21
LAPORAN PRAKTIKUM OTOTOKSIK BLOK XIX KEGAWATDARURATAN MEDIS Disusun oleh : Kelompok 3 Ahda Firsta Putra P (1010015044) Bobby Faisyal R (1010015045) Kalista Yuliet (1010015047) Liny Rahma Ningtias (1010015040) Mayshia Prazitya S (1010015026) Meliana Sulistio (1010015053) Nesia Yaumi (1010015021) Nikki Junaedi (1010015061) Septy Lisdamayanti R (1010015028)

Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Embed Size (px)

DESCRIPTION

reaaaad

Citation preview

Page 1: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

LAPORAN PRAKTIKUM OTOTOKSIK

BLOK XIX KEGAWATDARURATAN MEDIS

Disusun oleh : Kelompok 3

Ahda Firsta Putra P (1010015044)

Bobby Faisyal R (1010015045)

Kalista Yuliet (1010015047)

Liny Rahma Ningtias (1010015040)

Mayshia Prazitya S (1010015026)            

Meliana Sulistio (1010015053)

Nesia Yaumi (1010015021)

Nikki Junaedi (1010015061)

Septy Lisdamayanti R (1010015028)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MULAWARMAN

SAMARINDA

2013

Page 2: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa karena atas

rahmat dan hidayah-Nyalah laporan kasus praktikum farmakologi pada Blok 19 Modul 1

ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber

ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok. Laporan ini secara garis besar berisikan

tentang obat-obat yang memiliki efek ototoksik sesuai dengan kasus yang telah diberikan.

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Sjarief Ismail, M.Kes selaku pembimbing praktikum farmakologi pada blok

ini yang telah membimbing kami dalam melaksanakan praktikum.

2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga

dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil praktikum farmakologi ini.

3. Teman-teman kelompok 3 yang telah mencurahkan pikirannya sehingga laporan

kasus praktikum farmakologi ini dapat terselesaikan.

Kami berharap agar laporan ini dapat berguna baik bagi penyusun maupun bagi

para pembaca di kemudian hari. Laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya

kesempurnaan dari isi laporan hasil praktikum farmakologi ini.

Samarinda, 7 September 2013

Tim Penyusun

1 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 3: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

DAFTAR ISI

Kata pengantar...................................................................................................................1

Daftar isi ...........................................................................................................................2

I.    Pendahuluan

Latar belakang.......................................................................................................3

Tujuan....................................................................................................................4

Manfaat..................................................................................................................4

II.   Pembahasan

Kasus dan Pembahasan…………………………………………………………. 5

III. Penutup

Kesimpulan...........................................................................................................12

Saran.......................................................................................................……… 12

Daftar pustaka...................................................................................................................13

2 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 4: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Beberapa obat dapat obat dapat menyebabkan reaksi toksik pada struktur telinga dalam,

termasuk koklea, vestibulum, kanalis semisirkularis, dan otolit dianggap sebagai ototoksik. Obat

dapat menginduksi struktur pendengaran dan sistem keseimbangan yang dapat menyebabkan

terjadinya kehilangan pendengaran, tinnitus dan pusing. Gangguan pendengaran akibat toksisitas

kadang bersifat sementara tetapi kebanyakan bersifat menetap pada sebagian besar golongan

aminoglikosida.

Telah diketahui bahwa gangguan pendengaran atau ketulian mempunyai dampak yang

merugikan bagi penderita, keluarga, masyarakat maupun Negara. Penderita akan mengalami

kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya dan terisolasi. Kehilangan kesempatan

dalam aktualisasi diri, mengikuti pendidikan formal di sekolah umum, kehilangan kesempatan

untuk memperoleh pekerjaan yang pada akhirnya berakibat pada rendahnya kualitas hidup yang

bersangkutan.

Ototoksik sudah lama dikenal sebagai efek samping pengobatan kedokteran, dan dengan

bertambahnya obet-obatan yang lebih poten daftar obat-obatan ototoksik makin bartambah. Pada

abad ke-19 Kina, Salisilat, dan Oleum chenopodium telah diketahui dapat menimbulkan tinnitus,

kurang pendengaran dan gangguan vestibuler. Pada tahun 1990 Werner melakukan tinjauan

pustaka yang menerangkan efek ototoksik dari berbagai macam zat termasuk arsen, etil, metil

alkohol, nikotin, toksin bakteri dan senyawa-senyawa logam berat. Dengan ditemukannya

antibiotika streptomisin, kemoterapi pertama yang efektif terhadap kuman tuberculosis, menjadi

kenyataan juga terjadinya penyebab gangguan pendengaran dan vestibuler.

Beberapa jenis obat antibiotika seperti golongan aminoglikosida dan obat anti inflamasi

non-steroid, (NSAID) yang kemudian digunakan di klinik telah terbukti dapat memperkuat efek

ototoksik sehingga dalam pemberiannya harus secara hati-hati baik pada penderita dewasa, anak-

anak, bayi, bahkan juga pada ibu hamil yang dapat mengakibatkan efek teratogenik. Selain itu

kerentanan yang tidak biasa dari telinga dalam terhadap cedera karena pemberian loop diuretics

juga ditemukan dengan gejala tinnitus yang kuat serta tuli sensorineural secara perlahan-lahan

dan progresif.

3 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 5: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Untuk itulah pada praktikum ini kami akan membahas obat-obatan ototoksik sesuai

dengan kasus yang telah diberikan.

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan laporan ini adalah :

1. Membahas persoalan yang terdapat dalam kasus yang diberikan pembimbing praktikum

farmakologi

2. Mengetahui obat-obat yang bersifat ototoksik sesuai kasus yang diberikan

3. Sebagai syarat untuk mengikuti praktikum farmakologi blok 19 modul 1

C. Manfaat Penulisan

Memahami berbagai jenis obat-obatan yang memiliki efek samping ototoksik serta

mekanismenya sesuai kasus yang diberikan.

4 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 6: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

BAB II

PEMBAHASAN

KASUS

Seorang penderita berumur 50 tahun menderita osteomyelitis dan gagal jantung. Mendapat terapi

natrium diklofenak 3 x 50 mg, ciprofloksasin 3 x 750 gram, furosemid 1 x 20 mg, Aspar K

(Kalium aspartat) 1 x 1 tablet. Obat furosemid dan aspar K sudah diminumnya selama satu

tahun. Setelah minum obat selama 2 minggu ia merasa pendengaran sering berdenging dan

pendengaran berkurang.

PEMBAHASAN

1. Sebutkan obat-obat yang bersifat toksik pada telinga pada kasus diatas.

(kesepakatan hari pertama dari berbagai sumber)

Obat yang bersifat ototoksik pada telinga pada kasus di atas ada 3 yaitu natrium

diklofenak, ciprofloksasin, dan furosemid.

2. Sebutkan obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik (katzung)

Obat-obat NSAID yang bersifat ototoksik

NSAID yang dapat menyebabkan hearingloss :

• Diklofenak

• Etocolak

• Fenprofen

• Ibuprofen

• Indomethacin

• Naproxen

• Piroxicam

• Sulindac

NSAID yang dapat menyebabkan tinitus :

• Aspirin

• Acematacine

5 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 7: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

• Benorilate

• Benoxaprofen

• Carprofen

• Diflunisal

• MethylSalisilat

• Piroxicam

• Salicilate

• Tolmetin

• Zomepirac

• Diklofenak

• Fenoprofen

• Ibuprofen

• Indomethacin

• Naproxen

• D-Penicilliamin

• Proglumetacin

• Proquazone

• Rofecoxib

• Feprazon

• Isoxicam

• Ketoprofen

• Phenylbutazone

• Sulindac

3. Jelaskan patomekanisme terjadinya toksik pada telinga pada penggunaan obat tersebut ()

Furosemid

Ketulian sementara dapat terjadi dalam penggunaan furosemid, ketulian ini disebabkan

oleh oleh perubahan komposisi elektrolit cairan endolimfe. Efek ototoksik pada obat loop

diuretic berhubungan dengan stria vascularis yang di pengaruhi oleh perubahan kadar ion di

antara endolymph dan perilymph. Edema pada epitel stria vaskularis di akibatkan oleh

perubahan ion tersebut. Kondisi ketulian ini biasanya bergantung terhadap jumlah

6 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 8: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

pemberian dosis yang di ikuti oleh pemberian obat melalui injeksi IV. pada Kebanyakan

kasus kondisi ini merupakan self limiting dan reversible pada pasien usia dewasa akan tetapi

efek dari terapi ini terhadap neonates adalah kondisi irreversible hearing loss.

NSAID

Dosis tinggi menginhibisi pergerakan koklea. Asam salisilat masuk dengan cepat ke

koklea dan cairan perilimfa meningkat menyebabkan tinnitus dan menyebabkan tuli

sensorineural. Mekanisme ototoksiknya disebabkan oleh banyak faktor, namun kerusakan

yang disebabkan bersifat metabolik bukan bersifat kerusakan anatomi dari koklea.

Ciprofloksasin

Penggunaan yang berkelanjutan dengan dosis yang tinggi pada banyak pasien

menunjukkan perubahan hilangnya sel-sel rambut luar, dan pada penelitian tampak

mempengaruhi sirkulasi darah sekitar koklea yaitu mengurangi perfusi, dan menyebabkan

perubahan biokimia. Ciprofloksasin juga dapat melalui plasenta sehingga dapat

menyebabkan tuli congenital dan hipoplasia koklea yang selanjutnya menurunkan potensi

fungsional endolimfatik.

4. Sebutkan tanda dan gejala ototoksik atau vestibulotoksik pada penggunaan obat pada

kasus tersebut. (medscape lengkapnya di daftar pustaka)

a. NSAID (Natrium Diclofenac):

1. Tinnitus frekuensi tinggi (7-9 kHz)

2. SNHL (Sensory Neural Hearing Loss/tuli sensorineural) ringan sampai sedang, jarang

permanen.

b. Loop diuretic (Furosemide) :

1. Pasien biasanya akan mengeluhkan kehilangan pendengaran segera setelah menerima

pengobatan. Biasanya bersifat reversible, namun dapat juga bersifat permanen,

terutama apabila pasien memiliki gagal ginjal, menerima obat dalam dosis tinggi, atau

bila dibarengi dengan pemberian antibiotic golongan aminoglikosida.

2. Pasien juga dapat mengeluhkan tinnitus dan gangguan vestibular seperti

disequilibrium, namun gejala ini jarang ditemui tanpa disertai dengan kehilangan

pendengaran.

c. Ciprofloksasin :

7 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 9: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

1. Tinitus

2. Hearing Loss, bersifat reversibel dan sensory neural yang terjadi pada frekuensi

4000Hz

3. Dizziness

4. Vertigo

5. Nyeri kepala

6. Nausea

7. Pengurangan penglihatan

5. Apakah risiko untuk penggunaan obat ototoksik tersebut ? (katzung & farmako ui )

Natrium diklofenak

Merupakan suatu turunan asam fenilasetat yang relatif tidak selektif sebagai penghambat

COX. Efek samping terjadi pada sekitar 20 % pasien dan meliputi gangguan saluran cerna,

perdarahan samar saluran cerna, dan ulkus lambung, meskipun ulkus lebih jarang terjadi

daripada beberapa OAINS lainnya. Suatu sediaan yang menggabungkan diklofenak dengan

misoprostol menurunkan kejadian ulkus saluran cerna bagian atas tapi dapat menyebabkan

diare. Kombinasi lainnya yakni diklofenak dengan omeprazole, juga efektif mencegah

perdarahan rekuren, tapi efek sampingnya pada ginjal sering ditemui pada pasien berisiko

tinggi. Diklofenak pada dosis 150 mg/hari tampaknya mengganggu aliran darah ginjal dan

laju filtrasi glomerolus. Peningkatan amino transferase serum dapat terjadi lebih sering pada

obat ini daripada OAINS lainnya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek samping dari

penggunaan diklofenak yang lazim adalah mual, gastritis, eritema kulit dan sakit kepala sama

seperti OAINS. Kontra Indikasi dari obat ini adalah pasien dengan tukak lambung, juga

pada pemakaian selama kehamilan tidak dianjurkan.

Furosemid

Efek sampingnya adalah Alkalosis metabolik hipokalemik, Ototoksisitas seperti

gangguan pendengaran yang erat hubungannya dengan dosis dan biasanya reversibel. Hal ini

paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami penurunan fungsi ginjal atau yang

juga mendapatkan agen ototoksik lain, seperti antibiotik aminoglikosid, obat ini juga dapat

menyebabkan hiperurisemia, hipomagnesemia, dan reaksi alergik seperti ruam di kulit,

eosinofilia, dan nefritis interstisial (jarang terjadi) merupakan efek samping yang kadang

8 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 10: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

timbul pada penggunaan obat ini. Kontra indikasi dari penggunaan obat ini adalah pada

penderita sirosis hepatik, gagal ginjal borderline, atau gagal jantung.

Ciprofloksasin

Efek samping paling sering muncul adalah mual, muntah, diare. Sesekali timbul nyeri

kepala, pusing, insomnia, ruam kulit, dan uji fungsi hati yang abnormal. Obat ini dapat

melukai kartilago yang sedang bertumbuh dan menyebabkan artropati. Kontra Indikasi obat

ini adalah pada penderita berusia dibawah 18 tahun. Akan tetapi artropati ini bersifat

reversibel, penggunaan obat ini juga harus dihindari dalam kehamilan selama tidak terdapat

data spesifik yang menunjukkan keamanannya. Dari referensi berbeda menyebutkan efek

samping dari penggunaan ciprofloksasin yaitu halusinasi, kejang dan delirium.

6. Pemeriksaan apa yang diperlukan untuk mendiagnosis ototoksik disebabkan obat dan

bagaimana kita dapat mendiagnosis penyebab ototoksik disebabkan oleh obat tersebut

(tht ui)

Diagnosis untuk ototoksik pada pasien akibat obat-obatan mengikuti alur anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan penunjang.

a. Anamnesis

Anamnesis lengkap sangat diperlukan dalam diagnosis ototoksisitas. Anamnesis meliputi:

Keluhan utama (SOCRATES)

Riwayat penyakit sekarang berupa keterangan lengkap gejala-gejala ototksisitas

(kapan terjadinya, mendadak, unilateral atau bilateral)

Riwayat penyakit dahulu (apa pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya)

Riwayat medis dahulu (pernah trauma, riwayat perawatan di RS, riwayat sakit

telinga)

Riwayat pengobatan (obat-obatan apa saja yang sedang dikonsumsi, dosisnya, dan

sudah berapa lama menggunakan obat tersebut)

Riwayat penyakit keluarga (apa di keluarga juga ada yang mengalami gejala

seperti yang dikeluhkan pasien

Berikut ciri gangguan pendengaran akibat ototoksisitas:

9 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 11: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Tinitus yang terjadi kuat dan bernada tinggi, berkisar antara 4 KHz-6 KHz. Bila

kerusakan menetap, tinitus lama kelamaan tidak begitu kuat tetapi juga tidak

pernah hilang.

Tuli akibat ototoksik dapat menetap berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-

bulan setelah pengobatan. Biasanya bersifat bilateral, tetapi dapat juga unilateral.

Tuli yang terjadi bersifat sensorineural. Bila akibat penggunaan antibiotika

menyebabkan penurunan yang tajam untuk frekuensi tinggi pada audiogram. Bila

akibat diuretik menyebabkan audiogram mendatar atau sedikit menurun.

Gangguan pendengaran akibat gentamisin dan streptomisin terjadi perlahan-lahan

dan beratnya sebanding dengan lama dan jumlah obat yang diberikan serta

keadaan fungsi ginjal.

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan berupa tes pendengaran, yaitu tes penala dan tes

bisik. Tes penala meliputi tes Rinne, tes Schwabach, dan tes stenger. Tes Rinne dilakukan

untuk membandingkan hantaran udara dan hantaran tulang pasien. Tes Weber digunakan

untuk membandingkan hantaran tulang kanan dan kiri. Tes Scwabach dilakukan untuk

membandingkan hantaran tulang orang yang diperiksa dengan pemeriksa yang

pendengarannya normal. Gangguan pendengaran akibat ototoksik biasanya adalah tuli

sensorineural sehingga akan didapatkan hasil tes Rinne positif, tes weber terjadi

lateralisasi ke telinga yang sehat, dan tes scwabach memendek.

c. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan dengan menggunakan audiometer untuk membuat

audiogram. Kriteria ototoksisitas yang digunakan adalah

Penurunan ambang nada murni sebesar 20db atau lebih dalam 1 frekuensi

Penurunan 10db atau lebih di dua frekuensi

Kehilang respon pada 3 frekuensi

Berikut adalah derajat ototoksisitas menurut Brock.

Grade 0- ambang pendengaran kurang dari 40 dB di semua frekuensi

Grade 1-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 8000 Hz

Grade 2-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 4000-8000 Hz

Grade 3-ambang 40 dB atau lebih di frekuensi 2000 Hz

10 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 12: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Grade 4-ambang 40 dB atau lebih di frekunesi 1000-8000 Hz

7. Bagaimana cara pencegahannya sehingga tidak terjadi ototoksik ? (farmako ui)

• Penggunaan dosis terendah untuk mencapai efek yang diinginkan dan menghindari laju

infuse yang cepat, dan meminimalisir efek samping yang ditimbulkan.

• Mempertimbangkan penggunaan obat-obat ototoksik dengan menilai kerentanan atau

faktor resiko pasien dan mempertimbangkan pemilihan obat alternatif lainnya. Sebelum

memulai pengobatan, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan audiometri, serta

ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien dan dilakukan juga uji keseimbangan,

selama pengobatan, serta setelah pengobatan.

• Memonitor efek samping secara dini, yaitu dengan memperhatikan gejala-gejala

ototoksisitas pada telinga dalam yang timbul seperti tinnitus, kurang pendengaran dan

vertigo yang di timbulkan selama pemakaian obat.

• Selama masa pengobatan, dilakukan monitoring fungsi pendengaran. Jika pasien

menunjukan gejala-gejala ototoksisitas pada telinga, harus dilakukan evaluasi audiologik

dan menghentikan pengobatan atau mengganti dengan obat alternatif lain.

8. Apakah alternatif untuk pengantian obat untuk terapi tersebut ? (farmako ui)

Penyebab ototoksik pada kasus diatas adalah furosemid yang digunakan untuk terapi

pasien gagal jantung dengan mekanisme diuretik. Obat lain yang dapat digunakan sebagai

agen diuretik signifikan pengganti furosemid pada kasus gagal jantung adalah

hydrochlorothiazide 1x25 mg dikonsumsi secara oral pagi hari.

Ciprofloksasin pada kasus diatas dapat menjadi penyebab keluhan tinitus pada pasien.

Terapi antibiotik alternatif untuk pasien osteomyelitis dengan tinitus pada pemberian

antibiotik ciprofloksasin adalah clindamycin, trimethoprim-sulfamethoxazole, atau rifampin

yang tidak mempunyai efek samping pada telinga dan merupakan pilihan terapi yang juga

efektif terhadap osteomyelitis. Clindamycin dapat diberikan secara oral setelah terapi melalui

IV selama 1-2 minggu. Cloxacillin dari golongan penicillin dapat pula dibelikan pada pasien

osteomyelitis akut dengan dosis 250-500 mg selama 6 hari per oral, diberikan 1 jam sebelum

makan atau 2 jam setelah makan. Dapat pula dipertimbangkan terapi antibiotik dari golongan

cephalosporin generasi 3 jika diduga kuman penyebabnya gram negatif.

11 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 13: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Sedangkan penggunaan Natrium Diklofenak 3 x 50 mg aman untuk dikonsumsi. Jikapun

diganti, dapat diganti dengan Paracetamol 3 x 500 mg ataupun obat anti inflamasi yang lain

seperti Piroxicam.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

12 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 14: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Kesimpulan 

Beberapa jenis obat memiliki efek ototoksik dan vestibulotoksik Obat-obat tersebut antara lain

natrium diklofenak (NSAID), ciprofloksasin (fluorokuinolon), dan furosemid (loop diuretik)

Pemakaian obat-obat tersebut dalam jangka lama dapat menyebabkan pasien yang

mengkonsumsinya mengalami gejala-gejala ototoksik dan vestibulotoksik yang bersifat

reversible sampai irreversible. Berat ringannya gangguan yang diakibatkan tergantung pada jenis

obat, jumlah, dan lamanya pengobatan. Jika ketulian telah terjadi dapat dicoba melakukan

rehabilitasi antara lain dengan alat bantu dengar, psikoterapi, dan auditory training. Sedangkan

pada tuli total bilateral mungkin dapat dipertimbangkan pemasangan implant koklea (Cochlear

implan).

Saran 

Hendaknya sebelum memulai terapi yang memerlukan pengobatan dengan obat-obatan yang

bersifat ototoksik terlebih dahulu ditentukan tingkat pendengaran dasar dari pasien. Selain itu

dilakukan pula uji keseimbangan serta mengingatkan pasien tentang potensial ototoksisitas dari

obat yang digunakannya. Evaluasi juga harus dilakukan selama penggunaan terapi dengan obat

yang bersifat ototoksik ini, sehingga bila terjadi efek ototoksisitas, hal tersebut dapat

ditanggulangi lebih dini.

DAFTAR PUSTAKA

13 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1

Page 15: Laporan Praktikum Ototoksik Kelompok 3

Departemen Farmakologi dan Tarapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2009).

Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Katzung, & Bertram. (2004). Basic Clinical Pharmacology. USA: Blackwell Science.

Mudd, A. Pamela. (2012). Ototoxicity. http://www.emedicine.medscape.com/article/857679-overview, diakses pada 5 September 2013.

Soetirto, I., Bashiruddin, J., & Bramantyo, B. (2007). Gangguan Pendengaran Akibat Obat

Ototoksik. In E. A. Soepardi, N. Iskandar, j. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu

Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher (pp. 53-56). Jakarta: Balai Penerbit

FKUI.

14 |Laporan Praktikum Farmakologi Blok 19 Modul 1