63
 Pendahuluan Penyakit Saraf dan Otot adalah merupakan bagian dari penyakit saraf yang disebabkan terganggunya fungsi saraf tepi atau otot. Untuk memahami penyakit tersebut perlu dikuasai anatomi, fisiologi, biokemistri dan farmakologi sistem saraf baik pusat maupun tepi. Susunan Saraf Pusat terdiri dari Otak dan Medula Spinalis sedangkan Susunan Saraf Tepi terdiri dari sel saraf dan serabut-serabutny a yang dapat berasal dari otak seperti saraf kepala (saraf kranialis) atau medula spinalis seperti radiks dan nervi spinales. Anatomi Saraf Tepi yang termasuk saraf kepala meliputi 1. n. olfaktorius 2. n. optikus 3. n. oftalmikus 4. n. trokhlearis 5. n. trigeminus 6. n. abduscens 7. n. fasialis 8. n. v estibulocochlear is 9. n glossofaringeus 10.n. vagus 11.n. accessorius 12. n. hipoglosus Saraf Tepi yang termasuk saraf spinales kebanyakan bergabung menjadi satu sehingga dikenal sebagai nervi servikales, nervi torakales, nervi lumbales, dan nervi sakrales. Gabungan saraf tepi semacam ini disebut juga pleksus, sehingga dikenal pleksus servikotorakales (gabungan radiks C1-8 dan T1) dan pleksus lumbosakrales (gabungan radiks L1-5 dan S1-5). Patomekanisme Gangguan faal pada saraf tepi dapat berasal dari gangguan biokemistri seperti terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, inflamasi (radang), proses keganasan, trauma dan lain sebagainya. Untuk mempercepat hantaran impuls yang berupa muatan listrik dari proksimal ke distal serabut saraf (akson) mempunyai selubung yang disebut mielin. Mielin diproduksi oleh sel Schwann yang membalut akson dan pada titik tertentu mempunyai takik yang disebut nodus Ranvier. Adanya nodus Ranvier memungkinkan hantaran listrik meloncat sehingga lebih cepat sampai ke efektor (serabut saraf eferen), atau sebaliknya dari reseptor lebih cepat sampai ke sentral (serabut saraf aferen). Tidak semua serabut saraf bermielin, ada juga serabut saraf yang kecil dan

Laporan Refreshing

Embed Size (px)

DESCRIPTION

h

Citation preview

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    1/63

    Pendahuluan

    Penyakit Saraf dan Otot adalah merupakan bagian dari penyakit saraf yang

    disebabkan terganggunya fungsi saraf tepi atau otot. Untuk memahami penyakit

    tersebut perlu dikuasai anatomi, fisiologi, biokemistri dan farmakologi sistem sarafbaik pusat maupun tepi. Susunan Saraf Pusat terdiri dari Otak dan Medula Spinalis

    sedangkan Susunan Saraf Tepi terdiri dari sel saraf dan serabut-serabutnya yang

    dapat berasal dari otak seperti saraf kepala (saraf kranialis) atau medula spinalis

    seperti radiks dan nervi spinales.

    Anatomi

    Saraf Tepi yang termasuk saraf kepala meliputi

    1. n. olfaktorius

    2. n. optikus

    3. n. oftalmikus

    4. n. trokhlearis

    5. n. trigeminus

    6. n. abduscens

    7. n. fasialis

    8. n. vestibulocochlearis

    9. n glossofaringeus

    10.n. vagus

    11.n. accessorius12. n. hipoglosus

    Saraf Tepi yang termasuk saraf spinales kebanyakan bergabung menjadi satu

    sehingga dikenal sebagai nervi servikales, nervi torakales, nervi lumbales, dan nervi

    sakrales. Gabungan saraf tepi semacam ini disebut juga pleksus, sehingga dikenal

    pleksus servikotorakales (gabungan radiks C1-8 dan T1) dan pleksus lumbosakrales

    (gabungan radiks L1-5 dan S1-5).

    Patomekanisme

    Gangguan faal pada saraf tepi dapat berasal dari gangguan biokemistri seperti

    terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, inflamasi (radang), proses keganasan,

    trauma dan lain sebagainya.

    Untuk mempercepat hantaran impuls yang berupa muatan listrik dari proksimal ke

    distal serabut saraf (akson) mempunyai selubung yang disebut mielin. Mielin

    diproduksi oleh sel Schwann yang membalut akson dan pada titik tertentu

    mempunyai takik yang disebut nodus Ranvier. Adanya nodus Ranvier memungkinkan

    hantaran listrik meloncat sehingga lebih cepat sampai ke efektor (serabut saraf

    eferen), atau sebaliknya dari reseptor lebih cepat sampai ke sentral (serabut saraf

    aferen). Tidak semua serabut saraf bermielin, ada juga serabut saraf yang kecil dan

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    2/63

    pendek tidak bermielin dan saling menghubungkan sesama sel saraf di otak. Pada

    penyakit saraf tepi kerusakan dapat terjadi pada akson, disebut aksonopati, atau

    pada mielin (mielinolisis) dan kombinasi keduanya dapat saja terjadi. Pada gangguan

    di akson, proses kesembuhan berlangsung lama, tidak demikian halnya bila pada

    mielin lebih besar kemungkinan cepat kembali seperti semula.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    3/63

    BAB II

    PENYAKIT-PENYAKIT GANGGUAN SARAF TEPI

    I. SINDROMA GUILLAIN BARRE

    2.1. Definisi

    Sindroma Guillain Barre, adalah polineuropati yang menyeluruh , dapat

    berlangsung akut atau subakut, mungkin terjadi secara spontan atau sesudah suatu

    infeksi. Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita

    penyakit ini dan pada pemeriksaan patologis tidak ditemukan tanda radang.

    Sindroma Guillain-Barre (SGB) mempunyai banyak sinonim, antara lain polyneuritis

    akut pasca-infeksi, polineuritis akut toksik, polyneuritis febril, poli radikulopati dan

    acute ascending paralysis. Ditandai dengan kelemahan motorik progresif dan

    arefleksia. Biasanya juga disertai dengan abnormalitas fungsi sensorik otonom dan

    batang otak. Gejala-gejala tersebut biasanya adalah gejala yang mengikuti demam

    dan atau penyakit yang disebabkan oleh virus.

    Penjelasan mengenai suatu penyakit ini pertama kali dipublikasikan oleh

    Landry pada tahun 1859. Oster menguraikannya lebih detil dengan apa yang ia

    sebut sebagai febril polyneuritis pada tahun 1892. Pada tahun 1916, Guillain,

    Barre, dan Strohl memperluas deskripsi klinis SGB dan pertama sekali

    mengemukakan penilaian melalui cairan serebrospinal (CSF), disosiasi

    albinositologik (peningkatan protein CSF terhadap hitung sel CSF normal ).

    Penilaian CSF digabungkan dengan gejala-gejala klinis tertentu, akan mengarah

    kepada poliradiopati demielinisasi yang membedakannya dengan poliomyelitis dan

    neuropati lainnya.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    4/63

    2.2. Epidemiologi

    Di Amerika Serikat : insiden SGB per tahun berkisar antara 0,4 2,0 per

    100.000 orang, tidak diketahui jumlah kasus terbanyak menurut musim yang

    ada di Amerika Serikat

    Internasional : angka kejadian sama yakni 1 3 per 100.000 orang

    per tahun di seluruh dunia untuk semua iklim dan sesama suku bangsa,

    kecuali di China yang dihubungkan dengan musim dan infeksi Campylobacter

    memiliki predileksi pada musim panas.

    Dapat mengenai pada semua usia, terutama puncaknya pada usia dewasa

    muda. Dapat juga terjadi pada usia tua, yang diyakini disebabkan oleh

    penurunan mekanisme imunosupresor.

    Perbandingan antara pria dan wanita adalah 1,25 : 1

    Berkaitan dengan faktor resiko genetik yaitu FcRIIa-H131 dan alel

    homozigot (vs R131)

    2.3. Etiologi

    Dahulu, sindrom ini diduga disebabkan oleh infeksi virus. Tetapi akhir-akhir

    ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut

    sekarang adalah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune

    responde maupun immune mediated process.

    Sindrom terlihat dicetuskan oleh infeksi virus atau bakteri akut, seperti

    infeksi saluran pernapasan atau infeksi saluran gastrointestinal yang muncul 1 atau

    3 minggu sebelumnya. Antibodi yang dihasilkan pada saat infeksi menyerang

    selubung myelin yang melapisi sel-sel neuron dan kemudian menyebabkan

    paralysis, kelemahan otot dan kelemahan fungsi sensoris. Sindrom ini dapat pula

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    5/63

    didahului oleh vaksinasi, kehamilan, atau setelah pembedahan pada bulan sebelum

    terjadinya sindrom.

    Klasifikasi:

    Acute inflammatory demyelinating polyneuropathy (AIDP) gangguan

    terutama terjadi berupa kerusakan selubung saraf myelin dari sel.

    Miller Fisher syndrome (MFS) adalah jenis yang jarang karena berupa

    kelumpuhan yang menurun dari atas ke bawah jadi kebalikan dari GBS.

    Mula-mula otot mata yang terserang sehingga terjadi trias ophthalmoplegia,

    ataxia, dan areflexia. Antibodi Anti-GQ1b sering dijumpai pada 90% kasus.

    Acute motor axonal neuropathy (AMAN),[8] atau Chinese Paralytic

    Syndrome, menyerang motorik yaitu pada nodes of Ranvier dan banyak

    (prevalen) di China dan Mexico. Merupakan serangan auto-immune pada

    axoplasm saraf tepi. Sering terjadi pada musim tertentu dan penyembuhan

    lebih cepat. Pada pasen akan terdapat anti-GD1a antibodi[9]. Antibody

    Anti-GD3 banyak dijumpai pada AMAN.

    Acute motor sensory axonal neuropathy (AMSAN) serupa dengan AMAN hanya

    juga disertai serangan pada serabut saraf sensorik dengan kerusakan

    aksonal. Seperti AMAN juga disebabkan serangan oto imun terhadap

    aksoplasma saraf tepi. Penyembuhan lambat dan inkomplit.

    Acute panautonomic neuropathy imerupakan jenis yang jarang dari GBS

    sering disertai ensefalopati dengan mortalitas yang tinggi. Kematian

    disebabkan pembesaran jantung dan disritmia, gangguan berkeringat dan

    kekurangan air mata. Fotofobia, keringnya rongga hidung dan mukosa

    mulut, gatal, mual dan muntah sering terjadi dan disfagia. Konstipasi juga

    dapat terjadi yang tidak hilang dengan laksan. Dan bisa pula berganti

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    6/63

    dengan diare. Gejala awal biasanya lelah dan lemas seperti lethargy,

    fatigue, sakit kepala, dan menurunnya kemauan, malas, lalu diikuti

    gangguan otonomik seperti pusing bila berdiri, mata kabur, nyeri perut,

    diare, mata kering, dan gangguan kencing. Yang paling sering adalah pusing

    bila berdiri, gangguan gastrointestinal dan kencing dan gangguan

    berkeringat.

    Bickerstaffs brainstem encephalitis (BBE), jenis lain dari Guillain-Barr

    syndrome. Ditandai oleh acute onset ophthalmoplegia, ataxia, gangguan

    kesadaran, hyperreflexia or Babinskis sign (Bickerstaff, 1957; Al-Din et

    al.,1982). Perjalanan penyakit monofasik atau sering relaps. Gangguan

    patologi terutama di batang otak, pons, midbrain, dan medulla. Meski pada

    fase awal terlihat parah prognosis bai

    2.4. Patofisiologi

    Terjadi reaksi inflamasi (infiltrat) dan edema pada saraf yang terganggu.

    Infiltrat terdiri dari atas sel mononuclear. Sel-sel infiltrate terutama terdiri dari sel

    limfosit berukuran kecil, sedang, dan tampak pula mikrofag serta sel

    polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel

    mast. Seranut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal.

    Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversible dan

    menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakam perwujudan reaksi

    imunopatologik walaupun segenap radiks terkena, namun yang berada di

    intumesensia servikalis dan lumbosakralis paling berat mengalami kerusakan

    keadaan patologik itu dikenal sebagai poliradikulopatia atau polyneuritis post

    infeksiosa. Atau lebih dikenal sebagai Sindroma Gullain Barre.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    7/63

    2.5. Gambaran Klinis

    Tanda dan gejala kelemahan motorik terjadi dengan cepat, tetapi

    progresifitasnya akan berhenti setelah berjalan selama 4 minggu, lebih kurang 50%

    akan terjadi kelemahan menjelang 2 minggu, 80% menjelang 3 minggu, dan lebih

    dari 90% selama 4 minggu.

    Pasien dengan SGB dijumpai adanya kelemahan disertai dengan diestesia,

    perasaan kebas, geli pada ekstremitas, kelemahan ini terutama pada otot-otot

    proksimal, kaki lebih sering terkena dibandingkan lengan. Parestesia terjadi

    menjalar secara proksimal tetapi jarang meluas melewati pergelangan tangan dan

    pergelangan kaki. Refleks tendon melemah, bahkan bisa menghilang dalam

    beberapa hari perjalanan penyakit.

    Kelumpuhan terjadi secara simetris lebih dari satu anggota gerak, jarang

    yang asimetris. Kelumpuhan dapat ringan dan terbatas pada kedua tungkai saja dan

    dapat pula terjadi paralysis total keempat anggota gerak terjadii secara cepat,

    dalam waktu kurang dari 72 jam. Keadaan ini disebut sebagai ascending paralysis.

    Gejala motorik biasanya timbul lebih awal daripada gangguan sensorik

    Biasanya terdapat gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan

    kaus kaki, tetapi kadang-kadang gangguan tampak segmental, otot-otot proksimal

    dan distal terganggu dan reflek tendon menghilang. Nyeri bahu dan punggung

    biasanya ditemukan.

    Nervi kraniales dapat terkena. Kelemahan otot wajah terjadi pada 50%

    kasus dan sering bilateral. Saraf kranialis lainnya dapat pula terkena,khususnya

    yang mengurus lidah, otot-otot menelan, dan otot-otot motorik ekstra ocular.

    Terlibatnya nervi kraniles dapat merupakan awal sindrom Guillain-Barre.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    8/63

    Fungsi saraf autonom dapat pula terganggu. Takikardia, aritmia jantung,

    hipotensi postural, hipertensi, atau gejala gangguan vasomotor dapat melengkapi

    gejala dan tanda klinik sindrom ini.

    Proses penyembuhan biasanya dimulai setelah 2-4 minggu terhentinya

    progesifitas klinik. Namun demikian, proses penyembuhan bisa tertunda selama 4

    bulan. Secara klinis banyak penderita yang bisa sembuh secara fungsional.

    2.6. Diagnosa

    1. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang terdiri dari

    kelemahan motorik (terutama bagian proksimal) yang meluas ke atas,

    arefleksia, gangguan sensorik bagian distal yang ringan, dan kelemahan otot

    wajah bilatelar (merupakan petunjuk penting).

    2. Punksi lumbal biasanya menunjukkan peningkatan protein dalam cairan

    serebrospinal tanpa disertai peningkatan jumlah leukosit yang bermakna.

    Pada saat awal, protein dalam cairan serebrospinal dapat normal tetapi

    meningkat dalam beberapa hari. Dijumpai peningkatan protein > 0,55 g/dL,

    tanpa pleositosis ( jumlah sel-sel abnormal dari CSF).

    3. Pengobatan beratnya kelemahan motorik pada SGB tidak dapat dipastikan

    pada awal penyakit. Oleh karena itu, dokter harus mengenal penderita

    polyneuritis inflamatorik akut dan melakukan pemantauan fungsi pernafasan

    dengan teliti, termasuk analisa gas darah serta kapasitas vital paru hungga

    kelemahan motorik mencapai titik terendah (menetap). Hal ini merupakan

    hal yang penting.

    4. Elektrodiagnostik (EMG) memberikan tanda-tanda demielinisasi yabg

    terlihat dari masa laten yang memanjang, penurunan kecepatan hantaran

    saraf, blok hantar saraf (conduction blok) atau disperse temporal, dan

    gelombang F (F-wave) yang hilang atau memanjang. Kelainan hantar saraf

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    9/63

    paling dini tampak setelah 3 10 hari dan terdiri dari F-wave yang

    melambat karena terkenanya radiks , didikuti kemudian oleh adanya

    tempat-tempat yang cenderung terkena kompresi yang menyebabkan

    terjadinya suatu blok hantar saraf (conduction blok) dan lalu mengenai

    badan sarafnya sendiri yang terlihat dari penurunan kecepatan hantar saraf

    yang menunjukkan adanya suatu demielinisasi.

    2.7. Diagnosa Banding

    Peradangan akut/kronis demielinisasi poliradikuloneuropati

    Sindrom, Kauda Equina

    Sindrom Konus Medullaris

    HIV-1 dengan peradangan kronis demielinisasi poliradikulopati

    HIV-1 dengan nyeri polineuropati sensorimotor distal

    HIV-1 dengan mononeuropati multiple

    HIV-1 dengan komplikasi neuromuscular

    HIV-1 dengan poliradikulopati progresif

    HIV-1 dengan mielopati

    Penyakit Lynne

    Myastenia Gravis

    Neuropati toksik

    Keracunan organophospat

    2.8. Pemeriksaan

    1. Diagnosa didasarkan atas adanya gejala kelemahan ascenden dengan

    arefleksi. Pemeriksaan punksi lumbal, elektrodiagnosis, atau kadang MRI

    hanya sebagai pendukung diagnosis

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    10/63

    2. Khas pada pemeriksaan punksi lumbal atas dugaan demielinisasi ( yakni

    peningkatan protein) tanpa disertai adanya tanda infeksi aktif (kurangnya

    pleositosis LCS), merupakan temuan Guillain Barre.

    Nilai NCS bisa saja normal dalam 2 minggu ke atas sejak adanya

    gejala, dan kadang proteinnya bisa jadi tidak bertambah tinggi

    dalam 1 minggu.

    Sebagian besar pasien memiliki leukosit di bawah 10 per cc, tapi

    kadang ditemukan sedikit meningkat (10-50 per cc).

    3.

    Kriteria terjadinya kegagalan nafas pada SGB :

    Kapasitas vital < 1L ; diperlukan observasi di ICU

    33% memerlukan intubasi

    Indikasi intubasi:

    - Kapasitas vital < 12-15 ml/Kg, khususnya dengan derajat

    cepat

    - Inspirasi paksa negative ; 25 cmH2O

    - Hipoxemia ; PaO2 80mmHg

    - Kesulitan sekresi

    - Waktu onset ; 7 hari

    Waktu bernafas ; 50% < 3 minggu

    Kadang-kadang berhubungan dengan aspirasi

    2.9. Terapi

    Pengobatan SGB terdiri dari 2 komponen, yaitu pengobatan secara suportif

    dan terapi khusus. Pengobatan secara suportif tetap merupakan terapi yang utama,

    jika pasien sebelumnya melewati fase akut pada penyakit, kebanyakannya akan

    mengalami kesembuhan. Bagaimanapun, neuropati dapat memburuk dengan cepat

    dan diperlukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik dalam 24 jam selama

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    11/63

    onset gejala. Oleh karena itu, semua pasien SGB harus diterima di Rumah Sakit

    untuk diobservasi tertutup untuk kedaruratan system respirasi pasien, disfungsi

    kranialis, dan ketidakstabilan system autonom. Disfungsi system saraf autonom

    dapat bermanfestasi ; tekanan darah yang berubah-ubah, disritmia,

    psudoobstruktif gastrointestinal dan retensi urin. Profilaksis untuk trombosis vena

    dalam harus tersedia karena pasien seringkali tidak dapat bergerak selama

    beberapa minggu.

    Pada depresi otot pernafasan harus dipertimbangkan persiapan intubasi.

    Pasien tidak sanggup untuk menunjukkan fungsi minimal paru memerlukan intubasi.

    Penilaian ulang frekuensi pernafasan dengan tes fungsi paru untuk progresi yang

    cepat sangat diperlukan. Perkiraan tambahan untuk ventilasi mekanik selanjutnya

    adalah :

    Waktu dari onset SGB sampai masuk RS kurang dari 7 hari

    Ketidaksanggupan untuk mengangkat siku atau kepala dari tampat tidur

    Tidak sanggup berdiri

    Peninggian kadar enzim hati

    Nyeri dan stress psikologi juga harus diobati. Terapi psikologis termasuk

    memijat dengan lembut, latihan pergerakan secara pasif dan sering merubah posisi

    dapat meringankan nyeri. Karbamazepin (tegretol) dan Gabapentin (nerontin) telah

    digunakan sebagai tambahan untuk menghilangkan nyeri pada SGB. Pada pasien

    dengan paralysis memiliki jiwa yang was-was dan takut. Menenangkan pasien dan

    diskusi tentang fase penyakit dan perbaikan dapat membantu mengurangi stress

    psikologi.

    Belum ada drug of choice yan tepat untuk SGB. Yang diperlukan adalah

    kewaspadaan terhadap kemungkinan memburuknya situasi sebagai akibat

    perjalanan klinik yang memberat sehingga mengancam otot-otot pernafasan.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    12/63

    Pasien yang tidak mampu bergerak atau dengan berbagai derajat disfungsi

    otot-otot respirasi harus mendapatkan terapi aktif dengan plasmapharesis atau

    immunoglobulin secara intravena (IVIg). Plasmapharesis menggunakan suatuplasma

    exchange lebih kurang 20 L (200-250 mL/Kg selama beberapa hari) secara

    bermakna menurunkan lama dan beratnya disability pada pasien SGB, namun

    beberapa penyelidikan terbaru juga memperlihatkan keuntungan dari IVIg.

    The Dutch Guillain-Barre Study Group mengemukakan pengobatan dengan

    IVIg (400mg/KgBB selama 5 hari) sama atau malahan lebih superior dibandingkan

    dengan plasma exchange.Penyelidikan-penyelidikan yang lain kurang meyakinkan

    dan mengemukakan kemungkinan terjadinya relaps pada pasien dengan pemberian

    IVIg dibandingkanplasma exchange.

    IVIg merupakan pengobatan lini pertama yang lebih praktis yang tidak

    diragukan lagi kemanjurannya dengan komplikasi yang rendah, dan mudah

    digunakan, namun sangat mahal biayanya. Plasma exchange memerlukan tenaga

    yang terlatih dan peralatan yang tidak selalu dapat tersedia dengan biaya yang

    juga mahal, namun lebih murah dibandingkan dengan IVIg. Tidak ada studi tentang

    keuntungan menggabungkan penggunaan IVIg danplasma exchange, sehingga hanya

    salah satu terapi saja yang digunakan.

    Kerugian plasmapharesis termasuk komplikasinya jarang ditemukan, seperti

    sepsis yang diyakini dapat menyebabkan penipisan immunoglobulin. Jika plasma

    beku digunakan sebagai cairan pengganti, beresiko untuk mendapatkan virus

    seperti hepatitis dan HIV.

    IVIg memiliki efek samping dari terapi. IVIg memperluas volume plasma juga

    dapat memicu terjadinya Congestif Heart Failure (CHF) dan Renal Insuffiensi.

    Pasien-pasien dapat menjadi demam, myalgia, sakit kepala, mual, dan muntah,

    tetapi gejalaseperti influenza dapat sembuh dengan sendirinya. Pasien juga dapat

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    13/63

    mnegalami meningitis aseptic, nutropenia, dan hipertensi. Riwayat alergi

    sebelumnya terhadap penggunaan IVIg merupakan kontra indikasi pengobatan.

    Manfaat kortikosteroid untuk SGB masih controversial. Namun demikian,

    apabila keadaan menjadi gawat akibat terjadinya paralysis otot-otot respirasi maka

    kortikosteroid dosis tinggi dapat diberikan. Pemberian kortikosteroid harus diiringi

    dengan kewaspadaan terhadap efek samping yang mungkin terjadi.

    Penggunaan ventilator mekanik menjadi suatu keharusan apabila diduga

    telah terjadi paralysis otot-otot respirasi. Diperlukan rawatan intensif apabila

    didapati keadaan seperti ini.

    Apabila terjadi kelumpuhan otot-otot wajah dan menelan, maka perlu

    dipasang pipa hidung-lambung (NGT) untuk dapat memenuhi kebutuhan makanan

    dan cairan.

    Latihan dan fisioterapi sangat diperlukan untuk mempercepat proses

    pemulihan.

    2.10. Prognosis

    Prognosis akan lebih baik apabila penderita berusia muda, selama sakit

    tidak memerlukan pernafasan bantuan, perjalanan penyakit yang lebih lambat, dan

    tidak terjadi kelumpuhan total.

    Sekitar 85% pasien dengan SGB berhasil sembuh dengan penyembuhan fungsi

    dalam 6-12 bulan. Penyembuhan maksimal dalam 18 bulan setelah onset,

    bagimanapun pada beberapa pasien memiliki kelemahan yang menetap, arefleksia,

    dan parestesia. Sekitar 7-15% pasien memiliki gejala neurologist sisa yang menetap

    termasuk bilateral footdrop. Otot tangan instrinsik kebas, sensori ataxia, dan

    disestesia. Angka kematian

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    14/63

    kematian biasanya berupa sindrom distress pernafasan, sepsis, emboli paru, dan

    henti jantung.

    Faktor-faktor yang memperberat selama fase akut dari penyakit dapat

    memperburuk proses penyembuhan. Faktor-faktor ini yaitu, usia > 60 tahun, berat,

    memerlukan pernafasan bantuan. Pada umunya, prognosis yang jelek secara

    langsung berhubungan dengan beratnya episode akut dan lambatnya onset pada

    pengobatan spesifik.

    II. Polineuritis

    Definisi:

    Sindroma klinik akibat gangguan fungsi saraf tepi yang luas yang terjadi secara

    bersamaan

    Patologi :

    Degenerasi saraf tepi

    Demielinisasi selubung mielin

    Demielinisasi axon

    Etiologi :

    Toksik metal : arsen, timah, tembaga

    Bahan organik : kobalt, INH, streptomicin

    Defisiensi dan metabolik : penyakit kronik, defisiensi asam folat, DM,

    uremia

    Infeksi : dipteri, TBC, sepsis, tetanus

    Penyakit kolagen : SLE

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    15/63

    Gejala Klinik :

    Didahului ISPA

    Kelumpuhan LMN (Distal lebih berat dari proksimal)

    Gangguan sensorik berupa pola sarung tangan dan kaus kaki (stocking and

    gloves)

    Reflek tendon berkurang

    Kadang-kadang melibatkan saraf kranial

    Pemeriksaan Penunjang

    Lumbal Punksi : LCS normal

    EMG : untuk menentukan lokasi kerusakan (otot, saraf perifer, sel kornu

    anterior)

    KHS : untuk menentukan derajat kerusakan

    Diagnosis:

    Gambaran klinis

    LP : normal

    EMG : KHS menurun

    Terapi :

    Hilangkan penyebab

    Simptomatis

    Fisioterapi

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    16/63

    III. Spasmofilia

    Definisi:

    Suatu kondisi dimana saraf motorik memperlihatkan sensitivitas yang tidak normal,

    baik terhadap rangsangan mekanik maupun listrik, sehingga otot cenderung

    spasme, tetani ataupun kejang. Biasanya ditandai dengan gangguan kedutan otot,

    kram dan kejang carpopedal, jika kondisinya parah dapat menyebabkan kejang-

    kejang.

    Kondisi ini terjadi karena ketidakseimbangan elektrolit didalam darah yang bias

    karena kekurangan kalsium (Hypokalemia) atau kekurangan serum magnesium yang

    mungkin terkait dengan hiperventilasi, hipoparatiroidism, rahhitis, uremia atau

    kondisi lain

    Patogenesis:

    - Saraf mudah terangsang bila kadar Ca++, Mg++, H+menurun atau kadar K+,

    Na+dan OH-meningkat

    Gejala Klinis:

    Badan selalu terasa lemas

    Mudah sekali merasa lelalh

    Rasa lelah sangat berlebihan, tidak bisa melalkukan apa-apa selain

    berbaring

    Sering sesak napas

    Kaki sering sakit setelah beraktifitas

    Diagnosis:

    Cvhostec sign : Memukul ringan 2cm didepan Tragus telinga

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    17/63

    + 1 : sudut bibir berkontraksi

    + 2 : ujung hidung turut berkontraksi

    + 3 : mata berkontraksi

    + 4: otot muka turut berkontraksi

    Trousseau sign + : penekanan arteri brakhialis dengan manset timbul rasa

    kesemutan pada ujung ekstremitas, lalu timbul kejang pada jari-jari dan

    tangan

    Pemeriksaan Laboratorium: Kadar Kalsium dan Magnesium dalam darah

    Elektromiografi (EMG)

    Elektroensefalografi (EEG) untuk membedakan dengan Epilepsi

    IV. Bells Palsy

    2.1 Definisi

    Bells palsyadalah kelumpuhan nervus fasialis perifer (N.VII), terjadi secara

    akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) atau tidak menyertai penyakit lain

    yang dapat mengakibatkan lesi nervus fasialis atau kelumpuhan fasialis perifer akibat

    proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat

    mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus

    atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh

    sendiri tanpa pengobatan.1,3

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    18/63

    2.2 Epidemologi

    Insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan karena penderita tidak hanya

    berobat ke dokter saraf saja, tetapi kemungkinan ada yang berobat kepada dokter

    umum, dokter THT maupun dokter mata. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah

    sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar 19,55 % dari seluruh

    kasus neuropati dan terbanyak pada usia 2130 tahun. Lebih sering terjadi pada

    wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun

    dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara

    dingin seperti naik kendaraan dengan kaca terbuka, tidur di lantai atau bergadang

    sebelum menderita bells palsy.2,4

    2.3 Etiologi

    Ada 4 teori yang dihubungkan dengan etiologi Bells palsy yaitu:2,4

    1. Teori iskemik vaskuler

    Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N.VII. Terjadi vasokontriksi

    arteriole yang melayani N.VII sehingga terjadi iskemik, kemudian diikuti oleh

    dilatasi kapiler dan permeabilitas kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi

    transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe

    sehingga menutup. Selanjutnya akan menyebabkan keluar cairan lagi dan akanlebih menekan kapiler dan venula dalam kanalis fasialis sehingga terjadi iskemik.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    19/63

    2. Teori infeksi virus

    Bells palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus,

    sehingga menurut teori ini penyebab bells palsy adalah virus. Juga dikatakan

    bahwa perjalanan klinis bells palsy menyerupai viral neurophaty pada saraf

    perifer lainnya.

    3. Teori herediter

    Penderita bells palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bells

    palsy terjadi mungkin karena kanalis fasialis yang sempit pada keturunan atau

    keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis

    fasialis.

    4. Teori imunologi

    Dikatakan bahwa Bells palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap

    infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi.

    Berdasarkan teori ini maka penderita bells palsy diberikan pengobatan

    kotikosteroid dangan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema di dalam

    kanalis Fallopii dan juga sebagai immunosupresor.

    2.4 Patofisiologi

    Patofisiologi timbulnya Bells Palsy secara pasti masih dalam perdebatan.

    N.VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis

    fasialis. Adanya edema dan ischemia menyebabkan kompresi dari N.VII dalam

    kanalis tulang ini, karena itu ia terjepit di dalam foramen stilomastoideum dan

    menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kompresi N.VII ini dapat dilihat dengan

    MRI. Bagian pertama dari kanalis fasialis yang disebut dengan segmen labyrinthine

    adalah bagian yang paling sempit, meatus foramien ini memiliki diameter 0,66 mm.

    Lokasi inilah yang diduga merupakan tempat paling sering terjadinya kompresi pada

    N.VII pada Bells Palsy, karena bagian ini merupakan tempat yang paling sempit

    maka terjadinya inflamasi, demielinisasi, ischemia, ataupun proses kompresi paling

    mungkin terjadi. Lokasi terserangnya Nervus Fasialis di Bells Palsy bersifat perifer

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    20/63

    dari nukleus saraf tersebut, dimana timbulnya lesi diduga terletak didekat ataupun di

    ganglion genikulatum. Jika lesinya timbul di bagian proksimal ganglion genikulatum

    maka akan timbul kelumpuhan motorik disertai dengan ketidak abnormalan fungsi

    gustatorium dan otonom. Apabila lesi terletak di foramen stilomastoideus dapat

    menyebabkan kelumpuhan fasial saja.4,5,6,7

    2.5 Gambaran Klinis dan Keluhan

    Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhanpada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat

    gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya

    lebih rendah. Bells palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa

    hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang

    terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang,

    sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak

    mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi

    menghilang.1,2,3

    Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada

    sisi yang lumpuh akan tetap terbuka dimana kelumpuhan N.VII yang mempersyarafi

    m.orbikularis okuli dapat menyebabkan lagoftalmus yaitu palpebra tidak dapat

    menutup dengan sempurna. Kelainan ini akan mengakibatkan trauma konjungtiva dan

    kornea karena mata tetap terbuka sehingga konjungtiva dan kornea menjadi kering

    dan terjadi infeksi. Infeksi ini dapat dalam bentuk konjungtivitis atau suatu keratitis.

    Serta bola mata pasien berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    21/63

    (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang

    maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam

    mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung.

    Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh.

    Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang

    mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat Bells palsy.2,3,7

    Bila khorda timpani juga ikut terkena, maka terjadi gangguan pengecapan dari

    2/3 depan lidah yang merupakan kawasan sensorik khusus N.intermedius. dan bila

    saraf yang menuju ke m.stapedius juga terlibat, maka akan terjadi hiperakusis.

    Keadaan ini dapat diperiksa dengan pemeriksaan audiometri.Pada kasus yang lebih

    berat akan terjadi gangguan produksi air mata berupa pengurangan atau hilangnya

    produksi air mata. Ini menunjukkan terkenanya ganglion genikulatum dan dapat

    diperiksa dengan pemeriksaan tes Schirmer.2,4,5

    Komplikasi ke bagian mata antara lain :4,5,8

    - Lagoftalmus

    - Ektropion paralitik dari kelopak mata bagian bawah

    - Alis Jatuh

    - Retraksi kelopak mata atas

    - Erosi Kornea

    -

    Crocodile-tears tearing

    Komplikasi ke bagian telinga antara lain: 4,5,8

    Hampir separuh pasien yang mengalami Bell Palsy mengeluhkan nyeri pada

    bagian belakang telinga. Nyeri biasanya terjadi bersamaan dengan timbulnya gejala

    Bell Palsy, namun pada 25% kasus nyeri telinga terjadi lebih dulu 2-3 hari sebelum

    timbulnya Bell Palsy. Beberapa pasien juga mengeluhkan terjadinya hyperacusis pada

    telinga ipsilateral dari Palsy yang terjadi, yang merupakan akibat sekunder dari

    kelemahan otot stapedius.

    Gangguan Pengecapan:4,5,8

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    22/63

    Sepertiga pasien Bell Palsy melaporkan gangguan pengecapan, dimana 80%

    dari penderita Bell Palsy mengalami penurunan kemampuan merasa.

    Spasme Fasial4,5,8

    Spasme fasial adalah komplikasi yang jarang dari Bell Palsy, terjadi akibat

    kontraksi tonic pada salah satu sisi wajah. Spasme ini biasanya terjadi pada saat

    stress dan timbul akibat kompreksi dari akar Nervus VII akibat gangguan pembuluh

    darah, tumor, ataupun proses demielinisasi akar saraf. Spasme ini lebih sering

    menyerang pada usia 50 atau 60an. Selain itu juga dapat timbul Synkinesis yaitu

    suatu kontraksi abnormal dari otot wajah saat tersenyum atau menutup mata, contoh

    yang dapat terjadi adalah mulut pasien tertarik ketika tersenyum atau ketika

    mengedipkan mata.

    Keluhan dan gejala bergantung kepada lokasi lesi sebagai berikut :1,4,5

    a. Lesi pada nervus fasialis disekitar foramen stylomastoideus baik yang masih

    berada disebelah dalam dan sebelah luar foramen tersebut. Mulut turun dan

    mencong ke sisi yang sehat sehingga sudut mulut yang lumpuh tampaknya

    lebih tinggi kedudukannya daripada posisi yang sehat, maka penderitanya

    tidak dapat bersiul, mengedip dan menutupkan matanya. Lakrimalis yang

    berlebihan akan terjadi jika mata tidak terlindungi / tidak bisa menutup mata

    sehingga pada mata akan lebih mudah mendapat iritasi berupa angin, debu dan

    sebagainya, selain itu pula lakrimalis yang berlebihan ini terjadi karena proses

    regenerasi dan mengalirnya axon dari kelenjar liur ke kelenjar air mata pada

    waktu makan

    b.

    Lesi pada canalis fasialis mengenai nervus chorda tympani.

    Seluruh gejala di atas terdapat, ditambah dengan hilangnya sensasi

    pengecapan dua pertiga depan lidah berkurangnya salivasi yang terkena.

    c. Lesi yang lebih tinggi dalam canalis fasialis dan mengenal muskulus stapedius

    Gejala tanda klinik seperti pada (a) dan (b) ditambah adanya hiperakusis.

    d. Lesi yang mengenai ganglion geniculatum.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    23/63

    Gejala tanda klinik seperti pada (a), (b), dan (c) ditambah onsetnya seringkali

    akut dengan rasa nyeri di belakang dan didalam telinga. Herpes Zoster pada

    tympanium dan concha dapat mendahului keadaan timbul parese nervus

    fasilais. Sindrome Ramsay Hunt merupakan Bells yang disertai herpes Zoster

    pada ganglion geniculatum, lesi lesi herpetik terlihat pada membrana

    tympani, canalis auditorium eksterna, dan pada pinna.

    e. Lesi di dalam Meatus Auditorius Internus

    Gejala - gejala Bells Palsy di atas ditambah ketulian akibat terkenanya nervus

    VIII.

    f.

    Lesi pada tempat keluarnya Nervus Fasialis dari Pons

    Lesi di pons yang terletak disekitar inti nervus abdduces bisa merusak akar

    nervus fasialis, inti nervus abducens dan fasikulus longituinalis medialis. Lesi

    pada daerah tersebut dapat menyebabkan kelumpuhan muskulus rectus

    lateralis atau gerakan melirik kearah lesi.

    g.

    Gangguan gerakan pada otot wajah yang sering dijumpai ialah gerakan

    involunter yang dinamakan tic fasialis atau spasmus klonik fasialis. Sebab danmekanisme sebenarnya belum diketahui yang dianggap sebagai sebabnya

    adalah suatu rangsangan iritatif di ganglion feniculatum. Namun demikian

    gerakan - gerakan otot wajah involunter bisa bangkit juga sebagai suatu

    pencerminan kegelisahan atau depresi. Pada gerakan involunter tersebut, sudut

    muka terangkat dan kelompok mata memejam secara berlebihan.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    24/63

    2.6 Diagnosa

    Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesa serta beberapa pemeriksaan fisik,

    dalam hal ini yaitu pemeriksaan neurologis. Untuk menegakkan diagnosis suatu bells

    palsy harus ditetapkan dulu adanya paresis fasialis tipe perifer, kemudianmenyingkirkan semua kemungkinan penyebabnya paresis fasialis tersebut.2

    Paresis fasialis perifer berbeda dari tipe sentral. Pada tipe sentral yang

    terganggu atau paresis hanya pada bagian bawah wajah saja.

    Anamnesa :4,5,8

    -

    Rasa nyeri.

    - Gangguan atau kehilangan pengecapan.

    -

    Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di

    ruangan terbuka atau di luar ruangan.

    -

    Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran

    pernafasan, otitis, herpes, dan lain-lain.

    Pemeriksaan :4,5,8

    1.

    Pemeriksaan neurologi

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    25/63

    Kelumpuhan nervus fasilalis melibatkan semua otot wajah sesisi dan

    dapat dibuktikan dengan pemeriksaan - pemeriksaan berikut, yaitu:

    a.

    Pemeriksaan motorik nervus fasialis.4

    - Mengerutkan dahi : lipatan kulit dahi hanya tampak pada sisi yang

    sehat saja.

    - Mengangkat alis : alis pada sisi yang sakit tidak dapat diangkat

    -

    Memejamkan mata dengan kuat : pada sisi yang sakit kelompak mata

    tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata ke atas

    dapat dilihat. Hal tersebut dikenal Fenomena Bell. Selain itu dapat

    dilihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang sakit lebih lambat

    dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, hal ini dikenal

    sebagai Lagoftalmus.

    - Mengembungkan pipi : pada sisi yang tidak sehat pipi tidak dapat

    dikembungkan.

    - Pasien disuruh utnuk memperlihatkan gigi geliginya atau disuruh

    meringis menyeringai : sudut mulut sisi yang lumpuh tidak dapat

    diangkat sehingga mulut tampaknya mencong ke arah sehat. Dan juga

    sulcus nasolabialis pada sisi wajah yang sakit mendatar.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    26/63

    b. Pemeriksaan sensorik pada nervus fasialis.4,5,8

    Sensasi pengecapan diperiksa sebagai berikut : rasa manis

    diperiksa pada bagian ujung lidah dengan bahan berupa garam, dan rasa

    asam diperiksa pada bagian tengah lidah dengan bahan asam sitrat.

    Pengecapan 2/3 depan lidah : pengecapan pada sisi yang tidak sehat

    kurang tajam.

    c. Pemeriksaan Refleks.4,5,8

    Pemeriksaan reflek yang dilakukan pada penderita Bells Palsy

    adalah pemeriksaan reflek kornea baik langsung maupun tidak langsung

    dimana pada paresis nervus VII didapatkan hasil berupa pada sisi yangsakit kedipan mata yang terjadi lebih lambat atau tidak ada sama sekali.

    Selain itu juga dapat diperiksa refleks nasopalpebra pada orang sehat

    pengetukan ujung jari pada daerah diantara kedua alis langsung dijawab

    dengan pemejaman kelopak mata pada sisi, sedangkan pada paresis

    facialis jenis perifer terdapat kelemahan kontraksi m. orbikularis oculi

    (pemejaman mata pada sisi sakit).

    Beberapa pemeriksaan sederhana lain yang dapat dilakukan untuk

    membantu penegakkan diagnosa antara lain :

    -

    Stethoscope Loudness Test

    Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi dari

    muskulus stapedius. Pasien diminta menggunakan stetoskop kemudian

    dibunyikan garpu tala pada membran stetoskop, maka suara yang keras

    akan terlateralisasi ke sisi muskulus stapedius yang lumpuh

    - Schirmer Blotting Test.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    27/63

    Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai fungsi lakrimasi. Digunakan

    benzene yang menstimulasi refleks nasolacrimalis sehingga dapat

    dibandingkan keluar air mata dapat dibandingkan antara sisi yang

    lumpuh dan yang normal.

    2. Pemeriksaan radiologis.4,5,8

    Pemeriksaan Radiologis yang dapat dilakukan untuk Bells Palsy

    antara lain adalah MRI (Magnetic Resonance Imaging) dimana pada pasien

    dengan Bell Palsy dapat timbul gambaran kelainan pada nervus fasialis. Selain

    itu pemeriksaan MRI juga berguna apabila penderita mengalami Kelumpuhan

    wajah yang berulang, agar dapat dipastikan apakah kelainan itu hanya

    merupakan gangguan pada nervus Fasialis ataupun terdapat tumor.

    2.7 Diagnosa Banding2,3,4

    1.

    Otitis Media Supurativa dan Mastoiditis

    Disamping kemungkinan adanya paresis fasialis, maka ditemukan adanya rasa

    nyeri di dalam atau di belakang telinga. Pada foto mastroid ditemukangambaran infeksi. Pada otitis media terjadi proses radang di dalam kavum

    timpani sehingga dinding tulang kanalis fasialis ikut mengalami kerusakan

    sehingga terjadi paresis fasialis.

    2. Herpes Zoster Oticus

    Terjadi infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum. Di samping adanya

    paresis fasialis juga ditemukan adanya tuli persetif dan tampak vesikel-vesikel

    yang terasa amat nyeri di daun telinga. Karena adanya proses inflamasi maka

    akan menimbulkan pembengkakan, timbunan metabolit di dalam kanalis

    Fallopii dan selanjutnya menyebabkan iskemia dan paresis fasialis. Pada

    pemeriksaan darah didapatkan adanya kenaikan titer antibodi terhadap virus

    varisela-zoster.

    3. Trauma kapitis

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    28/63

    Paresis fasialis terdapat pada trauma kapitis (misalnya fraktur os temporal,

    fraktur basis kranii atau trauma lahir/forceps) atau karena operasi. Pada cedera

    kepala sering terjadi fraktura os temporale parspetrosus yang selalu terlihat

    pada foto rontgen.

    4. Sindroma GuillainBarre dan Miastenia Gravis

    Pada kedua penyakit ini, perjalanan dan gambaran penyakitnya khas dan

    paresis hampir selalu bilateral.

    5.

    Tumor Intrakranialis

    Semua neoplasma yang mengenai sepanjang perjalanan N.VII dapat

    menyebabkan paresis fasialis. Tumor intra kranial yang tersering yaitu tumor

    sudut serebelo pontis. Di sini selain terdapat paresis N.VII juga biasanya

    ditemukan adanya lesi N.V dan N.VIII. tumor yang lain misalnya Ca-

    nasofaring (biasanya disertai dengan kelainan saraf kraniales lain) dan tumor

    kelenjar parotis.

    6.

    Leukimia

    Paresis fasialis disebabkan karena infiltrat sel-sel lekemia. Paresis terjadi

    bilateral dan simultan. Diawali dengan rasa nyeri di dalam kepala atau telinga

    dan tuli.

    2.8 Terapi

    1. Terapi medikamentosa :2,9

    - Kortikosteroid dapat digunakan salah satu contohnya adalah prednison atau

    methylprednisolon 80 mg (medrol) dosis awal dan diturunkan secara bertahap

    (tappering off) selama 7 hari.2,9

    - Penggunaan obat antiviral (acyclovir) dengan kortioksteroid. Penggunaan

    Aciclovir 400 mg sebanyak 5 kali per hari P.O selama 10 hari. Atau

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    29/63

    penggunaan Valacyclovir 500 mg sebanyak 2 kali per hari P.O selama lima

    hari, penggunaan Valacyclovir memiliki efek yang lebih baik.2,9

    Kortikosteroid oral mengurangi peradangan saraf wajah pada pasien

    dengan Bells palsy. Tiemstra JD and Khathare N melalui penelitian Meta-

    analisis dari tiga uji coba terkontrol secara acak membandingkan

    kortikosteroid dengan plasebo ditemukan pengurangan kecil dan secara

    statistik tidak signifikan dalam persentase.10

    Ada Karena Peran Kemungkinan HSV-1 dalam penyebab Bell palsy,

    obat antivirus acyclovir (Zovirax) dan valacyclovir (Valtrex) telah

    mempelajari tulang manfaat dalam pengobatan. Asiklovir 400 mg lima kali

    per hari selama tujuh hari atau valacyclovir 1 g tiga kali per hari selama tujuh

    hari. Dua terakhir uji coba terkontrol plasebo menunjukkan pemulihan penuh

    dalam persentase yang lebih tinggi pasien diobati dengan obat antivirus dalam

    kombinasi dengan prednisolon dibandingkan dengan prednisolon saja (100

    persen dengan 91 persen dan 95 persen dengan 90 persen).10

    Namun, tidak bermanfaat terlihat Ketika pengobatan tertunda lebih

    dari empat hari setelah timbulnya gejala (86 persen dengan 87 persen).Mengingat profil keamanan kortikosteroid oral asiklovir, valasiklovir, dan

    jangka pendek. Pasien yang hadir di dalam-tiga hari dari timbulnya gejala dan

    yang tidak harus menentukan kontraindikasi obat harus ditawarkan terapi

    kombinasi. Pasien yang datang dengan kelumpuhan saraf wajah lengkap

    memiliki tingkat lebih rendah pemulihan spontan dan mungkin lebih mungkin

    memperoleh manfaat dari pengobatan.10

    Penelitian lain Numthavaj .P et al menyimpulkan dalam mengobati

    Bells palsy dengan antiviral ditambah kortikosteroid dapat menyebabkan

    sedikit lebih tinggi tingkat pemulihan dibandingkan dengan mengobati dengan

    prednison saja tapi ini tidak cukup bermakna secara statistik, prednisone

    merupakan pengobatan berbasis bukti terbaik.11

    Berbeda dengan Frank M et al yang menyatakan pasien dengan Bells

    palsy, perawatan dini dengan prednisolon secara signifikan meningkatkan

    kemungkinan pemulihan lengkap pada 3 dan 9 bulan. Tidak ada bukti dari

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    30/63

    manfaat mengingat pengobatan tunggal atau manfaat tambahan dalam

    kombinasi dengan prednisolon atau asiklovir.12

    Goudakos JK and Markou KD pada penelitian meta-analisis,

    berdasarkan bukti yang tersedia menunjukkan bahwa agen antivirus untuk

    kortikosteroid pengobatan Bells palsy tidak terkait meningkat dalam tingkat

    pemulihan lengkap dari fungsi motorik wajah.13.

    -

    Vitamin B1, B6 dan B12 dalam dosis tinggi dan vasodilatasi peros dengan

    ACTH im 40-60 satuan selama 2 minggu dapat dipercepat penyembuhan.2,9

    - Analgesic untuk menghilangkan rasa nyeri.2,9

    2. Terapi operatif

    Indikasi terapi operatif yaitu:2

    - Produksi air mata berkurang menjadi < 25%

    - Aliran saliva berkurang menjadi < 25%

    -

    Respon terhadap tes listrik antara sisi sehat dan sakit berbeda 2,5 mA.

    Beberapa terapi bedah yang dapat dilakukan antara lain dekompresi nervus

    Fasialis, Subocularis Oculi Fat Lift (SOOF), Implantasi alat ke dalam kelopak

    mata, tarsorrhapy, transposisi otot muskulus temporalis, facial nerve graftingdan

    direct brow lift.2

    Tiemstra JD and Khathare N dalam American Academy of Neurology saat

    ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk Bells palsy. Komplikasi

    yang paling umum dari pembedahan adalah pasca operasi yaitu berkurangnya

    pendengaran yang mempengaruhi 3 sampai 15 persen pasien. Berdasarkan potensi

    yang signifikan untuk kerugian dan kurangnya manfaat data pendukung, American

    Academy of Neurology saat ini tidak merekomendasikan dekompresi bedah untuk

    Bells palsy.10

    McAllister K pada penelitian juga menyimpulkan demikian bahwa ada

    bukti kualitas yang sangat rendah dan ini tidak cukup untuk memutuskan apakah

    operasi akan bermanfaat atau merugikan pada pengelolaan palsy Bell. Penelitian

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    31/63

    ini tidak secara statistik membandingkan kelompok tetapi nilai dan ukuran

    kelompok menyarankan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan secara

    statistik. Studi kedua melaporkan tidak ada perbedaan statistik yang signifikan

    antara kelompok mereka dioperasikan dan kontrol. Satu pasien yang dioperasikan

    dalam studi pertama memiliki 20 dB kehilangan pendengaran sensorineural dan

    vertigo yang persisten. Penelitian lebih lanjut ke dalam peran operasi tidak

    mungkin dilakukan karena pemulihan spontan terjadi dalam banyak kasus. 14

    3.

    Rehabilitasi Medik

    Rehabilitasi medik menurut WHO adalah semua tindakan yang ditujukan

    guna mengurangi dampak cacat dan handicap serta meningkatkan kemampuan

    penyandang cacat mencapai integritas sosial.9

    Tujuan rehabilitasi medik adalah :9

    Meniadakan keadaan cacat bila mungkin

    Mengurangi keadaan cacat sebanyak mungkin

    Melatih orang dengan sisa keadaan cacat badan untuk dapat hidup dan

    bekerja dengan apa yang tertinggal.

    Untuk mencapai keberhasilan dalam tujuan rehabilitasi yang efektif dan

    efisien maka diperlukan tim rehabilitasi medik yang terdiri dari dokter,

    fisioterapis, okupasi terapis, ortotis prostetis, ahli wicara, psikolog, petugas sosial

    medik dan perawat rehabilitasi medik.9

    Sesuai dengan konsep rehabilitasi medik yaitu usaha gabungan terpadu

    dari segi medik, sosial dan kekaryaan, maka tujuan rehabilitasi medik pada Bells

    palsy adalah untuk mengurangi/mencegah paresis menjadi bertambah dan

    membantu mengatasi problem sosial serta psikologinya agar penderita tetap dapat

    melaksanakan aktivitas kegiatan sehari-hari. Program-program yang diberikan

    adalah program fisioterapi, okupasi terapi, sosial medik, psikologi dan ortotik

    prostetik, sedang program perawat rehabilitasi dan terapi wicara tidak banyak

    berperan. 9

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    32/63

    1) Program Fisioterapi4,5,9

    - Pemanasan

    a. Pemanasan superfisial dengan infra red.

    b. Pemanasan dalam berupa Shortwave Diathermy atau Microwave

    Diathermy.

    - Stimulasi listrik

    Tujuan pemberian stimulasi listrik yaitu menstimulasi otot untuk

    mencegah/memperlambat terjadi atrofi sambil menunggu proses

    regenerasi dan memperkuat otot yang masih lemah. Misalnya dengan

    faradisasi yang tujuannya adalah untuk menstimulasi otot, reedukasi dari

    aksi otot, melatih fungsi otot baru, meningkatkan sirkulasi serta

    mencegah/meregangkan perlengketan. Diberikan 2 minggu setelah onset.

    - Latihan otot-otot wajah dan massage wajah

    Latihan gerak volunter otot wajah diberikan setelah fase akut.

    Latihan berupa mengangkat alis tahan 5 detik, mengerutkan dahi,menutup mata dan mengangkat sudut mulut, tersenyum, bersiul/meniup

    (dilakukan didepan kaca dengan konsentrasi penuh).

    Massage adalah manipulasi sitemik dan ilmiah dari jaringan tubuh

    dengan maksud untuk perbaikan/pemulihan. Pada fase akut, Bells palsy

    diberi gentle massage secara perlahan dan berirama. Gentle massage

    memberikan efek mengurangi edema, memberikan relaksasi otot dan

    mempertahankan tonus otot. Setelah lewat fase akut diberi Deep

    Kneading Massage sebelum latihan gerak volunter otot wajah. Deep

    Kneading Massage memberikan efek mekanik terhadap pembuluh darah

    vena dan limfe, melancarkan pembuangan sisa metabolik, asam laktat,

    mengurangi edema, meningkatkan nutrisi serabut-serabut otot dan

    meningkatkan gerakan intramuskuler sehingga melepaskan perlengketan.

    Massage daerah wajah dibagi 4 area yaitu dagu, mulut, hidung dan dahi.

    Semua gerakan diarahkan keatas, lamanya 5-10 menit.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    33/63

    2) Program Terapi Okupasi 4,5,9

    Pada dasarnya terapi disini memberikan latihan gerak pada otot wajah.

    Latihan diberikan dalam bentuk aktivitas sehari-hari atau dalam bentuk

    permainan. Perlu diingat bahwa latihan secara bertahap dan melihat kondisi

    penderita, jangan sampai melelahkan penderita. Latihan dapat berupa latihan

    berkumur, latihan minum dengan menggunakan sedotan, latihan meniup lilin,

    latihan menutup mata dan mengerutkan dahi di depan cermin.

    3) Program Sosial Medik 4,5,9

    Penderita Bells palsy sering merasa malu dan menarik diri dari

    pergaulan sosial. Problem sosial biasanya berhubungan dengan tempat kerja

    dan biaya. Petugas sosial medik dapat membantu mengatasi dengan

    menghubungi tempat kerja, mungkin untuk sementara waktu dapat bekerja

    pada bagian yang tidak banyak berhubungan dengan umum. Untuk masalah

    biaya, dibantu dengan mencarikan fasilitas kesehatan di tempat kerja atau

    melalui keluarga. Selain itu memberikan penyuluhan bahwa kerja sama

    penderita dengan petugas yang merawat sangat penting untuk kesembuhan

    penderita.

    4)

    Program Psikologik 4,5,9

    Untuk kasus-kasus tertentu dimana ada gangguan psikis amat

    menonjol, rasa cemas sering menyertai penderita terutama pada penderita

    muda, wanita atau penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia

    sering tampil di depan umum, maka bantuan seorang psikolog sangat

    diperlukan.

    5) Program OrtotikProstetik 4,5,9

    Dapat dilakukan pemasangan Y plester dengan tujuan agar sudut

    mulut yang sakit tidak jatuh. Dianjurkan agar plester diganti tiap 8 jam. Perlu

    diperhatikan reaksi intoleransi kulit yang sering terjadi. Pemasangan Y

    plester dilakukan jika dalam waktu 3 bulan belum ada perubahan pada

    penderita setelah menjalani fisioterapi. Hal ini dilakukan untuk mencegah

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    34/63

    teregangnya otot Zygomaticus selama parese dan mencegah terjadinya

    kontraktur.

    6)

    Home Program: 4,5,9

    a. Kompres hangat daerah sisi wajah yang sakit selama 20 menit

    b. Massage wajah yang sakit ke arah atas dengan menggunakan tangan dari

    sisi wajah yang sehat

    c.

    Latihan tiup lilin, berkumur, makan dengan mengunyah disisi yang sakit,

    minum dengan sedotan, mengunyah permen karet

    4.

    Perawatan mata :2,4,15,16

    Tindakan yang dilakukan antara lain:

    a. Memakai salep mata (golongan artifial tears) 3x sehari dan salep mata.

    b. Mamakai kaca mata untuk mencegah iritasi debu dan cahaya.

    c.

    Kelopak mata diplaster agar tetap dalam keadaan tertutup.

    d.

    Bila keadaan terlalu berat maka dilakukan tarsorafi ataupun blefarofati dengan

    menjahit dan mendekatkan kedua kelopak atas dengan bawah. Pada tempat

    jahit diberikan salep antibiotika.

    2.9 Komplikasi2,4,9

    a.

    Crocodile tear phenomenon

    Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul

    beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang

    salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke

    kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.

    b. Synkinesis

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    35/63

    Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri,

    selalu timbul gerakan bersama. Contohnya yaitu:

    Bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan

    (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi.

    Pada saat meperlihatkan gigi (menyeringai), maka mata penderita pada sisi

    sakit manjadi tertutup.

    Bila penderita menggerakkan suatu bagian wajahnya, maka semua otot wajah

    pada sisi lumpuh manjadi kontraksi.

    Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami

    regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah/keliru.

    c. Clonic fasial spasm (Hemifacial spasm)

    Timbul kedutan (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak

    terkendali) pada wajah yang pada stadium awal hanya mengenai 1 sisi wajah saja

    tetapi kemudian kontraksi ini dapat mengenai pada sisi lainnya. Bila mengenai

    kedua sisi wajah, maka tidak terjadi bersamaan pada kedua sisi wajah.

    Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi

    ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan

    atau 1-2 tahun kemudian. Kecuali sebagai komplikasi bells palsy, maka

    hemifacial spasm dapat disebabkan oleh kompresi N.VII oleh tumor atau

    aneurisme pada daerah sudut serebelo pontis atau lengkungan arteri serebeler

    antero inferior yang berlebihan atau arteri auditorius internus.

    d. Kontraktur

    Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis

    lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi

    bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot

    wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    36/63

    2.10 Prognosis1

    Antara 80-85% penderita akan sembuh sempurna dalam waktu 3 bulan.

    Paralisis ringan atau sedang pada saat gejala awal terjadi merupakan tanda prognosis

    baik. Denervasi otot-otot wajah sesudah 2-3 minggu menunjukkan bahwa terjadi

    degenerasi aksonal dan hal demikian ini menunjukkan pemulihan yang lebih lama dan

    tidak sempurna.

    Pemulihan daya pengecapan lidah dalam waktu 14 hari pasca awitan biasanya

    berkaitan dengan pemulihan paralisis secara sempurna. Apabila lebih 14 hari, maka

    hal tersebut menunjukkan prognosis yang buruk.

    V. Poliomyelitis

    VI. Myasthenia Gravis

    2.1 DEFINISI

    Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh suatu

    kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan secara

    terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas3,4.

    Bila penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih

    kembali. Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission

    atau pada neuromuscular junction3.

    2.2 EPIDEMIOLOGI

    Miastenia gravis merupakan penyakit yang jarang ditemui, dan dapat terjadi

    pada berbagai usia. Biasanya penyakit ini lebih sering tampak pada usia 20-50

    tahun. Wanita lebih sering menderita penyakit ini dibandingkan pria. Rasio

    perbandingan wanita dan pria yang menderita miastenia gravis adalah 6 : 4.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    37/63

    Pada wanita, penyakit ini tampak pada usia yang lebih muda, yaitu sekitar 28

    tahun, sedangkan pada pria, penyakit ini sering terjadi pada usia 42 tahun3,4.

    2.3 ANATOMI, FISIOLOGIS, DAN BIOKIMIA NEUROMUSCULAR JUNCTION

    2.3.1 Anatomi Neuromuscular Junction

    Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang

    anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.

    Tiap-tiap serat saraf secara normal bercabang beberapa kali dan merangsang

    tiga hingga beberapa ratus serat otot rangka. Ujung-ujung saraf membuat

    suatu sambungan yang disebut neuromuscular junction atau sambungan

    neuromuskular4,5.

    Bagian terminal dari saraf motorik melebar pada bagian akhirnya yang

    disebut terminal bulb, yang terbentang diantara celah-celah yang terdapat di

    sepanjang serat saraf. Membran presinaptik (membran saraf), membran post

    sinaptik (membran otot), dan celah sinaps merupakan bagian-bagian

    pembentuk neuromuscular junction4.

    Gambar 1. Anatomi suatu Neuromuscular Junction4

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    38/63

    2.3.2 Fisiologi dan Biokimia Neuromuscular Junction

    Celah sinaps merupakan jarak antara membran presinaptik dan membran

    post sinaptik. Lebarnya berkisar antara 20-30 nanometer dan terisi oleh suatu

    lamina basalis, yang merupakan lapisan tipis dengan serat retikular seperti busa

    yang dapat dilalui oleh cairan ekstraselular secara difusi5.

    Terminal presinaptik mengandung vesikel yang didalamnya berisi asetilkolin

    (ACh). Asetilkolin disintesis dalam sitoplasma bagian terminal namun dengan cepat

    diabsorpsi ke dalam sejumlah vesikel sinaps yang kecil, yang dalam keadaan normal

    terdapat di bagian terminal suatu lempeng akhir motorik (motor end plate)4,5.

    Bila suatu impuls saraf tiba di neuromuscular junction, kira-kira 125

    kantong asetilkolin dilepaskan dari terminal masuk ke dalam celah sinaps. Bila

    potensial aksi menyebar ke seluruh terminal, maka akan terjadi difusi dari ion-ion

    kalsium ke bagian dalam terminal. Ion-ion kalsium ini kemudian diduga mempunyai

    pengaruh tarikan terhadap vesikel asetilkolin. Beberapa vesikel akan bersatu ke

    membran saraf dan mengeluarkan asetilkolinnya ke dalam celah sinaps. Asetilkolin

    yang dilepaskan berdifusi sepanjang sinaps dan berikatan dengan reseptor

    asetilkolin (AChRs) pada membran post sinaptik4,5.

    Secara biokimiawi keseluruhan proses pada neuromuscular junction

    dianggap berlangsung dalam 6 tahap, yaitu:6

    1. Sintesis asetil kolin terjadi dalam sitosol terminal saraf dengan menggunakan

    enzim kolin asetiltransferase yang mengkatalisasi reaksi berikut ini:

    Asetil-KoA + Kolin Asetilkolin + KoA

    2. Asetilkolin kemudian disatukan ke dalam partikel kecil terikat-membran yang

    disebut vesikel sinap dan disimpan di dalam vesikel ini.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    39/63

    3. Pelepasan asetilkolin dari vesikel ke dalam celah sinaps merupakan tahap

    berikutnya. Peristiwa ini terjadi melalui eksositosis yang melibatkan fusi vesikel

    dengan membran presinaptik. Dalam keadaan istirahat, kuanta tunggal (sekitar

    10.000 molekul transmitter yang mungkin sesuai dengan isi satu vesikel sinaps)

    akan dilepaskan secara spontan sehingga menghasilkan potensial endplate

    miniature yang kecil. Kalau sebuah akhir saraf mengalami depolarisasi akibat

    transmisi sebuah impuls saraf, proses ini akan membuka saluran Ca2+ yang

    sensitive terhadap voltase listrik sehingga memungkinkan aliran masuk Ca2+dari

    ruang sinaps ke terminal saraf. Ion Ca2+ini memerankan peranan yang esensial

    dalam eksositosis yang melepaskan asitilkolin (isi kurang lebih 125 vesikel) ke

    dalam rongga sinaps.

    4. Asetilkolin yang dilepaskan akan berdifusi dengan cepat melintasi celah sinaps

    ke dalam reseptor di dalam lipatan taut (junctional fold), merupakan bagian

    yang menonjol dari motor end plate yang mengandung reseptor asetilkolin

    (AChR) dengan kerapatan yang tinggi dan sangat rapat dengan terminal saraf.

    Kalau 2 molekul asetilkolin terikat pada sebuah reseptor, maka reseptor ini akan

    mengalami perubahan bentuk dengan membuka saluran dalam reseptor yang

    memungkinkan aliran kation melintasi membran. Masuknya ion Na+ akan

    menimbulkan depolarisasi membran otot sehingga terbentuk potensial end

    plate. Keadaan ini selanjutnya akan menimbulkan depolarisasi membran otot di

    dekatnya dan terjadi potensial aksi yang ditransmisikan disepanjang serabut

    saraf sehingga timbul kontraksi otot.

    5. Kalau saluran tersebut menutup, asetilkolin akan terurai dan dihidrolisis oleh

    enzim asetilkolinesterase yang mengkatalisasi reaksi berikut:

    Asetilkolin + H2O Asetat + Kolin

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    40/63

    Enzim yang penting ini terdapat dengan jumlah yang besar dalam lamina basalis

    rongga sinaps

    6. Kolin didaur ulang ke dalam terminal saraf melalui mekanisme transport aktif di

    mana protein tersebut dapat digunakan kembali bagi sintesis asetilkolin.

    Setiap reseptor asetilkolin merupakan kompleks protein besar dengan saluran

    yang akan segera terbuka setelah melekatnya asetilkolin. Kompleks ini terdiri

    dari 5 protein subunit, yatiu 2 protein alfa, dan masing-masing satu protein

    beta, delta, dan gamma. Melekatnya asetilkolin memungkinkan natrium dapat

    bergerak secara mudah melewati saluran tersebut, sehingga akan terjadi

    depolarisasi parsial dari membran post sinaptik. Peristiwa ini akan menyebabkan

    suatu perubahan potensial setempat pada membran serat otot yang disebut

    excitatory postsynaptic potential(potensial lempeng akhir). Apabila pembukaan

    gerbang natrium telah mencukupi, maka akan terjadi suatu potensial aksi pada

    membran otot yang selanjutnya menyebabkan kontraksi otot4,5.

    Beberapa sifat dari reseptor asetilkolin di neuromuscular junction adalah

    sebagai berikut:6

    Merupakan reseptor nikotinik (nikotin adalah agonis terhadap reseptor)

    Merupakan glikoprotein bermembran dengan berat molekul sekitar 275 kDa.

    Mengandung lima subunit, terdiri dari ?2???

    Hanya subunit ? yang mengikat asetilkolin dengan afinitas tinggi.

    Dua molekul asetilkolin harus berikatan untuk membuka saluran ion, yang

    memungkinkan aliran baik Na+maupun K+.

    Bisa ular ?-bungarotoksin berikatan dengan erat pada subunit ? dan dapat

    digunakan untuk melabel reseptor atau sebagai suatu ligand berafinitas

    untuk memurnikannya.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    41/63

    Autoantibody terhadap reseptor termasuk penyebab miastenia grafis.

    Gambar 2. Fisiologi Neuromuscular Junction5

    2.4 PATOFISIOLOGI

    Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada

    patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini

    mencakup timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang

    menderita miastenia gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus

    eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-lain4.

    Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada

    serum penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada

    otot. Hal inilah yang memegang peranan penting pada melemahnya otot

    penderita dengan miatenia gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibody pada

    reseptor nikotinik asetilkolin merupakan penyebab utama kelemahan otot

    pasien dengan miastenia gravis. Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor

    (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita acquired

    myasthenia gravis generalisata2.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    42/63

    Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

    asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.

    Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana

    antibodi yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin.

    Peranan sel T pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus

    merupakan organ sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T.

    Abnormalitas pada timus seperti hiperplasia timus atau thymoma, biasanya

    muncul lebih awal pada pasien dengan gejala miastenik4.

    Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai

    subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area

    imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site

    dari asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin

    akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa

    cara, antara lain : ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-

    reseptor asetilkolin dan mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada

    neuromuscular junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada

    membran post sinaptik, sehingga mengurangi area permukaan yang dapat

    digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang baru disintesis4.

    2.5GEJALA KLINIS

    Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang

    berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang

    beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan

    kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat4. Gejala klinis

    miastenia gravis antara lain :

    Kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    43/63

    Ptosis yang merupakan salah satu gejala kelumpuhan nervus

    okulomotorius, seing menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis.

    Walupun pada miastenia gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun

    ada kalanya otot-otot okular masih bergerak normal. Tetapi pada tahap

    lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan melengkapi ptosis

    miastenia gravis7. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti dengan

    kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala4.

    Gambar 3. Penderita Miastenia Gravis yang mengalami kelemahan otot esktraokular

    (ptosis)

    Kelemahan otot penderita semakin lama akan semakin memburuk.

    Kelemahan tersebut akan menyebar mulai dari otot ocular, otot wajah, otot

    leher, hingga ke otot ekstremitas4.

    Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga

    mulut penderita sukar untuk ditutup. Selain itu dapat pula timbul kelemahan dari

    otot faring, lidah, pallatum molle, dan laring sehingga timbullah kesukaran

    menelan dan berbicara. Paresis dari pallatum molle akan menimbulkan suara

    sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat keluar dari

    hidungnya.

    2.6 KLASIFIKASI

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    44/63

    Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), miastenia gravis

    dapat diklasifikasikan sebagai berikut7:

    a)

    Klas I

    Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat menutup mata,

    dan kekuatan otot-otot lain normal.

    b) Klas II

    Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta adanya

    kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot okular.

    c)

    Klas IIa

    Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh, atau keduanya. Juga

    terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal yang ringan.

    d)

    Klas IIb

    Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau keduanya.

    Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial lebih ringan

    dibandingkan klas IIa.

    e)

    Klas III

    Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular. Sedangkan otot-otot

    lain selain otot-otot ocular mengalami kelemahan tingkat sedang.

    f)

    Klas IIIa

    Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya

    secara predominan. Terdapat kelemahan otot orofaringeal yang ringan.

    g) Klas IIIb

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    45/63

    Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau keduanya

    secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot anggota tubuh, otot-otot

    aksial, atau keduanya dalam derajat ringan.

    h)

    Klas IV

    tot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan dalam derajat

    yang berat, sedangkan otot-otot okular mengalami kelemahan dalam

    berbagai derajat.

    i)

    Klas IVa

    Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh dan atau otot-

    otot aksial. Otot orofaringeal mengalami kelemahan dalam derajat ringan.

    j)

    Klas IVb

    Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau keduanya

    secara predominan. Selain itu juga terdapat kelemahan pada otot-otot

    anggota tubuh, otot-otot aksial, atau keduanya dengan derajat ringan.

    Penderita menggunakanfeeding tubetanpa dilakukan intubasi.

    k)

    Klas V

    Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.

    Biasanya gejala-gejala miastenia gravis sepeti ptosis dan strabismus tidak akan

    tampak pada waktu pagi hari. Di waktu sore hari atau dalam cuaca panas, gejala-

    gejala itu akan tampak lebih jelas. Pada pemeriksaan, tonus otot tampaknya agak

    menurun3.

    Miastenia gravis juga dapat dikelompokkan secara lebih sederhana seperti dibawah

    ini3:

    1) Miastenia gravis dengan ptosis atau diplopia ringan.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    46/63

    2) Miastenia gravis dengan ptosis, diplopi, dan kelemahan otot-otot

    untuk untuk mengunyah, menelan, dan berbicara. Otot-otot anggota

    tubuhpun dapat ikut menjadi lemah. Pernapasan tidak terganggu.

    3) Miastenia Gravis yang berlangsung secara cepat dengan kelemahan

    otot-otot okulobulbar. Pernapasan tidak terganggu. Penderita dapat

    meninggal dunia.

    2.7 DIAGNOSIS

    2.7.1 Penegakan Diagnosis Miastenia Gravis

    Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan

    diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam

    berbagai derajat yang berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal

    dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan kiri. Refleks

    tendon biasanya masih ada dalam batas normal4.

    Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan

    pada otot wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan

    timbulnya a mask-like face dengan adanya ptosis dan senyum yang

    horizontal4.

    Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan

    miastenia gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot

    palatum, yang menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung

    (nasal twang to the voice) serta regurgitasi makanan terutama yang bersifat

    cair ke hidung penderita. Selain itu, penderita miastenia gravis akan

    mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan makanan, sehingga

    dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk dan

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    47/63

    tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis

    menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu

    penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga

    mengalami kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta

    ekstensi dari leher4.

    Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering

    dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota

    tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot

    anggota tubuh bawah. Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot

    pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali mengalami kelemahan.

    Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot bisep. Pada

    ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan fleksi

    panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan

    melakukan plantarfleksi jari-jari kaki4.

    Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal

    napas akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan

    tindakan intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal

    serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan

    berakibat terjadinya hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat

    menyebabkan kolapsnya saluran napas atas, pengawasan yang ketat

    terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat

    diperlukan4.

    Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris.

    Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan

    tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis.

    Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk mendiagnosis suatu

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    48/63

    miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis dan medialis

    akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,

    yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang

    disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi4.

    Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan

    sebagai berikut3:

    1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama

    kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan

    menjadi kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis.

    2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-

    menerus. Lama kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita

    menjadi parau atau tampak ada ptosis, maka penderita disuruh

    beristirahat.. Kemudian tampak bahwa suaranya akan kembali baik dan

    ptosis juga tidak tampak lagi.

    Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara

    lain3:

    1) Uji Tensilon (edrophonium chloride)

    Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak

    terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara

    intravena. Segera sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan

    otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata yang

    memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh

    miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uiji ini

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    49/63

    kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama,

    karena efektivitas tensilon sangat singkat.

    2)

    Uji Prostigmin (neostigmin)

    Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin merhylsulfat secara

    intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin atau mg). Bila

    kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-

    gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak

    lama kemudian akan lenyap.

    3)

    Uji Kinin

    Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian

    diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila

    kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala

    seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat. Untuk uji

    ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala

    miastenik tidak bertambah berat.

    2.7.2 Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis Pasti

    2.7.2.1 Pemeriksaan Laboratorium

    Anti-asetilkolin reseptor antibodi

    Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia

    gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. 80% dari penderita

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    50/63

    miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular

    murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada

    pasien thymomatanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR

    antibody4.

    Rata-rata titer antibody pada pemeriksaan anti-asetilkolin reseptor antibody, yang

    dilakukan oleh Tidall, di sampaikan pada tabel berikut4:

    Tabel 1. Prevalensi dan Titer Anti-AChR Ab pada Pasien Miastenia Gravis

    Osserman Class Mean antibody Titer Percent Positive

    R 0.79 24

    I 2.17 55

    IIA 49.8 80

    IIB 57.9 100

    III 78.5 100

    IV 205.3 89

    Klasifikasi : R = remission, I = ocular only, IIA = mild generalized, IIB = moderate

    generalized, III = acute severe, IV = chronic severe4

    Pada tabel ini menunjukkan bahwa titer antibodi lebih tinggi pada

    penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak

    dapat digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    51/63

    Antistriated muscle (anti-SM) antibody

    Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes

    ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma

    dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih

    dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.

    Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.

    Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR

    Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk

    anti-MuSK Ab.

    Antistriational antibodies

    Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya

    antibody yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot

    jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin

    dan ryanodine (RyR). Antibody ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma dengan

    miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan

    suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda dengan

    miastenia gravis.

    2.7.2.2 Imaging4

    Chest x-ray(foto roentgen thorak)

    Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen

    thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian

    anterior mediastinum.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    52/63

    Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya

    thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan

    untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,

    terutama pada penderita dengan usia tua.

    MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan

    rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat

    ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari

    penyebab defisit pada saraf otak.

    CT scan of chest showing an anterior mediastinal mass (thymoma) in a

    patient with myasthenia gravis.

    2.7.2.3 Pendekatan Elektrodiagnostik

    Pendekatan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi

    neuromuscular melalui 2 teknik4:

    Repetitive Nerve Stimulation(RNS)

    Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor

    asetilkolin, sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    53/63

    A typical recording of compound muscle action potentials with repetitive

    nerve stimulation at low frequency in a patient with myasthenia gravis.

    Note the gradual decline in the amplitude of the compound muscle

    action potential with slight improvement after the fifth or sixth

    potential.

    Single-fiber Electromyography(SFEMG)

    Menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk

    merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas

    pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor

    unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot

    tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek

    transmisi pada neuromuscular fiber berupa peningkatan jitter dan fiber density

    yang normal.

    2.7.3 Diagnosis Banding

    Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,

    antara lain3,4:

    Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III

    pada beberapa penyakit elain miastenia gravis, antara lain :

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    54/63

    o Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)

    o Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring

    o Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii

    o Paralisis pasca difteri

    o Pseudoptosis pada trachoma

    Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya

    suatu sklerosis multipleks.

    Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)

    Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan

    pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan ke;emahan relatif

    pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga

    pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering,

    dan sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma

    pada paru.

    EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia gravis.

    Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)

    tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).

    Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik

    sedangkan kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana

    pelepasan asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah

    asetilkolin yang akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi

    untuk menimbulkan depolarisasi.

    2.8 PENATALAKSANAAN

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    55/63

    Walaupun belum ada penelitian tentang strategi pengobatan yang

    pasti, tetapi miastenia gravis merupakan kelainan neurologik yang paling

    dapat diobati. Antikolinesterase (asetilkolinesterase inhibitor) dan terapi

    imunomudulasi merupakan penatalaksanaan utama pada miastenia gravis.

    Antikolinesterase biasanya digunakan pada miastenia gravis yang ringan.

    Sedangkan pada psien dengn miastenia gravis generalisata, perlu dilakukan

    terapi imunomudulasi yang rutin4.

    Terapi imunosupresif dan imunomodulasi yang dikombainasikan

    dengan pemberian antibiotik dan penunjang ventilasi, mapu menghambat

    terjadinya mortalitas dan menurunkan morbiditas pada penderita miastenia

    gravis. Pengobatan ini dapat digolongkan menjadi terapi yang dapat

    memulihkan kekuatan otot secara cepat dan terpai yang memiliki onset

    lebih lambat tetapi memiliki efek yang lebih lama sehingga dapat mencegah

    terjadinya kekambuhan2.

    2.8.1 Terapi Jangka Pendek untuk Intervensi Keadaan Akut

    2.8.1.1 Plasma Exchange(PE)2

    Jumlah pasien yang mendapat tindakan berupa hospitalisasi dan

    intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan

    karena efek dramatis dari PE. Dasar terapi dengan PE adalah pemindahan

    anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah menurunnya

    titer antibodi.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    56/63

    PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka

    pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Terapi ini digunakan pada

    pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat

    memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani thymektomi atau pasien

    yang kesulitan menjalani periode postoperative.

    Belum ada regimen standar untuk terapi ini, tetapi banyak pusat

    kesehatan yang mengganti sekitar satu volume plasma tiap kali terapi untuk

    5 atau 6 kali terapi setiap hari. Albumin (5%) dengan larutan salin yang

    disuplementasikan dengan kalsium dan natrium dapat digunakan untuk

    replacement. Efek PE akan muncul pada 24 jam pertama dan dapat

    bertahan hingga lebih dari 10 minggu.

    Efek samping utama dari terapi PE adalah terjadinya pergeseran

    cairan selama pertukaran berlangsung. Terjadi retensi kalsium, magnesium,

    dan natrium yang dpat menimbulkan terjadinya hipotensi. Trombositopenia

    dan perubahan pada berbagai faktor pembekuan darah dapat terjadi pada

    terapi PE berulang. Tetapi hal itu bukan merupakan suatu keadaan yang

    dapat dihubungkan dengan terjadinya perdarahan, dan pemberian fresh-

    frozen plasmatidak diperlukan.

    2.8.1.2 Intravenous Immunoglobulin(IVIG)2

    Produk tertentu dimana 99% merupakan IgG adalah complement-

    activating aggregatesyang relatif aman untuk diberikan secara intravena.

    Mekanisme kerja dari IVIG belum diketahui secara pasti, tetapi IVIG

    diperkirakan mampu memodulasi respon imun. Reduksi dari titer antibody

    tidak dapat dibuktikan secara klinis, karena pada sebagian besar pasien

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    57/63

    tidak terdapat penurunan dari titer antibodi. Efek dari terapi dengan IVIG

    dapat muncul sekitar 3-4 hari setelah memulai terapi.

    IVIG diindikasikan pada pasien yang juga menggunakan terapi PE,

    karena kedua terapi ini memiliki onset yang cepat dengan durasi yang hanya

    beberapa minggu. Tetapi berdasarkan pengalaman dan beberapa data, tidak

    terdapat respon yang sama antara terapi PE dengan IVIG, sehingga banyak

    pusat kesehatan yang tidak menggunakan IVIG sebagai terapi awal untuk

    pasien dalam kondisi krisis.

    Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,

    dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. IVIG dilaporkan memiliki

    keuntungan klinis berupa penurunan level anti-asetilkolin reseptor yang

    dimulai sejak 10 hingga 15 hari sejak dilakukan pemasangan infus.

    Efek samping dari terapi dengan menggunakan IVIG adalah nyeri

    kepala yang hebat, serta rasa mual selama pemasangan infus, sehingga

    tetesan infus menjadi lebih lambat. Flulike symdrome seperti demam,

    menggigil, mual, muntah, sakit kepala, dan malaise dapat terjadi pada 24

    jam pertama.

    2.8.1.3 Intravenous Methylprednisolone (IVMp)2

    IVMp diberikan dengan dosis 2 gram dalam waktu 12 jam. Bila tidak

    ada respon, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian. Jika respon

    masih juga tidak ada, maka pemberian dapat diulangi 5 hari kemudian.

    Sekitar 10 dari 15 pasien menunjukkan respon terhadap IVMp pada terapi

    kedua, sedangkan 2 pasien lainnya menunjukkan respon pada terapi ketiga.

    Efek maksimal tercapai dalam waktu sekitar 1 minggu setelah terapi.

  • 5/19/2018 Laporan Refreshing

    58/63

    Penggunaan IVMp pada keadaan krisisakan dipertimbangka