Upload
nasobi-niki-s
View
30
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Tugas Tata Wilayah
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM MATAKULIAH
”TATA WILAYAH”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah
yang dibimbing Oleh Bapak Dr. Andri Kurniawan, M.Si.
Oleh:
Nasobi Niki Suma
(12/338300/PGE/0964)
PROGRAM PASCA SARJANA
FAKULTAS GEOGRAFI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKRTA
2013
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 1
LAPORAN PRAKTIKUM MATAKULIAH
”TATA WILAYAH”
Nasobi Niki Suma* *Mahasiswa S2 Geografi, Fakultas Geografi UGM
Email: [email protected]
Hp: 081 216 353 123
A. LATAR BELAKANG
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional. (UU No. 26/2007). Pengertian wilayah sangat penting
untuk diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan
yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan.
Pegembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu
unit wilayah, mencangkup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun
pertahanan dan keamanan. Sementara itu, pengembangan wilayah seharusnya
mempunyai cangkupan yang lebih luas yaitu menelaah keterkaitan antarkawasan.
Daerah Istimewa Yogyakarta merupukan salah satu propinsi di Indonesia
yang luasan wilayahnya cukup kecil (318581,91 ha) namun memiliki karakteristik
wilayah yang kompleks. D.I. Yogyakarta terbagi menjadi 4 kabupaten (Sleman,
Bantul, Kulonprogo, dan Gunung Kidul) dan 1 kota madya (Kota Yogyakarta)
.Kondisi fisik dan konsisi sosial di D.I. Yogyakarta sangat beranekaragam
terbentang dari utara (Gunung Merapi) hingga selatan (laut selatan Jawa). Untuk
mengembangkan dan menata wilayah Yogyakarta maka diperlukan pedoman dan
aturan khusus yang mengatur tentang berbagai penentuan kawasan baik secara
fisik maupun secara sosial. Perencanaan untuk mengembangkan dan membangun
wilayah Yogyakarta sangat diperlukan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan
daya dukung wilayahnya. Perencanaan tersebut nantinya menghasilkan output
peta yang dibuat menggunakan bantuan software ArcGis 9.3. Perencanaan kondisi
fisik di D.I. Yogyakarta dapat berupa penentuan kawasan berdasarkan
penggunaan lahan dominan, pentuan kawasan lindung bawahan dan kawasan
perlindungan setempat, penentuan kawasan rawan bencana longsor, penentuan
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 2
kawasan rawan bencana banjir, penentuan arahan pemanfaatan lahan. Sedangkan
perencanaan kondisi sosial di D.I. Yogyakarta dapat berupa penentuan lahan
pertanian pangan berkelanjutan, perencanaan jaringan utilitas (seperti jalan dan
jaringan listrik), serta perencanaan ruang terbuka hijau.
Praktikum Mata Kuliah Tata Wilayah bertujuan untuk memahami
permasalahan maupun potensi yang ada pada setiap wilayah untuk kemudian
dirncang penataan wilayahnya berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Aturan-
aturan tersebut dapat berupa undang-undang RI, peraturan maupun keputusan
menteri. Pada prktikum ini akan difokuskan pada beberapa wilayah di D.I.
Yogyakarta. Khusus untuk acara praktikum yang berkaitan dengan pemetaan
kawasan bencana banjir, longsor dan arahan pemanfaatan lahan menggunakan
lokasi analisis unit propinsi. Kemudian untuk acara yang lainnya menggunakan
lokasi analisis unit kabupaten dan kota madya. Pembahasan mengenai aspek fisik
berupa penggunaan lahan dominan menganalisis wilayah Kabupaten Kulonprogo.
Kemudian penentuan kawasan lindung bawahan dan lindung setempat
menggunakan wilayah Kabupaten Sleman. Penentuan kawasan pertanin pangan
berkelanjutan menggunakan daeah Kabupaten Bantul. Kemudian untuk aspek
sosial, penentuan jaringan listrik menggunakan wilayah Kota Yogyakarta.
Terakhir, penentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menggunakan wilayah
Kabupaten Gunungkidul. Penentuan wilayah tersebut sudah dirancang dan
disesuaikan dengan potensi dan permasalahan yang terjadi pada masing-masing
wilayah. Perencanaan tata wilayah di D.I. Yogyakarta berdasarkan aspek fisik
maupun sosial diharapkan dapat melestarikan daya dukung lingkungan serta dapat
memenuhi kebutuhan penduduk Yogyakarta secara berkelanjutan sesuai rencana
keruangannya.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 3
B. TUJUAN
Praktikum mata kuliah tata wilayah terdiri dari 8 acara yaitu (1) penentuan
kawasan berdasarkan penggunaan lahan dominan, (2) pentuan kawasan lindung
bawahan dan kawasan perlindungan setempat, (3) penentuan kawasan rawan
bencana longsor, (4) penentuan kawasan rawan bencana banjir, (5) penentuan
arahan pemanfaatan lahan, (6) penentuan lahan pertanian pangan berkelanjutan,
(7) perencanaan jaringan listrik, dan (8) perencanaan ruang terbuka hijau.
Berdasarkan kedelapan acara tersebut maka tujuan dalam praktikum tata wilayah
ini yaitu sebagai berikut:
1. Dapat menentukan kawasan penggunaan lahan dominan di Kab.
Kulonprogo
2. Dapat menentukan dan mengetahui kawasan lindung bawahan dan
kawasan perlindungan setempat di Kab. Sleman
3. Dapat menentukan kawasan rawan bencana longsor di D.I.
Yogyakarta
4. Dapat menentukan kawasan rawan bencana banjir di D.I. Yogyakarta
5. Dapat menentukan arahan pemanfaatan lahan di D.I. Yogyakarta
6. Dapat menentukan lahan pertanian pangan berkelanjutan di
Kabupaten Bantul
7. Dapat menentukan dan merencanakan area jaringan listrik di Kota
Yogyakarta
8. Dapat menentukan dan merencanakan ruang terbuka hijau di
Kabupaten Gunungkidul
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 4
C. ALAT DAN BAHAN
Praktikum tata wilayah ini membutuhkan alat dan bahan yang mendukung
dalam pengerjaannya. Alat dan bahan tersebut dipaparkan sebagai berikut:
1. Alat
Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung dan membuat
praktikum acara 1 hingga acara 8 sebagai berikut:
� Seperangkat laptop (monitor, keyboard, mouse, dan sistem operasi
misalnya Windows 7)
� Perangkat master software SIG, dalam hal ini menggunakan ArcGis 9.3
� Printer untuk mencetak peta dan hasil laporan
2. Bahan
Beberapa bahan dan data yang dibutuhkan untuk mendukung praktikum
acara 1 hingga acara 8 sebagai berikut:
� Basis data digital mencangkup:
a) Peta RBI digital Kab. Kulonprogo (Praktikum Acara 1)
b) Peta RBI digital Kab. Sleman (Praktikum Acara 2)
c) Peta RBI digital D.I. Yogyakarta (Praktkum Acara 3, 4 dan 5)
d) Peta RBI digital Kab. Bantul (Praktikum Acara 6)
e) Peta RBI digital Kota Yogyakarta (Praktikum 7)
f) Peta RBI digital Kab. Gunungkidul (Praktikum 8)
g) Peta penggunaan lahan
h) Peta curah hujan
i) Peta kemiringan lereng
j) Peta jenis tanah
k) Peta sungai
l) Peta jaringan jalan
� Literatur yang mendukung, seperti:
a) Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980
b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 5/PRT/M/2008 tentang
pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan
perkotaan.
c) Peraturan dan kebijakan lain yang mendukung sesuai tema praktikum.
Disesuaikan dengan
kebutuhan analisis wilayah
praktikum baik kabupaten
ataupun propinsi
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 5
E. LANGKAH KERJA
1) Acara I (Dominasi Penggunaan Lahan)
Gambar 1. Model Penentuan Dominasi Penggunaal Lahan
Langkah-langkah dalam praktikum Acara I ini sebagai berikut:
i. Membuka ArcGis ���� add theme dengan data baru Kabupaten
Kulonprogo dan landuse Kulonprogo.
ii. Melakukan up date luas penggunaan lahan perkecamatan. Buka attribute PL
> Select All. Dalam Advanced Editing klik Explode Multi_part Features
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 6
iii. Menghitung luas penggunaan lahan per kecamatan dengan cara Calculate
Geometry.
iv. Intersect data kabupaten Kulonprogo dan landuse.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 7
v. Membuka file dBASE file tersebut, kemudian dilakukan pivotable. Kolom
label di isi kecamatan 2008, row label diisi Pl_T2 (penggunaan lahan) dan
values diisi sum of luas (luas dalam hektar).
vi. Pilih penggunaan lahan yang luasnya paling besar di setiap kecamatan.
vii. Membuka data atribut hasil intersect Kulonprogo dan menentukan
penggunaan lahan dominan sesuai dengan data hasil pengolahan data dbf.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 8
viii. Klik pada kecamatan yang penggunaan lahan dominannya sama dan
menuliskan lahan dominan yang tercantup pada excel.
ix. Langkah selanjutnya adalah me-lay out peta hasil pengolahan lahan dominan
Kabupaten Kulonprogo.
2) Acara II (Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Kawasan
Perlindungan Setempat).
Gambar 2. Model Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Setempat
Langkah-langkah dalam praktikum Acara II ini sebagai berikut:
i. Buka arcgis, add data administrasi kecamatan, peta curah hujan, peta jenis
tanah, peta kemiringan lereng, peta sungai.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 9
ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan untuk
mengetahui kawasan lindung.
iii. Kemudian buka attribut hasil intersect, klik kanan add file name: skor total,
type: short interger dan field: 50, Ok. Lalu stop editing.
iv. Kemudian mengisi skor total pada keterangan di tabel field calculator.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 10
v. Mengisi keterangan tabel dengan skor yang sesuai dengan kriteria lindung.
vi. Mengisi keterangan tabel dengan skor yang sesuai dengan kriteria kawasan
penyangga.
vii. Dissolve masing-masing kriteria tersebut sehingga data atribut menjadi lebih
ringkas.
viii. Melakukan buffer pada garis sungai yaitu 100 m untuk mendapatkan kawasan
sempadan sungai kecil.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 11
ix. Melakukan buffer pada sungai besar.
x. Kemudian hasil buffer sungai utama dan sungai dilakukan union.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 12
xi. Kemudian dilakukan union antara kawasan lindung bawahan dan setempat
dan union hasil buffer.
xii. Kemudian hasil union tersebut di dissolve dan menghasilkan peta kawasan
lindung bawahan dan kawasan lindung setempat.
xiii. Hasil pemetaan untuk kemudian di lay out
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 13
3) Acara III (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Longsor)
Gambar 3. Model Penentuan Kawasan Rawan Longsor
Langkah-langkah dalam praktikum Acara III ini sebagai berikut:
i. Tampilkan peta dasar, kemudian klik model builder untuk melakukan
pemodelan.
ii. Drag peta dasar ke dalam kolom model.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 14
iii. Memasukkan karakteristik daerah rawan longsor dari setiap ketentuan yang
ditetapkan berdasarkan 3 peta diatas. Caranya yaitu Aktifkan Arc Toolbox
kemudian pilik Analisys Tools > Exctract > Select kemudian drag ke tabel
pemodelan.
iv. Kemudian klik pada tool Connect. Klik pada peta dasar ke arah kolom select >
Input Features.
v. Klik tool Select > klik di dalam kolom Select
Sellect
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 15
Maka akan muncul tampilan seperti di bawah ini. Kemudian pada Output
Feature Class letakkan file sesuai yang anda inginkan.
Maka akan muncul tampilan di bawah ini.
vi. Masukkan karakteristik atau ketentuan untuk setiap peta yang sesuai dengan
karakteristik daerah rawan longsor.
Lakukan hal tersebut pada setiap peta dasar.
vii. Melakukan overlay terhadap karakteristik yang sudah dipilih pada setiap peta
dasar. Caranya yaitu Klik Overlay pada Arc Toolbox > Intersect > drag ke
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 16
kolom pemodelan > Connect > Input Feature. Tunggu sampai proses selesai >
Select > Klik kolom Intersect.
viii. Klik tool Select > klik di dalam kolom Intersect 2 x, maka akan muncul
tampilan di bawah ini.
ix. Klik Run untuk menjalankan proses pemodelan.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 17
x. Setelah proses selesai, add peta rawan banjir ke layer.
xi. Untuk mengetahui luasan daerah rawan longsor yaitu dengan melakukan
perhitungan dengan sistem Query dalam atribut peta. Caranya klik kanan peta
rawan banjir > Attribut > Add Field > lakukan perhitungan dengan calculate
geometry.
xii. Lakukan Lay-out pada peta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 18
4) Acara IV (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Banjir)
Gambar 4. Model Penentuan Kawasan Rawan Banjir
Langkah-langkah dalam praktikum Acara IV ini sebagai berikut:
i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta
kemiringan lereng, dan peta penggunaan lahan.
ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, curah hujan dan pengunaan lahan
untuk mengetahui kawasan banjir.
iii. Open Attributes hasil intersect, kemudian lakukan penjumlahan skor semua
variabel. Sehingga didapatkan skor total
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 19
iv. Tentukan interval skor dengan cara menjumlahkan nilai skor total maksimum
dengan skor total minimum. Dari perhitungan tersebut keudian ditentukan
tiga interval tingkat kerawanan yaitu rendah (dengan rentang skor 45-81),
sedang (dengan rentang skor 82-118), dan tinggi (dengan rentang skor 119-
155). Kemudian klasifikasi nilai interval kedalam atribut.
v. Lakukan Proses Dissolved dan pilih keterangan dari nama tingkat kerawanan
banjir yang telh dituliskan dalam atribut intersect sebelumnya.
vi. Maka akan keluar peta hasil dissolved berdasarkan tingkat kerawanan,
kemudian lakukan kategori untuk menampilkan keterangan kerawanan banjir.
vii. Langkah terakhir yaitu melakukan proses lay out pada peta kerawanan banjir
di D.I. Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 20
5) Acara V (Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan)
Gambar 5. Model Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan
Langkah-langkah dalam praktikum Acara V ini sebagai berikut:
i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta
kemiringan lereng, dan peta jenis tanah yang masing-masing sudah diberi
skor penentuan peta arahan lahan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
No. 837/kpts/Um/11/1980.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 21
ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan untuk
mengetahui kawasan lindung.
iii. Lakukan penjumlahan skor total pada atribut hasil intersect, dengan cara
menjumlahkan skor lereng, hujan dan jenis tanah.
iv. Dengan melihat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980,
langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan nama arahan pemanfaatan
lahan sesuai dengan peraturan tersebut.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 22
v. Selanjutnya lakukan proses dissolved dengan cara mencentang kriteria arahan
pada atribut intersect sebelumnya.
vi. Maka akan tampil peta arahan, kemudian dikategorikansesuai dengan nama
arahan. Selanjutnya dilakukan proses lay out pada peta arahan.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 23
6) Acara VI (Penentuan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)
Langkah-langkah dalam praktikum Acara VI ini sebagai berikut:
i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta
kemiringan lereng, dan peta jenis tanah.
ii. Langkah selanjutnya yaitu menentukan peta arahan seperti pada acara V
sebelumnya, namun penentuan peta arahan pemanfaaatan lahan dalam
praktikum ini menggunakan Kabupaten Bantul.
iii. Kemudian select ”kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman”
pada atribut hasil dissolved peta arahan. Dan jadikanlah kawasan budidaya
tanaman semusim tersebut menjadi format file shp tersendiri.
iv. Langkah selanjutnya yaitu add data penggunaan lahan Kabupaten Bantul.
Kemudian lakukan Explode Multi-Part Feature pada penggunaan lahan
tersebut. Lakukan update luas penggunaan lahan dalam hektar (ha).
v. Kemudian lakukan perintah query terhadap penggunaan lahan berupa sawah
irigasi. Setelah terselect, jadikanlah sawah irigasi sebagai format shp
tersendiri. Kemudian lakukan Explode Multi-Part Feature pada atribut luas
sawah irigasi tersebut.
vi. Lakukan perintah query terhadap luas sawah irigasi yang luasnya ≥ 5 ha
(berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980).
Kemudian di export kedalam bentuk shp.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 24
vii. Langkah terakhir yaitu add data peta administrasi Kabupaten Bantul,
kemudian di lay out peta lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten
Bantul
7) Acara VII (Penentuan Jaringan Listrik)
Langkah-langkah dalam praktikum Acara VII ini sebagai berikut:
i. Langkah pertama yaitu menghitung kebutuhan energi listrik berdasarkan
jumlah penduduk (KK)
ii. Diasumsikan wilayah menggunakan tegangan listrik sama tiap KK yaitu
sebesar 900 VA. Maka untuk menghitung kebutuhan energi listrik dengan
cara mengalikan jumlah KK dengan tegangan rata-rata kebutuhan energi 900
VA. Kebutuhan energi ini selanjutnya disebut sebagai kebutuhan energi
rumah tangga.
iii. Kebutuhan penerangan jalan sebesar 10% dari kebutuhan rumah tangga, dan
kebutuhan perkantoran, fasilitas sosial, fasilitas umum serta industri sebesar
20% dari kebutuhan rumah tangga.
iv. Kebutuhan energi listrik seluruh kawasan diperoleh dengan cara
menjumlahkan kebutuhan rumah tangga, penerangan jalan, perkantoran,
fasilitas sosial, fasilitas umum, dan industri.
v. Selanjutnya untuk penyusunan peta jaringan listrik didasarkan pada jaringan
jalan, karena pada umumnya jaringan listrik berasosiasi dengan jaringan jalan
menuju blok-blok permukiman.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 25
vi. Add data jaringan jalan Kota Yogyakarta, kemudian dikategorikan
berdasarkan kelas jalan yaitu arteri, kolektor dan lokal.
vii. Add data penggunaan lahan, untuk mengetahui blok-blok permukiman
viii. Kemudian create feature class dan membuat feature class dengan nama
jaringan listrik dengan tipe geometrinya yaitu polyline.
ix. Lakukan deliniasi polyline jaringan listrik bersampingan dengan jaringan
jalan, kemudian lay out hasil petanya.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 26
8) Acara VIII (penentuan Ruang Terbuka hijau)
Langkah-langkah dalam praktikum Acara VIII ini sebagai berikut:
i. Penentuan RTH berdasarkan jumlah penduduk, mengacu pada Permen PU
No. 05/PRT/M/2008.
ii. Selanjutnya penentuan RTH berdasarkan luas wilayah menurut Permen PU
No. 05/PRT/M/2008 minimal 30% dari jumlah keseluruhan wilayahnya.
iii. Dengan menggunakan bantuan ArcGis 9.3 dapat diketahuai luas wilayah
Kabupaten Gunungkidul dengan menggunakan fungsi ”calculate geometry”.
iv. Luas berdasarkan ArcGis 9.3 tersebut dihitung kebutuhan RTH-nya dengan
cara mengalikannya dengan skor minimal RTH yaitu 30%.
v. RTH yang ditentukan dalam praktikum VIII ini yaitu RTH non alami di
Kabupaten Gunungkidul berupa jalur hijau jalan, sempadan sungai, dan
sempadan pantai.
vi. Penentuan RTH non alami tersebut menggunakan bantuan software ArcGis
9.3 menggunakan buffer.
vii. Kriteria jarak buffer untuk jalan yaitu 15 m (arteri), 10 m (kolektor), dan 7 m
(lokal). Sempadan sungai kecil sebesar 15 m dan sungai besar 20 m.
Sempadan pantai sejauh 100 m. Semua kententuan tersebut mendasarkan
pada Permen PU No. 05/PRT/M/2008.
viii. Setalah dilakukan buffer, kemudian hasil buffer dilakukan union. Setelah itu
add field diberi keterangan kategori RTH. Lakaukan preses dissolved setelah
itu.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 27
ix. Langkah terakhir yaitu me-lay out peta RTH.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 28
F. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Acara I (Dominasi Penggunaan Lahan)
Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,
hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua
faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya
juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975,
dalam Arsyad, 1989).
Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan
manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi
kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan
lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan
pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian
dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan
penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam
penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, lalang,
perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke
dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya
(Arsyad, 2000).
Penggunaan lahan pada suatu wilayah sangat bervariasi. Namum pada
setiap unit administrasi tertentu, tentu wilayah tesebut memiliki penggunaan lahan
yang paling dominan. Misalnya saja pada daerah Kabupaten Kulonprogo memiliki
variasi penggunaan lahan pada 11 kecamatan pada wilayahnya. Variasi
penggunaan lahan berdasarkan analisis menggunakan ArcGis 9.3 disajikan dalam
print screen Tabel 1. Satuan unit administasi kecamatan kemudian dijadikan unit
pemetaan dominasi penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Masing-asing
unit kecamatan memiliki penggunaan lahan yang dominan, pada Tabel 1 diblok
warna merah muda. Dominasi pada 12 kecamatan di Kabupaten Kulonprogo
terdiri 3 jenis penggunaan lahan, yaitu (1) sawah irigasi, (2) kebun, dan (3)
permukiman. Dominasi sawah irigasi hanya terdapat di Kecamatan Galur (39,10%
dari luas wilayah). Kemudian dominasi kebun terdapat di Kecamatan Girimulyo
(38,13%), Kokap (56,53%), lendah (50,51%), Panjaitan (29,99%), dan Samigaluh
(38,88%). Dominasi permukiman terdapat di Kecamatan Kalibawang (30,99%),
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 29
Nanggulan (38,15%), Pengasih (36,47%), Sentolo (33,02%), Temon (27,08%)
dan Wates (35,81%).
Tabel 1.1 Penggunaan Lahan Pada Satuan Unit Kecamatan di Kab. Kulonprogo
Sumber: Analisis ArcGis 9.3
Dominasi penggunaan lahan kebun
sangat tergantung oleh kondisi
fisiografi wilayahnya. Pada kasus di
Kabupaten Kulon Progo dominasi
penggunaan lahan kebun terdapat
didaerah barat dan timur wilayahnya.
Pada bagian barat terdapat Perbukitan
Menoreh, sedangkan pada sebelah
timur terdapat Perbukitan Sentolo.
Kondisi fisiografis yang berbukit ini
yang menyebabkan pengolahan lahan
sebagai kebun menjadi favorit
masyarakat yang tinggal disekitar
bukit. Selanjutnya dominasi
permukiman di Kab. Kulonprogo mengikuti pola jalan utama yang ada pada
wilayahnya, baik Jalan arteri atau kolektor, serta jalur kereta api. Dominasi sawah
irigasi selalu berkaitan dengan keberadaan sungai atau pengairan yang lainnya.
Gambar 1.1 Fisiografi Kab. Kulon Progo (Kulon
Progo Dalam Angka, 2011)
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 30
Kecamatan galur menjadi satu-satunya kecamatan yang memiliki dominasi
penggunaan lahan sawah irigasi, hal ini karena daerahnya dialiri oleh Sungai
Progo. Hasil praktikum dominasi penggunaan lahan, disajikan pada Gambar 1.2.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 31
Gambar 1.2 Peta Dominasi Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 32
2) Acara II (Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Kawasan
Perlindungan Setempat).
Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
pembangunan berkelanjutan. (Keppres No. 32, 1990). Kawasan lindung tersebut
selanjutnya dibagi dalam empat yaitu, (1) kawasan yang memberikan
perlindungan kawasan bawahannya, (2) kawasan perlindungan setempat, (3)
kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan (4) kawasan rawan bencana alam.
Pada praktikum acara kedua ini membahas 2 kawasan lindung yaitu kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya dan kawasan perlindungan
setempat.
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya dibagi
menjadi tiga kawasan. Kawasan tersebut yaitu kawasan hutan lindung, bergambut
dan resapan air. Selanjutnya untuk mendukung adanya kawasan hutan lindung,
maka dibutuhkan kawasan penyangga pada area dimana terdapat hutan lindung.
Sedangkan kawasan perlindungan setempat terdiri dari sempadan pantai,
sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.
Penentuan kawasan tersebut ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan
berdasarkan Keppres No. 32, 1990 dan SK Menteri Pertanian No.
837/Um/11/1980.
Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang terletak di ujung utara D.I.
Yogyakarta. Karakteristik wilayahnya pada bagian utara yaitu daerah lereng
Gunung Merapi, bagian timur pusat wisata budaya dan daerah lahan kering,
bagian selatan merupakan pusat aglomerasi dari kota Yogyakarta terdiri dari pusat
pendidikan dan jasa, dan bagian baratnya yaitu pertanian lahan basah.
Berdasarkan paparan mengenai karakteristik Kabupaten Sleman, maka diperlukan
penentuan kawasan lindung untuk menjaga kelstarian daya dukung lingkungan
sesuai peruntukannya menganut pada SK Menteri Pertanian No. 837/Um/11/1980.
Data yang dibutuhkan untuk menganalisis kawasan lindung yaitu curah hujan,
jenis tanah, kemiringan lereng, serta peta sungai. Kabupaten Sleman merupakan
daerah yang terletak di wilayah hulu dari dua DAS yaitu DAS Progo dan Opak.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 33
Wilayahnya teletak didaerah Gunung Merapi, dan tidak terdapat waduk dan
kawasan bergambut. Kondisi inilah yang menyebabkan Kabupaten Sleman dilalui
oleh banyak sungai kecil maupun sungai besar karena letaknya di hulu. Kemudian
kawasan lindung di sempadan sungai pada wilayah Kabupaten Sleman
diasumsikan berdasarkan dua kriteria yaitu (1) sungai besar sejauh 20 meter
dikanan dan kiri badan sungai, dan (2) sungai kecil 15 meter. Berdasarkan analisis
penentuan kawasan lindung menggunakan bantuan software ArcGis 9.3, maka
diperoleh luasan kawasan lindung sebagai berikut:
Tabel 2.1 Kawasan Lindung di Kabupaten Sleman
Kawasan Lindung Luas (ha)
Kawasan Hutan Lindung 821,14
Kawasan Lindung Setempat Sempadan Sungai 4638,18
Kawasan Penyangga 3655,24
Total 9114,56
Sumber: Analisis ArcGis 9.3
Kawasan lindung terluas di Kabupaten Sleman berupa kawasan lindung
setempat sempadan sungai sebesar 51% dari luas keseluruhan kawasan lindung.
Hal ini dikarenakan Kabupaten Sleman terletak di daerah hulu dari dua DAS
(Progo dan Opak), sehingga banyak sungai besar dan sungai kecil melewati
daerahnya. Kondisi inilah yang membutuhkan perlindungan sempadan sungai
untuk melindungi fungsi utama sungai. Representasi gambar luas kawasan
lindung di Kabupaten Sleman, ditapilkan dalam Gambar 3.
Gambar 2.1 Luas Kawasan Lindung (Ha) di Kabupaten Sleman
Kawasan
Hutan Lindung
9%
Kawasan
Lindung
Setempat
Sempadan
Sungai
51%
Kawasan
Penyangga
40%
Luas Kawasan Lindung (ha)
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 34
Kawasan lindung sempadan sungai merata terdapat diseluruh kecamata di
Kabupaten Sleman. Sedangkan kawasan hutan lindung hanya terdapat ditiga
kecamatan yang berada di daerah Gunung Merapi yaitu Kecamatan Pakem, Turi
dan Cangkringan. Kawasan penyangga juga terdapat di tiga kecamatan tersebut
ditambah Kecamatan Prambanan, Gamping, dan sedikit pada daerah perbatasan
Seyegan dan Godean.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 35
Gambar 2.2 Peta Kawasan Lindung Bawahan dan Lindung Setempat Kab. Sleman
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 36
3) Acara III (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Longsor)
Wilayah Indonesia secara goegrafis rawan terhadap kejadian bencana
alam, salah satu bencana yang sering terjadi yaitu bencana longsor. Longsor
berdasarkan Permen PU NO.22/PRT/M/2007 adalah suatu proses perpindahan
massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga
terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan
berbentuk rotasi dan translasi. Pada prisipnya longsor terjadi apabila gaya
pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong
dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan
batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan
kepadatan tanah. Penetapan kawasan rawan bencana longsor didasarkan pada
karakteristik fisik alami pada suatu wilayah. Faktor inilah yang dapat menjadikan
pendorong terjadinya longsor. Faktor fisik alami yang dapat mendorong kejadian
longsor berdasarkan Permen PU NO.22/PRT/M/2007 terdiri dari 14 faktor, yaitu:
a) Curah hujan yang tinggi
b) Lereng yang terjal
c) Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal
d) Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat
e) Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng
f) Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor)
g) Susutnya muka air danau/bendungan
h) Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan
i) Terjadinya pengikisan tanah atau erosi
j) Adanya material timbunan pada tebing
k) Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani
l) Adanya bidang diskontinuitas
m) Penggundulan hutan
n) Daerah pembuangan sampah
Berdasarkan 14 faktor fisik alami tersebut, secara mikro faktor yang
dominan dan sangat umum terjadi di wilayah Indonesia yaitu curah hujan tinggi,
lereng yang terjal, dan jenis tanah yang rentan terhadap kejadian longsor. Dengan
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 37
penentuan berdasarkan 3 faktor ini sudah dimungkinkan untuk mencari daerah
rawan longsor pada suatu wilayah.
D.I. Yogyakarta merupakan wilayah yang perlu dipetakan daerah
kebencanaan longsornya. Sejalan dengan proses pembangunan berkelanjutan
perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang
dilakukan dengan prioritas utama pada penciptaan keseimbangan lingkungan.
Salah satu upaya yang diambil adalah melalui pelaksanaan penataan ruang yang
berbasis mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan keselamatan dan
kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat terutama di kawasan rawan
bencana longsor. Selanjutnya penentuan kawasan rawan bencana longsor di D.I.
Yogyakarta didasarkan pada tiga faktor alami utama pendorong kejadian longsor
yaitu curah hujan, tanah, dan kemiringan lereng. Penentuan kelas dan skor 3
faktor tersebut sebelumnya telah ditentukan berdasarkan SK Menteri Pertanian
No. 837/Um/11/1980.
Tabel 3.1 Skor dan Kelas Faktor Pendorong Longsor
Kelas
Skor Faktor Pendorong Longsor
Kemiringan
Lereng Jenis Tanah Intensitas Hujan
I 20 15 10
II 40 30 20
III 60 45 30
IV 80 60 40
V 100 75
Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Um/11/1980
Skor tinggi menandakan faktor tersebut dapat memicu longsor dengan
sangat tinggi pula. Selanjutnya dari 3 faktor tersebut dibuat peta untuk kemudian
dimasukkan skor paling tinggi pada masing-masing kriteria. Kemiringan lereng
dengan skor 100, skor tanah 75 dan skor hujan 40. Kemiringan lereng
diasumsikan memiliki tingkat pendorong longsor yang sangat tinggi, sehingga
skornya lebih tinggi dibandingkan dengan skor tanah maupun skor hujan. Setelah
melakukan proses skoring dengan memilih nilai tertinggi pada atribut ArcGis,
selanjutnya ketiga peta faktor pendorong longsor tersebut dilakukan proses
intersect. Sehingga didapatkan peta daerah rawan bencana longsor di D.I.
Yogyakarta. Hasil intersect tersebut merupakan area yang memiliki jenis tanah
regosol, terdapat pada kemiringan lereng >40 %, dan intensitas hujan >2250
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 38
mm/hari. Area yang termasuk kawasan rawan bencana longsor di D.I. Yogyakarta
terdapat di Kabupaten Sleman, tepatnya pada Kecamatan Pakem. Wilayah
Kecamatan Pakem, memang merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang
cukup tinggi >40 % dan tanahnya peka terhadap kejadian longsor yaitu tanah
regosol.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 39
Gambar 3.1 Peta Kawasan Rawan Bencana D.I. Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 40
4) Acara IV (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Banjir)
Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah (surface water) yang
relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai,
sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam
jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia dan
lingkungan. Selanjutnya yang dimaksud dengan Kawasan Rawan Banjir (KRB)
adalah kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan
frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulangkali).
Faktor penyebab banjir berdasarkan (Pedoman KRB, PU) terdiri dari tiga
faktor yaitu (1) faktor kondisi alam, (2) peristiwa alam, dan (3) faktor aktivitas
manusia. Faktor kondisi alam yang sangat berpengaruh contohnya yaitu topografi
dan kemiringan lereng. Faktor peristiwa alam yang umum menyebabkan kejadian
banjir yaitu faktor tingginya intensitas hujan yang jatuh pada suatu wilayah.
Faktor aktivtas manusia juga dapat memberikan dampak yang sangat nyata
terhadap banjir, salah satu contohnya yaitu penggunaan lahan semisal untuk
permukiman. Berkurangnya tutupan lahan akibat pemanfaatan lahan sebagai
permukiman akan berdampak berkurangnya daerah resapan air, akibatnya wilayah
tersebut rawan terhadap banjir. Sejalan dengan proses pembangunan yang
berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-
kegiatan yang dilakukan manusia pada suatu wilayah, dengan prioritas utama
untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan.
D.I. Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki karakteristik yang
sangat komplek dan beragam. Faktor kondisi alam sangat bervariasi dari gunung
hingga pesisir. Peristiwa alam seperti curah hujan juga sangat bervariasi
intensitasnya, tergantung dengan topografi, suhu, serta penyinaran matahari di
wilayahnya. Selanjutnya faktor aktivitas sangat mempengaruhi penggunaan lahan
di Yogyakarta seperti permukiman, akibatnya lahan perkotaan di Yogyakarta
semkin padat dengan bangunan permukiman. Kondisi inilah yang dapat memicu
terjadinya banjir di daerah D.I. Yogyakarta. Oleh karenanya berdasarkan ketiga
faktor tersebut, maka perlu dibuat peta Kawasan Rawan Banjir (KRB) D.I.
Yogyakarta.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 41
Penentuan Kawasan Rawan Banjir (KRB) di D.I. Yogyakarta dibuat
dengan metode skoring dari 3 data pemicu banjir, yaiut lereng, hujan dan
penggunaan lahan. Untuk kriteria lereng, daerah datar dianggap memiliki potensi
banjir yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang sangat curam,
sehhingga skor untuk daerah datar lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sangat curam. Intensitas hujan yang tinggi (>2250 mm/th) mendapatkan skor
tertinggi karena kemungkinan banjir juga tinggi. Selanjutnya penggunaan lahan
sebagai permukiman juga mendapat skor tertinggi, karena diasumsikan daerah
resapan air relatif sedikit di wilayah ini. Berikut ini merupakan tabel kriteria dan
skor dari tiga variabel tersebut.
Tabel 4.1 Kriteria dan Skor untuk Kemiringan Lereng
Kelas Kemiringan (%) dan kriteria Skor
I 0,00-8,00 (Datar) 100
II 8,01-15,00 (Landai) 80
III 15,01-25,00 (Agak Curam) 60
IV 25,01-40,00 (Curam) 40
V 40,01 atau lebih (Sangat Curam) 20
Sumber: Analisis Peneliti
Tabel 4.2 Kriteria dan Skor untuk Intensitas Hujan
Kelas Intensitas (mm/th) dan Kriteria Skor
I < 1750 (Sangat Rendah) 10
II 2000 (Rendah) 20
III 2250 (Sedang) 30
IV > 2250 (Tinggi) 40
Sumber: Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980
Tabel 4.3 Kriteria dan Skor untuk Penggunaan Lahan
Kelas Penggunaan Lahan Skor
I Hutan 5
II Perkebunan 10
III Perairan (badan air) dan Sawah Irigasi 15
IV Industri 20
V Permukiman 25
Sumber: Analisis Peneliti
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 42
Ketiga data tesebut kemudian ditambahkan pada atribut masing-asing peta, untuk
kemudian dilakukan proses intersect. Kemudian hasil intersect ditambahkan nilai
skor total, dan dilakukan interval pengkategorian kerawanan banjir yaitu rendah
(45-81), sedang (82-118), dan tinggi (119-155). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa wilayah Kodya Yogyakarta seluruhnya rawan terjadi banjir dengan kriteria
sangat tinggi. Kabupaten Bantul dan Sleman juga termasuk dalam kriteria rawan
banjir sangat tinggi. Kabupaten Sleman yang notabena wilayahnya merupakan
lereng dari Gunung Merapi kini wilayahnya semakin padat dengan permukiman
akibat daya dorong kampus dan pariwisata di wilayah tersebut. Kondisi ini
didukung dengan curah hujan yang tinggi, dimana pengaruh orografis terjadi
didaerah lereng Gunung Merapi. Akibatnya hujan yang turun di Kabupaten
Sleman sulit meresap kedalam tanah, karena lahan resapan air banyak berubah
menjadi lahan permukiman. Wilayah lain yang juga termasuk kategori rawan
banjir sangat tinggi yaitu Kabupaten Sleman. Daerah kaupaten Sleman merupakan
dataran rendah dengan permukiman yang cukup padat. Selain itu pada bagian
barat dan timur wilayahnya dilewati oleh sungai besar yaitu Sungai Progo dan
Opak. Kondisi inilah yang menyebabkan daerah tersebut rawan banjir dengan
intensitas tinggi. Wilayah Kabupaten Kulonprogo yang dekat dengan aliran
Sungai Progo (khususnya didaerah hilirnya) juga termasuk dalam kriteria rawan
banjir tinggi, sedangkan pada daerah utaranya termasuk kategori sednag.
Kabupaten Gunung Kidul termasuk dalam kategori rawan banjir rendah pada
bagian utara wilayahnya dan sedikit termasuk dalam kategori sedang dimana
terjadi aglomerasi permukiman disekitar pusat administrasi yaitu Wonosari.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 43
Gambar 4.1 Kawasan Rawan Bencana Banjir D.I.Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 44
5) Acara V (Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan)
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan propinsi yang
pemanfaatan lahannya perlu dikontrol. Hal ini dikarenakan pemanfaatan lahan di
beberapa daerah di DIY sudah banyak yang menyalahi aturan arahan pemanfaatan
lahan yang sebenarnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.
837/kpts/Um/11/1980 terdapat 4 fungsi kawasan yaitu (1) kawasan lindung, (2)
kawasan penyangga, (3) kawasan budidaya tanaman tahunan dan (4) kawasan
tanaman semusim dan permukiman. Keempat kawasan tersebut perlu ditetapkan
dan tetap dikontrol untuk menciptakan keselarasan dan kesembangan di DIY.
Beberapa masalah pemanfaatan lahan yang akhir-akhir ini mengancam Propinsi
DIY yaitu daerah Kabupaten Sleman yang notabena daerahnya merupakan dataran
tinggi hingga lereng Gunung Merapi, seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan
lindung, namun pembangunan perumahan serta hotel akan banyak di bangun di
daerah ini. Apabila pembangunan tersebut berada di kawasan lindung, maka akan
mengganggu keseimbangan alam di daerah DIY sendiri. Beberapa faktor yang
mempengaruhi penentuan arahan penggunaan lahan dapat berupa intensitas hujan,
kemiringan lereng dan jenis tanah. Dengan mengkombinasikan ketiga data
tersebut maka diperoleh indikator-indikator untuk menentukan suatu daerah
termasuk kawasan lindung atau bukan. Oleh karena itu penentuan peta arahan
fungsi pemanfaatan lahan di Propinsi DIY perlu dibuat dan diterapkan untuk
menjaga kelestarian dan keberlanjutan Propinsi DIY.
Peta arahan dibuat dengan mengkombinasikan peta tanah, lereng, dan
curah hujan di D.I. Yogyakarta. Kondisi Geografis yang bervariasi menciptakan
kondisi hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng juga beragam di D.I.
Yogyakarta.
a) Jenis Tanah di D.I. Yogyakarta
Jenis tanah yang ada di D.I. Yogyakarta terdiri dari tanah aluvial,
latosol, mediteran, kambisol, grumosol, dan regosol. Jenis tanah sangat
mempengaruhi kepekaan suatu daerah terhadap terjadinya erosi tanah
(erodibilitas). Wischmeier dan Mannering (1969) menyatakan bahwa
erodibilitas alami tanah merupakan sifat kompleks yang tergantung pada laju
infiltrasi tanah dan kapasitas tanah untuk bertahan terhadap penghancuran
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 45
agregat, serta pengangkutan oleh hujan dan aliran permukaan. Di negara-
negara tropis seperti Indonesia, kekuatan jatuhnya air hujan dan kemampuan
aliran permukaan menggerus permukaan tanah merupakan penghancur utama
agregat tanah.
D.I. Yogyakarta jenis tanahnya dibagi menjadi 5 kelas. Semakin tinggi
kelas menunjukkan bahwa semakin tinggi (peka) terhadap kejadian erosi.
Tanah yang tidak peka terhadap erosi pada daerah D.I. Yogyakarta yaitu
tanah aluvial (11156,41 ha). Tanah ini bersifat mudah menyerap air sehingga
cocok untuk lahan pertanian. Di daerah Yogyakarta tanah aluvial bahan
asalnya berasal dari Gunung Merapi umumnya lebih subur karena tergolong
gunung muda sehingga kaya akan unsur hara dan tersusun atas debu vulkanis
yang produktif. Sebaliknya tanah regosol merupakan hasil erupsi gunung
berapi, bersifat subur, berbutir kasar, berwarna keabuan, kaya unsur hara, pH
6-7, cenderung gembur, kemampuan menyerap air tinggi, dan mudah tererosi.
Hasil analisis menggunakan perangkat ArcGis 9.3 dapat diketahui
luasan berdasarkan masing-masing jenis tanah dan kelas kepekaan terhadap
erosinya. Caranya yaitu dengan membuat field baru pada tabel atribut,
kemudian lakukan perintah calculate geometry. Hasilnya Seperti disajikan
dalam tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Luas Jenis Tanah di DIY Berdasarkan Kepekaan Terhadap Erosi
Jenis Tanah Kelas Erodibilitas Luas (ha)
Aluvial I Tidak Peka 11156,41
Latosol II Kurang Peka 64740,5
Mediteran III Agak Peka 117814,89
Kambisol III Agak Peka 29925,67
Grumosol IV Peka 40620,06
Regosol V Sangat Peka 54324,38
Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3
Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa jenis tanah aluvial
merupakan tanah yang tidak peka terhadap erosi dengan luas 11156,41 ha.
Kemudian tanah latosol termasuk kategori tanah kurang peka terhadap erosi,
dengan luasan 64740,5 ha. Tanah yang bersifat agak peka terhadap erosi
terdiri dari jenis tanah mediteran dan kambisol dengan luas 147740,56 ha.
Tanah yang peka terhadap erosi merupakan tanah grumosol dengan luas
40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu
tanah regosol dengan luas 54324,38 h
Gambar 5
Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,
yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah
mediteran sangat banyak ditemui di Kabupaten
besar daerahnya merupakan daerah karst.
b) Intensitas Hujan di D.I. Yogyakarta
Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh
klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah
129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di
Bantul, Sleman dan terbanyak di Kabupaten Kul
terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan
daerahnya terluar terdapat di Kabupaten Gunungkidul.
Tabel 5.2 Luas Intensitas Hujan di DIY
Intensitas Hujan
(mm/th)
< 1750
2000
2250
> 2250
Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis
Luas (ha)
Tidak Peka
Tugas Mata Kuliah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi
40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu
tanah regosol dengan luas 54324,38 ha.
Gambar 5.1 Persentase Luasan kepekaan Tanah (%) di DIY
Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,
yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah
mediteran sangat banyak ditemui di Kabupaten Gunungkidul yang sebagian
besar daerahnya merupakan daerah karst.
Intensitas Hujan di D.I. Yogyakarta
Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh
klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah
129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di
Bantul, Sleman dan terbanyak di Kabupaten Kulonprogo. Intensitas hujan
terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan
daerahnya terluar terdapat di Kabupaten Gunungkidul.
Luas Intensitas Hujan di DIY
Intensitas Hujan
Kelas Klasifikasi
I Sangat Rendah
II Rendah
III Sedang
IV Tinggi
Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3
4%
20%
46%
13%
17%
Luas (ha) Kepekaan Tanah di DIY
Tidak Peka Kurang Peka Agak Peka Peka Sangat Peka
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
FakultasGeografi UGM | 46
40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu
Persentase Luasan kepekaan Tanah (%) di DIY
Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,
yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah
Gunungkidul yang sebagian
Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh
klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah
129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di
onprogo. Intensitas hujan
terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan
Klasifikasi Luas (ha)
Sangat Rendah 57872,4
Rendah 103361,35
Sedang 129252,79
Tinggi 28095,38
Sangat Peka
Gambar 5
Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di
Bantul dan di Gunungkidul.
sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada
daerah Gunungkidul tersebar disekitar W
hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan
suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas
hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lere
gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,
hal ini dikarenakan efek orografis terjadi pada daerah
tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada
ketinggian tertentu hingga me
pada daerah tersebut. Titik
tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan
tanah yang memiliki agregat kurang kuat.
Luas (ha) Intensitas Hujan DIY
Tugas Mata Kuliah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi
Gambar 5.2 Persentase Luasan Intensitas hujan di DIY
Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di
Bantul dan di Gunungkidul. Kabupaten Bantul yang memiliki intensitas hujan
sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada
daerah Gunungkidul tersebar disekitar Wonosari. Hal ini disebabkan
hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan
suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas
hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lere
gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,
hal ini dikarenakan efek orografis terjadi pada daerah-daerah menuju dataran
tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada
ketinggian tertentu hingga mencapai titik jenuh dan akhirnya turunlah hujan
pada daerah tersebut. Titik-titik hujan akan mempercepat terjadinya erosi
tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan
tanah yang memiliki agregat kurang kuat.
18%
32%
41%
9%
Luas (ha) Intensitas Hujan DIY
Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
FakultasGeografi UGM | 47
Persentase Luasan Intensitas hujan di DIY
Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di
Kabupaten Bantul yang memiliki intensitas hujan
sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada
Hal ini disebabkan turunnya
hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan pada
suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas
hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lereng
gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,
daerah menuju dataran
tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada
ncapai titik jenuh dan akhirnya turunlah hujan
titik hujan akan mempercepat terjadinya erosi
tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan
Luas (ha) Intensitas Hujan DIY
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 48
Gambar 5.3 Proses Terjadinya Hujan Orografis
c) Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta
Sebagian besar daerah di Propinsi D.I. Yogyakarta memiliki
kemiringan lereng datar, dengan luas 90316,24 (ha) atau 25% dari luas
keseluruhan DIY. Daerah datar terdapat pada Kabupaten Bantul, Sleman dan
Kulonprogo pada daerah dekat pesisir selatannya. Pada Kabupaten
Gunungkidul tidak terdapat daerah datar, hal ini dikarenakan daerah ini
merupakan daerah pengangkatan gunung merapi purba. Sehingga pada daerah
pesisir selatan Gunungkidul memiliki lereng yang curam.
Tabel 5.3 Luas Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta
Kelas Kemiringan (%) Klasifikasi Luas (ha)
I 0,00-8,00 Datar 90316,24
II 8,01-15,00 Landai 35619,66
III 15,01-25,00 Agak Curam 59104,37
IV 25,01-40,00 Curam 78280,76
V 40,01 atau lebih Sangat Curam 47769,39
Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 49
Gambar 5.4 Persentase Luasan Kemiringan Lereng di DIY
Kemiringan lereng pada suatu daerah juga menjadi salah satu faktor
penting dalam menentukan suatu fungsi kawasan. Daerah yang memiliki
lereng sangat curam, akan rawan terjadi erosi karena penampang wilayahnya
miring sehingga akan mempercepat laju aliran air penyebab erosi tanah.
Daerah dengan lereng sangat curam di Propinsi D.I. Yogyakarta juga berada
di lereng Gunung Api aktif Merapi, sehinga daerah ini juga rawan terjadi
bencana seperti luapan lahar panas maupn lahar dingin.
d) Arahan Fungsi Pemanfaatan Lahan di D.I. Yogyakarta
Karakteristik hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng di D.I.
Yogyakarta kemudian dapat dijadikan dasar penentuan arahan fungsi
pemanfaatn lahan. Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.
837/kpts/Um/11/1980 menyatakan bahwa kawasan lindung adalah kawasan
yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan
dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna
kepentingan hidroorologi, yaitu tata air, mencegah banjir dan erosi serta
memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan yang
bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya.
29%
12%
19%
25%
15%
Luas (ha) Kemiringan Lereng DIY
Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 50
Tabel 5.4 Luas Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta
Kriteria Arahan Luas (ha)
Skor Total > 175 Kawasan Lindung 58138,06
Skor Total 125-175 Kawasan
Penyangga 50465,28
Skor Total < 125 dan Kemiringan
Lereng > 8%
Kawasan Budidaya
Tanaman Tahunan 2299,69
Skor Total < 125 dan Kemiringan
Lereng ≤ 8%
Kawasan Budidaya
tanaman Semusim
dan Permukiman 207678,88
Luas Total 318581,91
Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3
Daerah yang memiliki kemiringan lereng di atas 40%, dengan curah
hujan sangat tinggi, dan jenis tanah yang sangat peka tehadap erosi (sepeti
tanah regosol) sebaiknya tidak dimanfaatkan oleh aktivitas manusia.
Melainkan daerah tersebut difungsikan sebagai kawasan lindung untuk
mendukung kelestarian wilayah pada daerah disekitarnya.
Gambar 5.5 Tanah Regosol yang berada pada lereng yang sangat curam
(pegunungan) menyebabkan daerah ini rawan terjadi erosi
Kawasan lindung di D.I. Yogyakarta berkisar 18% dari total luas
wilayahnya. Kawasan ini terdapat di Gunung Merapi yang satatusnya menjadi
daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai-sungai besar di Yogyakarta.
Kawasan ini tidak boleh tersentuh oleh aktivitas manusia, karena berfungsi
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 51
sebagai kawasan lindung. Selain dapat melindungi daerah setempat,
diharapkan juga dapat melindungi daerah-daerah disekitarnya hingga daerah
hillir. Apabila daerah hulu terlindungi, maka ancaman seperti banjir dan erosi
yang sering terjadi dapat diminimalisisir. Gambar 5.5 Tanah Regosol yang
berada pada lereng yang sangat curam (pegunungan) menyebabkan daerah ini
rawan terjadi erosi
Gambar 5.6 Persentase Luasan Arahan Fungsi Kawasan di DIY
Kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman memiliki
cangkupan wilayah yang cukup luas, berkisar 65% dari total luas wilayah
DIY. Yaitu terdapat di Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Kawasan ini boleh
ada aktivitas manusia seperti mengolah tanah menjadi tempat budidaya
tanaman dan permukiman. Selanjutnya kawasan penyangga merupakan
wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan kawasan lindung dan
teridentifikasi, untuk melindungi kawasan lindung dari dampak negatif
kegiatan manusia. Dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan
tujuan konservasi yang dapat dilakukan. Menurut Bismark dan Sawitri (2006)
Model daerah penyangga berdasarkan kondisi topografi, pengelolaan lahan,
dan sosial ekonomi masyarakat dibagi ke dalam 3 jalur (zonasi) yaitu (1) jalur
hijau, dikelola sebagai hutan kemasyarakatan, (2) jalur interaksi berupa
agroforestry, pertanian pekarangan, desa, hutan rakyat, dan wisata alam (3)
jalur budidaya dengan pengembangan pertanian intensif, sawah, pertanian,
ladang, kebun, dan agroforestry. Kawasan penyangga di D.I. Yogyakarta
18%
16%
1%
65%
Luas (ha) Arahan Fungsi Kawasan
Kawasan Lindung
Kawasan Penyangga
Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Kawasan Budidaya tanaman Semusim dan Permukiman
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 52
berada di daerah Sleman (dekat kawasan lindung), Gunungkidul, dan
Kulonprogo. Kawasan budidaya tanaman tahunan berada di daerah
Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul (berbatasan dengan Gunungkidul).
Kawasan ini difungsikan sebagai hutan produksi, perkebunan, dan tanaman
buah-buahan.
Beberapa Arahan fungsi pemanfaatan lahan tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa fungsi kawasan merupakan permintaan lahan berdasarkan
karekteristik fisik menjadi kawasan lindung, penyangga, budidaya tanaman
tahunan dan budidaya tanaman semusim. Keempat fungsi ini harus tetap
dikontrol pengawasannya, karena setiap fungsi kawasan satu dengan fungsi
kawasan yang lainnya saling terkait dan saling mendukung. Penempatan
fungsi kawasan pada daerah sesuai dengan karakteristik daerahnya akan
menjaga keberlanjutan dan kelestarian lingkungan di Propinsi D.I.
Yogyakarta.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 53
Gambar 5.7 Peta Arahan Fungsi Lahan D.I. Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 54
6) Acara VI (Penentuan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)
Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya
pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan
Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian
Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk
mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. (UU. No.
41 Tahun 2009). Akhir-akhir ini kawasan pertanian semakin terancam
keberadaannya, dan semakin megecil luasannya. Kondisi ini disebabkan oleh laju
pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sementara itu luasan lahan
pertanian tidak dapat meningkat. Faktor selanjutnya yaitu semakin pesatnya
perkembangan ekonomi dan industri juga dapat merambah pada lahan pertanian.
Akibatnya lahan pertanian semakin menurun luasannya. Desakan-desakan
terhadap penurunan area pertanian, memerlukan upaya strategis pemantauan
(pemetaan) terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan supaya lahan
pertanian tetap terjaga.
Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di D.I.
Yogyakarta. Secara garis besar satuan fisiografi Kabupaten Bantul sebagian besar
berada pada dataran aluvial (Fluvio Volcanic Plain). Perbukitan di sisi barat dan
timur dan fisiografi pantai dibagian selatan. Adapun pembagian satuan fisiografi
yang lebih rinci di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut:
a) Daerah di bagian Timur merupakan jalur perbukitan berlereng terjal
dengan kemiringan lereng dominan curam (>70%) dan ketinggian
mencapai 400 meter dari permukaan air laut. Daerah ini terbentuk oleh
formasi Nglanggran dan Wonosari.
b) Daerah di bagian Selatan ditempati oleh gisik dan gumuk-gumuk pasir
(fluviomarine) dengan kemiringan lereng datar-landai. Daerah ini
terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal.
c) Daerah di bagian tengah merupakan dataran aluvial (Fluvio Volcanic
Plain), yang dipengaruhi oleh Graben Bantul dan terendapi oleh material
vulkanik dari endapan vulkanik Merapi.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 55
d) Daerah di bagian Barat merupakan perbukitan rendah dengan kemiringan
lereng landai-curam dan ketinggian mencapai 150 meter dari permukaan
air laut. Daerah ini terbentuk oleh formasi Sentolo.
Lahan pertanian pangan di Kabupaten Bantul harus tetap dikontrol
areanya. Hal ini demi mencegah perkembangan pengaruh meluasnya daerah
pusat jasa di Yogyakarta yaitu di Kodya Yogyakarta. Kabupaten Bantul berada
disebelah selatan dari Kodya Yogyakarta, sehingga pengaruh perkembangan kota
dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap lahan pertanian di Bantul. Sehingga
dibutuhkan perencanaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
Perencanaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul
diperoleh dengan cara menganalisis data curah hujan, lereng dan jenis tanah
dengan menggunakan software ArcGis 9.3. Selanjutnya dilakukan skoring
berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980. Ketiga peta
kemudian di intersect kemudian dilakukan perhitungan skor total untuk
kemudian dikategorikan sesuai aturan arahan pemanfaatan lahan. Selanjutnya
dibutuhkan data pendukung berupa peta penggunaan lahan. Penggunaan lahan
dibutuhkan untuk mengetahui daerah persawahan di Kabupaten Bantul. Dengan
mengkombinasikan antara penggunaan lahan dan arahan pemanfaatan lahan, dan
pemilihan area ≥ 5 Ha untk area sawah maka didapatkan kawasan pertanian
pangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul.
Hasil analisis ArcGis 9.3 menunjukkan bahwa, kawasan pertanian pangan
berkelanjutan di Kabupaten Bantul seluas 14936,86 ha mengelompok pada area
tengah. Area tengah dari Kabupaten Bantul merupakan dataran aluvial (Fluvio
Volcanic Plain), yang dipengaruhi oleh Graben bantul dan terendapi oleh
material dari endapan vulkanik Merapi. Kondisi inilah yang membuat area
tersebut terpilih menjadi area pertanian berkelanjutan. Pada daerah timur dan
barat sedikit terdapat lahan pertanian, karena fisiografi pada daerah tersebut yaitu
perbukitan formasi Nglanggran dan Wonosari (timur) dan formasi Sentolo di
baratnya. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan tersebut nantinya akan
menjadi pedoman arahan pembangunan kedepan tanpa mengganggu kelestarian
lahan pangan.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 56
Gambar 6.1 Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kab. Bantul
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 57
7) Acara VII (Perencanaan Jaringan Listrik)
Ketergantungan masyarakat akan pemakaian tenaga/daya (Watt) listrik
pada saat ini sangat tinggi. Hal ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan
penerangan, tetapi juga untuk mendukung kegiatan ekonomi dan kebutuhan hidup
mereka. Peningkatan kebutuhan energi listrik tidak sebanding dengan penigkatan
penyediaan energi listrik. Kapasitas daya terpasang masih tetap, sementara
kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
penduduk dan kegiatan pendukungnya. Fitrianto, dkk (tth) menjelaskan bahwa
akibat yag dapat terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yaitu seringnya
terjadi pemadaman aliran listrik, khususnya pada jam-jam beban puncak atau
dengan kata lain beban pemakaian melebihi daya yang tersedia. Kondisi ini
mengharuskan dilakukannya pengembangan perencanaan dan penyediaan tenaga
listrik pada suatu wilayah untuk melayani konsumen setiap hari. Pemetaan
jaringan listrik dirasa sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang
sering terjadi pada jaringan listrik, seperti kasus pemadaman.
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota dengan populasi penduduk
terpadat di Indonesia. Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke
tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa
dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak
493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka harapan
hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25
tahun dan perempuan usia 76,31 tahun. (Pemkot Yogyakarta, 2002). Berdasarkan
hasil sensus penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk di Kota Yogyakarta sebesar
388.627 jiwa. Hal ini merupakan kondisi yang cukup padat penduduk, mengingat
luasan Kota Yogyakarta sendiri hanya 318.581,91 ha / 3.185, 819 km2. Dengan
membandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (dalam km2), maka
didapatkan nilai kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta sebesar 121,99 jiwa/
km2. Hal ini berarti pada area dengan luas 1 km
2 terdapat penduduk sebesar
121,99 jiwa.
Padatnya jumlah penduduk di Kota Yogyakarta membuat kebutuhan akan
listrik semakin tinggi dan sangat penting. Oleh karena itu, pemetaan jaringan
listrik pada kawasan Kota Yogyakarta sangat diperlukan untuk mengetahui
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 58
sebaran jaringan distribusi. Dengan mengetahui sebaran jaringan distribusi, maka
selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemantauan pendukung
Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selanjutnya, pembuatan peta jaringan listrik
diasumsikan mengikuti arah jalan menuju blok-blok permukiman (Gambar 7.1).
Gambar 7.1 Perencanaan jaringan Listrik yang Berasosiasi dengan Jalan
(Djumadi,1997)
Pembuatan peta jaringan listrik menggunakan bantuan software ArcGis 9.3 dan
didukung dengan data jaringan jalan serta penggunaan lahan pada daerah Kota
Yogyakarta. Data penggunaan lahan bertujuan untuk mengetahui sebaran
permukiman pada suatu wilayah. Selanjutnya peta jalan berfungsi sebagai dasar
penentuan gardu jaringan listrik. Jaringan listrik pada umumnya berada disekitar
jaringan jalan. Jalan yang digunakan berupa jalan aspal utama meliputi jalan
nasional, jalan propinsi dan jalan kabupaten. Selanjutnya dilakukan perhitungan
kebutuhan listrik, dengan mendasarkan pada data Kepala Keluarga.
Tabel 7.1 Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) D.I. Yogyakarta
No. Wilayah Jumlah Penduduk Jumlah KK
2009 2010 2009 2010
1 Kota Yogyakarta 462.663 388.627 156.254 127.960
2 Kab. Bantul 922.566 911.503 250.232 262.766
3 Kab. Kulonprogo 374.921 388.869 101.059 108.889
4 Kab. Gunungkidul 688.153 675.382 190.907 193.491
5 Kab. Sleman 1.053.566 1.093.110 333.244 344.874
D.I. Yogyakarta 3.501.869 3.457.491 1.031.696 1.037.980
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta, 2009 dan 2010.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 59
Kebutuhan listrik didasarkan pada jumlah KK dikarenakan setiap KK tinggal pada
satu rumah dengan kebutuhan listrik tertentu. Pada wilayah perkotaan asumsi tiap
KK memakai sambungan listrik sebesar 900 VA. Selanjutnya dilakukan
perhitungan kebutuhan listrik rumah tangga dengan mengalikan daya tegangan
listrik rata-rata di kota dengan jumlah KK. Ketentuan peruntukan kebutuhan
listrik ditetapkan sebagai berikut:
a) Kebutuhan rumah tangga = Jumlah KK x 900 VA
b) Penerangan jalan = 10% x kebutuhan listrik rumah tangga (poin a)
c) Perkantoran, fasilitas sosial, dan fasilitas umum = 20% x kebutuhan
listrik rumah tangga
d) Industri = 20% x kebutuhan listrik rumah tangga
e) Kebutuhan seluruh kawasan ditentukan dengan cara menjumlahkan
seua kebutuhan listrik (poin a + b + c + d)
Tabel 7.2 Kebutuhan Listrik Kota Yogyakarta
No Peruntukan Kebutuhan Listrik
A. Kebutuhan rumah tangga 115.164.000
B. Penerangan Jalan (10%) 11.516.400
C. Perkantoran, Fasilitas sosial, dan Fasilitas Umum
(20%) 23.032.800
D. Industri (20%) 23.032.800
E. Kebutuhan seluruh kawasan (VA) 172.746.000
Konversi (KW) 172.746 KW
Sumber: Perhitungan Data Sekunder
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 7.2 dapat disimpulkan bahwa kebutuhan
listrik untuk seluruh kawasan Kota Yogyakarta sebesar 172.746 KW. Dengan
mengatahui kebutuhan listrik untuk seluruh wilayah di Kota Yogyakarta, maka
dapat diproyeksikan kebutuhan listrik untuk tahun-tahun kedepannya.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 60
Gambar 7.2 Peta Jaringan Listrik Kota Yogyakarta
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 61
8) Acara VIII (Perencanaan Ruang Terbuka Hijau)
Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008
adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih
bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara
alamiah maupun yang sengaja ditanam. Rung terbuka hijau dibagi menjadi dua
yaitu (1) RTH privat, dan (2) RTH publik. RTH privat merupakan ruang terbuka
hijau yang dikelola oleh institusi tertentu atau perseorangan, sedangkan RTH
publik merupakan ruang terbuka hijau yang dikelola oleh pemerintah. Tujuan dari
penentuan RTH pada suatu wilayah yaitu menjaga ketersediaan lahan sebagai
kawasan resapan air dan menjaga keseimbangan serta keserasian lingkungan pada
suatu wilayah. RTH selain berfungsi secara ekologis, juga dapat berfungsi secara
sosial, ekonomi, budaya dan estetika. Secara fisik Ruang Terbuka Hijau (RTH)
dibagi menjadi dua yaitu alami dan non alami. RTH alami berupa kawasan
lindung, taman nasional dan habitat liar lainnya. Sedangkan RTH non alami
berupa taman, lapangan, pemakaman, jalur hijau jalan, sempadan sungai maupun
pantai.
Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu wilayah didasarkan
atas tiga kriteria yaitu, (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk, dan (3) kebutuhan
fungsi tertentu. Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu wilayah memiliki
proporsi minimal 30% dari luas wilayahnya. Nilai minimal tersebut terdiri dari
20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Berdasarkan jumlah
penduduk, RTH diatur berdasarkan acuan Permen PU No. 05/PRT/M/2008,
seperti berikut.
Tabel 8.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk
Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 62
Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi D.I.
Yogyakarta. Wilayahnya terletak dibagian timur dan berbatasan langsung dengan
Propinsi Jawa Tengah di bagian timur dan utaranya. Wilayah Kabupaten
Gunungkidul secara fisiografis daerahnya merupakan daerah karst pada bagian
selatannya, yang terdapat pada kompleks Pegunungan Sewu. Kepadatan penduduk
di wilayah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Propinsi
Yogyakarta. Kondisi inilah yang membuat RTH alami masih cukup terjaga. RTH
non alami di Kabupaten Gunungkidul dirasa membutuhkan perhatian lebih. Hal
ini dikarenakan seiring dengan pembangunan jalur lintas selatan, maka pelebaran
jalan dan perbaikan jalan di Kabupaten Gunungkidul cukup gencar. Kondisi
tersebut akan mengancam keberadaan jalur hijau di wilayah ini. Wisata minat
khusus pada wilayah pantai dan sungai juga sangat dikembangkan di Kabupaten
Gunungkidul. Hal tersebut juga dikhawatirkan dapat merusak RTH di sempadan
sungai maupun sempadan pantai. Perencanaan RTH non alami di Kabupaten
gungkidul sangat dibutuhka untuk menjaga kelstarian fungsi ekologis dari ruang
hijau.
Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) non alami di Kabupaten
Gunungkidul berupa jalur hijau jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai.
Jalur hijau jalan direncanakan sebagai RTH dengan memanfaatkan Ruang Milik
Jalan (RUMIJA) dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Jalan arteri: 15 meter
b) Jalan kolektor: 10 meter
c) Jalan lokal: 7 meter
Penentuan RTH sempadan sungai ditetapkan sejauh 15 meter untuk sungai tidak
bertanggul dengan kedalaman > 3 meter. Sungai-sungai besar ditetapkan sejauh
20 meter. Selanjutnya sempadan pantai sejauh 100 meter.
Perhitungan jumlah penduduk berdasarkan luas wilayah menggunakan
bantuan software ArcGis 9.3. Dari statistik atribut diperoleh luasan total
Kabupaten Gunungkidul sebesar 148.414,11 ha. Kemudian dari luas tersebut
dihitung 30% dari luas keseluruhan wilayah, maka didapatkan luasan RTH
minimal sebesar 44.524,23 ha. Selanjutnya melakukan buffering untuk
mengetahui luasan RTH non alami di Kabupaten Gunungkidul. RTH non alami
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 63
tersebut berupa jalan (arteri, kolektor, dan lokal), sempadan sungai, dan sempadan
pantai. Penentuan jarak buffer didasarkan atas peraturan yang diterbitkan oleh PU
No. 05/PRT/M/2008. Hasil analisis buffering kemudian dilakukan proses union
untuk menggabungkan semua RTH non alami dalam 1 format shp. Hasil analis
RTH non alami di Kabupaten Gunungkidul diketahui sebesar 5.556,90 ha.
Sehingga kekurangan RTH total yaitu 38.967,33 ha. Kekurangan ini belum
ditambah dengan nilai RTH alami. Apabila ditambahkan dengan RTH alami,
maka luasan kekurangan RTH dapat semakin menurun. Hasil analisis perhitungan
RTH berdasarkan luas wilayah disajikan dalam Tabel 8.2
Tabel 8.2 Perhitungan RTH berdasarkan luasan wilayah
Luas Wilayah Kabupaten
(ha)
Luas RTH
(30%)
Luas RTH yang
Direncanakan
(ha)
Kekurangan
Luas RTH
(ha)
148414,11 44524,23 5556,90 38967,33
Sumber: Analisis Peneliti menggunakan ArcGis 9.3
Selanjutnya dicari luasan RTH berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan
acuan Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Hasil perhitungannya disajikan dalam
Tabel 8.3 berikut.
Tabel 8.3 Perhitungan RTH berdasarkan jumlah penduduk
Sumber: Analisis Peneliti Mengacu Pada Permen PU No. 05/PRT/M/2008
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 64
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 8.3 maka dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Bantul membutuhkan luasan RTH sebesar 27,52 ha. Bentuk RTH ada
tiga variasi yaitu unit I (Taman RT), unit II (Taman RW), dan unit III (Taman
Kelurahan). Tingkatan taman di Kabupataen Gunungkidul hanya mencapai
tingkat taman kelurahan, hal ini dikarenakan tidak ada jumlah penduduk pada tiap
kecamatan yang melebihi ketentuan taman kecamatan yaitu 120.000 jiwa. Jumlah
unit taman yang dibutuhkan diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk
kecamatan dengan jumlah jiwa pada unit lingkungan berdasarkan Permen PU No.
05/PRT/M/2008. Kebutuhan taman total di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 229
unit yaitu mencangkup Taman RT, Taman RW, dan Taman Kelurahan.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 65
Gambar 8.1 Peta Ruang Terbuka Hijau Non Alami Kabupaten Gunungkidul
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 66
G. KESIMPULAN DAN SARAN
1) Kesimpulan
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional. Adanya potensi dan permasalah pada
suatu wilayah dibutuhkan penataan dan perencanaan secara matang dalam
pengembangan pembangunan wilayah kedepannya. Penataan dan
perencanaan pembangunan wilayah akan lebih komprehensip apabila
menggunakan pendekatan geografi. Hal ini dikarenakan pendekatan geografi
menelaah potensi dan permasalahan dari aspek fisik maupun aspek sosialnya.
Hasil praktikum Acara I menjelaskan bahwa penggunaan lahan
dominan pada satuan unit kecamatan di Kabupaten Kulonprogo memiliki 3
variasi yaitu kebun, permukiman, dan sawah irigasi. Hasil praktikum Acara II
dapat disimpulkan bahwa kawasan lindung setempat dan sempadan sungai di
Kabupaten Sleman mencapai 51% dari luas total wilayahnya, dan sisanya
merupakan kawasan lindung bawahan. Hasil praktikum Acara III dapat
disimpulkan bahwa kawasan rawan bencana longsor Propinsi D.I. Yogyakarta
berada di Kabupaten Sleman tepatnya di Kecamatan Pakem. Hasil praktikum
Acara IV dapat disimpulkan bahwa wilayah Kodya Yogyakarta seluruhnya
rawan terjadi banjir dengan kriteria sangat tinggi. Hasil praktikum Acara V
dapat disimpulkan bahwa 65% dari luas total wilayah D.I. Yogyakarta
merupakan kawasan budidaya tanaman semusism dan permukiman, kawasan
lindung berada di Kabupaten Sleman. Hasil praktikum Acara VI dapat
disimpulkan bahwa kawasan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten
Bantul mengelompok pada area tengah karena merupakan dataran aluvial
(Fluvio Volcanic Plain). Hasil praktikum Acara VII dapat disimpulkan bahwa
kebutuhan listrik untuk seluruh kawasan Kota Yogyakarta sebesar 172.746
KW. Hasil praktikum Acara VIII dapat disimpulkan bahwa RTH berdasarkan
luasan wilayah di Kabupaten Gunungkidul sebesar 44524,23 ha, sedangkan
berdasakran jumlah penduduk sebesar 27,52 ha.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 67
2) Saran
Hasil praktikum matakuliah tata wilayah merupakan salah satu cara
untuk mengetahui potensi serta permasalahan yang ada pada wilayah di D.I.
Yogyakarta. Selanjutanya potensi dan permasalahan yang ada pada wilayah
ditata dan dikelola menggunakan bantuan software ArcGis 9.3.
Pengembangan lebih lanjut mengenai pembangunan wilayah sangatlah
tergantung pada stakeholder pemangku kebijakan. Oleh karena itu peran
pemerintah D.I Yogyakarta dan 4 kabupaten serta 1 kota madya sangatlah
dibutuhkan. Perencanaan wilayah supaya lebih baik dari tahun ketahun
merupakan keinginan semua pihak maupun kalangan, langkah selanjutnya
yang dibutuhkan untuk mengembangkan wilayahnya yaitu dengan cara
pengelolaan secara terpadu antar disiplin, antar sektor dan antar dinas.
Pemberdayaan dan pemahaman masyarakat kecil terhadap potensi dan
ancaman rawan bencana juga sangat dibutuhkan, untuk menanggulangi resiko
terjadinya bencana tersebut.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 68
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Kulon Progo. 2012. Kabupaten
Kulon Progo Dalam Angka Tahun 2011. Kulonprogo: Bappeda
Kulonprogo.
Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta. 2009. Hasil Sensus Penduduk
Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: BPS Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta. 2010. Hasil Sensus Penduduk
Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: BPS Yogyakarta.
Djumadi, Martin B dan bambang A. 1997. Instalasi Listrik Bangunan. Penerbit
Angkasa . Bandung
Fitrianto, dkk. Tth. Prakiraan Kebutuhan Energi Listrik Tahun 2006 – 2015 pada
PT. PLN (persero) Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) di Wilayah Kota
Semarang dengan Metode Gabungan. Semarang: Undip
[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia. 2008. Pedoman dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau d
Kawasan Perkotaan Nomor: 05/PRT/M/2008. Jakarta: Kementerian
Pekerjaan Umum.
[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia. 2007. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana
Longsor Nomor: 22/PRT/M/2007. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.
[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik
Indonesia. Tth. Pedoman Pengendalian Peanfaatan Ruang di Kawasan
Rawan Bencana Banjir (KRB). Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.
[Kementerian Pertanian] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1980. Surat
Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837/Kpts/Um/11/1980 Tentang
Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta: Kementerian
Pertanian.
Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma
Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 69
[Keputusan Presiden Republik Indonesia]. 1990. Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor: 32 Tahun 1990. Jakarta: Republik Indonesia
Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. 2012. Kabupaten Kulonprogo Dalam Angka
Tahun 2011. Kulonprogo: BPS Kabupaten Kulonprogo.
Pemerintah Kota Yogyakarta. 2002. Kondisi Geografis Kota Yogyakarta. Online:
http://www.jogjakota.go.id.
[Undang-Undang Republik Indonesia]. 2009. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan. Jakarta: Republik Indonesia
Wischmeier, W.H., and J. V. Mannering. 1969. Relation of Soil Properties to its
Erodibility. Soil Sci. Am. Proc. 33: 131-137.