20
LAPORAN TETAP PRAKTIKUM ANALISIS KADAR SULFUR OLEH : KELOMPOK III SAIPUL RIJAL JULIANSAH SYAFARIYADI TIARA PUTRI TUNJUNG PETISARI VINANDA NUANSA WERIANA WIJAYA AGUSTRIA

laporan tetap praktikum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lporan tetap praktikum batubara

Citation preview

LAPORAN TETAP PRAKTIKUM

ANALISIS KADAR SULFUR

OLEH : KELOMPOK III

SAIPUL RIJAL JULIANSAH

SYAFARIYADI

TIARA PUTRI

TUNJUNG PETISARI

VINANDA NUANSA

WERIANA

WIJAYA AGUSTRIA

INSTRUKTUR : IR. KA RIDWAN.M.T

PENENTUAN KADAR SULFUR

I. TUJUAN PERCOBAAN

- Mahasiswa mampu menentukan kadar sulfur dengan baik dan benar

- Mahasiswa mampu menggunakan alat s-144 DR dengan baik dan benar

II. ALAT DAN BAHAN

- Alat yang Digunakan

1. S-144 DR

2. Spatula

3. Boat

4. Pendorong

5. Neraca Analitik

- Bahan yang digunakan

1. Batubara -170 mash

2. Batubara -200 mash

III. DASAR TEORI

Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang memiliki riwayat

pemanfaatan yang sangat panjang. Beberapa ahli sejarah yakin bahwa batubara pertama

kali digunakan secara komersial di Cina. Ada laporan yang menyatakan bahwa suatu

tambang di timur laut Cina menyediakan batu bara untuk mencairkan  tembaga dan

untuk mencetak uang logam sekitar tahun 1000 SM. Bahkan  petunjuk paling awal

tentang batubara ternyata berasal dari filsuf dan  ilmuwan Yunani yaitu Aristoteles, yang

menyebutkan adanya arang seperti  batu. Abu batu bara yang ditemukan di reruntuhan

bangunan bangsa Romawi  di Inggris juga menunjukkan bahwa batubara telah

digunakan oleh bangsa Romawi pada tahun 400 SM. 

Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa

tumbuhan purba yang mengendap yang selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika

dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun. Oleh karena itu, batubara termasuk

dalam kategori bahan bakar fosil. Adapun proses yang mengubah tumbuhan menjadi

batubara tadi disebut dengan pembatubaraan (coalification).

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan jaman geologi

dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lokasi pengendapan

(sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan

geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang

jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai

dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).

Pembentukan batubara dimulai sejak periode pembentukan Karbon

(Carboniferous Period) –dikenal sebagai zaman batu bara pertama– yang berlangsung

antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Kualitas dari setiap endapan batu bara

ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai

‘maturitas organik’. Proses awalnya, endapan tumbuhan berubah menjadi gambut (peat),

yang selanjutnya berubah menjadi batu bara muda (lignite) atau disebut pula batu bara

coklat (brown coal). Batubara muda adalah batu bara dengan jenis maturitas organik

rendah.

Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan

tahun, maka batu bara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap

menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi batu bara sub-

bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus berlangsung hingga

batu bara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam sehingga membentuk bituminus

(bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam kondisi yang tepat, peningkatan maturitas

organik yang semakin tinggi terus berlangsung hingga membentuk antrasit.

Dalam proses pembatubaraan, maturitas organik sebenarnya menggambarkan

perubahan konsentrasi dari setiap unsur utama pembentuk batubara. Berikut ini

ditunjukkan contoh analisis dari masing –masing unsur yang terdapat dalam setiap

tahapan pembatubaraan.

Kandungan sulfur

Kadungan slfur dalam batubara terbagi dalam pyritic sulfur, sulfate sulfur, dan organic

sulfur. Namun secara umum, penilaian kandungan sulfur dalam batubara dinyatakan

dalam Total Sulfur (TS). Kandungan sulfur berpengaruh terhadap tingkat korosi sisi

dingin yang terjadi pada elemen pemanas udara, terutama apabila suhu kerja lebih

rendah dari pada titik embun sulfur, di samping berpengaruh terhadap efektivitas

penangkapan abu pada peralatanelectrostatic precipitator. Sulfur adalah salah satu

komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik.

Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat

hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers,

1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi

cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan

(Mackowsky, 1968).

Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen

penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara

terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan

pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut

selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande

et.al,1987).

Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa) dan Eh cukup

rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya

cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau

penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri

sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan

batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga

rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri

rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH,

Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas

bakteri. Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut

akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi, sedangkan batubara yang

terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik

dengan persentase pirit yang rendah. Terdapat 3 (tiga) jenis sulfur yang terdapat dalam

batubara, yaitu :

1. Sulfur piritik

Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada

batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi

berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk

orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998).

Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan

sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam

Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan

menjadi 2, yaitu :

1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan

(peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus

dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international

journal of coal geology, 1992).

2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis

ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya

bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam

international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati

sebagai pirit pengisi cleat pada batubara.

Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah

yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan

sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan

bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi

cleat / rekahan karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke

dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi

dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D,

dalam International Journal of Coal Geology, 1992).

Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang

telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande

et.al,1987). Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner,

1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah :

SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S

3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2O

FeS + S0 - - - - - FeS2

Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan

direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai

berikut :

SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S

Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau

hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron

(FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi

hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga

berlangsung dengan media ferric iron (FeIII).

Berikut persamaan reaksinya :

3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2O

FeS + S0 - - - - - FeS2

Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida

membentuk polisulfida (SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses

pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk

membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi

pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana

basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida

juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur

organik.

Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan

laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit

framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang dipengaruhi oleh transgresi

air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan

terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H,

1998).

2. Sulfur Organik

Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara

yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal

dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur

inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000).

Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang

keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses

pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu

dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa

organisme yang hidup selama perkembangan gambut.

Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses

penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia

merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang

pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C.

Cook, 1982).

Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam

menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam

lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen

sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi

adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi

reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger

et.al, dalam Meyers, 1982).

Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul

organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul

dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam

kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur

sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses

penggambutan (Meyers,1982).

Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam

humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan

asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan

kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan

sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang

minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam

Suits and Arthur, 2000).

3. Sulfur Sulfat

Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium.

Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara

telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers,

1982 and Kasrai et.al, 1996).

Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi

lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara.

Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan,

sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian

bawah lapisan batubara.

IV. LANGKAH KERJA

- Menyalakan Instrumen

1. Menyalakan determinator s-144 DR, dengan menekan tombol on

2. Menyalakan balance, tekan tombol power, tunggu sampai muncul angka

pada layar balance

3. Menyalakan computer dan printer

4. Klick ganda icon SC -144DR pada layar destop computer untuk

mengaktifkan software

5. Klick diagnostic tunggu sampai semua seting pada ambient monitor

tercapai dan stabil (1-2 jam)

- Persiapan Analisa

1. Melakukan analisa blangko 2-3 kali sebelum analisa sampel

a. Klik add sample, pada kolom name pilih blank (berat 1.000 g

otomatis akan dimasukan)

b. Klik analyze, setelah muncul perintah untuk memasukan sampel

kedalam furnace, tekan ok, maka analisis blangko dimulai

2. Lakukan analisa dengan sampel / standar conditioning 2-4 kali langkah

sama dengan analisa sampel

3. Pastika semua methot yang akan digunakan unutuk analisa sampel sudah

dikalibrasi

Catatan : analisa dengan conditioning dilakukan pada saat memulai

analisa atau lama tidak digunakan ataupun saat anhydrone baru diganti

- Analisis Sampel

1. Klik add sampel atau tekan tombol F3 pada keyboard untuk menambah

jumlah sampel. Pilih Method sesuai dengan analisis yang akan dilakaukan

2. Timbang sampel yang akan dianalaisis

a. Letakan sampel boat (cawan) diatas timbangan

b. Tekan TARE untuk menera sampai stabil (0.000 gr)

c. Letakan sampel yang akan dianalisis kedalam sampel boat (cawan) ±

0.25 g. sampel dibuat serata mungkin pada cawan

d. Tekan tombol print pada balance atau masukan secara manual setelah

pemnacaan stabil.

3. Tekan analyze atau F4 pada keyboard untuk mulai analisis

4. Tunggu sampai muncul pesan “push the sample boat into furnace”

kemudian tekan sampel boat (cawan) kedalam furnace sampai menyentuh

boat stop.

5. Setelah analisa selesai, keluarkan sample boat (cawan)

- Mematikan Peralatan

1. Tutup / keluar dari program SC-144DR, matikan computer

2. Matikan anlyze

3. Tutup tabung gas

V. DATA PENGAMATAN

Dilampirkan

VI. ANALISA PERCOBAAN

Dari percobaan yang dilakukan dapat dianalisa bahwa kandungan sulfur dari

sampel yang digunakan cukup kecil. Dari sampel pertama yang berukuran -170 mash,

yang dilakaukan analisa blangko terlebih dahulu, untuk mengetahui alat sudah stabil atau

belum. Setelah di dapat angka kesetabilan pada analisa blangko barulah menimbang

sampel yang berukuran -170 mash, didapatkan data 1.0020 gram, langsung dilakukan

analisa.

Pada sampel kedua yang berukuran -200 mash, dengan berat batubara dimasukan

dalam boat adalah 1.0831 gram. Diratakan dan dilakukan pemanasan dalam furnace agar

batubara terbakar sehingga kadar sulfur dapat diketahui.

Begitupula dengan ukuran -20 mash, dengan berat batubara dimasukan dalam

boat adalah 1.0155 gram. Diratakan dan dilakukan pemanasan dalam furnace agar

batubara terbakar sehingga kadar sulfur dapat diketahui.

VII. KESIMPULAN

Dari percobaan ini dapat disimpulkan

- Untuk ukuran -20 mash kadar sulfur = 0.97602

- Untuk ukuran -170 mash kadar sulfur = 0.9396

- Untuk ukuran -200 mash kadar sulfur = 0.90112

- Bahwa semakin besar ukuran sampel maka hasil sulfur juga semakin besar

VIII. DAFTAR PUSTAKA

Jobsheet penuntun praktikum analisa batubara tahun 2013 palembang

Name Method Weight Sulfur date Low Sulfur Peak Hight Sulfur Area

BB 20 mesh 3EGB batubara 1.0155 0.97602 10/23/12 03:02 PM 6.9461 14.078 BB 170 mesh 3EGB batubara 1.0020 0.93960 10/23/12 03:07 PM 5.7577 13.373 BB200 mesh 3EGB batubara 1.0831 0.90112 10/23/12 03:12 PM 6.0034 13.863

AVG: 0.93891 STD: 0.0375 RSD: 3.99 MIN:

0.90112 MAX: 0.97602

GAMBAR ALAT

INSTRUMEN S-144DR

NERACA ANALITIK

BOAT (CRUSIBEL)