156
i Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya SEKRETARIAT DPRD KABUPATEN CILACAP LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT (LPPM) IAIN PURWOKERTO Kerjasama Dengan

Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

i

Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Cagar Budaya

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

Page 2: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

1

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYUSUNAN NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG

CAGAR BUDAYA

A. PENDAHULUAN

Benda, struktur, dan bangunan yang memiliki nilai eksistensi

kehidupan masa lalu pada suatu wilayah atau komunitas penting

mendapat perhatian untuk memberi track pemahaman terhadap realitas

sosial dan fisik kekinian. Hal ini karena realitas sosial dan fisik terbentuk

secara evolutif dan umumnya berlangsung linier. Sehingga fakta-fakta

yang terbentuk pada masa lalu menjadi track yang autentik untuk

mengkonstruksi pemahaman realitas faktual.

Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

realitas sosial dan fisik penting di lakukan? Jawaban mendasar

pertanyaan ini adalah menjaga nilai-nilai kemanusiaan, yang hanya bisa

dilakukan apabila produktivitas masyarakat terjaga. Produktivitas

berorientasi terhadap masa depan. Pemahaman terhadap masa depan

sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia menganalisa realitas

faktual. Hal ini karena dinamika manusia bersifat historis sehingga

konstruksi masa depan sangat dipengaruhi oleh realitas yang terjadi

secara faktual ada hari ini. Proses historis secara umum berlangsung

evolutif dan linier sehingga pola pergerakan masa depan dapat dianalisis

dari tahapan-tahapan perkembangan dalam konteks sejarah yang telah

berlangsung.

Kemampuan mengantisipasi sejarah menjadi kunci bagaimana

nilai-nilai dan produktivitas manusia terjaga. Tanpa antisipasi tersebut,

sebuah masyarakat atau komunitas terancam eksistensinya karena

terlindas oleh pergerakan sejarah yang dinamis. Cerita tentang hilangnya

komunitas masyarakat sudah cukup ternarasi dalam folklor sejarah

misalnya suku-suku kecil di komunitas Jawa serta komunitas lokal yang

saat ini makin tergerus.

Page 3: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

2

Keberadaan komunitas-komunitas lokal yang menjaga

otentisitasnya cukup mengganggu kekuatan global yang secara agresif

mendesain masyarakat dunia dalam bentuk yang tunggal. Herbert

Marcuse dalam bukunya berjudul “One Dimensional Man” menganalisis

kekuatan global mendorong manusia di dunia ini masuk dalam dimensi

tunggal. Pada saat manusia berdimensi tunggal maka kekuatan global

tersebut akan mengeruk keuntungan besar karena memiliki pasar

(market) sangat besar yang bisa setiap saat dikelola, terutama untuk

mengkonsumsi komodutas-komoditas yang diciptakan. Senada dengan

Marcuse adalah analisis Francis Fukuyama dalam bukunya “The End of

History” yang meramalkan manusia berakhir pada kemenangan

kapitalisme liberal dengan indikator utamanya adalah industri dan

konsumsi dalam skala massif.

Dengan adanya agresi kekuatan dominan tersebut maka perlu

diantisipasi dengan adanya pemahaman yang utuh tentang pergerakan

perubahan sosial yang salah satunya dilakukan dengan metode historis.

Dalam konteks inilah eksistensi, narasi, dan konstruksi sosial masa lalu

penting. Hal ini karena akan memberi track yang relatif akurat untuk

memahami situasi kekinian. Salah satu basis data yang orisinal adalah

keberadaan benda, struktur, atau bangunan yang merupakan

peninggalan masa lalu dan memiliki nilai atau cerita tentang praktik-

praktik kehidupan. Benda, struktur, dan bangunan tersebut layak

dijadikan sebagai cagar budaya yang mendapat perlakuan khusus baik

dari sisi fisik maupun pemanfaatannya.

Di kabupaten Cilacap, keberadaan benda, struktur, dan bangunan

yang bernilai sejarah relatif banyak. Persoalan kemudian adalah

eksistensi benda, struktur, dan bangunan yang diduga bisa dijadikan

cagar budaya tersebut belum terkelola secara komprehensif sehingga

pemanfaatan, pengelolaan, pemeliharaan, dan pendayagunaannya belum

optimal. Apabila terdapat pengelolaan masih bersifat subsisten atau

sekedar bertahan dan berorientasi lebih kepada kepariwisataan dan

kegiatan keagamaan. Sementara untuk fungsi pendidikan,

pengembangan ilmu pengetahuan, dan kesejarahan relatif belum

Page 4: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

3

dilakukan. Dengan demikian maka keberadaan benda, struktur dan

bangunan tersebut belum mendukung bagi upaya masyarakat

memahami konteks sejarah yang penting bagi pemahaman situasi

faktual saat ini.

Dalam konteks inilah Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Cagar Budaya disusun. Tujuannya adalah untuk

mengoptimalkan sekaligus merevitalisasi benda, struktur, dan bangunan

yang berpotensi sebagai cagar budaya untuk fungsi-fungsi yang

mendukung bagi terpeliharanya produktivitas dan keberdayaan

masyarakat.

B. TUJUAN

1. Memberi pedoman kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam

mengelola, memanfaatkan, mendayagunakan, dan melestarikan cagar

budaya di wilayah Kabupaten Cilacap.

2. Memberi referensi kepada Pemerintah Daerah, masyarakat, dan para

pemangku kepentingan terkait dengan kriteria benda, struktur, atau

bangunan yang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya untuk

selanjutnya diperhatikan pengelolaan dan pelestariannya.

3. Memberi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menertibkan

pengelolaan cagar budaya dan meningkatkan apresiasi terhadap

keberadaan cagar budaya di wilayah Kabupaten Cilacap.

4. Merevitalisasi keberadaan dan pengelolaan cagar budaya di wilayah

Kabupaten Cilacap.

C. IDENTIFIKASI MASALAH

1. Keberadaan benda, bangunan, dan struktur yang diduga cagar

budaya di wilayah kabupaten Cilacap terbilang cukup banyak. Cagar

budaya merupakan hal penting mengingat fungsinya sebagai bagian

tak terpisahkan dari sebuah wilayah yang menjadi tempat

keberadaannya. Cagar budaya membentuk narasi dan konstruksi

budaya masa lalu yang penting bagi masyarakat saat ini. Dengan nilai

penting cagar budaya tersebut maka keberadaan cagar budaya harus

Page 5: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

4

didayagunakan dan dilestarikan. Di kabupaten Cilacap, benda,

bangunan, dan struktur yang diduga cagar budaya belum banyak

yang teridentifikasi secara definitif sehingga belum bisa dijadikan

sebagai dasar untuk mengkonstruksi sejarah di masa lalu. Selain itu,

jenis dan bentuk cukup beragam yang menunjukkan heterogenitas

masyarakat kabupaten Cilacap. Upaya mengidentifikasi secara

definitif cagar budaya yang berserak mendesak untuk dilakukan.

Namun demikian, kriteria dan tolok ukur tetap diberlakukan secara

ketat sehingga upaya identifikasi tersebut tidak terkesan latah dan

sporadis.

2. Pengelolaan cagar budaya di Cilacap masih bersifat spasial. Artinya

koordinasi antarpelaku baik dari pihak Pemerintah Daerah maupun

masyarakat belum terbangun secara sinergis. Implikasinya cagar

budaya yang telah ditetapkan belum bisa memberikan fungsi optimal

kepada masyarakat yang meliputi pendidikan, ilmu pengetahuan,

agama, sosial, dan kesejarahan. Konstruksi yang dinarasikan dari

cagar budaya yang ada bersifat spasial dalam arti terpisah dan belum

bisa dirangkai sebagai kesatuan utuh terkait dengan budaya dan

sejarah wilayah kabupaten Cilacap. Selain itu umumnya pengelolaan

dilakukan oleh keluarga atau pewaris dari cagar budaya yang ada.

Dalam konteks ini, koordinasi pengelolaan cagar budaya yang

dikendalikan oleh Pemerintah Daerah mendesak untuk dilakukan.

Orientasinya adalah membangun konstruksi utuh kebudayaan

Cilacap dan mengoptimalkan fungsi cagar budaya untuk kegiatan

ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, sosial, dan kesejarahan.

3. Belum banyaknya cagar budaya yang teridentifikasi secara definitif

mengakibatkan benda, bangunan, dan struktur yang diduga kuat

memiliki kualifikasi sebagai cagar budaya kondisinya terbengkelai dan

memprihatinkan. Dalam beberapa kasus dimanfaatkan secara “illegal”

oleh oknum masyarakat untuk kepentingan ekonomi jangka pendek.

Kondisi ini semakin memperparah kondisi benda, bangunan, dan

struktur yang diduga cagar budaya tersebut. Hal yang penting dan

Page 6: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

5

mendesak untuk dilakukan adalah penyelamatan dan konservasi

cagar budaya di wilayah kabupaten Cilacap.

4. Di masyarakat terdapat beberapa kelompok yang memiliki proyeksi

untuk memiliki benda-benda kuno yang dianggap memiliki

“kekeramatan”. Benda-benda ini seringkali dijadikan sebagai

komoditas ekonomi. Kanibalisasi benda-benda yang diduga memiliki

nilai sejarah mendesak untuk segera dihentikan dengan adanya

regulasi yang mengatur tentang penemuan cagar budaya.

5. Pendayagunaan dan pemanfaatan cagar budaya masih cenderung

sebagai tempat wisata dan kegiatan keagamaan. Sementara untuk

kegiatan ilmu pengetahuan, pendidikan, sosial, dan kesejarahan

relatif belum terselenggara. Hal ini karena paradigma tentang cagar

budaya masih terbatas pada hal-hal yang terkait dengan “keramat”.

Perubahan paradigma hingga pendayagunaan yang mengarah kepada

hal yang produktif menjadi persoalan yang harus segera ditangani.

D. PEMBENTUKAN TIM AHLI

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat (LPPM)

IAIN Purwokerto membentuk tim ahli yang secara khusus bersama DPRD

Kabupaten Cilacap menyusun Naskah Akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Cagar Budaya. Tim ahli terdiri dari beberapa disiplin

keilmuan yang relevan dengan isu, cakupan, dan materi naskah

akademik yang dibutuhkan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, LPPM IAIN Purwokerto

menetapkan nama-nama di bawah ini sebagai tim ahli:

1. Dr. H. Ridwan, M.Ag; Ahli bidang Hukum

2. Dr. Hj. Nita Triana, M.Si; Ahli bidang hukum

3. Ahmad Muttaqin, M.Si; Ahli bidang Sosiologi

4. Sony Susandra, M.Ag; Ahli bidang Metodologi Penelitian

5. Agus Sunaryo, M.S.I; Ahli Sosiologi Hukum

6. Misbah, M.Ag; Ahli bidang Pendidikan

Page 7: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

6

Tim ahli diatas secara administratif dibantu oleh tenaga teknis dan

lapangan sesuai kebutuhan, yaitu satu orang tenaga administrasi, satu

orang tenaga dokumentasi, dan satu orang tenaga lapangan.

E. TAHAPAN KEGIATAN

Untuk merumuskan naskah akademik Rancangan Peraturan

Daerah tentang Desa Wisata dan Strategi Pengembangan Pariwisata di

Kabupaten Cilacap, Tim Ahli IAIN Purwokerto dan Badan Legislasi

Daerah DPRD Kabupaten Cilacap mendesain dalam beberapa tahapan

kegiatan, yaitu :

1. Brainstorming pendahuluan; kegiatan ini dilakukan oleh Tim Ahli

untuk menyamakan persepsi serta konsep-konsep utama naskah

akademik yang akan disusun. Cagar budaya sebagai konsep umum

dikontekstualisasi dengan situasi spesifik yang terjadi di masyarakat

kabupaten Cilacap. Hal ini agar naskah akademik yang akan tersusun

memberi jawaban yang relatif konkret atas persoalan yang mendesak

untuk dijawab melalui kebijakan publik di daerah. Brainstorming

pendahuluan menghasilkan konsep-konsep utama terkait cagar

budaya yaitu tujuan raperda, arah pengaturan, kegiatan-kegiatan

kunci, dan partisipasi masyarakat.

2. Penyusunan draft Raperda; dari brainstorming pendahuluan

kemudian disusun draft dasar Raperda yang berisi konsep-konsep

besarnya. Draft raperda ini mengakomodasi konsep besar sekaligus

sebagai panduan bagi pembahasan setiap sessi dengan Balegda DPRD

Kab. Cilacap. Setiap sessi diharapkan dapat menyelesaikan konsep-

konsep utamanya sehingga di akhir pembahasan dapat menghasilkan

konsep naskah akademik dan raperda yang relatif final.

3. Pembahasan Raperda; tahap ini adalah pembahasan secara

kolaboratif antara tim ahli dengan Balegda DPRD Kab. Cilacap.

Konsep-konsep utama yang disusun oleh Tim Ahli kemudian

didiskusikan secara deliberatif dengan anggota balegda. Terjadi

pengawinan antara konsep teoretis dalam draft yang disusun oleh Tim

Ahli dengan realitas empiris dan politis dari Balegda. Pada ujungnya,

Page 8: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

7

kolaborasi ini akan menghasilkan sintesis atau interaksi kreatif yang

menghasilkan konsep-konsep teknis kebijakan cagar budaya.

Pembahasan antara Tim Ahli dan Balegda terjadwal 6 (enam) kali.

Setiap pasca pembahasan ini, Tim Ahli melakukan formulasi baru

untuk di-breakdown dalam susunan pasal atau ketentuan-ketentua

teknis Raperda.

4. Public Hearing / Konsultansi Publik; merupakan upaya yang

dilakukan oleh Tim Ahli dan Balegda untuk menemukan data dalam

perspektif masyaakat sekaligus mengakomodasi kepentingan serta

konsultansi kepada publik. Masyarakat diberi ruang yang cukup

untuk memberi masukan, kritik, dan saran atas naskah akademik

yang sedang disusun. Harapannya adalah Raperda yang akan

diundangkan mampu menjawab persoalan masyarakat secara akurat

dan tepat.

5. Finalisasi Draft; tahap ini merupakan proses formal terakhir dalam

pembahasan naskah akademik. Data yang diperoleh dan hasil

pembahasan baik dalam forum diskusi kolaboratif maupun public

hearing diformula sebagai konsep final Raperda. Secara konseptual,

tahap finalisasi merupakan akhir dari rumusan-rumusan kebijakan

Raperda Cagar Budaya yang dipersiakan untuk diajukan pada proses

politik berikutnya.

6. Penyusunan laporan; Tim ahli membuat laporan penyusunan naskah

akademik Cagar Budaya. Isi laporan adalah proses, substansi, dan

rumusan-rumusan konsep. Laporan disusun dalam 5 (lima) dokumen,

yaitu Laporan Pendahuluan, Laporan Akhir, Notulasi, Naskah

Akademik, dan Draft Raperda.

F. PENUTUP

Demikian beberapa hal terkait dengan laporan pendahuluan

peyusunan naskah akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang

Cagar Budaya. Beberapa isu yang berkembang sejalan dengan dinamika

pembahasan belum terkover secara deskriptif dalam laporan

Page 9: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

8

pendahuluan ini. Namun demikian secara substantif telah masuk dalam

narasi Naskah Akademik dan lampiran Rancangan Peraturan Daerah.

Atas masukan, saran, dan kritik dari berbagai pihak kami

sampaikan banyak terima kasih. Mudah-mudahan kolaborasi ini akan

memberi manfaat bagi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kami dari LPPM IAIN Purwokerto akan melakukan perbaikan

secukupnya untuk memperoleh dokumen yang paling representatif. Kami

menyampaikan permohonan maaf dan terima kasih atas kerjasama yang

baik dari semua pihak.

Purwokerto, 20 Maret 2017

Tim Ahli IAIN Purwokerto

Koordinator,

Dr. H. Ridwan, M.Ag

Page 10: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

i

Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap Tentang

Cagar Budaya

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

Page 11: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .................................................................................... 1 B. identifikasi Masalah ............................................................................. 5 C. Tujuan dan Manfaat Naskah Akademik .............................................. 6 D. Metode Analisis Naskah Akademik ..................................................... 6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS A. Kajian Teoritis ..................................................................................... 8 B. Praktik Empiris .................................................................................. 13

BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT .................................................. 17 BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. Kajian Filosofis .................................................................................. 27 B. Kajian Sosiologis ............................................................................... 32 C. Kajian Yuridis .................................................................................... 35

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase ............................... 42 B. Rumusan Materi Peraturan Daerah ................................................... 45

BAB VI PENUTUP ........................................................................................ 47 LAMPIRAN

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG CAGAR BUDAYA

Page 12: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting

artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Mengingat nilai penting dan sifatnya sebagai

sumberdaya tak terbarukan, cagar budaya harus dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Suatu warisan budaya merupakan representasi dari sejarah yang telah dialaminya, sehingga memahami warisan budaya sebagai peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk

memahami sejarah yang terjadi di dalamnya. Memahami sejarah suatu warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan

masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang dan memberi gambaran akan masa depan (understanding the present and representing the future). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

warisan budaya mempunyai peran penting sebagai identitas nasional di masa lalu, masa kini dan masa mendatang.1

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin

kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh

seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat

bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Indonesia diyakini sebagai salah satu negara yang merupakan mozaik pusaka budaya terbesar di dunia, warisan budaya tersebut terlihat maupun tidak terlihat, yang terbentuk oleh alam ataupun oleh

akal budi manusia, serta interaksi antar keduanya dari waktu kewaktu. Keanekaragaman warisan budaya tersebut memilki keunikan tersendiri, baik yang tumbuh dilingkungan budaya tertentu, maupun hasil

percampuran antar budaya baik diwaktu lampu, saat ini maupun nanti, yang menjadi sumber inspirasi, kreativitas dan daya hidup. Warisan

budaya atau lazimnya disebut sebagai pusaka tidak hanya berbentuk artefak saja tetapi juga berupa bangunan-bangunan, situs-situs, serta

1 Yilita Titik S, Y Trihoni Nalesti dan B Tyas Susanti, “ Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya

Berbasis Partisipasi Masyarakat Sebagai Upaya Pelestarian Warisan Budaya, Seri Kajian Ilmiah,, Volume 14,

Nomor 11, Januari 2011, hal. 53.

Page 13: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

2

sosial budaya, dari bahasa hingga beragam seni dan oleh akal budi manusia.2

Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan

nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa. Berdasarkan

amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya

warisan budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.

Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Kemudian, dijelaskan pula bahwa pengelolaan cagar budaya merupakan

upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan, pelestarian

cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkannya.3

Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan

secara menyeluruh.4 Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup

nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya. Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi

berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap

seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas

2 Riya Yanuarti “ Perlindungan Hukum terhadap karya Arsitektur Cagar Budaya Di Tinjau dari

Undang-Undang Nomor 19 tahun 2002 Tentang Hak Cipta” Tesis Magister Kenotaritan Program Pascasarjana

UNDIP Semarang tahun 2007 hal. 19-20. 3 Khalid Rosyadi, Mochamad Rozikin, Trisnawati, “Analisis Pengelolaan dan Pelstarian Cagar Budaya

Sebagai Wujud Penyelenggaraan Urusan Wajib Pemerintah Daerah (Studi pada Pengelolaan dan Pelestarian

Situs Majapahit Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto)”, Jurnal Administrasi Publik (JAP), Vol. 2, No. 5,

hal. 832. 4 Yilita Titik S, Y Trihoni Nalesti dan B Tyas Susanti, “ Model Pengelolaan Bangunan Cagar Budaya,

hal. 53-54.

Page 14: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

3

mengenai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monument mati (dead monument) dan yang sifatnya sebagai monumen hidup (living monument).

Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan

fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya. Ketika ditemukan, pada umumnya warisan

budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi seperti semula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan

pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut, terutama pengaturan mengenai pemanfaatan monumen mati

yang diberi fungsi baru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan monument hidup juga harus memperhatikan aturan hukum adat dan norma sosial yang berlaku di

dalam masyarakat pendukungnya. Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui.

Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya.

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian kawasan cagar budaya adalah keterlibatan masyarakat atau komunitas setempat secara sukarela dalam proses pembuatan keputusan, menentukan kebutuhan,

menentukan tujuan dan prioritas, mengimplementasikan program, menikmati keuntungan-keuntungan dari program tersebut, dan dalam

mengevaluasi program. Keterlibatan tersebut disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Bentuk partisipasi masyarakat ada dua macam, yaitu partisipasi

langsung dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi langsung berupa sumbangan tenaga. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa

konsultasi, sumbangan uang, dan sumbangan barang dalam bentuk material bangunan.5

Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis. Pelestarian Cagar

Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta

masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paradigma baru tersebut mendorong dilakukannya penyusunan Undang-Undang yang

tidak sekadar mengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dan kawasan,

5 Volare Amanda Wirastari dan Rimadewi Supriharjo, “Pelestarian Kawasan cagar Busaya Berbasis

Partisipasi Masyrakat (Studi Kasus Kawasan Cagar Budaya Bubuan Surabaya”, JURNAL TEKNIK ITS Vol. 1,

No. 1, (Sept. 2012) ISSN: 2301-9271, hal. 65.

Page 15: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

4

serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas dimunculkan. Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung

pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Disadari sepenuhnya bahwa sistem pengelolaan terhadap Cagar Budaya diakui masih belum optimal, masing-masing instansi terkadang

masih ego sektoral. Semua aspek managemen mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengorganisasian, serta pengawasannya masih berjalan sendiri-sendiri. Kelemahan lain adalah masih rendahnya

kesadaran dan kepedulian sebagian masyarakat terhadap nilai penting Cagar Budaya. Hal ini dibuktikan dengan masih maraknya tindak pelanggaran terhadap upaya perlindungan Cagar Budaya di beberapa

daerah, misalnya pencurian, pemalsuan, pembawaan Cagar Budaya ke luar negeri secara illegal, corat-coret pada batu-batu Candi.

Pengelolaan cagar budaya tidak hanya didasarkan pada regulasi dalam bentuk Undang-undang saja,, namun pemerintah daerah dengan kewenangannya dalam menyelenggarakan urusan pe-merintahan berhak

membuat regulasi khusus sebagai aturan dalam pengelolaan cagar budaya. Kemudian, dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan

khususnya mengenai pengelolaan cagar budaya tentunya pendanaan atau anggaran menjadi hal yang sangat krusial. Sehingga pengelolaan cagar budaya menyangkut dua aspek yaitu regulasi, dan anggaran.

Selain pengelolaan cagar budaya, juga dilakukan pelestarian. Untuk melakukan pelestarian terhadap cagar budaya maka perlu adanya

perlindungan terhadap cagar budaya. Menurut UU No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya perlindungan terdiri dari penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran.6

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Oleh karena itu, untuk menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di

wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya. Ihtiar pelestarian

cagar budaya dimaksudkan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antarakepentingan akademis, ideologis,

dan ekonomis.

Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem

manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya

sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas. Dengan mendasarkan pada laratbelakang pemikiran ini maka diperlukan perangkat hukum sebagai rujukan bersama antara pemerintah daerah

dan masyarakat dalam bentuk peraturan daerah tentang cagar budaya.

6 Khalid Rosyadi, Mochamad Rozikin, Trisnawati, “Analisis Pengelolaan dan Pelstarian Cagar Budaya

Sebagai Wujud Penyelenggaraan Urusan Wajib Pemerintah Daerah”, hal. 832.

Page 16: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

5

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa

masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :

1. Besarnya khazanah kebudayaan Indonesia yang termanipestaikan dalam beragam warisan budaya masyarakat antara lain melalui

benda-benda bersejarah tidak berbanding lurus dengan kuatnya kesadaran masyarakat untuk melestarkan, melindungi dan

memanfaatkan cagar budaya. Faktor utama dari realitas ini adalah karena minimnya pengetahuan masyarakat tentang apa itu cagar budaya, bagaiamana cara melindunginya dan konsekuensi-

konsekuensi hukum yang timbul disebabkan merusak cagar budaya.

2. Cagar budaya sebagai sebuah asset bangsa belum diposisikan sebagai narasi sejarah yang mampu menghubungkan masa lalu

dengan masa yang akan datang. Cagar budaya lebih dipahami sebagai barang antik yang mungkin hanya dipahami dengan

pendekatan ekonomi saja. Paradigma tentang cagar budaya sebagai sebuah benda fosil menjadikan penyikapan masyarakat sebatas perlindungan yang masih minim dan belum samapai pada upaya

pemanfaatan secara maksimal. Paradigma baru dalam pengelolaan Cagar Budaya di Indonesia adalah menggunakan Integrated Management System, yaitu sistem pengeloilaan Cagar Budaya yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan

3. Disadari sepenuhnya bahwa sistem pengelolaan terhadap Cagar Budaya diakui masih belum optimal, masing-masing instansi

terkadang masih ego sektoral. Semua aspek managemen mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengorganisasian, serta pengawasannya masih berjalan sendiri-sendiri. Sesuai dengan

Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, pengelolaan Cagar Budaya harus dilakukan oleh Badan Pengelola

yang terdiri dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat termasuk kalangan perguruan tinggi. Paradigma baru dalam pengelolaan Cagar Budaya di Indonesia adalah

menggunakan Integrated Management System, yaitu sistem pengeloilaan Cagar Budaya yang dilakukan secara terencana,

terpadu, dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan.

4. Faktor sumber daya manusia menjadi masalah penting dalam upaya pelestarian Cagar Budaya sehingga sebagian besar Cagar Budaya dan

Situs tersebut kurang terawat.Tenaga-tenaga trampil bidang pemetaan, penggambaran, pemugaran, konservasi dan analisis laboratorium Cagar Budaya Di samping itu, penguasaan peralatan

teknologi informasi [hardware dan software] untuk teknis pelaksanaan registrasi dan penetapan juga masih merupakan

kendala yang harus segera diatasi. Masalah potensi Cagar Budaya Bawah Air yang masih kurang dipahami oleh tenaga teknis yang ditempatkan di lapangan, mengakibatkan sering hilangnya aset

budaya tersebut.

Page 17: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

6

C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik

Tujuan dari Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya ini adalah untuk melakukan penelitian atau pengkajian terkait perlindungan, pelstarian dan pemanfataan cagar budaya di wilayah Kabupaten Cilacap dalam bentuk

pembentukan regulasi yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya.

Manfaat Perlindungan dan pelestarian cagar budaya dapat dilihat dari tiga perspektif :

1. Ideologi, yaitu yang terkait erat dengan muatan untuk mewujudkan

“cultural identity”; Dengan menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi

akan dapat menumbuhkan jati diri bangsa, sehingga masyarakat dapat bersikap lebih kritis terhadap sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.

2. Ekonomik, secara ekonomik, pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk

dapat bersamasama dalam menciptakan produk pelestarian cagar budaya yang berkualitas yang berimplikasi pada peningkatkan perolehan pendapatan dan penghasilan, baik bagi masyarakat luas

maupun bagi pemerintah. 3. Akademik secara akademik, pelestarian dan pemafaatan

sumberdaya arkeologi di sekitar kompleks makam Imogiri dapat dijadikan suatu model pelestarian dan pemanfaatan dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan

untuk rakyat. Secara yuridis Peraturan daerah ini menjadi rujukan hukum bagi

pemerintah kabupaten dalam melestarikan, melindungi dan memanfaatkan cagar budaya sehingga ada kepastian hukum. Perda ini juga menjadi rujukan masyarakat dalam berpartisipasi melindungi dan

memanfaatkan cagar budaya di wilayah kabupaten Cilacap. Dengan demikian, naskah akademik ini diharapkan memiliki

kemanfaatan sebagai landasan, pedoman, dan arahan dalam

membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang cagar budaya.

D. Metode Analisis Naskah Akademik

Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah

metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai

bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya.

Metode ini didasari oleh sebuah teori bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tidak hanya berlandaskan pada kaidah-kaidah teoritis, akan tetapi juga berlandaskan pada kenyataan yang ada dalam

kehidupan masyarakat.

Page 18: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

7

Secara sistematis, penyusunan naskah akademis ini meliputi tahapan-tahapan :

1. Identifikasi permasalahan terkait fenomena aktifitas pengelolaan, pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya di Kabupaten Cilacap.

2. Inventarisasi bahan hukum yang terkait.

3. Sistematisasi bahan hukum

4. Analisis bahan hukum, dan

5. Perancangan dan penulisan

-- --

Page 19: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

8

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK

A. Kajian Teoritis

Hadirnya undang-undang baru yang mengatur tinggalan arkeologi

di bulan November tahun 2010 telah menjadi bahan pembicaraan yang cukup hangat. Perubahan pola pikir antara Undang-Undang RI Nomor 5

Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (UU-BCB) dengan Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB) yang berbeda menimbulkan beberapa pertanyaan di kalangan praktisi

maupun akademisi. Diantaranya adalah pertanyaan pengaruhnya terhadap ilmu arkeologi serta upaya pelestarian tinggalan purbakala yang selama ini diatur menggunakan undang-undang. Pada bagian ini

disajikan kajian teoritis dalam konteks beberapa tugas baru Pemerintah Daerah dalam mengelola Cagar Budaya sebagai warisan budaya daerah.

1. Pengantar

Tanggal 24 November 2010 merupakan hari yang bersejarah bagi kebudayaan bangsa Indonesia. Tanggal ini bersejarah karena

menjadi patokan berlakunya peraturan perundang-undangan baru, yaitu Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-BCB).

Selama tahun 2010, DPR-RI bersama dengan Pemerintah berupaya menata kembali berbagai aturan tentang cagar budaya

yang pada tahun sebelumnya dirasakan memiliki banyak kelemahan. Di antara keluhan yang disampaikan kepada DPR misalnya; a) pengaturan yang terlalu ketat membatasi upaya pelindungan benda

cagar budaya oleh masayarakat, walaupun objek yang dilindungi itu adalah miliknya; b) penjualan benda cagar budaya dianggap sebagai

pelanggaran hukum; c) tidak ada keuntungan langsung bagi pemilik benda cagar budaya apabila mereka aktif melakukan pelestarian; atau d) munculnya dikotomi hukum antara undang-undang yang

melarang pemanfaatan cagar budaya bawah air dengan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tetapi membolehkan.

Dari hal tersebut di atas, kesan masyarakat yang paling penting

untuk dicatat adalah bahwa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya ialah secara keseluruhan sangat

berorientasi pada kewenangan Pemerintah Pusat. Peran Pemerintah Daerah dan masyarakat sebagai pemilik benda cagar budaya sangat sedikit disinggung di dalamnya, sifat larangan yang konservatif

dalam hal tertentu seperti untuk mempertahakan eksistensi benda cagar budaya dianggap baik, akan tetapi pada sisi yang lain seperti

kewajiban Pemerintah Pusat sendiri kepada masyarakat nyaris tidak diatur secara rinci di dalamnya.

Kendala ini dirasakan sebagai ketimpangan yang perlu segera

diperbaiki untuk mencapai tujuan bersama, yaitu terpeliharanya

Page 20: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

9

benda cagar budaya oleh semua pemangku kepentingan (stake holders).

Akhirya disimpulkan oleh Komisi X DPR-RI bahwa mereka tidak akan memperbaiki UU-BCB, melainkan membuat undang-undang

baru yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB).

2. Dasar Hukum dan Paradigma

Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan

kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Kutipan ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman kehidupan bernegara. Pertama, adalah pengertian tentang

kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam

konstelasi peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan miliknya.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam menyusun pasal-pasal berisi perintah, larangan, anjuran,

pengaturan, dan hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu mewarnai kalimat dan susunan pasal

dalam Undang-Undang Cagar Budaya.

Fokus pengaturan untuk kepentingan ilmu (arkeologi) dan seni

yang selama puluhan tahun menjadi perhatian, yaitu sejak keluarnya Monumenten Ordonnatie tahun 1938 yang disusun Pemerintah Kolonial Belanda, mulai tahun 2010 perhatian ini lebih

terfokus kepada persoalan upaya konkrit meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban bangsa

menggunakan tinggalan purbakala. Ini adalah misi sebenarnya dari penyusunan Undang-Undang Cagar Budaya.

3. Pertimbangan Kemanfaatan

Setidaknya ada 4 pertimbangan pokok yang dipakai DPR-RI ketika merumuskan Undang-Undang Cagar Budaya. Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat

kehidupan rakyat banyak; kedua, dari sisi tanggungjawab publik, pelestarian cagar budaya adalah “kewajiban” semua orang; ketiga,

dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus membuka peluang upaya pengembangan dan pemanfaatannya oleh

Page 21: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

10

masyarakat; dan keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah “meringankan beban” pelestarian yang ditanggung oleh masyarakat.

4. Pengertian Pelestarian Perubahan paradigma ini masih diikuti oleh berubahnya arti

“pelestarian”. Kalau semula diartikan sempit sebagai tugas

pelindungan semata, kali ini dilihat sebagai sebuah sistem yang menghubungkan unsur pelindungan, pemanfaatan, dan

pengembangan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk seterusnya kata “pelestraian” dilihat sebagai unsur yang dinamis bukannya statis, dimana setiap unsur berperan

memberikan fungsi kepada unsur lain, sebagaimana dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Keterangan:

Pl = pelindungan Pb = pengembangan

Pf = pemanfaatan

Pelindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada

akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik (feedback) pada upaya pelindungan. Unsur ini berhubungan langsung dengan fisik

(tangible) cagar budaya yang menjadi bukti masa lalu. Sebaliknya unsur pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-

potensi (intangible) yang menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan. Kegiatannya bukan dalam bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek misalnya,

melainkan upaya pengembangan informasi, penyusunan bahan edukasi, atau sebagai objek wista. Hal ini berbeda dengan kegiatan

pada unsur pemanfaatan yang juga menyentuh fisik dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, bedanya ialah pada unsur ini kegiatannya terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk

menyesuaikan kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.

5. Kewenangan Pemerintah Daerah Pemberian kewenangan yang cukup besar kepada Pemerintah

Daerah dapat dilihat pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11

Page 22: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

11

Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Di situ disebutkan 16 kewenangan sebagai berikut:

1. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya; 2. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor

dan wilayah;

3. menghimpun data Cagar Budaya; 4. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

5. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya; 6. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya; 7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum; 9. mengelola Kawasan Cagar Budaya; 10. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis bidang

pelestarian, penelitian, dan museum; 11. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan; 12. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah

melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

13. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan pengamanan;

14. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

15. menetapkan batas situs dan kawasan; dan 16. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau

musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Kewenangan yang sama juga diberikan kepada Pemerintah Pusat, kecuali 5 kewenangan yang bersifat pen-gaturan di tingkat nasional, yaitu:

1. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;

2. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah

perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;

3. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;

4. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan

5. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya. Selain itu, Unit Pelaksana Teknis yang merupakan kepanjangan

tangan dari Pemerintah Pusat seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Balai Arkeologi tidak termasuk yang diserahkan kewenangannya

kepada Pemerintah Daerah. Namun Undang-Undang Cagar Budaya memberi peluang bagi Pemerintah Provinsi atau Pemerintah

Page 23: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

12

Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) menurut kebutuhan. Daerah

bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau melakukan peringkat kepentingan terhadap cagar budaya yang berada di wilayah administrasinya masing-masing.

6. Tim Ahli Cagar Budaya dan Tenaga Ahli Pelestarian Akan tetapi sebelum kewenangan tersebut dapat dilakukan,

tugas pertama adalah menetapkan objek yang didaftarkan sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya. Objek-objek yang ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sendirinya menjadi subjek

pengaturan undang-undang, sebaliknya yang bukan cagar budaya tidak diatur lebih jauh oleh undang-undang.

Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menjadi pejabat yang

menandatangani penetapan itu, oleh karena itu mulai tahun 2010 status objek sebagai cagar budaya mempunyai kekuatan hukum

karena pemiliknya akan menerima dua jenis surat: 1) Surat Keterangan Status Cagar Budaya, dan 2) Surat Keterangan Kepemilikan. Kedua surat ini dapat dikeluarkan setelah penetapan

dilakukan kepala daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota untuk menangani

pendaftaran cagar budaya. Anggota Tim Ahli dididik dan diberi sertifikat oleh Pemerintah Pusat sebelum “dipekerjakan” oleh

Pemerintah Daerah. Komposisi anggota Tim Ahli diharapkan 60% dari unsur masyarakat dan 40% dari unsur pemerintah.

Jadi, menurut undang-undang, koleksi milik seseorang, hasil

penemuan, atau hasil pencarian baru dapat dinyatakan sebagai cagar budaya setelah melalui kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi yang disebut sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang kini tengah

dipersiapkan untuk dike-luarkan oleh Presiden RI. Tugas tim yang bekerja di bawah koordinasi instansi bidang kebudayaan ini adalah mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum

diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya. Untuk objek yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya,

undang-undang juga melindungi “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan layaknya cagar budaya. Pendugaan ini dilakukan oleh Tenaga Ahli, bukan oleh

Tim Ahli. Tenaga Ahli adalah orang-orang tertentu seperti arkeologi, antropologi, geologi, sejarah, atau kesenian yang diberi sertifikat oleh

negara menjadi ahli setelah melalui pegujian. Pengaturannya dilakukan dalam Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini masih tengah dipersiapkan. Maksud dari pelindungan terhadap “Objek

Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” ini adalah supaya kemungkinan untuk menjadi cagar budaya dapat dipertahankan sampai dengan keluarnya penetapan oleh kepala daerah.

Undang-undang juga mensyaratkan bahwa pelestarian hanya dapat dilakukan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli, setelah

Page 24: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

13

objek yang akan dilestarikan dibuat dokumentasinya dan studi kelayakannya. Posisi Tenaga Ahli di kemudian hari akan memegang

peranan strategis dalam upaya pelestarian cagar budaya yang dimotori masyarakat. Oleh karena itu pendidikan mereka menjadi prioritas Pemerintah Pusat.

Dengan demikian peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam 10 tahun ke depan diharapkan akan mampu melakukan

sendiri pelestarian cagar budaya. Hal ini menarik untuk disimak mengingat Tenaga Ahli yang dimaksudkan dalam undang-undang dapat bekerja di lingkungan pemerintahan, perorangan, lembaga

swasta, LSM, atau unsur masyarakat hukum adat. Sinergi para ahli ini diharapkan mampu mempertahankan warisan budaya di seluruh Indonesia sebagai bagian dari upaya mempertahankan dan

membangun karakter bangsa. 7. Urgensi Pelestarian Cagar Budaya

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari

pemanfaatan yang tidak memperhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status “kepurbakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda,

bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan

terus berkurang tanpa dapat dicegah. Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada

Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan

budaya dari wilayah Indonesia. Presepsi bahwa cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual

belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi mendatang.

Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui

pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi undang-undang ini dapat direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat

daerah mampu menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi mendatang.

B. Praktek Empiris

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Cilacap, saat ini tengah menginventarisasi benda cagar budaya di Cilacap. Inventarisasi dilakukan, agar benda maupun bangunan yang diduga sebagai cagar

budaya dapat terjaga kelestariannya.

Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Cilacap mengklaim

bahwa saat ini pihaknya telah berhasil mendata sekitar 101 obyek cagar budaya. Bentuknya beragam, mulai dari bangunan, makam, hingga

Page 25: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

14

prasarana transportasi seperti stasiun. Meski telah diusulkan kepada pemerintah pusat, namun sejauh ini baru enam cagar budaya yang

telah masuk dalam registrasi nasional. Yakni Kantor Disparbud Cilacap, Komplek Pemakaman Kristen Kerkhoff, Makam Hong Bangkong Suralaka, Lonceng Kuno, Pintu Gerbang Kantor Bupati Cilacap, dan

Tempat Tidur Bupati I. Sedangkan benda cagar budaya lain, saat ini masih dikaji oleh tim ahli budaya, sebelum didaftarkan ke pemerintah

pusat, dan mendapatkan SK cagar budaya.

Tim ahli budaya ini dibentuk di Kabupaten Cilacap, dan telah

mendapatkan SK Bupati. Tugasnya tidak lain, yakni untuk melakukan inventarisasi dan verivikasi terhadap benda-benda yang diduga cagar budaya. Untuk dapat ditetapkan sebagai benda cagar budaya, sebuah

benda harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, dan memiliki arti khusus bagi sejarah. Selain itu, benda cagar budaya dapat

menjadi sumber ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian

bangsa.

Beberapa benda, bangunan, struktur, situs atau kawasan yang

kuat diduga sebagai cagar budaya antara lain; stasiun kereta api cilacap, benteng pendem, dan masih banyak yang lainnya.

Balai Arkeologi Yogyakarta akan kembali melakukan penelitian bangunan peninggalan sejarah Perang Dunia Kedua, beberapa di antaranya adalah beberapa benteng yang ada di Kabupaten Cilacap.

Penelitian tersebut dilakukan sebagai amanat menjawab permasalahan terutama tentang peradaban masa lalu. Jadi setiap situs atau objek

cagar budaya berbeda masalahnya. Dan tidak ada yang tidak penting.

Lain halnya dengan Stasiun Kereta Api Cilacap yang memiliki

sejarah yang cukup strategis tentang Cilacap. Deskripsi kesejarahan Stasiun Kereta Api Cilacap ini terbentang dalam kurun waktu sekitar 200 tahunan.

Sejak diberlakukannya sistem tanam paksa atau cultuur stelsel, pemerintah Belanda menghadapi kendala baru yaitu meningkatnya

jumlah produksi beberapa tanaman yang berimbas pada menumpuknya hasil pertanian dilumbung-lumbung penyimpanan karena terkendala masalah distribusi. Jika terlalu lama disimpan, hasil pertanian tersebut

akan berkurang kualitasnya sehingga akan mempengaruhi nilai jualnya. Oleh sebab itulah pemerintah Belanda berupaya untuk

mencari alat transportasi baru guna memperlancar proses distribusi hasil pertanian.

Kehadiran kereta api serta trem di Jawa dan Sumatera merupakan salah satu upaya untuk menjawab masalah pengangkutan hasil bumi dari daerah pedalaman. Gagasan menggunakan armada

kereta api, yang pada awalnya difungsikan untuk distribusi barang dan keperluan militer, pada awalnya diusulkan oleh Kolonel Jhr. Van Der

Wijk pada tahun 1840. Gagasan tersebut tidak langsung dilaksanakan oleh pemerintah karena menuai banyak pertentangan.

Page 26: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

15

Stasiun Cilacap merupakan stasiun kereta api yang terletak paling selatan di Daerah Operasi (DAOP) 5 Purwokerto. Selain itu,

stasiun yang terletak tak jauh dari Pelabuhan Cilacap tersebut juga merupakan stasiun terakhir pada jalur Maos-Cilacap. Pembangunan Stasiun Cilacap erat kaitannya dengan keberadaan Pelabuhan Cilacap

yang telah ada sebelumnya. Penyambungan rel dari Stasiun Cilacap ke Pelabuhan Cilacap ditetapkan pada tahun 1888 oleh Departemen

Pekerjaan Umum. Stasiun Cilacap dibangun oleh pemerintah sebagai fasilitas pengangkutan hasil bumi dari kegiatan cultuur stelsel di daerah Wonosobo, Purworejo, dan sekitarnya. Hasil bumi dari berbagai

area tersebut diangkut ke Pelabuhan Cilacap untuk kemudian dipasarkan hingga ke Eropa.

Jalur Yogyakarta-Cilacap mulai dibangun oleh perusahaan kereta api negara Staats Sporwegen (SS) pada tahun 1879 dan selesai tahun 1887. Kala itu SS dikepalai oleh David Maarschalk, seorang pensiunan

kolonel, dan berada dibawah naungan Burgerlijke Openbare Werken (BOW).

Jalur Yogyakarta-Cilacap merupakan perpanjangan jalur kereta api Kemijen-Tanggung-Yogyakarta. Jalur ini memiliki panjang 187, 283

Km yang dalam pembuatannya menghabiskan biaya 14.709.074,75 gulden. Setelah selesai dibuat, jalur tersebut kemudian diresmikan pada tanggal 16 Juli 1887 oleh Gubernur Jenderal Otto van Rees.

Alasan pemerintah membuka jalur Yogyakarta-Cilacap.

Potensi cagar buadaya lainnya antara lain temuan di sebuah

pegunungan di Desa Salebu, Kecamatan Lakbok, Majenang, Cilacap. Di lokasi tersebut ditemukan sebuah situs kuno yang juga disebut warga

sekitar sebagai Gunung Padang. Situs megalitikum ini menampilkan struktur balok-balok batu segi empat, segi lima dan segi enam yang rebah ke arah timur.

Panjang rata-rata balok batu ini tiga sampai empat meter, tersusun sampai ketinggian 30 meter, lebar 15 meter dan panjang 20

meter. Di sisi sebelah barat terdapat sebuah makam yang menurut warga sekitar adalah pembuat situs dan konon masih trah keturunan Kerajaan Pajajaran.

Di sebelah kiri dan kanan situs ini terdapat masing-masing gua. Juru kunci situs, Suganda, menyebut, gua sebelah kanan

mengeluarkan wangi harum, sementara yang di sebelah kiri berbau amis. Gua-gua ini menjadi sasaran pertama atau peziarah belakangan

ini ramai berkunjung.

Untuk menuju ke lokasi situs Gunung Padang dari Ibu Kota

Kecamatan Majenang butuh waktu empat jam menuju ke desa terakhir yaitu Desa Cibeunying. Selanjutnya dari desa terakhir menuju ke lokasi situs yang terletak di Desa Salebu harus berjalan kaki selama satu jam

melintasi hutan.

Saat ini, kondisi lokasi yang diduga cagar budaya tersebut sangat

memprihatinkan dan tidak terawat. Hingga saat ini belum pernah ada

Page 27: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

16

perhatian dari pemerintah daerah untuk melakukan perhatian terhadap situs yang memiliki nilai sejarah yang tinggi ini.

Yang dilakukan baru sebatas inventarisasi. Dalam hal ini, baru dilakukan pendataan awal terhadap benda dan bangunan yang

terindikasi sebagai cagar budaya. Pendataan tersebut melibatkan para pamong budaya yang tersebar di setiap kecamatan.

Harus diakui masih adanya kelemahan dalam proses pendataan benda dan bangunan yang diduga sebagai cagar budaya. Belum ada petugas yang benar-benar memahami masalah benda cagar budaya,

sehingga baru sebatas pendataan awal yang dilakukan oleh pamong budaya. Hingga saat ini, petunjuk resmi terkait dengan benda atau

bangunan yang dapat dimasukkan sebagai cagar budaya masih sangat minim diperoleh oleh pemerintah daerah. Selain itu, pihak pemerintah daerah juga terkendala jika benda atau bangunan yang diduga cagar

budaya tersebut milik pribadi.

Kendati demikian, pihak pemerintah daerah telah mendata

beberapa bangunan yang diduga sebagai cagar budaya, seperti Benteng Pendem, Stasiun Cilacap, dan Pendopo Wijayakusuma Sakti Kabupaten Cilacap.

Di antara bangunan-bangunan tersebut, baru Benteng Pendem yang telah diusulkan untuk ditetapkan sebagai cagar budaya.

Keberadaan benteng ini sebagai benteng pertahanan menunjukan bahwa Cilacap memegang peranan penting bagi Belanda terutama pada

pelabuhan laut yang merupakan jalan keluar masuk komoditi Belanda sehingga sangat perlu dijaga keamanannya.

Masih banyak cagar budaya di Kabupaten Cilacap yang belum terdaftar. Padahal semestinya semua cagar budaya yang ada harus terdaftar dan mendapat perawatan dari pemerintah. Mengingat, semua

cagar budaya memiliki nilai sejarah yang tinggi.

Selain itu, Pemerintah Kabupaten Cilacap juga memiliki kebijakan

bahwa pembangunan cagar budaya ini untuk menjaga kearifan lokal yang menjunjung tinggi nilai keberagaman. Dengan demikian konflik

sektarian bisa diredam.

-- --

Page 28: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

17

BAB III

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT

Persoalan mengenai benda, situs, atau kawasan cagar budaya di Indonesia sudah menjadi persoalan nasional mengingat keberadaan fungsi

dan manfaatnya yang begitu besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Terkait dengan hal ini, beberapa regulasi perundang-undangan

disusun guna melindungi dan melestarikan Cagar Budaya di Indonesia. Di antara regulasi perundang-undangan tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945

Persoalan kebudayaan, disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) yang menyatakan: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.”

Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya budaya, baik budaya yang bersifat tangible (berwujud) maupun intangible (tidak berwujud). Budaya yang berwujud merupakan

hasil dari cipta karya manusia berupa benda-benda ataupun bangunan yang mempunyai bentuk dan fungsi tertentu. Benda inilah yang

kemudian disebut dengan cagar budaya. Sedangkan budaya yang tidak berwujud dapat berupa nilai-nilai, tradisi, cerita, bahasa, adat istiadat dan lain sebagainya. Kekayaan akan kedua jenis budaya ini

membentang dari wilayah barat Indonesia (Aceh) hingga bagian paling timur (Papua).

Baik budaya yang berwujud maupun tidak berwujud dalam kondisi tertentu seringkali terusik bahkan terancam keberadaanya karena faktor usia, kondisi alam dan cuaca, bahkan karena ulah

manusia. Karenanya, pasal 32 ayat (1) UUD 1945 hadir dalam konteks melindungi dan melestarikan kedua jenis budaya tersebut.

Dalam pasal 28 ayat (1) juga disebutkan: “ Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.” Pasal ini jelas menegaskan bahwa budaya

sebagai identitas suatu kelompok masyarakat harus dihormati dan dijunjung tinggi. Penghormatan yang dilakukan tentu dengan tetap mengedepankan semangat kekinian dan nilai-nilai peradaban yang ada.

2. Undang-Undang Nomor 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan

Meskipun tidak secara khusus mengatur mengenai cagar budaya, Undang-Undang ini memiliki pasal yang berkaitan dengan cagar budaya, yaitu pasal 4 ayat (1) yang menyatakan:

Page 29: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

18

a. Objek dan daya Tarik wisata ciptaan Tuhan yang Maha Esa yang berwujud keadaan alam serta flora dan fauna.

b. Objek dan daya Tarik wisata hasil karya manusia yang berwujud museum, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, seni budaya, wisata agro, wisata tirta, wisata buru, wisata petualangan alam,

taman rekreasi, dan tempat hiburan.

Pada tanggal 6 Januari 2009 lahir UU Kepariwisataan yang baru,

yaitu UU No. 10 Tahun 2009. Dalam konteks UU kepariwisataan ini Cagar budaya diposisikan sebagai elemen penting dalam kepariwisataan. Bahkan, salah satu pertimbangan penetapan UU kepariwisataan

tersebut antara lain dikarenakan peninggalan sejarah dan purbakala merupakan sumber daya dan modal yang besar bagi usaha pengembangan dan peningkatan kepariwisataan serta dalam rangka

memperkaya kebudayaan nasional dan memantapkan pembinaannya dalam rangka memperkukuh jati diri bangsa.

3. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya

Undang-Undang nomor 5 tahun 1992 adalah peraturan

perundang-undangan pertama yang secara spesifik mengatur mengenai cagar budaya. Hal ini nampak misalnya dalam pasal:

a. Pasal 13:

1) Setiap orang yang memilik atau menguasai benda cagar budaya wajib melindungi dan memeliharanya

2) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan dengan memperhatikan nilai sejarah dan keaslian bentuk serta

pengamanannya.

b. Pasal 15:

1) Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.

2) Tanpa isu dari pemerintah setiap orang dilarang:

a) Membawa benda cagar budaya ke luar wilayah Republik Indonesia.

b) Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke

daerah lainnya.

c) Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya baik

sebagian maupun seluruhnya, kecuali dalam keadaan darurat.

d) Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda

cagar budaya

e) Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya.

Page 30: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

19

f) Memperdagangkan atau memperjualbelikan atau memperniagakan benda cagar budaya.

3) Pelaksanaan ketentuan dan perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

c. pasal 17

1) Setiap kegiatan yang berkaitan dengan penetapan suatu lokasi sebagai situs disertai dengan pemberian ganti rugi kepada

pemilik tanah yang bersangkutan.

2) Pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Berdasarkan ketiga pasal di atas, jelas sekali bahwa pemerintah memberikan perhatian serius terhadap eksistensi dan kelestarian cagar

budaya. Perhatian tersebut diwujudkan dalam upaya inventarisasi, pernghargaan bagi yang meletarikan, dan perlindungan terhadap cagar

budaya.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya

Undang-Undang ini adalah perubahan atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1992. Point penting dalam aturan yang diubah adalah adanya optimalisasi peran Pemerintah Daerah dalam melindungi dan

melestarikan cagar budaya, dimana sebelumnya hanya menjadi kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat. Dalam UU nomor 11

tahun 2010 ditegaskan bahwa “pemerintah daerah diberi kewenangan untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya dan masyarakat juga diwajibkan berpartisipasi di dalam pelestarian cagar budaya.”

Kepemilikan terhadap cagar budaya secara perseorangan juga diakui oleh pemerintah. Tanggung jawab pemerintah daerah terhadap

pelestarian cagar budaya juga menjadi semakin besar. Karena di dalam UUCB dijelaskan bahwa perlindungan cagar budaya di daerah merupakan tanggung jawab dari pemerintah daerah. Sedangkan

pemerintah pusat hanya berperan sebagai koordinator, fasilitator, dan dinamisator dalam pelestarian cagar budaya.

Optimalisasi peran pemerintah daerah dalam melindungi dan

melestarikan cagar budaya menjadi semakin kuat ketika lahir Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Otda).

UU Pemerintahan Daerah adalah dasar dari pembagian dan distribusi kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pemerintah Daerah diberi kewenangan luas untuk mengatur rumah

tangga pemerintahan daerahnya sesuai dengan karakteristik dan potensi daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Diharapkan dengan adanya otonomi daerah, kinerja pemerintah pusat tidak terlalu terbebani dengan kondisi daerah. Kemudian pemerintah daerah dapat leluasa di dalam menyelenggarakan

pemerintahan dan memajukan daerah sesuai dengan potensi daerah

Page 31: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

20

dan aspirasi masyarakat, termasuk dalam hal perlindungan dan pelestarian cagar budaya. Pemerintah pusat, dalam hal ini, hanya

menjadi fasilitator, koordinator, dan dinamisator atas kebijakan yang dilaksanakan pemerintah daerah dalam perlindungan dan pelestarian cagar budaya.

5. Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup, perubahan atas UU No. 4 tahun 1992 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-undang ini memang tidak secara khusus mengatur cagar

budaya, namun jika dicermati dengan seksama, maka terdapat beberapa pasal yang memiliki relevansi dengan persoalan cagar budaya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 1 angka (1) mengenai definisi dari

lingkungan hidup, yaitu “lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk

dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain.

Pasal 9 ayat (3) juga secara khusus menyebut kata cagar budaya

di dalamnya. Pasal ini berbunyi, “pengelolaan lingkungan hidup wajib dilakukan secara terpadu dengan penataan ruang, perlindungan sumber daya alam non hayati, perlindungan sumberdaya buatan, konservasi

sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim.”

Berdasarkan kedua pasal di atas dapat dipahami bahwa cagar budaya adalah bagian dari lingkungan hidup yang harus dikelola sedemikian rupa serta dilindungi dari segala hal yang dapat merusak

atau menghilangkannya.

6. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Melihat fakta bahwa di antara benda cagar budaya adalah bangunan berupa gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah, maka

Undang-Undang tentang Bangunan Gedung juga menyinggung soal bangunan yang termasuk dalam cagar budaya. Hal ini untuk mengantisipasi dampak dari kemajuan teknologi, baik dalam bidang

arsitektur maupun rekayasa bangunan, yang dalam beberapa hal dapat memunculkan disharmoni antara kemegahan dan nilai sosial budaya.

Dengan adanya UU tentang Bangunan Gedung diharapkan setiap pembangunan gedung selalu mempertimbangkan nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, karakteristik arsitektur, serta lingkungan

yang ada. Selain itu setiap rencana pembangunan gedung tidak boleh menyebabkan kerusakan atau gangguan terhadap kawasan lindung

(seperti hutan lindung, cagar alam, taman nasional, dan suaka marga satwa) yang ditetapkan menurut peraturan perundang-undangan serta kerusakan atau punahnya benda-benda dan bangunan gedung

peninggalan sejarah yang bernilai tinggi.

Page 32: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

21

Dalam pasal 5 ayat (1) UU Bangunan gedung disebutkan bahwa fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha,

sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Kemudian dalam pasal 5 ayat (5) disebutkan bahwa bangunan gedung yang berfungsi sosial dan budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: bangunan gedung

untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum.

Adapun pasal yang secara jelas menyebutkan cagar budaya di dalamnya yaitu pasal 38 ayat (1 s/d 5);

1) Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar

budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan;

2) Penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi

dan dilestarikan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh pemerintah daerah dan/ atau pemerintah dengan memperhatikan

ketentuan perundang-undangan;

3) Pelaksanaan perbaikan, pemugaran perlindungan serta pemeliharaan atau bangunan gedung dan lingkungannya

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan /atau cagar budaya yang dikandungnya;

4) Perbaikan, pemugaran, dan pemanfaatan bangunan gedung dan lingkungan cagar budaya yang dilakukan menyalahai ketentuan

fungsi dan/ atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

5) Ketentuan mengenai perlindungan dan pelestarian sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta teknis pelaksanaan perbaikan, pemugaran dan pemanfaatan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (3 dan 4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

7. PP Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU nomor 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Untuk mempertegas dan memperjelas secara teknis-operasional

UU nomor 5 tahun 1992 tentang benda cagar budaya, pemerintah menyusun Peraturan tentang Benda Cagar Budaya. Secara lebih detail

Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut mengenai penguasaan, pemilikan, pendaftaran, pengalihan, penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pembinaan, dan pengawasan

serta hal-hal lain yang berkenaan dengan upaya pelestarian benda cagar budaya.

Perlindungan dan peeliharaan benda cagar budaya diatur secara detail dalam pasal 22, 23, 29, 30, 32, 34, dan 35 PP nomor 10 tahun 1993 sebagai berikut:

a. Pasal 22

Page 33: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

22

“Setiap orang yang memiliki atau yang menguasai benda cagar budaya wajib melakukan perlindungan dan pemeliharaan benda

cagar budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya.”

b. Pasal 23

1) Perlindungan dan pemeliharaan benda cagar budaya dilakukan

dengan cara penyelamatan, pengamanan, perawatan, dan pemugaran.

2) Untuk kepentingan perlindungan benda cagar budaya dan situs diatur batas-batas situs dan lingkungannya sesuai dengan kebutuhan.

3) Batas-batas situs dan lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan system pemintakatan yang terdiri dari mintakat inti, penyangga, dan pengembangan.

c. Pasal 29

1) Untuk kepentingan perlindungan dan pemeliharaan benda cagar

budaya, setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya, situs, dan lingkungannya.

2) Termasuk kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya dan

situsnya adalah kegiatan:

a) mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya; dan

b) Mengurangi, mencemari, dan / atau mengubah fungsi situs.

d. Pasal 30

1) Setiap orang hanya dapat membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Ijin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan

untuk kepentingan:

a) Penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi;

b) Sosial atau budaya;

c) Pemanfaatan lain yang diatur oleh menteri.

3) Permohonan ijin untuk membawa benda cagar budaya keluar wilayah RI untuk kepentingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib disampaikan dengan disertai data benda cagar

budaya, kerangka acuan, dan system pengamanannya.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perijinan sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur oleh menteri.

e. Pasal 32

1) Setiap orang hanya dapat memindahkan benda cagar budaya tertentu dengan tidak menghilangkan atau mengurangi nilai

Page 34: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

23

sejarah dan fungsi pemanfaatannya dari daerah satu ke daerah lainnya atas dasar ijin yang diberikan oleh menteri.

2) Tatacara perijinan sebagaimaa dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

f. Pasal 34

1) Setiap orang tanpa ijin menteri dilarang:

a) Mengambil atau memeindahkan sebagian benda cagar

budaya ataupun seluruhnya;

b) Mengubah bentuk dan/atau warna benda cagar budaya;

c) Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya.

2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan huruf c tidak berlaku apabila perbuatan tersebut dilakukan untuk penyelamatan dalam keadaan darurat.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatacara perijinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh menteri.

g. Pasal 35

1) Setiap orang yang memperdagangkan, memperjualbelikan, atau memperniagakan benda cagar budaya tertentu sebagaimana

dimaksud dalam pasal 4 (2) huruf b sebagai usaha dagang, wajib memiliki ijin usaha perdaganngan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2) Ijin usaha perdagangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan setelah mendapat rekomendasi dari menteri.

3) Setiap orang yang melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib melaporkan secara berkala benda cagar budaya yang diperjualbelikan kepada instansi yang

bertenggungjawab atas pendaftaran benda cagar budaya setempat.

8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum

Guna kepentingan pelestarian dan pemanfaatan, beberapa benda cagar budaya terkadang disimpan di museum. Hal ini untuk mempermudah dan menjamin perawatan, pengamanan, penyimpanan,

dan pemanfaatan benda cagar budaya tersebut yang diselaraskan dengan upaya pengembangan kebudayaan nasional.

Kehadiran PP nomor 19 tahun 1995 adalah keberlanjutan amanat PP pasal 40 PP nomor 10 tahun 1993 yang menyebutkan bahwa “pengaturan mengenai permuseuman yang meliputi penyimpanan,

perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan koleksi museum yang berupa benda cagar budaya diatur sendiri.”

Page 35: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

24

Karenanya, PP nomor 19 tahun 1995 disusun untuk memberi penjabaran, kejelasan, dan pedoman mengenai penyimpanan,

perawatan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan penyimpanan, perawatan, dan pengawasan di museum. Selain mengatur hal-hal tersebut di atas,

PP ini mengatur pula persyaratan museum dalam rangka penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda cagar budaya di

museum. Persyaratan tersebut meliputi standar bangunan museum, sarana dan pra sarana, tenaga, dan sumber dana yang tetap.

Mengingat museum tidak hanya merupakan tempat penyimpanan,

perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda cagar budaya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa, tetapi juga bukan benda cagar budaya, maka pengaturan

mengenai benda cagar budaya di museum dapat pula diperlakukan kepada benda cagar budaya di museum sepanjang jenis dan unsur

bahan yang dikandungnya dapat dipersamakan dengan benda cagar budaya.

9. Peraturan Pemerintah Nomor 67 tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan.

PP ini sebenarnya adalah penjabaran dan sekaligus penjelasan

dari UU nomor 9 tahun 1990 tentang kepariwisataan. Karenanya, penjelasan mengenai cagar budaya berada dalam konteks

kepariwisataan. Pasal 3 PP nomor 67 tahun 1996 menyebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan dilakukan deengan memperhatikan:

a) Kemampuan untuk mendorong dan meningkatan perkembangan

kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

b) Nilai-nilai agama, adat istiadat, serta pandangan dan nilai-nilai yang

hidup di masyarakat.

c) Kelestarian budaya dan mutu lingkungan hidup; dan

d) Kelangsungan usaha pariwisata.

Adapun pasal pasal 51 menyebutkan bahwa pengusaha objek dan daya Tarik wisata budaya yang berupa benda cagar budaya atau peninggalan sejarah lainnya, diselenggarakan dengan memperhatikan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 52 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Cagar Budaya dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor

28 tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya

Berdasarkan Peraturan Menteri ini, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) disebut sebagai lembaga yang kedudukannya berada di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang berfungsi

Page 36: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

25

untuk melakukan upaya pelestarian dan konservasi terhadap cagar budaya. BPCB memiliki kantor perwakilan yang berada di setiap Provinsi

di Indonesia.

Adapun mengenai rincian tugas BPCP diatur di dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

Nomor 28 Tahun 2013 tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Cagar Budaya, yaitu:

a. melaksanakan penyusunan program kerja Balai;

b. melaksanakan kajian perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, cagar budaya;

c. melaksanakan perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan, cagar budaya;

d. melaksanakan zonasi cagar budaya;

e. melaksanakan pemeliharaan dan pemugaran cagar budaya;

f. melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya;

g. melaksanakan adaptasi dan revitalisasi pengembangan cagar budaya;

h. melaksanakan pelayanan perijinan dan pengendalian pemanfaatan

cagar budaya;

i. melaksanakan dokumentasi dan publikasi cagar budaya;

j. melaksanakan sosialisasi cagar budaya;

k. melaksanakan kemitraan di bidang pelestarian cagar budaya;

l. melaksanakan pemberian bantuan teknis pelaksanaan pelestarian

cagar budaya;

m. melaksanakan pemberian bantuan teknis pengembangan tenaga teknis di bidang pelestarian cagar budaya;

n. melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pelestarian cagar budaya;

o. melaksanakan penyajian koleksi cagar budaya;

p. melaksanakan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan, persuratan dan kearsipan, barang milik Negara

dan kerumahtanggaan Balai;

q. melaksanakan pengelolaan perpustakaan Balai;

r. melaksanakan penyimpanan dan pemeliharaan dokumen Balai; dan

s. melaksanakan penyusunan laporan Balai.

Dalam melaksanakan tugasnya, BPCB melakukan koordinasi dan

kerjasama dengan berbagai pihak yang sama memiliki kepedulian dan selalu berupaya untuk melakukan pelestarian cagar budaya. Pihak-pihak lain tersebut di antaranya: pemerintah daerah, masyarakat,

Page 37: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

26

pemilik cagar budaya, organisasi masyarakat pemerhati cagar budaya, dan lain sebagainya.

11. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa

Tengah

Perlindungan cagar budaya di Provinsi Jawa Tengah diatur di

dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah merupakan daerah yang memiliki banyak

cagar budaya sehingga keberadaannya perlu dilindungi, dikelola, dan dilestarikan mengingat begitu pentingnya keberadaan cagar budaya sebagai salah satu faktor penguat jati diri bangsa.

Perubahan paradigma tentang pelestarian cagar budaya merupakan konsekuensi logis atas disahkannya Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yaitu bahwa pemerintah daerah memiliki tanggung jawab yang besar di dalam pelestarian dan pengelolaan cagar budaya di daerah. Sehingga Pemerintah Daerah

Provinsi Jawa Tengah menerbitkan peraturan daerah provinsi untuk memberikan perlindungan hukum terhadap cagar budaya di Jawa Tengah sesuai dengan kewenangan yang diamanatkan oleh undang-

undang tersebut. Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2013 juga mengandung ketentuan pidana bagi pihak yang melakukan tindak

pidana terhadap cagar budaya seperti pencurian, perusakan, pemindahan, dan penjualan cagar budaya tanpa izin pemerintah daerah.

Berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan di atas,

nampak bahwa persoalan cagar budaya adalah persoalan bangsa yang menuntut kerjasama dari seluruh warga bangsa untuk bersama-sama

menjaga dan melestarikannya. Keberadaan Raperda Cagar Budaya di Kabupaten Cilacap adalah dalam rangka menggali, menata, melindungi, dan melestarikan benda-benda cagar budaya yang ada di Kabupaten

Cilacap. Selain sebagai amanat perundang-undangan, ini adalah bagian dari ikhtiar bersama masyarakat Cilacap dalam upaya memperteguh jatidirinya melalui pelestarian cagar budaya.

-- --

Page 38: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

27

BAB IV KAJIAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. KAJIAN FILOSOFIS

Dalam kehidupan bernegara, bangsa Indonesia menganut sistem

demokrasi yaitu sistem demokrasi Pancasila. M. Budiarjo mengatakan bahwa istilah demokrasi menurut asal katanya berarti “rakyat berkuasa”

atau government or rule by the people” Kata pemerintah daerah dari perkataan Inggris government dan Perancis gouverment, yang kedua-duanya berasal dari perkataan Latin gubernaculums yang artinya

kemudi. Pemerintah merupakan nama subyek yang berdiri sendiri. Sebagai subyek pemerintah melakukan tugas dan kegiatan. Untuk menunjukkan adanya subyek tertentu maka di belakang kata

pemerintah ada kata sambungannya misalnya pemerintah pusat, pemerintah daerah dan sebagainya. Bertolak dari pengertian tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah daerah adalah pemegang kemudi dalam pelaksaanaan kegiatan pemerintahan di daerah. Penerapan desentralisasi yang telah melahirkan daerah-daerah otonom

memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah dalam rangka mengatur rumah tangganya sendiri.

Peraturan daerah sebagai suatu bentuk kebijakan publik akan

dapat diterima dengan baik oleh masyarakat jika memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis yang baik. Landasan filosofis setiap

peraturan perundang-undangan di negara kita saat ini merujuk pada recht idée yang tercantum dalam Pembukaan Undang Undang Dasar tahun 1945 (Perubahanke-1, 2, 3 dan 4), Alinea ke-4. Inti landasan

filosofis adalah jika landasan peraturan yang digunakan memiliki nilai bijaksana yakni memiliki nilai benar (logis), baik dan adil. Menemukan

nilai filosofis berarti melakukan pengkajian secara mendalam dalam rangka mencari hakekat sesuatu hal dengan menggunakan nalar sehat.

Menurut konsep demokrasi modern, kebijakan publik tidaklah

berisi cetusan pikiran atau pendapat dari pejabat negara yang mewaikli rakyat, akan tetapi pendapat atau opini publik juga mempunyai porsi yang sama besarnya untuk tercermin (terwujud) di dalam kebijakan-

kebijakan publik. Setiap kebijakan publik harus selalu berorientasi kepada kepentingan publik (public interest). Menurut M. Oosting

sebagaimana dikutip oleh Bambang Sunggono, dalam suatu negara demokrasi, negara dapat dipandang sebagai penyalur gagasan sosial mengenai keadilan kepada para warganya dan mengungkapkan hasil

gagasan semacam itu dalam undang-undangnya, atau dengan perkataaan lain, proses kegiatan negara harus juga merupakan suautu

proses dimana semua warganya dapat mengambil bagian dan memberikan sumbangannya dengan leluasa.

Dasar filosofis Raperda tentang Cagar Budaya merupakan

pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Raperda ini mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang

Page 39: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

28

bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pancasila dan Alinea kedua Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal tersebut sejalan

dengan nilai-nilai umum dan komitmen dari Raperda tentang Cagar Budaya, yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang tidak tercerabut dari akar budayanya, sehingga dalam melaksanakan

pembangunan dan menjalankan kehidupan modern ini tetap berbasis pada budaya dan sejarahnya sebagai sebuah bangsa. Negara terus

melindungi masyarakat Indonesia dan sejarah budayanya untuk tercipta masyarakat modern yang tetap berkepribadian dengan nilai nilai budaya Indonesia. Dan sebagai sebuah Bangsa yang besar, Indonesia akan terus

belajar dari sejarah dalam melaksanakan pembangunan ke depannya. Negara melalui Raperda Cagar Budaya menyelenggarakan

pendaftaran, perlindungan , pendidikan, perawatan, pemanfaatan dan sosialisasi cagar budaya didasari oleh kerangka nilai yaitu nilai-nilai, asas-asas, prinsip-prinsip, standar-standar perilaku yang diangkat dari

nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan pandangan hidup serta nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya bangsa Indonesia dimana peraturan cagar budaya ini dilaksanakan.

Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan cagar budaya tersebut, yang relevan dan penting diperhatikan adalah pemerintah

sudah dari awal telah menempatkan cagar budaya sebagai salah satu hal yang sangat penting dalam pengembangan kebudayaan dan sejarah bangsa. Cagar budaya di adakan untuk kepentingan pelestarian warisan

budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa dan juga sebagai sarana pendidikan nonformal, oleh karena itu

pemerintah menganggap cagar budaya itu urusan yang perlu ditangani pembinaan, pengarahan dan pengembangannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan politik, sosial dan ekonomi di bidang

kebudayaan. Bagi Raperda Cagar Budaya, Pancasila adalah sumber nilai yang

menjadi falsafah hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam

Raperda ini mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak yakni untuk melaksanakan

kelima sila dari Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad itu sangat kuat dan tidak tergoyahkan lagi, sehingga disepakati dan dicantuman didalam setiap peraturan perundangan-undangan yang

dibuat. Pancasila adalah dasar dari semua urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan dan menjadi pedoman, penuntun sikap dan tingkah laku manusia Indonesia didalam urusan-

urusan tersebut. Pada sila Ketuhahan Yang Maha Esa diwujudkan dalam

kehidupan beragama, memberikan landasan yang penting untuk membentuk kehidupan beragama dan Keyakinan bernegara melaksanakan. Ajaran-ajaran agama yang sangat luhur merupakan

Page 40: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

29

faktor kunci kesuksesan dalam membentuk sistem kenegaraan di Indonesia. Konsep kebudayaan Indonesia yang sejak dahulu dibangun

mengacu kepada agama dan nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan

Indonesia. Nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa,

ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif. Nilai-nilai itu ada dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah.

Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah sifat yang dimiliki setiap manusia. Manusia pada dasarnya adalah sama dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang

bersifat universal. Segala perbedaan yang Nampak tidak boleh dijadikan alasan untuk bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut.

Cagar budaya bangsa Indonesia menunjukan bahwa sejak dahulu kala, bangsa Indonesia adalah bangsa yang berperikemanusiaan, saling tolong menolong dan bergotong royong, nilai-nilai ini dapat terlihat dari

berbagai peninggalan berupa benda-benda bersejarah maupun dari kegiatan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan seni yang tetap di lestarikan turun temurun hingga saat ini.

Di dalam bangsa yang besar ini, tidak ada satu manusiapun yang mau diperlakukan dengan tidak adil. Didalam hubungan antar manusia

sering terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan permasalahan. Dan nilai keadilan merupakan poin utama yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dengan

memegang prinsip adil tersebut maka hubungan antar manusia akan harmonis sesuai dengan yang seharusnya. Dengan prinsip keadilan

maka dapat dikembangkan prinsip-prinsip lain antara lain tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, menghargai hak orang lain, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, tidak

memaksakan kehendak kepada orang lain, tidak menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi, dan lain-lain.

Beradab menunjuk kepada tingkatan kemajuab kehidupan, baik

dalam bermasyarakat maupun secara individual. Beradab erat kaitannya dengan aturan-aturan hidup, budi pekerti, tata karma, sopan

santun, adat istiadat, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Semua aturan tersebut untuk menjaga agar manusia tetap beradab dan menghindari kezaliman. Adab diperlukan agar manusia

bisa meletakkan diri pada tempat yang sesuai. Sesuatu tidak pada tempatnya akan cenderung menyebabkan ketidaksadaran, kebodohan,

dan kerusakan pada system kemasyarakatan. Persatuan yang semakin kuat akan memberikan efek sinergi yang

semakin besar, sehingga sebesar apapun permasalahan yang dihadapi

akan jauh lebih mudah untuk diselesaikan. Hal ini telah disadari bangsa Indonesia sejak dahulu kala, dan diwujudkan dalam bentuk gotong royong. Dengan kata lain, gotong royong adalah bentuk kesadaran

bersinergi dari bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika adalah hakikat dari bangsa Indoensia, sehingga tidak perlu dipecah kembali, karena

Page 41: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

30

perpecahan akan menimbulkan mudharat yang lebihy besar dibandingkan manfaat. Persatuan Indonesia adalah proses yang terus

menerus dilakukan di Indonesia. Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran

akan perlunya mewujudkan perbedaan sekaligus dimaksudkan untuk

membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Sumpah Pemuda ini merupakan cikal bakal munculnya wawasan

kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, yang dapat dilihat antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI. Terlihat bahwa para pendiri republik ini sangat

menghargai pluralisme dan perbedaan (multikulturalisme), baik dalam konteks sosial maupun politik. Pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah

multikulturalisme dalam arti luas. Pancasila seharusnya mampu (1) mengakomodasi seluruh

kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama; (2) terbuka; (3) memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik. Pancasila adalah ideologi terbuka dan

tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis

budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum

sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif;

memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.

Secara garis besar, etika (ethics) dapat dilihat sebagai pedoman yang berisikan aturan-aturan baku yang mengatur tindakan-tindakan

anggota masyarakat. Dalam RUU ini akan terserap prinsip-prinsip moral dan nilai-nilai yang mendukung dan menjamin berkembangnya nilai-nilai moral yang diarahkan pada terwujudnya masyarakat Indonesia

yang bermartabat, adil, makmur, aman, dan sejahtera. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah identik dengan

demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kerakyatan atau demokrasi diwarnai oleh watak asli bangsa Indonesia yakni

kekeluargaan, gotong royong, tenggang rasa, tepa selira, santun, penuh kerukunan, tolong menolong dalam kebaikan, dan lain-lain. Dipimpin menyiratkan adanya pemimpin, yang berarti dua, pertama, bersifat

semangat, kedua, berupa manusia pemimpin. Semangat dimaksud adalah hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Sedangkan manusia pemimpin adalah orang yang diliputi semangat dan mampu menjadi yang terdepan didalam pelaksanaannya. Seorang pemimpin sebaiknya adalah yang peduli terhadap nasib rakyatnya.

Page 42: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

31

Pembentukan Raperda ini merupakan perhatian yang sangat besar dari Pemimpin untuk seluruh masyarakatnya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan harus menjadi syarat dan tolok ukur keberhasilan dari seluruh produk kenegaraan. Sosial bukan berate faham sosialisme melainkan berarti

rakyat banyak. Keadilan sosial berarti suatu hirarkhi, bahwa keadilan untuk rakyat banyak dan lebih penting dibandingkan kedilan untuk

kelompok tertentu. Seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa keadilan sosial berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dimanapun tanpa terkecuali. Tidak boleh ada diskriminasi keadilan terhadap siapapun,

terhadap kelompok manapun, juga terhadap minoritas. Diskriminasi akan memicu perpecahan dalam masyarakat, yang bisa menggerus nilai-nilai luhur yang dimiliki rakyat Indonesia sejak dahulu.

Keyakinan bangsa Indonesia terhadap Pancasila dalam sejarahnya telah menjadi dasar dari penyelenggara Negara untuk merumuskan

Ekaprasetya Pancakarsa (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang mengandung petunjuk-petunjuk nyata dan jelas tentang pengamalan kelima sila Pancasila, yang tersurat dalam 45 butir-

butirnya. Ekaprasetya Pancakarsa adalah pedoman, penuntun sikap dan tingkah laku manusia Indonesia didalam menghayati dan mengamalkan Pancasila.

Pedoman tersebut bersifat manusiawi serta merupakan pedoman yang mungkin dilaksanakan oleh manusia biasa. Dalam kaitan ini

manusia ditempatkan didalam batas kemampuan dan kelayakan manusia. Pancasila menempatkan manusia dalam keluhuran harkat dan martabatnya sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah

yang menjadi titik tolak usaha untuk memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, serta manusia dengan lingkungan

hidupnya. Adapun manusia yang dipahami disini bukanlah manusia yang luar biasa, tetapi manusia yang memiliki kekuatan yang disertai dengan kelemahannya, manusia yang memiliki kemampuan yang

disertai dengan kelemahannya, manusia yang memiliki kemampuan yang disertai dengan keterbatasannya, manusia yang mempunyai sifat yang baik dan sifat yang kurang baik.

Ekaprasetya Pancakarsa memandang manusia sesuai dengan kodratnya sebagai mahluk Tuhan, mahluk pribadi dan mahluk sosial.

Manusia dilahirkan dengan susunan tubuh yang dilengkapi dengan daya pikir dan kesadarannya, yang dalam perkembangannya hanya akan mempunyai arti sebaik-baiknya apabila ia hidup bersama manusia

lainnya didalam masyarakat. Dalam kaitan ini relasi kemanusiaan menjadi titik sentral bagi perkembangan manusia. Relasi yang timbal

balik dan seimbang antara manusia dan masyarakat merupakan landasan falsafah yang memberi corak dan warna dasar kehidupan masyarakat serta diyakini oleh masyarakat Indonesia.

Pancasila yang bulat dan utuh memberi keyakinan kepada seluruh bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan manusia akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam

kehidupan manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan manusia lain, dengan masyarakat, dengan

Page 43: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

32

lingkungan alam dan dan dalam hubungan dengan seluruh bangsa. Dalam berbagai hubungan ini, manusia dibentuk menjadi manusia yang

berkepribadian, yang mampu menempatkan diri secara tepat dan benar. Dengan kata lain mampu mengendalikan diri.

Uraian tersebut diatas berarti bahwa Pancasila seharusnya

menjadi pedoman sikap serta perilaku dalam pembentukan dan pelaksanaan Raperda Cagar Budaya. Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum dalam rangka

mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tetap memperhatikan dan menghargai sifat/ciri khas kebudayaan suatu bangsa Indonesia Konsep kebudayaan Indonesia ini kemudian diikat

dalam satu konsep persatuan dan kesatuan bangsa yaitu konsep Bhineka Tunggal Ika.

B. KAJIAN SOSIOLOGIS

Raperda Cagar Budaya disusun dengan memperhatikan landasan

sosiologis yang merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan adanya berbagai aspek kebutuhan masyarakat yang menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan

kebutuhan masyarakat dan negara. Konsep Indonesia mengacu kepada konsep bangsa negara/nation-state, merupakan konsep yang berada

diantara konsep negara dan masyarakat. Konsep bangsa dibangun atas dasar rasa identitas komunal yang mempunyai sejarah tradisi yang

relatif sama dan berelemen utama kebudayaan, yang mendiami unit geografi yang teridentifikasikan/disepakati bersama. Sedangkan nation-state mengacu kepada konteks, bahwa unit geografi area tertentu

merupakan tanah air bagi orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya sebagai komunitas, karena mempunyai kebudayaan, sejarah, dan

mungkin bahasa serta karakter etnik, yang dibangun oleh sistem politik.

Dalam nation-state ini, konsep kesepakatan mengacu kepada kesepakatan yang bersifat politis. Sebagai suatu bangsa-negara,

Indonesia dibangun atas dasar kesepakatan bersama masyarakat yang berdiam dari Sabang hingga Merauke. Sesuatu yang menjadi daya

perekat kesatuan bangsa Indonesia adalah keseluruhan faktor-faktor teritorial, etnik dan budaya. Masyarakat Indonesia disatukan oleh semangat kebangsaan Indonesia ketika merebut kemerdekaan, hingga

kemudian merdeka. Semangat kebangsaan yang bersifat obyektif (kewilayahan, sejarah, dan struktur ekonomi) dan subyektif (kesadaran,

kesetiaan, dan kemauan) ada dalam diri etnik-etnik tersebut. Semangat kebangsaan itu lalu berfluktuatif dengan keadaan kondisi Indonesia dari masa ke masa.

Indonesia sebagai bangsa, yang mengacu kepada sejarah, kebudayaan, bahasa, dan karakter etnik yang relatif sama mulai diperdebatkan kembali. Fenomena ini muncul sebagai akibat rasa

ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat etnik-etnik tertentu. Rasa

Page 44: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

33

ketidakadilan ini kemudian berujung kepada konflik-konflik sosial antar etnik . Rasa ketidakadilan tersebut memunculkan keinginan etnik-etnik

tersebut untuk melepaskan diri dari kesepakatan mereka untuk berbangsa dan bernegara yang sama, yaitu Indonesia.

Konsep-konsep kesatuan nasional, integrasi bangsa, dan

kebudayaan nasional disiapkan untuk mengatasi kemungkinan konflik yang bersumber dari kebudayaan etnik/daerah. Perkembangan konsep-

konsep ini, cenderung menjadi distingtif dan defensif kepada keanekaragaman budaya etnik yang ada di Indonesia, demi kepentingan para elite, stabilitas politik dan ekonomi.

Ketika muncul dominasi oleh etnis tertentu, maka yang terjadi kemudian semakin mengentalnya proses pembentukan konstruksi budaya Indonesia yang bersifat etnis tertentu juga. Nilai-nilai budaya

yang diacu juga berubah, dari nilai-nilai yang dipedomani bersama oleh etnis-etnis di Indonesia, bergerak ke nilai-nilai budaya tertentu yang

menjadi acuan para elite. Simbol-simbol budaya tersebut menjadi nilai-nilai penting yang harus diacuh oleh masyarakat Indonesia.

Persoalan yang mengemuka dewasa ini adalah nilai-nilai yang

dibagi bersama yang dianggap sebagai perekat dan pengikat bangsa tidak lagi mempunyai batas yang jelas. Nilai-nilai yang dibagi bersama menjadi nilai-nilai yang sifatnya universal antar etnis bahkan

antarbangsa, sesuai dengan konteks dan setting sosial yang berbeda. Oleh karena itu, perubahan sosial perlu diarahkan dengan membentuk

nilai-nilai dalam masyarakat yang mengarah kepada konsep-konsep demokrasi, HAM, partisipatif, egaliter, lokalitas, kemandirian, dan

gender. Masyarakat tersebut adalah bentuk masyarakat Indonesia yang dinterpretasikan sebagai sebuah masyarakat etis dan masyarakat berbudaya.

Sebagai contoh ketika warisan budaya itu dimaknai atau ditafsirkan sebagai identitas bangsa Indonesia, tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Masyarakat akan melihat benda

tertentu dengan persepsi tertentu tergantung dari apa yang melatar belakanginya. Apalagi ketika masalah itu menyentuh perbedaan budaya

dan agama. Hal itu merupakan salah satu soal di negara berkembang dengan keragaman budaya dan agama seperti negara kita ini. Artinya, tidak ada perspektif sama terhadap suatu warisan budaya.

Makna dan identitas terkandung di dalam warisan budaya. Seperti juga apa yang dinyatakan oleh Edi Sedyawati (2003:2) bahwa benda budaya setidak-tidaknya memiliki dua dari sejumlah aspek intangible

yang melekat padanya, yaitu konsep mengenai benda itu sendiri, perlambangan yang diwujudkan melalui benda itu, kebermaknaan

dalam kaitan dengan fungsi atau kegunaannya, isi pesan yang terkandung di dalamnnya khususnya apabila terdapat tulisan padanya, teknologi untuk membuatnya, dan pola tingkah laku yang terkait

dengannya. Jadi, apa yang intangible itulah yang harus disampaikan kepada masyarakat dan harus pula ditekankan semua itu merupakan

bagian dari identitas bangsa kita.

Page 45: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

34

Permasalahan pengelolaan cagar budaya di dalam uraian ini adalah sebagian dari topik yang paling sering muncul di beberapa

diskusi di antara para arkelog dan pemangku kepentingan lainnya.

1. Kesamaan Pemahaman terhadap Peraturan Perundangan

Salah satu komponen terpenting dalam pengelolaan cagar

budaya adalah perangkat legislasi sebagai dasar kebijakan maupun tinjauan kritis dari ilmu yang mengembangkan bidang itu, baik

berupa konvensi, undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan turunannya.

Dengan disahkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2010

tentang Cagar Budaya (UUCB), merupakan tugas penting bagi para arkeolog dan perumus raperda (rancangan peraturan daerah) dalam menyatukan pemahamannya. Seringkali peraturan perundang-

undangan dianggap sebagai bagian dari tugas ahli hukum untuk memahaminya, padahal dalam hal UUCB arkeologlah yang harus

paling mengerti atau memahami isi undang-undang tersebut.

Prinsip dasar yang perlu dipahami secara sama antara lain melingkupi:

a. Terminologi Cagar Budaya

Dalam UUBCB/No 5/1992 lingkup yang menjadi fokus pengaturan disebut Benda Cagar Budaya dan Situs tetapi dalam

UUCB/No 11/2010 disebut dengan Cagar Budaya (CB). Dalam UUBCB/No 5/1992 Pasal 1 disebutkan:

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1) Benda Cagar Budaya adalah: a) benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang

berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima

puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; b) benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi

sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

2) Situs adalah lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya termasuk lingkungannya

yang diperlukan bagi pengamanannya.

Sementara itu di dalam UUCB/No 11/2010 ada rincian dan tambahan seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 Ayat 1-6:

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1) Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan

berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan

keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah,

Page 46: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

35

ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2) Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau

sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

3) Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak

berdinding, dan beratap. 4) Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat

dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk

memenuhi kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan

manusia. 5) Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat

dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya,

Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

6) Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya

berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

Ketika undang undang Cagar Budaya ini memberikan

batasan yang lebih luas lagi, terdapat dampak terhadap permasalahan yang selama ini terkait dengan cagar budaya,

contoh suatu tempat/kawasan dengan kriteria yang ditetapkan, mencakup nilai sejarah, keaslian, kelangkaan, landmark/tengeran, arsitektur, dan umur. Secara realitas,

kawasan itu kini sedang dihadapkan kepada tekanan-tekanan perkembangan kota dan masalah sosial dari para pemilik aslinya. Demikian juga masalah ekonomi masyarakat dan ketidak

mengertiannya terhadap benda sejarah, menyebabkan masyarakat berpikir pragmatis, dengan menilai barang tersebut

lebih kepada nilai ekonomi. Berdasar landasan sosiologis ini, maka diperlukan peraturan daerah tentang cagar budaya yang lebih terfokus kepada cagar budaya di daerahnya dengan

mempertimbangkan berbagai segi dari masyarakatnya, dengan jalan pendidikan dan sosialisasi.

C. KAJIAN YURIDIS

Raperda Cagar Budaya harus memperhatikan landasan yuridis

yakni pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa Raperda ini disusun untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada,

yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian

Page 47: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

36

hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang

diatur.

Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan

menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”

Kutipan ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman

kehidupan bernegara. Pertama, adalah pengertian tentang kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam konstelasi

peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan

miliknya.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memaju-

kan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam menyusun fasal-fasal berisi perintah, larangan, anjuran, pengaturan, dan hukuman yang

menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan, atau hak-hak publik selalu

mewarnai kalimat dan susunan pasal Undang-Undang Cagar Budaya.

Cagar Budaya menjadi tanggung jawab Negara dengan tujuan untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban

dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Negara menghormati dan

memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional, memelihara benda-benda, bangunan bangunan, hasil kegiatan ekonomi, sosial dan seni.

Beranjak dari amanat tersebut, pemerintah sebagai kepanjangan tangan dari negara berkewajiban untuk melakukan berbagai upaya dalam memajukan kebudayaan. Disamping itu pemerintah bersama

masyarakat memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaga, serta berperan aktif untuk pengembangan kebudayaan secara dinamis dengan

memperhatikan kewajiban dari masyarakat.

Terkait dengan hal tersebut, permasalahan kebudayaan juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Pasal 28

C UUD 1945 menyebutkan bahwa:

“Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan

kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat

manusia”.

Page 48: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

37

Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun

masyarakat, bangsa dan negaranya.

Sedangkan Pasal 28 E UUD 1945 menyebutkan:

“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut

agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan

meninggalkannya, serta berhak kembali. Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.

Adapun Pasal 28 F UUD 1945 menyebutkan: “Setiap orang berhak

untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak

untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

Selanjutnya Pasal 28 I ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa; identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di-hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Dewasa ini masalah kebudayaan telah diatur dalam berbagai beraturan perundang-undangan, antara lain:

Undang-undang Nomer 11 Tahun 2010 mengatur pengelolaan dan manajemen Cagar Budaya yang ada di Indonesia secara komprehensif. Tidak hanya mengatur proses perlindungannya yang sepatutnya secara

akademik, tetapi juga secara ideologi dan memperhatikan azas-azas pemanfaatanya secara utuh. Hal ini berbeda dengan Undang-undang Benda

Cagar Budaya sebelumnya yaitu UU RI nomor 5 tahun 1992 yang lebih berorientasi kepada pengelolaan secara akademik dan kaedah yang berlaku dalam perlindungan, tanpa memperhatikan azas manfaat. Dalam UU Tahun

2010 Nomer 11 pemanfaatan Cagar Budaya juga diatur sedemikian rupa dengan memperhatikan aspek perlindungan dan pengembangan ilmu pengetahuan. Untuk maka diatur kepemilikan dan kepemanfaatannya

secara teliti dan benar.

Setidaknya ada 4 pertimbangan pokok yang dipakai DPR-RI ketika

merumuskan Undang Undang Cagar Budaya: Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat kehidupan rakyat banyak; kedua, dari sisi tanggungjawab publik, pelestarian cagar budaya

adalah “kewajiban” semua orang; ketiga, dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus membuka peluang upaya pengembangan dan

pemanfaatan-nya oleh masyarakat; dan keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah “meringankan beban” pelestarian yang ditanggung masyarakat.

Page 49: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

38

Perubahan paradigma ini masih diikuti oleh berubahnya arti “pelestarian”. Kalau semula diartikan sempit sebagai tugas pelindungan

semata, kali ini dilihat sebagai sebuah sistem yang menghubungkan unsur pelindungan, pemanfaatan, dan pengembangan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk seterusnya kata “pelestraian”

dilihat sebagai unsur yang dinamis bukannya statis, dimana setiap unsur berperan memberikan fungsi kepada unsur lain.

Pelindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik (feedback) pada upaya pelindungan.

Unsur ini langsung berhubungan langsung dengan fisik (tangible) cagar budaya yang menjadi bukti masa lalu. Sebaliknya unsur pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-potensi (intangible) yang

menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan.

Kegiatannya bukan dalam bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek misalnya, melainkan upaya pengembangan informasi, penyusunan bahan edukasi, atau sebagai objek wista. Hal ini berbeda

dengan kegiatan pada unsur pemanfaatan yang juga menyentuh fisik dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, bedanya ialah pada unsur ini kegiatannya terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk

menyesuaikan kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.

Pemberian kewenangan yang cukup besar kepada Pemerintah Daerah dapat kita lihat pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Disitu disebutkan 16 kewenangan sebagai

berikut:

1. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;

2. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;

3. menghimpun data Cagar Budaya;

4. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

5. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

6. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;

7. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

8. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

9. mengelola Kawasan Cagar Budaya;

10. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis bidang pelestarian, penelitian, dan museum;

11. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang kepurbakalaan;

12. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

Page 50: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

39

13. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan pengamanan;

14. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

15. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

16. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan

yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Kewenangan yang sama juga diberikan kepada Pemerintah Pusat,

kecuali 5 kewenangan yang bersifat pen-gaturan di tingkat nasional, yaitu:

1. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;

2. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah perbatasan

dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;

3. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur

Cagar Budaya, Situs Cagar Bu-daya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;

4. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar

Budaya bersifat internasional; dan

5. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

Selain itu, Unit Pelaksana Teknis yang merupakan kepanjangan tangan dari Pemerintah Pusat seperti Balai Pelestraian Peninggalan

Purbakala (BP3), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau Balai Arkeologi tidak termasuk yang diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Namun Undang-Undang Cagar Budaya memberi

peluang bagi Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)

menurut kebutuhan. Daerah bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau melakukan peringkat kepentingan terhadap cagar budaya yang berada di wilayah administrasinya masing-masing.

Akan tetapi sebelum kewenangan tersebut dapat dilakukan, tugas pertama adalah menetapkan objek yang didaftarkan sebagai cagar budaya atau bukan cagar budaya. Objek-objek yang ditetapkan sebagai cagar

budaya dengan sendirinya menjadi subjek pengaturan undang-undang, sebaliknya yang bukan cagar budaya tidak diatur lebih jauh oleh undang-

undang. Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menjadi pejabat yang menandatangani penetapan itu, oleh karena itu mulai tahun 2010 status objek sebagai cagar budaya mem-punyai kekuatan hukum karena

pemiliknya akan menerima dua jenis surat: 1) Surat Keterangan Status Cagar Budaya, dan 2) Surat Keterangan Kepemilikan. Kedua surat ini dapat

dikeluarkan setelah penetapan dilakukan kepala daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota untuk

menangani pendaftaran cagar budaya. Anggota Tim Ahli dididik dan diberi

Page 51: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

40

sertifikat oleh Pemerintah Pusat sebelum “dipekerjakan” oleh Pemerintah Daerah. Komposisi anggota Tim Ahli diharapkan 60% dari unsur

masyarakat dan 40% dari unsur pemerintah. Jadi, menurut undang-undang, koleksi milik seseorang, hasil penemuan, atau hasil pencarian baru dapat dinyatakan sebagai cagar budaya setelah melalui kajian Tim Ahli

Cagar Budaya.

Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi yang

disebut sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul dalam Rancangan Peraruran Pemerintah yang kini tengah dipersiapkan untuk dike-luarkan oleh Presiden RI, diharapkan pada tahun 2012. Tugas tim yang bekerja di

bawah koordinasi in-stansi bidang kebudayaan ini adalah mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum dis-erahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Untuk objek yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya, undang-undang juga melindungi “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” dari

kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan layaknya cagar budaya. Pendugaan ini dilakukan oleh Tenaga Ahli, bukan oleh Tim Ahli. Tenaga Ahli adalah orang-orang tertentu seperti arkeologi, antropologi, geologi, sejarah,

atau kesenian yang diberi sertifikat oleh negara menjadi ahli setelah melalui pegujian. Pengaturannya akan dilakukan dalam Peraturan Pemerintah yang tengah dipersiapkan.

Maksud dari pelindungan terhadap “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” ini adalah supaya kemungkinan untuk menjadi cagar

budaya dapat dipertahankan sampai dengan keluarnya penetapan oleh kepala daerah. Undang-undang juga mengsyaratkan bahwa pelestarian hanya dapat dilakukan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli, setelah objek

yang akan dilestarikan dibuat dokumentasinya dan studi kelayakannya. Posisi Tenaga Ahli dikemudian hari akan memegang peranan strategis

dalam upaya pelestarian cagar budaya yang dimotori masyarakat.

Oleh karena itu pendidikan mereka menjadi prioritas Pemerintah Pusat. Dengan demikian peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam

10 tahun ke depan diharapkan akan mampu melakukan sendiri pelestarian cagar budaya. Hal ini menarik untuk disimak mengingat Tenaga Ahli yang dimaksudkan dalam undang-undang dapat bekerja di lilungkungan

pemerintahan, perorangan, lembaga swasta, LSM, atau unsur masyarakat hukum adat. Sinergi para ahli ini diharapkan mampu mem-pertahankan

warisan budaya di seluruh Indonesia sebagai bagian dari upaya mempertahankan dan mem-bangun karakter bangsa.

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh,

unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak mem-

perhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status “kepur-bakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda, bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya

baru. Warisan yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berukurang tanpa dapat dicegah.

Page 52: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

41

Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari

wilayah Indonesia. Presepsi bawha cagar budaya memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar

dapat dinikmati kehadirannya oleh generasi mendatang.

Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut

dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi undang-undang ini dapat direalisasikan oleh semua

pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu men-jadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi mendatang.

Undang-undang lain yang berkaitan juga adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pariwisata. Dalam Undang undang tersebut

diatur hal yang berkaitan dengan daya tarik wisata yang termasuk di dalamnya keragaman obyek wisata yang dapat berupa lingkungan dan peristiwa alam dan budaya, benda peninggalan sejarah dan purbakala, ilmu

pengetahuan dan teknologi, ritual keagamaan serta pertunjukan yang menjadi sasaran atau kunjungan wisata.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Pasal 3 UU tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan ”pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung

jawab.” Dengan kata lain, pendidikan dan kebudayaan berkaitan erat satu sama lain karena akhirnya pendidikan merupakan proses pembudayaan.

Keberadaan undang-undang tersebut mengatur secara sektoral

permasalahan di bidangnya yang merupakan subsistem dari bidang kebudayaan. Pada tataran praktek undang-undang sektoral tersebut mampu mengatur secara komprehensif berbagai permasalahan dalam

bidang kebudayaan. Pada sisi lain perkembangan ketatanegaraan kita yang mengedepankan otonomi daerah telah berdampak pada pola dan sistem

pembangunan bidang kebudayaan, khususnya berkaitan dengan kewenangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam bidang kebudayaan.

-- --

Page 53: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

42

BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN

RUANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH

A. Rumusan Akademik Istilah-Istilah Kunci Dalam Peraturan Daerah

Berbagai istilah yang terkandung dalam Peraturan Daerah ini

penting untuk dirumuskan guna memberikan pengertian yang pasti tentang berbagai istilah tersebut.

Rumusan penjelasan akademik yang selanjutnya menjadi kerangka

teknis bagi istilah-istilah yang terdapat dalam Per-aturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Cagar Budaya ini adalah sebagai berikut:

1. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cila-cap.

3. Bupati adalah Bupati Cilacap.

4. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD Kabupa-ten Cilacap, yaitu unsur pembantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Sekretariat

Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan Kelurahan.

5. Setiap orang adalah perseorangan, kelompok orang, ma-syarakat,

badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.

6. Cagar Budaya adalah warisan budaya yang bersifat ke-bendaan berupa benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, situs Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di

darat dan/atau di air yang per-lu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai pen-ting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,

pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

7. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan

manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah

perkembangan manusia.

8. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari

benda alam atau benda buatan manusia un-tuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau ti-dak berdinding, dan beratap.

9. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang ter-buat dari benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi

kebutuhan ruang kegiatan yang menya-tu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menam-pung kebutuhan manusia.

Page 54: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

43

10. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar

Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

11. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang

memiliki dua situs Cagar Budaya atau lebih yang le-taknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ru-ang yang khas.

12. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

13. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Cagar Budaya dengan tetap memperha-tikan fungsi sosial dan

kewajiban untuk melestarikannya.

14. Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan/atau

penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang ke-pada setiap orang lain atau kepada negara.

15. Tim Pertimbangan Pelestarian Cagar Budaya yang selan-jutnya

disebut Tim Cagar Budaya adalah Tim yang ber-tugas memberi pertimbangan kepada Pemerintah Daerah dalam mengambil kebijakan terhadap kelestarian dan pe-lestarian Cagar Budaya.

16. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompe-tensi untuk

memberikan rekomendasi penetapan, peme-ringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.

17. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, lokasi

dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Daerah.

18. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terha-dap benda, bangunan, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan re-komendasi Tim

Ahli Cagar Budaya.

19. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi, me-ngembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan

pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pe-ngawasan untuk kesejahteraan masyarakat.

20. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahan-kan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya.

21. Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara

penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya.

Page 55: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

44

22. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi Cagar Budaya dari kerusakan, kehancur-an, atau

kemusnahan.

23. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari ancaman dan/atau gangguan.

24. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai kebu-tuhan.

25. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik Cagar Budaya tetap lestari.

26. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Ben-da Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usi-anya.

27. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informa-si, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya me-lalui penelitian,

Revitalisasi, dan Adaptasi secara berke-lanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Peles-tarian.

28. Preservasi (dalam konteks yang luas) adalah kegiatan pe-

meliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan. (Dalam konteks terbatas) Preservasi bangunan dan lingkungan

adalah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pember-sihan dan pengawasan bahan yang

digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

29. Rekonstruksi adalah kegiatan pemugaran untuk memba-ngun

kembali dan memperbaiki seakurat mungkin ba-ngunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana lainnya,

rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan

ba-ru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis.

30. Konsolidasi adalah kegiatan pemugaran yang menitikbe-ratkan

pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struk-tur yang rusak atau melemah secara umum agar per-syaratan teknis bangunan

terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak atau melemah bersifat membahayakan terhadap ke-

kuatan struktur.

31. Restorasi atau Rehabilitasi (dalam konteks yang lebih lu-as) adalah

kegiatan mengembalikan bentuk fisik suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilang-kan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material

baru. (Dalam kon-teks terbatas) Restorasi atau Rehabilitasi adalah

Page 56: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

45

kegiatan pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan ling-kungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya

berdasarkan data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persya-ratan teknis bangunan terpenuhi.

32. Persil adalah sebidang tanah dengan ukuran tertentu.

33. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang dituju-kan untuk

menumbuhkan kembali nilai-nilai penting ca-gar budaya dengan menyesuaikan fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.

34. Adaptasi adalah upaya pengembangan cagar budaya un-tuk kegiatan yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan

kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

35. Demolisi adalah upaya pembongkaran atau perombakan suatu bangunan cagar budaya yang sudah dianggap ru-sak dan membahayakan dengan pertimbangan dari aspek keselamatan dan

keamanan dengan melalui penelitian ter-lebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap.

36. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk

kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat de-ngan tetap mempertahankan kelestariannya.

B. Muatan Materi Peraturan Daerah

1. Maksud dibentuknya Peraturan Daerah

Peraturan Daerah Tentang Cagar Budaya ini dibentuk dengan maksud untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan

partisipasi masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya. Peraturan Daerah ini dibentuk untuk merespon kondisi daerah Kabupaten Cilacap yang karena begitu banyak potensi cagar alamnya, maka

dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya bagi

kepentingan yang luas. Maksud dibentuknya Peraturan Daerah ini juga adalah sebagai perangkat hukum untuk menjadi rujukan

bersama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya.

2. Tujuan Dibentuknya Peraturan Daerah

Suatu peraturan dibentuk, termasuk Peraturan Daerah, untuk

memberikan pedoman bagi pengguna dalam melaksanakan suatu kegiatan tertentu, termasuk kegiatan pelestarian cagar budaya.

Page 57: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

46

Dengan disahkanya Perda ini, maka pemerintah Kabupaten Cilacap memiliki landasan yuridis dalam hal pelestarian cagar budaya.

Peraturan Daerah ini memuat hal-hal pokok tentang pelestarian cagar budaya, yang meliputi; pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya.

Oleh karena itu, secara substansi, ruang lingkup Peraturan Daerah ini mengatur hal-hal sebagai berikut:

Bab I : Ketentuan Umum

Bab II : Asas, Tujuan, Dan Lingkup

Bab III : Kriteria Cagar Budaya

Bab IV : Penemuan Dan Pencarian

Bab V : Pemilikan Dan Penguasaan

Bab VI : Registrasi

Bab VII : Pelestarian

Bab VIII : Tugas Dan Wewenang

Bab IX : Pendanaan

Bab X : Pengawasan

Bab XI : Penyidikan

Bab XII : Ketentuan Pidana

Bab XIII : Ketentuan Peralihan

Bab XIV : Ketentuan Penutup

Berdasarkan maksud dan tujuan dibentuknya Peraturan Daerah

Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya sebagaimana dikemukakan di atas, maka dihasilkan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya sebagaimana yang bisa dilihat pada lampiran

Naskah Akademik ini.

-- --

Page 58: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

47

BAB VI PENUTUP

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Oleh karena itu, untuk

menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air,

diperlukan pengaturan untuk menjamin eksistensinya. Ihtiar pelestarian cagar budaya dimaksudkan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu

memperhatikan keseimbangan antarakepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis.

Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah dan partisipasi

masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik berkaitan

dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas. Untuk itu diperlukan perangkat hukum sebagai rujukan bersama antara

pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk peraturan daerah tentang cagar budaya.

Manfaat Perlindungan dan pelestarian cagar budaya dapat dilihat

dari tiga perspektif :

4. Ideologi, yaitu yang terkait erat dengan muatan untuk mewujudkan

“cultural identity”; Dengan menumbuhkan kesadaran dan meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi

akan dapat menumbuhkan jati diri bangsa, sehingga masyarakat dapat bersikap lebih kritis terhadap sumberdaya arkeologi atau benda cagar budaya sebagai cagar budaya yang harus dilestarikan.

5. Ekonomik, secara ekonomik, pelestarian dan pemanfaatan cagar budaya dapat memberikan dorongan kepada masyarakat untuk

dapat bersamasama dalam menciptakan produk pelestarian cagar budaya yang berkualitas yang berimplikasi pada peningkatkan perolehan pendapatan dan penghasilan, baik bagi masyarakat luas

maupun bagi pemerintah. Akademik secara akademik, pelestarian dan pemafaatan

sumberdaya arkeologi di sekitar kompleks makam Imogiri dapat dijadikan suatu model pelestarian dan pemanfaatan dari pemerintah bersama masyarakat, oleh pemerintah bersama masyarakat, dan untuk

rakyat.

Secara yuridis Peraturan daerah ini menjadi rujukan hukum bagi

pemerintah kabupaten dalam melestarikan, melindungi dan memanfaatkan cagar budaya sehingga ada kepastian hukum. Perda ini juga menjadi rujukan masyarakat dalam berpartisipasi melindungi dan

memanfaatkan cagar budaya di wilayah kabupaten Cilacap.

Negara melalui Raperda Cagar Budaya menyelenggarakan pendaftaran, perlindungan, pendidikan, perawatan, pemanfaatan dan

Page 59: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

48

sosialisasi cagar budaya didasari oleh kerangka nilai yaitu nilai-nilai, asas-asas, prinsip-prinsip, standar-standar perilaku yang diangkat dari

nilai-nilai luhur, falsafah hidup dan pandangan hidup serta nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya bangsa Indonesia dimana peraturan cagar budaya ini dilaksanakan.

Salah satu lingkup kegiatan penyelenggaraan cagar budaya tersebut, yang relevan dan penting diperhatikan adalah pemerintah

sudah dari awal telah menempatkan cagar budaya sebagai salah satu hal yang sangat penting dalam pengembangan kebudayaan dan sejarah bangsa. Cagar budaya di adakan untuk kepentingan pelestarian warisan

budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa dan juga sebagai sarana pendidikan nonformal, oleh karena itu pemerintah menganggap cagar budaya itu urusan yang perlu ditangani

pembinaan, pengarahan dan pengembangannya dalam rangka pelaksanaan kebijakan politik, sosial dan ekonomi di bidang

kebudayaan.

Bagi Raperda Cagar Budaya, Pancasila adalah sumber nilai yang menjadi falsafah hidup dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Dalam

Raperda ini mengakui bahwa bangsa Indonesia memiliki tekad yang tunggal untuk melaksanakan lima kehendak yakni untuk melaksanakan kelima sila dari Pancasila. Dikatakan tekad yang tunggal karena tekad

itu sangat kuat dan tidak tergoyahkan lagi, sehingga disepakati dan dicantuman didalam setiap peraturan perundangan-undangan yang

dibuat. Pancasila adalah dasar dari semua urusan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kemasyarakatan dan menjadi pedoman, penuntun sikap dan tingkah laku manusia Indonesia didalam urusan-

urusan tersebut.

Pada sila Ketuhahan Yang Maha Esa diwujudkan dalam

kehidupan beragama, memberikan landasan yang penting untuk membentuk kehidupan beragama dan Keyakinan bernegara melaksanakan. Ajaran-ajaran agama yang sangat luhur merupakan

faktor kunci kesuksesan dalam membentuk sistem kenegaraan di Indonesia. Konsep kebudayaan Indonesia yang sejak dahulu dibangun mengacu kepada agama dan nilai-nilai yang dipahami, dianut, dan

dipedomani bersama oleh bangsa Indonesia. Nilai-nilai inilah yang kemudian dianggap sebagai nilai luhur, sebagai acuan pembangunan

Indonesia. Nilai-nilai itu antara lain adalah taqwa, iman, kebenaran, tertib, setia kawan, harmoni, rukun, disiplin, harga diri, tenggang rasa, ramah tamah, ikhtiar, kompetitif, kebersamaan, dan kreatif. Nilai-nilai

itu ada dalam sistem budaya etnik yang ada di Indonesia. Nilai-nilai tersebut dianggap sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah.

Kemanusiaan yang adil dan beradab menunjukkan bahwa kemanusiaan adalah sifat yang dimiliki setiap manusia. Manusia pada dasarnya adalah sama dan mempunyai nilai-nilai kemanusiaan yang

bersifat universal. Segala perbedaan yang Nampak tidak boleh dijadikan alasan untuk bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Cagar budaya bangsa Indonesia menunjukan bahwa sejak dahulu kala,

bangsa Indonesia adalah bangsa yang berperikemanusiaan, saling tolong

Page 60: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

49

menolong dan bergotong royong, nilai-nilai ini dapat terlihat dari berbagai peninggalan berupa benda-benda bersejarah maupun dari

kegiatan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan seni yang tetap di lestarikan turun temurun hingga saat ini.

Di dalam bangsa yang besar ini, tidak ada satu manusiapun yang

mau diperlakukan dengan tidak adil. Didalam hubungan antar manusia sering terjadi gesekan-gesekan yang menimbulkan permasalahan. Dan

nilai keadilan merupakan poin utama yang digunakan dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut. Dengan memegang prinsip adil tersebut maka hubungan antar manusia akan

harmonis sesuai dengan yang seharusnya. Dengan prinsip keadilan maka dapat dikembangkan prinsip-prinsip lain antara lain tidak melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, menghargai hak

orang lain, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, tidak menggunakan fasilitas

Negara untuk kepentingan pribadi, dan lain-lain.

Beradab menunjuk kepada tingkatan kemajuab kehidupan, baik dalam bermasyarakat maupun secara individual. Beradab erat

kaitannya dengan aturan-aturan hidup, budi pekerti, tata karma, sopan santun, adat istiadat, kebudayaan, kemajuan ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Semua aturan tersebut untuk menjaga agar manusia tetap

beradab dan menghindari kezaliman. Adab diperlukan agar manusia bisa meletakkan diri pada tempat yang sesuai. Sesuatu tidak pada

tempatnya akan cenderung menyebabkan ketidaksadaran, kebodohan, dan kerusakan pada system kemasyarakatan.

Persatuan yang semakin kuat akan memberikan efek sinergi yang

semakin besar, sehingga sebesar apapun permasalahan yang dihadapi akan jauh lebih mudah untuk diselesaikan. Hal ini telah disadari bangsa

Indonesia sejak dahulu kala, dan diwujudkan dalam bentuk gotong royong. Dengan kata lain, gotong royong adalah bentuk kesadaran bersinergi dari bangsa Indonesia. Bhineka tunggal ika adalah hakikat

dari bangsa Indoensia, sehingga tidak perlu dipecah kembali, karena perpecahan akan menimbulkan mudharat yang lebihy besar dibandingkan manfaat. Persatuan Indonesia adalah proses yang terus

menerus dilakukan di Indonesia.

Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran

akan perlunya mewujudkan perbedaan sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dan kesatuan dalam menghadapi penjajah Belanda. Sumpah Pemuda ini merupakan cikal bakal munculnya wawasan

kebangsaan Indonesia. Multikulturalisme ini tetap dijunjung tinggi pada waktu persiapan kemerdekaan, yang dapat dilihat antara lain dalam

sidang-sidang BPUPKI. Terlihat bahwa para pendiri republik ini sangat menghargai pluralisme dan perbedaan (multikulturalisme), baik dalam konteks sosial maupun politik. Pencoretan “tujuh kata” dalam Piagam

Jakarta dapat dipahami dalam konteks menghargai sebuah multikulturalisme dalam arti luas.

Page 61: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

50

Pancasila seharusnya mampu (1) mengakomodasi seluruh kepentingan kelompok sosial yang multikultural, multietnis, dan agama;

(2) terbuka; (3) memberikan ruang terhadap berkembangannya ideologi sosial politik yang pluralistik. Pancasila adalah ideologi terbuka dan tidak boleh mereduksi pluralitas ideologi sosial-politik, etnis dan

budaya. Melalui Pancasila seharusnya bisa ditemukan sesuatu sintesis harmonis antara pluralitas agama, multikultural, kemajemukan etnis

budaya, serta ideologi sosial politik, agar terhindar dari segala bentuk konflik yang hanya akan menjatuhkan martabat kemanusiaan itu.

Secara konstitusional negara Indonesia dibangun untuk

mewujudkan dan mengembangkan bangsa yang religius, humanis, bersatu dalam kebhinnekaan. Demokratis dan berkeadilan sosial, belum sepenuhnya tercapai. Konsekwensinya ialah keharusan melanjutkan

proses membentuk kehidupan sosial budaya yang maju dan kreatif; memiliki sikap budaya kosmopolitan dan pluralistik; tatanan sosial

politik yang demokratis dan struktur sosial ekonomi masyarakat yang adil dan bersifat kerakyatan.

Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan. Kerakyatan adalah identik dengan demokrasi, yaitu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Kerakyatan atau demokrasi diwarnai oleh watak asli bangsa Indonesia yakni

kekeluargaan, gotong royong, tenggang rasa, tepa selira, santun, penuh kerukunan, tolong menolong dalam kebaikan, dan lain-lain. Dipimpin

menyiratkan adanya pemimpin, yang berarti dua, pertama, bersifat semangat, kedua, berupa manusia pemimpin. Semangat dimaksud adalah hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

Sedangkan manusia pemimpin adalah orang yang diliputi semangat dan mampu menjadi yang terdepan didalam pelaksanaannya. Seorang

pemimpin sebaiknya adalah yang peduli terhadap nasib rakyatnya. Pembentukan Raperda ini merupakan perhatian yang sangat besar dari Pemimpin untuk seluruh masyarakatnya.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan harus menjadi syarat dan tolok ukur keberhasilan dari seluruh produk kenegaraan. Sosial bukan berate faham sosialisme melainkan berarti

rakyat banyak. Keadilan sosial berarti suatu hirarkhi, bahwa keadilan untuk rakyat banyak dan lebih penting dibandingkan kedilan untuk

kelompok tertentu. Seluruh rakyat Indonesia berarti bahwa keadilan sosial berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia, dimanapun tanpa terkecuali. Tidak boleh ada diskriminasi keadilan terhadap siapapun,

terhadap kelompok manapun, juga terhadap minoritas. Diskriminasi akan memicu perpecahan dalam masyarakat, yang bisa menggerus nilai-

nilai luhur yang dimiliki rakyat Indonesia sejak dahulu.

-- --

Page 62: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

51

LAMPIRAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TENTANG CAGAR BUDAYA

Page 63: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

52

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP

NOMOR ……. TAHUN 2017

TENTANG

CAGAR BUDAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI CILACAP,

Menimbang : a. bahwa cagar budaya yang ada di wilayah

Kabupaten Cilacap merupakan peninggalan budaya generasi terdahulu masyarakat Cilacap yang penting artinya bagi

pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara, sehingga perlu dilestarikan melalui upaya pelindungan, pengembangan,

dan pemanfaatan yang diarahkan untuk memajukan kebudayaan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

b. bahwa pelestarian cagar budaya yang berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan

kawasan perlu dilakukan oleh pemerintah daerah dengan meningkatkan peranserta masyarakat untuk melindungi, mengembang-

kan, dan memanfaatkan cagar budaya; c. bahwa dalam rangka pelindungan, pengem-

bangan, dan pemanfaatan cagar budaya,

pemerintah daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang untuk

membuat peraturan tentang cagar budaya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan

sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf

b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya.

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Ne-gara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 ten-

tang Pembentukan Daerah-daerah Kabupa-ten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah;

3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009

tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,

Page 64: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

53

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 ten-tang Cagar Budaya (Lembaran Negara Repu-blik Indonesia Tahun 2010 Nomor 130,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 5168);

5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ten-tang Pembentukan Peraturan Perundang-un-dangan (Lembaran Negara Republik Indone-

sia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lem-baran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);

6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ten-tang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indo-nesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah

beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Peru-bahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2015

tentang Museum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 195,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5733);

8. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014

tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Un-dang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pem-bentukan Peraturan Perundang-Undangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);

9. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan Gedung Cagar Budaya

yang Dilestarikan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 308);

10. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2015 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Provinsi Jawa

Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Nomor 10)

Dengan Persetujuan Bersama

Page 65: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

54

DEWAN PEWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

Dan

BUPATI CILACAP

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG CAGAR

BUDAYA

BAB I KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 37. Pemerintah Pusat selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden

Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

38. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan.

39. Pemerintah Provinsi adalah Gubernur dan perangkat daerah sebagai

unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Tengah. 40. Daerah adalah Kabupaten Cilacap.

41. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Cilacap. 42. Bupati adalah Bupati Cilacap. 43. Organisasi Perangkat Daerah (OPD), adalah OPD Kabupaten Cilacap,

yaitu unsur pembantu Kepala Daerah dalam penye-lenggaraan Pemerintahan Daerah yang terdiri dari Sekretariat Daerah, Sekretariat DPRD, Dinas Daerah, Lembaga Teknis Daerah, Kecamatan, dan

Kelurahan. 44. Setiap Orang adalah perseorangan, kelompok orang, masya-rakat,

badan usaha berbadan hukum, dan/atau badan usaha bukan berbadan hukum.

45. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa

benda Cagar Budaya, bangunan Cagar Budaya, struktur Cagar Budaya, situs Cagar Budaya, dan kawasan Cagar Budaya di darat

dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

46. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki

hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

Page 66: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

55

47. Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan

ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap. 48. Struktur Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari

benda alam dan/atau benda buatan manusia untuk memenuhi

kebutuhan ruang kegiatan yang menyatu dengan alam, sarana, dan prasarana untuk menampung kebutuhan manusia.

49. Situs Cagar Budaya adalah lokasi yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti kejadian pada masa lalu.

50. Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.

51. Kepemilikan adalah hak terkuat dan terpenuh terhadap Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk

melestarikannya. 52. Penguasaan adalah pemberian wewenang dari pemilik kepada

Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola

Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk melestarikannya.

53. Dikuasai oleh Negara adalah kewenangan tertinggi yang dimiliki oleh

negara dalam menyelenggarakan pengaturan perbuatan hukum berkenaan dengan pelestarian Cagar Budaya.

54. Pengalihan adalah proses pemindahan hak kepemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya dari setiap orang kepada setiap orang lain atau kepada negara.

55. Insentif adalah dukungan berupa advokasi, perbantuan, atau bentuk lain bersifat nondana untuk mendorong pelestarian Cagar Budaya dari

Pemerintah Daerah. 56. Tenaga Ahli Pelestarian adalah orang yang karena kompetensi keahlian

khususnya dan/atau memiliki sertifikat di bidang Perlindungan,

Pengembangan, atau Pemanfaatan Cagar Budaya. 57. Tim Ahli Cagar Budaya adalah kelompok ahli pelestarian dari berbagai

bidang ilmu yang memiliki sertifikat kompetensi untuk memberikan

rekomendasi penetapan, pemeringkatan, dan penghapusan Cagar Budaya.

58. Kurator adalah orang yang karena kompetensi keahliannya bertanggung jawab dalam pengelolaan koleksi museum.

59. Pendaftaran adalah upaya pencatatan benda, bangunan, lokasi

dan/atau satuan ruang geografis untuk diusulkan sebagai Cagar Budaya kepada Pemerintah Daerah.

60. Penetapan adalah pemberian status Cagar Budaya terhadap benda, bangunan, lokasi, atau satuan ruang geografis yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan rekomendasi

Tim Ahli Cagar Budaya. 61. Pengelolaan adalah upaya terpadu untuk melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkan Cagar Budaya melalui kebijakan

pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk kesejahteraan masyarakat.

Page 67: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

56

62. Pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,

dan memanfaatkannya. 63. Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari

kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan,

pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya. 64. Penyelamatan adalah upaya menghindarkan dan/atau menanggulangi

Cagar Budaya dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan. 65. Pengamanan adalah upaya menjaga dan mencegah Cagar Budaya dari

ancaman dan/atau gangguan.

66. Zonasi adalah penentuan batas-batas keruangan Situs Cagar Budaya dan Kawasan Cagar Budaya sesuai kebutuhan.

67. Zona Inti adalah area pelindungan utama untuk menjaga bagian

terpenting Cagar Budaya. 68. Zona Penyangga adalah area yang melindungi zona inti.

69. Zona Pengembangan adalah area yang diperuntukan bagi pengembangan potensi Cagar Budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi lingkungan alam, lanskap budaya, kehidupan

budaya tradisional, keagamaan, dan kepariwisataan. 70. Zona Penunjang adalah area yang diperuntukan bagi sarana dan

prasarana penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi

umum. 71. Pemeliharaan adalah upaya menjaga dan merawat agar kondisi fisik

Cagar Budaya tetap lestari. 72. Pemugaran adalah upaya pengembalian kondisi fisik Benda Cagar

Budaya, Bangunan Cagar Budaya yang rusak sesuai dengan keaslian

bahan, bentuk, tata letak, dan/atau teknik pengerjaan untuk memperpanjang usianya.

73. Pengembangan adalah peningkatan potensi nilai, informasi, dan promosi Cagar Budaya serta pemanfaatannya melalui penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak

bertentangan dengan tujuan Pelestarian. 74. Penelitian adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan menurut kaidah dan

metode yang sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan

keterangan bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya, ilmu pengetahuan, dan pengembangan kebudayaan.

75. Revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan menyesuaikan fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan

prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat. 76. Adaptasi adalah upaya pengembangan cagar budaya untuk kegiatan

yang lebih sesuai dengan kebutuhan masa kini dengan melakukan perubahan terbatas yang tidak akan mengakibatkan kemerosotan nilai pentingnya atau kerusakan pada bagian yang mempunyai nilai penting.

77. Preservasi (dalam konteks yang luas) adalah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses kerusakan. (Dalam

konteks terbatas) Preservasi bangunan dan lingkungan adalah upaya perbaikan dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada

Page 68: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

57

pembersihan dan pengawasan bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

78. Rekonstruksi adalah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki seakurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana

lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karena salah satu sebab yang darurat, dengan menggunakan bahan

yang tersisa atau terselamatkan dengan penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan memenuhi persyaratan teknis.

79. Konsolidasi adalah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi

dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak

atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur. 80. Restorasi atau Rehabilitasi (dalam konteks yang lebih luas) adalah

kegiatan mengembalikan bentuk fisik suatu tempat kepada kondisi

sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan atau merakit kembali komponen eksisting tanpa menggunakan material baru. (Dalam konteks terbatas) Restorasi atau Rehabilitasi adalah kegiatan

pemugaran untuk mengembalikan bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan data

pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi.

81. Persil adalah sebidang tanah dengan ukuran tertentu.

82. Demolisi adalah upaya pembongkaran atau perombakan suatu bangunan cagar budaya yang sudah dianggap rusak dan

membahayakan dengan pertimbangan dari aspek keselamatan dan keamanan dengan melalui penelitian terlebih dahulu dengan dokumentasi yang lengkap.

83. Pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.

84. Perbanyakan adalah kegiatan duplikasi langsung terhadap Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya,

baik seluruh maupun bagian-bagiannya. 85. Di Air adalah berada di laut, sungai, danau, waduk, sumur, kolam,

rawa, dan genangan air.

86. Di Darat adalah tidak berada Di Air, termasuk di bukit, gunung, lembah, dan di daratan yang terletak di dalam tanah di bawah air.

Page 69: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

58

BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP

Pasal 2

Pelestarian Cagar Budaya berasaskan: a. Pancasila;

b. Bhinneka Tunggal Ika; c. kenusantaraan; d. keadilan;

e. ketertiban dan kepastian hukum; f. kemanfaatan; g. keberlanjutan;

h. partisipasi; dan i. transparansi dan akuntabilitas.

Pasal 3

Pelestarian Cagar Budaya bertujuan: a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya;

c. memperkuat kepribadian bangsa; d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan

e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Pasal 4

Lingkup Pelestarian Cagar Budaya meliputi Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Cagar Budaya di darat dan di air.

BAB III KRITERIA CAGAR BUDAYA

Bagian Kesatu Benda, Bangunan, dan Struktur

Pasal 5

Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila

memenuhi kriteria: a. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; b. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun;

c. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan

d. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Page 70: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

59

Pasal 6

Benda Cagar Budaya dapat: a. berupa benda alam dan/atau benda buatan manusia yang dimanfaatkan

oleh manusia, serta sisa-sisa biota yang dapat dihubungkan dengan

kegiatan manusia dan/atau dapat dihubungkan dengan sejarah manusia;

b. bersifat bergerak atau tidak bergerak; dan c. merupakan kesatuan atau kelompok.

Pasal 7

Bangunan Cagar Budaya dapat:

a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam.

Pasal 8

Struktur Cagar Budaya dapat: a. berunsur tunggal atau banyak; dan/atau b. sebagian atau seluruhnya menyatu dengan formasi alam.

Bagian Kedua

Situs dan Kawasan

Pasal 9

Lokasi dapat ditetapkan sebagai Situs Cagar Budaya apabila:

a. mengandung Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya; dan

b. menyimpan informasi kegiatan manusia pada masa lalu.

Pasal 10

Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila:

a. mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;

b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit

50 (lima puluh) tahun; c. memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia

paling sedikit 50 (lima puluh) tahun; d. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan

ruang berskala luas;

e. memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan f. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan

manusia atau endapan fosil.

Page 71: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

60

Pasal 11

Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang atas dasar penelitian memiliki arti khusus bagi masyarakat tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5

sampai dengan Pasal 10 dapat diusulkan sebagai Cagar Budaya.

BAB IV PENEMUAN DAN PENCARIAN

Bagian Kesatu Penemuan

Pasal 12

(1) Setiap orang yang menemukan benda yang diduga Benda Cagar Budaya, bangunan yang diduga Bangunan Cagar Budaya, struktur yang diduga Struktur Cagar Budaya, dan/atau lokasi yang diduga Situs Cagar

Budaya wajib melaporkannya kepada Perangkat Daerah yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak ditemukannya.

(2) Temuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak dilaporkan oleh penemunya dapat diambil alih oleh Pemerintah Daerah.

(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perangkat Daerah yang berwenang di bidang kebudayaan melakukan pengkajian terhadap temuan.

Pasal 13

(1) Setiap orang berhak memperoleh kompensasi apabila benda, bangunan,

struktur, atau lokasi yang ditemukannya ditetapkan sebagai Cagar

Budaya. (2) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sangat langka jenisnya, unik

rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Indonesia, maka temuan tersebut dikuasai oleh Negara.

(3) Apabila temuan yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak langka jenisnya, tidak unik rancangannya, dan jumlahnya telah memenuhi kebutuhan negara,

maka temuan tersebut dapat dimiliki oleh penemunya.

Pasal 14

Ketentuan lebih lanjut mengenai penemuan Cagar Budaya dan

kompensasinya diatur dalam Peraturan Bupati.

Page 72: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

61

Bagian Kedua Pencarian

Pasal 15

(1) Pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya dapat dilakukan oleh setiap orang dengan penggalian, penyelaman, dan/atau

pengangkatan di darat dan/atau di air. (2) Pencarian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan

melalui penelitian dengan tetap memperhatikan hak kepemilikan

dan/atau penguasaan lokasi. (3) Setiap orang dilarang melakukan pencarian Cagar Budaya atau yang

diduga Cagar Budaya dengan penggalian, penyelaman, dan/atau

pengangkatan di darat dan/atau di air sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kecuali dengan izin Bupati.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian Cagar Budaya atau yang diduga Cagar Budaya diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB V PEMILIKAN DAN PENGUASAAN

Pasal 17

(1) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosialnya sepanjang tidak

bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini. (2) Setiap orang dapat memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya apabila

jumlah dan jenis Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya tersebut telah memenuhi kebutuhan Daerah.

(3) Kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diperoleh melalui pewarisan, hibah, tukar-menukar, hadiah, pembelian, dan/atau putusan atau penetapan pengadilan, kecuali yang dikuasai

oleh Pemerintah Daerah. (4) Pemilik Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar

Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang tidak ada ahli warisnya atau tidak menyerahkannya kepada orang lain berdasarkan wasiat, hibah, atau hadiah setelah pemiliknya meninggal, kepemilikannya

diambil alih oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 73: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

62

Pasal 18

Kawasan Cagar Budaya hanya dapat dimiliki dan/atau dikuasai oleh Pemerintah, kecuali yang secara turun-temurun dimiliki oleh masyarakat hukum adat.

Pasal 19

(1) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing tidak dapat memiliki

dan/atau menguasai Cagar Budaya, kecuali warga negara asing

dan/atau badan hukum asing yang tinggal dan menetap di Daerah. (2) Warga negara asing dan/atau badan hukum asing sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilarang membawa Cagar Budaya, baik seluruh

maupun bagian-bagiannya, ke luar wilayah Daerah.

Pasal 20

Cagar Budaya yang berada di Daerah dan tidak diketahui kepemilikannya dikuasai oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 21

(1) Cagar Budaya yang dimiliki setiap orang dapat dialihkan kepemilikannya kepada Pemerintah Daerah atau setiap orang lain.

(2) Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan

atas pengalihan kepemilikan Cagar Budaya. (3) Pengalihan kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dilakukan dengan cara diwariskan, dihibahkan, ditukarkan, dihadiahkan, dijual, diganti rugi, dan/atau penetapan atau putusan pengadilan.

(4) Cagar Budaya yang telah dimiliki oleh Pemerintah Daerah tidak dapat dialihkan kepemilikannya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan Cagar Budaya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati.

Pasal 22

(1) Setiap orang dilarang mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya di Daerah, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin

Bupati sesuai dengan tingkatannya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Page 74: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

63

Pasal 23

(1) Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya bergerak yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang dapat disimpan dan/atau dirawat di museum.

(2) Museum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi berupa

benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya atau yang bukan Cagar Budaya, dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat.

(3) Pelindungan, Pengembangan, dan Pemanfaatan koleksi museum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada di bawah tanggung jawab pengelola museum.

(4) Dalam pelaksanaan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3), museum wajib memiliki Kurator.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai museum diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 24

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya paling

lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya rusak, hilang, atau musnah wajib melaporkannya

kepada Perangkat Daerah yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau instansi terkait.

(2) Setiap orang yang tidak melapor rusaknya Cagar Budaya yang dimiliki

dan/atau dikuasainya kepada Perangkat Daerah yang berwenang di bidang kebudayaan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan/atau

instansi terkait paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya tersebut rusak dapat diambil alih pengelolaannya oleh Pemerintah Daerah.

(3) Tata cara pengambilalihan pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 25

(1) Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita oleh aparat penegak hukum dilarang dimusnahkan atau dilelang.

(2) Cagar Budaya atau benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang diduga sebagai Cagar Budaya yang disita

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilindungi oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

(3) Dalam melakukan Pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

aparat penegak hukum dapat meminta bantuan kepada instansi yang berwenang di bidang kebudayaan.

Page 75: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

64

Pasal 26

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya berhak memperoleh Kompensasi apabila telah melakukan kewajibannya melindungi Cagar Budaya.

(2) Insentif dapat berupa pengurangan pajak bumi dan bangunan dan/atau pajak penghasilan dapat diberikan oleh Pemerintah Daerah kepada

pemilik Cagar Budaya yang telah melakukan Pelindungan Cagar Budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Kompensasi dan Insentif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.

BAB VI REGISTRASI

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 27

Registrasi Cagar Budaya meliputi : a. pendaftaran;

b. pengkajian; c. penetapan; d. pencatatan;

e. pemeringkatan; f. pemberian tanda; dan

g. penghapusan.

Bagian Kedua

Pendaftaran

Pasal 28

Pemerintah Daerah bekerja sama dengan setiap orang dalam melakukan

pendaftaran Cagar Budaya.

Pasal 29

(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau menguasai Cagar Budaya wajib

mendaftarkannya kepada Pemerintah Daerah tanpa dipungut biaya. (2) Setiap orang dapat berpartisipasi dalam melakukan pendaftaran

terhadap benda, bangunan, struktur, dan lokasi yang diduga sebagai

Cagar Budaya meskipun tidak memiliki atau menguasainya. (3) Pemerintah Daerah melaksanakan pendaftaran Cagar Budaya yang

dikuasai oleh Pemerintah Daerah atau yang tidak diketahui pemiliknya

sesuai dengan tingkat kewenangannya.

Page 76: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

65

(4) Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), harus dilengkapi dengan deskripsi dan dokumentasinya.

(5) Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak didaftarkan oleh pemiliknya dapat diambil alih oleh Pemerintah Daerah.

(6) Pengambil alihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat

dilaksanakan setelah dilakukan pengkajian oleh Perangkat Daerah dan Tim Ahli Cagar Budaya.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pengambil alihan Cagar Budaya yang tidak didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan

Peraturan Bupati.

Pasal 30

Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pembentukan sistem dan jejaring

Pendaftaran Cagar Budaya secara digital dan/atau nondigital.

Bagian Ketiga

Pengkajian

Pasal 31

(1) Hasil pendaftaran sebagaimana dimaksud pasal 29 diserahkan kepada

Tim Ahli Cagar Budaya untuk dikaji kelayakannya sebagai Cagar Budaya atau bukan Cagar Budaya.

(2) Pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan melakukan

identifikasi dan klasifikasi terhadap benda, bangunan, struktur, lokasi, dan satuan ruang geografis yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai

Cagar Budaya. (3) Tim Ahli Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan

dengan Keputusan Bupati

(4) Dalam melakukan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Tim Ahli Cagar Budaya dapat dibantu oleh Perangkat Daerah atau Unit Kerja yang membidangi Cagar Budaya.

(5) Selama proses pengkajian, benda, bangunan, struktur, atau lokasi hasil penemuan atau yang didaftarkan, dilindungi dan diperlakukan sebagai

Cagar Budaya. (6) Tim ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri dari unsur

pemerintah daerah, instansi terkait, akademisi, pakar di bidang cagar

budaya dan/atau masyarakat.

Pasal 32

Pengkajian terhadap koleksi museum yang didaftarkan dilakukan oleh Kurator dan selanjutnya diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Page 77: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

66

Bagian Keempat Penetapan

Pasal 33

(1) Penetapan status Cagar Budaya dikeluarkan oleh Bupati paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender setelah rekomendasi diterima dari Tim Ahli

Cagar Budaya yang menyatakan benda, bangunan, struktur, lokasi, dan/atau satuan ruang geografis yang didaftarkan layak sebagai Cagar Budaya.

(2) Penemu benda, bangunan, dan/atau struktur yang telah ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, dan/atau Struktur Cagar Budaya berhak mendapat Kompensasi.

(3) Ketentuan lebih lanjut tentang Kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 34

Benda, bangunan, struktur, lokasi, atau satuan ruang geografis yang memiliki arti khusus bagi masyarakat sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 dapat ditetapkan sebagai Cagar Budaya dengan Keputusan Bupati

setelah memperoleh rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya sesuai dengan tingkatannya.

Pasal 35

Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan Pasal 34 dapat ditinjau secara berkala 5 (lima) tahun sekali.

Bagian Kelima

Pencatatan

Pasal 36

Pemerintah Daerah melakukan upaya aktif mencatat dan menyebarluaskan informasi tentang Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan keamanan

dan kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 37

Pengelolaan Register Nasional Cagar Budaya di Daerah sesuai dengan tingkatannya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

Page 78: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

67

Bagian Keenam Pemeringkatan

Pasal 38

Pemerintah Daerah dapat melakukan pemeringkatan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya menjadi peringkat Nasional, peringkat

Provinsi, dan peringkat Kabupaten berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Pasal 39

Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat Nasional

apabila memenuhi syarat: a. wujud kesatuan dan persatuan bangsa;

b. karya adiluhung yang mencerminkan kekhasan kebudayaan bangsa Indonesia;

c. Cagar Budaya yang sangat langka jenisnya, unik rancangannya, dan

sedikit jumlahnya di Indonesia; d. bukti evolusi peradaban bangsa serta pertukaran budaya lintas negara

dan lintas daerah, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di

masyarakat; dan/atau e. contoh penting kawasan permukiman tradisional, lanskap budaya,

dan/atau pemanfaatan ruang bersifat khas yang terancam punah.

Pasal 40

Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat Provinsi

apabila memenuhi syarat: a. mewakili kepentingan pelestarian Kawasan Cagar Budaya lintas

Kabupaten;

b. mewakili karya kreatif yang khas dalam wilayah Provinsi; c. langka jenisnya, unik rancangannya, dan sedikit jumlahnya di Provinsi; d. sebagai bukti evolusi peradaban bangsa dan pertukaran budaya lintas

wilayah Kabupaten, baik yang telah punah maupun yang masih hidup di masyarakat; dan/atau

e. berasosiasi dengan tradisi yang masih berlangsung.

Pasal 41

Cagar Budaya dapat ditetapkan menjadi Cagar Budaya peringkat Kabupaten

apabila memenuhi syarat: a. sebagai Cagar Budaya yang diutamakan untuk dilestarikan dalam

wilayah kabupaten;

b. mewakili masa gaya yang khas; c. tingkat keterancamannya tinggi; d. jenisnya sedikit; dan/atau

e. jumlahnya terbatas.

Page 79: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

68

Pasal 42

Pemeringkatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 untuk tingkat Kabupaten dengan Keputusan Bupati berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya.

Pasal 43

Cagar Budaya di Daerah yang tidak lagi memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten

dapat dikoreksi peringkatnya berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya di setiap tingkatan.

Pasal 44

Peringkat Cagar Budaya dapat dicabut apabila Cagar Budaya: a. musnah; b. kehilangan wujud dan bentuk aslinya;

c. kehilangan sebagian besar unsurnya; atau d. tidak lagi sesuai dengan syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39,

Pasal 40 dan Pasal 41.

Bagian Ketujuh

Pemberian Tanda

Pasal 45

(1) Setiap orang yang memiliki, menghuni, atau mengelola Kawasan

dan/atau Bangunan Cagar Budaya wajib memasang tanda kawasan dan/atau bangunan Cagar Budaya yang mudah dilihat oleh umum.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian tanda Kawasan dan/atau

Bangunan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati.

Bagian Kedelapan Penghapusan

Pasal 46

(1) Cagar Budaya di Daerah yang sudah tercatat dalam Register Nasional hanya dapat dihapus dengan Keputusan Menteri atas rekomendasi Tim

Ahli Cagar Budaya di tingkat Pemerintah. (2) Keputusan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

ditindaklanjuti oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 80: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

69

Pasal 47

(1) Penghapusan Cagar Budaya di Daerah dari Register Nasional Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilakukan apabila Cagar Budaya:

a. musnah; b. hilang dan dalam jangka waktu 6 (enam) tahun tidak ditemukan;

c. mengalami perubahan wujud dan gaya sehingga kehilangan keasliannya; atau

d. di kemudian hari diketahui statusnya bukan Cagar Budaya.

(2) Penghapusan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak menghilangkan data dalam Register Nasional Cagar Budaya dan dokumen yang menyertainya.

(3) Dalam hal Cagar Budaya yang hilang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditemukan kembali, Cagar Budaya wajib dicatat ulang ke

dalam Register Nasional Cagar Budaya.

Pasal 48

Ketentuan lebih lanjut mengenai registrasi Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VII

PELESTARIAN

Bagian Kesatu Umum

Pasal 49

(1) Pelestarian Cagar Budaya dilakukan dengan cara melindungi,

mengembangkan, dan memanfaatkannya. (2) Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan

berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.

(3) Kegiatan Pelestarian Cagar Budaya harus dilaksanakan atau

dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli Pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.

(4) Tata cara pelestarian Cagar Budaya harus mempertimbangkan kemungkinan dilakukannya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.

(5) Pelestarian Cagar Budaya harus didukung oleh kegiatan pendokumentasian sebelum dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan keasliannya.

Page 81: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

70

Pasal 50

Setiap orang berhak memperoleh dukungan teknis dan/atau kepakaran dari Pemerintah Daerah atas upaya Pelestarian Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau yang dikuasai.

Pasal 51

Setiap orang dilarang dengan sengaja mencegah, menghalang halangi, atau menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya.

Bagian Kedua Pelindungan

Pasal 52

(1) Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan cara penyelamatan,

pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran Cagar Budaya.

(2) Setiap orang dapat berperan serta melakukan Pelindungan Cagar Budaya.

Paragraf 1 Penyelamatan

Pasal 53

Setiap orang berhak melakukan Penyelamatan Cagar Budaya yang dimiliki atau yang dikuasainya dalam keadaan darurat atau yang

memaksa untuk dilakukan tindakan penyelamatan.

Pasal 54

(1) Penyelamatan Cagar Budaya dilakukan untuk:

a. mencegah kerusakan karena faktor manusia dan/atau alam yang

mengakibatkan berubahnya keaslian dan nilai-nilai yang menyertainya; dan

b. mencegah pemindahan dan beralihnya pemilikan dan/atau penguasaan Cagar Budaya yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam keadaan darurat dan keadaan biasa.

Pasal 55

(1) Cagar Budaya yang terancam rusak, hancur, atau musnah dapat dipindahkan ke tempat lain yang aman.

(2) Pemindahan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan dengan tata cara yang menjamin keutuhan dan keselamatannya di bawah koordinasi Tenaga Ahli Pelestarian.

Page 82: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

71

(3) Pemerintah Daerah atau setiap orang yang melakukan Penyelamatan wajib menjaga dan merawat Cagar Budaya dari pencurian, pelapukan,

atau kerusakan baru.

Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelamatan Cagar Budaya diatur dengan

Peraturan Bupati.

Paragraf 2

Pengamanan

Pasal 57

(1) Pengamanan dilakukan untuk menjaga dan mencegah Cagar Budaya

agar tidak hilang, rusak, hancur, atau musnah. (2) Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

menjadi kewajiban pemilik dan/atau yang menguasainya.

(3) Pemerintah Daerah mengamankan cagar budaya apabila pemilik dan/atau yang menguasainya tidak dapat mengamankan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 58

(1) Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54

dapat dilakukan oleh juru pelihara.

(2) Pelaksanaan pengamanan Cagar Budaya oleh juru pelihara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 59

Masyarakat dapat berperan serta melakukan Pengamanan Cagar Budaya.

Pasal 60

Pengamanan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57, Pasal

58 dan Pasal 59 harus memperhatikan pemanfaatannya bagi kepentingan sosial, ekonomi, pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, pariwisata dan/atau dunia usaha.

Pasal 61

Pengamanan Cagar Budaya dapat dilakukan dengan memberi pelindung, menyimpan, dan/atau menempatkannya pada tempat yang terhindar dari

gangguan alam dan manusia.

Page 83: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

72

Pasal 62

(1) Setiap orang dilarang merusak Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

(2) Setiap orang dilarang mencuri Cagar Budaya, baik seluruh maupun

bagian-bagiannya, dari kesatuan, kelompok, dan/atau dari letak asal.

Pasal 63 Setiap orang dilarang memindahkan Cagar Budaya di Daerah, baik seluruh

maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Bupati.

Pasal 64

(1) Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, hanya dapat

dibawa ke luar wilayah Daerah untuk kepentingan penelitian, promosi kebudayaan, dan/atau pameran.

(2) Setiap orang dilarang membawa Cagar Budaya sebagaimana dimaksud

pada ayat (1), kecuali dengan izin Bupati sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 65

Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 63 dan Pasal 64 diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 66

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengamanan Cagar Budaya diatur dengan

Peraturan Bupati.

Paragraf 3

Zonasi

Pasal 67

(1) Pelindungan Cagar Budaya dilakukan dengan menetapkan batas-batas

keluasannya dan pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi berdasarkan hasil kajian.

(2) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh

Bupati sesuai dengan keluasan Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya di wilayah Daerah.

(3) Pemanfaatan zona pada Cagar Budaya dapat dilakukan untuk tujuan edukatif, apresiatif, rekreatif dan/atau religi.

Pasal 68 (1) Sistem Zonasi mengatur fungsi ruang pada Cagar Budaya, baik vertikal

maupun horizontal.

Page 84: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

73

(2) Pengaturan Zonasi secara vertikal dapat dilakukan terhadap lingkungan alam di atas Cagar Budaya di darat dan/atau di air.

(3) Sistem Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas: a. zona inti; b. zona penyangga;

c. zona pengembangan; dan/atau d. zona penunjang.

(4) Penetapan luas, tata letak, dan fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan mengutamakan peluang peningkatan kesejahteraan rakyat.

Pasal 69

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan system Zonasi diatur dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 4

Pemeliharaan

Pasal 70

(1) Setiap orang wajib memelihara Cagar Budaya yang dimiliki dan/atau dikuasainya.

(2) Cagar Budaya yang ditelantarkan oleh pemilik dan/atau yang menguasainya dapat dikuasai oleh Pemerintah Daerah.

Pasal 71

(1) Pemeliharaan dilakukan dengan cara merawat Cagar Budaya untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan akibat pengaruh alam dan/atau perbuatan manusia.

(2) Pemeliharaan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di lokasi asli atau di tempat lain, setelah lebih dahulu didokumentasikan secara lengkap.

(3) Perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pembersihan, pengawetan, dan perbaikan atas kerusakan dengan

memperhatikan keaslian bentuk, tata letak, gaya, bahan, dan/atau teknologi Cagar Budaya.

(4) Perawatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

berasal dari air harus dilakukan sejak proses pengangkatan sampai ke tempat penyimpanannya dengan tata cara khusus.

(5) Pemerintah Daerah dapat mengangkat atau menempatkan juru pelihara untuk melakukan perawatan Cagar Budaya.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemeliharaan Cagar Budaya diatur

dengan Peraturan Bupati.

Page 85: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

74

Paragraf 5 Pemugaran

Pasal 72

(1) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fisik dengan cara

memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

(2) Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

memperhatikan: a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi

pengerjaan;

b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin; c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak;

d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran; dan e. penyesuaian pada masa mendatang dengan tetap

mempertimbangkan keamanan masyarakat dan keselamatan Cagar

Budaya. (3) Pemugaran yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap

lingkungan sosial dan lingkungan fisik harus didahului analisis

mengenai dampak lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(4) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya wajib memperoleh izin Bupati.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemugaran Cagar Budaya diatur

dengan Peraturan Bupati.

Bagian Ketiga Pengembangan

Paragraf 1 Umum

Pasal 73

(1) Pengembangan Cagar Budaya dilakukan melalui melalui penelitian, Revitalisasi, dan Adaptasi secara berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan tujuan Pelestarian.

(2) Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan prinsip kemanfaatan, keamanan, keterawatan,

keaslian, dan nilai-nilai yang melekat padanya. (3) Setiap orang dapat melakukan Pengembangan Cagar Budaya setelah

memperoleh:

a. izin Bupati; dan b. izin pemilik dan/atau yang menguasai Cagar Budaya.

(4) Pengembangan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2) dan ayat (3) dapat diarahkan untuk memacu pengembangan ekonomi

Page 86: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

75

yang hasilnya digunakan untuk Pemeliharaan Cagar Budaya dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

(5) Setiap kegiatan pengembangan Cagar Budaya harus disertai dengan pendokumentasian.

Paragraf 2 Penelitian

Pasal 74

(1) Penelitian dilakukan pada setiap rencana pengembangan Cagar Budaya untuk menghimpun informasi serta mengungkap, memperdalam, dan menjelaskan nilai-nilai budaya.

(2) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Cagar Budaya melalui:

a. penelitian dasar untuk pengembangan ilmu pengetahuan; dan b. penelitian terapan untuk pengembangan teknologi atau tujuan

praktis yang bersifat aplikatif.

(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai bagian dari analisis mengenai dampak lingkungan atau berdiri sendiri.

(4) Proses dan hasil Penelitian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dilakukan untuk kepentingan meningkatkan informasi dan promosi Cagar Budaya.

(5) Pemerintah Daerah, atau penyelenggara penelitian menginformasikan dan mempublikasikan hasil penelitian kepada masyarakat.

Paragraf 3 Revitalisasi

Pasal 75

(1) Revitalisasi potensi Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya memperhatikan tata ruang, tata letak, fungsi sosial, dan/atau lanskap

budaya asli berdasarkan kajian. (2) Revitalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan

menata kembali fungsi ruang, nilai budaya, dan penguatan informasi

tentang Cagar Budaya.

Pasal 76 (1) Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang Situs Cagar Budaya

dan/atau Kawasan Cagar Budaya di Daerah, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Bupati.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Page 87: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

76

Pasal 77

Revitalisasi Cagar Budaya harus memberi manfaat untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan mempertahankan ciri budaya lokal.

Paragraf 4 Adaptasi

Pasal 78

(1) Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya dapat dilakukan adaptasi untuk memenuhi kebutuhan masa kini dengan tetap mempertahankan:

a. ciri asli dan/atau muka Bangunan Cagar Budaya atau Struktur Cagar Budaya; dan/atau

b. ciri asli lanskap budaya dan/atau permukaan tanah Situs Cagar Budaya atau Kawasan Cagar Budaya sebelum dilakukan adaptasi.

(2) Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

a. mempertahankan nilai-nilai yang melekat pada Cagar Budaya; b. menambah fasilitas sesuai dengan kebutuhan; c. mengubah susunan ruang secara terbatas; dan/atau

d. mempertahankan gaya arsitektur, konstruksi asli, dan keharmonisan estetika lingkungan di sekitarnya.

Pasal 79

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengembangan Cagar Budaya diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat

Pemanfaatan

Pasal 80

(1) Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu

pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata. (2) Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pemanfaatan dan promosi Cagar

Budaya yang dilakukan oleh setiap orang.

(3) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa izin Pemanfaatan, dukungan Tenaga Ahli Pelestarian, dukungan dana, dan/atau pelatihan.

(4) Promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memperkuat identitas budaya serta meningkatkan kualitas hidup dan pendapatan masyarakat.

Page 88: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

77

Pasal 81

Pemanfaatan yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan wajib didahului dengan kajian, penelitian, dan/atau analisis mengenai dampak lingkungan.

Pasal 82

(1) Cagar Budaya yang pada saat ditemukan sudah tidak berfungsi seperti

semula dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.

(2) Pemanfaatan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan izin Bupati sesuai dengan peringkat Cagar Budaya dan/atau masyarakat hukum adat yang memiliki dan/atau

menguasainya.

Pasal 83 (1) Pemanfaatan lokasi temuan yang telah ditetapkan sebagai Situs Cagar

Budaya wajib memperhatikan fungsi ruang dan pelindungannya. (2) Pemerintah Daerah dapat menghentikan pemanfaatan atau

membatalkan izin pemanfaatan Cagar Budaya apabila pemilik dan/atau

yang menguasai terbukti melakukan perusakan atau menyebabkan rusaknya Cagar Budaya.

(3) Cagar Budaya yang tidak lagi dimanfaatkan harus dikembalikan seperti keadaan semula sebelum dimanfaatkan.

(4) Biaya pengembalian seperti keadaan semula dibebankan kepada yang

memanfaatkan Cagar Budaya.

Pasal 84 Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya di Daerah

hanya dapat dilakukan atas izin Bupati.

Pasal 85

Pemanfaatan dengan cara perbanyakan Benda Cagar Budaya yang dimiliki

dan/atau dikuasai setiap orang atau dikuasai pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 86

Pemanfaatan koleksi berupa Cagar Budaya di museum dilakukan untuk sebesar-besarnya pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, sosial, ekonomi dan/atau pariwisata.

Page 89: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

78

Pasal 87

Setiap orang dilarang mendokumentasikan Cagar Budaya baik seluruh maupun bagian-bagiannya untuk kepentingan komersial tanpa seizin pemilik dan/atau yang menguasainya.

Pasal 88

(1) Setiap orang dilarang memanfaatkan Cagar Budaya di Daerah, baik

seluruh maupun bagian-bagiannya, dengan cara perbanyakan, kecuali

dengan izin Bupati. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.

Pasal 89

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemanfaatan Cagar Budaya diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB VIII TUGAS DAN WEWENANG

Bagian Kesatu

Tugas

Pasal 90

(1) Pemerintah Daerah mempunyai tugas melakukan pelestarian Cagar

Budaya.

(2) Tugas Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. merencanakan, melaksanakan dan mengawasi dalam Pelestarian

dan Pengelolaan Cagar Budaya dengan memperhatikan kemampuan dan potensi wilayahnya.

b. mewujudkan, menumbuhkan, mengembangkan, serta meningkatkan kesadaran dan tanggung jawab akan hak dan kewajiban masyarakat dalam Pengelolaan Cagar Budaya;

c. mengembangkan dan menerapkan kebijakan yang dapat menjamin terlindunginya dan termanfaatkannya Cagar Budaya;

d. menyelenggarakan Penelitian dan Pengembangan Cagar Budaya; e. menyediakan informasi Cagar Budaya untuk masyarakat; f. menyelenggarakan promosi Cagar Budaya;

g. memfasilitasi setiap orang dalam melaksanakan pemanfaatan dan promosi Cagar Budaya;

h. menyelenggarakan penanggulangan bencana dalam keadaan darurat

untuk benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang telah

Page 90: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

79

dinyatakan sebagai Cagar Budaya serta memberikan dukungan terhadap daerah yang mengalami bencana;

i. melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap pelestarian warisan budaya; dan

j. mengalokasikan dana bagi kepentingan Pelestarian Cagar Budaya.

Bagian Kedua

Wewenang

Pasal 91

Pemerintah Daerah mempunyai wewenang: a. menetapkan etika pelestarian Cagar Budaya tingkat kota;

b. mengkoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sector dan wilayah;

c. menghimpun data Cagar Budaya tingkat kota; d. menetapkan peringkat Cagar Budaya tingkat kota; e. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya tingkat kota;

f. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya; g. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya; h. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

i. mengelola Kawasan Cagar Budaya; j. mendirikan dan membubarkan unit pelaksana teknis bidang

Pelestarian, Penelitian, dan museum; k. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan;

l. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

m. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan Pengamanan;

n. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan kepentingannya

menjadi peringkat kota; o. menetapkan batas situs dan kawasan; dan p. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses

pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Pasal 92

(1) Pemerintah Daerah memfasilitasi pengelolaan Kawasan Cagar Budaya. (2) Pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan

tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat terhadap Cagar Budaya dan kehidupan sosial.

(3) Pengelolaan Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dilakukan oleh badan pengelola yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.

(4) Badan Pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat terdiri atas

unsur Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.

Page 91: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

80

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengelolaan Cagar Budaya diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB IX PENDANAAN

Pasal 93

(1) Pendanaan Pelestarian Cagar Budaya menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

(2) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;

b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; d. hasil pemanfaatan Cagar Budaya; dan/atau

e. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(3) Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran untuk Pelindungan,

Pengembangan, Pemanfaatan, dan Kompensasi serta penyelamatan Cagar Budaya dengan memperhatikan prinsip proporsional.

BAB X PENGAWASAN

Pasal 94

(1) Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan Pelestarian Cagar Budaya sesuai dengan kewenangannya.

(2) Masyarakat ikut berperan serta dalam pengawasan Pelestarian Cagar

Budaya. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dengan Peraturan

Bupati.

BAB XI

PENYIDIKAN

Pasal 95

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil

yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pelestarian Cagar

Budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan

Page 92: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

81

sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang tentang Hukum Acara Pidana terhadap tindak pidana Cagar Budaya.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya

tindak pidana Cagar Budaya;

b. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian perkara; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda

pengenal diri tersangka; d. melakukan penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan terhadap barang bukti

tindak pidana Cagar Budaya; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi;

h. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. membuat dan menandatangi berita acara; dan j. mengadakan penghentian penyidikan apabila tidak terdapat cukup

bukti tentang adanya tindak pidana di bidang Cagar Budaya.

(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

BAB XII

KETENTUAN PIDANA

Pasal 96

Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dipidana dengan pidana

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 97

Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 98

Setiap orang yang tanpa izin Bupati melakukan pencarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99

Page 93: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

82

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau

menggagalkan upaya Pelestarian Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 100

Setiap orang yang dengan sengaja merusak Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 101

(1) Setiap orang yang mencuri Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 62 ayat (2), dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap orang yang menadah hasil pencurian Cagar Budaya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 102

Setiap orang yang tanpa izin Bupati memindahkan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 103

Setiap orang yang tanpa izin Bupati, membawa Cagar Budaya ke luar wilayah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (2) dipidana

dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 104

Setiap orang yang tanpa izin Bupati mengubah fungsi ruang Situs

Cagar Budaya dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 105 Setiap orang yang tanpa izin pemilik dan/atau yang menguasainya,

mendokumentasikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 94: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

83

Pasal 106

Setiap orang yang dengan sengaja memanfaatkan Cagar Budaya dengan cara perbanyakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 107

(1) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Daerah ini,

terhadap setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 96 sampai dengan Pasal 106 dikenai tindakan pidana tambahan berupa: a. kewajiban mengembalikan bahan, bentuk, tata letak, dan/atau

teknik pengerjaan sesuai dengan aslinya atas tanggungan sendiri; dan/atau

b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana. (2) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap

badan usaha berbadan hukum dan/atau badan usaha bukan berbadan

hukum dikenai tindakan pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha.

BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 108

Pengelolaan Cagar Budaya yang telah memiliki izin wajib menyesuaikan ketentuan persyaratan berdasarkan Peraturan Daerah ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.

BAB XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 109

Peraturan pelaksanaan atas Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1

(satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini diundangkan.

Pasal 110

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini

dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap.

Page 95: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

84

Ditetapkan di Cilacap pada tanggal ………………. 2017

BUPATI CILACAP,

ttd

……………………..

Diundangkan di Cilacap

pada tanggal …………………. 2017

SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN CILACAP,

ttd

…………………

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP TAHUN 2017 NOMOR ………………..

PENJELASAN ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR TAHUN 2017

TENTANG CAGAR BUDAYA

A. UMUM

Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin

kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”, sehingga kebudayaan Indonesia perlu dihayati oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, kebudayaan Indonesia yang

mencerminkan nilai-nilai luhur bangsa harus dilestarikan guna memperkukuh jati diri bangsa, mempertinggi harkat dan martabat

bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan.

Page 96: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

85

Kebudayaan Indonesia yang memiliki nilai-nilai luhur harus dilestarikan

guna memperkuat pengamalan Pancasila, meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian bangsa dan kebanggaan nasional, memperkukuh persatuan bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sebagai arah kehidupan bangsa.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu, pemerintah mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan untuk memajukan kebudayaan secara utuh

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehubungan dengan itu, seluruh hasil karya bangsa Indonesia, baik

pada masa lalu, masa kini, maupun yang akan datang, perlu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan. Sebagai karya warisan

budaya masa lalu, Cagar Budaya menjadi penting perannya untuk dipertahankan keberadaannya.

Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan secara

menyeluruh. Pengaturan Peraturan Daerah ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan.

Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu pengetahuan, etnologi, dan

keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya. Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi

berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (livingsociety). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap

seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monumen mati (dead monument) dan yang sifatnya sebagai monumen hidup (living monument).

Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk

menjamin eksistensinya.

Ketika ditemukan, pada umumnya warisan budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi seperti semula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut, terutama pengaturan

mengenai pemanfaatan monumen mati yang diberi fungsi baru sesuai dengan kebutuhan masa kini.

Page 97: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

86

Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan monumen hidup juga harus memperhatikan aturan hukum adat dan norma sosial yang

berlaku di dalam masyarakat pendukungnya. Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman

pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan pengaturan untuk menjamin

eksistensinya. Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk

melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara kepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis.

Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan dating menyesuaikan

dengan paradigma baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Paradigma baru tersebut mendorong dilakukannya penyusunan Peraturan Daerah yang tidak sekedar mengatur pelestarian Benda Cagar

Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya masa lalu, bangunan dan

struktur, situs dan kawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas dimunculkan.

Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang

merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya sangat dibutuhkan karena di Kabupaten Cilacap banyak cagar budaya yang berhubungan dengan sejarah Cilacap pada masa lalu. Antara lain situs keagamaan dan

kepercayaan, makam kuno; mulai dari situs purbakala, zaman kerajaan Pajajaran dan Mataram hingga zaman penjajahan Belanda, benteng, dan

lain sebagainya. Untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah dan

partisipasi masyarakat dalam mengelola Cagar Budaya, dibutuhkan sistem manajerial perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang baik

berkaitan dengan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya bagi kepentingan yang luas.

B. PASAL DEMI PASAL Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2 Huruf a

Page 98: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

87

Yang dimaksud dengan “asas Pancasila” adalah Pelestarian Cagar Budaya dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai

Pancasila. Huruf b

Yang dimaksud dengan “asas Bhineka Tunggal Ika” adalah

Pelestarian Cagar Budaya senantiasa memperhatikan keberagaman penduduk, agama, suku dan golongan,

kondisi khusus daerah, dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap upaya Pelestarian Cagar Budaya harus memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Negara

Indonesia. Huruf d

Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah Pelestarian Cagar Budaya mencerminkan rasa keadilan dan kesetaraan secara proporsional bagi setiap warga negara Indonesia.

Huruf e Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap pengelolaan Pelestarian Cagar

Budaya harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah Pelestarian Cagar Budaya dapat dimanfaatkan untuk

kepentingan kesejahteraan rakyat dalam aspek agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi,

kebudayaan, dan pariwisata. Huruf g

Yang dimaksud dengan “asas keberlanjutan” adalah upaya

Pelestarian Cagar Budaya yang dilakukan secara terus menerus dengan memperhatikan keseimbangan aspek ekologis.

Huruf h Yang dimaksud dengan “asas partisipasi” adalah setiap

anggota masyarakat didorong untuk berperan aktif dalam Pelestarian Cagar Budaya.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “asas transparansi dan akuntabilitas” adalah Pelestarian Cagar Budaya

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat secara transparan dan terbuka dengan memberikan informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif.

Pasal 3 Cukup jelas.

Pasal 4

Yang dimaksud dengan “di air” adalah laut, sungai, danau, waduk, sumur, dan rawa.

Page 99: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

88

Pasal 5 Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Yang dimaksud dengan “masa gaya” adalah ciri yang

mewakili masa gaya tertentu yang berlangsung sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, antara lain tulisan,

karangan, pemakaian bahasa, dan bangunan rumah, misalnya gedung Bank Indonesia yang memiliki gaya arsitektur tropis modern Indonesia pertama.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas. Pasal 6

Huruf a Yang dimaksud dengan “sisa-sisa biota” adalah bagian yang tertinggal dari flora dan fauna yang terkait dengan suatu

daerah. Huruf b

Yang dimaksud dengan “bersifat bergerak” adalah

Benda Cagar Budaya yang karena sifatnya mudah dipindahkan, misalnya keramik, arca, keris, dan kain

batik. Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 7 Huruf a

Yang dimaksud dengan “berunsur tunggal” adalah bangunan yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya.

Yang dimaksud dengan “berunsur banyak” adalah bangunan yang dibuat lebih dari satu jenis bahan dan dapat dipisahkan dari kesatuannya.

Huruf b Yang dimaksud dengan “berdiri bebas” adalah bangunan

yang tidak terikat dengan formasi alam, kecuali yang menjadi tempat kedudukannya. Yang dimaksud dengan “menyatu dengan formasi alam”

adalah struktur yang dibuat di atas tanah atau pada formasi alam lain, baik seluruh maupun bagian-bagian

strukturnya. Pasal 8

Huruf a

Yang dimaksud dengan “berunsur tunggal” adalah struktur yang dibuat dari satu jenis bahan dan tidak mungkin dipisahkan dari kesatuannya.

Page 100: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

89

Yang dimaksud dengan “berunsur banyak” adalah struktur yang dibuat lebih dari satu jenis bahan dan dapat

dipisahkan dari kesatuannya. Huruf b

Cukup jelas

Pasal 9 Cukup jelas

Pasal 10 Huruf a

Yang dimaksud dengan “situs cagar budaya” adalah lokasi

yang berada di darat dan/atau di air yang mengandung cagar budaya, bangunan cagar budaya dan/atau struktur cagar budaya sebagai hasil kegiatan manusia atau bukti

kejadian pada masa lalu. Huruf b

Yang dimaksud dengan “lanskap budaya” adalah bentang alam hasil bentukan manusia yang mencerminkan pemanfaatan situs atau kawasan pada masa lalu.

Huruf c Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 11 Yang dimaksud dengan “arti khusus bagi masyarakat” adalah

memiliki nilai penting bagi masyarakat kebudayaan tertentu. Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Yang dimaksud dengan “unik” adalah tidak sama

dengan yang lain. Ayat (3)

Cukup jelas. Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15 Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas. Pasal 17

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “fungsi sosialnya” adalah pada prinsipnya Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya,

Page 101: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

90

Struktur Cagar Budaya, dan/atau Situs Cagar Budaya yang dimiliki oleh seseorang pemanfaatannya tidak hanya

berfungsi untuk kepentingan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan umum, misalnya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, pariwisata, agama,

sejarah, dan kebudayaan. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “telah memenuhi kebutuhan daerah” adalah apabila daerah sudah memiliki Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur

Cagar Budaya yang jumlah dan jenisnya telah tersimpan di museum Pemerintah Daerah serta di situs tempat ditemukannya.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4) Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas. Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20 Cukup jelas.

Pasal 21 Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas. Pasal 23

Ayat (1) Yang dimaksud dengan “museum” adalah lembaga warisan budaya dan pusat informasi edukatif kultural dan rekreatif.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan „koleksi” adalah benda benda bukti material hasil budaya, termasuk naskah kuno, serta

material alam dan lingkungannya yang mempunyai nilaki penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan, teknologi dan/atau pariwisata.

Ayat (4) Cukup jelas.

Ayat (5) Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas. Pasal 25

Ayat (1)

Yang termasuk “aparat penegak hukum” antara lain adalah polisi, jaksa, dan hakim.

Page 102: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

91

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas. Pasal 27

Cukup jelas. Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29 Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan “deskripsi” adalah penggambaran suatu kejadian atau sebuah penelitian menjadi sesuatu yang dapat diutarakan dengan jelas dan

tepat. Yang dimaksud dengan “dokumentasi” adalah kegiatan

untuk merekam dan menyimpan berbagai data penting yang dihasilkan dari suatu kegiatan.

Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Cukup jelas.

Pasal 30 Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1) Ayat (2)

Ayat (3) Ayat (4) Ayat (5)

Yang dimaksud dengan “dilindungi dan diperlakukan sebagai Cagar Budaya” adalah benda, bangunan, struktur,

atau lokasi yang dianggap telah memenuhi kriteria sebagai Cagar Budaya.

Ayat (6)

Pasal 32 Cukup jelas.

Pasal 33

Cukup jelas. Pasal 34

Page 103: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

92

Yang dimaksud dengan rekomendasi adalah keterangan, catatan atau penjelasan dari Tim Ahli Cagar Budaya.

Pasal 35 Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas. Pasal 37

Cukup jelas. Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “insentif” dapat berupa pengurangan atau penghapusan pajak/retribusi dan/atau bantuan biaya pemeliharaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 39 Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas. Pasal 41

Cukup jelas. Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43 Cukup jelas.

Pasal 44 Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas. Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47 Cukup jelas.

Pasal 48 Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas. Pasal 50

Cukup jelas. Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52 Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas. Pasal 54

Page 104: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

93

Cukup jelas. Pasal 55

Cukup jelas. Pasal 56

Cukup jelas.

Pasal 57 Cukup jelas.

Pasal 58 Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas. Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61 Cukup jelas.

Pasal 62 Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas. Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65 Cukup jelas.

Pasal 66 Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas. Pasal 68

Cukup jelas. Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70 Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas. Pasal 72

Cukup jelas. Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74 Cukup jelas.

Pasal 75 Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas. Pasal 77

Cukup jelas.

Pasal 78 Cukup jelas.

Page 105: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

94

Pasal 79 Cukup jelas.

Pasal 80 Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas. Pasal 82

Cukup jelas. Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84 Cukup jelas.

Pasal 85

Cukup jelas. Pasal 86

Cukup jelas. Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88 Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas. Pasal 90

Cukup jelas. Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92 Cukup jelas.

Pasal 93 Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas. Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96 Cukup jelas.

Pasal 97 Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas. Pasal 99

Cukup jelas. Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101 Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas. Pasal 103

Page 106: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Naskah Akademik Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

95

Cukup jelas. Pasal 104

Cukup jelas. Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106 Cukup jelas.

Pasal 107 Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas. Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110 Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR …………

Page 107: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

i

Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Cagar Budaya

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

Page 108: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt atas rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw atas ketauladanannya kepada kita semua. Semoga kita menajadi bagi dari

umatnya yang istiqamah. Amin. Naskah Akademik Cagar Budaya didasari oleh 4 (empat) gagasan

utama, yaitu; pertama, pengelolaan cagar budaya di Cilacap cenderung masih sporadis dan belum tertata sehingga bisa didayagunakan secara optimal untuk bidang-bidang yang mampu memicu kreatifitas dan

produktivitas masyarakat. Dari sisi pengelolaan, benda, bangunan, dan struktur yang berpotensi ditetapkan sebagai cagar budaya saat ini masih

dikelola secara “subsisten” oleh ahli waris atau keluarga yang bersangkutan. Implikasinya banyak keberadaan cagar budaya secara fisik terbengkelai dan memprihatinkan.

Kedua, pendayagunaan Cagar Budaya akibat pengelolaan yang subsisten ini lebih berorientasi menghasilkan penghasilan secara material.

Sementara fungsi yang lebih besar dari cagar budaya dalam bidang pendidikan, ilmu pengetauan, dan sejarah belum tergarap secara optimal. Hal ini bisa dipahami mengingat pengelolaan yang “apa adanya”

mengandalkan pemasukan dari pengunjung untuk kebutuhan operasionalnya. Padahal dari sisi kemanfaatan, potensi kewisataan dari

cagar budaya adalah yang relatif rendah. Ketiga, kesadaran masyarakat terkait cagar budaya relatif rendah.

Benda yang memiliki nilai sejarah tinggi seringkali dijadikan sebagai

komoditas ekonomi yang secara pragmatis bisa menghasilkan pendapatan. Sementara itu apabila benda tersebut diposisikan secara proporsional

sebagai bagian dari sejarah komunitas atau wilayah maka akan memberi kontribus bagi tersusunnya sejarah yang bernilai sangat tinggi. Saat ini banyak cagar budaya terutama benda yang lebih dihargai sebagai benda

“rongsokan” ketimbang sebagai cagar budaya yang bernilai sejarah. Keempat, kolaborasi pengelolaan antara masyarakat dengan

Pemerintah belum terjalin secara kohesif. Masih ada kecurigaan dari masyarakat bahwa pengelolaan atau keterlibatan Pemerintah dalam pengellaan cagar budaya diartikan sebagai penguasaan atau pengambil

alihan. Hal ini perlu dipertegas karena keterlibatan Pemerintah Daerah lebih pada upaya bagaiamana melestarikan dan merevitalisasi cagar budaya di daerahnya seingga bisa didayagunakan secara optimal untuk meningatkan

kesejahteraan sosial dan peradaban. Tim penyusun naskah kademik dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN)

Purwokerto menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan selama proses penyusunannya, di antaranya adalah: 1. DPRD Kabupaten Cilacap dengan seluruh kelengkapannya yang telah

mempercayakan penyusunan akademik Rancangan Peraturan Daerah Cagar Budaya kepada Tim IAIN Purwokerto.

2. Rektor IAIN Purwokerto yang telah memfasilitasi penyusunan naskah akademik.

Page 109: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

iii

3. Pemerintah Kabupaten Cilacap dengan segenap jajarannya yang telah memberi dukungan dan berpartisipasi dalam memperkaya khazanah dan

informasi yang dibutuhkan dalam menyempurnakan naskah akademik. Juga kepada pihak-pihak lain yang telah memberikan dukungan baik

secara langsung atau tidak sehingga proses penyusunan naskah akademik

berjalan lancar. Atas semua bantuan dan kerjasama yang baik disampaikan terima kasih. Semoga kerjasama ini dapat berlanjut pada kesempatan lain

dan memberikan kontribusi positif bagi upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Masukan, saran, dan kritik sangat kami harapkan sebagai bahan kami menyempurnakan naskah akademik yang telah tersusun. Atas

kekurangan dan kesalahan, kami atas nama tim penyusun mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Purwokerto, 20 Mei 2017 Tim Penyusun,

Dr. H. Ridwan, M.Ag

Page 110: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

iv

DAFTAR ISI

Halaman Judul ............................................................................................i Kata Pengantar ...........................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1

B. Tujuan dan Sasaran 2 C. Keluaran 3 D. Ruang Lingkup 5

E. Sistematika Penulisan 6 BAB II : LANDASAN TEORI 7

BAB III : METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran 15 B. Metode 17

BAB IV : RENCANA KERJA A. Susunan Dan Struktur Tim Penyusun 21 B. Rencana Dan Jadwal Kerja 21

BAB V : PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Kegiatan 23 B. Hasil Pembahasan 26

Page 111: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap daerah memiliki karakteristik khas yang menjadi konteks dan corak pengembangan wilayah dan masyarakatnya. Karakteristik

lahir dari berbagai unsur yang secara genuin menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu daerah dan penghuninya. Sejarah sosial misalnya

memberi corak yang kental dalam perkembangan wilayah dan sosial yang umumnya tidak terlalu jauh berbeda dengan konstruk sebelumnya. Hal ini karena sejarah besifat historis yang berubah dan berkembang paralel

dengan kondisi awal baik dalam perubahan evolutif ataupun revolutif.

Realitas sejarah bisa dipotret dari aneka peninggalan masa lalu baik berupa benda, bangunan, atau struktur. Ketiganya

merepresentasikan eksistensi sosial di masa lalu yang apabila dikelola secara produktif memiliki kontribusi besar terhadap realitas kekinian.

Oleh karena potensi kontribusi besar tersebut maka pengelolaan benda, struktur, dan bangunan layak dilakukan secara serius bagi sebuah komunitas sosial dan politik untuk kepentingan peningkatan

kesejahteraan masyarakat.

Kabupaten Cilacap merupakan daerah dengan penduduk dan luas wilayah terbilang luas di Jawa Tengah. Apabila ditipologikan, wilayah

Cilacap bisa kelompokkan dalam 3 kategori budaya yang relatif berbeda, yaitu budaya industri, pertanian pesisir, dan perkebunan yang kental

dengan tradisi pasundan. 3 (tiga) sub kultur ini secara historis memiliki akar yang berbeda sehingga memunculkan kontruk sosial yang juga berbeda. Keunikan ini menjadi pembentuk masyarakat Cilacap yang

egaliter, demokratis, dan berorientasi kepada budaya-budaya populisme.

Realitas di atas bisa dilihat dari corak peninggalan-peninggalan

masa lalu yang menggambarkan budaya dan tradisi yang variatif. Di wilayah Cilacap bagian timur misalnya peninggalan budaya didominasi oleh benda, struktur, dan bagunan yang sarat dengan nuansa

religiusitas terutama makam. Sementara di Cilacap bagian barat peninggalan relatif banyak berupa benda-benda pusaka sebagai bagian khas dalam tradisi masyarakat Pasundan.

Namun demikian, aneka peninggalan tersebut saat ini masih berserak dan pegelolaannya bersifat sporadis. Pola ini menjadikan

peninggalan yang bernilai sejarah belum bisa didayagunakan untuk kepentingan lebih besar dalam ilmu pengetahuan, pendidikan, sosial, dan sejarah. Secara tradisional, pemanfaatan peninggalan bernilai

sejarah tersebut lebh pada fungsi-fungsi agama dan kepariwisataan. Dua fungsi ini relatif produktivitasnya tidak sebanding dengan nilai yang

dimiliki oleh peninggalan-peninggalan masa lalu. Hal ini karena fungsi agama berorientasi kepada peribadatan yang kurang mendorong kepada peningkatan produktivitasan. Sementara fungsi kepariwisataan lebih

bersifat relaksatif. Fungsi produktif bisa diperankan apabila peninggalan tersebut didayagunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan kesejarahan.

Page 112: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

2

Dalam konteks peningkatan pendayagunaan benda, struktur, dan bangunan cagar budaya yang berorientasi produktif inilah Rancangan

Peraturan Daerah ini disumuska. Harapannya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung didukung oleh pemahaman yang reatif komprehensif atas situasi sosial, sejarah, dan

kewilayahan. Konteks ini pula yang kemudian menjadikan cagar budaya sebagai hal yang strategis bagi upaya menciptakan peradaban dan

kehidupan sosial yang lebih produktif.

Naskah akademik membagi kajian kebijakan cagar budaya dalam 4 (empat) bidang, yaitu identifikasi persoalan cagar budaya,

pendayagunaan cagar budaya, partisipasi masyarakat, dan sanksi. Keempat bidang kajian ini secara interaktif akan memberikan gambaran secara utuh perencanaan pengelolaan dan pendayagunaan cagar budaya

di kabupaten Cilacap di masa yang akan datang. Spirit yang dikembangkan melalui naskah akademik ini adalah produktivitas,

partisipasi, efisisensi, dan keterbukaan.

B. Tujuan dan Sasaran

Penyusunan laporan akhir ini bertujuan sebagai berikut:

1. Merekam seluruh proses penyusunan naskah akademik Raperda Cagar Budaya terutama diskusi Tim Ahli dan Badan Lesgislasi Daerah

DPRD Kab. Cilacap untuk mewujudkan akuntabilitas publik.

2. Mendokumentasi seluruh ide, gagasan, masukan, dan kritik dari

berbagai pihak pemangku kepentingan di Kabupaten Cilacap serta upaya memformulasikannya dalam bentuk klausul-kalusul peraturan atau kebijakan publik. Melalui proses itu diharapkan publik bisa

memahami dan menerima secara sosial dan politik produk kebijakan publik yang diterbitkan.

3. Menyediakan dokumen pendukung bagi kebijakan publik yang sewaktu-waktu dapat digunakan sebagai alat untuk menelusuri kebijakan (policy tracking) secara historis, sosiologis dan filosofis.

4. Menyediakan narasi-narasi sosiologis, yuridis, dan filosofis atas setiap pilihan kebijakan yang diterbitkan.

Sasaran laporan akhir ini adalah sebagai berikut:

1. Badan Legislasi Daerah sebagai pihak yang merepresentasikan inisiasi

Raperda Cagar Budaya.

2. Pemerintah Daerah sebagai eksekutif sekaligus mitra bagi DPRD Kab. Cilacap.

3. Para pemangku kepentingan terutama pelaku dan pemerhati budaya, kelompok-kelompok agama, pelaku wisata, lembaga pendidikan dan

penelitian.

4. Masyarakat pengelola dan peduli cagar budaya di Kabupaten Cilacap.

Page 113: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

3

C. Keluaran

1. Laporan Pendahuluan; merupakan dokumen yang menggambarkan

proses penyusunan naskah akademik pada tahap paling awal. Pada tahap ini lebih pada upaya menemukan titik temu atas pandangan-pandangan empiris dari Balegda DPRD Kab. Cilacap dengan idealitas

teoretik dari Tim Ahli. Pada dokumen ini fokus yang dinarasikan adalah identifikasi persoalan yang menjadi dasar bagi inisiatif Balegda

DPRD Kab. Cilacap mengusulkan Raperda Cagar Budaya. Identifikasi ini kemudian disesuaikan dengan pertimbangan-pertimbangan teoretik, hirarki regulasi, dan dinamika sosial masyarakat. Identifikasi

menyangkut 4 (empat) persoalan krusial, yaitu optimalisasi pendayagunaan cagar budaya, penetapan kriteria cagar budaya, penertiban, dan revitalisasi cagar budaya.

2. Laporan Akhir; merupakan dokumen yang merekam seluruh proses penyusunan naskah akademik baik dari sisi substansi maupun

tahapan teknisnya. Dari sisi substansi dinaraskan terkait dengan metode dan teori yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik. Sementara dari sisi teknis dijelaskan tahapan-tahapan

yang dilalui dalam penyusunan naskah akademik hingga diterbitkan draft secara utuh. Selain dua hal tersebut, dalam laporan akhir juga dijelaskan prinsip-prinsip pengaturan dalam Raperda Cagar Budaya.

Hal ini untuk memberikan gambaran secara lebih utuh terkait cakupan pengaturan Raperda.

3. Naskah Akademik; merupakan dokumen induk Raperda Cagar Budaya. Secara prinsip, naskah akademik memberikan gambaran draft Raperda dalam 5 (lima) pokok bahasan, yaitu identifikasi serta

tujuan raperda, kajian teoretik dan empiris keberadaan cagar budaya di kabupaten Cilacap, kajian cagar budaya dalam perspektif filosofis,

sosiologis, dan yuridis, kajian undang-undang dan peraturan terkait dan arah jangkaun pengaturan yang secara spesifik akan dilakukan di kabupaten Cilacap. Naskah akademik ini memberi penjelasan secara

kolaboratif antara prinsip-prinsip akademik (fiosofis, sosiologis, dan yuridis) dengan aspek empirik. Kajian kolaboratif ini kemudian memberi ruang bagi upaya pengaturan yang diproyeksikan untuk

meningkatkan dan mengakselerasi pengelolaan dan pendayagunaan cagar budaya di kabupaten Cilacap.

4. Rancangan Peraturan Daerah; merupakan dokumen yang berisi draft rumusan kebijakan dalam bentuk klausul yang rinci. Perincian dilakukan dalam bentuk bab dan pasal yang secara korelatif

merupakan turnan dari kajian akademik. Rumusan kalusul bersifat teknis dan relatif bisa diaplikasikan secara konkret sebagai kebijakan

publik.

5. Notulasi; merupakan dokumen yang merekam proses diskusi pada forum brainstrming antara Tim Ahli dan Balegda DPRD Kab. Cilacap

serta pertemuan public hearing. Melalui dokumen ini pada titik tertentu bisa digunakan untuk mengecek dan mengklarifikasi atas

masukan atau aspirasi yang kemungkinan belum terakomodasi atau

Page 114: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

4

berbeda dengan rumusan-rumusan teknis yang tersusun. Notulasi menjadi alat untuk mengklarifikasi kebijakan publik sehingga pada

akhirnya kebijakan publik memiliki tingkat resepsi yang tinggi dan akuntabilitas publik yang terjaga.

D. Ruang Lingkup

1. Tujuan Cagar Budaya; fungsi utama cagar budaya adalah sebagai

perekaman jejak eksistensi kehidupan sosial dan fisik di masa lalu. Melalui pemahaman yang utuh, masyarakat saat ini dapat mengelola kehidupan secara lebih cerdas dan produktif. Memahami cagar

budaya tidak sekedar “peninggalan”, namun sebagai representasi kehidupan masa lalu. Oleh karena itu cagar budaya harus didayagunakan lebih luas dari sekedar kegiatan sosial dan keagamaan

tetapi mengarah pada ilmu pengetahuan dan pendidikan.

2. Kriteria Cagar Budaya; tidak semua benda, bangunan, dan struktur

masa lalu bisa dijadikan atau ditetapkan sebagai cagar budaya. Cagar budaya memiliki kriteria tertentu terutama terkait dengan kemungkinan dijadikan sebagai intrumen untuk didayagunakan bagi

kemanfaatan masyarakat yang luas. Pertimbangan penetapan kriteria adalah bahwa benda, struktur, dan bangunan yang ada memiliki nilai yang bisa dijadikan sebagai pembelajaran yang tinggi kepada

masyarakat. Dengan pertimbangan kriteria tersebut maka fungsi cagar budaya sebagai salah satu upaya meningkatkan peradaban,

kesejahteraan, dan produktivitas masyarakat dapat tercapai.

3. Partisipasi Masyarakat; cagar budaya sebagai peninggalan sejarah penting melibatkan masyarakat sebagai hakikat pemiliknya.

Partisipasi masyarakat terutama terkait dengan upaya menemukan benda, struktur, dan bangunan yang diduga cagar budaya.

Masyarakat diberi ruang yang cukup untuk menemukan benda, struktur, dan bangunan yang diduga cagar budaya. Selain itu juga dalam hal pengelolaan dan pendayagunaan cagar budaya.

4. Penetapan Cagar Budaya; benda, struktur, dan bangunan yang memiliki dan memenuhi kriteria ditetapkan sebagai cagar budaya. Selanjutnya, cagar budaya yang telah ditetapkan dimanfaatkan dan

didayagunakan untuk mendukung tujuan terciptanya masyarakat yang produktif, sejahtera dan beradab. Untuk mendukung ini maka

cagar budaya diarahkan pengelolaan dan pendayagunaannya pada bidang-bidang yang memiliki prospek produktif, yaitu bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan sejarah sebagai akselerasi

pemanfaatan cagar budaya yang selama ini lebih pada fungsi keagamaan dan sosial.

5. Sanksi; ruang lingkup ini dimasukkan sebagai upaya antisipasi terhadap tindakan-tindakan yang dapat merusak, mengurnagi nilai, dan menghilangkan cagar budaya baik secara fisik maupun non

fisiknya. Sanksi juga diterapkan sebagai respon atas munculnya

Page 115: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

5

kecenderungan tindakan vandalisme dan pragmatisme ekonomi terutama atas benda-benda cagar budaya.

E. Sistematika Penulisan

Pembahasan dilakukan secara deduktif yang diawali dari

pernyataan umum kemudian diakhiri dengan penyataan-pernyataan kasuistik. Pendekatan deduktif ini tergambar pada distribusi masing-

masing bab di mana urutannya dibuat berbadasr sifat keumuman atau kekhususannya.

Laporan ini terdiri dari 5 (lima) bab. Bab I merupakan bahasan

yang mendeskripsikan tentang desain laporan. Bab ini terdiri dari Latar Belakang, Tujuan dan Sasaran, Keluaran, Ruang Lingkup, Sistematika Penulisan.

Bab II berisi landasan teori yang digunakan dalam menyusun Naskah Akademik. Bab ini berisi argumen-argumen teoretis yang

digunakan untuk memberi landasan bagi konsep-konsep strategis dalam Naskah Akademik.

Bab III berisi metodologi yang digunakan dalam penyusunan

laporan. Sub-sub bahasannya adalah Kerangka Pemikiran, Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, dan Metode Analisis.

Bab IV adalah Rencana Kerja yang terdiri dari Susunan dan

Struktur Tim Penyusun dan Jadwal Kegiatan.

Bab V adalah pelaksanaan kegiatan dan pembahasan. Bab ini

memberi penjelasan tentang proses pembahasan Naskah Akademik dari tahap awal persiapan hingga finalisasi.

Page 116: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

6

BAB II

LANDASAN TEORI

Hadirnya undang-undang baru yang mengatur tinggalan arkeologi di bulan November tahun 2010 telah menjadi bahan pembicaraan yang

cukup hangat. Perubahan pola pikir antara Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (UU-BCB) dengan Undang-

Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB) yang berbeda menimbulkan beberapa pertanyaan di kalangan praktisi maupun akademisi. Diantaranya adalah pertanyaan pengaruhnya

terhadap ilmu arkeologi serta upaya pelestarian tinggalan purbakala yang selama ini diatur menggunakan undang-undang. Pada bagian ini disajikan kajian teoritis dalam konteks beberapa tugas baru Pemerintah

Daerah dalam mengelola Cagar Budaya sebagai warisan budaya daerah.

8. Pengantar

Tanggal 24 November 2010 merupakan hari yang bersejarah bagi kebudayaan bangsa Indonesia. Tanggal ini bersejarah karena menjadi patokan berlakunya peraturan perundang-undangan baru,

yaitu Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-BCB).

Selama tahun 2010, DPR-RI bersama dengan Pemerintah

berupaya menata kembali berbagai aturan tentang cagar budaya yang pada tahun sebelumnya dirasakan memiliki banyak kelemahan.

Di antara keluhan yang disampaikan kepada DPR misalnya; a) pengaturan yang terlalu ketat membatasi upaya pelindungan benda cagar budaya oleh masayarakat, walaupun objek yang dilindungi itu

adalah miliknya; b) penjualan benda cagar budaya dianggap sebagai pelanggaran hukum; c) tidak ada keuntungan langsung bagi pemilik

benda cagar budaya apabila mereka aktif melakukan pelestarian; atau d) munculnya dikotomi hukum antara undang-undang yang melarang pemanfaatan cagar budaya bawah air dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tetapi membolehkan.

Dari hal tersebut di atas, kesan masyarakat yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa Undang Undang Nomor 5 Tahun 1992

tentang Benda Cagar Budaya ialah secara keseluruhan sangat berorientasi pada kewenangan Pemerintah Pusat. Peran Pemerintah

Daerah dan masyarakat sebagai pemilik benda cagar budaya sangat sedikit disinggung di dalamnya, sifat larangan yang konservatif dalam hal tertentu seperti untuk mempertahakan eksistensi benda

cagar budaya dianggap baik, akan tetapi pada sisi yang lain seperti kewajiban Pemerintah Pusat sendiri kepada masyarakat nyaris tidak

diatur secara rinci di dalamnya.

Kendala ini dirasakan sebagai ketimpangan yang perlu segera diperbaiki untuk mencapai tujuan bersama, yaitu terpeliharanya

benda cagar budaya oleh semua pemangku kepentingan (stake holders).

Page 117: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

7

Akhirya disimpulkan oleh Komisi X DPR-RI bahwa mereka tidak akan memperbaiki UU-BCB, melainkan membuat undang-undang

baru yang kemudian disebut sebagai Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya (UU-CB).

9. Dasar Hukum dan Paradigma

Pengaturan cagar budaya dapat ditarik dasar hukumnnya pada Pasal 32 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan

mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Kutipan ini memiliki beberapa unsur yang penting sebagai pedoman kehidupan bernegara. Pertama, adalah pengertian tentang

kebudayaan nasional, yaitu kebudayaan yang hidup dan dianut oleh penduduk Indonesia; Kedua, menempatkan kebudayaan itu dalam

konstelasi peradaban manusia di dunia; dan Ketiga, negara menjamin kebebasan penduduknya untuk memelihara dan mengembangkan kebudayaan miliknya.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar ini, dirumuskan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban “melaksanakan kebijakan memajukan kebudayaan secara utuh untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat”. Rumusan ini mejadi pedoman dalam menyusun pasal-pasal berisi perintah, larangan, anjuran,

pengaturan, dan hukuman yang menguntungkan masyarakat. Isu tentang adaptive reuse, good governance, desentraliasi kewenangan,

atau hak-hak publik selalu mewarnai kalimat dan susunan pasal dalam Undang-Undang Cagar Budaya.

Fokus pengaturan untuk kepentingan ilmu (arkeologi) dan seni

yang selama puluhan tahun menjadi perhatian, yaitu sejak keluarnya Monumenten Ordonnatie tahun 1938 yang disusun Pemerintah Kolonial Belanda, mulai tahun 2010 perhatian ini lebih

terfokus kepada persoalan upaya konkrit meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus mengangkat peradaban bangsa

menggunakan tinggalan purbakala. Ini adalah misi sebenarnya dari penyusunan Undang-Undang Cagar Budaya.

10. Pertimbangan Kemanfaatan

Setidaknya ada 4 pertimbangan pokok yang dipakai DPR-RI ketika merumuskan Undang-Undang Cagar Budaya. Pertama, dari sisi ekonomi, cagar budaya harus mampu meningkatkan harkat

kehidupan rakyat banyak; kedua, dari sisi tanggungjawab publik, pelestarian cagar budaya adalah “kewajiban” semua orang; ketiga,

dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus membuka peluang upaya pengembangan dan pemanfaatannya oleh masyarakat; dan keempat, dari sisi tata kelola negara, pemerintah

“meringankan beban” pelestarian yang ditanggung oleh masyarakat.

Page 118: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

8

11. Pengertian Pelestarian

Perubahan paradigma ini masih diikuti oleh berubahnya arti

“pelestarian”. Kalau semula diartikan sempit sebagai tugas pelindungan semata, kali ini dilihat sebagai sebuah sistem yang menghubungkan unsur pelindungan, pemanfaatan, dan

pengembangan. Ketiganya merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk seterusnya kata “pelestraian” dilihat sebagai

unsur yang dinamis bukannya statis, dimana setiap unsur berperan memberikan fungsi kepada unsur lain, sebagaimana dapat dilihat pada skema di bawah ini.

Keterangan:

Pl = pelindungan Pb = pengembangan

Pf = pemanfaatan

Pelindungan adalah unsur terpenting dalam sistem pelestarian

cagar budaya, unsur ini mempengaruhi unsur-unsur lain yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan umpan balik (feedback) pada

upaya pelindungan. Unsur ini berhubungan langsung dengan fisik (tangible) cagar budaya yang menjadi bukti masa lalu. Sebaliknya unsur pengembangan lebih banyak berhubungan dengan potensi-

potensi (intangible) yang menyatu dengan benda, bangunan, struktur, atau situs yang dipertahankan. Kegiatannya bukan dalam

bentuk konservasi, restorasi, atau pemeliharaan objek misalnya, melainkan upaya pengembangan informasi, penyusunan bahan edukasi, atau sebagai objek wista. Hal ini berbeda dengan kegiatan

pada unsur pemanfaatan yang juga menyentuh fisik dari cagar budaya seperti halnya pelindungan, bedanya ialah pada unsur ini

kegiatannya terbatas pada upaya revitalisasi atau adaptasi untuk menyesuaikan kebutuhan baru dengan tetap mempertahankan keaslian objek.

12. Kewenangan Pemerintah Daerah

Pemberian kewenangan yang cukup besar kepada Pemerintah

Daerah dapat dilihat pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 11

Page 119: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

9

Tahun 2010 Tentang Benda Cagar Budaya. Di situ disebutkan 16 kewenangan sebagai berikut:

17. menetapkan etika Pelestarian Cagar Budaya;

18. mengoordinasikan Pelestarian Cagar Budaya secara lintas sektor dan wilayah;

19. menghimpun data Cagar Budaya;

20. menetapkan peringkat Cagar Budaya;

21. menetapkan dan mencabut status Cagar Budaya;

22. membuat peraturan Pengelolaan Cagar Budaya;

23. menyelenggarakan kerja sama Pelestarian Cagar Budaya;

24. melakukan penyidikan kasus pelanggaran hukum;

25. mengelola Kawasan Cagar Budaya;

26. mendirikan dan membubarkan unit pelak-sana teknis bidang

pelestarian, penelitian, dan museum;

27. mengembangkan kebijakan sumber daya manusia di bidang

kepurbakalaan;

28. memberikan penghargaan kepada setiap orang yang telah melakukan Pelestarian Cagar Budaya;

29. memindahkan dan/atau menyimpan Cagar Budaya untuk kepentingan pengamanan;

30. melakukan pengelompokan Cagar Budaya berdasarkan

kepentingannya menjadi peringkat nasional, peringkat provinsi, dan peringkat kabupaten/kota;

31. menetapkan batas situs dan kawasan; dan

32. menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau

musnahnya Cagar Budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.

Kewenangan yang sama juga diberikan kepada Pemerintah Pusat, kecuali 5 kewenangan yang bersifat pen-gaturan di tingkat nasional, yaitu:

6. menyusun dan menetapkan Rencana Induk Pelestarian Cagar Budaya;

7. melakukan pelestarian Cagar Budaya yang ada di daerah

perbatasan dengan negara tetangga atau yang berada di luar negeri;

8. menetapkan Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan/atau Kawasan Cagar Budaya sebagai Cagar Budaya Nasional;

Page 120: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

10

9. mengusulkan Cagar Budaya Nasional sebagai warisan dunia atau Cagar Budaya bersifat internasional; dan

10. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelestarian Cagar Budaya.

Selain itu, Unit Pelaksana Teknis yang merupakan kepanjangan

tangan dari Pemerintah Pusat seperti Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3), Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional, atau

Balai Arkeologi tidak termasuk yang diserahkan kewenangannya kepada Pemerintah Daerah. Namun Undang-Undang Cagar Budaya memberi peluang bagi Pemerintah Provinsi atau Pemerintah

Kabupaten/Kota untuk mendirikan atau membubarkan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) menurut kebutuhan. Daerah bahkan diberi tugas untuk menetapkan, menghapus, atau

melakukan peringkat kepentingan terhadap cagar budaya yang berada di wilayah administrasinya masing-masing.

13. Tim Ahli Cagar Budaya dan Tenaga Ahli Pelestarian

Akan tetapi sebelum kewenangan tersebut dapat dilakukan, tugas pertama adalah menetapkan objek yang didaftarkan sebagai

cagar budaya atau bukan cagar budaya. Objek-objek yang ditetapkan sebagai cagar budaya dengan sendirinya menjadi subjek pengaturan undang-undang, sebaliknya yang bukan cagar budaya

tidak diatur lebih jauh oleh undang-undang.

Gubernur, Bupati, atau Wali Kota menjadi pejabat yang

menandatangani penetapan itu, oleh karena itu mulai tahun 2010 status objek sebagai cagar budaya mempunyai kekuatan hukum karena pemiliknya akan menerima dua jenis surat: 1) Surat

Keterangan Status Cagar Budaya, dan 2) Surat Keterangan Kepemilikan. Kedua surat ini dapat dikeluarkan setelah penetapan

dilakukan kepala daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya yang dibentuk di lingkungan Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, atau Pemerintah Kota untuk menangani

pendaftaran cagar budaya. Anggota Tim Ahli dididik dan diberi sertifikat oleh Pemerintah Pusat sebelum “dipekerjakan” oleh Pemerintah Daerah. Komposisi anggota Tim Ahli diharapkan 60%

dari unsur masyarakat dan 40% dari unsur pemerintah.

Jadi, menurut undang-undang, koleksi milik seseorang, hasil

penemuan, atau hasil pencarian baru dapat dinyatakan sebagai cagar budaya setelah melalui kajian Tim Ahli Cagar Budaya.

Dalam menjalankan tugas, tim ini dibantu oleh sebuah tim lagi

yang disebut sebagai Tim Pengolah Data. Nama tim ini muncul dalam Rancangan Peraturan Pemerintah yang kini tengah

dipersiapkan untuk dike-luarkan oleh Presiden RI. Tugas tim yang bekerja di bawah koordinasi instansi bidang kebudayaan ini adalah mengumpulkan dan melakukan verifikasi atas data, sebelum

diserahkan kepada Tim Ahli Cagar Budaya.

Page 121: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

11

Untuk objek yang belum dinyatakan sebagai cagar budaya, undang-undang juga melindungi “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar

Budaya” dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan layaknya cagar budaya. Pendugaan ini dilakukan oleh Tenaga Ahli, bukan oleh Tim Ahli. Tenaga Ahli adalah orang-orang tertentu seperti arkeologi,

antropologi, geologi, sejarah, atau kesenian yang diberi sertifikat oleh negara menjadi ahli setelah melalui pegujian. Pengaturannya

dilakukan dalam Peraturan Pemerintah yang sampai saat ini masih tengah dipersiapkan. Maksud dari pelindungan terhadap “Objek Yang Diduga Sebagai Cagar Budaya” ini adalah supaya kemungkinan

untuk menjadi cagar budaya dapat dipertahankan sampai dengan keluarnya penetapan oleh kepala daerah.

Undang-undang juga mensyaratkan bahwa pelestarian hanya

dapat dilakukan atau dikoordinasikan oleh Tenaga Ahli, setelah objek yang akan dilestarikan dibuat dokumentasinya dan studi

kelayakannya. Posisi Tenaga Ahli di kemudian hari akan memegang peranan strategis dalam upaya pelestarian cagar budaya yang dimotori masyarakat. Oleh karena itu pendidikan mereka menjadi

prioritas Pemerintah Pusat.

Dengan demikian peran Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam 10 tahun ke depan diharapkan akan mampu melakukan

sendiri pelestarian cagar budaya. Hal ini menarik untuk disimak mengingat Tenaga Ahli yang dimaksudkan dalam undang-undang

dapat bekerja di lingkungan pemerintahan, perorangan, lembaga swasta, LSM, atau unsur masyarakat hukum adat. Sinergi para ahli ini diharapkan mampu mempertahankan warisan budaya di seluruh

Indonesia sebagai bagian dari upaya mempertahankan dan membangun karakter bangsa.

14. Urgensi Pelestarian Cagar Budaya

Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Sifat ini

menyebabkan jumlahnya cenderung berkurang sebagai akibat dari pemanfaatan yang tidak memperhatikan upaya pelindungannya, walaupun batas usia 50 tahun sebagai titik tolak penetapan status

“kepurbakalaan” objek secara bertahap menempatkan benda, bangunan, atau struktur lama menjadi cagar budaya baru. Warisan

yang lebih tua, karena tidak bisa digantikan dengan yang baru, akan terus berkurang tanpa dapat dicegah.

Dalam konteks ini kewenangan yang diberikan kepada

Pemerintah Daerah adalah untuk memperlambat hilangnya warisan budaya dari wilayah Indonesia. Presepsi bahwa cagar budaya

memiliki nilai ekonomi yang menguntungkan apabila diperjual belikan, secara bertahap dapat digantikan dengan pemanfaatan bersifat berkelanjutan (sustainable) agar dapat dinikmati

kehadirannya oleh generasi mendatang.

Peran Pemerintah Daerah menjadi tantangan yang patut

dipertimbangkan untuk mencapai maksud ini. Hanya melalui

Page 122: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

12

pendekatan pelestarian yang bersifat menyeluruh (holistik) harapan rakyat yang dirumuskan menjadi undang-undang ini dapat

direalisasikan oleh semua pemangku kepentingan. Masyarakat daerah mampu menjadi garda terdepan menjaga kekayaan budaya miliknya sebagai kekayaan bangsa yang dibanggakan oleh generasi

mendatang.

Page 123: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

13

BAB III

METODOLOGI

A. Kerangka Pemikiran

Cagar Budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting

artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Mengingat nilai penting dan sifatnya sebagai

sumberdaya tak terbarukan, cagar budaya harus dilestarikan dan dikelola secara tepat melalui upaya pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Suatu warisan budaya merupakan representasi dari sejarah yang telah dialaminya, sehingga memahami warisan budaya sebagai peninggalan sejarah dapat dianggap sebagai suatu usaha untuk

memahami sejarah yang terjadi di dalamnya. Memahami sejarah suatu warisan budaya tidak hanya mempunyai arti yang berkaitan dengan

masa lalunya, tetapi juga untuk memahami masa sekarang dan memberi gambaran akan masa depan (understanding the present and representing the future). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa warisan budaya

mempunyai peran penting sebagai identitas nasional di masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

Indonesia diyakini sebagai salah satu negara yang merupakan mozaik pusaka budaya terbesar di dunia, warisan budaya tersebut terlihat maupun tidak terlihat, yang terbentuk oleh alam ataupun oleh

akal budi manusia, serta interaksi antar keduanya dari waktu kewaktu. Keanekaragaman warisan budaya tersebut memilki keunikan tersendiri,

baik yang tumbuh di lingkungan budaya tertentu, maupun hasil percampuran antar budaya baik diwaktu lampu, saat ini maupun nanti, yang menjadi sumber inspirasi, kreativitas dan daya hidup. Warisan

budaya atau lazimnya disebut sebagai pusaka tidak hanya berbentuk artefak tetapi juga berupa bangunan-bangunan, situs-situs, serta sosial

budaya, dari bahasa hingga beragam seni dan oleh akal budi manusia.

Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya menjelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan budaya bersifat

kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya

karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Kemudian, dijelaskan pula bahwa pengelolaan cagar budaya merupakan upaya terpadu untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan cagar budaya melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan untuk kesejahteraan rakyat. Sedangkan, pelestarian cagar budaya adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan,

dan memanfaatkannya.

Page 124: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

14

Warisan budaya bendawi (tangible) dan bukan bendawi (intangible) yang bersifat nilai-nilai merupakan bagian integral dari kebudayaan

secara menyeluruh. Pengaturan Undang-Undang ini menekankan Cagar Budaya yang bersifat kebendaan. Walaupun demikian, juga mencakup nilai-nilai penting bagi umat manusia, seperti sejarah, estetika, ilmu

pengetahuan, etnologi, dan keunikan yang terwujud dalam bentuk Cagar Budaya.Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah tidak lagi

berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap seperti semula. Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas

mengenai pemanfaatan Cagar Budaya yang sifatnya sebagai monument mati (dead monument) dan yang sifatnya sebagai monumen hidup (living monument).

Dalam rangka menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan

fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan kebijakan yang tegas dari Pemerintah untuk menjamin eksistensinya.Ketika ditemukan, pada umumnya warisan

budaya sudah tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat (dead monument). Namun, ada pula warisan budaya yang masih berfungsi

seperti semula (living monument). Oleh karena itu, diperlukan pengaturan yang jelas mengenai pemanfaatan kedua jenis Cagar Budaya tersebut,

terutama pengaturan mengenai pemanfaatan monumen mati yang diberi fungsi baru sesuai dengan kebutuhan masa kini. Selain itu, pengaturan mengenai pemanfaatan monument hidup juga harus memperhatikan

aturan hukum adat dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat pendukungnya. Cagar Budaya sebagai sumber daya budaya memiliki sifat rapuh, unik, langka, terbatas, dan tidak terbarui. Dalam rangka

menjaga Cagar Budaya dari ancaman pembangunan fisik, baik di wilayah perkotaan, pedesaan, maupun yang berada di lingkungan air, diperlukan

pengaturan untuk menjamin eksistensinya.

Partisipasi masyarakat dalam pelestarian kawasan cagar budaya adalah keterlibatan masyarakat atau komunitas setempat secara

sukarela dalam proses pembuatan keputusan, menentukan kebutuhan, menentukan tujuan dan prioritas, mengimplementasikan program,

menikmati keuntungankeuntungan dari program tersebut, dan dalam mengevaluasi program. Keterlibatan tersebut disertai tanggung jawab terhadap kepentingan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

Bentuk partisipasi masyarakat menurut ada dua macam, yaitu partisipasi langsung dan partisipasi tidak langsung. Partisipasi langsung berupa sumbangan tenaga. Sedangkan partisipasi tidak langsung berupa

konsultasi, sumbangan uang, dan sumbangan barang dalam bentuk material bangunan.

Oleh karena itu, upaya pelestariannya mencakup tujuan untuk melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Hal itu berarti bahwa upaya pelestarian perlu memperhatikan keseimbangan antara

kepentingan akademis, ideologis, dan ekonomis. Pelestarian Cagar Budaya pada masa yang akan datang menyesuaikan dengan paradigma

baru yang berorientasi pada pengelolaan kawasan, peran serta

Page 125: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

15

masyarakat, desentralisasi pemerintahan, perkembangan, serta tuntutan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Paradigma baru tersebut

mendorong dilakukannya penyusunan Undang-Undang yang tidak sekadar mengatur pelestarian Benda Cagar Budaya, tetapi juga berbagai aspek lain secara keseluruhan berhubungan dengan tinggalan budaya

masa lalu, seperti bangunan dan struktur, situs dan kawasan, serta lanskap budaya yang pada regulasi sebelumnya tidak secara jelas

dimunculkan. Di samping itu, nama Cagar Budaya juga mengandung pengertian mendasar sebagai pelindungan warisan hasil budaya masa lalu yang merupakan penyesuaian terhadap pandangan baru di bidang

ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Metode

1. Waktu dan Tempat

Kegiatan penyusunan Naskah Akademik Cagar Budaya dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dari bulan April – Mei 2017.

Tempat dilaksanakan penyusunan naskah dari proses hingga pencetakan di Cilacap dan Purwokerto.

2. Sumber Data

a. Sumber Primer

Sumber primer merupakan sumber utama yang digunakan

sebagai dasar penyusunan materi-materi naskah akademik. Dalam penyusunan naskah akademik ini, data primer yang digunakan

adalah data Cagar Budaya di Kabupaten Cilacap, RPJP dan RPJMD Kab. Cilacap, dan beberapa regulasi yang terkait dengan kepariwisataan.

Selain data tersebut, sumber lain ya ng menjadi acuan penyusunan naskah adalah pokok-pokok pikiran DPRD Kab.

Cilacap serta informasi terkait dari dinas / instansi di wilayah Kabupaten Cilacap yang membidangi pendidikan, kesejahteraan sosial, keagamaan, pengembangan ilmu pengetahuan, dan

pariwisata.

b. Sumber Skunder

Sumber skunder merupakan data pendukung yang digunakan untuk melengkapi atau memperkaya konsep cagar

budaya terutama terkait dengan pendayagunaan, pengelolaan, dan pemanfataan. Sumber skunder ini diperoleh dari informasi dan media-media yang terakses oleh penyusun baik berupa media

cetak maupun elektronik.

Sumber skunder umumnya digunakan untuk

mengkonstruksi serta memformulasi konsep-konsep mendasar cagar budaya yang bersumber dari teori atau konsep-konsep standar yang berlaku di Indonesia. Beberapa sumber skunder yang

Page 126: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

16

dijadikan referensi adalah konsepsi cagar budaya, pengelolaan cagar budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, dan konsep

pengelolaan kolaboratif cagar budaya.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Observasi; merupakan metode pengumpulan data yang mengandalkan kemampuan panca indera. Metode ini digunakan

untuk mengambil gambaran umum atas sebuah peristiwa sosial yang menjadi objek kajian. Dalam konteks cagar budaya, observasi dilakukan untuk melakukan pengamatan terhadap praktik

pengelolaan cagar budaya, tingkat kunjungan cagar budaya, dan pemanfaatan cagar budaya.

b. Dokumentasi; merupakan metode untuk mengumpulkan data-data

yang telah diproduksi oleh lembaga dan institusi lain yang telah dipublikasikan atau tercetak. Dokumentasi ini digunakan untuk

mendasari kajian tanpa mengulang materi sebagaimana telah dilakukan oleh pihak lain. Dokumentasi digunakan untuk melihat data base terkait cagar budaya seperti jumlah cagar budaya, lokasi

atau wilayah cagar budaya, pengelolaan cagar budaya, kontribusi cagar budaya terhadap ilmu pengetahuan, sosial, agama, dan kesejarahan Cilacap.

c. Wawancara; merupakan metode untuk mengumpulkan data yang bersifat persepsional. Oleh karena itu, penggalian data dilakukan

secara tatap muka langsung (face to face) antara pewawancara dengan subjek sumber informasi. Namun demikian, proses

wawancara tidak harus dilakukan secara formal, tetapi juga informal dalam suasana yang rileks. Data yang diperoleh wawancara dalam kerangka cagar budaya antara lain terkait

persepsi tentang arti penting cagar budaya bagi masyarakat, aspirasi terait pola pengelolaan cagar budaya, pemanfaatan cagar budaya untuk bisang-bidang yang terkait ilmu pengetahuan, dan

harapan atas pengelolaan kolaboratif antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat.

d. Brainstorming; merupakan metode penggalian data yang diarahkan untuk mempertajam analisis dan mempertimbangkan beberapa alternatif atas konsep-konsep yang akan dipilih. Braistorming

digunakan terutama pada konsep atau formula yang memungkinkan melahirkan penafsiran yang beragam sehingga memunculkan kontroversi dan silang pendapat. Dalam konteks

penyusunan Raperda Cagar Budaya, data yang diperoleh melalui brainstorming adalah terkait pola pengelolaan cagar budaya di

masa mendatang, partisipasi masyarakat dalam pemenfaatan dan pendayagunaan cagar budaya, dan terkait kriteria serta tolok ukur benda, bangunan, dan struktur dapat ditetapkan sebagai cagar

budaya.

Page 127: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

17

e. Public Hearing; merupakan metode untuk menggali aspirasi dari stakeholders terkait dengan tema atau pokok persoalan. Melalui

metode ini, stakeholders memiliki ruang yang representatif untuk menyampaikan aspirasi pada rencana kebijakan yang akan

disusun. Dalam kerangka Cagar Budaya, stakeholders yang terkait adalah Pemerintah Desa, masyarakat peduli budaya, kelompok agamawan, pengelola cagar budaya, Dinas Pariwisata, Dinas

Pendidikan, Lembaga Penelitian dan pelaku-pelaku kegiatan kebudayaan daerah.

4. Analisis Data

1. Display Data; data yang diperoleh selama kajian naskah akademik

dinarasikan secara menyeluruh untuk kemudian dikelompokkan dalam kategori-kategori yang telah ditetapkan sebagai gugus-gugus analisis. Dari proses ini akan diperoleh hasil data yang telah

terkelompokkan dalam tema-tema pokok rencana pengaturan kebijakan tentang cagar budaya.

2. Reduksi Data; data yang didisplay tidak seluruhnya digunakan untuk proses analisis berikutnya. Data yang tidak sesuai dengan kebutuhan naskah akademik kemudian direduksi atau dihilangkan

sehingga akan diperoleh data yang telah terseleksi.

3. Kategorisasi dan penarikan kesimpulan; data yang telah terseleksi

kemudian dikategorisasikan sesuai dengan ruang lingkup dan cakupan kajian kebijakan cagar budaya. Setelah dikategorisasikan data kemudian disimpulkan sesuai dengan kebutuhan atau

identifikasi persoalan yang telah ditetapkan. Penarikan kesimpulan inilah yang dijadikan dasar bagi penyusunan kebijakan Cagar Budaya.

Page 128: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

18

BAB IV RENCANA KERJA

A. Susunan dan Struktur Tim Penyusun

Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat (LPPM)

IAIN Purwokerto membentuk tim ahli yang secara khusus bersama Balegda DPRD Kabupaten Cilacap menyusun Naskah Akademik

Rancangan Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya. Tim ahli terdiri dari beberapa disiplin keilmuan yang relevan dengan isu, cakupan, dan materi naskah akademik yang dibutuhkan.

Atas dasar pertimbangan tersebut, LPPM IAIN Purwokerto menetapkan nama-nama di bawah ini sebagai tim ahli:

1. Dr. H. Ridwan, M.Ag; Ahli bidang Hukum

2. Dr. Hj. Nita Triana, M.Si; Ahli bidang hukum tata negara

3. Ahmad Muttaqin, M.Si; Ahli bidang Sosiologi

4. Sony Susandra, M.Ag; Ahli bidang metodologi penelitian

5. Agus Sunaryo, MS.I; Ahli bidang Sosiologi Hukum

6. Misbah, M.Ag; Ahli bidang Pendidikan

Tim ahli diatas secara administratif dibantu oleh tenaga teknis dan lapangan sesuai kebutuhan, yaitu satu orang tenaga administrasi, satu orang tenaga dokumentasi, dan satu orang tenaga lapangan.

B. Rencana dan Jadwal Kerja

Penyusunan naskah akademik Raperda Cagar Budaya dilaksanakan selama 1 (satu) bulan dengan rincian sebagai berikut:

No Kegiatan Waktu Tempat

1 Pra Kegiatan IAIN Purwokerto

2 Brainstorming I dan Pembahasan Balegda DPRD Kab. Cilacap

dengan Tim Penyusun

14 Maret 2017 IAIN Purwokerto

3 Kompilasi dan

formulasi usulan oleh Tim Penyusun

15 Maret 2017 IAIN Purwokerto

4 Brainstorming dan Pembahasan II Balegda DPRD Kab. Cilacap

dengan Tim Penyusun

20 Maret 2017 IAIN Purwokerto

Page 129: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

19

5 Diskusi terfokus Tim Penyusun dengan

stakeholders

22 Maret 2017 IAIN Purwokerto dan Cilacap

6 Pengumpulan data dan

informasi oleh Tim Penyusun

23 Maret 2017 IAIN Purwokerto

7 Brainstorming dan Pembahasan III Balegda DPRD Kab.

Cilacap dengan Tim Penyusun

6 April 2017 IAIN Purwokerto

8 Penyusunan NA dan Raperda (Draft ke-1)

7 April 2017 IAIN Purwokerto

9 Brainstorming dan Pembahasan IV Balegda DPRD Kab.

Cilacap dengan Tim Penyusun

10 April 2017 IAIN Purwokerto

10 Revisi draft (draft II) 11 April 2017 IAIN Purwokerto

11 Brainstorming dan

Pembahasan V Balegda DPRD Kab. Cilacap dengan Tim Penyusun

12 April 2017 IAIN Purwokerto

12 Revisi draft (draft III) 5 Mei 2017 IAIN Purwokerto

13 Public Hearing 8 Mei 2017 DPRD Cilacap

14 Brainstorming dan Finalisasi darft NA

Balegda DPRD Kab. Cilacap dengan Tim

Penyusun

18 Mei 2017 IAIN Purwokerto

15 Pelaporan 23 Mei 2017 IAIN Purwokerto

Page 130: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

20

BAB V PELAKSANAAN KEGIATAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Kegiatan

Penyusunan Naskah Akademik Raperda Cagar Budaya terdiri atas

3 fase, yaitu persiapan dan pengumpulan data serta informasi, pembahasan, dan perumusan serta finalisasi draft. Uraian kegiatan pada

masing-masing fase sebagai berikut:

1. Persiapan dan Pengumpulan data / informasi

Fase kegiatan ini adalah pertama persiapan tim. Kegiatan utama

pada fase pertama ini adalah melakukan penelusuran referensi yang mungkin bisa dijadikan sebagai materi dan gambaran Raperda yang

akan disusun. Anggota tim memperoleh tugas masing-masing untuk melakukan penelusuran dalam 3 (tiga) ranah, yaitu filosofis, sosiologis, dan yuridis. Cagar Budaya sebagai konsep dasar Raperda

diformula dalam 3 (tiga) ranah tersebut dalam perspektif teoretik dan informasi awal.

Kedua, diskusi antartim untuk mengetahui perspektif masing-

masing sehingga potensi terjadinya silang pendapat dapat diselesaikan sejak awal. Cagar Budaya sebagai konsep memiliki

banyak variasinya sehingga memungkinkan dijadikan model. Namun karena masing-masing wilayah memiliki karakteristik budaya maka formula dan posisi strategisnya dalam konteks pembanguan

keseluruhan berbeda. Terlebih pada daerah yang potensi utamanya adalah misalnya wisata, posisi cagar budaya menjadi sangat penting

dan strategis. Melalui cagar budaya daerah tersebut mencitrakan diri dan menjadi destinasi unggulan. Sementara bagi daerah yang potensinya non wisata, posisi cagar budaya lebih memberikan

dukungan bagi citra daerah lain seperti industri, pendidikan, jasa, dan seterusnya.

Ketiga, penyusunan materi awal pembahasan atau konsepsi cagar budaya. Tahap ketiga ini sekaligus menjadi dasar bagi kegiaatan pembahasan dan brainstorming antara tim ahli dan Balegda DPRD

Kab. Cilacap. Sebagai kebijakan, cagar budaya harus dikonseptualisasikan secara ideal sebagai basis rancangannya. Basis

ideal ini yang kemudian dikomunikasikan dengan berbagai kondisi riil dan faktual yang berlangsung di lapangan.

Selain ketiga fase kegiatan ini, pengumpulan data dan informasi

terus dilakukan sepanjang naskah akademik disusun. Artinya pada saat naskah sedang berjalan dan membutuhkan suplai data maka tim melakukan penelusuran baik melalui kepustakaan ataupun

penggalian data lapangan secara langsung.

2. Pembahasan

Secara formal, pembahasan dilakukan dalam 6 (enam) kali brainstorming dan 1 (satu) public hearing. Dalam brainstorming ini,

Page 131: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

21

tim penyusun dan Balegda DPRD Kabupaten Cilacap secara inten melakukan diskusi untuk menyusun konsep dan formulasi kaidah-

kaidah hukum dalam Perda Cagar Budaya. setiap forum brainstorming dilakukan apabila terdapat hal baru atau masukan serta informasi baru segera dilakukan revisi menjadi draft berikutnya.

Pembahasan dalam brainstorming dilakukan berdasar tema-tema yang ditetapkan. Dalam konteks Raperda ini, secara berurut

pembahasan melalui forum brainstorming adalah tujuan dan ruang lingkup cagar budaya, penemuan cagar budaya, kriteria dan tolok ukur cagar budaya, pemanfaatan dan pendayagunaan cagar budaya,

pelestarian dan pembangunan cagar budaya, dan sanksi.

Selain pembahasan dalam forum formal, secara informal tim penyusun melakukan pembahasan intensif untuk menemukan fokus

Raperda. Selain itu, dinamika konsep cagar budaya membutuhkan respon yang cepat dari tim sehingga ketika bertemu dengan Balegda

telah terformula konsep pembahasan yang jelas. Secara kuantitatif, pembahasan internal tim tidak terhitung karena bersifat terus-menerus dan melibatkan banyak unsur informasi seperti

kepustakaan, wawancara, data lapangan, dan perbandingan konsep cagar budaya di tempat lain.

Dalam pembahasan ini juga terdapat public hearing di mana

masyarakat dan pemangku kepentingan utama bisa berkomunikasi dan berinteraksi dengan tim penyusun dan anggota Balegda. Public hearing menjadi salah satu metode pengumpulan data melalui penyerapan aspirasi stakeholders.

3. Perumusan dan Finalisasi Draft Naskah Akademik

Tahap terakhir kegiatan penyusunan naskah akademik adalah finalisasi draft. Kegiatan ini dilakuakn oleh tim penyusun secara

intensif setelah forum-forum pembahasan baik brainstorming dengan Balegda, public hearing, dan forum internal tim penyusun selesai

dilakukan. Tim penyusun memformula masukan dan informasi yang diperoleh selama pembahasan dalam bentuk kaidah-kaidah hukum formal.

Finalisasi ini melalui dua tahap, yaitu konsolidasi internal tim dan konsultansi dengan Balegda. Konsolidasi tim dimaksudkan agar

semua informasi yang diperoleh tercover dalam aturan. Sementara konsultasi diarahkan agar materi-materi Raperda dan naskah akademik secara politis memperoleh konsensus dari Balegda.

B. Hasil Pembahasan

Hasil pembahasan berupa naskah akademik sebagaimana terlampir dalam laporan ini. Secara generik, pembahasan dilakukan simultan dan melibatkan banyak pihak. Selain pembahasan dengan

Balegda DPRD Kab. Cilacap, Tim Penyusun juga terlibat dalam Public Hearing yang diikuti oleh stakeholders terkait. Dalam public hearing,

Page 132: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

22

dinamika yang muncul terbilang dinamis di mana masing-masing pihak memberi masukan dan saran untuk perbaikan raperda dan naskah

akademik.

Sebagai naskah akademik, setiap pasal dan ketentuan yang dimunculkan memiliki dasar argumentasi dalam 3 (tiga) ranah yaitu

hukum, filosofis, dan sosiologis. Secara normatif argumentasi setiap konsep didasarkan pada aturan perundang-undangan di atasnya.

Beberapa konsep diturukan secara langsung untuk memberikan konteks yang jelas atas setiap ketentuan yang akan dikonstruksi.

Sementara argumentasi filosofis dan sosiologis diarahkan untuk

memberi penguatan terkait dengan substansi sebuah peraturan daerah dilahirkan. Ia terkait dengan tujuan bernegara dan memberi ruang yang cukup bagi warga untuk mendapatkan kehidupan yang berkualitas.

Page 133: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

23

COVER CD

Page 134: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

24

Notulen Penyusunan Naskah Akademik

RANCANGAN PERATURAN DAERAH

KABUPATEN CILACAP

TENTANG

CAGAR BUDAYA

SEKRETARIAT DPRD

KABUPATEN CILACAP

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

(LPPM) IAIN PURWOKERTO

Kerjasama

Dengan

Page 135: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

25

Notulen 1

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

Hari, Tanggal : Selasa, 14 Maret 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.00-15.00 WIB

Sugeng Riyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Prolog Salam…

Terimakasih kami sampaikan kepada tim ahli dari IAIN Purwokerto atas kerjasamanya kembali dalam menyusun draft NA Raperda Cagar Budaya di

Kabupaten Cilacap. Pada hari ini kami dari Balegda DPRD Kab. Cilacap yang terdiri dari bapak Rohim, Harun, Tony Osmon, Romlan, Parsiyan, Ismangil, Ujang Karmawan,

dan saya sendiri, Sugeng Riyadi ingin mendengarkan kerangka awal draft NA raperda cagar budaya kepada dari tim ahli dari IAIN Purwokerto.

Untuk itu, rapat sepenuhnya kami serahkan kepada tim ahli dari IAIN Purwokerto untuk diambil alih

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) Prolog Salam…

Selamat sore kami ucapkan kepada bapak-bapak/ ibu dari Balegda dan Setwan DPRD Kab. Cilacap. Sebelum kami paparkan hasil diskusi awal

kami mengenai draft NA Raperda Cagar Budaya, terlebih dahulu saya akan memperkenalkan tim ahli dari IAIN Purwokerto yang pada format kali ini terdiri dari: Agus Sunaryo, M.S.I, Ahmad Mutaqin,M.Si, Dr. Ridwan, M.Ag,

Misbah, M.Ag, Dr. Nita Triyana, M.Hum, dan Mawi Khusni Albar Selanjutnya, kami akan memaparkan beberapa pointer yang merupakan

hasil diskusi awal kami tentang raperda Cagar Budaya. Untuk pemaparan akan disampaikan oleh Dr. Ridwan.

Dr. Ridwan (IAIN Purwokerto) - Perda tentang Cagar Budaya di Indonesia sudah lama diberbincangkan,

sudah barang tentu cantolan regulasi sudah sangat banyak. Seperti

contoh; UU No. 11/2010 tentang Cagar budaya, PP 19/1995 tenang pemeliharaan dan pemanfaatan benda cagar budaya dan museum, perda

prov. Jawa Tengah tentang pelestarian dan pengelolaan cagar budaya. - Dari 3 regulasi tentang cagar budaya maka melahirkan keragaman

nomenklatur. Ada 4 argumen yang diperbincangakan di DPR RI ketika

merumuskan UU Cagar budaya: 1. Dari sisi ekonomi, harus mampu meningkatkan harkat hidup

masrarakat banyak

Page 136: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

26

2. Dari sisi tanggungjawab publik, pelestarian cagar budaya adalah kewajiban semua orang

3. Dari sisi peradaban, pelestarian cagar budaya harus mampu membuka peluang upaya pengembangan dan pemanfaatannya oleh masyarakat

4. Tata kelola negara, pemerintah meringankan beban pelestarian tanggungjawab masrarakat.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Jika mengacu pada regulasi yang ada, maka cagar budaya dapat

didefinisikan sebagai warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di

air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan yang dilestarikan melalui proses penetapan. Winarno (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Dari paparan tim ahli di atas, maka menurut saya keberadaan raperda cagar budaya ini sangat relevan untuk mengangkat, mengembangkan, dan melestarikan berbagai kawasan di kab. Cilacap yang selama ini

kurang terawat. Contohnya adalah adanya peninggalan kerajaan masa lampau di kroya, nusakambangan, rumah adat dan beberapa aliran

kepercayaan masih terbengkelai. Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Cilacap memiliki banyak situs, namun belum sampai ada pelestarian terhadap situs tersebut. Kami mohon kepada tim ahli untuk dapat

menyusun raperda ini dengan baik. Entah itu regulasi terhadap dana, maupun terhadap bentuk perlidungan atau mungkin penemuan dan lain-lain.

- Wewenang dari pemilik kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau setiap orang untuk mengelola Warisan Budaya atau Cagar Budaya dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kewajiban untuk

melestarikannya.

Yusuf Rojabi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Menurut informasi yang saya tahu, sejauh ini baru enam cagar budaya

yang telah masuk dalam registrasi nasional. Yakni Kantor Disparbud

Cilacap, Komplek Pemakaman Kristen Kerkhoff, Makam Hong Bangkong Suralaka, lonceng kuno, pintu gerbang Kantor Bupati Cilacap, dan

tempat tidur Bupati I. Oleh karenanya, raperda ini saya rasa memiliki nilai strategis jika digarap secara serius.

Winarno (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Menurut kami perda ini harus berorientasi pada beberapa hal, yaitu: 1) mengamankan aset kekayaan budaya yang mempunyai nilai penting di Daerah; 2) memantapkan citra dan jati diri Daerah sebagai pusat

kebudayaan; 3) meningkatkan ketahanan sosial budaya dengan landasan kearifan lokal; 4) memberi kontribusi bagi estetika dan keunikan tata

Page 137: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

27

fisik visual Daerah; 5) mengamankan komponen mata rantai kesinambungan budaya masa lalu dengan masa kini dan memberi

kontribusi bagi penentuan arah Pengembangannya di masa mendatang; dan 6) mendayagunakan Warisan Budaya dan Cagar Budaya bagi kepentingan agama, sosial-ekonomi, pariwisata, pendidikan, ilmu

pengetahuan, dan/atau kebudayaan.

Sugeng Riyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Banyak hal yang kita hasilkan pada diskusi sore hari ini. Sebagai

pertemuan awal saya, kira ini indikator baik dalam upaya kita untuk

menghasilkan raperda yang tepat guna dan tepat sasaran. Namun karena keterbatasan waktu, rapat pembahasan kita cukupkan sampai di sini terlebih dahulu dan akan kita lanjutkan pada pertemuan yang akan

datang.

Wassalam.

Page 138: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

28

Notulen 2

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap

Tentang Cagar Budaya Hari, Tanggal : Selasa, 20 Maret 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.00-15.00 WIB

Didi Yudi Cahyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Prolog

Salam… Salam sejahtera untuk kita semua, pada kesempatan siang hari ini saya ucapkan terima kasih kepada semua hadirin tim ahli dan anggota

Balegda Kabupaten Cilacap. Selanjutnya, agenda rapat kita kali ini adalah melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai draft raperda cagar budaya. Selanjutnya saya serahkan kepada Tim ahli.

Dr. Ridwan (IAIN Purwokerto)

- Pada pertemuan sebelumnya telah disepakati bahwa judul raperda ini adalah Cagar Budaya. Karenanya tidak ada lagi pembahasan mengenai judul raperda.

- Pembahasan kali ini akan fokus pada kajian mengenai perda sejenis, khususnya Perda Prov Jateng No. 10 tahun 2013 tentang Pelestarian dan

Pengelolaan Cagar Budaya. - Berdasarkan kajian kami terhadap beberapa regulasi mengenai cagar

budaya, maka kita memiliki beberapa opsi ruang lingkup kajian. Hanya

saja kata kunci dari raperda yang akan kita susun tidak keluar dari konteks perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Dari hasil tampilan power point yang tim ahli tayangkan, saya masih

menemukan adanya Peraturan Menteri sebagai konsideran. Menurut saya itu perlu dihapus.

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) - Peraturan menteri yang ditetapkan sebelum tahun 2011 masih bisa

dijadikan sebagai konsideran. Tetapi jika ditetapkan setelah tahun 2011 tidak bisa dijadikan konsideran. Karenanya, menurut saya permen di sini harus dihilangkan karena ditetapkan tahun 2015. Hal ini

disesuaikan dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ridwan (IAIN Purwokerto)

- Ada beberapa kata mengenai istilah SKPD, apakah ada numenklatur yang baku? Sebab istilah ini menurut kami cenderung sering berubah.

Page 139: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

29

David (Sekretariat Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Saya kira mengenai numenklatur apakah mau menggunakan SKPD atau

istilah lainnya, maka bisa mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 18 tentang pemerintah daerah. Jika acuannya sudah jelas, maka ketika ada yang mempersoalkan kita sudah memiliki landasan hokum.

Harun (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Berdasarkan draft yang saya terima, perlu diperrtegas bahwa konteks konsolidasi adalah terkait dengan kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan yang memperkuat kondisi cagar

budaya, bukan sebaliknya - Menariknya dari draft ini adalah adanya beberapa persyaratan mengenai

cagar budaya yang dapat di-SK-kan. Hal ini menurut saya cukup bagus

sehingga keberadaan cagar budaya benar-benar bisa mempertimbangkan aspek efektivitas dan efisiensi.

Dr. Ridwan (IAIN Purwokerto)

- Betul apa yang disampaikan pak harun, Di dalam UU ada kriteria Cagar

Budaya, sudah dijelaskan secara detail, bagaimana cara mengelolanya, melestarikanya dan atau yang lainnya.

Harun (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Perlu dikaji lagi secara cermat mengenai definisi cagar budaya dalam

draft ini. Sebab, menurut saya kondisi keuangan Kab. Cilacap bisa habis hanya untuk mengurusi cagar budaya.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) - Definisi yang ada teleh kita turunkan dalam beberapa pasal yang

mengatur mengenai batasan-batasan atau kriteria tentang cagar budaya, termasuk di dalamnya mana-mana saja yang harus dibiayai. Karenanya tidak perlu khawatir dana pemda akan habis untuk mengurusi cagar

budaya. Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

- Setiap orang wajib mendaftarkan benda tersebut sebagai cagar budaya. Ini menurut UU. Dan selanjutnya setelah itu perlu ada tim ahli. Jadi

tidak semua barang itu dianggap cagar budaya. Atau sebaliknya jika ada barang cagar budaya tidak didaftarkan dan ternyata ketahuan oleh pemerintah maka pemerintah dapat mengklaim bahwa itu milik

pemerintah setempat.

Didi Yudi Cahyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Baik bapak-bapak yang kami hormati, pembahasan pada sore hari ini

kita cukupkan sampai sini dulu. Semoga pertemuan yang akan datang

bisa berjalan dengan lancar. Wassalamu’alaikum

Page 140: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

30

Notulen 3 Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

Hari, Tanggal : Kamis, 06 April 2017

Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 13.00-15.00

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

Prolog Salam... Yth. Ketua Balegda DPRD Kab. Cilacap beserta anggota dan pegawai di

DPRD Kab. Cilacap. Menindaklanjuti pertemuan minggu yang lalu dimana sudah sampai BAB II,

untuk selanjutnya, kita lanjutkan Pada pembahasan dan materi di bab-bab berikutnya. Silahkan pak sony bisa dimulai presentasinya.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Pada bab III ini dibahas beberapa persoalan mengenai penemuan benda

cagar budaya. Untuk selanjutnya bisa dicermati pasal 4 yang terdiri atas 4 ayat. Adapun penjelasannya secara detail silahkan dilihat pada slide berikut ini.

Tony Osmon (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Maksud imbalan itu apa pak?

Sony Susandra (IAIN Purwokerto)

- Yang dimaksud dengan Imbalan itu bisa berupa uang atau yang lainnya.. dan akan dijelaskan pada pasal penjelas.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Kembali ke bab III ayat 1, itu dasar penentuan paling lambat 14 itu dari

mana pak? Sony Susandra (IAIN Purwokerto)

- Itu karena turunan dari UU No. 11 pak. Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

- Kalo di UU NO. 11 itu bunyinya 30 hari pak. Tujuan batas paling lambat maka dikhawatirkan justru akan terjadi perusakan. Sehingga kita

menggunakan tidak batas maksimal. Suheri (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Itu yang imbalan apa perlu dicantumkan pak?

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

Page 141: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

31

- Oh Iya pak, karena itu hak bagi mereka dan toh masih perlu diverifikasi nantinya. Jadi kalo tidak lolos ya tidak dapat.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Lalu kemudian apa yang melaporkan kira-kira ada kriteria-kriteria

tertentu apa tidak? Misal ada beberapa orang tapi lebih dulu melapr adalah orang yang lain.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Saya rasa itu masalah teknis sekali pak, bisa diselesaikan oleh eksekutif.

Ok kita lanjutkan ke bab iv pak. Suheri (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Terkait dengan pendaftaran, ada perlakuan beda nggak antara yang terdaftar dengan yang tidak terdaftar?

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Wajib didaftarkan dan jika tidak maka ada sanksi. Baik kita lanjutkan

pasal berikutnya. Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

- Ada hal yang menjadi kriteria atau jenis kepemilikan cagar budaya, misal bisa saja cagar budaya tersebut bisa jadi milik daerah Kabupaten,

propinsi atau nasional. Sony Susandra (IAIN Purwokerto)

- Bagi profesi tetap untuk melaporkan secara periodik sebulan sekali. Oke selanjutnya bab v tentang kriteria, tolok ukur dan penggolongan.

Dr. Ridwan, M.Ag (IAIN Purwokerto) - Demikian pembahasan raperda pada hari ini, maka akan dilanjutkan

pada hari kemudian. Marilah kita tutup dengan bacaan hamdallah. Salam.

Page 142: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

32

Notulen 4

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah Cagar Budaya

Hari, Tanggal : Senin, 10 April 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.00-15.00

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) Prolog Salam... Selamat sore bapak-bapak anggota balegda dan juga tim ahli. Pada hari ini kita akan melanjutkan pembahasan raperda Cagar Budaya, namun

sebelumnya marilah kita mulia dengan bacaan basmallah. Menindaklanjuti pertemuan sebelumnya , saya mereview pada bab sebelumya. Cagar budaya bisa milik pemerintah atau pribadi atau keluarga seperti

kuburan. Selanjutnya pembahasan berikutnya adalah bab VI tentang penetapan dan

pemberian tanda. Ismangil (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Sebenarnya, apa yang disebut cagar budaya? Ridwan (IAIN Purwokerto)

- Yang dimaksud cagar budaya yaitu mencakup struktur budaya, bangunan budaya dan kawasan budaya

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) - Struktur terdiri atas golongan A, B dan C tercantum pada pasal 13.

- Kawasan cagar budaya bersadarkan kriteria dan tolok ukur dan diklasifikasikan pada 3 golongan yaitu I, II dan III pada pasal 14.

Sugeng Riyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Apa bedanya bedanya Presevasi, Restorasi apa pak? Mohon dijelaskan

karena perda ini nantinya akan dibaca oleh banyak orang yeng belum tentu mengetahui maksud dari kedua istilah tersebut.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) - Preservasi, itu dibiarkan, maka kalo restorasi mengembalikan pada

bentuk yang sama. Ismangil (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

- Apa bedanya situs dengan kawasan cagar budaya? Mohon dijelaskan karena kedua istilah tersebut seperinya sering dunakan secara sama

maknanya.

Page 143: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

33

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Situs budaya itu kecil kalo kawasan budaya itu besar

Ismangil (Balegda DPRD Kab. Cilacap) - Apa bedanya tim ahli cagar budaya dan tim cagar budaya? Ini juga

mohon diperjelas karena keduanya sangat mirip penyebutannya.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) - Tim Ahli Cagar Budaya terdiri atas komponen masyarakat, itu

menentukan temuan diduga cagar budaya, asesmen layak dan tidaknya

bangunan cagar budaya - Tim cagar budaya terdiri atas arkeolog, budaya, seni, ekologi, sejarah,

landskap dan tokoh masyarakat. Tugasnya melestarikan dan mengelola.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

Kita akhiri penyusun naskah raperda dengan bacaan hamdalah.. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 144: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

34

Notulen 5 Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya Hari, Tanggal : Rabu, 12 April 2017

Tempat : IAIN Purwokerto Waktu : 13.30-15.00 WIB

Ahmad Mutaqin (IAIN Purwokerto) Assalamu’alaikum Wr.Wb... Yang kami hormati ketua Balegda DPRD Cilacap, Anggota Balegda, dan

seluruh Tim Ahli.. Bapak-bapak yang kami hormati, pada pertemuan sebelumnya, kita sudah

membahas naskah raperda sampai dengan bab viii, dengan demikian marilah kita lanjutkan lagi pembahasan hingga bab akhir. Pada bab ix berisi tentang Perlindungan, Pemeliharaan, dan Pemugaran.

Selanjutnya terdapat beberapa pasal seperti pasal 1, Setiap Orang wajib melindungi Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya. Pasal 2 Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan berdasarkan penggolongan Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya yang telah ditetapkan.

Yusuf Rojabi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Dari pemaparan bapak tadi, ada point tentang pemugaran, lalu syarat

pemugaran dalam pasal tersebut tadi itu apa saja pak?

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) Setiap orang dapat melakukan pemugaran Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya dengan melaksanakan

studi kelayakan dan studi teknis terlebih dahulu. Pemugaran dimaksud wajib didampingi oleh tenaga ahli di bidang pelestari Cagar Budaya. Pemugaran juga harus mendapat izin dari Bupati setelah mendapat

rekomendasi dari SKPD yang membidangi urusan kebudayaan.

Rokhim (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Tadi saya mendengar ada sanksi bagi siapa saja yang ternyata tidak melakukan hal-hal sebagaimana pasal 32, 33 dan seterusnya.. maka sanksi

itu apa pak?

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: peringatan tertulis, penyitaan atau penyegelan; penutupan atau

pemberhentian kegiatan; dan/atau denda administratif. Ketentuan mengenai tata cara penerapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.

Page 145: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

35

Saya mohon memberikan masukan, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, atau Kawasan Cagar Budaya supaya efektif sebaiknya

dipersingkat saja menjadi cagar budaya supaya tidak banyak pengulangan. Didi Yudi Cahyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Itu kalau waktunya 2 tahun teralu lama pak..kalo bisa dipercepat lagi misal 6 bulan.

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) Saya rasa benar kata pak Didi, namun kalau enam bulan terlalu cepat juga,

maka mendingan satu tahun saja. Saya usul besok pada saat publick hearing bisa mengundang kurator, arkeolog, disbud par, ahli pendidikan, ahli sejarah.

David (Sekretariat DPRD Kab. Cilacap)

Mohon maaf bapak, saya nyelani, Yang dimaksud Pendaftar itu siapa? Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

Oh ya pak, yang pendaftar di situ tentu adalah yang memiliki cagar budaya tersebut.

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) Bangunan cagar budaya dan struktur cagar budaya yang sudah ada

selambat-lambatnya satu tahun setekah tanggal perundangan perda ini wajib didaftarkan.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) Masalah sanksi besok kita akan buat pada pasal tersendiri. Dan akhirnya

kita selesai juga. Ketemu lagi di public hearing. Kita akhiri dengan bacaan hamdallah..

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 146: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

36

Notulen 6

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya Hari, Tanggal : Rabu, 18 Mei 2017 Tempat : IAIN Purwokerto

Waktu : 13.00-15.00 WIB

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bapak-Bapak Anggota Balegda DPRD Kabupaten Cilacap yang kami hormati, Bapak dan Ibu Setwan yang berbahagia.

Ada beberapa hal yang yang dihasilkan dari public hearing, diantaranya adalah permasalahan cagar budaya yang belum dapat diselesaikan oleh

pemerintah, yaitu keterbatasan ahli arkeologi, apalagi di Kabupaten Cilacap. Banyak cagar budaya yang sudah ditetapkan maupun masih calon cagar budaya. Namun demikian, tim ahli penetapan cagar budaya tidak semuanya

ahli arkeologi, dibutuhkan juga para ahli dari disiplin ilmu yang menunjang, seperti ahli kesenian, ahli geografi, social budaya, dan ekonomi.

Permasalahan lain ialah tidak adanya pos anggaran yang khusus untuk pelestarian cagar budaya, sedangkan hasil ekonomi dari pemanfaatan benda cagar budaya tidak dikembalikan kepada pengembangan cagar budaya,

terutama cagar budaya baru. Toni Osmon (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Di dalam naskah perda ini saya rasa Pemerintah daerah dapat melakukan pemeringkatan cagar budaya berdasarkan kepentingannya menjadi

peringkat daerah berdasarkan rekomendasi Tim Ahli cagar budaya. Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

Oh iya tentu kita masukkan itu di dalam raperda. Toni Osmon (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Bagaimana cagar budaya dapat memberikan nilai manfaat ekonomi bagi masyarakat?

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto) Perlu segera dibentuk badan pengelola cagar budaya yang terdiri dari

pemerintah, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat untuk memformulasikan cagar budaya memberikan manfaat

bagi negara dan maysarakat. Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

Page 147: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

37

Dengan adanya otonomi daerah, masyarakat lebih terkesan sebagai penonton dalam penentuan cagar budaya. Karena semua kewenangan

dipengang oleh kepala daerah yang sering kali dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Seperti koleksi pribadi.

Romelan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Pemerintah wajib memberikan kompensasi kepada masyarakat apabila akan

mengambil cagar budaya. Namun apabila cagar budaya tersebut tidak memiliki kepentingan umum, makan barang tersebut dikembalikan kepada masyarakat.

Toni Osmon (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Bagaimana dengan hukumana bagi para pencuri benda cagar budaya.

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto)

Efek jera bagi pelanggar sebenarnya sudah terakomodasi di dalam undang undang tersebut dengan adanya pelibatan hukum adat dalam memberikan efek jera.

Harun (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Misalnya ada seseorang mempunyai rumah yang sangat luas dan memiliki

nilai estetika pada setiap unsur arsitekturnya dan ia berniat menjadikan rumahnya sebagai peninggalan bersejarah di masa yang akan datang. Apa

saja syarat yang harus dipenuhi agar bangunan tersebut dapat menjadi peninggalan bersejarah di masa yang akan datang?

Agus Sunaryo (IAIN Purwokerto) Peninggalan bersejarah yang Anda maksud di sini kami asumsikan sebagai

cagar budaya. Sebuah bangunan untuk bisa ditetapkan sebagai situs cagar budaya harus memenuhi kriteria berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling

singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Selain itu, bangunan tersebut juga harus melalui tahap-tahap pemeriksaan sebelum ditetapkan sebagai cagar budaya dan dicatat di Register Nasional

Cagar Budaya. Baik bapak-bapak anggota balegda yang kami hormati, karena saya rasa tidak ada masukan yang signifikan dari hasil public hearing kemarin, maka

kita akhiri pertemuan siang hari ini dengan membaca hamdallah. Asaalamu’alaikum Wr. Wb.

Page 148: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

38

Notulen Public Hearing

Kegiatan : Penyusunan Naskah Akademik Rancangan

Peraturan Daerah tentang Cagar Budaya Hari, Tanggal : Senin, 8 Mei 2017 Tempat : DPRD Kab. Cilacap

Waktu Agenda

: :

09.00-12.00 WIB Public Hearing

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Salam ........ Sifat public hearing adalah mengakkomodir, mungkin saja DPRD kurang mengakomodasi pihak-pihak terkait dalam substansi Raperda. Kita tidak

menginginkan apabila kita memutuskan sementara masih banyak hal yang belum masuk. Dengan demikian perda yang kita munculkan bisa

bermanfaat. Kami persilahkan untuk bisa memberikan masukan.

Badrudin (Dinas P dan K) Untuk kewenangan Pemda tentang memberikan ijin membawa keluar

kabupaten. Pengaturannya seperti apa? Kami mengharap konsisten dengan definisi cagar budaya. Untuk tanda

hanya di bangunan.

Joko Waluyo (Dinas Pariwisata) Perlu dihadirkan Tim Ahli Cagar Budaya Kab. Cilacap. Terdapat 5 orang

yang sudah mendapat sertifikat dan ditetapkan oleh SK Bupati. 96 cagar budaya yang terinventarisir di Cilacap. Belum ditetapkan kepada

bupati, tetapi ada beberapa yang sudah diajukan pada registrasi nasional. Belum ditetapkan karena menunggu hasil penelitian tim ahli, mana yang perlu untuk diajukan secara nasional registrasinya dan mana yang di SK

kan oleh bupati. Basuki (Majelis Luhur Kepercayaan Indosenisa/MLKI)

Salam ...... rahayu !!!! Kami bersyukur atas apa yang muncul dalam pembahasan kali ini. Harapan

kami dari MLKI pada tahun sebelumnya kami pernah merilis kepada beberapa dinas, tetapi memang belum ada tindak lanjut. Kami berharap dengan adanya Raperda ini dapat memberikan tindak lanjut atas apa yang

kami rilis. Marilah kita bersama-sama mempelajar agar supaya betul-betul apabila kembali kepada adilihung akan memberikan kebaikan.

Harun Al Rasyid (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Page 149: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

39

Ini adalah naskah inisiatif DPRD. Hasil dari naskah akademik akan dilemparkan kepada pansus. Melalui pansus inilah nanti masukan dari

berbagai pihak menjadi formula yang disusun dalam Raperda.

Ahmad Muttaqin (IAIN Purwokerto)

Prinsip pengelolaan cagar budaya adalah kelestarian. Benda cagar budaya bisa dibawa kemana-mana yang terpenting terpeliharan, terjaga, dan tidak mengurangi nilai-nilai dari kebudayaan yang dimaksud.

Sony Susandra (IAIN Purwokerto) Selain tim ahli, ada juga yang disebut sebagai tim cagar budaya. Berbeda

dengan tim ahli yang memang harus ekspert, tim caar budaya lebih pada upaya pelestarian, pengembangan, pendayagunaan, pemanfaatan. Kami

berharap ada pembagian tugas antara tim ahli dan tim cagar budaya. Mohammad Nurul Huda (SMA N 3 Cilacap)

Saya menyambut baik tentang Raperda ini, meski agak terlambat. Saya berharap Raperda ini dapat membangun kesadaran masyarakat untuk memeliharan benda yang memiliki nilai-nilai sejarah masa lalu. Masyarakat

Cilacap selama ini agak pragmatis, misalnya melihat besi bekas meriam dihitung nilai ekonomisnya. Padahal ini memiliki nilai sejarah tinggi meliat

adanya benteng pendem, karang bolong. Banyak barang tersebut diambil karena memiliki nilai ekonomi yang lumayan tinggi. Di Cilacap ada kawasan cagar budaya. Bagaimana membangun sektor ekonomi. Ada kali yasa, nama

sungai di Cilacap. Itu kali buatan untuk membangun moda transportasi mengingat banyak rawa-rawa. Nah ini bisa menjadi kawasan cagar budaya.

Saat ini nilai-nilai itu tidak muncul karena banyak masyarakat yang tidak tahu. Padahal kali yasa ini diresmikan oleh wakil gubernur hindia belanda dan pernah dilintasi oleh putra mahkota hindia belanda. Kali yasa

membentang dari muara serayu hingga kopassus. Yang juga menarik adalah terkait dengan malaria. Belanda agak repot membangun di Cilacap, selain penduduk kecil juga 50% ada wabah malaria.

Ada pusat penanggulangan malaria, rumah seperti teletubis. Orang mengenal rumah tersebut dengan kuburan belanda. Karena banyak pejabat

belanda mati karena malaria. Untuk menanggulangi malaria kemudian ada yang namanya “kelambu”. Teluk penyu (silpatbuy) nama yang sudah ada sejak jaman belanda. Ada

juga yang mengatakan ikon Cilacap adalah bunga wijaya kusuma. Banyak yang bisa diangkat dari Cilacap, namun karena kesadaran kolektif yang

kurang maka potensi tersebut berangsur-angsur hilang. Darjito (Kurator Museum Soesilo Soedarman)

Di Cilacap ada museum Soesilo Soedarman di Gentasari, Kroya, Cilacap. Berdiri tahun Maret tahun 2000. Muesum tersebut menempati rumah khas banyumas yang dibangun 1899. Perkembangannya sejak berdiri sampai

tingkat nasional kita ikut. Koleksi ada dua, di luar adalah alutsista (AD, AU, AL). Belum ada dari kepolisian. Di dalam peninggalan Soesilo dan

Page 150: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

40

dokumentasi perjalanannya. Persoalan adalah penataan karena tempat yang sempit. Pengunjungnya banyak SD, kalau SMA baru SMA 3. Pengunjung

per bulan antara 3000 – 4000. Museum bertransformasi dari pedekatan edutainment menjadi entertainment. Untuk itu saya berharap museum menjadi bagian dari obyek

wisaya Cilacap.

Muslam (MLKI) Ada 5 hal kompetensi pembelajaran terkait dengan kepercayaan kepada Tuhan YME. Terkait benda cagar budaya, seperti srandil itu adalah

panembahan atau tempat peribadatan adat. Ada panembahan peribadatan, panembahan petilasan, dan penembahan pekuburan. Srandil secara spiritual adat jawa menempati posisi yang lumayan tinggi.

Badrudin (P & K)

Terkait bangunan, museum bisa dikategorikan sebagai cagar budaya. Juga benda-bendanya yang masuk dalam kategori cagar budaya. Tim Cagar Budaya penting. Dia bekerja sebelum tim ahli bekerja.

Lurah Donan Di tempat kami banyak sekali makam, kemudian ada nama dusun, sejarah

kali. Kami fokuskan pada makam, mbah kusar, mbah dengung, mbah wiring. Ini banyak dikunjungi oleh masyarakat terutama bulan sura.

Keberadaan tersebut penting diakomodasi. Itu adalah mantan adipati Padjadjaran.

Parsiyan (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Saya senang karena menghadirkan lokasi yang terdapat cagar budaya. Saya

selaku anggota Balegda, penting saya sampaikan agar Raperda ini mengkkover keseluruhan, pertama, menentukan golongan A, B, C ada ketentuan siapa yang bsa menjadi Tim Ahli. Kedua, di desa yang terdapat

cagar budaya bis amemberikan bukti yang mampu meyakinkan kepada Tim Ahli untuk ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Maka di desa perlu ada tim internal misalnya berasal dari kesepuhan agar bisa memberikan narasi yang

menyeluruh. Penetapan SK bupati mengacu dari raperda ini. Cagar budaya bersimbiosis dengan pariwisata.

Kami bangga yang secara nasional menggaung, misal museum Soesilo Soedarman, apa sudah dihibahkan ke daeran. Di Sidareja ada Ranggasena dengan tulisan jawa kuna. Yang terpenting bagaimana cagar budaya tidak

kontraproduktif misal karena pemahaman yang berbeda.

Didik Riyadi (Balegda DPRD Kab. Cilacap) Salam ..... Saya menyikapi dari kata jer basuki mawa bea. Kami dari DPRD, bahwa ini

adalah perda inisiatif. Bagaimana agar sinkronisasi dinas kebudayaan dan kepariwisataan. Titik berat kami agar APBD yang kita miliki bisa memperhatikan cagar budaya di Cilacap. Ini penting karena belum ada

perhatian yang serius dalam APBD. Contoh ada di Barat ada gunung Panggaru. Kita akan kesulitan karena ada pemilahan jalan desa, jalan

Page 151: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

Laporan Akhir Raperda Kabupaten Cilacap Tentang Cagar Budaya

41

kabupaten, dan seterusnya. Desa-desa yang memiliki cagar budaya sulit menerima fasilitasi APBD. Cagar budaya menjadi alternatif agar memperoleh

alokasi APBD. Nah kami berharap ada gerakan aktif dari masyarakat dan eksekutif untuk memperhatikan cagar budaya. Ujungnya adalah pendidikan dan kesejahteraan masyarakat.

Ridwan (IAIN Purwokerto)

Bagaimana mengenal Cilacap dengan mengkonstruksi sejarah. Fakta empiris tadi terkait dengan persepsi sosial, bagaimana benda bernilai sejarah oleh masyarakat diperspesi sebagai rongsokan. Bagaimana merubah

pandangan masyarakat. Untuk itu perlu ada edukasi yang menjadi tanggungjawab pemerintah termasuk budget. Ini juga menjadi amant UU. Oleh karena itu dalam Raperda dalam bab pembinaan dan pengawasan

untuk bagaimana pengawalan ini menjadi lebih serius. Ke depan perlu ada tim sosialisasi kepada masyarakat. Kesadaran terkait dengan pengetahuan.

Ada pemetaan yang relatif cukup. Banyak informasi yang baru dan membuat terkaget-kaget. Sejarah kita ini unik ketika disampaikan oleh yang bersangkutan. Kita ingin membangun tradisi, paradigma baru karena

terkait dengan jati diri. Tim cagar budaya menjadi sangat penting mengingat perdebatan diprediksi seru. Raperda ini mengamanatkan perbut terkait hal-hal yang bersifat teknis.

Benda misalnya di museum. Terkait misal bagaimana benda itu diperoleh. Maka perbut nanti bisa mengatur secara teknis terkait benda-benda

tersebut. Forum ini memperkaya perspektif tentang raperda. Harun (Balegda DPRD Kab. Cilacap)

Baik bapak ibu peserta public hearing, bagi yang belum menyampaikan masukan atas draft, kami persilahkan langsung berhubungan dengan Tim

Ahli. Jadwal kami akan finalisasi draft tanggal 18 Mei 2017. Untuk itu masukan bisa diterima paling lambat tanggal 13 Mei 2017. Hasil masukan akan kami sesuaikan dengan draft yang ada. Masukan bisa langsung lewat

email di: [email protected]. Demikian acara kita hari ini, kita tutup dengan bacaan hamdalah bersama.

Wassalamu‟alaikum Wr. Wb.

Page 152: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

I,t,itPERJANJIAN KERJASAMA

ANTARASEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP

DENGANLEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

|NST|TUT AGAi,tA tslsM NEGERT 0AtN) puRwoKERTO

NOMOR 60 0260 t13 2017|n.17l K.LPPM/H it.01t055t2017

KEG tArAN p E Nyu s u NAN ltilt#rno* DEM I K RApE RDATENTANG CAGAR BUDAYA

Pa9a. hari ini, senin tanggal tiga belas bulan Maret tahun dua ribu tujuh belas (13-3-2017),kami yang bertanda tangan dibawah ini :

1. SUMARYO, S.Sos., MM. Sekretaris Dewan Peruvakilan Rakyat DaerahKabupaten Cilacap, beralamat di Jalan JenderalSoedirman No. 52 Cilacap, berdasarkanKeputusan Bupati Cilacap Nomor 821.2 I 160 I2016 tanggal 30 Desember 2016, tentangPengangkatan/Penunjukan Dalam JabatanSekretaris Dewan Penuakilan Rakyat DaerahKabupaten Cilacap, bertindak untuk dan atasnama serta oleh karenanya sah mewakiliSekretariat Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten Cilacap yang selanjutnya disebutPIHAK KESATU

2. Drs. AMAT NURI M.Pd.l Ketua Lembaga Penelitian dan PengabdianKepada Masyarakat lnstitut Agama ltlam NegeriPuruokerto, beralamat di Kampus Jl. A. YaniNomor 40 A Hrrwokerto, berdasarkan KeputusanRektor lnstitut Agama lslam Negeri (lAlN)Puruvokerto Nomor 800 Tahun 2015 tentangPejabat Pengganti Sementara (Pgs.) KetuaLembaga Pengangkatan Ketua LembagaPengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) lnstitutAgama lslam Negeri (lAlN) Purwokerto, bertindakuntuk dan atas nama serta oleh karenanya sahmewakili Lembaga Penelitian dan PengabdianKepada Masyarakat (LPPM) lnstitut Agama lslamNegeri Punvokerto, yang selanjutnya disebutsebagai PIHAK KEDUA

1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah{aerahKabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Tahun1950 Nomor 24, Berita Negara tanggal 8 Agustus 1950) ;

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 201 1 Nomor82, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 5234);

1t

Page 153: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesiaNomor 5587) Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-UndangNomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republiklndonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesiaNomor 5679);

4. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1950 tentang Penetapan Mulai BerlakunyaUndang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan DaerahdaerahKabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler danKeuangan Pimpinan dan Anggota Dewan Pemakilan Rakyat Daerah (LembaranNegara Tahun 2004 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4416)Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan PemerintahNomor 21 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan PemerintahNomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan danAnggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4712) ;

6. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman PenyusunanPeraturan Tata Tertib Dewan Peruvakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib DewanPenrvakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 2010Nomor 22, Tambahan Negara Republik lndonesia Nomor 5014);

7. Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2011, tentang Perubahan Atas PeraturanPresiden Nomor 54 Tahun 2010 tenbang Pengadaan Barang / Jasa Pemerintah

8. Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 13 Tahun 2004 tentang KedudukanProtokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Cilacap(Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Tahun 2004 Nomor 13, Seri C Nomor 7),

sebagaimana telah diubah terahir dengan Peraturan Daerah Kabupaten CilacapNomor 4 Tahun 2008 tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 13

Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan AnggotaDPRD Kabupaten Cilacap (Lembaran Daerah Kabupaten Cilacap Tahun 2008

Nomor 4);

9. Peraturan Daerah Kabupaten cilacap Nomor 12 Tahun 2016 tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Cilacap Tahun Anggaran2OlT;

l0.Peraturan Bupati cilacap Nomor 113 Tahun 2016 tentang Penjabaran.AnggaranPendapatan d'an Belanja Daerah Kabupaten Cilacap Tahun Anggaran 2017

PARA PIHAK sepakat membuat Perianjian Kerjasama untuk pelaksanaan Kegiatanpenyusunan Nast<an Akademik Raperda tentang cagar Budaya dengan ketentuan

syarat - syarat sebagai berikut :

BAB I

TUGAS DAN PEKERJAANPasal 1

P|HAKKESATUmemberikantugasdanpekerjaankepadaPIHAKKEDUAdanpIHAK KEDUA menerima tugai untuk melaksanakan pekerjaan Penyusunan

Naskah Akademik Raperda te-ntang cagar Budaya dengan ketentuan sebagai

berikut :

a.oarammelaksanakanpekedaanP|HAKKEDUAdiwajibkanmematuhidanmemenuhi persyaratan yang tilrdapat pada dokumen Surat Pedanjian Kerjasama.

U. Oifam meiaksinakan -pet6rjaan'P1HAK

KEDUA harus mengikuti petunjuk -petunjuk / arahan yang diberikan oleh PIHAK KESATU'

Page 154: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

c. Dalam pemeriksaan dan penyelesaian pekerjaan, PIHAK KESATU memberikan- G;" i;"J" eq"u"t plurlana Teknis Kegiatan (ppTK), Panitia Pelaksana

ii,;giit""'dan Pelabat Pemeriksa dan Penerima Barang I Jasa Kegiatan

Peiyusunan Naskah Akademik Raperda tentang Cagar Budaya

BAB IIRUANG LINGKUP

Pasal 2

Ruang Lingkup Perjanjian Kerjasama ini meliputi Penyusunan Naskah Akademiktentang Penyusunan Naskah Akademik Raperda tentang Cagar Budaya

BAB IIIHAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 3

(1) Hak PIHAK KESATU adalah :

a. Memeriksa dan menilai pekerjaan yang dilaksanakan oleh PIHAK KEDUAselama melaksanakan pekerjaan.

b. Meminta laporan pelaksanaan pekerjaan kegiatan Penyusunan NaskahAkademik Raperda tentang Cagar Budaya dilakukan oleh PIHAK KEDUA.

(2) Kewajiban PIHAK KESATU adalah :

a. Melaksanakan pembayaran sesuai dengan waktu dan jumlah yang telahdisepakati PARA PIHAK.

b. Memberikan masukan / saran kepada PTHAK KEDUA untuk kelancaranpelaksanaan pekerjaan.

Pasal 4

(1) Hak PIHAK KEDUA adalah ;

Menerima pembayaran atas pelaksanaan pekerjaan yang telah diselesaikansesuai dengan wahu dan jumlah yang telah sepakati.

(2) Kewajiban PIHAK KEDUA adalah :

a. Menyediakan tempat rapat di kota kedudukan LPPM lAlN Purwokerto, dalamrangka pembahasan setiap Naskah Akademik Raperda dimaksud sejumlah 6(enam) kali pertemuan.

b. Melaksanakan dan menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan jadualpelaksanaan peke$aan yang telah dtetapkan dalam Kerangka Acuan Kerja(KAK).

c. Menyerahkan pekerjaan sesuai dengan jadual penyerahan pekerjaan yangtelah ditetapkan dan Kerangka Acuan Kerja (KAK).

d. Melaksanakan pekerjaan dengan penuh tanggung jawab, serta berkewajibanmemenuhi ketentuan pekerjaan sesuai peraturan perundang-undangan yangberlaku.

BAB IVHASIL PEKERJAAN

Pasal 5

Hasil Pekerjaan Yang dilaksanakan oleh PIHAK KEDUA sebagaimana dimaksuddalam Pasal 2 Surat Perjanjian Kerjasama ini terdiri atas Penyusunan Notulen,Laporan Awal, Laporan Akhir dan Naskah Akademik Raperda tentang PenyusunanNaskah Akademik Raperda tentang Cagar Budaya (masing-masing 5 buku) dan 1

buah soft copy dari penyusunan buku tersebut diatas.

Page 155: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

(') [,:?1idii

Kerjasama ini berraku murai buran Maret 2017 sampai dengan buran

(2) Pekerjaan sebagaimana tgpglyt pasal 1 Surat perjanjian- keflasama dianggapsetesai apabita ptHAK ^K_EDUA-

CF riJnirankn Master Buku NaskahAkademik Raperda sebagaimana tersebut prr"i 5 surat perjanjian Kerjasama ini,dan disetujui oreh rim -Teknis $;i;t]5 v*; tertuang daram Berita Acara. - pemeriksaan pekerjaan_ dan oiterima oie'ri'irii'rtxesaru.(3) Apabila PIHAK KEDUA karena .*r"tr'tailnl.errrtan perpanjangan waktupelaksanaan pekeriaan yang disebabkan oien'nauar yang diruar kemampuandan

-kekuasaannya, maka-prxm iEoul t",ur ri"r-u"rt#r[i,-iixaxKESATU dengan disertai alasan_alasan-Vang Oapat Oipertanggung jawabkan.(a) Apabita arasan-arasan tersebut d;p;i ii#;", prHAK KESATU akanmemberikan perpanjangan waku peraksan"in-p"r"4""n "".r"i

l-"urtr-nan o"nperaturan yang berlaku.

BAB VJANGKA WAKTU

Pasal 6

BAB V!PEIIIBIAYAAN

Pasal 7

(1) J.umlah biaya pelaksanaan pekerjaan dibebankan kepada Anggaran pendapatandan Belanja Daerah Kabupate_n. cilacap Tahun 2017 sesua-i-peraturan tiupaticilacap Nomor : 63 Tahun 2016 tentang standart satuan harga aiiingr,rng"nPemerintah Daerah Kabupaten cilacap Tahun 2017, dengan pirincianleoigaiberikut:(Honorarium Tim Ahli Penyusunan NA Raperda tentanga. Rp 2.000.000,- x6 orang x6 Kegiatanb. Materi Raperda :

- Naskah Akademik : 5 bh x 'l NA/Raperda- @ Rp.1.500.000,--LaporanAwal &Final :5 bh x 1NA,/Raperda- @ Rp.1.500.000,-

Jumlah yang dibrima

Cagar Budaya)Rp 72.000.000,-

Rp 75.000.000,-

PIHAK KEDUA

(2) Biaya pelaksanaan pekerjaan yang lain diatur oleh Sekretariat DPRD KabupatenCilacap sesuai ketentuan Peraturan Perundang - undangan.

BAB VIITATA CARA PEMBAYARAN

Pasal IPembayaran pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dilakukansecara berkala sesuai perkembangan pekerjaan.

BAB VIIISANKSI DAN DENDA

Pasal 9

Apabila PIHAK KEDUA tidak dapat menyelesaikan pekedaan sesuai dengan jangkawaktu yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada Pasal 6, maka setiap hariketerlambatian PIHAK KEDUA wajib membayar denda sebesar 1 permil setiap haridan atau maksimal 5 7o ( lima persen ) dari total biaya kepada PIHAK KESATU.

Rp 1.500.000,-Rp 1.500.000,-

Page 156: Laporan Pendahuluan Penyusunan Naskah Akademikiainpurwokerto.ac.id/wp-content/uploads/2018/11/cagar-budaya-2017.pdf · Pertanyaan mendasar adalah mengapa pemahaman faktual atas

BAB IXPEMUTUSAN PERJANJIAN

Pasal '10

(1) PIHAK KEDUA dilarang memutuskan secara sepihak perjanjian kerjasama inisebelum jangka waktu perjanjian kerjasama ini sebagaimana dimaksud dalampasal 6 berakhir.

(2) Perjanjian Kerjasama ini berakhir atau batal dengan sendirinya apabila adaketentuan undang-undang yang tidak memungkinkan berlangsungnya perjanjiankerjasama ini, tanpa terikat batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Apabila PIHAK KEDUA memutuskan perjanjian kerjasama sebelum jangkawaku peflanjian ini berakhir, maka PIHAK KEDUA dikenakan denda sebesar 2%dari jumlah pembayaran yang diterima.

(4) PIHAK KESATU tidak bertanggungjawab dan oleh karenanya tidak dapatdikenakan tuntutan ganti rugi dari pihak manapun atas teiadinya pengakhiranpeflanjian secara sepihak oleh PIHAK KEDUA dan atau karena sebab-sebab lainyang disebabkan karena kesalahan dan kekhilafan PIHAK KEDUA.

(5) Kerugian dari pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sepenuhnyamenjadi tanggungjawab PIHAK KEDUA.

BAB XPENYELESAIAN PERSELISIHAN

Pasal 11

(1) Apabila terjadi perselisihan antara kedua belah pihak akan diselesaikan secarakekeluargaan / Musyawarah untuk mufakat.

(2) Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak tercapai keduabelah pihak bersepakat untuk menyelesaikan sesuai ketentuan PeraturanPerundang-undangan.

BAB XIKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 12

Hal-hal yang belum diatur dalam Perjanjian Kerjasama ini atau perubahan yangdianggap perlu oleh PARA PIHAK akan diatur lebih lanjut dalam PerjanjianTambahan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan PerjanjianKerjasama ini.

Demikian Surat Perjanjian Kerjasama ini ditanda tangani oleh kedua belah pihak dandibuat dalam rangkap 5 ( lima ) dengan ketentuan lembar KESATU dan lembar keduadari Surat Perjanjian Kerjasama ini dibubuhi materai secukupnya yang masing -masing mempunyai kekuatan hukum yang sama dan beberapa salinan ( Copy )sesuai kebutuhan.

1ER14 KEDUA PIHAK KESATU

t !

t.Pd.t.

14 198703 I 015

PPilt

*

NtP. 19630707 199203 1 001

/