31
LAPORAN INDIVIDU LAPORAN PENDAHULUAN DVT (DEEP VEIN TROMBOSIS) Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal di Ruang 28 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang OLEH : SHINTA ARDIANA PUSPITASARI 115070201111021 KELOMPOK 2 REGULER 1 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015

Laporan Pendahuluan Deep Vein Trombosis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Laporan Pendahuluan Deep Vein Trombosis. Untuk memenuhi tugas departemen Medical.Tugas Individu Hematologi

Citation preview

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN DVT (DEEP VEIN TROMBOSIS)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal di Ruang 28 RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang

OLEH :SHINTA ARDIANA PUSPITASARI

115070201111021KELOMPOK 2REGULER 1

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG2015

BAB IPENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANGSemua pasien bedah beresiko mengalami trombosis vena dalam ( DVT-deep

vein trombosis ). Berbagai penelitian telah dilakukan selama bertahun-tahun untuk

mencatat insidensi DVT dan manfaat profilaktik sebagai tindakan pencegahannya.

Angka kejadian DVT pada pasien bedah tanpa terapi adalah 27% dengan heparin

subkutan 9,7% dengan stoking elastis 11,1% dengan heparin alt kompresi intermiten

17,7% dengan heparin dengan stoking 6,3% dan alat kompresi 4,5%.

Frekuensi mempengaruhi ekstremitas atas trombosis vena aksilaris atau

subklavia telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir dengan meningkatnya

implantasi kateter. Thrombosis ekstremitas atas diklasifikasikan sebagai primer dan

sekunder. trombosis Primer dapat disebabkan oleh kompresi vena lokal yang dihasilkan

oleh gerakan yang tidak biasa atau posisi dari lengan (trombosis usaha) sedangkan

yang kedua disebabkan oleh kehadiran perangkat implan (204, 205). trombosis primer

yang telah dilaporkan setelah angkat besi, olahraga raket, atau langsung oleh tekanan

berkepanjangan di ketiak. The vein thrombosis aksiler juga dapat merupakan

manifestasi dari sindrom outlet dada, trauma, atau kompresi tumor.

Maka dari itu, thrombosis vena profunda akan kita bahas supaya kita mengetahui

bahaya, pencegahan, penyebab, dan menambah wawasan tentang penyakit trombosis

vena profunda lebih dalam sehingga dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari

penyakit tersebut.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

1. PENGERTIAN DVTTrombosis adalah terjadinya bekuan darah didalam sistem kardiovaskuler

termasuk arteri, vena dan ruangan jantung. Menurut Robert Virchow terjadinya

trombosis adalah sebagai akibat kelainan dari pembuluh darah, aliran darah dan

komponen pembekuan darah.

Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis, DVT) merupakan kondisi di mana

darah pada vena-vena profunda pada tungkai atau pelvis membeku. Embolisasi dari

trombus menimbulkan emboli paru (pulmonary embolus, PE) sementara kerusakan vena

lokal dapat menyebabkan hipertensi vena kronis dan ekstermitas pascaflebitis

(postphlebisic, PPL).

Trombosis vena dalam ( DVT ) adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam

vena sekunder akibat inflamasi/trauma dinding vena atau karena obstruksi vena

sebagian. ( Vircow Triat: 2001 )

Trombosis Vena adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder

akibat inflamasi/trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian (Doenges.

1993,138). Trombosis vena adalah bekuan darah yang paling sering terjadi di dalam

pembuluh darahvena betis,dan kendati dapat pula mengenai vena poplitea,vena

femoralis,serta vena iliaka .

Deep Vein Thrombosis (DVT) adalah terbentuknya bekuan darah (trombus) pada

salah satu vena dalam yang menyalurkan darah kembali ke jantung. Cedera traumatik

merupakan salah satu faktor risiko penting untuk terbentuknya DVT. Pembentukan

trombus melibatkan tiga faktor penting meliputi aliran darah, komponen darah,

danpembuluh darah yang dikenal sebagai Virchow’s Triad. Temuan klasik nyeri pada

betispada saat kaki dorsifleksi (Homans sign) merupakan tanda yang spesifik tetapi

tidaksensitif dan terjadi pada setengah pasien dengan DVT.

Kebanyakan trombus vena profund berasal dari ekstermitas bawah, banyak yang

sembuh spontan dan lainnya menjadi lebih luas atau membentuk emboli. Trombosis

pada vena poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen-segmen vena ileofermoralis

juga sering terjadi. Amat banyak kasus emboli paru-paru yang terjadi akibat DVT pada

vena-vena panggul dan ekstermitas bawah.

2. KLASIFIKASI DVTKlasifikasi umum DVT  terbagi menjadi

a. Venous thromboembolism (VTE), yang terjadi pada pembuluh balik

b. Arterial thrombosis yang terjadi pada pembuluh nadi

3. ETIOLOGI DVTPada dasarnya penyebab utama DVT belum jelas, namun ada 3 faktor  yang

dianggap penting dalam pembentukan bekuan darah, hal ini dihubungkan dengan :

a. statis aliran darah

b. abnormalitas dinding pembuluh darah

c. gangguan mekanisme pembekuan

Statis vena terjadi bila aliran darah melambat, seperti pada gagal jantung dan

syock ; ketika vena berdilatasi, sebagai akibat terapi obat, dan bila kontraksi otot skeletal

berkurang, seperti pada istirahat lama, paralysis ekstremitas atau anestesia. Tirah

baring terbukti memperlambat aliran darah tungkai sebesar 50%. Kerusakan lapisan

intima pembuluh darah menciptakan tempat pembentukan bekuan darah. Trauma

langsung pada pembuluh darah, seperti pada fraktur atau dislokasi, penyakit vena dan

iritasi bahan kimia terhadap vena, baik akibat obat atau larutan intra vena, semuanya

dapat merusak vena. Kenaikan koagubilitas terjadi paling sering pada pasien dengan

penghentian obat ani koagulan secara mendadak. Kontrasepsi oral dan sejumlah besar

diskrasia dapat menyebabkan hiperkoagulabilitas.

4. FAKTOR RESIKO DVTPengaruh beberapa faktor risiko didapat terhadap terjadinya trombosis vena dijelaskan

sebagai berikut:

1. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi

dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah.7,9 Pada

operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan

pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.

Beberapa faktor yang mempermudah timbulnya trombosis vena pada tindakan

operatif, adalah sebagai berikut :

a. Terlepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah karena trauma

pada waktu di operasi.

b. Statis aliran darah karena immobilisasi selama periode preoperatif, operatif dan

post operatif.

c. Menurunnya aktifitas fibrinolitik, terutama 24 jam pertama sesudah operasi.

d. Operasi di daerah tungkai menimbulkan kerusakan vena secara langsung di

daerah tersebut.

2. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik,

statis vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan

IX.

Pada permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang

menimbulkan lepasnya plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga

terjadi peningkatkan koagulasi darah.

3. Infark miokard

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan

jaringan yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan

darah dan adanya statis aliran darah karena istirahat total.

4. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya trombosis vena.

5. Obat-obatan konstrasepsi oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi

vena, menurunnya aktifitas antitrombin III dan proses fibrinolitik dan

meningkatnya faktor pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah

terjadinya trombosis vena.

6. Obesitas dan varises

Obesitas dan varises dapat menimbulkan statis aliran darah dan

penurunan aktifitas fibrinolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Proses keganasan

Sel tumor dapat menyebabkan upregulasi banyak faktor koagulasi, down

regulasi sistem protein fibrinolitik dan mengekspresikan beberapa sitokin atau

protein regulator yang berkaitan dengan pembentukan trombus, sehingga rentan

terhadap keadaan protrombotik (gambar 1).

Tabel 1. Faktor Risiko Terjadinya DVT

Didapat (aquired) Diturunkan (inherited) Campuran Keduanya

Bertambahnya

usia

Defisiensi antitrombin Tingginya kadar PCI (PAI-3)

Tindakan

pembedahan

(ortopedi, bedah

saraf,

laparotomi,dll)

Defisiensi Protein C Tingginya kadar salah satu

faktor pembekuan darah

dibawah ini: VIII, IX, XI

Trauma Defisiensi Protein S Tingginya kadar fibrinogen

Kateter vena

sentral

Faktor V Leiden (FVL) Tingginya kadar TAFI

(Thrombin Activated

Fibrinolysis Inhibitor)

Keganasan Prothrombin G20210A Menurunnya kadar TFPI

(Tissue Factor Pathway

Inhibitor)

Sindrom Kelompok Golongan Resistensi protein C

antifosfolipid darah non-O teraktivasi pada absennya

FVL

Puerperium Disfibrinogenemia Hiperhomosisteinemia

Imobilisasi lama

(tirah baring,

paralisis

ekstremitas)

Faktor XIII 34val

Kehamilan

Obesitas

Kontrasepsi oral

Terapi sulih

hormon

Penyakit

myeloproliferatif

Polisitemia vera

Infark miokard

Varises

Keadaan ini menyebabkan gangguan keseimbangan sistem

koagulasi/antikoagulasi, kerusakan endotel pembuluh darah dan mengaktivasi

trombosit. Profil dari tumor juga berpengaruh, karena beberapa jenis sel tumor

mensekresikan faktor koagulasi seperti TFs (faktor III) dan trombin (faktor IIa). Juga

dijumpai peningkatan faktor koagulasi dan protein regulator pada peritoneum pasien

dengan kanker ovarium (faktor XII, faktor XI, faktor XIII, faktor II-reseptor faktor II, faktor

VII, faktor X dan faktor I, fibrin, heparin cofactor II dan reseptor endothelial protein-C.

5. PATOFISIOLOGI DVTPada tahun 1859, Virchow mengemukakan bahwa faktor utama terbentuknya

trombosis vena adalah (1)hiperkoagulabilitas, (2)perubahan / kerusakan pada dinding

pembuluh darah, (3)stasis aliran darah, dan sampai saat ini ketiga faktor tersebut masih

berperan penting pada trombosis vena dan dikenal sebagai Triad Virchow.

1. Perubahan Daya Beku Darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah

dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas

pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena

banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat,

seperti pada hiper koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi

protein S dan kelainan plasminogen.

2. Kerusakan Dinding Pembuluh DarahPermukaan vena maupun arteri yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel

endotel. Bila tidak ada kerusakan atau inflamasi pada dinding pembuluh darah,

trombosit tidak akan melekat pada dinding pembuluh darah, hal ini terutama

dikarenakan tidak adanya reseptor pada endotel yang utuh untuk berikatan dengan

trombosit, selain itu juga karena endotel menghasilkan beberapa substansi yang

menjaga trombosit pada kondisi tak teraktivasi, seperti prostasiklin dan nitrit oksida.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.

Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir

akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis

dan mikrofibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan

tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk

berubah bentuk dan sitsaling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan

mengaktifkan sistem pembekuan darah

Meskipun demikian, pada kasus-kasus terdiagnosa DVT, jarang ditemukan

adanya kerusakan langsung pada dinding pembuluh darah. Terbentuknya trombosis

pada vena yang masih intak diduga akibat pengaruh adanya inisiasi koagulasi oleh

tissue factor (TF), sebuah protein transmembran tipe I, dan faktor koagulasi VIIa yang

mengubah Faktor X menjadi Xa dan memulai sistem koagulasi seperti pada gambar

2. Sejumlah TF beredar dalam darah bersamaan dengan suatu membran

mikrovesikel. Pada sebuah studi eksperimental didapatkan bahwa TF yang berikatan

dengan mikrovesikel berperan dalam proses trombosis dengan mengikat trombosit

pada lesi di dinding pembuluh darah. Selain berikatan dengan trombosit, mikrovesikel

tersebut juga bergabung dengan trombosit aktif. Dengan menyatukan trombosit-

trombosit, mikrovesikel tersebut mentransfer TF ke plasma membran dan kemudian

memicu proses pembentukan trombin dan deposisi fibrin pada tempat trombosis.

Selain itu, peningkatan jumlah TF-mikrovesikel juga berhubungan dengan

hiperkoagulasi, dengan didukung sebuah studi yang menyatakan bahwa DVT tanpa

kerusakan dinding pembuluh darah terjadi secara bilateral. Kompleks TF-mikrovesikel

juga dapat berikatan pada sel endotel, karena sel endotel juga mempunyai P-selectin

seperti pada trombosit/keping darah. Seperti pada platelet, sel endotel juga

menghasilkan phospatydilserin yang membantu fusi dan ikatan TF dan menginisiasi

proses koagulasi.

Skema-skema diatas menerngkan bahwa sel endotelial menjadi aktif unutk

menyokong pembentukan trombus vena. Terdapat beberapa stimuli yang dapat

mengaktifkan sel endotel, diantaranya, infeksi, kateter intravaskular, inflamasi dan

mediator lokal seperti TNF, serta stasis aliran darah

3. Stasis VenaAliran darah pada vena cenderung lambat, bahkan dapat terjadi stasis terutama

pada daerah-daerah yang mengalami imobilisasi dalam waktu yang cukup lama. Hal

ini dapat menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor

pembekuan darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan

mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi endotelium

berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan hipoksia pada

endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon,

aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel

endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan

kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis.

6. TANDA DAN GEJALA DVTDVT secara klasik menimbulkan nyeri dan edema pada ekstremitas. Gejala-gejala

ini dapat muncul ataupun tidak, unilateral atau bilateral, ringan atau berat bergantung

padatrombus yang terbentuk. Trombus yang tidak menyebabkan obstruksi aliran vena

seringasimptomatik. Edema merupakan gejala paling spesifik dari DVT. Trombus yang

terdapat pada iliac bifurcation, vena pelvis, vena kava menimbulkan edema kaki

yangbiasanya bilateral. Temuan klasik nyeri pada betis pada saat kaki dorsifleksi

(Homanssign) merupakan tanda yang spesifik tetapi tidak sensitif dan terjadi pada

setengahpasien dengan DVT.

Trombosis vena terutama mengenai vena-vena di daerah tungkai antara lain vena

superfisialis pada tungkai, vena dalam di daerah betis atau lebih proksimal seperti v.

poplitea, v. femoralis dan v. iliaca. Sedangkan vena-vena di bagian tubuh yang lain

relatif jarang terjadi DVT .

Manifestasi klinik trombosis vena dalam tidak selalu jelas, kelainan yang timbul

tidak selalu dapat diramalkan secara tepat lokasi / tempat terjadinya trombosis.

Trombosis di daerah betis mempunyai gejala klinis yang ringan karena trombosis

yang terbentuk umumnya kecil dan tidak menimbulkan komplikasi yang hebat. Sebagian

besar trombosis di daerah betis bersifat asimtomatis, akan tetapi dapat menjadi serius

apabila trombus tersebut meluas atau menyebar ke proksimal. Trombosis vena dalam pada

ekstremitas inferior dapat menimbulkan Homan’s sign yaitu nyeri pada betis atau fosa

poplitea saat dorsofleksi sendi pergelangan kaki, tanda ini sensitif namun tidak spesifik.

Trombosis vena dalam akan mempunyai keluhan dan gejala apabila menimbulkan :

a. bendungan aliran vena.

b. peradangan dinding vena dan jaringan perivaskuler.

c. emboli pada sirkulasi pulmoner.

Keluhan dan gejala trombosis vena dalam dapat berupa

1. Nyeri

Intensitas nyeri tidak tergantung kepada besar dan luas trombosis. Trombosis vena

di daerah betis menimbulkan nyeri di daerah tersebut dan bisa menjalar ke bagian medial

dan anterior paha.

Keluhan nyeri sangat bervariasi dan tidak spesifik, bisa terasa nyeri atau kaku dan

intensitasnya mulai dari yang enteng sampai hebat. Nyeri akan berkurang kalau penderita

istirahat di tempat tidur, terutama posisi tungkai ditinggikan.

8. Pembengkakan

Timbulnya edema disebabkan oleh sumbatan vena di bagian proksimal dan

peradangan jaringan perivaskuler. Apabila pembengkakan ditimbulkan oleh sumbatan

maka lokasi bengkak adalah di bawah sumbatan dan tidak nyeri, sedangkan apabila

disebabkan oleh peradangan perivaskuler maka bengkak timbul pada daerah trombosis

dan biasanya di sertai nyeri. Pembengkakan bertambah kalau penderita berjalan dan

akan berkurang kalau istirahat di tempat tidur dengan posisi kaki agak ditinggikan.

9. Perubahan warna kulit

Perubahan warna kulit tidak spesifik dan tidak banyak ditemukan pada trombosis

vena dalam dibandingkan trombosis arteri. Pada trombosis vena perubahan warna kulit di

temukan hanya 17%-20% kasus. Perubahan warna kulit bisa berubah pucat dan kadang-

kadang berwarna ungu.

10. Sindroma post-trombosis.

Penyebab terjadinya sindroma ini adalah peningkatan tekanan vena sebagai

konsekuensi dari adanya sumbatan dan rekanalisasi dari vena besar. Keadaan ini

mengakibatkan meningkatnya tekanan pada dinding vena dalam di daerah betis

sehingga terjadi imkompeten katup vena dan perforasi vena dalam.

Semua keadaan di atas akan mengkibatkan aliran darah vena dalam membalik

ke daerah superfisilalis apabila otot berkontraksi, sehingga terjadi edema, kerusakan

jaringan subkutan, pada keadaan berat bisa terjadi ulkus pada daerah vena yang di

kenai.

Manifestasi klinis sindroma post-trombotik yang lain adalah nyeri pada

daerah betis yang timbul / bertambah waktu penderitanya berkuat (venous claudicatio),

nyeri berkurang waktu istirahat dan posisi kaki ditinggikan, timbul pigmentasi dan

indurasi pada sekitar lutut dan kaki sepertiga bawah.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK DVTAnamnesis dan pemeriksan fisik merupakan hal yang sangat penting dalam

pendekatan pasien dengan kecurigan mengalami DVT. Keluhan utama DVT biasanya

adalah kaki bengkak dan nyeri. Pada pemeriksan fisik tanda-tanda klasik seperti edema

kaki unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial teraba, dan Homans

sign positf tidak selalu ditemukan.

Pemeriksan laboratorium didapatkan peningkatan kadar D-dimer dan penurunan

Antihrombin (AT). D-dimer adalah produk degradasi fibrin. Konsentrasi D-dimer dibawah

level tertentu atau bahkan negatif mengindikasikan tidak adanya trombosis.

Pemeriksaan D-dimer dapat dilakukan dengan ELISA ataupun dengan latex

agglutination assay. Hasil negatif dari pemeriksaan ini sangat berguna untuk eksklusi

DVT, sedangkan nilai positif, walaupun dapat menandakan adanya trombosis, namun

tidak spesifik untuk DVT.

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan yang penting untuk

mendiagnosis DVT. Ada 3 jenis pemeriksaan yang akurat, yang dapat menegakkan

diagnosis trombosis vena dalam, yaitu:

Venography

Menyuntikan zat pewarna (dye) kedalam vena-vena untuk mencari

thrombus, umumnya tidak dilakukan lagi dan telah lebih menjadi catatan kaki

sejarah. Sampai saat ini venografi masih merupakan pemeriksaan standar untuk

trombosis vena. Akan tetapi teknik pemeriksaanya relatif sulit, mahal dan bisa

menimbulkan nyeri dan terbentuk trombosis baru sehingga tidak menyenangkan

penderitanya.

Prinsip pemeriksaan ini adalah menyuntikkan zat kontras ke dalam di daerah

dorsum pedis dan akan terlihat gambaran sistem vena di betis, paha, inguinal

sampai ke proksimal ke v. iliaca.

Flestimografi impendans

Prinsip pemeriksaan ini adalah mengobservasi perubahan volume darah pada

tungkai. Pemeriksaan ini lebih sensitif pada tombosis vena femrlis dan iliaca

dibandingkan vena di betis.

Ultra sonografi (USG) Doppler

Pada akhir abad ini, penggunaan USG berkembang dengan pesat, sehingga

adanya trombosis vena dapat di deteksi dengan USG, terutama USG Doppler.

Pemeriksaan ini memberikan hasil sensivity 60,6% dan spesifity 93,9%. Metode ini

dilakukan terutama pada kasus-kasus trombosis vena yang berulang, yang sukar di

deteksi dengan cara objektif lain.

Pemeriksaan Lain yang bisa dilakukan

a. D-dimer 

Adalah tes darah yang mungkin digunakan sebagai tes penyaringan (screening)

untuk menentukan apakah ada bekuan darah. D-dimer adalah kimia yang dihasilkan

ketika bekuan darah dalam tubuh secara berangsur-angsur larut/terurai. Tes

digunakan sebagai indikator positif atau negatif. Jika hasilnya negatif, maka tidak

ada bekuan darah. Jika tes D-dimer positif, itu tidak perlu berarti bahwa deep vein

thrombosis hadir karena banyak situasi-situasi akan mempunyai hasil positif yang

diharapkan (contohnya, dari operasi, jatuh, atau kehamilan). Untuk sebab itu,

pengujian D-dimer harus digunakan secara selektif.

b. EKG 

Adalah Elektrokardiogram (ECG atau EKG) adalah tes non-invasif yang digunakan

untuk mencerminkan kondisi jantung yang mendasarinya dengan

mengukur aktivitas listrik jantung. Dengan posisi lead (listrik sensing perangkat)

pada tubuh di lokasi standar, informasi tentang kondisi jantung yang dapat

dipelajari dengan mencari pola karakteristik pada EKG.

c. Hematokrit

Hemokonsentrasi (peningkatan Ht) potensial risiko pembentukan thrombus.

d. Pemeriksaan Koagulasi

Dapat menyatakan hiperkoagulasi.

e. Pemerikasaan vaskuler noninvasive (oskilometri Doppler, toleransi latihan,

pletismografi impendan, dan skan dupleks).

Perubahan pada aliran darah dan identifikasi volume vena tersumbat, kerusakan

vaskuler, dan kegagalan vaskuler.

f. Tes Trendelenburg

Dapat menunjukan tidak kompetennya pembuluh darah.

g. MRI

Dapat berguna mengkaji turbulen darah dan gerakan, kompetensi vena katup.

8. PENATALAKSANAAN MEDIS DVTPengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya sudah

pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan yang

diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius. Penatalaksanaan DVT

baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan

sebagai berikut.

1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.

2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.

3. Mengurangi keluhan post flebitis

4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.

a. Non FarmakologisPenatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi

morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis

vena pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi

kaki, dan dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira 40mmHg.

Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada

pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan

DVT adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana,

pergerakan berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot

terlepas dan “berjalan” ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan bedrest

selama 7-10 hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan design

kohort melaporkan bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan

segera. Ambulasi dini dilakukan pada pasien DVT yang belum terdiagnosa PE dan

tidak memiliki kelainan kardiopulmoner. Ambulasi dini juga disarankan pada pasien

dengan kondisi hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar 24jam setelah menerima terapi

antikoagulan.

Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam

serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di

anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan

pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.

b. FarmakologisMeluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan

pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan

ini di usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin.

Pemberian anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat

yang biasa di pakai adalah heparin.

Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save artinya anti

koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat menghancurkan

trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada pemberian

heparin perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang fasilitasnya

terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.

1. Pemberian HeparinHeparin 5000iu bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips konsitnus

1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam

kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5

kontrol.

1. Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.

2. Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.

3. Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.

Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6

jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam

pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.

Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan

pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau

pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.

Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana

penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.

2. Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan

pemantauan yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan

heparin. Saat ini preparat yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin

(Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin).

Tabel 2. Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT

Nama Obat Dosis

Enoxaparin 1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per

hari

Dalteparin 200UI/kgBB, satu kali sehari

Tinzaparin 175UI/kgBB, satu kali sehari

Nadroparin 6150UI terbagi 2 dosis, untuk

BB 50-70kg

4100 UI terbagi 2 dosis, bila

BB <50kg

9200 UI terbagi 2 dosis, bila

BB >70kg

Reviparin 4200 UI terbagi 2 dosis, untuk

BB 46-60kg

3500 UI terbagi 2 dosis bila BB

35-45kg

6300 UI terbagi 2 dosis, bila

BB > 60kg

Fondaparinux 7,5mg satu kali sehari untuk

BB 50-100kg

5mg satu kali sehari untuk BB

<50kg

10mg satu kali sehari untuk

BB>100kg

LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih

dipilih dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada

pasien-pasien dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.

Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi

antikoagulan inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH

yang telah terbukti efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat

pada tabel 2.

3. Pemberian Antikoagulan OralPemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah

rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium

warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose)

pada malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR

(International Normolized Ratio). Target INR : adalah 2,0 – 3,0.

Cara penyesuaian dosis

INRPenyesuaian

a. 1,1 – 1,4 hari 1, naikkan 10%-20% dari total dosis mingguan.

Kembali : 1 minggu

b. 1,5 – 1,9 hari 1, naikkan 5% – 10% dari total dosis mingguan.

Kembali : 2 minggu

c. 2,0 – 3,0 tidak ada perubahan. Kembali : 1 minggu

d. 3,1 – 3,9 hari : kurang 5% – 10% dari dosis total mingguan.

Mingguan : kurang 5 – 150 dari dosis total mingguan Kembali : 2 minggu

e. 4,0 – 5,0 hari 1: tidak dapat obat mingguan : kurang 10%-20%

TDM kembali : 1 minggu

f. > 50 :

- Stop pemberian warfarin.

- Pantau sampai INR : 3,

- Mulai dengan dosis kurangi 20%-50%. kembali tiap hari.

Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu sampai 3 bulan

apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang

reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan

pemberian anti koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi

apabila ditemukan abnormal inherited mileculer.

Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah :

1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.

2. Perdarahan yang baru di otak.

3. Alkoholisme.

4. Lesi perdarahan traktus digestif.

Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan

heparin, akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya

pemberian heparin tunggal.

Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,

terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue

plasminogen activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada

plasminon dan fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner

menganjurkn pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena

selama 4 jam dan Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu

selama 60 menit. Kedua jenis trombolitik ini memberikan hasil yang cukup

memuaskan.

Efek samping utama pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik

adalah perdarahan dan akan bersifat fatal kalau terjadi perdarahan sereral.

Untuk mencegah terjadinya efek samping perdarahan, maka diperlukan monitor

yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial dan waktu protombin, jangan

melebihi 2,5 kali nilai kontrol.

a. Pembengkakan tungkaiPembengkakkan dapat di kurangi dengan cara berbaring dan menaikkan tungkai

atau dengan menggunakan perban kompresi. Perban ini harus di pasang oleh dokter

atau perawat dan harus di pakai selama beberapa hari. Selama pemasangan

perban, penderita harus tetap berjalan. Jika pembengkakkan belum seluruhnya

hilang perban harus kembali di gunakan.

b. Ulkus di kulitJika timbul ulkus ( luka terbuka, lecet ) di kulit yang terasa nyeri, gunakan perban

kompresi 1-2 kali/seminggu karena bisa memperbaiki aliran darah dalam vena.

Ulkus hampir selalu mengalami infeksi dan mengeluarkan nanah berbau. Jika aliran

darah di dalam vena sudah membaik, ulkus akan sembuh  dengan sendirinya. Untuk

mencegah kekambuhan, setelah ulkus sembuh gunakan stoking elastis setiap hari.

Meskipun jarang terjadi pada ulkus yang tidak kunjung sembuh, kadang perlu di

lakukan pencakokan kulit.

c. Pembedahan- Jarang menunjukan

- Teknik yang digunakan untuk tromboflebitis vena gangguan yang memerlukan

ligasi-vena,vena lipatan,atau klipping.

- Iliofemoral trombektoni-dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan thrombosis

iliofemoral akut dan perkusi arteri berkompromi yang gagal respon terhadap

terapi konvesional.

- Prosedur untuk mencegah embolisasi distal

Ekstravaskuler  vena kava gangguan-aplikasi dari klip partisi sekitar

urat;digunakan profillaktit untuk pasien dengan resiko tinggi untuk embolisasi

yang menjalani pembedahan perut untuk alasan lain.

- Intracaval filter(mobin-uidden umbrella,kimray-greendfield filter) adalah

perangkat gangguan dimasukan kedalam vena jugularis kananinternal dan maju

ke vena kava melalui keteter,satu kali di tempat,perangkat memungkinkan  aliran

vena kontinyu sementara filtering pembekuan,sehingga mencegah embolisasi

lebih lanjut.

Penataksanaan Bedah. Pembedahan trombosis vena dalam (DVT)

diperlukan bila : ada kontraindikasi terapi antikoagulan atau trombolitik, ada

bahaya emboli paru yang jelas dan aliran darah vena sangat terganggu yang

dapat mengakibatkan kerusakan permanen pada ekstremitas. Trombektomi

(pengangkatan trombosis) merupakan penanganan pilihan bila diperlukan

pembedahan. Filter vena kava harus dipasang pada saat dilakukan trombektomi,

untuk menangkap emboli besar dan mencegah emboli paru.

Penatalaksanaan Keperawatan.

Tirah baring, peninggian ekstremitas yang terkena, stoking elastik dan

analgesik untuk mengurangi nyeri adalah tambahan terapi DVT. Biasanya

diperlukan tirah baring 5 – 7 hari setelah terjadi DVT. Waktu ini kurang lebih

sama dengan waktu yang diperlukan thrombus untuk melekat pada dinding vena,

sehingga menghindari terjadinya emboli. Ketika pasien mulai berjalan, harus

dipakai stoking elastik. Berjalan-jalan akan lebih baik daripada berdiri atau duduk

lama-lama. Latihan ditempat tidur, seperti dorsofleksi kaki melawan papan kaki,

juga dianjurkan. Kompres hangat dan lembab pada ekstremitas yang terkena

dapat mengurangi ketidaknyamanan sehubungan dengan DVT. Analgesik ringan

untuk mengontrol nyeri, sesuai resep akan menambah rasa nyaman.

9. KOMPLIKASI DVTMeskipun resiko dari trombosis vena dalam tidak dapat dihilangkan seluruhnya, tetapi

dapat dikurangi melalui beberapa cara:

Orang-orang yang beresiko menderita trombosis vena dalam (misalnya baru saja

menjalani pembedahan mayor atau baru saja melakukan perjalanan panjang),

sebaiknya melakukan gerakan menekuk dan meregangkan pergelangan kakinya

sebanyak 10 kali setiap 30 menit.

Terus menerus menggunakan stoking elastis akan membuat vena sedikit menyempit

dan darah mengalir lebih cepat, sehingga bekuan darah tidak mudah terbentuk. Tetapi

stoking elastis memberikan sedikit perlindungan dan jika tidak digunakan dengan benar,

bisa memperburuk keadaan dengan menimbulkan menyumbat aliran darah di tungkai

Yang lebih efektif dalam mengurangi pembentukan bekuan darah adalah pemberian

obat antikoagulan sebelum, selama dan kadang setelah pembedahan.

Stoking pneumatik merupakan cara lainnya untuk mencegah pembentukan bekuan

darah. Stoking ini terbuat dari plastik, secara otomatis memompa dan mengosongkan

melalui suatu pompa listrik, karena itu secara berulang-ulang akan meremas betis dan

mengosongkan vena. Stoking digunakan sebelum, selama dan sesudah pembedahan

sampai penderita bisa berjalan kembali.

Daftar PustakaMackman N, Becker R (2010). DVT: a new era in anticoagulant therapy.Arterioscler Thromb

Vasc Biol, 30: 369-371

Brunner & Suddarth (1997), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol 2, EGC,

Jakarta

Marilyn E. Doenges, (1993), Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta

Sarwono, dr, ( 1997), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi 3, Jilid I, FKUI, Jakarta.

Grace, Pierce A., & Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Erlangga.

Price, Sylvia A., & Wilson, Lorraine M. 2007. Patofisiologi Volume 1: Konsep Klinis Proses-  

Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.

Morton, Patricia Gonce dkk. 2012. Keperawatan Kritis Volume 1: Pendekatan Asuhan    

Holistik. Jakarta: EGC.

Megasafitri, Dian., Wiargitha, & Maliawan, Sri. 2013. Low-Molecular Weight Heparin

Kaushansky, K, MA Lichtman, E Beutler, TJ Kipps, U Seligsohn, JT. Prchal. 2010. Venous

Thrombosis. Williams Hematology, 8th edition. China: The McGraw-Hill Companies, Inc. P.

2700 – 2720.

Lopez, JA, C Kearon, dan AYY Lee. Deep Venous Thrombosis. Hematology. ASH Education

Book January 1, 2004 vol. 2004 no. 1 439-456

Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin Hematol. 2007

April ; 44(2): 62–69.

White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation. 2003;107:I-4 – I-8. (dari

http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4, diakses pada tanggal 7 November

2014, pkl 20.00)

Bates, SM, R Jaeschke, SM Stevens, S Goodoacre, PS Wells, MD Stevenson, C Kearon, HJ

Schunemann, M Crowther, SG Pauker, R Makdissi, dan GH Guyatt. Diagnosis of DVT:

Antithrombotic Therapy and Prevention of Thrombosis, 9th ed: American College of Chest

Physicians. Evidence-Based Clinical Practice Guidelines. CHEST 2012; 141(2)

(Suppl):e351S–e418S

Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J Loscalzo. Venous

Thrombosis. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th Edition. 2008. Chapter

111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary Embolism.

Circulation.1996; 93: 2212-2245 (dari: http://circ.ahajournals.org/ content/93/12/2212.full,

diakses pada tanggal 5 November 2014, pkl 22.00)

Hirsh, J, RD Hull, dan GE Raskob. Epidemiology and Pathogenesis of Venous Thrombosis. J

Am Coll CardioI 1986;8:104B-113B. (dari:

http://content.onlinejacc.org/data/Journals/JAC/22739/00122.pdf, diakses tanggal 5

November 2014, pkl 22.05)

Kerr T.M et al : Upper Extremity Venous Thrombosis Diagnosed by Duplex Scanning, The Am J

of Surgery 160:120-206, 1990.

Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent Thrombo-embolism

in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.

Thomas J.H et al. Pathogenesis Diagnosis, and Treatment of Thrombosis. The Am J of Surgery

160:547-551, 1990.

Ginsberg J.S. et al. Use of Antithrombotic Agent During Pregnancy. CHEST ;119:122S–

131S.2001

Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J Med.

327:1128-1133, 1992.

Brenner B et al. Quantiation of Venous Clot Lysis D – Dimer Immuboassay During Fibrinolytic

Theraphy Requires Correction for Sluble Fibrin Dehidration. Circulation 81(6) : 1818-1825,

1990.

Strandness D.E. et al : Long-term Sequelae of Acute Venous Thrombosis. JAMA 250:1289-

1292, 1983.

Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin for Prevention

of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105 – 1112.1993.

Raju S et al : Saphenectomy in the Presende of Chornic Venous Obstruction. Surgery 123:637-

644, 1999.

Runge M.S et al : Prevention of Thrombosis and Rethrombosis. Circulation 82:655-657, 1990.

Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the treatment of

proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J Vasc Surg. 2000;

32:861-869