Upload
rdindaa
View
44
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tutorial
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkah-
Nyalah kami dapat melakukan diskusi tutorial dengan lancar dan menyusun laporan hasil
diskusi tutorial ini dengan tepat waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih secara khusus kepada dr. Wahyu S. Affarah sebagai
tutor atas bimbingan beliau pada kami dalam melaksanakan diskusi ini. Kami juga
mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang ikut berpartisipasi dan membantu
kami dalam proses tutorial ini.
Kami juga ingin meminta maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan-kekurangan
yang ada dalam laporan ini. Hal ini adalah semata-mata karena kurangnya pengetahuan
kami. Maka dari itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
yang harus kami lakukan untuk dapat menyusun laporan yang lebih baik lagi di kemudian
hari.
Mataram, 20 April 2014
Penyusun
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………………. 1
Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 2
BAB I : PENDAHULUAN………………………………………………….... 3
1.1. Skenario………………………………………………………………. 3
Learning Objective (LO)……………..………………………….……..... 3
1.2. Mind Map…………………………………………………………… 4
BAB II : PEMBAHASAN ………….……………………………………...... 5
BAB III : PENUTUP ………………………………………………………… 33
Kesimpulan………………………………………………………………. 33
Daftar Pustaka……………………………………………………………….. 34
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 2
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 1
Seorang anak laki – laki , usia 5 tahun mengalami diare intermiten, kelemahan, penurunan
berat badan dan pingsan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak pucat,
konjungtiva anemis dan ada pembesaran hati (hepatomegali). Pada pemeriksaan penunjang
didapatkan :
- Hemoglobin : 6,5 gr/dL
- Zat besi serum : 4 µmol/L
- TIBC : 86 µmol/L
- Ferritin : 6 µg/L
- Gambaran darah tepi : hipokrom mikrositik
1.1. LEARNING OBJECTIVES
1. Diagnosis Banding Anemia Defisiensi Besi
2. Penatalaksanaan Anemia Defisiensi Besi
3. Prognosis dan Komplikasi Anemia Defisiensi Besi
4. Analisis Skenario
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 3
Laki, 5 tahun KU : Pucat dan lemah
Anemia Defisiensi Besi
Px fisik : kulit dan konjungtiva palpebra pucat pucat pucat
Px Hemotologi : Hb. 6,5 gr/%, TIBC 86, Fe serum 4 µmol/L MCH 24 p, MCHC 27%
Anemia Hipokrom Mikrositer
Anemia PenyakitKronik
Penegakan Diagnosis
Thalasemia Anemia Sideroblastik
EpidemiologiEtiologiPatofisiologiManifestasi klinisPenegakan DiagnosisTatalaksanaPrognosisKomplikasi
MIND MAP
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANEMIA
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara laboratorik
dijabarkan sebagai penurunandibawah normal kadar hemoglobin, hituungeritrosit dan
hemtokrit ( packed red cell ).
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM, kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium (Sylvia A.Price, 2005).
Kriteria
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit. Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian.
Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara fisiologik tergantung pada umur,
jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat tinggal. Di Negara Barat kadar
hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan 12 gr/dl pada perempuan
dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda yaitu 12 gr/dl (hematokrit
38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk perempuan hamil, dan 13
g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia untuk keperluarn penelitian
lapangan yaitu
Tabel 1. Kriteria anemia menurut WHO (dikutip dari Hoffbrand AV, et al 2001)
Kelompok Kriteria anemia (Hb)
Laki – laki dewasa < 13 gr/ dl
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 5
Wanita dewasa tidak hamil < 12 gr/dl
Wanita hamil < 11 gr/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik
atau dirawat di Rmuah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.
Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India
dipakai angka 10-11 g/dl.
Cara untuk menentukan anemia diuraikan oleh anamnesis, pemeriksaan fisik yang
teliti dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan laboratorium yang
dilakukan biasanya dengan mengukur Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht). Hasil
pemeriksaan tersebut hati-hati dikelirukan pada pasien dehidrasi dan masa kehamilan.
Anemia dapat diklasifikasi menurut morfologi sel darah merah dan indeks-indeksnya. Pada
klasifikasi ini mikro dan makro menunjukkan ukuran sel darah merah, sedangkan kromik
menunjukkan warnanya.
Etiologi
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:
1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang;
2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan):
3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih
rinci tetntang etiologi anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :
Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 6
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi dan etiologi
1. Anemia normokromik normositik
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 7
Eritrosit memiliki ukuran dan bentuk yang normal serta mengandung jumlah
hemoglobin normal. Penyebab anemia jenis ini adalah kehilangan darah akut,
hemolisis, penyakit kronis yang meliputi infeksi, gangguan endokrin, gangguan
ginjal, kegagalan sumsum tulang dan penyakit-penyakit infiltrative pada sumsum
tulang.
2. Anemia normokromik makrositik
Eritrosit lebih besar dari normal tetapi normokromik karena konsentrasi hemoglobin
normal. Penyebab anemia jenis ini adalah terganggunya atau terhentinya sintesis asam
deoksiribonukleat (DNA) seperti yang ditemukan pada defisiensi B12 atau asamfolat
atau keduanya.
3. Anemia hipokromik mikrositik
Eritosit lebih kecil dari normal dan hipokromik berarti pewarnaan yang berkurang.
Hemoglobin dalam jumlah kurang dari normal. Penyebab anemia ini adalah
insufisiensi sintesis heme atau kekurangan zat besi,keadaan sideroblastik dan
kehilangan darah kronis.
- Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
-Anemia normokromik normositer
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
-Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 8
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
Patogenesis Anemia
Berdasarkan patogenesisnya, anemia digolongkan dalam 3 kelompok yaitu
1. Anemia karena kehilangan darah
Anemia karena kehilangan darah akibat perdarahan yaitu terlalu banyaknya
sel-sel darah merah yang hilang dari tubuh seseorang, akibat dari kecelakaan dimana
perdarahan mendadak dan banyak jumlahnya, yang disebut perdarahan ekternal.
Perdarahan dapat pula disebabkan karena racun, obat-obatan atau racun binatang yang
menyebabkan penekanan terhadap pembuatan sel-sel darah merah. Selain itu ada pula
perdarahan kronis yang terjadi sedikit demi sedikit tetapi terus menerus. Perdarahan
ini disebabkan oleh kanker pada saluran pencernaan, peptic ulser, wasir yang dapat
menyebabkan anemia.
2. Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah
Anemia karena pengrusakan sel-sel darah merah dapat terjadi karena bibit
penyakit atau parasit yang masuk ke dalam tubuh, seperti malaria atau cacing
tambang, hal ini dapat menyebabkan anemia hemolitik. Bila sel-sel darah merah rusak
dalam tubuh, zat besi yang ada di dalam tidak hilang tetapi dapat digunakan kembali
membentuk sel-sel darah merah yang baru dan pemberian zat besi pada anemia jenis
ini kurang bermanfaat. Sedangkan asam folat dirusak dan tidak dapat digunakan lagi
oleh karena itu pemberian asam folat sangat diperlukan untuk pengobatan anemia
hemolitik ini.
3. Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merah
Sumsum tulang mengganti sel-sel darah merah tua dengan sel darah merah
yang baru sama cepatnya dengan banyaknya sel darah merah yang hilang, sehingga
jumlah sel darah merah yang dipertahankan selalu cukup banyak di dalam darah, dan
untuk mempertahankannya diperlukan cukup banyak zat gizi. Apabila tidak tersedia
zat gizi dalam jumlah yang cukup akan terjadi gangguan pembentukan sel darah
merah baru.
Anemia karena gangguan pada produksi sel-sel darah merrah, dapat timbul
karena kurangnya zat gizi penting seperti zat besi, asam folat, asam pantotenat,
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 9
vitamin B12, protein kobalt, dan tiamin, yang kekurangannya biasa disebut “anemia
gizi.” Selain itu juga kekurangan eritrosit, infiltrasi sumsum tulang, kelainan
endokrin, dan penyakit ginjal kronis, dan sirosis hati. Menurut Husaini (1998) anemia
gizi yang disebabkan kekurangan zat besi sangat umum dijumpai di Indonesia.
Gejala Anemia
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme
kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7
gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 10
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.
Pemeriksan untuk diagnosis anemia
Pemeriksaan ini terdiri dari :
1) Pemeriksaan penyaring (screening test):
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia
serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan
diagnosis lebih lanjut.
2) Pemeriksaan darah seri anemia;
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer
yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
3) Pemeriksaan sumsum tulang;
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif
pada bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk
diagnosis anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik
yang dapat mensupresi sistem eritroid.
4) Pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi
pada sumsum tulang ( Perl’s stain).
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 11
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan
tes Schiling.
Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –
lain.
Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal
hati, faal ginjal atau faal tiroid.
2.2 HEMATOLOGI NORMAL
PRIA
Darah Lengkap
Eritrosit : 4.5 – 5.9 (juta/ul)
Haemoglobin (Hb) : 13.5 – 17.5 (g/dl)
Hematokrit (Ht) : 40 – 54 (%)
Trombosit : 150.000 – 400.000 (/ul)
Leukosit : 5.000 – 10.000 (/ul)
Laju Endap Darah (LED) : 0 – 10 (mm/jam)
Diff count / Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0 – 1 (%)
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 (%)
Neutrofil/Eosinofil/Basofil/Monosit/Limfosit
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 12
Akut ↔ Viral/Kronis
Kimia Darah
Glukosa N : 80 – 100 (mg/dl)
Glukosa PP : 100 - 125 (mg/dl)
Glukosa S :< 200 (mg/dl)
Kolesterol total :< 200 (mg/dl)
Trigliserida :< 150 (mg/dl)
HDL – Kolesterol :> 55 (mg/dl)
LDL – kolesterol :< 150 (mg/dl)
Ureum : 15 – 40 (mg/dl)
Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl)
Asam urat : 3.4 – 7.0 (mg/dl)
Bilirubin total : 0.2 – 1 (mg %)
Bilirubin direk : 0 – 0.2 (mg %)
Bilirubin indirek : 0.2 – 0.8 (mg %)
SGOT : 5 – 40 (u/l)
SGPT : 5 – 41 (u/l)
Alkali Fosfatase : 40 – 130 (u/l)
Gamma GT : 11 – 49 (u/l)
Protein total : 6.1 – 8.2 (gr %)
Albumin : 3.8 – 5.0 (gr %)
Globulin : 2.3 – 3.2 (gr %)
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 13
WANITA
Darah Lengkap
Eritrosit : 4 – 5 (juta/ul)
Haemoglobin (Hb) : 12 – 15 (g/dl)
Hematokrit (Ht) : 36 – 47 (%)
Trombosit : 150.000 – 400.000(/ul)
Leukosit : 5.000 – 10.000(/ul)
Laju Endap Darah (LED) :< 15 (mm/jam)
Diff count / Hitung Jenis Leukosit
Basofil : 0 – 1 (%)
Eosinofil : 1 – 3 (%)
Batang : 2 – 6 (%)
Segmen : 50 – 70 (%)
Limfosit : 20 – 40 (%)
Monosit : 2 – 8 (%)
Neutrofil/Eosinofil/Basofil/Monosit/Limfosit
Akut ↔ Viral/Kronis
Kimia Darah
Glukosa N : 80 – 100 (mg/dl)
Glukosa PP : 100 - 125 (mg/dl)
Glukosa S :< 200 (mg/dl)
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 14
Kolesterol total :< 200 (mg/dl)
Trigliserida :< 150 (mg/dl)
HDL – Kolesterol :> 55 (mg/dl)
LDL – kolesterol :< 150 (mg/dl)
Ureum : 15 – 40 (mg/dl)
Kreatinin : 0.5 – 1.5 (mg/dl)
Asam urat : 2.4 – 5.7 (mg/dl)
Bilirubin total : 0.2 – 1 (mg %)
Bilirubin direk : 0 – 0.2 (mg %)
Bilirubin indirek : 0.2 – 0.8 (mg %)
SGOT : 5 – 40 (u/l)
SGPT : 5 – 41 (u/l)
Alkali Fosfatase : 35 – 104 (u/l)
Gamma GT : 7– 32 (u/l)
Protein total : 6.1 – 8.2 (gr %)
Albumin : 3.8 – 5.0 (gr %)
Globulin : 2.3 – 3.2 (gr %)
Serum Iron (SI):
o Men: 65 to 176 μg/dL
o Women: 50 to 170 μg/dL
o Newborns: 100 to 250 μg/dL
o Children: 50 to 120 μg/dL
TIBC: 240–450 μg/dL
Transferrin saturation: 15–50% (males), 12–45% (females)
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 15
2.3. ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITIK
2.3.1 Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan
besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang. ADB ditandai oleh anemia hipokromik mikrositer dan
hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong. Berbeda dengan ADB, pada
anemia akibat penyakit kronik penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang oleh kareena
pelepasan besi dari system retikuloendhotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih
normal. Pada anemia sideroblastik penyediaan besi untuk eritropesis berkurang Karen
agangguan mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi kedalam heme terganggu. Oleh
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 16
karena itu ketiga jenis aneia inidigolongkan sebagai anemia dengan gangguan metabolism
besi.
Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang paling sering dijumpai terutama
dinegara tropic atau Negara dunia ketiga, oleh karena sangat erat kaitanya dengantaraf social
ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia yang meberikan dampak
kesehatan yang sangat merugikan serta dampak social yang cukup serius.
Dalam keadaan normal tubuh rata-rata orang dewasa mengandung 4-5g besi.,
bergantung pada jenis kelamin dan ukuran tubuhnya. Lebih dari dua pertiga besi berada di
dalam hemoglobin. Besi dilepas dengan semakit tua serta matinya sel dan diangkut melalui
transferrin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan pengecualian myoglobin
dan enzim-enzim heme dalam jumlah yang sangat sedikit , sisa zat besi disimpan didalam
hati , limpa, dan dalam susmsu tulang sebagai ferritin dan hemogsiderin untuk kebutuhan
lebih lanjut.
Walaupun dalam diet rata-rata mengandung 10-20mg besi, hanya sekitar 5-10% yang
sebenarnya diabsorpsi. Pada saat persediaan besi berkurang, maka lebih banyak besi yang
diabsorpsi dari diet. Besi yang diingesti diubah enjadi besi ferro didalam lambung dari
duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besi diangkut transferrin plasma ke sumsum
tulang untuk sintesis hemoglobin atau ketempat penyimpanan di jaringan.
Tiap milliliter darah mengandung 0,5 mg besi. Kehilangan besi umumnya sedikit
sekali, dari 0,5-1mg/hari. Namun, yang mengalami mensturasi kehilangan sebanyak 15-28
mg/bulan. Walaupun kehilangan darah karena mensturasi berhenti selama kehamilan ,
kebutuhan harian besi meningkat untuk mencukupi permintaan karena meningkatnya volume
darah ibu dan pembentukan plasenta, tali pusat dan janin, serta mengimbangi darah yang
keluar selama kehamilan.
Manifestasi klinis pada Anemia Defisiensi Fe
Selain tanda-tanda dan gelaja yang terjadi pada anemia, individu dengan defisiensi
besi yang berat ( besi plasma kurang dari 40mg/dl; hemoglobin 6-7g/dl) memiliki tanda:
- rambut yang rapuh dan halus
- kuku tipis, rata, mudah patah dan membentuk sendok (koilonikia).
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 17
- atrofi papilla lidah yang mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat,
berwarna merah daging, dan meradang serta sakit.
- stomatitis angularis, pecah-pecah disertai kemerahan dan nyeri disudut mulut.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada kasus defisiensi besi yang dapat djumpai adalah :
Kadar Hemoglobin dan Indeks eritrosit
Didapatkan anemia hipokromik mikrositer dengan penurunan kadar hemoglobin
mulai dari ringan sampai berat. MCH dan MCV menurun, MCV<70 fl hanya didapatkan
pada anemia defisiensi besi dan thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang
lebih berat dan berlangsung lama. Anisositosis merupakan tanda awal defisiensi besi.
Peningkatan asinosistosis ditandai dengan peningkatan RDW (red cell distribution width).
Dulu dianggap pemeriksaan RDW dapat dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia
akibat penyakit kronik, tetapi sekarang RDW pada kedua jenis anemia ini hasilnya sering
tumpang tindih.
Mengenai titik pemilihan MCV, ada yang memakai angka <80fl, tetapi pada penilaian
kasus ADB di bagian Penyakit Dalam FK UNUD Denpasar, dijumpai bahwa titik pemilah
<78 fl memberi sensitifitas dan spesifitas palign baik. Dijumpai juga bahwa penggabungan
MCV, MCH,MCHC dan RDW makin mengkatkan spesifitas indeks eritrosit. Indeks eritrosit
sudah dapat mengalami perubahan sebelum kadar hemoglobin enurun.
Hapusan darah tepi menunjukkan anemia hipokromik mikrositer, anisositosis, dan
poikilositosis. Makin berat derajat anemia makin berat derajat hipokromian. Derajat
hipokromia dan mikrositosis berbanding lurus dengan derajat anemia, berbeda dengan
thalassemia. Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai
sebuah cincin sehingga disebut sel cinci atau memanjang seperti elips, diseut sebagai sel
pensis. Kadang dijumpai sel target
Leuksit dan trombosit pada umumnya normal. Tetapi granulositopenia ringan dapat dijumpai
pada ADB yang berlangsung lama. Pada ADB karena cacing tambang dijumpai eosinophilia.
Trombositosis dapat dijumpai pada ADB ringan.
Konsentrasi Besi Serum Menurun pada ADB, dan TIBC (total iron binding
capacity) Meningkat.
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 18
TIBC menunjukan tingkat kejenuhan apotransferin terhadap besi, sedangkan saturasi
transferrin dihitung dari besi serum dibagi TIBC dikalikan 100%. Untuk kriteria diagnosis
ADB , kadar besi menurun <50 ug/dl, total iron binding capacity (TIBC) eningkat > 350
ug/dl, dan saturasi transferrin <15%. Ada juga yang memakai saturasi transferrin <16% atau
<18%. Harus diingat bahwa besi serum menunjukkan variasi diurnal yang sangat besar,
dengan kadar puncak pada jam 8 – 10 pagi.
Feritinin Serum Merupakan Indikator Cadangan Besi Yang sangat Baik.
Kecuali pada keadaan Inflamasi dan Keganasan Tertentu.
Titik pemilah untuk feritinin serum pada ADB dipakai angka <12 ug/l, tetapi ada juga yang
memakai <15 ug/l. untuk daerah tropic dimana angka infeksi dan inflamasi masih tinggi, titik
pemilah yang diajukan negeri barat tampaknya perlu dikreksi. Pada suatu penelitian pada
pasien anemia di rumah sakit di Bsli pemakaian ferritin serum <12ug/l dan <20ug/l
memberikan sensivitasn dan spesifitas masing-masing 68% dan 98% serta 68% dan 96%.
Sensivitas teringi (84%) justru dicapai pada pemakaian ferritin <40mg/l, tanpa mengurangi
spesifitas terlalu banyak (92%). Hercberg untu daerah tropic menganjurkan memakai angka
ferritin <20mg/l sebagai kriteria diagnosis ADB. Jika terdapat infeksi atau inflamasi yang
jelas, maka ferritin serum sampai 50-60ug/l masih dapat menunjukkan adanya defisiensi zat
besi. Ferritin serum mrupakan laboratorium untuk diagnosis IDA yang paling kuat karena itu
banyak dipakai baik diklinik maupun di lapangan kareana cukup reliable dan praktis,
meskipun tidak terlalu sensitive. Angka serum normal ferritin tidak selalu dapat
menyingkirkan adanya defisiensi besi, tetapi ferritin serum diatas 100mg/dl dapat emastikan
tidak adanya defissiensi besi.
Protoporifin Merupakan Bahan antaran pada Pembentukan Heme
Apabila sintesis heme terganggu, misalnya karena defisiensi besi, aka protoprofin akan
menumpuk dalam eritrosit. Angka normal adalah <30mg/dl. Untuk defisiensi besi protoprofin
bebas adalaha > 100 mg/dl. Keadaan yang sama juga didapatkan pada anemia akibat penyakit
kronik dan keracunan timah hitam.
Kadar Reseptor Transferin dalam serum meningkat pada defisiensi besi.
Kadar nomal dengan cara imunologi adalah 4-9ug/L. pengukuran reseptor transferrin trutama
dipakai untuk membedakan ADB dengan anemia akibat penyakit kronik. Akan lebih baik lagi
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 19
bila dipakai rasio reseptor transferindengan log ferritin serum. Rasio >1,5 menunjukkan ADB
dan rasio <1,5 sangat mungkin karena anemia akibat penyakit kronik.
Sumsum Tulang menunjukkan hyperplasia normoblastik ringan sampai sendag
dengan normoblas kecil-kecil.
Sitoplasma sangat sedikit dan tepi tidak teratur Normoblast ini disebut micronormoblast.
Pengecatan besi sumsum tulang dengan biru prusia menunjukkan cadangan besi yang negate
(butir hemosiderin negative). Dalam keadaan normal 40-60% normoblast mengandung
granula ferritin dalam sitoplasmanya, disebut sideroblast. Pada defisiensi besi maka
sideroblast negative. Di klinik, pengecatan besi pada sumsum tulang dianggap sebagai baku
emas diagnosis defisiensi besi, namun ahir-ahir ini perannya banyak diambil alih oleh
pemeriksaan ferritin serum yang lebih praktis.
Mencari kausa anemia defisiensi besi
Antara lain pemeriksaan feses untuk cacing tambang, sebaiknya dilakukan pemeriksaan
semikuantitatif, seperti pemeriksaan darah samar dalam feses, endoskopi, dan lain-lain,
tergantung dari dugaan penyebab defisiensi tersebut.
Kompilkasi
Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa
gangguan fungsi kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat,
penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku. Oleh karena itu masalah ini memerlukan
cara penanganan dan pencegahan yang tepat.
Prognosis
Prognosis baik jika penyebab anemia hanya defisiensi besi saja dan diketahui penyababnya
serta dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan
membaik dengan pemberian preparat besi
Jika terjadi kegagalan dalam pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan
sebagai berikut
Diagnosis salah
Dosis obat tidak adekuat
Preparat Fe yang tidak adekuat dan kadaluarsa
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 20
Perdarahan yang tidak teratasi
Gangguan absorpsi saluran cerna
Pemberantasan penyebabnya.
Prinsip penatalaksanaan ADB adalah mengetahui faktor penyebabnya dan
mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-
85 % penyebab ADB dapat diketahui Sehingga penanganan dapat dilakukan dengan
tepat. Pemberian preparat Fe dapat secara peroral atau parenteral.
Penatalaksanaan Anemia Zat Besi (Fe)
Terapi Kausal: mengetahui factor penyebabnya dan mengatasinya, misalnya pengobatan
cacing tambang, pengobatan hemoroid.
Terapi kausal harus dilakukan, kalau tidak maka anemia akan kambuh kembali.
Pemberian Preparat Besi Oral
Defisiensi zat besi berespons sangat baik terhadap pemberian obat oral seperti garam besi
(misalnya sulfas ferosus) atau sediaan polisakarida zat besi (misalnya polimaltosa
ferosus). ²Terapi zat besi yang dikombinasikan dengan diit yang benar untuk
meningkatkan penyerapan zat besi dan vitamin C sangat efektif untuk mengatasi anemia
defisiensi besi karena terjadi peningkatan jumblah hemoglobin dan cadangan zat besi.
CDC merekomendasikan penggunaan elemen zat besi sebesar 60 mg, 1-2 kali perhari
bagi remaja yang menderita anemia. Contoh dari suplemen yang mengandung zat besi
dan kandungan elemen zat besi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 21
Zat besi paling baik diabsorpsi jika dimakan diantara waktu makan. Sayangnya,
ketidaknyamanan abdominal, yang ditandai dengan kembung, rasa penuh dan rasa sakit
yang kadang-kadang, biasanya muncul dengan sediaan besi ini. Tetapi resiko efek
samping ini dapat dikurangi dengan cara menaikkan dosis secara bertahap, menggunakan
zat besi dosis rendah, atau menggunakan preparat yang mengandung elemen besi yang
rendah, salah satunya glukonat ferosus. Kompleks polisakarida zat besi seringkali lebih
berhasil dibandingkan dengan garam zat besi, walaupun kenyataannya tablet tersebut
mengandung 150 mg elemen zat besi. Campuran vitamin yang mengandung zat besi
biasanya harus dihindari, karena sediaan ini mahal dan mengandung jumblah zat besi
yang suboptimal.
Pemberian Preparat Besi Parenteral
- Diberikan secara IM
- Preparat yg tersedia: iron dextran complex
- efek samping: reaksi anafilaksis, flebitis, sakit kepala, flushing, mual, nyeri perut,
sinkop
- Indikasi: intoleransi oral berat, kepatuhan berobat kurang, perlu peningkatan Hb
secara cepat
- Dosis besi (mg) = BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5
Pengobatan Lain
a. Diet: Diberikan makanan bergizi dgn tinggi protein terutama yang berasal dari protein
hewani
b. Vitamin C: Vitamin C diberikan 3x100 mg/hari untuk meningkatkan absorpsi besi
a. Transfusi Darah à anemia kekurangan besi jarang memerlukan transfusi darah
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 22
Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfusi darah hanya diberikan pada keadaan anemia
yang sangat berat atau yang disertai dengan infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi.
Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan
karena dapat menyebabkan hiverpolemia dan dilatasi jantung. Peberian PRC dilakukan secara
perlahan-lahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikan kadar Hb sampai tingkat aan
sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum , untuk penderita anemia berat dengan
kadar Hb<4g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3l/kgBB persatu kali pemberian disertai
pemberian deuretik seperti furesamide. Jika terdapat gagal janutng yang nyata dapat
dipertibangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.
2.3.2 THALASEMIA
Thalasemia merupakan kelainan pada hemoglobin yang diakibatkan berkurangnya
sintesis rantai globin α atau β.
Thalasemia α
Sindrom ini diakibatkan oleh adanya delesi gen berat penyakit secara klinis ditentukan
oleh banyaknya rantai α yang tidak terbentuk. Rantai α ini sangat esensial, sehingga pada
tidak terbentuknya keempat rantai α dapat menyebabkan terjadinya kematian intra uterin
(hidrops fetalis). Delesi tiga gen α menyebabkan anemia mikrositik hipokromik yang cukup
berat (Hb 7-11gr/dl) yang disertai dengan splenomegali. Pada delesi tiga α ini dapat
terdeteksi adanya HbH (tetramer β) pada eritrosit, pada kehidupan fetal dapat ditemukan Hb
Barts (tetramer γ)
Thalasemia traits timbul akibat kehilangan satu atau dua gen α, biasanya tidak disertai
dengan anemia, meski MCV dan MCH menurun dan jumlah eritrosit melebihi normal
(5,5x1012/l).
Pemeriksaan yang sangat menunjang dari diagnosis dari thalasemia berupa
elektroforesis, yang kemudian diperbandingkan antara rasio sintesis α dan β, dimana
normalnya adalah 1:1, menurun pada thalasemia α, meningkat pada thalasemia β.
Thalasemia β
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 23
Terjadi pada 1 diantara 4 anak pada yang kedua orang tuanya pembawa sifat. Pada
thalasemia ini, tidak terjadi atau sedikit pembentukan rantai β. Rantai α menjadi berlebih dan
menyebabkan eritropoeisis inefektif dan hemolisis berat khas. Semakin banyak rantai α,
semakin berat anemia yang terjadi.
Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi titik, yang diakibatkan diturunkan dua mutasi
berbeda yang mengenai sintesis globin- β. Dapat juga terjadi delesi gen β, γ, dan δ, atau pun
kombinasi.
Gambaran klinis dari thalasemia β-mayor berupa anemia berat pada 3-6 bulan,
hepatosplenomegali, pelebaran sumsum tulang, absorpsi besi meningkat yang dapat
menyebabkan eksesif besi yang dapat merusak organ, infeksi berulang, dan osteoporosis.
Pemeriksaan ditegakkan berupa gambaran darah tepi yang menunjukkan anemia
mikrositik hipokromik yang disertai presentase retikulosit yang tinggi, dengan adanya
normoblas, sel target, dan titik basofilik. Elektroforesis Hb memperlihatkan sedikit atau tidak
adanya HbA, yang ada hanya HbF, sedangkan presentase Hb A2 normal, rendah, atau sedikit
tinggi. Juga terjadi peningkatan rasio α/β.
Terapi pada thalasemia β berupa transfusi darah, asam folat, khelasi besi, vitamin C,
terapi endokrin, imunisasi, splenektomi dan transplantasi sumsum tulang.
Thalasemia β-minor
Jenis ini merupakan kelainan yang umum, asimptomatik, yang ditandai dengan
gambaran darah mikrositik hipokromik, jumlah eritrosit tinggi, anemia ringan. Gejala klinis
umumnya lebih berat dibandingkan dengan thalasemia trait α; kadar HbA2 yang tinggi
digunakan sebagai penegakan diagnosis utama.
Thalasemia Intermedia
Thalasemia ini mengalami keparahan sedang (Hb 7-10gr/dl) tanpa memerlukan transfusi
teratur. Merupakan sindrom klinis yang disebabkan berbagai cacat genetik. Dapat disebabkan
baik oleh defek pada rantai β maupun α. Secara klinis, penderita memperlihatkan adanya
deformitas tulang, hepatosplenomegali, eritropoeisis ekstramedular, kelebihan besi (bisa tidak
pada Hb H).
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 24
.
Etiologi
Talasemia diakibatkan adanya variasi atau hilangnya gen ditubuh yang membuat
hemoglobin. Orang dengan talasemia memiliki hemoglobin yang kurang dan SDM
yang lebih sedikit dari orang normal.yang akan menghasilkan suatu keadaan anemia
ringan sampai berat. Ada banyak kombinasi genetik yang mungkin menyebabkan
berbagai variasi dari talasemia. Talasemia adalah penyakit herediter yang diturunkan
dari orang tua kepada anaknya. Penderita dengan keadaan talasemia sedang sampai
berat menerima variasi gen ini dari kedua orang tuannya. Seseorang yang mewarisi
gen talasemia dari salah satu orangtua dan gen normal dari orangtua yang lain adalah
seorang pembawa (carriers). Seorang pembawa sering tidak punya tanda keluhan
selain dari anemia ringan, tetapi mereka dapat menurunkan gen talasemia.
Patofisiologi
Talasemia β terjadi karena mutasi pada gen HBB pada kromosom 11. Tidak
dihasilkannya rantai β karena mutasi kedua alel β globin pada talasemia β
menyebabkan kelebihan rantai α. Rantai α tersebut tidak dapat membentuk tetramer
sehingga kadar HbA menjadi turun, sedangkan produksi HbA2 dan HbF tidak
terganggu karena tidak membutuhkan rantai β dan justru sebaliknya memproduksi
lebih banyak lagi sebagai usaha kompensasi. Kelebihan rantai α tersebut akhirnya
mengendap pada prekursor eritrosit. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki
inclusion bodies/heinz bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi
membran sel, akibat pelepasan heme dari denaturasi hemoglobin dan penumpukan
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 25
besi pada eritrosit. Sehingga anemia pada talasemia β disebabkan oleh berkurangnya
produksi dan pemendekan umur eritrosit.
Manifestasi Klinis
Pada pasien talasemia beta homozigot maupun heterozigot menunjukkan gamabaran
klinis yang hampir sama yaitu, gangguan pertumbuhan, kesulitan makan, infeksi
berulang dan kelemahan umum. Pada pasien yang tidak mendapat cukupp transfusi
terdapat gambaran khas lain seperti pertumbuhan dan perkembangan yang sangat
lambat, pembesaran lienyang progresif, perluasan sumsum tulang yang
mengakibatkan deformitas tulang kepala yang memberikan gambaran khas fasies
mongoloid serta infeksi berulang.
Pada anak yang mendapat cukup transfusi, pertumbuhan dan perkembangannya
normal dan jarang ditemui splenomegali. Bila terapi chelation tidak adekuat maka
akan terjadi penumpukkan besi yang akan menimbulkan gejala seperti komplikasi
hati, hiperpigmentasi dan komplikasi jantung.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium darah
Hemoglobin : Kadar Hb 3 – 9 g%
Indeks Eritrosit : Hipokromik Mikrositer
Besi serum : meningkat
TIBC : rendah
Gambaran sumsum tulang : eritripoesis hiperaktif
Elektroforesis Hb :Thalasemia beta : kadar Hb F bervariasi antara 10 – 90
% ( N : <= 1 % )
Prognosis
Talasemia homozigot umumnya meninggal pada usia muda dan jarang mencapai usia
dekade ke-3, walaupun digunakan antibiotik untuk mencegah infeksi dan pemberian
chaleting agents untuk mengurangi hemosderosis. Talasemia beta HbE yang
umumnya mempunyai prognosis baik dan dapat hidup seperti biasa. Namun perlu
melakukan transfusi darah.
2.3.3 ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIK
Definisi
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 26
Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis maupun
keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa lemah dan penurunan
berat badan dan disebut sebagai anemia pada penyakit kronis. Pada umumnya anemia pada
penyakit kronis ditandai oleh kadar hb berkisar 7-11 g/dl, kadar Fe serum menurun disertai
TIBC yang rendah, cadangan Fe yang tinggi dijaringan serta produksi sel darah merah
berkurang.
Etiologi dan Patogenesis
Laporan/data akibat penyakit TB, abses paru, endocarditis bakteri subakut, osteomyelitis
dan infeksi jamur kronik serta HIV membuktikan bahwa hampir semua infeksi supuratif
kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia sebanding dengan berat ringanyya gejala,
seperti demam , penurunan berat badan dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia
memerlukan waktu 1-2 bulan setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi
keseimbangan antara produksi dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti infeksi kronis, tetapi lebih
sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen dan atriris rheumatoid
merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, colitis ulseratif serta sindrom inflamasi
lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit kronik.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walupun masih dalam stadium
dini dan asimtomatik, seperti pada sarcoma dan limfoma. Anemia ini biasanya disebut
anemia pada kanker (cancer releted anemia)
Patogenesis
a. Pemendakan masa hidup eritrosit
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 27
Diduga anemia terjadi merupakan bagian dari sindrom stress hematologic, dimana
terjadi produksi sitokin yang berlebihan karena kerusakan jaringan akibat infeksi,
inflamasi atau kanker. Sitokin tersebut dapat menyebabkan sekuetrasi makrofag
sehingga mangikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di limpa,
menekan produksi eritropoetin oleh ginjal, serta menyebakan perangsangan yang
inadekuat pada eritropoesis di sumsum tulang. Pada keadaan lebih lanjut, malnutrisi
dapat menyebabkan penurunan transformasi T4 manjadi T3, menyebabkan hipotirod
fungsional dimana terjadi penurunan kebutuhan Hb yang mengangkut O2 sehingga
sintesis eritropetin-pun akhirnya berkurang.
b. Penghancuran eritrosit
Beberapa penilitian membuktikan bahwa masa hidup eritrosit memendek pada sekitar
20-30 % pasien. Defek ini terjadi pada ekstrakorpuskuler, karena bila eritrosit pasien
ditransfusikan ke resipien normal, maka dapat hidup normal. Aktivasi makrofag oleh
sitokin menyebabkan peningkatan daya fagositosis makrofag tersebut dan sebagai bagian
dari filter limpa, menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari
eritrosit.
c. Produksi eritrosit
Gangguan metabolisme zat besi. Kadar besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup
menunjukkan adanya gangguan metabolisme zat besi pada penyakit kronik. Hal ini
memberikan konsep bahwa anemia dapat disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe
dalam sintesis Hb.
Fungsi sumsum tulang. Meskipun sumsum tulang yang normal dapat mengkompensasi
pemendakan masa hidup eritrosit, diperlukan stimulus eritropoetin oleh hipoksia akibat
anemia. Pada penyakit kronik, kompensasi yang terjadi kurang dari yang diharapkan
akibat berkurangnya pelepasan atau menurunya respon terhadap eritropoetin.
Gambaran Klinis
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering kali gejalanya
tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-11 gr/dl umumnya
asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas fisik meningkat, pengurangan
kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas gejala anemianya atau memperberat keluhan
sebelumnya.
Pada pemeriksaan fisik umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan
yang khas dari anemia jenis ini, dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan.
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 28
Pemeriksaan Laboratorium
Anemia umumnya adalah normokrom-normosister, meskipun banyak pasien mempunyai
gambaran hipokrom dengan MCHC <31 g/dl dan beberapa mempunyai sel mikrositer dengan
MCV <80 fL. Nilai retikulosit absolut dalam batas normal dan trombosit tidak konsisten,
tergantung dari penyakit dasarnya.
Penurunan Fe serum (hipoferemia) merupakan kondisi sine qua non untuk diagnosa
penyakit anemia penyakit kronis. Keadaan ini timbul segera setelah timbul onset suatu infeksi
atau inflamasi dan mendahului terjadinya anemia. Konsentrasi protein pengikat Fe
(transferin) menurun menyebabkan saturasi Fe lebih tinggi dari pada anemia defisiensi besi.
Produksi Fe ini relatif mungkin mencukupi dengan meningkatkan transfer Fe dari suatu
persediaan yang kurang dari Fe dalam sirkulasi kepada sel eritroid imatur.
Penurunan kadar transferin setelah suatu jejas terjadi lebih lambat dari pada penurunan
Fe serum, disebabkan karena waktu paruh transferin lebih lama (8-12 hari) dibandingkan
dengan Fe (90 menit) dan karena fungsi metabolik yang berbeda.
Diagnosis dan Diagnosis Banding
Meskipun banyak pasien dengan infeksi kronik, inflamasi dan keganasan menderita
anemia, anemia tersebut disebut anemia pada penyakit kronis hanya jika anemia sedang,
selularitas sumsum tulang normal, kadar besi serum dan TIBC rendah, kadar besi dalam
makrofag dalam sumsum tulang normal atau meningkat, serta feritin serum yang meningkat.
Beberapa penyebab anemia berikut ini merupakan diagnosis banding atau mengaburkan
diagnosis anemia pada penyakit kronik :
1. Anemia delusional. Pada penyakit kronis terutama pada keganasan stadium lanjut
2. Drug-induced marrow suppression atau drug-induced hemolysis. Pada penekanan
sumsum tulang akibat obat, kadar besi serum tinggi. Pemeriksaan hitung retikulosit,
hepatoglobin, bilirubin LDH dan tes Coombs harus dilakukan untuk menyingkirkan
hemolisis
3. Perdarahan kronis
4. Thalasemia minor
5. Gangguan ginjal. Pada keadaan ini umur eritrosit memendek dan terdapat kegagalan
relatif sumsum tulang
6. Metastasis pada tulang
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 29
Pengobatan
Terapi utama pada anemia penyakit kronik adalah mengobati penyakit dasarnya.
Terdapat beberapa cara dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain :
a. Transfusi
Merupakan pilihan kasus-kasus yang disertai gangguan hemodinamika. Tidak ada
batasan yang pasti pada kadar Hb berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa
literatur disebutkan bahwa pasien anemia penyakit kronik yang terkena infak
miokard, transfusi dapat menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian
juga dengan pasien anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11
g/dl.
b. Preparat besi
Pemberian preparat besi pada anemia panyakit kronik masih dalam perdebatan.
Sebagian pakar masih memberikan preparat besi dengan alasan besi adapat mencegah
pembentukan TNF-a. Alasan lain, pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal,
preparat terbukti dapat meningkatkan kadar Hb. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi belum direkomendsikan untuk diberikan pada
pasien anemia penyakit kronik.
c. Eritropoietin
Data penelitian menunjukkan bahwa pemberian eritropoetin bermanfaat dan sudah
disepakati untuk diberikan pada pasien anemia akibat kanker, gagal ginjal, myeloma
multiple, artritis reumathoid dan pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi
beserta efeknya, pemberian eritropoetin memberikan keuntungan yaitu : mempunyai
efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-a dan interferon gamma.
Dilain pihak pemberian eritropoetin akan menambah proliferasi sel-sel kanker ginjal
serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan leher.
2.3.3 ANEMIA SIDEROBLASTIK
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 30
Ini adalah anemia refrakter dengan sel hipokrom dalam darah tepi dan sumsum tulang
yang meningkat; anemia ini dipastikan dengan adanya banyak sideroblas cincin (ring
sideroblast) yang patologis dalam sumsum tulang. Cincin sideroblas ini adalah eritroblas
abnormal yang mengandung banyak granula besi yang tersusun dalam suatu bentuk cincin
atau kerah yang melingkari inti, bukan berupa granula besi yang tersebar secara acak yang
tampak jika eritroblas normal diwarnai dengan pewarna besi. Anemia sideroblastik
didiagnosis bila 15% atau lebih eritroblast dalam sumsum tulang adalah eritroblas cincin,
tetapi sideroblas cincin ini dapat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada beberapa
kondisi hematologik.
Anemia sideroblastik digolongkan menjadi beberapa jenis, namun persamaannya adalah
adanya suatu defek dalam sintesis heme. Pada bentuk herediter, anemia ini dicirikan oleh
suatu gambaran darah yang sangat hipokrom dan mikrositik. Berikut adalah jenis anemia
sideroblastik:
a. Herediter, biasanya terjadi pada pria, dibawa oleh wanita, dan jarang terjadi pada
wanita.
b. Didapat
Primer; seperti mielodisplasia (anemia refrakter dengan sideroblast cincin)
Sekunder; pembentukan sideroblas cincin juga dapat terjadi di sumsum tulang
pada penyakit keganasan sumsum tulang lain, seperti mielofibrosis, leukemia
myeloid, myeloma.
Mutasi tersering adalah pada gen asam δ-aminolevulinat sintase (ALA-S) yang terdapat
pada kromosom X. Piridoksal-6-fosfat adalah suatu koenzim untuk ALA-S. Jenis lain yang
jarang dijumpai yakni defek mitokondria, responsif tiamin, dan defek autosom lain. Bentuk
didapat primer yang sering ditemukan adalah salah satu subtipe mielodisplasia. Anemia ini
juga dinamakan ‘anemia refrakter dengan sideroblas cincin’.
Pada beberapa pasien, khususnya yang menderita jenis herediter, terdapat suatu respon
terhadap pemberian terapi piridoksin. Defisiensi folat dapat terjadi dan dapat dicoba
pemberian terapi asam folat. Walaupun demikian, pada banyak kasus berat, transfusi darah
berulang adalah satu-satunya cara untuk mempertahankan kadar hemoglobin yang cukup dan
penumpukan besi karena transfusi merupakan masalah utama
2.4 ANALISIS SKENARIO
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 31
Pucat : Pucat pada pasien diakibatkan oleh penurunan Hemoglobin. Hb berfungsi mengikat
oksigen dan membantu menyalurkan oksigen ke jaringan, selain itu fungsi Hb adalah
memberikan “warna” pada darah sehingga kualias warna dara ditentukan oleh hemoglobin.
Apabila terjadi penurunan, maka secara otomatis terjadi gangguan penyaluran oksigen pada
jaringan tubuh dan berhubungan dengan fungsi pigmentasi oleh hemobgobin, maka
penurunan Hb juga akan menyebabkan manifestasi klinis pucat pada beberapa organ.
Lelah: Keluhan ini diakibatkan kurangnya oksigen yang diserap oleh jaringan sehingga
menyebabkan metabolism berubah kea rah anaerobic. Metabolisme anaerobic akan
menghasilkan zat sisa berupa asam laktat. Apabila hal ini terjadi secara terus menerus, maka
akan mengakibatkan penimbunan asam laktat pada tubuh. Penimbunan asam laktat ini akan
bermanifestasi sebagai keluhan lelah atau lemas pada pasien yang mengalaminya.
Diare intermitten : Keluhan ini dapat diakibatkan oleh gizi buruk atau infeksi cacing
tambang.
Penurunan BB : Penurunan hemoglobin dapat mengakibatkan menurunnya aktivitas
metabolisme tubuh, sehingga berat badan pun akan menyusut seiring dengan bertambah
parahnya penyakit ADB.
Dari skenario, karena didapatkan pemeriksan penunjang Hemoglobin 6,5 gr/dL, Zat besi
serum 4 µmol/L, TIBC 86 µmol/L, Ferritin 6 µg/L serta Gambaran darah tepi hipokrom
mikrositik maka dapat disimpulkan bahwa pasien mengidap Anemia Defisiensi Besi.
BAB III
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 32
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan berkurangnya hingga di bawah
nilai normal jumlah SDM, kuantitas hemoglobin, dan volume packed red blood cells
(hematokrit) per 100 ml darah. Dengan demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan
suatu cerminan perubahan patofisiologik yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis
yang seksama, pemeriksaan fisik dan konfirmasi laboratorium. Gejala yang ditimbulkan
disebabkan karena anoksia jaringan dan mekanisme kompensasi tubuh terrhadap
berkurangnya daya angkut oksigen, berupa rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging
(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada
pemerikaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.
Penatalaksanan setiap kasus anemia dilakukan berdasarkan jenis anemia yang
diderita, karena masing-masing jenis anemia memiliki etiologi dan patofisiologi yang
berbeda. Oleh karena itu sebelum melakukan penatalaksanaan, kita harus paham mekanisme
terjadinya anemia yang dialami oleh pasien.
DAFTAR PUSTAKA
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 33
Hay, William W., et al, 2004. Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Boston: McGraw-Hill.
Hoffbrand, A.V., Pettit, J.E., Moss, P.A.H., 2005. Kapita selekta hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC.
Scott B. Halstead, 2000. Nelson Text Book of Pediatrics. Boston: McGraw-Hill.
Sudoyo, A.W., et al, 2009. Buku ajar penyakit dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam.
Suryanto, B.P., et al, 2010. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
|Laporan Tutorial Skenario 1 Kelompok 4 34