60
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI OBAT ANTITUBERKULOSIS DAN OBAT ANTI ASMA Asisten: Novie Nuridasari G1A007125 Kelompok VIII Anggota: 1. Fickry Adiansyah N. G1A009008 2. Istiani Danu Purwanti G1A009018 3. Noni Minty Belantric G1A009028 4. Tessa Septian A. G1A009038 5. Prabawa Yogaswara G1A009048 6. Wily Gustafianto G1A009058 7. Miftahul Falah Yuni A. G1A009068 8. Amrina A. F. G1A009078 9. Dhyaksa Cahya P. G1A009088 10. Fawzia Merdhiana G1A009098 11. Nurtika G1A009105 BLOK SISTEM RESPIRASI

Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

OBAT ANTITUBERKULOSIS DAN OBAT ANTI ASMA

Asisten:

Novie Nuridasari

G1A007125

Kelompok VIII

Anggota:

1. Fickry Adiansyah N. G1A0090082. Istiani Danu Purwanti G1A0090183. Noni Minty Belantric G1A0090284. Tessa Septian A. G1A0090385. Prabawa Yogaswara G1A0090486. Wily Gustafianto G1A0090587. Miftahul Falah Yuni A. G1A0090688. Amrina A. F. G1A0090789. Dhyaksa Cahya P. G1A00908810. Fawzia Merdhiana G1A00909811. Nurtika G1A009105

BLOK SISTEM RESPIRASIJURUSAN KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2011

Page 2: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

LEMBAR PENGESAHAN

Oleh :

Kelompok VIII

1. Fickry Adiansyah N. G1A009008

2. Istiani Danu Purwanti G1A009018

3. Noni Minty Belantric G1A009028

4. Tessa Septian A. G1A009038

5. Prabawa Yogaswara G1A009048

6. Wily Gustafianto G1A009058

7. Miftahul Falah Yuni A. G1A009068

8. Amrina A. F. G1A009078

9. Dhyaksa Cahya P. G1A009088

10. Fawzia Merdhiana G1A009098

11. Nurtika G1A009105

disusun untuk memenuhi persyaratan

kelulusan praktikum Farmakologi Blok Sistem Respirasi

Jurusan Kedokteran

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan

Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

diterima dan disahkan

Purwokerto, April 2011

Asisten,

Novie Nuridasari

G1A007125

Page 3: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum

Obat Antituberkulosis Dan Obat Anti Asma

B. Hari dan Tanggal Praktikum

Selasa, 12 April 2011

C. Tujuan Praktikum

Tujuan Umum

Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam obat antituberkulosis dan

obat anti asma

Tujuan Khusus

1. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antituberkulosis.

2. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat

antituberkulosis.

3. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan tuberkulosis.

4. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antituberkulosis.

5. Mahasiswa mampu menjelaskan mekanisme kerja obat antiasma.

6. Mahasiswa mampu menjelaskan macam-macam bentuk sediaan obat

antiasma.

7. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan asma.

8. Mahasiswa mampu menerapkan prinsip pengobatan status asmatikus.

9. Mahasiswa mengetahui efek samping obat antiasma.

10. Mahasiswa mampu membuat peresepan untuk obat antituberkulosis dan

obat antiasma.

Page 4: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

BAB II

ISI

A. Definisi

Obat antituberkulosis adalah obat yang digunakan untuk mengobati

penyakit tuberkulosis yang memiliki efek bakterisid dan bakteriostatik

terhadap kuman tuberkulosis yaitu Mycobacterium tuberculosis. Obat yang

digunakan terdiri dari 2 kelompok yaitu kelompok lini pertama dan lini

kedua. Kelompok lini pertama isoniazid, pirazinamid, rifampisin, etambutol

dan streptomisin. Kelompok lini kedua adalah antibiotik golongan

fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kapreomisin, dan

paraaminosalisilat (Gunawan, 2007).

Obat antiasma adalah obat yang digunakan penderita asma, terdiri dari

obat pengontrol (controller/antiinflamasi) dan obat pelega

(reliever/bronkodilator). Obat pengontrol terdiri dari agonis beta 2 kerja

lambat, antileukotrin, inhalasi kortikosteroid, dan teofilin lepas lambat. Obat

pelega terdiri dari kortikosteroid sistemik, agonis beta 2 kerja cepat,

metilxantin, dan antikolinergik (ipratropium bromide) (Manaf, et al,2007).

B. Pembahasan OAT

Komponen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) digolongkan atas dua

kelompok, yaitu kelompok obat lini pertama (isoniazid,fifampisin, etambutol,

streptomisin, dan pirazinamid) dan obat lini kedua (antibiotik golongan

fluorokuinolon, sikloserin, etionamid, amikasin, kanamisin, kapreomisin, dan

paraaminosalisilat) (Istiantoro,et al, 2007). Pada praktikum kali ini membahas

obat lini pertama.

1. Rifampisin

a. Sediaan Obat

Rifampisin di Indonesia terdapat dalam kapsul 150 mg dan 300

mg. Selain itu terdapat pula tablet 450 mg dan 600 mg serta suspensi

yang mengandung 100 mg/5 mL Rifampisin (Istiantoro,et al, 2007).

Page 5: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

b. Cara Pemberian Obat

Obat ini biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam

sebelum makan atau 2 jam setelah makan (Istiantoro,et al, 2007).

c. Dosis obat

Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan kurang dari 50 kg

ialah 400 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60

mg/hari. Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgB/hari dengan dosisi

maksimum 600 mg/hari (Istiantoro,et al, 2007).

d. Farmakokinetik

Tabel 1. Farmakokinetik Rifampisin Sumber : Katzung, 2007.

Absorbsi Saluran cerna

Distribusi Seluruh tubuh

Metabolisme Hepar

Ekskresi Urine,keringat,air mata

e. Farmakodinamik

Rifampisin terutam aktif terhadap sel yang sedang bertumbuh.

Kerjanya menghambat DNA-dependent RNA polymerase. Rifampisin

dapat menghambat sintesis RNA mitokondria mamalia tetapi

diperlukan kadar yang lebih tinggi dari kadar untuk penghambatan

pada kuman (Istiantoro,et al, 2007).

f. Indikasi

Penyakit TB tetapi dikombinasikan dengan OAT lain dan

penyakit kusta (Istiantoro,et al, 2007)..

g. Kontraindikasi

Obat ini sebaiknya jangan digunakan bagi pasien yang

mengalami gangguan hepar, alergi terhadap rifampisin (Istiantoro ,et

al, 2007).

h. Interaksi Obat

Pemberian PAS ( Paraaminosalisilat) bersama rifampisin akan

menghambat absorpsi rifampisin sehingga kadarnya dalam darah tidak

cukup. Rifampisin mungkin juga mengganggu metabolisme vitamin D

sehingga dapat menimbulkan kelainan tulang seperti osteomalasia.

Page 6: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Disulfiram sebagai obat bagi pecandu alkohol dan probenesid sebagai

obat anti inflamasi penderita asam urat dapat menghambat ekskresi

rifampisin melalui ginjal (Istiantoro,et al, 2007).

i. Efek samping Obat

Rifampisin dapat menimbulkan warna merah pada urin,keringat

dan air mata namun tidak berbahaya. Efek samping lainya seperti

nefritis,trombositopenia dan gangguna fungsi hati (Katzung, 2007).

2. Isoniazid

a. Sediaan Obat

Efek sampingnya dapat menimbulkan anemia sehingga

dianjurkan juga untuk mengkonsumsi vitamin penambah darah seperti

piridoksin (vitamin B6).TB vit B6 sudah mengandung isoniazid dan

vitamin B6 dalam satu sediaan, sehingga praktis hanya minum sekali

saja. TB vit B6 tersedia dalam beberapa kemasan untuk memudahkan

bila diberikan kepada pasien anak-anak sesuai dengan dosis yang

diperlukan.TB Vit B6 tersedia dalam bentuk:

1) Tablet

Mengandung INH 400 mg danVit B6 24 mg per tablet.

2) Sirup

Mengandung INH 100 mg danVit B6 10 mg per 5 ml, yang

tersediadalam 2 kemasan :

Sirup 125 ml

Sirup 250 ml

b. Cara Pemberian Obat

Oral (bentuk injeksi dapat digunakan untuk pasien yang tidak

dapat menggunakan sedían oral maupun karena masalah absorbsi).

c. Dosis obat

Anak-anak < 4 tahun :

Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 10 – 20 mg/kg/hari

dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal 300 mg/hari) atau 20 – 40 mg/kg

(maksimal 900 mg/ dosis) dua kali seminggu selama 9 bulan.

Page 7: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Pengobatan infeksi TB aktif :

Terapi  harian 10 – 15 mg/kg/hari dalam 1 – 2 dosis terbagi (maksimal

300 mg/hari).

Dua kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 20 – 30 mg/kg

(maksimal 900 mg). DOTS adalah program pemerintah untuk

mengatasi penyakit TBC. Dalam pelaksanaan TBC diperlukan 5

komponen yaitu komitmen politis, diagnosis sputum mikroskopis

bermutu, pengobatan jangka pendek diawasi PMO, ketersediaan OAT

yang bermutu, laporan baku untuk menilai hasil kinerja.

Dewasa :

Pengobatan pada LTBI (latent TB infection) : 300 mg/hari atau 900

mg dua kali seminggu selama 6-9 bulan pada pasien yang tidak

menderita HIV (terapi 9 bulan optimal, terapi 6 bulan berkaitan

dengan penurunan biaya terapi) dan 9 bulan pada pasien yang

Pengobatan infeksi TB aktif : Terapi harian 5 mg/kg/hari diberikan

setiap hari (dosis lazim : 300 mg/hari); 10 mg/kg/hari dalam 1 – 2

dosis terbagi  pada pasien dengan  penyakit yang telah menyebar. Dua

kali seminggu DOT (directly observed therapy) : 5 mg/kg (maksimal

900 mg); terapi 3 kali/minggu : 15 mg/kg (maksimal 900 mg).

d. Farmakokinetik

Nama Obat Farmakokinetik

Isoniazid Absorbsi Lambung

Distribusi Kesemua cairan tubuh dan

bahan kaseosa (jaringan

nekrotik seperti keju)

Metabolisme Hepar

Ekskresi Urin

e. Farmakodinamik

Isoniazid menghambat sintesis dinding sel dari basil

tuberculosis. Obat ini biasanya diresepkan bersama agen anti

tuberkulosis lainnya. Mula kerja dan waktu untuk mencapai kadar

puncak untuk pemakaian oral dan intramuscular dari isoniazid adalah

Page 8: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

sama. Neuropati perifer merupakan reaksi yang merugikan dari

isoniazid; sehingga piridoksin, vitamin B6 biasanya dipakai bersama

isoniazid untuk mengurangi kemungkinan terjadinya neuropati.

Dengan meminum alcohol bersama obat ini dapat meningkatkan

terjadinya neuropati perifer. Jika fenitoin dipakai bersama isoniazid,

maka efek fenitoin dapat berkurang. Antasid mengurangi absorbs

isoniazid. (Joyce, 1996)

f. Indikasi

Tuberkulosis dalam kombinasi dengan obat lain

g. Kontraindikasi

Obat dapat menginduksi timbulnya penyakit hati.

Hipersensitifitas terhadap isoniazid atau komponen lain dalam

sediaan, penyakit hati akut, riwayat kerusakan hati selama terapi

dengan isoniazid.

h. Interaksi Obat

Dengan obat lain :

1) INH dapat memperkuat efek samping fenitoin (obat antiaritmia)

misalnya nistagmus dan ataksia sebab INH menghambat

metabolisme fenitoin. Sebab sifat dari fenitoin absorbsinya sangat

lambat di saluran cerna. (Yati,2008)

2) Meningkatkan efek/toksisitas : penggunaan bersama disulfiram

menyebabkan reaksi intoleransi akut. Disulfiram adalah

antioksidan yang digunakan secara luas dalam industry karet,telah

terbukti sebagai penyebab rasa tidak enak yang hebat pada pasien

yang minum alkohol. Disulfiram diabsorbsi dengan cepat dan

sempurna dari saluran pencernaan. Kecepatan eliminasinya sangat

lambat, karena itu akan efeknya dapat bertahan untuk beberapa

hari sampai dosis terakhir. Dan obat ini dapat berinteraksi dengan

obat lain. (Yati,2008)

3) Menurunkan efek: efek/kadar isoniazid diturunkan  oleh garam 

aluminium  atau antasida (karena antacid mengandung

Page 9: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

aluminium).  Antasid adalah obat yang menetralkan asam

lambung. Antasid merupakan basa lemah. (Yati,2008)

4) Dengan Makanan :

Harus digunakan satu jam sebelum atau dua jam sesudah makan

pada keadaan lambung kosong; peningkatan asupan makanan

yang mengandung folat(sayuran,kacang polong,biji bunga

matahari), niasin, magnesium. Tidak diperlukan pembatasan

makanan yang mengandung tyramin (obat yang efeknya mirip

dengan perangsangan saraf adrenergic atau mirip efek

neurotransmitter norepinephrine dan epineprin).

i. Efek samping Obat

Isoniazid menimbulkan efek samping yang cukup rendah

kecuali karena alergi, efek-efek yang tidak diinginkan tersebut

berkaitan dengan dosis dan lama pemakaian obat. Berikut adalah efek

samping yang ditimbulkan isoniazid yaitu (Yati,2008):

1) Neuritis perifer

Adalah efek samping yang paling sering timbul karena

efisiensi piridoksin yang relative. Ini disebabkan karena suatu

kompetisi INH dengan piridoksal fosfat untuk enzim

apotriptofanase. Sebagian besar reaksi toksik diperbaiki dengan

penambahan piridoksin.

2) Hepatitis dan Hepatotoksisitas Idiosinkrasi

Hepatitis yang kemungkinan fatal adalah efek samping INH

yang paling berat. Kejadian meningkat pada penderita-penderita

dengan bertambahnya usia, juga pada penderita-penderita yang

mendapatkan rifampisin atau diantara mereka yang minum alkohol

setiap hari.

3) Efek samping lainnya 

Page 10: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Abnormalitas mental, kejang-kejang pada penderita yang

mudah kejang dan neuritis optikus telah dilaporkan. Reaksi-reaksi

hipersensitivitas seperti ruam dan demam.

3. Pirazinamid

a. Sediaan Obat

Bentuk sediaan obat tablet oral. Satu tablet Pirazinamid ada

yang terdapat dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg (Gunawan,

2007).

b. Cara Pemberian Obat

Cara pemberiannya dalam satu hari atau beberapa kali sehari.

Lama pemberian rejimen Pirazinamid bekerja dalam dosis terbagi 3

sampai 4 dosis perhari. Tetapi sebagian besar merekomendasikan

dikonsumsi sekali sehari 1-2 jam sebelum makan (Gunawan, 2007).

c. Dosis obat

Dosis oral adalah 20-35 mg/kg BB/hari (Gunawan, 2007).

Tabel 3. Dosis obat INH oral sesual berat badan, Sumber : Pedoman

Penanggulangan TB 2007

d. Farmakokinetik

Tabel 4. Farmakokinet Pirazinamid. Sumber : Gunawan, 2007.

Absorbsi Saluran cerna (usus)

Distribusi Seluruh tubuh

Metabolisme Hepar

Ekskresi filtrasi glomelurus

Half Time 9-10 jam pada pasien dengan fungsi ginjal dan hati

yang sehat. Waktu paruh pirazinamid ini mungkin

Page 11: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

berkepanjangan pada pasien dengan fungsi ginjal atau

hati terganggu.

Bioavaibilitas (99.0±16 9)%

e. Farmakodinamik

Pirazinamid di dalam tubuh dihidrolisis oleh enzim

pirazinamidase menjadi asam pirazionat yang aktif sebagai

tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. Secara in vitro

pertumbuhan kuman tuberculosis dalam monosit dihambat sempurna

pada kadar pirazinamid 12,5 µg/ml. mekanisme kerja obat ini belum

diketahui. Pirazinamid bersifat bakteriostatik atau bakterisidal

terhadap Mycobacterium tuberculosis, tergantung pada konsentrasi

obat dicapai pada tempat infeksi (Gunawan, 2007).

f. Indikasi

Pirazinamid diindikasikan untuk pengobatan awal tuberkuIosis

aktif pada orang dewasa dan anak-anak yang dikombinasikan dengan

obat antituberkulosis lainnya. Rekomendasi dengan menggunakan

enam-bulan regimen untuk pengobatan awal TB aktif , yang terdiri

dari isoniazid, rifampisin, etambutol dan pirazinamid diberikan selama

2 bulan, diikuti dengan isoniazid dan rifampisin selama 4 bulan. Pada

pasien dengan infeksi HIV bersamaan, mungkin pasien memerlukan

pengobatan yang lebih lama. Pirazinamid sering kali penting dalam

terapi pengobatan tuberkulosis. Pirazinamid seharusnya hanya boleh

digunakan secara kombinasi dengan obat antituberkulosis lain dengan

cara yang efektif (Muthaiah, et al, 2010).

g. Kontraindikasi

Pirazinamid merupakan kontraindikasi pada orang dengan

kerusakan hati yang berat, orang dengan hipersensitivitas pada obat

pirazinamid, dan penderita gout (Muthaiah, et al, 2010).

h. Interaksi Obat

Page 12: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Pirazinamid mengganggu uji ketonuria dengan reagen ACETEST®

KETOSTIX®. Pada tes urin mengenai ketonuria, penggunaan

pirazinamid akan menghasilkan warna pink-coklat sehingga

menggangu pemeriksaan dan interpretasi data (Papastavros, 2002).

i. Efek samping Obat

Efek samping yang paling umum dan serius dari penggunaan

pirazinamid adalah kelainan hati. Pirazinamid merupakan

hepatotoksik (Chang, et al, 2008).

Bila pirazinamid diberikan dengan dosis 3 g per hari, gejala

penyakit hati yang dapat timbul pada kira-kira 15%, dengan ikterus

pada 2-3% pasien dan kematian akibat nekrosis hati pada beberapa

kasus. Gejala pertama adalah peningkatan SGOT dan SGPT. Oleh

karena itu hendaknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati sebelum

pemakaian Pirazinamid dimulai. Pemantauan terhadap transaminasi

serum juga perlu dilakukan secara berkala selama pengobatan dengan

pirazinamid berlangsung. Jika jelas timbul kerusakan hati, pengobatan

dengan pirazinamid harus dihentikan. Pirazinamid tidak boleh

diberikan pada pasien dengan kelainan fungsi hati. Obat ini

menghambat eksresi asam urat dan dapat menyebabkan kambuhnya

arthritis pirai. Efek samping pada kelainan gastrointestinal antara lain

reaksi hati. Hepatotoksisitas timbul tergantung dosis yang diberikan,

dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Efek samping pada

gastrointestinal lainnya adalah anoreksia, mual dan muntah

(Gunawan, 2007).

Efek pada Hematologi dan limfatik adalah anemia sideroblastik

dan trombositopenia dengan hiperplasia eritrosit, vakualisasi eritrosit

dan peningkatan kadar serum besi serum yang jarang terjadi. Dampak

buruk pada mekanisme pembekuan darah juga telah jarang dilaporkan

(Papastavros, Dolovich, Holbrook, et al, 2002).

Juga ditemukan Efek samping lain yaitu: artralgia ringan dan

mialgia. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, dan gatal-

gatal. Efek samping lain seperti Demam, jerawat, fotosensitivitas,

Page 13: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

porfiria, disuria dan nefritis interstisial jarang terjadi (Papastavros,

2002).

4. Etambutol

a. Sediaan Obat

Sediaan di Indonesia etambutol terdapat dalam bentuk tablet 250

mg dan 500 mg.ada pula sediaan yang telah dicampur dengan

isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap (Istiantoro, et al, 2007).

b. Cara Pemberian Obat

Cara pemberian melalui oral (Istiantoro, et al, 2007).

c. Dosis obat

Dosis harian 15-20 mg/kgBB/hari dan dosis maksimal 1250 mg/hari

pada anak

d. Farmakokinetik

Tabel 5. Farmakokinetik Etambutol. Sumber : Istiantoro, et al, 2007

Absorbsi Saluran cerna

Distribusi Seluruh tubuh

Metabolisme Hepar

Ekskresi Melalui ginjal dalma bentuk Urin, metabolit, derivate

aldehid dan asam karboksilat.

Half Time 2,5-3,6 jam

e. Farmakodinamik

Mekanisme kerja etambutol menghambat sintesis metabolic sel

sehingga metabolism sel terhambat dan sel mati. Obat ini hanya aktif

terhadap sel ynag bertumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.

Etambutol juga dapat menghambat arabinosil transferase

mikrobakterium, yang dikode oleh operon embCAB (Katzung, 2007).

f. Indikasi

Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis

dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada

resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat ditinggalkan.

Page 14: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun,

neuritis optik, gangguan visual (DEPKES,2005).

g. Kontraindikasi

Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh

karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan

ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol

dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal

ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk pasien dengan

gagalginjal adalah 2HRZ/4HR.Selain itu pemberian etambutol harus

hati-hati diberikan kepada pasien denagn penyakit DM karena pasien

dengan penyakit DM sering terjadi komplikasi retinophaty diabetika

karena dapat memeperberat kelainan ini (MENKES, 2009).

h. Interaksi Obat

Etambutol selalu diberikan dalam bentuk kombinasi dengan obat

tuberculosis lain karena jika debrikan secara tunggal dapat

menyebabkan resistensi (Istiantoro, et al, 2007).

i. Efek samping Obat

Etambutol jarang menimbulkan efek samping.dosis harian

sebsar 15 mg/kgBB menimbulkan efek toksik minimal.Pada dosis ini

kurang dari 2% pasien akan mengalami efek samping yaitu penurunan

ketajaman penglihatan, ruam kulit, dan demam.Efek samping lain

adalah pruritus, nyeri sendi, gangguan saluran cerna, malaise, sakit

kepala, pening, bingung, disorientasi, dan mungklin juga

halusinasi.Rasa kaku dan kesemutan di jari sering terjadi.Reaksi

anafilaksis dan leucopenia jarang dijumpai.Etambutol dapat

menurunkan khasiat urikosurik, terutama pada pemakain bersama

isoniazid dan piridoksin. Etmbutol pada orang DM dapat menurunkan

OHO (Istiantoro, et al, 2007).

5. Streptomisin

a. Sediaan Obat

Page 15: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Untuk suntikan tersedia bentuk bubuk kering dalam vial yang

mengandung 1 atau 5 g zat. Kadar larutan tergantung dari cara

pemberian yang direncanakan. (Manaf, et al,2007)

b. Cara Pemberian Obat

Suntikan Intra Muskular merupakan cara yang paling sering

diberikan. Pemberian obat dilakukan sebelum makan untuk

menghindari efek samping berupa mual (Davies, 2008).

c. Dosis obat

Obat ini diberikan secara intra muskular dengan dosis 15 mg/kg

(maksimal 1 g) sehari ; dosis diturunkan pada pasien dengan berat

badan di bawah 50 kg, pada usia diatas 40 tahun atau pasien dengan

kerusakan ginjal. Konsentrasi obat dalam plasma harus diukur pada

pasien dengan kerusakan ginjal dan harus digunakana secara hati-hati.

(Istiantoro, et al, 2007)

d. Farmakokinetik

Tabel 6. Farmakokinetik Streptomisin. Sumber : Istiantoro, et al, 2007

Absorbsi Eritrosit dan Plasma

Distribusi Seluruh cairan ekstrasel

Metabolisme Hepar

Ekskresi Filtrasi glomerulus

Half Time 2-3 jam

e. Farmakodinamik

Streptomisin adalah sintesis protein inhibitor. Ia mengikat ke

protein S12 dari subunit 30S ribosom bakteri, campur dengan

pengikatan formil-methionyl-tRNA ke subunit 30S. Hal ini untuk

mencegah inisiasi sintesis protein, mengganggu permeabilitas

membran dan menyebabkan kematian sel-sel mikroba. Manusia

struktural ribosom berbeda dari bakteri, sehingga memungkinkan

selektivitas antibiotik ini untuk bakteri. Namun pada konsentrasi

rendah Streptomisin hanya menghambat pertumbuhan bakteri, hal ini

dilakukan oleh ribosom untuk membujuk prokariotik mRNA salah

membaca (Katzung, 2007)

Page 16: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

f. Indikasi

Streptomisin sebagian besar diguanakan sebagai Obat Anti

Tuberkulosis (OAT). Namun, dalam bentuk kombinasi dengan obat

lain, bersama dengan doksisiklin (salah satu jenis antibiotik

tetrasiklin) dapat digunakan pada pengobatan brucellosis dan

enterococcal endokarditis (Manaf, et al, 2007).

g. Kontraindikasi

  Hipersensitivitas terhadap streptomycin atau komponen lain

dalam sediaan atau penggunaan untuk ibu hamil. Streptomisin

merupakan obat yang diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari

penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila

fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Streptomisin tetap dapat

diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal (Davies, 2008)

h. Interaksi Obat

Penggunaan bersama dengan amfoterisin (salah satu jenis

antifungi) dapat meningkatkan nefrotoksisitas. Streptomisin dapat

meningkatkan efek/toksisitas perpanjangan efek dengan senyawa

depolarisasi dan nondepolarisasi neuromuscular blocking (Davies,

2008)

i. Efek samping Obat

Efek Samping Streptomicin, dapat menyebabkan gangguan

penedengaran dan gangguan keseimbangan. Untuk penggunaan

Streptomisin sebagai OAT dapat digantikan dengan Etambutol

sebagai kelanjutan terapi (Davies, 2008)

Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat

permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini

dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan

keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan (Davies,

2008).

C. Pembahasan Obat Antiasma

Ada enam komponen dalam pengobatan asma, yaitu : (Sundaru dan

Sukamto, 2007)

Page 17: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

1. Penyuluhan kepada pasien

2. Penilaian derajat beratnya asma

3. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan

4. Perencanaan obat-obat jangka panjang

Dasarnya, obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan

mnegendalikan gejala asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain

sebagai pencegah (controller) dan penghilang gejala (reliever) sehingga asma

dapat terkendali (Sundaru dan Sukamto, 2007). Obat anti asma yang akan

dibahas adalah obat aminofilin dan MDI.

1. Amilofilin

a. Sediaan

Aminofilin merupakan jenis obat yang termasuk dalam

golongan xantine. Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan tablet 100

mg dan sirup untuk diminum secara oral, ampul dan vial masing-

masing 10 ml (setara 250 mg) dan 20 ml (setara 500 mg) untuk

diberikan secara injeksi intravena, dan supositoria untuk diberikan

melalui rectal (U.S National Library of Health, 2009).

b. Cara Pemberian

Obat ini dapat diberikan secara oral, supositoria rectal, maupun

dengan cara injeksi intravena. Biasanya obat ini diberikan dalam

selang waktu 6, 8, atau 12 jam. Untuk pemberian secara oral,

minumkan tablet atau sirup dalam keadaan lambung yang kosong,

kira-kira 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan (U.S

National Library of Health, 2009).

Pada pemberian obat per rectal, pasien diminta untuk berbaring

dengan bagian tubuh kiri di bawah dan bagian kanan tubuh di atas.

Kemudian tekuk lutut hingga setinggi dada, lalu masukkan obatnya ke

dalam rectal sedalam 1,5-2,5 cm untuk bayi dan anak-anak atau 2,5

cm pada orang dewasa. Diamkan obat di dalam rectal kira-kira sampai

15 menit, setelah itu lakukan aktifitas seperti biasa (U.S National

Library of Health, 2009).

Page 18: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Sedangkan untuk pemberian secara intravena biasanya

dilakukan oleh dokter maupun tenaga kesehatan profesional. Jarum

suntuk dimasukkan secara perlahan ke dalam pembuluh vena pasien

untuk memasukkan aminofilin melalui jarum suntik ke dalam tubuh

pasien (MedicineNet, 2011).

c. Dosis (MIMS Indonesia, 2011)

Oral

Dewasa: umumnya 225-450 mg/KgBB/hari

Anak: >3 tahun: 12-24 mg/kgBB/hari dan terbagi menjadi 2 dosis

setelah 1 minggu.

Orang tua: sebaiknya tidak diberikan dosis untuk orang dewasa

normal, lakukan pengurangan dosis bila perlu.

Pada orang-orang dengan gangguan fungsi hepar, juga sebaiknya

dilakukan pengurangan dosis dari dosis normal untuk orang dewasa

Intravena

Dewasa: dosis umum: 5 mg/kg (untuk BB ideal) atau 250-500 mg (25

mg/ml) secara injeksi maupun dicampur dalam cairan infus selama

20-30 menit. Dosis untuk infus: 0,5 mg/kgBB/jam, maksimal 25

mg/menit.

Anak: dosis umum: sama dengan dosis untuk orang dewasa. Dosis

untuk infus: 6 bulan - 9 tahun: 1 mg/kgBB/jam, 10-16 tahun: 0.8

mg/kgBB/jam.

Untuk orang tua dan orang dengan gangguan fungsi hepar, sebaiknya

juga dilakukan pengurangan dosis.

d. Farmakokinetik

e. Farmakodinamik

Absorbsi Distribusi Metabolisme Ekskresi

Absorbsi obat lebih

sulit jika lambung

sedang terisi

makanan

Aminofilin dapat

menembus sawar

plasenta dan

bercampur dengan

ASI

Obat ini

dimetabolisme oleh

hepar

Ekskresi lewat

urin

Page 19: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Aminofilin merupakan suatu kombinasi antara teofilin dan

etilendiamine. Etilendiamine bersifat inaktif, ia hanya berfungsi untuk

meningkatkan kelarutan teofilin dalam air. Teofilin bekerja dengan

merelaksasi otot polos bronkus. Mekanisme selulernya dengan

meningkatkan Cyclic Adenosine Monophospate (cAMP) yang

merupakan suatu second messenger hormon yang mempengaruhi

aktifitas intraseluler melalui penghambatan terhadap fosfodiesterase,

antagonis terhadap reseptor adenosin, antagonis terhadap

prostaglandin, dan efek kepada kalsium intraseluler (MIMS Indonesia,

2011).

f. Indikasi

Teofilin intravena digunakan sebagai pelengkap obat agonis B2

inhalasi dan mengatur kadar kortikosteroid sistemik untuk pengobatan

gejala eksaserbasi akut dan obstruksi saluran nafas yang bersifat

reversibel seperti asma bronkial dan bronkospasme akut berat

(Hospira.Inc, 2011).

g. Kontra Indikasi

Aminofilin tidak boleh digunakan untuk pasien dengan riwayat

hipersensitivitas terhadap teofilin atau komponen lain dalam sediaan

aminofilin termasuk etilendiamin (Hospira.Inc, 2011).

h. Interaksi Obat

Akitivitas kerja obat golongan xantine dapat dikurangi dengan

pemberian allopurinol, beberapa golongan obat antiarithmia (obat

untuk gangguan jantung), cimetidine (antihistamin penghambat

reseptor H2), disulfiram (obat untuk menghentikan ketergantungan

pada alkohol), fluvoxamine (obat antidepresan), interferon-alfa,

antibiotik makrolide, quinolone (antibiotik golongan floroquinolone),

kontrasepsi oral, thiabendazole (obat anti jamur dan parasit) dan

viloxazine (obat anti depresan). Sedangkan aktivitas kerja aminofilin

dapat ditingkatkan dengan pemberian fenitoin (obat anti kejang),

ritonavir (obat anti virus), rifampisin (OAT lini pertama),

sulfinpyrazone (obat untuk arthritis gout), aktivitas merokok,

Page 20: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

kortikosteroid (obat anti inflamasi), diuretik (obat untuk memicu

pengeluaran urin), dan B2 agonis. Aminofilin berpotensi untuk

berakibat fatal seperti meningkatkan irama denyut jantung akibat

pemberian obat simpatomimetik dan halotan, terjadinya takikardi

akibat pemberian pankuronium, peningkatan risiko timbulnya kejang

akibat pemberian quinolon dan ketamin, serta terganggunya

metabolisme akibat interaksi dengan beta bloker (MIMS Indonesia,

2011).

i. Efek Samping Obat

Obat ini dapat menimbulkan efek samping seperti nyeri perut,

mual, muntah, diare, hilang nafsu makan, sakit kepala, gangguan

tidur, gelisah, gugup, hingga dapat juga terjadi peningkatan ekskresi

urin. Selain itu, dapat pula muncul efek samping yang serius seperti

reaksi alergi yang serius, pingsan, takikardi atau brakikardi. Akan

tetapi, kasus-kasus serius akibat efek samping aminofilin ini jarang

dijumpai (MedicineNet, 2011).

2. Metered Doses Inhaler (MDI)

a. Komponen Obat

Bronkodilator adalah obat-obat yang digunakan untuk mengatasi

kesulitan bernafas yang disebabkan oleh asma, bronkitis, bronkiolitis,

pneumonia dan emfisema (ASC, 2011).

Bronkodilator mendilatasi bronchus dan bronchiolus yang

meningkatkan aliran udara. Bronkodilator dapat berupa zat endogen

atau berupa obat-obatan yang digunakan untuk mengatasi kesulitan

bernafas (ASC, 2011).

Obat-Obat Bronkodilator terdiri dari :

1. Adrenergik

Adrenergik yang digunakan adalah b2-simpatomimetika

(singkatnya b2-mimetika) yang terdiri dari salbutamol, terbulatin,

tretoquinol, fenoterol, rimiterol, prokaterol (Meptin), klenbuterol

(Spriropent), salmoterol dan formoterol (dorudil) (ASC, 2011).

Page 21: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

2. Antikolinergik (Ipratropium bromide) (ASC, 2011).

3. Xanthin (Aminofilin dan Teofilin) (ASC, 2011).

b. Cara Menggunakan Metered Doses Inhaler (MDI)

Dosis penghirup meteran (MDI) terdiri dari tabung bertekanan

berobat pada kasus plastik dengan seorang juru bicara.Menekan MDI

melepaskan kabut obat.Ukurannya portabel, efisiensi dan kemudahan

membuat MDI metode yang diinginkan untuk pengobatan inhalasi

(ASC, 2011).

Cara Gunakan Dosis-berargo Inhaler "Puffer" 

Sebuah inhaler meteran-dosis, yang disebut MDI untuk jangka

pendek, adalah inhaler bertekanan yang memberikan pengobatan

dengan menggunakan semprotan propelan (ASC, 2011).

Untuk menggunakan sebuah MDI: (ASC, 2011)

1. Kocok MDI 3 sampai 4 kali sebelm di gunakan

2. Lepaskan tutup

3. Buang nafas terlebih dahulu sebelum MDI di masukan ke mulut

4. Masukan MDI ke mulut . Tempatkan dalam mulut antara gigi dan

mulut

5. Mulai untuk menghirup perlahan. Tekan bagian atas inhaler sekali dan

tetap menghirup perlahan sampai mengambil nafas penuh.

6. Lepaskan inhaler dari mulut Anda, dan menahan nafas selama sekitar

10 detik, kemudian bernapas keluar.

7. Jika Anda membutuhkan semprotkan kedua, tunggu 30 detik, kocok

MDI lagi, dan ulangi langkah 3 sampai 6. Setelah Anda

Page 22: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

menggunakan MDI, berkumur mulut Anda dan mencatat jumlah dosis

yang diambil

8. Menyimpan semua puffers pada suhu kamar

(ASC, 2011).

Cara membersihkan MDI (ASC, 2011)

Untuk membersihkan MDI, gunakan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Lepaskan tabung logam dengan cara menariknya keluar.

2. Bersihkan bagian plastik perangkat menggunakan sabun dan

air. (Jangan cuci logam tabung atau menaruhnya di air.)

3. Biarkan komponen plastik kering di udara

4. Pasang MDI kembali bersama-sama.

5. Uji MDI dengan merilis sebuah puff ke udara.

Yang perlu di perhatikan tentang MDI (ASC, 2011)

1. Selalu ikuti instruksi yang datang dengan MDI. Juga:

2. Menjaga pereda MDI suatu tempat di mana Anda bisa

mendapatkannya dengan cepat jika Anda membutuhkannya, tapi jauh

dari jangkauan anak-anak.

3. Tampilkan dokter, apoteker atau pendidik bagaimana anda

menggunakan inhaler meteran dosis.

4. Simpan MDI pada suhu kamar. Jika menjadi dingin, hangat itu hanya

menggunakan tangan Anda.

5. Jangan tusukan atau istirahat tabung, atau mencoba untuk

menghangatkan menggunakan apa pun kecuali tangan Anda.

6. Ketika Anda mulai menggunakan MDI, tulis tanggal mulai di tabung.

7. Periksa tanggal kadaluwarsa pada MDI sebelum Anda

menggunakannya.

Page 23: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

8. Jika Anda mengalami kesulitan menggunakan MDI, tanyakan kepada

dokter Anda untuk kiat-kiat atau untuk merekomendasikan perangkat

lain.

9. Banyak dokter merekomendasikan penggunaan spacer, atau

memegang perangkat yang akan digunakan dengan MDI.

10. Tabung jangan sampai masuk ke dalam air.

D. Aplikasi Klinis

1. Tuberkulosis

TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sumber penularan TB adalah

pasien TB BTA positif, melalui droplet nuclei (percikan dahak saat

pasien batuk atau bersin. (Depkes, 2009).

Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri dengan bentuk

batang, tahan asam, bersifat aerobik, dan bersifat patogen maupun

saprofit. Tempat masuk bakteri ini adalah saluran pernapasan, saluran

pencernaan, dan luka terbuka pada kulit. (Price, 2006).

Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3

minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala lain seperti dahak

bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan

menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa

kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan (Depkes, 2009).

Untuk dapat melakukan diagnosis TB, perlu dilakukan

pemeriksaan dahak mikroskopis untuk menilai keberhasilan pengobatan

dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak dilakukan

dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua

hari kunjungan yang berurutan, berupa Sewaktu, Pagi, Sewaktu (SPS).

Diagnosis TB paru dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB

(BTA). Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan, dan uji kepekaan

dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis. Berikut adalah bagan

alur diagnosis TB paru : (Depkes, 2009)

Page 24: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Gambar 1. Bagan Alur Diagnosis TB Paru

Sumber : Depkes, 2009.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena (Depkes, 2009) :

1. TB paru

2. TB ekstra paru

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya (Depkes,

2009) :

1. Baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah

pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan

TB dan telah dinyatakan sembuh atau oengobatan lengkapm

didiagnosis kambuh dengan BTA positif.

3. Pengobatan setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau

lebih dengan BTA positif.

Page 25: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

4. Gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau

kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama

pengobatan.

5. Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari sarana pelayanan kesehatan

yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya.

6. Lain-lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas.

Dalam kelompok ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan

hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan

ulangan.

Pengobatan TB adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah

kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan, dan

mencegah terjadinya rasistensi kuman terhadap OAT (Depkes, 2009).

Paduan OAT berdasarkan World Health Organization (WHO) dan

International Union Against Tuberculosis and Lung Disease

(IUATLD):

1. Kategori 1 :

2HRZE/4H3R3

2HRZE/4HR

2HRZE/6HE

2. Kategori 2 :

2HRZES/HRZE/5H3R3E3

2HRZES/HRZE/5HRE

3. Kategori 3 :

2HRZ/4H3R3

2HRZ/4HR

2HRZ/6HE

2. Asma Bronkial

Menurut “United States National Tuberculosis

Association” 1967, asma bronkial merupakan suatu

Page 26: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

penyakit yang ditandai oleh tanggap reaksi yang

meningkat dari trakea dan bronkus terhadapa berbagai

macam rengsangan dengan manifestasi berupa

kesukaran bernapas yang disebabkan oleh

penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas

(Alsagaff, 2010).

Penyempitan saluran napas ini bersifat dinamis,

dan derajat penyempitan dapat berubah, baik secara

spontan maupun karena pemberian obat, dan kelainan

dasarnya berupa kelainan imunologi (Alsagaff, 2010).

Menurut Kaliner (1980) meninjau asma dari segi

klinis dan imunologi serta menganjurkan definisi asma

bronkial sebagai berikut: asma bronkial ialah suatu

penyakit yang berdasarkan adanya kepekaan saluran

napas yang berlebihan berupa penyumbatan (obstruksi)

saluran pernapasan yang dapat pulih kembali

(irreversibel) dan diikuti oleh perubahan- perubahan

patologi sebagai berikut (Alsagaff, 2010):

1. Bronkospasme

2. Sembab mukosa

3. Infiltrasi sel radang

4. Sekresi mukosa

5. Pengelupasan (desquamasi) sel epitel permukaan

6. Penebalan membrane basalis

7. Hyperplasia sel goblet

Derajat serangan asma

Serangan

asma

ringan

Serangan

asma

sedang

Serangan

asma berat

Serangan

asma

mengancam

jiwa

Sesak Sesak Sesak Kesadaran :

Page 27: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

napas :

waktu

berjalan, bisa

berbaring

napas :

waktu

bicara,

>suka duduk

napas :saat

istirahat, duduk

membungkuk

tidak begitu

sadar

Bebicara :

kalimat

Bebicara :

kata-kata

Bebicara : kata

demi kata

Pemakaian otot

bantu napas :

pergerakan

torakoabdomina

l yang

paradoksal

Kesadaran :

mungkin

agitasi

Kesadaran :

biasanya

agitasi

Kesadaran :

biasanya agitasi

Mengi : tidak

ada

Frekuensi

napas : <20

x

Frekuensi

napas : 20 –

30 x

Frekuensi

napas : >30

kali/menit

Nadi : brakikardi

Pemakain

otot bantu

napas :

biasanya

tidak

Pemakain

otot bantu

napas : ada

Pemakain otot

bantu napas :

biasanya ada

Pulsus

paradoksus :

tidak ada

karena

kelelahan otot

napas

Mengi : akhir

ekspirasi

paksa

Mengi : akhir

ekspirasi

Mengi : ekspirasi

dan inspirasi

Nadi : <100

kali/menit

Nadi : 100-

120

kali/menit

Nadi : >120

kali/menit

Pulsus

paradoksus :

tidak ada

Pulsus

paradoksus :

mungkin ada

10-25 mmHg

Pulsus

paradoksus :

sering ada >25

mmHg

Page 28: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

APE sesudah

terapi awal :

>80 %

APE sesudah

terapi

awal :60 – 80

%

APE sesudah

terapi awal : 60

% < 100 L/menit

Pa O2 :

normal

Pa O2 : >60

mmHg

Pa O2 : <60

mmHg

Pa CO2 :

<45mmHg

Pa CO2 : <45

mmHg

Pa CO2 : >45

mmHg

Saturasi

O2 : >95 %

(udara

biasa)

Saturasi O2 :

91-95 %

(udara biasa)

Saturasi O2 : <90

% (udara biasa)

Pengobatan penderita status asmatikus rawat inap

Bila terjadi kegagalan pengobatan asma akut, yang

ditandai dengan tidak adanya perbaikan fisik maupun faal paru

secara spirometrik, maka penderita dimasukkan ke dalam

kelompok status asmatikus. Penderita, lalu mendapatkan

perawatan khusus di rumah sakit dan disertai pemeriksaan ulang

analisa gas darah, faal paru dan pemantauan terus – menerus.

Bila frekuensi pernapasannya meningkat, PaO2 menurun, dan

diikuti dengan hiperkarbia, asidosis respirasi maka waspada

terhapa gagal napas. Bila terjadi penurunan kesadaran dengan

gagal napas, maka perlu dipasang pipa endotrakeal (Alsagaff,

2010).

Pengobatan dengan brokodilator tetap harus diberikan

terus, dapat diberikan secara nebulizer atau injeksi (subkutan).

Inhalasi jauh lebih efektif dibandingkan dengan tindakan

parenteral untuk asma berat. Terbutalin, metaproteronol atau

albuterol diberikan setiap 2–3 jam dengan teknik nebulizing.

Adrenalin/epinefrin atau terbutalin per injeksi dapat diberikan

setiap 6–8 jam. Pada kasus tertentu kombinasi nebulizer dan

Page 29: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

parenteral dapat dipertimbangkan untuk diberikan bersama-

sama berganti-ganti setiap tiga jam (Alsagaff, 2010).

Pemberian obat beta-adrenergik agonis ini jauh lebih aman

di bandingkan dengan aminofilin intravenous, terutama bagi

penderita yang telah mendapat aminofilin sebelumnya. Tetapi

untuk penderita yang belum pernah mendapat aminofilin, dapat

diberikan loading dose 5-6 mg/kg BB intravenous pelan-pelan (20

menit), diteruskan pemberian 0,6 mg/kg BB/jam secara infuse.

Tida puluh menit kemudian periksa faal paru dan analisa gas

darahnya. Pemberian kortikosteroid pada status asmatikus dapat

memperpendek lama rawat dan menurunkan angka kematian

(Alsagaff, 2010).

Hidrokortison dapat diberikan dengan dosis 3-4mg/kg BB

intravena setiap 2-3 jam atau metilprdnisolon denga dosis

equivalen dan pengobatan harus dapat mencapai konsentrasi

terapeutik dalam serum sebesar 100µg/ml. Pengobatan

diteruskan sampai ada perbaikan faal paru, biasanya setelah 24-

28 jam. Kemudian diteruskan dengan prednisolon per oral 10-15

mg sehari tiga kali, sampai faal paru menunjukkan perbaikan

maksimal. Pengobatan ini biasanya memakan waktu tujuh hari

dan setelah itu kortikosteroid dihentikan atau diturunkan secara

tapering down. Oksigen dan cairan mutlak harus diberikan,

mengingat kebutuhan penderita dalam mengatasi kegagalan

dalam pernapasan tersebut sedangkan cairan per infuse

diperlukan untuk mangatasi dehidrasi dan sekaligus untuk

mencairkan secret kental disaluran napas sebagai akibat adanya

dehidrasi. Antibiotic dapat diberikan bila ada tanda-tanda infeksi

seperti pneumonia, sinusitis dan bronchitis yang disertai dengan

dahak purulen (Alsagaff, 2010).

E. Evaluasi

Page 30: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

1. Perbedaan dari sediaan Obat Anti Tuberkulosis- Kommbinasi Dosis

Tepat (OAT-KDT ) dan kombipak (Departemen Kesehatan, 2004).

No OAT-KDT OAT KOMBIPAK

1. OAT-KDT dapat mencegah monoterapi

dan mencegah terjadinya Tuberkulosis-

Multiple Drug Resistance (TB-MDR)

(sediaan 1 dengan 4 obat)

Karena sediaan obat terpisah, masih

memungkinkan pasien menghentikan

salah satu obat yang tidak disukainya.

2. Dosis OAT-KDT lebih sedikit, tetapi

masih termasuk dosis terapi dan dosis

non toksik (RHZE/ 150,75,400,275)

Dosis OAT-Kombipak

(RHZE/350,450,500,250)

3. Dosis KDT sesuai dengan berat badan

pasien

Dosis kombipak tidak berdasarkan

berat badan pasien

4. Efek samping obat lebih kecil karena

formula dosis sangat mendekati dasar

perhitungannya, yaitu antara Berat

Badan dengan jumlah komponen obat.

Efek samping obat lebih mungkin

terjadi

5. Merupakan strategi Directly Observed

Short-course (DOTS) utama

Digunakan jika terjadi efek samping

pada pengguunaan OAT-KDT

6. Bioavibilitas rifampisin setelah

dikombinasi dengan OAT lain tidak

boleh berkurang, karena rifampisin

adalah obat utama pengobatan TB

Rimfapisin terpisah, jadi dosis pasti

tetap.

7. Tingkat kepatuhan penderita

minum/makan obat akan lebih tinggi,

karena pengaruh psikis saat melihat

jumlah tablet bila dibandingkan OAT

kombipak

Tingkat kepatuhan penderita

minum/makan obat akan rendah

2. Keuntungan dari sediaan OAT-KDT dan kombipak

Kombinasi Dosis Tetap (KDT) (Herman, 2008)

a. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga

menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.

b. Kekeliruan dalam peresepan berkurang, dosis yang dianjurkan

lebih jelas dan penyesuaian terhadap berat badan lebih mudah.

c. Jumlah Tablet yang dimakan lebih sedikit, sehingga hal ini dapat

meningkatkan angka kepatuhan pasien makan obat.

Page 31: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

d. Pencegahan terhadap M-DR (Multi Drug Resistance), sediaan

dalam satu obat merupakan gabungan kombinasi dari OAT.

e. Pengobatan menjadi sederhana

1) Mengurangi kesalahan dalam pembuatan resep

2) Meningkatkan kepatuhan pasien berobat karena jumlah obat

yang diminum lebih sedikit

3) Meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap

penatalaksanaan TB

4) Memungkinkan mengurangi supervisi

f. Penatalaksanaan dan persediaan obat menjadi sederhana

1) Dalam hal penghitungan jumlah obat

2) Dalam hal pemesanan obat

3) Distribusi stok obat

4) Mengurangi risiko stok obat habis

5) Yakin bahwa kualiti obat baik

6) Mengurangi angka resistensi obat

g. Pasien menerima obat dengan regimen dan dosis yang benar

1) Pemberian obat TB KDT (kombinasi dosis tetap), dapat

mencegah penggunaan obat tunggal oleh pasien.

2) Pasien tidak dapat menghentikan sendiri obat yang tidak

disukainya untuk diminum

3) Mempermudah kontinuitas pengobatan sampai selesai

4) Mengurangi angka Drop Out (DO) kasus TB

Kombipak (Herman, 2008)

a. Sediaan obat terpisah, jadi mudah memonitor efek samping obat.

b. Rifampisin memiliki sifat bioavaibilitasnya akan berkurang jika

pengunaanya diracik bersamaan dengan obat lain.

c. Efektivitas obat tinggi

3. Kerugian dari sediaan OAT-KDT dan kombipak

Page 32: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

KDT (Herman, 2008)

a. Jika terjadi kesalahan peresepan obat, maka risiko toksisitas tinggi

akibat dosis yang sangat besar.

b. Jika terjadi kesalahan preskripsi obat, maka risiko timbul resistensi,

karena kadar obat yang kekurangan dosis (sub-inhibitory

concentration) meningkat

c. Bioavaibilitas rifampisin rendah untuk beberapa KDT dapat terjadi

terutama dalam kombinasi 3 atau 4 obat.

d. Penggunaan KDT tidak menghilangkan kebiasaan makan lebih

dari satu obat sehingga timbul toksisitas.

e. Petugas Minum Obat (PMO) cenderung menghindari DOT terapi,

karena yakin akan kepatuhan makan pasien.

f. Harga obat lebih mahal

g. Jika terjadi efek samping, tidak diketahui obat mana yang

menyebabkan terjadi efek samping.

Kombipak (Herman, 2008)

a. Karena sediaan obat terpisah, masih memungkinkan pasien

menghentikkan salah satu obat yang tidak disukainya.

b. Dosis kombipak tidak berdasarkan berat badan pasien, Efek

samping obat lebih mungkin terjadi

c. Kemungkinan terjadinya M-DR lebih tinggi

d. Tingkat kepatuhan penderita minum obat akan rendah, mengingat

jumlah tablet yang harus dimakan tiap harinya sangat banyak.

e. Kasus DO, pada pasien pengguna OAT kombipak akan lebih

tinggi.

Page 33: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. ISTIANI DANU PURWANTIDOKTER UMUM

SIP : 018/DU/BMS/2011Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt

(0281) 637567

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT kategori 2 fase awal No. XXI

ʃ 1 dd tab III ac

Pro :Nama: Nn. Minty/50kg

Umur: 20thAlamat : Perum Berkoh Indah Blok A4

No 26 Pwt SelatanTelp: (0281) 637901

4. Tuliskan resep untuk masing-masing stase

Page 34: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. FAWZIA MERDHIANADOKTER UMUM

SIP : 098/DU/BMS/2011Jl. Kenanga GTSI blok P-9, Purwokerto

(0281) 637528

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT Kategori 2 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac

Pro :Nama : Ibu Amrina/50kg

Umur: 30thAlamat: Jl. Sunan Kalijaga Gg III Berkoh Pwt

Telp: (0281) 637789DR. FIKRY ADIANSYAHDOKTER UMUM

SIP : 008/DU/BMS/2011Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok cikadu (0281) 637890

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT Kategori 1 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac

Pro :Nama : Bp Gugi/50kgUmur: 40thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637678

Page 35: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. NONI MINTY BELANTRICDOKTER UMUM

SIP : 028/DU/BMS/2011Perum Berkoh Indah blok A4 no 26 Pwt Selatan (0281) 637901

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT Kategori 3 fase awal No. VIIʃ 1 dd tab I ac

Pro :Nama : Bp Dhyaksa/50kgUmur : 50thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637012

DR. AMRINA A. F.DOKTER UMUM

SIP : 078/DU/BMS/2011Jl. Sunan Kalijaga gg III berkoh Pwt

(0281) 637789

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-Kombipak Kategori Anak fase awal no VIIʃ 1 dd sachet I ac

Pro :Nama : An. Isti/15kgUmur: 10th Alamat: Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwtTelp : (0281) 637567

Page 36: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. WILY GUSTAFIANTODOKTER UMUM

SIP : 058/DU/BMS/2011Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari

Pwt barat (0281) 637678

Purwokerto, 15 April 2011

R/ Aminophylline inj ampul fl no. Iʃ imm

Pro :Nama : Bp. Fikry/50kg

Umur: 60th Alamat: Ds. Sidawangi kec. Sumber kab. Cirebon blok Cikadu

Telp : (021) 637890

DR. DYAKSA CAHYA P.DOKTER UMUM

SIP : 088/DU/BMS/2011Jl Puteran 116 Berkoh, Purwokerto

(0281) 637012

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-Kombipak Kategori Anak fase lanjutan no IIIʃ seminggu 3x sachet I ac

Pro :Nama : An. Gugi/15kgUmur: 10thAlamat : Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : -

Page 37: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. NURTIKADOKTER UMUM

SIP : 018/DU/BMS/2011Jl. Overste Isdiman 2 no 9 pwt

(0281) 637567

Purwokerto, 15 April 2011

R/ Alupent inhaler fl No. Iʃ prn 3 dd puff I

Pro :Nama :Nn. Fawzia

Umur: 20thAlamat: Jl. Kenanga blok P-9 Pwt

Telp : (0281) 637528

DR. TESSA DOKTER UMUM

SIP : 098/DU/BMS/2011Jl. Kenanga GTSI blok P-9, Purwokerto

(0281) 637528

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT Kategori 1 fase awal No. XXIʃ 1 dd tab III ac

Pro :Nama : Bp. Awa/50kg

Umur: 60th Alamat: Bumi Arca Indah 13 no 14 A Pwt

Telp: (021) 637234

Page 38: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

DR. PRABAWA YOGASWARADOKTER UMUM

SIP : 048/DU/BMS/2011Bumi Arca Indah 13 no 14 A Purwokerto

(021) 637234

Purwokerto, 15 April 2011

R/ OAT-KDT Kategori 3 fase lanjutan No. IXʃ seminggu 3x tab III ac

Pro :Nama : Bp Gugi/50kgUmur: 40thAlamat: Jl H. Mashuri gg Duku no 7 Rejasari pwt baratTelp : (0281) 637678

BAB III

KESIMPULAN

1. TB adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium tuberculosis).

2. Obat Anti Tuberculosis (OAT) digolongkan atas dua kelompok, yaitu obat lini

pertama (isoniazid,fifampisin, etambutol, streptomisin, dan pirazinamid) dan

obat lini kedua. Pemilihan obat harus melihat klasifikasinya, kerja obat di

dalam tubuh, dan berat badan pasien.

3. Sediaan OAT terdiri dari Kombipak dan KDT yang memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing.

4. Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang

ditandai adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada

akibat penyumbatan saluran nafas.

Page 39: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

5. Obat anti asma antara lain sebagai pencegah (controller) dan penghilang gejala

(reliever) sehingga asma dapat terkendali, contohnya aminofiline dan MDI.

DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff, Hood, and Mukty, H. Abdul. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.

Asma Bronkial. Surabaya : Airlangga University.263-265.

Amin, Zulkifli, Asril Bahar. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Tuberkulosis

Paru. Jilid III. Edisi V. Jakarta : InternaPublishing. 2230-2238.

Anonim. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat FDC Untuk Pengobatan Tuberkulosis

Di Unit Pelayanan Kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Anonim. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2.

Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Chang, Kwok C, et al, 2008. Hepatotoxicity Of Pyrazinamide: Cohort And Case-

Control Analyses. AJRCCM.20 : 355-388.

Page 40: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Davies, George R. 2008. Pharmacokinetics And Pharmacodynamics In The

Development Of Anti-Tuberculosis Drugs. Tuberculosis Journal.88:S65-

S74.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Petunjuk Penggunaan Obat Anti Tuberculosis

Fixed Dose Combination. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.2005.Pharmaceutical Care Untuk

Penyakit Tuberculosis. Jakarta:Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Departemen Kesehatan. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Frida, E., Ibrahim, S., Hardjoeno. 2006. Analisis Temuan Basil Tahan Asam Pada

Sputum Cara Langsung dan Sediaan Konsentrasi Pada Suspek Tuberkulosis.

Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.12.

Gunawan, Gan Sulistya. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik

Dan Leprostatik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 613-

620.

Herman, Nurhayati, et al. 2008. Perbandingan Hasil Akhir Pengobatan Obat

Antituberkulosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dengan Kombipak pada

Pengobatan Tuberkulosis Paru dengan Strategi DOTS di Puskesmas

Kecamatan Jatinegara, Pulogadung dan Matraman Jakarta Timur. J Respir

Indo.28(3).

Hospira.Inc (2011, Maret 29). Drugs.com Drug Information Online. Retrieved

April 14, 2011, from http://www.drugs.com/pro/aminophylline-

injection.html

Istiantoro,et al. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Tuberkulostatik Dan

Leprostatik. Jakarta: Farmakologi FK UI.613-620.

Katzung, Bertram G. 2007. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi 10. Jakarta:

EGC.

Manaf, et al. 2007. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2

Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

MedicineNet, Inc (2011, April 14). MedicineNet.com, We Bring Doctor’s

Knowledge to You. Retrieved April 14, 2011, from

http://www.medicinenet.com/aminophylline-injection/article.htm

Page 41: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Mentri Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Pedoman Penanggulangan

Tuberculosis. Jakarta :Mentri Kesehatan Republik Indonesia.

MIMS Indonesia (2011, Januari 13). MIMS Indonesia. Retrieved April 14, 2011,

from http://www.mims.com/Page.aspx?menuid=mng&name=aminophylline&

CTRY=ID&brief=false#Actions

Muthaiah, Muthuraj, et al, 2010. Molecular Epidemiological Study Of

Pyrazinamide-Resistance In Clinical Isolates Of Mycobacterium

Tuberculosis From South India. Int. J. Mol. Sci.11: 2670-2680.

Papastavros, Tina, et al, 2002. Adverse Events Associated With Pyrazinamide

And Levofloxacin In The Treatment Of Latent Multidrug-Resistant

Tuberculosis. CMAJ.167(2):131-6.

Price, Sylvia A., Mary P. Standridge. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit. Tuberkulosis Paru. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC. 852-

861.

Scherer, Luciene C. et al. 2011. Comparison Of Two Laboratory-Developed PCR

Methods For The Diagnosis Of Pulmonary Tuberculosis In Brazilian

Patients With And Without HIV Infection. BioMed Central Journal.

11(15):1-27.

Sundaru, Heru dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi

4 Cetakan kedua.Tuberkulosis. Jakarta : FKUI.248.

U.S National Library of Medicine (2009, Februari 01). MedlinePlus Trusted

Health Information for You. Retrieved April 14, 2011, from

http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/druginfo/meds/a601015.html

Yati, 2008. Farmakologi dan Terapi.Tuberkulostatik Dan Leprostatik. Jakarta :

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.613-616.

Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Tuberkulostatik dan Leprostatik. 613-616.

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Adrenergik. 63-64. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Obat Lokal. 517-518. Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Page 42: Laporan Praktikum Farmakologi Rev2

Yati. 2008. Farmakologi dan Terapi. Hipnotik-Sedatif Alkohol. 160. Bagian

Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta