33
Skenario 1: Sariawan di saat Ujian Semester Tina, mahasiswa FKG, 20 tahun datang ke RSGM dengan keluhan sariawan sejak 5 hari yang lalu. Sariawan ini muncul ketika Tina tengah menghadapi ujian semester. Riwayat sebelumnya menyatakan bahwa sariawan muncul setiap kali terasa kecapekan atau jika beban pikirannya terlalu banyak. Dokter menjelaskan bahwa sariawan dan gejala yang terjadi pada Tina merupakan akibat Stres. Stres dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem imun (psikoneuroimunologi), sehingga sistem imun terganggu dan mudah terjadi infeksi. Ujian merupakan Stresor yang dapat menimbulkan manifestasi di rongga mulut Stomatitis Aftosa Rekuren. Oleh karena itu, selain mendapat obat untuk sariawan, Tina juga mendapatkan terapi untuk mengatasi stresnya. Step 1 Psikis : mental, psikologi, jiwa Psikoneuroimunologi : cabang ilmu yang membahas mengenai hubungan antara psikis, yaitu Stres psikologis dengan sistem saraf, sistem endokrin dan sistem imun yang nantinya juga dihubungkan dengan manifestasinya di seluruh tubuh. Stres : Respon tubuh baik fisik maupun psikis dalam menyesuaikan diri terhadap tekanan yang berpengaruh pada fisik dan emosi. 1

laporan sk 1 klp 6

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: laporan sk 1 klp 6

Skenario 1: Sariawan di saat Ujian Semester

Tina, mahasiswa FKG, 20 tahun datang ke RSGM dengan keluhan sariawan sejak

5 hari yang lalu. Sariawan ini muncul ketika Tina tengah menghadapi ujian

semester. Riwayat sebelumnya menyatakan bahwa sariawan muncul setiap kali

terasa kecapekan atau jika beban pikirannya terlalu banyak. Dokter menjelaskan

bahwa sariawan dan gejala yang terjadi pada Tina merupakan akibat Stres. Stres

dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem imun (psikoneuroimunologi),

sehingga sistem imun terganggu dan mudah terjadi infeksi. Ujian merupakan

Stresor yang dapat menimbulkan manifestasi di rongga mulut Stomatitis Aftosa

Rekuren. Oleh karena itu, selain mendapat obat untuk sariawan, Tina juga

mendapatkan terapi untuk mengatasi stresnya.

Step 1

Psikis : mental, psikologi, jiwa

Psikoneuroimunologi : cabang ilmu yang membahas mengenai hubungan antara

psikis, yaitu Stres psikologis dengan sistem saraf, sistem

endokrin dan sistem imun yang nantinya juga dihubungkan

dengan manifestasinya di seluruh tubuh.

Stres : Respon tubuh baik fisik maupun psikis dalam

menyesuaikan diri terhadap tekanan yang berpengaruh pada

fisik dan emosi. Apabila terjadi terus menerus Stres dapat

mengakibatkan gangguan pada tubuh.

Stres dibagi menjadi dua, Stres akut yang terjadi dalam

jangka waktu pendek dan Stres kronis yang terjadi dalam

jangka waktu panjang.

Stomatitis Aftosa Rekuren: peradangan pada mukosa rongga mulut yang berwarna

putih kekuningan, dengan bentuk bulat atau lonjong, dan

terkadang disertai rasa terbakar pada bagian yang sakit.

Gejala klinis: ulser putih kekuningan, tepi meradang.

Namun ketika tahap akan sembuh, radang makin

menghilang. Penyakit yang terlihat sepele, namun dapat

1

Page 2: laporan sk 1 klp 6

menyebabkan rasa tidak nyaman sehingga kesulitan

mengunyah.

Step 2

1. Bagaimanakah hubungan antara Stres dengan terjadinya RAS?

2. Apakah umur pasien mempengaruhi terjadinya RAS?

3. Bagaimanakah Stres dapat melibatkan psikis, sistem syaraf dan sistem

imun?

4. Apa manifestasi penyakit lain di rongga mulut selain RAS yang

dikarenakan Stresor ujian?

5. Terapi apa yang bisa mengatasi Stres?

6. Apakah RAS dapat terjadi bila disebabkan faktor lain selain ujian?

Step 3

1. Stres menyebabkan penurunan sistem imun, seperti limfosit, NK dan TNF-

α sehingga ketika sebelum terjadi RAS, infeksi menjadi lebih mudah

masuk dan apabila telah terjadi luka RAS, penyembuhannya akan menjadi

lebih lama. Penurunan sistem imun dikarenakan Stres mempengaruhi

hipotalamus yang akan merangsang korteks adrenal menghasilkan kortisol.

Kortisol inilah yang akan menyebabkan sistem imun berkurang.

2. Ya. Pada umur 20 tahun (seperti yang tertulis di skenario), utamanya

wanita saat menstruasi akan mengalami penurunan hormone progesterone

sehingga suplai darah dan keseimbangan sel-sel menurun sehingga rongga

mulut menjadi rentan iritasi dan mudah terjadi luka yang pada akhirnya

mengarah ke RAS. Umur 20 tahun pula, sering terjadi ketidakseimbangan

hormone pada saat Stres sehingga meningkatkan terjadinya RAS. Pada

saat menopause, dapat juga terkena RAS karena kondisi epitel rongga

mulut menurun sehingga faktor pertahanan terhadap terjadinya luka juga

menurun. Pada usia 6-7 tahun Stres ujian tidak terlalu berpengaruh karena

belum banyaknya produksi hormone dibandingkan saat remaja. Namun,

umur dan hormone tidak merupakan faktor utama karena masih ada faktor-

2

Page 3: laporan sk 1 klp 6

faktor lain yang mempengaruhi dan tergantung pula pada intensitasnya.

Semakin sering berkontak dengan faktor, RAS bisa lebih mudah terjadi.

3. Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke

pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan

dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain

dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan

keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan

fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres

telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui

berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT

(Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-

Pituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling

banyak diteliti Aksis.

Stres dan sistem imun tubuh menerima berbagai input, termasuk

stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular

nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan

mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine

vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke

hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis

anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari

prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya.

Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan

glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada

primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai

reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh

secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang

diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor.

Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid

disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui

mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya

disertai penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid

3

Page 4: laporan sk 1 klp 6

dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan

menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar

glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid

gonadal), karena rasio estrogen androgen berubah maka stres

menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding prial.

Selain kenaikan kadar ACTH, beta endorfin, enkefalin dan

katekolamin di peredaran darah juga terjadi penekanan aktifitas sel NK

saat stres. Blalock (1981) melaporkan bahwa limfosit yang mengalami

infeksi virus dapat menghasilkan hormon imunoreaktif (ir), antara lain

irACTH, ir endorfin, irTSH dan limfokin yang sangat mirip dengan

hormon sejenis yang dihasilkan di luar limfosit. Limfosit B dan limfosit T

yang merupakan sel efektor respon imun diketahui mempunyai reseptor

opioid yang berbeda, sehingga pengaturan kualitas maupun kuantitas

opioid ini dapat mengatur respon imun. Pengaruh stres terhadap sistem

imun adalah akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor

neuropeptida pada limfosit B dan limfosit T. Kecocokan neuropeptida dan

reseptornya akan menyebabkan stres dapat mempengaruhi kualitas sistem

imun seseorang.

Beberapa penelitian imunologis menunjukkan stres menyebabkan

penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A),

aktifitas sel natural killer (NK) turun dan produksi interferon gama (IFN-)

turun.

4. Manifestasi selain RAS yaitu herpes, lichen planus dan BMS (Burning

Mouth Syndrome)

5. Terapi yang bisa diberikan antara lain memperbaiki faktor yang

menyebabkan terjadinya Stres, seperti ketika ujian tidak belajar lalu Stres

berarti ketika ada ujian selanjutnya, pasien diarahkan untuk belajar. Terapi

juga bisa dengan berkomunikasi dengan orang lain dan konsultasi dengan

psikolog serta mengkonsumsi makanan-makanan sehat. Selain itu, Stres

yang terjadi akibat dikeluarkannya hormon kortisol dapat diantisipasi

dengan pemberian hormone kortikosteroid secara sistemik.

4

Page 5: laporan sk 1 klp 6

Terapi untuk mengatasi Stres dapat juga dilakukan dengan:

a. Edukasi : memberi informasi pada pasien sehingga pasien paham

dan mengerti

b. Intruksi : pencegahan dan penghindaran Stres berupa pemberian

nasehat

c. Terapi pengobatan: pemberian obat-obatan untuk mengatasi Stres

seperti kortikosteroid

d. Pencegahan: tindakan pencegahan Stres, seperti menjaga kebersihan

dan konsumsi makanan sehat.

6. Selain Stres, RAS juga dapat terjadi dikarenakan faktor-faktor berikut:

a. Hormonal

b. Trauma, seperti pemakaian denture dan alat orto sehingga mengiritasi

mukosa

c. Konsumsi makanan keras

d. Penurunan sistem imun

e. Kekurangan zat besi dan vitamin B12

Step 4

mapping

5

Stres

Sistem Saraf Hormon

Imunsuppresive

Mukosa mulut

Epitel Rongga Mulut Rusak

RAS berulang

Page 6: laporan sk 1 klp 6

Step 5

Learning Objective

Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui:

1. Tentang Stres

2. Mekanisme hubungan psikoneuroimun dengan Stres sehingga

menyebabkan RAS

3. Mekanisme Stres sehingga menyebabkan kerusakan jaringan

4. Pengaruh Stres terhadap infeksi

Step 6

Mandiri

Step 7

1. Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui tentang stress

Pengertian Stres

Stres adalah reaksi/respons tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan

mental/beban kehidupan). Stres dewasa ini digunakan secara bergantian untuk

menjelaskan berbagai stimulus dengan intensitas berlebihan yang tidak disukai

berupa respons fisiologis, perilaku dan subjektif terhadap stresor, konteks yang

menjembatani pertemuan antara individu dengan stimulus yang membuat stres,

semua sebagai suatu sistem (WHO;2003).

Menurut Hans Selye dalam bukunya Hawari (2001) stress adalah respon

tubuh yang sifatnya nonspesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Bila

seseorang telah mengalami stres mengalami gangguan pada satu atau lebih

organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjelaskan fungsi

pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut distres. Pada gejala stres, gejala

yang dikeluhkan penderita didominasi oleh keluhan-keluhan somatik (fisik),

tetapi dapat pula disertai keluhan-keluhan psikis. Tidak semua bentuk stres

mempunyai konotasi negatif, cukup banyak yang bersifat positif, hal tersebut

dikatakan eustres.

6

Page 7: laporan sk 1 klp 6

Menurut Robert S. Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang

menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun

membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis,

emosional, kognitif dan perilaku. Peristiwa yang memunculkan stress dapat

saja positif (misalnya: merencanakan perkawinan) atau negative (contoh:

kematian keluarga). Sesuatu didefinisikan sebagai peristiwa yang menekan

(stressfull event) atau tidak, bergantung pada respon yang diberikan oleh

individu.

Stres adalah stimulus atau situasi yang menimbulkan distres dan

menciptakan tuntutan fisik dan psikis pada seseorang. Stres membutuhkan

koping dan adaptasi. Sindrom adaptasi umum atau Teori Selye,

menggambarkan stres sebagai kerusakan yang terjadi pada tubuh tanpa

mempedulikan apakah penyebab stres tersebut positif atau negatif. Respons

tubuh dapat diprediksi tanpa memerhatikan stresor atau penyebab tertentu

(Issac, 2004)

Jenis Stres

Jenis-jenis Stres menurut Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis

stres menjadi dua, yaitu:

a. Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif,

dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan

individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan,

fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.

b. Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat,

negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk

konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular

dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan

dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.

Dalam hal ini, gejala stres yang akan diteliti merupaka gejala stres yang

bersifat distress, sebagai akibat dari sebuah stres akut yang

berkepanjangan dihitung mulai dari 3 bulan pasca kejadian (stressor)

muncul.

7

Page 8: laporan sk 1 klp 6

Sumber Stres

Stresor adalah semua kondisi stimulasi yang berbahaya dan menghasilkan

reaksi stres, misalnya jumlah semua respons fisiologik nonspesifik yang

menyebabkan kerusakan dalam sistem biologis. Stres reaction acute (reaksi

stres akut) adalah gangguan sementara yang muncul pada seorang individu

tanpa adanya gangguan mental lain yang jelas, terjadi akibat stres fisik dan atau

mental yang sangat berat, biasanya mereda dalam beberapa jam atau hari.

Kerentanan dan kemampuan koping (coping capacity) seseorang memainkan

peranan dalam terjadinya reaksi stres akut dan keparahannya.

Empat variabel psikologik yang dianggap mempengaruhi mekanisme

respons stres:

a) Kontrol: keyakinan bahwa seseorang memiliki kontrol terhadap stresor

yang mengurangi intensitas respon stress

b) Prediktabilitas: stresor yang dapat diprediksi menimbulkan respons stres

yang tidak begitu berat dibandingkan stresor yang tidak dapat diprediksi.

c) Persepsi: pendangan individu tentang dunia dan persepsi stresor saat ini

dapat meningkatkan atau menurunkan intensitas respon stres.

d) Respons koping: ketersediaan dan efektifitas mekanisme mengikat

ansietas, dapat menambah atau mengurangi respon stres.

Sumber stres yang dapat menjadi pemicu munculnya stres pada individu

yaitu:

a. Stressor atau Frustrasi Eksternal (Frustrasi = kekecewaan yang

mendalam).

Stressor eksternal : berasal dari luar diri seseorang, misalnya perubahan

bermakna dalam suhu lingkungan, perubahan dalam peran keluarga atau

sosial, tekanan dari pasangan

b. Stressor atau Frustrasi Internal

Stressor internal : berasal dari dalam diri seseorang, misalnya demam,

kondisi seperti kehamilan atau menopause, atau suatu keadaan emosi

seperti rasa bersalah).

8

Page 9: laporan sk 1 klp 6

Stressor untuk stress dibagi menjadi tiga:

a) Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-

lain.

b) Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian,

jatuh cinta dan lain-lain.

c) Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain

Gejala Stres

Menurut Robert S. Fieldman (1989) stress adalah suatu proses yang

menilai suatu peristiwa sebagai sesuatu yang mengancam, menantang, ataupun

membahayakan dan individu merespon peristiwa itu pada level fisiologis,

emosional, kognitif dan perilaku.

Taylor (1991) menyatakan, stress dapat menghasilkan berbagai respon.

Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat

berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur tingkat

stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihat dalam berbagai aspek,

yaitu:

a. Respon fisiologis, dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah,

detak jantung, detak nadi, dan sistem pernapasan.

b. Respon kognitif, dapat terlihat lewat terganggunya proses kognitif

individu, seperti pikiran menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi,

pikiran berulang, dan pikiran tidak wajar.

c. Respon emosi, dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang

mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah, dan

sebagainya.

d. Respon tingkah laku, dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi

yang menekan, dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Tahap Stres

Menurut Hans Selye, 1950 stress adalah respon tubuh yang bersifat non-

spesifik terhadap setiap tuntutan beban di atasnya. Selye memformulasikan

konsepnya dalam General Adaptation Syndrome (GAS). GAS ini berfungsi

sebagai respon otomatis, respon fisik, dan respon emosi pada seorang individu.

9

Page 10: laporan sk 1 klp 6

Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap berbagai

stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stress berupa serangan bakteri

mikroskopi, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran. Model

GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stress, tubuh kita seperti jam dengan

system alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis.

Respon GAS ini dibagi dalam tiga fase, yaitu:

a. Reaksi waspada (alarm reaction stage)

Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan

munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk

mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem

endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini

disebut juga reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight

reaction).

b. Reaksi Resistensi (resistance stage)

Adalah tahap di mana tubuh berusaha untuk bertahan menghadapi

stres yang berkepanjangan dan menjaga sumber-sumber kekuatan

(membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan). Merupakan

tahap adaptasi di mana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap

mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi pada saat

reaksi waspada.

c. Reaksi Kelelahan (exhaustion stage)

Adalah fase penurunan resistensi, meningkatnya aktivitas para

simpatis dan kemungkinan deteriorasi fisik. Yaitu apabila stresor

tetap berlanjut atau terjadi stresor baru yang dapat memperburuk

keadaan. Tahap kelelahanditandai dengan dominasi cabang

parasimpatis dari ANS. Sebagai akibatnya, detak jantung dan

kecepatan nafas menurun. Apabila sumber stres menetap, kita

dapat menngalami ”penyalit adaptasi” (disease of adaptation),

penyakit yang rentangnya panjang, mulai dari reaksi alergi sampai

penyakit jantung, bahkan sampai kematian.

10

Page 11: laporan sk 1 klp 6

2. Mahasiswa dapat memahami dan mengetahui mekanisme hubungan

psikoneuroimun dengan Stres sehingga menyebabkan RAS

Stimulus stres pertama kali diterima oleh sistim limbik di otak yang

berperan sebagai regulasi stres, perubahan neurokimiawi yang terjadi

selanjutkan akan mengaktivasi beberapa organ lain dalan sistem saraf pusat

untuk selanjutnya akan membangkitkan respon stres secara fisiologis, selular

maupun molekular. Stresor dapat memacu respons imun tubuh terhadap

berbagai stimulus yang dapat mengganggu kemampuan kompensatorik tubuh

dalam upaya mempertahankan homeostatis. Stresor telah diketahui dapat

merangsang sistem tubuh untuk memproduksi hormon stres  utama yaitu

glukokortikoid, epinefrin, norepinefrin, serotonin, dopamin, beta endorfin dan

sebagainya. Respon stress tersebut akan membangkitkan suatu rentetan reaksi

melalui beberapa sumbu (axis), dalam upaya menjaga homeostasis, ada 5

sumbu utama respons stres adalah; 1. Sumbu hypothalamus-pituitary-adrenal

(HPA axis), 2. Sumbu Simpato-adrenal-medulari (SAM), 3, Sumbu CRH-Sel

Mast, 4. Melalui Neuropeptid, 5. Sumbu Hipotalamus-Pituitary-Tiroid, Sumbu

HPA- Sistem reproduksi.

Jalur pertama adalah aktivasi sumbu HPA melalui neuron dalam nukleus

paravestibuler di hipotalamus dan menghasilkan corticotropin releasing

hormone (CRH). Hormon ini akan memacu hipofise anterior melepaskan

adreno-corticotropin hormone (ACTH) yang akan merangsang kelenjar

korteks adrenal untuk melepaskan hormon glukokortikoid atau kortisol.

Hormon ini merupakan produk akhir sumbu HPA yang mempunyai peran

biologis misalnya efek anti-inflamasi dan imunosupresi. Kortisol juga dapat

mempengaruhi  keseimbangan sel Th1/Th2, karena pada permukaan limfosit

terdapat reseptor glukokortikoid. Stimulus yang akan diproses oleh korteks

serebrum diteruskan ke hypotalamus melalui sistem limbik dengan

memproduksi CRH. Hormon tersebut bertindak sebagai pembawa pesan yang

dikirim ke kelenjar hipofise anterior untuk melepaskan ACTH. ACTH

merupakan aktivator kelenjar korteks adrenal untuk memproduksi berbagai

11

Page 12: laporan sk 1 klp 6

hormon. Dengan pengaruh ACTH, korteks adrenal melepaskan hormon

kortisol sedangkan bagian medula kelenjar adrenal yang akan melepaskan

katekolamin terutama epinefrin dan norepinefrin. (lihat gambar 1).

 

Gambar 1. Stres dan CRH mempengaruhi ekspresi respons Th1 dan Th2

oleh Glukokortikoid dan katekolamin. Glukokortikoid menghambat IL-2,

IF- dan IL-12,  sedangkan catekolamin meningkatkan sistesis IL-10

(Elencov 1999)

Secara umum kortisol berperan menekan reaksi radang dan sebagai

imunosupresan. Kortisol menimbulkan efek berbeda terhadap Th1 dan

Th2, sehingga terjadi perubahan keseimbangan Th1/Th2. Pada hewan coba

yang diberi stres akan terjadi dominasi peran sel Th2 dengan

dilepaskannya sitokin tipe 2 misalnya, IL-4, IL-5 dan IL-6. Interleukin ini

sangat berperan dalam respons imun humoral. Buske-Kirschbaum, dkk.

(2002) menyimpulkan bahwa pada dermatitis atopik kronis terjadi

penurunan respons sumbu HPA sehingga kadar kortisol menurun dalam

sirkulasi. Kortisol dapat menghambat  sel Th2 secara langsung dengan

peningkatan IL-4, Selain itu, kortisol menghambat lekosit dari sirkulasi ke

ekstraselular, mengurangi akumulasi monosit dan granulosit di tempat

radang, serta menekan produksi beberapa sitokin dan mediator radang.

12

Page 13: laporan sk 1 klp 6

Pengaruh kortisol terhadap sel imun dimungkinkan karena di

permukaan makrofag, sel natural killer dan sel Th terdapat reseptor

terhadap glukokortikoid (GCR) yang bekerja di dalam sitoplasma dan

mempengaruhi transkripsi sistesis DNA. Penelitian lain juga menunjukkan

stresor akut dapat meningkatkan peran sel Th2, sedangkan stresor kronis

meningkatkan fungsi sel Th1. Penurunan sistesis kortisol akan

menimbulkan pergeseran peran dari Th1 ke arah Th2. Hal ini dapat

menerangkan berbagai penyakit kulit. Atas dasar mekanisme tersebut

kortikosteroid digunakan sebagai terapi untuk berbagai penyakit inflamasi

serta sebagai imunosupresif sistemik maupun topikal.

Selain yang dijabarkan diatas, mekanisme stress hingga akhirnya

menyebabkan RAS dapat dijelaskan secara lebih rinci sebagai berikut.

Stresor untuk organisme kompleks multiseluler seperti manusia,

didefinisikan sebagai stimulus yang oleh otak dianggap ancaman dan

menimbulkan keadaan disforik, serta fisiologis meningkatkan produksi

noradrenalin dan adrenalin untuk mekanisme melawan atau lari. Stresor itu

mencakup rasa nyeri, persepsi ancaman, dan “keterpaksaan” melakukan

aktifitas yang tidak mengikuti ritme fisiologik seperti ritme Sirkadian.

Semua stresor ini dipersepsi oleh otak sebagai kondisi disforik yang

menimbulkan kondisi stres dan mempengaruhi semua fungsi homeostasis

mulai dari kardiovaskular sampai fungsi imun. Selanjutnya ditemukan

bahwa sitokin sebagai bagian sistem imun ternyata juga mengendalikan

neuron dan sel glia otak.

Berdasarkan peran otak tersebut, psikoneuroimunologi

mengemukakan premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu

kesatuan homeostasis melalui fungsi psiko-biologik.

Substrat biologik respon stress

Respon stress terjadi bila seseorang menghadapi stimulus yang diang-

gapnya merupakan ancaman bahaya sebagai stresor. Karena itu respon

stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:

13

Page 14: laporan sk 1 klp 6

1. Etape persepsi stresor

2. Etape respon stress

3. Etape persepsi keberhasilan respon

Setiap etape ini mempunyai substrat biologik utama.

1. Etape persepsi stresor

Substrat biologiknya ialah korteks prefrontalis (KPF), nukleus amigdala,

dan hipocampus, serta sistem reward mesolimbik yang terdiri dari area

tegmental ventralis (ATV), nukleus akumben (NAk). Sedangkan neuro-

transmiter yang berperan ialah GABA (gamma-aminobutiric acid), hormon

katekolamin yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA),

serotonin (5-HT) serta neuropeptida S.

Apabila terjadi stimulus dari luar, maka KPF akan menilai apakah

stimulus itu berbahaya atau tidak dengan menggunakan informasi yang

disimpan dalam hipocampus (memori dari pelajaran atau pengalaman lalu).

Bila dinilai berbahaya, maka neurotransmiter penghambat GABA dihambat,

tercetus sinyal ke amigdala yang akan mencetuskan muatan emosional dari

respon stress tergantung penilaian. Bila menakutkan respon lari, bila

memarahkan respon melawan. Kedua-nya disebut respon melawan atau lari

(fight or flight). Apapun responnya, terjadi reaksi cascade dimulai pening-

katan sekresi serotonin, diikuti pening-katan sekresi dopamin, yang diikuti

lagi oleh peningkatan adrenalin sehing-ga terjadi emosi disforik (tidak

nyaman). Proses berikutnya adalah etape respon stress.

2. Etape respon stress

Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus

(LS)-Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang

juga disebut lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan

ritme Sirkadian. Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA,

glucocorticoid dengan cortisol sebagai hormon stress utama, serta melatonin

yang berkaitan dengan ritme Sirkadian. Etape ini disebut juga Sindroma

14

Page 15: laporan sk 1 klp 6

Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief alarm reaction. Etape ini sangat

mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara umum mengalami

peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami supresi.

Peningkatan NA segera diikuti pening-katan A. Terjadi adrenalin rush, yang

memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari.

Adrenalin rush menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai

ke point of no return dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam

etape ini mengalami disinhibisi sehingga perilaku melawan atau lari terjadi

secara “otomatis” tanpa pengendalian.(9, 10)

3. Etape keberhasilan respon

Substrat biologiknya ialah KPF, dan sistem reward mesolimbik.

Sedangkan neurotransmiter yang paling berperan ialah DA sebagai

neurotransmiter kenikmatan.

Bila perilaku melawan atau lari segera menyelesaikan masalah (hanya

terjadi pada tingkat peradaban pemburu-pengembara), maka kita masuk ke

respon relaksasi. Dalam hal ini DA terikat pada reseptor DRD2 di NAk,

timbul perasaan nyaman, adrenalin dan noradrenalin menurun, glucocorticoid

menurun, semua fungsi homeostasis turun kembali ketingkat basal.

Bagaimana bila respon stress akut gagal mengatasi kondisi stress?

Artinya kita selalu dalam kondisi stress akut yang memobilisasi fungsi

homeostasis sehingga kita selalu dalam reaksi melawan atau lari. Tentu saja

suatu saat kita akan kehabisan energi dan terjadi kerusakan pada hampir

semua sistem organ yang mengganggu homeostasis.

Untuk memahami proses yang terjadi kita akan membahas Sindroma

Adaptasi Umum sebagai respon fisiologik stress.

Sindroma Adaptasi Umum (SAU) sebagai respon fisiologik stress

Melalui penelitian selama 10 tahun pada berbagai hewan, Selye pada tahun

1974 mendeskripsikan tiga tingkat adaptasi terhadap stress berke-lanjutan

(prolonged stres) yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (SAU). Dimulai

dengan initial brief alarm reaction, diikuti periode resistensi berlanjut

15

Page 16: laporan sk 1 klp 6

(prolonged resistance period) dan diakhiri tingkat terminal kelelahan

(terminal stage of exhaustion and death).

Riset glucocorticoid menemukan pada initial brief alarm reaction terjadi

peningkatan tajam kadar gluco-corticoid darah. Selanjutnya pada periode

resistensi ketajaman peningkatan mulai mendatar, tetapi masih lebih tinggi

dari pada kadar basal glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu

titik tiba-tiba kadar glucocorticoid menurun pada tingkat terminal kelelahan,

yang diikuti kematian. Berdasarkan ini, pengukuran kadar glucocorticoid

darah dipakai sebagai metode deteksi tingkat stress yang dapat membahayakan

kehidupan.

Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan

neurotransmiter (yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada

dinding sel neuron otak dan dinding sel pengendali sistem imun serta dinding

sel berbagai organ endokrin. Temuan ini mengesankan saling keterkaitan

fungsi emosi yang dikendalikan susunan saraf pusat dengan fungsi imun yang

merupakan sistem pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang ber-kaitan

dengan homeostasis.

Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan

respon imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental

yang dicetuskan respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental

mempengaruhi respon imun dalam upaya mempertahankan homeostasis

sampai level molekuler. Manifestasi organobiologik SAU ialah hipertrofi

kelenjar adrenal dan atrofi thymus, limpa dan jaringan limfoid, serta ulserasi

gaster.

Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise

dasar; otak merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu

parameter homeostasis.

Initial brief alarm reaction sebagai respon terhadap stress akut

Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar

glucocorticoid dalam darah akibat aktifitas otak mela-lui aksis hypothalamic-

pituitary-adre-nal (HPA), selanjutnya melalui reaksi cascade akan terjadi

16

Page 17: laporan sk 1 klp 6

aktifitas amigdala dan hippocampus, sistem kardiovaskuler, sistem respirasi,

dan sirkulasi darah, sistem pencernaan, sistem imun, mukosa, dan kulit secara

sistematis sebagai berikut :

Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction

Aktivasi aksis Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA)

Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya,

seperti menghadapi binatang buas atau gempa bumi.

Aktivasi sistem Lokus Sereleus (LS)-Noradrenalin (NA)

Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama cortisol.

Aksis HPA meningkatkan produksi dan pelepasan glucocorticoid termasuk

hormone stress utama cortisol. Selanjutnya cortisol memobilisasi aktifitas

hampir semua sistem homeostasis seperti kardiovaskular, respirasi,

pencernaan, metabolisme, sistem imun, kulit dan mukosa, dalam persiapan

reaksi melawan atau lari (fight or flight).

Pelepasan katekolamin

Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai

neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin

(NA).

Aktivasi amigdala

Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon

emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah

kepada musuh.

Pelepasan neuropeptida S

Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi

stress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan

perasaan khawatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku

melawan atau lari (fight or flight).

Efek pencetus perilaku instinktual

Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi

korteks pre-frontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek,

inhibisi, konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses

17

Page 18: laporan sk 1 klp 6

mental ini memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau

lari secara individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma.

Karena memori jangka pendek dan inhibisi ditekan, satu-satunya fungsi

sosial yang melekat adalah ikatan pada keluarga langsung.

Efek pada memori jangka panjang

Pada saat yang sama, katekolamin sebagai neurotransmiter member sinyal

ke hippocampus untuk merekam pengalaman stresor yang padat emosi ini

sebagai memori jangka panjang. Pada masa prasejarah, kerja otak ini

sangat vital untuk kelestarian karena memori jangka panjang tentang

beragam stimulus berbahaya ini sangat menentukan untuk menghindari

ancaman berbahaya ini di masa depan.

Penekanan fungsi “rem” perilaku otak

Dalam kondisi stress akut, neuron otak “dengan sengaja” meng interpretasi

sinyal kimiawi neurotransmiter untuk inhi-bisi secara salah. Sinyal “off”

justru diinterpretasi “on”, sehingga “rem” perilaku tidak berfungsi. Terjadi

disinhibisi total perilaku dengan patogenesis yang sama dengan

penggunaan cannabis. Seseorang yang merasa terancam akan melakukan

perilaku apapun dalam upaya melawan atau lari.

Respon imun terhadap stress akut

o Paradox cortisol

Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan

mobilisasi pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam

invasi.

Peningkatan cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian

sistem imun, sehingga sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin

mengalami reposisi. Sel tersebut dikirimkan ke bagian tubuh yang paling

berisiko luka atau terkena infeksi, seperti kulit dan kelenjar limfe. Tetapi

secara umum terjadi penekanan fungsi imun yang disebut paradox cortisol

yang bersifat vital karena semua proses homeostasis dimobilisasi untuk

persiapan reaksi melawan atau lari.

18

Page 19: laporan sk 1 klp 6

o Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori

Substrat biomolekuler yang meningkat pada respon stress ialah molekul

sitokin pro-inflamatori, terdiri dari; interleukin-1 (IL-1), interleukin-2 (IL-

2), interleukin-6 (IL-6), interleukin-10 (IL-10), interleukin-12 (IL-12),

interferon-gamma (IFN-Gamma) dan tumor necrosis factor alpha (TNF-α).

Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasi infeksi

apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini.

o Respon sakit

Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini

berfungsi langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit

(sel glia) untuk mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga

diproduksi lokal dalam otak, terutama pada hipotalamus. Karena itu

sitokin memberi kontribusi pada efek perilaku akibat stress fisik dan

mental.

o Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)

Terjadi disregulasi neuro-hormon yang berekspresi dengan supresi respon

imun anti tumor.

o Mediasi sitokin pada respon stress dan inflamatori melalui otak.

Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan proses

inflamatori. Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan

respon adaptif dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon

stress, reaksi inflamasi sangat penting untuk survival. Reaksi inflamasi

sistemik menyebabkan stimulasi terhadap empat fungsi utama yaitu: reaksi

fase akut, sindroma sakit, nyeri, respon stress.

Keempat fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem simpatis.

Dalam hal ini penyakit seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik, dan

sepsis mempunyai karakteristik adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin

pro-inflamatori terhadap anti-inflamatori dan antara T helper (Th1) terhadap

(Th2).

19

Page 20: laporan sk 1 klp 6

3. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mekanisme Stres sehingga

menyebabkan kerusakan jaringan

Glukokortikoid termasuk kortisol akan menekan fungsi imun seperti fungsi

SigA, IgG dan fungsi neutrofil. Stres juga mengakibatkan respons yang akan

ditransmisikan ke sistem saraf otonom, lalu ke medula adrenal, yang akan

disekresikan katekolamin berupa epinerin dan norepinefrin. Katekolamin

menginduksi pelepasan prostaglandin dan protease, jika keduanya kadarnya

tinggi dapat menyebabkan distruksi jaringan.

4. Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami pengaruh stress terhadap

infeksi

Respons stres mengakibatkan hipotalamus mengeluarkan CRH kemudian

CRH stimulasi kelenjar pituitari melepas ACTH, ACTH stimulasi korteks

adrenal memproduksi kortisol. Glukokortikoid termasuk kortisol menekan

fungsi imun seperti fungsi SIgA, IgG dan fungsi neutrofil. IgA dirangkaian

dengan sekretori yang di produksi oleh sel lokal, komponen sekretori bertindak

sebagai reseptor untuk memudahkan IgA menembus epitel mukosa.

Fungsi IgA adalah mengikat virus maupun bakteri sehingga mencegah

mikroorganisme tersebut melekat pada permukaan mukosa. IgA mengaktivasi

komplemen melalui jalur alternatif sehingga mikroorganisme mudah

difagositosis. Penurunan fungsi IgA pada stres akan mempermudah perlekatan

mikroorganisme ke mukosa sehingga mikroorganisme mudah invasi ke

mukosa, mikroorganisme juga sulit di fagosit menyebabkan mudah terjadi

infeksi.

IgG merupakan imunoglobulin utama yang dibentuk atas rangsangan

antigen. IgG paling mudah berdifusi ke dalam jaringan ekstravaskuler dan

melakukan aktivitas antibodi di jaringan. IgG melapisi mikroorganisme

sehingga partikel itu lebih mudah difagositosis, disamping itu IgG juga mampu

menetralisasi toksin dan virus. IgG dapat melekat pada reseptor Fc yang

terdapat pada permukaan sel sasaran dan memungkinkan terjadinya proses

ADCC. Penurunan fungsi IgG pada stres akan memudahkan terjadinya kondisi

patologis, karena penurunan fagositosis, toksin dan virus tidak bisa dinetralisir.

20

Page 21: laporan sk 1 klp 6

Neutrofil bereaksi cepat terhadap rangsangan, dapat bergerak menuju

daerah inflamasi karena dirangsang oleh faktor kemotaktik antara lain

dilepaskan oleh komplemen dan limfosit teraktivasi.

Seperti halnya makrofag, fungsi neutrofil yang utama adalah memberikan

respon imun non spesifik dengan melakukan fagositosis serta membunuh dan

menyingkirkan mikroorganisme. Fungsi ini didukung dan ditingkatkan oleh

komplemen atau antibodi. Neutrofil juga mempunyai granula yang berisi enzim

perusak dan berbagai protein yang merusak mikroorganisme pada kondisi stres

fungsi neurtofil mengalami penurunan, fagositosis menurun, penurunan dalam

membunuh mikroorganisme.

Respons dari stres mengeluarkan glukokortikoid termasuk kortisol,

glukokortikoid termasuk kortisol efek terhadap sistem imun, yaitu

imunosupresi dan efek anti- inflamasi. Efek ini lebih banyak melibatkan respos

imun selular, efek anti inflamasi yaitu menekan penimbunan sel–sel lekosit

pada daerah radang. Kortisol menekan SigA, IgG dan sel neutrofil akan

menyebabkan mudah terjadi infeksi. Banyaknya mediator IL-1 dan matrik

metaloproteinase menyebabkan terjadinya penyakit RAS

21