Upload
others
View
17
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
LAPORAN TAHUNAN PENELITIAN
HIBAH BERSAING
KAJIAN TENTANG EFEK SAMPING INJEKSI VITAMIN C
DOSIS TINGGI TERHADAP KESEHATAN DENGAN MEMAKAI
TIKUS BETINA (Rattus rattus) DEWASA SEBAGAI
HEWAN MODEL
Tahun 1 dari rencana 2 tahun
TIM PENELITI : 1. NI WAYAN SUDATRI, S.Si., M.Si. (Ketua)
NIDN: 0031107102
2. IRIANI SEYAWATI, S.Si.,M.Si. (Anggota)
NIDN : 0017097401
3. NI MADE SUARTINI, S.Si.,M.Si. (Angota)
NIDN : 0028107101
Dibiayai Dari Dana BOPTN Universitas Udayana Tahun Anggaran 2013 dengan
Surat Perjanjian Kontrak No. 103.61/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal
3 Maret 2014
PROGRAM STUDI / JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS UDAYANA
November TAHUN 2014
ii
iii
RINGKASAN
Vitamin C adalah salah satu vitamin yang dibutuhkan untuk menjaga
kesehatan tubuh. Fungsi vitamin C bagi tubuh antara lain; meningkatkan sistem
imunitas (daya tahan) tubuh, mempercepat proses penyembuhan serta membuat kulit
lebih segar dan cerah. Manfaat vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tubuh
memang sudah tidak diragukan lagi. Sedangkan manfaatnya untuk mengencangkan
dan mencerahkan kulit terjadi karena vitamin C merangsang pembentukan kolagen,
suatu protein ekstraseluler yang berperan dalam mengencangkan sel. Saat ini untuk
mendapatkan kulit cerah dan bersih dengan cara injeksi vitamin C sudah banyak
ditawarkan baik oleh dokter kulit maupun oleh praktisi-praktisi kecantikan. Harganya
pun terjangkau mulai Rp 100.000 sampai Rp 200.000 perampul untuk sekali suntik.
Untuk sekali injeksi vitamin C dosis yang diberikan sekitar 1000–4000 mg.
Sedangkan dosis vitamin C yang disarankan untuk menjaga kesehatan sekitar 50-75
mg/hari. Jadi dosis vitamin C yang diberikan melalui injeksi vitamin C sangat tinggi
dibandingkan dengan dosis normal yang diperlukan. Dosis tinggi vitamin C yang
diberikan akan membuat tubuh bekerja lebih berat untuk mengeluarkan kelebihan
vitamin tersebut dari tubuh dan diduga pemberian dosis tinggi vitamin C dalam
jangka panjang menyebabkan pembentukan batu ginjal. Disamping itu, beberapa efek
negatif dari suntik vitamin C yang ditulis oleh media on line antara lain dapat
menyebabkan aborsi, mens tidak teratur, menopause dini serta maag.
Tujuan umum penelitian ini adalah mengetahui efek samping dari injeksi
vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama terhadap kesehatan . Tujuan
khusus dari penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui kadar kolagen kulit dan tulang
tikus betina yang diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi. 2. Untuk mengetahui
gambaran histologis hati tikus betina yang diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi.3.
Untuk mengetahui kadar SGPT dan SGOT plasma darah sebagai indikator kerja hati
tikus betina yang diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi. 4. Untuk mengetahui
gambaran histologis ginjal tikus betina yang diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi.
5. Untuk mengetahui kadar kreatinin plasma darah sebagai indikator fungsi ginjal
tikus betina yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi. 6. Untuk mengetahui kemampuan
reproduksi tikus betina yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi.
iv
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan perlakuan lama penyuntikan vitamin C dosis tinggi yang
berbeda. yaitu: P0 (kontrol), P1 (lama diinjeksi 30 hari), P2 (lama diinjeksi 50 hari),
P3 (lama diinjeksi 70 hari) dan P4 (lama diinjeksi 90 hari). Parameter yang diamati
untuk tahun I adalah gambaran histologis hati dan ginjal, kadar SGOT, SGPT,
kreatinin plasma serta gambaran histologi tulang. Untuk tahun kedua dilihat
kemampuan reproduksi serta frofil hormon estrogen dan progesteron tikus betina yang
diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama.
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah diperoleh data ilmiah
tentang efek samping injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu lama
terhadap kesehatan tubuh, dan kalau terbukti injeksi vitamin C dosis tinggi dalam
jangka waktu panjang memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan, maka
hasil penelitian ini bisa dipakai acuan bagi praktisi kecantikan dalam menentukan
dosis vitamin C yang aman bagi konsumen. Selain itu, diharapkan dapat memberikan
edukasi bagi masyarakat bila ingin melakukan injeksi vitamin C dosis tinggi.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuntikan vitamin C dosis tinggi
pada tikus betina umur 3-4 selama 90 hari terhadap hati menunjukkan adanya
kerusakan hati yang ditunjukkan oleh gambaran histologi hati berupa peningkatan
persentase degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik, nekrosis, kongesti
sinusoid dan infiltrasi sel radang. Namun uji SGPT menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna, sedangkan hasil uji SGOT menunjukkan adanya
penurunan konsentrasi pada tikus yang disuntik vitamin C dosis tinggi dalam waktu
lama. Dan penyuntikan vitamin C dosis tinggi pada tikus betina umur 3-4 selama 90
hari meningkatkan kadar kreatinin darah tikus sebagai indikator adanya gangguan
pada fungsi ginjal. Hal ini diperkuat dengan gambaran histologi ginjal yang
menunjukkan adanya beberapa peningkatan kelainan ginjal seperti edema glomelurus,
penyempitan kapsula bowman, kongesti glomelurus, endapan protein di tubulus,
degenerasi di tubulus, inti piknotik di tubulus, infiltrasi sel radang, serta kemorragi.
Sedangkan penyuntikan vitamin C dosis tinggi pada tikus betina umur 3-4 selama 90
hari tidak memberikan pengaruh yang bermakna terhadap gambaran histologi tulang
tulang (osifikasi tulang).
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmatnyalah laporan tahunan penelitian Hibah Bersaing tahun I yang berjudul ”
Kajian Tentang Efek Samping Injeksi Vitamin C Dosis Tinggi Terhadap
Kesehatan Dengan Memakai Tikus Betina (Rattus Rattus) Dewasa Sebagai
Hewan Model” dapat diselesaikan pada waktunya. Penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada:
1. Laboratorium Fisiologi Hewan Jurusan Biologi Universitas Udayana atas
bantuan sarana dan prasarana yang diberikan sehingga penulis bisa
melakukan penelitian.
2. Laboratorium Kesehatan daerah Propinsi Bali atas bantuan sarana dan
prasarana yang diberikan sehingga penulis dapat melakukan pengujian
sampel darah di tempat tersebut.
3. Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) atas bantuan sarana dan
prasarana yang diberikan sehingga penulis dapat melakukan pembuatan
preparat histologis di tempat tersebut.
4. DIKTI melalui LPPM Unud atas bantuan dana yang diberikan sehingga
penelitian ini bisa dilaksanakan.
5. Serta semua teman-teman yang telah memberikan sumbangan pemikiran,
saran dan kritik sehingga laporan tahunan/akhir penelitian ini menjadi
lebih baik.
Penulisan laporan penelitian ini masih banyak kekurangannya, untuk itu saran
dan kritik yang membangun sangat diharapkan agar di dalam penelitian dan
penulisan selanjutnya menjadi lebih baik.
Akhir kata, saya berharap agar tulisan ini dapat memberikan manfaat dan
dapat dijadikan sebagai bahan acuan/referensi bagi peneliti lainnya.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HAL HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................ii
RINGKASAN.............................................................................................................iii
PRAKATA................................................................................................................. v
DAFTAR ISI...............................................................................................................vi
DAFTAR TABEL......................................................................................................vii
DAFTAR GAMBAR.................................................................................................viii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................ix
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................3
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
BAB IV. METODE PENELITIAN............................................................................9
BAB V. HASIL YANG DICAPAI............................................................................15
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA.................................................26
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................27
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................28
LAMPIRAN................................................................................................................31
vii
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 1. Pemberian perlakuan lama injeksi vitamin C dosis tinggi.............................17
Tabel 2. Tabel indikator pencapaian……..……………………………………..……22
Tabel 3. Uji ANOVA dan standar error kadar SGOT plasma tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan
dengan uji Duncans..............................................................................23
Tabel 4. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar SGPT plasma tikus betina
(Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis Ting................................23
Tabel 5. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar Kreatinin plasma tikus betina
(Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi.............................24
Tabel 6. Uji Kruskal Wallis dan rerata degenerasi hidrospis sel hati tikus betina
(Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi..............................26
Tabel 7. Uji ANOVA dan standar error rerata degenerasi lemak, Inti piknotik,
sel hati tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C
dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans..............................................26
Tabel 8. Uji ANOVA dan standar error rerata Kongesti sinusoid hati tikus
betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan
dengan uji
Duncans......................................................................................................27
Tabel 9. Uji ANOVA dan standar error Edema Glomelurus, Penyempitan kapsula bowman, Kongesti glomelurus Histologi ginjal tikus betina (Mus
musculus L) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans......................................................................................................29
Tabel 10. Uji ANOVA dan standar error degenerasi di tubulus, inti piknotik di
tubulus, infiltrasi sel radang, dan hemorragi ginjal tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan
dengan uji Duncans............30
Tabel 11. Uji ANOVA dan standar error rerata ketebalan osifikasi tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji
Duncans.....................................................................................................31
viii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 1. Rumus Kimia Vitamin C.......................................................................... 3
Gambar 2. Diagram alir penelitian selama 2 tahun..................................................... 20
Gambar 3. Diagram alir Pelaksanaan Penelitian tahun pertama..................................21
Gambar 4. Grafik kadar SGOT dan SGPT plasma tikus betina (Mus musculus L.)
yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi.........................................................24
Gambar 5. Grafik kadar kreatinin plasma tikus betina (Mus musculus L.) yang
diinjeksi vitamin C dosis tinggi.................................................................25
Gambar 6. Gambaran histologi hati tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi
vitamin C dosis tinggi dengan pewarnaan HE......................................... 26
Gambar 7. Grafik degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik sel hati ikus
betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi...............27
Gambar 8. Grafik nekrosis, kongesti sinusoid dan infiltrasi sel radang hati tikus
betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi......,.......28 Gambar 9. Histologi ginjal dengan pewarnaan HE ....................................................28
Gambar 10. Histologi ginjal dengan pewarnaan HE..............................................,....29
Gambar11. Histologi tulang femur yang dipotong memanjang dengan
pewarnaan HE..........................................................................................30
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Instrumen Penelitian....................................................................................32
Personalia Tim Peneliti................................................................................33
1
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan adalah aset paling berharga bagi kita karena dengan tubuh yang
sehat kita bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Untuk menjaga kesehatan berbagai
upaya dilakukan, mulai dari olahraga, yoga, makan makanan bergizi, minum jamu,
minum vitamin dan juga beberapa jenis suplemen penambah vitalitas tubuh.
Salah satu vitamin yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh adalah
vitamin C. Fungsi vitamin C bagi tubuh antara lain; meningkatkan sistem imunitas
(daya tahan) tubuh, mempercepat proses penyembuhan serta membuat kulit lebih
segar dan cerah (Aquirreand May, 2008). Bagi beberapa kaum perempuan manfaat
vitamin C untuk membuat kulit cerah dan bersih menjadi daya tarik tersendiri. Secara
alami vitamin C didapatkan dari makanan seperti sayuran dan buah-buahan;
contohnya bayam, daun katuk, selada, jeruk, mangga, jambu biji, nanas dan lain
sebagainya. Namun, banyak dari mereka yang kurang menyukai buah-buahan dan
sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin C, mereka memilih
suplemen vitamin C yang dijual ditoko-toko obat. (Anonimus, 2013a).
Manfaat vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tuhuh memang sudah tidak
diragukan lagi. Dengan antioksidan yang kuat, vitamin C mampu melawan radikal
bebas yang masuk ke dalam tubuh baik yang datang dari luar tubuh maupun hasil
metabolisme dari sel kita sendiri. Sedangkan manfaatnya untuk mengencangkan dan
mencerahkan kulit terjadi karena vitamin C merangsang pembentukan kolagen, suatu
protein ekstraseluler yang berperan dalam mengencangkan sel. Vitamin C
menghambat kerja enzim tirokinase yang berperan dalam menghambat pembentukan
pigmen kulit sehingga kulit menjadi lebih cerah dan kencang (Naidu, 2003).
Saat ini untuk mendapatkan kulit cerah dan bersih dengan cara injeksi vitamin
C sudah banyak ditawarkan baik oleh dokter kulit maupun oleh praktisi-praktisi
kecantikan. Harganya pun terjangkau mulai Rp 100.000 sampai Rp 200.000 perampul
untuk sekali suntik. Untuk sekali injeksi vitamin C dosis yang diberikan sekitar
1000–4000 mg. Sedangkan dosis vitamin C yang disarankan untuk menjaga
kesehatan sekitar 50- 75 mg/ hari (Anonimus, 2013b).
2
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air, artinya kelebihan vitamin ini
tidak bisa disimpan oleh tubuh seperti vitamin A,D,E dan K yang larut dalam lemak,
sehingga bila kadar vitamin C berlebih maka akan dikeluarkan dari tubuh melalui
ginjal. Oleh karena itu disarankan untuk mengkonsumsi vitamin C setiap hari sesuai
kebutuhan (Dwi Rahayu, 2013). Jadi, dosis vitamin C yang diberikan melalui injeksi
vitamin C sangat tinggi dibandingkan dengan dosis normal yang diperlukan sehingga
akan membuat tubuh dan ginjal bekerja lebih berat untuk mengeluarkan kelebihan
vitamin tersebut dari tubuh. Selain itu, diduga pemberian dosis tinggi vitamin C dalam
jangka panjang menyebabkan pembentukan batu ginjal dan beberapa efek negatif
dari injeksi vitamin C yang ditulis oleh media on line antara lain dapat menyebabkan
aborsi, mens tidak teratur, menopause dini serta maag (Anonimus, 2013c).
Oleh karena itu, untuk membuktikan dugaan tersebut perlu dilakukan
penelitian mendalam mengenai efek samping injeksi vitamin C dosis tinggi terhadap
tubuh dengan memakai tikus betina sebagai hewan model.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Vitamin C
Selain memerlukan karbohidrat, lemak dan protein, tubuh juga memerlukan
vitamin dan mineral. Meski diperlukan dalam jumlah yang sedikit, namun mineral
dan vitamin mempunyai beberapa peran penting dalam metabolisme tubuh. Salah
satu vitamin yang kita perlukan dalam tubuh adalah vitamin C. Vitamin yang larut
dalam air ini, dalam nama kimianya juga dikenal dengan nama asam askorbat.
Vitamin C ini termasuk dalam salah satu golongan antioksidan kuat yang dapat
melawan berbagai radikal bebas ekstraseluler. Karakteristik dari vitamin ini adalah
mudah teroksidasi oleh panas, cahaya maupun logam. Dengan kata lain vitamin ini
mudah sekali rusak (Kim et al. 2002).
Sejarah penemuan vitamin C dimulai ketika Albert Szent Gyorgyi pada tahun
1928–1932 berhasil mengisolasi asam askorbat yang sekarang dikenal dengan nama
vitamin C, dan menyebabkan dia dianugrahi penghargaan nobel dalam bidang
fisiologi dan kedokteran tahun 1937 (Gyorgi AS. 1931.). Beberapa peran penting
vitamin C dalam tubuh adalah menjaga dan meningkatkan sistem imunitas sehingga
mampu melawan infeksi penyakit yang masuk ke dalam tubuh (Naidu KA. 2003.)
.
Gambar 1. Rumus Kimia Vitamin C
Asam dehidroaskorbat (DHA) adalah bentuk asam askorbat (vitamin C) yang
teroksidasi. Asam dehidroaskorbat dapat digunakan sebagai suplemen pangan vitamin
C. Sebagai bahan kosmetik, asam dehidroaskorbat digunakan untuk memperbaiki
penampilan kulit (Kits, 2012).
4
Makanan yang menjadi sumber vitamin C adalah sayuran dan aneka jenis buah
segar diantaranya; tomat, kentang, asparagus, cabe, stroberi, jeruk, jambu biji,
mangga, nanas, kol, susu, mentega, ikan dan hati (Berhnar, 1994).
Kebutuhan setiap orang akan vitamin C bervariasi tergantung dari umur, status
kesehatan dan kebiasaan setiap orang. Orang yang mempunyai kebiasaan merokok,
minum alkohol, mengkonsumsi obat tertentu seperti obat anti kejang, obat tidur, obat
kontrasepsi oral, berpengaruh terhadap kebutuhannya akan dosis vitamin C yang
diperlukan. Selain itu, keadaan sakit, olah raga, demam akan meningkatkan kebutuhan
vitamin C (Kim et.al. 2002).
Vitamin C di dalam tubuh diperlukan untuk menjaga struktur kolagen, suatu
protein ekstraseluler yang menghubungkan semua serabut tubuh yang terdapat pada
sel kulit, tulang, tulang rawan dan jaringan lain di dalam tubuh. Struktur kolagen yang
baik membuat kulit terlihat kencang, tulang kuat, pendarahan kecil dan luka menjadi
ringan. Sebagai antioksidan, vitamin C mampu menangkal dan menetralisir semua
radikal bebas di seluruh tubuh. Vitamin C juga mempercepat penyerapan zat besi dan
mempertajam kesadaran. Melalui efek pencahar, vitamin C mampu mempercepat
pembuangan feses atau kotoran dari tubuh.
Kekurangan vitamin C atau yang dikenal dengan istilah hipoascorbemia akan
menyebabkan beberapa gejala seperti; pilek, bibir pecah-pecah, sariawan, kulit kasar,
gigi mudah goyang dan lepas karena gusi tidak sehat, otot lemah, radang sendi,
pendarahan di bawah kulit sekitar mata dan gusi serta mudah mengalami depresi.
Kekurangan vitamin C pada fase remaja juga mengakibatkan pertumbuhan tulang
berhenti. Sel tulang epipise terus berploriferasi namun tidak ada kolagen baru yang
terbentuk sehingga tulang akan menjadi mudah rapuh. Penyakit lain yang juga
berhubungan dengan kekurangan vitamin C adalah kolesterol tinggi dan jantung
(Daviset.al. 1991 )
Vitamin C mudah diabsorbsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada
bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-rata
arbsorbsi adalah 90% untuk konsumsi diantara 20-120 mg/hari. Konsumsi tinggi
sampai 12 gram hanya diarbsorbsi sebanyak 16%. Vitamin C kemudian dibawa ke
semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah di dalam jaringan adrenal, pituitary, dan
5
retina. Vitamin C di ekskresikan terutama melalui urin,sebagian kecil di dalam tinja
dan sebagian kecil di ekskresikan melaului kulit (Jackson et.al, 2002).
Kelebihan vitamin C yang dikonsumsi melalui makanan tidak menimbulkan
gejala yang berarti, namun mengkonsumsi vitamin C dalam bentuk suplemen dosis
tinggi akan menyebabkan gejala hiperoksaluria dan meningkatkan resiko terkena batu
ginjal. Kelebihan konsumsi vitamin C juga mengakibatkan gangguan percernaan,
kram perut, mual, gas lambung berlebih, dan diare (Anonim, 2013d). Parisa dan
Siamak (2010) melaporkan bahwa konsumsi vitamin C (asam askorbat) dalam jangka
waktu yang panjang menyebabkan tikus perlakuan mengalami hiperglikemia
(diabetes) dan juga peningkatan kehilangan bobot badan.
2.2. Hati
Hati adalah salah satu organ kelenjar, yang terletak di dalam rongga perut
sebelah kanan. Hati mempunyai beberapa fungsi diantaranya; sebagai organ
detoksifikasi karena hati membantu ginjal karena hati memecah beberapa senyawa
racun menjadi urea, amonia dan asam urat. Berbagai jenis fungsi hati dijalankan oleh
sel hati yang disebut dengan sel hepatosit. Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal
dan sel non-parenkimal.Sel parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar
80% volume hati dan melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat
pada lobus sinusoidal (Kmiec, 2001).
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti sel
Kupffer, sel Ito, limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal menempati
sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang mengendalikan
banyak fungsi hepatosit. Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan
banyaknya sel imunologis pada sistem retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis
antigen yang terbawa ke hati melalui sistem portal hati. Perpindahan fase infeksi dari
fase primer menjadi fase akut, ditandai oleh hati dengan menurunkan sekresi albumin
dan menaikkan sekresi fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan akan berakibat
pada simtoma hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia (Ballmer and Studer, 1994).
Sebagai kelenjar hati menghasilkan empedu (cairan kehijauan yang terasa
pahit) yang berasal dari sel darah merah yang telah rusak atau mati. Empedu
mengandung garam empedu, bilirubin dan biliverdin. Sekresi empedu ini berguna
6
untuk pencernaan lemak. Selain empedu, hati juga menghasilkan sebagian besar asam
amino, faktor koagulan (pembeku darah), albumin, angiotensinogen, IGF-1 dan
banyak enzim lainnya Delarea et. al. 2010).
Kemampuan hati untuk melakukan regenerasi merupakan suatu proses yang
sangat penting agar hati dapat pulih dari kerusakan yang ditimbulkan dari proses
detoksifikasi dan imunologis. Regenerasi tercapai dengan interaksi yang sangat
kompleks antara sel yang terdapat dalam hati, antara lain hepatosit, sel Kupffer, sel
endotelial sinusoidal, sel Ito dan sel punca; dengan organ ekstra-hepatik, seperti
kelenjar tiroid, kelenjar adrenal, pankreas, duodenum, hipotalamus (Galun and
Axelrod, 2002).
Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh
organ lain di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-
dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati
akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis.
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut
fibrosis hati.(Sebastiana, 2009). Untuk mengetahui adanya kerusakan hati dilakukan
beberapa tes darah sederhana seperti uji kadar spartate aminotransferase (AST atau
SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT atau SGPT). Enzim-enzim ini
biasanya terkandung dalam sel-sel hati. Jika hati terluka, sel-sel hati menumpahkan
enzim-enzim kedalam darah, menaikan tingkat-tingkat enzim dalam darah dan
menandai kerusakan hati.(Ashoka Babu et al., 2012).
2.3. Ginjal
Ginjal adalah organ ekskresi dalam vertebrata yang berbentuk mirip kacang.
Sebagai bagian dari sistem urin, ginjal berfungsi menyaring kotoran (terutama urea)
dari darah dan membuangnya bersama dengan air dalam bentuk urin. Ginjal adalah
sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga retroperitoneal bagian atas.
Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya menghadap ke medial.
Bagian paling luar dari ginjal disebut korteks, bagian lebih dalam lagi disebut
medulla. Bagian paling dalam disebut pelvis. Pada bagian medulla ginjal manusia
dapat pula dilihat adanya piramida yang merupakan bukaan saluran pengumpul.
Ginjal dibungkus oleh jaringan fibros tipis dan mengkilap yang disebut kapsula
7
fibrosa ginjal dan diluar kapsul ini terdapat jaringan lemak perirenal. Di sebelah atas
ginjal terdapat kelenjar adrenal. Ginjal dan kelenjar adrenal dibungkus oleh fasia
gerota. Unit fungsional dasar dari ginjal adalah nefron yang dapat berjumlah lebih
dari satu juta buah dalam satu ginjal normal manusia dewasa. Nefron berfungsi
sebagai regulator air dan zat terlarut (terutama elektrolit) dalam tubuh dengan cara
menyaring darah, kemudian mereabsorpsi cairan dan molekul yang masih diperlukan
tubuh. Molekul dan sisa cairan lainnya akan dibuang. Reabsorpsi dan pembuangan
dilakukan menggunakan mekanisme pertukaran lawan arus dan kotranspor. Hasil
akhir yang kemudian diekskresikan disebut urine. Sebuah nefron terdiri dari sebuah
komponen penyaring yang disebut korpuskula (atau badan Malphigi) yang dilanjutkan
oleh saluran-saluran (tubulus). Setiap korpuskula mengandung gulungan kapiler darah
yang disebut glomerulus yang berada dalam kapsula Bowman. Setiap glomerulus
mendapat aliran darah dari arteri aferen. Dinding kapiler dari glomerulus memiliki
pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding
epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan kapsula Bowman karena adanya
tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk
ke dalan tubulus ginjal.
Seperti yang kita ketahui bahwa Ginjal termasuk organ penting yang memiliki
fungsi , yaitu menyaring dan mengeluarkan racun maupun kelebihan mineral dari
dalam tubuh melalui urin. Jika fungsi ginjal terganggu akibat peradangan atau karena
penyakit batu ginjal maka dengan sendirinya tubuh akan mengalami keracunan.
Dalam dunia kedokteran, kasus penyakit batu ginjal merupakan penyakit yang
relatif tinggi jumlah penderitanya khususnya di Indonesia. Batu ginjal sering disebut
nephrolithiasis atau renal calculi merupakan massa keras yang mengkristal seperti
batu batu kecil yang dapat terbentuk pada bagian saluran kencing dimana saja
termasuk pada kandung kemih, dalam ginjal yaitu di renal pelvis dan calix renalis.
Terbentuknya kristalisasi itu karena kadar urine yang terlalu pekat karena kurangnya
mengkonsusmsi air putih setiap hari sehingga zat-zat yang ada di dalam urine
membentuk kristal batu. Hal-hal lain yang dapat menjadi penyebab batu ginjal adalah
adanya infeksi, obstruksi, kelebihan sekresi hormon paratiroid, peningkatan kadar
asam urat, terlalu banyak menkonsumsi vitamin D atau kalsium yang tidak larut
dengan sempurna (Multaram, 2013).
8
Selain itu, indikasi adanya kerusakan atau penurunan fungsi ginjal bisa dilihat
dari kadar kreatinin plasma yang meningkat. Hal ini sebagai akibat ketidakmampuan
ginjal mengeluarkan kreatinin ke dalam urin dan dalam jumlah besar kreatinin masuk
kembali ke dalam darah hingga kadarnya dalam plasma meningkat di atas batas
normal (Soesanti dan Darmawan, 2009).
2.4. Organ Reproduksi Betina
Organ reproduksi betina terdiri atas organ reproduksi primer dan organ
reproduksi sekunder. Organ reproduksi primer adalah ovarium sedangkan organ
reproduksi sekunder adalah saluran reproduksi yang terdiri dari tuba fallopi (oviduct),
uterus, serviks, vagina dan vulva. Fungsi organ sekunder ini adalah menerima dan
menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan dan melahirkan
individu baru (Toelihere 1985) .
Ovarium adalah alat reproduksi primer karena berfungsi sebagai penghasil sel
telur (ovum) dan hormon. Ukurannya sangat bergantung pada umur dan status
reproduksi betina sedangkan bentuknya bervariasi sesuai dengan spesies. Dua
komponen pada ovarium yang sangat penting adalah follikel dan korpus luteum
(Adelien, 2001).
Hormon yang dihasilkan oleh ovarium adalah estrogen dari sel-sel folikel dan
progesteron dari sel-sel korpus luteum. Hormon ini berperan penting dalam
menyiapkan alat-alat reproduksi untuk kebuntingan dan memelihara kandungan
sampai melahirkan anak. Proses produksi hormon ovarium dikendalikan oleh hormon
gonadotrofin dari hipofise seperti : FSH, LH.LTH atau prolaktin yang merangsang
pertumbuhan follikel, menyebabkan ovulasi dan pembentukan korpus luteum serta
menyebabkan korpus luteum bersekresi (Djanuar 1985).
9
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 . Tujuan Penelitian
3.1.1. Tujuan umum :
Mengetahui efek samping dari injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka
waktu yang lama terhadap kesehatan .
3.1.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui gambaran histologis hati tikus betina yang diinjeksi dengan
vitamin C dosis tinggi.
2. Untuk mengetahui kadar SGPT dan SGOT plasma darah sebagai indikator kerja
hati tikus betina yang diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi.
3. Untuk mengetahui gambaran histologis ginjal tikus betina yang diinjeksi
dengan vitamin C dosis tinggi.
4. Untuk mengetahui kadar kreatinin plasma darah sebagai indikator fungsi ginjal
tikus betina yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi.
5. Untuk mengetahui kepadatan tulang dengan melihat histologi tulang yang
diinjeksi dengan vitamin C dosis tinggi.
6. Untuk mengetahui kemampuan reproduksi tikus betina yang diinjeksi vitamin C
dosis tinggi.
3.2. Manfaat Penelitian
• Dengan melakukan penelitian ini diharapkan diperoleh data ilmiah tentang
dampak injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu lama terhadap
kesehatan tubuh.
• Kalau terbukti injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu panjang
memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan, maka hasil penelitian ini
bisa dipakai acuan bagi praktisi kecantikan dalam menentukan dosis vitamin
C yang aman bagi konsumen.
• Selain itu, diharapkan dapat memberikan edukasi bagi masyarakat bila ingin
melakukan injeksi vitamin C dosis tinggi.
10
BAB IV. METODE PENELITIAN
Tahun I (2014)
3.1 Bahan Penelitian
3.1.1 Rancangan penelitian
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan perlakuan lama injeksi vitamin C dosis tinggi yang berbeda,
yaitu lama injeksi 30 hari (P1), lama injeksi 50 hari (P2), dan lama injeksi 70 hari (P3),
lama injeksi 90 hari (P4) dan kontrol (P0) serta ulangan 10 kali sehingga hewan
model yang dipakai sebanyak 50 ekor.
Tabel 1. Pemberian perlakuan lama injeksi vitamin C dosis tinggi
Perlakuan Pada tikus I II III IV V
Kontrol 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor
Penyuntikan vitamin C selama 30 hari 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor
Penyuntikan vitamin C selama 50 hari 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor
Penyuntikan vitamin C selama 70 hari 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor
Penyuntikan vitamin C selama 90 hari 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor 2 ekor
3.1.2 Bahan penelitian
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah vitamin C dosis
tinggi (4000 mg/sekali injeksi) untuk manusia. Hewan model yang digunakan adalah
tikus betina dewasa usia 3-4 bulan dengan berat badan antara 150-200 gram. Dosis
yang digunakan dikonversikan dari dosis yang digunakan pada manusia ke tikus.
Faktor konversi dari tikus ke manusia adalah 0.14 Berat badan wanita dewasa yang
diinjeksi diperkirakan kurang lebih 70 kg, sehingga dosis vitamin C yang diberikan
pada tikus adalah 0.14 x 0.02 x 4000 = 11,2 mg/sekali suntik/ ekor.
3.2 Prosedur Penelitian
3.2.1 Perlakuan pada hewan uji
Prosedur penelitian dapat dilihat pada bagan alur penelitian. Sebanyak 50 ekor
tikus betina berumur 3–4 bulan diukur berat badan awalnya, diberi diet formula
standar dan minum air secara ad libitum serta diaklimatisasi selama 4 minggu,
kemudian hewan uji dibagi secara random menjadi 5 kelompok yaitu: P0 = kontrol,
11
kelompok hewan tidak mendapat injeksi vitamin C; P1 = kelompok hewan yang
mendapat injeksi vitamin C selama 30 hari; P2 = kelompok hewan yang mendapat
injeksi vitamin C selama 50 hari; P3 = kelompok hewan yang mendapat injeksi
vitamin C selama 70 hari; P4 = kelompok hewan yang mendapat injeksi vitamin C
selama 90 hari. Injeksi vitamin C dilakukan secara intramuskular dengan jarum suntik
ukuran 1 ml. Injeksi dilakukan 2 hari sekali sesuai lama waktu perlakuan
3.2.2. Koleksi Sampel
Setelah perlakuan injeksi vitamin C selesai, tikus dibius dengan penyuntikan
xylasin (20 mg/kg) dan ketamin (10 mg/kg) secara intramuskuler. Pada keadaan
terbius, darah diambil dari jantung dengan jarum 1 ml kemudian darah dimasukkan
dalam tabung yang sudah diisi heparin untuk mencegah pembekuan darah. Darah
disentrifuge untuk mendapatkan plasma darah dengan kecepatan 1200 rpm selama 10
menit. Plasma yang didapat dipipet dan ditaruh dalam tabung efendov dan
dimasukkan ke dalam refrigenerator sampai siap untuk diuji. Sampel lain seperti kulit,
tulang, hati dan ginjal yang akan dibuat sayatan histologis difiksasi terlebih dahulu
dalam larutan fiksatif formalin 10%.
3.2.3 Proses pembuatan blok parafin dan preparat histologi
Potogan hati dan ginjal dimasukkan ke dalam tissue casse, kemudian dilakukan
proses dehidrasi di dalam larutan etanol bertingkat 70%, 80%, 95%, dan alkohol
absolut dua kali pemindahan, kemudian dilanjutkan dengan proses penjernihan
(clearing) dengan larutan xilol tiga pemindahan, masing-masing tahap berlangsung
selama 60 menit pada suhu kamar. Proses selanjutnya yaitu infiltrasi parafin dengan
memasakkan jaringan pada parafin cair (suhu 60ºC) tiga kali pemindahan masing-
masing selama 45 menit. selanjutnya jaringan dibenamkan di dalam cetakan berisi
parafin cair, kemudian didinginkan dalam suhu kamar sehingga menjadi blok parafin.
Blok parafin disayat setebal 5µm dengan menggunakan rotary microtome.
kemudian sayatan diletakkan dipermukaan air hangat dengan suhu 45ºc dan
ditempelkan pada gelas obyek yang telah dilapisi gelatin. Preparat dikeringkan
dengan cara diletakkan secara vertikal, kemudian diletakkan pada slide warmer
sampai menempel pada objeck glass.
12
3.2.4. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE)
Potongan jaringan dalam parafin yang akan diwarnai dengan hematoxilin-eosin
diatur dalam rak untuk pewarnaan, kemudian diinkubasi pada suhu 60ºC selama 45
menit, setelah itu diletakkan pada suhu ruangan sampai dingin. Selanjutnya dilakukan
deparafinisasi melalui tahap-tahap pelarutan parafin dalam xilol sebanyak 3 kali,
kemudian dilanjutkan dengan proses rehidrasi dalam alkohol bertingkat 100%, 95%,
dan 80%, 70%m masing-masing tahap berlangsungselama 5 menit, kemudian
dimasukkan dalam akuades selama 10 celup atau sampai alkohol larut.
Proses selanjutnya adalah pewarnaan dalam hematoksilin dengan merendam
slide dengan larutan hematoxilin selama 5 menit kemudian dicuci pada pada air
mengalir selama 5 menit, dan dilanjutkan dengan pewarnaan menggunakan eosin
selama 3 menit, Setelah diwarnai dalam eosin, slide dimasukkan dalam larutan
alkohol bertingkat dari 70%, 80%, 90%, sampai 100% masing-masing selama 10
celup., kemudian dilanjutkan dengan proses clearing menggunakan xilol sebanyak
dua kali masing-masing selama 2 menit, setelah itu preparat ditutup dengan kaca
penutup dengan media balsam kanada. Dan preparat siap untuk diamati.
3.2.5. Penentuan Kadar SGOT- SGPT Plasma
Penentuan kadar Serum glutamate oxalloacetate transaminase (SGOT) dan
Serum glutamate pyruvate transaminase (SGPT) plasma dilakukan di Lab Kesehatan
Daerah Bali Denpasar sesuai dengan standar prosedur dengan memakai kit standar
(Ashoka Babu V.L et al. 2012).
3.2.7. Penentuan Kadar Kreatin Plasma
Penentuan kadar kreatinin plasma dilakukan di Lab Kesehatan Daerah Bali
Denpasar sesuai dengan standar prosedur dengan memakai kit standar (Ashoka Babu
V.L et al. 2012).
3.2.8. Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian maka dibuat alur
penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alu Lab Kesehatan Daerah Bali Denpasar
13
sesuai dengan standar prosedur dengan memakai kit standar (Ashoka Babu V.L et al.
2012).r penelitian (gambar 2 dan 3).
Sediaan histologi hati
Sediaan histologi ginjal
Penentuan kadar SGOT,
SGPT dan Kreatin
Kadar Kolagen kulit, tulang
Pemeliharaan hewan, aklimatisasi, berat badan awal
Persiapan kandang, vitamin C, zat-zat Kimia
Injeksi vitamin C dosis tinggi sesuai lama perlakuan
Pengamatan
Analisis Data
Berat badan akhir, pembedahan, plasma darah,
organ hati, ginjal, kulit, tulang
Kemampuan Reproduksi
Siklus estrus
Kadar Estrogen,Progesteron
Perkembangan embrio
Jumlah anak
Tahun I Tahun II
Pengamatan
Analisis Data
Gambar 2. Diagram alir penelitian selama 2 tahun
14
Tulang:
Sediaan Histologi
tulang
Pemeliharaan hewan, aklimatisasi, berat badan awal
Persiapan kandang, vitamin C, zat-zat Kimia
Injeksi vitamin C dosis tinggi sesuai lama perlakuan
Pengamatan
Analisis Data
Berat badan akhir, pembedahan, plasma darah,
organ hati, ginjal, kulit, tulang
Ginjal :
Sediaan histologi ginjal
Penentuan Kreatin
Hati:
Sediaan histologi hati
Penentuan kadar:
- SGOT
- SGPT
Kadar kolagen kulit, tulang ?
Histologis hati?
Kadar SGOT, SGPT plasma?
Histologis ginjal ?
Kadar kreatin plasma ?
Gambar 3. Diagram alir Pelaksanaan Penelitian tahun pertama
3.3 Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis secara statistika dengan menggunakan
software SPSS dan bila terdapat pengaruh nyata atau sangat nyata akan dilanjutkan
dengan uji Duncan pada taraf α 0.05 dan α 0.01.Dan bila data tidak terdistribusi
secara normal maka diuji dengan Test Kruskal Wallis.
Tahun ke-2 (2014)
Pada tahun ke 2 dilakukan uji profil kadar Estrogen, Progesteron, serta
kemampuan reproduksi tikus betina. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan reproduksi tikus betina yang sudah diinjeksi vitamin C dosis tinggi
dengan melihat panjang siklus estrusnya, melihat perkembangan embrio, ada atau
15
tidaknya embrio yang aborsi serta jumlah anak yang dihasilkan oleh tikus betina yang
mendapatkan injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka wangku yang lama.
TARGET ATAU INDIKATOR KEBERHASILAN
Dengan melakukan penelitian ini diharapkan bisa mendapatkan gambaran
tentang efek samping injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama
terhadap kesehatan tubuh. Target tahun pertama yaitu melihat gambaran histologi dari
hati, ginjal, menentukan kadar SGOT, SGPT, kreatin serta histologi tulang tulang.
Tahun kedua menentukan kemampuan reproduksi dari tikus betina tersebut melalui
siklus estrus, profil estrogen, progesteron perkembangan embrioada atau tidaknya
aborsi embrio, serta jumlah anak yang dihasilkan.
Adapun garis besar penelitian selama 2 tahun tercantum pada Tabel 2.
Tabel 2. Tabel indikator pencapaian
Tahun Pertama Luaran Indikator capaian
Histologi hati Kerusakan sel hati Histologi ginjal
Histologi tulang
Kerusakan sel ginjal,terbentuknya batu ginjal
Penurunan kepadatan tulang Kadar SGOT, SGPT Peningkatan kadar SGOT, SGPT
Kadar Kreatin Peningkatan kadar kreatin
Tahun Kedua Luaran Indikator capaian
Siklus estrus Perpanjangan Siklus estrus Perkembangan Embrio Aborsi, cacat embrio
Jumlah Anak Penurunan jumlah anak Profil estrogen, progesterone Penurunan kadar estrogen, progesteron
16
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kadar SGOT, SGPT dan Kreatinin Plasma
Tabel 3. Uji ANOVA dan standar error kadar SGOT plasma tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan
uji Duncans
No Perlakuan Rata-rata
Kadar SGOT(U/L)
1 K (Kontrol) 158.4 ± 315 a
2 P1 (30 hari) 108.0 ± 50.79 b
3 P2 (50 hari) 98.0 ± 50.69 b c
4 P3 (70 hari) 81.0 ± 99.11 b c
5 P4 (90 hari) 77.4 ± 49.33 b
Kadar SGOT dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.009) antar
perlakuan dan kontrol
Tabel 4. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar SGPT plasma tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
No Perlakuan Ranking Mean Chi Square P(Signifikan) Rata-rata
1 K (Kontrol) 15.10
8.152 0.86 315.6
2 P1 (30 hari) 18.40
116.0
3 P2 (50 hari) 15.30
208.0
4 P3 (70 hari) 8.70
207.0
5 P4 (90 hari) 7.50
145.0
Dari uji Kruskal Wallis kadar SGPT tidak berbeda nyata (P=0. 86)
17
Gambar 4. Grafik kadar SGOT dan SGPT plasma tikus betina (Mus musculus L.)
yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
Tabel 5. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar Kreatinin plasma tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
No Perlakuan Ranking Mean Chi Square P
(Signifikan)
Rata-rata
(Mg/DL)
1 K (Kontrol) 11.50
17.050 0.02 0.60
2 P1 (30 hari) 3.00
0.30
3 P2 (50 hari) 19.50
0.68
4 P3 (70 hari) 15.50
0.64
5 P4 (90 hari) 15.50
0.64
Dari uji Kruskal Wallis kadar kreatinin berbeda nyata (P=0. 002)
315.6
116
208 207
145.6158.4
10898
81 77.4
0
50
100
150
200
250
300
350
K P1 P2 P3 P4
Kadar (U/L)
Perlakuan
SGOT
SGPT
18
Gambar 5. Grafik kadar kreatinin plasma tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
5.2. Histologi Hati
Gambar 6. Gambaran histologi hati tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi
vitamin C dosis tinggi dengan pewarnaan HE (pembesaran 400x insert 500X)
0.6
0.3
0.68
0.64 0.64
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
K P1 P2 P3 P4
Kreatinin
(Mg/Dl)
Perlakuan
Kreatinin
19
A.Normal B. Degenerasi hidrospis C. Inti piknotik D. Kongesti
sinusoid
E. Degenerasi lemak F. Nekrotik G. Infiltasi sel radang
5.2.1. Kelainan histologis hati yang ditemukan pada penelitian ini adalah:
degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik, nekrosis, kongesti
sinusoid dan infiltrasi sel radang
Tabel 6. Uji Kruskal Wallis dan rerata degenerasi hidrospis sel hati tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
No Perlakuan Ranking Mean Chi Square P
(Signifikan)
Rata-rata
1 K (Kontrol) 7.30 9.304 0.054 6.0
2 P1 (30 hari) 9.70 7.3
3 P2 (50 hari) 12.90 9.0
4 P3 (70 hari) 15.10 16.5
5 P4 (90 hari) 20.00 18.3
Dari uji Kruskal Wallis degenerasi hidropis tidak berbeda nyata (P=0. 054)
Tabel 7. Uji ANOVA dan standar error rerata degenerasi lemak, Inti piknotik, sel hati
tikus betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
dilanjutkan dengan uji Duncans
No Perlakuan Degenerasi lemak Inti piknotik Nekrosis
1 K (Kontrol) 7.0 ± 3.0 a 9.0 ± 1.87 a 7.0 ± 2.0 a
2 P1 (30 hari) 61.0 ± 6.78 b 27.67 ± 2.81 b 26.3 ± 5.4 b
3 P2 (50 hari) 59.0 ± 5.56 b 32.00 ± 5.14 b 2 5.0 ± 3.16 b
4 P3 (70 hari) 58.0 ± 4.06 b 35.50 ± 5.33 b 24.0 ± 1.87 b
5 P4 (90 hari) 59.3 ± 11.9 b 32.46 ± 8.75 b 31.3 ± 3.39 b
Degenerasi lemak dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.000)
antar perlakuan dan kontrol.Inti piknotik dengan uji ANOVA terdapat perbedaan
nyata (P=0.016) antar perlakuan dan kontrol. Sedangkan nekrosis dengan uji
ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.01) antar perlakuan dan kontrol.
20
Gambar 7. Grafik degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik sel hati tikus
betina (Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
Tabel 8. Uji ANOVA dan standar error rerata Kongesti sinusoid hati tikus betina
(Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans
No Perlakuan Kongesti sinusoid Infiltrasi sel radang
1 K (Kontrol) 4.2 ± 1.06 a 4.0 ± 1.00 a
2 P1 (30 hari) 6.4 ± 0.88 a b 4.3 ± 2.64 a
3 P2 (50 hari) 6.4 ± 0.93 a b 5.6 ± 0.90 a
4 P3 (70 hari) 10.46 ± 3.2 b 5.7 ± 0.75 a
5 P4 (90 hari) 4.6 ± 0.84 a 5.9 ± 0.46 a
Kongesti sinusoid hati dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata
(P=0.019) antar perlakuan dan kontrol. Sedangkan infiltrasi sel radang pada hati
dengan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan nyata (P=0.55) antar perlakuan dan
kontrol
6.0 7.39.0
16.518.3
7.0
61.059.0 58.0 59.3
9.0
27.7
32.035.5
32.5
0.0
10.0
20.0
30.0
40.0
50.0
60.0
70.0
K P1 P2 P3 P4
(%)
Perlakuan
D.Hidropis
D.Lemak
Inti Piknotik
21
Gambar 8. Grafik nekrosis, kongesti sinusoid dan infiltrasi sel radang hati tikus betina
(Mus musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
5.3. Histologi Ginjal
Gambar 9. Histologi ginjal dengan pewarnaan HE (pembesaran 100x insert 500X)
A.Glomerulus normal B.Edema glomerulus C. Penyempitan glomerulus
D. Hemorrage
7.0
26.3
25.024.0
31.3
4.2
6.4 6.4
10.5
4.64.0 4.3
5.6 5.7 5.9
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
K P1 P2 P3 P4
(%)
Perlakuan
Nekrosi
22
Gambar 10. Histologi ginjal dengan pewarnaan HE (pembesaran 400x) insert 300x)
A.Endapan protein di tubulus B. Inti piknotik C. Kongesti glomerulus D.Infiltasi sel radang E. Degenerasi lemak di tubulus
5.3.1 Kelaian Histologi ginjal yang ditemukan dalam penelitian ini adalah :
Edema Glomelurus, Penyempitan kapsula bowman, Kongesti glomelurus, Endapan
protein di tubulus, Degenerasi di tubulus, Inti piknotik di tubulus, Infiltrasi sel radang,
Hemorragi.
Tabel 9. Uji ANOVA dan standar error Edema Glomelurus, Penyempitan kapsula
bowman, Kongesti glomelurus Histologi ginjal tikus betina (Mus musculus
L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans
No Perlakuan Edema glomelurus Penyempitan
kapsula bowman
Kongesti
glomelurus (%)
Endapan
protein tubulus
1 K (Kontrol) 13.0 ± 3.0 a 12.0 ± 2.54 a 18.94 ± 4.06 a 6.0 ± 1.0 a
2 P1 (30 hari) 46.0 ± 6.52 b 59.48 ± 11.61 b 71.02 ± 12.65 b 14.8 ±2.74 b
3 P2 (50 hari) 60.0 ± 18.7 b 60.00 ± 18.70 b 70.00 ± 20.00 b 19.0 ± 2.91 b
4 P3 (70 hari) 60.0 ± 4.08 b 65.00 ± 11.30 b 72.66 ± 3.82 b 18.0 ±1.57 b
5 P4 (90 hari) 64,3 ± 21.06 b 68.33 ± 6.43 b 70.00 ± 20.0 b 70.00 ± 20.0 b
23
Edema glomelurus dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.01)
antar perlakuan dan kontrol. Penyempitan kapsula bowman dengan uji ANOVA
terdapat perbedaan nyata (P=0.018) antar perlakuan dan kontrol. Sedangkan
Kongesti glomerulus dan endapan proten di tubulus dengan uji ANOVA terdapat
perbedaan nyata dengan nilan (P=0.058) dan nilai (P=0.031).
Tabel 10. Uji ANOVA dan standar error degenerasi di tubulus, inti piknotik di
tubulus, infiltrasi sel radang, dan hemorragi ginjal tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji
Duncans
No Perlakuan Degenerasi
tubulus
Inti piknotik
tubulus
Infiltrasi sel
radang(%)
Hemorragi (%)
1 K (Kontrol) 7.0 ± 1.22 a 9.0 ± 1.87 a 6.0 ± 1.0 a 6.0 ± 2.46 a
2 P1 (30 hari) 4470 ± 3.88 b 41.98 ± 4.90 b 8.66 ± 0.97 a 16.0 ±3.67 a b
3 P2 (50 hari) 47.0 ± 3.0 b 49.00 ± 4.0 b c 11.0 ± 4.19 a 14.0 ± 2.91 b
4 P3 (70 hari) 56.0 ± 6.96 b c 57.00 ± 4.89 c 17.0 ±1.22 b 19.0 ±2.91 b
5 P4 (90 hari) 66.0 ± 8.57 c 52.0 ± 6.44 b c 10.6 ± 2.0 a 20.0 ± 4.18 b
Degenerasi tubulus dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.000)
antar perlakuan dan kontrol. Inti piknotik di sel tubulus dengan uji ANOVA terdapat
perbedaan nyata (P=0.000) antar perlakuan dan kontrol. Sedangkan Infiltrasi sel
radang dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata dengan nilai (P=0.002) dan
hemorragi terdapat perbedaan dengan nilai (P=0.038).
5.4. Histologi Tulang
Gambar11. Histologi tulang femur yang dipotong memanjang dengan pewarnaan HE
(pembesaran 50x) K: ketebalan osifikasi.3333333333333
K
K
24
Tabel 11. Uji ANOVA dan standar error rerata ketebalan osifikasi tikus betina (Mus
musculus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji
Duncans
No Perlakuan Ketebalan Osifikasi
1 K (Kontrol) 325.74
2 P1 (30 hari) 273.54
3 P2 (50 hari) 255.30
9999 P3 (70 hari) 309.50
5 P4 (90 hari) 235.80
Ketebalan osifikasi dengan uji ANOVA tidak terdapat perbedaan nyata
(P=0.316) antar perlakuan dan kontrol.
5.5. Pembahasan
SGOT(Serum glutamate oxalloacetate transaminase) atau disebut juga
aspartate aminotransferase (AST) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic
Transaminase) atau disebut juga alanine aminotransferase (ALT), merupakan enzim
yang banyak terdapat di hati. Dalam uji SGOT dan SGPT, hati dapat dikatakan rusak
bila jumlah enzim tersebut dalam plasma lebih besar dari kadar normalnya.
Mekanismenya adalah zat-zat toksik atau zat-zat berlebih yang masuk ke dalam tubuh
akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 dalam hati menjadi radikal bebas.
Radikal bebas ini kemudian berikatan pada sel hepatosit pada organ hati sehingga
membran hati berubah permeabilitasnya (meningkat). Berubahnya membran sel hati
ini dapat menimbulkan dua macam konsekuensi. Pertama zat –zat dari dalam sel
keluar dengan bebas sehingga hati mengalami pengkerutan dan terjadi nekrosis.
Sebaliknya zat-zat yang berada diluar sel hati juga dapat masuk dan menyebabkan
hati menjadi besar (degenerasi hidropis) dan terjadi apoptosis.
Dalam penelitian ini kadar SGOT kontrol justru lebih tinggi (158.4 ± 315 ) di
bandingkan dengan semua perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan injeksi
vitamin C dosis tinggi 11,2 mg/ ekor/ hari justru meningkatkan proses regenerasi
hepatosit sehingga menjadi lebih baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang
25
dilakukan oleh Afiong and Maisie (2006) ; Jackson et.al, (2002); Vahel et al. (2011)
bahwa asam askorbat yang diberikan pada hewan coba yang mengalami beberapa
penyakit menjadi lebih baik kondisinya. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan hipotesis awal yang diajukan. Data SGOT dapat menyimpang karena ada
kemungkinan tikus sedang mengalami gangguan juga pada organ selain hati seperti
pada otot jantung, ginjal dan otot rangka, karena sebenarnya SGOT terdapat di hampir
seluruh tubuh, berbeda dengan SGPT yang spesifik pada hati. Pada umumnya nilai tes
SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan
pada proses kronis didapat sebaliknya. Pada penelitian ini kadar SGPT plasma yang
diuji dengan Uji Kruskal Wallis karena sebaran data tidak normal menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata ((P=0. 86).
Dari hasil pengamatan histologi hati didapatkan bahwa sel hati (hepatosit)
yang diinjeksi dengan vitamin c dosis tinggi mengalami kelainan-kelainan seperti
degenerasi hidrofis, degenerasi lemak, inti piknotik, nekrosis, kongesti sinusoid dan
infiltrasi sel radang yang lebih tinggi dibandingkan dengan sel hati kontrol. Bahkan
dari pengamatan makroskopis sudah terlihat bahwa hati tikus yang diinjeksi vitamin
c dosis tinggi menunjukkan adanya jaringan lemak yang berwarna kuning. Hal ini
diperkuat dengan dilakukannya pembuatan preparat histologi, yang menunjukkan
bahwa banyak sel hati yang mengalami degenerasi lemak pada hewan perlakuan. Di
samping itu juga banyak terdapat kongesti sinusoid hati dan infiltrasi sel radang pada
kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini karena sel-sel hati
hewan kelompok perlakuan banyak yang mengalami kerusakan sehingga banyak sel-
sel darah putih yang dikirim ke hati untuk membersihkan atau memakan sel-sel yang
sudah rusak tersebut.
Sedangkan kadar kreatinin plasma dalam penelitian ini yang diuji dengan Uji
Krukal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan
yang nyata (P=0. 002). Kadar kreatinin plasma kelompok perlakuan lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan kadar kreatinin ini
mengindikasikan adanya penurunan fungsi pada ginjal yang diakibatkan oleh
tingginya kadar vitamin C yang harus dibuang melalui ginjal. Hal ini berkaitan
dengan sifat vitamin C yang larut dalam air sehingga lebih memperberat kerja ginjal
dibandingkan dengan fungsi hati. Hal ini diperkuat dengan hasil pengamatan pada
26
preparat histologi ginjal. Histologi ginjal tikus betina yang diinjeksi vitamin C dosis
tinggi dalam jangka waktu yang lama menunjukkan banyak terdapat kelainan-
kelainan seperti: edema glomelurus, penyempitan kapsula bowman, kongesti
glomelurus, endapan protein di tubulus, degenerasi di tubulus, inti piknotik di tubulus,
infiltrasi sel radang, dan hemorragi.
Hasil penelitian Voja et al. (2005) melaporkan bahwa konsumsi vitamin C
(asam askorbat) dalam jangka waktu yang panjang menyebabkan tikus perlakuan
mengalami hiperglikemia (diabetes) yang berkaitan dengan peningkatan tekanan
darah dan edema glomerulus. Hal-hal lain yang berkaitan dengan peningkatan kadar
kreatinin adalah : gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut,
glomerulonefritis, nefropati diabetik, pielonefritis, eklampsia, pre-eklampsia,
hipertensi esensial, dehidrasi, penurunan aliran darah ke ginjal (syok berkepanjangan,
gagal jantung kongestif), rhabdomiolisis, lupus nefritis, kanker (usus, kandung kemih,
testis, uterus, prostat), leukemia, penyakit Hodgkin, diet tinggi protein (mis. daging
sapi kadar tinggi, unggas, dan ikan (Wulandari dan Suwitra, 2008).
27
BAB VI. RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Pada tahun ke 2 dilakukan uji profil kadar Estrogen, Progesteron, serta
kemampuan reproduksi tikus betina. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan reproduksi tikus betina yang sudah diinjeksi vitamin C dosis tinggi
dengan melihat panjang siklus estrusnya, melihat perkembangan embrio serta jumlah
anak yang dihasilkan oleh tikus betina yang mendapatkan injeksi vitamin C dosis
tinggi dalam jangka wangku yang lama.
28
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
1. Kadar SGOT tikus betina (Rattus rattus L.)yang dinjeksi vitamin C dosis tinggi
mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Kadar SGPT tikus betina
yang dinjeksi vitamin C dosis tinggi mengalami perbedaan namun secara statistik
perbedaan tersebut tidak nyata. Sedangkan kadar kreatinin plasma darah betina
yang dinjeksi vitamin C dosis tinggi mengalami peningkatan dibandingkan dengan
kontrol.
2. Terjadi peningkatan kelainan histologi hati (degenerasi hidrofis, degenerasi lemak,
inti piknotik, nekrosis, kongesti sinusoid dan infiltrasi sel radang) pada tikus
betina yang yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dalam waktu yang lama.
3. Terjadi peningkatan kelainan histologi ginjal (Edema Glomelurus, Penyempitan
kapsula bowman, Kongesti glomelurus, Endapan protein di tubulus, Degenerasi di
tubulus, Inti piknotik di tubulus, Infiltrasi sel radang, Hemorragi) pada tikus betina
yang yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dalam waktu yang lama.
4. Tidak terdapat perbedaan yang nyata terhadap ketebalan osifikasi (tulang) pada
tikus betina yang yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dalam waktu yang lama.
7.2. Saran
Untuk melihat pengaruh injeksi vitamin c dosis tinggi dalam waktu yang
panjang terhadap kesehatan, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai
efeknya terhadap sistem reproduksi dan sistem imunitas.
Ucapan Terima kasih
Penulis mengucapkan banyak terima kepada Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Udayana dan Dikti atas dana yang
diberikan melalalui dana Desentralisasi Hibah Bersaing tahun anggaran 2014.
29
DAFTAR PUSTAKA
Adelien T E. 2001. Pola Estradiol dan Progesteron Serum pada Tikus yang
Disuperovolasi Dikaitkan dengan Kinerja Reproduksi selama Kebuntingan.
Desrtasi Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Afiong A. Etim, Maisie H. Etukudo .2006. Ascorbic Acid Levels in Hepatitis and Non-Hepatitis Subjects in University of Calabar Teaching Hospital (UCTH),
Calabar . Pakistan Journal of Nutritionl 5( 5): 490-491
Anonimus. 2013 a. Manfaat Vitamin C Untuk Kesehatan Kulit. Available at :http://sportindo.com/special/vitaminc/ (diunduh tgl 1 Mei 2013).
Anonimus. 2013 b.Vitamin C
Available at : http://wikivitamin.com/category/vitamin-c-asam-askorbat/
Anonimus. 2013c. Tes-tes Darah Hati. .
Available at : http://www.totalkesehatananda.com/darahhati1.html
Anonimus.2 013d. Efek VitaminC Berlebih .
Available at :
http://female.kompas.com/read/2012/02/27/11044371/Efek.Jika.Kelebihan.Vitami
n.C
Anonimus. 2013e. Apa itu Kolagen.
Available at: http://www.classiccollagen.com/collagen_Page.html
Aguirre, Rene and James M. May 2008. Inflammation in the Vascular
Bed.Importance of Vitamin C. Pharmacol Ther. 119(1) : 96-103
Ashoka ,Babu V.L;Ganeshan Arunachalam, Korlakunda Narasimha,Jayaveera,Varadharajan M. Shanaz Banu. 2012. Hepatoprotective
activity of methalonic extract of Ecrobolium viride (FOR SSK ) alston roots against carbon tetrachloride induce hepatocity. IRJP , 3 (8)
Ballber and Studer H. 1994. The effect of prednisolone and a protein-deficient diet on
plasma albumin and fibrinogen in a turpentine-induced acute-phase reaction in
rats. J. Lab .Clin Med. 123(1) :117-25
Bednar C, Kies C. 1994. Nitrate and vitamin C from fruits and vegetables: Impact of
intake variations on nitrate and nitrite excretions of humans. Plant Foods Hum
Nutr Vol. 45:71-80
Davies MB, Austin J, Partridge DA. 1991. Vitamin C: Its Chemistry and
Biochemistry. The Royal Society of Chemistry: Cambridge. Hal : 97-100.
Delaere, F. Magnan, C. Mathieuk, G. 2010. Hypothalamic integration of portal
glucose signals and control of food intake and insulin sensitivity. Diabetes
Metab.36(4): 257-62
30
Djanuar R. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Gajah Mada
University Press. Yogyakarta.
Dwi Rahayu I. 2013. Klasifikasi, Fungsi dan Metabolisme Vitamin. Fakultas Pertanian-Peternakan. Universitas Muhamadyah Malang.
Avialable at :
http://imbang.staff.umm.ac.id/files/2010/02/Klasifikasi_dan_Metabilisme_vita
min_imbang.pdf
Galun, E. Axelrod, JH..2002. The role of cytokines in liver failure and regeneration:
potential new molecular therapies. Biochim Biophys Acta. 1592 (3) :354-58
Gyorgi AS. 1931. Vitamin C, Muscles, and WWII. Szeged: 1931-47
James A. Jackson, Hugh D. Riordan,
Nancy L. Bramhall,
Sharon Neathery, MT.
2002. Sixteen-Year History with High Dose Intravenous Vitamin C
Treatment for Various Types of Cancer and Other Diseases. Journal of
Orthomolecular Medicine . 17( 2) :119-117
Katili, Abubakar Sidik. 2009. Struktur Dan Fungsi Protein Kolagen. Jurnal Pelangi Ilmu .2( 5)
Kembuan, M ; Wangko, Sunny; Tanudjaja, George N. 2012. Peran Vitamin C dalam
Mencegah Pigmentasi Kulit. Jurnal Biomedik Vol 4, No 3.
Kim DO, Lee KW, Lee HJ, Lee CY. 2002. Vitamin C equivalent antioxidant capacity
(VCEAC) of phenolic phytochemicals. J Agric Food Chem 50(13):3713–17.
Kitt, D.Q. 2012. Topical Dehydroascorbic Acid (Oxidized Vitamin C) Permeates
Stratum Corneum More Rapidly Than Ascorbic Acid. Thesis. Available at :
http://www.researchgate.net/publication/225274699_Topical_Dehydroascorbi
c_Acid_%28Oxidized_Vitamin_C%29_Permeates_Stratum_Corneum_More_
Rapidly_Than_Ascorbic_Acid
Kmiec Z. 2001. Cooperation of liver cells in health and disease. Anat Embriol Cell
Biol. 161 (3):1- 151
Kiyatno, Kiyatno . 2009. Antioksidan Vitamin dan Kerusakan Otot pada Aktivitas
Fisik Studi Eksperimen pada Mahasiswa JPOK-FKIP UNS Surakarta. Media Medika Indonesia. Vol.43 (6) :page 277-281
Multaram, Al. 2013. Batu Ginjal. Available at : http://www.metris-
community.com/gejalabatuginjal-penyebab-penyakitbatuginjal/
Naidu KA. 2003. Vitamin C in human health and disease is still mistery? An
Overview. J Nur. Vol. 2(7)
31
Parisa Hasanein, Siamak Shahidi .2010.The effect of long term administration of
ascorbic acid on the learning and memory deficits induced by diabetes in rat .
Tehran University Medical Journal 68(1) : 12-18
Puspita Rini, Dea. 2013. Hubungan peningkatan kadar asam urat serum
(hiperurecemia) dengan kejadian batu ginjal di RS Dr. Kanujoso Jatiwibowo Balikpapan periode Januari – Desmber 2008. Avilable at :
http://portalgaruda.org/?q=batu+ginjal&type=advanced&mod=all&ref=search&select=all&button=Search&pub=&from=1000&to=2013
Sebastiani, Geada. 2009.Non-invasive assessment of liver fibrosis in chronic liver
diseases: Implementation in clinical practice and decisional algorithms. J Gastroenterol. 15(18): 2190–2203.
Sudatri, Ni Wayan. 2010. Kadar Kolagen Kulit dan Tulang yang Disuplementasi
Somatotropin. Jurnal Biologi. XIV(1) : 10-14.
Sudatri, Ni Wayan; Iriani Setyawati. 2013. Perkembangan Sel-Sel Folikel dan Korpus
Luteum (Mus Musculus) yang Diberi Ekstrak Daun Lantoro. Laporan
Penelitian Dosen Muda.
Soesanti, N. H., Ruben D.. 2009. Pengaruh VCO terhadap hitung jenis leukosit,kadar
glukosa dan kreatinin darah Mus musculus Balb/c hiperglikemi dan
tersensitisasi ovalbumin. Bioteknologi 6 (1): 1-10
Toelihere M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa Bandung. Hal 21-50.
Wulandari, Diah Catur, Suwitra, Ketut. 2008. Pengaruh Vitamin C terhadap C-reaktive protein petanda implamasi pada gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis regular Journal of internal medicine . 9( 3)
Vahel J. A. A., Ihsan T. Tayeb, Johnny S. 2011.Yokhana Effects of supplemental ascorbic acid on humeral immune response in broilers reared under heat-stress
condition.Roavs. Vol 1(7), 459-462.
Voja P, Zoran P. 2004. The Effect Of Ascorbic Acid On Membran Transfort Of
Glukose. Acta Medica Medianae. Vol. 43(3): 29-31.
Voja .P, Snezana C.c, Goran R., Nenad S . 2005. Antioxidant and Pro-oxidant Effect
of Ascorbic Acid. Acta. Medica Medianae. Vol. 44(1): 65-68.
Voja P., Snezana C., Vladmila B., Nenad S., Goran R. 2005. Ascorbi c Acid
Modulates Spontaneous Thymocyte Apoptosis. Acta Medica Medianae . Vol.
4
32
LAMPIRAN 1. INSTRUMEN PENELITIAN
33
LAMPIRAN 2. Personalia Tim Peneliti
No
Nama dan NIDN
Instansi Asal Bidang Ilmu Alokasi Waktu Uraian Tugas
Jam/mg bulan
1 Ni Wayan Sudatri,
SSi.,MSi./0031107102
Universitas
Udayana
Biologi/Fisiologi,
Patologi hewan
17 8 Ketua Tim
Peneliti
2 Iriani Setyawati, SSi.,
MSi./0017097401
Universitas
Udayana
Biologi/Struktur,
Teratologi Hewan
12 8 Anggota
Tim Peneliti
3 Ni Made Suartini, S.Si.,
Msi./ 0028107101
Universitas
Udayana
Biologi/ Zoologi 12 8 Anggota
Tim Peneliti
4 A.A. Istri Mas Padmiswari/
1008305009
Universitas
Udayana
Biologi 10 8 Pelaksana/
Mahasiswa
34
KADAR SGPT, SGOT DAN KREATININ PLASMA DARAH
TIKUS BETINA YANG DIINJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI
Ni Wayan Sudatri1), Iriani Setyawati2), Ni MadeSuartini3)
123Jurusan Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana, Bukit Jimbaran-Badung,Bali
E-mail : [email protected]
Abstract
Vitamin C is one of the vitamins that are needed to maintain a healthy body.
The function of vitamin C for the body, among others; enhance the immune system
(resistance) of the body, speed up the healing process and make skin more fresh and
bright. The purpose of this study was to determine the side effects of high-dose
injections of vitamin C in the long term on health. The design used in this study was a completely randomized design (CRD) with longer treatment injection of high doses of
vitamin C are different. namely: P0 (control), P1 (injected 30 days old), P2 (injected 50 days old), P3 (injected 70 days old) and P4 (injected 90 days old). The parameters
measured were the levels of SGOT, SGPT and creatinine in plasma. The result showed that the levels of SGOT with ANOVA showed significant differences (P =
0.009) between the treatment group and the control group, while the Kruskal Wallis test SGPT levels were not significantly different (P = 0. 86) while the Kruskall Wallis
test on serum creatinine levels showed significant differences. (P = 0. 002). SGOT
plasma levels lower than the control group while serum creatinine female rats were
injected high doses of vitamin C in the long term is higher than the control group.
Keywords: SGPT, SGOT, creatinine, vitamin c, female rats
Abstrak
Vitamin C adalah salah satu vitamin yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Fungsi vitamin C bagi tubuh antara lain; meningkatkan sistem
imunitas (daya tahan) tubuh, mempercepat proses penyembuhan serta membuat kulit lebih segar dan cerah. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efek samping dari
injeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu yang lama terhadap kesehatan.
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dengan perlakuan lama penyuntikan vitamin C dosis tinggi yang berbeda.
yaitu: P0 (kontrol), P1 (lama diinjeksi 30 hari), P2 (lama diinjeksi 50 hari), P3 (lama
diinjeksi 70 hari) dan P4 (lama diinjeksi 90 hari). Parameter yang diamati adalah
kadar SGOT, SGPT dan kreatinin dalam plasma. Dari hasil penelitian didapatkan
bahwa Kadar SGOT dengan uji ANOVA menunjukkan perbedaan nyata (P=0.009)
antar kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, sedangkan dari uji Kruskal Wallis
kadar SGPT tidak berbeda nyata (P=0. 86) sedangkan uji Kruskall Wallis pada kadar
kadar kreatinin menunjukkan perbedaan yang nyata. (P=0. 002). Kadar plasma
SGOT lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol sedangkan kadar
kreatinin tikus betina yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dalam jangka waktu
lama lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol.
Kata kunci: SGPT, SGOT, kreatinin, vitamin c, tikus betina
35
Pendahuluan
Vitamin C atau disebut juga asam askorbat merupakan salah satu vitamin
yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tubuh. Fungsi vitamin C bagi tubuh antara
lain; meningkatkan sistem imunitas (daya tahan) tubuh, mempercepat proses
penyembuhan serta membuat kulit lebih segar dan cerah. Bagi beberapa kaum
perempuan manfaat vitamin C untuk membuat kulit cerah dan bersih menjadi daya
tarik tersendiri. Secara alami vitamin C didapatkan dari makanan seperti sayuran dan
buah-buahan; contohnya bayam, daun katuk, selada, jeruk, mangga, jambu biji, nanas
dan lain sebagainya. Namun, banyak dari mereka yang kurang menyukai buah-buahan
dan sayur-sayuran untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin C, mereka memilih
suplemen vitamin C yang dijual ditoko-toko obat (Aquirreand May, 2008).
Manfaat vitamin C untuk meningkatkan daya tahan tuhuh memang sudah tidak
diragukan lagi. Dengan antioksidan yang kuat, vitamin C mampu melawan radikal
bebas yang masuk ke dalam tubuh baik yang datang dari luar tubuh maupun hasil
metabolisme dari sel kita sendiri. Sedangkan manfaatnya untuk mengencangkan dan
mencerahkan kulit terjadi karena vitamin C merangsang pembentukan kolagen, suatu
protein ekstraseluler yang berperan dalam mengencangkan sel. Vitamin C
menghambat kerja enzim tirokinase yang berperan dalam menghambat pembentukan
pigmen kulit sehingga kulit menjadi lebih cerah dan kencang (Kembuan et al., 2012;
Naidu, 2003).
Vitamin C mudah diabsorbsi secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada
bagian atas usus halus lalu masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Rata-rata
absorbsi adalah 90% untuk konsumsi diantara 20-120 mg/hari. Konsumsi tinggi
sampai 12 gram hanya diarbsorbsi sebanyak 16%. Vitamin C kemudian dibawa ke
semua jaringan. Konsentrasi tertinggi adalah di dalam jaringan adrenal, pituitary, dan
retina. Vitamin C di ekskresikan terutama melalui urin,sebagian kecil di dalam tinja
dan sebagian kecil di ekskresikan melaului kulit (Jackson et.al, 2002).
Vitamin C adalah vitamin yang larut dalam air, artinya kelebihan vitamin ini
tidak bisa disimpan oleh tubuh seperti vitamin A,D,E dan K yang larut dalam lemak,
sehingga bila kadar vitamin C berlebih maka akan dikeluarkan dari tubuh melalui
ginjal. Oleh karena itu disarankan untuk mengkonsumsi vitamin C setiap hari sesuai
kebutuhan (Dwi Rahayu, 2013). Kalau kita mengkonsumsi suplemen vitamin C
36
dosis tinggi atau melakukan injeksi vitamin C dosis tinggi (4000 mg/sekali suntik)
untuk membuat kulit cerah seperti yang banyak dilakukan saat ini, maka kelebihan
vitamin ini akan dibuang dari tubuh. Diduga pemberian dosis tinggi vitamin C dalam
jangka panjang menyebabkan pembentukan batu ginjal dan beberapa efek negatif
dari injeksi vitamin C yang ditulis oleh media on line antara lain dapat menyebabkan
aborsi, mens tidak teratur, menopause dini serta maag (Anonimus, 2013). Kelebihan
vitamin C yang dikonsumsi melalui makanan tidak menimbulkan gejala yang berarti,
namun mengkonsumsi vitamin C dalam bentuk suplemen dosis tinggi akan
menyebabkan gejala hiperoksaluria dan meningkatkan resiko terkena batu ginjal.
Kelebihan konsumsi vitamin C juga mengakibatkan gangguan percernaan, kram perut,
mual, gas lambung berlebih, dan diare. Parisa dan Siamak (2010) dan (Voja et al.,
2005) melaporkan bahwa konsumsi vitamin C (asam askorbat) dalam jangka waktu
yang panjang menyebabkan tikus perlakuan mengalami hiperglikemia (diabetes) dan
juga peningkatan kehilangan bobot badan.
Hati merupakan organ yang menopang kelangsungan hidup hampir seluruh
organ lain di dalam tubuh. Oleh karena lokasi yang sangat strategis dan fungsi multi-
dimensional, hati menjadi sangat rentan terhadap datangnya berbagai penyakit. Hati
akan merespon berbagai penyakit tersebut dengan meradang, yang disebut hepatitis.
Seringkali hepatitis dimulai dengan reaksi radang patobiokimiawi yang disebut
fibrosis hati.(Sebastiana, 2009). Untuk mengetahui adanya kerusakan hati dilakukan
beberapa tes darah sederhana seperti uji kadar spartate aminotransferase (AST atau
SGOT) dan alanine aminotransferase (ALT atau SGPT). Enzim-enzim ini biasanya
terkandung dalam sel-sel hati. Jika hati terluka, sel-sel hati menumpahkan enzim-
enzim kedalam darah, menaikan tingkat-tingkat enzim dalam darah dan menandai
kerusakan hati .(Ashoka Babu et al., 2012).
Selain hati, ginjal termasuk organ penting yang memiliki fungsi , yaitu
menyaring dan mengeluarkan racun maupun kelebihan mineral dari dalam tubuh
melalui urin. Jika fungsi ginjal terganggu akibat peradangan atau karena penyakit batu
ginjal maka dengan sendirinya tubuh akan mengalami keracunan. Dalam dunia
kedokteran, kasus penyakit batu ginjal merupakan penyakit yang relatif tinggi jumlah
penderitanya khususnya di Indonesia. Batu ginjal sering disebut nephrolithiasis atau
renal calculi merupakan massa keras yang mengkristal seperti batu batu kecil yang
37
dapat terbentuk pada bagian saluran kencing dimana saja termasuk pada kandung
kemih, dalam ginjal yaitu di renal pelvis dan calix renalis. Terbentuknya kristalisasi
itu karena kadar urin yang terlalu pekat karena kurangnya mengkonsusmsi air putih
setiap hari sehingga zat-zat yang ada di dalam urine membentuk kristal batu. Hal-hal
lain yang dapat menjadi penyebab batu ginjal adalah adanya infeksi, obstruksi,
kelebihan sekresi hormon paratiroid, peningkatan kadar asam urat, terlalu banyak
menkonsumsi vitamin D atau kalsium yang tidak larut dengan sempurna (Multaram,
2013).
Selain itu, indikasi adanya kerusakan atau penurunan fungsi ginjal bisa dilihat
dari kadar kreatinin plasma yang meningkat. Hal ini sebagai akibat ketidakmampuan
ginjal mengeluarkan kreatinin ke dalam urin dan dalam jumlah besar kreatinin masuk
kembali ke dalam darah hingga kadarnya dalam plasma meningkat di atas batas
normal (Soesanti dan Darmawan, 2009).
Bahan dan metode
Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak
lengkap (RAL) dengan perlakuan lama injeksi vitamin C dosis tinggi yang berbeda,
yaitu lama injeksi 30 hari (P1), lama injeksi 50 hari (P2), dan lama injeksi 70 hari
(P3), lama injeksi 90 hari (P4) dan kontrol (P0) serta ulangan 10 kali sehingga
hewan model yang dipakai sebanyak 50 ekor.
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah vitamin C dosis
tinggi (4000 mg/sekali injeksi) untuk manusia. Hewan model yang digunakan adalah
tikus betina dewasa usia 3-4 bulan dengan bobot badan antara 150-200 gram. Dosis
yang digunakan dikonversikan dari dosis yang digunakan pada manusia ke tikus.
Faktor konversi dari tikus ke manusia adalah 0.14 Berat badan wanita dewasa yang
diinjeksi diperkirakan kurang lebih 70 kg, sehingga dosis vitamin C yang diberikan
pada tikus adalah 0.14 x 0.02 x 4000 = 11,2 mg/sekali suntik/ ekor.Injeksi vitamin C
dilakukan secara intramuskular dengan jarum suntik ukuran 1 ml. Injeksi dilakukan 2 hari
sekali sesuai lama waktu perlakuan.Setelah perlakuan injeksi vitamin C selesai, tikus dibius
dengan penyuntikan xylasin (20 mg/kg) dan ketamin (10 mg/kg) secara intramuskuler. Pada
keadaan terbius, darah diambil dari jantung dengan jarum suntik 1 ml kemudian darah
dimasukkan dalam tabung yang sudah diisi heparin untuk mencegah pembekuan darah. Darah
38
disentrifuge untuk mendapatkan plasma darah dengan kecepatan 1200 rpm selama 10 menit.
Plasma yang didapat dipipet dan ditaruh dalam tabung efendov dan dimasukkan ke dalam
refrigenerator sampai siap untuk diuji.
Penentuan kadar Serum glutamate oxalloacetate transaminase (SGOT) dan Serum
glutamate pyruvate transaminase (SGPT)dan kadar kreatinin plasma dilakukan di Lab
Kesehatan Daerah Bali Denpasar sesuai dengan standar prosedur dengan memakai kit standar
(Ashoka Babu et al. 2012).
Data yang didapatkan dianalisis secara statistika dengan menggunakan software
SPSS dan bila terdapat pengaruh nyata atau sangat nyata akan dilanjutkan dengan uji Duncan
pada taraf α 0.05 dan α 0.01.Dan bila data tidak terdistribusi secara normal maka diuji dengan
Test Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney.
Hasil
Dari hasil penelitian ini kadar SGOT plasma tikus betina (Rattus rattus L.) yang
diinjeksi vitamin C dosis tinggi disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Uji ANOVA dan standar error kadar SGOT plasma tikus betina (Rattus rattus L.)
yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi dilanjutkan dengan uji Duncans
No Perlakuan Rata-rata Kadar
SGOT(U/L)
1 K (Kontrol) 158.4 ± 315 a
2 P1 (30 hari) 108.0 ± 50.79 b
3 P2 (50 hari) 98.0 ± 50.69 b c
4 P3 (70 hari) 81.0 ± 99.11 b c
5 P4 (90 hari) 77.4 ± 49.33 b
(Sumber: Sudatri, 2014)
Kadar SGOT plasma dengan uji ANOVA terdapat perbedaan nyata (P=0.009) antar
perlakuan dan kontrol. Kadar SGOT kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Sedangkan dari uji Kruskal Wallis kadar SGPT plasma tidak berbeda nyata (P=0. 86).
Tabel 2. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar SGPT plasma tikus betina (Rattus rattus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi
No Perlakuan Ranking Mean Chi Square P Rata-rata
(U/L)
1 K (Kontrol) 15.10 8.152 0.86 315.6
2 P1 (30 hari) 18.40 116.0
3 P2 (50 hari) 15.30 208.0
4 P3 (70 hari) 8.70 207.0
5 P4 (90 hari) 7.50 145.0
39
Dari uji Kruskal Wallis kadar kreatinin berbeda nyata (P=0. 002) . Kadar kreatinin
plasma tikus betina yang diinjeksi vitamin C lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Tabel 3. Uji Kruskal Wallis dan rerata kadar Kreatinin plasma tikus betina (Rattus rattus L.) yang diinjeksi vitamin C dosis tinggi yang dilanjutkan dengan uji Mann Whitney
No Perlakuan Ranking Mean Chi Square P
Rata-rata
(Mg/DL)
1 K (Kontrol) 11.50 17.050 0.02 0.60 a
2 P1 (30 hari) 3.00 0.30 b
3 P2 (50 hari) 19.50 0.68 b c
4 P3 (70 hari) 15.50 0.64 a c
5 P4 (90 hari) 15.50 0.64 a b
Pembahasan
SGOT(Serum glutamate oxalloacetate transaminase) atau disebut juga aspartate
aminotransferase (AST) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) atau disebut
juga alanine aminotransferase (ALT), merupakan enzim yang banyak terdapat di hati. Dalam
uji SGOT dan SGPT, hati dapat dikatakan rusak bila jumlah enzim tersebut dalam plasma
lebih besar dari kadar normalnya. Mekanismenya adalah zat-zat toksik atau zat-zat berlebih
yang masuk ke dalam tubuh akan dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 dalam hati
menjadi radikal bebas. Radikal bebas ini kemudian berikatan pada sel hepatosit pada organ
hati sehingga membran hati berubah permeabilitasnya (meningkat). Berubahnya membran sel
hati ini dapat menimbulkan dua macam konsekuensi. Pertama zat –zat dari dalam sel keluar
dengan bebas sehingga hati mengalami pengkerutan dan terjadi nekrosis. Sebaliknya zat-zat
yang berada diluar sel hati juga dapat masuk dan menyebabkan hati menjadi besar
(degenerasi hidropis) dan terjadi apoptosis.
Dalam penelitian ini kadar SGOT kontrol justru lebih tinggi (158.4 ± 315 ) di
bandingkan dengan semua perlakuan. Hal ini kemungkinan disebabkan injeksi vitamin C
dosis tinggi 11,2 mg/ ekor/ hari justru meningkatkan proses regenerasi hepatosit sehingga
menjadi lebih baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Afiong and Maisie
(2006) ; Jackson et.al, (2002); Vahel et al. (2011) bahwa asam askorbat yang diberikan
pada hewan coba yang mengalami beberapa penyakit menjadi lebih baik kondisinya. Namun
hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hipotesis awal yang diajukan. Data SGOT dapat
menyimpang karena ada kemungkinan tikus sedang mengalami gangguan juga pada organ
selain hati seperti pada otot jantung, ginjal dan otot rangka, karena sebenarnya SGOT terdapat
di hampir seluruh tubuh, berbeda dengan SGPT yang spesifik pada hati. Pada umumnya nilai
40
tes SGPT lebih tinggi daripada SGOT pada kerusakan parenkim hati akut, sedangkan pada
proses kronis didapat sebaliknya. Pada penelitian ini kadar SGPT plasma yang diuji dengan
Uji Kruskal Wallis karena sebaran data tidak normal menunjukkan perbedaan yang tidak
nyata ((P=0. 86).
Sedangkan kadar kreatinin plasma dalam penelitian ini yang diuji dengan Uji Krukal
Wallis dan dilanjutkan dengan uji Mann Whitney menunjukkan perbedaan yang nyata (P=0.
002). Kadar kreatinin plasma kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok kontrol. Peningkatan kadar kreatinin ini mengindikasikan adanya penurunan fungsi
pada ginjal yang diakibatkan oleh tingginya kadar vitamin C yang harus dibuang melalui
ginjal. Hal ini berkaitan dengan sifat vitamin C yang larut dalam air sehingga lebih
memperberat kerja ginjal dibandingkan dengan fungsi hati. Hasil penelitian Voja et al. (2005)
melaporkan bahwa konsumsi vitamin C (asam askorbat) dalam jangka waktu yang panjang
menyebabkan tikus perlakuan mengalami hiperglikemia (diabetes) yang berkaitan dengan
peningkatan tekanan darah dan edema glomerulus. Hal-hal lain yang berkaitan dengan
peningkatan kadar kreatinin adalah : gagal ginjal akut dan kronis, nekrosis tubular akut,
glomerulonefritis, nefropati diabetik, pielonefritis, eklampsia, pre-eklampsia, hipertensi
esensial, dehidrasi, penurunan aliran darah ke ginjal (syok berkepanjangan, gagal jantung
kongestif), rhabdomiolisis, lupus nefritis, kanker (usus, kandung kemih, testis, uterus, prostat),
leukemia, penyakit Hodgkin, diet tinggi protein (mis. daging sapi kadar tinggi, unggas, dan
ikan (Wulandari dan Suwitra, 2008).
Kesimpulan
Kadar SGOT tikus betina (Rattus rattus L.)yang dinjeksi vitamin C dosis tinggi
mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol. Kadar SGPT tikus betina yang dinjeksi
vitamin C dosis tinggi mengalami perbedaan namun secara statistik perbedaan tersebut tidak
nyata. Sedangkan kadar kreatinin plasma darah betina yang dinjeksi vitamin C dosis tinggi
mengalami peningkatan dibandingkan dengan kontrol.
Ucapan Terima kasih
Penulis mengucapkan banyak terima kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian
kepada Masyarakat Universitas Udayana dan Dikti atas dana yang diberikan melalalui dana
Desentralisasi Hibah Bersaing tahun anggaran 2014.
41
Rekapitulasi Penggunaan Dana Penelitian .
Judul : KAJIAN TENTANG EFEK SAMPING INJEKSI VITAMIN C DOSIS TINGGI TERHADAP KESEHATAN DENGAN
MEMAKAI TIKUS BETINA (Rattus rattus) DEWASA SEBAGAI HEWAN MODEL
Skema Hibah : Penelitian Hibah Bersaing
Peneliti / Pelaksana
Nama Ketua : NI WAYAN SUDATRI S.Si., M.Si.
Perguruan Tinggi :Universitas Udayana
NIDN : 0031107102
Nama Anggota (1) : IRIANI SETYAWATI S.Si. M.Si.
Nama Anggota (2) : NI MADE SUARTINI S.Si.,M.Si.
Tahun Pelaksanaan : Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun
Dana Tahun Berjalan : Rp 58.500.000,00
Dana Mulai Diterima Tanggal : 28 Mei 2014
.
1. HONOR OUTPUT KEGIATAN
Item Honor Volume Satuan Honor/jam
(Rp)
Total (Rp)
1.Ketua 570.00 Jam 11.000 8.160.000
2.Anggota 570.00 Ja