51
BAB I PENDAHULUAN Kegawatdaruratan merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan segera untuk menyelamatkan pasien. Pada kasus kali ini didapatkan kegawatdaruratan yang kemuningkinan akibat ketosis diabetik, pasien tidak sadar, dan syok sepsis yang membutuhkan penanganan segera. Ketosis diabetik merupakan komplikasi dari diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada kasus penghentian terapi diabetes. Diabetes juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun sehingga memudahkan pasien terjangkit penyakit. Pasien tidak sadar juga bisa diakibatkan oleh hipetermia yang terjadi pada pasien. Skenario 1 Penurunan Kesadaran Seorang laki-laki berusia 65 tahun diantar oleh anak laki-lakinya yang serumah dengannya ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Tipe D karena tidak sadar. Dari alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk rumah saki tpasien diketahui oleh anak kandungnya itu tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak menyambung. Dari keterangan anaknya, sejak 3 hari penderita panas mual disertia muntah, sering kencing, nyeri pinggang dan urin berwarna

Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Embed Size (px)

DESCRIPTION

gwt

Citation preview

Page 1: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

BAB I

PENDAHULUAN

Kegawatdaruratan merupakan kondisi yang membutuhkan penanganan segera

untuk menyelamatkan pasien. Pada kasus kali ini didapatkan kegawatdaruratan yang

kemuningkinan akibat ketosis diabetik, pasien tidak sadar, dan syok sepsis yang

membutuhkan penanganan segera. Ketosis diabetik merupakan komplikasi dari

diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada kasus penghentian terapi diabetes.

Diabetes juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem imun sehingga

memudahkan pasien terjangkit penyakit. Pasien tidak sadar juga bisa diakibatkan

oleh hipetermia yang terjadi pada pasien.

Skenario 1

Penurunan Kesadaran

Seorang laki-laki berusia 65 tahun diantar oleh anak laki-lakinya yang

serumah dengannya ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Tipe D karena tidak

sadar. Dari alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk rumah saki

tpasien diketahui oleh anak kandungnya itu tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi

kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak menyambung. Dari keterangan anaknya,

sejak 3 hari penderita panas mual disertia muntah, sering kencing, nyeri pinggang

dan urin berwarna keruh. Penderita hanya makan dan minum sedikit selama 3 hari

terakhir. Ada riwayat Diabetes Mellitus dan Hipertensi sejak 5 tahun yang lalu

dengan riwayat terapi insulin rapid 6-6-4 dan Captopril 3 x 25 mg, diketahui

penderita jarang kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan : sakit berat, somnolen, GCS E3V4M5,

tekanan darah 80/40 mmHG, suhu 38oC, laju pernafasan 32 kali permenit, nadi 128

kali/menit, lemah. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan honki di kedua lapang

paru. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-). Pemeriksaan

laboratorium : Hb 13 g%, Lekosit 25.000/mm3, trombosit 350.000/mm3, GDS 600

mg/dl, ureum 60 mg/dl, kreatinin 1 mg/dl, kalium 4,5 mmol/L/ pemeriksaan urin

Page 2: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

rutin dan gas darah masih menunggu hasil. Setelah dijelaskan dan mendapatkan

persetujuan keluarga dengan menandatangani informed consent, diberikan infus

Ringer Laktat 2 jalu, tetesan cepat dan bolus insulin 0,1 unit/KgBB.

Page 3: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Klarifikasi Istilah

Beberapa istilah yang telah kami klarifikasi yaitu:

1. Rumah sakit tipe D

2. Insulin rapid 6-6-4

3. Somnolen

4. Captopril

5. Refleks patologis

6. Ureum

7. Infus ringer laktat 2 jalur

8. Bolus insulin

B. Menetapkan dan Mendefinisikan masalah

Pada skenario ini ada beberapa masalah yang kami tetapkan sebagai bahan

diskusi, yaitu:

1. Tipe rumah sakit rujukan

2. Kapan pasien harus dirujuk?

3. Penyebab penurunan kesadaran

4. Patofisiologi mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, dan urin keruh

5. Hubungan DM-hipertensi dengan keluhan

6. Hubungan tidak makan dengan keluhan

7. Akibat tidak rutin kontrol dan suntik insulin

8. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan

9. Prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis

10. Farmakodinamik, farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan efek

samping dari captopril dan insulin

11. Indikasi pemberian infus ringer laktat dan bolus insulin

12. Indikasi pemeriksaan urin rutin dan analisa gas darah

Page 4: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

13. Informed consent, medikolegal dan etik pada kasus kegawatan

14. Kriteria kasus kegawatdaruratan

15. Diagnosis banding

a.Syok

b. Syok sepsis

c.Hipertensi

d. Diabetes Mellitus

e.Ketoasidosis

f. Hiperglikemia Hiperosmolar

C. Analisis Masalah (Menjawab, Membahas, dan Melaporkan Hasil Diskusi

Masalah yang Ada)

1. Tipe rumah sakit rujukan

Berdasarkan Permenkes RI Nomor 986/Menkes/Per/11/1992 pelayanan

rumah sakit umum pemerintah Departemen Kesehatan dan Pemerintah

Daerah diklasifikasikan menjadi kelas/tipe A,B,C,D dan E (Azwar,1996):

a.Rumah Sakit Kelas A

Rumah Sakit kelas A adalah rumah sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran spesialis dan subspesialis luas oleh pemerintah,

rumah sakit ini telah ditetapkan sebagai tempat pelayanan rujukan tertinggi

(top referral hospital) atau disebut juga rumah sakit pusat.

b. Rumah Sakit Kelas B

Rumah Sakit kelas B adalah rumah sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran medik spesialis luas dan subspesialis terbatas.

Direncanakan rumah sakit tipe B didirikan di setiap ibukota propinsi

(provincial hospital) yang menampung pelayanan rujukan dari rumah sakit

kabupaten. Rumah sakit pendidikan yang tidak termasuk tipe A juga

diklasifikasikan sebagai rumah sakit tipe B.

c.Rumah Sakit kelas C

Rumah sakit kelas C adalah rumah sakit yang mampu memberikan

pelayanan kedokteran subspesialis terbatas. Terdapat empat macam

Page 5: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

pelayanan spesialis disediakan yakni pelayanan penyakit dalam, pelayanan

bedah, pelayanan kesehatan anak, serta pelayanan kebidanan dan

kandungan. Direncanakan rumah sakit tipe C ini akan didirikan di setiap

kabupaten/kota (regency hospital) yang menampung pelayanan rujukan

dari puskesmas.

d. Rumah Sakit Kelas D

Rumah Sakit ini bersifat transisi karena pada suatu saat akan ditingkatkan

menjadi rumah sakit kelas C. Pada saat ini kemampuan rumah sakit tipe D

hanyalah memberikan pelayanan kedokteran umum dan kedokteran gigi.

Sama halnya dengan rumah sakit tipe C, rumah sakit tipe D juga

menampung pelayanan yang berasal dari puskesmas.

e.Rumah Sakit Kelas E

Rumah sakit ini merupakan rumah sakit khusus (special hospital) yang

menyelenggarakan hanya satu macam pelayanan kedokteran saja. Pada

saat ini banyak tipe E yang didirikan pemerintah, misalnya rumah sakit

jiwa, rumah sakit kusta, rumah sakit paru, rumah sakit jantung, dan rumah

sakit ibu dan anak.

2. Kapan pasien harus dirujuk?

Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk

menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus

harus dirujuk ke fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya

sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan

dihubungi dan diberitahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan

ataupun perawatan inap telah dilakukan dan diyakini rujukan kasus tidak

akan ditolak.

3. Penyebab penurunan kesadaran

a.Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran

No Penyebab metabolik Keterangan

Page 6: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

atau sistemik

1 Elektrolit imbalans Hipo- atau hipernatremia, hiperkalsemia, gagal

ginjal dan gagal hati.

2 Endokrin Hipoglikemia, ketoasidosis diabetic

3 Vaskular Ensefalopati hipertensif

4 Toksik Overdosis obat, gas karbonmonoksida (CO)

5 Nutrisi Defisiensi vitamin B12

6 Gangguan metabolik Asidosis laktat

7 Gagal organ Uremia, hipoksemia, ensefalopati hepatic

b. Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran

No Penyebab struktural Keterangan

1 Vaskular Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal

bilateral

2 Infeksi Abses, ensefalitis, meningitis

3 Neoplasma Primer atau metastasis

4 Trauma Hematoma, edema, kontusi hemoragik

5 Herniasi Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli

6 Peningkatan tekanan

intrakranial

Proses desak ruang

4. Patofisiologi mual, muntah, sering kencing, nyeri pinggang, dan urin

keruh

a. Mual dan muntah

Salah satu komplikasi dari diabetes mellitus adalah gastroparesis

diabetika. Gejala gastroparesis diabetika adalah mual, muntah, nyeri

abdomen, rasa cepat kenyang, rasa tidak enak di perut bagian atas, rasa

terbakar di dada (heart burn), regurgitasi asam, sendawa, halitosis dan

penurunan berat badan. Keadaan hiperglikemia merupakan factor penting

yang menyebabkan terjadinya gastroparesis. Fischer dkk menunjukkan

bahwa hiperglikemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan

Page 7: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas

motorik antrum dan keterlambatan pengosongan lambung. (Sutadi, 2003).

Terjadinya keterlambatan pengosongan lambung liquid maupun solid

pada penderita diabetes berkaitan dengan terjadinya penurunan aktivitas

motorik lambung proksimal, penurunan kativitas motorik lambung distal

berupa hipomotilitas antrum post prandial, terjadinya peningkatan aktifitas

motorik pylorus serta terganggunya koordinasi dari motilitas

antropyloroduodenal. Hal tersebut disebabkan karena neuropati diabetikum

yang ditandai dengan adanya penurunan densitas serabut myelinated vagus

dan degenerasi serabut unmyelinated. (Sutadi, 2003).

b. Sering kencing

Pada penderita diabetes mellitus, kadar glukosa dalam darah

meningkat, disebut keadaan hiperglikemia. Salah satu efek dari

hiperglikemia adalah peningkatan ambang batas (threshold) ginjal untuk

melakukan reabsorbsi sehingga terjadi glukosuria. Selanjutnya, glukosuria

akan menginduksi diuresis osmotik sehingga terjadi poliuria. (Kumar et.al.,

2007).

c.Nyeri pinggang dan urin keruh

Salah satu komplikasi vaskular jangka panjang diabetes mellitus

adalah terjadinya nefropati diabetik. Komplikasi ini terjadi akibat adanya

mekanisme pembentukan AGEs (Advanced Glycation End Products), yaitu

proses perlekatan glukosa ke gugus amino bebas pada protein tanpa bantuan

enzim. Mekanisme ini menyebabkan penebalan membran basal glomerulus

ginjal dan menjadi bocor.

Defisiensi insulin pada diabetes mellitus menyebabkan ginjal bekarja

hiperfungsi sehingga ginjal menjadi hipertrofi dan terjadi peningkatan

tekanan intra kapiler glomerulus yang menyebabkan terjadinya

glomeruloskerosis. Glomerulosklerosis menyebabkan gagalnya fungsi

filtrasi ginjal sehingga urin menjadi keruh. Glomerulosklerosis progresif

juga menyebabkan terjadinya gagal ginjal yang ditandai dengan adanya

nyeri pada pinggang. (Dewi, 2012).

Page 8: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

5. Hubungan DM-hipertensi dengan keluhan

Pasien memiliki riwayat diabetes mellitus sejak lima tahun yang lalu.

Diabetes melitus yang tidak diterapi atau pada pasien yang tiba-tiba

menghentikan terapi akan berakibat pada ketoasidosis diabetik. Pasien pada

kasus tidak menyuntikan insulin selama dua hari sebelumnya yang

merupakan faktor resiko terjadi ketoasidosis diabetik. Hal ini dikarenakan

tubuh tidak dapat menghasilkan energi dari pemecahan glukosa pada pasien

diabetes melitus sehingga memecah lemak sebagai kompensasinya. Hasil

akhir dari pemecahan lemak adalah benda keton yang bersifat asam. Hal ini

ditandai dengan pernafasan pasien yang meningkat sebagai kompensasi

mengeluarkan asam pada tubuh (Sudoyo, 2009).

Pada pasien diabetes melitus juga terjadi penurunan sistem

imun dimana sel polimorfonuklear mengalami penurunan mobilisi dan

kemotaksis sehingga tidak dapat menjalani fungsi nya dengan maksimal.

Pada penderita diabetes melitus juga mengalami penurunan jumlah sel

monosit juga kemampuan deteksi terhadap membran mikroorganisme

menurun. Hal ini mengurangi kemampuan fagosit dari monosit (Manaf,

2008).

6. Hubungan tidak makan dengan keluhan

Pasien hanya makan dan minum sedikit sejak 3 hari terakhir,

akibatnya tidak ada asupan glukosa yang masuk ke dalam tubuh. Tidak

adanya intake glukosa menyebabkan mekanisme glikolisis tidak terjadi

sehingga tubuh melakukan kompensasi berupa mekanisme glikogenolisis

dan glukoneogenesis untuk menghasilkan energi. Walaupun kadar glukosa

darah tinggi, namun glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat pasien tidak

suntik insulin selama 2 hari. Kurangnya intake glukosa kedalam sel

menyebabkan metabolisme sel terganggu sehingga pasien lemah dan terjadi

penurunan kesadaran.

Page 9: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

7. Akibat tidak rutin kontrol dan suntik insulin

Penyakit Diabetes Mellitus disebabkan oleh karena gagalnya hormon

insulin. Akibat kekurangan insulin maka glukosa tidak dapat diubah menjadi

glikogen sehingga kadar gula darah meningkat dan terjadi hiperglikemi.

Ginjal tidak dapat menahan hiperglikemi ini, karena ambang batas untuk

gula darah adalah 180 mg% sehingga apabila terjadi hiperglikemi maka

ginjal tidak bisa menyaring dan mengabsorbsi sejumlah glukosa dalam

darah. Sehubungan dengan sifat gula yang menyerap air maka semua

kelebihan dikeluarkan bersama urine yang disebut glukosuria. Bersamaan

keadaan glukosuria maka sejumlah air hilang dalam urine yang disebut

poliuria. Poliuria mengakibatkan dehidrasi intraselluler, hal ini akan

merangsang pusat haus sehingga pasien akan merasakan haus terus menerus

sehingga pasien akan minum terus yang disebut polidipsi.

Produksi insulin yang kurang akan menyebabkan menurunnya

transport glukosa ke sel-sel sehingga sel-sel kekurangan makanan dan

simpanan karbohidrat, lemak dan protein menjadi menipis. Karena

digunakan untuk melakukan pembakaran dalam tubuh, maka klien akan

merasa lapar sehingga menyebabkan banyak makan yang disebut poliphagia.

Terlalu banyak lemak yang dibakar maka akan terjadi penumpukan asetat

dalam darah yang menyebabkan keasaman darah meningkat atau asidosis.

Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga tubuh berusaha

mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya bau urine dan napas

penderita berbau aseton atau bau buah-buahan. Keadaan asidosis ini apabila

tidak segera diobati akan terjadi koma yang disebut koma diabetik (Price,

1995).

8. Interpretasi hasil pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan

pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan

a. Pemeriksaan fisik

i. Keadaan umum

Page 10: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

a. Sakit berat : keadaan umum saat pemeriksaan fisik, pasien

mengalami penurunan kesadaran.

b. Somnolen : merupakan salah satu hasil pemeriksaan kesadaran

secara kualitatif. Pasien dalam keadaan mengantuk. Kesadaran

dapat pulih penuh bila dirangsang. Somnolen disebut juga

sebagai letargi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh mudahnya

pasien dibangungkan, mampu memberi jawaban verbal dan

menangkis rangsang nyeri. Pada alloanamnesis, pasien bisa

dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi dan diajak bicara tidak

menyambung.

c. GCS (Glasgow Comma Scale) : merupakan pemeriksaan

kesadaran secara kuantitatif. E (eye) 3: membuka mata dengan

rangsang suara (suruh pasien membuka mata), V(verbal) 4:

bingung; berbicara mengacau (sering berulang-ulang);

disorientasi tempat dan waktu, M (motoric) 5: melokalisasi nyeri

(menjangkau dan menjauhkan stimulus saat diberi rangsang

nyeri).

ii. Tanda vital

a. Tekanan darah 80/40 mmHg : hipotensi

b. Suhu 38oC : demam

c. RR 32 kali/menit : takipneu

d. Nadi 128 kali/menit : takikardi

Berdasarkan tekanan darah dan denyut nadi, pasien mengalami

syok derajat III.

iii. Rhonki di kedua lapang paru (-)

Auskultasi pada kedua lapang paru tidak ditemukan bunyi napas

tambahan rhonki. Bila ditemukan rhonki, maka ada sekret dalam

saluran nafas yang besar, misalnya pada syok kardiogenik atau pada

pasien pneumonia.

iv. Refleks fisiologis dalam batas normal, refleks patologis (-)

Page 11: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Refleks fisiologis merupakan refleks yang normal pada orang sehat,

sedangkan refleks patologis ditemukan pada orang yang mengalami

gangguan pada sistem sarafnya..

b. Pemeriksaan laboratorium

i. Hb 13 g % : normal (N : 13-18 g %)

ii. Leukosit 25.000 / mm3 : leukositosis (N : 4.000-11.000)

iii. Trombosit 350.000 / mm3 : normal (N : 150.000-400.000)

iv. GDS 600 mg / dL : hiperglikemia (N : 140-200 mg / dL )

v. Ureum 60 mg / dL : hiperurisemia (N : 15-40 mg / dL )

vi. Kreatinin 1,0 mg / dL : normal (N : 0,5-1,5 mg / dL)

vii. Kalium 4,5 mmol / L : normal (N : 3,5-5,0 mg / dL)

Berdasarkan hasil pemeriksaan ureum yang naik dan kreatinin

normal, maka pasien menderita gangguan prerenal, gangguan tersebut

diakibatkan oleh gangguan pembuluh darah sebelum masuk ke ginjal. Gula

darah sewaktu tinggi karena penderita jarang kontrol dan dua hari

sebelumnya tidak suntik insulin. Selain itu, pemeriksaan urin rutin dan gas

darah masih menunggu hasil. Kedua pemeriksaan ini dilakukan karena

sesuai dengan kondisi pasien, di mana salah satu indikasi pemeriksaan gas

darah adalah pada pasien dengan syok dan pemeriksaan urin dilakukan

karena pasien memiliki riwayat diabetes mellitus tidak terkontrol serta hasil

pemriksaan leukosit tinggi dengan adanya kemungkinan infeksi saluran

kemih.

9. Prosedur pemeriksaan reflex fisiologis dan reflex patologis

a. Refleks fisiologis

i. Refleks Biceps : Pasien dalam keadaan duduk dan relaks. Lengan

pasien harus relaks dan sedikit ditekuk pada siku dengan telapak

tangan mengarah ke bawah. Letakkan siku padien dalam

lengan/tangan pemeriksa. Letakkan ibu jari pemeriksa untuk menean

tendon biceps pasien. Dengan menggunakan palu refleks, pukul ibu

jari anda (yang menekan tendon tadi) untuk memunculkan refleks

Page 12: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

biceps. Reaksi pertama adalah kontraksi dari otot biceps dan

kemudian fleksi pada siku.

ii. Refleks Triceps : Pasien diminta untuk duduk dalam posisi yang

relaks. Letakkan lengan pasien pada lengan/tangan pemeriksa. Posisi

pasien sama seperti saat pemeriksaan refleks biceps. Pasien diminta

untuk me-relaks-kan lengannya. Saat lengan pasien sudah benar-

benar relaks, pukul tendon triceps yang melalui fossa olecranii.

Reaksinya adalah kontraksi otot triceps dan sedikit terhentak. Rekasi

ini dapat terlihat ataupun dirasakan oleh lengan pemeriksa yang

menahan lengan pasien.

iii. Refleks Patella : Pasien duduk dengan posisi tungkai menggantung.

Lakukan palpasi pada sisi kanan dan sisis kiri tendon patella. Tahan

daerah distal paha dengan menggunakan satu tangan, sedangkan

tangan yang lain memukul tendon patella untuk memunculkan

refleks. Tangan pemeriksa yang menahan bagian distal paha akan

merasakan kontraksi otot quadriceps dan pemeriksa mungkin dapat

melihat gerakan tiba-tiba dari tungkai bagian bawah.

iv. Refleks Achilles : Pasien diminta untuk duduk dengan satu tungkai

menggantung, atau berbaring dengan posisi supine, atau berdiri

dengan bertumpu pada lutut dimana bagian bawah tungkai dan kaki

berada di luar meja pemeriksaan. Tegangkan tendon achilles dengan

cara menahan kaku di posisi dorsofleksi. Pukul tendon Achilles

dengan ringan dan cepat untuk memunculkan refleks Achilles yaitu

fleksi kaki yang tiba-tiba.

b. Refleks patologis

i. Reflek hoffmann tromer : Tangan pasien ditumpu oleh tangan

pemeriksa, kemusian ujung jari tangan pemeriksa yang lain

disentilkan ke ujung jari tengah tangan penderita. Kita lihat respon

jari tangan penderita, yaitu fleksi jari-jari yang lain, aduksi dari ibu

jari. Reflek positif bilateral bisa dijumpai pada 25 % orang normal,

sedangkan unilateral hoffmann indikasi untuk suatu lesi UMN .

Page 13: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

ii. Grasping reflek : Gores palmar penderita dengan telunjuk jari

pemeriksa diantara ibu jari dan telunjuk penderita. Maka timbul

genggaman dari jari pendeirta, menjepit jari pemeriksa. Jika reflek ini

ada maka penderuta tidak dapat membebaskan jari pemeriksa.

Normal masih terdapat pada anak kecil. jika positif ada pada dewasa,

maka kemungkinan terdapat lesi di area premotorik cortex.

iii. Reflek palmomental : Garukan pada telapak tangan pasien

menyebabkan kontraksi muskulus mentali ipsilateral. Reflek

patologis ini timbul akibat kerusakan lesi UMN di atas inti saraf VII

kontralateral.

iv. Reflek snouting / menyusu : Ketukan hammer pada tendo insertio m.

Orbicularos oris, maka akan menimbulkan reflek menyusu.

Menggaruk bibir dengan tingue spatel maka akan timbul reflek

menyusu. Normal pada bayi, jika positif pada dewasa menandakan

lesi UMN bilateral.

v. Mayer reflek : Fleksikan jari manis di sendi metacarpophalangeal,

cecara firmly normal akan timbul adduksi dan aposisi dai ibu jari.

Absennya respon ini menandakan lesi di tractus pyramidalis.

vi. Reflek Babinski : Lakukan goresan pada telapak kaki dari arah tumit

ke arah jari melalui sisi lateral, orang noramla akan memberikan

respon fleksi jari-jari kaki dan penarikan tungkai. Pada lesi UMN

maka akan timbul respon jempol kaki akan dorsofleksi, sedangkan

jari-jari lain akan menyebar atau membuka. Normal pada bayi masih

ada.

vii. Reflek Oppenheim : Lakukan goresan pada sepanjang tepi depan

tuilang tibia dari atas ke bawah, dengan kedua jari telunjuk dan

tengah., jika posistidf maka akan timbul reflek seperti babinski

viii. Reflek gordon : Lakukan goresan / memencet otot gastrocnemius .

jika posistif maka akan timbul reflek seperti babinski

ix. Reflek schaefer : Lakukan pemencetan pada tendo achiles. Jika

positif maka akan timbul reflek seperti babinski

Page 14: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

x. Reflek chaddock : Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung

kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke depan. Jika posistif maka akan

timbul reflek seperti babinski

xi. Reflek Rossolimo : Pukulkan hammer reflek pada dorsal kaki pada

tulang cuboid. Reflek akan terjadi fleksi jari-jari kaki.

xii. Reflek Mendel-Bacctrerew : Pukulan telapak kaki bagian depan akan

memberikan respon fleksi jari-jari kaki

10. Farmakodinamik, farmakokinetik, indikasi, kontraindikasi, dosis, dan efek

samping dari captopril dan insulin

a. Captopril

i. Farmakodinamik

ACE inhibitor memiliki mekanisme aksi menghambat sistem renin-

angiotensin-aldosteron dengan menghambat perubahan Angiotensin I

menjadi Angiotensin II sehingga menyebabkan vasodilatasi dan

mengurangi retensi sodium dengan mengurangi sekresi aldosteron.

Oleh karena ACE juga terlibat dalam degradasi bradikinin maka ACE

inhibitor menyebabkan peningkatan bradikinin, suatu vasodilator kuat

dan menstimulus pelepasan prostaglandin dan nitric oxide.

Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah

dari ACE inhibitor.

ii. Farmakokinetik

Captopril diabsorbsi dengan baik pada pemberian oral dengan

bioavaliabilitas 70 – 75 %. Pemberian bersama makanan mengurangi

absorbsi sekitar 30% maka diberikan 1 jam sebelum makan.

Captopril mengalami metabolisme di hati dan eliminasi melalui

ginjal.

iii. Indikasi

a. Hipertensi esensial (ringan sampai sedang) dan hipertensi yang

parah.

Page 15: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

b. Hipertensi berkaitan dengan gangguan ginjal (renal

hypertension).

c. Diabetic nephropathy dan albuminuria.

d. Gagal jantung (Congestive Heart Failure).

e. Postmyocardial infarction

f. Terapi pada krisis scleroderma renal.

iv. Kontraindikasi

a. Hipersensitif terhadap ACE inhibitor.

b. Kehamilan.

c. Wanita menyusui.

d. Angioneurotic edema yang berkaitan dengan penggunaan ACE

inhibitor sebelumnya.

e. Penyempitan arteri pada salah satu atau kedua ginjal.

v. Dosis

a. Dosis inisial : 6,25-12,5mg 2-3 kali/hari dan diberikan dengan

pengawasan yang tepat. Dosis ini perlu ditingkatkan secara

bertingkat sampai tercapai target dosis.

b. Target dosis : 50mg 3 kali/hari (150mg sehari)

vi. Efek samping

a. Batuk kering

b. Hipotensi

c. Pusing

d. Disfungsi ginjal

e. Hiperkalemia

f. Angioedema

g. Ruam kulit

h. Takikardi

i. Proteinuria

b. Insulin

i. Farmakodinamik

ii. Farmakokinetik

Page 16: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

iii. Indikasi

iv. Kontraindikasi

v. Dosis

vi. Efek samping

11. Indikasi pemberian infus ringer laktat dan bolus insulin

a. Infus ringer laktat

Tujuan dari resusitasi cairan adalah mempertahankan distribusi oksigen ke

jaringan. Besar volum cairan yang hilang serta jenis cairan yang digunakan

mempengaruhi jumlah cairan yang diberikan. Perbandingan cairan

kristaloid dengan volum cairan yang hilang adalah 3:1. Sedangkan

perbandingan cairan koloid dengan volum cairan yang hilang adalah 1:1.

Lebih dianjurkan cairan yang diberikan ialah garam seimbang seperti

Ringer’s laktat (RL) 2-4 L dalam 20-30 menit.

Indikasi penggantian cairan:

Indikasi pen

b. Bolus insulin

Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah

sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka membutuhkan

Perdarahan Tiap 1 mL darah yang hilang digantikan dengan 3

mL cairan kristaloid isotonis seimbang atau 1 mL

cairan koloid/darah

Third space losses Digantikan dengan cairan kristaloid isotonis

seimbang (contoh: Ringer Laktat)

Keringat berlebihan Digantikan dengan D5W ¼ NS dengan 5 mEq KCl/L

Gastric and colonic

losses

Digantikan dengan D5W ½ NS dengan 30 mEq

KCl/L

Bile, pancreas, and

small bowel losses

Digantikan dengan cairan kristaloid isotonis

seimbang (contoh: Ringer Laktat)

Page 17: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

terapi insulin yang diberikan secara infus intravena, misalnya pada pasien

kritis/akut, seperti :

- hiperglikemia gawat darurat

- infark miokard akut

- stroke

- fraktur

- infeksi sistemik

- syok kardiogenik

- pasien transplantasi organ

- edema anasarka

- kelainan kulit yang luas

- persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi,

- pasien pada periode perioperatif.

12. Indikasi pemeriksaan urin rutin dan analisa gas darah

a. Pemeriksaan urin rutin

Indikasi dilakukannya pemeriksaan urin rutin yaitu:

i. Mendiagnosis dan memantau kelainan ginjal/saluran kemih termasuk

kecurigaan dan pemantauan infeksi saluran kemih (ISK)

ii. Mendeteksi penyakit metabolik dan sistemik

b. Analisa gas darah

Indikasi dilakukannya pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) yaitu :

i. Pasien dengan penyakit obstruksi paru kronik, seperti bronchitis

kronis dan emfisema

ii. Pasien dengan edema pulmo

iii. Pasien akut respiratori distress sindrom (ARDS)

iv. Infark miokard

v. Pneumonia

vi. Pasien syok

vii. Post pembedahan coronary arteri baypass

viii. Resusitasi cardiac arrest

Page 18: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

13. Informed consent, medikolegal dan etik pada kasus kegawatan

Pada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Medik,

pengaturan mengenai informed consent pada kegawatdaruratan lebih tegas

dan lugas. Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 pasal 4 ayat (1)

dijelaskan bahwa “Dalam keadaan darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien

dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan persetujuan tindakan

kedokteran”.

Seperti yang telah dijelaskan pada Permenkes No

209/Menkes/Per/III/2008 pada pasal 4 ayat (1) bahwa tidak diperlukan

informed consent pada keadaan gawat darurat. Namun pada ayat (3) lebih di

tekankan bahwa dokter wajib memberikan penjelasan setelah pasien sadar

atau pada keluarga terdekat. Berikut pasal 4 ayat (3) “ Dalam hal

dilakukannya tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

dokter atau dokter gigi wajib memberikan penjelasan sesegera mungkin

kepada pasien setelah pasien sadar atau kepada keluarga terdekat”. Hal ini

berarti, apabila sudah dilakukan tindakan untuk penyelamatan pada keadaan

gawat darurat, maka dokter berkewajiban sesudahnya untuk memberikan

penjelasan kepada pasien atau kelurga terdekat.

14. Kriteria kasus kegawatdaruratan

Menurut BPJS (2014), kriteria kegawatan sesuai indikasi medis, yaitu:

1. Kecelakaan/Ruda Paksa yang bukan kecelakaan kerja, contoh kasus:

Trauma kepala, patah tulang terbuka/tertutup, luka robekan/sayatan pada

kulit/otot

2. Serangan jantung, contoh kasus: henti irama jantung, irama jantung yang

abnormal, nyeri dada akibat penyempitan/penutupan pembuluh darah

jantung

3. Panas tinggi diatas 39 derajat Celsius atau disertai kejang demam, contoh

kasus: kejang demam

Page 19: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

4. Perdarahan hebat, contoh diagnosis: Trauma dengan perdarahan hebat,

muntah/berak darah, abortus (keguguran) , Demam Berdarah Dengue

Grade dengan komplikasi perdarahan

5. Muntaber disertai Dehidrasi sedang s/d berat, contoh kasus: Kholera,

Gastroenteritis akut dengan dehidrasi sedang/berat, mual dan muntah

pada ibu hamil disertai dehidrasi sedang/berat

6. Sesak Napas, contoh kasus: Asma sedang/berat dalam serangan, infeksi

paru berat

7. Kehilangan kesadaran, contoh kasus: Ayan/epilepsy, Syok/pingsan

akibat kekurangan cairan, gangguan fungsi jantung, alergi berat, infeksi

berat

8. Nyeri kolik, contoh kasus: kolik abdomen, kolik renal, kolik ureter, kolik

uretra

9. Keadaan gelisah pada penderita gangguan jiwa

15. Diagnosis banding

a. Syok

i. Pengertian

Syok adalah suatu keadaan dimana pasokan darah tidak

mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Shock juga

didefinisikan sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan

penurunan kritis perfusi jaringan vital atau menurunnya volume darah

yang bersirkulasi secara efektif.

ii. Tipe syok

Syok secara klasik dibagi menjadi tiga katagori, yaitu

kardiogenik, hipovolemik, dan distributif syok. Syok kardiogenik

terjadi apabila jantung gagal berfungsi sebagai pompa untuk

mempertahankan curah jantung yang memadai. Disfungsi dapat

terjadi pada saat sistole atau diastole atau dapat merupakan akibat

dari obstruksi. Kegagalan sistole atau pengaliran darahdapat

diakibatkan oleh kardiomiopati terkembang (dilated cardiomyopathy)

Page 20: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

yang menyebabkan buruknya kontraktilitas, atau toksin/obat yang

menyebabkan depresi atau kerusakan miokardium. Kegagalan

diastole atau pengisian jantung dapat diakibatkan oleh kardiomiopati

hipertropik yang mengakibatkan buruknya preload, regurgitasi seperti

pada cacat katup, tamponad atau fibrosis perikardiaum yang

mengakibatkan rendahnya preload, atau aritmia parah yang

mengakibatkan buruknya preload dan kontraktilitas takefisien.

Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit volume darah

≥15%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen

dan nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel.

Berkurangnya volume intravaskular dapat diakibatkan oleh

kehilangan cairan tubuh secara akut atau kronik, misalnya karena

oligemia, hemoragi, atau kebakaran.

Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi aliran darah

karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang

bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan.

Vasodilatasi perifer menimbulkan hipovelemia relatif. Contoh klasik

dari syok distributif adalah syok septik. Akan tetapi, keadaan

vasodilatasi akibat faktor lain juga dapat menimbulkan syok

distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok

neurogenik, dan systemic inflamatory response syndrome (SIRS).

Syok septik merupakan komplikasi umum yang dijumpai pada

praktik hewan kecil dan dilaporkan merupakan penyebab kematian

yang paling umum pada unit perawatan intensif bukan kardium.Tipe-

tipe syok tersebut bervariasi dalam etiologi, tanda klinik, dan

penanganan. Seringkali terjadi lebih dari satu tipe syok pada seekor

pasien; hewan yang mengalami syok distributif juga akan mengalami

hipovolemi. Syok distributif dan hipovolemik dapat menimbulkan

syok kardiogenik.

iii. Etiologi

Page 21: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Etiologi spesifik dari syok tidak diketahui, tetapi syok dapat

terjadi karena stres yang serius, misalnya karena trauma yang hebat,

kegagalan jantung, perdarahan, terbakar, anestesi, infeksi berat,

obstruksi intestinal, anemia, dehidrasi, anafilaksis, dan intoksikasi.

iv. Tanda Klinis

Tanda klinik syok bervariasi tergantung pada penyebabnya.

Secara umum, tanda kliniknya dapat berupa apatis, lemah, membrana

mukosa pucat, kualitas pulsus jelek, respirasi cepat, temperatur tubuh

rendah, tekanan darah rendah, capillary refill time lambat, takikardia

atau bradikardia (kucing), oliguria, dan hemokonsentrasi (kecuali

pada hemoragi). Tekanan arteri rendah, membrana mukosa pucat,

capiilarity refill time (CRT) lambat (>2 detik), temperatur rektal

rendah atau normal, takipnea, dan ekstremitas terasa dingin

merupakan tanda klinik syok kardiogenik dan hipovolemik. Untuk

membedakan syok kardiogenik dengan syok hipovolemik dibutuhkan

anamnesis lengkap dan evaluasi jantung.

Pasien yang mengalami syok septik awal, membrana mukosanya

mungkin masih merah, CRT cepat (<1 detik), takikardia, demam, dan

terasahangat saat disentuh. Pada perkembangan selanjutnya,

membrana mukosa tampak “keruh”, CRT bertambah lambat (>2

detik), pulsus menjadi lemah, dan ekstremitas menjadi dingin.

Gambaran unik terjadi pada syok distributif pada kucing yang

seringkali menunjukkan bradikardia daripada tekikardia

v. Penatalaksanaan

Tujuan penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan

perfusi dan oksigenasi jaringan dengan mengembalikan volume dan

tekanan darah. Pada syok tahap lebih lanjut, pengembalian perfusi

jaringan saja biasanya tidak cukup untuk menghentikan

perkembangan peradangan sehingga perlu dilakukan upaya

menghilangkan faktor toksik yang terutama disebabkan oleh bakteri.

Pemberian oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tanpa

Page 22: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

memperhatikan penyebab syok. Terapi lainnya tergantung pada

penyebab syok.

Terapi cairan merupakan terapi yang paling penting terhadap

pasien yang mengalami syok hipovolemik dan distributif. Pemberian

cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang bersirkulai,

menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena,

sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Akibat selanjutnya

adalah meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan pasokan

oksigen kepada sel. Terapi awal dapat berupa pemberian cairan

kristaloid atau koloid. Pada hewan yang mengalami hipovolemik

dengan fungsi jantung normal, cairan Ringer laktat atau Ringer asetat

diberikan dengan cepat. Dosis yang direkomendasikan untuk

syoktersebut harus dihentikan. Perikardiosentesis harus dilakukan

jika efusi perikardium cukup banyak dan menyebabkan tamponad.

Pada syok distributif apabila hipotensi tetap terjadi walaupun

telah dilakukan terapi cairan yang cukup maka dibutuhkan pemberian

vasopresor. Oleh karena curah jantung dan tahanan pembuluh darah

sistemik mempengaruhi penghantaran oksigen ke jaringan, maka

pada pasien hipotensi harus dilakukan terapi untuk memaksimalkan

fungsi jantung dengan terapi cairan dan obat inotropik, dan/atau

memodifikasi tonus pembuluh darah dengan agen vasopresor.

Penggunaan glukokortikoid untuk menangani syok masih

kontroversial. Namun apabila digunakan, glukokortikoid harus

digunakan pada penanganan awal dan tidak diulang penggunaannya.

Prednisolon direkomendasikan pada dosis 22-24 mg/kg secara IV.

Glukokortikoid kerja cepat (rapid-acting glucocorticoid) yang lain

yang tersedia dalam bentuk parenteral adalah deksametason sodium

fosfat, direkomendasikan pada dosis 2-4 mg/kg secara IV.

b. Syok sepsis

i. Pengertian

Page 23: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Sepsis atau syok septik adalah sindrom respon inflamasi sistemik

(SIRS) sekunder terhadap infeksi yang terjadi. Respons yang terjadi

adalah keadaan kegagalan sirkulasi akut ditandai dengan hipotensi

arteri persisten meskipun resusitasi cairan yang cukup atau dengan

hipoperfusi jaringan (dimanifestasikan oleh konsentrasi laktat > 4 mg

/ dL) yang disebabkan oleh penyebab lain (Kalil, 2014).

ii. Tanda dan Gejala

a. Demam, menggigil, atau kaku (rigor)

b. Kebingungan

c. Kegelisahan

d. Kesulitan bernapas

e. Kelelahan, malaise

f. Mual dan muntah

iii. Diagnosis

Diagnosis ditegakkan dengan tanda klinis dan pemeriksaan

penunjang, meliputi:

a. Hitung darah lengkap dengan diferensial

b. Pemeriksaan koagulasi (misalnya, waktu protrombin [PT], waktu

tromboplastin parsial teraktivasi [aPTT], kadar fibrinogen)

c. Kimia darah (misalnya, natrium, klorida, magnesium, kalsium,

fosfat, glukosa, laktat)

d. Tes fungsi ginjal dan hati (misalnya, kreatinin, nitrogen urea

darah, bilirubin, alkaline phosphatase, alanine aminotransferase,

aspartat aminotransferase, albumin, lipase)

e. Kultur darah

f. Kultur urin

g. Pewarnaan Gram dan kultur sekret dan jaringan (Kalil, 2014).

iv. Penatalaksanaan

Pasien dengan sepsis, sepsis berat, dan syok septik membutuhkan

perawatan inap ke rumah sakit. Perawatan awal termasuk bantuan

pernapasan dan fungsi peredaran darah, bantuan oksigen, ventilasi

Page 24: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

mekanis, dan infus. Pengobatan pasien dengan syok septik memiliki

tujuan utama sebagai berikut :

a. Mulai dengan antibiotik yang memadai (spektrum dan dosis yang

tepat) sedini mungkin.

b. Menyadarkan pasien dari syok septik dengan menggunakan

langkah-langkah dukungan untuk memperbaiki hipoksia,

hipotensi, dan gangguan oksigenasi jaringan (hipoperfusi).

c. Mengidentifikasi sumber infeksi dan mengobati dengan terapi

antimikroba, operasi, atau keduanya (kontrol sumber).

d. Mempertahankan fungsi sistem organ yang memadai, dipandu

oleh pemantauan kardiovaskular , dan menghambat

perkembangan sindrom disfungsi beberapa organ (multiple organ

dysfunction syndrome [MODS]) (Kalil, 2014).

c.Hipertensi

i. Pengertian

Menurut JNC VII (2003), hipertensi adalah keadaan dimana tekanan

darah ≥ 140/90 mmHg. Klasifikasi hipertensi dapat dilihat dalam

tabel berikut:

Klasifikasi Sistole Diastole

Normal < 120 < 80

Prehipertensi 120 – 139 80 – 89

Hipertensi

- Derajat I

- Derajat II

140 – 159

≥ 160

90 – 99

≥ 100

ii. Etiologi

Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi 2 Yaitu :

a. Hipertensi primer / Hipertensi esensial yang (tidak diketahui

penyebabnya) disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar

95 % kasus. Faktor yang mempengaruhuinya seperti : genetik,

Page 25: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-

angiotensin, defek dalam ekskresi na, peningkatan na dan ca

intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti

obesitas, alkohol, dan merokok.

b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal. Terdapat 5 % kasus.

Penyebab spesifiknya diketahui, seperti penyakit ginjal (stenosis

arteri renalis, pielonefritis, glomerulonefritis, tumor-tumor ginjal,

penyakit ginjal polikista (biasanya diturunkan), trauma pada

ginjal (luka yang mengenai ginjal), terapi penyinaran yang

mengenai ginjal, penggunaan estrogen, hipertensi vaskular renal,

hiperaldosteronisme primer, sindrom cushing, preeklamsi pada

kehamilan, dll.

iii. Patogenesis

Tekanan darah dipengaruhi oleh curah jantung dan tahanan perifer.

Pada tahap awal hipertensi primer, curah jantung meningkat, tahanan

perifer normal, disebabkan peningkatan aktifitas simpatik. Tahap

selanjutnya, curah jantung kembali normal sedangkan tahanan perifer

meningkat (ini disebabkan refleks autoregulasi, yaitu : mekanisme

tubuh mempertahankan keadaan hemodinamik yang normal).

Meningkatnya tekanan darah di dalam arteri bisa terjadi melalui

beberapa cara:

- Jantung memompa lebih kuat sehingga mengalirkan lebih banyak

cairan pada setiap detiknya

- Arteri besar kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku,

sehingga mereka tidak dapat mengembang pada saat jantung

memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu darah pada

setiap denyut jantung dipaksa untuk melalui pembuluh yang

sempit daripada biasanya dan menyebabkan naiknya tekanan.

(arteriosklerosis ).

- Bertambahnya cairan dalam sirkulasi bisa menyebabkan

meningkatnya tekanan darah. Hal ini terjadi jika terdapat

Page 26: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

kelainan fungsi ginjal sehingga tidak mampu membuang

sejumlah garam dan air dari dalam tubuh. Volume darah dalam

tubuh meningkat, sehingga tekanan darah juga meningkat.

iv. Penegakan diagnosis

- Hipertensi ditegakkan dengan dua kali atau lebih pengukuran

pada kunjungan yang berbeda, kecuali terdapat kenaikan yang

tinggi atau gejala-gejala klinis

- Pengukuran tekanan darah darah dilakukan dalam keadaan

pasien duduk bersandar, setelah beristirahat selama 5 menit

- Anamnesis : Lama menderitanya, riwayat dan gejala penyakit-

penyakit yang berkaitan seperti penyakit jantung koroner, gagal

jantung, riwayat penyakit dalam keluarga, kebiasaan seperti

merokok, makanan, pemakaian obat bebas, hasil antihipertensi

sebelumnya bila ada, dan faktor psikososial lingkungan

( keluarga, pekerjaan, dll )

v. Penatalaksanaan

- Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah

menurunkan risiko penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta

morbiditas yang berkaitan

- Tujuan terapi adalah mencapai dan mempertahankan tekanan

sistolik di bawah 140 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 90

mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai

melalui modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat anti

hipertensi.

- Langkah-langkah yang dianjurkan dalam modifikasi gaya hidup:

1. Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks

massa tubuh ≥ 27)

2. Membatasi alkohol

3. Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)

4. Mengurangi asupan natrium ( < 100 mmol Na / 2,4 g Na / 6

g NaCl / hari)

Page 27: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

5. Mempertahankan asupan kalium yang adekuat ( 90 mmol /

hari )

6. Mempertahankan asupan kalsium dan dan magnesium yang

adekuat

7. Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan

kolesterol dalam makanan

- Penatalaksanaan farmakologi dimulai dengan dosis terendah dan

menggunakan obat kombinasi dari golongan berbeda, yaitu:

1. Diuretik: menurunkan volume ekstraselular dan plasma

sehingga menurunkan curah jantung. Dosis : Tiazid 20-50

mg, 1-2 kali sehari

2. Vasodilator : Hidralazin 10-25 mg setiap hari

3. Penghambat Enzim konversi angiotensin : Kaptopril,

Enapril. 2 x 12.5 mg, 3 x 25 - 50 mg

4. Penyekat Beta : Propanolol, Metropolol, dll

d. Diabetes Mellitus

i. Pengertian

Diabetes Melitus adalah penyakit kelainan metabolik yang

dikarakteristikkan dengan hiperglikemia kronis serta kelainan

metabolisme karbohidrat, lemak dan protein diakibatkan oleh

kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya.

ii. Klasifikasi

a. DM tipe 1

Terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi autoimun). Sel β

pankreas merupakan satu-satunya sel tubuh yang menghasilkan

insulin yang berfungsi untuk mengatur kadar glukosa dalam

tubuh. Bila kerusakan sel β pankreas telah mencapai 80-90%

maka gejala DM mulai muncul.

b. DM tipe 2

Page 28: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Pada diabetes ini terjadi penurunan kemampuan insulin bekerja

di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel β.

Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang

cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini

menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Kegemukan

sering berhubungan dengan kondisi ini. DM tipe 2 umumnya

terjadi pada usia > 40 tahun. Pada DM tipe 2 terjadi gangguan

pengikatan glukosa oleh reseptornya tetapi produksi insulin

masih dalam batas normal sehingga penderita tidak tergantung

pada pemberian insulin.

c. DM gestasional

Adalah kehamilan yang disertai dengan peningkatan insulin

resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Pada

umumnya mulai ditemukan pada kehamilan trimester kedua atau

ketiga. Faktor risiko GDM yakni riwayat keluarga DM,

kegemukan dan glikosuria.

iii. Diagnosis

a. Gejala klasik (polidipsi, polifagi, poliuri, berat badan berkurang)

dengan kadar glukosa sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol).

b. Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl (7,0 mmol/L), pada keadaan

puasa sedikitnya 8 jam, atau dua jam setelah pemberian, glukosa

darah ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol) pada saat TTGO.

c. Pada keadaan tidak adanya hiperglikemia dengan gangguan

metabolik akut kriteria ini harus diulang dengan melakukan tes

pada hari yang berbeda.

e.Ketoasidosis

f. Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik

i. Pengertian

Adalah suatu komplikasi akut dari diabetes melitus dimana penderita

akan mengalami dehidrasi berat, kesadaran menurun, hiperosmolar

dan tanpa adanya ketogenesis atau ada namun minimal.

Page 29: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

ii. Etiologi

a. Insufisiensi insulin

b. Peningkatan glukosa eksogen

c. Peningkatan glukosa endogen

d. Infeksi

e. Pembedahan/operasi

f. Pemberian cairan hipertonik

g. Luka bakar

iii. Manifestasi Klinis

a. Agak mengantuk, sering koma.

b. Poliuri selama 1-3 hari sebelum gejala klinis timbul.

c. Tidak ada hiperventilasi dan tidak ada bau nafas.

d. Dehidrasi

e. Hipovolemia

f. Glukosa serum mencapai > 600 mg/dL

g. Hipernatremia

h. Osmolaritas serum tinggi dengan gejala SSP minimal

(disorientasi, kejang setempat)

i. Kerusakan fungsi ginjal

j. Kadar HCO3 <10 mEq/L

k. Kadar CO2 normal

l. Celah anion < 7mEq/L

m. Tidak ada ketonemia

n. Asidosis ringan

iv. Tatalaksana

a. Rehidrasi Cairan

Cairan yang digunakan adalah NaCl diberikan isotonik atau

hiptonik.

b. Insulin

c. Kalium

d. Hindari infeksi sekunder

Page 30: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Karena HHNK sering terjadi akibat komplikasi dari infeksi,

maka salah satu pengbatan yang perlu dipertimbangkan adalah

pemberian antibiotik.

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA

Azwar. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan Edisi Ketiga, Jakarta : Binarupa.

Aksara.

BPJS Ketenagakerjaan. 2014. Emergensi.

http://www.jamsostek.co.id/info/subcontent.php?id=16&subid=26

Dewi, S. S. 2012. Diabetes Melitus. eprints.undip.ac.id/35606/3/Bab_2.pdf

Diah KM, et al. 2012. Pemeriksaan neurologi dalam Gabungan manual semester 3

2012. Surakarta: Bagian Skill Lab Fakultas Kedokteran UNS.

Dipiro, D. C., Talbert, R. M., Yee, G. C., Matzke, G. R., Welles, B. G., Posey, L. M..

2005. Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition. 219-

257, The McGraw-Hill Companies Inc, USA.

Dollery, C. 1999. Therapeutic Drugs, 2nd Edition, volume 1 (A-H). C38-C42,

Churchill Livingstone, USA.

EB Medicine. 2014. Distinguishing and Managing Hypertensive Emergencies and

Urgencies. http://www.ebmedicine.net/topics.php?

paction=showTopicSeg&topic_id=70&seg_id=1336

Ettinger, S. J. dan E. C. Feldman. 2005. Textbook of Veterinary Internal Medicine.

Vol. 1. 6th Ed. St. Louis, Missouri: Elsevier Inc.

Fox, P. R. 2007. Critical care cardiology. In Proceedings of the World Small Animal

Veterinary Association. Sydney, Australia

Fuentes, V. L. 2007. Cardiovascular emergencies. In Proceedings of the SCIVAC

Congress. Rimini, Italy.

Page 31: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5th ed. Thieme. NY.

Hal 119-123

John. MF Adam. Klasifikasi dan Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus yang Baru.

Cermin Dunia Kedokteran. 2006; 127:37-40

Kahn, C. M. dan S. Line. 2008. The Merck Veterinary Manual (E-book). 9th Ed.

Whitehouse Station, N.J., USA: Merck and Co., Inc.

Kalil, Andre. 2014. Septic Shock. http://emedicine.medscape.com/article/168402-

overview#showall – Diakses Mei 2014.

King, L. 2008. Update on feline critical care. In Proceedings of the 33rd World

Small Animal Veterinary Congress. Dublin, Ireland.

Kirby, R. 2007. Shock and shock resuscitation. In Proceedings of the Societa

Culturale Italiana Veterinari Per Animali Da Compagnia Congress. Rimini,

Italy.

Konsil Kedokteran Indonesia. 2007. MIMS edisi Bahasa Indonesia, volume 8, 51-56,

CMP Medika, Jakarta.

Kumar, Abbas, Fausto, Mithchell. 2007. Robbins Basic Pathology: The Endocrine

System. Philadelphia: Saunders Elsevier.

Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Lance, L. L. 2006. Drug Information

Handbook, 14th Edition, 262-264, Lexi-Comp Inc, Ohio.

Lantip rujito, pemeriksaan refleks patologis dalam: Lab. Ketrampilan Medik PPD

Unsoed, modul skillslab

repository.unand.ac.id/15476/4/Penuntun_Skill_Lab_3.pdf

Lindsay, KW dan Bone I. 1997. Coma and Impaired Conscious Level dalam

Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone. UK. Hal.81

Lorenz, M. D., L. M. Cornelius, dan D. C. Ferguson. 1997. Small Animal Medical

Therapeutics. Philadelphia: Lippincott Raven Publisher.

Lorenz, M. D. dan L. M. Cornelius. 2006. Small Animal Medical Diagnosis. 2nd Ed.

Iowa, USA: Blackwell Publishing.

Manaf A. 2008. Genetical Abonormality and Glucotoxicity in Diabetes Mellitus: The

Background of tissue Damage and Infection.

http://repository.unand.ac.id/107/1/DM_dan_TB1.pdf. (19 Mei 2014)

Page 32: Laporan Tutorial Skenario 1 Gwt

Poppy, K., Komala, S., Santoso, A. H., Sulaiman, J. R., Rienita, Y., Nuswantari, D.

1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland, Edisi 25. EGC, Jakarta.

Price, A. dan Wilson, L. (1995). Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. Penebit Buku

Kedokteran Jakarta:EGC

Publlication and Product National Diabetes facts Sheet. Available :

http://www.cdc.gov/diabetes/pubs/general05.htm#what. Access : 6 Juli 2008

Rang, H. P., Dale, M. M., Ritter, J. M., Moore, P. K. 2003. Pharmacology, Fifth

Edition, 269, 300-302, Churchill Livingstone, USA.

Sibuea, W. H., M. M. Panggabean, dan S. P. Gultom. 2005. Ilmu Penyakit Dalam.

Cetakan Kedua. Jakarta: Rineka Cipta.

Silverstein, D. 2006. The different types of shock. In Proccedings of the International

Congress of the Italian Association of Companion Animal Veterinarians. 19-21

Mei 2006. Rimini, Italy.

Sudoyo A. W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. 2009. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.

Surahman. 2010. Pengaruh Cardiopulmonar Bypass Terhadap Jumlah Leukosit

Pada Operasi Coronary Artery Bypass Graft. Jurnal Kedokteran. Universitas

Diponegoro

Sutadi, S. M. 2003. Gastroparesis Diabetika. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK USU.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3370/1/penydalam-

srimaryani8.pdf

Tierney, L. M., Mcphee, S. J., Papadakis, M. A., Current Medical Diagnosis &

Treatment, 45th Edition, 385-340, 419, 424-425, 434, 440, McGraw-Hill Inc,

USA.

Widjayanti, A., Ratulangi, B.T. Pemeriksaan Laboratorium Penderita Diabetes.

Available from: http://www.tempo.co.id/medika/online/tmp.online.old/pus-

1.htm. Access : 6 Juli 2008.

World Health Organisation. Diabetes mellitus : Report of a WHO Study Group.

World Health Organisation. Geneva-Switzerland. 2006. S5-36.