16
LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PRODUKSI BENIH “PEMECAHAN DORMANSI” DISUSUN OLEH : NAMA : NELSA GATYA SARI NIM : 125040201111245 KELOMPOK : SENIN, 13.20-15.00 ASISTEN : NOFITA PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Laporan TPB IV

Embed Size (px)

DESCRIPTION

laporan

Citation preview

LAPORAN PRAKTIKUMTEKNOLOGI PRODUKSI BENIHPEMECAHAN DORMANSI

DISUSUN OLEH :NAMA: NELSA GATYA SARINIM: 125040201111245KELOMPOK: SENIN, 13.20-15.00ASISTEN: NOFITA

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGIFAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS BRAWIJAYAMALANG20144. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HasilNo Perlakuan Komoditi Parameter

Vigor Less VigorAbnormal Mati

1. Skarifikasi Diamplas Saga -10--

Kontrol ---10

Jumlah -10-10

Persentase -50%-50%

2. Dilukasi Semangka 3--7

Kontrol 12-7

Jumlah 42-14

Persentase 20%10%-70%

Parameter

NAbBMBKBSTT

3. Starifikasi Suhu 50oCKedelai 91---

Kontrol 9-1--

Jumlah 1811--

Persentase 90%5%5%--

4. Suhu 60oCPadi --10--

Kontrol --10--

Jumlah --20--

Persentase --100%--

4.2 Pembahasan 4.2.1 Skarifikasi Perlakuan skarifikasi pada materi pemecahan dormansi ini dilakukan pada benih dengan melukai benih yang menjadi benih pengamatan. Perlakuan ini menggunakan benih saga dan benih semangka. Untuk benih saga yang memiliki ciri benih yang keras maka dalam perlakuan skarifikasi benih diamplas. Sedangkan untuk benih semangka yang memiliki ciri benih yang agak lunak maka dalam perlakuan skarifikasi ujung benih dipotong dengan gunting kuku. Masing-masing benih dibutuhkan sebanyak 20 benih, 10 benih untuk yang mengalami perlakuan skarifikasi dan 10 benih lain tanpa perlakuan skarifikasi atau sebagai kontrol. Setelah itu benih ditumbuhkan dalam media pasir. Untuk pengamatan benih, benih dimasukkan dalam kategori vigor, less vigor, abnormal atau mati. Pengamatan dilakukan setelah 7 hari ditumbuhkan dalam media pasir.Setelah dilakukan pengamatan dapat diketahui bahwa pada benih saga yang diamplas semuanya dalam kategori less vigor sehingga jika dipersentasekan adalah 50%. Sedangkan benih saga yang tidak diamplas atau kontrol semua benihnya masuk dalam kategori mati, yang tidak menunjukkan tanda kehidupan, sehingga jika dipersentasekan adalah 50% juga. Jika dibandingkan diantara keduanya sangat mencolok perbedaan kedua benih tersebut, dimana benih yang mengalami perlakuan skarifikasi menunjukkan daya tumbuh yang lebih baik dibandingkan tanpa perlakuan skarifikasi. Apa yang terjadi pada benih saga sejalan dengan jurnal oleh (Juhanda, Yayuk Nurmiaty & Ermawati, 2013) yang juga meneliti pengaruh skarifikasi pada pola imbibisi dan perkecambahan benih saga manis (Abruss precatorius L.). Dimana hasil penelitian menunjukkan benih saga yang diskarifikasi memiliki daya berkecambah lebih baik dibanding yang tanpa perlakuan, tidak hanya daya kecambah namun juga meliputi peubah-peubah pengamatan lainnya, sehingga pengaruh skarifikasi mekanik menggunakan amplas nyata terhadap peubah yang diamati. Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya perkecambahan benih yang seragam (Schmidt, 2000). Kulit benih yang permeabel memungkinkan air dan gas dapat masuk ke dalam benih sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Benih yang diskarifikasi akan menghasilkan proses imbibisi yang semakin baik. Air dan gas akan lebih cepat masuk ke dalam benih karena kulit benih yang permeabel. Air yang masuk ke dalam benih menyebabkan proses metabolisme dalam benih berjalan lebih cepat akibatnya perkecambahan yang dihasilkan akan semakin baik. Sehingga perlakuan skarifikasi dengan mengamplas benih saga mampu menjadi langkah yang efektif dalam pemecahan masa dormansi benih. Yang hal tersebut telah dibuktikan dalam pengamatan yang telah dilakukan bahwa benih yang mendapat perlakuan skarifikasi mampu berkecambah lebih baik daripada benih saga yang tanpa perlakuan atau kontrol. Hal yang cukup berbeda pada pengamatan benih semangka menunjukkan bahwa dari 10 benih semangka yang dilukai 3 benih masuk dalam kategori vigor, sedangkan 7 benih lainnya masuk dalam kategori mati. Dan dari 10 benih semangka yang tidak dilukai atau kontrol 1 benih masuk dalam kategori vigor, 2 benih masuk dalam kategori less vigor dan 7 benih lainnya masuk dalam kategori mati. Dan jika dipersentasekan dari 20 benih yang digunakan yang masuk dalam kategori vigor adalah 20%, sedangkan yang masuk dalam kategori less vigor adalah 10%, dan yang masuk dalam kategori mati adalah 70%. Namun jika dibandingkan diantara kedua benih tersebut, masing-masing memiliki 7 benih yang tidak dapat tumbuh atau mati dan 3 diantaranya termasuk dalam benih vigor dan benih less vigor. Dengan demikian dapat diartikan bahwa perlakuan skarifikasi cukup memberi pengaruh terhadap daya tumbuh benih semangka lebih baik daripada benih tanpa perlakuan atau kontrol. Tidak begitu berbeda dengan penjelasan pada benih saga yang diskarifikasi, dimana benih mampu dipecahkan masa dormansinya dan berkecambah baik. Pada benih semangka perlakuan skarifikasi juga dapat dikatakan cukup menjadi langkah efektif untuk memecah masa dormansi benih. Karena perlakuan skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perlakuan awal pada benih yang ditujukan untuk mematahkan dormansi dan mempercepat terjadinya perkecambahan benih yang seragam (Schmidt, 2000). Kemungkinan jumlah yang besar dari benih yang digunakan masuk dalam kategori mati dapat ditinjau dari media pasir yang menjadi media tanam untuk mengetahui tahap perkecambahannya. Tidak dapat dielakkan bahwa beberapa jenis benih memiliki syarat tumbuh yang sesuai untuk pertumbuhannya. Benih semangka tumbuh optimal pada kondisi gelap, dengan rata-rata suhu 20-40oC (C.A. Thanos and K. Mitrakos, 1992), jika media tanam tidak mampu memberikan syarat tumbuh yang optimal maka dampak atas beberapa benih yang tidak dapat bertahan atas kondisi tersebut cukup beralasan. Selain dimungkinkan benih tidak dapat bertahan atas kondisi tempat tumbuhnya juga bisa saja jangka masa dormansi benihnya menjadi semakin lama. 4.2.2 Stratifikasi Perlakuan stratifikasi dalam pemecahan dormansi benih dilakukan dengan memperlakukan benih dalam suhu yang berbeda. Perlakuan ini menggunakan benih kedelai dan benih padi. Masing-masing benih tersebut dibutuhkan dalam jumlah 20 benih, 10 benih untuk yang mengalami perlakuan stratifikasi dan 10 benih lainnya yang tidak mengalami perlakuan stratifikasi atau kontrol. Untuk benih kedelai dilakukan stratifikasi dengan merebus benih dalam air dengan suhu 50oC, sedangkan untuk benih padi dilakukan stratifikasi dengan merebus benih dalam air dengan suhu 60oC. Kemudian benih ditiriskan dan diletakkan pada cawan petri yang telah dilapisi kertas merang. Pengamatan juga dilakukan setelah 7 hari benih diletakkan di atas kertas merang. Dalam pengamatan nantinya benih akan dimasukkan dalam beberapa kategori yakni benih normal, abnormal, keras, mati, dan segar tapi tidak tumbuh.Setelah dilakukan pengamatan dapat diketahui bahwa pada benih kedelai yang mengalami stratifikasi dari 10 benih yang masuk dalam kategori benih normal ada 9 benih dan 1 benih lainnya termasuk dalam kategori benih abnormal. Sedangkan untuk benih kedelai yang tidak mengalami stratifikasi dari 10 benih 9 benih masuk dalam kategori benih yang normal dan 1 benih lainnya masuk dalam kategori benih mati. Sehingga jika dipersentasekan dari 20 benih yang digunakan yang masuk dalam kategori benih normal adalah 90%, sedangkan 5%-nya masuk dalam kategori benih abnormal dan 5% lainnya masuk dalam benih mati. Jika dibandingkan diantara keduanya tidak terjadi perbedaan yang mencolok, sebab masing-masing benih kedelai menunjukkan respon tumbuh yang baik hanya satu diantara masing-masing benih memiliki kekurangan dalam menonjolkan daya tumbuhnya. Dormancy and viability can be maintained for long periods in hardseeded soybean accessions because their seed coats are impermeable to water (Rolston 1978). Some legume seeds have remained viable for more than 100 years (Rolston 1978). Sehingga dapat diduga bahwa karakteristik dari benih kedelai yang mampu mempertahankan viabilitas benihnya lebih dari 100 tahun, memperkuat hasil pengamatan yang telah dilakukan yakni benih mampu berkecambah dengan baik walau tanpa perlakuan stratifikasi. Dengan perlakuan stratifikasi pada suhu 50oC telah menunjukkan bahwa teknik ini mampu menjadi teknik yang cukup efektif untuk pemecahan dormansi. Kemungkinan pada suhu tersebut masih menjadi suhu optimal bagi kedelai untuk melakukan tahap perkecambahan. Selain itu, kemungkinan bahwa pada suhu tersebut benih kedelai dirangsang untuk mempercepat perkecambahannya dan tidak mendukung masa dormansi yang lebih lama lagi bisa dipertimbangkan. Sangat berbeda hasil yang ditunjukkan pada benih padi, dimana baik benih padi yang mengalami stratifikasi maupun tidak mengalami atau kontrol semua benihnya masuk dalam kategoti benih mati. Benih padi yang diletakkan pada kertas merang tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan untuk masa perkecambahannya. Sehingga dari 20 benih yang digunakan baik 10 benih yang mengalami stratifikasi dan yang tidak mengalami stratifikasi atau kontrol masuk ke dalam kategori benih mati dan persentasenya adalah 100%. Dan perbandingan diantara keduanya kurang menunjukkan perbedaan yang mencolok dan dapat dikatakan bahwa keduanya memiliki kesamaan dalam menonjolkan daya tumbuhnya. Hal yang mungkin terjadi, pada benih padi masih berlangsungnya masa dormansi. Walau telah mendapat perlakuan direbus dalam suhu 60oC, kemungkinan besar cara tersebut tidak efektif diterapkan pada benih padi untuk memecah masa dormansinya. Seperti pada jurnal oleh (Lam Dong Tung and Edralina P. Serrano, 2011), dimana penelitiannya menerapkan pemecahan dormansi pada benih padi dalam perlakuan merebusnya dalam air dengan suhu 50oC. Hasilnya benih padi mampu berkecambah bahkan daya tumbuhnya melebihi dari yang tanpa perlakuan, yang juga diamati selama 7 hari. Seed dormancy in different species of rice is controlled by a single dominant gene G, and influenced by duration of maturity and environment (Tipathe et al. 1980). Medium and late maturity of rice tends to show longer dormancy. According to Pili (1969), the number of days or weeks of delay in harvesting correspond to the number of days or weeks that dormancy was shortened. Yang artinya dormansi benih pada species benih padi yang berbeda dipengaruhi oleh single dominant gen-nya dan juga dipengaruhi oleh umur benih dan lingkungan. Umur benih yang agak tua atau tua cenderung menunjukkan lamanya masa dormansi. Sehingga pada pengamatan benih padi yang telah dilakukan dapat diduga bahwa benih padi yang dipakai kemungkinan berumur tua, jadi untuk memecah masa dormansinya tidak efisien jika menggunakan perlakuan suhu 60oC, kemungkinan benih padi tidak merespon cukup tinggi atas perlakuan tersebut. Kesesuaian perlakuan suhu pada jenis benih yang berbeda dalam pemecahan masa dormansi akan bermacam pula respon yang akan ditimbulkan terhadap masa perkecambahannya. 4.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Metode Skarifikasi dan Stratifikasi* Metode SkarifikasiKelebihan yang bisa diperoleh yakni mampu menjadi cara yang efektif untuk pemecahan dormansi pada benih yang kulitnya impermeable. Karena secara mekanis alat yang digunakan untuk melukai benih tidak sampai merusak embrio benih. Selain itu cukup menimbulkan respon yang langsung dalam mengatasi masuknya air dan penyerapannya dalam benih. Namun, dengan metode ini juga memiliki kelemahan, yakni membutuhkan tenaga yang banyak. Jika ingin cepat perlu alat yang banyak atau menyediakan alat yang paling efisien bagi pematahan dormansi benih, maka tenaga yang dibutuhkan dapat dikurangi (Budi Utomo, 2006).* Metode StratifikasiKelebihan yang bisa diperoleh yakni juga mampu menjadi metode yang mudah diterapkan dengan mudah serta menjaga kerusakan embrio benih atas kepekaan suatu benih terhadap suhu. Dimana cara yang umum dilakukan dengan merendam benih pada suhu tertentu. Perubahan suhu akan mampu mempengaruhi kulit benih untuk membuka tanpa merusak embrio dengan syarat setiap benih mempunyai respon suhu yang berbeda-beda. Dengan demikian, kelemahan metode ini lebih menekankan sikap untuk mengetahui respon suhu setiap benih yang berbeda-beda. Semakin tepat dalam mengetahui respon suhu pada beberapa jenis benih akan membantu dalam pematahan dormansinya (Budi Utomo, 2006).4.2.4 Perbandingan Metode Pemecahan Dormansi Skarifikasi dengan StratifikasiPengamatan kali ini yakni tentang pemecahan dormansi benih. Dalam pemecahan dormansi benih dapat dilakukan dengan berbagai metode. Untuk kali ini akan lebih membahas tentang metode skarifikasi dan stratifikasi. Berdasarkan hasil yang diamati, perlakuan skarifikasi lebih memberi pengaruh yang nyata dalam pemecahan dormansi benih daripada perlakuan stratifikasi. Hal ini ditunjukkan dengan cukup tingginya daya kecambah benih yang digunakan, baik benih tersebut diamplas maupun dipotong ujung kulit benihnya menunjukkan masa perkecambahan yang cukup baik. Berbeda dengan pada perlakuan stratifikasi yang hanya dapat direspon oleh benih pada suhu tertentu saja. Perlakuan stratifikasi dengan perlakuan suhu pada benih menimbulkan respon yang berbeda untuk setiap jenis benih yang berbeda pula. Dalam pengamatan dengan menggunakan benih kedelai dan benih padi dapat disimpulkan bahwa benih kedelai mampu dipecah masa dormansinya dengan suhu 50oC, sedangkan untuk benih padi tidak mampu memecah masa dormansinya pada suhu 60oC. Dengan semakin tinggi perlakuan suhu untuk memecah masa dormansi benih tidak dapat disetarakan pada berbagai jenis benih, karena karakteristik setiap jenis benih berbeda satu sama lainnya.Dengan demikian dapat dibandingkan diantara kedua metode pemecahan dormansi tersebut bahwa metode skarifikasi akan menjadi metode paling efektif jika diterapkan pada benih yang keras atau impermeable dengan mempertimbangkan teknik pelukaan yang tepat terhadap benih-benih tertentu. Sedangkan untuk metode stratifikasi akan menjadi metode yang paling efektif jika dapat diterapkan pada berbagai jenis benih dengan mempertimbangkan kepekaan benih terhadap suhu tertentu.

5. KESIMPULAN

Dalam pengamatan dengan materi pemecahan dormansi kali ini dapat disimpulkan bahwa benih yang mendapat perlakuan skarifikasi maupun stratifikasi menimbulkan respon yang berbeda-beda. Pada perlakuan skarifikasi pada benih saga mampu memberi pengaruh nyata bahwa dengan dilakukan skarifikasi mampu memecah masa dormansi dan memiliki daya kecambah yang lebih tinggi dibanding daya kecambah pada benih saga tanpa perlakuan atau kontrol. Pada benih semangka juga sejalan dengan hasil yang disimpulkan pada benih saga, yakni benih semangka yang mendapat perlakuan skarifikasi mampu memecah masa dormansi dan berdaya kecambah yang tinggi dibanding benih semangka tanpa perlakuan atau kontrol. Untuk perlakuan stratifikasi pada kedelai dengan suhu 50oC mampu memecah masa dormansi benih dan berdaya kecambah dalam persentase yang tinggi. Namun, bukan berarti jika suhu ditingkatkan benih mampu merespon dengan pecahnya masa dormansi dan berdaya kecambah baik. Hal ini yang terjadi pada benih padi, dimana dengan perlakuan suhu 60oC benihnya tidak menunjukkan perkecambahan. Sehingga dapat diasumsikan bahwa benih padi tidak cukup merespon pada suhu yang tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

C. A. Thanos and K. Mitrakos. 1992. Watermelon Seed Germination. 1.Effect of Light, Temperature and Osmotica. Institute of General Botany, University of Athens, Greece.Juhanda dkk. 2013. Pengaruh Skarifikasi pada Pola Imbibisi dan Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.). Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.Lam Dong Tung and Edralina P. Serrano. 2011. Effects Of Warm Water In Breaking Dormancy Of Rice Seed. Omonrice 18: 129-136.Pill WG. 1995. Low water potential and pre-sowing germination treatments to improve seeds quality. pp. 319-359. In A. S. Basra (ed.) Seed quality basic mechanisms and Agricultural Implications. The Haworth Press, Inc., New York, USA. Dalam Lam Dong Tung and Edralina P. Serrano. 2011. Effects Of Warm Water In Breaking Dormancy Of Rice Seed. Omonrice 18: 129-136.Rolston MP. 1978. Water Impermeable Seed Dormancy. Bot Rev 44:365-396. Dalam P. Keim et al. 1990. Genetic Analysis of Soybean Hard Seededness with Molecular Markers. Yheor AppI Genet (1990) 79:465-469.Schmidt, L. 2000. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Subtropis. Diterjemahkan oleh Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Departemen Kehutanan. PT Gramedia. Jakarta. Dalam Juhanda dkk. 2013. Pengaruh Skarifikasi pada Pola Imbibisi dan Perkecambahan Benih Saga Manis (Abruss precatorius L.). Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Bandar Lampung.Utomo Budi. 2006. Ekologi Benih (Karya Ilmiah). Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan.

LAMPIRAN

Kontrol (Kiri), Perlakuan (Kanan)Padi Perlakuan (Kiri), Kontrol (Kanan)Kedelai Saga KontrolSaga AmplasSemangka KontrolSemangka Dilukai