Upload
widhariyani-purnomo
View
86
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan
Citation preview
BLOK DENTAL PHARMACY LAPORAN PRESENTASI KASUS
PERTIMBANGAN PEMBERIAN OBAT-OBATAN PADA PENDERITA KELAINAN ENDOKRIN
Disusun olehKelompok 4:
1. Kaisati Luthfina (G1G011018)2. Anis Syarifah (G1G011025)3. Denik Mutaqin (G1G011028)4. Aisya Erryza M (G1G011034)5. Diajeng Rita T (G1G011037)6. Rizqa Artiningsih H (G1G011038)7. Rofian Nur W (G1G011039)8. Afiya Fathina S (G1G011040)9. Arizta Rahmah P (G1G011042)10. Fadila Isnaening R (G1G011043)11. Maria Savyana S (G1G010044)
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN GIGI
PURWOKERTO
2013
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 2
C. Tujuan .............................................................................................. 2
D. Manfaat ............................................................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 4
A. Trismus ............................................................................................ 4
B. Tumor Kelenjar Tiroid ..................................................................... 9
C. Muscle Relaxant .............................................................................. 13
D. Analgesik ......................................................................................... 15
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................... 19
A. Kasus ............................................................................................... 19
B. Pembahasan ..................................................................................... 19
1. Hubungan Trismus dengan Tumor Tiroid ................................. 19
2. Terapi yang Tepat pada Kasus ................................................... 23
BAB IV PENUTUP .................................................................................... 26
A. Simpulan .......................................................................................... 26
B. Saran ................................................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 27
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme Kerja AINS ............................................................. 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nyeri merupakan suatu perasaan yang tidak nyaman dimana perasaan ini
sebenarnya bersifat subyektif dengan respon individual yang sangat bervariasi.
Nyeri dapat dibagi menjadi beberapa jenis yaitu nyeri ringan, nyeri ringan
yang menahun, nyeri yang hebat, dan nyeri hebat yang menahun. Nyeri juga
dapat dibedakan menjadi nyeri nosiseptif, nyeri neuropatik, dan nyeri
psikogen, nyeri inilah yang seringkali menjadi keluhan utama pasien sehingga
datang ke dokter ataupun dokter gigi (Dewoto, 2006).
Nyeri dalam lingkup kedokteran gigi yang paling sering dikeluhkan di
daerah orofacial. Salah satu penyebab nyeri adalah adanya karies dimana
karies merupakan suatu penyakit jaringan keras yang terjadi akibat adanya
demineralisasi mineral email dan dentin, serta kavitasi. Akhirnya, infeksi
pulpa dentis dapat terjadi apabila lesi karies berlanjut, lalu selanjutnya akan
menyebabkan pulpitis akut. Kerusakan pulpa pada stadium ini akan bersifat
irreversible dan akan timbul nyeri hebat yang kontinyu dan menusuk – nusuk
(Isselbacher, dkk, 1999). Selain keadaan nyeri karena karies, nyeri juga dapat
disebabkan karena adanya suatu keadaan dimana rahang terasa terkunci dan
tidak dapat dibuka, hal ini dikarenakan adanya spasme pada muskulus
masetter. Keadaan ini disebut dengan trismus. Keadaan ini tidak termasuk ke
dalam golongan penyakit namun lebih terhadap manifestasi klinis dari sebuah
penyakit, contohnya pada penyakit tetanus (Behrman dkk, 1999). Spasme otot
merupakan kontraksi otot involunter yang nyeri sehingga menyebabkan
gerakan involunter. Muscle relaxant dapat digunakan dalam penanganan
masalah ini, atau obat pelemas otot. Obat-obat golongan ini bekerja selektif di
sistem saraf pusat, tujuan utam penggunaan obat ini adalah merelaksasi otot,
dimana mekanisme kerjanya mungkin dapat diakibatkan karena adanya
aktivitas depresi, untuk obat yang sekarang tersedia hanya dapat mengurangi
nyeri karena spasme, tetapi kurang efektif untuk memperbaiki fungsi otot
yang terganggu (Setiawati dan Gan, 2009).
Nyeri sangat mengganggu bagi rata-rata orang, sehingga mereka akan
mencari pengobatan. Obat untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri
tanpa menghilangkan kesadaran disebut dengan analgesik. Analgesik terbagi
menjadi analgesik narkotik dan analgesik non narkotik. Analgesik narkotik
merupakan obat yang memiliki daya penghalang rasa nyeri yang besar dengan
titik tangkap yang terletak di pusat, obat ini masuk ke dalam golongan obat
narkotik. Obat ini memiliki efek adiksi. Sedangkan obat non narkotik sendiri
dapat juga digologkan dalam Non Steroid Anti Inflamation Drug (NSAID)
umumnya menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang dapat digunakan
dalam pengobatan gigi dan prosedur bedah minor, episiotomy, dan masalah
pada punggung bagian bawah (Muttaqin, 2008). Analgesik dapat ditunjang
kerjanya oleh muscle relaxant.
Tumor kelenjar tiroid merupakan lesi dengan batas yang jelas, soliter yang
terkadang disertai fibrosis, perdarahan dan kalsifikasi, Nodul ini tidak terasa
sakit dan sebagian bersifat nonfungsional . Menurut Otto (2003) Pengobatan-
pegobatan yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah ini antara lain
tiroidektomi total, terapi Ablasi Iodium Radioaktif, Terapi Supresi L-Tiroksin,
dan langkah terakhir dilakukan evaluasi. Perlu diketahui adanya interaksi
antara penggunaan analgesik dan muscle relaxant dengan obat-obatan atau
terapi-terapi yang dilakukan untuk mengobati tumor kelenjar tiroid ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana hubungan trismus dengan tumor kelenjar tiroid yang diderita
oleh pasien pada kasus?
2. Penatalaksanaan apa yang tepat untuk diberikan kepada pasien dalam
kasus tersebut?
C. Tujuan
1. Mengetahui hubungan trismus dengan tumor kelenjar tiroid yang diderita
oleh pasien pada kasus.
2. Memilih penatalaksanaan yang tepat untuk diberikan kepada pasien dalam
kasus.
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat memahami hubungan antara trismus dengan tumor
kelenjar tiroid yang diderita oleh pasien pada kasus.
2. Mahasiswa dapat menentukan penatalaksanaan yang tepat untuk diberikan
kepada pasien dalam kasus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Trismus
1. Gambaran Umum
Dhanrajani (2002) menjelaskan trismus sebagai ketidakmampuan
membuka mulut. Trismus juga sebagai tanda adanya gangguan motorik
pada nervus trigeminus khususnya spasme otot mastikasi dan sebagai gejala
awal adanya tetanus. Trismus diketahui berpotensi menyebabkan beberapa
gangguan lainnya baik mencakup gangguan bersifat non-progresif maupun
yang membahayakan nyawa. Trismus dapat menjadi indikasi kondisi
patologis dari otot-otot pengunyahan (masseter, temporalis atau otot
pterigoid) pada pasien yang sedang menjalani prosedur perawatan gigi,
bedah mulut, dan terapi radiasi untuk mengobati kanker kepala dan leher.
Kondisi hipomobilitas membuka mulut dapat menyebabkan degenarasi otot
dan kontraktur jaringan ikat atau pemendekan jaringan ikat karena kontraksi
yang terus terjadi yang kemudian menyebabkan atrofi kedua pada otot
(Shulman, 2008).
Djikstra (2005) menyebutkan insidensi trismus ditemukan sebesar 2%
pada pasien dengan pertumbuhan tumor kepala-leher dan dianggap sebagai
gejala awal tumor nasofaring sebesar 5%. Pasien anak dengan diagnosis
tumor nasofaring sebanyak 36% mengalami trismus saat pemeriksaan dan
pada pasien dengan diagnosis tumor parafaringeal maligna tercatat sebesar
55% yang mengalami trismus ketika diagnosis dilakukan. Catatan tambahan
menyebutkan bahwa trismus dapat diinduksi oleh perawatan bedah maupun
radioterapi pada kasus tumor jinak daerah kepala dan leher sebesar 8%.
Pelaporan insiden trismus disebutkan bervariatif mengingat tidak adanya
standar umum diagnosis trismus.
2. Diagnosis
Dhanrajani (2002) menyebutkan pembukaan normal rongga mulut secara
vertikal dianggap normal ketika berkisar antara 40-60 mm meskipun
beberapa ahli ada pula yang menyebutkan angka 35 mm sebagai batas
minimalnya. Pengukuran pembukaan rongga mulut dapat dilakukan
menggunakan jari tangan ataupun penggaris tertentu. Pengukuran
menggunakan jari tangan berpatokan pada lebar indeks jari secara horizontal
sebesar 17-19 mm sehingga pembukaan normal mulut dianggap antara 2
lebar jari (40 mm) sampai 3 lebar jari (54-57 mm). Bukti terkini
menunjukkan adanya pengaruh gender dimana untuk membuka mulut
secara vertikal maka secara umum laki-laki akan lebih besar. Pembukaan
normal mulut secara lateral disebutkan berkisar antara 8-12 mm.
Diagnosis trismus hingga kini memiliki patokan ukuran yang berbeda-
beda. Diagnosis trismus secara umum ada yang menyebutkan pembukaan
mulut kurang dari 20 mm ataupun pembukaan mulut kurang dari 40 mm.
Djikstra (2005) menyebutkan ketika mengacu pada hasil penelitian Thomas
(1988) kondisi trismus kategori ringan dicirikan dengan pembukaan mulut
>30 mm, trismus kategori sedang disebutkan berkisar antara 15-30 mm dan
untuk kategori trismus parah disebutkan <15 mm sementara pada Sakai, dkk
(1988) yang menyebutkan pembukaan mulut sebesar >30 mm termasuk
kategori normal, trismus sedang berkisar 20-30 mm dan untuk kategori
trismus berat sebesar <10 mm namun pada literatur ini tidak menyebutkan
kategori kondisi trismus ketika pembukaan mulut tercatat sebesar 10-20
mm.
Djikstra (2005) menjelaskan bahwa trismus akan mengganggu
pembukaan mulut, menggigit, mengunyah, berbicara, tertawa dan pada
kasus yang parah dapat menyebabkan tingkat kebersihan rongga mulut.
Penggunaan protesa pada pasien edentulous akan mempengaruhi insidensi
trismus pula dimana kemungkinannya menjadi lebih besar dan pembukaan
yang mungkin dilakukan lebih kecil. Kelompok pasien dengan gangguan
pada TMJ, maka fungsi pergerakan mandibulanya hanya tersisa sekitar 5%.
3. Etiologi
Menurut Dhanrajani (2002), bahwa etiologi dari trismus secara umum
terbagi menjadi dua yaitu intra-artikular dan ekstra-artikular. Penjelasan
untuk keduanya yaitu :
a. Intra-Artikular
1) Ankilosis
2) Artitis sinovitis
3) Kondisi patologis pada meniskus
b. Ekstra-Artikular
1) Infeksi
Terbatasnya pembukaan rahang merupakan tanda dari adanya
infeksi pada daerah mastikasi. Trismus dapat dikarenakan adanya
infeksi gigi yang harus dievaluasi secara sistemik sehingga dapat
meminimalisasi potensi membahayakan hidup. Infeksi yang dapat
menyebabkan trismus adalah infeksi odontogenik dan non
odontogenik. Infeksi odontogenik berdasar asalnya terbagi menjadi 3
yaitu pulpa, periodontal dan perikoronal. Infeksi jenis ini pada
sebagian besar kasus disebabkan oleh adanya erupsi gigi molar ketiga
dan beberapa kasus menyebutkan infeksi odontogenik juga akan
melibatkan otot-otot mastikasi. Infeksi jenis ini susah untuk ditelusuri
karena dapat menyebar pada berbagai area kepala dan leher yang
kemudian berpotensi menimbulkan komplikasi serius seperti sellulitis
pada leher atau medianitis. Infeksi jenis non odontogenik yang dapat
menyebabkan trismus meliputi tonsillitis, tetanus, meningitis, abses
parotid dan abses pada otak (Dhanrajani, 2002).
2) Trauma
Dhanrajani (2002) menjelaskan adanya fraktur pada mandibula
dapat menyebabkan terbatasnya pembukaan rahang. Backland (1988)
dalam Dhanrajani (2002) menjelaskan trauma dapat ditemukan ketika
adanya kerusakan jaringan seperti pada cedera, penggunaan anastesi
umum dan prosedur perawatan gigi yang kompleks seperti kasus
ekstraksi yang membutuhkan waktu lama. Trismus dapat digolongkan
sebagai suatu trauma pada sendi temporomandibular dimana tercatat
dari 779 pasien terdapat sebesar 33,4% pasien menderita trismus
setidaknya selama 1 minggu. Kasus trismus yang termasuk jarang
ditemukan adalah ketika terjadi trauma pada arkus zigomatikus dan
kompleks maksila-zigomatikus yang akan mengganggu pergerakan
prosessus koronoideus.
3) Perawatan Gigi
Dhanrajani (2002) menyebutkan adanya operasi ataupun perawatan
tertentu pada daerah rongga mulut dapat menghasilkan adanya
pembatasan pembukaan rahang. Ekstraksi gigi merupakan salah satu
perawatan yang dapat menyebabkan terjadinya trismus sebagai hasil
dari adanya inflamasi yang melibatkan otot mastikasi maupun trauma
langsung pada sendi temporomandibular (TMJ). Trismus juga sering
dijumpai selama 2-5 hari sebagai efek dari anastesi pada blok
mandibula. Hal tersebut biasanya terjadi karena adanya
ketidaktepatan posisi jarum suntik ketika memberikan anastesi blok
nervus inferior.
4) Temporomandibular joint disorders (TMD)
Gangguan pada sendi temporomandibular ini memiliki bermacam
subkategori yang beberapa diantaranya berkaitan dengan trismus.
Gangguan sendi temporomandibular dapat dibagi menjadi dua jenis
yaitu ekstra-kapsular (utamanya miofasial) dan intra-kapsular
(mencakup disk displacement, arthritis, fibrosis dan lainnya). Jenis
intra-kasular sering diakibatkan karena adanya trauma dimana dapat
ditemukan nyeri ketika dipalpasi pada daerah lateral hingga kapsul
sendi. Clicking yang terjadi dapat mengindikasi terjadinya anterior
disc displacement dimana perawatan dengan analgesik tidak
dibutuhkan. Kondisi seperti adanya fibrosis maupun hyperplasia pada
kondilus yang bersifat unilateral membutuhkan perawatan dan
konsultasi operasi.
Dhanrajani (2002) menambahkan kecurigaan terhadap adanya
trauma pada daerah TMJ perlu dilakukan ketika didapat pasien
berumur muda yang mengalami disfagia dan trismus namun tidak
memiliki etiologi infeksius yang serius. Adanya perubahan posisi
meniscus dari area anteromedial menuju kondil dapat menyebabkan
kondisi akut rahang terkunci dengan kemampuan membuka rahang
berkisar antara 20-25 mm dimana biasanya pasien memiliki riwayat
clicking paroxysmal dan beberapa kondisi tidak nyaman lainnya.
5) Tumor dan Keganasan
Trismus sangat jarang ditemukan sebagai gejala dari tumor
nasofaringeal ataupun infratemporalis maupun fibrosis dari insersi
tendon temporalis yang menyebabkan keterbatasan pergerakan
rahang. Namun, ditemukan kasus trismus akibat adanya fibrosis pada
jaringan submukosa di kavitas oral yang nantinya dapat
mengakibatkan kesulitan membuka mulut (Dhanrajani, 2002).
6) Obat-Obatan
Dhanrajani (2002) menyebutkan bahwa terdapat beberapa obat
yang dapat menyebabkan trismus sebagai efek kedua penggunaan
obat seperti succinyl choline, phenothiazines dan tricyclic
Antidepressant sementara obat yang berefek samping menimbulkan
trismus diantaranya metaclopramide, phenothiazines dan lain-lain.
7) Radooterapi dan Kemoterapi
Radioterapi dan kemoterapi dapat menyebabkan stomatitis,
osteoradionekrosis, dan fibrosis yang dapat menyebabkan trismus.
8) Kongenital
Dhanrajani (2002) menjelaskan bahwa terdapat beberapa pelaporan
kasus insidensi trismus karena hipertrofi pada prosessus koronoideus
yang menyebabkan adanya penghalangan prosessus koronoideus
terhadap margin anteromedial arkus zigomatikus. Gejala trismus
pseudo-camptodastili adalah abnormalitas yang jarang terjadi pada
tangan, kaki, dan mulut disertai adanya trismus.
9) Bermacam-macam Gangguan
Dhanrajani (2002) menyebutkan bahwa hysteria (psikogenik),
lupus eritematosus dan lain-lain dapat menyebabkan trismus.
4. Perawatan
Perawatan trismus dilakukan berdasar etiologinya. Trismus yang
disebabkan oleh adanya perawatan gigi karena anastesi blok seuperior
alveolar atau inferior alveolar sering ditemukan meskipun tingkat
ketidaknyamanan dan disfungsi yang ada bervariasi namun biasanya
tergolong kategori ringan. Pasien yang ketika dianamnesis menyatakan
kondisi tersebut maka perlu dilakukan perjanjian perawatan yang meliputi:
terapi panas, analgesik, diet lunak dan jika diperlukan penggunaan muscle
relaxant dimana hal ini untuk mengatasi spasme otot yang terjadi secara
dini.
Terapi panas dilakukan dengan menempatkan handuk panas pada area
yang terkena selama 15-20 menit setiap jamnya. Aspirin merupakan obat
yang sering digunakan dalam kasus trismus sebagai antiinflamasinya. Rasa
ketidaknyamanan yang semakin sering/kuat maka perlu dilakukan
pemberian obat analgesik tipe opioid dan ketika benar-benar diperlukan
dapat dilakukan pemberian diazepam (2,5-5 mg, 3 kali sehari) atau
benzodiazepine sebagai muscle relaxant. Pasien yang telah melewati fase
akut maka pasien akan disarankan untuk menjalani fisioterapi membuka dan
menutup mulut serta gerak lateral mandibula selama 5 menit setiap 3-4
jamnya. Pengunyahan permen dengan kandungan gula rendah adalah teknik
lain untuk melatih gerak lateral TMJ. Kondisi trauma yang terdapat pada
pasien atau kecurigaan ketika pasien memiliki letak trigger tertentu pada
kasus TMD perlu mendapat catatan khusus di rekam medis.
B. Tumor Kelenjar Tiroid
1. Gambaran Umum
Berdasarkan Otto (2003), tumor adalah penyakit pertumbuhan sel, terdiri
dari sel-sel yang mempunyai bentuk, sifat dan kinetika berbeda dari sel
normal asalnya, serta pertumbuhannya yang liar, autonom dan terlepas dari
kendali pertumbuhan sel normal. Sel normal dibagi ke dalam tiga kategori
utama pertumbuhan sel yaitu:
a. Statis (tidak membelah), yaitu sel yang tidak terus membelah setelah
periode pascaembrionik. Kerusakan yang terjadi pada sel ini maka tidak
bisa diganti, contohnya sel saraf dan sel otak.
b. Membesar (istirahat), yaitu sel yang dapat membesar dan akan berhenti
pada pencapaian ukuran normal, dimana sel ini dapat memasuki siklus
sel kembali serta membelah selama waktu keutuhan fisiologis. Contoh
sel ini yaitu sel hati, sel ginjal dan sel kelenjar endokrin.
c. Memperbarui diri (terus membelah), yaitu sel yang memiliki aktifitas
reproduksi tinggi, mempunyai masa hidup dan terus bereplikasi
menggantikan sel yang mati. Contohnya yaitu sel darah.
Kelenjar tiroid adalah organ endokrin yang terletak di sekitar leher
manusia dan memiliki dua buah lobus yang keduanya dihubungkan oleh
istmus tipis dibawah kartilago krikoidea di leher. Kelenjar tiroid berfungsi
sebagai penghasil hormon tiroid thyroxine (T4) dan triiodothyronine
(Djokomoeljanto, 2009).
Tumor atau adenoma kelenjar tiroid merupakan massa yang soliter
(tunggal) dan diskrit (multipel). Nodul ini tidak terasa sakit dan sebagian
bersifat nonfungsional. Adapun adenoma yang dapat menyebabkan
tirotoksikosis dan menjadi prekursor kanker. Penyebab timbulnya nodul ini
disebabkan oleh produksi hormon tiroid yang berlebihan namun sebagian
besar adenoma tiroid dapat disembuhkan. Sebanyak 5-10% dari nodul tiroid
yang ditemukan di klinik bersifat ganas, oleh karena itu perlu cara deteksi
kanker yang mungkin ditemukan untuk menghindari pembedahan atau
tindakan lain yang tidak perlu pada sebagian besar kasus nodul tiroid.
Antara nodul tiroid jinak dan ganas sulit dibedakan secara klinis
(Tambayong, 2000).
2. Morfologi
Tumor tiroid merupakan lesi dengan batas yang jelas, soliter yang
terkadang disertai fibrosis, perdarahan dan kalsifikasi. Tumor dipisahkan
dengan jelas dari parenkim di sekitarnya oleh kapsula fibrosa dan menekan
kelenjar disekitarnya sehingga tidak terlihat multinodularis (berbeda dengan
gondok). Secara mikroskopis, sel yang membentuk tumor tiroid sering
membentuk folikel yang seragam dan berisi koloid. Perbedaan tumor tiroid
dengan gondok ialah pola pertumbuhan folikuler (Mitchell, 2008).
3. Etiologi
Penyebab timbulnya suatu nodul pada kelenjar tiroid belum diketahui,
namun lingkungan, genetik, dan proses autoimun dianggap merupakan
faktor penting dalam timbulnya tumor ini. Proses pertumbuhan sel-sel
folikel menjadi nodul masih belum dimengerti. Berikut ini beberapa
kemungkinan yang dapat memicu tumor khususnya tumor tiroid menurut
Masjhur (2009), yaitu:
a. Terapi radiasi yang dilakukan pada anak-anak.
b. Riwayat keluarga.
c. Kurangnya yodium dalam diet dapat menyebabkan kelenjar tiroid untuk
mengembangkan nodul.
4. Patofisiologi
TSH berperan penting dalam patogenesis adenoma. Mutasi somatik
pengaktif pada satu dari dua komponen dalam sistem penyampaian sinyal
(reseptor TSH atau subunit-α) menyebabkan stimulasi kronik cAMP
sehingga sel-sel kelebihan pertumbuhan. Keadaan ini mengakibatkan di
dalam adenoma folikuler terjadi ekspansi klonal sel-sel spesifik yang dapat
menghasilkan hormon tiroid dan menyebabkan kelebihan hormon tiroid.
50%-75% mutasi cAMP adalah penyebab adenoma kelenjar tiroid yang
berfungsi secara otonom. Tidak banyak diketahui tentang patogenesis
adenoma nonfungsional (Mitchell, 2008).
5. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada kasus yang jinak biasanya tidak diketahui.
Sebagian besar kasus ditemukan pada saat melakukan pemeriksaan lain,
contohnya pemeriksaan rutin dengan radiografi. Nodul pada kelenjar tiroid
yang masih jinak biasanya timbul benjolan tanpa atau dengan rasa nyeri
yang dapat berpindah tempat. Tanda dan gejala yang timbul pada kasus
tumor tiroid biasanya terdapat benjolan pada kelenjar tiroid yang
menyebabkan pasien merasakan sakit saat menelan. Benjolan ini lembut
dan padat ataupun keras dan padat (Masjhur, 2009).
6. Pengobatan
Sebelum pengobatan dilakukan, perlu adanya anamnesa. Anamnesa
merupakan bagian penting dalam menegakkan diagnosis. Ahli endokrin
sebagian besar sepakat menggunakan Biopsi Aspirasi Jarum Halus
(BAJAH) sebagai langkah diagnostik awal dengan ketepatan diagnosis
berkisar antara 70%-80%. Teknik BAJAH ini dinilai aman, murah, dapat
dipercaya dan dapat dilakukan terhadap pasien rawat jalan dengan resiko
yang sangat kecil. Ketepatan diagnosis BAJAH dapat ditingkatkan bila
sebelum biopsi dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG). USG akan
memberikan informasi tentang morfologi kelenjar tiroid (Masjhur, 2009).
Tindakan pengobatan yang dapat dilakukan untuk mengobati tumor kelenjar
tiroid menurut Otto (2003), antara lain sebagai berikut:
a. Tiroidektomi total yaitu mengangkat sebanyak mungkin jaringan tumor.
b. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif, terapi ini diberikan pada pasien yang
sudah menjalani tiroidektomi total dengan maksud mematikan sisa sel
kanker post operasi dan meningkatkan spesifisitas sidik tiroid untuk
deteksi kekambuhan atau penyebaran kanker. Terapi ablasi tidak
dianjurkan pada pasien dengan tumor soliter berdiameter kurang dari
1mm, kecuali ditemukan adanya penyebaran.
c. Terapi Supresi L-Tiroksin, supresi terhadap TSH pada kanker tiroid
pascaoperasi harus dipertimbangkan karena adanya reseptor TSH di sel
kanker tiroid akan merangsang pertumbuhan sel-sel ganas yang tertinggal
dan pada jangka panjang (7-15 tahun) bisa menyebabkan gangguan
metabolisme tulang dan bisa meningkatkan risiko patah tulang.
d. Evaluasi keberhasilan terapi yang dilakukan memerlukan evaluasi secara
berkala, agar dapat segera diketahui adanya kekambuhan atau
penyebaran. Monitor standar untuk hal ini adalah sintigrafi seluruh tubuh
dan pemeriksaan tiroglobulin serum. Pemeriksaan USG dan pencitraan
lain seperti CT scan, rontgen dada dan MRI tidak secara rutin
diindikasikan. Sintigrafi seluruh tubuh dilakukan 6-12 bulan setelah
terapi ablasi pertama.
C. Muscle relaxant
Mascle relaxant atau obat pelemas otot adalah bahan aktif yang secara
farmakologinya tidak homogen (heterogen) dan efek farmakologi yang terpusat
pada corda spinalis, medulla oblogata, dan serebrum yang berpengaruh pada
serat-serat otot (Meleger, 2006). Menurut Setiawati dan Gan (2011), obat
relaksan otot diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu:
1. Menghambat transmisi neuromuskular
Neuromuskuler blocker pertama kali dikenalkan pada awal 1940-an
yang menandai masa baru dalam anastesi atau praktek bedah. Obat
golongan ini berkerja dengan cara mengganggu sambungan neuroskeletal.
Obat ini akan menimbulkan interaksi jika diberikan besama dengan obat
trimetafan, analgesik opiat, prokain, lidokain, kuinidin, fenitoin,
propanolol, kortikosteroid, glikosida jantung, klorokuin, katekolamin,
diuretik, fenelzin, klindamisin, dan peptida (Meleger, 2006). Menurut
Setiawati dan Gan (2011), mekanisme kerja dari obat ini dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Obat penghambat kompetitif yang menstabilkan membran
(nondepolarisasi)
Penghambatan nondepolarisasi adalah antagonis kompetitif pada
reseptor nicotinik. Salah satu golongan obat penghambat kompetitif
yang menstabilkan membran adalah d-tubokurarin. D-tubokurarin
adalah zat aktif yang diisolasi dari kurare. Kurare adalah nama-nama
generik dari bermacam-macam racun panah yang digunakan oleh
masyarakat Amerika Serikat untuk berburu (Setiawati dan Gan, 2011).
Obat nondepolarisasi akan melakukan pemblokiran neuromuskular
dengan cara menurunkan kemampuan ACh untuk membuka ligand-
gated, saluran kation dalam otot rangka dan akhirnya akan
mengakibatkan kelumpuhan. Agen nondepolarisasi akan bersaing
dengan ACh, sehingga menyebabkan ACh akan naik konsentrasinya.
Hal ini akan meyebabkan penghambatan AchE, AchE berperan untuk
menghidrolisis ACh.
b. Obat penghambat secara depolarisasi presisten
Golongan obat penghambat transmisi neuromuskular dengan cara
menduduki dan mengaktifkan reseptor nicotinus untuk jangka waktu
yang lama, sehingga terjadi blokade oleh agen depolarisasi. Agen
depolarisasi yang sering digunakan untuk penggunaan klinis adalah
suksinilkolin. Suksinilkolin pertama kali diketahui efeknya 40 tahun
setelah penelitian pertama dengan menggunakan hewan yang telah
dilumpuhkan dengan kurare. Senyawa suksinilkolin akan mengikat dan
mengaktifkan reseptor nicotinik otot dengan cara yang sama dengan
Ach (Meleger, 2006). Menurut Setiawati dan Gan (2011),
penghambatan neuromuskular dengan suksinilkolin terjadi dalam dua
tahap yaitu:
1) Fase I, pada fase ini suksinilkolin akan melakukan penghambatan
dengan cara menimbulkan depolarisasi presisten pada lempeng
syaraf. Obat ini berkerja agonis dengan ACh bedanya obat ini tidak
segera dipecah seperti ACh. Hambatan yang akan terjadi sama saja
dengan pemberian ACh dalam dosis yang sangat besar. Pada
awalnya depolarisasi lokal (endplate potensial, EPP) akan
menghasilkan MAP (muscle action potential) yang menyebabkan
fasikulasi otot selintas. Membran otot akan mengalami akomodasi
terhadap rangsangan yang presisten dari EPP sehingga tidak lagi
membentuk MAP.
2) Fase II, pada fase ini membran otot mengalami repolarisasi tetapi
membran otot masih tidak responsif yag mencerminkan keadaan
peka terhadap reseptor kolinergik nicotinat. Fase ini berlangsung
dalam keadaan yang sama dengan yang menghasilkan agen
nonpolarisasi yaitu menjadi responsif konsentrasi ACh yang tinggi
dan dapat dibalik dengan ACh inhibibitor.
Menurut Setiawati dan Gan (2011), Indikasi dalam pengunaan obat ini
yaitu:
a. Pendukung dalam anastesi.
b. Pasien yang memerlukan ventilator seperti pasien dengan
bronkospasme, pneumonia berat, PPOK.
c. Reposisi pada saat patah tulang atau reposisi sendi.
d. Pencegahan terauma pada terapi syok dengan listrik.
e. Sebagai alat diagnosa deteksi rasa nyeri akibat kompresi akar syaraf.
2. Pelemas otot yang berkerja sentral
Golongan obat pelemas otot yang berkerja sentral memiliki kerja yang
selektif di sistem syaraf pusat terutama yang digunakan untuk mengurangi
rasa nyeri akibat spasme otot. Spasme otot adalah kontraksi otot involunter
yang terasa nyeri dan dapat menyebabkan gerakan involunter yang dapat
menganggu fungsi dan menyebabkan distorsi. Spasme otot ditandai dengan
peningkatan refleks regangan tonus, spasme otot fleksor dan disertai
kelemahan otot. Spastisitas merupakan ciri dari kondisi neurologik
misalnya sklerosis multiple, cerebral palsy, cidera otak dan stroke, atau
adanya lesi pada spinal. obat yang terkenal dalam kelompok ini adalah
baklofen, tizanidin, siklobenzapin, mefenasin, metokarbamol, stiramat,
glisin, riluzol, idrosilamid, klorzoksazon, karisoprodol, metaksalon,
mefenoksalon (Setiawati dan Gan, 2011).
D. Analgesik
Analgesik berasal dari bahasa Yunani yang berupa analgia, kata ini
terbentuk dari “an” yang berarti tanpa dan “algia” yang berarti nyeri. Analgesik
adalah senyawa yang dapat mengurangi atau meredakan nyeri tanpa
menyebabkan hilangnya kesadaran (Dorland, 2011). Gunawan (2011)
menjelaskan bahwa, berdasarkan mekanisme kerja analgesik dibedakan
menjadi dua yaitu:
1. Analgesik periferal
Analgesik periferal adalah analgesik yang berkerja untuk menghambat
pelepasan mediator yang menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim
siklooksigenase dan sintesa prostaglandin menjadi terhenti.
2. Analgesik sentral
Analgesik sentral adalah analgesik yang berkerja di kornu dorsalis
medulla spinalis sehingga menyebabkan penghambatan pelepasan
neurotransmiter dan perangsangan ke saraf spinal tidak akan terjadi.
Menurut Schmitz, dkk (2008), berdasarkan efek yang didapat analgesik
dibagi menjadi dua yaitu:
1. Analgesik opioid
Analgesik opioid adalah analgesik yang memiliki sifat opium yang
berasal dari getah Papaver somniferum. Terdapat 2 golongan zat kimia yang
penting dalam analgesik opioid yaitu golongan fenamtren (morfin dan
kodein) dan golongan Benzyl-isokinolin (papaverin dan noskapin) (Dewoto,
2009). Menurut Schmitz (2008), analgesik opioid dibagi menjadi 3
golongan golongan morfin dan alkaloid alamiah lainnya, golongan opioid
semi-sintesis, dan golongan opioid sintesis. Opioid semi-sintesis adalah
golongan opioid hasil turunan dari rumus molekul morfin, contohnya adalah
heroin, kodein. Sistem saraf pusat merupakan titik tangkap dari mekanisme
kerja analgesik opioid. Opioid akan menghambat nyeri endogen yang
terutama terlokalisasi pada corda spinalis dan medulla oblogata. Opioid
memiliki empat reseptor didalam otak dan tubuh lainnya yaitu:
a. Reseptor µ (mu) yang berperan dalam efek analgetik, depresi pernafasan,
penurunan motilitas perut dan ketergatungan fisik.
b. Reseptor κ (kappa) yang mungkin menimbulkan efek-efek analgesik
spinal, miosis, dan sedasi.
c. Reseptor σ (sigma) yang berperan untuk efek-efek halusinogenik dan
perangsangan jantung.
d. Reseptor δ (delta) yang menimbulkan depresi pernafasan (Dewoto,2009)
Berdasarkan kerjanya pada reseptor opioid, obat golongan opioid dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
a. Agonis Penuh, berikatan dengan reseptor mu (µ) dan memiliki efikasi
yang tinggi. Contoh obatnya adalah Morfin, Hidromorfon, Oksimorfon,
Metadon, Meperidin, Fentanil, Levorfanol.
b. Agonis Partial bekerja dengan contoh obat yang termasuk di dalamnya
adalah Kodein, Oksikodon, Hidrokodon, Propoksifen, Difenoksilat.
c. Agonis-Antagonis, contoh obat yang termasuk di dalamnya adalah
Nalbufin, Bufrenorfin, Butorfanol, Pentazosin.
Mekanisme kerja dari golongan obat opoid yaitu dengan menghambat
pelepasan neurotransmitter pada medulla spinalis dengan mencegah
transmisi sinyal nyeri dari medulla spinalis ke sistem saraf pusat, yaitu
thalamus. cara penghambatan ini dilakukan dengan menempati reseptor di
kornu dorsalis medulla sepinalis.
Menurut Dewanto (2009), indikasi klinik penggunaan opioid yaitu:
a. Digunakan untuk terapi nyeri sedang hingga nyeri berat.
b. Digunakan untuk mengurangi cardiac perload maupun cardiac after load
sekunder terhadap vasodilatasi, dan mengurangi persepsi sesak nafas.
c. Pramedikasai anastesi.
d. Pengontrol diare.
e. Pereda batuk dengan efek antitusif.
Menurut Schmitz (2008), penggunaan obat opioid memiliki beberapa
kontra indikasi yang dibagi menjadi dua yaitu:
a. Absolut: yang meliputi udema otak, trauma tulang tengkorak-otak,
delirium tremens, insufisiensi pernafasan, asma bronkial, pankreatitis,
b. Relatif: kolik saluran empedu, sindrom pascakolesistektomi, kolitis
ulserosa, sirosis hati, penderita kejang, kehamilan, menyusui, miksudem,
penyakit addison.
2. Analgesik non-opioid
Analgesik non-opioid tidak bersifat adiktif dan kurang kuat jika
dibandingkan dengan analgesik opioid. Analgesik ini digunakan untuk
mengobati nyeri ringgan sampai nyeri sedang. Analgesik non-opioid dapat
dibeli bebas dan efektif untuk nyeri tumpul pada sakit kepala, nyeri
inflamasi, abrasi minor, nyeri otot, dan arthritis ringan sampai sedang
(Hayes dan Kee, 1996). Analgesik non-opioid memiliki beberapa fungsi
yaitu: dapat sebagai analgesik, sebagai penurun suhu (antipiretik),
antiinflamasi, antiflogistik atau antirematik. Analgesik non-opioid memiliki
efek pendarahan pada lambung hal ini dikarenakan adanya penghambatan
pada COX-2. Jenis dari analgesik non-opioid adalah golongan obat AINS,
paracetamol (Schmitz, 2009). Mekanisme kerja dari obat analgesik anti
inflamasi non steroid memiliki kesamaan dengan efek samping dan efek
terapinya pada enzim cyclooxygenase (COX) (Fajriani, 2008).
Gambar 2.1 Mekanisme kerja AINS
Golongan obat analgesik non-opioid menghambat enzim siklooksigenase
sehingga perubahan asam arakidonat menjadi PGG2 (endopiroksid) menjadi
terganggu. Enzime ini memiliki dua isoform yang disebut COX-1 dan COX-
2. COX-1 memiliki fungsi sebagai pemeliharaan berbagai jaringan
khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. COX-1 memiliki sifat
sitoproteksi terhadap lambung. COX-2 memiliki fungsi sebagai induksi
stimulus inflamator, sitokin, endotoksin, dan faktor pertumbuhan, fungsi
fisiologis dan fungsi perbaikan jaringan tubuh. Trombosit COX-1
mensintesis tromboksan A2 yang menyebabkan agregasi tombosit,
vasokontriksi, dan poliferasi otot polos, sedangkan prostasiklin yang
disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular akan menghambat efek dari
tromboksan A2 (Wilmana dan Gan, 2009).
BAB III
PEMBAHASAN
A. KASUS
Ny. Fitricia, 31 tahun datang ke klinik anda dengan keluhan giginya
berlubang hingga menyebabkan nyeri yang sangat hebat. Ketika akan
dilakukan pemeriksaan intra oral ternyata pasien mengalami kesulitan
membuka mulut. Pembukaan mulut hanya kurang lebih 2 jari. Tidak ada tanda-
tanda pembengkakan di ekstra oral. Anda memutuskan untuk memberikan obat
analgesik dan muscle relaxant untuk pasien tersebut. Dari anamnesa lebih
lanjut diketahui bahwa pasien sedang dalam terapi radiasi untuk kondisi tumor
kelenjar tiroid.
B. PEMBAHASAN
1. Hubungan Trismus dengan Tumor Tiroid
Pasien Fitricia mengeluhkan bahwa ia merasa nyeri akibat adanya gigi
berlubang. Setelah pemeriksaan ternyata didapatkan manifestasi yang serupa
dengan gejala trismus. Trismus merupakan keadaan sulit membuka mulut
sebagai akibat dari adanya gangguan motorik pada nervus trigeminus
khususnya adanya kejang otot mastikasi (masseter, temporalis atau otot
pterigoid) yang dapat dianggap juga sebagai gejala awal adanya tetanus.
Trismus diketahui berpotensi menyebabkan beberapa gangguan lainnya baik
itu mencakup gangguan yang bersifat non-progresif hingga yang
membahayakan nyawa (Dhanrajani dan Jonaidel, 2002).
Kondisi hipomobilitas untuk membuka mulut dapat menyebabkan
degenarasi otot dan kontraktur jaringan ikat atau pemendekan jaringan ikat
karena kontraksi yang terus terjadi yang kemudian menyebabkan atrofi pada
kedua otot (Shulman dkk., 2008). Insidensi trismus ditemukan sebesar 2%
pada pasien dengan pertumbuhan tumor kepala-leher dan dianggap sebagai
gejala awal tumor nasofaring sebesar 5%. Pasien anak dengan diagnosis
tumor nasofaring sebanyak 36% mengalami trismus saat pemeriksaan dan
pada pasien dengan diagnosis tumor parafaringeal maligna tercatat sebesar
55% yang mengalami trismus ketika diagnosis dilakukan. Catatan tambahan
menyebutkan bahwa trismus dapat diinduksi oleh perawatan bedah maupun
radioterapi pada kasus tumor jinak daerah kepala dan leher sebesar 8%.
Pelaporan insiden trismus sangat bervariatif karena tidak terdapat standar
umum diagnosis trismus (Djikstra dkk., 2005).
Cara yang digunakan untuk mendiagnosis adanya trismus dapat
dilakukan dengan mengecek kemampuan pasien untuk membuka mulut.
Terdapat berbagai referensi yang mengklasifikasikan trismus berdasarkan
kemampuan membuka mulut. Berbagai referensi tersebut menyebutkan
berbagai ukuran yang berbeda. Dhanrajani dan Jonaidel (2002)
menyebutkan pembukaan normal rongga mulut secara vertikal dianggap
normal antara 40-60 mm meskipun beberapa ahli ada yang menyebutkan 35
mm sebagai batas minimalnya. Pengukuran pembukaan rongga mulut dapat
dilakukan menggunakan jari tangan ataupun penggaris tertentu. Pengukuran
menggunakan jari tangan berpatokan pada lebar indeks jari secara horizontal
sebesar 17-19 mm sehingga pembukaan normal mulut dianggap antara 2
lebar jari (40 mm) sampai 3 lebar jari (54-57 mm). Bukti terkini
menunjukkan adanya pengaruh gender dimana secara umum laki-laki lebih
besar untuk membuka mulut secara vertikal. Pembukaan normal mulut
secara lateral disebutkan berkisar antara 8-12 mm. Disebutkan pada kasus
bahwa pasien hanya dapat membuka mulut secara vertikal kurang dari dua
jari sehingga pada kasus ini pasien dapat dikatakan mengalami trismus.
Djikstra, dkk (2005) menjelaskan bahwa trismus akan mengganggu
pembukaan mulut, menggigit, mengunyah, berbicara, tertawa dan pada
kasus yang parah dapat menyebabkan rendahnya tingkat kebersihan rongga
mulut. Diketahui pada kasus bahwa pasien kesulitan membuka mulut dan
merasakan nyeri yang hebat dan pada kasus ini pembukaan mulut bertujuan
untuk mengetahui apakah terdapat karies gigi yang menjadi keluhan utama
pasien atas rasa nyeri yang dia rasakan. Trismus yang dialami pasien
memiliki beberapa penyebab. Menurut Dhanrajani dan Jonaidel (2002)
penyebab dari trismus diantaranya perawatan gigi, tumor keganasan,
radioterapi dan kemoterapi.
Diketahui pada kasus, pasien mengalami tumor tiroid. Tumor ini dapat
menjadi salah satu faktor penyebab trismus. Trismus sangat jarang
ditemukan sebagai gejala dari tumor nasofaringeal ataupun infratemporalis
maupun fibrosis dari insersi tendon temporalis yang menyebabkan
keterbatasan pergerakan rahang. Namun, ditemukan kasus trismus akibat
adanya fibrosis pada jaringan submukosa di kavitas oral. Hal tersebut akan
memucatkan mukosa dan mempengaruhi kemampuan berbicara melalui
pembatasan pergerakan lidah dan palatum molle (Dhanrajani dan Jonaidel,
2002).
Radioterapi digunakan pada kasus untuk menghilangkan atau
menyembuhkan tumor tiroid, sehingga kemungkinan terjadinya trismus
disebabkan karena adanya radioterapi dan kemoterapi. Hal ini dikarenakan
adanya radioterapi atau kemoterapi dapat menyebabkan stomatitis yang
nantinya menimbulkan ketidaknyamanan bagi pasien, adanya rasa sakit,
trismus dan kesulitan dalam menelan. Komplikasi yang dapat timbul akibat
terapi diantaranya osteoradionekrosis yang kemudian menimbulkan rasa
sakit, trismus, supurasi, dan terkadang kerusakan pada fungsi penciuman.
Penyinaran yang dilakukan pada daerah otot mastikasi dapat menimbulkan
fibrosis yang kemudian berkembang menjadi trismus. Trismus dan fibrosis
yang terjadi dapat menimbulkan iskemik karena adanya endarteritis.
Trismus juga dapat timbul sebagai efek pasca radiasi perawatan gigi.
Peminimalisasian efek radiasi pada daerah kepala dan leher dapat dilakukan
dengan penggunaan protective stents, pelatihan rahang dan penggunaan
hiperbarik oksigen untuk meningkatkan neovaskularisasi (Dhanrajani dan
Jonaidel, 2002).
Kondisi sistemik yang perlu di perhatikan pada pasien menurut kasus
yaitu adanya tumor kelenjar tiroid setelah dilakukan anamnesa yang lebih
lanjut. Tiroid berasal dari bahasa Yunani, thyreoide, dari kata thyreos yang
berarti perisai dan eidos yang berarti bentuk (Dorland, 2010). Tiroid
merupakan kelenjar yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh tubuh
karena kelenjar ini menghasilkan hormon triiodotironin (T3) dan
tetraiodotironin (T4) yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan normal, suhu tubuh normal, dan pemeliharaan seluruh
jaringan tubuh. Hormon tiroid sangat berpengaruh bagi saraf, skeletal, dan
jaringan reproduktif. Efeknya bergantung pada sintesis protein dan aksi
hormon pertumbuhan. Jumlah hormon tiroid di dalam tubuh akan
mempengaruhi keberadaan hormon-hormon lain seperti hormon
pertumbuhan. Kekurangan hormon tiroid akan mempengaruhi hormon
pertumbuhan sehingga terjadi kretinisme atau kerdil apabila hipotiroid
terjadi pada usia muda (usia pertumbuhan). Selain kretinisme
ketidakseimbangan hormon tiroid dapat menyebabkan hiperaktivitas sistem
saraf simpatis dan hiperaktivitas epinefrin yang menyebabkan tremor,
keringat berlebihan, kecemasan, dan kegugupan (Katzung, 2002).
Tidak ditemukan adanya tanda-tanda pembengkakan akibat tumor
tersebut. Tumor merupakan suatu penyakit yang berhubungan dengan
pertumbuhan sel yang berbeda dengan sel normalnya. Sel normal tersebut
dibagi menjadi tiga golongan dalam kasus ini tumor kelenjar tiroid masuk
kedalam golongan sel yang ke dua, yaitu sel yang dapat membesar dan akan
berhenti membelah pada ukuran pencapaian normal (Otto, 2003). Menurut
Masjhur (2009) tumor ini termasuk ke dalam tumor jinak karena tidak
adanya tanda-tanda pembengkakan pada ekstra oralnya, walaupun tidak
semua tumor jinak tidak menimbulkan gejala adanya suatu pembengkakan.
Pasien dalam kondisi ini biasanya akan merasakan kesulitan dalam menelan.
Pada kasus telah dijelaskan bahwa pasien sedang mengalami terapi
radiasi sebagai upaya penanggulangan tumor kelenjar tiroid. Kondisi
tersebut dapat dijadikan suatu pertimbangan dalam melakukan pemeriksaan
lebih lanjut maupun dalam pemberian obat. Terapi radiasi biasanya
dilakukan setelah adanya pengangkatan sebanyak mungkin jaringan tumor
atau biasa disebut juga dengan tiroidektomi. Contoh terapi yang dilakukan
yaitu terapi Ablasi Iodium Radioaktif yang dilakukan untuk mematikan sisa
sel kanker pasca operasi juga untuk meningkatkan spesifisitas sidik tiroid
untuk deteksi kekambuhan atau penyebab kanker. Terapi ini dilakukan
setelah pasien melakukan tiroidektomi, tetapi tidak dianjurkan bagi pasien
dengan tumor soliter yang memiliki diameter kurang dari 1mm. Terapi yang
dapat dilakukan tidak hanya terapi Ablasi Iodium Radioaktif, yaitu terapi
Supresi L-Tiroksin, terapi ini dapat dilakukan pasca operasi tetapi terapi ini
dapat merangsang pertumbuhan sel ganas yang tertinggal dalam jangka
panjang, hal ini disebabkan adanya supresi terhadap TSH (Otto, 2003).
Perawatan gigi pada daerah yang mengalami kasus trismus ini perlu
dihindari hingga gejala menghilang dan pasien telah merasa nyaman.
Namun pada kasus perawatan gigi yang memang dibutuhkan maka ketika
terdapat gigi yang terinfeksi penatalaksanaan anastesi lokal akan sulit
dilakukan. Penggunaan anastesi blok nervus pada kondisi mulut tertutup
biasanya akan membantu menyembuhkan disfungsi motoris dan pasien akan
mampu membuka dan mengikuti perawatan yang seharusnya. Pasien dengan
kasus trismus yang melakukan perawatan sesuai uraian diatas, akan
mengalami peningkatan kondisi dalam jangka waktu 48 jam dan terapi yang
ada harus terus dilakukan hingga gejalanya menghilang. Apabila rasa sakit
dan disfungsi terus berlanjut hingga kurun waktu 48 jam, dapat
diindikasikan terdapat infeksi yang terjadi sehingga diperlukan pemberian
antibiotik dengan kurun waktu 7 hari (Dhanrajani dan Jonaidel, 2002).
2. Terapi yang Tepat pada Kasus
Terapi medikamentosa yang tepat untuk pasien Fitricia, sesuai dengan
Dhanrajani dan Jonaidel (2002), adalah analgesik dan muscle relaxant.
Aspirin merupakan salah satu dari golongan obat anti-inflamasi yang paling
sering digunakan dalam kasus trismus. Analgesik Narkotika atau Opioid
dapat diberikan apabila nyeri masih tetap dirasakan atau semakin
meningkat. Obat yang dapat digunakan dari golongan analgesik lemah
narkotika adalah Kodein. Sebagai penunjang kerja obat utama, dalam kasus
ini adalah analgesik, muscle relaxant golongan diazepam dapat
ditambahkan. Muscle relaxant berperan penting dalam kasus ini sebagai
usaha penghilang sumber sakit utama pasien dalam kesulitan dalam
membuka mulut karena tegang otot mastikator.
Efek samping dari penatalaksanaan terapi radiasi pasien adalah eritema
pada kulit, kerusakan kelenjar keringat, kerontokan rambut, radiodermatitis
bulosa, dermatitis, penurunan jumlah sel-sel darah seperti limfosit,
granulosit, trombosit dan eritrosit, anoreksia, mual, muntah, diare, karies
gigi, sariawan, mulut kering atau xerostomia, masalah pada tulang,
persendian dan jaringan lunak (Fithrony, 2012).
Indikasi obat muscle relaxant adalah untuk pengobatan jangka pendek
pada gejala ansietas, sebagai terapi tambahan untuk meringankan spasme
otot rangka karena inflamasi atau trauma, digunakan untuk meringankan
gejala-gejala pada penghentian alkohol akut dan premidikasi anestesi.
Kontra indikasi obat muscle relexant adalah penderia hipersensitif, bayi
dibawah 6 bulan, wanita hamil dan menyusui, depress pernapasan,
glaukoma sudut sempit, gangguan pulmoner akut, keadaan phobia.
Perhatian penggunaan obat ini adalah usia lanjut, epilepsi, penyakit
kardiovaskular, hati atau ginjal, depresi napas, miastenia greavis, reaksi
silang dengan aspirin. Efek sampingnya mengantuk, pusing, amnesia,
gangguan penglihatan, hipotensi, ketergantungan, agranulositosis, reaksi
alergi.
Dilihat dari kontra indikasi obat muscle relaxant, aspirin tidak dapat
dipilih karena kontra indikasi dengan muscle relaxant. pilihan lain selain
aspirin untuk analgesik adalah Ibuprofen. Ibuprofen tergolong dalam
Analgesik NSAID yang aman untuk pasien. Obat muscle relaxant akan
membantu mengurangi rasa nyeri, sehingga tingkat nyeri akan menurun.
Pemilihan obat analgesik NSAID yaitu Ibuprofen dapat dikatakan aman jika
diberikan bersamaan dengan Diazepam.
Ibuprofen dengan merek dagang Anafen. Indikasi obat demam, nyeri
ringan sampai sedang, nyeri pasca operasi, rheumatoid juvenilis, nyeri otot.
Kontra indikasi dengan hipersensitivitas terhadap AINS lain dan aspirin,
tukak peptic, asma, rhinitis, urtikaria, hamil trimester 3. Perhatian pada
riwayat GI bagian atas (tukak peptic), gangguan ginjal, hipertensi atau
kondisi lain yang dapat menyebabkan retensi cairan tubuh, gangguan
koagulasi darah, asma, hamil trimester 1, 2 dan laktasi, anak di bawah 6
bulan. Efek samping obat adalah gangguan GI, ruam kulit, bronkospasme,
trombopenia, limfopenia, penglihatan kabur atau menurun. Interaksi obat
dengan warfarin, furosemid, tiazid dan asetosal.
Diagnosa karies oleh dokter belum ditegakkan karena keadaan pasien
tidak memungkinkan untuk dilakukan pemeriksaan intra oral. Rencana
dokter dengan pemberian muscle relaxant bertujuan untuk mengobati
masalah kesulitan membuka mulut pasien terlebih dahulu. Barulah langkah
berikutnya dapat dilakukan pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan oral sangat
penting untuk penegakkan diagnosa karies pada gigi pasien. Hal ini sesuai
dengan penelitian Fithrony (2012) yang menunjukkan adanya penurunan
curah saliva akibat dari terapi radiasi tumor kelenjar tiroid yang dilakukan
pasien. Curah saliva dapat berkurang 50% pada minggu pertama setelah
dilakukannya terapi radiasi. Berkurangnya jumlah saliva di rongga mulut
dapat menyebabkan pH rongga mulut menurun. Penurunan pH ini dapat
memicu terjadinya karies gigi.
BAB IV
SIMPULAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan laporan kasus di atas adalah
pasien mengalami trismus yang ditandai dengan ketidakmampuannya dalam
membuka mulut..Trismus ini dapat diakibatkan oleh terapi radiasi yang
sedang dijalani oleh pasien untuk mengatasi penyakit tumor kelenjar tiroid
yang dideritanya.. Pasien diberikan obat analgesik berupa ibuprofen untuk
meredakan nyeri yang mungkin disebabkan karena adanya infeksi yang terjadi
pada gigi maupun nyeri yang mungkin disebabkan karena rasa sakit yang
disebabkan oleh trismus yang dialaminya. Pasien juga diberikan obat muscle
relxant berupa diazepam untuk meredakan spasme otot yang diberikan secara
bersamaan dengan obat analgesiknya. Pemberian obat analgesic dan muscle
relaxant tidak menimbulkan efek yang berarti pada pasien tumor tiroid yang
disertai dengan trismus.
B. Saran
1. Mahasiswa harus memahami karakteristik penggolongan obat analgesik
dan muscle relaxant sehingga dapat dilakukan pemilihan terapi yang
tepat
2. Mahasiswa dalam memilih perawatan gigi dan mulut harus hati-hati
ketika melakukan penatalaksanaan penyakit sistemik mengingat adanya
kemungkinan interaksi obat
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, Arvin, 1999, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II E/15, (diterjemahkan oleh: Wahab, A., S.), EGC, Jakarta.
Dewoto, H., R., 2006, Nyeri Pada Sistem Muskuloskeletal, http://kurfak2005.fk.ui.ac.id/hrd_nyeri%20_muskuloskeletal.pdf, diakses pada 14 September 2013.
Dewoto, H. R., 2009, Analgesik Opoid dan Antagonis, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.
Djokomoeljanto, R., 2009, BukuA jar Ilmu Penyakit Dalam: Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme dan Hipertiroidisme, Interna publishing, Jakarta.
Dorland, W.A.N., 2010, Kamus Kedokteran Dorland, Edisi 31, EGC, Jakarta.
Dorland, W. A. N., 2011, Kamus Saku Kedokteran, edisi. 28, (diterjemahkan oleh: Albertus A), EGC, Jakarta.
Fajriani, 2008, Pemberian Obat-Obatan Antiinflamasi Non Steroid (AINS) pada Anak, Indonesian Journal of Dentistry, nomor 3, volume 15, halaman 200-204.
Fithrony, M. T., 2012, Pengaruh Radioterapi Area Kepala dan Leher Terhadap Curah Saliva, Skripsi, Universitas Dipenogoro, Semarang.
Gulmez, SE., Celik, G., Misirligil, Z., Tulunay, FC., 2007, Dipyrone Improves Small Airway Function in Asthmatic Patients With Moderate Obstruction, Journal Investig Allergol Clin Immunol, nomor.4, volume. 17, halaman 242-248.
Gunawan, R., 2011, Perbandingan Efek Parasetamol 1gr/6 jam Intervena dan Ketoralak 30 mg/6 jam Intravena Untuk Penanganan Nyeri Paska Pembedahan Seksio Sesaria dengan Anastesi Regional Blok Subaraknoid, Tesis, Program Magister Klinik-Spesialis Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.
Gustiaty, Y., 2011, Penatalaksanaan Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Jepang 2011 Hubungannya dengan Odontogram, Skripsi, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanudin, Makasar.
Harty, F.J dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, (diterjemahkan oleh: Sumawinata, N), EGC, Jakarta.
Hayes, E. R., Kee, J. L., 1996, Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan, (diterjemahkan oleh:Yasmin Asih), EGC, Jakarta.
Isselbacher L., J., Braunwald, E., dkk, 1999, Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam Vol 1 E/13, (diterjemahkan oleh: Asdic, A., H.), EGC, Jakarta.
Katzung, B.G., 2002, Farmakologi Dasar dan Klinik, Buku 2, Edisi 8, Salemba Medika, Jakarta.
Kidd, E. A. M., 1991, Dasar-Dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya, (diterjemahkan oleh: Sumawinata, N., Yuwono, L), EGC, Jakarta.
Masjhur, J.S., 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Nodul Tiroid, Interna Publishing, Jakarta.
Meleger, A. L., 2006, Muscle Relaxants and Antispasticity Agents, Physical Medicine and Rehabilitation Clinic of North America, Volume 17, Halaman 401-413.
Mitchell, R.N., 2008, Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins & Cotran, EGC, Jakarta.
MIMS, 2013, Edisi 14, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Muttaqin, A., 2008, Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan, Salemba Medika, Jakarta.
Otto, S.E., 2003, Buku Saku Keperawatan Onkologi, EGC,Jakarta.
Schmitz, G., Farmakologi dan Toksikologi, (diterjemahkan oleh: Joseph I.S., Amilia H.), edisi 3, EGC, Jakarta.
Setiawati, dan Gan., S., 2009, Farmakologi dan Terapi, Balai Penerbit UI, Jakarta.
Setiawati, A. dan Sulistia, G., 2011, Pelumpuh Otot dan Pelemas Otot, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.
Sumawinata, N, 2003, SenaraiIstilah Kedokteran Gigi: Inggris Indonesia, EGC, Jakarta.
Tambayong, J., 2000, Patofusiologi Untuk keperawatan, EGC, Jakarta.
Wilmana, P. F., Gan, S., 2009, Analgesik-Antipiretik, Analgesik Antiinflamasi Non Steroid, dan Obat Gangguan Sendi Lainnya, Gunawan, S.G, Farmakologi dan Terapi, edisi.5, Balai penerbit FKUI, Jakarta.