Upload
rachmat-basuki
View
1.872
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Hasil Studi
“Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”
BALITBANG
Partai Demokrasi Indonesia - Perjuangan Februari 2011
Daftar Isi I. Pendahuluan...........................................................................................................1
II. Laporan Hasil Studi...............................................................................................4 2.1. Pembatasan BBM Bersubsidi Melawan Konstitusi UUD 1945 dan
Mengabaikan Kepentingan Nasional ...................................................................4 2.1.1. Pembatasan BBM Bersubsidi Akan Mendukung Peraturan
Menteri Yang Bertentangan Dengan Konstitusi UUD 1945 .......................4 2.1.2. Pembatasan BBM Subsidi Mengabaikan Kepentingan Nasional dan
Lebih Tunduk pada Kepentingan Asing ......................................................8 2.1.3. Pembatasan BBM Lebih Menguntungkan Bisnis Asing
dan Berpotensi Mematikan SPBU Nasional Berskala Kecil .....................14
2.2. Pembatasan BBM Bersubsidi akan Memberikan Dampak Negatif Terhadap Ekonomi ..............................................................................................20 2.2.1. Sebagian Besar Subsidi BBM Dinikmati Kelompok
Masyarakat Bawah.....................................................................................21 2.2.2. Menekan Daya Beli Masyarakat................................................................22
2.2.2.1. Daya Beli BBM Masyarakat Relatif Rendah................................22 2.2.2.2. Tabungan Rumah Tangga Tidak Mampu Menutupi
Tambahan Biaya Hidup................................................................29 2.2.3. Meningkatkan Biaya Produksi dan Memicu Inflasi...................................33 2.2.4. Berpotensi Menyebabkan Kelangkaan BBM.............................................41
2.3. Banyak Alternatif Kebijakan Yang Lebih Adil Yang Belum Dilakukan.......42 2.3.1. Perbaikan Formula Pembebanan Subsidi BBM dan
Bagi Hasil Minyak .....................................................................................42 2.3.2. Reformasi Tata Niaga Minyak dan Gas.....................................................45 2.3.3. Model gross PSC Untuk Meningkatkan Bagian Minyak
Untuk Pemerintah ......................................................................................46 2.3.4. Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor .....................................................47
III. Kesimpulan...........................................................................................................49
Daftar Tabel dan Gambar
Tabel 1. Kapasitas Tangki Timbun Pertamina.........................................................16 Tabel 2. Lima Tipe SPBU........................................................................................17 Tabel 3. Jumlah Kendaraan di Indonesia per November 2010 ................................22 Tabel 4. Penjualan Mobil Didominasi oleh Mobil < 1500 cc..................................22 Tabel 5. Merek Mobil Penumpang Terlaris 2010 ....................................................23 Tabel 6. Penjualan Mobil Mewah, Sangat Kecil Dibanding Mobil < 1500 cc ........23 Tabel 7. Perbandingan Daya beli Premium per Kapita di Beberapa Negara...........28 Tabel 8. Persentase Kendaraan di DKI berdasarkan Kepemilikan ..........................34 Tabel 9. Pembagian Hasil Pajak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota...........48 Gambar 1. Skema Hasil Kajian Tentang Alasan Penolakan Pembatasan
BBM Bersubsidi...........................................................................................3 Gambar 2. Konsumsi Bensin Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga ......24 Gambar 3. Porsi Konsumsi BBM Premium Menurut Tingkat Pendapatan
Rumah Tangga Responden ........................................................................25 Gambar 4. Pola Kepemilikan/Pembelian Kendaraan di Jabotabek .............................27 Gambar 5. Tingkat Tabungan Responden ...................................................................29 Gambar 6. Persentase Tabungan Responden Dibanding Penambahan
Pengeluaran Akibat Pembatasan BBM Bersubsidi....................................30 Gambar 7. Selisih Tabungan dan Kenaikan Biaya Jika Beralih dari
Premium ke Pertamax ................................................................................31 Gambar 8. Frekwensi Penggunaan Mobil untuk Transportasi Kerja...........................32 Gambar 9. Alasan Responden Tidak Menggunakan Transportasi Publik ...................33 Gambar 10. Porsi UKM yang Akan Menaikkan Harga pada Tingkat
Harga Pertamax..........................................................................................35 Gambar 11. Alasan Menggunakan Plat Hitam Untuk Usaha ........................................37 Gambar 12. Kesediaan Migrasi dari Plat Hitam ke Plat Kuning Bila Ada
Pembatasan BBM Bersubsidi ....................................................................38 Gambar 13. Keengganan Melakukan Migrasi Menurut Sektor Usaha..........................39 Gambar 14. Harga Minyak Mentah dan Harga Pertamax .............................................40
Laporan Hasil Studi
“Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”
I. Pendahuluan
Mengawali tahun 2011, pemerintahan SBY-Boediono berencana untuk memberlakukan
pembatasan BBM bersubsidi per 1 Januari 2011. Namun, rencana tersebut terpaksa tertunda
karena Fraksi PDI-P menolak kebijakan ini. Pada saat semua Fraksi mendukung rencana
pemerintah, PDIP-P merupakan satu-satunya Fraksi yang tetap konsisten untuk menolak rencana
pembatasan BBM bersubsidi. Alasannya sangat jelas yakni kebijakan tersebut akan
memberatkan masyarakat dan mengganggu pemulihan ekonomi.
Penolakan yang dilakukan saat itu semakin beralasan karena pemerintah belum memiliki kajian
atas rencana kebijakan ini untuk membuktikan bahwa rencana ini lebih adil dan tidak
mengganggu ekonomi. Padahal sesuai Undang-undang Tentang Migas No. 25 Tahun 2001,
kenaikan harga BBM mensyaratkan pemerintah untuk menyiapkan kajian akademik yang
mendukung rencana kebijakan tersebut.
Dengan kuatnya alasan penolakan yang diajukan PDI-P, maka pemerintah wajib menyerahkan
hasil kajian sebelum mengimplementasikan pembatasan BBM bersubsidi. Oleh karenanya untuk
sementara kebijakan pembatasan BBM bersubsidi harus ditunda pelaksanaannya sampai dengan
pemerintah menyelesaikan hasil kajian dan kajian tersebut dapat diterima oleh DPR.
Menurut rencana pemerintah, pembatasan BBM bersubsidi akan diawali dengan melakukan
pembatasan atas pasok premium bersubsidi di wilayah Jabodetabek. Pembatasan selanjutnya
akan dilakukan untuk solar bersubsidi dan daerah implementasinya diperluas ke seluruh wilayah
Jawa dan Bali hingga akhir 2011. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya akan diikuti oleh
wilayah-wilayah lainnya di Indonesia (lihat lampiran 1. Rencana Pembatasan BBM bersubsidi di
Indonesia).
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
1
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
2
Dalam kesepakatan DPR dengan pemerintah, pembatasan BBM bersubsidi akan dimulai dengan
membatasi pasok premium bersubsidi pada 1 April 2011. Dengan syarat seluruh Fraksi di DPR
telah menyetujui. Oleh karenanya, dalam studi ini kajian hanya dilakukan terhadap rencana
pembatasan premium bersubsidi bukan pada jenis BBM bersubsidi lainnya. Selanjutnya yang
dimaksud dengan pembatasan BBM bersubsidi dalam kajian ini adalah pembatasan premium
bersubsidi.
Sejalan dengan sikapnya untuk menolak rencana pemerintah untuk melakukan pembatasan BBM
bersubsidi meskipun tanpa persiapan yang matang, maka PDI-P melakukan studi untuk
mendukung argumen Fraksi PDI-P di DPR. Kajian ini dilakukan oleh Departemen Penelitian dan
Pengembangan (Litbang) PDI-P selama bulan Januari 2011.
Secara ringkas hasil studi yang dilakukan oleh Litbang PDI-P berkesimpulan bahwa rencana
pembatasan BBM bersubsidi yang akan diimplentasikan pada bulan April 2011 harus
ditolak karena:
Pertama, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi melawan amanah konstitusi UUD 1945
dan mengabaikan kepentingan nasional
a) pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan
dengan konstitusi UUD 1945;
b) pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih
memprioritaskan kepentingan asing dan internasional;
c) pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi
mematikan SPBU nasional berskala kecil.
Kedua, kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan dipaksakan untuk segera
diimplementasikan akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia.
Ketiga, masih banyak pilihan kebijakan lainnya yang lebih adil dan tidak kontra produktif
terhadap ekonomi nasional sebelum melakukan pembatasan BBM bersubsidi.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
3
Gambar 1. Bagan Alasan Penolakan Pembatasan BBM Bersubsidi
Alasan Penolakan Pembatasan BBM Bersubsidi
Melawan amanah konstitusi UUD 1945 dan mengabaikan kepentingan nasional
Memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia
Masih banyak alternatif kebijakan yang lebih fundamental yang dapat ditempuh
Pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan dengan konstitusi UUD 1945
Pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih memprioritaskan kepentingan asing dan internasional
Subsidi BBM selama ini tepat sasaran karena sebagian besar dinikmati kelompok masyarakat bawah
Pembatasan BBM bersubsidi tidak layak dilakukan karena daya beli masyarakat masih rendah
Perbaikan formula pembebanan subsidi BBM dan bagi hasil minyak
Reformasi tata niaga minyak dan gas
Pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi mematikan SPBU nasional berskala kecil
Pembatasan BBM Bersubsidi akan meningkatkan biaya produksi, memicu infl asi serta menyulitkan usaha UKM
Pembatasan BBM bersubsidi berpotensi menyebabkan kelangkaan BBM
Model gross PSC untuk meningkatkan bagian minyak pemerintah
Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
4
II. Laporan Hasil Studi
Laporan hasil studi yang menyimpulkan bahwa “Pembatasan BBM Bersubsidi Harus Ditolak”
akan disajikan dalam tiga bagian. Pertama, laporan yang dibangun untuk mendukung argumen
bahwa pembatasan BBM bersubsidi melawan konstitusi UUD 1945 dan mengabaikan
kepentingan nasional. Kedua, laporan yang disusun untuk membuktikan bahwa kebijakan
pembatasan BBM bersubsidi yang masih sangat premature akan memberikan dampak negatif
bagi ekonomi Indonesia. Ketiga, laporan yang berisi pilihan-pilihan kebijakan lain, yang lebih
adil dan tidak kontra produktif terhadap ekonomi nasional, yang seharusnya dilakukan sebelum
melakukan pembatasan BBM bersubsidi.
2.1 Pembatasan BBM Bersubsidi Melawan Konstitusi UUD 1945 dan Mengabaikan
Kepentingan Nasional
2.1.1 Pembatasan BBM Bersubsidi Akan Mendukung Peraturan Menteri Yang Bertentangan Dengan Konstitusi UUD 1945
Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 21 Desember 2004 pada perkara Nomor
002/PUU-I/2003, tentang pengajuan uji formil atas Undang-undang No.22 Tahun 2001 Tentang
Migas, MK memutuskan menolak. 1 Dengan demikian UU No.22/2001 tetap diberlakukan. MK
hanya mengabulkan uji materil dan mengamandemen tiga pasal dari UU 22/2001. Pasal yang
dinyatakan diamandemen adalah Pasal 12 Ayat (3), Pasal 22 Ayat (1), dan Pasal 28 Ayat (2).
Mahkamah Konstitusi berpendapat, ketiga pasal tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang
mengikat karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
1 Hasil keputusan MK. Pasal 12 Ayat (3) menyebutkan, Menteri menetapkan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang diberi
wewenang melakukan kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi pada wilayah kerja sebagaimana yang dimaksud Ayat (2). Mahkamah Konstitusi (MK) menilai, adanya kata "diberi wewenang" telah menyebabkan Pasal 12 Ayat (3) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Hal ini karena pasal tersebut memberikan penafsiran bahwa kewenangan yang dimiliki pemerintah telah diserahkan sepenuhnya kepada badan usaha atau bentuk usaha tetap. Kemudian Pasal 22 Ayat (1) menjelaskan, Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. MK berpendapat, adanya kata "paling banyak" menyebabkan Pasal 22 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini karena kata "paling banyak" bisa disepadankan dengan kata "minimal". Sementara Pasal 28 Ayat (2) menyebutkan, harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pada Ayat (3)-nya dijelaskan, pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu. MK menilai, pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 karena dalam penetapan harga bahan bakar minyak dan gas tidak diserahkan mekanisme pasar, tetapi melalui kewenangan pemerintah.
Setelah MK menyimpulkan bahwa pasal 28 ayat (2) melanggar konstitusi, pemerintah tidak
dibenarkan untuk melepas harga BBM para harga pasar. Namun ternyata pemerintah tetap
mencari cara agar agenda liberalisasi migas dapat terus berjalan. Salah satunya adalah
mendorong kebijakan harga BBM bisa segera dibawa kepada harga pasar.
Untuk melaksanakannya pemerintah pada bulan September 2005 mengeluarkan Peraturan
Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri. Dalam
Perpres tersebut, pada pasal 2, menetapkan harga eceran BBM yang baru baik untuk premium,
solar maupun minyak tanah. Namun, pada pasal 9 disebutkan bahwa untuk selanjutnya harga
bahan bakar minyak sesuai harga pasar seperti kutipan pasal berikut ini:
Pasal 9 Perpres No. 55 Tahun 2005
(1) Harga jual eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2,selanjutnya disesuaikan dengan harga keekonomian yang dapat berupa kenaikan atau
penurunan harga.
(2) Penyesuaian harga jual eceran Bahan Bakar Minyak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berdasarkan hasil
kesepakatan instansi terkait yang dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Bidang
Sebelumnya, pada bulan November 2004, segera setelah MK membatalkan pasal 28 UU
22/2001, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun
2004 Tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak Dan Gas Bumi pemerintah telah membuka
penetapan harga BBM berdasarkan mekanisme pasar. BAB XII yang mengatur tentang Harga
Bahan Bakar Minyak dan Harga Gas Bumi, semangat menyerahkan harga BBM pada
mekanisme pasar dinyatakan pada Pasal 72 ayat 3, 4 dan 5:
1) Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi, kecuali Gas Bumi untuk rumah
tangga dan pelanggan kecil, diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
wajar, sehat dan transparan.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
5
2) Harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dan ditetapkan oleh Badan Pengatur dengan
mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomis atas penyediaan Gas Bumi serta
sesuai dengan kebijakan harga yang ditetapkan Pemerintah.
3) Badan Pengatur melaksanakan pengawasan atas harga Bahan Bakar Minyak dan
Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat(2).
Langkah pemerintah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2005 Tentang Harga Jual Eceran
BBM Dalam Negeri, adalah sebuah langkah melawan konstitusi UUD 1945. Alasannya,
Presiden SBY menerbitkan Peraturan Presiden yang substansinya telah ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi” yakni bagian yang
memuat harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi diserahkan pada mekanisme
persaingan usaha yang sehat dan wajar. Mahkamah Konstitusi telah membatalkan pasal
28 ayat 2 dan 3 UU 22/2001 tentang Migas. Artinya, Prespres No. 55 Tahun 2005 dan
kenaikan harga BBM yang ditetapkan berdasarkan Perpres tersebut semestinya juga batal
demi hukum dan harus digugat karena bertentangan dengan konstitusi.
Apabila saat ini pemerintah akan membuat kebijakan pembatasan BBM bersubsidi
dengan mendasarkan pada Perpres No. 55 Tahun 2005 dengan alasan harga BBM dapat
disesuaikan pada harga keekonomian, maka berarti pemerintah SBY kembali lagi akan
membuat kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi. Dengan kebijakan ini
pemerintah akan memaksa “sekelompok masyarakat” (baik dia mampu atau tidak) untuk
mengkonsumsi BBM yang harganya disesuaikan dengan harga keekonomian.
Sikap menentang putusan MK atau melawan konstitusi terlihat dari keputusan untuk menaikkan
harga BBM dengan rata-rata kenaikan yang sangat tinggi yakni sebesar 126 persen. Penentangan
tersebut dilanjutkan lagi dengan kenaikan harga BBM kembali pada tahun 2005. Langkah
pemerintah untuk tetap menabrak keputusan MK sangat jelas pada pernyataan:
Menko Perekonomian Boediono yang mengatakan bahwa “Pemerintah tidak ragu
memberlakukan harga pasar dunia di dalam negeri karena langkah ini sudah dilakukan
di banyak negara dan berhasil menekan subsidi bahan bakar minyak”. Sedangkan
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
6
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
7
Menteri ESDM menegaskan bahwa “dengan tingkat harga baru itu, pemerintah masih
mensubsidi harga premium sebesar Rp. 3.000 per liter karena ada perbedaan harga
antara harga baru Rp. 6.000 per liter dan harga di pasar dunia sebesar Rp. 9.000 per
liter” (Kompas tanggal 24 Mei 2008).
Pernyataaan tersebut sebenarnya menegaskan bahwa kebijakan untuk menaikkan harga BBM
akan terus berlanjut sampai pada tingkat harga BBM yang sepenuhnya mengikuti mekanisme
pasar dengan mengacu pada harga Mean of Plats Singapore Singapore (MOPS) yang juga
dibentuk oleh spekulasi harga yang berlangsung di New York Merchantile Exchange (NYMEX).
Padahal dari segi volume, minyak yang diperdagangkan di NYMEX hanya 30 persen dari total
volume minyak yang diperdagangkan di seluruh dunia.2 Perdagangan minyak dikuasai oleh
kartel yang sangat mungkin mempermainkan harga yang terbentuk melalui transaksi di NYMEX.
Permainan harga tersebut melahirkan spekulasi yang berlangsung di NYMEX. Semestinya,
pembentukan harga atas dasar spekulasi tidak bisa dikatakan sebagai mekanisme yang sehat dan
wajar.
Selain itu, harga yang terbentuk di NYMEX juga sangat dipengaruhi oleh perdagangan derivatif
dan perdagangan oil future trading yang juga berlangsung di NYMEX. Permintaan minyak yang
melonjak demikian drastis dan terus menerus adalah hasil spekulasi oleh hedge funds melalui
future trading yang menyebabkan harga jadi melambung.
Sangat disayangkan pemerintah akan tetap menjadikan harga minyak dunia yang dibentuk oleh
transaksi spekulatif di NYMEX sebagai landasan mutlak untuk menentukan harga minyak
mentah yang akan dipergunakan untuk menghitung subsidi dan harga BBM di Indonesia.
Tindakan ini bukan saja bertentangan dengan konstitusi tetapi juga bertentangan dengan
peraturan turunan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peraturan Pemerintah No. 36/2004
menyatakan bahwa penentuan harga BBM diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang
2 Kwik Kian Gie, Pemerintah Melanggar Konstitusi Dalam Kebijakannya Menaikkan Harga BBM, Koran Internet 8 Juli 2008.
wajar, sehat dan transparan, sementara harga yang dibentuk di NYMEX bukanlah harga yang
dibentuk dalam mekanisme persaingan usaha yang wajar, sehat dan transparan.
2.1.2 Pembatasan BBM Subsidi Mengabaikan Kepentingan Nasional dan Lebih Tunduk pada Kepentingan Asing
Rencana pemerintah untuk segera melakukan pembatasan BBM bersubsidi atau mengurangi
alokasi anggaran untuk subsidi BBM, didasarkan pada dua agenda.
Pertama, pelaksanaan agenda neoliberalisme yang berpandangan bahwa subsidi BBM
harus segera dihapuskan karena menurut paham ekonomi neoliberal akan menjadi beban
bagi keuangan negara. Untuk melaksanakan agenda ini maka berbagai langkah, antara lain
menyiapkan undang-undang dan aturan perundangan untuk membuka jalan, seperti Undang-
undang No. 22 Tahun 2001 Tentang Migas, Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal, dll. Juga peraturan-peraturan lain di bawah undang-undang seperti Peraturan
Presiden No. 55 Tentang Harga Jual BBM Dalam Negeri.
Selain itu juga disusun berbagai argumen mulai dari fakta bahwa produksi minyak mentah
Indonesia sejak tahun 2004 terus menurun sehingga pemerintah harus terus meningkatkan impor
minyak mentah maupaun BBM secara terus menerus. Juga pemikiran bahwa Indonesia juga
harus segera mengganti subsidi barang menjadi subsidi orang. Dalam kata lain meliberalisasi
berbagai komoditas baik yang disubsidi maupun tidak. Juga klaim bahwa subsidi BBM saat ini
sudah tidak tepat sasaran. Masih banyak justifikasi lain yang akan terus diajukan oleh pemerintah
untuk melancarkan agenda ekonomi neloliberal di Indonesia.
Pada dasarnya pelaksanaan agenda neoliberal dalam pengelolaan SDA tambang migas dan non-
migas sudah dilakukan Indonesia sejak puluhan tahun lalu. Pada tahun 1967 saat pemerintah
menyerahkan pengelolaan Freeport kepada asing dan dilanjutkan tahun 1992, saat dilakukan
percepatan perpanjangan kontrak karya dan pemberian wilayah konsesi yang lebih luas kepada
Freeport tapi tanpa koreksi agar lebih berpihak kepada kepentingan nasional.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
8
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
9
Agenda neoliberalisme mengalami percepatan saat krisis tahun 1998 dengan penandatanganan
Letter of Intent (LoI). Saat itu pemerintah harus tunduk pada konsep IMF karena terkait dengan
paket utang pemulihan ekonomi. Salah satu yang termasuk dalam paket IMF adalah mematuhi
agar segera meliberalisasi sector migas yang pada sector hilir diimplementasikan dengan
melepas harga BBM ke harga internasional.
Sejak tahun 1998, pengurangan subsidi BBM bukan lagi semata soal menaikkan harga, tapi
sudah menjadi tahapan dalam proses liberalisasi dengan melepas harga BBM sesuai harga pasar
sesuai agenda neoliberal IMF. Sejak LoI tahun 1998, semua aspek perumusan kebijakan
pemerintah dalam melakukan agenda liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM,
sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Pada tahun 2000, misalnya, Amerika masuk lewat USAID menyediakan utang untuk memulai
proses liberalisasi sektor migas itu. Salah satu yang dikerjakan USAID dalam rangka liberalisasi
itu adalah menyiapkan draft UU yang bekerjasama dengan IDB dan World Bank untuk
menyiapkan reformasi sektor energi secara keseluruhan. Keterlibatan asing ditegaskan oleh
pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai
kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia melalui situs resminya
(http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html). Dalam dokumen tersebut dinyatakan
bahwa “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…”.
Bahkan khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The
ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000”.
Pada Desember 2001, Departemen ESDM melakukan kajian yang dibiayai oleh AUSAID
(Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS)
Pte. Ltd. Australia, dalam laporan yang berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga
BBM,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen ESDM menyebutkan bahwa
pemerintah telah mengembangkan tiga skenario mengenai pelepasan harga BBM ke pasar.3
3 Ada tiga skenario dalam kajian AUSAID dan Departemen ESDM untuk membawa harga BBM pada harga pasar. Skenario
pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
10
Tahun 2004, setelah terbit Peraturan Pemerintah No. 36/2004, sebanyak 105 perusahaan sudah
mendapat izin untuk masuk di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM
untuk umum (SPBU)4. Artinya, skenario untuk segera membawa harga BBM pada harga pasar
sangat terkait dengan kepentingan beberapa perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika.
Perusahaan tersebut antara lain adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium
(Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-
Texaco (Amerika).
Meskipun telah diterbitkan PP No.36/2004 dan telah banyak izin SPBU yang diberikan kepada
asing, pemerintah belum pernah menaikkan harga BBM hingga akhir pemerintahan Megawati.
Kondisi ini tentu sangat tidak menguntungkan bagi SPBU asing sehingga pembangunan belum
dilakukan meskipun izin telah diperoleh.
Pada tahun 2005, pemerintah baru di bawah pimpinan SBY mempercepat laju liberalisasi migas.
Kenaikan harga BBM dalam rangka pelaksanaan agenda neoliberal dilakukan. Untuk menyiasati
keputusan MK tahun 2004 yang membatalkan pasal 28 ayat 2 UU 22/2001, pemerintah SBY
mengenalkan istilah baru dalam perhitungan harga BBM, yakni dengan mengganti istilah “harga
pasar” menjadi “harga keekonomian”. Tujuannya tentu saja agar kebijakan untuk menaikkan
harga BBM tidak dianggap melawan keputusan MK.
Istilah harga keekonomian ini dimunculkan pertama kali dalam Perpres No. 55 Tahun 2005.
Setelah muncul istilah harga keekonomian, maka pemerintah secara bertahap akan menaikkan
harga BBM sehingga harga BBM akan menyesuaikan harga pasar minyak dunia.5
Kenaikan harga BBM lewat pengurangan subsidi BBM pada prinsipnya menggambarkan bahwa
pendekatan dan orientasi pengelolaan ekonomi Indonesia yang mengikuti pakem neoliberalisme.
4 Sebagaimana dikemukakan oleh pejabat Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM (yang saat itu dijabat oleh Iin Arifin
Takhyan) di majalah Trust, edisi 11 Tahun 2004.
5 Harga pasar yang dimaksud adalah harga minyak mentah yang terbentuk melalui transaksi spekulatif yang berlangsung di NYMEX dan MOPS.
Didalam proses tersebut ditonjolkan besarnya alokasi anggaran untuk subsidi BBM sehingga
sangat memberatkan APBN. Namun, penghitungan subsidi BBM didasarkan atas selisih harga
jual BBM di Singapura dengan harga jual BBM di dalam negeri dikalikan dengan tingkat
konsumsi atau besarnya volume BBM yang akan disubsidi.
Dengan penjelasan di atas, ada perbedaan latar belakang dari kenaikan harga BBM sebelum dan
sesudah diundangkannya UU Migas No. 22/2001. Kenaikan harga BBM setelah pemberlakuan
UU Migas No. 22/2001 secara tegas digerakkan oleh motif untuk menghapuskan subsidi BBM
dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional. Sebagaimana dikemukakan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sewaktu dijabat Purnomo Yusgiantoro,
tujuan menaikkan harga BBM tersebut antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi
asing ke sektor hilir industri migas di sini. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) Purnomo Yusgiantoro,
“Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk
berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak
mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih
rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).
Kedua, percepatan agenda neoliberal semakin diperparah dengan kepatuhan pemerintah
Indonesia pada kesepakatan-kesepakatan internasonal dan mengabaikan kepentingan
nasional. Berikut beberapa kliping berita tentang kepatuhan pemerintah Indonesia atas
kesepakatan internasional yang berkaitan dengan percepatan penghapusan subsidi bagi energi
fosil. Dalam kesepakatan G-20 disebutkan bahwa penghapusan subsidi energi diperlukan karena
subsidi energi terutama energi tak terbarukan, akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia
akibat krisis keuangan global 2008:
Komunike pertemuan G20 di Gyeongju, Korea Selatan, menyatakan mencatat kemajuan
yang dibuat dalam rasionalisasi dan pembatasan subsidi yang tidak efisien untuk bahan
bakar fosil. Termasuk kemajuan dalam mendorong transparansi dan stabilitas pasar
energi. Untuk itu, negara-negara G20 akan terus mendorong negara-negara anggotanya
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
11
untuk mengurangi subsidi BBM. Pemberian subsidi terhadap BBM dinilai tidak efisien.
Serta setuju untuk memantau dan menilai kemajuan terhadap komitmen ini pada
pertemuan puncak di Seoul (www.detik.com, Senin, 25/10/2010).
Bank Dunia sebagai kreditor yang paling berpengaruh bagi Indonesia juga mendorong
agar pemerintah menerapkan kebijakan harga keekonomian BBM didalam negeri
dengan harga minyak mentah di pasar internasional. Menurut Kepala Perwakilan Bank
Dunia untuk Indonesia, Joachim von Amsberg, kebijakan tersebut akan memberikan
peluang pada pemerintah untuk mengalokasikan anggaran subsidi untuk pembangunan
infrastruktur yang dibutuhkan dalam menunjang kegiatan ekonomi secara jangka
panjang (www.okezone.com, 16 Desember 2008).
Aktifnya Indonesia dalam berbagai forum internasional memang merupakan sebuah langkah
positif yang akan bermanfaat untuk mendukung pembangunan ekonomi. Namun, kesepakatan
yang dibuat dalam berbagai kerjasama atau forum internasional tentu harus memprioritaskan
kepentingan nasional. Bukan sebaliknya memprioritaskan kesepakatan internasional untuk
diimplemantasikan pada kebijakan di dalam negeri, seperti dipaparkan di bagian selanjutnya dari
laporan ini.
Pada saat terjadi krisis, seperti krisis keuangan global 2008 semua negara pasti akan menempuh
berbagai cara agar ekonominya terselamatkan. Berbagai strategi dan kebijakan baik di dalam
negeri akan disiapkan sebagai respon kebijakan. Di era global, semakin terintegrasi ekonomi
suatu negara akan semakin besar dampak yang diakibatkan oleh gejolak faktor-faktor eksternal.
Oleh karenanya, semua negara akan mengoptimalkan perannya di berbagai forum internasional
untuk mempengaruhi kebijakan global agar mendukung upaya penyelamatan ekonomi yang
sedang dilakukan oleh negara tersebut.
Negara yang memiliki bargaining power yang besar tentu akan dapat melakukan soft sekaligus
hard lobby dengan lebih efektif bagi kepentingan nasionalnya. Sebaliknya negara yang kekuatan
tawar dan kemampuan lobynya lemah, tentu akan semakin sulit untuk menawarkan solusi yang
akan lebih menyelamatkan ekonominya. Meskipun demikian, setiap negara masih dapat
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
12
menyiasati kesepakatan internasional tersebut dengan berbagai strategi dan kebijakan agar dapat
menunda atau menolak kesepakatan internasional yang memberatkan kepentingan nasionalnya
dengan memasukkan berbagai pertimbangan kepentingan nasional.
Sayangnya, Indonesia teramat sering menempatkan kesepakatan internasional pada posisi yang
jauh lebih diprioritaskan dibanding kepentingan nasionalnya. Tidak hanya di sektor migas, di
berbagai sektor seperti kesepakatan internasional di bidang lingkungan hidup, pemerintah
Indonesia juga membuat kesepakatan yang justru mengalahkan kepentingan nasional. Sebagai
contoh, pada bulan September saat pertemuan G-20 di Pittsburgh, Amerika Serikat Presiden
SBY memberikan komitmen penurunan emisi sebesar 26 persen pada tahun 2020. Munculnya
angka pasti dan target yang sangat tinggi dari Indonesia ini tentu sangat mengagetkan banyak
negara karena ada konsekwensi besar dari komitmen tersebut. Pasalnya, kegiatan ekonomi pasti
akan terpangkas upaya-upaya untuk menurunkan emisi. Di sektor kehutanan misalnya dengan
target 14 persen maka berbagai program harus dilakukan untuk memenuhi target tersebut baik
melalui pencegahan deforestasi, degradasi, kegiatan penanaman kembali serta penurunan jumlah
hot spot kebakaran hutan.
Di sektor energi dan pengelolaan limbah, dengan target penurunan emisi masing-masing sebesar
6 persen harus ada kerja keras baik pada pemerintah di tingkat pusat maupun daerah serta harus
aktif melakukan kerja sama internasional. Dengan kesepakatan internasional untuk menurunkan
20 persen emisi rumah kaca misalnya dipastikan akan mengganggu ekspansi ekonomi. Itulah
sebabnya China, meskipun menjadi salah satu penyumbang utama emisi dunia, tetap menolak
untuk mempercepat penurunan emisi rumah kaca karena akan mengganggu ekonominya yang
masih mengandalkan sektor industri manufaktur untuk menyediakan lapangan kerja bagi 1,3
milyar penduduk.
Meskipun sudah mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi, China justru berlindung di balik
label “negara berkembang” untuk menolak penurunan emisi yang terlalu cepat. Sebaliknya
Indonesia meskipun tingkat pendapatan masyarakat, tingkat industrialisasi, dan tingkat
sumbangan emisi relatif rendah justru memberikan komitmen yang jauh di atas negara-negara
maju. Selain menghambat ekspansi ekonomi, komitmen yang tinggi ini juga akan berdampak
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
13
pada kebutuhan anggaran yang besar untuk menyiapkan infrastruktur guna mewujudkan
komitmen internasional. Hal ini menunjukkan bahwa banyak kebijakan ekonomi Indonesia yang
lebih mementingkan asing (internasional) dibanding nasional.
2.1.3 Pembatasan BBM Lebih Menguntungkan Bisnis Asing dan Berpotensi Mematikan SPBU Nasional Berskala Kecil
Rencana pembatasan BBM bersubsidi akan memberikan dampak bagi Pertamina yakni
kebutuhan investasi yang besar untuk menyiapkan SPBU dan depot agar daya saingnya
dapat dipertahankan. Sampai saat ini dari 4.667 SPBU Pertamina di Indonesia, baru 36 persen
atau sebanyak 1.686 SPBU yang telah memiliki dukungan infrastruktur yang memadai untuk
dapat menjual BBM jenis Pertamax. Sementara sisanya masih perlu modifikasi dan investasi
tambahan untuk menyediakan minimal 3 tangki penyimpanan BBM (solar, premium, dan BBM
non subsidi/Pertamax) dan siap menjualnya (memiliki minimal 3 dispenser).
Dengan kata lain dengan penerapan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi, Pertamina harus
melakukan investasi yang cukup besar agar dapat tetap dapat bersaing dengan SPBU asing yang
lebih siap baik dari sisi dana investasi. Berikut investasi yang diperlukan oleh Pertamina:
Pertama, investasi untuk menambah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) COCO
(Company Owned Company Operated). Di targetkan 400 SPBU COCO akan dibangun sampai
tahun 2013. SPBU COCO yang akan dibangun ini memiliki kapasitas mencapai 150 KL BBM
per tangki dengan fasilitas yang disiapkan untuk menjual BBM jenis Pertamax, Petamax Plus,
Premium, Solar, LPG dan lain-lain.
Persiapan Pertamina untuk dapat Rencana tersebut membutuhkan dana investasi yang tidak
sedikit. Pembangunan satu SPBU COCO Pertamina membutuhkan investasi kurang lebih Rp 10
miliar. Jika Pertamina menargetkan pembangunan 24 SPBU COCO pada tahun 2011, maka
investasi yang dibutuhkan berjumlah Rp 240 miliar. Kebutuhan investasi tersebut nilainya akan
terus meningkat pada tahun-tahun mendatang sampai terpenuhinya target 400 SPBU COCO dan
berpotensi menghambat pencapaian target yang sudah direncanakan. Tambahan investasi yang
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
14
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
15
diperlukan ini tentu tidak mudah untuk dapat dipenuhi oleh Pertamina. Tahun 2010, misalnya,
meskipun Pertamina menargetkan pembangunan 80 SPBU COCO, tetapi yang bisa
direalisasikan hanya berjumlah 63 SPBU COCO.
Kedua, investasi untuk menyiapkan depot yang memiliki tangki timbun non subsidi (Pertamax)
sehingga siap untuk didistribusikan. Rencana pemerintah untuk melakukan pengaturan atau
pembatasan BBM subsidi di 2011 memerlukan biaya investasi Rp 84,5 miliar guna
pembangunan fasilitas depot BBM non subsidi untuk menyalurkan ke SPBU. Kebutuhan
investasi tersebut untuk tambahan sarana dan fasilitas di depot Pertamina yang mencakup 10
lokasi. Perkiraan kebutuhan dana investasi bertahap menurut wilayah adalah:
1) Jabodetabek (Desember 2010): Rp 1,5 miliar
2) Jawa-Bali (Januari 2011): Rp 23,5 miliar
3) Sumatera Kota Besar (Juli 2011): Rp 10 miliar
4) Seluruh Sumatera (Oktober 2011): Rp 21 miliar
5) Kalimantan Kota Besar (Januari 2012): Rp 9 miliar
6) Seluruh Kalimantan (Januari 2012): Rp 4,5 miliar
7) Sulawesi Kota Besar (Jananuari 2012): Rp 4,5 miliar
8) Seluruh Sulawesi, Maluku, dan Papua (Juli 2012): Rp 15 miliar
Meskipun pembatasan BBM bersubsidi baru akan dilakukan untuk wilayah Jabodetabek,
dimana Pertamina relatif siap di banding di wilayah lain, namun Pertamina tetap akan
menghadapi persaingan yang luar biasa. Pada tahap pertama uji coba pembatasan BBM
subsidi di wilayah Jabodetabek, Pertamina tetap membutuhkan penambahan investasi karena
tidak semua SPBU diwilayah Jabodetabek telah siap untuk menjual BBM non-subsidi jenis
Pertamax. Sampai dengan akhir November 2010, dari 720 SPBU Pertamina di Jabodetabek, baru
530 SPBU yang sudah menjual BBM non-subsidi jenis Pertamax. Kemudian dari 149 SPBU
yang akan segera melakukan konversi tangki untuk Pertamax, hanya 21 SPBU yang siap
melakukan investasi tangki timbun dan dispenser untuk menjual pertamax6.
6 Data Pertamina per 21 Desember 2010 sebagaimana diberitakan Republika OnLine, Rabu, 22 Desember 2010.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
16
Rendahnya kesiapan SPBU yang akan melakukan konversi tangki untuk Pertamax karena
penyesuaian tersebut memerlukan investasi minimal Rp 2 miliar. Untuk pemasangan konstruksi
sampai penyiapan dispenser para pengusaha SPBU harus menyediakan dana sekitar Rp 2 miliar.
Meskipun menurut penjelasan Pertamina, switching untuk tangki pendam, migrasi dispenser dan
nozel dijadwalkan bisa selesai pada Februari 2011, namun masih ada potensi meleset (Republika
OnLine, Rabu, 22 Desember 2010).
Masalah lain yang akan dihadapi Pertamina adalah kesiapan depot. Saat ini untuk wilayah
Jabodetabek baru ada tiga depot yang melayani kebutuhan BBM, yaitu:
1) Depot Plumpang,
2) Depot Cikampek
3) Depot Tanjung Gerem
Tabel 1. Kapasitas Tangki Timbun Pertamina7
Kapasitas Depot
Plumpang Depot
Cikampek Depot
Tanjung Gerem BBM premium 106.260 KL 39.916 KL 9.959 KL
Pertamax 34.154 KL 34.154 KL 33.473 KL
Untuk memenuhi kebutuhan stok Pertamax di wilayah Jabodetabek, direncanakan beberapa
tangki timbun yang tadinya untuk kebutuhan Premium akan disulap menjadi tangki timbun
Pertamax. Meskipun hal ini dapat dilakukan tetapi masih harus dipertimbangkan kembali karena
pada dasarnya kebutuhan premium masih tinggi.
Untuk wilayah Jabodetabek, tiga depot yang melayani kebutuhan BBM adalah depot Plumpang,
depot Cikampek dan depot Tanjung Gerem. Namun hanya depot Plumpang yang akan diubah
menjadi tangki timbun pertamax. Pertamina akan menyulap tangki timbun 5 dan tangki timbun
13 menjadi tangki timbun pertamax. Dengan perubahan itu, stok Pertamax di depot Plumpang
akan naik menjadi 56.154 KL, sedangkan stok Premium akan turun menjadi 84.260 KL.
Pilihan strategi Pertamina untuk melakukan konversi tangki Premium menjadi tangki Pertamax,
bukan strategi menambah tangki untuk Pertamax, mengindikasikan bahwa Pertamina belum 7 Kesiapan depo dan tangki BBM saat ini baru mencapai 70%, Kontan Online Kamis, 20 Januari 2011
sangat siap dan juga mengindikasikan pemerintah dengan sengaja mengarahkan kebijakan untuk
mengurangi dan kemudian menghilangkan produk premium (BBM) bersubsidi di pasaran.
Dengan demikian berarti akan ada skenario untuk menjadikan jenis BBM yang nanti di jual ke
masyarakat tidak lagi menyediakan premium. Berarti siap tidak siap Pertamina harus segera
berhadapan dengan SPBU asing untuk bersaing menjual BBM non subsidi.
Bila ternyata Pertamina belum siap karena ternyata masih harus menyediakan investasi
untuk menyiapkan berbagai infrastruktur pendukung yang diperlukan, maka
ketidaksiapan Pertamina ini akan merupakan peluang emas bagi SPBU asing untuk
mengambil alih pasar yang tidak dapat dipenuhi oleh Pertamina. Sudah sangat lama SPBU
asing menunggu saat ini tiba. Bila tahun ini pembatasan BBM bersubsidi akan dijalankan maka
pembangunan SBPU asing di berbagai wilayah dipastikan akan segera marak dilakukan untuk
menamkap pasar yang tidak dapat dilayani oleh SBPU Pertamina.
Rencana pembatasan BBM bersubsidi akan berpotensi mematikan usaha SPBU yang
dimiliki oleh Pertamina. SPBU Pertamina dapat dibedakan menjadi:
1) SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha didalam entitas Pertamina.
2) SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina.
Dari kedua jenis SPBU tersebut bisa dikelompokkan lagi kedalam 5 klasifikasi dengan
komponen ukuran lahan, lebar muka jalan, selang dan kapasitas tangki seperti diuraikan dalam
tabel dibawah ini.
Tabel 2. Lima Tipe SPBU
Komponen Tipe A Tipe B Tipe C Tipe D Tipe E Minimal Ukuran Lahan (m²) 2500 1600 1225 900 700 Min Lebar Muka Jalan 50 40 35 30 20 Selang Min. 26 20 – 25 16 - 20 10 - 16 Max 10 Kapasitas Tangki Min. 160 kl Min. 140 kl Min. 100 kl Min. 80 kl Min. 60 kl Perkiraan Volume Penjualan > 35 Kilo Liter > 25 Kilo Liter
dan <= 35 Kilo Liter
> 20 Kilo Liter dan <= 25 Kilo Liter
> 15 Kilo Liter dan <= 20 Kilo Liter
<= 15 Kilo Liter
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa diperlukan investasi minimal Rp 2 miliar bagi SPBU untuk
memenuhi infrastruktur yang diperlukan. Kebutuhan dana investasi yang relatif besar tersebut
merupakan kendala yang dihadapi oleh SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
17
entitas Pertamina khususnya yang berskala kecil dan menengah. Padahal mereka harus
memenuhi persyaratan dalam melaksanakan kebijakan pembatasan BBM bersubsidi jika ingin
tetap menjalankan usahanya.
Kendala lain yang harus dihadapi pengusaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha
diluar entitas Pertamina untuk skala kecil menengah adalah keterbatasan lahan. Penambahan
minimal 3 tangki penyimpanan BBM untuk jenis solar, premium, dan pertamax tidak bisa
dilakukan karena lahan yang digunakan untuk usaha SPBU saat ini luasnya tidak mencukupi.
Untuk itu mereka membutuhkan dana tambahan investasi untuk perluasan lahan agar bisa
mencukupi untuk penambahan minimal 3 tangki penyimpanan BBM untuk jenis solar, premium,
dan pertamax.
Pengusaha yang diharuskan menambah investasi untuk SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit
usaha diluar entitas Pertamina juga berpotensi menghadapi masalah akibat terjadinya penurunan
penjualan. Terutama bagi SPBU yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan SPBU asing. Harga
BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU asing selama ini, harganya lebih rendah dibanding
harga BBM non subsidi yang dijual melalui SPBU Pertamina.
Kondisi tersebut akan berpotensi menurunkan omzet penjualan SPBU Pertamina. Pada akhirnya
bisa juga menurunkan tingkat keuntungan yang bisa didapat oleh para pengusaha SPBU
Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina. Pada akhirnya kondisi ini akan
mempengaruhi tingkat pengembalian investasi yang sudah dikeluarkan untuk penambahan
infrastruktur usaha.
Kebijakan pembatasan BBM subsidi yang akan diberlakukan pemerintah telah membawa pelaku
usaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina dalam situasi yang
dilematis. Jika ingin tetap menjalankan usaha SPBU mereka harus berupaya untuk mendapatkan
tambahan investasi guna memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Ditengah
situasi dilema seperti ini, beberapa pengusaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha
diluar entitas Pertamina melihat kemungkinan untuk mengambil tindakan menjual SPBU
mereka. Bila ini terjadi maka hampir bisa dipastikan usaha SPBU tersebut akan jatuh ke pemodal
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
18
besar yang dapat mengembangkan unit SPBU tersebut sesuai dengan ketentuan yang mengatur
usaha SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina. Jika unit SPBU
tersebut diambil alih oleh entitas usaha SPBU asing maka kemungkinan yang lebih buruk bisa
saja terjadi. Akibat penjualan tersebut, SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar
Pertamina bisa saja berubah menjadi SPBU yang menjual produk asing.
Harga BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU Pertamina harganya selalu lebih tinggai
dibanding harga penjualan BBM non subsidi oleh SPBU asing. Persoalan harga ini akhirnya tdak
saja mengganggu pada usaha SPBU yang dikelola oleh unit usaha didalam entitas Pertamina
SPBU Pertamina maupun yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina yang dikelola
oleh unit usaha didalam entitas Pertamina untuk skala kecil menengah saja. Bagi yang skala
besar juga akan menghadapi masalah serupa.
Dengan demikian, usaha SPBU Pertamina kedepan akan berpotensi menghadapi masalah dalam
volume penjualan. Masalah ini akan mempengaruhi pula tingkat keuntungan yang bisa diperoleh
dan pada akhirnya mengganggu tingkat pengembalian investasi. Walhasil bukan tidak mungkin,
SPBU Pertamina akan menghadapi kebangkrutan akibat pemberlakuan kebijakan pembatasan
BBM subsidi.
Kebijakan pembatasan BBM subsidi yang akan diberlakukan pemerintah telah membawa pelaku
usaha SPBU Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina dalam situasi yang
dilematis bagi keberlangsungan usaha mereka. Jika ingin tetap menjalankan usaha SPBU mereka
harus menambah investasi guna memenuhi kualifikasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah,
sekaligus menghadapi potensi ancaman atas keberlangsungan usaha mereka kedepan.
Berikut ini beberapa faktor yang akan menyebabkan melemahnya pemain lokal pada industri
hilir Migas akibat pembatasan BBM bersubsidi:
1. Beralihnya konsumen ke SPBU asing. Bagi SPBU yang dikelola oleh unit usaha didalam
entitas Pertamina maupun SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas
Pertamina (termasuk yang tidak memiliki kendala dalam memenuhi kebutuhan investasi)
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
19
juga menghadapi potensi masalah serius yakni beralihnya konsumen ke SPBU asing karena
SPBU asing dapat bersaing lewat harga maupun non harga.
2. Penurunan omzet produk pertamina. Jika unit SPBU tersebut diambil alih oleh entitas
usaha SPBU asing maka kemungkinan yang lebih buruk bisa saja terjadi. SPBU Pertamina
yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas bisa saja berubah menjadi SPBU mereka untuk
tidak lagi menjual produk BBM Pertamina. Dengan demikian, permintaan terhadap produk
Pertamina akan berkurang.
3. Ancaman kebangkrutan SPBU Pertamina. Beralihnya konsumen akan berlanjut pada
ancaman kebangkrutan. Dengan strategi harga BBM non subsidi asing selama ini, SPBU
lokal mengkhawatirkan akan terjadi penurunan akibat kalah bersaing dengan SBPU asing.
Apalagi untuk SPBU Pertamina yang lokasinya berdekatan jaraknya dengan SPBU asing.
Karena harga BBM non subsidi yang dijual oleh SPBU asing harganya selalu sedikit
dibawah harga BBM non subsidi Pertamina. Tentu yang akan dirugikan tidak hanya SPBU
Pertamina dan tetapi kilang Pertamina.
4. Penjualan SPBU ke asing. Ditengah situasi dilema seperti ini, beberapa pengusaha SPBU
Pertamina, yang dikelola oleh unit usaha diluar entitas Pertamina melihat kemungkinan untuk
mengambil tindakan mudah yakni menjual SPBU. Hampir bisa dipastikan bila bisnis SPBU
tersebut dijual, maka akan jatuh ke pemodal asing.
Persoalan harga ini akhirnya tidak saja mengganggu pada usaha SPBU yang dikelola oleh
unit usaha didalam entitas Pertamina. Namun, untuk SPBU Pertamina yang dikelola oleh unit
usaha di luar entitas Pertamina, terutama yang berskala kecil menengah akan menghadapi
masalah yang lebih besar.
2.2. Pembatasan BBM Bersubsidi akan Memberikan Dampak Negatif Terhadap Ekonomi
Pemerintah berargumen bahwa pembatasan BBM bersubsidi yang direncanakan akan
diberlakukan mulai 1 April 2011 tidak akan memberikan dampak negatif terhadap ekonomi
nasional dan kesejahteraan masyarakat. Argumen pemerintah sangat lemah sehingga harus
ditolak. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan Litbang PDIP, baik dengan mengolah data
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
20
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
21
sekunder maupun data primer, banyak bukti yang menunjukkan bahwa pembatasan BBM
bersubsidi akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi nasional.8
Ada empat alasan mengapa pembatasan BBM bersubsidi harus ditolak. Pertama, Sebagian besar
subsidi BBM dinikmati kelompok masyarakat bawah. Kedua, Subsidi layak diberikan karena
daya beli masyarakat masih rendah. Ketiga, pembatasan BBM bersubsidi akan meningkatkan
biaya produksi, memicu inflasi dan menurunkan daya saing UKM. Keempat, pembatasan BBM
bersubsidi berpotensi menyebabkan kelangkaan BBM.
2.2.1. Sebagian Besar Subsidi BBM Dinikmati Kelompok Masyarakat Bawah
Selama ini pemerintah mengklaim bahwa subsidi BBM telah salah sasaran karena lebih
dinikmati oleh orang-orang kaya. Klaim ini tidak tepat karena kajian yang dilakukan oleh
Litbang PDIP menunjukkan bahwa baik dengan menggunakan data Bank Dunia, data SUSENAS
dari BPS maupun data primer dari survei, sebagian besar BBM bersubsidi ternyata justru lebih
banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah.
Pertama, dokumen Bank Dunia tentang skenario pengurangan subsidi BBM menunjukkan
bahwa dari total premium yang dikonsumsi oleh rumah tangga, 64 persennya dikonsumsi
oleh sepeda motor. Sedangkan untuk mobil hanya 36 persen. Mengingat sebagian besar
pemilik sepeda motor adalah masyarakat kelas menengah ke bawah, maka berarti selama
ini bagian terbesar subsidi premium (64 persen) dikonsumsi oleh kelompok kelas
menengah dan bawah, bukan oleh kelompok kaya.
Data Bank Dunia dapat dengan mudah dimengerti karena populasi kendaraan bermotor di
Indonesia memang semakin didominasi oleh sepeda motor. Sekitar 48 juta unit atau sebesar 82
persen dari total kendaraan bermotor tahun 2010 adalah sepeda motor. Buruknya transportasi
publik telah menggeser pilihan masyarakat kelas menengah ke bawah dari menggunakan
tranportasi umum ke sepeda motort (pada bagian lain akan dijelaskan alasan masyarakat
menegah ke bawah memilih menggunakan sepeda motor). 8 Lihat lampiran
Tabel 3. Jumlah Kendaraan di Indonesia per November 2010
Jumlah (unit) Persentase
(%) Jenis Kendaraan Kendaraan Khusus 278.750 0,5 Mobil Bus 767.173 1,3
Mobil Beban 2.857.466 4,9
Mobil Penumpang 6.385.329 10,9
Motor 48.065.877 82,4
Total 58.354.595 100 Sumber: Dirlantas Polri, 2010
Selanjutnya, sebesar 34 persen premium yang menurut Bank Dunia dikonsumsi untuk
mobil, menurut Tim Kajian sebagian besarnya pun dikonsumsi oleh rumah tangga kelas
menengah bawah. Kesimpulan ini didasarkan pada fakta bahwa sebagian besar mobil di
Indonesia adalah mobil dengan volume silinder kecil yakni <1500 cc. Dominasi mobil
berkapasitas mesin kecil ini antara lain ditunjukkan oleh data penjualan mobil selama 6 tahun
terakhir yang menunjukkan sebagian besar adalah kendaraan keluarga (multi purpose
vehicles/MPV) bermesin kecil (1500 cc ke bawah) lihat tabel 4. Bahkan sejak tahun 2005, tingkat
laju penjualan MPV bersilinder kecil tersebut jauh di atas penjualan mobil sejenis dengan
kapasitas mesin yang lebih besar.
Tabel 4. Penjualan Mobil Didominasi oleh Mobil < 1500 cc
2005 2005 2007 2008 2009 2010 Kendaraan < 1500 cc Sedan < 1500 cc 25.006 10.241 16.207 18.753 11.779 18.355 MPV < 1500 cc 189.845 136.793 194.422 279.052 257.507 389.712 Sub total 214.851 147.034 210.629 297.805 269.286 408.067 Kendaraan < 1500 cc Sedan > 1500 cc 10.363 7.324 11.194 15.547 10.321 14.773 MPV > 1500 cc 139.105 68.029 92.966 111.916 79.670 118.635 Sub total 149.468 75.353 104.140 127.463 89.991 133.408 Total mobil 533.917 318.904 433.341 603.774 483.548 764.710
Sumber: Gaikindo Dari sisi merek pun menguatkan bahwa sebagian besar mobil yang dimiliki oleh rumah tangga di
Indonesia adalah mobil murah dengan cc kecil. Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia merupakan
mobil yang paling laris, yakni 53 persen dari total penjualan mobil 2010.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
22
Tabel 5. Merek Mobil Penumpang Terlaris 2010
No Merek/tipe Jumlah unit % 1 Toyota Avanza 141.799 36% 2 Daihatsu Xenia 65.901 17% 3 Toyota Kijang Innova 53.824 14% 4 Honda Jazz 22.758 6% 5 Nissan Grand Livina 22.560 6% 6 Toyota Rush 18.420 5% 7 Suzuki APV 18.024 5% 8 Toyota Yaris 16.979 4% 9 Honda CR-V 16.961 4%
10 Daihatsu Terios 16.483 4% Total 393.709
Sumber: Gaikindo (detik.com)
Sementara pangsa penjualan mobil mewah seperti Mercedes Benz, Volvo dan BMW relatif
sangat terbatas, rata-rata kurang dari 1 persen dari total penjualan (tabel 6). Untuk kendaraan-
kendaraan mewah yang jumlahnya sangat minimal tersebut dipastikan telah mengkonsumsi
Pertamax, Pertamax Plus atau produk yang sekelas menyesuaikan spesifikasi mesinnya.
Tabel 6. Penjualan Mobil Mewah, Sangat Kecil Dibanding Mobil < 1500 cc
2005 2005 2007 2008 2009 2010 Mercy 2443 914 2022 2872 3450 4558 BMW 1257 600 1000 720 901 1240 Volvo 143 69 60 62 25 6
Sumber: Gaikindo
Kedua, data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen bensin ternyata dikonsumsi oleh
masyarakat kelompok miskin dan menegah bawah (pengeluaran per kapita < 4 dollar AS).
Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin (pengeluaran per
kapita < 2 dolar AS).
Sebagaimana data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dari pengolahan data Susenas BPS,
diperoleh bahwa ternyata sebanyak 64 persen bensin dikonsumsi oleh rumah tangga dengan
pengeluaran kurang dari US$ 8 per hari atau kurang dari US$ 2 per kapita hari (dengan asumsi
jumlah anggota keluarga per Rumah Tangga sesuai data BPS adalah 4). Sementara kelompok
rumah tangga menengah atas dan kaya, atau rumah tangga dengan pengeluaran US$ 40 ke atas
hanya mengkonsumsi 8 persen dari seluruh bensin. Dengan demikian dapat simpulkan bahwa
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
23
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
24
sebagian besar rumah tangga yang mengunakan bensin adalah rumah tangga miskin dan
menengah bawah.
Gambar 2. Konsumsi Bensin Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga
Sumber: Susenas Panel 2010, diolah
Keterangan: • Rumah Tangga Miskin : Pengeluaran < US$ 8 atau < US$ 2 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah Bawah : Pengeluaran US$ 4-16 atau US$ 2-4 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah : Pengeluaran US$ 16-40 atau US$ 4-10 perkapita/hari • Rumah Tangga Menengah Atas : Pengeluaran US$ 40-80 atau US$ 10-20 perkapita/hari • Rumah Tangga Kaya : Pengeluaran > US$ 80 atau US$ 20 perkapita/hari • 4-16 merupakan penyederhanaan penulisan dari perhitungan (4-<16), 16-40 (16-<40) dst…
Ketiga, data primer dari kegiatan survei yang dilakukan oleh tim memperkuat kajian
bahwa subsidi BBM ternyata lebih banyak dinikmati oleh kelompok menengah bawah.
Sangat berbeda dengan klaim yang disampaikan pemerintah bahwa 77 persen subsidi
BBM dinikmati oleh 25 persen kelompok rumah tangga tertinggi.
Miskin 29% Menengah bawah 36%
Menengah 27%
Menengah atas 6%
Kaya 2%
Sebagaimana diketahui Menteri ESDM Darwin Zahedy Saleh di dalam rapat kerja Komisi VII
DPR bersama Menko Perekonomian Hatta Rajasa, Menteri Keuangan Agus Martowardojo dan
Menteri ESDM di Jakarta, Senin (13/12/2010) menyampaikan bahwa berdasarkan data
Kementerian ESDM terjadi ketimpangan pengalokasian sasaran penerimaan subsidi bahan bakar
minyak (BBM). Sekitar 25% dari kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan
tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Sementara 25% kelompok rumah tangga dengan
penghasilan per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15% (www.mediaindonesia.com,
Senin, 13 Desember 2010).
Gambar 3. Porsi Konsumsi BBM Premium Menurut Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Responden
41.8%
33.2%
23.6%
1.4%
0.0%
5.0%
10.0%
15.0%
20.0%
25.0%
30.0%
35.0%
40.0%
45.0%
Kur
ang
dari
Rp
1.93
1.66
5,5
Lebi
h da
ri R
p1.
931.
665,
5 s/
d R
p3.
636.
666
Lebi
h da
ri R
p3.
636.
666
s/d
Rp
5.56
8.33
3
Lebi
h da
ri R
p5.
568.
333
Untuk membuktikan pernyataan Menteri ESDM tersebut, maka pendapatan perbulan responden
disajikan ke dalam 4 rentang (kuartil) untuk menemukan tingkat konsumsi BBM premium pada
25 persen responden dengan tingkat pendapatan teratas, serta pada responden dengan tingkat
penghasilan di bawah itu, sehingga menjadi seperti yang bisa dilihat pada Gambar 3.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
25
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
26
Setelah dilakukan penghitungan konsumsi BBM bulanan pada setiap rentang kuartil pendapatan
perkapita responden, maka ditemukan bahwa ternyata konsumsi BBM terbesar ada pada rentang
pendapatan 25% terbawah (sebesar 41,8 % dari total konsumsi BBM) yang berarti mereka adalah
penerima subsidi BBM terbesar selama ini.9 Sementara konsumsi BBM terkecil ada pada rentang
pendapatan 25 % teratas (hanya sebesar 1,4 % dari total konsumsi BBM) yang berarti mereka
adalah penerima subsidi BBM terkecil selama ini.
Kesimpulan dari survei tidak berbeda dengan kesimpulan hasil analisa dengan menggunakan
data SUSENAS BPS yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya. Artinya, analisa terhadap
data sekunder maupun primer ternyata menghasilkan kesimpulan bahwa subsidi BBM sebagian
besar dinikmati orang kelas menengah bawah. Kesimpulan ini berbeda berbeda dengan apa yang
diklaim oleh pemerintah yang mengatakan bahwa BBM bersubsidi dinikmati orang kaya.
Selain kepemilikan kendaraan yang cenderung didominasi kendaraan dengan volume silinder
kecil dan harga relatif murah, dari survei di Jabodetabek, diketahui juga bahwa sebagian besar
pembelian kendaraan bermotor dilakukan dengan cara kredit. Berdasarkan survei yang dilakukan
usaha dan rumah tangga, 51 persen pembelian dilakukan dengan kredit. Bahkan untuk kelompok
responden usaha, pembelian kendaraan pada umumnya dilakukan dengan cara kredit yakni
mencapai 62,5 persen.
9 Total konsumsi BBM dihitung dari penjumlahan konsumsi BBM dari seluruh responden.
Gambar 4. Pola Kepemilikan/Pembelian Kendaraan di Jabotabek
.
Tunai48%
Kredit51%
Hibah1%
2.2.2. Menekan Daya Beli Masyarakat
2.2.2.1. Daya Beli BBM Masyarakat Relatif Rendah
Berdasarkan hasil kajian Tim, pernyataan pemerintah bahwa harga BBM di Indonesia
terlalu murah dibandingkan negara-negara lain sangat tidak tepat. Meskipun secara
nominal harga BBM di Indonesia relatif lebih murah dibanding negara-negara lain, tetapi
relatif sangat mahal bila di kaitkan dengan pendapatannya.
Bila dilakukan analisa perbandingan tingkat daya beli masyarakat terhadap BBM, daya beli
masyarakat Indonesia terhadap BBM relatif masih sangat rendah dibandingkan dengan negara-
negara lain. Meskipun harga BBM lebih murah dibandingkan negara-negara lain, akan tetapi
harga tersebut relatif mahal bila dibandingkan dengan pendapatan kotor per kapita yang masih
jauh dibanding negara-negara lain. Berdasarkan Data Bank Dunia 2009, posisi Gross National
Income (GNI) Indonesia sebesar US$3.720 per kapita. Dengan pendapatan sebesar itu maka
penduduk Indonesia hanya akan mampu membeli 7.440 liter BBM dalam setahun dengan harga
BBM bersubsidi saat ini.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
27
Padahal Singapura misalnya, meski harga BBM-nya mencapai Rp. 11.700 per liter, namun daya
beli penduduknya jauh lebih tinggi sehingga GNI per kapitanya dapat digunakan untuk membeli
38.292 liter bensin per tahun. Dengan demikian, harga BBM di Indonesia jika diukur dari daya
beli masyarakatnya, sebenarnya masih sangat mahal jika dibandingkan dengan negara lain. Oleh
karena itu, penyesuaian harga BBM ke arah harga internasional akan sangat tidak adil.
Tabel 7. Perbandingan Daya beli Premium per Kapita di Beberapa Negara
Negara US$/Liter Rp/Liter GNI/Kapita (US$)
Daya Beli (Liter)
Venezuela 0,023 207 12.220 531.304
Saudi Arabia 0,16 1.440 24.150 150.938
Libya 0,17 1.530 16.400 96.71
Turkmenistan 0,22 1.980 6.980 31.727
Egypt 0,31 2.790 5.680 18.323
Iran 0,40 3.600 11.470 28.675
Algeria 0,41 3.690 8.110 19.780
Indonesia 0,50* 4.500 3.720 7.440
United States 0,73 6.606 45.640 62.180
Singapore 1,30 11.700 49.780 38.292
Japan 1,37 12.330 33.470 24.431 Sumber Data: Bank Dunia (2009)
Pada saat premium masih disubsidi oleh pemerintah untuk semua kalangan, berdasarkan
perhitungan GNI/kapita dan harga premium subsidi yang berlaku saat ini (Februari 2010), setiap
penduduk Indonesia hanya mampu membeli sekitar 7.450 liter premium per tahun. Jauh di
bawah penduduk Singapura yang mampu membeli 38.292 liter, meskipun harga premium per
liternya Rp 11.700. Meskipun GNI/kapita Indonesia mencapai USD 3.720, namun terjadi
kesenjangan tingkat pendapatan yang sangat besar. Sehingga sebagian besar penduduknya (58
persen) sebenarnya memiliki pengeluaran per kapita masih < Rp 500 ribu per bulan. Oleh
karenanya sudah selayaknya pemerintah memberikan subsidi BBM bagi masyarakatnya yang
sebagian besar angka pengeluarannya tersebut jauh di bawah angka GNI per kapita nasional.
2.2.2.2. Tabungan Rumah Tangga Tidak Mampu Menutupi Tambahan Biaya Hidup Pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk mobil berplat hitam menyebabkan pengguna
mobil plat hitam harus merubah kebiasaan penggunaan BBM yang semula menggunakan BBM
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
28
bersubsidi ke BBM yang tidak bersubsidi. Perubahan ini mengakibatkan meningkatnya
pengeluaran untuk penggunaan BBM. Diasumsikan peningkatan pengeluaran ini akan ditutupi
oleh tabungan rumah tangga.
Dari survei, ternyata ada 39 persen reponden tidak mampu menyisihkan pendapatannya untuk
menabung setiap bulan (Gambar 5). Responden yang mampu menyisihkan pendapatan untuk
tabungan bulanan sebesar kurang dari Rp 200.000 pun hanya 10,5 persen. Dengan kondisi
sebagian besar responden tidak mampu menyisihkan pendapatnnya untuk ditabung maka artinya
bila terjadi lonjakan pengeluaran/belanja, maka pada dasarnya porsi masyarakat akan kesulitan
untuk menutupi tambahan pengeluaran akibat kebijakan pembatasan penggunaan BBM
bersubsidi cukup besar. Langkah yang paling mungkin untuk dilakukan adalah dengan
mengurangi pengeluaran untuk kebutuhan lain.
Gambar 5. Tingkat Tabungan Responden
39%
10.5%8%
13%
4.50%
12.5%
4%5.50%
3%
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
40%
45%
0
Rp.
1 s
/d R
p.20
0.00
0
Rp.
200
.001
s/d
Rp.
400
.000
Rp.
400
.001
s/d
Rp.
600
.000
Rp.
600
.001
s/d
Rp.
800
.000
Rp.
800
.001
s/d
Rp.
1.0
00.0
00
Rp.
1.0
00.0
01 s
/dR
p. 2
.000
.000
Rp.
2.0
00.0
01 s
/dR
p. 4
.000
.000
Rp.
4.0
00.0
00 s
/dse
teru
snya
Bagi responden yang setiap bulan mampu menyisihkan pendapatannya untuk ditabung
pun ternyata tambahan pengeluaran yang diakibatkan oleh pembatasan penggunaan BBM
bersubsidi pada umumnya tidak mencukupi untuk menutupi tambahan pengeluaran setiap
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
29
bulan. Pada Gambar 6 di bawah, perbandingan antara besarnya tabungan dengan besarnya
penambahan pengeluaran akibat pembatasan BBM bersubsidi menunjukkan bahwa ada 57,5 %
responden yang mempunyai jumlah tabungan bulanannya lebih kecil dibanding penambahan
pengeluaran akibat pembatasan penggunaan BBM bersubsidi. Dengan kata lain, dapat
diasumsikan bahwa 57,5 % responden tidak akan mampu menutupi biaya BBM setelah
kebijakan ini dilaksanakan.
Gambar 6. Persentase Tabungan Responden Dibanding Penambahan Pengeluaran Akibat Pembatasan BBM Bersubsidi
Tabungan < kenaikan biaya BBM
57%
Tabungan > kenaikan biaya BBM
43%
Meskipun 43 persen responden mempunyai kemampuan menabung dengan jumlah lebih
besar dibanding tingkat pengeluaran akibat kenaikan biaya BBM, namun bukan berarti
kelompok ini tidak akan menghadapi persolan tekanan terhadap biaya hidup akibat
kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini. Kenaikan biaya hidup akibat kenaikan biaya BBM
dipastikan akan diikuti oleh kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum. Padahal seperti
ditunjukkan pada Gambar 7, selisih tabungan dan kenaikan biaya jika beralih dari Premium ke
Pertamax tidak terlalu besar. Sebagian besar hanya memiliki selisih kurang dari Rp 500.000 per
bulan.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
30
Dengan demikian, pengalihan dana untuk tabungan akan terdistribusi kepada berbagai
pengeluaran lain, tidak hanya untuk menutupi biaya BBM. Sehingga, pada dasarnya persentase
responden yang sanggup menutupi kenaikan biaya BBM akibat pembatasan BBM bersubsidi
akan lebih kecil lagi.
Gambar 7. Selisih Tabungan dan Kenaikan Biaya Jika Beralih dari Premium ke Pertamax
57.5%
8.5%
3.0%5.0% 4.5%
2.5%4.0%
0.5% 1.5% 1.5%5.0%
6.5%
0.0%
10.0%
20.0%
30.0%
40.0%
50.0%
60.0%
70.0%
0
Rp.
1 s
/d R
p.10
0.00
0
Rp.
200
.001
s/d
Rp.
200.
000
Rp.
200
.001
s/d
Rp.
300.
000
Rp.
300
.001
s/d
Rp.
400.
000
Rp.
400
.001
s/d
Rp.
500.
000
Rp.
500
.001
s/d
Rp.
600.
000
Rp.
600
.001
s/d
Rp.
700.
000
Rp.
700
.001
s/d
Rp.
800.
000
Rp.
800
.001
s/d
Rp.
900.
000
Rp.
1.0
00.0
01 s
/dR
p. 2
.000
.000
Rp.
2.0
00.0
01 s
/dse
teru
snya
Dari hasil kajian ini, ditemukan bahwa untuk rumah tangga yang tidak mempunyai tabungan
untuk membiayai peningkatan pengeluaran akibat kenaikan biaya untuk BBM, atau yang
mempunyai tabungan namun tidak cukup untuk menutupi menutupi kenaikan pengeluaran akibat
kenaikan biaya BBM, akan ada dua kemungkinan perilaku: 1) Mengurangi penggunaan BBM
dengan cara mengurangi berbagai aktifitas yang berkaitan dengan konsumsi BBM, 2) Tetap
mengkonsumsi BBM seperti saat ini, namun mengurangi anggaran untuk kebutuhan lainnya.
Kedua pilihan tersebut tetap akan mengganggu ekonomi rumah tangga. Bila kemungkinan
pertama yang terjadi, maka akan mempengaruhi aktifitas perekonomian secara umum.
Menurunnya berbagai aktifitas masyarakat dapat mengakibatkan rendahnya produktifitas.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
31
Sementara jika yang terjadi adalah kemungkinan kedua, maka akan terjadi penurunan permintaan
secara umum terhadap barang dan jasa yang lain serta mengakibatkan kelesuan ekonomi. Jika
pengurangan anggaran ternyata berkaitan dengan anggaran kebutuhan pokok, dampak yang
dihasilkan akan lebih luas.
Sebagian besar responden menggunakan kendaraan yang dimilikinya untuk berangkat dan
pulang kerja. Jika terjadi pengurangan subsidi BBM, pilihan yang ada adalah menggunakan
pertamax atau mengganti moda transportasi untuk bekerja karena tidak mungkin kendaraan
pribadi yang digunakan berangkat-pulang kerja diganti plat nomor kendaraannya dengan warna
kuning. Sementara menggunkan pertamax dipastikan akan menambah beban pengeluaran
keluarga karena perbedaan harga yang sangat signifikan antara premium bersubsidi dan harga
pertamax.
Gambar 8. Frekwensi Penggunaan Mobil untuk Transportasi Kerja
Sering49%
Tidak pernah22%
Jarang29%
Alasan menggunakan kendaraan pribadi untuk berangkat dan pulangkerja sebagain besar karena alasan
transportasi umum yang tidak memadai. Ketidak layakan tersebut karena kondisi kendaraan umum yang
tidak layak (jumlah dan kualitasnya) serta waktu tempuh yang tidak dapat diprediksi. Ada 64% responden
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
32
yang tidak bersedia menggunakan trnasportasi imim. Sebagian besar dari responden tersebut menjawab
tidak bersedia menggunakan transportasi umum karena waktu tempuh yang lebih lama (55%). Ketidak
nyamanan karena faktor keamanan dan kepadatan serta kondisi alat transportasi yang buruk menjadi
alasan 28% responden. Dengan demikian, jika pemerintah ingin mengurangi subsidi BBM adalah dengan
menyediakan alat transportasi umum yang cukup jumlahnya, nyaman, dan tepat waktu.
Gambar 9. Alasan Responden Tidak Menggunakan Transportasi Publik
Tidak ada trayek langsung
9%
Penuh Sesak12%
Tidak aman16%
Lainnya8%
Waktu tempuh lebih lama55%
2.2.3 Meningkatkan Biaya Produksi dan Memicu Inflasi
Pembatasan BBM bersubsidi akan meningkatkan biaya transportasi industri karena
kendaraan yang digunakan sebagai sarana transportasi pengangkutan barang di DKI
Jakarta sebagian besar nya (84 persen) merupakan kendaraan dengan plat hitam. Selain
itu, berdasarkan data dari Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya tahun 2010, saat ini sebanyak
83 persen dari kendaraan di Jabodetabek menggunakan premium sebagai bahan bakar.
Kendaraan angkutan barang berbahan bakar premium tersebut hampir seluruhnya berdaya angkut
2 ton. Jadi jika mobil angkutan tersebut tidak berpindah/beralih menjadi kendaraan plat kuning,
dipastikan biaya produksi dan distribusi akan meningkat dan peningkatannya akan dibebankan
kepada konsumen sehingga akan memicu inflasi.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
33
Peningkatan biaya ini sangat besar kemungkinannya akan mendorong kenaikan harga karena jika
tidak dilakukan kenaikan harga produk, maka margin keuntungan produsen akan semakin tipis.
Hal ini merupakan pilihan yang sangat dilematis khususnya bagi produsen yang tengah
menghadapi persaingan dengan produk-produk impor.
Tabel 8. Persentase Kendaraan di DKI berdasarkan Kepemilikan Kepemilikan Bukan Umum Umum/Perush. Pemerintah CC/CD Badan Int. Total
Mobil Penumpang 93.9% 4.6% 1.4% 0.1% 0.0% 100.0%
Mobil Bus 90.4% 9.0% 0.6% 0.0% 0.0% 100.0%
Mobil Barang 84.1% 8.5% 7.4% 0.0% 0.0% 100.0%
Sumber: Dirlantas Poda Metrojaya, Desember 2010
Bila pembatasan BBM bersubsidi dilakukan maka sebagian besar pengusaha UKM akan
menaikkan harga jual barang/jasanya. Berdasarkan survei yang dilakukan di Jabodetabek
terhadap para pengusaha yang sebagian besarnya UKM, sebanyak 42 persen responden
menyatakan akan menaikkan harga barang/jasa yang dijualnya jika harus menggunakan BBM
dengan harga Rp 7000/liter atau lebih. Sedangkan 16 persen responden akan menaikkan harga
bila harga BBM mencapai Rp 7500/liter. Artinya dengan harga Pertamax saat ini sekitar Rp
7.950/liter, dan sangat mungkin untuk terus naik di atas Rp 7500/liter, maka sebagian besar (58
pesen) pengusaha UKM akan menaikkan harga barang/jasa yang diprduksinya. Angka persentase
pengusaha yang akan menaikkan harga jual barang/jasanya tersebut meningkat menjadi 89%
ketika harga pertamax menjadi Rp. 8000/liter. Jika kebijakan pengurangan subsidi ini telah
dilakukan, kenaikan harga ini tentu akan membebani konsumen.
Bagi pengusaha besar akan lebih mudah untuk menaikkan harga jual kaena beban kenaikan
harga akan lebih mudah untuk dibebankan kepada pembeli. Namun, bagi pengusaha UKM,
pilihan lain untuk menyiasati kenaikan biaya tidak banyak. Namun menaikkan harga barang dan
jasa merupakan strategi yang jauh lebih sulit dibanding pengusaha besar, sehingga yang paling
sering dilakukan adalah dengan mengurangi keuntungan. Artinya, semakin sulit bagi UMKM
untuk mempertahankan daya beli dan kesejahteraannya.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
34
Gambar 10. Porsi UKM yang Akan Menaikkan Harga pada Tingkat Harga Pertamax
sampai dengan 750016%
sampai dengan 85006%
lebih dari 85005% sampai dengan 7000
42%
sampai dengan 800031%
Probabilitas terjadinya inflasi akibat pembatasan BBM bersubsidi juga semakin besar
karena sebagian besar pengusaha enggan mengubah kendaraannya menjadi plat kuning.
Tanpa mengubah plat kendaraan dari plat hitam menjadi kuning, maka biaya BBM akan
meningkat. Sebanyak 68 persen responden menyatakan akan tetap menggunakan kendaraan plat
hitam dan hanya 9 persen yang sudah menyatakan akan beralih ke plat kuning. Dengan demikian
para pengusaha ini tidak akan dapat menekan biaya transportasi karena tidak dapat lagi
menggunakan BBM bersubsidi yang hanya diberikan untuk mobil berplat kuning dan sepeda
motor. Karena kendaraan tersebut digunakan untuk kepentingan usaha, otomatis akan terjadi
peningkatan pengeluaran operasional untuk BBM. Bagi usaha-usaha yang porsi biaya
transportasinya besar, maka salah satu konsekuensinya adalah menaikkan harga barang/jasa.
Jika para pengguna premium ini dipaksa menggunakan BBM nonsubsidi baik jenis Pertamax
maupun produk sejenis di SPBU asing, maka akan terjadi kenaikan biaya BBM dalam struktur
biaya transportasi. Dengan perhitungan terjadi “kenaikan harga” BBM sebesar 70 persen (dengan
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
35
asumsi harga rata-rata Pertamax sebesar Rp 7800/liter) maka biaya transportasi akan meningkat.
Padahal harga minyak mentah dunia akan cenderung terus meningkat. Bila ini yang terjadi maka
harga Pertamax pun akan cenderung terus meingkat. Hal ini tentu saja akan sangat membebani
UKM dan menekan daya saing produk yang dihasilkan UKM. Apalagi pengusaha kecil ini
termasuk pengkonsumsi BBM yang sangat besar sebagian besar (71 persen) mengkonsumsi
premium yang relatif banyak yakni rata-rata lebih dari 50/liter perminggu.
Pemerintah mengklaim bahwa kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak akan terlalu
berpengaruh pada kegiatan ekonomi karena kendaraan yang digunakan untuk kegiatan
ekonomi dapat terus menggunakan BBM bersubsidi dengan syarat bersedia beralih
mengunakan kendaraan plat kuning. Menurut Tim, rencana kebijakan ini tidak akan
berhasil dan bukan solusi yang baik.
Pertama, jumlah kemdaraan plat hitam yang digunakan untuk kegiatan usaha sangat banyak.
Alasan untuk menggunakan plat hitam tentu beragam seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Alasan
terbanyak karena bagi mereka utamanya usaha UKM tidak ada pemisahan antara aset keluarga
dan aset usaha. Sehingga mereka menggunakan memilih menggunakan plat hitam untuk usaha
karena sekalian untuk keperluan pribadi.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
36
Gambar 11. Alasan Menggunakan Plat Hitam Untuk Usaha (%)
14 13 1114
60
33
0
17
28
11
31
12
0
17
0
2015 16
8 60
8
0
31 33
53
36
71
100
33
75
17
10 11 116
0
8
25
0
20
40
60
80
100
120
Ang
kuta
Pas
ar
Jasa
Pen
girim
an
Ang
kuta
n S
ekol
ah
Om
pren
gan
Gar
men
Man
ufak
tur/B
engk
el
Dag
ang
Lain
nya
Mengindari pungutan Tidak ada ijin trayek Sulitnya prosedur perubahan Untuk pemakaian pribadi Lainnya
Bila pemerintah mendorong para pengusaha untuk menukar plat kendaraan dari plat
hitam ke plat kuning untuk kendaraan plat hitam yang selama ini digunakan untuk
kegiatan usaha, maka kebijakan pembatasan BBM bersubsidi tidak akan memberikan
dampak signifikan bagi tujuan pemerintah untuk mengurangi subsidi premium. Artinya,
pengalihan plat hitam ke plat kuning tidak akan mengurangi permintaan atau konsumsi
premium.
Kedua, sebagian besar responden tetap keberatan untuk menggunakan kendaraan plat kuning
meskipun pemerintah akan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Sebanyak 89,5% responden
menyatakan akan tetap menggunakan plat hitam dan hanya 10,5% yang bersedia beralih
menggunakan atau merubah plat kendaraannya menjadi plat kuning.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
37
Gambar 12. Kesediaan Migrasi dari Plat Hitam ke Plat Kuning Bila Ada Pembatasan BBM Bersubsidi
Beralih ke plat kuning, 10.50%
Tetap plat hitam, 89.50%
Jika dilihat berdasarkan jenis usaha, selain angkutan pasar, jasa pengiriman barang dan angkutan
anak sekolah, hampir di semua jenis usaha memilih untuk tetap menggunakan plat hitam
(Gambar 12). Bahkan kendaraan untuk jenis usaha manufaktur dan dagang tidak satupun
berencana untuk berpindah menggunakan plat kuning. Untuk wilayah Jabodetabek yang ketat
dalam membatasi wilayah untuk plat kuning akan menyulitkan pedagang bila mengganti dengan
plat kuning.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
38
Gambar 13. Keengganan Melakukan Migrasi Menurut Sektor Usaha
11%15% 16%
8% 6%0% 0% 0%
89%85% 84%
92% 94%100% 100% 100%
0%
20%
40%
60%
80%
100%
120%
Ang
kuta
Pas
ar
Jasa
Pen
girim
an
Ang
kuta
n S
akol
ah
Om
pren
gan
Gar
men
Man
ufak
tur/B
engk
el
Dag
ang
Lain
nya
Beralih ke plat kuning Tetap plat hitam
Rendahnya keinginan responden untuk beralih dari kendaraan plat hitam ke plat kuning karena
terkendala oleh beberapa hal antara lain karena sebagian besar UKM tidak berijin (usaha
informal). Dari responden UKM yang disurvei, sebanyak 71% mengaku usaha mereka
tidak memiliki ijin usaha, sementara yang memiliki ijin hanya 29 persen. Padahal
dokumen perijinan usaha menjadi salah syarat wajib untuk merubah warna plat
kendaraan dari hitam ke kuning.
Menurut responden, tidak adanya ijin trayek di daerah tersebut memaksa mereka untuk
menggunakan kendaraan plat hitam. Selain itu penggunaan plat hitam dan mobil pribadi akan
memudahkan bisnis dan juga menekan biaya. Sebagai contoh di Pasar Tanah Abang atau di
Mangga Dua di Jakarta, hampir semua pedagangan menggunakan mobil pribadi untuk kebutuhan
transportasi usahanya.
Alasan lain yang mengakibatkan efek inflasi adalah pelepasan harga BBM untuk
mengikuti harga pasar. Kebijakan ini akan mengakibatkan ketidakpastian bagi para
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
39
konsumen dan menyulitkan bagi UMKM untuk melakukan perencanaan bisnis. Dengan
rencana pemerintah untuk melakukan peninjauan harga Pertamax dua kali sebulan, maka harga
Pertamax akan sangat fluktuatif dan membuat ketidakpastian biaya produksi. Fluktuasi harga ini
membuat ketidakpastian dalam perhitungan bisnis di kalangan dunia usaha khususnya UMKM.
Fluktuasi harga BBM akan selalu terjadi karena fluktuasi harga minyak mentah di pasar
internasional juga akan selalu berfluktuasi. Apalagi biaya produksi BBM sebagian besar (90-95
persen) disumbangkan oleh biaya pengadaan minyak mentah. Dengan demikian, kebijakan
pembatasan BBM bersubsidi sangat tidak berpihak kepada UMKM karena membiarkan harga
energi bagi kegiatan usaha UMKM terus bergejolak karena pemerintah memaksa harga BBM
untuk selalu disesuaikan dengan harga minyak internasional.
Gambar 14. Harga Minyak Mentah dan Harga Pertamax
-
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
1-Jan-08 15-Jun-08 15-Nov-08 15-Jun-09 1-Dec-09 1-May-10 1-Oct-100
20
40
60
80
100
120
140
160
Minyak Mentah (skala kanan)
Pertamax (skala kiri)
Rp US$
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
40
2.2.4. Berpotensi Menyebabkan Kelangkaan BBM
Disparitas harga antara Premium untuk sepeda motor dan kendaraan umum (atau kendaraan
bermotor lainnya yang nantinya ditetapkan berdasarkan peraturan) dengan Pertamax untuk
kendaraan pribadi, akan mengakibatkan peluang terjadinya black market, khususnya di saat
harga Pertamax mengalami lonjakan harga secara signifikan akibat kenaikan harga minyak
mentah dunia. Peluang terjadinya pasar gelap akan dipicu oleh permintaan Premium oleh
penggunaan kendaraan pribadi berplat hitam dari golongan menengah bawah. Selain itu juga
akan mendorong terjadinya kompetisi dalam mendapatkan Premium yang jumlahnya terbatas
untuk kendaraan pribadi berplat hitam dengan kendaraan umum berplat kuning, sepeda motor
atau sektor yang penurut peraturan diijinkan untuk menggunakan Premium.
Potensi maraknya permintaan Premium bersubsidi oleh pengguna kendaraan pribadi sangat besar
dan akan sangat membahayakan bila kontrol pemerintah tidak memadai. Hasil survei
menunjukkan bahwa sebagian masyarakat pengguna kendaraan berplat hitam yang saat ini
menkonsumsi Premium bersubsidi berniat untuk mencari Premium bersubsidi dengan berbagai
cara bila harga Pertamax sangat tinggi. Artinya, kemungkinan maraknya pasar gelap sangat besar
karena dalam survei sebanyak 30 persen responden berharap untuk bisa memperoleh premium
bersubsidi meningkat dengan cara apapun bila harga Pertamax tinggi.
Pembatasan premium bersubsidi juga akan menyebabkan kelangkaan premium bersubsidi di
daerah-daerah yang jauh dari pompa bensin (SPBU). Pada saat kebijakan pembatasan BBM
bersubsidi tersebut di laksanakan, Pertamina tentu harus melakukan kontrol penualan BBM
bersubsidi misal dengan menggunakan smartcard, membatasi penjualan dengan jerigen, dll. Jika
tidak, maka pembelian BBM bersubsidi akan terjadi oleh masyarakat yang dinilai ’tidak berhak
mendapatkan BBM bersubsidi”.
Padahal untuk daerah-daerah yang jauh dari SPBU, pedagang eceran yang membeli dengan
jerigen memegang peran penting dalam distribusi BBM. Apalagi jika kita melihat jumlah SPBU
yang jumlahnya masih terbatas dan dengan sebaran yang tidak merata. Sebagian besar SPBU (29
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
41
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
42
persen) tersebar di Jawa Barat, Banten dan Jakarta; dan dari jumlah tersebut lebih dari 50
persennya terletak di Jabodetabek.10 Saat ini saja di daerah, harga premium di tingkat eceran
biasanya berkisar dari Rp 5.000/liter untuk daerah yang tidak terlalu jauh dari SPBU. Sementara
di daerah yang berjarak lebih dari 5 km dari SPBU, harga Premiun bersubsidi biasanya lebih dari
Rp 6.000/liter. Untuk daerah yang terpencil bahkan bisa mencapai di atas Rp. 10.000/liter.
Jika penjualan premium bersubsidi dibatasi, harga premium bersubsidi di daerah-daerah yang
jauh dari SPBU niscaya akan melonjak di atas harga saat ini. Lonjakan harga tersebut akan
menyebabkan kenaikan biaya transportasi dan biaya-biaya lain sehingga akan mendorong
kenaikan harga jual. Apalagi jika kemudian terjadi kelangkaan premium, dapat dipastikan beban
ekonomi masyarakat akan semakin berat.
2.3. Banyak Alternatif Kebijakan Yang Lebih Adil Belum Dilakukan
2.3.1. Perbaikan Formula Pembebanan Subsidi BBM dan Bagi Hasil Minyak
Salah satu alasan utama pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi adalah
bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia dan
meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi. Tetapi, alasan tersebut tidak sepenuhnya benar karena 10 Jumlah SPBU di Indonesia berjumlah, 4.667 unit, hanya 1.686 unit SPBU (37%) yang menjual Pertamax, sementara 2.981
SPBU belum memiliki tanki Pertamax. SPBU tersebar di delapan wilayah, Wilayah I: Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau dan Nangroe Aceh Darussallam dengan 625 SPBU; 80 SPBU telah menyediakan Pertamax, 489 SPBU memerlukan modifikasi, dan 56 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah II: Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Bangka Belitung dan Lampung memiliki 375 SPBU; 109 SPBU telah menyediakan Pertamax, 204 memerlukan modifikasi tangki Pertamax, dan 62 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah III: Jawa Barat, Banten dan Jakarta; memiliki 1.336 SPBU: 788 SPBU telah menjual Pertamax, 388 unit harus dimodifikasi dan 170 SPBU memerlukan investasi tambahan. Khusus wilayah Jabodetabek ada 558 SPBUdari total 720 unit, dan hanya 21 SPBU harus menambah investasi baru untuk tanki khusus Pertamax. Wilayah IV: 676 SPBU di Jawa Tengah dan Yogyakarta; 2020 SPBU sudah menjual Pertamax, 394 unit memerlukan modofikasi tangki Pertamax, dan 80 SPBU memerlukan investasi tambahan. Wilayah V: NTT, Bali, Jawa Timur dan NTB, memiliki 1.065 SPBU; 379 SPBU sudah memiliki pompa ada Pertamax, 638 SPBU harus dimodifikasi dan 48 SPBU perlu investasi tambahan. Wilayah VI: Kalimantan dengan 232 SPBU; 67 SPBU sudah menjual Pertamax, 136 SPBU butuh modifikasi, dan 29 unit memerlukan investasi tambahan. Wilayah VII: Sulawesi dengan 305 SPBU; 61 SPBU telah menjual Pertamax, 212 SPBU memerlukan modifikasi tangki Pertamax dan 32 SPBU perlu investasi tambahan. Wilayah VIII: Maluku dan Papua memiliki 53 SPBU yang seluruhnya memerlukan investasi tambahan untuk tangki Pertamax. (data 14 Desember 2010, http://metronews.fajar.co.id/read/111937/10/pembatasan-subsidi-bbm-libatkan-polisi, dan sumber-sumber lain)
Khusus wilayah Jabodetabek ada 558 SPBUyang sudah siap menyalurkan pertamax dari total 720 unit, dan hanya 21 SPBU harus menambah investasi baru untuk tanki khusus Pertamax. (Vice President Pemasaran BBM Retail PT Pertamina (Persero) Basuki Trikora Putra, saat Sosialisasi Pengaturan BBM Bersubsidi 2011 di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Jakarta, Kamis (30/12).
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
43
faktanya neraca minyak bumi dan gas kita secara nasional masih surplus. Indonesia tetap
diuntungkan dengan kenaikan harga minyak dunia yaitu dengan adanya tambahan penerimaan
dari sektor minyak bumi dan gas. Untuk neraca pemerintah pusat, memang benar bahwa subsidi
BBM mengalami peningkatan akibat kenaikan harga minyak dunia. Tetapi, peningkatan subsidi
tersebut dapat tertutupi oleh tambahan peningkatan penerimaan pada sektor minyak bumi dan
gas yaitu dari penerimaan PPh migas dan penerimaan SDA migas.
Sebagai contoh, pada neraca migas tahun 2005 yang dirilis, pemerintah menyebutkan bila terjadi
kenaikan harga minyak dunia dari US$ 40 per barel menjadi US$ 60 per barel, dan dengan
asumsi nilai tukar Rp 9.300 per USD, akan meningkatkan subsidi BBM sebesar Rp 70 triliun.
Akan tetapi di sisi lain, penerimaan pemerintah dari sektor minyak bumi dan gas juga meningkat
sekitar Rp 84 triliun. Ini berarti masih ada surplus antara tambahan penerimaan sektor minyak
bumi dan gas dengan tambahan pengeluaran subsidi BBM.
Kondisi yang sama juga akan terjadi saat ini pada saat harga minyak dunia telah meningkat dan
mendekati US$ 100 per barel. Bahkan kemungkinan besar surplus neraca migas akan lebih besar
karena saat ini peningkatan beban subsidi tentu lebih rendah dibanding tahun 2005. Sebagaimana
diketahui porsi terbesar dari subsidi BBM adalah subsidi minyak tanah. Paska program konversi
minyak tanah ke LPG telah dilakukan sejak tahun 2007 maka besaran subsidi BBM sudah
menurun tajam.
Selama ini selain untuk pembayaran subsidi, pemerintah pusat memang mempunyai kewajiban
lain yaitu membagi penerimaan dari peningkatan penerimaan minyak bumi dan gas kepada
Pemerintah Daerah melalui kebijakan Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas. Jika menggunakan
formula saat ini, pembagian Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas akan mengakibatkan
terjadinya peningkatan defisit dalam perhitungan anggaran.11 Peningkatan subsidi BBM akibat
melonjaknya harga minyak dunia, sebenarnya dapat ditutupi oleh kenaikan penerimaan
pemerintahan yang juga akan terjadi di sektor minyak bumi dan gas. Namun, dengan formula
perhitungan Dana Bagi hasil yang ada saat ini, pemerintah harus membagi tambahan penerimaan
minyak bumi dan gas tersebut kepada Pemerintah Daerah sehingga pemerintah pusat akan
11 Perlu dipahami bahwa ”defisit” yang terjadi akibat Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas bukan merupakan kerugian riil
pemerintah dan masyarakat karena pada dasarnya secara nasional pemerintah tidak mengalami kerugian.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
44
mengalami tambahan defisit. Formula alokasi Dana Bagi Hasil bisa dirubah karena tambahan
subsidi BBM seharusnya juga menjadi beban Pemerintah Daerah, tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah pusat.
Menurut Tim Indonesia Bangkit (TIB) ada dua cara yang dapat dilakukan dalam merubah
perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas.12
Pertama, alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan berdasarkan dana
penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan
kebijakan ini, perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap
memperhitungkan fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah dana
penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi.
Kedua, dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas.
Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil
minyak bumi dan gas yang semula mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara
perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak didasarkan pada
harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak mentah dunia.
Cara ini akan memberikan alternatif penyelesaian jangka pendek karena beban anggaran tidak
dapat diselesaikan dengan pengurangan subsidi BBM baik dengan kenaikan harga BBM atau
pembatasan BBM bersubsidi. Dengan terobosan ini defisit pemerintah pusat akan menurun dan
ada kelonggaran pemerintah pusat untuk membiayai berbagai program peningkatan
kesejahteraan tanpa harus menghilangkan kewajiban pemerintah untuk membagi dana hasil
penerimaan minyak bumi dan gas kepada Pemerintah Daerah. Langkah kebijakan ini pun tidak
akan merugikan pemerintah dan masyarakat luas karena meskipun Pemerintah Daerah tidak
menerima tambahan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas, akan tetapi beban
Pemerintah Daerah akibat naiknya harga BBM, misalnya, gejolak sosial dan bertambahnya
jumlah masyarakat miskin, dll, dapat dihindari.
12 Paper Tim Indonesia Bangkit (TIB) tahun 2005, ”Kenaikan Harga BBM: Pilihan Akhir yang Harus Didahului Reformasi Tata
Niaga Minyak Bumi dan Gas, Program Anti Kemiskinan yang Efektif, Renegosiasi Utang dan Strategi Diversifikasi Energi masih relevan untuk diterapkan pemerintah KIB II saat ini, Juli 2005.
2.3.2. Reformasi Tata Niaga Minyak dan Gas
Tim Indonesia Bangkit dalam papernya juga mengusulkan untuk melakukan terobosan kebijakan
dengan melakukan reformasi tata niaga minyak bumi dan gas dengan cara menghapus brokers
pemburu rente. Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan dan distribusi BBM oleh
Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan. Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang
diproduksi oleh kilang dalam negeri maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah
BBM yang benar-benar dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.
Kebocoran, inefisiensi dan penyalahgunaan BBM bersubsidi bahkan diperkirakan mencapai 25
sampai 30 persen. Selain dalam distribusi dan transmisi BBM, sumber ketidakefisienan lain yang
nyata-nyata merugikan negara adalah pada proses impor yang masih melalui trading companies
(brokers), baik dalam pembelian minyak mentah maupun BBM. Saat ini, mekanisme impor
melalui brokers tersebut menjadi lebih sulit dihapus karena perusahaan brokers terkait dengan
keluarga dan kroni pejabat di pemerintahan. Kerugian negara akibat conflict of interest tersebut
dapat dihapuskan jika Presiden mengambil langkah tegas untuk menghapus berbagai praktek
pemburu rente dalam industri minyak bumi dan gas.
Selain pemborosan uang negara triliunan rupiah per tahun, mekanisme impor melalui brokers
juga memiliki kelemahan lain yaitu hilangnya kesempatan untuk memperoleh kelonggaran dalam
jadwal pembayaran. Brokers pemburu rente tersebut nyaris tidak memiliki kredibilitas dan posisi
tawar untuk menegosiasikan jangka waktu pembayaran dalam pembelian minyak dan BBM
terhadap pemasok besar. Pengadaan BBM selama ini dilakukan secara cash and carry sehingga
sangat memberatkan cashflow Pertamina dan Pemerintah serta menekan nilai tukar rupiah seperti
yang terjadi saat ini.
Menurut TIB, seandainya Pertamina melakukan deal langsung dengan pemasok minyak mentah
dan BBM, besar kemungkinan Pertamina akan memperoleh kelonggaran waktu pembayaran
minimum 3 bulan atau bahkan lebih. Jika hal ini dilakukan, tekanan terhadap cashflow Pertamina
maupun nilai tukar rupiah akan dapat dikurangi. Di samping itu, terdapat berbagai sumber
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
45
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
46
inefisiensi dan KKN yang harus dihapuskan untuk meningkatkan efisiensi, tata niaga minyak
bumi dan gas dan mengurangi pemborosan keuangan negara.13
2.3.3. Model gross PSC Untuk Meningkatkan Bagian Minyak Untuk Pemerintah
Cost recovery adalah pengembalian biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor migas,
baik untuk kegiatan eksplorasi, pengembangan maupun produksi. Pengembalian biaya ini
dilakukan setelah lapangan migas berproduksi. Idealnya, bila terjadi peningkatan cost recovery
maka seharusnya diikuti juga dengan kenaikan produksi migas. Ternyata yang terjadi tidak
demikian.
Sejak delapan tahun terakhir cost recovery meningkat mendekati “eksponensial”. Tahun 2002,
nilai cost recovery hanya 2,5 miyar dolar AS, tetapi tahun 2005 nilainya meroket menjadi 7,5
milyar dolar. Bahkan tahun 2009 telah mencapai 11 milyar dolar dan tahun 2010 ini diperkirakan
mencapai 12 milyar dolar. Sayangnya, peningkatan biaya cost recovery ini justru berbanding
terbalik dengan data volume produksi. Tahun 2002, produksi minyak mencapai 1,2 juta barel,
tahun 2005 menurun hingga 1,06 dan tahun 2009 anjlok hingga ke level 876 barel (Tempo, 23
Maret 2010). Pemerintah berdalih bahwa peningkatan cost recovery tahun 2010 ini disebabkan
oleh Blok Tangguh dan Blok Cepu yang sudah mulai dilakukan penggantian biaya karena sudah
mulai berproduksi. Sementara kajian lebih mendalam tidak dapat dilakukan karena tidak tersedia
data detil tentang nama-nama kontraktor yang mengalami kenaikan cost recovery.
Karena itu, patut dilakukan evaluasi kembali terhadap model Production Sharing Contract (PSC)
saat ini yang menggunakan skema penggantian biaya dari Pemerintah kepada kontraktor. Salah
satu model terbaik yang dapat dijadikan adalah model gross PSC. Dalam model gross PSC yang
baru-baru ini ditawarkan oleh Pemerintah, split antara Pemerintah dan Kontraktor ditentukan di
13 Menurut Tim Indonesia Bangkit, sumber inefisiensi & KKN dalam tata niaga minyak bumi dan gas (perkiraan 2005): 1)
Brokers pemburu rente dalam pembelian impor minyak mentah dan BBM; 2) Impor minyak mentah dari luar negeri untuk diproses didalam negeri sangat besar. Harus dilakukan pengurangan impor minyak mentah dengan melakukan pembelian/swap dengan kontraktor production sharing; 3) Sering terjadi peningkatan komponen biaya dalam pelaksanaan production sharing. Perlu dilakukan audit independen terhadap pelaksanaan kontrak production sharing, terutama komponen biaya; 4) Pertamina dan B.P Migas belum perlu melakukan ekspor minyak mentah, sebaiknya dialihkan untuk memenuhi kebutuhan refinery dalam negeri; 5) Ineffiensi dan rendahnya penggunaan kapasitas dari refinery nacional; 6) Pengisian solar dan migas bersubsidi didalam negeri oleh kapal-kapal berbendera internasional.
awal, dengan mempertimbangkan biaya ditanggung sendiri oleh kontraktor, yang diambil dari
bagian kontraktor tersebut.
Keunggulan sistem ini setidaknya ada dua. Pertama, Pemerintah tidak perlu lagi bersusah payah
mengontrol realisasi biaya dari para kontraktor migas. Kedua, kontraktor akan berupaya lebih
efisien dalam menjalankan operasinya. Tidak ada lagi istilah “bisnis cost recovery”, yakni
meraup keuntungan dari selisih antara “biaya sebenarnya” dengan “biaya yang dilaporkan”
kepada Pemerintah.
2.3.4. Menaikkan Pajak Kendaraan Bermotor
Untuk menyelesaikan dilema tingginya beban APBN atas subsidi BBM di satu sisi dan
ketidaksiapan ekonomi bila beban biaya BBM meningkat, baik dengan menaikkan harga BBM
maupun dengan melakukan pembatasan BBM bersubsidi, perlu kebijakan alternatif. Salah satu
langkah yang dapat dilakukan adalah mengganti kebijakan pembatasan BBM bersubsidi dengan
menaikkan pajak kendaraan bermotor.
Langkah ini lebih adil di banding melakukan pembatasan BBM bersubsidi karena selama ini
yang lebih banyak menikmati subsidi BBM ternyata kelompok menengah bawah, termasuk yang
tidak memiliki kendaraan bermotor. Sementara, kenaikan pajak bermotor tidak akan membebani
masyarakat bawah yang tidak memiliki kendaraan bermotor. Apalagi bila penerapan kenaikan
pajak kendaraan bermotor didasarkan pada ukuran silinder dan tahun pembuatan sehingga
kenaikan pajak akan lebih tinggi bila mobil semakin mewah dan semakin baru.
Potensi penerimaan negara dari peningkatan pajak bermotor sangat besar. Berdasarkan data dari
kepolisian, sampai tahun 2008 setidaknya ada sekitar 65 juta kendaraan bermotor, yang terdiri
atas 9,8 juta kendaraan pribadi, 2,5 juta bus, 5 juta truk dan sisanya sepeda motor. Seandainya
dilakukan tambahan tarif pajak maka aka nada peningkatan penerimaan pajak kendaraan
bermotor pertahun. Tentu perlu dilakukan kajian mendalam untuk menghitung potensi
penerimaan negara dalam APBN dari peningkatan tarif pajak ini.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
47
Peningkatan tarif pajak tentu akan diberlakukan berbeda untuk setiap kelas dan jenis kendaraan
bermotor. Kenaikan pajak harus adil, sehingga kendaraan roda empat tentu harus dibebani pajak
lebih tinggi dibanding sepeda motor. Penerapannya juga tentu harus bersifat progresif, sehingga
kendaraan ke dua dan seterusnya dikenai pajak yang lebih tinggi. Semakin mewah mobilnya,
tambahan pajaknya juga semakin tinggi. Begitu juga dengan usia kendaraan, semakin tua
semestinya semakin mahal pajaknya. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut sehingga kelas
bawah tidak terbebani oleh kebijakan ini.
Evaluasi juga harus dilakukan atas pembagian pajak kendaraan bermotor. Dalam rangka
pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/kota dalam
membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat, pajak provinsi dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota, dengan proporsi sebagai berikut:
Tabel 9. Struktur Pembagian Hasil Pajak Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota
Pembagian Jenis Pajak No.
Provinsi (%) Kabupaten/Kota (%)
1 Kendaraan Bermotor 70 30
2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70 30
3 Pajak Bahan Bakar Kend. Bermotor 30 70
4 Pajak Air Permukaan 50 50
5 Pajak Rokok 30 70
Kombinasikan strategi dan kebijakan subsidi BBM juga ditanggung pemerintah daerah dan
dengan penerapan pajak kendaraan bermotor yang lebih adil, maka tidak akan memaksakan
pemerintah untuk menaikkan harga BBM dengan alasan untuk meringankan APBN karena
APBN akan diselamatkan oleh tambahan penerimaan pajak dan sharing burden subsidi BBM
dengan pemerintah daerah. Menaikkan harga BBM atau melakukan pembatasan BBM bersubsidi
hanya akan melukai rasa keadilan bagi kalangan masyarakat miskin. Memang masyarakat miskin
tidak akan mengkonsumsi BBM secara langsung, tetapi inflasi yang ditimbulkan oleh kenaikan
harga BBM akan berdampak signifikan bagi kelompok masyarakat ini.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
48
III. Kesimpulan
Berdasarkan studi yang dilakukan terhadap data primer dan sekunder yang dikumpulkan oleh
Tim Penelitian, dapat disimpulkan bahwa rencana pembatasan BBM bersubsidi yang akan
dilakukan oleh pemerintah harus ditolak karena beberapa alasan, yaitu:
1. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi melawan amanah konstitusi UUD 1945 dan
mengabaikan kepentingan nasional, karena:
i. pembatasan BBM bersubsidi akan mendukung Peraturan Presiden yang bertentangan
dengan konstitusi UUD 1945. Pemerintah menerbitkan Perpres No. 55 Tahun 2005
Tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri, padahal Mahkamah Konstitusi telah
membatalkan pasal 28 ayat 2 dan 3 UU 22/2001 tentang Migas, yang substansinya
telah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi”
– yakni bagian yang memuat harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi
diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.
ii. pembatasan BBM bersubsidi mengabaikan kepentingan nasional dan lebih
memprioritaskan kepentingan asing dan internasional; sesuai dengan agenda
liberalism/neoliberal.
iii. pembatasan BBM bersubsidi akan lebih menguntungkan bisnis asing dan berpotensi
mematikan SPBU nasional berskala kecil.
a. Beralihnya konsumen ke SPBU asing. Konsumen berpeluang untuk berpindah ke
SPBU asing karena jika pembatasan dilakukan, konsumen harus mengkonsumsi
pertamax yang harganya di SPBU Pertamina relatif lebih mahal dibanding SPBU
asing. Belum lagi jika SPBU asing melakukan promosi persaingan melalui
mekanisme non harga, seperti bonus belanja, tempat yang lebih nyaman, dll
b. Penurunan omzet produk pertamina. Ini bisa terjadi jika SPBU Pertamina yang
dimiliki swasta mengalami penurunan omset atau tidak bisa melakukan investasi
tambahan yang diperlukan, sehingga terpaksa dijual oleh pemiliknya kepada
pemodal asing. Jika demikian, SPBU tersebut tentu tidak lagi menjual produk
BBM Pertamina sehingga omzet produk Pertamina berpotensi untuk mengalami
penurunan. Penurunan omzet juga didorong oleh keberadaan SPBU asing yang
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
49
berdekatan dengan SPBU Pertamina, selayaknya SPBU asing didorong untuk
membuka SPBU di daerah yang masih belum ada (jarang) SPBU Pertamina.
2. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi yang akan dipaksakan untuk segera
diimplementasikan akan memberikan dampak negatif bagi ekonomi Indonesia. Dampak
pembatasan subsidi terebut akan segera dirasakan oleh kelompok masyarakat menengah
bawah. Data Susenas BPS menunjukkan bahwa 65 persen premium ternyata dikonsumsi
oleh masyarakat kelompok miskin dan menengah bawah (pengeluaran per kapita < 4
dollar AS). Termasuk di dalamnya (29 persen) dikonsumsi oleh kelompok miskin
(pengeluaran per kapita < 2 dollar AS).
Dari survei yang dilakukan, pembatasan subsidi BBM berpotensi untuk:
i. Meningkatkan biaya produksi dan memicu inflasi karena akan meningkatkan biaya
transportasi industri karena sebagian besar kendaraan yang digunakan sebagai sarana
transportasi pengangkutan barang di DKI Jakarta, sekitar 84 persen, merupakan
kendaraan dengan plat hitam. Selain itu, berdasarkan data dari Direktur Lalu Lintas
Polda Metro Jaya tahun 2010, saat ini sebanyak 83 persen dari kendaraan di
Jabodetabek menggunakan premium sebagai bahan bakar. Padahal sebagian besar
pengusaha enggan mengubah kendaraannya menjadi plat kuning, sebanyak 68 persen
responden menyatakan akan tetap menggunakan kendaraan plat hitam dan hanya 9
persen yang sudah menyatakan akan beralih ke plat kuning; meskipun pemerintah
akan meberikan kemudahan bagi kendaraan berplat kuning.
ii. Menaikkan harga jual barang/jasa pada sebagian besar pengusaha UKM. Berdasarkan
survei yang dilakukan di Jabodetabek terhadap para pengusaha yang sebagian
besarnya UKM, sebanyak 42 persen responden menyatakan akan menaikkan harga
barang/jasa yang dijualnya jika harus menggunakan BBM dengan harga Rp 7000/liter
atau lebih. Padahal harga pertamax saat ini sudah mencapai sekitar Rp. 8000/liter.
Jika kebijakan pengurangan subsidi ini telah dilakukan, kenaikan harga ini tentu akan
membebani konsumen.
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
50
Pembatasan subsidi BBM juga akan berpotensi menuimbulkan kelangkaan premium di
daerah yang jauh dari SPBU karena sulit dan dibatasinya penjualan premium serta
menaikkan harga lebih tinggi dari yang berlaku selama ini.
3. Masih ada pilihan kebijakan lainnya yang lebih adil, tidak bertentangan dengan konstitusi
dan tidak kontra produktif terhadap ekonomi nasional yang bisa dilakukan sebelum
melakukan pembatasan BBM bersubsidi, seperti misalnya:
i. Perbaikan formula pembebanan subsidi BBM dan bagi hasil minyak, karena salah
satu alasan utama pemerintah melakukan pembatasan BBM bersubsidi adalah
bertambahnya beban anggaran pemerintah akibat tingginya harga minyak dunia
dan meningkatnya konsumsi BBM bersubsidi, dengan cara:
a. Alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas diperhitungkan
berdasarkan dana penerimaan pemerintah di sektor minyak bumi dan gas
setelah dikurangi subsidi BBM. Dengan kebijakan ini, perhitungan alokasi
Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas masih tetap memperhitungkan
fluktuasi harga minyak dunia, akan tetapi dana yang dibagikan adalah
dana penerimaan pemerintah setelah dikurangi pengeluaran subsidi.
b. Dengan mematok (freeze) besarnya alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi
dan gas. Langkah kebijakan ini dilakukan dengan mengubah cara
perhitungan alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas yang semula
mengikuti perubahan harga minyak dunia diganti dengan cara perhitungan
alokasi Dana Bagi Hasil minyak bumi dan gas secara tetap (tidak
didasarkan pada harga minyak dunia), berapa pun realisasi harga minyak
mentah dunia.
ii. Reformasi tata niaga minyak dan gas seperti yang diusulkan oleh Tim Indonesia
Bangkit untuk melakukan terobosan kebijakan dengan cara menghapus brokers
atau para pemburu rente. Telah menjadi rahasia umum, bahwa proses pengadaan
dan distribusi BBM oleh Pertamina sarat dengan KKN dan ketidakefisienan.
Selama ini, volume pasokan BBM, baik yang diproduksi oleh kilang dalam negeri
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
51
Litbang PDI-P/Pembatasan BBM
52
maupun yang diimpor, jauh lebih tinggi dibanding jumlah BBM yang benar-benar
dikonsumsi oleh masyarakat dan industri.
iii. Model gross PSC untuk meningkatkan bagian minyak untuk pemerintah karena
saat ini cost recovery sudah meningkat tajam, tetapi berbanding terbalik dengan
produksi minyak mentah yang dihasilkan. Karena itu, patut dilakukan evaluasi
kembali terhadap model Production Sharing Contract (PSC) yang saat ini
menggunakan skema penggantian biaya dari Pemerintah kepada kontraktor. Salah
satu model terbaik yang dapat dijadikan adalah model gross PSC yang baru-baru
ini ditawarkan oleh Pemerintah. Dengan model ini, pembagian antara Pemerintah
dan Kontraktor ditentukan di awal, dengan mempertimbangkan biaya ditanggung
sendiri oleh kontraktor, yang diambil dari bagian kontraktor tersebut.
iv. Menaikkan pajak kendaraan bermotor karena peningkatan jumlah subsidi BBM
terjadi karena konsumsi yang meningkat. Kenaikan konsumsi dipicu oleh
bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. Untuk mengurangi laju pertambahan
kendaraan bermotor pemerintah dapat memberlakukan kenaikan pajak kendaraan
bermotor atau pajak progresif bagi pemilik kendaraan bermotor lebih dari satu.
Semakin mewah mobilnya, tambahan pajaknya juga semakin tinggi. Begitu juga
dengan usia kendaraan, semakin tua semestinya semakin mahal pajaknya.
Kebijakan seperti ini akan lebih adil karena tidak membebani masyarakat yang
tidak memiliki kendaraan bermotor.