Upload
zelen-mahantika
View
87
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan Tutorial Skenario 3 Blok Reproduksi
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL
BLOK REPRODUKSI SKENARIO III
SAYA SERING KEPUTIHAN
KELOMPOK 11
MUHAMMAD SALSABIL LASARIK G 0013162
VAMMY BEVERLY VALENTINE G 0013228
YUSUF RYADI G 0013242
FARIS MUWAFFAQ AKMAL G 0013092
ADHELIA GALUH P A G 0013004
DARA PUTRI PARA MEDIKA G 0013070
ARIFAH QUDSIYAH G 0013036
KHANSZARIZENNIA MADANY AGRI G 0013130
ZELEN MAHANTIKA G 0013246
SABRINA DAMARA LUVI G 0013208
NAILA MAJEDHA D G 0013170
TRISTIRA ROSYIDA G 0013226
TUTOR :
BRIANDANI S, dr.
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO III
SAYA SERING KEPUTIHAN
Seorang perempuan, 35 tahun, P2A0 akseptor KB IUD selama 9 tahun,
mengeluh keluar cairan warna putih kekuningan dan berbau disertai nyeri perut
sebelah kiri bawah sejak 6 bulan terakhir, sudah berobat ke bidan, tapi tidak ada
perubahan. Pasien juga mengeluh sering demam.
Pada pemeriksaan fisik, kondisi pasien tampak baik, namun suhu tubuh
didapatkan 38° C. Pada pemeriksaan abdomen, teraba supel, nyeri tekan (+) di regio
illiaca sinistra, teraba massa kistik dengan diameter ± 8 cm, mobile, permukaan rata.
Pada pemeriksaan bimanual, portio utuh, erosi (+), teraba radix IUD, corpus uterus
ukuran normal, teraba massa kistik di adnexa kiri sebesar telur bebek, nyeri tekan (+),
adnexa kanan dalam batas normal, darah (-), discharge warna putih kekuningan. Saat
massa digoyangkan portio tidak ikut bergerak.
Setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dokter melakukan swab
vagina, pemeriksaan pap smear dan ultrasonografi serta dirujuk ke spesialis obsgyn.
BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep.
Dalam skenario ketiga ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1. IUD : intrauterine device, alat kontrasepsi yang masuk ke dalam rahim,
terbuat dari plastik, atau polyethil.
2. Abdomen teraba supel : abdomen tampak dalam keadaan normal.
3. Pap Smear : pemeriksaan usapan sevix dibawah mikroskop, deteksi dini
abnormalitas servix.
4. Adnexa : struktur tambahan dalam suatu organ (dalam hal ini ovarium, tuba
uterina, uterus, dan lain-lain)
5. Erosi portio (+) : keabnormalan di sekitar ostium uteri eksternum dengan
gambaran berwarna merah menyala dan mudah berdarah.
6. Radix IUD : benang-benang IUD.
7. Portio utuh : Portio vaginalis memiliki bentuk masih utuh.
8. Keputihan : gejala reaksi inflamasi karena infeksi.
9. Pemeriksaan bimanual : pemeriksaan dengan menggunakan dua tangan, di
mana tangan kiri menyangga dan tangan kanan meraba masuk ke vagina.
10. Akseptor KB : orang yang menerima KB.
11. Discharge : cairan yang keluar pada suatu ruangan yang berongga.
12. Swab vagina : teknik pemeriksaan dengan mengambil usapan pada vagina
kemudian diamati di bawah mikroskop.
B. Langkah II: Menetapkan / mendefinisikan masalah.
Permasalahan pada skenario kedua antara lain:
1. Apa pengaruh pemasangan IUD selama sembilan tahun pada keadaan pasien ?
2. Apakah penyebab keputihan secara fisiologis maupun patologis ?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan penggunaan IUD ?
4. Bagaimana indikasi dan kontraindikasi pemakaian IUD ?
5. Bagaimana dapat muncul masa kistik pada pasien ?
6. Bagaimana terjadinya erosi pada pasien?
7. Bagaimana interpretasi dari hasil pemeriksaan abdomen, vital sign dan
pemeriksaan fisik pasien?
8. Bagaimana cara pemasangan dan pelepasan IUD?
9. Bagaimana cara melakukan pemeriksaan Pap smear ?
10. Apakah hubungan riwayat kehamilan dengan keluhan pasien?
11. Apakah diagnosis banding serta masing-masing pemeriksaan gold
standarnya?
12. Bagaimana penatalaksanaan dari kasus tersebut?
13. Apakah jenis-jenis kontrasepsi?
14. Bagaimana interpretasi dan kemungkinan lain dari hasil pemeriksaan massa
digoyangkan, portio tidak ikut bergerak?
15. Bila terjadi keputihan apakah dapat dilakukan pemeriksaan pap smear dan
USG ?
16. Apakah diagnosis banding dari pemeriksaan USG dan interpretasinya?
C. Langkah III: analisis masalah.
2. Apakah penyebab keputihan secara fisiologis maupun patologis?
Keputihan fisiologis
Dalam kondisi normal, kelenjar di serviks menghasilkan cairan bening yang
keluar tercampur dengan bakteri, sel-sel yang terpisah dan cairan vagina dari kelenjar
Bartholin. Pada wanita, keputihan adalah hal yang alami dari tubuh untuk
membersihkan diri, sebagai pelumas dan pertahanan berbagai infeksi. Dalam kondisi
normal keputihan tampak jernih, berwarna putih atau kekuningan bila kering pada
pakaian. Bersifat nonirritant, tidak mengganggu, tidak ada darah dan memiliki pH
3,5-4,5. Keadaan keputihan fisiologis :
1. Bayi baru lahir sampai umur kira-kira 10 hari: disini sebabnya ialah pengaruh
estrogen dari plasenta terhadap uterus dan vagina janin.
2. Waktu disekitar menarche karena mulai terdapat pengaruh estrogen. Leukore
disini hilang sendiri akan tetapi dapat menimbulkan keresahan pada orang
tuanya.
3. Wanita dewasa apabila ia dirangsang sebelum dan pada waktu koitus,
disebabkan oleh pengeluaran transudasi dari dinding vagina.
4. Waktu disekitar ovulasi, dengan sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri
menjadi lebih encer.
5. Pengeluaran sekret dari kelenjar-kelenjar serviks uteri juga bertambah pada
wanita dengan penyakit menahun, dengan neurosis, dan pada wanita dengan
ektropion porsionis uteri.
Keputihan patologis
Keputihan dikatakan patologis jika disertai oleh perubahan bau dan warna serta
jumlah yang tidak normal. Keluhan bisa disertai rasa gatal, edema genital, disuria,
nyeri bawah perut atau nyeri pinggang. Klasifikasi keputihan patologis berdasarkan
etiologinya:
1. Infeksi menular seksual, seperti : gonorrhoe, sifilis, trikomoniasis,ulkus mole
herpes genitalis,kondiloma akuminata dan infeksi HIV.
2. Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebian, contohnya :
kandidiasis vulvavaginalis dan vaginosis bakterial.
3. Infeksi iatrogenik akibat bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran
reproduksi akibat prosedur medik atau intervensi selama kehamilan, partus atau
postpartus serta karena kontaminasi instrument.
Selain itu, juga disebabkan oleh:
A. Infeksi :
1. Bakteri : Gardanerrella vaginalis, Chlamidia trachomatis, Neisseria
gonorhoae, dan Gonococcus
2. Jamur : Candida albicans
3. Protozoa : Trichomonas vaginalis
4. Virus : Virus Herpes dan Human Papilloma Virus
B. Iritasi :
1. Sperma, pelicin, kondom
2. Sabun cuci dan pelembut pakaian
3. Deodorant dan sabun
4. Cairan antiseptik untuk mandi
5. Pembersih vagina
6. Celana yang ketat dan tidak menyerap keringat
7. Kertas tisu toilet yang berwarna
C. Tumor atau jaringan abnormal lain
D. Fistula
E. Benda asing
F. Radiasi
G. Penyebab lain
1. Psikologi : Vulvavaginitis psikosomatik
2. Tidak dikatehui : “ Desquamative inflammatory vaginitis”
Beberapa gejala fluor albus:
1. Keputihan yang disertai rasa gatal, ruam kulit dan nyeri
2. Sekret vagina yang bertambah banyak
3. Rasa panas saat kencing
4. Sekret vagina berwarna putih dan menggumpal
5. Berwarna putih keabu-abuan atau kuning dengan bau yang menusuk
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan penggunaan IUD ?
AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) atau IUD (Intra Uterine Devices)
AKDR adalah kontrasepsi yang terbuat dari plastik halus berbentuk spiral atau
berbentuk lain yang dipasang di dalam rahim dengan memakai alat khusus oleh
dokter atau paramedis lain yang terlatih. Mekanisme kerja AKDR belum diketahui
tetapi kemungkinan AKDR menyebabkan perubahan-perubahan seperti munculnya
sel-sel radang yang menghancurkan blastokis atu spermatozoa, meningkatkan
produksi prostaglandin sehingga implantasi terhambat, serta bertambah cepatnya
pergerakan ovum di tuba falopii. Efektivitas IUD mencapai 0,6 – 0,8 kehamilan per
100 wanita selama tahun pertama penggunaannya. Angka kegagalan IUD 1–3
kehamilan per 100 wanita per tahun. Keuntungan dan kerugian pemakaian AKDR
antara lain : Keuntungan AKDR :
a. Efektivitas tinggi
b. Dapat memberikan perlindungan jangka panjang sampai dengan 10 tahun
c. Tidak mengganggu hubungan seksual
d.Efek samping akibat Estrogen dapat dikurangi karena AKDR hanya
mengandung Progestin
e. Tidak ada kemungkinan gagal karena kesalahan akseptor KB
f. Reversibel
h. Akseptor hanya dapat kembali ke klinik bila muncul keluhan
i. Murah
Kerugian AKDR :
a. Perlunya pemeriksaan pelvis dan penapisan PMS sebelum pemasangan
b. Butuh pemerikasaan benang setelah periode menstruasi jika terjadi
kram, bercak, atau nyeri.
c. Akseptor tidak dapat berhenti menggunakan kapanpun ia mau.
6. Bagaimana terjadinya erosi pada pasien?
Penyebab erosi portio :
1. keterpaparan suatu benda pada saat pemasangan AKDR. Pada saat
pemasangan alat kontrasepsi yang digunakan tidak steril yang dapat
menyebabkan infeksi. AKDR juga mengakibatkan bertambahnya volume dan
lama haid (darah merupakan media subur untuk berkembang biaknya kuman)
penyuebab terjadi infeksi.
2. Infeksi pada masa reproduktif menyebabkan batas antara epitel canalis
cervicalis dan epitel portio berpindah, infeksi juga dapat menyebabkan
menipisnya epitel portio dan gampang terjadi erosi pada portio (hubungan
seksual).
3. Rangsangan luar maka epitel gampang berlapis banyak dan postio mati dan
diganti dengan epitel silindris canalis cervicalis.
Patofisiologi erosi portio pada kasus :
Pada kasus dijelaskan bahwa pasien menggunakan kontrasepsi IUD. Salah satu
penyebab erosi portio adalah adanya rangsangan dari luar misalnya IUD. IUD yang
mengandung polyethilen yang sudah berkarat membentuk ion Ca2+
, kemudian
bereaksi dengan ion sel sehat PO43-
sehingga terjadi denaturasi/koagulasi membran
sel dan terjadilah erosi portio. Bisa juga dari gesekan benang IUD yang menyebabkan
iritasi lokal sehingga menyebabkan sel superfisialis terkelupas dan terjadilah erosi
portio. Dari posisi IUD yang tidak tepat menyebabkan reaksi radang non spesifin
sehingga menimbulkan sekresi sekret vagina yang meningkat dan menyebabkan
karentanan sel superfisialis dan terjadilah erosi portio.
Dari semua kejadian erosi portio itu mneyebabkan tumbuhnya bakteri patogen,
bila sampai kronis menyebabkan metastase keganasan leher rahim. Selain dan
personal hygiene yang kurang, IUD juga dapat menyebabkan bertambhanya volume
dan lama haid darah merupakan media subur untuk masuknya kuman dan
menyebabkan infeksi. Dengan adanya infeksi dapat menyebabkan epitel portio
menipis sehingga mudah mengalami erosi portio, yang ditandai dengan sekret
bercampur darah, metrorhagia, ostium uteri eksternum tampak kemerahan, sekret
juga bercampur dengan nanah, ditemukan ovulasi nabathi.
D. Langkah IV: Menginventarisasi secara sistematis berbagai penjelasan yang
didapatkan pada langkah III.
E. Langkah V: Merumuskan sasaran pembelajaran.
Tujuan pembelajaran (learning objectives) pada skenario ketiga ini adalah:
Keluhan pasien Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit sekarang
Ke bidan dan tidak ada perubahan
penatalaksanaan
Pemeriksaan fisik abdomen,
laboratorium Ke dokter
1. Pengaruh pemasangan IUD selama sembilan tahun pada keadaan pasien.
2. Penyebab muncul masa kistik.
3. Interpretasi dari hasil pemeriksaan abdomen, vital sign dan pemeriksaan fisik
pasien
4. Cara pemasangan dan pelepasan IUD.
5. Hubungan riwayat kehamilan dengan keluhan utama.
6. Diagnosis banding dan pemeriksaan gold standar.
7. Penatalaksanaan dari kasus tersebut.
8. Apakah setiap kasus keputihan boleh dilakukan pap smear dan USG?
9. Mengapa IUD dipasang 2-4 hari saat menstruasi dan 1 hari setelah koitus?
10. Pil Khusus Pencegah Kehamilan/PKPK
F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi tambahan di luar waktu diskusi kelompok.
Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber – sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan topik
diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan berikutnya.
G. Langkah VII: Melakukan sintesa dan pengujian informasi-informasi yang telah
terkumpul.
1. Pengaruh pemasangan IUD selama sembilan tahun pada keadaan pasien.
Komplikasi yang paling serius yang berhubungan dengan IUD adalah infeksi.
Analisis awal menunjukkan bahwa IUD dapat menyebabkan penyakit radang
panggul (PID). Studi-studi ini, bagaimanapun, sering disertakan hanya
perempuan dengan IUD yang telah dirawat di rumah sakit. Selain itu, studi
bias termasuk kontrol yang menggunakan metode kontrasepsi penghalang
(yang mengalami penurunan risiko penyakit menular seksual dan PID).
Analisis yang lebih baru dari data ini telah menghapus faktor pembaur dan
tidak menemukan peningkatan risiko PID pada wanita monogami. (Moore,
2014)
2. Penyebab muncul masa kistik.
Kista ovari berasal dari proses ovulasi normal disebut kista fungsional dan
selalu jinak. Kista dapat berupa kista folikural dan luteal yang kadang-kadang disebut
kista theca-lutein. Kista tersebut dapat distimulasi oleh gonadotropin, termasuik FSH
dan HCG.
Kista fungsional multiple dapat terbentuk karena stimulasi gonadotropin
atausensitivitas terhadap gonadotropin yang berlebih. Kista folikel dan luteal,
kelainan yang tidak berbahaya ini berasal dari folikel de graaf yang tidak pecah atau
folikel yang sudah pecah dan segera menutup kembali.
Kista demikian seringnya adalah multipel dan timbul langsung di bawah lapisan
serosa yang menutupi ovarium, biasanya kecil, dengan diameter 1- 1,5 cm dan berisi
cairan serosa yang bening, tetapi ada kalanya penimbunan cairan cukup banyak
sampai mencapai diameter 4-5 cm atau lebih, sehingga teraba massa dan
menimbulkan sakit pada daerah pelvis (Wiknjosastro, 2008).
3. Interpretasi dari hasil pemeriksaan abdomen, vital sign dan pemeriksaan fisik
pasien
Hasil vital sign menunjukkan adanya demam.
Pemeriksaan abdomen mengarah pada kista ovarium stadium awal.
Pemeriksaan bimanual didapatkan portio utuh dengan adanya erosi portio mengarah
ke cervicitis kronis, teraba radix IUD menunjukkan tidak adanya ekspulsi
(terlepasnya benang IUD), corpus uterus ukuran normal, teraba massa kistik di
adnexa kiri sebesar telur bebek, terdapat nyeri tekan, adnexa kiri dalam batas normal,
tidak ada perdarahan, discharge warna putih kekuningan, saat massa digoyangkan
portio dapat bergerak mengarah pada kecurigaan kista dan atau kanker ovarii,
endometriosis, abses tuba uterina, dan PID (pelvic inflamatory disease).
4. Cara pemasangan dan pelepasan IUD.
Pemasangan IUD
Apabila prosedur pemasangan telah dijelaskan dan pertanyaan atau kekhawatiran
wanita telah diatasi, kemungkinan besar pasien menjadi lebih santai saat prosedur
sehingga memfasilitasi pemasangan dan meminimalkan rasa tidak nyaman. Teknik
pemasangan yang benar secara bermakna mengurangi risiko kehamilan dan
komplikasi-ekspulsi, perdarahan dan nyeri, perlorasi serta infeksi.
Peralatan yang diperlukan untuk pemasangan :
1. Lampu
2. Speculum dua katup
3. Apusan bakteriologis (apabila diindikasikan)
4. Lidi kapas
5. Larutan antiseptik
6. Sarung tangan bersih
7. Wadah sekali pakai untuk instrument yang sudah dipakai dan sampah klinis
8. Baki/bengkok steril (wadah untuk instrument pemasangan)
9. Forceps steril 10 inci untuk memegang spons
10. Sonde uterus lentur steril yang berskla sentimeter
11. Forceps jaringan 12 inci atau tenaklum satu-gigi dengan ujung tumpul steril
12. Gunting yang cukup panjang sehingga dapat memotong benang
Teknik Pemasangan:
Karena metode pemasangan berbeda untuk masing-masing alat, maka pemasangan
paling aman apabila kita mengikuti petunjuk produsen dengan cermat.
1. Sepanjang prosedur, harus diterapkan teknik “jangan menyentuh” (no touch
technique). Bagian dari sonde dan alat pemasangan yang sudah terisi yang masuk ke
dalam uterus jangan disentuh, bahkan dengan tangan yang sudah bersarung,
kapanpun. Dengan demikian, pemakaian sarung tangan yang bersih (non-steril) sudah
memadai.
2. Setelah pemeriksaan panggul bimanual, serviks dipajankan dengan speculum
sementara wanita berbaring dalam posisi litotomi modifikasi atau posisi lateral.
3. Serviks dibersihkan dengan antiseptik dan dipegang dengan forseps atraumatik
12 inci (forseps Allis panjang sering digunakan). Tarikan ringan untuk meluruskan
kanalis uteroservikalis membantu pemasangan AKDR di fundus.
4. Sonde uterus dimasukkan dengan htai-hati untuk menentukan kedalaman dan
arah rongga uterus serta arah dan kepatenan kanalis servikalis apabila dijumpai
spasme/stenosis serviks, maka mungkin perlu dipertimbangkan pemberian anestetik
lokal dan dilatasi os serviks.
5. AKDR dimasukkan ke dalam alat pemasangan sehingga AKDR akan berletak
rata dalam bidang transversal rongga uterus saat dilepaskan.
6. AKDR jangan berada di dalam alat pemasanga lebih dari beberapa menit karena
alat ini akan kehilangan elastisitasnya dan bentuknya akan berubah.
7. Tabung alat pemasangan secara hati-hati dimasukkan melalui kanalis servikalis,
AKDR dilepaskan sesuai instruksi spesifik untuk masing-masing alat kemudian alat
pemasang dikeluarkan.
8. Setelah pemasangan, dianjurkan untuk melakukan sonde kanalis ulang untuk
menyingkirkan kemungkinan AKDR terletak rendah. AKDR harus diletakkan di
fundus agar insidensi ekspulsi dan kehamilan rendah.
9. Benang AKDR harus dipotong dengan gunting panjang sampai sekitar 3 cm dan
os eksternus.
Teknik Pengeluaran
1. Benang terlihat
a. Gunakan speculum untuk melihat serviks dan lihat dengan jelas adanya benang
AKDR.
b. Jepit benang dengan kuat dekat os eksternus dengan forceps arteri lurus.
c. Lakukan tarikan lembut kea rah bawah. Biasanya AKDR akan tertarik dengan
mudah dan dengan nyeri minimal. Apabila dijumpai tahanan, atau apabila pasien
merasa nyeri, hentikan tarikan dan
d. Periksa ukuran dan posisi uterus dengan pemeriksaan bimanual.
e. Jepit serviks dengan forceps jaringan dan lakukan terikan lembut untuk
meluruskan kanalis uteroservikalis.
f. Lanjutkan terikan pada benang dan keluarkan AKDR seperti biasa.
g. Kadang-kadang kita perlu memberikan anestesia lokal untuk mengurangi rasa
tidak nyaman saat pengeluaran.
2. Apabila benang putus
Sewaktu pengeluaran, kanalis servikalis harus dieksplorasi secara hati-hati dengan
forseps arteri lurus untuk memeriksa apakah ujung bawah AKDR telah turun ke
kanalis servikalis. Apabila terasa, maka batang vertical AKDR dapat dijepit dan
dikeluarkan. Apabila AKDR seluruhnya berada di dalam rongga uterus, maka dapat
dilakukan eksplorasi rongga uterus dengan forceps bengkok yang kecil dan panjang
atau “pengait” untuk mengetahui lokasi dan mengeluarkan AKDR. Dilatasi serviks
dapat dicapai dengan pemberian misoprostol 400 μg per vagina sebelum eksplorasi
uterus. Hanyar dokter yang berpengalaman dalam teknik intrauterus yang boleh
melakukan prosedur semacam ini.
3. Perubahan AKDR
AKDR sebaiknya tidak diganti sebelum interval yang dianjurkan karena pengeluaran
dan pemasangan kembali meningkatkan risiko kegagalan, ekspulsi, dan infeksi. Pada
wanita yang berusia 40 tahun atau lebih, AKDR yang mengandung tembaga dapat
dibiarkan di tempatnya sampai 12 bulan setelah periode menstruasi terakhir.
4. Jenis – jenis AKDR yang beredar:
1) AKDR Generasi pertama disebut lippesloop, berbentuk spiral atau huruf S
ganda, terbuat dari plastik (polyethyline).
2) AKDR Generasi kedua :
a) Cu T 200 B; berbentuk T yang batangnya dililit tenbaga (Cu) dengan
kandungan tembaga.
b) Cu T; berbentuk angka 7 yang batangnya dililit tembaga.
c) ML Cu T 250; berbentuk 3/3 lingkaran elips yang bergerigi yang batangnya
dililit tembaga. mempunyai masa pakai 3 tahun dan harus diganti dengan yang baru
bila telah habis masa pakainya (BKKBN, 2008).
3) AKDR Generasi ketiga:
a) Cu T. 380 A: berbentuk huruf T dengan lilitan tembaga yang lebih banyak
dan perak.
b) MI Cu 375 : batangnya dililit tembaga berlapis perak. mempunyai masa
pakai 3 - 10 tahun, dan harus diganti dengan yang baru setelah melewati masa pakai
alat tsb. (BKKBN, 2008)
c) Nova T.Cu 200 A; batang dan lengannya dililit tembaga.
4) AKDR Generasi keempat
Ginefik, merupakan AKDR tanpa rangka, terdiri dari benang polipropilen
monofilamen dengan enam butir tembaga (Sulistyawati, 2011).
Menurut Yetti (2011) jenis AKDR adalah :
a) AKDR CuT-380A
Kecil, kerangka dari plastik yang fleksibel, berbentuk huruf T diselubungi oleh kawat
halus yang terbuat dari tembaga (Cu).
b) AKDR NOVA T (Schering)
Batang dan lengannya dililit tembaga
Ekspulsi pada alat kontrasepsi IUD dan Implan
Ekspulsi yaitu Pengeluaran sendiri alat kontrasepsi tersebut dari tempat
insersinya. Sering dijumpai pada masa 3 bulan pertama setelah insersi, setelah satu
tahun angka ekspulsi akan berkurang. Yang disebabkan oleh :
Ø Umur dan paritas
· Umur : Makin tua usia, makin rendah angka kehamilan, ekspulsi dan
pengangkatan / pengeluaran IUD.
· Paritas : Makin muda usia, terutama pada nulligravid, makin tinggi angka
ekspulsi dan pengangkatan / pengeluaran IUD.
Ø Lama pemakaian
Tergantung dari efektifitas jangka pemakaian IUD tersebut, jika pemakaian IUD
sudah melewati batas dari jangka pemakaian IUD 10 tahun kemungkinan besar
terjadinya ekspulsi.
Ø Ekspulsi sebelumnya
Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami ekspulsi pada alat kontrasepsinya, atau
disebabkan karena insersi yang tidak baik dari IUD.
Ø Jenis dan ukuran
Ukuran, Bentuk dan jenis dari IUD yang mengandung Cu atau Progesterone sangat
menentukan terjadinya ekspulsi. Karena makin besar IUD, makin sukar insersinya,
makin rendah ekspulsinya, dan sebaliknya.
Ø Faktor psikis
Yaitu dimana seorang aseptor mengalami gangguan psikologis seperti stress.
Ø Waktu atau saat insersi
a. Insersi interval
b. Insersi post partum
c. Insersi post abortus
5. Hubungan riwayat kehamilan dengan keluhan utama.
Semakin sering mengalami kehamilan dan persalinan akan emningkatkan risiko
kista dan kanker endometrium. Hal ini karena selama masa kehamilan, estrogen akan
banyak diproduksi karena diperlukan dalam pembentukan hormon-hormon penting
kehamilan. Estrogen sendiri berperan dalam mitosis dan apoptosis. Saat mengalami
katabolisme, estrogen akan membentuk berbagai senyawa yang disebut estrogen
katekol. Senyawa estrogen katekol ini dapat memiliki sifat hormonal, misalnya
senyawa 4-hydroxytetradiol, dapat mengaktivasi pencerap estrogen dan menginduksi
adenokarsinoma endometrium, serta kanker ovarium.
Frekuensi persalinan yang sering juga dapat meningkatkan terjadinya risiko
infeksi apabila kondisi selama persalinan kurang higienis dan steril. Keadaan yang
kurang higienis dan steril selama proses persalinan hingga pasca persalinan
memungkinkan bakteri serta patogen-patogen masuk ke vagina dan menimbulkan
infeksi. Hal serupa juga dapat terjadi ketika post partum serta saat nifas apabila
kebersihan kurang terjaga. Keberadaan darah dan atau pus menjadi tempat yang
kondusif untuk perkembangbiakan bakteri patogen.
6. Diagnosis banding dan pemeriksaan gold standar
a. Cervicitis
Cervicitis adalah radang pada serviks. Hal ini dapat terjadi karena masuknya
kuman yang mengakibatkan terjadinya peradangan. Dapat terjadi di portio uteri
eksternum dan endoservic uteri. Hal yang membadakan antara cervicitis akut dan
kronis adalah pada cervicitis kronis terdapat bintik putih yang disebut ovula
Nabothi yang terbentuk oleh retensi kelenjar serviks atau karena peradangan.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk peengakan diagnosis cervicitis adalah
pap smear dan IVA test (inspeksi visual asam asetat). Pemeriksaan IVA test
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya epitel serviks yang mengalami displasia.
b. Endometriosis
Endometriosis merupakan keadaan abnormal jaringan endometrium. Hal ini
dapat dijelaskan dalam dua teori. Teori pertama menyebutkan bahwa darah beserta
partikel di tuba uterina dapat berimplantasi dan tumbuh dimana saja. Teori kedua
menyebutkan bahwa hal ini disebabkan adanya perubahan abnormal sel yang
berasal dari epitel coelom pada tingkat embrional, meliputi peritoneum, pelvic,
epitel ovarium, sistem mulleri (tuba uterina, uterus, proksimal vagina)
bermetaplasi sehingga epitel coelom berubah menjadi endometrium. Penegakan
diagnosis endometriosis dapat dilakukan dengan laparoskopi, yaitu suatu teknik
pemeriksaan dengan membuat sayatan kecil di umbilikus kemudian dimasukkan
tabung laparoskop untuk melihat kondisi endometrium, biopsi, untuk melihat
keadaan sel dan ajringan endometrium, ultrasonografi, untuk melihat kondisi
endometrium serta memeriksa apabila dicurigai ada massa, serta MRI.
c. Abses tuba uterina
Suatu keadaan radang bernanah pada ovarium, atau adnexa sebelah kanan atau kiri.
Pada penyakit ini biasanya juga didapatkan adanya keluhan infeksi panggul.
Patofisiologi terjadinya abses tuba uterina adalah adanya penyebaran bakteri dari
vagina yang kemudian masuk ke uterus lalu ke tuba uterina sehingga kadang
dijumpai salpingitis dan oophoritis. Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis penyakit
ini meliputi pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi : pemeriksaan darah
lengkap, pemeriksaan biokimia dan urinalisis, ultrasonografi untuk melihat adanya
massa apabila dicurigai juga terdapat neoplasma serta melihat kondisi tuba,
kuldoskopi dan kulpotomi untuk melihat serta memeriksa cairan abses yang
ditemukan.
d. Pelvic Inflammatory disease (PID) / Penyakit radang panggul
Penyakit radang panggul adalah gangguan inflamasi traktus genitalia atas
perempuan, dapat meliputi endometritis, salpingitis, abses tuboovaria dan peritonitis
pelvik. Penyakit radang panggul sebagian besar (90%) terjadi karena infeksi
ascenden, selebihnya dapat terjadi karena tindakan medis, atau penyebaran limfogen
atau hematogen.
Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea dan
Chlamydia trachomatis. Flora normal vagina seperti Gardnerella vaginalis,
Haemophilus influenzae, batang gram negatif dari usus dan Streptococcus agalactiae.
Selain itu dapat juga disebabkan oleh CMV, Mycoplasma hominis, dan Ureaplasma
urelayticum.
Infeksi ascenden berasal dari infeksi alat genitalia bagian bawah, seperti sistitis,
uretritis, vulvitis, vaginitis, vaginosis bakterial, servisitis, infeksi kelenjar Bartholin,
serta terjadi karena pemasangan IUD, tindakan biopsi, sondase, kuretase, pascasalin
dan pasca operasi yang tidak memperhatikan upaya pencegahan infeksi. Bisa juga
terjadi penyakit radang panggul karena penularan dari infeksi traktus intestinalis,
paling sering karena apendisitis.
Diagnosis
a. Gejala sangat bervariasi, tergantung lokasi, intensitas, serta daya tahan tubuh.
b. Nyeri/ketegangan abdomen bagian bawah
c. Demam
d. Gangguan berkemih
e. Nyeri goyang serviks
f. Nyeri pada adneksa
g. Discharge vagina yang berlebihan
h. Massa di pelvik pada pemeriksaan USG
Diagnosis klinis PID mempunyai nilai duga positif 65-90% dibandingkan dengan
laparoskopi.
Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan PID, CDC menganjurkan ambang terapi yang rendah
pada wanita usia reproduksi yang dicurigai menderita PID. Terapi empiris untuk PID
perlu diberikan pada wanita seksual aktif dengan nyeri perut bawah yang disertai
dengan satu atau lebih gejala nyeri goyang porsio, nyeri tekan uterus , dan nyeri
adneksa
Pada wanita dengan PID ringan dapat dilakukan terapi rawat jalan, dengan obat
antibiotik oral.
Sedangkan tata laksana untuk PID berat adalah dengan pemberian antibiotik
parenteral.
Pasien dengan PID diindikasikan untuk mendapatkan perawatan di rumah
sakit apabila:
a. Kecurigaan kedaruratan bedah
b. Pasien dalam keadaan hamil
c. Tidak respon terapi oral
d. Tidak dapat meminum terapi oral
e. Tampak sakit berat, mual dan muntah atau demam yang tinggi
f. Pasien dengan abses tuboovaria
Prognosis
Pasien yang ditatalaksana dengan tepat menunjukkan prognosis yang baik. Namun
bila tidak teratasi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang, yaitu nyeri
pinggang kronik, infertilitas, dan kehamilan ektopik.
7. Penatalaksanaan dari kasus tersebut
a. Keputihan
Penatalaksaan keputihan bergantung pada penyebab keputihan itu sendiri,
apakah jamur, bakteri atau parasit. Sifat pengobatan adalah simptomatik untuk
mengurangi gejala. Untuk terapi medikamentosa dpaat digunakan obat-obatan dari
golongan flukonazol untuk mengatasi infeksi candida dan golongan metronidazol
untuk mengatasi infeksi bakteri dan parasit.
b. Cervicitis
Untuk menangani cervicitis dapat digunakan antibiotik. Pada cervicitis yang
tidak spesifik bisa diberikan rendaman AgNO3 10% dan irigasi. Pada cervicitis
yang sukar sembuh dapat dilakukan konisasi. Apabila cervicitis disebabkan
ekstropion dapat dilakukan lastrik atau amputasi. Untuk mengatasi erosi portio
dapat diberikan AgNO3 10% atau Albothyl agar nekrosis jaringan epitel silindris
berlapis diganti dengan epitel gepeng berlapis banyak.
c. Endometriosis
Penanganan endometriosis secara simptomatik dapat dilakukan dengan
pemberian gabungan aspirin, parasetamol, antiradang (misalnya ibuprofen). Dapat
juga dilakukan terapi hormonal dengan pemberian hormon sehingga keadaan
menjadi mirip dengan kehamilan atau menopause. Keadaan seperti ini dapat
mengurangi endometriosis. Sediaan yang digunakan dapat berupa pil KB, agonis
GnRH, serta danazol. Terapi lain yang dapat dilakukan adalah dengan
pembedahan.
d. Abses tuba uterina
Pengobatan pada abses tuba uterina dapat dilakukan dengan pemberian
antibiotik golongan doksisiklin atau ampisilin. Apabila abses pecah, dilakukan
laparostomi dengan memasang drain untuk kultur nanah.
8. Apakah setiap kasus keputihan boleh dilakukan pap smear dan USG?
Keputihan sebagian besar disebabkan oleh infeksi bakteri atau virus. Keputihan
sendiri tidak memiliki kaitan secara langsung dengan tumor tetapi juga tidak menutup
kemungkinan adanya indikasi ke pertumbuhan tumor. Meskipun vagina dianggap
sebagai organ yang mampu membersihkan diri sendiri dan cairan yang keluar dari
vagina normal, bukan berarti tidak rentan terhadap infeksi. Keputihan (fluor albus)
bisa menjurus pada infeksi. Dalam kondisi yang parah, keputihan patologis.
warnanya hijau, bahkan kadang cokelat seperti bercampur darah. Setiap keputihan
yang berlebihan dan berbau busuk harus diperiksakan ke dokter.
Keputihan juga bisa disebabkan oleh infeksi, baik bakteri, jamur, virus dan
parasit. Ada pula keputihan yang diakibatkan oleh alergi (misalnya terhadap karet
kondom) atau dipicu benda asing misalnya pada pengguna IUD (intrauterine device)
atau spiral KB. Namun, apabila disertai bercak darah yang tidak sedikit, harus
dipikirkan kemungkinan adanya tumor atau kanker.
Bila keputihan dirasakan tak kunjung sembuh, maka pemeriksaan yang
dianjurkan adalah USG dan foto di bagian leher rahim untuk mendeteksi jenis
keputihan dan juga mencari tahu faktor penyebab keputihan yang tak kunjung
sembuh oleh dokter ahli spesialis kulit dan kelamin.
9. Mengapa IUD dipasang 2-4 hari saat menstruasi dan 1 hari setelah koitus?
AKDR dapat dipasang setiap saat selama siklus menstruasi asalkan kehamilan sudah
disingkirkan. AKDR dapat dipasang segera setelah terminasi kehamilan secara
penghisapan atau evakuasi aborsi spontan, dan 6 minggu setelah persalinan per
vaginam atau melalui seksio sesarea. Pemasangan AKDR pascaplasenta (dalam 48
jam setelah melahirkan) juga aman dan nyaman, terutama apabila wanita selanjutnya
sulit berhubungan dengan petugas kesehatan, tetapi angka eksplulsinya tinggi.
Pemasangan AKDR selama masa menstruasi secara konvensional dianjurkan karena
beberapa alasan berikut: kecil kemungkinannya ada kehamilan, serviks lebih lunak
dan os internus sedikit membuka, kemungkinan pemasangan lebih mudah, dan
perdarahan setelah pemasangan tersamar oleh darah menstruasi. Namun, juga ada
kekurangan-angka ekspulsi sedikit lebih tinggi karena kontraktilitas uterus meningkat
dan sebagian wanita tidak senang apabila diperiksa saat menstruasi.
a. Insersi Interval
Kebijakan lama : Insersi IUD dilakukan selama atau segera sesudah haid. Alasan :
Ostium uteri lebih terbuka, canalis cervicalis lunak, perdarahan yang timbul karena
prosedur insersi, tertutup oleh perdarahan haid yang normal, wanita pasti tidak hamil.
Tetapi, akhirnya kebijakan ini ditinggalkan karena : Infeksi dan ekspulsi lebih tinggi
bila insersi dilakukan saat haid, Dilatasi canalis cervicalis adalah sama pada saat haid
maupun pada saat mid-siklus, Memudahkan calon akseptor pada setiap ia datang ke
klinik KB.
Kebijakan sekarang :Insersi IUD dapat dilakukan setiap saat dari siklus haid asal kita
yakin seyakin-yakinnya bahwa calon akseptor tidak dalam keadaan hamil.
b. Insersi Post-Partum
Insersi IUD adalah aman dalam beberapa hari post-partum, hanya kerugian paling
besar adalah angka kejadian ekspulsi yang sangat tinggi. Tetapi menurut penyelidikan
di Sangapura, saat yang terbaik adalah delapan minggu post-partum. Alasannya
karena antara empat-delapan minggu post-partum, bahaya perforasi tinggi sekali.
c. Insersi Post-Abortus
Karena konsepsi sudah dapat terjadi 10 hari setelah abortus, maka IUD dapat segera
dipasang sesudah :
1)Abortus trimester I : Ekspulsi, infeksi, perforasi, dan lain-lain sama seperti pada
insersi interval.
2)Abortus trimester II : Ekspulsi 5 – 10 x lebih besar daripada setelah abortus
trimester I.
d. Insersi Post coital
e. Dipasangkan maksimal setelah 5 hari senggama tidak terlindungi.
Dari uraian di atas, maka efektifitas penggunaan dari IUD tergantung pada
variabel administratif, pasien dan medis, termasuk kemudahan insersi, pengalaman
pemasang, kemungkinan ekspulsi dari pihak akseptor, kemampuan akseptor untuk
mengetahui terjadinya ekspulsi dan kemudahan akseptor untuk mendapatkan
pertolongan medis.
10. Pil Khusus Pencegah Kehamilan/PKPK
a. Pengertian
Sebagaimana halnya dengan istilah kontrasepsi darurat, sampai saat ini belum ada
kesepakatan istilah dalam bahasa Indonesia untuk Emergency Contraceptive Pills.
Kebanyakan istilah yang dipakai adalah Pil Khusus Pencegah Kehamilan/PKPK.
Beberapa alternatif istilah adalah pil darurat, pil pasca senggama, pil 72 (karena
diminum maksimal dalam waktu 72 jam setelah hubungan seksual tanpa
perlindungan), dsb. Dalam istilah kedokteran, dulu pil ini dikenal sebagai “morning
after pills”. Istilah “morning after pills” ini sekarang dirasakan tidak tepat karena
tidak menunjukkan waktu pemakaian yang tepat dari metode ini yang dapat dipakai
sampai maksimal 72 jam setelah hubungan seksual yang tidak terlindungi. Selain itu
istilah ini juga tidak mencakup pesan penting dari metode ini yaitu bahwa metode ini
hanya dipakai untuk keadaan „darurat‟ dan tidak dimaksudkan untuk pemakaian
rutin/reguler. Oleh karena itu istilah yang dipakai dalam bahasa Inggris sekarang
adalah “Emergency Contraceptive Pills”. Yang dimaksud dengan metode ini adalah
berbagai metode hormonal yang dapat dipakai untuk mencegah kehamilan setelah
terjadinya hubungan seksual tanpa perlindungan.
b. Cara kerja
Pil khusus pencegah kehamilan (PKPK) bekerja dengan cara mencegah atau menunda
ovulasi, mencegah pembuahan, atau mencegah penempelan hasil pembuahan ke
dalam dinding rahim. Pil khusus pencegah kehamilan tidak akan efektif jika
penempelan hasil pembuahan telah terjadi. Pil tidak dapat menyebabkan aborsi jika
kehamilan telah terjadi.
c. Jenis-jenis PKPK dan cara pemakaiannya
Ada 2 jenis PKPK yaitu:
1. Pil KB biasa yang berisi kombinasi antara estrogen (ethynilestradiol) dan
progestin (levonorgestrel atau dl-norgestrel). Regimen ini dikenal sebagai “Metode
Yuzpe” dan telah diteliti dan dipakai secara luas sejak pertengahan tahun 1970-an.
a) Untuk pil dosis tinggi yang berisi ethynilestradiol 50 mg dan levonorgestrel 250
mg (atau dl-norgestrel 500 mg): dua buah pil harus diminum maksimal 72 jam setelah
hubungan seksual tanpa perlindungan diikuti dengan dua buah pil 12 jam kemudian
b) Untuk pil yang berisi ethynilestradiol 30 mg dan levonorgestrel 150 mg (atau dl-
norgestrel 300 mg): 4 buah pil harus diminum maksimal 72 jam setelah hubungan
seksual tanpa perlindungan diikuti 4 pil 12 jam kemudian (secara lengkap tentang
aturan minum berbagai merek pil KB dapat dilihat di tabel 1)
2. Pil yang berisi progestin saja, termasuk di sini adalah pil yang khusus dibuat
sebagai kontrasepsi darurat (dedicated product, Postinor-2 untuk Indonesia)
Untuk pil yang berisi levonorgestrel 750 mg (0,75mg) : satu pil diminum maksimal
72 jam setelah hubungan seksual tanpa perlindungan, diikuti dengan 1 pil 12 jam
kemudian.
Untuk pil yang berisi levonorgestrel 30 mg : 25 pil harus diminum maksimal 72 jam
setelah hubungan seksual tanpa perlindungan, diikuti dengan 25 pil 12 jam kemudian
Untuk pil yang berisi dl-norgestrel 75 mg : 20 pil harus diminum maksimal 72 jam
setelah hubungan seksual tanpa perlindungan, diikuti dengan 20 pil 12 jam kemudian
Ada 2 faktor yang mempengaruhi kemanjuran PKPK :
a). jarak antara waktu minum dosis yang pertama dengan terjadinya hubungan
seksual tanpa perlindungan; dan
b). hubungan seksual berlangsung pada periode mana dari siklus menstruasi
perempuan. Semakin awal PKPK diminum semakin tinggi kemanjurannya. Beberapa
percobaan klinis menunjukkan bahwa kemanjuran tertinggi PKPK adalah bila
diminum dalam 24 jam pertama setelah hubungan seksual tanpa perlindungan, dan
menurun secara terus menerus setiap 24 jam. Semakin dekat waktu antara hubungan
seksual tanpa perlindungan dengan saat terjadinya ovulasi, semakin kecil kemajuran
dari PKPK. Hal penting yang juga perlu diketahui adalah bahwa PKPK tidak
semanjur penggunaan pil KB biasa secara benar dan konsisten, atau pemakaian
AKDR, susuk KB atau suntik KB.
Metode Yuzpe (pil kombinasi estrogen dan progestin) menurunkan risiko terjadinya
kehamilan sebesar 75%. Sementara pil yang berisi progestin saja menurunkan risiko
terjadinya kehamilan sekitar 85%. Jika diminum dalam 24 jam setelah hubungan
seksual tanpa perlindungan kemanjuran lebih tinggi yaitu sekitar 95%.
d. Efek samping dan cara penanganannya
1) Mual : terjadi pada sekitar 50% klien yang memakai pil kontrasepsi kombinasi,
namun tidak akan berlangsung lebih dari 24 jam. Pada klien yang memakai pil hanya-
progestin mual hanya terjadi pada 20% klien.
Cara penanganan : pil diminum bersama dengan makanan atau pada saat akan tidur
dapat mengurangi mual. Pemakaian obat anti muntah sebelumnya juga akan
menurunkan mual. Pemakaian anti mual setelah rasa mual mulai muncul tidak akan
efektif.
2) Muntah : efek samping muntah dapat terjadi pada sekitar 20% perempaun yang
memakai pil kombinasi dan hanya 5% pada pemakai pil hanya-progestin.
Cara penanganan : jika klien muntah dalam waktu 2 jam setelah minum pil ini, klien
harus minum pil lagi. Tetapi klien tidak boleh minum pil lebih dari dosis yang
dianjurkan, karena kelebihan dosis ini tidak akan membuat metode ini lebih efektif
malah bisa meningkatkan rasa mual. Pada kasus muntah berat, pengulangan
pemberian doses mungkin dapat diberikan lewat vagina.
3) Perdarahan per vaginam yang tidak teratur : beberapa perempuan mungkin
mengalami bercak darah (spotting) setelah minum pil ini. Kebanyakan perempuan
akan mendapatkan menstrusi berikutnya tepat waktu atau sedikit lebih cepat.
Cara penanganan : jika menstrusi terlambat sampai satu minggu, perlu dilakukan tes
kehamilan.
4) Efek samping lain dari PKPK termasuk: payudara terasa keras, sakit kepala,
pusing dan lemah. Umumnya efek samping ini tidak berlangsung sampai 24 jam.
Cara penanganan : Aspirin atau obat penghilang rasa sakit yang dapat diperoleh tanpa
resep dapat dipakai untuk menghilangkan rasa tidak enak tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
Dari diskusi tutorial ini dapat diambil kesimpulan bahwa perempuan , 35
tahun, P2A0 telah menggunakan KB IUD selama 9 tahun, namun keluar cairan warna
putih kekuningan dan berbau serta nyeri perut sebelah kiri, dan demam. Dari
pemeriksaan vital sign didapatkan subfebris Pemeriksaan abdomen mengarah pada
kista ovarium stadium awal. Pemeriksaan bimanual didapatkan portio utuh dengan
adanya erosi portio mengarah ke cervicitis kronis, teraba radix IUD menunjukkan
tidak adanya ekspulsi (terlepasnya benang IUD), corpus uterus ukuran normal, teraba
massa kistik di adnexa kiri sebesar telur bebek, terdapat nyeri tekan, adnexa kiri
dalam batas normal, tidak ada perdarahan, discharge warna putih kekuningan, saat
massa digoyangkan portio dapat bergerak mengarah pada kecurigaan kista dan atau
kanker ovarii, endometriosis, abses tuba uterina, dan PID (pelvic inflamatory disease)
melalui hubungan seksual atau flora normal vagina melalui radix IUD.
BAB IV
SARAN
Diskusi tutorial kelompok kami pada skenario ini sudah berjalan baik, tetapi
masih ada beberapa mahasiswa yang belum aktif dalam diskusi. Selain itu, banyak
pertanyaan yang kami simpulkan bersama, tetapi tidak diiringi dengan efisiensi waktu
yang baik selama diskusi. Kedepannya kami berharap dapat mengondisikan dan
mampu mengatur waktu sebaik mungkin agar semua pertanyaan di langkah kelima
dapat terjawab.
Selain itu, kami juga harus lebih banyak membaca dan belajar lagi agar
pengetahuan kami lebih banyak sehingga diskusi tutorial selanjutnya akan berjalan
dengan lancar. Semua mahasiswa diharapkan dapat aktif tanpa terkecuali dalam
mengemukakan pendapatnya saat diskusi dan hasil diskusi sesuai dengan tujuan
pembelajaran yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Erdjan. 2007. Ilmu Kandungan ’Kontrasepsi’. Edisi kedua Cetakan Kelima.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Cunningham, F. Gary, dkk. .... Obstetri Williams Edisi 21. Jakarta : EGC.
Goldman & Ausiello. 2004. Lower Genital Tract Infections in Women: Cecil
Textbook of Medicine. 22nd Ed. USA : Saunders.
Hartanto, Hanafi. 2002. Keluarga Berencana dan Kontrasepsi. Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan.
Llewellyn, Derek, dkk. 2002. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :
Peneerbit Hipocrates
Magee-Womans Hospital (1996). Intrauterine Devices: Separating Fact From
Fallacy. Medscape. www.medscape.com/viewarticle/718183_5 diakses Maret
2015
Manuaba, Ida Ayu Chandranita dkk. 2002. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan,
dan KB untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
Mochtar, Rustam. 1995. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC.
Prawirohardjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta : PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Price. A. Sylvia and Lorraine Wilson M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat.
Jakarta : YBP-SP.
Scott, James R, dkk. 2002. Buku Saku Obstetri Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.
Shepherd, S. Moore (2014). Pelvic Inflamatory Disease. Medscape.
emedicine.medscape.com/article/256448-clinical - diakses Maret 2015
Wiknjosastro, Hanifa. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pusataka
Sarwono Prawirohardjo.