43
LAPORAN TUTORIAL SKENARIO 3 BLOK GERIATRI IMOBILISASI PADA PASIEN GERIATRI Disusun oleh: Bani Zakiyah (G0010037) Dewantari Saputri (G0010055) Engine Rabindra A. (G0010073) Ivan Setiawan (G0010105) Kevin Wahyudy P. (G0010109) Firstiafina Tiffany (G0010081) Nurlatifah Febriana (G0010143) Shelly Lavenia S. (G0010175) Viola Belivia (G0010193) Winda Aisyah P. (G0010197) Tutor: Dr. Adi Prayitno, drg., M.Kes 1

Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 3 BLOK GERIATRI

IMOBILISASI PADA PASIEN GERIATRI

Disusun oleh:

Bani Zakiyah (G0010037)

Dewantari Saputri (G0010055)

Engine Rabindra A. (G0010073)

Ivan Setiawan (G0010105)

Kevin Wahyudy P. (G0010109)

Firstiafina Tiffany (G0010081)

Nurlatifah Febriana (G0010143)

Shelly Lavenia S. (G0010175)

Viola Belivia (G0010193)

Winda Aisyah P. (G0010197)

Tutor:

Dr. Adi Prayitno, drg., M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2013

1

Page 2: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Imobilisasi adalah suatu keadaan tidak bergerak atau tirah baring

selama lebih dari 3 hari, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat

perubahan fisiologik. Imobilisasi menjadi suatu masalah yang cukup besar

di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah

psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang

akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan,

serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para

mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai

imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Adapun kasus dalam

skenario kali ini sebagai berikut:

MBAH SURO MOGOK MAKAN

Mbah Suro, 80 tahun dibawa ke UGD RS Moewardi karena tidak

mau makan, lemas, dan nampak gelisah. Sudah 5 hari tidak buang air

besar. Hampir 2 minggu, Mbah Suro tiduran terus, karena lemas dan

batuk, berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri

dada. Dan tidak mau dibawa berobat.

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/70

mmHg, RR 30x/ menit, T 36oC, HR 108x/ menit. Pada pemeriksaan paru

sebelah kanan didapatkan ronkhi basah kasar, suara dasar bronkhial, dan

fremitus raba meningkat. Tampak luka pada punggung bawah berukuran

4x5cm dengan dasar luka kemerahan. Skor Norton 9. Hasil lab: leukosit

7.500. Foto thorax menunjukkan kesuraman homogen pada paru sebelah

kanan.

Di UGD diberikan oksigenasi, antibiotik, dan terapi cairan.

Kemudian dirawat di ruang rawat geriatri dengan medikasi dan kasur

dekubitus. Direncanakan konsul ke rehabilitasi medik.

2

Page 3: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam skenario ini antara lain:

1. Bagaimanakah patosisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien?

2. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaannya?

3. Apa saja indikasi terapi yang diberikan kepada pasien?

4. Bagaimanakah hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien?

5. Bagaimanakah mekanisme respon imun pada lansia?

6. Apa saja indikasi rehabilitasi medik pada geriatri?

7. Apakah ada hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami?

C. Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai antara lain mahasiswa mampu:

1. Menjelaskan patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien.

2. Menjelaskan interpretasi hasil pemeriksaannya.

3. Menjelaskan indikasi terapi yang diberikan kepada pasien.

4. Menjelaskan hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien.

5. Menjelaskan mekanisme respon imun pada lansia.

6. Menjelaskan indikasi rehabilitasi medik pada geriatri.

7. Menjelaskan hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami.

D. Manfaat

Adapun manfaat yang didapatkan antara lain, mahasiswa:

1. Memahami patofisiologi dari gejala-gejala yang dialami pasien.

2. Memahami interpretasi hasil pemeriksaannya.

3. Memahami indikasi terapi yang diberikan kepada pasien.

4. Memahami hubungan luka dengan penyakit yang diderita pasien.

5. Memahami mekanisme respon imun pada lansia.

6. Memahami indikasi rehabilitasi medik pada geriatri.

7. Memahami hubungan faktor usia dengan gejala-gejala yang dialami.

3

Page 4: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imobilisasi

Imobilisasi didefinisikan sebagai hilangnya gerakan anatomi karena

perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari mungkin lebih

dikenal sebagai bed rest atau ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas di

tempat tidur, dan berpindah tempat (Laksmi et al, 2008).

Dalam praktek medis dan rehabilisasi medis, istilah imobilisasi

diterapkan untuk menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis akibat

berkurangnya aktivitas. Imobilisasi dapat menyebabkan proses degenerasi

yang terjadi pada hampir semua sistem organ sebagai akibat dari perubahan

tekanan gravitasi dan penurunan fungsi motorik. Organ yang sering terkena

antara lain muskuloskeletal (osteoporosis, penurunan masa tulang, penurunan

masa otot), kardiovaskuler (peningkatan heart rate, penurunan perfusi

myocardium, penurunan volume plasma, hiperkoagulasi), integumen

(dekubitus), metabolik (hiperkalsiuri, resistensi insulin, hiperlipidemia),

gastrointestinal (inkontinensia urin dan alvi, gangguan pengosongan vesika

urinaria, konstipasi), neurologi dan psikiatri (depresi, psikosis, penurunan

kognitif) (Laksmi et al, 2008).

Tatalaksana umum pada pasien imobilisasi membutuhkan kerjasama

tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwedha.

Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama,

pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan

pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu

pasien. Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional,

dan pembuatan rencana terapi yang mencakup perkiraan waktu yang

diperlukan untuk mencapai target terapi, kenali dan berikan terapi bila terjadi

infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin

terjadi pada kasus imobilisasi, serta penyakit/ kondisi penyerta lainnya.

Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi. Obat-obatan yang dapat

4

Page 5: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau

dihentikan bila memungkinkan. Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan

dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral.

Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis

terjadi meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan gerak sendi (pasif,

aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguat otot-otot (iosotonik,

isometrik, isokinetik) latihan koordinasi/ keseimbangan, dan ambulasi

terbatas. Bila diperlukan, ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan

ambulasi. Manajemen miksi dan defekasi. Pada keadaan-keadaan khusus

konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten. Lakukan

remobilisasi segera dan bertahap pada pasien-pasien yang mengalami sakit

atau dirawat di rumah sakit dan panti wredha untuk mobilitas yang adekuat

bagi usia lanjut yang mengalami disabilitas permanen (Carpenito, 1999).

Komplikasi pada pasien-pasien imobilisasi antara lain:

1. Trombosis vena dalam, merupakan salah satu gangguan vaskular

perifer yang penyebabnya multifaktorial, meliputi faktor genetik dan

lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risko trombosis

vena dalam yaitu karena adanya luka di vena dalam karena trauma atau

pembedahan, sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan

berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik

di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama, dan

adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya. Gejala

trombosis vena bervariasi, dapat berupa rasa panas, bengkak,

kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai (Craven dan Hirnle, 2000).

2. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu

refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan

nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan

oleh emboli karena trombosis vena dalam. Berkaitan dengan trombosis

vena dalam, emboli paru disebabkan oleh karena trombosis yang

biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan

5

Page 6: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang

dapat berakibat fatal. Emboli paru akibat trombosis merupakan

penyebab kesakitan dan kematian pada pasien lanjut usia (Craven dan

Hirnle, 2000).

3. Kelemahan Otot

Imobilisasi akan menyebabkan atrofi otot dengan penurunan ukuran

dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan diperkirakan 1-2% sehari.

Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi sering kali terjadi

berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, dan jatuh (Craven

dan Hirnle, 2000).

4. Kontraktur Otot dan Sendi

Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami

kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul

nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan

sendi yang kontraktur tersebut (Craven dan Hirnle, 2000).

5. Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara

reabsorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi meningkatkan

resabsorpsi tulang, meningkatkan kalsium serum, menghambat sekresi

PTH, dan produksi vitamin D3 aktif. Faktor utama yang menyebabkan

kehilangan massa tulang pada imobilisasi adalah meningkatnya

resorpsi tulang (Craven dan Hirnle, 2000).

6. Ulkus Dekubitus

Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi

pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Jumlah tekanan yang dapat

mempengaruhi mikro sirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar atara 25

mmHg. Tekanan lebih dari 25 mmHg secara terus-menerus pada kulit

atau jaringan lunak dalam waktu lama akan menyebabkan kompresi

pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh dalam waktu lama akan

mengakibatkan trombosis intra arteri dan gumpalan fibrin yang secara

permanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan

6

Page 7: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

mengakibatkan pembuluh darah tidak dapat terbuka dan akhirnya

terbentuk luka akibat tekanan (Craven dan Hirnle, 2000).

7. Hipotensi Postural

Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebesar 20 mmHg

dari posisi berbaring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang

sering timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Pada posisi

berdiri, secara normal 600-800 ml darah dialirkan ke bagian tubuh

inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut

menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20%, penurunan

volume sekuncup 35%, dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak

30%. Pada orang normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan

vasokonstriksi dan peningkatan denyut jantung yang menyebabkan

tekanan darah tidak turun. Pada lansia, umumnya fungsi baroreseptor

menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan

mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri

dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada lansia

(Craven dan Hirnle, 2000).

8. Pneumonia dan Infeksi Saluran Kencing (ISK)

Akibat imobilisasi, retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi

pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan

interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada

juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar dan

pasien mudah terkena pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat

tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih.

Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami

imobilisasi yang disebabkan ketidakmampuan ke toilet, berkemih yang

tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensai kandung

kemih (Craven dan Hirnle, 2000).

9. Gangguan nutrisi (hipoalbuminemia)

Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan sistem endokrin

yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi.

7

Page 8: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Salah satu yang terjadi adalah perubahan metabolisme protein. Kadar

plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut yang mobilisasi sehingga

menyebabkan metabolisme menjadi katabolisme. Keadaan tidak

beraktifitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi

nitrogen urin sehingga terjadi hipoproteinemia (Craven dan Hirnle,

2000).

10. Konstipasi dan Skibala

Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon.

Semakin lama feses tinggal di usus besar, absorbsi cairan akan lebih

besar sehingga feses akan menjadi lebih keras (Craven dan Hirnle,

2000).

B. Ulkus Dekubitus

1. Definisi

Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti

merebahkan diri yang didefenisikan sebagai suatu luka akibat posisi

penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam

(Sabandar, 2008). Potter & Perry (2005) mengatakan dekubitus merupakan

nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak

tertekan diantara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam

jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan

mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan

nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor

yang mengganggu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dengan

cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang

menyebabkan iskemi jaringan.

2. Faktor Risiko Dekubitus

Faktor yang menjadi predisposisi terjadi luka dekubitus pada

pasien yaitu:

a. Gangguan Input Sensorik

8

Page 9: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri

dan tekanan, beresiko tinggi menggalami gangguan integritas kulit

daripada pasien yang sensasinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi

sensorik yang utuh terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah

satu bagian tubuhnya merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar,

sehingga ketika pasien sadar dan berorientasi mereka dapat mengubah atau

meminta bantuan untuk mengubah posisi (Potter dan Perry, 2005).

b. Gangguan Fungsi Motorik

Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri beresiko

tinggi terhadap dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi

tidak mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan

tekanan tersebut. Hal ini meningkatkan peluang terjadinya dekubitus. Pada

pasien yang mengalami cedera medulla spinalis terdapat gangguan

motorik dan sensorik. Angka kejadian dekubitus pada pasien yang

mengalami cedera medulla spinalis diperkirakan sebesar 85%, dan

komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan penyebab

kematian pada 8% populasi ini (Potter dan Perry, 2005).

c. Perubahan Tingkat Kesadaran

Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat

kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus.

Pasien bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi

tidak mampu memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien

koma tidak dapat merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke

posisi yang labih baik. Selain itu pada pasien yang mengalami perubahan

tingkat kesadaran lebih mudah menjadi bingung. Beberapa contoh adalah

pada pasien yang berada di ruang operasi dan untuk perawatan intensif

dengan pemberian sedasi (Potter dan Perry, 2005).

d. Gips, Traksi, Alat Ortotik dan Peralatan Lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya.

Pasien yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena

adanya gaya friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek

9

Page 10: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

pada kulit. Gaya mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips

pada kulit jika gips terlalu ketat dikeringkan atau ekstremitasnya bengkak.

Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan

pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus

merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini (Potter dan

Perry, 2005).

e. Nutrisi Buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan jaringan

subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi

sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh

karena itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut (Potter & Perry,

2005). Pasien yang mengalami malnutrisi mengalami defisiensi protein

dan keseimbangan nitrogen negatif dan tidak adekuat asupan vitamin C.

Status nutrisi buruk dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan

sama dengan atau lebih dari berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi

buruk biasa mengalami hipoalbuminemia (level albumin serum dibawah

3g/ 100 ml) dan anemia (Potter dan Perry, 2005).

Albumin adalah ukuran variable yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang albumin serumnya

dibawah 3g/ 100 ml beresiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah

dihubungkan dengan lambatnya penyembuhan luka. Walaupun kadar

albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan protein viseral,

tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk semua

kelompok manusia (Potter dan Perry, 2005).

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka

dekubitus, level total protein dibawah 5,4 g/ 100 ml menurunkan tekanan

osmotik koloid, yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan

oksigen ke jaringan. Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan

yang berada di bawahnya terhadap tekanan, friksi, dan gaya gesek. Selain

itu, penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang

menyebabkan cedera jaringan (Potter dan Perry, 2005).

10

Page 11: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan

elektrolit. Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat,

hipoalbuminemia menyebabkan perpindahan volume cairan ekstrasel ke

dalam jaringan sehingga terjadi edema. Edema dapat meningkatkan risiko

terjadi dekubitus di jaringan. Suplai darah pada suplai jaringan edema

menurun dan produk sisa tetap tinggal karena terdapatnya perubahan

tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Potter dan Perry, 2005).

3. Patogenesis Dekubitus

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadinya dekubitus yaitu:

a. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler

b. Durasi dan besarnya tekanan

c. Toleransi jaringan

Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antar waktu dengan

tekanan. Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula

insidensinya terbentuknya luka (Potter dan Perry, 2005).

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan.

Tapi pada tekanan eksternal terbesar dari pada tekanan dasar kapiler akan

menurunkan atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan

sekitarnya. Jaringan ini menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi.

Jika tekanan ini lebih besar dari 32 mmHg dan tidak dihilangkan dari

tempat yang mengalami hipoksia, maka pembuluh darah kolaps dan

trombosis. Saat tekanan dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi

pada jaringan akan pulih kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia

reaktif, karena kulit mempunyai kemampuan yang lebih besar untuk

mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus dimulai di tulang dengan

iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang akhirnya melebar ke

epidermis (Potter dan Perry, 2005).

Pembentukan dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya

gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area

sakral dan tumit merupakan area yang paling rentan. Efek tekanan juga

dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata.

11

Page 12: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Seseorang mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan

tempatnya berada karena adanya gravitasi. Jika tekanan tidak terdistribusi

secara merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang

mendapatkan tekanan akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik

tekanan mengalami gangguan (Potter dan Perry, 2005).

4. Klasifikasi Luka Dekubitus

Salah satu cara yang paling sesuai untuk mengklasifikasikan

dekubitus adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan:

a. Derajat I: Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang

diperbesar. Kulit tidak berwarna, hangat, atau keras juga dapat

menjadi indikator.

b. Derajat II: Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis

dan dermis. Luka superficial dan secara klinis terlihat seperti

abrasi, lecet, atau lubang yang dangkal.

c. Derajat III: Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan

subkutan atau nekrotik yang mungkin akan melebar ke bawah tapi

tidak melampaui fascia yang berada di bawahnya. Luka secara

klinis terlihat seperti lubang yang dalam dengan atau tanpa

merusak jaringan sekitarnya.

d. Derajat IV: Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi

ekstensif, nekrosis jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau

struktur penyangga misalnya kerusakan jaringan epidermis, dermis,

subkutaneus, otot dan kapsul sendi (Potter dan Perry, 2005).

5. Komplikasi Luka Dekubitus

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar

(2008) komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik aerobik maupun

anaerobik.

b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, dan

osteotitis.

12

Page 13: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

c. Septikemia

d. Anemia

e. Hipoalbuminemia

f. Kematian

6. Tempat terjadinya Luka Dekubitus

Beberapa tempat yang paling sering terjdinya dekubitus adalah

sakrum, tumit, siku, maleolus lateral, trochanter besar, dan tuberostis iskial.

Menurut Potter dan Perry (2005) daerah tubuh yang sering terkena luka

dekubitus adalah:

a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang

kepala, daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala

(terutama daun telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit

pergelangan kaki dan bagian atas jari-jari kaki.

c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang

iga, dan lutut.

7. Penatalaksanaan Dekubitus

Pengelolaan dekubitus diawali dengan kewaspadaan untuk

mencegah terjadinya dekubitus dengan mengenal penderita risiko tinggi

terjadinya dekubitus, misalnya pada penderita yang immobili dan

konfusio. Usaha untuk meramalkan terjadinya dekubitus ini antara lain

dengan memakai sistem skor Norton. Skor Norton adalah skala pengkajian

dekubitus untuk memprediksi timbulnya dekubitus pada pasien usia lanjut.

Skala ini diciptakan berdasarkan pengalaman klinik yang mencakup lima

variabel yaitu kondisi fisik, kondisi mental, aktifitas, mobilitas dan

inkontinensia. Maksimum skor yang dapat dicapai pada skala ini adalah

20. Skor lebih dari 18 berarti risiko dekubitus masih rendah, 14-18 risiko

sedang, 10-13 risiko tinggi dan kurang dari 10 termasuk kategori sangat

tinggi. Validitas skala ini juga sudah diteliti oleh beberapa studi dengan

menampilkan sensivitas dan spesifikasi pada area yang berbeda-beda.

Keunggulan skala ini adalah karena sangat simpel untuk digunakan dan

13

Page 14: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

tidak memerlukan waktu yang lama untuk menggunakannya. Dengan

evaluasi skor ini dapat dilihat perkembangan penderita. Tindakan

berikutnya adalah menjaga kebersihan penderita khususnya kulit, dengan

memandikan setiap hari. Sesudah keringkan dengan baik lalu digosok

dengan lotion, terutama dibagian kulit yang ada pada tonjolan-tonjolan

tulang. Sebaiknya diberikan massase untuk melancarkan sirkulasi darah,

semua ekskreta/ sekreta harus dibersihkan dengan hati-hati agar tidak

menyebabkan lecet pada kulit penderita (Hidayat et al, 2009).

Tindakan selanjutnya yang berguna baik untuk pencegahan

maupun setelah terjadinya dekubitus adalah:

a. Meningkatkan status kesehatan penderita.

Meningkatkan status kesehatan dapat dilakukan dengan cara

memperbaiki dan menjaga keadaan umum penderita, misalnya

anemia diatasi, hipoalbuminemia dikoreksi, nutirisi dan hidarasi

yang cukup, vitamin (vitamin C) dan mineral (Zn) ditambahkan,

mengatasi/ mengobati penyakit-penyakit yang ada pada penderita,

misalnya DM (Hidayat et al, 2009).

b. Mengurangi/ memeratakan faktor tekanan yang mengganggu aliran

darah.

1) Alih posisi/ alih baring/ tidur selang seling, paling lama tiap

dua jam. Kekurangan pada cara ini adalah ketergantungan

pada tenaga perawat yang kadang-kadang sudah sangat

kurang, dan kadang-kadang mengganggu istirahat penderita

bahkan menyakitkan.

2) Kasur khusus untuk lebih membagi rata tekan yang terjadi

pada tubuh penderita, misalnya kasur dengan gelembung

tekan udara yang naik turun, kasur air yang temperatur airnya

dapat diatur.

3) Regangan kulit dan lipatan kulit yang menyebabkan sirkulasi

darah setempat terganggu, dapat dikurangi antara lain:

14

Page 15: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

a.) Menjaga posisi penderita, apakah ditidurkan rata pada

tempat tidurnya atau duduk dikursi.

b.) Bantuan balok penyangga kedua kaki, bantal-bantal

kecil utuk menahan tubuh penderita.

c.) Diluar negeri sering digunakan kulit domba dengan

bulu yang lembut dan tebal sebagai alas tubuh penderita

(Hidayat et al, 2009).

Begitu tampak kulit yang hiperemis pada tubuh penderita,

khususnya pada tempat-tempat yang sering terjadi dekubitus, semua

usaha-usaha diatas dilakukan dengan lebih cermat untuk memperbaiki

iskemia yang terjadi, sebab sekali terjadi kerusakan jaringan upaya

penyembuhan akan lebih rumit (Hidayat et al, 2009).

Bila sudah terjadi dekubitus, tentukan stadium dan tindakan medik

menyesuaikan apa yang dihadapi:

a. Dekubitus derajat I

Dengan reaksi peradangan masih terbatas pada epidermis, kulit

yang kemerahan dibersihkan hati-hati dengan air hangat dan sabun,

diberi lotion, kemudian dimassase 2-3 kali/ hari.

b. Dekubitus derajat II

Dimana sudah terjadi ulkus yang dangkal, perawatan luka harus

memperhatikan syarat-syarat aseptik dan antiseptik. Daerah

bersangkutan digesek dengan es dan dihembus dengan udara

hangat bergantian untuk merangsang sirkulasi. Dapat diberikan

salep topikal, mungkin juga untuk merangsang tumbuhnya jaringan

muda/ granulasi. Penggantian balut dan salep ini jangan terlalu

sering karena malahan dapat merusak pertumbuhan jaringan yang

diharapkan.

c. Dekubitus derajat III

Dengan ulkus yang sudah dalam, menggaung sampai pada bungkus

otot dan sering sudah ada infeksi.Usahakan luka selalu bersih dan

eksudat diusahakan dapat mengalir keluar. Balut jangan terlalu

15

Page 16: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

tebal dan sebaliknya transparan sehingga permeabel untuk

masukknya udara/oksigen dan penguapan.

Kelembaban luka dijaga tetap basah, karena akan mempermudah

regenerasi sel-sel kulit. Jika luka kotor dapat dicuci dengan larutan

NaCl fisiologis. Antibiotik sistemik mungkin diperlukan.

d. Dekubitus derajat IV

Dengan perluasan ulkus sampai pada dasar tulang dan sering pula

diserta jaringan nekrotik. Semua langkah-langkah diatas tetap

dikerjakan dan jaringan nekrotik harus dibersihkan sebab akan

menghalangi pertumbuhgan jaringan/ epitelisasi.

Beberapa preparat enzim coba diberikan untuk usaha ini, dengan

tujuan mengurangi perdarahan, dibanding tindakan bedah yang

juga merupakan alternatif lain. Setelah jaringan nekrotik dibuang

dan luka bersih, penyembuhan luka secara alami dapat diharapkan.

Beberapa usaha mempercepat adalah antara lain dengan

memberikan oksigenisasi pada daerah luka. Tindakan dengan

ultrasono untuk membuka sumbatan-sumbatan pembuluh darah

dan sampai pada transplantasi kulit setempat. Angka mortalitas

dekubitus derajat IV ini dapat mencapai 40% (Hidayat et al, 2009).

C. Skor Norton

Skor Norton merupakan skor untuk mengukur resiko dekubitus,

terdiri dari 5 komponen yaitu kondisi fisik umum, kesadaran, aktivitas,

mobilitas, dan inkotinensia (Pranarka, 2011).

Skor Norton untuk mengukur risiko dekubitus

16

Page 17: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Keterangan:

Skor < 14: risiko tinggi terjadinya ulkus dekubitus

Skor < 12: peningkatan risiko 50x lebih besar terjadinya ulkus dekubitus

Skor 12-13: risiko sedang

Skor >14 : risiko kecil (Pranarka, 2011).

D. Pneumonia

1. Definisi

Pneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru, distal dari

bronkiolus terminalis, dan alveoli yang dapat disebabkan oleh infeksi

bakteri, virus, parasit, dan jamur. Pneumonia menjadi bentuk infeksi

saluran napas bawah yang paling sering dijumpai (Stoppler, 2013).

2. Patogenesis

17

Page 18: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Pneumonia dapat ditularkan melalui droplet yang mengandung

organisme penyebab pneumonia. Patogen yang paling sering dijumpai

adalah kuman Streptococcus pneumonia. Patogen dapat masuk ke trakea

terutama dari aspirasi bahan orofaring dan menyebabkan infeksi pada

parenkim paru setelah melewati mekanisme pertahanan inang berupa daya

tahan mekanik (epitel silia dan mukus), humoral (antibodi dan

komplemen), dan seluler (makrofag, limfosit, dan sitokinnya). Mekanisme

lain penyebaran adalah pasasi bakteri pencernaan ke paru dan secara

hematogen (Sudoyo et al, 2009). Patogen yang masuk ke paru-paru akan

berkolonisasi di alveoli sehingga terjadi akumulasi cairan dan pus pada

area ini sebagai bentuk mekanisme perlawanan tubuh terhadap infeksi

(Stoppler, 2013).

3. Gejala dan Diagnosis

Gejala klinis yang timbul antara lain sesak napas, demam,

menggigil, batuk berdahak, malaise, anoreksia, dan penurunan berat

badan. Pneumonia virus ditandai dengan batuk kering dan non produktif,

mialgia, dan malaise (Sudoyo et al, 2009).

Diagnosis pneumonia berdasarkan gejala-gejala klinis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Tanda fisis pada

pneumonia yaitu tanda konsolidasi paru yang meliputi perkusi paru pekak,

suara napas tambahan ronki nyaring, dan suara napas bronkial. Sedangkan

pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan adalah pemeriksaan radiologis,

laboratorium, dan kultur kuman dari sputum bila patogen kausa adalah

bakteri. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan kesuraman homogen

pada lobus paru akibat adanya infiltrat. Distribusi infiltrat pada lobus

inferior sugestif untuk kuman aspirasi seperti Staphylococcus. Infiltrat

pada lobus superior sering ditimbulkan Klebsiella spp. Pada pemeriksaan

laboratorium didapatkan leukositosis yang menandai adanya infeksi

bakteri. Leukosit yang normal/ rendah disebabkan infeksi virus atau pada

infeksi berat sehingga tidak terjadi respons leukosit seperti pada orang tua

(Sudoyo et al, 2009).

18

Page 19: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

4. Pneumonia pada usia lanjut

Usia lanjut merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

pneumonia karena adanya imobilitas pada lansia. Retensi sputum dan

aspirasi mudah terjadi pada pasien geriatri akibat imobilisasi. Pada posisi

berbaring, otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik

sehingga gerakan dinding dada terbatas sehingga sputum sulit keluar.

Selain itu, daya pegas elastik alveoli pada lansia menurun sehingga terjadi

perubahan tekanan penutup saluran udara kecil. Kondisi tersebut

memudahkan lansia mengalami pneumonia (Sudoyo et al, 2009).

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah pemberian obat untuk

menghilangkan agen infeksi. Bakteri menjadi penyebab tersering

pneumonia sehingga biasanya pemberian antibiotik dilakukan sambil

menunggu hasil pemeriksaan penunjang keluar. Antibiotik yang diberikan

biasanya adalah kombinasi golongan beta laktam dan macrolide. Golongan

beta laktam (penisilin G, amoxicillin, dan lain-lain) merupakan antibiotik

spektrum luas yang akan mengganggu proses sintesis dinding sel kuman.

Golongan macrolide (azitromisin, eritromisin, dan sebagainya) memiliki

mekanisme pengikatan dengan subunit ribosom 50s dan menghambat

disosiasi peptidil tRNA dari ribosom sehingga sintesis protein tergantung

RNA terganggu (Kamangar, 2011).

6. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain pneumonia

ekstrapulmoner seperti meningitis, arthritis, endokarditis, perikarditis,

peritonitis, dan empiema (Sudoyo et al, 2009).

E. Rehabilitasi Medik pada Lansia

Program rehabilitasi medik diberikan pada penderita secara

bersama-sama oleh seorang dokter spesialis rehabilitasi medik,

fisioterapis, okupasiterapis, terapi wicara, ortotis-prostetis, petugas sosial

medik, dan psikolog. Dengan mengevaluasi kemajuan penderita maka

19

Page 20: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

program bisa berubah sesuai dengan kondisi dan kebutuhan penderita,

yang masing-masing individu berbeda. Di bawah ini contoh program

terapi yang sering diberikan pada lansia, antara lain:

1. Program Fisioterapi

Dalam penanganan terapi latihan untuk lansia dimulai dengan

aktifitas fisik ringan kemudian bertahap hingga maksimal yang dapat

dicapai individu. Misalnya:

a. Aktifitas di tempat tidur: positioning, alih baring, latihan aktif

dan pasif lingkup gerak sendi.

b. Mobilisasi: latihan bangun sendiri, duduk, pindah tempat,

berdiri, berjalan.

c. Melakukan aktifitas sehari-hari: mandi, makan, berpakaian

(Ambarwati, 2009).

2. Program Okupasi

Latihan ditunjukkan untuk mendukung aktifitas kehidupan sehari-

hari, dengan memberikan latihan dalam bentuk aktifitas, permainan, atau

langsung pada aktifitas yang diinginkan (Ambarwati, 2009).

3. Program Ortotik-Prostetik

Bila diperlukan alat bantu dalam mendukung aktifitas lansia maka

seorang ortotis-prostetis akan membuat alat penopang, atau alat pengganti

bagian tubuh yang memerlukan sesuai dengan kondisi penderita

(Ambarwati, 2009).

4. Program Terapi Wicara

Program ini bukan hanya untuk wicara saja, tetapi juga ditujukan

untuk latihan menelan kalau ada kelemahan otot-otot sekitar tenggorok

(Ambarwati, 2009).

5. Program sosial-medik

Petugas sosial medik memerlukan data pribadi, keluarga, kondisi

rumah, tingkat sosial ekonomi. Hal ini penting untuk mendukung program

lain, misalnya seorang lansia yang tinggal di rumah yang banyak anak

20

Page 21: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

tangga, sebisa mungkin dibuat landai atau kamar dibuat dekat kamar

mandi (Ambarwati, 2009).

6. Program Psikologi

Dalam menghadapi lansia sering kali harus memperhatikan kondisi

emosionalnya, yang mempunyai ciri-ciri khas pada lansia, misalnya tipe

agresif, atau konstruktif. Diperlukan juga motivasi agar lansia mau

melakukan latihan, mau berkomunikasi, dan bersosialisasi. Hal ini

diperlukan dalam pelaksanaan program lain agar hasilnya bisa lebih baik

(Ambarwati, 2009).

F. Sistem Imunitas pada Lansia

BINDRA

21

Page 22: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

BAB III

PEMBAHASAN

Pada skenario didapatkan bahwa pasien dibawa ke UGD RS Moewardi

karena tidak mau makan, lemas, dan nampak gelisah serta sudah 5 hari

tidak buang air besar. Umur pasien adalah 80 tahun, hal ini menunjukkan bahwa

pasien termasuk dalam golongan lanjut usia dimana sudah terjadi banyak

perubahan dan penurunan dalam beberapa aspek termasuk aspek kesehatannya.

Tidak mau makan adalah gejala yang sering dialami oleh lansia. Hal ini

disebabkan oleh beberapa hal termasuk diantaranya adalah penurunan indra

penciuman dan perasa serta ketidakseimbangan neurotransmitter. Karena pasien

tidak mau makan, kebutuhan energinya pun tidak mencukupi sehingga pasien

nampak lemas. Kesulitan BAB dapat disebabkan oleh sudah menurunnya fungsi

pleksus mesenterikus ditambah dengan adanya imobilisasi sehingga menyebabkan

lamanya feses transit di kolon. Feses mengalami peningkatan absorbsi air dan

menjadi keras.

Hampir 2 minggu pasien tiduran terus, karena lemas dan batuk

berdahak, tidak berdarah, tidak demam, tidak didapatkan nyeri dada dan

tidak mau berobat. Batuk berdahak dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah

satunya adalah infeksi pada paru dan saluran pernapasan. Adaknya infeksi pada

paru akan mengaktifkan mediator inflamasi yang akan meningkatkan

permeabilitas kapiler paru. Hal ini menyebabkan terjadinya perpindahan eksudat

plasma dari kapiler ke dalam ruang interstisial. Eksudat atau dahak ini akan

merangsang saluran nafas untuk mengeluarkannya melalui suatu mekanisme yaitu

batuk. Tidak adanya darah dalam dahak menunjukkan bahwa tidak terjadi

perlukaan pada saluran napas. Tidak adanya demam sering terjadi pada kasus

infeksi yang dialami oleh lansia. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya

adalah karena terjadi penurunan produksi endogen pirogen dan berkurangnya

sensitifitas reseptor endogen pirogen di hipotalamus. Penurunan sensifitas

reseptor rangsang nyeri serta penurunan produksi mediator inflamasi

menyebabkan pasien tidak mengalami nyeri.

22

Page 23: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Dari hasil pemeriksaan didapatkan kesadaran: apatis, TD 120/ 70 mmHg,

RR 30x/ menit, T 36°C, HR 108x/ menit. Kesadaran apatis dalam Glaslow

Coma Scale (GSC) bernilai antara 12-13, berada di antara compos mentis dan

somnolen. Tekanan darah 120/ 70 mmHg dalam batas normal. Respiration rate

terdapat peningkatan (normal 14-20x/ menit), temperatur dalam batas normal

(suhu oral rata-rata usia lanjut 36°C). Heart rate terdapat peningkatan (normal 60-

100x/ menit). Berbagai studi menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih

rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi,

penyakit, dan obat-obatan.

Pada pemeriksaan paru sebelah kanan didapatkan ronkhi basah

kasar, suara dasar bronkhial, dan fremitus raba meningkat. Suara ronkhi

basah kasar dapat terjadi pada abnormalitas jaringan paru (contoh: pneumonia)

maupun karena abnormalitas jalan nafas (contoh: bronkhitis). Ronkhi basah kasar

merupakan petunjuk adanya peningkatan sekresi di saluran nafas besar dengan

intensitas suara lebih keras, nada rendah, dan durasi lebih lama. Fremitus raba

meningkat pada konsolidasi paru (contoh: penumonia). Ketiga hasil pemeriksaan

paru tersebut merupakan kelainan fisik yang lazim pada penumonia yaitu tanda

konsolidasi paru meliputi perkusi redup/ pekak pada daerah paru dengan kelainan,

ronkhi basah kasar, dan suara nafas bronkhial. Selain itu bisa didapatkan juga

peningkatan frekuensi nafas ≥ 24x/menit dan dapat disertai syok septik dengan

gejala kelelahan, inanisi, dan penurunan kesadaran.

Tampak luka pada punggung bawah berukuran 4x5 cm dengan dasar

luka kemerahan. Skor Norton 9. Pemeriksaan ini menandakan telah terjadi

ulkus dekubitus pada pasien. Punggung bawah merupakan salah satu predileksi

ulkus dekubitus karena pada daerah tersebut sering tertekan. Penilaian derajat

dilakukan dengan melihat reaksi peradangan apakah mencapai epidermis (derajat

I), dermis/ subkutan (derajat II), jaringan lunak dan fascia dalam (derajat III), dan

sudah terlihat otot dan tulang (derajat IV). Skor Norton merupakan alat untuk

menilai risiko ulkus dekubitus pada pasien imobilisasi. Skor ≤ 12 menunjukkan

bahwa terjadi resiko tinggi untuk terjadi ulkus dekubitus dengan peningkatan

risiko 50x lebih besar.

23

Page 24: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Hasil lab: leukosit 7.500 didapatkan hasil dalam batas normal (4000-

11.000/ mm3). Pneumonia pada lansia sebagian besar didapatkan leukosit yang

normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis.

Terapi kuratif diberikan pada pasien untuk mengatasi gejala yang timbul.

Pada pasien telah dilakukan terapi oksigenasi, pemberian antibiotik dan

terapi cairan. Terapi oksigenasi diberikan untuk menjaga asupan oksigen pada

pasien sehingga tidak timbul hipoksia, terapi cairan diberikan untuk mencegah

dehidrasi dan hipoglikemi, serta untuk indikasi adanya peningkatan frekuensi

pernafasan, dimana pemberian oksigenasi ini diberikan jika frekuensi pernafasan

> 24 kali/ menit. Sedangkan pemberian antibiotik dilakukan untuk mengobati

infeksi bakterial yang terjadi pada pasien. Pada tahap awal sebaiknya diberikan

antibiotik empirik bersprektum luas yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi

penderita dan lokasi terjadinya infeksi (di masyarakat atu dirumah sakit) sambil

menunggu hasil kultur dari dahak. Dalam pemberian dosis dan pemilihan jenis

antibiotika perlu diperhatikan adanya perubahan fungsi organ sebagai akibat

proses menua serta komorbid yang ada pada lansia yang seluruhnya akan

berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabilisme obat, eksresi dan

interaksi obat. Untuk pasien pneumonia yang dirawat dirumah sakit dapat

diberikan klindamisin dan seftazidim.

Sementara itu, untuk mengatasi dekubitus yang terjadi pada pasien

disesuaikan derajatnya. Pemberian kasur dekubitus merupakan hal yang tepat,

selain pemberian kasur dekubitus diperlukan penatalaksanaan sesuai derajatnya

seperti yang tercantum pada tinjauan pustaka.

Pasien dirujuk ke bagian rehabilitasi medik untuk dilakukan terapi

rehabilitasi. Tujuan terapi rehabilitasi adalah untuk mempertahankan monilitas

dan kekuatan otot serta menurunkan ketergantungan pasien terhadap orang lain.

Rehabilitasi medik dilakukan dengan latihan bertahap dan aman bagi pasien.

Pertama, latihan rehabilitasi medik meliputi pemeliharaan kekuatan dan ketahanan

sistem muskuloskeletal, yang termasuk pengkondisian program latihan harian

baik kontraksi otot isometrik dan isotonik, aktivitas penguatan aerobik, nutrisi

untuk meningkatkan anabolisme protein dan pembentukan tulang.

24

Page 25: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Kedua, pemeliharaan fleksibilitas sendi yang terlibat dalam latihan rentang

gerak, posisi yang tepat dengan mengatur posisi tungkai dengan ketergantungan

minimal (misalnya meninggikan tungkai diatas dudukan kaki) mencegah

pengumpulan darah pada ekstremitas bawah. Ketiga, pemeliharaan ventilasi yang

normal meliputi hiperinflasi dan mobilisasi serta menghilangkan sekresi.

Keempat, pemeliharaan sirkulasi yang adekuat. Terakhir, pemeliharaan fungsi

urinaria dan usus yang normal bergantung pada dukungan nutrisi dan struktur

lingkungan serta rutinitas-rutinitas untuk memfasilitasi eliminasi.

25

Page 26: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

1. Pasien geriatri adalah pasien berusia lanjut (> 60 tahun) dengan penyakit

majemuk (multipatologi) akibat gangguan fungsi jasmani dan rohani,

kondisi sosial yang bermasalah.

2. Imobilisasi pada pasien geriatri menjadi suatu masalah yang cukup besar

di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah

psikososial yang diderita. Imobilisasi dapat menimbulkan komplikasi yang

akan memperberat kondisi pasien, memperlambat proses penyembuhan,

serta dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, penting bagi para

mahasiswa kedokteran untuk memahami berbagai hal mengenai

imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya.

3. Pemeriksaan-pemeriksaan pada geriatri sangatlah diperlukan untuk

menentukan diagnosis penyakit yang ada pada di skenario ini.

 

B. Saran

1. Diskusi tutorial diharapkan berjalan lebih interaktif dan mahasiswa

mendapatkan feedback yang positif dari tutor.

2. Dalam jalannya tutorial, tutor sebagai pemandu dan mahasiswa harus lebih

dominan dalam jalannya tutorial.

26

Page 27: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati E (2009). Rehabilitasi medik komprehensif pada lanjut usia. Dalam:

Martono HH, Pranarka (eds). Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri (ilmu

kesehatan usia lanjut) edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia, pp: 758-770.

Carpenito LJ (1999). Nursing care plans and documentation: nursing diagnoses

and collaborative problems 3rd edition. Philadelphia: Lippincott.

Craven, RF, Hirnle CJ (2000). Fundamentals of nursing: concepts, process, and

practice 5th edition. California: Addison, Wesley Publishing Co.

Hidayat D, Sjaiful FD, Mochtar H (2009). Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri

(ilmu kesehatan usia lanjut) edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.

Kamangar N (2011). Bacterial pneumonia medication.

http://emedicine.medscape.com/article/300157-medication#showall.

Diakses pada tanggal 15 April 2013.

Laksmi PW, Harimurti K, Setiati S, Soejono CH, Aries W, Roosheroe AG (2008).

Management of immobilization and its complication for elderly. Acta

Med Indones, 40(4), p 233-240.

Pranarka K (2011) Buku ajar Boedhi Darmojo geriatri (ilmu kesehatan usia

lanjut) edisi ke 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Potter PA, Perry A (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: konsep, proses,

dan praktik edisi ke 4. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Sabandar AO (2008). Ulkus dekubitus. Available from: http://Alfonso de

Oncrotte. Ulkus Dekubitus.mht. Diakses pada tanggal 16 April 2013.

Stoppler MC (2013). Pneumonia.

http://www.medicinenet.com/pneumonia/page2.htm. Diakses pada

tanggal 17 April 2013.

27

Page 28: Laporan Skenario 3 Geriatri (200413)

Sudoyo AW, et al (2009). Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 5. Jakarta: Interna

Publishing.

28