Upload
noni-minty-belantric
View
1.234
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI
OBAT ANTITUBERKULOSIS DAN OBAT ANTI ASMA
Asisten:
Novie Nuridasari
G1A007125
Kelompok VIII
Anggota:
1. Fickry Adiansyah N. G1A0090082. Istiani Danu Purwanti G1A0090183. Noni Minty Belantric G1A0090284. Tessa Septian A. G1A0090385. Prabawa Yogaswara G1A0090486. Wily Gustafianto G1A0090587. Miftahul Falah Yuni A. G1A0090688. Amrina A. F. G1A0090789. Dhyaksa Cahya P. G1A00908810. Fawzia Merdhiana G1A00909811. Nurtika G1A009105
BLOK SISTEM RESPIRASIJURUSAN KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Kelompok VIII
1. Fickry Adiansyah N. G1A009008
2. Istiani Danu Purwanti G1A009018
3. Noni Minty Belantric G1A009028
4. Tessa Septian A. G1A009038
5. Prabawa Yogaswara G1A009048
6. Wily Gustafianto G1A009058
7. Miftahul Falah Yuni A. G1A009068
8. Amrina A. F. G1A009078
9. Dhyaksa Cahya P. G1A009088
10. Fawzia Merdhiana G1A009098
11. Nurtika G1A009105
disusun untuk memenuhi persyaratan
kelulusan praktikum Farmakologi Blok Sistem Respirasi
Jurusan Kedokteran
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
diterima dan disahkan
Purwokerto, April 2011
Asisten,
Novie Nuridasari
G1A007125
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Obat Antituberkulosis Dan Obat Anti Asma
B. Hari dan Tanggal Praktikum
Selasa, 12 April 2011
C. Tujuan Praktikum
Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan
obat anti asma
Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antituberkulosis.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antituberkulosis.
3. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis.
4. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat
antiasma.
7. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.
8. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus.
9. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.
10. Mahasiswa mampu membuat peresepan untuk obat antituberkulosis dan
obat antiasma.
BAB II
ISI
A. Definisi
Obat antituberkulosis adalah obat yang digunakan untuk mengobati
penyakit tuberkulosis yang memiliki efek bakterisid dan bakteriostatik
terhadap kuman tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis. Obat yang
digunakan terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok lini pertama dan lini
kedua. Kelompok lini pertama isoniazid, pirazinamid, rifampisin, etambutol
dan streptomisin. Kelompok lini kedua adalah antibiotik golongan
fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat (Gunawan, 2007).
Obat antiasma adalah obat yang digunakan penderita asma, terdiri dari
obat pengontrol (controller/antiinflamasi) dan obat pelega
(reliever/bronkodilator). Obat pengontrol terdiri dari agonis beta 2 kerja
lambat, antileukotrin, inhalasi kortikosteroid, dan teofilin lepas lambat. Obat
pelega terdiri dari kortikosteroid sistemik, agonis beta 2 kerja cepat,
metilxantin, dan antikolinergik (ipratropium bromide) (Manaf, et al,2007).
B. Pembahasan OAT
Komponen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digolongkan atas dua
kelompok, yaitu kelompok obat lini pertama (isoniazid,fifampisin, etambutol,
streptomisin, dan pirazinamid) dan obat lini kedua (antibiotik golongan
fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan
paraaminosalisilat) (Istiantoro,et al, 2007). Pada praktikum kali ini membahas
obat lini pertama.
1. Rifampisin
a. Sediaan Obat
Rifampisin di Indonesia terdapat dalam kapsul 150 mg dan 300
mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi
yang mengandung 100 mg/5 mL Rifampisin (Istiantoro,et al, 2007).
b. Cara Pemberian Obat
Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Istiantoro,et al, 2007).
c. Dosis obat
Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg
ialah 400 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60
mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgB/hari dengan dosisi
maksimum 600 mg/hari (Istiantoro,et al, 2007).
d. Farmakokinetik
Tabel 1. Farmakokinetik Rifampisin Sumber : Katzung, 2007.
Absorbsi Saluran cerna
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi Urine,keringat,air mata
e. Farmakodinamik
Rifampisin terutam aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.
Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase. Rifampisin
dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi
diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan
pada kuman (Istiantoro,et al, 2007).
f. Indikasi
Penyakit TB tetapi dikombinasikan dengan OAT lain dan
penyakit kusta (Istiantoro,et al, 2007)..
g. Kontraindikasi
Obat ini sebaiknya jangan digunakan bagi pasien yang
mengalami gangguan hepar, alergi terhadap rifampisin (Istiantoro ,et
al, 2007).
h. Interaksi Obat
Pemberian PAS ( Paraaminosalisilat) bersama rifampisin akan
menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak
cukup. Rifampisin mungkin juga mengganggu metabolisme vitamin D
sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang seperti osteomalasia.
Disulfiram sebagai obat bagi pecandu alkohol dan probenesid sebagai
obat anti inflamasi penderita asam urat dapat menghambat ekskresi
rifampisin melalui ginjal (Istiantoro,et al, 2007).
i. Efek samping Obat
Rifampisin dapat menimbulkan warna merah pada urin,keringat
dan air mata namun tidak berbahaya. Efek samping lainya seperti
nefritis,trombositopenia dan gangguna fungsi hati (Katzung, 2007).
2. Isoniazid
a. Sediaan Obat
Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga
dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti
piridoksin (vitamin B6).TB vit B6 sudah mengandung isoniazid dan
vitamin B6 dalam satu sediaan, sehingga praktis hanya minum sekali
saja. TB vit B6 tersedia dalam beberapa kemasan untuk memudahkan
bila diberikan kepada pasien anak-anak sesuai dengan dosis yang
diperlukan.TB Vit B6 tersedia dalam bentuk:
1) Tablet
Mengandung INH 400 mg danVit B6 24 mg per tablet.
2) Sirup
Mengandung INH 100 mg danVit B6 10 mg per 5 ml, yang
tersediadalam 2 kemasan :
Sirup 125 ml
Sirup 250 ml
b. Cara Pemberian Obat
Oral (bentuk injeksi dapat digunakan untuk pasien yang tidak
dapat menggunakan sedían oral maupun karena masalah absorbsi).
c. Dosis obat
Anak-anak < 4 tahun :
Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 10 – 20 mg/kg/hari
dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal 300 mg/hari) atau 20 – 40 mg/kg
(maksimal 900 mg/ dosis) dua kali seminggu selama 9 bulan.
Pengobatan infeksi TB aktif :
Terapi harian 10 – 15 mg/kg/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal
300 mg/hari).
Dua kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 20 – 30 mg/kg
(maksimal 900 mg). DOTS adalah program pemerintah untuk
mengatasi penyakit TBC. Dalam pelaksanaan TBC diperlukan 5
komponen yaitu komitmen politis, diagnosis sputum mikroskopis
bermutu, pengobatan jangka pendek diawasi PMO, ketersediaan OAT
yang bermutu, laporan baku untuk menilai hasil kinerja.
Dewasa :
Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 300 mg/hari atau 900
mg dua kali seminggu selama 6-9 bulan pada pasien yang tidak
menderita HIV (terapi 9 bulan optimal, terapi 6 bulan berkaitan
dengan penurunan biaya terapi) dan 9 bulan pada pasien yang
Pengobatan infeksi TB aktif : Terapi harian 5 mg/kg/hari diberikan
setiap hari (dosis lazim : 300 mg/hari); 10 mg/kg/hari dalam 1 – 2
dosis terbagi pada pasien dengan penyakit yang telah menyebar. Dua
kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 5 mg/kg (maksimal
900 mg); terapi 3 kali/minggu : 15 mg/kg (maksimal 900 mg).
d. Farmakokinetik
Nama Obat Farmakokinetik
Isoniazid Absorbsi Lambung
Distribusi Kesemua cairan tubuh dan
bahan kaseosa (jaringan
nekrotik seperti keju)
Metabolisme Hepar
Ekskresi Urin
e. Farmakodinamik
Isoniazid menghambat sintesis dinding sel dari basil
tuberculosis. Obat ini biasanya diresepkan bersama agen anti
tuberkulosis lainnya. Mula kerja dan waktu untuk mencapai kadar
puncak untuk pemakaian oral dan intramuscular dari isoniazid adalah
sama. Neuropati perifer merupakan reaksi yang merugikan dari
isoniazid; sehingga piridoksin, vitamin B6 biasanya dipakai bersama
isoniazid untuk mengurangi kemungkinan terjadinya neuropati.
Dengan meminum alcohol bersama obat ini dapat meningkatkan
terjadinya neuropati perifer. Jika fenitoin dipakai bersama isoniazid,
maka efek fenitoin dapat berkurang. Antasid mengurangi absorbs
isoniazid. (Joyce, 1996)
f. Indikasi
Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain
g. Kontraindikasi
Obat dapat menginduksi timbulnya penyakit hati.
Hipersensitifitas terhadap isoniazid atau komponen lain dalam
sediaan, penyakit hati akut, riwayat kerusakan hati selama terapi
dengan isoniazid.
h. Interaksi Obat
Dengan obat lain :
1) INH dapat memperkuat efek samping fenitoin (obat antiaritmia)
misalnya nistagmus dan ataksia sebab INH menghambat
metabolisme fenitoin. Sebab sifat dari fenitoin absorbsinya sangat
lambat di saluran cerna. (Yati,2008)
2) Meningkatkan efek/toksisitas : penggunaan bersama disulfiram
menyebabkan reaksi intoleransi akut. Disulfiram adalah
antioksidan yang digunakan secara luas dalam industry karet,telah
terbukti sebagai penyebab rasa tidak enak yang hebat pada pasien
yang minum alkohol. Disulfiram diabsorbsi dengan cepat dan
sempurna dari saluran pencernaan. Kecepatan eliminasinya sangat
lambat, karena itu akan efeknya dapat bertahan untuk beberapa
hari sampai dosis terakhir. Dan obat ini dapat berinteraksi dengan
obat lain. (Yati,2008)
3) Menurunkan efek: efek/kadar isoniazid diturunkan oleh garam
aluminium atau antasida (karena antacid mengandung
aluminium). Antasid adalah obat yang menetralkan asam
lambung. Antasid merupakan basa lemah. (Yati,2008)
4) Dengan Makanan :
Harus digunakan satu jam sebelum atau dua jam sesudah makan
pada keadaan lambung kosong; peningkatan asupan makanan
yang mengandung folat(sayuran,kacang polong,biji bunga
matahari), niasin, magnesium. Tidak diperlukan pembatasan
makanan yang mengandung tyramin (obat yang efeknya mirip
dengan perangsangan saraf adrenergic atau mirip efek
neurotransmitter norepinephrine dan epineprin).
i. Efek samping Obat
Isoniazid menimbulkan efek samping yang cukup rendah
kecuali karena alergi, efek-efek yang tidak diinginkan tersebut
berkaitan dengan dosis dan lama pemakaian obat. Berikut adalah efek
samping yang ditimbulkan isoniazid yaitu (Yati,2008):
1) Neuritis perifer
Adalah efek samping yang paling sering timbul karena
efisiensi piridoksin yang relative. Ini disebabkan karena suatu
kompetisi INH dengan piridoksal fosfat untuk enzim
apotriptofanase. Sebagian besar reaksi toksik diperbaiki dengan
penambahan piridoksin.
2) Hepatitis dan Hepatotoksisitas Idiosinkrasi
Hepatitis yang kemungkinan fatal adalah efek samping INH
yang paling berat. Kejadian meningkat pada penderita-penderita
dengan bertambahnya usia, juga pada penderita-penderita yang
mendapatkan rifampisin atau diantara mereka yang minum alkohol
setiap hari.
3) Efek samping lainnya
Abnormalitas mental, kejang-kejang pada penderita yang
mudah kejang dan neuritis optikus telah dilaporkan. Reaksi-reaksi
hipersensitivitas seperti ruam dan demam.
3. Pirazinamid
a. Sediaan Obat
Bentuk sediaan obat tablet oral. Satu tablet Pirazinamid ada
yang terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg (Gunawan,
2007).
b. Cara Pemberian Obat
Cara pemberiannya dalam satu hari atau beberapa kali sehari.
Lama pemberian rejimen Pirazinamid bekerja dalam dosis terbagi 3
sampai 4 dosis perhari. Tetapi sebagian besar merekomendasikan
dikonsumsi sekali sehari 1-2 jam sebelum makan (Gunawan, 2007).
c. Dosis obat
Dosis oral adalah 20-35 mg/kg BB/hari (Gunawan, 2007).
Tabel 3. Dosis obat INH oral sesual berat badan, Sumber : Pedoman
Penanggulangan TB 2007
d. Farmakokinetik
Tabel 4. Farmakokinet Pirazinamid. Sumber : Gunawan, 2007.
Absorbsi Saluran cerna (usus)
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi filtrasi glomelurus
Half Time 9-10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal dan hati
yang sehat. Waktu paruh pirazinamid ini mungkin
berkepanjangan pada pasien dengan fungsi ginjal atau
hati terganggu.
Bioavaibilitas (99.0±16 9)%
e. Farmakodinamik
Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim
pirazinamidase menjadi asam pirazionat yang aktif sebagai
tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Secara in vitro
pertumbuhan kuman tuberculosis dalam monosit dihambat sempurna
pada kadar pirazinamid 12,5 µg/ml. mekanisme kerja obat ini belum
diketahui. Pirazinamid bersifat bakteriostatik atau bakterisidal
terhadap Mycobacterium tuberculosis, tergantung pada konsentrasi
obat dicapai pada tempat infeksi (Gunawan, 2007).
f. Indikasi
Pirazinamid diindikasikan untuk pengobatan awal tuberkuIosis
aktif pada orang dewasa dan anak-anak yang dikombinasikan dengan
obat antituberkulosis lainnya. Rekomendasi dengan menggunakan
enam-bulan regimen untuk pengobatan awal TB aktif , yang terdiri
dari isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid diberikan selama
2 bulan, diikuti dengan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan. Pada
pasien dengan infeksi HIV bersamaan, mungkin pasien memerlukan
pengobatan yang lebih lama. Pirazinamid sering kali penting dalam
terapi pengobatan tuberkulosis. Pirazinamid seharusnya hanya boleh
digunakan secara kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dengan
cara yang efektif (Muthaiah, et al, 2010).
g. Kontraindikasi
Pirazinamid merupakan kontraindikasi pada orang dengan
kerusakan hati yang berat, orang dengan hipersensitivitas pada obat
pirazinamid, dan penderita gout (Muthaiah, et al, 2010).
h. Interaksi Obat
Pirazinamid mengganggu uji ketonuria dengan reagen ACETEST®
KETOSTIX®. Pada tes urin mengenai ketonuria, penggunaan
pirazinamid akan menghasilkan warna pink-coklat sehingga
menggangu pemeriksaan dan interpretasi data (Papastavros, 2002).
i. Efek samping Obat
Efek samping yang paling umum dan serius dari penggunaan
pirazinamid adalah kelainan hati. Pirazinamid merupakan
hepatotoksik (Chang, et al, 2008).
Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala
penyakit hati yang dapat timbul pada kira-kira 15%, dengan ikterus
pada 2-3% pasien dan kematian akibat nekrosis hati pada beberapa
kasus. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Oleh
karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum
pemakaian Pirazinamid dimulai. Pemantauan terhadap transaminasi
serum juga perlu dilakukan secara berkala selama pengobatan dengan
pirazinamid berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati, pengobatan
dengan pirazinamid harus dihentikan. Pirazinamid tidak boleh
diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini
menghambat eksresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya
arthritis pirai. Efek samping pada kelainan gastrointestinal antara lain
reaksi hati. Hepatotoksisitas timbul tergantung dosis yang diberikan,
dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Efek samping pada
gastrointestinal lainnya adalah anoreksia, mual dan muntah
(Gunawan, 2007).
Efek pada Hematologi dan limfatik adalah anemia sideroblastik
dan trombositopenia dengan hiperplasia eritrosit, vakualisasi eritrosit
dan peningkatan kadar serum besi serum yang jarang terjadi. Dampak
buruk pada mekanisme pembekuan darah juga telah jarang dilaporkan
(Papastavros, Dolovich, Holbrook, et al, 2002).
Juga ditemukan Efek samping lain yaitu: artralgia ringan dan
mialgia. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, dan gatal-
gatal. Efek samping lain seperti Demam, jerawat, fotosensitivitas,
porfiria, disuria dan nefritis interstisial jarang terjadi (Papastavros,
2002).
4. Etambutol
a. Sediaan Obat
Sediaan di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250
mg dan 500 mg.ada pula sediaan yang telah dicampur dengan
isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (Istiantoro, et al, 2007).
b. Cara Pemberian Obat
Cara pemberian melalui oral (Istiantoro, et al, 2007).
c. Dosis obat
Dosis harian 15-20 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 1250 mg/hari
pada anak
d. Farmakokinetik
Tabel 5. Farmakokinetik Etambutol. Sumber : Istiantoro, et al, 2007
Absorbsi Saluran cerna
Distribusi Seluruh tubuh
Metabolisme Hepar
Ekskresi Melalui ginjal dalma bentuk Urin, metabolit, derivate
aldehid dan asam karboksilat.
Half Time 2,5-3,6 jam
e. Farmakodinamik
Mekanisme kerja etambutol menghambat sintesis metabolic sel
sehingga metabolism sel terhambat dan sel mati. Obat ini hanya aktif
terhadap sel ynag bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.
Etambutol juga dapat menghambat arabinosil transferase
mikrobakterium, yang dikode oleh operon embCAB (Katzung, 2007).
f. Indikasi
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada
resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat ditinggalkan.
Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun,
neuritis optik, gangguan visual (DEPKES,2005).
g. Kontraindikasi
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh
karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan
ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol
dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal
ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan
gagalginjal adalah 2HRZ/4HR.Selain itu pemberian etambutol harus
hati-hati diberikan kepada pasien denagn penyakit DM karena pasien
dengan penyakit DM sering terjadi komplikasi retinophaty diabetika
karena dapat memeperberat kelainan ini (MENKES, 2009).
h. Interaksi Obat
Etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat
tuberculosis lain karena jika debrikan secara tunggal dapat
menyebabkan resistensi (Istiantoro, et al, 2007).
i. Efek samping Obat
Etambutol jarang menimbulkan efek samping.dosis harian
sebsar 15 mg/kgBB menimbulkan efek toksik minimal.Pada dosis ini
kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan
ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.Efek samping lain
adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit
kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungklin juga
halusinasi.Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi.Reaksi
anafilaksis dan leucopenia jarang dijumpai.Etambutol dapat
menurunkan khasiat urikosurik, terutama pada pemakain bersama
isoniazid dan piridoksin. Etmbutol pada orang DM dapat menurunkan
OHO (Istiantoro, et al, 2007).
5. Streptomisin
a. Sediaan Obat
Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang
mengandung 1 atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara
pemberian yang direncanakan. (Manaf, et al,2007)
b. Cara Pemberian Obat
Suntikan Intra Muskular merupakan cara yang paling sering
diberikan. Pemberian obat dilakukan sebelum makan untuk
menghindari efek samping berupa mual (Davies, 2008).
c. Dosis obat
Obat ini diberikan secara intra muskular dengan dosis 15 mg/kg
(maksimal 1 g) sehari ; dosis diturunkan pada pasien dengan berat
badan di bawah 50 kg, pada usia diatas 40 tahun atau pasien dengan
kerusakan ginjal. Konsentrasi obat dalam plasma harus diukur pada
pasien dengan kerusakan ginjal dan harus digunakana secara hati-hati.
(Istiantoro, et al, 2007)
d. Farmakokinetik
Tabel 6. Farmakokinetik Streptomisin. Sumber : Istiantoro, et al, 2007
Absorbsi Eritrosit dan Plasma
Distribusi Seluruh cairan ekstrasel
Metabolisme Hepar
Ekskresi Filtrasi glomerulus
Half Time 2-3 jam
e. Farmakodinamik
Streptomisin adalah sintesis protein inhibitor. Ia mengikat ke
protein S12 dari subunit 30S ribosom bakteri, campur dengan
pengikatan formil-methionyl-tRNA ke subunit 30S. Hal ini untuk
mencegah inisiasi sintesis protein, mengganggu permeabilitas
membran dan menyebabkan kematian sel-sel mikroba. Manusia
struktural ribosom berbeda dari bakteri, sehingga memungkinkan
selektivitas antibiotik ini untuk bakteri. Namun pada konsentrasi
rendah Streptomisin hanya menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini
dilakukan oleh ribosom untuk membujuk prokariotik mRNA salah
membaca (Katzung, 2007)
f. Indikasi
Streptomisin sebagian besar diguanakan sebagai Obat Anti
Tuberkulosis (OAT). Namun, dalam bentuk kombinasi dengan obat
lain, bersama dengan doksisiklin (salah satu jenis antibiotik
tetrasiklin) dapat digunakan pada pengobatan brucellosis dan
enterococcal endokarditis (Manaf, et al, 2007).
g. Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap streptomycin atau komponen lain
dalam sediaan atau penggunaan untuk ibu hamil. Streptomisin
merupakan obat yang diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila
fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Streptomisin tetap dapat
diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal (Davies, 2008)
h. Interaksi Obat
Penggunaan bersama dengan amfoterisin (salah satu jenis
antifungi) dapat meningkatkan nefrotoksisitas. Streptomisin dapat
meningkatkan efek/toksisitas perpanjangan efek dengan senyawa
depolarisasi dan nondepolarisasi neuromuscular blocking (Davies,
2008)
i. Efek samping Obat
Efek Samping Streptomicin, dapat menyebabkan gangguan
penedengaran dan gangguan keseimbangan. Untuk penggunaan
Streptomisin sebagai OAT dapat digantikan dengan Etambutol
sebagai kelanjutan terapi (Davies, 2008)
Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat
permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini
dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan
keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan (Davies,
2008).
C. Pembahasan Obat Antiasma
Ada enam komponen dalam pengobatan asma, yaitu : (Sundaru dan
Sukamto, 2007)
1. Penyuluhan kepada pasien
2. Penilaian derajat beratnya asma
3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
4. Perencanaan obat-obat jangka panjang
Dasarnya, obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan
mnegendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain
sebagai pencegah (controller) dan penghilang gejala (reliever) sehingga asma
dapat terkendali (Sundaru dan Sukamto, 2007). Obat anti asma yang akan
dibahas adalah obat aminofilin dan MDI.
1. Amilofilin
a. Sediaan
Aminofilin merupakan jenis obat yang termasuk dalam
golongan xantine. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan tablet 100
mg dan sirup untuk diminum secara oral, ampul dan vial masing-
masing 10 ml (setara 250 mg) dan 20 ml (setara 500 mg) untuk
diberikan secara injeksi intravena, dan supositoria untuk diberikan
melalui rectal (U.S National Library of Health, 2009).
b. Cara Pemberian
Obat ini dapat diberikan secara oral, supositoria rectal, maupun
dengan cara injeksi intravena. Biasanya obat ini diberikan dalam
selang waktu 6, 8, atau 12 jam. Untuk pemberian secara oral,
minumkan tablet atau sirup dalam keadaan lambung yang kosong,
kira-kira 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan (U.S
National Library of Health, 2009).
Pada pemberian obat per rectal, pasien diminta untuk berbaring
dengan bagian tubuh kiri di bawah dan bagian kanan tubuh di atas.
Kemudian tekuk lutut hingga setinggi dada, lalu masukkan obatnya ke
dalam rectal sedalam 1,5-2,5 cm untuk bayi dan anak-anak atau 2,5
cm pada orang dewasa. Diamkan obat di dalam rectal kira-kira sampai
15 menit, setelah itu lakukan aktifitas seperti biasa (U.S National
Library of Health, 2009).
Sedangkan untuk pemberian secara intravena biasanya
dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan profesional. Jarum
suntuk dimasukkan secara perlahan ke dalam pembuluh vena pasien
untuk memasukkan aminofilin melalui jarum suntik ke dalam tubuh
pasien (MedicineNet, 2011).
c. Dosis (MIMS Indonesia, 2011)
Oral
Dewasa: umumnya 225-450 mg/KgBB/hari
Anak: >3 tahun: 12-24 mg/kgBB/hari dan terbagi menjadi 2 dosis
setelah 1 minggu.
Orang tua: sebaiknya tidak diberikan dosis untuk orang dewasa
normal, lakukan pengurangan dosis bila perlu.
Pada orang-orang dengan gangguan fungsi hepar, juga sebaiknya
dilakukan pengurangan dosis dari dosis normal untuk orang dewasa
Intravena
Dewasa: dosis umum: 5 mg/kg (untuk BB ideal) atau 250-500 mg (25
mg/ml) secara injeksi maupun dicampur dalam cairan infus selama
20-30 menit. Dosis untuk infus: 0,5 mg/kgBB/jam, maksimal 25
mg/menit.
Anak: dosis umum: sama dengan dosis untuk orang dewasa. Dosis
untuk infus: 6 bulan - 9 tahun: 1 mg/kgBB/jam, 10-16 tahun: 0.8
mg/kgBB/jam.
Untuk orang tua dan orang dengan gangguan fungsi hepar, sebaiknya
juga dilakukan pengurangan dosis.
d. Farmakokinetik
e. Farmakodinamik
Absorbsi Distribusi Metabolisme Ekskresi
Absorbsi obat lebih
sulit jika lambung
sedang terisi
makanan
Aminofilin dapat
menembus sawar
plasenta dan
bercampur dengan
ASI
Obat ini
dimetabolisme oleh
hepar
Ekskresi lewat
urin
Aminofilin merupakan suatu kombinasi antara teofilin dan
etilendiamine. Etilendiamine bersifat inaktif, ia hanya berfungsi untuk
meningkatkan kelarutan teofilin dalam air. Teofilin bekerja dengan
merelaksasi otot polos bronkus. Mekanisme selulernya dengan
meningkatkan Cyclic Adenosine Monophospate (cAMP) yang
merupakan suatu second messenger hormon yang mempengaruhi
aktifitas intraseluler melalui penghambatan terhadap fosfodiesterase,
antagonis terhadap reseptor adenosin, antagonis terhadap
prostaglandin, dan efek kepada kalsium intraseluler (MIMS Indonesia,
2011).
f. Indikasi
Teofilin intravena digunakan sebagai pelengkap obat agonis B2
inhalasi dan mengatur kadar kortikosteroid sistemik untuk pengobatan
gejala eksaserbasi akut dan obstruksi saluran nafas yang bersifat
reversibel seperti asma bronkial dan bronkospasme akut berat
(Hospira.Inc, 2011).
g. Kontra Indikasi
Aminofilin tidak boleh digunakan untuk pasien dengan riwayat
hipersensitivitas terhadap teofilin atau komponen lain dalam sediaan
aminofilin termasuk etilendiamin (Hospira.Inc, 2011).
h. Interaksi Obat
Akitivitas kerja obat golongan xantine dapat dikurangi dengan
pemberian allopurinol, beberapa golongan obat antiarithmia (obat
untuk gangguan jantung), cimetidine (antihistamin penghambat
reseptor H2), disulfiram (obat untuk menghentikan ketergantungan
pada alkohol), fluvoxamine (obat antidepresan), interferon-alfa,
antibiotik makrolide, quinolone (antibiotik golongan floroquinolone),
kontrasepsi oral, thiabendazole (obat anti jamur dan parasit) dan
viloxazine (obat anti depresan). Sedangkan aktivitas kerja aminofilin
dapat ditingkatkan dengan pemberian fenitoin (obat anti kejang),
ritonavir (obat anti virus), rifampisin (OAT lini pertama),
sulfinpyrazone (obat untuk arthritis gout), aktivitas merokok,
kortikosteroid (obat anti inflamasi), diuretik (obat untuk memicu
pengeluaran urin), dan B2 agonis. Aminofilin berpotensi untuk
berakibat fatal seperti meningkatkan irama denyut jantung akibat
pemberian obat simpatomimetik dan halotan, terjadinya takikardi
akibat pemberian pankuronium, peningkatan risiko timbulnya kejang
akibat pemberian quinolon dan ketamin, serta terganggunya
metabolisme akibat interaksi dengan beta bloker (MIMS Indonesia,
2011).
i. Efek Samping Obat
Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri perut,
mual, muntah, diare, hilang nafsu makan, sakit kepala, gangguan
tidur, gelisah, gugup, hingga dapat juga terjadi peningkatan ekskresi
urin. Selain itu, dapat pula muncul efek samping yang serius seperti
reaksi alergi yang serius, pingsan, takikardi atau brakikardi. Akan
tetapi, kasus-kasus serius akibat efek samping aminofilin ini jarang
dijumpai (MedicineNet, 2011).
2. Metered Doses Inhaler (MDI)
a. Komponen Obat
Bronkodilator adalah obat-obat yang digunakan untuk mengatasi
kesulitan bernafas yang disebabkan oleh asma, bronkitis, bronkiolitis,
pneumonia dan emfisema (ASC, 2011).
Bronkodilator mendilatasi bronchus dan bronchiolus yang
meningkatkan aliran udara. Bronkodilator dapat berupa zat endogen
atau berupa obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi kesulitan
bernafas (ASC, 2011).
Obat-Obat Bronkodilator terdiri dari :
1. Adrenergik
Adrenergik yang digunakan adalah b2-simpatomimetika
(singkatnya b2-mimetika) yang terdiri dari salbutamol, terbulatin,
tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol (Meptin), klenbuterol
(Spriropent), salmoterol dan formoterol (dorudil) (ASC, 2011).
2. Antikolinergik (Ipratropium bromide) (ASC, 2011).
3. Xanthin (Aminofilin dan Teofilin) (ASC, 2011).
b. Cara Menggunakan Metered Doses Inhaler (MDI)
Dosis penghirup meteran (MDI) terdiri dari tabung bertekanan
berobat pada kasus plastik dengan seorang juru bicara.Menekan MDI
melepaskan kabut obat.Ukurannya portabel, efisiensi dan kemudahan
membuat MDI metode yang diinginkan untuk pengobatan inhalasi
(ASC, 2011).
Cara Gunakan Dosis-berargo Inhaler "Puffer"
Sebuah inhaler meteran-dosis, yang disebut MDI untuk jangka
pendek, adalah inhaler bertekanan yang memberikan pengobatan
dengan menggunakan semprotan propelan (ASC, 2011).
Untuk menggunakan sebuah MDI: (ASC, 2011)
1. Kocok MDI 3 sampai 4 kali sebelm di gunakan
2. Lepaskan tutup
3. Buang nafas terlebih dahulu sebelum MDI di masukan ke mulut
4. Masukan MDI ke mulut . Tempatkan dalam mulut antara gigi dan
mulut
5. Mulai untuk menghirup perlahan. Tekan bagian atas inhaler sekali dan
tetap menghirup perlahan sampai mengambil nafas penuh.
6. Lepaskan inhaler dari mulut Anda, dan menahan nafas selama sekitar
10 detik, kemudian bernapas keluar.
7. Jika Anda membutuhkan semprotkan kedua, tunggu 30 detik, kocok
MDI lagi, dan ulangi langkah 3 sampai 6. Setelah Anda
menggunakan MDI, berkumur mulut Anda dan mencatat jumlah dosis
yang diambil
8. Menyimpan semua puffers pada suhu kamar
(ASC, 2011).
Cara membersihkan MDI (ASC, 2011)
Untuk membersihkan MDI, gunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Lepaskan tabung logam dengan cara menariknya keluar.
2. Bersihkan bagian plastik perangkat menggunakan sabun dan
air. (Jangan cuci logam tabung atau menaruhnya di air.)
3. Biarkan komponen plastik kering di udara
4. Pasang MDI kembali bersama-sama.
5. Uji MDI dengan merilis sebuah puff ke udara.
Yang perlu di perhatikan tentang MDI (ASC, 2011)
1. Selalu ikuti instruksi yang datang dengan MDI. Juga:
2. Menjaga pereda MDI suatu tempat di mana Anda bisa
mendapatkannya dengan cepat jika Anda membutuhkannya, tapi jauh
dari jangkauan anak-anak.
3. Tampilkan dokter, apoteker atau pendidik bagaimana anda
menggunakan inhaler meteran dosis.
4. Simpan MDI pada suhu kamar. Jika menjadi dingin, hangat itu hanya
menggunakan tangan Anda.
5. Jangan tusukan atau istirahat tabung, atau mencoba untuk
menghangatkan menggunakan apa pun kecuali tangan Anda.
6. Ketika Anda mulai menggunakan MDI, tulis tanggal mulai di tabung.
7. Periksa tanggal kadaluwarsa pada MDI sebelum Anda
menggunakannya.
8. Jika Anda mengalami kesulitan menggunakan MDI, tanyakan kepada
dokter Anda untuk kiat-kiat atau untuk merekomendasikan perangkat
lain.
9. Banyak dokter merekomendasikan penggunaan spacer, atau
memegang perangkat yang akan digunakan dengan MDI.
10. Tabung jangan sampai masuk ke dalam air.
D. Aplikasi Klinis
1. Tuberkulosis
TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sumber penularan TB adalah
pasien TB BTA positif, melalui droplet nuclei (percikan dahak saat
pasien batuk atau bersin. (Depkes, 2009).
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri dengan bentuk
batang, tahan asam, bersifat aerobik, dan bersifat patogen maupun
saprofit. Tempat masuk bakteri ini adalah saluran pernapasan, saluran
pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. (Price, 2006).
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3
minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala lain seperti dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2009).
Untuk dapat melakukan diagnosis TB, perlu dilakukan
pemeriksaan dahak mikroskopis untuk menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak dilakukan
dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua
hari kunjungan yang berurutan, berupa Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS).
Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB
(BTA). Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan
dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. Berikut adalah bagan
alur diagnosis TB paru : (Depkes, 2009)
Gambar 1. Bagan Alur Diagnosis TB Paru
Sumber : Depkes, 2009.
Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena (Depkes, 2009) :
1. TB paru
2. TB ekstra paru
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Depkes,
2009) :
1. Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
2. Kambuh (Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
TB dan telah dinyatakan sembuh atau oengobatan lengkapm
didiagnosis kambuh dengan BTA positif.
3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)
Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau
lebih dengan BTA positif.
4. Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan.
5. Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan
yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.
6. Lain-lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.
Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan
hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan
ulangan.
Pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan
mencegah terjadinya rasistensi kuman terhadap OAT (Depkes, 2009).
Paduan OAT berdasarkan World Health Organization (WHO) dan
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
(IUATLD):
1. Kategori 1 :
2HRZE/4H3R3
2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
2. Kategori 2 :
2HRZES/HRZE/5H3R3E3
2HRZES/HRZE/5HRE
3. Kategori 3 :
2HRZ/4H3R3
2HRZ/4HR
2HRZ/6HE
2. Asma Bronkial
Menurut “United States National Tuberculosis
Association” 1967, asma bronkial merupakan suatu
penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang
meningkat dari trakea dan bronkus terhadapa berbagai
macam rengsangan dengan manifestasi berupa
kesukaran bernapas yang disebabkan oleh
penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas
(Alsagaff, 2010).
Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis,
dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara
spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan
dasarnya berupa kelainan imunologi (Alsagaff, 2010).
Menurut Kaliner (1980) meninjau asma dari segi
klinis dan imunologi serta menganjurkan definisi asma
bronkial sebagai berikut: asma bronkial ialah suatu
penyakit yang berdasarkan adanya kepekaan saluran
napas yang berlebihan berupa penyumbatan (obstruksi)
saluran pernapasan yang dapat pulih kembali
(irreversibel) dan diikuti oleh perubahan- perubahan
patologi sebagai berikut (Alsagaff, 2010):
1. Bronkospasme
2. Sembab mukosa
3. Infiltrasi sel radang
4. Sekresi mukosa
5. Pengelupasan (desquamasi) sel epitel permukaan
6. Penebalan membrane basalis
7. Hyperplasia sel goblet
Derajat serangan asma
Serangan
asma
ringan
Serangan
asma
sedang
Serangan
asma berat
Serangan
asma
mengancam
jiwa
Sesak Sesak Sesak Kesadaran :
napas :
waktu
berjalan, bisa
berbaring
napas :
waktu
bicara,
>suka duduk
napas :saat
istirahat, duduk
membungkuk
tidak begitu
sadar
Bebicara :
kalimat
Bebicara :
kata-kata
Bebicara : kata
demi kata
Pemakaian otot
bantu napas :
pergerakan
torakoabdomina
l yang
paradoksal
Kesadaran :
mungkin
agitasi
Kesadaran :
biasanya
agitasi
Kesadaran :
biasanya agitasi
Mengi : tidak
ada
Frekuensi
napas : <20
x
Frekuensi
napas : 20 –
30 x
Frekuensi
napas : >30
kali/menit
Nadi : brakikardi
Pemakain
otot bantu
napas :
biasanya
tidak
Pemakain
otot bantu
napas : ada
Pemakain otot
bantu napas :
biasanya ada
Pulsus
paradoksus :
tidak ada
karena
kelelahan otot
napas
Mengi : akhir
ekspirasi
paksa
Mengi : akhir
ekspirasi
Mengi : ekspirasi
dan inspirasi
Nadi : <100
kali/menit
Nadi : 100-
120
kali/menit
Nadi : >120
kali/menit
Pulsus
paradoksus :
tidak ada
Pulsus
paradoksus :
mungkin ada
10-25 mmHg
Pulsus
paradoksus :
sering ada >25
mmHg
APE sesudah
terapi awal :
>80 %
APE sesudah
terapi
awal :60 – 80
%
APE sesudah
terapi awal : 60
% < 100 L/menit
Pa O2 :
normal
Pa O2 : >60
mmHg
Pa O2 : <60
mmHg
Pa CO2 :
<45mmHg
Pa CO2 : <45
mmHg
Pa CO2 : >45
mmHg
Saturasi
O2 : >95 %
(udara
biasa)
Saturasi O2 :
91-95 %
(udara biasa)
Saturasi O2 : <90
% (udara biasa)
Pengobatan penderita status asmatikus rawat inap
Bila terjadi kegagalan pengobatan asma akut, yang
ditandai dengan tidak adanya perbaikan fisik maupun faal paru
secara spirometrik, maka penderita dimasukkan ke dalam
kelompok status asmatikus. Penderita, lalu mendapatkan
perawatan khusus di rumah sakit dan disertai pemeriksaan ulang
analisa gas darah, faal paru dan pemantauan terus – menerus.
Bila frekuensi pernapasannya meningkat, PaO2 menurun, dan
diikuti dengan hiperkarbia, asidosis respirasi maka waspada
terhapa gagal napas. Bila terjadi penurunan kesadaran dengan
gagal napas, maka perlu dipasang pipa endotrakeal (Alsagaff,
2010).
Pengobatan dengan brokodilator tetap harus diberikan
terus, dapat diberikan secara nebulizer atau injeksi (subkutan).
Inhalasi jauh lebih efektif dibandingkan dengan tindakan
parenteral untuk asma berat. Terbutalin, metaproteronol atau
albuterol diberikan setiap 2–3 jam dengan teknik nebulizing.
Adrenalin/epinefrin atau terbutalin per injeksi dapat diberikan
setiap 6–8 jam. Pada kasus tertentu kombinasi nebulizer dan
parenteral dapat dipertimbangkan untuk diberikan bersama-
sama berganti-ganti setiap tiga jam (Alsagaff, 2010).
Pemberian obat beta-adrenergik agonis ini jauh lebih aman
di bandingkan dengan aminofilin intravenous, terutama bagi
penderita yang telah mendapat aminofilin sebelumnya. Tetapi
untuk penderita yang belum pernah mendapat aminofilin, dapat
diberikan loading dose 5-6 mg/kg BB intravenous pelan-pelan (20
menit), diteruskan pemberian 0,6 mg/kg BB/jam secara infuse.
Tida puluh menit kemudian periksa faal paru dan analisa gas
darahnya. Pemberian kortikosteroid pada status asmatikus dapat
memperpendek lama rawat dan menurunkan angka kematian
(Alsagaff, 2010).
Hidrokortison dapat diberikan dengan dosis 3-4mg/kg BB
intravena setiap 2-3 jam atau metilprdnisolon denga dosis
equivalen dan pengobatan harus dapat mencapai konsentrasi
terapeutik dalam serum sebesar 100µg/ml. Pengobatan
diteruskan sampai ada perbaikan faal paru, biasanya setelah 24-
28 jam. Kemudian diteruskan dengan prednisolon per oral 10-15
mg sehari tiga kali, sampai faal paru menunjukkan perbaikan
maksimal. Pengobatan ini biasanya memakan waktu tujuh hari
dan setelah itu kortikosteroid dihentikan atau diturunkan secara
tapering down. Oksigen dan cairan mutlak harus diberikan,
mengingat kebutuhan penderita dalam mengatasi kegagalan
dalam pernapasan tersebut sedangkan cairan per infuse
diperlukan untuk mangatasi dehidrasi dan sekaligus untuk
mencairkan secret kental disaluran napas sebagai akibat adanya
dehidrasi. Antibiotic dapat diberikan bila ada tanda-tanda infeksi
seperti pneumonia, sinusitis dan bronchitis yang disertai dengan
dahak purulen (Alsagaff, 2010).
E. Evaluasi
1. Perbedaan dari sediaan Obat Anti Tuberkulosis- Kommbinasi Dosis
Tepat (OAT-KDT ) dan kombipak (Departemen Kesehatan, 2004).
No OAT-KDT OAT KOMBIPAK
1. OAT-KDT dapat mencegah monoterapi
dan mencegah terjadinya Tuberkulosis-
Multiple Drug Resistance (TB-MDR)
(sediaan 1 dengan 4 obat)
Karena sediaan obat terpisah, masih
memungkinkan pasien menghentikan
salah satu obat yang tidak disukainya.
2. Dosis OAT-KDT lebih sedikit, tetapi
masih termasuk dosis terapi dan dosis
non toksik (RHZE/ 150,75,400,275)
Dosis OAT-Kombipak
(RHZE/350,450,500,250)
3. Dosis KDT sesuai dengan berat badan
pasien
Dosis kombipak tidak berdasarkan
berat badan pasien
4. Efek samping obat lebih kecil karena
formula dosis sangat mendekati dasar
perhitungannya, yaitu antara Berat
Badan dengan jumlah komponen obat.
Efek samping obat lebih mungkin
terjadi
5. Merupakan strategi Directly Observed
Short-course (DOTS) utama
Digunakan jika terjadi efek samping
pada pengguunaan OAT-KDT
6. Bioavibilitas rifampisin setelah
dikombinasi dengan OAT lain tidak
boleh berkurang, karena rifampisin
adalah obat utama pengobatan TB
Rimfapisin terpisah, jadi dosis pasti
tetap.
7. Tingkat kepatuhan penderita
minum/makan obat akan lebih tinggi,
karena pengaruh psikis saat melihat
jumlah tablet bila dibandingkan OAT
kombipak
Tingkat kepatuhan penderita
minum/makan obat akan rendah
2. Keuntungan dari sediaan OAT-KDT dan kombipak
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) (Herman, 2008)
a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
b. Kekeliruan dalam peresepan berkurang, dosis yang dianjurkan
lebih jelas dan penyesuaian terhadap berat badan lebih mudah.
c. Jumlah Tablet yang dimakan lebih sedikit, sehingga hal ini dapat
meningkatkan angka kepatuhan pasien makan obat.
d. Pencegahan terhadap M-DR (Multi Drug Resistance), sediaan
dalam satu obat merupakan gabungan kombinasi dari OAT.
e. Pengobatan menjadi sederhana
1) Mengurangi kesalahan dalam pembuatan resep
2) Meningkatkan kepatuhan pasien berobat karena jumlah obat
yang diminum lebih sedikit
3) Meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap
penatalaksanaan TB
4) Memungkinkan mengurangi supervisi
f. Penatalaksanaan dan persediaan obat menjadi sederhana
1) Dalam hal penghitungan jumlah obat
2) Dalam hal pemesanan obat
3) Distribusi stok obat
4) Mengurangi risiko stok obat habis
5) Yakin bahwa kualiti obat baik
6) Mengurangi angka resistensi obat
g. Pasien menerima obat dengan regimen dan dosis yang benar
1) Pemberian obat TB KDT (kombinasi dosis tetap), dapat
mencegah penggunaan obat tunggal oleh pasien.
2) Pasien tidak dapat menghentikan sendiri obat yang tidak
disukainya untuk diminum
3) Mempermudah kontinuitas pengobatan sampai selesai
4) Mengurangi angka Drop Out (DO) kasus TB
Kombipak (Herman, 2008)
a. Sediaan obat terpisah, jadi mudah memonitor efek samping obat.
b. Rifampisin memiliki sifat bioavaibilitasnya akan berkurang jika
pengunaanya diracik bersamaan dengan obat lain.
c. Efektivitas obat tinggi
3. Kerugian dari sediaan OAT-KDT dan kombipak
KDT (Herman, 2008)
a. Jika terjadi kesalahan peresepan obat, maka risiko toksisitas tinggi
akibat dosis yang sangat besar.
b. Jika terjadi kesalahan preskripsi obat, maka risiko timbul resistensi,
karena kadar obat yang kekurangan dosis (sub-inhibitory
concentration) meningkat
c. Bioavaibilitas rifampisin rendah untuk beberapa KDT dapat terjadi
terutama dalam kombinasi 3 atau 4 obat.
d. Penggunaan KDT tidak menghilangkan kebiasaan makan lebih
dari satu obat sehingga timbul toksisitas.
e. Petugas Minum Obat (PMO) cenderung menghindari DOT terapi,
karena yakin akan kepatuhan makan pasien.
f. Harga obat lebih mahal
g. Jika terjadi efek samping, tidak diketahui obat mana yang
menyebabkan terjadi efek samping.
Kombipak (Herman, 2008)
a. Karena sediaan obat terpisah, masih memungkinkan pasien
menghentikkan salah satu obat yang tidak disukainya.
b. Dosis kombipak tidak berdasarkan berat badan pasien, Efek
samping obat lebih mungkin terjadi
c. Kemungkinan terjadinya M-DR lebih tinggi
d. Tingkat kepatuhan penderita minum obat akan rendah, mengingat
jumlah tablet yang harus dimakan tiap harinya sangat banyak.
e. Kasus DO, pada pasien pengguna OAT kombipak akan lebih
tinggi.
DR. ISTIANI DANU PURWANTIDOKTER UMUM
SIP : 018/DU/BMS/2011Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt
(0281) 637567
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT kategori 2 fase awal No. XXI
ʃ 1 dd tab III ac
Pro :Nama: Nn. Minty/50kg
Umur: 20thAlamat : Perum Berkoh Indah Blok A4
No 26 Pwt SelatanTelp: (0281) 637901
4. Tuliskan resep untuk masing-masing stase
DR. FAWZIA MERDHIANADOKTER UMUM
SIP : 098/DU/BMS/2011Jl. Kenanga GTSI blok P-9, Purwokerto
(0281) 637528
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT Kategori 2 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac
Pro :Nama : Ibu Amrina/50kg
Umur: 30thAlamat: Jl. Sunan Kalijaga Gg III Berkoh Pwt
Telp: (0281) 637789DR. FIKRY ADIANSYAHDOKTER UMUM
SIP : 008/DU/BMS/2011Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok cikadu (0281) 637890
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT Kategori 1 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac
Pro :Nama : Bp Gugi/50kgUmur: 40thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637678
DR. NONI MINTY BELANTRICDOKTER UMUM
SIP : 028/DU/BMS/2011Perum Berkoh Indah blok A4 no 26 Pwt Selatan (0281) 637901
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT Kategori 3 fase awal No. VIIʃ 1 dd tab I ac
Pro :Nama : Bp Dhyaksa/50kgUmur : 50thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637012
DR. AMRINA A. F.DOKTER UMUM
SIP : 078/DU/BMS/2011Jl. Sunan Kalijaga gg III berkoh Pwt
(0281) 637789
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-Kombipak Kategori Anak fase awal no VIIʃ 1 dd sachet I ac
Pro :Nama : An. Isti/15kgUmur: 10th Alamat: Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwtTelp : (0281) 637567
DR. WILY GUSTAFIANTODOKTER UMUM
SIP : 058/DU/BMS/2011Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari
Pwt barat (0281) 637678
Purwokerto, 15 April 2011
R/ Aminophylline inj ampul fl no. Iʃ imm
Pro :Nama : Bp. Fikry/50kg
Umur: 60th Alamat: Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok Cikadu
Telp : (021) 637890
DR. DYAKSA CAHYA P.DOKTER UMUM
SIP : 088/DU/BMS/2011Jl Puteran 116 Berkoh, Purwokerto
(0281) 637012
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-Kombipak Kategori Anak fase lanjutan no IIIʃ seminggu 3x sachet I ac
Pro :Nama : An. Gugi/15kgUmur: 10thAlamat : Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : -
DR. NURTIKADOKTER UMUM
SIP : 018/DU/BMS/2011Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt
(0281) 637567
Purwokerto, 15 April 2011
R/ Alupent inhaler fl No. Iʃ prn 3 dd puff I
Pro :Nama :Nn. Fawzia
Umur: 20thAlamat: Jl. Kenanga blok P-9 Pwt
Telp : (0281) 637528
DR. TESSA DOKTER UMUM
SIP : 098/DU/BMS/2011Jl. Kenanga GTSI blok P-9, Purwokerto
(0281) 637528
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT Kategori 1 fase awal No. XXIʃ 1 dd tab III ac
Pro :Nama : Bp. Awa/50kg
Umur: 60th Alamat: Bumi Arca Indah 13 no 14 A Pwt
Telp: (021) 637234
DR. PRABAWA YOGASWARADOKTER UMUM
SIP : 048/DU/BMS/2011Bumi Arca Indah 13 no 14 A Purwokerto
(021) 637234
Purwokerto, 15 April 2011
R/ OAT-KDT Kategori 3 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac
Pro :Nama : Bp Gugi/50kgUmur: 40thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637678
BAB III
KESIMPULAN
1. TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis).
2. Obat Anti Tuberculosis (OAT) digolongkan atas dua kelompok, yaitu obat lini
pertama (isoniazid,fifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid) dan
obat lini kedua. Pemilihan obat harus melihat klasifikasinya, kerja obat di
dalam tubuh, dan berat badan pasien.
3. Sediaan OAT terdiri dari Kombipak dan KDT yang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
4. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang
ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada
akibat penyumbatan saluran nafas.
5. Obat anti asma antara lain sebagai pencegah (controller) dan penghilang gejala
(reliever) sehingga asma dapat terkendali, contohnya aminofiline dan MDI.
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, Hood, and Mukty, H. Abdul. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.
Asma Bronkial. Surabaya : Airlangga University.263-265.
Amin, Zulkifli, Asril Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tuberkulosis
Paru. Jilid III. Edisi V. Jakarta : InternaPublishing. 2230-2238.
Anonim. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat FDC Untuk Pengobatan Tuberkulosis
Di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Anonim. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI
Chang, Kwok C, et al, 2008. Hepatotoxicity Of Pyrazinamide: Cohort And Case-
Control Analyses. AJRCCM.20 : 355-388.
Davies, George R. 2008. Pharmacokinetics And Pharmacodynamics In The
Development Of Anti-Tuberculosis Drugs. Tuberculosis Journal.88:S65-
S74.
Departemen Kesehatan RI. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberculosis
Fixed Dose Combination. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2005.Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Tuberculosis. Jakarta:Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.
Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Frida, E., Ibrahim, S., Hardjoeno. 2006. Analisis Temuan Basil Tahan Asam Pada
Sputum Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek Tuberkulosis.
Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.12.
Gunawan, Gan Sulistya. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik
Dan Leprostatik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 613-
620.
Herman, Nurhayati, et al. 2008. Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan Obat
Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dengan Kombipak pada
Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas
Kecamatan Jatinegara, Pulogadung dan Matraman Jakarta Timur. J Respir
Indo.28(3).
Hospira.Inc (2011, Maret 29). Drugs.com Drug Information Online. Retrieved
April 14, 2011, from http://www.drugs.com/pro/aminophylline-
injection.html
Istiantoro,et al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik Dan
Leprostatik. Jakarta: Farmakologi FK UI.613-620.
Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta:
EGC.
Manaf, et al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2
Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
MedicineNet, Inc (2011, April 14). MedicineNet.com, We Bring Doctor’s
Knowledge to You. Retrieved April 14, 2011, from
http://www.medicinenet.com/aminophylline-injection/article.htm
Mentri Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan
Tuberculosis. Jakarta :Mentri Kesehatan Republik Indonesia.
MIMS Indonesia (2011, Januari 13). MIMS Indonesia. Retrieved April 14, 2011,
from http://www.mims.com/Page.aspx?menuid=mng&name=aminophylline&
CTRY=ID&brief=false#Actions
Muthaiah, Muthuraj, et al, 2010. Molecular Epidemiological Study Of
Pyrazinamide-Resistance In Clinical Isolates Of Mycobacterium
Tuberculosis From South India. Int. J. Mol. Sci.11: 2670-2680.
Papastavros, Tina, et al, 2002. Adverse Events Associated With Pyrazinamide
And Levofloxacin In The Treatment Of Latent Multidrug-Resistant
Tuberculosis. CMAJ.167(2):131-6.
Price, Sylvia A., Mary P. Standridge. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit. Tuberkulosis Paru. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 852-
861.
Scherer, Luciene C. et al. 2011. Comparison Of Two Laboratory-Developed PCR
Methods For The Diagnosis Of Pulmonary Tuberculosis In Brazilian
Patients With And Without HIV Infection. BioMed Central Journal.
11(15):1-27.
Sundaru, Heru dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi
4 Cetakan kedua.Tuberkulosis. Jakarta : FKUI.248.
U.S National Library of Medicine (2009, Februari 01). MedlinePlus Trusted
Health Information for You. Retrieved April 14, 2011, from
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a601015.html
Yati, 2008. Farmakologi dan Terapi.Tuberkulostatik Dan Leprostatik. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.613-616.
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Tuberkulostatik dan Leprostatik. 613-616.
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Adrenergik. 63-64. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Lokal. 517-518. Bagian Farmakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Hipnotik-Sedatif Alkohol. 160. Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta