Upload
anonymous-mvzezejh
View
106
Download
11
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti (betina) (Hastuti, 2012).
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
DENGUE HAEMORHAGIC FEVER (DHF)
OLEH :
NI KADEK DIYANTINI (1102105023)
PSIK A 2011
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Dengue Haemorhagic Fever (DHF)/Demam Berdarah Dengue adalah
suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang tergolong
arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti yang betina (Mansjoer, 1999).
Dengue Haemorhagic Fever (DHF) adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti (betina) (Hastuti, 2012).
2. Epidemiologi
Virus dengue pertama kali ditemukan di Filipina pada tahun 1953 dan
selanjutnya menyebar ke berbagai Negara, terutama di daerah perkotaan
yang berpenduduk padat seperti di Amerika Selatan, Karibia, Asia
Tenggara, dan India, yang diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40
persen populasi dunia tinggal di daerah endemis yang memungkinkan
terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. Di Indonesia,
penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dengan
jumlah penderita 58 orang dengan kematian 24 orang (41,3%). Setelah itu,
setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar
terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan
kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah
kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna
dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak
137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR)
0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian
1.384 orang atau CFR 0,89% (Candra, 2010).
3. Etiologi
Penyebab DHF adalah Arbovirus (Arthropodborn Virus) dari famili
Flaviviridae dan genus Flavivirus, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes (Aedes albopictus dan Aedes aegepty). Virus ini mempunyai empat
serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4, yang
masing-masing akan menimbulkan gejala yang berbeda-beda jika
menyerang manusia. Serotipe yang menyebabkan infeksi paling berat di
Indonesia adalah DEN-3 (Mansjoer, 1999).
Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna dengan
siklus hidup berupa telur, larva, pupa dan nyamuk dewasa. Nyamuk betina
meletakkan telur pada permukaan air bersih secara individu yang terpisah
satu dengan yang lain, dan menempel pada dinding tempat
perindukkannya, dengan jumlah rata-rata sebanyak seratus butir telur.
Telur menetas dalam satu sampai dua hari menjadi larva. Terdapat empat
tahapan dalam perkembangan larva yang disebut instar. Perkembangan
dari instar I ke instar IV memerlukan waktu sekitar lima hari. Setelah
mencapai instar IV, larva berubah menjadi pupa di mana larva memasuki
masa dorman. Pupa bertahan selama dua hari sebelum akhirnya menjadi
nyamuk dewasa. Perkembangan dari telur hingga nyamuk dewasa
membutuhkan waktu tujuh hingga delapan hari, namun bisa lebih lama
bila kondisi lingkungan tidak mendukung (Hastuti, 2012; Candra, 2010).
4. Patofisiologi
Virus dengue akan masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypty yang mengakibatkan toksin masuk ke peredaraan darah dan
menyebar ke sel-sel dalam tubuh sehingga terjadi infeksi dengue. Pertama-
tama yang terjadi adalah viremia yang mengakibatkan penderita
mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh
tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), dan hal lain
yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa (Splenomegali).
Virus kemudian akan bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah kompleks
virus-antibodi yang akan mengaktivasi sistem komplemen. Akibat aktivasi
C3 dan C5, akan dilepas C3a dan C5a yang berfungsi untuk melepaskan
histamine yang merupakan mediator kuat sebagai faktor meningkatnya
permeabilitas dinding kapiler pembuluh darah sehingga akan terjadi
perembesan plasma ke ruang ekstra seluler (Mansjoer, 1999).
Perembesan plasma ke ruang ekstra seluler mengakibatkan
berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi, dan
hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok). Hemokonsentrasi
(peningkatan hematokrit>20 %) menunjukkan atau menggambarkan
adanya kebocoran (perembesan) plasma sehingga nilai hematokrit menjadi
penting untuk patokan pemberian cairan intravena. Terjadinya
trombositopenia, menurunnya fungsi trombosit dan menurunnya faktor
koagulasi (protombin dan fibrinogen) merupakan faktor penyebab
terjadinya perdarahan hebat, terutama perdarahan saluran gastrointestinal
pada DHF (Mansjoer, 1999).
5. Klasifikasi
Penyakit DBD dibagi/diklasifikasikan menurut berat ringannya penyakit
(Hastuti, 2012), meliputi:
Derajat I
Disebut derajat I apabila terdapat tanda-tanda demam disertai gejala-
gejala lain, seperti: mual, muntah, sakit pada ulu hati, pusing, nyeri otot,
dan lain-lain, tanpa adanya perdarahan spontan dan bila dilakukan uji
ttourniquet menunjukkan hasil positif (+) terdapat bintik-bintik merah.
Selain itu, pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan tanda-tanda
hemokonsentrasi dan trombositopenea.
Derajat II
Disebut derajat II apabila terdapat tanda-tanda dan gejala seperti yang
terdapat pada DBD derajat I disertai adanya perdarahan spontan pada
kulit ataupun tempat lain (gusi, mimisan, dan lain-lain).
Derajat III
Disebut derajat III apabila telah terdapat tanda-tanda shock, yaitu dari
pengukuran nadi didapatkan hasil cepat dan lemah; tekanan darah
menurun; penderita gelisah; dan tampak kebiru-biruan pada sekitar
mulut, hidung, dan ujung-ujung jari.
Derajat IV
Disebut derajat IV apabila penderita telah jatuh pada keadaan shock,
penderita kehilangan kesadaran dengan nadi tak teraba dan tekanan
darah tidak terukur. Kondisi seperti ini disebut DSS (Dengue Shock
Syndrome). Penderita berada dalam keadaan kritis dan memerlukan
perawatan yang intensif di ruang ICU.
6. Gejala Klinis
Terdapat beberapa tanda gejala yang khas terjadi pada DHF (WHO,
2004; Sudoyo dan Setiyohadi, 2006; Hastuti, 2012), meliputi:
a. Demam
Demam terjadi secara mendadak berlangsung selama 2–7 hari
kemudian turun menuju suhu normal atau lebih rendah. Bersamaan
dengan berlangsung demam, gejala–gejala klinik yang tidak spesifik
misalnya anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan persediaan, nyeri
kepala dan rasa lemah dapat menyertai.
b. Perdarahan
Perdarahan biasanya terjadi pada hari ke 2 dari demam dan umumnya
terjadi pada kulit dan dapat berupa uji tourniquet yang positif, mudah
terjadi perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi dan purpura, perdarahan ringan hingga
sedang pada saluran cerna bagian atas hingga menyebabkan
haematemesis, serta biasanya didahului dengan nyeri perut yang hebat.
Perdarahan disini terjadi akibat berkurangnya trombosit
(trombositopeni).
c. Syok
Permulaan syok biasanya terjadi pada hari ke 3 sejak sakit, yang
disebabkan oleh perdarahan dan kebocoran plasma di intravaskuler
akibat kapiler yang rusak. Tanda-tanda syok meliputi:
Kulit dingin, lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan dan
kaki
Gelisah dan sianosis disekitar mulut
Nadi cepat, lemah, sampai tidak teraba
Tekanan darah menurun (tekanan sistolik≤80 mmHg, diastolik≤20
mmHg)
d. Gejala lain, seperti anoreksia, mual muntah, sakit perut, diare atau
konstipasi serta kejang, hingga penurunan kesadaran.
7. Pemeriksaan Fisik
Pada kasus DHF, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala
demam yang terjadi secara mendadak berlangsung selama 2–7 hari, yang
dapat diserta dengan anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan
persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah. Selain itu mudah ditemukan
tanda-tanda perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi dan purpura, serta perdarahan ringan hingga
sedang pada saluran cerna bagian atas sehingga menyebabkan
haematemesis, dengan biasanya didahului dengan nyeri perut hebat. bila
terjadi syok, hasil pemeriksaan fisik akan menunjukkan tanda gejala
berupa kulit dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan
dan kaki, gelisah dan sianosis disekitar mulut, nadi cepat, lemah, sampai
tidak teraba, serta tekanan darah menurun (tekanan sistolik≤80 mmHg,
diastolik≤20 mmHg).
8. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium dilakukan terutama untuk mendeteksi
perubahan hematologis. Parameter laboratorium yang dapat diperiksa
(WHO, 1986; Price and Wilson, 2005; Shepherd, 2013) antara lain:
Leukosit
Dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui limfositosis
relatif (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru
(>15% dari jumlah total leukosit) yang pada fase syok meningkat.
Trombosit
Umumnya terdapat trombositopenia (jumlah trombosit<100.000/μl)
pada hari ke 3-8.
Hematokrit
Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan
hematokrit≥20% dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke-
3 demam.
Hemostasis
Dilakukan pemeriksaan prothrombin time (PT), partial thromboplastin
time (aPTT), thrombin time (TT) atau fibrinogen pada keadaan yang
dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin
Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. Nilai normal
albumin adalah 3-5,5 g/dl, nilai normal protein total adalah 5-8 g/dl.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase)
SGOT/SGPT dapat meningkat. Nilai normal alanin aminotransferase
adalah 0-40 IU/l.
Elektrolit
Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan. Jumlah kalium
normal serum adalah 3,5-5,2 mEq/l, sedangkan natrium 135-145 mEq/l.
Golongan darah dan cross match
Bila akan diberikan transfusi darah dan komponen darah.
Imunoserologi
Pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue. IgM terdeteksi mulai hari
ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3, menghilang setelah 60-90 hari.
IgG pada infeksi primer mulai terdeteksi pada hari ke-14, pada infeksi
sekunder IgG mulai terdeteksi pada hari ke-2.
Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks kanan.
Tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan USG (WHO, 1986; Price and Wilson, 2005;
Shepherd, 2013).
9. Kriteria Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO (1986), DHF ditegakkan bila:
a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut:
Uji bending positif
Petekie , ekimosis, ataupurpura
Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan dari tempat
lain).
Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit< 100.000/µl)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma)
sebagai berikut:
Peningkatan hematocrit>20% dibandingkan standar sesuai umur dan
jenis kelamin.
Penurunan hematocrit>20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
10. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat
kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah
bilamana diperlukan. Proses kebocoran plasma dan terjadinya
trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak
demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan
berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular.
Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain
pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan
serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu
diwaspadai. Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi
cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue yaitu
jenis cairan dan jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan (WHO,
2004).
a. Jenis Cairan
Kristaloid (ringer laktat, ringer asetat, cairan salin)
Koloid (Dextran 40 dan plasma)
WHO menganjurkan terapi kristaloid sebagai cairan standar pada terapi
DBD karena dibandingkan dengan koloid, kristaloid lebih mudah
didapat dan lebih murah.
b. Jumlah cairan
Jumlah cairan yang diberikan sangat bergantung dari banyaknya
kebocoran plasma yang terjadi serta seberapa jauh proses tersebut
masih akan berlangsung. Pada kondisi DBD derajat 1 dan 2, cairan
diberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance) dan untuk
mengganti cairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis, kebutuhan
rumatan pada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah
sebanyak kurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasma yang terjadi sebanyak 2,5-5% dari berat badan, adalah sebanyak
1500-3000 ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD
dengan hemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.
Namun demikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk
menilai apakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah jumlah
cairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah.
Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis pasien,
stabilitas hemodinamik serta diuresis.
Pada DBD dengan kondisi hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan
4) cairan diberikan secara bolus atau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg
berat badan, dan setelah hemodinamik stabil secara bertahap kecepatan
cairan dikurangi hingga kondisi benar-benar stabil. Pada kondisi di
mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat, namun kondisi
hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar hemoglobin dan
hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan terjadinya
perdarahan internal.
Selain itu, terdapat protocol penatalaksanaan DBD menurut (Directorate of
National Vector Borne Diseases Control Programme, 2008). meliputi:
a. Protokol 1 (penanganan tersangka/probable DBD dewasa tanpa syok)
Protokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan
pertolongan pertama pada penderita DBD atau diduga DBD di instalasi
Gawat Darurat, serta juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan
indikasi rawat. Seseorang yang tersangka menderita BDB bila:
Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000–150.000,
pasien dapat dipulangkan dengan anjuran control atau berobat jalan
ke poliklinik dalam waktu 24 jam berikutnya (dilakukan
pemeriksaan HB, Ht lekosit dan trombosit tiap 24 jam) atau bila
keadaan penderita memburuk segera kembali ke Unit Gawat Darurat
Hb,Ht normal tetapi trombosit<100.000 dianjurkan untuk dirawat
Hb,Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan
untuk dirawat
b. Protokol 2 (pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang
rawat)
Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif
dan tanpa syok maka diruang rawat diberikan cairan kristaloid dengan
jumlah volume cairan kristaloid perhari yang diperlukan, sesuai rumus
20 x (BB dalam kg-20)
c. Protokol 3 (penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht>20%)
Peningkatan Ht>20% menunjukkan bahwa tubuh mengalami
kekurangan volume cairan sebanyak 5%. Pada keadaan ini terapi awal
pemberian cairan adalah dengan memberikan cairan kristaloid sebanyak
6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda
hematokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi
urin meningkat maka jumlah cairan dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam.
Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan
dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
d. Protokol 4 (penatalaksanaan perdarahan spontan perdarahan spontan
pada DBD dewasa)
Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa
ditandai dengan adanya perdarahan hidung/epistaksis yang tidak tidak
terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan melena atau hemostaskesia), perdarahan
saluran kencing (hematuria), perdarahan otak atau perdarahan atau
perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5
ml/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan
tetap seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya, serta pemeriksaan
tekanan darah, nadi, pernapasan, dan jumlah urin dilakukan sesering
mungkin dengan pemeriksaan Hb,Ht dan thrombosis sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.
e. Protocol 5 (tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa)
Pada sindrom syok dengue (SSD), hal pertama yang harus diingat
adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan sehingga penggantian
cairan intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka
kematian sindrom syok dengue 10 kali lipat dibandingkan dengan
penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat terjadi karena
keterlambatan penderita DBD mendapat pertolongan,penatalaksanaan
yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-
tanda renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
DAFTAR PUSTAKA
Aquilino, M.L., et al. (2004). Nursing Outcomes Classification (NOC), Fourt
Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Candra, Aryu. (2010). Demam Berdarah Dengue: Epidemiologi, Patogenesis, dan
Faktor Risiko Penularan. Semarang: UNDIP.
Directorate of National Vector Borne Diseases Control Programme. (2008).
Guidelines for Clinical Management of Dengue Fever, Dengue
Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. (online), diakses
melalui http://nvbdcp.gov.in/doc/clinical%20guidelines.pdf, pada tanggal 13
Juli 2015.
Hastuti, Oktri. (2012). Demam Berdarah Dengue. Yogyakarta: Kanisius. (online),
diakses melalui
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/16366/2/Chapter%20II.pdf,
pada tanggal 12 juli 2015.
Mansjoer, Arif. (1999). Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aesculapius.
McCloskey, J.C. (2004). Nursing Interventions Classification (NIC), Fourth
Edition. Missouri: Mosby Elsevier.
Nanda International. Nursing Diagnoses: Definition and Classification 2015-
2017, Tenth Edition. Oxford: Wiley Blackwell.
Price and Wilson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,
Vol. 1, Ed. 6. Jakarta: EGC..
Shepherd, Suzanne Moore. (2013). Dengue. (online), diakses melalui
http://emedicine.medscape.com/article/215840-workup#showall, pada
tanggal 12 Juli 2015.
Sudoyo, A. W., dan Setiyohadi, B. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
II, Ed. 4. Jakarta: FKUI.
WHO. (1986). Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan,
dan Pengendalian. Jakarta: EGC.
WHO. (2004). Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: EGC.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian secara umum yang dapat dilakukan pada pasien adalah
meliputi:
1) Identitas, meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
serta diagnosa medis.
2) Keluhan utama:
Biasanya keluhan utama klien adalah adanya demam lebih dari tiga hari
disertai dengan kelemahan dan tanda-tanda perdarahan pada kulit
seperti petekie dan mimisan.
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya klien tampak lemah dan mengeluh lemas, dan sesak. Selain itu
disertai juga dengan demam dan menggigil, anoreksia, nyeri tulang dan
persediaan, dan nyeri kepala.
4) Hasil pemeriksaan fisik
Pada kasus DHF, hasil pemeriksaan fisik sering menunjukkan gejala
demam yang terjadi secara mendadak berlangsung selama 2–7 hari,
yang dapat diserta dengan anoreksia, nyeri punggung, nyeri tulang dan
persediaan, nyeri kepala dan rasa lemah. Selain itu mudah ditemukan
tanda-tanda perdarahan pada tempat fungsi vena, petekia, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi dan purpura, serta perdarahan ringan hingga
sedang pada saluran cerna bagian atas sehingga menyebabkan
haematemesis, dengan biasanya didahului dengan nyeri perut hebat. bila
terjadi syok, hasil pemeriksaan fisik akan menunjukkan tanda gejala
berupa kulit dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari tangan
dan kaki, gelisah dan sianosis disekitar mulut, nadi cepat, lemah,
sampai tidak teraba, serta tekanan darah menurun (tekanan sistolik≤80
mmHg, diastolik≤20 mmHg).
5) Hasil pemeriksaan penunjang
Dari hasil pemeriksaan darah akan didapatkan adanya penurunan
trombosit <100.000 g/ml (trombositopenia), penurunan atau
peningkatan leukosit, peningkatan hematokrit≥20% dari hematokrit
awal, dan hipoproteinemia.
Dari hasil pemeriksaan radiologi akan didapatkan gambaran adanya
efusi pleura, pada hemitoraks kanan atau pada kedua hemitoraks,
dari hasil foto polos dada. Selain itu, asites dan efusi pleura dapat
pula dideteksi dengan pemeriksaan USG.
2. Diagnosis Keperawatan yang Mungkin Muncul
Pada kasus DHF, terdapat beberapa masalah keperawatan yang
mungkin muncul (pathway terlampir), yaitu:
a. Hipertermi b/d infeksi penyakit t/d kulit teraba panas, kulit tampak
kemerahan, takikardia, takipnea, hipotensi
b. Resiko syok b/d hipovolemia
c. PK perdarahan
d. Nyeri akut b/d agens cedera biologis t/d melaporkan nyeri secara
verbal, mengekspresikan perilaku (menangis), perubahan nafsu makan,
perubahan status TTV
e. Mual b/d distensi lambung t/d mual, peningkatan saliva
f. Keletihan b/d status penyakit t/d peningkatan keluhan fisik,
ketidakmampuan melakukan aktivitas seperti biasa, lesu
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
Rencana Tujuan dan
Kriteria Hasil
Rencana Intervensi Rasional
Hipertermi b/d
infeksi penyakit
t/d kulit teraba
panas, kulit
tampak
kemerahan,
takikardia,
takipnea,
hipotensi
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama …x 24
jam, terjadi penurunan suhu
tubuh dan tidak ada tanda-
tanda syok, dengan kriteria
hasil:
NOC Label:
Thermoregulation
1. Menggigil berkurang
2. Nyeri otot berkurang
3. Penurunan suhu kulit
4. Perubahan warna kulit
NOC Label: Vital Signs
1. Suhu tubuh dalam batas
normal (36-37,50C)
NIC Label: Temperature
Regulation
1. Monitor temperatur setiap 2
jam sekali dengan tepat.
2. Monitor tekanan darah, nadi
dan frekuensi pernafasan
secara tepat.
3. Monitor perubahan warna
kulit
4. Monitor dan laporkan tanda
dan gejala hipotermia dan
hipertermia.
5. Tingkatkan intake cairan dan
nutrisi yang adekuat.
1. Memonitor temperatur setiap 2 jam
sekali dengan tepat.
2. Memonitor tekanan darah, nadi dan
frekuensi pernafasan secara tepat.
3. Memonitor warna kulit
4. Memonitor dan laporkan tanda dan
gejala hipotermia dan hipertermia.
5. Meningkatkan intake cairan dan nutrisi
yang adekuat.
2. Frekuensi nadi dalam
batas normal
3. Tekanan darah dalam
batas normal
4. Frekuensi dan irama
nafas normal
NOC Label: Hydration
1. Turgor kulit baik
2. Membram mukosa
lembab
3. Hematocrit dalam batas
normal
4. Output urine normal
5. Fungsi kognitif baik
NIC Label: Fever Treatment
1. Anjurkan klien untuk
menggunakan selimut atau
pakaian yang menyerap
keringat
2. Berikan kompres hangat
3. Kolaborasi pemberian obat
antipiretik sesuai kebutuhan
NIC Label: Fluid management
1. Monitor kulit dan membrane
mukosa
2. Monitor hasil laboratorium
(hematocrit, trombosit dan
elektrolit)
3. Berikan cairan IV
4. Pertahankan intake cairan
per oral
1. Menganjurkan klien untuk
menggunakan selimut atau pakaian
yang menyerap keringat
2. Memberikan kompres hangat
3. Kolaborasi pemberian obat antipiretik
sesuai kebutuhan
1. Mengetahui status hidrasi
2. Mengetahui status hidrasi
3. Mempertahankan dan meningkatkan
intake cairan
4. Mempertahankan dan meningkatkan
intake cairan
5. Monitor urine output
6. Berikan produk darah jika
diperlukan (platelet dan
plasma)
5. Monitor status hidrasi
6. Mempertahankan sirkulasi
Nyeri akut b/d
agens cedera
biologis t/d
melaporkan nyeri
secara verbal,
mengekspresikan
perilaku
(menangis),
perubahan status
TTV
Setelah dilakukan asuhan
keperawatan selama…x 24
jam, diharapkan nyeri yang
dirasakan dapat teratasi,
dengan criteria hasil:
NOC LABEL:
Pain Level
1. Klien melaporkan
nyerinya berkurang
2. Durasi nyeri yang
dirasakan klien dalam
jangka waku yang
singkat
Pain Control
1. Klien mampu
NIC LABEL
Pain Management
1. Lakukan pengkajian nyeri:
P: propokatif dan paliatif
Q : quality
R: region
S: severity
T: time
2. Observasi adanya respon
nonverbal ketidaknyamanan
3. Gunakan komunikasi
terapeutik agar pasien
mengatakan pengalaman
nyeri
4. Ajarkan pasien untuk
1. Untuk menegetahui derajat nyeri yang
dirasakan oleh klien, waktu, lokasi nyeri
klien
2. Untuk mengurangi ketidaknyamanan
klien
3. Membina hubungan saling percaya
dengan pasien agar pasien nyaman
dengan perawat
4. Agar klien mampu memanajemen
menggunakan analgetik
sesuai dengan yang
dianjurkan
2. Klien mampu
menggunakan terapi
nyari nonfarmakologis
mengurangi nyeri dengan
terapi nonfarmakologi
(teknik distraksi)
5. Kolaborasi dengan tenaga
medis lain dalam pemberian
analgesic
Analgesic administration
1. Periksa medical order dari
obat, dosis, dan frekuensi
dari analgesik yang
diresepkan.
2. Periksa riwayat alergi obat.
3. Tentukan jenis analgesic,
rute pemberian, dan dosis
untuk mencapai efek
optimal
nyerinya sendiri
5. Membantu mengurangi nyeri dengan
teknik farmakologi
7. Meyakinkan kebenaran tindakan dan
menghindari efek yang tidak
diinginkan.
8. Meyakinkan klien tidak alergi terhadap
obat yang akan diberikan.
9. Efektivitas pemberian obat.
4. Monitor tanda-tanda vital
sebelum dan sesudah
pemberian
10. Mengantisipasi efek samping yang
tidak diinginkan.
Keletihan b/d
status penyakit
t/d peningkatan
keluhan fisik,
ketidakmampuan
melakukan
aktivitas seperti
biasa, lesu
Setelah diberikan asuhan
keperawatan selama ...x24
jam diharapkan
kemampuan aktivitas klien
dapat meningkat, dengan
kriteria hasil:
NOC Label: Fatique Level
1. Keletihan klien
berkurang
2. Klien tidak mengalami
gangguan konsentrasi
3. Nyeri kepala berkurang
4. Nyeri sendi dan otot
berkurang
5. Kelemahan berkurang
NIC Label: Energy
Management
1. Tentukan penyebab
keletihan
2. Kaji respon emosi, sosial
dan spiritual terhadap
aktifitas
3. Evaluasi motivasi dan
keinginan klien untuk
meningkatkan aktifitas.
4. Monitor respon
kardiorespirasi terhadap
aktifitas takikardi, disritmia,
dispnea, diaforesis, pucat.
5. Monitor asupan nutrisi
1. Untuk menghindari keletihan
2. Untuk mengetahui pengaruh emosi
social dan spiritual terhadap aktivitas
3. Untuk mengetahui keinginan klien
dalam beraktivitas
4. Untuk mengetahui perubahan respon
kardiorespirasi pasien setelah
beraktivitas
5. Untuk memastikan ke adekuatan
sumber energi.
NOC Label: Energy
Conservation
1. Klien mampu
melaksanakan aktivitas
sesuai tingkat
kemampuan
2. Klien mampu
melakukan pembatasan
aktivitas
3. Klien mampu
menghindari faktor yang
meningkatkan
pengeluaran energi
4. Klien mampu
beristirahat yang cukup
6. Letakkan benda-benda yang
sering digunakan pada
tempat yang mudah
dijangkau
NIC Label: Sleep
Enhancement
1. Monitor pola dan kebiasaan
istirahat klien (durasi,
waktu)
2. Rencanakan jadwal antara
aktifitas dan istirahat
3. Atur lingkungan (tempat
tidur, lampu)
6. Agar pasien mudah menjangkau benda
tsb untuk mengurangi jumlah energy
yang terpakai
1. Untuk mengetahui pola istirahat klien
2. Untuk mengoptimalkan penyimpanan
energi bagi pasien
3. Meningkatkan kenyamanan klien