34
LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III HEMODIALISA Disusun Oleh : Kelas A/Kelompok 3 1. Rara Amalia F G1F010003 2. Ifa Mutiatur R G1F010011 3. Tika Pratiwi G1F010019 4. Adibah G1F010027 5. Anisa Dewi R G1F010037 6. Yurissa Karimah G1F010049 7. Desy Nawangsari G1F010067 8. Taufiq Hidayat G1F010073 9. Diah Nurhidayati G1F010077 10. Aldi Permadi G1F010079 Dosen Pembimbing : Tunggul Adi Purwonugroho M.Sc., Apt. KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN JURUSAN FARMASI

Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI III

HEMODIALISA

Disusun Oleh :

Kelas A/Kelompok 3

1. Rara Amalia F G1F0100032. Ifa Mutiatur R G1F0100113. Tika Pratiwi G1F0100194. Adibah G1F0100275. Anisa Dewi R G1F0100376. Yurissa Karimah G1F0100497. Desy Nawangsari G1F0100678. Taufiq Hidayat G1F0100739. Diah Nurhidayati G1F01007710. Aldi Permadi G1F010079

Dosen Pembimbing : Tunggul Adi Purwonugroho M.Sc., Apt.

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDRIMAN

JURUSAN FARMASI

PURWOKERTO

2013

Page 2: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

BAB I

PENDAHULUAN

1. Pengertian Hemodialisa

Menurut Price dan Wilson (1995) dialisa adalah suatu proses dimana solute dan

air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair

menuju kompartemen lainnya. Hemodialisa dan dialisa peritoneal merupakan dua teknik

utama yang digunakan dalam dialisa. Prinsip dasar kedua teknik tersebut sama yaitu

difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan

konsentrasi atau tekanan tertentu.

Hemodialisa didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien

melewati membran semipermeabel (alat dialisis) ke dalam dialisat (Tisher dan Wilcox,

1997). Alat dialisis juga dapat digunakan untuk memindahkan sebagian besar volume

cairan. Pemindahan ini dilakukan melalui ultrafiltrasi dimana tekanan hidrostatik

menyebabkan aliran yang besar dari air plasma (dengan perbandingan sedikit larutan)

melalui membran semipermeabel. Hemodialisa telah menjadi metode yang dominan

dalam pengobatan gagal ginjal akut dan kronik di Amerika Serikat (Tisher dan Wilcox,

1997).

Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang

dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk

membersihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah

mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat

suatu hubungan buatan antara arteri dan vena (fistula arteriovenosa) melalui pembedahan

Pasien hemodialisa sangatlah tergantung dengan mesin semasa sisa umurnya (NKF,

2006).

2. Indikasi Hemodialisa

Price dan Wilson (1995) menerangkan bahwa tidak ada petunjuk yang jelas

berdasarkan kadar kreatinin darah untuk menentukan kapan pengobatan harus dimulai.

Kebanyakan ahli ginjal mengambil keputusan berdasarkan kesehatan penderita yang terus

diikuti dengan cermat sebagai penderita rawat jalan. Pengobatan biasanya dimulai apabila

penderita sudah tidak sanggup lagi bekerja, menderita neuropati perifer atau

Page 3: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

memperlihatkan gejala klinis lainnya. Pengobatan biasanya juga dapat dimulai jika kadar

kreatinin serum diatas 6 mg/100 ml pada pria , 4 mg/100 ml pada wanita dan glomeluros

filtration rate (GFR) kurang dari 4 ml/menit. Penderita tidak boleh dibiarkan terus

menerus berbaring ditempat tidur atau sakit berat sampai kegiatan sehari-hari tidak

dilakukan lagi. 

Menurut konsensus Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) (2003) secara

ideal semua pasien dengan Laju Filtrasi Goal (LFG) kurang dari 15 mL/menit, LFG

kurang dari 10 mL/menit dengan gejala uremia/malnutrisi dan LFG kurang dari 5

mL/menit walaupun tanpa gejala dapat menjalani dialisis. Selain indikasi tersebut juga

disebutkan adanya indikasi khusus yaitu apabila terdapat komplikasi akut seperti oedem

paru, hiperkalemia, asidosis metabolik berulang, dan nefropatik diabetik.

Kemudian Tisher dan Wilcox (1997) menyebutkan bahwa hemodialisa biasanya

dimulai ketika kreatinin klirens menurun dibawah 10 mL/menit, ini sebanding dengan

kadar kreatinin serum 8–10 mg/dL. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara

mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisa. Selanjutnya

Tisher dan Wilcox (1997) juga menyebutkan bahwa indikasi relatif dari hemodialisa

adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis.

Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan

yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat

diatasi.

3. Tujuan Hemodialisa

Menurut Havens dan Terra (2005) tujuan dari pengobatan hemodialisa:

1. Menggantikan fungsi ginjal dalam fungsi ekskresi, yaitu membuang sisa-sisa

metabolisme dalam tubuh, seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.

2. Menggantikan fungsi ginjal dalam mengeluarkan cairan tubuh yang seharusnya

dikeluarkan sebagai urin saat ginjal sehat.

3. Meningkatkan kualitas hidup pasien yang menderita penurunan fungsi ginjal.

4. Menggantikan fungsi ginjal sambil menunggu program pengobatan yang lain.

Page 4: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

BAB II

ISI

1. Proses Hemodialisa

Pada prinsipnya hemodialisa menempatkan darah berdampingan dengan cairan

dialisat atau pencuci yang dipisahkan oleh suatu membran atau selaput semipermeabel.

Membran ini dapat dilalui oleh air dan zat tertentu atau zat sampah. Proses ini disebut

dialisis yaitu proses berpindahnya air atau zat, bahan melalui membran semipermeabel

(Sukandar, 2006).

Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal

ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalaui mesin. Hemodialisis temasuk jenis

membran dialisis selain cangkok ginjal. Kelebihan dengan hemodialisis adalah pasien

hanya datang ke rumah sakit minimal 2 kali perminggu sedangkan cangkok ginjal hanya

dapat digantikan dengan ginjal asli yang diberikan oleh donor ginjal. Terapi hemodialisa

adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa

metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium,

kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi

permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi

proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Sukandar, 2006).

Mekanisme proses pada mesin hemodialisis, darah pompa dari tubuh masuk ke

dalam mesin dialisis lalu dibersihkan pada dializer (ginjal buatan), lalu darah pasien yang

sudah bersih dipompakan kembali ketubuh pasien. Mesin dialisis yang paling baru di

pasaran telah dilengkapi oleh sistem koputerisasi dan secara terus menerus memonitor

array safty-critical parameter, mencangkup laju alir darah dan dialysate, tekanan darah,

tingkat detak jantung, daya konduksi, pH dan laim-lain. Bila ada yang tidak normal,

alarm akan berbuny, dua diantara mesin dialisis yang paling besar adalah fresenius dan

gambro. Dalam hemodialisis memerlukan akses vaskular (pembuluh darah) hemodalisis

(AVH) yang cukup baik agar dapat diperoleh aliran darah yang cukup besar, yaitu

diperlukan kecepatan darah sebesar 200 – 300 ml/menit secara kontinyu selama

hemodialis 4-5 jam. AVH dapat berupa kateter yang dipasang di pembuluh darah vena di

leher atau paha yang bersifat temporer. Untuk yang permanen dibuat hubungan antara

Page 5: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

arteri dan vena, biasanya di lengan bawah disebut arteriovenous fistula. Kemudian darah

dari tubuh pasien masuk kedalam sirkulasi darah mesin hemodialisis yang terdiri dari

selang inlet/arterial (ke mesin) dan selang outlet/venous (dari mesin ke tubuh). Kedua

ujungnya disambung ke jarum dan kanula yang ditusuk ke pembuluh darah pasien. Darah

setelah melalui selang inlet masuk ke dializerr. Jumlah darah yang menempati sirkulasi

darah di mesin berkisar 200ml. Dalam dializer darah dibersihkan, sampah-sampah secara

kontinyu menembus membran dan menyebrang ke kompartemen dialisat. Di pihak lain

cairan dialisat mengalir dalam mesin hemodialisis dengan kecepatan 500ml/menit masuk

ke dalam dializer pada kompartemen dialisat. Cairan dialisat merupakan cairan yang

pekat dengan bahan utama elektr;it dan glukosa, cairan ini dipompa masuk ke mesin

sambil dicampur dengan air bersih yang telah mengalami proses pembersihan yang rumit

(water treatment). Selama proses hamodialisis, darah pasien diberi heparin agar tidak

membeku bila berada diluar tubuh (Brunner dan Suddarth, 2001).

Prinsip hemodialisis sama seperti metoda dialisis. Melibatkan difusi zat terlarut ke

sembarang suatu selaput semipermiabel. Prinsip pemisahan menggunakan membran ini

terjadi pada dializer. Darah yang mengandung sisa-sisa meabolisme dengan konsentrasi

yang tinggi dilewatkan pada membran semipermiabel yang terdapat dalam dializer,

Page 6: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

dimana dalam dilizer tersebut dialirkan dialisat dengan arah yang berlawanan (counter

current) (Brunner dan Suddarth, 2001).

Mesin hemodialisis (HD) terdiri dari pompa darah, sistem pengaturan larutan

dialisat, dan sistem monitor. Pompa darah berfungsi untuk mengalirkan darah dari tempat

tusukan vaskuler ke alat dializer. Dializer adalah tempat dimana proses HD berlangsung

sehingga terjadi pertukaran zat-zat dan cairan dalam darah dan dialisat. Sedangkan

tusukan vaskuler merupakan tempat keluarnya darah dari tubuh penderita menuju dializer

dan selanjutnya kembali lagi ke tubuh penderita. Kecepatan dapat di atur biasanya

diantara 300-400 ml/menit. Lokasi pompa darah biasanya terletak antara monitor tekanan

arteri dan monitor larutan dialisat. Larutan dialisat harus dipanaskan antara 34-39 C

sebelum dialirkan kepada dializer. Suhu larutan dialisat yang terlalu rendah ataupun

melebihi suhu tubuh dapat menimbulkan komplikasi. Sistem monitoring setiap mesin HD

Page 7: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

sangat penting untuk menjamin efektifitas proses dialisis dan keselamatan (Brunner dan

Suddarth, 2001).

Pada saat proses hemodialisa, darah kita akan dialirkan melalui sebuah saringan

khusus (dializer) yang berfungsi menyaring sampah metabolisme dan air yang berlebih.

Kemudian darah yang bersih akan dikembalikan ke dalam tubuh. Pengeluaran sampah

dan air serta garam berlebih akan membantu tubuh mengontrol tekanan darah dan

kandungan kimia tubuh jadi lebih seimbang (Sukandar, 2006).

Obat-obatan dan cairan yang sering digunakan pada pasien hemodialisa, diantaranya :

Obat-obatan hemodialisa : heparin, frotamin, lidocain untuk anestesi.

Cairan infuse : NaCl 0,9%, Dex 5% dan Dex 10%.

Dialisat

Desinfektan : alcohol 70%, Betadin, Sodium hypochlorite 5%

Obat-obatan emergenci (Bongard, 1994).

2. Pemberian Eritropoietin (EPO) dan Transfusi pada Pasien Hemodialisa

Anemia sering dijumpai pada sebagian besar pasien gagal ginjal kronik (CKD),

biasanya mulai terjadi bila LFG (laju filtrasi glomerulus) turun sampai 35ml/menit.

Walaupun penyebab anemia pada CKD terjadi karena defisiensi eritropoietin (EPO) tetapi

masih ada faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia antara lain

menurunnya daya survival sel darah merah, inhibisi sumsum tulang terutama oleh PTH,

kehilangan darah intestinal, dan paling sering defisiensi besi dan folat. Anemia pada CKD

mempengaruhi kualitas hidup pasien dan menyebabkan terjadi peningkatan morbiditas

dan mortalitas. Penatalaksanaan anemia meliputi beberapa hal, yaitu terapi EPO,

pemberian transfusi darah, serta mengidentifikasi dan mencari etiologinya (Esbach,

2000).

A. Pemberian EPO

Eritropoietin (EPO) merupakan suatu glikoprotein hormon dengan berat

molekul 30-39 kD yang akan terikat pada reseptor spesifik progenitor sel darah

merah yang selanjutnya memberi sinyal merangsang proliferasi dan diferensiasi.

Sebaliknya bila terjadi peningkatan volume sel darah merah di atas normal misalnya

oleh karena transfusi, aktivitas eritropoietin di sumsum tulang akan berkurang

(Christensen et al, 1966; Miller, 1995). Eritropoietin terutama dihasilkan oleh

Page 8: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

peritubular interstitial (endothelial) ginjal (± 90%) dan sisanya (10- 15%) dihasilkan

di hati. Produksi EPO akan meningkat pada keadaan anemia ataupun hipoksia

jaringan (Brumariu, 2000).

Salah satu pengobatan anemia pada pasien hemodialisis kronik yaitu terapi

besi dan pemantauan status besi. Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi

besi terlebih dahulu sebelum diberikan terapi EPO. Terapi besi intravena merupakan

cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan suntikan IM maupun oral,

terutama pada pasien yang mendapat EPO. Stimulasi eritropoiesis yang kuat pada

terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi meningkat dengan cepat yang tidak

tercukupi oleh asupan besi oral.

Indikasi terapi EPO bila Hb <>> 100 ug/L dan ST > 20%) dan tidak ada

infeksi berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap

EPO dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang

tidak terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload cairan.

1. Terapi induksi EPO.

Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4 minggu, Target

respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4% dalam 2-4 minggu atau Hb naik

1-2g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht dipantau setiap 4 minggu. Bila target

respons tercapai, pertahankan dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL).

Bila target belum tercapai naikkan dosis EPO 50 %. Namun bila Hb naik terlalu

cepat, 8 g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis EPO 25 %. Selama terapi induksi

EPO ini status besi di pantau setiap bulan.

2. Terapi pemeliharaan EPO.

Diberikan bila target Hb sudah tercapai > 10 g/dL atau Ht > 30%. Angka ini

lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis Outcomes Quality Initiative)

yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 3336%. Dosis pemeliharaan EPO yang

dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu. Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht

diperiksa setiap bulan dan status besi setiap 3 bulan.

3. Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL , dosis EPO

diturunkan sebanyak 25%.

4. Terapi pemeliharaan besi

Page 9: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

Bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk eriptropoiesis selama

pemberian terapi EPO, Target terapi menjaga nilai Feritin serum dalam batas

>100 ug/L - <500>20% - <40%.>

Dosis terapi pemeliharaan besi:

- IV : Iron Dextran 50 mg/minggu

Sodium Ferric Gluconate Complex 62,5 mg 2x /minggu

- IM : Iron Dextran 80 mg setiap 2 minggu

Selama terapi pemeliharaan besi, status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila

ditemukan:

- Status besi sesuai target: lanjutkan dosis terapi pemeliharaan besi

- FS > 500ug/L atau ST >40%, suplementasi besi di stop selama 3 bulan. Bila

setelah 3 bulan pemeriksaan ulang FS <500>.

Respons Terapi EPO Tidak Adekuat

Pada sebagian kecil pasien yang mendapat terapi EPO gagal mencapai

kenaikan Hb atau Ht yang dikehendaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi

respons EPO. Sebab yang paling sering dijumpai adalah defisiensi besi fungsional.

Di samping itu keadaan hiperparatiroid sekunder dapat menurunkan respons EPO

karena hormon ini mengganggu eritropoeisis pada sumsum tulang. Sebab lain

misalnya intoksikasi Aluminium yang mengganggu absorbsi besi dan menurunkan

respons seluler besi. Adanya inflamasi, infeksi atau penyakit keganasan akan

menurunkan respons terapi EPO. Berbagai sebab lainnya adalah perdarahan kronik,

dialisis tidak adekuat, malnutrisi, defisiensi folat, hemoglobinopati, hemolisis dan

penyakit mielodisplasia.

Efek samping terapi EPO berhubungan dengan hipertensi, kejang dan

hipersensitivitas. Hipertensi dan kejang lebih sering terjadi pada saat terapi induksi

EPO, biasanya bila kenaikan Hb terlalu cepat.

Terapi Adjuvan yang dapat Meningkatkan Optimalisasi Terapi EPO

Beberapa obat di bawah ini dapat meningkatkan optimalisasi terapi EPO, yaitu:

Asam folat

Vitamin B6 dan Vitamin B12

Vitamin C, terutama bermanfaat pada anemia defisiensi besi fungsional yang

mendapat terapi EPO

Vitamin D, mempunyai efek langsung terhadap prekursor eritroid

Page 10: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

Vitamin E, mencegah induksi stres oksidatif yang diakibatkan terapi besi intra

vena.

Preparat androgen: bersifat hepatotoksik, karena itu harus digunakan dengan

hati hati

B. Transfusi Darah

Tranfusi darah dapat diberikan pada keadaan khusus

1. Indikasi

a. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodianamik

b. Tidak memeungkinkan menggunakan EPO dan Hb < 7 g/dL

c. Hb < 8 g/dL dengan gangguan hemodianamik

d. Pasien dengan defisiensi besi yang akan deprogram terapi EPO ataupun

yang telah mendapat EPO tetapi respon belum adekuat, sementara preparat

besi IV / IM belum tersedia, dapat diberikan tranfusi darah dengan hati –

hati.

2. Target

Target pencapaian Hb dengan tranfusi 7 – 9 d/dL ( tidak sama dengan target Hb

pada terapi EPO.

3. Tranfusi pada calon resipien transplantasi

Pada kelompok pasien yang deprogram untuk transplantasi ginjal, pemberian

tranfusi darah sedapat mungkin dihindari (Pernefri, 2001).

Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan

penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya

kelebihan cairan (overload). Disamping itu transfusi yang dilakukan berulangkali

menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena itu transfusi hanya

diberikan pada keadaan khusus, yaitu:

Perdarahan akut dengan gejala hemodinamik

Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi EPO atau yang telah

dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara preparat besi IV/IM

belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang cukup sebagai syarat

terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan hati-hati.

Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan

target pencapaian Hb pada terapi EPO. Transfusi diberikan dalam bentuk Packed

Red Cell, untuk menghindari kelebihan cairan diberikan secara bertahap bersamaan

Page 11: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

dengan waktu hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa pemberian transfusi

sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan menimbulkan peningkatan

mortalitas (Pernefri, 2001).

3. Tatalaksana Kondisi Khusus Pasien Hemodialisa

a. Hipoglikemik dan Hiperglikemik

Pasien diabetes yang menjalankan hemodialisis merupakan kelompok besar

pasien gagal ginjal terminal di negara berkembang, yang meningkatkan angka

kesakitan dan angka kematian dibandingkan pasien hemodialisis yang nondiabetes.

Lebih dari 40% pasien yang menjalankan dialisis adalah pasien diabetes. Terapi

pengganti ginjal pada pasien diabetes dapat berupa hemodialisis, peritonial dialisis

dan transplantasi ginjal. Kebutuhan insulin pada pasien diabetes setelah hemodialisis

pemeliharaan bervariasi, dan penting untuk monitor gula darah. Banyak pasien

diabetes dengan gagal ginjal terminal terjadi penurunan kebutuhan insulin (Dikow,

2005).

Banyak pasien diabetes pada awal hemodialisis membutuhkan insulin, dan

sebagian kontrol gula darah dengan sulfonilurea. Sejumlah glukosa akan bergeser

dari darah ke kompartemen dialisat, diperkirakan 25-30 mg setiap kali prosedur

hemodialisis (Sukandar, 2006). Hipoglikemia dapat terjadi pada pasien diabetes saat

hemodialisis, hal ini disebabkan karena :

1. Menurunnya katabolisme insulin.

2. Menurunnya asupan makanan

3. Resiko hipoglikemia meningkat pada pasien diabetes yang

4. malnutrisi

5. Menggunakan β Bloker (mempengaruhi glikogenolisis)

(Antonios, 2007).

Pada pasien diabetes yang menjalani hemodialisis, untuk mencegah

hipoglikemia saat hemodialisis, cairan dialisat harus dipertahankan mengandung 200

mg/dL glukosa (11 mmol/L). Selain itu jika glukosa pasien drop maka diberikan

cairan infis D40.

Suatu penelitian di Yugoslavia tahun 2001 pada 20 orang pasien diabetes

yang menjalani hemodialisis, pasien dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok yang

menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasi glukosa 5,5 mmol/L, dibandingkan

Page 12: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

dengan kelompok kedua yang menggunakan cairan dialisat dengan konsentrasi

glukosa 11 mmol/L, setelah diikuti selama 14 minggu ternyata angka kejadian

hipoglikemia lebih tinggi pada pasien yang menggunakan cairan dialisat yang rendah

konsentrasi glukosanya (Ogrizovic, 2001).

Keadaan hiperglikemik pada pasien saat proses hemodialisa jarang terjadi.

Hiperglikemia biasanya terjadi pada pasien diabetes yang terjadi karena kelainan

sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa

organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah (Gustaviani,

2006).

b. Suhu naik

Suhu yang tinggi selama hemodialisis berhubungan dengan kehilangan panas

yang disebabkan oleh vasokontriksi kutaneus sebagai respons atas hipovolemia pada

awal hemodialisa, yang menyebabkan refleks vasodilatasi dari pembuluh darah

kutaneus pada akhir hemodialisis dan dapat menyebabkan hipotensi). Jika suhu

badan pasien tinggi maka jangan dilakukan proses transfusi darah, untuk pengobatan

jika suhu pasien tinggi diberikan paracetamol, dexamethason atau metil prednisolon

(Sukandar, 2006).

Selama hemodialisis dengan suhu dialisis standar (≥ 37oC), suhu inti

meningkat walaupun terjadi kehilangan energi melalui sistem ekstrakorporeal.

Fenomena ini tidak sepenuhnya dimengerti. Ada yang mengemukakan oleh karena

heat load dari sistem ekstrakorporeal, ataupun proses sekunder dari perpindahan

cairan. Perpindahan cairan berasosiasi dengan peningkatan metabolic rate dan

berkurangnya kehilangan panas dari kulit yang disebabkan oleh vasokonstriksi

perifer sebagai respon dari penurunan volume darah. Peningkatan suhu inti tubuh

menyebabkan dilatasi dari pembuluh darah di kulit, hal ini berlawanan dengan

respon fisiologis dari hipovolemia.

Agar mencegah peningkatan suhu inti ini, sejumlah energi panas signifikan,

sebesar 30% dari daily resting energy expenditure, harus dikeluarkan oleh sirkuit

ekstrakorporeal dengan mendinginkan dialisat. Berbagai percobaan randomized

cross-over menunjukkan bahwa dialisis dengan temperatur dialisat lebih dingin

(pada kebanyakan studi 35oC) dikaitkan dengan Peningkatan reaktivitas

Page 13: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

dariresistensi perifer dan kapasitansi pemubuluh darah, meningkatkan Kontraktilitas

miokardium, mengurangi penurunan tekanan darah, dan mengurangi frekuensi IDH

dibandingkan dengan temperatur dialisat 37-37.5oC.

c. Hipotensi

Hipotensi intradialisis (IDH) merupakan salah satu komplikasi yang paling

sering dari hemodialisis, mencapai 20-30% dari komplikasi hemodialisis. IDH

masih merupakan masalah klinis yang penting, dikarenakan gejala-gejala seperti

mual dan kram memiliki pengaruh yang tidak baik pada kualitas pasien hemodialisis.

Sebagai tambahan, IDH sering membutuhkan cairan, atau penghentian dialisis lebih

awal, yang kedua hal tersebut dapat menyebabkan pembuangan cairan tidak

adekuat. Pasien dengan IDH, sering mengalami keadaan kelebihan cairan (volume

overload) dan dialisis sering tidak adekuat.

Mekanisme utama hipotensi saat hemodialisis berhubungan dengan ketidak-

seimbangan antara cardiac output dan gangguan untuk meningkatkan peripheral

vaskular resistance.

Definisi hipotensi saat hemodialisis adalah bila tekanan darah sistolik < 90

mm Hg, bila tidak diterapi dapat menyebabkan hipotensi kronik dimana tekanan

darah sistolik < 100 mmHg diantara hemodialisis. Kepustakaan lain menyatakan

bahwa anemi dapat menyebabkan hipotensi saat hemodialisis karena menurunnya

viskositas darah dan resistensi pembuluh darah perifer.

Patogenesis dari hipotensi intradialisis multifaktor, namun secara umum

disebabkan sebagai hasil dari gangguan tiga faktor utama yang memainkan peran

dalam stabilitas hemodinamik selama hemodialisis

1. refilling volume darah dari interstisial ke dalam kompartemen vaskular,

Page 14: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

sehingga disebut preservasi volume darah

2. konstriksi dari resistance vessels seperti arteri yang kecil dan arteriol

3. mempertahankan output jantung, melalui peningkatan kontraktilitas

miokardium, heart rate, dan konstriksi dari capacitance vessels seperti venula

dan vena.

Banyak intervensi untuk mencegah IDH seperti: penggunaan dialisis

temperatur dingin, pengaturan profil natrium, peningkatan kadar kalsium

dialisat, dan beberapa penggunaan pressor agents seperti midodrine.

Penatalaksanaan IDH

Pendekatan Lini Pertama

Konseling asupan makanan (restriksi garam) . Menghindari asupan makanan selama

dialisis. Pengukuran berat badan kering. Penggunaan bikarbonat sebagai buffer

dialisis. Penggunaan temperatur dialisat 36,5oC . Periksa dosis dan waktu pemberian

obat antihipertensi.

Pendekatan Lini Kedua

Evaluasi performa jantung .Penurunan temperatur dialisat secara berkala mulai dari

36.5oC sampai 35oC. Memperpanjang waktu dialisis dan/atau frekuensi dialisis.

Pemberian konsentrasi dialisat kalsium 1.50 mmol/l

Stop Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan ultrafiltrasi,

akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan memfasilitasi refill

volume darah dari kompartemen intrestisial. Memperlambat laju aliran darah

terkadang dapat digunakan dalam pengobatan IDH.

Pemberian Cairan

Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon dengan

penghentian ultrafiltrasi selama episode IDH. Pemberian cairan ini paling sering

diberikan untuk meningkatkan volume darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid

dan koloid telah dipelajari dalam pengobatan IDH.

Intervensi farmakologis

Midrodin merupakan suatu obat alpha-1 agonist oral. Metabolit dari

Page 15: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

midodrine, desglymidodrine, menyebabkan konstriksi dari resistance

dan capacitance vessels. Midrodrine mencegah IDH dengan

mempertahankan volume darah sentral dan cardiac output, dan peningkatan

resistensi vaskular perifer. Midodrin efektif diekskresikan melalui hemodialisis,

dan waktu paruh berkurang sampai 1.4 jam dengan hemodialisis. (Kooman, 2007)

L-carnitine, suplementasi zat golongan ini harus dipertimbangkan dalam

pencegahan IDH jika pengobatan standar lainnya gagal. Pada pasien

hemodialisis, kadar L-carnitine menjadi rendah oleh karena berkurangnya

biosintesis oleh ginjal, dan kehilangan dari cairan dialisat. Defisiensi l-carnitine

dapat menyebabkan berkurangnya fungsi sistolik dari jantung. Pemberian l-

carnitine juga meningkatkan fraksi ejeksi dari ventrikel kiri.

Dopamin, merupakan katekolamin yang memproduksi efek ionotropik

dan kronotropik pada miokardium, sehingga meningkatkan heart rate dan

kontraktilitas jantung. Onset kerja dopamin adalah 5 menit setelah pemberian

intravena, dan waktu paruh sekitar 2.5 menit. Efek predominan dopamin sangat

tergantung dosis. Pada dosis infus rendah (0.5-2 µg/kg/menit) dopamin

menyebabkan vasodilatasi. Pada dosis infus sedang (2-10 µg/kg/menit)

dopamin bekerja merangsang β1-adrenoreseptor, menyebabkan peningkatan

kontraktilitas miokardium. Pada dosis infus tinggi (10-20 µg/kg/menit)

menyebabkan efek pada α-adrenoreseptor, dengan efek vasokonstriktor dan

peningkatan tekanan darah.

d. HipertensiDefinisi hipertensi saat hemodialisis adalah peningkatan tekanan sistolik > 15

mmHg selama dan segera setelah hemodialisis. Peningkatan hipertensi selama

hemodialisis pada beberapa pasien berhubungan dengan aktivasi sistim renin

angiotensin karena penurunan volume intra vaskular yang disebabkan olen

ultrafiltrasi. Prevalensi hipertensi pada saat hemodialisis adalah 5-10 %, dan

penyebab terjadinya hipertensi pada pasien yang menjalankan hemodialisis adalah :

1. Aktivasi sistim syaraf simpatis.

2. Overload cairan.

3. Peningkatan viskositas darah

4. Aktivasi sistim renin angiotensin

Page 16: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

5. Pergeseran elektrolitSuatu penelitian Crit Line Intradialytic

Monitoring Benefit (CLIMB) study di Chicago tahun 2006, dari 32.295 kali

hemodialisis dari 442 pasien selama 6 bulan didapatkan hipertensi saat hemodialisis

disebabkan karena:

1. Tingginya tekanan darah sebelum hemodialisis.

2. Peningkatan berat badan intradialisis

3. Tingginya serum kreatinin.

4. Tingginya albumin serum

Obat anti hipertensi yang dapat digunakan bila terjadi hipertensi saat hemodialisis

adalah seperti terlihat pada tabel 10 berikut:

4. Nutrisi pada Hemodialisa

Pada penderita Penyakit Ginjal Kronis (CGK) yang belum memerlukan dialisis

merupakan bagian dari pengelolaan konservatif penderita CGK untuk penatalaksanaan

nutrisinya. Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita pradialisis adalah mencegah

timbunan nitrogen, mempertahankan status nutrisi yang optimal untuk mencegah

terjadinya malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta mengurangi

gejala uremi dan gangguan metabolisme. Malnutrisi adalah kondisi berkurangnya nutrisi

tubuh, atau suatu kondisi terbatasnya kapasitas fungsional yang disebabkan oleh

ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi, yang pada akhirnya

menyebabkan berbagai gangguan metabolik, penurunan fungsi jaringan, dan hilangnya

massa tubuh. Status nutrisi merupakan faktor yang perlu dipertimbangkan pada saat

penderita membutuhkan inisiasi dialisis karena merupakan prediktor untuk hasil akhir

Page 17: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

yang bisa dicapai dan adanya malnutrisi protein-energi merupakan faktor risiko

mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis pada

khususnya sering mengalami malnutrisi protein-energi atau protein-energy malnutrition

(PEM). PEM yang terjadi pada pasien PGK yang menjalani dialisis seharusnya dapat

diperbaiki dengan memenuhi kebutuhan nutrisinya. Pada dasarnya malnutrisi disebabkan

oleh asupan nutrisi yang kurang, kehilangan nutrisi meningkat, dan atau katabolisme

protein yang meningkat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya PEM

Faktor-faktor yang dapat menyebabkan asupan nutrisi kurang antara lain: restriksi

diet berlebihan, pengosongan lambung lambat, diare dan komorbid medis lainnya,

kejadian sakit dan rawat inap yang berulang, asupan makanan lebih menurun pada hari-

hari dialisis, obat-obat yang menyebabkan dispepsia (pengikat fosfat, preparat besi),

dialisis tidak adekuat, depresi, dan perubahan sensasi rasa. Kehilangan darah melalui

saluran cerna dan nitrogen intradialitik juga turut memberikan pengaruh berupa

peningkatan kehilangan nutrisi (Kusuma, 2009). Malnutrisi pada pasien dialisis juga

menyebabkan konsekuensi klinis penting lainnya. Anemia lebih sering terjadi pada pasien

dialisis yang juga menderita malnutrisi dan atau inflamasi, dan respon terhadap

erithropoietin yang minimal biasanya dikaitkan dengan tingginya kadar sitokin pro-

inflamasi.

Pada pasien dialisis yang juga menderita Penyakit Jantung Koroner (PJK)

seringkali didapatkan hipoalbumin dan peningkatan kadar petanda inflamasi. Baik pada

populasi umum maupun pasien dialisis, peningkatan indikator inflamasi seperti CRP

merupakan prediktor kuat terhadap kejadian kardiovaskuler. Hubungan antara status

nutrisi yang buruk, inflamasi yang terus berlangsung dan arterosklerosis pada pasien

dialisis ini dikenal sebagai malnutrition-inflamation-artherosclerosis (MIA) syndrome.

Pada pasien dialisis, hubungan antara kondisi nutrisi yang buruk dan dampaknya pada

penyakit kardiovaskuler ini memberi data epidemiologi yang berbeda atau terbalik bila

dibandingkan dengan populasi umum, dan ini dikenal sebagai reverse epidemiology

(Stenvinkel, 2000).

Menetapkan dan memonitor status nutrisi protein-energi pasien dialisis merupakan

kegiatan penting dengan tujuan untuk mencegah, mendiagnosis serta mengobati PEM.

Status nutrisi protein-energi pada dasarnya menggambarkan status kuantitatif dan

kualitatif protein, baik komponen viseral (non otot) maupun somatik (otot), serta status

Page 18: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

keseimbangan energi. Tujuan dari penatalaksanaan nutrisi pada pasien dialisis pada

dasarnya adalah untuk meningkatkan dan memelihara status nutrisi yang baik dengan

tetap memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit serta tanpa memperburuk gejala

uremik. Penderita dialisis dengan asupan protein yang kurang akan meningkatkan risiko

terjadinya malnutrisi dan mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi,

dengan demikian membutuhkan perhatian, edukasi, dan bimbingan secara periodik-

berkesinambungan dari dokter, perawat serta ahli gizi yang merawat (Nerscomite, 2010).

Tujuan pengaturan nutrisi pada pasien hemodialisis berkesinambungan:

1. Mencapai dan memelihara status nutrisi yang baik.

2. Mencegah atau menunda berkembangnya penyakit kardiovaskuler, serebrovaskuler

dan periferal vaskuler.

3. Mencegah atau mengobati hiperparatiroidisme serta osteodistrofi.

4. Mencegah atau memperbaiki toksisitas uremi dan berbagai kelainan metabolik

yang berpengaruh terhadap nutrisi, yang terjadi pada gagal ginjal dan tidak dapat

diperbaiki dengan HD yang adekuat.

Rekomendasi kebutuhan nutrien penderita hemodialisis berkesinambungan menurut

NKF-K/DOQI.

Rekomendasi kebutuhan nutrien. Makronutrien dan serat.

Protein 1,2 g/kgBB/hrKalori 30-35 kcal/kgBB/hrLemak 30% total kebutuhan kaloriKarbohidrat Sisa kebutuhan kalori non proteinSerat total 20-25 g/hr

Kebutuhan air dan mineral

Kebutuhan vitamin ( termasuk suplemen)

Natrium 750-2000 mg/hr Kalium < 70-80 mEq/hr Phospor 10-17 mg/kgBB/hr Kalsium < 1000 mg/hr Magnesium 200-300 mg/hr Zat besi Tergantung pemberian eritropoetin Zinc 15 mg/hr Air Biasanya 750-1500 ml/hr

Page 19: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

(Nerscomite, 2010)

5. Monotoring Setelah Hemodialisa

Penderita gagal ginjal

yang pertama kali akan

menjalani terapi

hemodialisis harus

dimonitoring hasil

pemeriksaan laboratorium terakhir yang terdiri dari hemoglobin, ureum, creatinin, SGOT,

SGPT, glukosa darah sewaktu, HBs Ag, dan Kalium. Pemeriksaan sesudah dan untuk

monitoring pasien hemodialisa dilakukan pemeriksaan rutin sebagai tindakan

pemeliharaan penderita hemodialisa yaitu dilakukan setiap bulan, setiap tiga bulan, setiap

enam bulan dan setiap tahun. Berat badan sebelum dan sesudah proses hemodialisa juga

dimonitoring.

Selain itu yang perlu dimonitoring adalah kadar glukosa darah, karena

hiperglikemia diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya hiperfiltrasi, maka

pengontrolan kadar glukosa darah dapat memperlambat kerusakan ginjal, baik secara

fungsional maupun struktural. Glukosa dalam batas normal yang terjadi setelah

hemodialisa dapat memperbaiki lesi nefrotik diabetik pada ginjal. ( Rully, 2003).

Menurut Tisher dan Wilcox (1997) serta Havens dan Terra (2005) selama

tindakan hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, maka harus

dilakukan monitoring selama proses hemodialisa antara lain :

1. Kram otot

Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa

sampai mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi

pada ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.

Vit B1 (thiamin) 1,1 - 1,2 mg/hr Vit B2 (riboflavin) 1,1- 1,3 mg/hr Asam pantothenat 5 mg/hr Biotin 30 ug/hr Niasin 14-16 mg/hr Vit B6 (piridoksin) 10 mg/hr Vit B12 2,4 ug/hr Vit C 75-90 mg/hr Asam Folat 1-10 mg/hr Vitamin A Tidak terlalu dianjurkan Vit D Tidak terlalu dianjurkan Vit E 400-800 IU

Page 20: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

2. Hipotensi

Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya

dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan

kelebihan tambahan berat cairan.

3. Aritmia

Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan

kalsium, magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh

terhadap aritmia pada pasien hemodialisa.

4. Sindrom ketidakseimbangan dialisa

Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari

osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari

darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-

kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak

yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi

pada pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.

5. Hipoksemia

Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada

pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.

6. Perdarahan

Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai

dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa

juga merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.

7. Ganguan pencernaan

Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang

disebabkan karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan

sakit kepala.

8. Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.

9. Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak

adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.

Page 21: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Hemodialisis adalah terapi pengganti ginjal pada pasien gagal ginjal akut, gagal

ginjal kronis, dan gagal ginjal terminal melalaui mesin. Terapi hemodialisa adalah suatu

teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau

racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea,

kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah

darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan

ultra filtrasi. Penanganan pasien dengan komplikasi khusus dilakukan dengan penaganan

yang berbeda-beda. Tujuan penatalaksanaan nutrisi pada penderita pradialisis adalah

mencegah timbunan nitrogen, mempertahankan status nutrisi yang optimal untuk

mencegah terjadinya malnutrisi, menghambat progresifitas kemunduran faal ginjal serta

mengurangi gejala uremi dan gangguan metabolisme. Setelah dilakukan hemodialisa

perlu dilakukan monitoring tindakan pemeliharaan penderita hemodialisa yaitu dilakukan

setiap bulan, setiap tiga bulan, setiap enam bulan dan setiap tahun, meliputi monitoring

hemoglobin, ureum, creatinin, SGOT, SGPT, glukosa darah sewaktu, HBs Ag, dan

Kalium.

Page 22: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

DAFTAR PUSTAKA

Antonios H, Tzamaloukas H, Friedman EA, 2007, Diabetes Handbook of Dialysis;3:453-

465.

Bongard, Frederic, S. Sue, darryl. Y, 1994, Current Critical, Care Diagnosis and Treatment,

first Edition, Paramount Publishing Bussiness and Group, Los Angeles

Brumariu O, Miron I, Munteanu M, Gavrilovici C, 2000, The Use of Growth Factors in Pediatric Diseases, http://www.nefroped.net 2000.ro/article 002.htm, diakses 18 April 2013.

Brunner & Suddarth, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, volume 2,

EGC:Jakarta.

Christensen RD, Ohls RK,. 1996, Development of the hematopoieric system, Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Arvin Am, penyunting, Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-15, Philadelphia: Saunders,. h. 1375-82.

Dikow R, Ritz E, 2005, Hemodialysis and CAPD in Type 1 and Type 2 Diabetic Patients

with Endstage Renal Failure, The Kidney and Hypertension in Diabetes

Mellitus;6:703-723.

Esbach J. W., 2000, Anemia in chronic renal failure. In: Johnson RJ, Feehally J (ed). Comprehensive clinical nephrology. London: Morby: 71.1-71.6.

Gustaviani R, 2006, Diagnosis dan klasifikasi Diabetis Melitus Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam Jilid III, Penerbit IPD FKU:1879-1881.

Page 23: Laporan Praktikum Farmakoterapi III Hd

Havens, L. dan Terra, R. P ., 2005, Hemodialysis, http://www.Kidneyatlas.org. diakses

tanggal 20 April 2013.

Miller DR, 1995, Eritropoietin, hypoplastic anemias, and disorders of heme synthesis,

Dalam: Miller DR, Bachner RL, Miller LP. Blood diseases of infancy and

childhood. Edisi ke–7. St Louis: Mosby,. h. 140-82.

NKF, 2006, Hemodialysis, http://www.kidneyatlas.org., diakses 18 April 2013.

PERNEFRI, 2003, Konsensus Dialisis, Sub Bagian Ginjal dan Hipertensi–Bagian Ilmu

Penyakit Dalam, FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Ogrizovic S, Backus G, Mayer AF, 2001, The influence of different glucose concentrations in

haemodialysis solution on metabolism and blood pressure stability in diabetic

patients. Int, J. Artif Organ;12:863-869.

Price, S. A. & Wilson, L. M., 1995, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit,

Edisi 4, EGC, Jakarta. 

Rully M.A. R., 2008, Acute Kidney Injury, FK UNPAD, Bandung.

Sukandar, 2006, Tinjauan Umum Nefropati Diabetik. Nefrologi Klinik. 2006; 3: 325-399.

Tisher, C. C. & Wilcox, C. S., 1997, Buku Saku Nefrologi, Edisi 3, EGC, Jakarta.