62
Skenario 5 ”Tolong Bayiku” Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit ‘Kasih Ibu’ mendadak gaduh karena seorang ibu berteriak-teriak minta tolong anaknya kejang. Ibu Nini meminta tolong anaknya Didi usia 6 bulan kejang sejak 10 menit yang lalu. Ini adalah kejang yang kedua kalinya . saat kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kaku serta mata mendelik ke atas. Setelah kejang Didi menangis keras. Didi adalah anak kedua dari 2 bersaudara, kakaknya tidak pernah mengalami kejang seperti ini.

Laporan Tutorial 5_5 Tolong Bayiku.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Skenario 5Tolong BayikuInstalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Kasih Ibu mendadak gaduh karena seorang ibu berteriak-teriak minta tolong anaknya kejang. Ibu Nini meminta tolong anaknya Didi usia 6 bulan kejang sejak 10 menit yang lalu. Ini adalah kejang yang kedua kalinya . saat kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kaku serta mata mendelik ke atas. Setelah kejang Didi menangis keras. Didi adalah anak kedua dari 2 bersaudara, kakaknya tidak pernah mengalami kejang seperti ini.

I. KLARIFIKASI ISTILAH

1. Instalasi Gawat Darurat (IGD) Adalah salah satu unit di rumah sakit yang harus dapat memberikan pelayanan darurat kepada masyarakat yang memiliki kemampuan untuk melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat dan mampu melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving) sesuai standar. (Kepmenkes RI No.856, 2009)

2. Kejang (convultion) Kontraksi involunter atau serangkaian kontrasi otot-otot volunter. (Kamus Kedokteran Dorland) Menurut Price & Wilson (2014) kejang adalah suatu kejadian proksimalyang disebabkan oleh lepas muatan hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP. Dimana manifestasi kejang berupa kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran serta gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonom bergantung pada lokasi neuron-neuron fokus kejang tersebut. Adapun menurut Isselbacher et al. (2014) kejang diartikan sebagai suatu perubahan mendadak pada aktivitas elektrik korteks serebri yang secara kilinis bermanifestasi dalam bentuk perubahan kesadaran atau gejala motorik, sensorik atau perilaku. Perubahan paroksimal dari fungsi neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik, dan fungsi autonom sistem saraf). Kejang adalah perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai akibat dari aktifitas neuronal yang abnormal dan sebagai pelepasan listrik serebral yang berlebihan. Aktivitas ini bersifat dapat parsial atau vokal, berasal dari daerah spesifik korteks serebri, atau umum, melibatkan kedua hemisfer otak. Manifestasi jenis ini bervariasi, tergantung bagian otak yang terkena. (IDAI, 2012)

3. Mata mendelik (exophtalmus)Protrusio (perluasan melebihi batas normal) abnormal pada mata. (Kamus Kedokteran Dorland)

4. Tidak sadar (unconscious)Tidak mampu berespon terhadap stimulus sensorik dan tidak dapat merasakan pengalaman subjektif. (Kamus Kedokteran Dorland)Moya et al. (2009) menyatakan bahwa tidak sadar atau pingsan atau sinkop adalah suatu kondisi kehilangan kesadaran sementara yang terjadi secara mendadak, yang disebabkan oleh kurangnya aliran darah dan oksigen ke otak (hipoperfusi serebral)

5. Kaku (rigidity)Ketidakflesibelan atau penurunan kelenturan. (Kamus Kedokteran Dorland)

II. IDENTIFIKASI MASALAH1. Apa penyebab yang membuat Didi kejang mendadak ?2. Mengapa ketika kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kau serta mata mendelik keatas?3. Mengapa setelah kejang Didi menangis keras?4. Mengapa kakak Didi tidak pernah mengalami kejang seperti Didi? 5. Bagaimana patofisiologi kejang?6. Bagaimana klasifikasi kejang? 7. Bagaimana efek fisiologis kejang?8. Macam penyebab kejang pada anak ?9. Bagaimana penatalaksanaan kejang pada anak?10. Bagaimana interpretasi kasus ini serta DD-nya?

III. ANALISIS MASALAH0. Penyebab kejang mendadak pada DidiKejang yang terjadi mendadak pada Didi disebabkan oleh adanya peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron yang mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan tersebut diduga terjadi akibat : (1) kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; (2) berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA); dan (3) meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang (Mardjono & Sidharta, 2008).

0. Penyebab ketika kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kaku serta mata mendelik ke atasPrice & Wilson (2014) dan Isselbacher et al. (2014) menyatakan bahwa manifestasi kejang dapat berupa kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran serta gangguan fungsi motorik, sensorik dan perilaku. Dengan demikian ketika kejang Didi tidak sadar, kedua tangan dan kaki kaku serta mata mendelik keatas adalah merupakan manifestasi dari kejang itu sendiri. Gangguan fungsi motorik dimanifestasikan dengan adanya kedua tangan dan kaki yang kaku akibat otot-otot tangan dan kaki yang berkontraksi. Adapun mata yang mendelik keatas merupakan manifestasi dari gangguan sensorik.Menurut Price & Wilson (2014) saat kejang terjadi peningkatan kebutuhan oksigen dan energi, sehingga pada kejang yang berlangsung agak lama akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen ke otak yang menyebabkan terjadinya ketidak sadaran penderita.

0. Setelah kejang Didi menangis kerasPrice & Wilson (2014) menyatakan bahwa pasca terjadinya kejang disebut sebagai periode pascaiktus, dimana pada periode tersebut penderita akan tampak kebingungan, agak stupor dan bengong. Keadaan tersebut pada anak kecil yang baru berumur 6 bulan dimanifestasikan dengan menangis yang keras.

0. Kakaknya tidak pernah mengalami kejangTidak pernah dialaminya kejadian kejang pada kakaknya, hal tersebut disebabkan sebagai berikut :1. Kejang tersebut bukan kelainan bawaanKalau penyakit kejang bukan penyakit bawaan, maka tidak terdapat riwayat penyakit kejang pada keluarganya termasuk kakaknya (Scweich & Zempsky, 2006).1. Kejang tersebut merupakan kelainan bawaanKalaupun kejang tersebut merupakan kelainan bawaan, akan terdapat riwayat penyakit tersebut pada keluarganya, tetapi dapat saja terjadi kakak Didi tidak pernah menderita kejang.

0. Patogenesis dan Patofisiologi kejanga) PatogenesisMeskipun mekanisme pasti terjadinya kejang tidak diketahui, beberapa faktor fisiologis dianggap bertanggung jawab atas berkembangnya suatu kejang. Untuk mempertahankan hidup sel atau organ otak, diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk memetabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan petensial membran ini dapat diubah oleh adanya :1. Perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler.1. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya.1. Perubahan dari patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.Pada kejang yang berlangsung lama biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet sedangkan otot pernafasan tidak efisien sehingga tidak sempat bernafas yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnea, hipoglikemia, laktat asidosis disebabkan metabolisme anaerob, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh yang semakin meningkat oleh karena meningkatnya aktivitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otot meningkat (Marjono & Sidharta, 2009).

b) Patofisiologi Menurut Marjono & Sidharta (2009) dan Price & Wilson (2014) mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga disebabkan oleh : 1. Kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan,1. Berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA). 1. Meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang

Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang (fokus epileptik). Lepas muatan listrik neuron yang berlebihan ini disebabkan oleh gangguan metabolisme neuron, yaitu gangguan dalam lalu lintas K+ dan Na+ antara ruang ekstra dan intraseluler sehingga konsentrasi K+ dalam sel turun dan konsentrasi Na+ naik. Gangguan metabolisme dapat disebabkan oleh berbagai proses patologik yang mengubah permeabilitas membran sel, misalnya trauma, iskemia, tumor, radang, keadaan toksik, dan sebagainya atau perubahan patofisiologik membran sendiri akibat kelainan genetik.Dalam keadaan patologik, gangguan metabolisme neuron akan menurunkan ambang lepas muatan listrik sehingga neuron-neuron dengan mudah secara spontan dan berlebihan melepaskan muatan listriknya. Dalam klinik, hal ini menjelma sebagai serangan kejang atau serangan suatu modalitas perasa. Berbeda dengan lepas muatan listrik yang terjadi secara teratur dalam susunan saraf pusat normal, pada serangan epilepsi terjadi lepas muatan berlebihan yang merupakan lepas muatan listrik sinkron beribu-ribu atau berjuta neuron yang menderita kelainan. Lepas muatan tersebut mengakibatkan naiknya konsentrasi K+ di ruang ekstraseluler sehingga neuron-neuron sekitarnya juga melepaskan muatan listriknya. Dengan demikian terjadi penyebaran lepas muatan listrik setempat tadi. Setelah pelepasan muatan listrik secara masif sejumlah neuron, bagian otak yang bersangkutan mengalami masa kehilangan muatan listrik sehingga untuk sementara tidak dapat dirangsang. Lambat laun, neuron-neuron kembali ke keadaan semula, yaitu kembali mencapai potensial membran semulaPerubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat dan lepas muatan listrik sel-sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah ke otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan serebrospinalis selama dan setelah kejang. Asetilkolin merupakan neurotransmitter terpenting yang diketahui mempunyai sifat mempermudah pelepasan muatan listrik. Fokus epileptik tampaknya sangat peka terhadap asetilkolin. Fokus-fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.Asetilkolin dilepaskan oleh bagian terminal presinaptik neuron dan akan meningkatkan permeabilitas membran sel untuk Na+ dan K+. Dalam keadaan fisiologik, proses ini dapat membatasi diri karena asetilkolin cepat dinonaktifkan oleh asetilkolinesterase. Sebaliknya, bila proses inaktivasi terganggu sehingga konsentrasi asetilkolin makin meningkat, maka terjadilah depolarisasi masif yang menyebabkan neuron-neuron berlepas muatan dan timbullah suatu serangan kejang. Neurotransmitter yang mempunyai sifat menahan pelepasan muatan listrik terutama ialah GABA. GABA mempunyai sifat inhibisi dan gangguan pada sintesis aminoacid ini akan menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sehingga terjadi suatu serangan (Marjono & Sidharta, 2009; Price & Wilson, 2014). Kejadian pemicu dapat berupa:1. Perubahan medan listrik di sekitar membran peka rangsang (sel saraf dan otot)1. Interaksi suatu perantara kimiawi dengan reseptor permukaan tertentu di membran sel saraf/otot1. Rangsangan

Untuk mempertahankan potensial membran memerlukan energi yang berasal dari ATP dan tergantung pada mekanisme pompa yaitu keluarnya natrium dan masuknya kalium. Kalium berperan besar pada pembentukan potensial istirahat karena membran pada saat istirahat lebih permeabel terhadap Kalium daripada Natrium (normalnya potensial membran adalah potensial istirahat). (Sherwood, 2014)

0. Klasifikasi kejangPrice & Wilson (2014) dan Isselbacher et al. (2014) menyatakan bahwa kejang dapat di klasifikasikan sebagai parsial dan generalisata berdasarkan apakah kesadaran utuh atau lenyap. Adapun selengkapnya sebagai berikut :Tabel 1. Klasifikasi kejangKlasifikasiKarakteristik

1. ParsialKesadaran utuh walaupun mungkin berubah, fokus di satu bagian tetapi dapat menyebar ke bagaian lain

1. Parsial Sederhana1. Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal), autonomik (takardia, bradikardia, takipnu, kemerahan, rasa tidak enak di epigastrium), psikik (disfagia, gangguan daya ingat)1. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit

1. Parsial kompleksDimulai sebagai kejang parsial sederhana, berkembang menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh :1. Gejala motorik, sensorik, otomatisme (mengecap-ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju)1. Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang menjadi kejang generalisata1. Biasanya berlangsung 1-3 menit

1. GeneralisataHilangnya kesadaran, tidak ada awitan fokal, balateral dan simetrik, tidakada aura

1. Tonik-KlonikSpasme tonik-klonik otot, inkontinensia urin dan alvi, menggigit lidah, fase pascaiktus

1. AbsenceSering salah didignosis sebagai melamun1. Menatap kosong, kepala sedikit lunglai, kelopak mata bergetar, atau berkedip secara cepat, tonus postural tidak hilang1. Berlangsung beberapa detik

1. MioklonikKontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa otot atau tungkai, cenderung singkat

1. AtonikHilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya postur tubuh (drop attacks)

1. KlonikGerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat, dan tunggal atau multipel di lengan, tungkai atau torso

1. TonikPeningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas, fleksi lengan dan ekstensi tungkai1. Mata dan kepala mungkin berputar ke satu sisi1. Dapat menyebabkan henti napas

0. Efek fisiologik kejangMenurut Price & Wilson (2014) efek fisiologik kejang adalah sebagai berikut :Tabel 2. Efek fisiologik kejangAwal ( 15 menit)Lanjut (15-30 menit)Berkepanjangan( 1jam)

1. Meningkatnya kecepatandenyut jantung1. Meningkatnya tekanan darah1. Meningkatnya kadar glukosa1. Meningkatnya suhu pusat tubuh1. Meningkatnya sel darah putih1. Menurunnya tekanan darah1. Menurunnya gula darah1. Disritmia1. Edema paru nonjantung1. Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum1. Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum

0. Penyebab kejang pada anakMenurut Scweich & Zempsky (2006) penyebab tersering kejang pada anak adalah sebagai berikut : 7. Kejang demamKejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium7. Infeksi : meningitis, ensefalitis7. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiponatremia, hipoksemia,hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, gagal ginjal, gagal hati.0. Gangguan metabolik bawaan0. Trauma kepala0. Keracunan : alkohol, teofilin, kokain0. Penghentian obat anti epilepsi mendadak0. Lain-lain : enselopati hipertensi, tumor otak, perdarahan intrakranial,\0. Idiopatik, merupakan kondisi medis yang belum dapat terungkap jelas penyebabnya.

9. Penatalaksanaan kejang pada anakMenurut Pusponegoro et al. (2006) penatalaksanaan kejang pada anak dapat dilkukan sebagai berikut : 1. Apabila anak masih dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.1. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.1. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. 1. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.1. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.1. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.1. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang1. Tetap tenang dan tidak panik1. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher1. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.1. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.1. Tetap bersama pasien selama kejang1. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.1. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

10. Interpretasi kasus ini1)Anamnesis1. Keluhan utama : Kejang1. Keluhan penyerta : 1. Tidak sadar1. Kaki dan tangan kaku1. Mata mendelik keatas1. Riwayat penyakit kejang dalam keluarga : -1. Riwayat kehamilan/prenatal : -1. Riwayat Persalinan : -1. Riwayat paskanatal : -Pemeriksaan fisikInterpretasi DD

Kejang DemamKejang Generalisata ttonik klonik tanpa demam

Kejang

Tidak sadar

Kaki dan tangan kaku

Mata mendelik keatas-

Berdasarkan interpretasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik maka DD dari anak tersebut adalah :1. Kejang demam sederhana (Pusponegoro et al., 2006)1. Kejang generalisata tonik-klonik tanpa disertai demam, dikarenakan gangguan metabolik (Scweich & Zempsky, 2006; Kosim et al., 2014) :1. Adanya kelainan bawaan yang mengganggu fungsi otak sehingga dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang1. Ibu menderita diabetes, sehingga anaknya mengalami hipoglemi (ganggguan gula dalam darah), sehingga tanpa demam pun bisa kejang.Bayi dengan gangguan hipoglemik akibat kencing manis, akan rentan terhadap kejang.

IV. KERANGKA KONSEP

V. LEARNING OBJECTIVEJelaskan segala sesuatu mengenai kejang demam! (definisi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, prognosis)

VI. MENGUMPULKAN INFORMASI (Belajar Mandiri)

VII. BERBAGI INFORMASI

Kejang Demama) DefinisiKejang demam didefinisikan sebagai bangkitan kejang yang terjadi pada suhu tubuh 38oC (rectal), biasanya terjadi pada bayi dan anak mulai usia 6 bulan sampai 5 tahun yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium dan tidak terbukti adanya penyebab tertentu. (Ikatan Dokter Anak Indonesia)Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Pusponegoro et al., 2006

b) EtiologiSemua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis dan infeksi saluran kemih. (Soetomenggolo, 2000)Kejang demam disebabkan oleh hipertemia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri, yaitu semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernapasan atas, otitis media akut, pneumonia, gastroentritis akut, bronchitis dan infeksi saluran kemih (Baram & Shimar, 2002; Price & Wilson, 2014).

c) EpidemiologiKejang demam merupakan gangguan saraf yang sering dijumpai pada anak, dimana kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun. Umumnya kejang demam timbul pada tahun kedua kehidupan (17 23 bulan). Anak laki-laki lebih sering mengalami kejang demam daripada perempuan dengan perbandingan 1,21,6:1. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa 62,2% kemungkinan kejang demam berulang pada 90 anak yang mengalami kejang demam sebelum usia 12 tahun, dan 45% pada 100 anak yang mengalami kejang setelah usia 12 tahun.Pada umumnya 20-30% kejang demam yang terjadi merupakan kejang demam kompleks. Kejang demam kompleks merupakan prediksi untuk terjadinya epilepsi, dimana angka kejadian epilepsi kemudian hari sekitar 2 5 %. Di berbagai negara insiden dan prevalensi kejang demam berbeda, di Amerika Serikat dan Eropa prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam dapat mencapai 2 kali lipat di banding Amerika Serikat dan Eropa, seperti di Jepang yang mencapai 8,3-9,9%, India mencapai 5-10%, Guam mencaapai 14%, Hongkong mencapai 0.35% dan China mencapai 1,5%. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2005-2006 kejang demam dilaporkan mencapai 2 4% (Deliana, 2002; Pusponegoro et al., 2006; Leung & Robson, 2007; Seinfeld & Pellock, 2013).

d) PatogenesisKejang merupakan manifestasi klimaks akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang berlebihan pada sel neuron otak yang dikarenakan adanya gangguan pada sel neuron tersebut (Price & Wilson, 2014; Isselbacher et al., 2014). Unit dasar sel saraf adalah neuron. Neuron itu terdiri dari badan sel, dendrit dan akson. Pada ujung akson terdapat sejumlah kolateral yang berakhir dalam sinap terminal. Jika ada impuls saraf yang melewati akson kemudian sampai di sinap terminal maka akan memicu sekresi neurotransmitter, neurotransmitter inilah yang akan menstimulasi neuron selanjutnya (Knudsen, 2000).

Gambar 1. Sinap terminal aksonTerdapat 50 jenis neurotransmitter yang telah ditemukan dan berdasarkan fungsinya dibagi menjadi 2, yaitu eksitator (asam glutamat, asetilkolin) dan inhibitor (GABA, glisin). Pengaturan fungsi neurotransmitter berperan penting dalam menimbulkan kejang dan mencegah bangkitan kejang. GABA merupakan neurotransmitter yang paling banyak dipelajari. GABA disintesis oleh asam glutamat dekarboksilase, suatu enzim yang dipengaruhi oleh suhu. Pada suatu penelitian antagonis GABA berperan dalam menurunkan ambang kejang, sedangkan agonis GABA berperan dalam menaikkan ambang kejang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengurangan aktivitas sistem GABA yang menyebabkan kejang demam.Glutamat merupakan neurotransmitter eksitasi utama dalam otak. Hipertermi menyebabkan peningkatan cepat konsentrasi glutamat ekstraseluler. Glutamat dapat berperan sebagai reseptor ionotropik dan metabotropik. Tiga dari fungsi ionotropik glutamat berhubungan dengan kanal ion, di antaranya reseptor AMPA (alfa-amino-3-hidroksi-5-metil-4 isoksasol propionat) yang berperan sebagai pengatur masuknya ion natrium ke dalam sel. Reseptor NMDA (N metil- D-asparat) memilki peranan sengat penting terhadap efek eksitotoksik glutamat. Aktivasi glutamat pada korteks melalui reseptor N metil-Daspartat (NMDA) penting dalam timbulnya kejang demam (Parmar et al., 2001).Baram & Shimar (2002) dan Mardjono & Sidharta (2008) menyatakan bahwa sel saraf seperti juga sel hidup lainnya mempunyai potensial membran, dimana potensial membran merupakan selisih potensial antara intrasel dan ekstra sel. Potensial intrasel lebih negatif dibanding ekstrasel. Dalam keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, nilai tersebut akan tetap sama selama sel tidak mendapat rangsangan. Potensial membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion Na+ dan K+.Bila sel membran mengalami stimulasi, maka akan menyebabkan menurunnya potensial membran, dimana penurunan potensial membran akan menyebabkan permeabilitas membran terhadap ion Na+ meningkat, sehingga ion tersebut akan lebih banyak masuk kedalam sel. Selama stimulasi tersebut lemah, perubahan potensial membran masih dapat di kompensasi oleh transport aktif ion Na+ dan K+, sehingga nilai potensial membran akan kembali ke keadaan istirahat.Menurut Ngastiyah (2005) dan Mardjono & Sidharta (2008) pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 - 15 % , yang akan meningkatkan juga CBF (Crebrial Blood Flow), meningkatkan kebutuhan O2 dan glukosa, yang dapat mengakibatkan stimulasi yang kuat terhadap sel saraf, sehingga permeabilitas ion Na+ akan meningkat secara besar-besaran yang akan membentuk potensial aksi yang dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Na+ dan K+ melalui membran listrik dengan bantuan neurotransmitter, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini dapat menimbulkan pelepasan muatan listrik yang berlebihan yang membuat terjadinya kejang.Peningkatan aktifitas listrik yang berlebihan tersebut diduga terjadi akibat : (1) kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; (2) berkurangnya inhibisi oleh neurotransmitter asam gama amino butirat (GABA); dan (3) meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang (Mardjono & Sidharta, 2008).Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda, tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang tersebut. Pada anak dengan ambang kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38 C, sedang pada ambang kejang tinggi baru terjadi pada suhu 40 C atau lebih.

Gambar 2. Potensial membran

Gambar 3. Kejang Demame) PatofisiologiPada keadaan demam kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik.Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmitter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kejang lama.Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi matang di kemudian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak hingga terjadi epilepsi (Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2002).Menurut Baram & Shimar (2002), Maria (2009) perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat, aliran darah ke otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan, sehingga reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan cepat habis sehingga terjadilah hipoksimea yang dapat menyebabkan ketidak sadaran.Kejang terjadi akibat lepas muatan listrik yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu fokus kejang sehingga mengganggu fungsi otak normal yang dimanifestasikan berupa kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran serta gangguan fungsi motorik, sensorik dan perilaku. Gangguan fungsi motorik dimanifestasikan dengan adanya kedua tangan dan kaki yang kaku akibat otot-otot tangan dan kaki yang berkontraksi. Adapun mata yang mendelik keatas merupakan manifestasi dari gangguan sensorik (Price & Wilson, 2014).Kejang demam yang berlangsung singkat ( 15 menit) pada umumnya tidak akan meninggalkan gejala sisa. Akan tetapi pada kejang demam yang lama ( 15 menit) biasanya diikuti oleh apneu, hipoksemia, asidosis laktat, hiperkapnea, hipoksi arterial, dimana pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan sel nuron (Baram & Shimar, 2002). Price & Wilson (2014) menyatakan bahwa pada kondisi kejang terjadi beberapa efek fisiologik terhadap tubuh yaitu sebagai berikut :

Tabel 1. Efek fisiologik kejang Awal ( 15 menit)Lanjut (15-30 menit)Berkepanjangan( 1jam)

1. Meningkatnya kecepatandenyut jantung1. Meningkatnya tekanan darah1. Meningkatnya kadar glukosa1. Meningkatnya suhu pusat tubuh1. Meningkatnya sel darah putih1. Menurunnya tekanan darah1. Menurunnya gula darah1. Disritmia1. Edema paru nonjantung1. Hipotensi disertai berkurangnya aliran darah serebrum sehingga terjadi hipotensi serebrum1. Gangguan sawar darah otak yang menyebabkan edema serebrum

Gambar 4. Pathway kejang demam

f) Faktor RisikoKejang demam dapat terjadi karena adanya pengaruh beberapa hal, yaitu:0. Umur Umur terjadinya bangkitan kejang demam berkisar antara 6 bulan 5 tahun. Umur terkait dengan fase perkembangan otak yaitu masa developmental window yang merupakan masa perkembangan otak fase organisasi. Pada usia ini anak mempunyai nilai ambang kejang rendah sehingga mudah terjadi kejang demam. Selain itu, keadaan otak belum matang, reseptor untuk asam glutamat sebagai eksitor bersifat padat dan aktif, sebaliknya reseptor y-aminobutyric acid (GABA) sebagai inhibitor bersifat kurang aktif, sehingga mekanisme eksitasi lebih dominan daripada inhibasi. Pada otak yang belum matang, regulasi ion natrium, kalium, dan kalsium belum sempurna sehinggamengakibatkan gangguan repolarisasi setelah depolarisasi dan meningkatkan eksitabilitas neuron (Ellatif & Garawany, 2002)

0. Suhu BadanAdanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya kejang demam. Anak yang sering menderita demam dengan suhu tinggi memiliki risiko semakin besar untuk mengalami kejang demam. Perubahan kenaikan suhu tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan eksitabilitas neural karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion, metabolisme seluler, dan produksi ATP. Demam menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi-reaksi kimia, dalam keadaaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan peningkatan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibat keadaan tersebut, reaksi-reaksi oksidasi berlangsung lebih cepat sehingga oksigen lebih cepat habis dan akan mengakibatkan kejadian hipoksia. Hipoksia menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa dan oksigen serta terganggunya berbagai transport aktif dalam sel sehingga terjadi perubahan konsentrasi ion natrium. Perubahan konsentrasi ion natrium intrasel dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi.Di samping itu, demam dapat merusak GABA-nergik sehingga fungsi inhibisi terganggu. Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38.3-41.4C. bangkitan kejang demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh sekitar 38.9 -39.9 C. suhu tubuh 39.4 C bermakna menimbulkan kejang dibanding suhu tubuh 38.3C (Ellatif & Garawany, 2002)

0. Riwayat Kehamilan dan PersalinanFaktor-faktor pre natal yang berpengaruh terhadap terjadinya kejang demam antara lain umur ibu saat hamil, kehamilan dengan eklampsia dan hipertensi, kehamilan primipara atau multipara, paparan asap rokok saat kehamilan. Umur ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai komplikasi kehamilan dan persalinan antara lain hipertensi dan eklampsia yang dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga terjadi asfiksia pada bayi dan dapat berlanjut menjadi kejang di kemudian hari. Urutan persalinan dapat menjadi faktor resiko terjadinya kejang pada bayi. Insiden kejang ditemukan lebih tinggi pada anak pertama, hal ini kemungkinan besar disebabkan karena pada primipara lebih sering terjadi penyulit persalinan yang menyebabkan kerusakan otak dengan kejang sebagai manifestasi klinisnya. Paparan asap rokok saat kehamilan dapat mempengaruhi terjadinya kejang demam pada anak.Pengurangan atau pembatasan konsumsi rokok dan alcohol selama masa kehamilan merupakan usaha yang efektif untuk mencegah kejang demam pada anak. Faktor natal yang menjadi faktor risiko untuk terjadinya kejang demam antara lain adalah prematuritas, afiksia, berat badan lahir rendah, dan partus lama. Hipoksia dan iskemia di jaringan otak dapat terjadi pada asfiksia perinatal. Hipoksia dan iskemia akan menyebabkan peningkatan cairan dan natrium intraseluler sehingga terjadi edema otak. Daerah yang sensitif terhadap hipoksia adalah inti-inti pada batang otak, thalamus, dan kolikulus inferior.Daerah yang sensitif terhadap iskemia adalah watershead area yaitu daerah parasagital hemisfer dengan vaskularisasi paling sedikit. Hipoksia dapat mengakibatkan kerusakan faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitator sehingga mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai. Perkembangan alat-alat tubuh bayi prematur kurang sempurna sehingga belum berfungsi dengan baik. Hal ini menyebabkan bayi sering mengalami apneu, asfiksia berat, dan sindrom gangguan nafas hingga hipoksia. Semakin lama terjadi hipoksia, semakin berat kerusakan otak yang terjadi dan semakin besar kemungkinan terjadi kejang. Daerah yang rentan terhadap kerusakan antara lain adalah hipokampus, serangan kejang berulangan menyebabkan kerusakan otak semakin luas. Infeksi susunan saraf pusat, trauma kepala, dan gangguan toksis metabolik pada masa paska natal dapat menjadi faktor risiko terjadinya kejang demam di kemudan hari (Arzimanoglou et al., 2004)

0. Gangguan Perkembangan OtakTahap perkembangan otak dibagi menjadi 6 fase, yaitu neurulasi, perkembangan prosensefali, proliferasi neuron, migrasi neural, organisasi, dan mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase rawan apabila mengalami gangguan, terutama pada fase organisasi, dimana dapat terjadi gangguan perkembangan dan bangkitan kejang.

0. Faktor GenetikHasil pemetaan terhadap beberapa keluarga dengan riwayat kejang demam menunjukan bahwa kejang demam berhubungan dengan mutasi gen pada kromosom 19p dan 8q, di antaranya memiliki pola autosomal dominan. Mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium subunit (SCANIA) mempunyai risioko 3,5 kali terjadi kejang demam berulang sedangkan mutasi gen pintu kanal voltase ion Natrium sub unit (SCNIB) mempunyai risiko 2,8 kali terjadi kejang demam berulang (Menkes & Sankar, 2000).

0. Defisiensi SengDefisiensi seng akan menyebabkan perubahan pada beberapa organ seperti sistem saraf pusat (malformasi permanen, pengaruh terhadap neuromotor dan fungsi kognitif), saluran pencernaan, sistem reproduksi, dan fungsi pertahanan tubuh baik spesifik maupun natural (menekan sistem imun). Gangguan sistem imunitas spesifik seperti kerusakan sel-sel epidermal, ganggun aktifitas sel NK, fagositosis dari makrofag dan neutrofil. Gejala-gejala diatas akan terjadi bila terjadi defisiensi seng berat.g) GejalaMenurut Pusponegoro et al. (2006) gejala kelang demam adalah sebagai berikut :1. Kejang demam sederhana 1. Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, 1. Pada umumnya akan berhenti sendiri. 1. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal. 1. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

1. Kejang demam kompleks1. Kejang lama > 15 menit1. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial1. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Adapun gejala yang pada umumnya timbul pada keadaan kejang demam adalah anoreksia, gelisah, panas, berkeringat dan mukosa bibir kering.

h) DiagnosisBeberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang demam antara lain: 1. AnamnesisDibutuhkan beberapa informasi yang dapat mendukung diagnosis ke arah kejang demam, seperti: 1. Menentukan adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum dan saat kejang, frekuensi, interval pasca kejang, penyebab demam diluar susunan saraf pusat. 1. Beberapa hal yang dapat meningkatkan risiko kejang demam, seperti genetik, menderita penyakit tertentu yang disertai demam tinggi, serangan kejang pertama disertai suhu dibawah 39 C. 1. Beberapa faktor yang memengaruhi terjadinya kejang demam berulang adalah usia< 15 bulan saat kejang demam pertama, riwayat kejang demam dalam keluarga, kejang segera setelah demam atau saat suhu sudah relatif normal, riwayat demam yang sering, kejang demam pertama berupa kejang demam akomlpeks (Dewanto dkk,2009).

1. Gambaran KlinisYang dapat dijumpai pada pasien kejang demam adalah: Suhu tubuh mencapai 39C. Anak sering kehilangan kesadaran saat kejang. - Kepala anak sering terlempar keatas, mata mendelik, tungkai dan lengan mulai kaku, bagian tubuh anak menjadi berguncang. Gejala kejang tergantung pada jenis kejang. Kulit pucat dan mungkin menjadi biru. Serangan terjadi beberapa menit setelah anak itu sadar (Dewanto dkk,2009).

1. Pemeriksaan fisik dan laboratorium Pada kejang demam sederhana, tidak dijumpai kelainan fisik neurologi maupun laboratorium. Pada kejang demam kompleks, dijumpai kelainan fisik neurologi berupa hemiplegi. Pada pemeriksaan EEG didapatkan gelombang abnormal berupa gelombang-gelombang lambat fokal bervoltase tinggi, kenaikan aktivitas delta, relatif dengan gelombang tajam. Perlambatan aktivitas EEG kurang mempunyai nilai prognostik, walaupun penderita kejang demam kompleks lebih sering menunjukkan gambaran EEG abnormal. EEG juga tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi di kemudian hari (Soetomenggolo, 2000).i) Diagnosis BandingInfeksi susunan saraf pusat dapat disingkirkan dengan pemeriksaan klinis dan cairan serebrospinal. Kejang demam yang berlangsung lama kadang-kadang diikuti hemiperesis sehingga sukar dibedakan dengan kejang karena proses intrakranial. Sinkop juga dapat diprovokasi oleh demam, dan sukar dibedakan dengan kejang demam. Anak dengan kejang demam tinggi dapat mengalami delirium, menggigil, pucat, dan sianosis sehingga menyerupai kejang demam (Soetomenggolo, 2000).

j) KomplikasiBeberapa penyakit yang bisa timbul akibat kejang demam adalah cerebral palsy atau lumpuh otak, development delay (lambat pertumbuhan) yang meliputi motoric delay (lambat motorik atau gerak), speech delay (lamban bicara) dan cognitive delay (lamban kognitif), terjadi kelumpuhan, epilepsi, kelainan perilaku hingga keterlambatan mental (Irdawati, 2009).Pusponegoro et al. (2006) menyatakan bahwa faktor risiko menjadi epilepsi adalah : (1) kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama; (2) kejang demam kompleks; dan (3) riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung. Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10%-49% (Level II-2). Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat rumat pada kejang demam.

k) PrognosisMenurut Pusponegoro et al. (2006) dan Permenkes No. 5 (2014) prognosis dari kejang demam adalah :1. Dubia at bonam : tidak tentu/ragu-ragu, cenderung baikUmumnya sangat tergantung dari kondisi pasien saat tiba, ada/tidaknya komplikasi dan pengobatannya. 2. Kemungkinan mengalami kecacatan atau kelainan neurologisKejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Penelitian lain secara retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal.3. Kemungkinan mengalami kematianKematian karena kejang demam tidak pernah dilaporkan.

l) PenatalaksanaanMenurut Pusponegoro et al. (2006) penatalaksanaan kejang demam pada anak dapat dilkukan sebagai berikut : Penatalaksanaan saat kejang1. Apabila anak masih dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.1. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun.1. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. 1. Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.1. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal.1. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat intensif.1. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

Pemberian obat pada saat demam Antipiretik1. Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10 15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali ,3-4 kali sehari1. Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III, rekomendasi E). Antikonvulsan1. Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30%-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0,5 mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0C (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.1. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam (level II rekomendasi E).

Pemberian obat rumatIndikasi pemberian obat rumat, obat rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut (salah satu) :1. Kejang lama > 15 menit2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.3. Kejang fokal4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:0. Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.0. Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan0. kejang demam > 4 kali per tahun.Penjelasan :0. Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi pengobatan rumat0. Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan merupakan indikasi pengobatan rumat0. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus organik. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat1. Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang (level I).1. Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). 1. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. 1. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2 dosis. Lama pengobatan rumatPengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan.

Edukasi pada orang tuaKejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus dikurangi dengan cara yang diantaranya :1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.1. Memberitahukan cara penanganan kejang 1. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali1. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek samping

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang Tetap tenang dan tidak panik Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang. Tetap bersama pasien selama kejang Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih.

m) Pemeriksaan PenunjangMenurut Pusponegoro et al. (2006) pemeriksaan penunjang pada kejang demam adalah sebagai berikut :a) Pemeriksaan laboratoriumPemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan level III, rekomendasi D).

b) Pungsi lumbalPemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal dianjurkan pada : Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan Bayi > 18 bulan tidak rutin Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

c) ElektroensefalografiPemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan (level II-2, rekomendasi E). Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau kejang demam fokal.

d) PencitraanFoto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya atas indikasi seperti : Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis) Paresis nervus VI Papiledema

VIII. KESIMPULANKejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Kejang demam disebabkan oleh hipertemia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri, yaitu semua jenis infeksi yang bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan demam. Kejang demam merupakan gangguan saraf yang sering dijumpai pada anak, dimana kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan hingga 5 tahun. pada keadaan demam, kenaikan suhu 1C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 - 15 % , yang akan meningkatkan juga CBF (Crebrial Blood Flow), meningkatkan kebutuhan O2 dan glukosa, yang dapat mengakibatkan stimulasi yang kuat terhadap sel saraf, sehingga permeabilitas ion Na+ akan meningkat secara besar-besaran yang akan membentuk potensial aksi yang dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi dari ion Na+ dan K+ melalui membran listrik dengan bantuan neurotransmitter, perubahan yang terjadi secara tiba-tiba ini dapat menimbulkan pelepasan muatan listrik yang berlebihan yang membuat terjadinya kejang. Kejang terjadi akibat lepas muatan listrik yang berlebihan dari suatu populasi neuron yang sangat mudah terpicu fokus kejang sehingga mengganggu fungsi otak normal yang dimanifestasikan berupa kombinasi beragam dari perubahan tingkat kesadaran serta gangguan fungsi motorik, sensorik dan perilaku.Apabila anak masih dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Pemberian obat pada saat demam parasetamol atau Ibuprofen. Pemeriksaan penunjang untuk kejang demam adalah pemeriksaan laboratorium, pungsi lumbal, elektroensefalografi (EEG), dan pencitraan (CT Scan dan MRI).

IX. SARANPada tutorial skenario 5 kali ini kelompok kami sudah dapat mengemukakan pendapatnya masing masing dengan baik. Pada skenario 5 ini kelompok kami dapat mengerti dan memahami definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, patogenesis, komplikasi, prognosis, penatalaksanaan dan pemeriksaan penunjang dari kejang demam.

DAFTAR PUSTAKA

Arzimanoglou, A., Guerrini, R., & Aicardi, J. (2004). Aicardis Epilepsy in Children. 3th Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Baram, T.Z., & Shimar, S. (2002). Febrile Seizures. Sandiego, California : Academic Press.Deliana, M. (2002). Tata laksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri, 4(2), 59-62.

Dewanto, George et. al. (2007). Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ellatif, F.A., & Garawany, H.E. (2002). Risk factors of febrile seizures among preschool children in Alexandria. J Egypt Public Health Assoc., 77(1-2), 159-172

Irdawati. (2009). Kejang demam dan penatalaksanaannya. Berita Ilmu Keperawatan, 2(3), 143-146.

Issellbacher, K.J., Braunwald, E., Wilson, J.D., Martin, J.B., Fauci, A.S., & Kasper, D.L. (2014). Horison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 1. Edisi 13. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Knudsen, F.U. (2000). Febrile seizures : treatment and prognosis. Epilepsia, 41(1), 2-9

Leung, A.K.C., & Robson, W.L.M. (2007). Febrile seizures. Journal of Pediatric Health Care, 21(4), 250-255.

Manuaba, I. B. et. al.(2003). Pengantar Kuliah Obstetrik. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mardjono, M., & Sidharta, P. (2008). Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat.

Maria, B.L. (2009). Current Management in Child Neurology. Shelton, USA : Peoples medical Publishing House.

Menkes, J.H., & Sankar, R. (2000). Paroxysmal Disorders. In. J.H. Menkes and. B.H. Sarnat. (Eds.). Child Neurology. 6th Edition. (p.987-991) Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Parmar, R.C., Sahu, D.R., & Bavdekar, S.B. (2001). Knowledge attitude and practices of parents of children with febrile convulsion. J. Postgrad. Med., 47, 19-23.

Permenkes No.5. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.

Price, S.A., & Wilson, L.M. (2014). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., & Ismael, S. (2006). Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta : Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Seinfeld, S., & Pellock, J.M. (2013). Recent research on febrile seizures : a review. Journal of Neurology & Neurophysiology, 4(4), 165-170.

Soetomenggolo, Taslim S. & Sofyan Ismail. (2000). Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.