Upload
fiska-praktika-widyawibowo
View
255
Download
15
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM
PATOLOGI KLINIK
BLOK HEMATOIMUNOLOGY (HI)
Asisten :
Yonifa Anna Wiasri G1A211094
Kelompok B1
Iman Hakim W G1A011001
Imelda Widyasari S G1A011002
Gilang Rara A G1A011004
Lannida G1A011008
Fiska Praktika W G1A011010
Desvia Ira Restiana G1A011012
Halimah C G1A011013
KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
PEMERIKSAAN KADAR HEMOGLOBIN
I. Dasar Teori
Hemoglobin adalah protein yang terdiri dari empat subunit
globular, masing-masing terikat pada sebuah molekul hem, memberikan
kemampuan sel darah merah untuk mengangkut oksigen dalam darah
(Martini, 2009). Molekul hemoglobin memperhitungkan lebih dari 95%
protein intraseluler sel darah merah. Kandungan hemoglobin darah secara
keseluruhan dinyatakan dalam gram Hb per desiliter (100 ml) darah secara
keseluruhan (gr/dl). Rentang normalnya adalah 14-18 gr/dl pada pria dan
12-16 gr/dl pada wanita (Martini, 2009).
Hemoglobin adalah tetramer yang terdiri dari pasangan dua subunit
polipeptida yang berlainan (Murray, 2009). Yaitu globin dan gugus hem.
Globin merupakan suatu protein yang terbentuk dari empat rantai
polipeptida yang sangat berlipat-lipat. Sedangkan gugus hem merupakan
empat gugus nonprotein yang mengandung besi, dengan masing-masing
terikat ke salah satu polipeptida di atas. Masing-masing dari keempat atom
besi dapat berikatan secara reversibel dengan satu molekul O2; karena itu,
setiap molekul hemoglobin dapat mengambil empat penumpang O2 di
paru. Karena O2 tidak mudah larut dalam plasma maka 98,5% O2 yang
terangkut dalam darah terikat ke hemoglobin (Sherwood, 2011).
Hemoglobin adalah suatu pigmen (yang berwarna secara alami).
Karena kandungan besinya maka hemoglobin tampak kemerahan jika
berikatan dengan O2 dan keunguan jika mengalami deoksigenasi. Karena
itu, darah arteri yang teroksigenasi penuh akan berwarna merah dan darah
vena yang telah kehilangan sebagian dari kandungan O2 nya di tingkat
jaringan, memiliki rona kebiruan (Sherwood, 2011).
Selain mengangkut O2, hemoglobin juga dapat berikatan dengan
yang berikut:
1. Karbon dioksida. Hemoglobin membantu mengangkut gas ini dari sel
jaringan kembali ke paru.
2. Bagian ion hidrogen asam (H+) dari asam karbonat terionisasi, yang
dihasilkan di tingkat jaringan dari CO2. Hemoglobin menyangga asam
ini sehingga asam ini tidak banyak menyebabkan perubahan pH darah.
3. Nitrat oksida (NO). Di paru, nitrat oksida yang bersifat vasodilator
berikatan dengan hemoglobin. NO ini dibebaskan di jaringan, tempat
zat ini melemaskan dan melebarkan arteriol lokal. Vasodilatasi ini
membantu menjamin bahwa darah kaya O2 dapat mengalir dengan
lancar dan juga membantu menstabilkan tekanan darah.
4. Karbon monoksida (CO). Gas ini dalam keadaan normal tidak terdapat
di dalam darah, tetapi jika terhirup maka gas ini cenderung menempati
bagian hemoglobin yang berikatan dengan O2 sehingga terjadi
keracunan CO.
(Sherwood, 2011)
Pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb)
Pada pemeriksaan kadar hemoglobin ada dua macam metode yang dapat
digunakan, yaitu :
1. Kalorimetri visual
a. Tallquis
b. Spencer
c. Haden housser
d. Sahli
2. Kalorimetri fotometrik atau Cyanmethemoglobin
Kedua metode pemeriksaan ini menggunakan Sampel darah vena
atau darah kapiler. Dan adapun prinsip pemeriksaan kadar hemoglobin
yaitu mengukur kadar hemoglobin berdasarkan warna yang terjadi
akibat perubahan hemoglobin menjadi asam hematin setelah
penambahan HCL 0,1 N (tidak semua Hb terukur).
II. Alat, Bahan dan Cara Kerja
1. Alat yang digunakan untuk mengambil darah vena atau kapiler.
a. Disposible spuit.
b. Torniquet.
c. Kapas.
d. Botol penampung.
e. Hemometer Sahli, terdiri dari :
1)Tabung pengencer panjang 12 cm, dinding bergaris mulai angka 2
(bawah) s/d 22 ( atas )
2)Tabung standart Hb.
3)Pipet Hb dengan pipet karet panjang 12,5 terdapat angka 20 ul.
4)Pipet HCL.
5)Botol tempat aquadest dan HCL 0,1 N.
6)Batang pengaduk (dari kaca).
2. Bahan
a. Darah vena atau kapiler
b. Reagensia HCL 0,1 N
c. Alcohol 70%
d. Antikoagulan
3. Cara kerja
a. Isi tabung pengencer dengan HCL 0,1 N sampai angka 2 (± 5 tetes).
b. Dengan pipet Hb hisap darah sampai angka 20 ul, jangan sampai ada
gelembung udara yang ikut terhisap.
c. Hapus darah yang ada pada ujung pipet.
d. Tuang darah kedalam tabung pengencer, bilas dengan HCL bila masih
ada darah dalam pipet, aduk sampai darah dan reagen tercampur.
e. Diamkan 1 – 3 menit
f. Tambahkan aquadest tetes demi tetes, aduk dengan batang kaca
pengaduk.
g. Bandingan larutan dalam tabung pengencer dengan warna larutan
standart.
h. Persamaan campuran dgn batang standard harus dicapai dalam waktu
3 – 5 menit setelah darah tercampur dengan HCL.
i. Bila sudah sama warnanya penambahan aquadest dihentikan, baca
kadar Hb pada skala yang ada di tabung pengencer / gr / 100 ml
darah.
III. Hasil
Hb = 12 gr %
IV. Pembahasan
Pada pemeriksaan kadar Hb dengan metode Sahli, Hb probandus sebesar
12 gram%. Berdasarkan nilai rujukan Dacie nilai Hb probandus adalah normal,
yaitu 11,5- 16,5 %. Juga dapat dilihat kondisi fisik pbobandus yang tidak
menunjukkan gejala gejala maupun tanda umum anemia atau kekurangan
hemoglobin ( Hb) seperti, kuku rapuh atau kuku sendok, stomatis angularis,
cepat lelah, takikardi,disfagia dan sebagainya. Karena seorang dikatakan anemia
jika kadar Hb dan/atau hitung eritrosit lebih rendah dari harga normal.
Dikatakan sebagai anemia bila Hb <14 g/dl dan Ht < 41 % pada pria atau Hb <
12 g/dl dan Ht < 37% pada wanita.
Namun metode pengukuran kadar Hb menurut Sahli masih terbilang
kurang teliti apabila dibandingkan dengan metode cyanmethemoglobin, namun
masih jauh lebih baik daripada metode Tallquis yang menggunakan kertas dan
kemudian dicocokan dengan kertas standar. Ketidakakuratan hasil pada metode
Sahli berkisar 10%.
Ketidakakuratan ataupun kesalahan pengukuran nilai Hb bisa terjadi
karena beberapa faktor, diantaranya :
1. Keadaan Alat
a. Volume pipet tidak tetap
b. Warna tabung standar sudah pucat
2. Pemeriksa / Tehnik
a. Ketajaman mata berbeda – beda
b. Intensitas cahaya / sinar kurang
c. Terdapat gelembung udara
d. Darah pada ujung pipet tidak dihapus
e. Waktu tidak tepat satu menit, sehingga asam hematin belum
terbentuk sempurna
3. Reagen (HCL 0,1 N)
Bila menggunakan darah kapiler kemungkinan akan memberikan hasil
yang lebih rendah bila dipijit – pijit pada waktu pengeluaran darah
setelah penusukan.
V. Aplikasi klinis
1. Anemia Defisiensi Besi
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20mg sehari, dari jumlah
ini hanya kira – kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh
berkisar 2-4 gram, kira – kira 50 mg/kgBB pada pria dan 35
mg/kgBB pada wanita. Umumnya akan terjadi anemia dimorfik,
karena selain kekurangan Fe juga dapat terjadi kekurang asam folat.
a. Etiologi
Anemia ini umumnya disebabkan oleh perdarahan kronik. Di
Indonesia paling banyak disebabkan oleh cacing tambang
(ankilostomiasis). Infestasi cacing tambang pada seseorang
dengan makanan yang baik tidak akan menimbulkan anemia.
Bila diserta malnutrisi, baru akan terjadi anemia. Penyebab lain
anemia defisiensi besi antara lain :
1) Diet yang tidak mencukupi
2) Absorbsi yang menurun
3) Kebutuhan yang meningkat pada kehamila atau laktasi
4) Perdarahan pada saluran cerna, menstruasi
5) Hemoglobinuria
6) Penyimpanan besi yang berkurang, seperti hemosiderosis
paru
b. Manifestasi Klinis
Selain gejala – gejala umum anemia, defisiensi Fe yang berat
mengakibatkan perubahan kulit dan mukosa yang progresif,
seperti lidah yang halus, keilosis, dan sebagainya. Juga
didapatkan tanda – tanda malnutrisi.
c. Pemeriksaan Penunjang
Defisiensi Fe berlangsung secara bertahap dan lambat. Pada
tahap pertama yang terjadi adalah penurunan simpanan Fe.
Terjadi anemia tetapi belum terjadi perubahan pada ukuran sel
darah merah. Feritin serum menjadi rendah, kurang dari 30 mg/l,
sementara Total Iron Binding Capacity (TIBC) serum menigkat.
Setelah simpanan Fe habis, produksi sel darah merah tetap
dilakukan. Fe serum akan mulai menurun, kurang dari 30 mg/l,
dan saturasi transferin menurun hingga kurang dari 15%.
Pada tahap awal Mean Corpuscular Volume (MCV) tetap normal.
Pada keadaan lanjut, MCV mulai menurun dan ditemukan gambaran
sel mikrositik hipokrom. Kemudian terjadi anisositosis diikuti dengn
poikilositosis.
Didapatkan sel darah merah yang mikrositik hipokrom. Serum
iron menurun sedangkan Iron Binding Capacity (IBC) meningkat.
Tanda patognomonik adalah tidak ditemukannya hemosiderin dalam
sumsum tulang atau serum feritin < 12 mg/l. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan pembuktian keadaan defisiensi Fe atau evaluasi dari hasil
terapi suplemen Fe. Untuk mendiagnosis ankilostosomiasis perlu
pemeriksaan tinja. Untuk mengetahui beratnya infeksi perlu dihitung
jumlah telur per gram tinja.
2. Thalasemia
Thalasemia merupakan penyakit yang diturunkan. Pada
penderita thalasemia, hemoglobin mengalami penghancuran
(hemolisis). penghancuran terjadi karena adanya gangguan sintesis
rantai hemoglobin atau rantai globin. Hemoglobin orang dewasa
terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh hemoglobinya.
HbA2 tidak lebih dari 2% dan HbF 3%. Pada bayi baru lahir HbF
merupakan bagian terbesar dari hemoglobin (95%). Pada penderita
thalasemia kelainan genetik terdapat pada pembentukan rantai globin
yang salah sehingga eritrosit lebih cepat lisis. Akibatnya penderita
harus menjalani tranfusi darah seumur hidup. Selain transfusi darah
rutin, juga dibutuhkan agent pengikat besi (Iron Chelating Agent)
yang harganya cukup mahal untuk membuang kelebihan besi dalam
tubuh. Jika tindakan ini tidak dilakukan maka besi akan menumpuk
pada berbagai jaringan dan organ vital seperti jantung, otak, hati dan
ginjal yang merupakan komplikasi kematian dini.
LAJU ENDAP DARAH (LED)
I. Dasar Teori
Laju endap darah (LED) digunakan untuk menilai kecepatan aliran
eritrosit bisa mengendap dalam tabung pengukuran yang diukur selama
1 jam. LED dapat meningkat dan menurun karena disebabkan oleh
beberapa faktor. Contohnya pada reaksi peradangan, LED akan
meningkat kemungkinan karena terjadinya perubahan komponen plasma
yang terjadi pada saat proses inflamasi. Protein yang terlibat dalam
peningkatan LED adalah protein fase akut, terutama yang dilepaskan
oleh hati dalam respons terhadap interleukin-1. Selain itu, LED juga bisa
menurun misalnya pada kelainan sel darah merah, seperti polisitemia
vera : yaitu keadaan dimana sel darah merah jumlanya sangat banyak
sehingga darah menjadi sangat kental. Maka jika dilakukan pemeriksaan
laju endap darah, maka kecepatan timbulnya pengendapan menjadi
sangat lambat karena volume sel darah merah hampir sama dengan
darah secara keseluruhan. LED juga digunakan untuk memantau aktivitas
berbagai penyakit inflamasi.
Pemeriksaan laju endap darah juga berguna untuk mendeteksi
adanya suatu peradangan dan bahkan perjalanan ataupun aktivitas suatu
penyakit. Misalnya bila dokter mendiagnosis suatu pasien terkena flu,
maka akan ditemukan bahwa laju endap darahnya tinggi.
II. Alat dan Bahan dan Cara Kerja
Pemeriksaan laju endap darah yang dilakukan dengan metode
Westergreen adalah sebgai berikut :
1. Alat :
a. Tabung Westergreen
b. Rak Westergreen
Reagensia :
Larutan Natrium Sitrat 3,8%
2. Bahan :
Darah EDTA
III. Cara Kerja
1. Hisaplah dalam semprit steril 0,4 mL larutan Natrium Sitrat 3,8 %
masukkan dalam tabung.
2. Hisaplah 1,6 mL darah, masukkan ke dalam tabung, campur dengan
Na sitrat 3,8 % sehingga didapatkan 2,0 mL campuran.
3. Hisaplah darah itu kembali ke dalam pipet Westergreen sampai
garis bertanda 0 mm. Kemudian biarkan pipet tersebut dalam
keadaan tegak lurus dalam rak Westergreen selama 60 menit.
4. Bacalah tingginya lapisan plasma yang terbentuk dengan milimeter
dan laporkanlah angka itu sebagai laju endap darah.
Nilai Rujukan menurut :
JENIS KELAMIN DACIE WESTERGREEN
PRIA 0 – 5 mm / jam 0 – 15 mm / jam
WANITA 0 – 7 mm / jam 0 – 20 mm / jam
IV. Hasil
Tidak didapatkan hasil pada percobaan kali ini disebabkan karena
ditemukan adanya gelembung udara di dalam tabung Westergreen pada
percobaan laju endap darah (LED) kali ini.
V. Pembahasan
Laju endap darah (LED) mengukur kecepatan turunnya suatu kolom
yang berisi sel darah merah plasma dalam waktu 1 jam. Pembacaan
hasilnya dilakukan pada jam I dan III. LED sebagian besar ditentukan
oleh konsentrasi protein plasma, terutama fibrinogen dan globulin.
Ada 3 fase pengendapan, yaitu :
1. Fase pengendapan lambat I
2. Fase pengendapan cepat
3. Fase pengendapan lambat II
LED dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :
1. Eritrosit, yang meliputi : ukuran (makrosit/mikrosit), bentuk
(spherosit/sickle cell), konsentrasi eritrosit (dehidrasi/rehidrasi),
tendensi (roleux/aglutinasi).
2. Komposisi plasma, yang meliputi : viskositas (dehidrasi), kadar
fibrinogen, kadar protein plasma (globulin).
3. Kesalahan teknik, yang meliputi : letak tabung, suhu ruang, getaran.
Pada percobaan yang dilakukan, terjadi kesalahan yang
mengakibatkan kegagalan pada percobaan perhitungan LED.
Kesalahan tersebut terjadi karena ditemukannya ada gelembung udara
pada tabung Westergreen. Saat menghisap kembali campuran darah
dan reagennya tidak dilakukan demgan hati-hati dan pada saat
mencampur reagen dengan darah juga tidak dilakukan dengan benar
sehingga mengakibatkan terbentuknya gelembung udara pada
campuran reagen dan darah, sehingga saat dimasukkan pada tabung
Westergreen sudah terdapat gelembung udara yang membuat
kesulitan dalam membaca hasil perhitungan LED dan akhirnya
percobaan pun gagal dilakukan.
Laju endap darah ditemukan meningkat pada anemia. Kisaran
LED meningkat seiring pertambahan usia. Peningkatan LED
merupakan indikator yang tidak spesifik terhadap respon fase akut
dan berguna untuk memonitor aktivitas penyakit (misalnya artritis
reumatoid). Peningkatan LED terjadi pada gangguan inflamasi,
injeksi, keganasan, mieloma, anemia, dan kehamilan
(At Glance Hematologi, 2008).
Laju endap darah normal (LED) menurut Westergreen :
Pria : 0 – 15 mm/jam
Wanita : 0 – 20 mm/jam
Laju endap darah normal menurut Dacie adalah :
Pria : 0 – 5 mm/jam
Wanita : 0 – 7 mm/jam
VI. Aplikasi Klinis
Ada beberapa penyakit yang akan terjadi bila kadar LED di darah
meningkat dan turun.
1. Polisitemia vera
Pada polisitemia vera terjadi peningkatan jumlah semua jenis
sel darah (eritrosit, tombosit, granulosit), dengan mengakibatkan
jumlah eritrosit naik, viskositas darah naik, dan volume darah naik.
Hati dan limfa penuh terisi oleh eritrosit. Darah yang kental dapat
bersifat stasis dan trombosit pada banyak tempat, yang dapat
berakibat infark.
Gejala polisitemia vera adalah : rasa ringan di kepala,
gangguan penglihatan, sakit kepala, vertigo, sianosis muka,
pruritus, trombopfebitis ditambah trombosis arteri digital diikuti
gangren ; Ht, Hb, eritrosit, leukosit, trombosit semua naik dan laju
endap darah meningkat.
2. Mieloma
Laju endap darah mengukur laju pengendapan eritrosit pada suatu
kolom darah yang diberi antikoagulan. LED yang cepat
menunjukkan bahwa meningkatnya kadar imunoglobulin atau
protein fase akut yang menyebabkan eritrosit mengalami agregasi.
Peningkatan LED merupakan penanda non spesifik dari adanya
radang atau infeksi. LED biasanya sangat tinggi pada mieloma.
LED yang sangat tinggi menunjukkan :
a. Mieloma multipel (LED > 100mm/jam),
b. Lupus eritomatosus sistemik (SLE),
c. Artritis temporalis,
d. Polimialgia reumatika,
e. Kanker atau infeksi kronis atau TB.
3. Radang GNA (Glomerulo Nefritis Acute)
Penyakit ini tergolong penyakit autoimun yang artinya merusak diri
sendiri. Pada penyakit ini yang dirusak adalah bagian ginjalnya
sendiri.
Gejala GNA adalah demam, mendadak kencing berkurang. Kencing
berwarna merah seperti air cucian daging. Kelopak mata dan
tungkai umumnya membengkak. Jika diukur tekanan darah , kadar
protein, eritrosit dan leukosit dalam darah meninggi. Selain itu
ditemukan juga bahwa LED-nya meningkat, Hb menurun ( tanda
anemia) dan tes fungsi ginjal menurun (Resep Mudah Tetap Sehat,
2009).
4. Infeksi dan anemia
LED yang tinggi juga ditemukan pada infeksi. LED ditemukan
meningkat pada sebagian besar infeksi dan pada anemia (At Glance
Medicine,2006).
5. Hepatitis akut
Pada hepatitis akut, ditemukan adanya sel-sel ganas yang menekan
sel normal yang mengurangi suplai darah. Kekurangan suplai darah
menyebabkan terjadinya perdarahan dan infeksi. Seperti yang telah
diketahui dari pernyataan di atas bahwa LED ditemukan meningkat
pada infeksi. Maka setelah dilakukan pemeriksaan darah, ditemukan
bahwa LED meningkat karena adanya inflamasi pada hepar (Klien
Gangguan Hati, 2008).
PEMERIKSAAN JUMLAH LEUKOSIT
I. Dasar Teori
Leukosit atau sel darah putih sangat berperan penting dalam hal
perlindungan tubuh dari infeksi. Dalam bekerja sel ini bekerja sama
dengan protein respon imun, imunoglobulin, dan komplemen. (Mehta and
Hoffbrand, 2006)
Pemeriksaan hitung jumlah leukosit menyatakan jumlah berapa
ribu sel leukosit per-mm3 darah. Pemeriksaan dilakukan dengan
menghitung sel leukosit di dalam darah yang telah diberi suatu larutan
yaitu larutan turk, yang dapat merusak sel-sel lain selain sel leukosit.
Penghitungan dilakukan dengan menggunakan bilik hitung Neubauer
Improved (NI).
Nilai rujukan menurut Dacie :
Leukosit (White Blood Cell)
1. Pria Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
2. Wanita Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
3. Bayi : 10 – 25 ribu/mm3
4. 1 tahun : 6 – 18 ribu/mm3
5. 12 tahun : 4,5 – 13 ribu/mm3
II. Alat, Bahan dan Cara Kerja
1. Alat dan bahan :
Hemositometer :
a. Bilik Hitung NI
b. Pipet Leukosit
c. Pipet Eritrosit
d. Kaca Penutup
e. Mikroskop
Reagensia : Larutan Turk terdiri dari :
a. Gentian Violet 1% : 1ml
b. Asam Acetat Glacial : 1ml
c. Aquadest ad : 100ml
Bahan : Darah vena atau darah kapiler
2. Cara Kerja
a. Cari kotak sedang di pojok ujung bilik hitung untuk leukosit pada
bilik hitung NI dengan menggunakan mikroskop.
b. Hisap darah dengan pipet leukosit sampai angka 0,5 (pengenceran
20x) atau sampai angka 1 (pengenceran 10x)
c. Hapus darah yang melekat pada ujung pipet.
d. Dengan ujung pipet yang sama, hisap larutan turk sampai garis
tanda 11.
e. Kocok dengan arah horizontal selama 15-20 detik.
f. Buang 3 tetesan pertama.
g. Tuang pada bilik hitung (di antara bilik hitung dan kaca penutup).
h. Hitung jumlah leukosit pada tiap kotak dan masukkan datanya
kedalam rumus.
III. Hasil
Hitung jumlah leukosit
Jumlah LeukositJumlah Kotak yangdihitung
× 16( jumlahkotak)×10 × 20( pengenceran)
225
×16 ×10 × 20=14080 /mm3
(Tidak Normal)
IV. Pembahasan
Menurut hasil yang didapat jumlah leukosit probandus adalah
14080/mm3. Jumlah ini disimpulkan di atas normal karena berada di atas
kisaran jumlah leukosit normal yakni 4000-11000/mm3 pada wanita
dewasa.
Jumlah leukosit tidak normal bisa disebabkan oleh kelainan,
namun selain kelainan kesalahan juga bisa terjadi disebabkan oleh
kesalahan saat dilakukan pemeriksaan. Kesalahan tersebut bisa terjadi
pada alat, reagen, sampel, dan pemeriksa.
Kesalahan pada alat bisa disebabkan karena satuan dari alat satu
dan yang lain berbeda-beda. Satu produsen dengan produsen yang lain
Nilai normal Leukosit (White Blood Cell)
Pria Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
Wanita Dewasa : 4 – 11 ribu/mm3
Bayi : 10 – 25 ribu/mm3
1 tahun : 6 – 18 ribu/mm3
12 tahun : 4,5 – 13 ribu/mm3
bisa saja berbeda, hal inilah yang bisa menimbulkan kesalahan, dan
perbedaan hasil pemeriksaan.
Kesalahan pada reagen dalam hal ini yaitu larutan turk juga bisa
bisa terjadi. Presentasi campuran zat-zat harus tepat, bila tidak maka bisa
menimbulkan hasil yang tidak sesuai.
Kesalahan pada sampel juga bisa terjadi karena berbagai sebab,
yang pertama mungkin pengaruh obat-obatan yang diminum probandus.
Kedua mungkin juga karena naiknya produksi leukosit guna melawan
infeksi. Oleh sebab itu sebelum mengambil sampel ada baiknya kita
bertanya kepada probandus sedang dalam keadaan sehat atau tidak.
Ketidak telitian pemeriksa juga dapat menimbulkan kesalahan hasil
yang didapat dalam penghitungan jumlah leukosit. Oleh sebab itu seorang
pemeriksa haruslah sabar, hati-hati, dan teliti dalam bekerja.
V. Aplikasi Klinis
1. Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia limfoblastik akut (LLA) yaitu keganasan klonal dari sel-
sel prekursor limfoid. Sebagian besar kasus, sel-sel ganas berasal dari
limfosit B, sisanya sekitar 20% adalah leukemia sel T. Kasus ini paling
banyak terjadi pada anak-anak. Jika tidak segera ditangani dapat
berakibat fatal. (Fianza, 2010)
Pada orang dewasa penyebab LLA sebagian besar kurang
diketahui, sedangkan pada anak-anak biasanya faktor keturunan dan
sindroma predisposisi. Pada kasus LLA biasanya hasil laboratorium
menunjukan jumlah leukosit normal, meningkat, atau rendah.
Hiperleukositosis (> 100.000/mm3) terjadi pada kurang lebih 15% pasien
dan bisa juga melebihi 200.000/mm3. (Fianza, 2010)
2. Leukemia Mieloblastik Akut
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah penyakit yang ditandai
oleh transformasi neoplastik dan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri
mieloid. Bila tidak diobati segera, dapat menimbulkan kematian dalam
beberapa minggu. (Kurnianda, 2010)
Patogenesis utama dari LMA yaitu blokade maturitas yang
mengakibatkan proses diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada
sel-sel muda (blast) di sumsum tulang. Akumulasi blast di sumsum
tulang tersebut kemudian akan menyebabkan gangguan hematopoiesis
normal dan pada suatu saat akan mengakibatkan terjadinya sindrom
kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan adanya sitopenia
(anemia, leukopenia dan trombositopenia). (Kurnianda, 2010)
3. Leukemia Limfositik Kronik
Leukemia limfositik kronik (LLK) yaitu suatu keganasan
hematologik yang ditandai terjadinya proliferasi klonal dan
penumpukan limfosit B neoplastik pada darah, limfonodi, hati, limpa,
sumsum tulang, dan organ-organ lain. LLK masuk ke dalam kelainan
limfoproliferatif. Tanda-tandanya yaitu splenomegali, limfositosis, dan
limfadenopati. Sebagian besar LLK adalah neoplasma sel B, dan
sebagian kecil neoplasma sel T. Penyebab LLK masih belum
diketahui. Kemungkinan adalah abnormalitas onkogen, kromosom, dan
retrovirus. (Rotty, 2010)
PEMERIKSAAN GOLONGAN DARAH
I. Dasar Teori
Antigen merupakan substansi yang mampu mengaktifkan
mekanisme pertahanan yang disebut respon imun. Sebagian besar antigen
merupakan protein, namun beberapa jenis molekul organik juga dapat
berperan sebagai antigen. Pada membran plasma kita terdapat antigen
surface “permukaan” yang dianggap tubuh sebagai substansi normal,
dalam kata lain sistem imun kita tidak melakukan serangan selayaknya
benda asing (Martini, 2012).
Tipe darah dikelompokkan berdasarkan ada atau tidaknya antigen
spesifik pada permukaan membran plasma sel darah merah (SDM).
Antigen permukaan ini berupa glikoprotein membran integral atau
glikolipid yang memiliki perbedaan secara genetik. SDM setidaknya
memiliki 50 jenis antigen surface, namun ada tiga antigen surface yang
utama yaitu A, B, dan Rh (atau D). Berdasarkan antigen surface pada
SDM, darah dibagi menjadi empat tipe (Martini, 2012):
1. Tipe A, darah hanya memiliki antigen surface A
2. Tipe B, darah hanya memiliki antigen surface B
3. Tipe AB, memiliki antigen surface A dan B
4. Tipe O, tidak memiliki kedua antigen tersebut
Sedangkan Rh positif (Rh+) mengindikasikan adanya antigen surface Rh,
umumnya disebut faktor Rh. Ketidakadaan antigen ini disebut Rh negatif (Rh-).
Seperti halnya penyebaran antigen surface A dan B, perbedaan tipe Rh juga
umumnya berdasarkan kelompok etnik dan penyebaran wilayah (Martini,
2012).
Gambar 1. Pada reaksi silang, antibodi bereaksi dengan antigen targetnya menyebabkan aglutinasi dan hemolisis pada sel darah merah. (Sumber: Martini. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th edition.)
Sistem imun tubuh tidak merespon antigen surface pada darah, namun
plasma mengandung antibodi yang disebut agglutinogen, yang akan
menyerang antigen SDM asing. Saat antibodi tersebut menyerang SDM
asing akan menggumpal (Martini, 2012).
Proses dimana sel-sel asing, misalnya bakteri atau sel darah merah
yang tidak cocok golongannya, menyatu membentuk gumpalan dikenal
sebagai aglutinasi (Sherwood, 2007).
Individu dengan golongan darah A, plasmanya mengandung anti-B
antibodi, yang akan menyerang darah dengan antigen B. Jika golongan
darah adalah B, maka plasma mengandung anti-A antibodi. Pada individu
dengan SDM yang tidak memiliki antigen surface baik A maupun B,
plasmanya mengandung anti-A dan anti-B antibodi. Sedangkan pada
individu yang memiliki antigen surface A dan B, plasmanya tidak
mengandung anti-A maupun anti-B antibodi. Keberadaan antigen – antibodi
ini mengakibatkan tidak boleh adanya transfusi silang antar individu
berbeda tipe darah karena plasma darah dalam tubuh resipien akan
menyebabkan SDM asing mengalami aglutinasi (Martini, 2012).
Anti-A dan anti-B antibodi disebut juga agglutinin A dan agglutinin
B. Agglutinin merupakan antibodi yang dapat menyebabkan aglutinasi pada
eritrosit (Bain, 2003).
Sedangkan menurut Bain, golongan darah sistem ABO merupakan
sebuah sistem pengelompokan dengan alel A dan B pada lokus ABO di
9q34 yang mengkode secara spesifik glycosytranferase yang memodifikasi
prekursor disakarida, prekursor ini merupakan bagian dari glikoprotein atau
glikolipid yang saat tidak dimodifikasi akan mengekspresikan antigen H.
Alel O tidak mengkode transferase fungsional, sehingga pada homozigot O
antigen H akan terekspresikan, namun tidak pada antigen A dan B. Antigen
ABO terdapat pada semua sel darah dan banyak sel tubuh lainnya (Bain,
2003).
II. Alat, Bahan, dan Cara Kerja
1. Alat :
a. Pipet
b. Objek glass
2. Bahan: Whole blood
Reagen:
a. Serum anti A (hijau/biru)
b. Serum anti B (kuning)
c. Serum anti A, anti B (tidak bewarna)
3. Cara Kerja:
a. Menyiapkan alat, bahan, serta reagen
b. Meneteskan serum anti A, serum anti B, dan serum anti A anti B
pada objek glass pada tempat yang berbeda masing – masing 1
tetes
c. Meneteskan darah pada masing – masing serum 1 tetes
d. Mengaduk masing – masing serum dan darah
e. Mengamati adanya aglutinasi
f. Mencatat hasil pengamatan
III. Hasil
Tabel 1. Hasil uji golongan darah
Serum anti A anti
B
Serum anti
A
Serum anti B Golongan
darah
+ + - A
Gambar 2. Hasil uji golongan darah. Menunjukkan adanya aglutinasi pada darah yang dicampur dengan serum anti A, serta serum anti A anti B.
IV. Pembahasan
Berdasarkan teori yang sudah dipaparkan pada Bab I, serum anti A
akan menyebabkan aglutinasi eritorsit dengan antigen A pada membran
plasma, sedangkan serum anti B akan menyebabkan aglutinasi pada
eritrosit dengan antigen B.
Hasil percobaan menunjukkan adanya aglutinasi pada darah yang
diberi serum anti A anti B, maka kemungkinan darah sampel tersebut
memiliki antigen A, antigen B, maupun keduanya. Kolom berikutnya
menunjukkan adanya aglutinasi pada darah yang diberi serum anti A
namun tidak pada darah yang diberi serum anti B, artinya pada darah
sampel positif adanya antigen A dan negatif bagi antigen B. Hal itu dapat
Gambar 3. Uji golongan darah. Hasil uji golongan darah yang diambil dari empat sampel individu. Tiap tetes darah dicampur dengan larutan yang mengandung antibodi terhadap antigen surface A, B, AB, dan D (Rh). Pengendapan terjadi sampel mengandung antigen yang merespon adanya antigen (Sumber: Martini. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th edition.)
dijadikan indikator bahwa darah yang dijadikan sampel merupakan darah
tipe A.
V. Aplikasi Klinis
1. Hemolytic Disease of the Newborn (HDN) atau Eritroblastosis
Fetalis
a. Definisi
HDN disebabkan oleh adanya reaksi silang antara tipe
darah janin dan ibu. Gen yang mengontrol ada atau tidaknya suatu
antigen di permukaan sel darah merah diturunkan dari kedua orang
tua, sehingga anak bisa memiliki golongan darah yang berbeda
dengan ayah dan atau ibunya. Selama kehamilan, saat vaskular
fetus dan maternal saling bertemu, antibodi yang dimiliki ibu bisa
menyebrangi plasenta, menyerang dan menghancurkan sel darah
merah janin (Martini, 2012).
b. Patofisiologi
Paparan sel darah Rh+ terhadap sel darah Rh- ibu terjadi
karena suatu perdarahan fetomaternal yang asimptomatik saat
kehamilan. Teknik percampuran asam Kleihauer-Betke
menunjukkan proporsi dari SDM fetus di sirkulasi maternal pada
kasus fetomaternal hemorrage terjadi mencapai 75% kehamilan.
Fetomaternal hemorrhage tercatat 7%m 16,% dan 29% dialami ibu
saaat kehamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga. Sehingga
peningkatan resiko terjadinya placental abruption, spontaneous
atau therapeutic abortion, dan toksemia sama dengan infeksi
setelah kelahiran cesar dan kehamilan ectopik.
Gambar 4. Kehamilan pertama pada ibu Rh- dengan janin Rh+. . (Sumber: Martini. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th edition.)
Gambar Gambar 5. Kehailan kedua pada ibu Rh- dengan bayi Rh+. . (Sumber: Martini. 2012. Fundamentals of anatomy & physiology 9th edition.)
Setelah terjadinya exposure pertama terhadap antigen asing,
limposit B akan mengklon pengenal antigen SDM. Sistem imun
maternal yang awalnya memproduksi antibodi IgM yang tidak
menyebrangi plasenta, selanjutnya menghasilkan isotipe IgG
yangmampu melintasi barrier plasenta. Pada satu individu subklas
antibodi dominan adalah IgG1 yaitu dua pertiga dari keseluruhan
dengan kombinasi IgG3 sisanya. IgG3 lebih efisien untuk mengikat
sel retikuloendothelial dan menyebabkan hemolisis karena region
ikatannya lebih panjang.Hal ini disebut respon primer dan
tergantung dosis (didokumentasikan dalam 15% dari kehamilan
dengan 1 mL Rh-positif sel-sel dalam individu Rh-negatif
dibandingkan dengan 70% dari kehamilan setelah 250 mL). Sebuah
paparan ulang terhadap antigen yang sama cepat menginduksi
produksi IgG. Ini respon imun sekunder dapat diinduksi dengan
sesedikit 0,03 mL Rh-positif sel darah merah.
Resiko imunisasi Rh pasca kelahiran anak pertama dari
seoran ibu Rh- nulipara adalah 16% jika Rh+ janin kompatibel
ABO dengan ibunya, 2% jika inkompatibel, dan 2-5% setelah
aborsi. Sel darah merah ABO yang kompatibel dengan ibu akan
cepat dihancurkan dalam sirkulasi ibu, mengurangi kemungkinan
paparan sistem kekebalan ibu. Derajat sinsitisasi Rh ibu secara
langsung brekaitan dengan jumlah fetomaternal hemorrhage (yaitu,
3% dengan <0,1 mL dibandingkan dengan 22% dengan> 0,1 mL).
Setelah sensitisasi, anti-D antibodi ibu melewati plasenta
dan masu ke dalam sirkulasi janin dan meyerang antigen Rh pada
sel darah merah oleh makrofag dalam sistem retikuloendotelial,
terutama di limpa. Antibodi ini melapisi sel darah merah,
selanjutnya makrofag dan limgosit merilis enzim lisosomal yang
akan membunuh sel darah merah secara independen dari aktivasi
sistem komplemen. Retikulositosis dicatat ketika janin defisit Hb
melebihi 2 gm / dl. Hipoksia jaringan berkembang menujukkan
keparahan anemia janin. Ketika hemoglobin (Hb) tingkat turun di
bawah 8 g / dL, maka terjadi peningkatan laktat di arteri umbilical.
Bila kadar Hb turun di bawah 4g/dL, laktat vena meningkat.
Hidrops fetalis terjadi ketika janin defisit Hb melebihi 7 g / dL dan
dimulai sebagai ascites janin dan berkembang menjadi efusi pleura
dan edema general. Mekanisme yang menyebabkan hipoalbunemia
sekunder adalah penurunan fungi hati , peningkatan permeabilitas
kapiler, kelebihan zat besi mendorong hemolisis, dan peningkatan
tekanan vena karena fungsi jantung yang lemah.
Memperpanjang hemolisis akan menyebabkan anemia parah yang
menstimulasi eritropoiesis di liver, spleen, sum-sum tulang dan
daerah ekxtramedulary seperti kulit dan plasenta. Pada sebagian
besar kasus perusakan sel parenkm hati oleh sel eritroid
menghasilkan disfungi dan hipoproteinemia. Destruksi SDM akan
merilis hem yang diubah menjadi bilirubin yang tidak terkonjugasi.
Hiperbilirubinemia terjadi hanya saat bayi baru lahir karena
plasenta secara efektif memetabolisme bilirubin.
c. Perawatan Pasien
1) Stabilisasi hidropic neonatus membutuhkan perawatan
intensif yang terkoordinasi oleh sebuah tim.
2) Umumnya, langsung diintubasi diikuti dengan pengeringan
effusi pleural dan ascites sebagai upaya meningkatkan
pertukaran gas respirasi.
3) Perbaikan anemia dengan pengepakan SDM atau transfusi
diperlukan untuk mencegah overload sirkulasi.
4) Neonatus ini memiliki volume darah normal namun tekanan
vena sentral meningkat.
5) Metabolisme dipantau secara ketat (hipoglikemia,
hipokalsemia, hiperkalemia, asidosis, hipoantremia, gagal
ginjal).
d. Prognosis
Secara keseluruhan, kelangsungan hidup sekitar 85-90%
namun janin dengan hidropik lebih rendah 15%. Kebanyakan yang
selamat dari alloimmunize gestasi utuh secara neurologis. Hidrops
fetalis tampaknya tidak mempengaruhi hasil jangka panjang.
Namun kelainan neurologis telah dilaporkan berhubungan erat
dengan keparahan anemia dan asfiksia perinatal. Kehilangan
sensori pendengaran dapat sedikit meningkat.
2. Transfusi Darah
Transfusi darah adalah proses pemindahan darah dari
seseorang yang sehat (donor) ke orang sakit (resipien). Darah yang
dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah (PMI,
2007).
a. Tujuan Transfusi Darah:
1) Memelihara dan mempertahankan kesehatan donor;
2) Memelihara keadaan biologis darah atau komponen-
komponennya agara tetap bermanfaat;
3) Memelihara dan mempertahankan volume darah yang normal
pada peredaran darah (stabilitas peredaran darah);
4) Mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah;
5) Meningkatkan oksigenasi jaringan;
6) Memperbaiki fungsi Hemostatis; dan
7) Tindakan terapi kasus tertentu (PMI, 2007).
b. Jenis Transfusi Darah
1) Darah utuh (whole blood/WB)
Ada beberapa jenis WB, yaitu:
a) Sangat segar (<6 jam) mengandung eritrosit, trombosit, dan
semua faktor pembekuan darah, termasuk faktor labil (FV).
b) Segar (6-24 jam) mengandung eritrosit, trombosit, dan
semua faktor pembekuan, kecuali faktor labil (FV).
c) Simpan (24-batal simpan) mengandung eritrosit, albumin,
dan faktor pembekuan darah kecuali faktor V dan VII.
Indikasi WB untuk hipovolemia.
2) Darah endap (Packed Red Cell-PRC)
Darah endap /PRC diperoleh dari WB yang disentrifuse,
kemudian diendapkan, setelah itu plasma dipisahkan. Indikasi
untuk anemia kronis.
3) Trombosit konsentrat
Indikasi untuk perdarahan trombositopenia dan
trombositopatia, dosis 1 unit/kg BB.
4) Plasma segar beku
Indikasi untuk perdarahan defisiensi faktor pembekuan, PT
dan APTT yang kurang dari 1,5 kali normal, serta koreksi
perdarahan akibat overdosis warfarin.
5) Cryo precipitate
Indikasi untuk perdarahan akibat hemofilia, penyakit Von
Wilebrand dan afibrinogemia.
(Handayani, 2008)
PREPARAT DARAH HAPUS
I. Dasar Teori
Sedian apus darah tepi (A peripheral blood smear / peripheral
blood film) merupakan slide untuk mikroskop (kaca objek) yang pada
salah satu sisinya di lapisi dengan lapisan tipis darah vena yang diwarnai
dengan pewarnaan dan diperiksa di bawah/ dengan menggunakan
mikroskop. Pemeriksaan yang digunakan pulasan menurut prinsip
Romanowsky, yaitu dengan menggunakan pewarnaan Wright, Giemsa,
dan pulasan paduan May Grunwald & Giemsa.
II. Alat, Bahan dan Cara Kerja
1. Alat
a. Obyek glass yang bersih.
b. Spreader / penggeser.
c. Pipet darah dan pengaduk.
d. Bak pengecatan.
e. Bak pengeringan.
f. Timer.
g. Gelas ukur.
2. Bahan
a. Giemsa.
b. larutan penyangga pH 6,4 atau dengan aquadest pH 6,4.
c. Methanol ( 90 % ) untuk fiksasi
d. Darah vena atau kapiler.
3. Cara Kerja
a. Ambil obyek glass yang bersih, letakan 1 tetes darah ( tidak
melebihi 2 mm ) disisi kanan.
Gambar :
b. Sentuh tetesan darah dengan spreader, darah akan melebar
sepanjang spreader.
Gambar :
c. Dorong spreader ke arah kiri dengan sudut 450 keringkan.
Gambar :
d. Amati preparat baik bila :
1) Tipis.
2) Rata.
3) Tidak terputus – putus.
4) Ekor tidak robek.
5) Bentuk seperti peluru.
Gambar :
e. Biarkan sediaan kering di udara, beri identitas di kepala dengan
menggunakan lidi/ pensil/ label.
f. Fiksasi dengan methanol 90 % selama 10 menit ( beberapa buku
menyebutkan cukup 2 – 3 menit )
g. Preparat yang telah difiksasi digenangi larutan Giemsa selama 20
menit.
h. Bilaslah dengan air yang mengalir, keringkan di udara.
III. Pembahasan
Pada metode preparat darah apus, tidak menggunakan kriteria nilai
normal, namun menggunakan kriteria preparat apus yang baik/normal,
yaitu :
1. Tipis
2. Rata
3. Tidak terputus-putus
4. Ekor tidak robek
5. Bentuk seperti peluru
Apabila sebuah preparat darah apus memnuhi kelima syarat tersebut,
maka preparat darah apus tersebut dinyatakan normal/baik.
DAFTAR PUSTAKA
Bain, Barbara J. 2003. A – Z Haematology. Malden: Blackwell Publishing
Bastiansyah, Eko. 2008. Panduan Lengkap Membaca Tes Hasil Kesehatan.
Depok: Penebar Plus
Davey Patrick.2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga Medical Series
(EMC)
Handayani, Wiwik & Andi Sulistyo Haribowo. 2008. Buku Ajar Asuhan
Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta:
Salemba Medika
Handrawan, Nadesul. 2009. Resep Mudah Tetap Sehat. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Tambayong, Jan. Patofisiologi Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Marry Baradero dkk. 2008. Klien Gangguan Hati Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Martini, Frederic. 2009. Fundamentals of Anatomy and Physiology, 8th Edition.
USA: Pearson Benjamin Cummings
Martini, Frederic H. 2012. Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th edition.
San Francisco: Benjamin Cummings
Mehta Atul & Victor Hoffbrand. 2008. At a Glance Hematologi (Edisi Kedua).
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Murray, Robert K.; Daryl K. Granner; & Victor W. Rodwell. 2009. Biokimia
Harper, Ed.27. Jakarta: EGC
Riley, Roger S; G.Watson James; Sandra Sommer; et al. ___. How to Prepare &
Interpret Peripheral Blood Smears. Available at:
www.pathology.vcu.edu/education/PathLab/pages/hematopath/pbs.html.
Diakses pada 16 September 2012, 19:55 WIB
Rubenstein David,dkk. 2007. Lecture Notes Kedokteran Klinis (Edisi Keenam).
Jakarta : Penerbit
Sameer Wagle. Hemolytic Disease of Newborn. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/974349-overview
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem, Ed.6. Jakarta:
EGC
Sudoyo, Aru W. dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta : Interna Publishing.