A)
e. Subcutaneus, contohnya lipoma
Gambar 2.11.6. Gambaran nodul
Gambar 2.11.7. Nodul soliter dengan ulkus pada karsinoma sel
basal;
64
Gambar 2.11.8 III. Nodul multipel pada melanoma metastase.
5. Vesikel dan Bula
Vesikel adalah lesi menonjol berbatas tegas dan berisi cairan. Terdapat 3
tipe:
a. Sub korneal
Bentuk khas dari tipe ini adalah dinding tipis, kendur, rapuh.
Contohnya impetigo bulosa.
Gambar 2.11.9. Vesikel sub korneal
b. Intraepidermal
Bentuk khas dari tipe ini adalah dinding agak tegang seperti tetesan
air. Contohnya, varisela/herpes
65
.
Gambar 2.11.10. Vesikel intraepidermal
c. Subepidermal
Timbulnya celah akibat lisisnya protein taut dermoepidermal pada
autoimun disease. Bentuk khas dari tipe ini adalah dinding sangat
tegang, berisi airan serous atau hemorhagi sering disertai gatal.
Contohnya adalah Epidermolisis bulosa.
Gambar 2.11.11. Vesikel subepidermal
66
Vesikel dengan diameter > 0,5 cm disebut bula. Terjadi karena
adanya celah dalam epidermis / taut dermoepidermal.
Gambar 2.11.12 Bula
6. Pustula
Pustula adalah lesi enonjol, batas tegas, mengandung eksudat purulen
(leukosit, debris seluler, mengandung bakteri / steril). Contohnya adalah
psoriasis pustulosa.
Gambar 2.11.13. Pustula
7. Kista
Kista adalah kantong mengandung cairan atau material semisolid. Kista
dibatasi oleh epitel skuamosa yang memproduksi material keratin.
67
Gambar 2.11.14. Gambaran kista
Gambar 2.11.15. Hidroadenoma kista isi material mukus
8. Erosi
Erosi adalah lesi basah dengan batas tegas akibat hilangnya sebagian /
seluruh epidermis akibat atap bula / vesikel terkelupas. Proses
penyembuhan tidak terjadi jaringan parut.
Gambar 1.11.16. Erosi
68
9. Ulkus
Ulkus adalah defek menetap terjadi setelah kerusakan / hilangnya lapisan
epidermis / dermis. Pada penyembuhan terjadi jaringan parut. Ulkus
gigantic dengan jaringan granulasi.
Gambar 2.11.17. Ulkus
10. Krusta
Krusta adalah cairan darah / serum / pus / obat yang mengering berwarna
merah/ hitam/ kuning kehijauan atau bisa seperti madu (pada impetigo
krustosa).
Gambar 2.11.18. Krusta
69
BAB III
KESIMPULAN
Ketiga pasien tersebut menderita gangguan kulit yang dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti mikroorganisme, parasit, penurunan sistem imun,
lingkungan, usia, ras, dan herediter.
70
DAFTAR PUSTAKA
1. Elvina PA. Hubungan Rasa Gatal dan Nyeri. Cermin Dunia Kedokt.
2011;38:263–266.
2. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
3. Paus, R., Schmelz, M., Biro, T., & Steinhoff, M. Frontiers in Pruritus
Research: Scrathing the Brain for More Effective Itch Therapy. The Journal
of Clinical Investigation ,2006. 116 (5), 1174- 1185.
4. Wolf, K. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine edisi 7. New York
The MacGraw-Hill Company; 2008, hal 902-911.
5. Syamsulhadi, Aliyah.M. Aspek Psikiatri Acne Vulgaris, Simposium Acne
Tinjauan Klinis dan Psikologis Serta Penatalaksanaannya. Surakarta, 2002.
6. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne vulgaris and
acneiform eruption. In: Fitzpatrick TB, Eisen AZ, Wolff K, Freedberg IM,
Austen K, eds. Dermatology in general medicine. 7th ed. New York:
McGraw-Hill, 2008:690-703.
7. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I,
et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and
treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.
8. Haider A, Shaw JC. Treatment of acne vulgaris. JAMA. 2004;292(6):726-35.
9. Harper JC. An update on the pathogenesis and management of acne vulgaris.
J Am Acad Dermatol. 2004;51(1):S36-8.
10. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Clinical features of acne. In: Cunliffe WJ,
Gollnick HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz
Ltd, 2001:49-68.
11. Jacyk WK. Acne vulgaris. Grades of severity and treatment options. SA Fam
Pract. 2003;45(9):32-6.
71
12. Cunliffe WJ, Gollnick HPM. Topical therapy. In: Cunliffe WJ, Gollnick
HPM, eds. Acne diagnosis and management. London: Martin Dunitz Ltd,
2001:107
13. Harper J. Varicella (chicken pox). In : Textbook of Pediatric Dermatology,
volume 1, Blackwell Science, 2000 : 336 - 39.
14. Hambleton S, Gershon A A. Preventing V aricella-Zoster Disease. Clinical
Microbiology Reviews 2005; 18: 70-80.
15. Lokeshwar MR. Varicella-Zoster Virus. 25 Mei 2007. Didapat dari:
http://www.pediatriconcall.com. Diakses pada tanggal 5 November 2015.
16. Djuanda adhi. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta; Badan penerbitan
FKUI; 2010
17. Moschella SL. Hurley HJ. (editor). Dermatology: third edition.Philadelphia:
W.B. Saunders Company; 1986. p.2042-7.2
18. Burton G. Pathophyisiology of pruritus. Australian College of
VeterinaryScientists Dermatology Chapter Science Week Proceeding.
2006;34(6):18-25
19. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta:
EGC; 1999.
20. Heininger U, Seward J. Varicella. Lancet; 2 6. 368 : 1365-76.
21. Duff P. Diagnosis and Management of Varicella Infection inPregnancy.
Perinatalogy; 2010. 1:6-12 p.
22. Gardella C, Brown Z. Managing varicella zoster infection in pregnancy.
Cleverland Clinic Journal of medicine; 2007. 74 (4): 290-5 p.
23. Rahariyana, Dwi, Loetfia. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan
System Integumen. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2008.
24. Leone P. Scabies and Pediculosis: An Update of Treatment Regiments and
General Review. Oxford Journals. 2007: (44) 154-9.
25. Walton SF, Currie BJ. Problems in Diagnosing Scabies, A Global Disease in
Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. 2007: 268-79.
26. Nora V B. The Pruritus of Cholestasis. Philadelphia: Elsevier; 2005. 1078-
1088 p.
72
27. Kurokawa I, Danby FW, Ju Q, Wang X, Xiang LF, Xia L, Chen WC, Nagy I,
et al. New developments in our understanding of acne pathogenesis and
treatment. Experimental Dermatology. 2009; 18: 821-32.
28. Zouboulis CC, Eady A, Philpott M, Goldsmith LA, Orfanos C, Cunliff e WC,
Rosenfi eld R. What is the pathogenesis of acne. Experimental Dermatology.
2005; 14: 143-52.
29. Wasitaatmadja., 2007. Akne, Erupsi Akneiformis, Rosasea, Rinofima. Dalam:
Djuanda, Adhi, ed. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, ed.5. Jakarta: FK-UI,
253–263.
30. Zaenglein AL, Graber EM, Thiboutot DM, Strauss JS. Acne Vulgaris and Acneiform
Eruptions. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ,
editor. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-7. New York:
McGraw Hill; 2008.
31. Federal Bureau of Prisons (BOP). 2009. Management of varicella zoster virus
infections. [Citied 2011 Agustus 1]. Available from:
http://www.bop.gov/news/medresources.jsp
32. Cash, C.J., Glass, C.A., 2011. Infectious disease guidelines. In : Family
Practice Guidelines, second edition. New York : Springer Publishing
Company. p. 402-4
33. Sauerbrei A. 2007. Varicella-zoster virus infections during pregnancy. In :
Mushahwar, I. K., editors. Congenital and other related infectious diseases of
the newborn. Oxford: Elsevier. p. 51-68.
34. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2011.Varicella
Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases.In :The Pink
Book: Course Textbook - 12th Edition (April 2011) [Citied 2012 January 1].
Available from: http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/varicella.html
35. Heininger, U., Seward, J.F. 2006. Varicella. Lancet 368 : 1365-76.
36. Djuanda,Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta : FK UI; 2001.
37. Greaves MW. Recent advances in pathophysiology and current management
of itch. Ann Acad Mes Singapore. 2007.
73
38. DA Burns, B Stephen, Cox Neil, G christopher. Rook’s Textbook of
Dermatology. 8th edition. United Kingdom: Wiley-Blackwell Publishing.
2010.
39. Zakiudin Munasir. Respon Imun Terhadap Infeksi Bakteri. Sari Pediatri Vol
2, No.4, Maret 2001: 193-197
40. Rosdiana Puspita, AMK. 2014. Uremik pruritus Pada Pasien
Hemodialisis.Ikatan Perawat Ginjal Indonesia (IPDI),DKI Jakarta
41. Burns T. Breathnach S. Cox N. Griffiths C. (editor). Rook’s textbook of
dermatology: volume 1, eight edition. Oxford: Wiley-BlackwellPublishers;
2010. p.931-48
42. Robbins, Kumar, Cotran. Buku Ajar Patologi. 7th ed. Jakarta; EGC; 2010
43. Guy F.Webster . Overview of the pathogenesis of Acne. In: Guy F.Webster,
Antony V.Rawlings. Acne and its theraphy. USA: Informa Healthcare. 2007.
44. Tosti A, Padova MPD, Beer KR, editors. Acne Scars Classification and
Treatment. London : Informa Healthcare ; 2010
45. Handoko Ronny P: Penyakit Virus. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin; edisi
ke-5, hal 115-116.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta,2007
46. Harahap Marwali. Varisela. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates;
2000. H.94-96.
47. Hassan Rusepno, Alatas Husein. Varisela (cacar air,”chicken pox”). Dalam:
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, jilid 2. Jakarta: INFOMEDIKA; 2007.
P.637-640.
48. Siregar RS. Varisela. Dalam: Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit; edisi 2.
Jakarta: EGC; 2004. H. 88-84.
49. Lichenstein R. 2002 Oct 21. Pediatrics: Chicken vox or varicella. (serial on
the internet). 2013 (cited 2013 Jun 16):(about 4p). Available from:
http://www.emedicine.com.
50. Behrman, Kliegman & Alvin, Nelson, ed. Ilmu. Kesehatan Anak Vol.2 Edisi
15. Jakarta : EGC, 1354-1361. Brown, M. 2007.
51. Iskandar, Tolibin. 2000. Masalah Skabies Pada Hewan dan Manusia Serta
Penanggulangannya. Wartazoa, Vol.10 No. 1 Th. 2000 hal. 29, (Online)
74
(http://peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/wartazoa/wazo101-5.pdf)
diakses tanggal 27 April 2013.
52. Kurniati SC. Kulit di daerah tropis. Permasalahan dan penatalaksanaannya.
Dexa Media 1998;.3.
53. Sukarata K. Kelainan Kulit, Menua Dini dan Penatalaksanaannya, Maj.
Kesehatan 2003;.5(13).