Upload
hana-indriyah
View
558
Download
193
Embed Size (px)
DESCRIPTION
laporan tutorial
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
BLOK PSIKIATRI SKENARIO 1
MENGAMUK
KELOMPOK A2
ABDURRAHMAN AFA HARIDI G0013001
AHMAD LUTHFI G0013011
ARLINDAWATI G0013039
ASMA AZIZAH G0013043
AYATI JAUHAROTUN NAFISAH G0013051
CICILIA VIANY EVAJELISTA G0013065
FHANY GRACE LUBIS G0013095
HANA INDRIYAH DEWI G0013105
KHANIVA PUTU YAHYA G0013129
RADEN ISMAIL H A G0013193
SANTI DWI CAHYANI G0013213
SHENDY WIDHA MAHENDRA G0013217
TUTOR: Briandani Subariyanti, dr
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO I
Seorang laki-laki usia 25 tahun dibawa ke IGD RS oleh keluarga dan
tetangganya karena mengamuk hampir membakar rumahnya sendiri. Menurut
keluarganya pasien sering marah-marah dan teriak-teriak tanpa sebab sejak 4
minggu yang lalu. Pasien juga jadi sering curiga terhadap orang lain, bahkan
pasien sering marah-marah dan teriak-teriak tanpa sebab sejak 4 minggu yang
lalu. Pasien juga jadi sering curiga terhadap orang lain, bahkan pasien juga merasa
bahwa tetangga dan keluarganya merencanakan niat jahat terhadap dirinya.
Menurut keluarganya, sepertinya dia mengalami stress berat karena hal tersebut
terjadi setalh beberapa kali melamar pekerjaan di beberapa tempat tidak diterima.
Sehari-harinya tampak tidak terawat, tidak mau mandi, tampak bingung, pakaian
kusut dan kumal.
Keluarganya pernah membawanya ke paranormal namun tidak ada
perbaikan, kemudian atas saran kepala desa dia dibawa ke ruamh sakit jiwa.
Dokter jaga di RSJ mengatakan bahwa pada pasien didapatkan waham, halusinasi
dan derealisasi yang menyebabkan perilaku aneh.
Dokter jaga mengatakan bahwa pasien harus dirawat di rumah sakit
selama beberapa hari dan kontrol rutin untuk penangann yang lebih baik.
Jump 1: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario.
1. Halusinasi : persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan
stimulus eksternal yang nyata; menghayati gejalagejala yang dikhayalkan
sebagai hal yang nyata.
2. Waham : (Delusi) yaitu satu perasaan keyakinan atau kepercayaan
yang keliru, berdasarkan simpulan yang keliru tentang kenyataan
eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia dan latar belakang budaya
pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau dengan jalan penyajian
fakta.
3. Derealisasi : perasaan subyektif bahwa lingkungannya menjadi asing,
tidak nyata
4. Stress : segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri yang bila
tidak diatasi dengan baik, akan mengganggu keseimbangan hidup dari
manusia.
Jump 2: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan
1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan?
2. Apa yang dimaksud dengan sehat mental?
3. Bagaimana hubungan onset dengan kondisi saat ini?
4. Apa yang terjadi pada pasien?
5. Apa jenis-jenis stressor mental dan menejemen stress?
6. Apa saja jenis waham dan bagaimana mekanismenya?
7. Apa saja jenis-jenis dan etilogi halusinasi?
8. Adakah hubungan kemampuan merawat diri dengan derajat sakit?
9. Apa saja gejala gangguan jiwa?
10. Apa yang dimaksud dengan gangguan psikotik?
11. Mengapa dokter menyarankan terapi untuk dirawat?
12. Mengapa pasien harus kontrol?
13. Apa saja pemeriksaan status mental yang sesuai dengan skenario?
Jump 3: Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan sementara
mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)
1. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan? (LO)
2. Apa yang dimaksud dengan sehat mental?
WHO mendefinisikan pengertian sehat sebagai suatu keadaan sempurna baik
jasmani, rohani, maupun kesejahteraan sosial seseorang. Notosoedirjo dan
Latipun (2005), mengatakan bahwa terdapat banyak cara dalam mendefenisikan
kesehatan mental (mental hygene) yaitu: (1) karena tidak mengalami gangguan
mental, (2) tidak jatuh sakit akibat stessor, (3) sesuai dengan kapasitasnya dan
selaras dengan lingkungannya, dan (4) tumbuh dan berkembang
secara positif.
Sedangkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang
menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai siksaan sehingga menyebabkan
seseorang tidak dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti halnya orang yang
sehat. Konsep gangguan jiwa dari DSM IV adalah sindrom atau pola psikologis
atau perilaku yang penting secara klinis yang terjadi pada seseorang dan dikatakan
oleh adanya distres atau disabilitas atau disertai peningkatan risiko kematian yang
menyakitkan, nyeri, disabilitas, atau sangat kehilangan kebebasan.
Ciri-ciri sehat mental menurut WHO adalah sebagai berikut:
1. Mempunyai kemampuan menyesuaikan diri secara
konstruktif pada kenyataan , meskipun kenyataan itu buruk ;
2. Mempunyai rasa kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
3. Mempunyai kesenangan untuk memberi dari pada
menerima;
4. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan
5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong
dan saling memuaskan;
6. Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran
dikemudian hari ;
7. Mengarahkan rasa permusuhan kepada penyelesaian yang
kreatif dan konstruktif;
8. Mempunyai daya kasih sayang yang besar serta mampu
mendidik.
Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap tingkat kesehatan mental
yakni sebagai berikut:
a. Biologis
Para ahli telah banyak melakukan studi tentang hubungan antara dimensi
biologis dengan kesehatan mental. Berbagai penelitian itu telah
memberikan
kesimpulan yang meyakinkan bahwa faktor biologis memberikan
kontribusi
sangat besar bagi kesehatan mental. Karena itu, kesehatan manusia,
khususnya
disini adalah kesehatan mental, tentunya tidak terlepaskan dari dimensi
biologs
ini.
Pada bagian ini akan dijelaskan tentang hubungan tersebut, khususnya
beberapa aspek biologis yang secara langsung berpengaruh terhadap
kesehatan
mental, diantaranya: otak, sistem endokrin, genetik, sensori, kondisi ibu
selama
kehamilain.
1. Otak
Otak sangat kompleks secara fisiologis, tetepi memiliki fungsi
yang sangat esensi bagi keseluruhan aktivitas manusia.
Diferensiasi dan keunikan yang ada pada manusia pada dasarnya
tidak dapat dilepaskan dari otak manusia. Keunikan manusia
terjadi justru karena keunikan otak manusia dalam
mengekspresikan seluruh pengalaman hidupnya. Jika
didipadukan dengan pandangan-pandangan psikologi, jelas
adanya kesesuaian antara perkembangan fisiologis otak dengan
perkembangan mental. Funsi otak seperti motorik, intelektual,
emosional dan afeksi berhubungan dengan mentalitas manusia.
2. Sistem endokrin
Sistem endokrin terdiri dari sekumpulan kelenjar yang sering
bekerja sama dengan sistem syaraf otonom. Sistem ini sama-
sama memberikan fungsi yang penting yaitu berhubungan
dengan berbagai bagian-bagian tubuh. Gangguan mental akibat
sistem endokrin berdampak buruk pada mentalitas manusia.
Sebagai contoh terganggunya kelenjar adrenalin berpengaruh
terhadap kesehatan mental, yakni terganggunya “mood” dan
perasannya dan tidak dapat melakukan coping stress.
3. Genetik
Faktor genetik diakui memiliki pengaruh yang besar terhadap
mentalitas manusia. Kecenderungan psikosis yaitu
schizophrenia dan manik-depresif merupakan sakit mental yang
diwariskan secara genetis dari orangtuanya. Gangguan lainnya
yang diperkirakan sebagai factor genetik adalah ketergantungan
alkohol, obat-obatan, Alzeimer syndrome, phenylketunurine, dan
huntington syndrome. Gangguan mental juga terjadi karena
tidak normal dalam hal jumlah dan struktur kromosom. Jumlah
kromosom yang berlebihan atau berkurang dapat menyebabkan
individu mengalami gangguan mental.
4. Sensori
Sensori merupakan aspek penting dari manusia. Sensori
termasuk: pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan dan
penciuman. Terganggunya fungsi sensori individu menyebabkan
terganggunya fungsi kognisi dan emosi individu. Seseorang
yang mengalami gangguan pendenganran misalnya, maka akan
berpengaruh terhadap perkembangan
emosi sehingga cenderung menjadi orang yang paranoid, yakni
terganggunya afeksi yang ditandai dengan kecurigaan yang
berlebihan kepada orang lain yang sebenarnya kecurigaan itu
adalah salah. 5. Faktor ibu selama masa kehamilan
Faktor ibu selama masa kehamilan secara bermakna
mempengaruhi kesehatan mental anak. Selama berada dalam
kandungan, kesehatan janin ditentukan oleh kondisi ibu. Faktor-
faktor ibu yang turut mempengaruhi kesehatan mental anaknya
adalah: usia, nutrisi, obat-obatan, radiasi, penyakit yang diderita,
stress dan komplikasi.
b. Psikologis
Notosoedirjo dan latipun (2005), mengatakan bahwa aspek psikis manusia
merupakan satu kesatuan dengan dengan sistem biologis. Sebagai
subsistem dari
eksistensi manusia, maka aspek psikis selalu berinteraksi dengan
keseluruhan aspek kemanusiaan. Karena itulah aspek psikis tidak dapat
dipisahkan dari aspek yang lain dalam kehidupan manusia.
1. Pengalaman Awal
Pengalaman awal merupakan segenap pengalaman-pengalaman
yang terjadi pada individu terutama yang terjadi pada masa
lalunya. Pengalaman awal ini dipandang sebagai bagian penting
bahkan sangat menentukan bagi kondisi mental individu di
kemudian hari.
2. Proses Pembelajaran
Perilaku manusia adalah sebagian besar adalah proses belajar,
yaitu hasil pelatihan dan pengalaman. Manusia belajar secara
langsung sejak pada masa bayi terhadap lingkungannya. Karena
itu faktor lingkungan sangat menentukan mentalitas individu.
3. Kebutuhan
Pemenuhan kebutuhan dapat meningkatkan kesehatan mental
seseorang. Orang yang telah mencapai kebutuhan aktualisasi
yaitu orang yang mengeksploitasi dan mewujudkan segenap
kemampuan, bakat, keterampilannya sepenuhnya, akan
mencapai pada tingkatan apa yang disebut dengan tingkat
pengalaman puncak (peack experience). Ketidakmampuan
dalam mengenali dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya adalah sebagai dasar dari gangguan
mental
individu.
c. Sosial Budaya
Lingkungan sosial sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan
mental. Lingkungan sosial tertentu dapat menopang bagi kuatnya
kesehatan mental sehingga membentuk kesehatan mental yang positif,
tetapi pada aspek lain kehidupan sosial itu dapat pulan menjadi stressor
yang dapat mengganggu kesehatan mental. Dibawah ini akan dijelaskan
beberapa lingkungan sosial yang berpengaruh terhadap kesehatan
mental adalah sebagai berikut:
1. Stratifikasi sosial
Masyarakat kita terbagi dalam kelompok-kelompok tertentu.
Pengelompokan itu dapat dilakukan secara demografis
diantaranya jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan status
sosial. Stratifikasi sosial ini dapat mempengaruhi kesehatan
mental seseorang, misalnya kaum minoritas memiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk mengalami gangguan
mental.
2. Interaksi sosial
Interaksi sosial banyak dikaji kaitannya dengan gangguan
mental. Ada dua pandangan hubungan interaksi sosial ini
dengan gangguan mental. Pertama teori psikodinamik
mengemukakan bahwa orang yang mengalami gangguan
emosional dapat berakibat kepada pengurangan interaksi sosial,
hal ini dapat diketahui dari perilaku regresi sebagai akibat dari
adanya sakit mental. Kedua adalah bahwa rendahnya interaksi
sosial itulah yang menimbulkan adanya gangguan mental.
3. Keluarga
Keluarga yang lengkap dan fungsional serta mampu membentuk
homeostatis kan dapat meningkatkan kesehatan mental para
anggota keluaganya, dan kemungkinan dapat meningkatkan
ketahanan para anggota keluarganya dari gangguan-gangguan
mental dan ketidakstabilan emosional para anggotanya.
4. Perubahan sosial
Sehubungan dengan perubahan sosial ini, terdapat dua
kemungkinan yang dapat terjadi yaitu, perubahan sosial dapat
menimbulkan kepuasan bagi masyarakat karena sesuai dengan
yang diharapkan dan dapat meningkatkan keutuhan masyarakat
dan hal ini sekaligus meningkatkan kesehatan mental mereka.
Namun, di sisi lain dapat pula berakibat pada masyarakat
mengalami kegagalan dalam penyesuaian terhadap perubahan
itu, akibatnya mereka memanifestasikan kegagalan penyesuaian
itu dalam bentuk yang patologis, misalnya tidak terpenuhinya
tuntutan politik, suatu kelompok masyarakat melakukan
tindakan pengrusakan dan penjarahan.
5. Sosial budaya
Sosial budaya memiliki makna yang sangat luas. Namun dalam
konteks ini budaya lebih dikhususkan pada aspek nilai, norma,
dan religiusitas dan segenap aspeknya. Dalam konteks ini,
kebudayaan yang ada di masyarakat selalu mengatur bagaimana
orang seharusnya melakukan sesuatu, termasuk didalamnya
bagaimana seseorang berperan sakit, kalsifikasi kesakitan, serta
adanya sejumlah kesakitan yang sangat spesifik ada pada
budaya tertentu, termasuk pula adanya gangguan mentalnya.
Kebudayaan pada prinsipnya memberikan aturan terhadap
anggota masyarakatnya untuk bertindak yang seharusnya
dilakukan dan meninggalkan tindakan tertentu yang menurut
budaya itu tidak seharunya dilakukan. Tindakan yang
bertentangan dengan sistem nilai atau budayanya akan
dipandang sebagi penyimpangan, dan bahkan dapat
menimbulkan gangguan mental. Hubungan kebudayaan dan
kesehatan mental meliputi tiga hal yaitu: (1) kebudayaan
mendukung dan menghambat kesehatan mental, (2) kebudayaan
memberi peran tertentu terhadap penderita gangguan mental, (3)
berbagai bentuk gangguan mental karena faktor kultural, (4)
upaya peningkatan dan pencegahan gangguan mental dalam
telaah budaya.
6. Stessor Psikososial lainnya
Situasi dan kondisi peran sosial sehari-hari dapat menjadi
sebagai masalah atau sesuatu yang tidak dikehendaki, dan
karena itu dapat berfungsi sebagai stressor sosial kontribusi ini
terhadap kesehatan mental bisa kuat atau lemah. Stressor
psikososial secara umum dapat menimbulkan efek negatif bagi
individu yang
mengalaminya. namun demikian tentang variasi stressor
psikososial ini berbeda untuk setiap masyarakat, bergantung
kepada kondisi sosial masyarakatnya.
d. Lingkungan
Interaksi manusia dengan lingkungannya berhubungan dengan
kesehatannya. Kondisi lingkungan yang sehat akan mendukung
kesehatan manusia itu sendiri, dan sebaliknya kondisi lingkungan yang
tidak sehat dapat mengganggu kesehatannya termasuk dalam konteks
kesehatan mentalnya.
3. Bagaimana hubungan onset dengan kondisi saat ini? (LO)
4. Apa yang terjadi pada pasien? (LO)
5. Apa jenis-jenis stressor mental dan menejemen stress? (LO)
6. Apa saja jenis waham dan bagaimana mekanismenya? (LO)
7. Apa saja jenis-jenis dan etiologi halusinasi?
Etiologi
Menurut Townsend, M.C (1998), halusinasi sering disebabkan karena panic,
stress berat yang mengancam ego yang lemah dan isolasi sosial menarik diri.
Isolasi sosial merupakan keadaan dimana individu atau kelompok mengalami
kebutuhan untuk meningkatkan keterlibatan atau hubungan dengan orang lain
akan tetapi tidak mampu untuk melakukan hubungan tersebut. Isolasi sosial
menarik diri merupakan usaha untuk menghindari interaksi atau hubungan
dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak
mempunyai kesempatan dalam berpikir, berperasaan, dan selalu mengalami
kegagalan.
Faktor Predisposisi
1) Biologis
Abnormalitas perkembangan sistem saraf yang berhubungan dengan
respon neurobiologis yang maladaptif baru mulai dipahami. Ini
ditunjukkan oleh penelitian-penelitian yang berikut
a. Penelitian pencitraan otak sudah menunjukkan keterlibatan otak yang
lebih luas dalam perkembangan skizofrenia. Lesi pada daerah frontal,
temporal dan limbik berhubungan dengan perilaku psikotik.
b. Beberapa zat kimia di otak seperti dopamin neurotransmitter yang
berlebihan dan masalah-masalah pada sistem reseptor dopamin
dikaitkan dengan terjadinya skizofrenia.
Peningkatan dopamine salah satunya disebabkan oleh penurunan
GABA. Dapamin yang berada pada sistem limbic mengalami over
sekresi kemudian mensitisasi area broca (44,45) sehingga
menyebabkan pembicaran pasien menjadi inkoheren selain mensitisasi
area broca, dopamine juga mensitisasi area wernich sehingga
menyebabkan seolah-olah ada bisikan-bisikan dari luar (halusinasi
auditorik)
Ini aku cuman brainstorming nunngu bahan eva sama mail
c. Pembesaran ventrikel dan penurunan massa kortikal menunjukkan
terjadinya atropi yang signifikan pada otak manusia. Pada anatomi
otak penderita dengan skizofrenia kronis, ditemukan pelebaran lateral
ventrikel, atropi korteks bagian depan dan atropi otak kecil
(cerebellum). Temuan kelainan anatomi otak tersebut didukung oleh
otopsi (post-mortem).
2) Psikologis Keluarga, pengasuh dan lingkungan penderita sangat
mempengaruhi respon dan kondisi psikologis penderita. Salah satu sikap
atau keadaan yang dapat mempengaruhi gangguan orientasi realitas adalah
penolakan atau tindakan kekerasan dalam rentang hidup penderita.
3) Sosial Budaya Kondisi sosial budaya mempengaruhi gangguan orientasi
realita seperti: kemiskinan, konflik sosial budaya (perang, kerusuhan,
bencana alam) dan kehidupan yang terisolasi disertai stres.
Halusinasi adalah merupakan salah satu contoh gangguan persepsi. Persepsi
adalah sebuah proses mental yang merupakan pengiriman stimulus fisik
menjadi informasi psikologis sehingga stimulus sensorik dapat diterima secara
sadar.
Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan palsu, tidak berhubungan dengan
stimulus eksternal yang nyata; menghayati gejala-gejala yang dikhayalkan
sebagai hal yang nyata. Jenisjenis halusinasi:
Macam-macam halusinasi/ ilusi antara lain
a.halusinasi hipnagogik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika mulai
jatuh tertidur, secara umum bukan tergolong fenomena patologis
b. halusinasi hipnapompik: persepsi sensorik keliru yang terjadi ketika
seseorang mulai terbangun, secara umum bukan tergolong fenomena
patologis
c.halusinasi auditorik: persepsi suara yang keliru, biasanya berupa suara orang
meski dapat saja berupa suara lain seperti musik, merupakan jenis
halusinasi yang paling sering ditemukan pada gangguan psikiatri
d. halusinasi visual: persepsi penglihatan keliru yang dapat berupa bentuk
jelas (orang) atau pun bentuk tidak jelas (kilatan cahaya), sering kali
terjadi pada gangguan medis umum
e.halusinasi penciuman: persepsi penghidu keliru yang seringkali terjadi pada
gangguan medis umum
f. halusinasi pengecapan: persepsi pengecapan keliru seperti rasa tidak enak
sebagai gejala awal kejang, seringkali terjadi pada gangguan medis umum
g. halusinasi taktil: persepsi perabaan keliru seperti phantom libs (sensasi
anggota tubuh teramputasi), atau formikasi (sensasi merayap di bawah
kulit)
h. halusinasi somatik: sensasi keliru yang terjadi pada atau di dalam
tubuhnya, lebih sering menyangkut organ dalam (juga dikenal sebagai
cenesthesic hallucination)
i. halusinasi liliput: persepsi keliru yang mengakibatkan obyek terlihat lebih
kecil (micropsia)
j. halusinasi serasi afek: halusinasi atau ilusi yang isinya sesuai dengan afek.
Contoh misalnya pasien depresi mendengar suara-suara yang menyatakan
bahwa dirinya orang jelek sedangkan pasien mani mendengar suara yang
menyatakan bahwa dirinya kuat, sangat berharga, sangat pandai.
k. Halusinasi tidak serasi afek : halusinasi dan ilusi yang isinya tidak serasi
dengan afek depresi maupun mania; kebalikannya dengan serasi afek
l. Halusionosis : suatu halusinasi yang umumnya bersifat pendengaran yang
ada hubungannya dengan penyalahgunaan alcohol secara kronis dan
terjadi dalam kesadaran penuh
m. Sinestesia : suatu sensasi atau halusinasi yang diakibatkan oleh sensasi lain
(misalnya, sensasi pendengaran disertai atau dipacu oleh sensasi
penglihatan; suara dialami sebagai hal yang terlihat, atau pengalaman
penglihatan seperti terdengar)
8. Adakah hubungan kemampuan merawat diri dengan derajat sakit? (LO)
9. Apa saja gejala gangguan jiwa? (LO)
10. Apa yang dimaksud dengan gangguan psikotik? (LO)
11. Mengapa dokter menyarankan terapi untuk dirawat? (LO)
Jump 4: menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan yang
didapat pada langkah 3
Pasien
Keluhan: mengamuk
Pemeriksaan Status Mentalisi pikiran: waham kecurigaan &
kejarkeadaan umum: tidak terawatgangguan persepsi: halusinasi,
derealisasi
kriteria diagnosis merujuk PPDGJ III dan simtomatologi
kontrol
terapi
Jump 5: Merumuskan tujuan pembelajaran
1. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan stress
2. Hubungan onset dengan kondisi saat ini
3. Alasan pasien sering curiga
4. Sumber stress dan bagaimana manajemen stress
5. Jenis waham dan bagimana mekanisme terjadinya waham
6. Hubungan kemampuan merawat diri dengan derajat sakit
7. Gejala gangguan jiwa
8. Definisi psikotik, jenis dan gejalanya
9. Alasan dokter menyarankan untuk mondok dan terapi yang diberikan
10. Cara pemeriksaan status mental
11. Diagnosis banding
Jump 6: Mengumpulkan informasi baru
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber – sumber ilmiah
dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan
berikutnya.
Jump 7: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru yang
diperoleh
1. Hubungan usia dan jenis kelamin dengan stress
Menurut Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten Bantul (2014), semakin
seseorang bertambah usia, maka dia akan semakin mudah mengalami stres. Hal
ini karena faktor-faktor fisiologis telah mengalami berbagai kemunduran dalam
berbagai kemampuan, seperti kemampuan visual, berpikir, mengingat, dan
mendengar. Selain itu, pada orang usia lanjut juga mulai terjadi banyak
kemunduran sel dan kematian sel (Fanani, 2015).
Kondisi kematian sel-sel tubuh, terutama sel saraf, dapat dipercepat oleh
keadaan stres. Hal ini karena stres dapat memicu produksi sitokin inflamasi.
Sitokin inflamasi menyebabkan perubahan triptofan menjadi kynurenin dengan
bantuan enzim IDO (Indolamine 2,3-dioxygenase).
Kynurarenin ini selanjutnya dapat diubah menjadi asam kynurenik atau asam
quinolinik. Produksi asam quinolik yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pada neuron karena asam tersebut bersifat neurotoksik.
Namun, menurut Fanani (2015), tidak semua orang yang bertambah usia
akan lebih mudah stres. Hal ini tergantung pada pengalaman hidup dan strategi
orang tersebut dalam menghadapai berbagai stressor di dalam hidupnya.
Berbagai pengalaman hidup yang telah terjadi pada hidup seseorang dapat
membantu seseorang menurunkan stresnya atau memanajemen stresnya dengan
lebih baik.
Gambar Perjalanan Sinyal Proinflamasi Memproduksi
Asam Kynurenik dan Asam Quinolinik
2. Hubungan onset dengan kondisi saat ini
Pada pasien perlu kita gali tentang informasi mengenai onset, dimana pada
pasien psikotik onset sangat menentukan diagnosis. Ketika ditemukan gejala
psikotik di bawah 4 minggu akan mendukung pada diagnosis gangguan psikotik
akut, apabila telah lebih dari 4 minggu dengan memenuhi criteria diagnosis yang
lain dapat ditegakkan sebagai scizopfren.
3. Alasan pasien sering curiga
Pada gangguan jiwa, kita dapat menemui gejala psikotik, salah satunya
adalah waham. Waham adalah Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien
yakin akan kebenarannya, bagaimana waham ini mempengaruhi kehidupannya;
waham penyiksaan–isolasi atau berhubungan dengan kecurigaan yang menetap,
serasi mood (congruent) atau tak serasi mood (incongruent). Pada pasien ini
dimungkinkan adannya waham curiga, dan gejala psikotik bisa timbul akibat
adanya kelainan organik, akibat penggunaan obat psikotik, ataupun tanpa ada
sebab yang jelas.
4. Sumber stress dan manajemen stress
Stres menurut Maramis adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian
diri, oleh karena itu stres dapat mengganggu keseimbangan kita.
Stres tidak terlepas darimana datangnya dan apa saja sumbernya. Sumber
stres atau yang disebut stresor adalah suatu keadaan, situasi objek atau individu
yang dapat menimbulkan stres. Stres yang berasal dari dalam diri disebut
internal sources dan yang berasal dari luar disebut eksternal sources
Eustress merupakan respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan
konstruktif (bersifat membangun) yang dapat menyebabkan tubuh mempunyai
kemampuan untuk beradaptasi, dan meningkatkan produktivitas seseorang.
Sedangkan distress merupakan hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak) yang dapat menyebabkan
seseorang menjadi sakit.
a. Sumber stres psikologis :
1. Frustasi
Timbul bila ada aral melintang (stresor) antara kita dan tujuan kita.
Individu sedang berusaha mencapai kebutuhan atau tujuannya, tapi
mendadak timbul halangan, ada aral melintang, yang menimbulkan
keadaan frustasi baginya dan yang menimbulkan stres padanya.
2. Konflik
Terjadi bila kita tidak dapat memilih antara dua atau lebih macam
kebutuhan atau tujuan. Memilih satu berarti tidak tercapainya yang
lain.
3. Tekanan
Dapat menimbulkan masalah penyesuaian. Tekanan sehari-hari
biarpun kecil, tetapi apabila bertumpuk-tumpuk dan berlangsung
lama, dapat menyebabkan stres yang berat.
4. Krisis
Keadaan karena stresor mendadak dan besar yang menimbulkan
stres pada seseorang individuataupun suatu kelompok,
misalnyakematian, kecelakaan.
b. Stress dan Psikoneuroimmunologi
Psikoneuroimmunologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan
antara faktor psikologis, sistem imun, dan otak. Konsekuensi stress
pada tubuh dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu:
1. Efek fisiologis langsung, seperti meningkatnya tekanan darah,
menurunnya fungsi sistem imun, meningkatnya aktivitas
hormon, dan munculnya kondisi psikofisiologis.
2. Kecenderungan melakukan kegiatan yang membahayakan
kesehatan, seperti meningkatnya kebiasaan merokok dan
konsumsi minuman beralkohol, menurunnya asupan gizi,
kurang tidur, dan meningkatnya penggunaan obat.
3. Sikap yang berkaitan tidak langsung dengan kesehatan, seperti
berkurangnya kepatuhan terhadap pengobatan, penundaan
untuk berkonsultasi dengan tenaga kesehatan, dan kurangnya
minat untuk menemui tenaga kesehatan (Feldman, 2009).
Daya tahan / nilai ambang stress/ frustration tolerance pada setiap orang
berbeda. Ada orang yang peka terhadap stressor tertentu yang disebut stressor
spesifik.
Contoh : karena pengalaman dahulu yang menyakitkan yang tidak dapat
diatasi dengan baik. Holmes dan Rahe membuat skala peristiwa hidup dan
stress.
Gambar1. Tabel skala peristiwa hidup dan stress
Pasien harus melingkari segala peristiwa yang terjadi dalam waktu 1 tahun
terakhir, kemudian skornya dijumlahkan. Apabila skor 300 atau lebih maka 90%
kemungkinan jatuh sakit berat atau mengalami kecelakaan serius dalam waktu
kurun 6 bulan. Apabila skor kurang dari 300 makan 50 persen mengalami
gangguan kesehatan serius.
Stress juga erat kaitannya dengan penyakit jantung koroner. Glazer
menyusun kuesioner untuk meramalkan besarnya risiko orang stress terhadap
penyakit jantung koroner. Dengan kuesioner ini digali jenis kepribadian seseorang
menjadi dua yaitu kepribadian a dan kepribadian b. Kepribadian a cenderung
berisiko besar untuk terjadi penyakit jantung koroner.
Ciri-ciri kepribadian A antara lain:
a. Berbicara cepat secara konstan
b. Gerakan dan cara makan yang cepat
c. Menunjukkan ketidaksabaran secara terbuka bila sesuatu berjalan perlahan
menurut pendapatnya
d. Secara sengaja berusaha mengendalikkan pembicaraan, menentukkan
bahan pembicaraan dan sibuk dengan pikirannya sendiri sementara orang
lain berbicara
e. Gerakan-gerakkan gugup yang khas seperti tarikan-tarikan otot pada
muka, kepala, lengan, menggenggam tinju, memukul meja dan lain-lain
Ciri-ciri kepribadian tipe B:
a. Bebas dari cirri-ciri keprobadian a
b. Tidak merasa terburu-buru
c. Tidak ada rasa permusuhan
d. Tidak mempunyai kebutuhan untuk pamer
e. Dan lain-lain. (Feldman, 2009).
Manajemen stress
Bila stres dirasakan sebagai permasalahan yang mengganggu aktivitas dan
kualitas kehidupan, maka penting dilakukan penanganan dengan segera terhadap
stres tersebut dengan manajemen pengelolaan yang baik dan pendekatan yang
menyeluruh (holistic), yakni mencakup pengelolaan secara fisik (organobiologik),
psikologi-psikiatri, psikososial, dan psikoreligious. Secara garis besar terdapat dua
tahap, yaitu tahap pencegahan dan terapi (Santrock, 2003).
Tahap pencegahan agar seseorang tidak jatuh ke dalam stres, maka
diperlukan gaya hidup yang sehat, hidup teratur, serasi, selaras, dan seimbang
secara horizontal antara dirinya dan sesama orang lain dan lingkungan sekitarnya,
serta secara vertikal antara diriny dan penciptanya Allah SWT, yang menciptakan
alam semesta (Santrock, 2003).
Tahap terapi, meliputi terapi somatik dan intervensi psikososial. Terapi
somatik adalah penanganan gangguan stres dengan menggunakan obat-obatan
(psikofarmaka) yang berguna untuk memulihkan gangguan fungsi pada
neurotransmitter (sinyal penghantar) di susunan saraf pusat otak. Cara kerja
psikofarmaka adalah jalan memutuskan jaringan atau sirkuit
psikoneuroimunologi, sehingga stresor psikososial yang mengenai seseorang tidak
lagi mempengaruhi fungsi kognitif, afektif, psikomotor dan organ-organ tubuh
lainnya. Obat-obatan yang sering digunakan dalam penanganan stres dan
gangguan lain yang terkait dengan stres adalah golongan psikotropika, seperti
obat anti psikotik, obat anti anxieta, obat anti depresan, dan lain-lain. Selain itu
dapat juga dengan pendekatan somatik yang bisa dilakukan dengan terapi
elektrokonvulsi dan psikosurgeri (Santrock, 2003).
Pada seseorang yang mengalami stres, selain diberikan pengelolaan
dengan terapi somatik, seperti terapi psikofarmaka, terapi elektro konvulsi dan
terapi psikosurgeri, juga penting diberikan pendekatan dengan terapi psikososial
termasuk psikoterapi keluarga (Santrock, 2003).
5. Jenis waham dan mekanisme terjadinya waham
Waham adalah kepercayaan yang salah yang didasarkan atas kesimpulan
yang salah tentang kenyataan luar, yang tidak sesuai dengan latar belakang
intelegensi dan kebudayaan pasien, serta tidak bisa dikoreksi dengan penalaran.
Kriteria :
1) Pasien percaya 100% bahwa isi pikirannya benar
2) Bersifat egosentrik
3) Tidak sesuai dengan logika
4) Tidak bisa dikoreksi dengan cara apapun, termasuk dengan cara yang logis
dan realistik.
5) Pasien hidup atau berperilaku menurut wahamnya.
Bentuk dan jenis waham :
a. Waham bizzare/aneh : didapatkan pada pasien spektrum skizofrenia.
Misalnya :thought insertion, thought withdrawl, delusion of control,
delusion of passivity, dll
b. Waham sistematik : waham yang tersusun dengan cara tertentu (Maslim,
2013)
6. Hubungan kemampuan merawat diri dengan derajat sakit
Pada nomor 6 dijelaskan gejala-gejala gangguan psikotik dan salah gejala
lanjutan dari psikosis adalah kebersihan diri yang kurang. Hal ini dapat terlihat
pada deskripsi pasien yang sehari-harinya tampak tidak terawat dan tidak mau
mandi, pakaian kusut dan kumal.
Gangguan psikotik sendiri merupakan gangguan mental yang berat.
Sehingga apabila terjadi gejala lanjutan, maka dapat disimpulkan bahwa pasien
sudah mengalami gangguan psikotik kronis. Dapat dibuktikan dengan onset
kejadian yaitu 4 minggu dan juga pasien yang sudah mengalami stress berat
karena telah beberapa kali melamar pekerjaan dan tidak diterima.
7. Gejala gangguan jiwa
Tanda-tanda gangguan jiwa dapat dilihat dari gejala-gejala gangguan jiwa
yang merupakan hasil interaksi yang kompleks antara unsur somatic, psikologik
dan sosiobudaya. Gejala gejala inilah sebenarnya menandakan dekompensasi
proses adaptasi dan terdapat terutama pemikiran, perasaan dan perilaku
(Maramis, 2010)
Tanda dan gejala gangguan jiwa:
Alam perasaan (affect) tumpul dan mendatar. Gambaran alam perasaan ini
dapat terlihat dari wajahnya yang tidak menunjukkan ekspresi.
Menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn). Tidak mau bergaul atau
kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming).
Delusi atau Waham yaitu keyakinan yang tidak rasional (tidak masuk akal)
meskipun telah dibuktikan secara obyektif bahwa keyakinannya itu tidak
rasional, namun penderita tetap meyakini kebenarannya. Sering berpikir
atau melamunyang tidak biasa (delusi).
Halusinasi yaitu pengelaman panca indra tanpa ada rangsangan misalnya
penderita mendengar suara-suara atau bisikan-bisikan di telinganya
padahal tidak ada sumber dari suara atau bisikan itu.
Merasa depresi, sedih atau stress tingkat tinggi secara terus-menerus.
Kesulitan untuk melakukan pekerjaan atau tugas sehari-hari walaupun
pekerjaan tersebut telah dijalani selama bertahun-tahun.
Paranoid (cemas atau takut) pada hal-hal biasa yang bagi orang normal
tidak perlu ditakuti atau dicemaskan.
Suka menggunakan obat hanya demi kesenangan.
Memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup atau bunuh diri.
Terjadi perubahan diri yang cukup berarti.
Memiliki emosi atau perasaan yang mudah berubah-ubah.
Terjadi perubahan pola makan yang tidak seperti biasanya.
Pola tidur terjadi perubahan tidak seperti biasa.
Kekacauan alam pikir yaitu yang dapat dilihat dari isi pembicaraannya,
misalnya bicaranya kacau sehingga tidak dapat diikuti jalan pikirannya.
Gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan
semangat dan gembira berlebihan.
Kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam.
Sulit dalam berpikir abstrak.
Tidak ada atau kehilangan kehendak (avalition), tidak ada inisiatif, tidak
ada upaya usaha, tidak ada spontanitas, monoton, serta tidak ingin apa-apa
dan serba malas dan selalu terlihat sedih.
8. Definisi psikotik, jenis dan gejalanya
Psikosis adalah suatu gangguan mental berat dengan dua tanda penting
yaitu pikiran yang abnormal dan gangguan persepsi. Pasien dengan gangguan
psikotik tidak dapat membedakan antara realita dan imajinasi (U.S. National
Library of Medicine,2013).
Psikosis bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan gejala. Episode
psikotik dapat terjadi sebagai akibat dari gangguan mental, penggunaan obat-
obatan, trauma, maupun stress berat (NAMI, 2015).
Psikotik adalah suatu gangguan mental yang ditandai dengan gejala,
seperti delusi atau halusinasi dan gangguan penilaian terhadap realita. Menurut
Nugroho et all. (2015), psikotik ditandai dengan :
1. Bentuk pikiran yang non realistik
2. Pasien tidak dapat membedakan mana hal yang nyata dan mana hal yang
fantasi
3. Pasien mendengar bisikan yang tidak ada wujudnya (halusinasi auditorik)
4. Pembicaraan yang kacau, dimana pasien berbicara terus tetapi tidak tahu
apa maksud dari pembicaraannya
5. Perilaku pasien yang kacau
Menurut MedicineNet (2015), tanda-tanda psikotik adalah :
1. Penarikan diri dari sosial
2. Agitasi atau cemas
3. Depersonalisasi
4. Halusinasi
5. Delusi
6. Higine yang buruk
Gejala utama: halusinasi dan delusi (waham).
Gejala utama ini terlihat pada pasien (dalam skenario) yaitu pasien merasa
bahwa tetangga dan keluarganya merencakan niat jahat terhadap dirinya. Hal ini
dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami waham curiga.
Gejala lanjutan menunjukkan bertambahnya derajat kesakitan pada pasien
dengan gangguan psikotik. Gejala lanjutan tersebut antara lain pembicaraan
yang inkoheren, perilaku aneh, bingung dalam berpikir, kehilangan minat dan
kebersihan diri yangkurang, bersikap dingin (apatis), bermasalah di lingkungan
sosial, dan juga terjadi perubahan suasana hati yang mudah berubah-ubah.
Pada pemeriksaan status mental pasien didapatkan halusinasi dan
derealisasi yang menyebabkan perilaku aneh pada pasien, ditandai dengan
seringnya pasien marah-marah dan berteriak-teriak tanpa sebab, serta
mengamuk bahkan hampir membakar rumahnya sendiri.
Gejala psikotik ini muncul pada pasien skizofrenia, gangguan bipolar, dan
depresi berat (NHS Choices, 2014). Sehingga dapat kami simpulkan bahwa
pasien positif mengalami gangguan psikotik.
9. Alasan dokter menyarankan untuk mondok dan terapi yang diberikan.
Data di Amerika menunjukkan bahwa 1 dari 5 orang memiliki niat untuk
bunuh diridan 1 dari 25 orang merupakan kasus kematian bunuh diri di
Amerika (NHS Choices, 2014). Sehingga perawatan yang intensif diperlukan
untuk pasien pada skenario.
Terapi non-farmakologi (NAMI, 2015) yang dapat dilakukan antara lain:
a. cognitive behavioral therapy (CBT) yang melatih pasien supaya dapat
mengevaluasi pola pikir dan dapat membedakan antara pengalaman/realita dan
imajinasi
b. cognitive enhancement therapy (CET) dengan cara membentuk kelompok
belajar/regu kerja untuk meningkatkan fungsi kognitif pasien sehingga pola
pikir pasien dapat terorganisir, serta
c. family psychoeducation and support dengan cara memberi pengarahan kepada
keluarga pasien supaya dapat mendukung pasien sehingga diharapkan hal
tersebut dapat meningkatkan fungsi psikologis pasien. Hasil dapat terlihat
setelah 9 bulan mengikuti kelas ini.
Pada dasarnya, seseorang yang pernah mengalami ganngguan psikotik
tidak dapat sembuh total. Sehingga apabila pasien kembali terpapar stressor,
pasien dapat beradaptasi sehingga stressor tidak banyak mempengaruhi pasien
dan diharapkan gejala psikotik tidak muncul kembali pada pasien.
10. Cara pemeriksaan status mental
Pemeriksaan Status Mental:
A. Deskripsi Umum:
1. Penampilan: Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut, kuku, sehat,
sakit, marah, takut, apatis, bingung, merendahkan, tenang, tampak lebih
tua, tampak lebih muda, bersifat seperti wanita, bersifat seperti laki-laki,
tanda-tanda kecemasan–tangan basah, dahi berkeringat, gelisah, tubuh
tegang, suara tegang, mata melebar, tingkat kecemasan berubah-ubah
selama wawancara atau dengan topik khusus.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik: Cara berjalan, mannerisme, tics,
gerak–isyarat, berkejang-kejang (twitches), stereotipik, memetik,
menyentuh pemeriksa, ekopraksia, janggal / kikuk (clumsy), tangkas
(agile), pincang (limp), kaku, lamban, hiperaktif, agitasi, melawan
(combative), bersikap seperti lilin (waxy) .
3. Sikap terhadap pemeriksa: Kooperatif, penuh perhatian, menarik
perhatian, menantang (frack), sikap bertahan, bermusuhan, main-main,
mengelak (evasive), berhati-hati (guarded).
B. Bicar: Cepat, lambat, memaksa (pressure), ragu-ragu (hesitant), emosional,
monoton, keras, membisik (whispered), mencerca (slurred), komat-kamit
(mumble), gagap, ekolalia, intensitas, puncak (pitch), berkurang (ease),
spontan, bergaya (manner), bersajak (prosody).
C. Mood dan Afek:
1. Mood: (Suatu emosi yang meresap dan bertahan yang mewarnai persepsi
seseorang terhadap dunianya) : Bagaimana pasien menyatakan
perasaannya, kedalaman, intensitas, durasi, fluktuasi suasana perasaan–
depresi, berputus asa (despairing), mudah tersinggung (irritable), cemas,
menakutkan (terrify), marah, meluap-luap (expansived), euforia, hampa,
rasa bersalah, perasaan kagum (awed), sia-sia (futile), merendahkan diri
sendiri (self– contemptuous), anhedonia, alexithymic.
2. Afek: (ekspresi keluar dari pengalaman dunia dalam pasien), Bagaimana
pemeriksa menilai afek pasien–luas, terbatas, tumpul atau datar, dangkal
(shallow), jumlah dan kisaran dari ekspresi perasaan; sukar dalam
memulai, menahan (sustaining) atau mengakhiri respons emosinal,
ekspresi emosi serasi dengan isi pikiran, kebudayaan.
3. Keserasian: keserasian respon emosional pasien dapat dinilai dalam
hubungan dengan masalah yang sedang dibahas oleh pasien. Sebagai
contoh, pasien paranoid yang melukiskan waham kejarnya harus marah
atau takut tentang pengalaman yang sedang terjadi pada mereka. Afek
yang tidak serasi, ialah suatu mutu respons yang ditemukan pada beberapa
pasien skizofrenia; afeknya inkongruen dengan topik yang sedang mereka
bicarakan. (contohnya : mereka mempunyai afek yang datar ketika
berbicara tentang impuls membunuh). Ketidak serasian juga
mencerminkan tarap hendaya dari pasien untuk mempertimbangkan atau
pengendalian dalam hubungan dengan respons emosional.
D. Pikiran dan Persepsi:
1. Bentuk Pikiran:
a. Produktivitas: Ide yang meluap-luap (overabundance of ideas),
kekurangan ide (paucity of ideas), ide yang melompat-lompat (flight of
ideas), berpikir cepat, berpikir lambat, berpikir ragu-ragu (hesitant
thinking), apakah pasien bicara secara spontan ataukah menjawab
hanya bila ditanya, pikiran mengalir (stream of thought), kutipan dari
pasien (quotation from patient).
b. Arus pikiran: Apakah pasien menjawab pertanyaan dengan sungguh-
sungguh dan langsung pada tujuan, relevan atau tidak relevan, asosiasi
longgar, hubungan sebab akibat yang kurang dalam penjelasan pasien;
tidak logis, tangensial, sirkumstansial, melantur (rambling), bersifat
mengelak (evasive), perseverasi, pikiran terhambat (blocking) atau
pikiran kacau (distractibility).
c. Gangguan Berbahasa: Gangguan yang mencerminkan gangguan
mental seperti inkoheren, bicara yang tidak dimengerti (word salad),
asosiasi bunyi (clang association), neologisme.
2. Isi Pikiran:
Preokupasi: Mengenai sakit, masalah lingkungan, obsesi, kompulsi, fobia,
rencana bunuh diri, membunuh, gejala-gejala hipokondrik, dorongan atau
impuls-impuls antisosial.
3. Gangguan Pikiran:
a. Waham: Isi dari setiap sistim waham, organisasinya, pasien yakin akan
kebenarannya, bagaimana waham ini mempengaruhi kehidupannya;
waham penyiksaan–isolasi atau berhubungan dengan kecurigaan yang
menetap, serasi mood (congruent) atau tak serasi mood (incongruent).
b. Ideas of Reference dan Ideas of influence :Bagaimana ide mulai, dan
arti / makna yang menghubungkan pasien dengan diri mereka.
4. Gangguan Persepsi:
a. Halusinasi dan Ilusi: Apakah pasien mendengar suara atau melihat
bayangan, isi, sistim sensori yang terlibat, keadaan yang terjadi,
halusinasi hipnogogik atau hipnopompik ; thought brocasting.
b. Depersonalisasi dan Derealisasi: Perasaan yang sangat berbeda
terhadap diri dan lingkungan.
5. Mimpi dan Fantasi
a. Mimpi: satu yang menonjol, jika ia iingin menceritakan, mimpi buruk.
b. Fantasi: berulang, kesukaan, lamunan yang tak tergoyahkan.
E. Sensorium dan Fungsi Kognitif:
1. Kesadaran: Kesadaran terhadap lingkungan, jangka waktu perhatian,
kesadaran berkabut, fluktuasi tingkat kesadaran, somnolen, stupor,
kelelahan, keadaan fugue.
2. Orientasi:
a. Waktu: Apakah pasien mengenal hari secara benar, tanggal, waktu dari
hari, jika dirawat di rumah sakit dia mengetahui sudah berapa lama ia
dia berbaring disitu,
b. Tempat: Apakah pasien tahu dimana dia berada.
c. Orang: Apakah pasien mengetahui siapa yang memeriksa dan apa
peran dari orang-orang yang bertemu denganya.
3. Konsentrasi dan Perhitungan: Pengurangan 7 dari 100 dan hasilnya tetap
dikurangi 7. jika pasien tidak dapar dengan pengurangan 7. pasien dapat
tugas lebih mudah – 4 x 9; 4 x 5 ; Apakah cemas atau beberap gangguan
mood atau konsentrasi yg bertanggung jawab terhadap kesulitan ini.
4. Daya ingat: Gangguan, usaha yang membuat menguasai gangguan itu –
penyangkalan, konfabulasi, reaksi katastropik, sirkumstansialitas yang
digunakan untuk menyembunyikan kekurangannya, apakah proses
registrasi, retensi, rekoleksi material terlibat.
a. Daya ingat jangka panjang (remote memory): data masa kanak-kanak,
peristiwa penting yang terjadi ketika masih muda atau bebas dari
penyakit, persoalan-persoalan pribadi.
b. Daya ingat jangka pendek (Recent past memory, recent memory):
beberapa bulan atau beberapa hari yang lalu, apa yang dilakukan
pasien kemarin, sehari sebelumnya, sudah sarapan, makan siang,
makan malam.
c. Daya ingat segera (immediate retention and recall): kemampuan untuk
mengulangi enam angka setelah pemeriksa mendiktekannya – pertama
maju, kemudian mundur, sedudah beberapa menit interupsi, tes
pertanyaan yang lain, pertanyaan yang sama, jika diulang, sebutkan
empat perbedaan jawaban pada empat waktu.
d. Pengaruh atau kecacatan pada pasien: mekanime pasien
mengembangkan kemampuan menguasai kecacatan.
5. Tingkat Pengetahuan: Tingkat pendidikan formal, perkiraan kemampuan
intelektual pasien dan apakah mampu berfungsi pada tingkat dasar
pengetahuan; jumlah, perhitungan, pengetahuan umum, pertanyaan harus
relevan dengan latar belakang pendidikan dan kebudayaan pasien.
6. Pikiran Abstrak: Gangguan dalam formulasi konsep; cara pasien
mengkonsepsualisasikan atau menggunakan ide-idenya, (misalnya
membedakan antara apel dan pear, abnormalitas dalam mengartikan
peribahasa yang sederhana, misalnya; “Batu-batu berguling tidak
dikerumuni lumut”; jawabannya mungkin konkrit. Memberikan contoh-
contoh yang spesipik terhadap ilustrasi atau arti) atau sangat abstrak
(memberikan penjelasan yang umum); kesesuaian dengan jawaban.
F. Tilikan:
1. Penyangkalan sepenuhnya terhadap penyakit
2. Sedikit kesadaran diri akan adanya penyakit dan meminta pertolongan
tetapi menyangkalinya pada saat yang bersamaan.
3. Sadar akan adanya penyakit tetapi menyalahkan orang lain, faktor luar,
medis atau faktor organik yang tidak diketahui.
4. Sadar bahwa penyakitnya disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui
pada dirinya.
5. Tilikan Intelektual: Pengakuan sakit dan mengetahui gejala dan kegagalan
dalam penyesuaian sosial oleh karena perasaan irrasional atau terganggu,
tanpa menerapkan pengetahuannya untuk pengalaman dimasa mendatang.
6. Tilikan Emosional yang sebenarnya: kesadaran emosional terhadap motif-
motif perasaan dalam, yang mendasari arti dari gejala; ada kesadaran yang
menyebabkan perubahan kepribadian dan tingkah laku dimasa mendatang;
keterbukaan terhadap ide dan konsep yang baru mengenai diri sendiri dan
orang-orang penting dalam kehidupannya.
G. Daya nilai:
1. Daya nilai Sosial: Manifestasi perilaku yang tidak kentara yang
membahayakan pasien dan berlawanan dengan tingkah laku yang dapat
diterima budayanya. Adanya pengertian pasien sebagai hasil yang tak
mungkin dari tingkah laku pribadi dan pasien dipengaruhi oleh pengertian
itu.
2. Uji daya nilai: pasien dapat meramalkan apa yang akan dia lakukan dalam
bayangan situasi tsb. Misalnya apa yang akan dilakukan pasien dengan
perangko, alamat surat yang dia temukan dijalan.
3. Penilaian Realitas: kemampuan membedakan kenyataan dengan fantasi
11. Diagnosis banding
Schizophrenia (NIH, 2015)
Merupakan suatu gangguan mental yang menyebabkan pasien kesulitan
mmbedakan antara realita dan non-realita. Selain itu, mempersulit berpikir jernih
serta menyebabkan perilaku aneh sekaligus memiliki respon emosional yang
abnormal.
Etiologi
Idiopatik, namun gen diduga memiliki peranan penting.
Epidemiologi
Angka kejadian pada wanita dan pria sama besar. Biasanya mulai terdeteksi pada
usia remaja, khususnya laki-laki sedangkan pada wanita, kecenderungan muncul
kemudian (usia dewasa muda). Pada anak-anak biasanya muncul setelah umur 5
tahun namun hal ini jarang terjadi dan sering sulit dibedakan dengan autisme.
Gejala
Gejala biasanya dialami dalam waktu beberapa bulan/tahun. Biasanya pasien
terdiagnosis skizofrenia sulit berkomunikasi dengan teman/memiliki masalah
sosial, juga mudah curiga, terlihat murung, dan memiliki kecenderungan
berperilaku ingin bunuh diri.
Gejala awal yang mungkin terlihat: memiliki masalah konsentrasi, kesulitan
tidur,dan perasaan yang sensitif. Selanjutnya, mulai terlihat masalah perilaku,
emosi, dan cara berpikir seperti halusinasi, cenderung menyendiri, delusi,
berbicara irasional dan inkoheren.
Pemeriksaan
Dilakukan dengan anamnesis maupun alloanamnesis.
Terapi
Selama episode skizofrenia, pasien dianjurkan untuk rawat inap untuk alasan
keselamatan. Pengobatan famakologi paling efektif yang dapat diberikan
adalahantipsikotik yang berfungsi untuk mengontrol gejala (perilaku) psikotik.
Skizofrenia merupakan gangguan seumur hidup sehingga pasien dapat saja butuh
untuk diterapi seumur hidup karena dapat saja suatu hari episode tersebut dapat
berulang.
BAB III
KESIMPULAN
Jenis gangguan jiwa yang dialami oleh laki-laki usia 25 pada skenario
pasien mengalami gangguan jiwa psikosis. Berdasarkan onset dan gejala klinis
yang muncul, gangguan psikosis dibagi menjadi skizofrenia, gangguan psikotik
akut, gangguan waham, dan skizoafektif. Karena onset gangguan yang dialami
penderita adalah 4 minggu, dan gejala klinis yang muncul merupakan gejala klinis
yang menyerupai skizofrenia serta riwayat keluarga yang sama maka diagnosis
sementara yang dapat disimpulkan adalah gangguan psikotik skizofrenia paranoid.
Dari pemeriksaan didapatkan waham, dapat dilihat dari deskripsi bahwa pasien
merasa bahwa tetangga dan keluarganya merencanakan niat jahat terhadapnya
(waham curiga). Keluarga pasien psikotik cenderung membawa pasien ke
paranormal karna terdapat prilaku pasien yang tidak biasanya.
Pada skenario ini terapi utama yang dibutuhkan adalah farmakoterapi
anti-psikosis, selain itu pasien harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari
dengan tujuan agar terjadi tindakan yang tidak diinginkan, seperti mencelakai diri
sendiri atau orang lain. Pasien juga perlu kontrol rutin untuk penanganan yang
lebih baik.
BAB IV
SARAN
Saran untuk kelompok kami agar kami dapat datang tepat waktu. Hal ini
supaya diskusi tutorial dapat berjalan dengan tepat waktu sehingga banyak materi
yang dapat dibahas dalam diskusi. Selain itu, kami harus dapat memberikan
pendapat dengan lebih aktif dan tidak takut salah sehingga kami dapat saling
sharing ilmu dan belajar bersama. Kami juga harus lebih berkoordinasi tugas satu
sama lain, menghargai pendapat, dan mengerti tanggung jawab masing-masing.
Saran untuk pembaca diharap bisa mengambil informasi sebanyak-banyaknya dan
menyebarkan pada yang masyarakat lain sehingga pengetahuan mengenai masalah
gangguan pada hidung dan tenggorok dapat diketahui oleh masyarakat.
Kami menyadari bahwa tugas ini tersusun dalam bentuk yang masih
sederhana sehingga masih banyak kekurangan dan kelemahannya. Kami berharap
semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi kami semua sendiri dan bahkan bagi
pembaca yang lain. Kami juga menerima kritik, saran, dan tambahan ilmu lainnya
sehingga kami dapat bersama-sama belajar dan ilmu tersebut dapat bermanfaat
bagi kami di saat ini atau masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Association American Psychiatric, 2013. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders: DSM-5. s.l.:s.n.
Benhard, RS 2007, Skizofrenia & Diagnosis Banding, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta. Nolen-Hoeksema, S 2014, Abnormal Psychology, Edisi 6,
McGraw-Hill, New York.
Maramis, WF 2009, Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Edisi 2, Airlangga University
Press,
Surabaya.
Maslim, R 2013, Buku Saku PPDGJ-III dan DSM -5, FK Unika Atmajaya,
Jakarta.
BIBLIOGRAPHY NAMI, 2015, Mental Illness, dilihat tanggal 22 November 2015,
<HYPERLINK "https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-
Conditions"https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions>.
NAMI, 2015, Psychosis, dilihat tanggal 22 November 2015,
<https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Psychosis>.
NAMI, 2015, Psychotherapy, dilihat tanggal 22 November 2015,
<https://www.nami.org/Learn-More/Mental-Health-Conditions/Related-
Conditions/Psychosis>.
NHS CHOICES, 2014. Psychosis: complications, dilihat tanggal 22 November
2015, <https://nhs.uk/conitions/Psychosis/Pages/Introduction.aspx>.
NHS CHOICES, 2014, Psychosis: what causes psychosis?, dilihat tanggal 22
November 2015,
<https://nhs.uk/conditions/Psychosis/Pages/Introduction.aspx>.
NIH, 2015, Schizophrenia, dilihat tanggal 22 November 2015,
<https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000928.htm>.
Santrock, JW 2003, Adolescence : Perkembangan Remaja, Edisi 6, Erlangga,
Jakarta.
U.S. National Library of Medicine, 2013, Psychotic disorders, dilihat tanggal 22
November 2015,
<https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/psychoticdisorders.html>.