70
LAPORAN PRAKTIKUM MATAKULIAH ”TATA WILAYAH” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah yang dibimbing Oleh Bapak Dr. Andri Kurniawan, M.Si. Oleh: Nasobi Niki Suma (12/338300/PGE/0964) PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS GEOGRAFI UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKRTA 2013

Laporan Tata Wilayah

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Tugas Tata Wilayah

Citation preview

Page 1: Laporan Tata Wilayah

LAPORAN PRAKTIKUM MATAKULIAH

”TATA WILAYAH”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah

yang dibimbing Oleh Bapak Dr. Andri Kurniawan, M.Si.

Oleh:

Nasobi Niki Suma

(12/338300/PGE/0964)

PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKRTA

2013

Page 2: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 1

LAPORAN PRAKTIKUM MATAKULIAH

”TATA WILAYAH”

Nasobi Niki Suma* *Mahasiswa S2 Geografi, Fakultas Geografi UGM

Email: [email protected]

Hp: 081 216 353 123

A. LATAR BELAKANG

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap

unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif

dan/atau aspek fungsional. (UU No. 26/2007). Pengertian wilayah sangat penting

untuk diperhatikan apabila berbicara tentang program-program pembangunan

yang terkait dengan pengembangan wilayah dan pengembangan kawasan.

Pegembangan kawasan terkait dengan pengembangan fungsi tertentu dari suatu

unit wilayah, mencangkup fungsi sosial, ekonomi, budaya, politik maupun

pertahanan dan keamanan. Sementara itu, pengembangan wilayah seharusnya

mempunyai cangkupan yang lebih luas yaitu menelaah keterkaitan antarkawasan.

Daerah Istimewa Yogyakarta merupukan salah satu propinsi di Indonesia

yang luasan wilayahnya cukup kecil (318581,91 ha) namun memiliki karakteristik

wilayah yang kompleks. D.I. Yogyakarta terbagi menjadi 4 kabupaten (Sleman,

Bantul, Kulonprogo, dan Gunung Kidul) dan 1 kota madya (Kota Yogyakarta)

.Kondisi fisik dan konsisi sosial di D.I. Yogyakarta sangat beranekaragam

terbentang dari utara (Gunung Merapi) hingga selatan (laut selatan Jawa). Untuk

mengembangkan dan menata wilayah Yogyakarta maka diperlukan pedoman dan

aturan khusus yang mengatur tentang berbagai penentuan kawasan baik secara

fisik maupun secara sosial. Perencanaan untuk mengembangkan dan membangun

wilayah Yogyakarta sangat diperlukan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan

daya dukung wilayahnya. Perencanaan tersebut nantinya menghasilkan output

peta yang dibuat menggunakan bantuan software ArcGis 9.3. Perencanaan kondisi

fisik di D.I. Yogyakarta dapat berupa penentuan kawasan berdasarkan

penggunaan lahan dominan, pentuan kawasan lindung bawahan dan kawasan

perlindungan setempat, penentuan kawasan rawan bencana longsor, penentuan

Page 3: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 2

kawasan rawan bencana banjir, penentuan arahan pemanfaatan lahan. Sedangkan

perencanaan kondisi sosial di D.I. Yogyakarta dapat berupa penentuan lahan

pertanian pangan berkelanjutan, perencanaan jaringan utilitas (seperti jalan dan

jaringan listrik), serta perencanaan ruang terbuka hijau.

Praktikum Mata Kuliah Tata Wilayah bertujuan untuk memahami

permasalahan maupun potensi yang ada pada setiap wilayah untuk kemudian

dirncang penataan wilayahnya berdasarkan aturan-aturan yang berlaku. Aturan-

aturan tersebut dapat berupa undang-undang RI, peraturan maupun keputusan

menteri. Pada prktikum ini akan difokuskan pada beberapa wilayah di D.I.

Yogyakarta. Khusus untuk acara praktikum yang berkaitan dengan pemetaan

kawasan bencana banjir, longsor dan arahan pemanfaatan lahan menggunakan

lokasi analisis unit propinsi. Kemudian untuk acara yang lainnya menggunakan

lokasi analisis unit kabupaten dan kota madya. Pembahasan mengenai aspek fisik

berupa penggunaan lahan dominan menganalisis wilayah Kabupaten Kulonprogo.

Kemudian penentuan kawasan lindung bawahan dan lindung setempat

menggunakan wilayah Kabupaten Sleman. Penentuan kawasan pertanin pangan

berkelanjutan menggunakan daeah Kabupaten Bantul. Kemudian untuk aspek

sosial, penentuan jaringan listrik menggunakan wilayah Kota Yogyakarta.

Terakhir, penentuan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menggunakan wilayah

Kabupaten Gunungkidul. Penentuan wilayah tersebut sudah dirancang dan

disesuaikan dengan potensi dan permasalahan yang terjadi pada masing-masing

wilayah. Perencanaan tata wilayah di D.I. Yogyakarta berdasarkan aspek fisik

maupun sosial diharapkan dapat melestarikan daya dukung lingkungan serta dapat

memenuhi kebutuhan penduduk Yogyakarta secara berkelanjutan sesuai rencana

keruangannya.

Page 4: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 3

B. TUJUAN

Praktikum mata kuliah tata wilayah terdiri dari 8 acara yaitu (1) penentuan

kawasan berdasarkan penggunaan lahan dominan, (2) pentuan kawasan lindung

bawahan dan kawasan perlindungan setempat, (3) penentuan kawasan rawan

bencana longsor, (4) penentuan kawasan rawan bencana banjir, (5) penentuan

arahan pemanfaatan lahan, (6) penentuan lahan pertanian pangan berkelanjutan,

(7) perencanaan jaringan listrik, dan (8) perencanaan ruang terbuka hijau.

Berdasarkan kedelapan acara tersebut maka tujuan dalam praktikum tata wilayah

ini yaitu sebagai berikut:

1. Dapat menentukan kawasan penggunaan lahan dominan di Kab.

Kulonprogo

2. Dapat menentukan dan mengetahui kawasan lindung bawahan dan

kawasan perlindungan setempat di Kab. Sleman

3. Dapat menentukan kawasan rawan bencana longsor di D.I.

Yogyakarta

4. Dapat menentukan kawasan rawan bencana banjir di D.I. Yogyakarta

5. Dapat menentukan arahan pemanfaatan lahan di D.I. Yogyakarta

6. Dapat menentukan lahan pertanian pangan berkelanjutan di

Kabupaten Bantul

7. Dapat menentukan dan merencanakan area jaringan listrik di Kota

Yogyakarta

8. Dapat menentukan dan merencanakan ruang terbuka hijau di

Kabupaten Gunungkidul

Page 5: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 4

C. ALAT DAN BAHAN

Praktikum tata wilayah ini membutuhkan alat dan bahan yang mendukung

dalam pengerjaannya. Alat dan bahan tersebut dipaparkan sebagai berikut:

1. Alat

Beberapa peralatan yang dibutuhkan untuk mendukung dan membuat

praktikum acara 1 hingga acara 8 sebagai berikut:

� Seperangkat laptop (monitor, keyboard, mouse, dan sistem operasi

misalnya Windows 7)

� Perangkat master software SIG, dalam hal ini menggunakan ArcGis 9.3

� Printer untuk mencetak peta dan hasil laporan

2. Bahan

Beberapa bahan dan data yang dibutuhkan untuk mendukung praktikum

acara 1 hingga acara 8 sebagai berikut:

� Basis data digital mencangkup:

a) Peta RBI digital Kab. Kulonprogo (Praktikum Acara 1)

b) Peta RBI digital Kab. Sleman (Praktikum Acara 2)

c) Peta RBI digital D.I. Yogyakarta (Praktkum Acara 3, 4 dan 5)

d) Peta RBI digital Kab. Bantul (Praktikum Acara 6)

e) Peta RBI digital Kota Yogyakarta (Praktikum 7)

f) Peta RBI digital Kab. Gunungkidul (Praktikum 8)

g) Peta penggunaan lahan

h) Peta curah hujan

i) Peta kemiringan lereng

j) Peta jenis tanah

k) Peta sungai

l) Peta jaringan jalan

� Literatur yang mendukung, seperti:

a) Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980

b) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (PU) No. 5/PRT/M/2008 tentang

pedoman penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan

perkotaan.

c) Peraturan dan kebijakan lain yang mendukung sesuai tema praktikum.

Disesuaikan dengan

kebutuhan analisis wilayah

praktikum baik kabupaten

ataupun propinsi

Page 6: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 5

E. LANGKAH KERJA

1) Acara I (Dominasi Penggunaan Lahan)

Gambar 1. Model Penentuan Dominasi Penggunaal Lahan

Langkah-langkah dalam praktikum Acara I ini sebagai berikut:

i. Membuka ArcGis ���� add theme dengan data baru Kabupaten

Kulonprogo dan landuse Kulonprogo.

ii. Melakukan up date luas penggunaan lahan perkecamatan. Buka attribute PL

> Select All. Dalam Advanced Editing klik Explode Multi_part Features

Page 7: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 6

iii. Menghitung luas penggunaan lahan per kecamatan dengan cara Calculate

Geometry.

iv. Intersect data kabupaten Kulonprogo dan landuse.

Page 8: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 7

v. Membuka file dBASE file tersebut, kemudian dilakukan pivotable. Kolom

label di isi kecamatan 2008, row label diisi Pl_T2 (penggunaan lahan) dan

values diisi sum of luas (luas dalam hektar).

vi. Pilih penggunaan lahan yang luasnya paling besar di setiap kecamatan.

vii. Membuka data atribut hasil intersect Kulonprogo dan menentukan

penggunaan lahan dominan sesuai dengan data hasil pengolahan data dbf.

Page 9: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 8

viii. Klik pada kecamatan yang penggunaan lahan dominannya sama dan

menuliskan lahan dominan yang tercantup pada excel.

ix. Langkah selanjutnya adalah me-lay out peta hasil pengolahan lahan dominan

Kabupaten Kulonprogo.

2) Acara II (Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Kawasan

Perlindungan Setempat).

Gambar 2. Model Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Setempat

Langkah-langkah dalam praktikum Acara II ini sebagai berikut:

i. Buka arcgis, add data administrasi kecamatan, peta curah hujan, peta jenis

tanah, peta kemiringan lereng, peta sungai.

Page 10: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 9

ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan untuk

mengetahui kawasan lindung.

iii. Kemudian buka attribut hasil intersect, klik kanan add file name: skor total,

type: short interger dan field: 50, Ok. Lalu stop editing.

iv. Kemudian mengisi skor total pada keterangan di tabel field calculator.

Page 11: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 10

v. Mengisi keterangan tabel dengan skor yang sesuai dengan kriteria lindung.

vi. Mengisi keterangan tabel dengan skor yang sesuai dengan kriteria kawasan

penyangga.

vii. Dissolve masing-masing kriteria tersebut sehingga data atribut menjadi lebih

ringkas.

viii. Melakukan buffer pada garis sungai yaitu 100 m untuk mendapatkan kawasan

sempadan sungai kecil.

Page 12: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 11

ix. Melakukan buffer pada sungai besar.

x. Kemudian hasil buffer sungai utama dan sungai dilakukan union.

Page 13: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 12

xi. Kemudian dilakukan union antara kawasan lindung bawahan dan setempat

dan union hasil buffer.

xii. Kemudian hasil union tersebut di dissolve dan menghasilkan peta kawasan

lindung bawahan dan kawasan lindung setempat.

xiii. Hasil pemetaan untuk kemudian di lay out

Page 14: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 13

3) Acara III (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Longsor)

Gambar 3. Model Penentuan Kawasan Rawan Longsor

Langkah-langkah dalam praktikum Acara III ini sebagai berikut:

i. Tampilkan peta dasar, kemudian klik model builder untuk melakukan

pemodelan.

ii. Drag peta dasar ke dalam kolom model.

Page 15: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 14

iii. Memasukkan karakteristik daerah rawan longsor dari setiap ketentuan yang

ditetapkan berdasarkan 3 peta diatas. Caranya yaitu Aktifkan Arc Toolbox

kemudian pilik Analisys Tools > Exctract > Select kemudian drag ke tabel

pemodelan.

iv. Kemudian klik pada tool Connect. Klik pada peta dasar ke arah kolom select >

Input Features.

v. Klik tool Select > klik di dalam kolom Select

Sellect

Page 16: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 15

Maka akan muncul tampilan seperti di bawah ini. Kemudian pada Output

Feature Class letakkan file sesuai yang anda inginkan.

Maka akan muncul tampilan di bawah ini.

vi. Masukkan karakteristik atau ketentuan untuk setiap peta yang sesuai dengan

karakteristik daerah rawan longsor.

Lakukan hal tersebut pada setiap peta dasar.

vii. Melakukan overlay terhadap karakteristik yang sudah dipilih pada setiap peta

dasar. Caranya yaitu Klik Overlay pada Arc Toolbox > Intersect > drag ke

Page 17: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 16

kolom pemodelan > Connect > Input Feature. Tunggu sampai proses selesai >

Select > Klik kolom Intersect.

viii. Klik tool Select > klik di dalam kolom Intersect 2 x, maka akan muncul

tampilan di bawah ini.

ix. Klik Run untuk menjalankan proses pemodelan.

Page 18: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 17

x. Setelah proses selesai, add peta rawan banjir ke layer.

xi. Untuk mengetahui luasan daerah rawan longsor yaitu dengan melakukan

perhitungan dengan sistem Query dalam atribut peta. Caranya klik kanan peta

rawan banjir > Attribut > Add Field > lakukan perhitungan dengan calculate

geometry.

xii. Lakukan Lay-out pada peta

Page 19: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 18

4) Acara IV (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Banjir)

Gambar 4. Model Penentuan Kawasan Rawan Banjir

Langkah-langkah dalam praktikum Acara IV ini sebagai berikut:

i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta

kemiringan lereng, dan peta penggunaan lahan.

ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, curah hujan dan pengunaan lahan

untuk mengetahui kawasan banjir.

iii. Open Attributes hasil intersect, kemudian lakukan penjumlahan skor semua

variabel. Sehingga didapatkan skor total

Page 20: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 19

iv. Tentukan interval skor dengan cara menjumlahkan nilai skor total maksimum

dengan skor total minimum. Dari perhitungan tersebut keudian ditentukan

tiga interval tingkat kerawanan yaitu rendah (dengan rentang skor 45-81),

sedang (dengan rentang skor 82-118), dan tinggi (dengan rentang skor 119-

155). Kemudian klasifikasi nilai interval kedalam atribut.

v. Lakukan Proses Dissolved dan pilih keterangan dari nama tingkat kerawanan

banjir yang telh dituliskan dalam atribut intersect sebelumnya.

vi. Maka akan keluar peta hasil dissolved berdasarkan tingkat kerawanan,

kemudian lakukan kategori untuk menampilkan keterangan kerawanan banjir.

vii. Langkah terakhir yaitu melakukan proses lay out pada peta kerawanan banjir

di D.I. Yogyakarta

Page 21: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 20

5) Acara V (Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan)

Gambar 5. Model Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan

Langkah-langkah dalam praktikum Acara V ini sebagai berikut:

i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta

kemiringan lereng, dan peta jenis tanah yang masing-masing sudah diberi

skor penentuan peta arahan lahan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

No. 837/kpts/Um/11/1980.

Page 22: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 21

ii. Kemudian intersect kemiringan lereng, jenis tanah, curah hujan untuk

mengetahui kawasan lindung.

iii. Lakukan penjumlahan skor total pada atribut hasil intersect, dengan cara

menjumlahkan skor lereng, hujan dan jenis tanah.

iv. Dengan melihat Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980,

langkah selanjutnya yaitu mengklasifikasikan nama arahan pemanfaatan

lahan sesuai dengan peraturan tersebut.

Page 23: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 22

v. Selanjutnya lakukan proses dissolved dengan cara mencentang kriteria arahan

pada atribut intersect sebelumnya.

vi. Maka akan tampil peta arahan, kemudian dikategorikansesuai dengan nama

arahan. Selanjutnya dilakukan proses lay out pada peta arahan.

Page 24: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 23

6) Acara VI (Penentuan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)

Langkah-langkah dalam praktikum Acara VI ini sebagai berikut:

i. Buka arcgis, add data administrasi propinsi, peta curah hujan, peta

kemiringan lereng, dan peta jenis tanah.

ii. Langkah selanjutnya yaitu menentukan peta arahan seperti pada acara V

sebelumnya, namun penentuan peta arahan pemanfaaatan lahan dalam

praktikum ini menggunakan Kabupaten Bantul.

iii. Kemudian select ”kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman”

pada atribut hasil dissolved peta arahan. Dan jadikanlah kawasan budidaya

tanaman semusim tersebut menjadi format file shp tersendiri.

iv. Langkah selanjutnya yaitu add data penggunaan lahan Kabupaten Bantul.

Kemudian lakukan Explode Multi-Part Feature pada penggunaan lahan

tersebut. Lakukan update luas penggunaan lahan dalam hektar (ha).

v. Kemudian lakukan perintah query terhadap penggunaan lahan berupa sawah

irigasi. Setelah terselect, jadikanlah sawah irigasi sebagai format shp

tersendiri. Kemudian lakukan Explode Multi-Part Feature pada atribut luas

sawah irigasi tersebut.

vi. Lakukan perintah query terhadap luas sawah irigasi yang luasnya ≥ 5 ha

(berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980).

Kemudian di export kedalam bentuk shp.

Page 25: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 24

vii. Langkah terakhir yaitu add data peta administrasi Kabupaten Bantul,

kemudian di lay out peta lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten

Bantul

7) Acara VII (Penentuan Jaringan Listrik)

Langkah-langkah dalam praktikum Acara VII ini sebagai berikut:

i. Langkah pertama yaitu menghitung kebutuhan energi listrik berdasarkan

jumlah penduduk (KK)

ii. Diasumsikan wilayah menggunakan tegangan listrik sama tiap KK yaitu

sebesar 900 VA. Maka untuk menghitung kebutuhan energi listrik dengan

cara mengalikan jumlah KK dengan tegangan rata-rata kebutuhan energi 900

VA. Kebutuhan energi ini selanjutnya disebut sebagai kebutuhan energi

rumah tangga.

iii. Kebutuhan penerangan jalan sebesar 10% dari kebutuhan rumah tangga, dan

kebutuhan perkantoran, fasilitas sosial, fasilitas umum serta industri sebesar

20% dari kebutuhan rumah tangga.

iv. Kebutuhan energi listrik seluruh kawasan diperoleh dengan cara

menjumlahkan kebutuhan rumah tangga, penerangan jalan, perkantoran,

fasilitas sosial, fasilitas umum, dan industri.

v. Selanjutnya untuk penyusunan peta jaringan listrik didasarkan pada jaringan

jalan, karena pada umumnya jaringan listrik berasosiasi dengan jaringan jalan

menuju blok-blok permukiman.

Page 26: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 25

vi. Add data jaringan jalan Kota Yogyakarta, kemudian dikategorikan

berdasarkan kelas jalan yaitu arteri, kolektor dan lokal.

vii. Add data penggunaan lahan, untuk mengetahui blok-blok permukiman

viii. Kemudian create feature class dan membuat feature class dengan nama

jaringan listrik dengan tipe geometrinya yaitu polyline.

ix. Lakukan deliniasi polyline jaringan listrik bersampingan dengan jaringan

jalan, kemudian lay out hasil petanya.

Page 27: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 26

8) Acara VIII (penentuan Ruang Terbuka hijau)

Langkah-langkah dalam praktikum Acara VIII ini sebagai berikut:

i. Penentuan RTH berdasarkan jumlah penduduk, mengacu pada Permen PU

No. 05/PRT/M/2008.

ii. Selanjutnya penentuan RTH berdasarkan luas wilayah menurut Permen PU

No. 05/PRT/M/2008 minimal 30% dari jumlah keseluruhan wilayahnya.

iii. Dengan menggunakan bantuan ArcGis 9.3 dapat diketahuai luas wilayah

Kabupaten Gunungkidul dengan menggunakan fungsi ”calculate geometry”.

iv. Luas berdasarkan ArcGis 9.3 tersebut dihitung kebutuhan RTH-nya dengan

cara mengalikannya dengan skor minimal RTH yaitu 30%.

v. RTH yang ditentukan dalam praktikum VIII ini yaitu RTH non alami di

Kabupaten Gunungkidul berupa jalur hijau jalan, sempadan sungai, dan

sempadan pantai.

vi. Penentuan RTH non alami tersebut menggunakan bantuan software ArcGis

9.3 menggunakan buffer.

vii. Kriteria jarak buffer untuk jalan yaitu 15 m (arteri), 10 m (kolektor), dan 7 m

(lokal). Sempadan sungai kecil sebesar 15 m dan sungai besar 20 m.

Sempadan pantai sejauh 100 m. Semua kententuan tersebut mendasarkan

pada Permen PU No. 05/PRT/M/2008.

viii. Setalah dilakukan buffer, kemudian hasil buffer dilakukan union. Setelah itu

add field diberi keterangan kategori RTH. Lakaukan preses dissolved setelah

itu.

Page 28: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 27

ix. Langkah terakhir yaitu me-lay out peta RTH.

Page 29: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 28

F. HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Acara I (Dominasi Penggunaan Lahan)

Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief,

hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua

faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya

juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975,

dalam Arsyad, 1989).

Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan

manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi

kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989). Penggunaan

lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar, yaitu penggunaan lahan

pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian

dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan

penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam

penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, lalang,

perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke

dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya

(Arsyad, 2000).

Penggunaan lahan pada suatu wilayah sangat bervariasi. Namum pada

setiap unit administrasi tertentu, tentu wilayah tesebut memiliki penggunaan lahan

yang paling dominan. Misalnya saja pada daerah Kabupaten Kulonprogo memiliki

variasi penggunaan lahan pada 11 kecamatan pada wilayahnya. Variasi

penggunaan lahan berdasarkan analisis menggunakan ArcGis 9.3 disajikan dalam

print screen Tabel 1. Satuan unit administasi kecamatan kemudian dijadikan unit

pemetaan dominasi penggunaan lahan di Kabupaten Kulon Progo. Masing-asing

unit kecamatan memiliki penggunaan lahan yang dominan, pada Tabel 1 diblok

warna merah muda. Dominasi pada 12 kecamatan di Kabupaten Kulonprogo

terdiri 3 jenis penggunaan lahan, yaitu (1) sawah irigasi, (2) kebun, dan (3)

permukiman. Dominasi sawah irigasi hanya terdapat di Kecamatan Galur (39,10%

dari luas wilayah). Kemudian dominasi kebun terdapat di Kecamatan Girimulyo

(38,13%), Kokap (56,53%), lendah (50,51%), Panjaitan (29,99%), dan Samigaluh

(38,88%). Dominasi permukiman terdapat di Kecamatan Kalibawang (30,99%),

Page 30: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 29

Nanggulan (38,15%), Pengasih (36,47%), Sentolo (33,02%), Temon (27,08%)

dan Wates (35,81%).

Tabel 1.1 Penggunaan Lahan Pada Satuan Unit Kecamatan di Kab. Kulonprogo

Sumber: Analisis ArcGis 9.3

Dominasi penggunaan lahan kebun

sangat tergantung oleh kondisi

fisiografi wilayahnya. Pada kasus di

Kabupaten Kulon Progo dominasi

penggunaan lahan kebun terdapat

didaerah barat dan timur wilayahnya.

Pada bagian barat terdapat Perbukitan

Menoreh, sedangkan pada sebelah

timur terdapat Perbukitan Sentolo.

Kondisi fisiografis yang berbukit ini

yang menyebabkan pengolahan lahan

sebagai kebun menjadi favorit

masyarakat yang tinggal disekitar

bukit. Selanjutnya dominasi

permukiman di Kab. Kulonprogo mengikuti pola jalan utama yang ada pada

wilayahnya, baik Jalan arteri atau kolektor, serta jalur kereta api. Dominasi sawah

irigasi selalu berkaitan dengan keberadaan sungai atau pengairan yang lainnya.

Gambar 1.1 Fisiografi Kab. Kulon Progo (Kulon

Progo Dalam Angka, 2011)

Page 31: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 30

Kecamatan galur menjadi satu-satunya kecamatan yang memiliki dominasi

penggunaan lahan sawah irigasi, hal ini karena daerahnya dialiri oleh Sungai

Progo. Hasil praktikum dominasi penggunaan lahan, disajikan pada Gambar 1.2.

Page 32: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 31

Gambar 1.2 Peta Dominasi Penggunaan Lahan di Kabupaten Kulon Progo

Page 33: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 32

2) Acara II (Penentuan Kawasan Lindung Bawahan dan Kawasan

Perlindungan Setempat).

Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber

daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan

pembangunan berkelanjutan. (Keppres No. 32, 1990). Kawasan lindung tersebut

selanjutnya dibagi dalam empat yaitu, (1) kawasan yang memberikan

perlindungan kawasan bawahannya, (2) kawasan perlindungan setempat, (3)

kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan (4) kawasan rawan bencana alam.

Pada praktikum acara kedua ini membahas 2 kawasan lindung yaitu kawasan yang

memberikan perlindungan kawasan bawahannya dan kawasan perlindungan

setempat.

Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya dibagi

menjadi tiga kawasan. Kawasan tersebut yaitu kawasan hutan lindung, bergambut

dan resapan air. Selanjutnya untuk mendukung adanya kawasan hutan lindung,

maka dibutuhkan kawasan penyangga pada area dimana terdapat hutan lindung.

Sedangkan kawasan perlindungan setempat terdiri dari sempadan pantai,

sempadan sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air.

Penentuan kawasan tersebut ditentukan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan

berdasarkan Keppres No. 32, 1990 dan SK Menteri Pertanian No.

837/Um/11/1980.

Kabupaten Sleman merupakan kabupaten yang terletak di ujung utara D.I.

Yogyakarta. Karakteristik wilayahnya pada bagian utara yaitu daerah lereng

Gunung Merapi, bagian timur pusat wisata budaya dan daerah lahan kering,

bagian selatan merupakan pusat aglomerasi dari kota Yogyakarta terdiri dari pusat

pendidikan dan jasa, dan bagian baratnya yaitu pertanian lahan basah.

Berdasarkan paparan mengenai karakteristik Kabupaten Sleman, maka diperlukan

penentuan kawasan lindung untuk menjaga kelstarian daya dukung lingkungan

sesuai peruntukannya menganut pada SK Menteri Pertanian No. 837/Um/11/1980.

Data yang dibutuhkan untuk menganalisis kawasan lindung yaitu curah hujan,

jenis tanah, kemiringan lereng, serta peta sungai. Kabupaten Sleman merupakan

daerah yang terletak di wilayah hulu dari dua DAS yaitu DAS Progo dan Opak.

Page 34: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 33

Wilayahnya teletak didaerah Gunung Merapi, dan tidak terdapat waduk dan

kawasan bergambut. Kondisi inilah yang menyebabkan Kabupaten Sleman dilalui

oleh banyak sungai kecil maupun sungai besar karena letaknya di hulu. Kemudian

kawasan lindung di sempadan sungai pada wilayah Kabupaten Sleman

diasumsikan berdasarkan dua kriteria yaitu (1) sungai besar sejauh 20 meter

dikanan dan kiri badan sungai, dan (2) sungai kecil 15 meter. Berdasarkan analisis

penentuan kawasan lindung menggunakan bantuan software ArcGis 9.3, maka

diperoleh luasan kawasan lindung sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kawasan Lindung di Kabupaten Sleman

Kawasan Lindung Luas (ha)

Kawasan Hutan Lindung 821,14

Kawasan Lindung Setempat Sempadan Sungai 4638,18

Kawasan Penyangga 3655,24

Total 9114,56

Sumber: Analisis ArcGis 9.3

Kawasan lindung terluas di Kabupaten Sleman berupa kawasan lindung

setempat sempadan sungai sebesar 51% dari luas keseluruhan kawasan lindung.

Hal ini dikarenakan Kabupaten Sleman terletak di daerah hulu dari dua DAS

(Progo dan Opak), sehingga banyak sungai besar dan sungai kecil melewati

daerahnya. Kondisi inilah yang membutuhkan perlindungan sempadan sungai

untuk melindungi fungsi utama sungai. Representasi gambar luas kawasan

lindung di Kabupaten Sleman, ditapilkan dalam Gambar 3.

Gambar 2.1 Luas Kawasan Lindung (Ha) di Kabupaten Sleman

Kawasan

Hutan Lindung

9%

Kawasan

Lindung

Setempat

Sempadan

Sungai

51%

Kawasan

Penyangga

40%

Luas Kawasan Lindung (ha)

Page 35: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 34

Kawasan lindung sempadan sungai merata terdapat diseluruh kecamata di

Kabupaten Sleman. Sedangkan kawasan hutan lindung hanya terdapat ditiga

kecamatan yang berada di daerah Gunung Merapi yaitu Kecamatan Pakem, Turi

dan Cangkringan. Kawasan penyangga juga terdapat di tiga kecamatan tersebut

ditambah Kecamatan Prambanan, Gamping, dan sedikit pada daerah perbatasan

Seyegan dan Godean.

Page 36: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 35

Gambar 2.2 Peta Kawasan Lindung Bawahan dan Lindung Setempat Kab. Sleman

Page 37: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 36

3) Acara III (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Longsor)

Wilayah Indonesia secara goegrafis rawan terhadap kejadian bencana

alam, salah satu bencana yang sering terjadi yaitu bencana longsor. Longsor

berdasarkan Permen PU NO.22/PRT/M/2007 adalah suatu proses perpindahan

massa tanah atau batuan dengan arah miring dari kedudukan semula, sehingga

terpisah dari massa yang mantap, karena pengaruh gravitasi; dengan jenis gerakan

berbentuk rotasi dan translasi. Pada prisipnya longsor terjadi apabila gaya

pendorong pada lereng lebih besar dari pada gaya penahan. Gaya pendorong

dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng, air, beban, dan berat jenis tanah dan

batuan, sedangkan gaya penahan umumnya dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan

kepadatan tanah. Penetapan kawasan rawan bencana longsor didasarkan pada

karakteristik fisik alami pada suatu wilayah. Faktor inilah yang dapat menjadikan

pendorong terjadinya longsor. Faktor fisik alami yang dapat mendorong kejadian

longsor berdasarkan Permen PU NO.22/PRT/M/2007 terdiri dari 14 faktor, yaitu:

a) Curah hujan yang tinggi

b) Lereng yang terjal

c) Lapisan tanah yang kurang padat dan tebal

d) Jenis batuan (litologi) yang kurang kuat

e) Jenis tanaman dan pola tanam yang tidak mendukung penguatan lereng

f) Getaran yang kuat (peralatan berat, mesin pabrik, kendaraan bermotor)

g) Susutnya muka air danau/bendungan

h) Beban tambahan seperti konstruksi bangunan dan kendaraan angkutan

i) Terjadinya pengikisan tanah atau erosi

j) Adanya material timbunan pada tebing

k) Bekas longsoran lama yang tidak segera ditangani

l) Adanya bidang diskontinuitas

m) Penggundulan hutan

n) Daerah pembuangan sampah

Berdasarkan 14 faktor fisik alami tersebut, secara mikro faktor yang

dominan dan sangat umum terjadi di wilayah Indonesia yaitu curah hujan tinggi,

lereng yang terjal, dan jenis tanah yang rentan terhadap kejadian longsor. Dengan

Page 38: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 37

penentuan berdasarkan 3 faktor ini sudah dimungkinkan untuk mencari daerah

rawan longsor pada suatu wilayah.

D.I. Yogyakarta merupakan wilayah yang perlu dipetakan daerah

kebencanaan longsornya. Sejalan dengan proses pembangunan berkelanjutan

perlu diupayakan pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-kegiatan yang

dilakukan dengan prioritas utama pada penciptaan keseimbangan lingkungan.

Salah satu upaya yang diambil adalah melalui pelaksanaan penataan ruang yang

berbasis mitigasi bencana alam agar dapat ditingkatkan keselamatan dan

kenyamanan kehidupan dan penghidupan masyarakat terutama di kawasan rawan

bencana longsor. Selanjutnya penentuan kawasan rawan bencana longsor di D.I.

Yogyakarta didasarkan pada tiga faktor alami utama pendorong kejadian longsor

yaitu curah hujan, tanah, dan kemiringan lereng. Penentuan kelas dan skor 3

faktor tersebut sebelumnya telah ditentukan berdasarkan SK Menteri Pertanian

No. 837/Um/11/1980.

Tabel 3.1 Skor dan Kelas Faktor Pendorong Longsor

Kelas

Skor Faktor Pendorong Longsor

Kemiringan

Lereng Jenis Tanah Intensitas Hujan

I 20 15 10

II 40 30 20

III 60 45 30

IV 80 60 40

V 100 75

Sumber: SK Menteri Pertanian No. 837/Um/11/1980

Skor tinggi menandakan faktor tersebut dapat memicu longsor dengan

sangat tinggi pula. Selanjutnya dari 3 faktor tersebut dibuat peta untuk kemudian

dimasukkan skor paling tinggi pada masing-masing kriteria. Kemiringan lereng

dengan skor 100, skor tanah 75 dan skor hujan 40. Kemiringan lereng

diasumsikan memiliki tingkat pendorong longsor yang sangat tinggi, sehingga

skornya lebih tinggi dibandingkan dengan skor tanah maupun skor hujan. Setelah

melakukan proses skoring dengan memilih nilai tertinggi pada atribut ArcGis,

selanjutnya ketiga peta faktor pendorong longsor tersebut dilakukan proses

intersect. Sehingga didapatkan peta daerah rawan bencana longsor di D.I.

Yogyakarta. Hasil intersect tersebut merupakan area yang memiliki jenis tanah

regosol, terdapat pada kemiringan lereng >40 %, dan intensitas hujan >2250

Page 39: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 38

mm/hari. Area yang termasuk kawasan rawan bencana longsor di D.I. Yogyakarta

terdapat di Kabupaten Sleman, tepatnya pada Kecamatan Pakem. Wilayah

Kecamatan Pakem, memang merupakan daerah dengan kemiringan lereng yang

cukup tinggi >40 % dan tanahnya peka terhadap kejadian longsor yaitu tanah

regosol.

Page 40: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 39

Gambar 3.1 Peta Kawasan Rawan Bencana D.I. Yogyakarta

Page 41: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 40

4) Acara IV (Penentuan Kawasan Rawan Bencana Banjir)

Banjir merupakan aliran air di permukaan tanah (surface water) yang

relatif tinggi dan tidak dapat ditampung oleh saluran drainase atau sungai,

sehingga melimpah ke kanan dan kiri serta menimbulkan genangan/aliran dalam

jumlah melebihi normal dan mengakibatkan kerugian pada manusia dan

lingkungan. Selanjutnya yang dimaksud dengan Kawasan Rawan Banjir (KRB)

adalah kawasan yang potensial untuk dilanda banjir yang diindikasikan dengan

frekuensi terjadinya banjir (pernah atau berulangkali).

Faktor penyebab banjir berdasarkan (Pedoman KRB, PU) terdiri dari tiga

faktor yaitu (1) faktor kondisi alam, (2) peristiwa alam, dan (3) faktor aktivitas

manusia. Faktor kondisi alam yang sangat berpengaruh contohnya yaitu topografi

dan kemiringan lereng. Faktor peristiwa alam yang umum menyebabkan kejadian

banjir yaitu faktor tingginya intensitas hujan yang jatuh pada suatu wilayah.

Faktor aktivtas manusia juga dapat memberikan dampak yang sangat nyata

terhadap banjir, salah satu contohnya yaitu penggunaan lahan semisal untuk

permukiman. Berkurangnya tutupan lahan akibat pemanfaatan lahan sebagai

permukiman akan berdampak berkurangnya daerah resapan air, akibatnya wilayah

tersebut rawan terhadap banjir. Sejalan dengan proses pembangunan yang

berkelanjutan, diperlukan upaya pengaturan dan pengarahan terhadap kegiatan-

kegiatan yang dilakukan manusia pada suatu wilayah, dengan prioritas utama

untuk menciptakan kembali keseimbangan ekologis lingkungan.

D.I. Yogyakarta merupakan wilayah yang memiliki karakteristik yang

sangat komplek dan beragam. Faktor kondisi alam sangat bervariasi dari gunung

hingga pesisir. Peristiwa alam seperti curah hujan juga sangat bervariasi

intensitasnya, tergantung dengan topografi, suhu, serta penyinaran matahari di

wilayahnya. Selanjutnya faktor aktivitas sangat mempengaruhi penggunaan lahan

di Yogyakarta seperti permukiman, akibatnya lahan perkotaan di Yogyakarta

semkin padat dengan bangunan permukiman. Kondisi inilah yang dapat memicu

terjadinya banjir di daerah D.I. Yogyakarta. Oleh karenanya berdasarkan ketiga

faktor tersebut, maka perlu dibuat peta Kawasan Rawan Banjir (KRB) D.I.

Yogyakarta.

Page 42: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 41

Penentuan Kawasan Rawan Banjir (KRB) di D.I. Yogyakarta dibuat

dengan metode skoring dari 3 data pemicu banjir, yaiut lereng, hujan dan

penggunaan lahan. Untuk kriteria lereng, daerah datar dianggap memiliki potensi

banjir yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang sangat curam,

sehhingga skor untuk daerah datar lebih tinggi dibandingkan dengan daerah

sangat curam. Intensitas hujan yang tinggi (>2250 mm/th) mendapatkan skor

tertinggi karena kemungkinan banjir juga tinggi. Selanjutnya penggunaan lahan

sebagai permukiman juga mendapat skor tertinggi, karena diasumsikan daerah

resapan air relatif sedikit di wilayah ini. Berikut ini merupakan tabel kriteria dan

skor dari tiga variabel tersebut.

Tabel 4.1 Kriteria dan Skor untuk Kemiringan Lereng

Kelas Kemiringan (%) dan kriteria Skor

I 0,00-8,00 (Datar) 100

II 8,01-15,00 (Landai) 80

III 15,01-25,00 (Agak Curam) 60

IV 25,01-40,00 (Curam) 40

V 40,01 atau lebih (Sangat Curam) 20

Sumber: Analisis Peneliti

Tabel 4.2 Kriteria dan Skor untuk Intensitas Hujan

Kelas Intensitas (mm/th) dan Kriteria Skor

I < 1750 (Sangat Rendah) 10

II 2000 (Rendah) 20

III 2250 (Sedang) 30

IV > 2250 (Tinggi) 40

Sumber: Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980

Tabel 4.3 Kriteria dan Skor untuk Penggunaan Lahan

Kelas Penggunaan Lahan Skor

I Hutan 5

II Perkebunan 10

III Perairan (badan air) dan Sawah Irigasi 15

IV Industri 20

V Permukiman 25

Sumber: Analisis Peneliti

Page 43: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 42

Ketiga data tesebut kemudian ditambahkan pada atribut masing-asing peta, untuk

kemudian dilakukan proses intersect. Kemudian hasil intersect ditambahkan nilai

skor total, dan dilakukan interval pengkategorian kerawanan banjir yaitu rendah

(45-81), sedang (82-118), dan tinggi (119-155). Hasil penelitian menunjukkan

bahwa wilayah Kodya Yogyakarta seluruhnya rawan terjadi banjir dengan kriteria

sangat tinggi. Kabupaten Bantul dan Sleman juga termasuk dalam kriteria rawan

banjir sangat tinggi. Kabupaten Sleman yang notabena wilayahnya merupakan

lereng dari Gunung Merapi kini wilayahnya semakin padat dengan permukiman

akibat daya dorong kampus dan pariwisata di wilayah tersebut. Kondisi ini

didukung dengan curah hujan yang tinggi, dimana pengaruh orografis terjadi

didaerah lereng Gunung Merapi. Akibatnya hujan yang turun di Kabupaten

Sleman sulit meresap kedalam tanah, karena lahan resapan air banyak berubah

menjadi lahan permukiman. Wilayah lain yang juga termasuk kategori rawan

banjir sangat tinggi yaitu Kabupaten Sleman. Daerah kaupaten Sleman merupakan

dataran rendah dengan permukiman yang cukup padat. Selain itu pada bagian

barat dan timur wilayahnya dilewati oleh sungai besar yaitu Sungai Progo dan

Opak. Kondisi inilah yang menyebabkan daerah tersebut rawan banjir dengan

intensitas tinggi. Wilayah Kabupaten Kulonprogo yang dekat dengan aliran

Sungai Progo (khususnya didaerah hilirnya) juga termasuk dalam kriteria rawan

banjir tinggi, sedangkan pada daerah utaranya termasuk kategori sednag.

Kabupaten Gunung Kidul termasuk dalam kategori rawan banjir rendah pada

bagian utara wilayahnya dan sedikit termasuk dalam kategori sedang dimana

terjadi aglomerasi permukiman disekitar pusat administrasi yaitu Wonosari.

Page 44: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 43

Gambar 4.1 Kawasan Rawan Bencana Banjir D.I.Yogyakarta

Page 45: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 44

5) Acara V (Penentuan Arahan Pemanfaatan Lahan)

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan propinsi yang

pemanfaatan lahannya perlu dikontrol. Hal ini dikarenakan pemanfaatan lahan di

beberapa daerah di DIY sudah banyak yang menyalahi aturan arahan pemanfaatan

lahan yang sebenarnya. Berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No.

837/kpts/Um/11/1980 terdapat 4 fungsi kawasan yaitu (1) kawasan lindung, (2)

kawasan penyangga, (3) kawasan budidaya tanaman tahunan dan (4) kawasan

tanaman semusim dan permukiman. Keempat kawasan tersebut perlu ditetapkan

dan tetap dikontrol untuk menciptakan keselarasan dan kesembangan di DIY.

Beberapa masalah pemanfaatan lahan yang akhir-akhir ini mengancam Propinsi

DIY yaitu daerah Kabupaten Sleman yang notabena daerahnya merupakan dataran

tinggi hingga lereng Gunung Merapi, seharusnya dimanfaatkan sebagai kawasan

lindung, namun pembangunan perumahan serta hotel akan banyak di bangun di

daerah ini. Apabila pembangunan tersebut berada di kawasan lindung, maka akan

mengganggu keseimbangan alam di daerah DIY sendiri. Beberapa faktor yang

mempengaruhi penentuan arahan penggunaan lahan dapat berupa intensitas hujan,

kemiringan lereng dan jenis tanah. Dengan mengkombinasikan ketiga data

tersebut maka diperoleh indikator-indikator untuk menentukan suatu daerah

termasuk kawasan lindung atau bukan. Oleh karena itu penentuan peta arahan

fungsi pemanfaatan lahan di Propinsi DIY perlu dibuat dan diterapkan untuk

menjaga kelestarian dan keberlanjutan Propinsi DIY.

Peta arahan dibuat dengan mengkombinasikan peta tanah, lereng, dan

curah hujan di D.I. Yogyakarta. Kondisi Geografis yang bervariasi menciptakan

kondisi hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng juga beragam di D.I.

Yogyakarta.

a) Jenis Tanah di D.I. Yogyakarta

Jenis tanah yang ada di D.I. Yogyakarta terdiri dari tanah aluvial,

latosol, mediteran, kambisol, grumosol, dan regosol. Jenis tanah sangat

mempengaruhi kepekaan suatu daerah terhadap terjadinya erosi tanah

(erodibilitas). Wischmeier dan Mannering (1969) menyatakan bahwa

erodibilitas alami tanah merupakan sifat kompleks yang tergantung pada laju

infiltrasi tanah dan kapasitas tanah untuk bertahan terhadap penghancuran

Page 46: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 45

agregat, serta pengangkutan oleh hujan dan aliran permukaan. Di negara-

negara tropis seperti Indonesia, kekuatan jatuhnya air hujan dan kemampuan

aliran permukaan menggerus permukaan tanah merupakan penghancur utama

agregat tanah.

D.I. Yogyakarta jenis tanahnya dibagi menjadi 5 kelas. Semakin tinggi

kelas menunjukkan bahwa semakin tinggi (peka) terhadap kejadian erosi.

Tanah yang tidak peka terhadap erosi pada daerah D.I. Yogyakarta yaitu

tanah aluvial (11156,41 ha). Tanah ini bersifat mudah menyerap air sehingga

cocok untuk lahan pertanian. Di daerah Yogyakarta tanah aluvial bahan

asalnya berasal dari Gunung Merapi umumnya lebih subur karena tergolong

gunung muda sehingga kaya akan unsur hara dan tersusun atas debu vulkanis

yang produktif. Sebaliknya tanah regosol merupakan hasil erupsi gunung

berapi, bersifat subur, berbutir kasar, berwarna keabuan, kaya unsur hara, pH

6-7, cenderung gembur, kemampuan menyerap air tinggi, dan mudah tererosi.

Hasil analisis menggunakan perangkat ArcGis 9.3 dapat diketahui

luasan berdasarkan masing-masing jenis tanah dan kelas kepekaan terhadap

erosinya. Caranya yaitu dengan membuat field baru pada tabel atribut,

kemudian lakukan perintah calculate geometry. Hasilnya Seperti disajikan

dalam tabel 5.1 berikut.

Tabel 5.1 Luas Jenis Tanah di DIY Berdasarkan Kepekaan Terhadap Erosi

Jenis Tanah Kelas Erodibilitas Luas (ha)

Aluvial I Tidak Peka 11156,41

Latosol II Kurang Peka 64740,5

Mediteran III Agak Peka 117814,89

Kambisol III Agak Peka 29925,67

Grumosol IV Peka 40620,06

Regosol V Sangat Peka 54324,38

Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3

Berdasarkan Tabel 5.1 dapat dijelaskan bahwa jenis tanah aluvial

merupakan tanah yang tidak peka terhadap erosi dengan luas 11156,41 ha.

Kemudian tanah latosol termasuk kategori tanah kurang peka terhadap erosi,

dengan luasan 64740,5 ha. Tanah yang bersifat agak peka terhadap erosi

terdiri dari jenis tanah mediteran dan kambisol dengan luas 147740,56 ha.

Tanah yang peka terhadap erosi merupakan tanah grumosol dengan luas

Page 47: Laporan Tata Wilayah

40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu

tanah regosol dengan luas 54324,38 h

Gambar 5

Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,

yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah

mediteran sangat banyak ditemui di Kabupaten

besar daerahnya merupakan daerah karst.

b) Intensitas Hujan di D.I. Yogyakarta

Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh

klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah

129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di

Bantul, Sleman dan terbanyak di Kabupaten Kul

terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan

daerahnya terluar terdapat di Kabupaten Gunungkidul.

Tabel 5.2 Luas Intensitas Hujan di DIY

Intensitas Hujan

(mm/th)

< 1750

2000

2250

> 2250

Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis

Luas (ha)

Tidak Peka

Tugas Mata Kuliah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi

40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu

tanah regosol dengan luas 54324,38 ha.

Gambar 5.1 Persentase Luasan kepekaan Tanah (%) di DIY

Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,

yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah

mediteran sangat banyak ditemui di Kabupaten Gunungkidul yang sebagian

besar daerahnya merupakan daerah karst.

Intensitas Hujan di D.I. Yogyakarta

Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh

klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah

129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di

Bantul, Sleman dan terbanyak di Kabupaten Kulonprogo. Intensitas hujan

terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan

daerahnya terluar terdapat di Kabupaten Gunungkidul.

Luas Intensitas Hujan di DIY

Intensitas Hujan

Kelas Klasifikasi

I Sangat Rendah

II Rendah

III Sedang

IV Tinggi

Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3

4%

20%

46%

13%

17%

Luas (ha) Kepekaan Tanah di DIY

Tidak Peka Kurang Peka Agak Peka Peka Sangat Peka

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

FakultasGeografi UGM | 46

40620,06 ha. Tanah yang memiliki sifat sangat peka terhadap erosi yaitu

Persentase Luasan kepekaan Tanah (%) di DIY

Sebagian besar tanah di D.I Yogakarta bersifat agak peka terhadap erosi,

yaitu sekitar 46% dari luas tanah total. Hal ini dikarenakan jenis tanah

Gunungkidul yang sebagian

Intensitas hujan di Propinsi D.I. Yogyakarta di dominasi oleh

klasifikasi intensitas hujan sedang (2250 mm/th) dengan luasan wilayah

129252,79 ha. Intensitas hujan sedang tersebar di beberapa kabupaten yaitu di

onprogo. Intensitas hujan

terbesar kedua di D.I. Yogyakarta yaitu klasifikasi rendah (2000 mm/th) dan

Klasifikasi Luas (ha)

Sangat Rendah 57872,4

Rendah 103361,35

Sedang 129252,79

Tinggi 28095,38

Sangat Peka

Page 48: Laporan Tata Wilayah

Gambar 5

Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di

Bantul dan di Gunungkidul.

sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada

daerah Gunungkidul tersebar disekitar W

hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan

suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas

hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lere

gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,

hal ini dikarenakan efek orografis terjadi pada daerah

tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada

ketinggian tertentu hingga me

pada daerah tersebut. Titik

tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan

tanah yang memiliki agregat kurang kuat.

Luas (ha) Intensitas Hujan DIY

Tugas Mata Kuliah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi

Gambar 5.2 Persentase Luasan Intensitas hujan di DIY

Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di

Bantul dan di Gunungkidul. Kabupaten Bantul yang memiliki intensitas hujan

sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada

daerah Gunungkidul tersebar disekitar Wonosari. Hal ini disebabkan

hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan

suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas

hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lere

gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,

hal ini dikarenakan efek orografis terjadi pada daerah-daerah menuju dataran

tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada

ketinggian tertentu hingga mencapai titik jenuh dan akhirnya turunlah hujan

pada daerah tersebut. Titik-titik hujan akan mempercepat terjadinya erosi

tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan

tanah yang memiliki agregat kurang kuat.

18%

32%

41%

9%

Luas (ha) Intensitas Hujan DIY

Sangat Rendah Rendah Sedang Tinggi

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

FakultasGeografi UGM | 47

Persentase Luasan Intensitas hujan di DIY

Intensitas hujan sangat rendah terdapat pada dua daerah yaitu di

Kabupaten Bantul yang memiliki intensitas hujan

sangat rendah berada pada daerah dekat pesisir parang tritis. Sedangkan pada

Hal ini disebabkan turunnya

hujan tergantung dari suhu udara dan konsentrasi terkumpulnya awan pada

suatu wilayah, sehingga tidak heran jika pada dua wilayah tersebut intensitas

hujannya sangat rendah. Lain halnya dengan daerah yang berada di lereng

gunung seperti Sleman. Pada daerah ini intensitas hujan tinggi sering terjadi,

daerah menuju dataran

tinggi Gunung Merapi. Efek orografis membuat awan dipaksa naik pada

ncapai titik jenuh dan akhirnya turunlah hujan

titik hujan akan mempercepat terjadinya erosi

tanah. Hal ini dikarenakan sifat air yang dapat menggerus dan mengalirkan

Luas (ha) Intensitas Hujan DIY

Page 49: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 48

Gambar 5.3 Proses Terjadinya Hujan Orografis

c) Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta

Sebagian besar daerah di Propinsi D.I. Yogyakarta memiliki

kemiringan lereng datar, dengan luas 90316,24 (ha) atau 25% dari luas

keseluruhan DIY. Daerah datar terdapat pada Kabupaten Bantul, Sleman dan

Kulonprogo pada daerah dekat pesisir selatannya. Pada Kabupaten

Gunungkidul tidak terdapat daerah datar, hal ini dikarenakan daerah ini

merupakan daerah pengangkatan gunung merapi purba. Sehingga pada daerah

pesisir selatan Gunungkidul memiliki lereng yang curam.

Tabel 5.3 Luas Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta

Kelas Kemiringan (%) Klasifikasi Luas (ha)

I 0,00-8,00 Datar 90316,24

II 8,01-15,00 Landai 35619,66

III 15,01-25,00 Agak Curam 59104,37

IV 25,01-40,00 Curam 78280,76

V 40,01 atau lebih Sangat Curam 47769,39

Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3

Page 50: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 49

Gambar 5.4 Persentase Luasan Kemiringan Lereng di DIY

Kemiringan lereng pada suatu daerah juga menjadi salah satu faktor

penting dalam menentukan suatu fungsi kawasan. Daerah yang memiliki

lereng sangat curam, akan rawan terjadi erosi karena penampang wilayahnya

miring sehingga akan mempercepat laju aliran air penyebab erosi tanah.

Daerah dengan lereng sangat curam di Propinsi D.I. Yogyakarta juga berada

di lereng Gunung Api aktif Merapi, sehinga daerah ini juga rawan terjadi

bencana seperti luapan lahar panas maupn lahar dingin.

d) Arahan Fungsi Pemanfaatan Lahan di D.I. Yogyakarta

Karakteristik hujan, jenis tanah dan kemiringan lereng di D.I.

Yogyakarta kemudian dapat dijadikan dasar penentuan arahan fungsi

pemanfaatn lahan. Menurut Keputusan Menteri Pertanian No.

837/kpts/Um/11/1980 menyatakan bahwa kawasan lindung adalah kawasan

yang karena keadaan dan sifat fisik wilayahnya perlu dibina dan

dipertahankan sebagai hutan dengan penutupan vegetasi secara tetap guna

kepentingan hidroorologi, yaitu tata air, mencegah banjir dan erosi serta

memelihara keawetan dan kesuburan tanah, baik dalam kawasan yang

bersangkutan maupun kawasan yang dipengaruhi di sekitarnya.

29%

12%

19%

25%

15%

Luas (ha) Kemiringan Lereng DIY

Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam

Page 51: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 50

Tabel 5.4 Luas Kemiringan Lereng di D.I. Yogyakarta

Kriteria Arahan Luas (ha)

Skor Total > 175 Kawasan Lindung 58138,06

Skor Total 125-175 Kawasan

Penyangga 50465,28

Skor Total < 125 dan Kemiringan

Lereng > 8%

Kawasan Budidaya

Tanaman Tahunan 2299,69

Skor Total < 125 dan Kemiringan

Lereng ≤ 8%

Kawasan Budidaya

tanaman Semusim

dan Permukiman 207678,88

Luas Total 318581,91

Sumber: Analisis Peneliti Menggunakan ArcGis 9.3

Daerah yang memiliki kemiringan lereng di atas 40%, dengan curah

hujan sangat tinggi, dan jenis tanah yang sangat peka tehadap erosi (sepeti

tanah regosol) sebaiknya tidak dimanfaatkan oleh aktivitas manusia.

Melainkan daerah tersebut difungsikan sebagai kawasan lindung untuk

mendukung kelestarian wilayah pada daerah disekitarnya.

Gambar 5.5 Tanah Regosol yang berada pada lereng yang sangat curam

(pegunungan) menyebabkan daerah ini rawan terjadi erosi

Kawasan lindung di D.I. Yogyakarta berkisar 18% dari total luas

wilayahnya. Kawasan ini terdapat di Gunung Merapi yang satatusnya menjadi

daerah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) sungai-sungai besar di Yogyakarta.

Kawasan ini tidak boleh tersentuh oleh aktivitas manusia, karena berfungsi

Page 52: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 51

sebagai kawasan lindung. Selain dapat melindungi daerah setempat,

diharapkan juga dapat melindungi daerah-daerah disekitarnya hingga daerah

hillir. Apabila daerah hulu terlindungi, maka ancaman seperti banjir dan erosi

yang sering terjadi dapat diminimalisisir. Gambar 5.5 Tanah Regosol yang

berada pada lereng yang sangat curam (pegunungan) menyebabkan daerah ini

rawan terjadi erosi

Gambar 5.6 Persentase Luasan Arahan Fungsi Kawasan di DIY

Kawasan budidaya tanaman semusim dan permukiman memiliki

cangkupan wilayah yang cukup luas, berkisar 65% dari total luas wilayah

DIY. Yaitu terdapat di Bantul, Sleman dan Kulonprogo. Kawasan ini boleh

ada aktivitas manusia seperti mengolah tanah menjadi tempat budidaya

tanaman dan permukiman. Selanjutnya kawasan penyangga merupakan

wilayah yang mengelilingi atau berdampingan dengan kawasan lindung dan

teridentifikasi, untuk melindungi kawasan lindung dari dampak negatif

kegiatan manusia. Dimana hanya kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan

tujuan konservasi yang dapat dilakukan. Menurut Bismark dan Sawitri (2006)

Model daerah penyangga berdasarkan kondisi topografi, pengelolaan lahan,

dan sosial ekonomi masyarakat dibagi ke dalam 3 jalur (zonasi) yaitu (1) jalur

hijau, dikelola sebagai hutan kemasyarakatan, (2) jalur interaksi berupa

agroforestry, pertanian pekarangan, desa, hutan rakyat, dan wisata alam (3)

jalur budidaya dengan pengembangan pertanian intensif, sawah, pertanian,

ladang, kebun, dan agroforestry. Kawasan penyangga di D.I. Yogyakarta

18%

16%

1%

65%

Luas (ha) Arahan Fungsi Kawasan

Kawasan Lindung

Kawasan Penyangga

Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

Kawasan Budidaya tanaman Semusim dan Permukiman

Page 53: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 52

berada di daerah Sleman (dekat kawasan lindung), Gunungkidul, dan

Kulonprogo. Kawasan budidaya tanaman tahunan berada di daerah

Gunungkidul, Kulonprogo, dan Bantul (berbatasan dengan Gunungkidul).

Kawasan ini difungsikan sebagai hutan produksi, perkebunan, dan tanaman

buah-buahan.

Beberapa Arahan fungsi pemanfaatan lahan tersebut diatas dapat

disimpulkan bahwa fungsi kawasan merupakan permintaan lahan berdasarkan

karekteristik fisik menjadi kawasan lindung, penyangga, budidaya tanaman

tahunan dan budidaya tanaman semusim. Keempat fungsi ini harus tetap

dikontrol pengawasannya, karena setiap fungsi kawasan satu dengan fungsi

kawasan yang lainnya saling terkait dan saling mendukung. Penempatan

fungsi kawasan pada daerah sesuai dengan karakteristik daerahnya akan

menjaga keberlanjutan dan kelestarian lingkungan di Propinsi D.I.

Yogyakarta.

Page 54: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 53

Gambar 5.7 Peta Arahan Fungsi Lahan D.I. Yogyakarta

Page 55: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 54

6) Acara VI (Penentuan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan)

Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah wilayah budi daya

pertanian terutama pada wilayah perdesaan yang memiliki hamparan Lahan

Pertanian Pangan Berkelanjutan dan/atau hamparan Lahan Cadangan Pertanian

Pangan Berkelanjutan serta unsur penunjangnya dengan fungsi utama untuk

mendukung kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. (UU. No.

41 Tahun 2009). Akhir-akhir ini kawasan pertanian semakin terancam

keberadaannya, dan semakin megecil luasannya. Kondisi ini disebabkan oleh laju

pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, sementara itu luasan lahan

pertanian tidak dapat meningkat. Faktor selanjutnya yaitu semakin pesatnya

perkembangan ekonomi dan industri juga dapat merambah pada lahan pertanian.

Akibatnya lahan pertanian semakin menurun luasannya. Desakan-desakan

terhadap penurunan area pertanian, memerlukan upaya strategis pemantauan

(pemetaan) terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan supaya lahan

pertanian tetap terjaga.

Kabupaten Bantul merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di D.I.

Yogyakarta. Secara garis besar satuan fisiografi Kabupaten Bantul sebagian besar

berada pada dataran aluvial (Fluvio Volcanic Plain). Perbukitan di sisi barat dan

timur dan fisiografi pantai dibagian selatan. Adapun pembagian satuan fisiografi

yang lebih rinci di Kabupaten Bantul adalah sebagai berikut:

a) Daerah di bagian Timur merupakan jalur perbukitan berlereng terjal

dengan kemiringan lereng dominan curam (>70%) dan ketinggian

mencapai 400 meter dari permukaan air laut. Daerah ini terbentuk oleh

formasi Nglanggran dan Wonosari.

b) Daerah di bagian Selatan ditempati oleh gisik dan gumuk-gumuk pasir

(fluviomarine) dengan kemiringan lereng datar-landai. Daerah ini

terbentuk oleh material lepas dengan ukuran pasir kerakal.

c) Daerah di bagian tengah merupakan dataran aluvial (Fluvio Volcanic

Plain), yang dipengaruhi oleh Graben Bantul dan terendapi oleh material

vulkanik dari endapan vulkanik Merapi.

Page 56: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 55

d) Daerah di bagian Barat merupakan perbukitan rendah dengan kemiringan

lereng landai-curam dan ketinggian mencapai 150 meter dari permukaan

air laut. Daerah ini terbentuk oleh formasi Sentolo.

Lahan pertanian pangan di Kabupaten Bantul harus tetap dikontrol

areanya. Hal ini demi mencegah perkembangan pengaruh meluasnya daerah

pusat jasa di Yogyakarta yaitu di Kodya Yogyakarta. Kabupaten Bantul berada

disebelah selatan dari Kodya Yogyakarta, sehingga pengaruh perkembangan kota

dikhawatirkan akan berpengaruh terhadap lahan pertanian di Bantul. Sehingga

dibutuhkan perencanaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

Perencanaan kawasan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul

diperoleh dengan cara menganalisis data curah hujan, lereng dan jenis tanah

dengan menggunakan software ArcGis 9.3. Selanjutnya dilakukan skoring

berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 837/kpts/Um/11/1980. Ketiga peta

kemudian di intersect kemudian dilakukan perhitungan skor total untuk

kemudian dikategorikan sesuai aturan arahan pemanfaatan lahan. Selanjutnya

dibutuhkan data pendukung berupa peta penggunaan lahan. Penggunaan lahan

dibutuhkan untuk mengetahui daerah persawahan di Kabupaten Bantul. Dengan

mengkombinasikan antara penggunaan lahan dan arahan pemanfaatan lahan, dan

pemilihan area ≥ 5 Ha untk area sawah maka didapatkan kawasan pertanian

pangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul.

Hasil analisis ArcGis 9.3 menunjukkan bahwa, kawasan pertanian pangan

berkelanjutan di Kabupaten Bantul seluas 14936,86 ha mengelompok pada area

tengah. Area tengah dari Kabupaten Bantul merupakan dataran aluvial (Fluvio

Volcanic Plain), yang dipengaruhi oleh Graben bantul dan terendapi oleh

material dari endapan vulkanik Merapi. Kondisi inilah yang membuat area

tersebut terpilih menjadi area pertanian berkelanjutan. Pada daerah timur dan

barat sedikit terdapat lahan pertanian, karena fisiografi pada daerah tersebut yaitu

perbukitan formasi Nglanggran dan Wonosari (timur) dan formasi Sentolo di

baratnya. Kawasan pertanian pangan berkelanjutan tersebut nantinya akan

menjadi pedoman arahan pembangunan kedepan tanpa mengganggu kelestarian

lahan pangan.

Page 57: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 56

Gambar 6.1 Peta Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Kab. Bantul

Page 58: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 57

7) Acara VII (Perencanaan Jaringan Listrik)

Ketergantungan masyarakat akan pemakaian tenaga/daya (Watt) listrik

pada saat ini sangat tinggi. Hal ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan

penerangan, tetapi juga untuk mendukung kegiatan ekonomi dan kebutuhan hidup

mereka. Peningkatan kebutuhan energi listrik tidak sebanding dengan penigkatan

penyediaan energi listrik. Kapasitas daya terpasang masih tetap, sementara

kebutuhan masyarakat terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah

penduduk dan kegiatan pendukungnya. Fitrianto, dkk (tth) menjelaskan bahwa

akibat yag dapat terjadi karena meningkatnya jumlah penduduk yaitu seringnya

terjadi pemadaman aliran listrik, khususnya pada jam-jam beban puncak atau

dengan kata lain beban pemakaian melebihi daya yang tersedia. Kondisi ini

mengharuskan dilakukannya pengembangan perencanaan dan penyediaan tenaga

listrik pada suatu wilayah untuk melayani konsumen setiap hari. Pemetaan

jaringan listrik dirasa sangat diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang

sering terjadi pada jaringan listrik, seperti kasus pemadaman.

Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota dengan populasi penduduk

terpadat di Indonesia. Pertambahan penduduk Kota Yogyakarta dari tahun ke

tahun cukup tinggi, pada akhir tahun 1999 jumlah penduduk Kota 490.433 jiwa

dan sampai pada akhir Juni 2000 tercatat penduduk Kota Yogyakarta sebanyak

493.903 jiwa dengan tingkat kepadatan rata-rata 15.197/km². Angka harapan

hidup penduduk Kota Yogyakarta menurut jenis kelamin, laki-laki usia 72,25

tahun dan perempuan usia 76,31 tahun. (Pemkot Yogyakarta, 2002). Berdasarkan

hasil sensus penduduk Tahun 2010, jumlah penduduk di Kota Yogyakarta sebesar

388.627 jiwa. Hal ini merupakan kondisi yang cukup padat penduduk, mengingat

luasan Kota Yogyakarta sendiri hanya 318.581,91 ha / 3.185, 819 km2. Dengan

membandingkan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah (dalam km2), maka

didapatkan nilai kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta sebesar 121,99 jiwa/

km2. Hal ini berarti pada area dengan luas 1 km

2 terdapat penduduk sebesar

121,99 jiwa.

Padatnya jumlah penduduk di Kota Yogyakarta membuat kebutuhan akan

listrik semakin tinggi dan sangat penting. Oleh karena itu, pemetaan jaringan

listrik pada kawasan Kota Yogyakarta sangat diperlukan untuk mengetahui

Page 59: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 58

sebaran jaringan distribusi. Dengan mengetahui sebaran jaringan distribusi, maka

selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pemantauan pendukung

Perusahaan Listrik Negara (PLN). Selanjutnya, pembuatan peta jaringan listrik

diasumsikan mengikuti arah jalan menuju blok-blok permukiman (Gambar 7.1).

Gambar 7.1 Perencanaan jaringan Listrik yang Berasosiasi dengan Jalan

(Djumadi,1997)

Pembuatan peta jaringan listrik menggunakan bantuan software ArcGis 9.3 dan

didukung dengan data jaringan jalan serta penggunaan lahan pada daerah Kota

Yogyakarta. Data penggunaan lahan bertujuan untuk mengetahui sebaran

permukiman pada suatu wilayah. Selanjutnya peta jalan berfungsi sebagai dasar

penentuan gardu jaringan listrik. Jaringan listrik pada umumnya berada disekitar

jaringan jalan. Jalan yang digunakan berupa jalan aspal utama meliputi jalan

nasional, jalan propinsi dan jalan kabupaten. Selanjutnya dilakukan perhitungan

kebutuhan listrik, dengan mendasarkan pada data Kepala Keluarga.

Tabel 7.1 Jumlah Penduduk dan Jumlah Kepala Keluarga (KK) D.I. Yogyakarta

No. Wilayah Jumlah Penduduk Jumlah KK

2009 2010 2009 2010

1 Kota Yogyakarta 462.663 388.627 156.254 127.960

2 Kab. Bantul 922.566 911.503 250.232 262.766

3 Kab. Kulonprogo 374.921 388.869 101.059 108.889

4 Kab. Gunungkidul 688.153 675.382 190.907 193.491

5 Kab. Sleman 1.053.566 1.093.110 333.244 344.874

D.I. Yogyakarta 3.501.869 3.457.491 1.031.696 1.037.980

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta, 2009 dan 2010.

Page 60: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 59

Kebutuhan listrik didasarkan pada jumlah KK dikarenakan setiap KK tinggal pada

satu rumah dengan kebutuhan listrik tertentu. Pada wilayah perkotaan asumsi tiap

KK memakai sambungan listrik sebesar 900 VA. Selanjutnya dilakukan

perhitungan kebutuhan listrik rumah tangga dengan mengalikan daya tegangan

listrik rata-rata di kota dengan jumlah KK. Ketentuan peruntukan kebutuhan

listrik ditetapkan sebagai berikut:

a) Kebutuhan rumah tangga = Jumlah KK x 900 VA

b) Penerangan jalan = 10% x kebutuhan listrik rumah tangga (poin a)

c) Perkantoran, fasilitas sosial, dan fasilitas umum = 20% x kebutuhan

listrik rumah tangga

d) Industri = 20% x kebutuhan listrik rumah tangga

e) Kebutuhan seluruh kawasan ditentukan dengan cara menjumlahkan

seua kebutuhan listrik (poin a + b + c + d)

Tabel 7.2 Kebutuhan Listrik Kota Yogyakarta

No Peruntukan Kebutuhan Listrik

A. Kebutuhan rumah tangga 115.164.000

B. Penerangan Jalan (10%) 11.516.400

C. Perkantoran, Fasilitas sosial, dan Fasilitas Umum

(20%) 23.032.800

D. Industri (20%) 23.032.800

E. Kebutuhan seluruh kawasan (VA) 172.746.000

Konversi (KW) 172.746 KW

Sumber: Perhitungan Data Sekunder

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 7.2 dapat disimpulkan bahwa kebutuhan

listrik untuk seluruh kawasan Kota Yogyakarta sebesar 172.746 KW. Dengan

mengatahui kebutuhan listrik untuk seluruh wilayah di Kota Yogyakarta, maka

dapat diproyeksikan kebutuhan listrik untuk tahun-tahun kedepannya.

Page 61: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 60

Gambar 7.2 Peta Jaringan Listrik Kota Yogyakarta

Page 62: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 61

8) Acara VIII (Perencanaan Ruang Terbuka Hijau)

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Permen PU No. 05/PRT/M/2008

adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih

bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara

alamiah maupun yang sengaja ditanam. Rung terbuka hijau dibagi menjadi dua

yaitu (1) RTH privat, dan (2) RTH publik. RTH privat merupakan ruang terbuka

hijau yang dikelola oleh institusi tertentu atau perseorangan, sedangkan RTH

publik merupakan ruang terbuka hijau yang dikelola oleh pemerintah. Tujuan dari

penentuan RTH pada suatu wilayah yaitu menjaga ketersediaan lahan sebagai

kawasan resapan air dan menjaga keseimbangan serta keserasian lingkungan pada

suatu wilayah. RTH selain berfungsi secara ekologis, juga dapat berfungsi secara

sosial, ekonomi, budaya dan estetika. Secara fisik Ruang Terbuka Hijau (RTH)

dibagi menjadi dua yaitu alami dan non alami. RTH alami berupa kawasan

lindung, taman nasional dan habitat liar lainnya. Sedangkan RTH non alami

berupa taman, lapangan, pemakaman, jalur hijau jalan, sempadan sungai maupun

pantai.

Penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu wilayah didasarkan

atas tiga kriteria yaitu, (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk, dan (3) kebutuhan

fungsi tertentu. Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu wilayah memiliki

proporsi minimal 30% dari luas wilayahnya. Nilai minimal tersebut terdiri dari

20% untuk RTH publik dan 10% untuk RTH privat. Berdasarkan jumlah

penduduk, RTH diatur berdasarkan acuan Permen PU No. 05/PRT/M/2008,

seperti berikut.

Tabel 8.1 Penyediaan RTH Berdasarkan Jumlah Penduduk

Sumber: Permen PU No. 05/PRT/M/2008

Page 63: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 62

Kabupaten Gunungkidul merupakan salah satu kabupaten di Propinsi D.I.

Yogyakarta. Wilayahnya terletak dibagian timur dan berbatasan langsung dengan

Propinsi Jawa Tengah di bagian timur dan utaranya. Wilayah Kabupaten

Gunungkidul secara fisiografis daerahnya merupakan daerah karst pada bagian

selatannya, yang terdapat pada kompleks Pegunungan Sewu. Kepadatan penduduk

di wilayah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan kabupaten lain di Propinsi

Yogyakarta. Kondisi inilah yang membuat RTH alami masih cukup terjaga. RTH

non alami di Kabupaten Gunungkidul dirasa membutuhkan perhatian lebih. Hal

ini dikarenakan seiring dengan pembangunan jalur lintas selatan, maka pelebaran

jalan dan perbaikan jalan di Kabupaten Gunungkidul cukup gencar. Kondisi

tersebut akan mengancam keberadaan jalur hijau di wilayah ini. Wisata minat

khusus pada wilayah pantai dan sungai juga sangat dikembangkan di Kabupaten

Gunungkidul. Hal tersebut juga dikhawatirkan dapat merusak RTH di sempadan

sungai maupun sempadan pantai. Perencanaan RTH non alami di Kabupaten

gungkidul sangat dibutuhka untuk menjaga kelstarian fungsi ekologis dari ruang

hijau.

Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) non alami di Kabupaten

Gunungkidul berupa jalur hijau jalan, sempadan sungai, dan sempadan pantai.

Jalur hijau jalan direncanakan sebagai RTH dengan memanfaatkan Ruang Milik

Jalan (RUMIJA) dengan ketentuan sebagai berikut:

a) Jalan arteri: 15 meter

b) Jalan kolektor: 10 meter

c) Jalan lokal: 7 meter

Penentuan RTH sempadan sungai ditetapkan sejauh 15 meter untuk sungai tidak

bertanggul dengan kedalaman > 3 meter. Sungai-sungai besar ditetapkan sejauh

20 meter. Selanjutnya sempadan pantai sejauh 100 meter.

Perhitungan jumlah penduduk berdasarkan luas wilayah menggunakan

bantuan software ArcGis 9.3. Dari statistik atribut diperoleh luasan total

Kabupaten Gunungkidul sebesar 148.414,11 ha. Kemudian dari luas tersebut

dihitung 30% dari luas keseluruhan wilayah, maka didapatkan luasan RTH

minimal sebesar 44.524,23 ha. Selanjutnya melakukan buffering untuk

mengetahui luasan RTH non alami di Kabupaten Gunungkidul. RTH non alami

Page 64: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 63

tersebut berupa jalan (arteri, kolektor, dan lokal), sempadan sungai, dan sempadan

pantai. Penentuan jarak buffer didasarkan atas peraturan yang diterbitkan oleh PU

No. 05/PRT/M/2008. Hasil analisis buffering kemudian dilakukan proses union

untuk menggabungkan semua RTH non alami dalam 1 format shp. Hasil analis

RTH non alami di Kabupaten Gunungkidul diketahui sebesar 5.556,90 ha.

Sehingga kekurangan RTH total yaitu 38.967,33 ha. Kekurangan ini belum

ditambah dengan nilai RTH alami. Apabila ditambahkan dengan RTH alami,

maka luasan kekurangan RTH dapat semakin menurun. Hasil analisis perhitungan

RTH berdasarkan luas wilayah disajikan dalam Tabel 8.2

Tabel 8.2 Perhitungan RTH berdasarkan luasan wilayah

Luas Wilayah Kabupaten

(ha)

Luas RTH

(30%)

Luas RTH yang

Direncanakan

(ha)

Kekurangan

Luas RTH

(ha)

148414,11 44524,23 5556,90 38967,33

Sumber: Analisis Peneliti menggunakan ArcGis 9.3

Selanjutnya dicari luasan RTH berdasarkan jumlah penduduk berdasarkan

acuan Permen PU No. 05/PRT/M/2008. Hasil perhitungannya disajikan dalam

Tabel 8.3 berikut.

Tabel 8.3 Perhitungan RTH berdasarkan jumlah penduduk

Sumber: Analisis Peneliti Mengacu Pada Permen PU No. 05/PRT/M/2008

Page 65: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 64

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 8.3 maka dapat disimpulkan bahwa

Kabupaten Bantul membutuhkan luasan RTH sebesar 27,52 ha. Bentuk RTH ada

tiga variasi yaitu unit I (Taman RT), unit II (Taman RW), dan unit III (Taman

Kelurahan). Tingkatan taman di Kabupataen Gunungkidul hanya mencapai

tingkat taman kelurahan, hal ini dikarenakan tidak ada jumlah penduduk pada tiap

kecamatan yang melebihi ketentuan taman kecamatan yaitu 120.000 jiwa. Jumlah

unit taman yang dibutuhkan diperoleh dengan cara membagi jumlah penduduk

kecamatan dengan jumlah jiwa pada unit lingkungan berdasarkan Permen PU No.

05/PRT/M/2008. Kebutuhan taman total di Kabupaten Gunungkidul sebanyak 229

unit yaitu mencangkup Taman RT, Taman RW, dan Taman Kelurahan.

Page 66: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 65

Gambar 8.1 Peta Ruang Terbuka Hijau Non Alami Kabupaten Gunungkidul

Page 67: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 66

G. KESIMPULAN DAN SARAN

1) Kesimpulan

Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta

segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek

administratif dan/atau aspek fungsional. Adanya potensi dan permasalah pada

suatu wilayah dibutuhkan penataan dan perencanaan secara matang dalam

pengembangan pembangunan wilayah kedepannya. Penataan dan

perencanaan pembangunan wilayah akan lebih komprehensip apabila

menggunakan pendekatan geografi. Hal ini dikarenakan pendekatan geografi

menelaah potensi dan permasalahan dari aspek fisik maupun aspek sosialnya.

Hasil praktikum Acara I menjelaskan bahwa penggunaan lahan

dominan pada satuan unit kecamatan di Kabupaten Kulonprogo memiliki 3

variasi yaitu kebun, permukiman, dan sawah irigasi. Hasil praktikum Acara II

dapat disimpulkan bahwa kawasan lindung setempat dan sempadan sungai di

Kabupaten Sleman mencapai 51% dari luas total wilayahnya, dan sisanya

merupakan kawasan lindung bawahan. Hasil praktikum Acara III dapat

disimpulkan bahwa kawasan rawan bencana longsor Propinsi D.I. Yogyakarta

berada di Kabupaten Sleman tepatnya di Kecamatan Pakem. Hasil praktikum

Acara IV dapat disimpulkan bahwa wilayah Kodya Yogyakarta seluruhnya

rawan terjadi banjir dengan kriteria sangat tinggi. Hasil praktikum Acara V

dapat disimpulkan bahwa 65% dari luas total wilayah D.I. Yogyakarta

merupakan kawasan budidaya tanaman semusism dan permukiman, kawasan

lindung berada di Kabupaten Sleman. Hasil praktikum Acara VI dapat

disimpulkan bahwa kawasan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten

Bantul mengelompok pada area tengah karena merupakan dataran aluvial

(Fluvio Volcanic Plain). Hasil praktikum Acara VII dapat disimpulkan bahwa

kebutuhan listrik untuk seluruh kawasan Kota Yogyakarta sebesar 172.746

KW. Hasil praktikum Acara VIII dapat disimpulkan bahwa RTH berdasarkan

luasan wilayah di Kabupaten Gunungkidul sebesar 44524,23 ha, sedangkan

berdasakran jumlah penduduk sebesar 27,52 ha.

Page 68: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 67

2) Saran

Hasil praktikum matakuliah tata wilayah merupakan salah satu cara

untuk mengetahui potensi serta permasalahan yang ada pada wilayah di D.I.

Yogyakarta. Selanjutanya potensi dan permasalahan yang ada pada wilayah

ditata dan dikelola menggunakan bantuan software ArcGis 9.3.

Pengembangan lebih lanjut mengenai pembangunan wilayah sangatlah

tergantung pada stakeholder pemangku kebijakan. Oleh karena itu peran

pemerintah D.I Yogyakarta dan 4 kabupaten serta 1 kota madya sangatlah

dibutuhkan. Perencanaan wilayah supaya lebih baik dari tahun ketahun

merupakan keinginan semua pihak maupun kalangan, langkah selanjutnya

yang dibutuhkan untuk mengembangkan wilayahnya yaitu dengan cara

pengelolaan secara terpadu antar disiplin, antar sektor dan antar dinas.

Pemberdayaan dan pemahaman masyarakat kecil terhadap potensi dan

ancaman rawan bencana juga sangat dibutuhkan, untuk menanggulangi resiko

terjadinya bencana tersebut.

Page 69: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 68

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Arsyad, Sitanala. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab. Kulon Progo. 2012. Kabupaten

Kulon Progo Dalam Angka Tahun 2011. Kulonprogo: Bappeda

Kulonprogo.

Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta. 2009. Hasil Sensus Penduduk

Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2009. Yogyakarta: BPS Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik (BPS) D.I. Yogyakarta. 2010. Hasil Sensus Penduduk

Propinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2010. Yogyakarta: BPS Yogyakarta.

Djumadi, Martin B dan bambang A. 1997. Instalasi Listrik Bangunan. Penerbit

Angkasa . Bandung

Fitrianto, dkk. Tth. Prakiraan Kebutuhan Energi Listrik Tahun 2006 – 2015 pada

PT. PLN (persero) Unit Pelayanan Jaringan (UPJ) di Wilayah Kota

Semarang dengan Metode Gabungan. Semarang: Undip

[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik

Indonesia. 2008. Pedoman dan pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau d

Kawasan Perkotaan Nomor: 05/PRT/M/2008. Jakarta: Kementerian

Pekerjaan Umum.

[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik

Indonesia. 2007. Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana

Longsor Nomor: 22/PRT/M/2007. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.

[Kementerian Pekerjaan Umum] Kementerian Pekerjaan Umum Republik

Indonesia. Tth. Pedoman Pengendalian Peanfaatan Ruang di Kawasan

Rawan Bencana Banjir (KRB). Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum.

[Kementerian Pertanian] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 1980. Surat

Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 837/Kpts/Um/11/1980 Tentang

Kriteria dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung. Jakarta: Kementerian

Pertanian.

Page 70: Laporan Tata Wilayah

Tugas Mata Kuliah Tata Wilayah Oleh: Nasobi Niki Suma

Tata Wilayah, FakultasGeografi UGM | 69

[Keputusan Presiden Republik Indonesia]. 1990. Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor: 32 Tahun 1990. Jakarta: Republik Indonesia

Pemerintah Kabupaten Kulonprogo. 2012. Kabupaten Kulonprogo Dalam Angka

Tahun 2011. Kulonprogo: BPS Kabupaten Kulonprogo.

Pemerintah Kota Yogyakarta. 2002. Kondisi Geografis Kota Yogyakarta. Online:

http://www.jogjakota.go.id.

[Undang-Undang Republik Indonesia]. 2009. Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan. Jakarta: Republik Indonesia

Wischmeier, W.H., and J. V. Mannering. 1969. Relation of Soil Properties to its

Erodibility. Soil Sci. Am. Proc. 33: 131-137.