Upload
hanifah-atsariyana
View
52
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Latar Belakang, Perkembangan PPN Indonesia. Pajak Pertambahan Nilai. UU PPN 1984.
Citation preview
MAKALAH
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI
Disusun oleh:
1. Dwi Lutfiana Sari (1C/06)
2. Hanifah Atsariyana (1C/15)
3. Hidayat Agung Nugroho (1C/16)
4. Muh. Rijal Nasruddin (1C/21)
5. Nusa Gilang Harda Kusuma (1C/26)
1. Halaman Judul
Program Diploma I Spesialisasi Pajak
Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada kami untuk
menyusun makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pajak Pertambahan Nilai,
yang dipandang perlu untuk dikuasai oleh mahasiswa dalam rangka membekali
diri agar dapat bekerja sesuai dengan tugas masing-masing.
Terima kasih kepada dosen mata kuliah Pajak Pertambahan Nilai yang
telah mengajar kami, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik.
Kepada teman-teman dan sumber-sumber lainnya yang telah berpartisipasi
dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih.
Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan,
kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran, serta sumbangan pemikiran dari pembaca
sebagai bahan masukan yang membantu untuk penyempurnaan makalah ini.
Harapan kami, semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk pembaca.
Bintaro, Maret 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Penggantian Pajak Penjualan(PPn) Dngan Pajak Pertambahan
Nilai(PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (value Added Tax) untuk pertama kali diperkenalkan
oleh Carl Friedriech von Siemens, seorang industrialis dan konsultan pemerintah
jerman pada tahun 1919. Namun ironisnya justru pemerintah Prancis yang pertama kali
menerapakan PPN dalam sistem perpajakannya pada tahun 1954, sedangkan jerman
menerapkannya pada awal tahun 1968.
Indonesia baru mengadopsi PPN pada tanggal 1 April 1985 menggantikan Pajak
Penjualan (PPn) yang sudah berlaku di Indonesoa sejak tahun 1951. Dengan Undang-
undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951, Pajak Penjualan berlaku di Indonesia sejak
1Oktober 1951. Undang-undang ini dinamakan UU PPn 1951. Kemudian dengan UU
Nomor 35 Tahun 1953, UU Darurat tersebut ditetapkan menjadi Undang-undang. UU
PPn 1951 yang sudah memberikan dedikasinya selama lebih dari 30 tahun, dalam
“Reformasi Sistem Perpajakan Nasional 1983” yang lebih kenal dengan sebutan “Tax
Reform 1983”, diganti dengan Pajak Pertambahan Nilai. Adapun latar belakang
penggantian ini, adalah :
1. UU PPn 1951 telang berulang kali diubah sehingga sulit dipahami dan dilaksanakan.
2. Dalam pelaksanaannya UU PPn 1951 menimbulkan pengenaan pajak berganda
sehingga PPn menjadi tidak netral baik dalam perdagangan didalam negeri maupun
internasional.
3. Mengandung dualisme sistem pemungutan, yaitu bagi wajib pajak yang mampu
menyelanggarakan pembukuan menggunakan “self assessments system” sedangkan
bagi yang tidak mampu menyelanggarakan pembukuan menggunakan “official
assesment system”.
4. Variasi tarif yang cukup banyak, sampai 9 macam tarif, menyulitkan tindakan
pengawasan terhadap kepatuhan wajib pajak. Sisi negatif PPn ini terutama
pengenaan pajak berganda mendiring wajib pajak untuk menghindar dari pengenaan
PPn bahkan kalau perlu mereka melakukan penggelapan pajak. Menghindar dari
pengenaan pajak (tax avoidance) mash tergolong sebagai tindakan legal misalnya
2
beberapa perusahaan dalam satu rangkaian beberapa mata rantai jalur produksi atau
distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa mata rantai
produksi atau distribusi yang sejenis melakukan peleburan usaha, sehingga beberapa
mata rantai produksi atau distribusi lolos dari pengenaan PPn. Misalnya perkebunan
kapas, pabrik benang, pabrik tekstil, perusahaan garmen meleburkan diri menjadi
satu perusahaan gaemen terpadu. Dengan demikian, maka penyerahan bahan baku
antar divisi tersebut tidak dapat dikenakan PPn karena berada dalam satu perusahaan
terpadu. Bagi pengusaha yang lain yang lebih suka mengambil jalan pintas, lebih
memilih menyelundupkan atau menggelapkan pajak dengan cara melaporkan
jumlah peredaran bruto lebih rendah rendah daripada yang sebenarnya.
B. Legal Karakter PPN
1. PPN adalah Pajak tidak langsung
PPN merupakan jenis pajak yang menempatka kedudukan pemikul beban
pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajakke kas negara pada
pihak-pihak yang berbeda. Apabila penjual pengusaha jasa belum dikukuhkan
sebagai PKP oleh DirJen Pajak, maka Penjual tidak dapat memungut PPN dari
pembeli atau penerima jasa dan apabila penjual atau pengusaha jasa tidak
memungut PPN, PPN tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab penjual
pengusaha jasa. Negara tidak dapat meminta pertanggungjawaban dari pembeli
atau penerima jasa . Demikian pula jika pembeli atau penerima jasa sudah
membayar PPN kepada penjual sama halnya dengan pembeli sudah membayar
PPN ke Kas Negara.
2. PPN adalah Pajak objektif
Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban pajak sangat ditentukan oleh
adanya objek pajak dan kondisi subjektif subjek pajak bukan faktor yang relevan
(tidak mempertimbangakan kondisi subjektif) . Selain itu pajak objektif tidak
memperhatikan asas keadilan pemungutan pajak.
Pajak objektif dapat menimbulkan dampak regresif (kesenjangan beban
pajak) karena semakin tinggi kemampuan konsumen, semakin ringan beban pajak
yang dipikul. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan konsumen, semakin berat
beban pajak yang dipikul. Oleh karena itu, untuk mengurangi regresivitas PPN,
bagi konsumen yang mengonsumsi BKP yang tergolong mewah dikenakan PPnBM
disamping PPN.
3
3. PPN bersifat Multi stage levy
Multi stage levy mengandung pengertian bahwa PPN dikenakan pada setiap
mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak. Mulai dari pertama kali setelah diproduksi, hingga sampai ke tangan
konsumen akhir.
Hal ini berarti PPn dikenakan berulang-ulang pada satiap mutasi Barang
Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian, PPN tidak menimbulkan
pengenaan pajak berganda (non kumulasi). Inilah ciri khas PPn yang tidak dimiliki
oleh PPn yang diterapkan di Indonesia sebelum 1 April 1985.
4. Penghitungan PPN terutang untuk dibayar ke Kas Negara menggunakan Credit/
Invoice/Indirect Substraction Method
Indirect substraction method (metode pengurangan tidak langsung) adalah
metode penghitungan PPN yang akan disetor ke kas negara dengan cara
mengurangkan pajak atas perolehan dengan pajak atas penyerahan barang atau
jasa.
Untuk mendeteksi atau menguji kebenaran jumlah pajak yang terutang atas
perolehan dan jumlah pajak yang terutang atas penyerahan tersebut diperlukan
suatu dokumen pendukung. Dokumen ini dinamakan tax Invoice (Faktur pajak),
sehingga metode ini dinamakan juga Invoice method. Dalam hukum pajak,
kegiatan mengurangkan pajak dengan pajak dinamakan tax credit oleh karena itu
dinamakan juga credit method, yaitu mengkreditkan pajak masukan (pajak yang
dibayar kepada penjual atau penerima jasa) dengan pajak keluaran (pajak yang
dipungut dari pembeli atau penerima jasa).
5. PPN bersifat Non Komulatif
Pajak dipungut beberapa kali pada jalur produksi dan distribusi namun
hanya pada pertambahan nilainya saja dan tidak diperhitungkan di akhir tahun.
Dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah, sehingga disebut dengan PPN
(Value Added Tax). PPN yang multi stage levy namun bersifat non komulatif yaitu
tidak menimbulkan pengenaan pajak berganda.
6. PPN Indonesia menganut Tarif tunggal
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU PPN 1984 mengatur bahwa atas penyerahan
BKP dikenakan tarif 10%. Kemudian dalam ayat (3) ditentukan bahwa dengan
4
Peraturan Pemerintah tarif tersebut dapat dinaikkan setinggi-tingginya 15% dan
diturunkan serendah-rendahnya 5%.
Sisi ngatif tarif tunggal adalah mempertajam regretivitas PPN. Unruk
memperkecil regretivitas ini, UU PPN Indonesia mengenakan PPnBM sebagai
pajak tambahan di samping PPN atas enyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah. Sisi Positif menerapkan tarif tunggal adalah sederhana baik dalam
pelaksanaan maupun dalam pengawasan.
Penyebutan tarif tunggal sebenar nya tanpa mempertimbangkan tarif 0%
yang dikenakan atas ekspor BKP dan pengecualian beberapa objek pajak yang
dianggap esensial untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk kebutuhan
akan perawatan kesehatan. Dalam PPn Indonesia tarif 0% merupakan tarif teknis
berdasarkan pertimbanngan ekonomi yang dikenakan atas ekspor BKP,
dimaksudkan supaya pajak masukan atas perolehan BKP dan JKP yang terkait
dapat dikreditkan sehingga tidak perlu dibebankan sebagai biaya.
7. PPN adalahPajak atas konsumsi dalam negeri
Pajak atas konsumsi dalam neneri mengandung makna bahwa :
a. PPN bukan pajak atas kegiatan bisnis jadi pemikul beban pajak adalah konsumen
b. PPN menganut destination principle yaitu pajak dikenakan di tempat tujuan
barang atau jasa akan dikonsumsi. Yaitu PPn hanya dikenakan atas barang atau
jasa yang dikoonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia. Apabila
barang atau jasa itu akan dikonsumsi di luar negeri, tidak dikenakan PPN di
Indonesia.
Sebagai pajak atas konsumsi dalam negeri, PPN hanya dikenakan atas
konsumsi BKP dan/atau JKP yang dilakukan di dalam negeri, oleh karena itu
komoditi impor dikenakan PPN yang sama dengan komoditi domestik.
8. PPN yang diterapkan di Indonesia adalah PPn tioe konsumsi (Consumtion type
VAT)
Dalam Consumption Type Value Added Tax semua biaya yang digunakan
untuk produksi temasuk pembelian barang modal dapat dikurangi dari
dasar pengenaan pajak. Dasar pengenaan pajaknya terbatas pada
pembelian untuk keperluan konsumsi.
5
Sisi positif Consumption Type VAT
Membantu likuiditas perusahaan
Menunjang iklim investasi yang sehat
Mendorong pengusaha secara berkala melakukan regenerasi barang
modal
Tidak menimbuklan pengenaan pajak berganda
C. Mekanisme Pemungutan PPN
Secara umum di Indonesia dikenal 3 metode dalam pemungutan PPN, yaitu:
1. Indirect Substraction Method
Indirect Substraction Method (metode pengurangan tidak langsung) yaitu cara
mengurangan Pajak Keluaran yang diambil dengan Pajak Masukan yang didapat.
Adapun mekanisme pengenaan PPN berdasarkan UU PPN 1984 adalah sebagai
berikut:
a. Wajib Pajak yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP)
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP)
wajib memungut PPN dari pembeli/penerima BKP/JKP yang bersangkutan. Bukti
pungutan tersebut dibuatkan faktur pajak baik untuk yang menyerahkan maupun
yang memperoleh.
b. PPN yang tercantum dalam faktur pajak tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi
PKP/Penjual atau yang menyerahkan BKP/JKP, yang sifatnya sebagai pajak yang
harus dibayar.
c. Pada waktu PKP tersebut memperoleh atau membeli BKP/JKP dari PKP yang lain
maka akan dikenakan PPN, PPN tersebut merupakan Pajak Masukan, yang sifatnya
sebagai pajak yang dibayar di muka, sepanjang BKP/JKP yang dibeli tersebut
berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.
d. Kewajiban dari PKP (baik penjual atau pembeli), setiap bulannya harus
menghitung PPN yang kurang/lebih/nihil. Apabila jumlah Pajak Keluaran lebih
besar daripada Pajak Masukan, maka terjadi kekurangan bayar yang harus disetor
ke Kas Negara paling lambat akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa
Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai
disampaikan. Apabila jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah Pajak
Keluaran, maka terjadi kelebihan pajak. PKP mempunyai 2 pilihan atas kelebihan
bayar PPN tersebut, yaitu pertama dikompensasikan ke masa pajak berikutnya,
6
kedua kelebihan bayar tersebut dapat diajukan permohonan pengembalian
(restitusi) pada akhir tahun buku.
e. Atas semua penghitungan Pajak Masukan dan Pajak Keluaran dilaporkan pada SPT
Masa PPN, yang harus dibuat oleh PKP yang bersangkutan setiap bulannya dan
dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak di mana PKP dikukuhkan paling lambat
akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
Contoh: PT ABC (Perusahaan Dagang) sebagai PKP, selama bulan Agustus 2011
melakukan penyerahan BKP sebesar Rp400.000.000 dan perolehan BKP sebesar
Rp250.000.000. Maka penghitungan PPN atas PT ABC di atas adalah sebagai
berikut:
Pajak Keluaran : Rp400.000.000 x 10% = Rp40.000.000
Pajak Masukan : Rp250.000.000 x 10% = Rp25.000.000
Maka PT ABC dalam kondisi kurang bayar sebesar Rp15.000.000 yang harus
disetor ke Kas Negara dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN Masa Agustus 2011
paling lambat akhir bulan berikutnya.
2. Direct Substraction Method
Metode yang dipakai Bendaharawan Pemerintah dan KPKN sebagai
pemungut PPN atas transaksi pembayaran yang dilakukan bendaharawan dengan
menggunakan dana dari APBN/APBD. PPN yang terutang atas transaksi penyerahan
BKP/JKP tidak dipungut oleh PKP (Penjual), melainkan disetor langsung ke Kas
Negara oleh Bendaharawan Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemungut PPN.
Dengan demikian, pemungut PPN hanya membayar kepada PKP (Penjual) sebesar
harga jual, sedangkan PPN-nya dipungut dan disetor ke Kas Negara. Selain
Bendaharawan Pemerintah yang ditunjuk sebagai pemungut PPN adalah Perusahaan
Kontrak Karya (PKK) dan Kontrak Bagi Hasil (KBH) Pertambangan atau
Pengeboran.
Contoh: Bendaharawan Pemda Tangsel membeli seperangkat komputer kepada
PT ABC seharga Rp10.000.000 belum termasuk PPN. Pada saat melakukan
pembayaran, bendaharawan hanya membayar Rp10.000.000, sedangkan PPN sebesar
Rp1.000.000 dipungut dan disetor oleh bendaharawan ke Kas Negara.
D. gilang
E. SISTEMATIKA UU PPN
UU PPN disusun dengan sistematika berikut:
• BAB I KETENTUAN UMUM terdiri atas:
7
Pasal 1 penjelasan tentang pengertian Daerah Pabean, Barang Kena Pajak, Jasa
Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak dan lainnya
Pasal 1A penjelasan bagian yang termasuk penyerahan barang kena pajak maupun
bukan penyerahan barang kena pajak
Pasal 2 pengaruh yang memungkinkan seorang pengusaha yang menekan harga
lebih rendah dari pasaran maka DJP berwenang menetukan harga pasaran.
• BAB II PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK terdiri atas:
Pasal 3 (sudah dihapus dan dipindahkan ke UU KUP)
• BAB IIA KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN
MEMUNGUT, MENYETORKAN DAN MELAPORKAN PAJAK YANG
TERUTANG terdiri atas:
Pasal 3A tentang pengusaha yang melakukan penyerahan, pengusaha kecil yang
memilih dikukuhkan sebagai PKP, orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP
tidak berwujud dari luar daerah pabean.
• BAB III OBJEK PAJAK terdiri atas:
Pasal 4 berisi tentang penyerahan barang kena pajak, penyerahan jasa kena pajak,
impor ekspor barang, pemanfaatan jasa kena pajak dalam maupun luar daerah pabean
Pasal 4A berisi tentang Jenis Barang atau jasa kena Pajak maupun tidak kena pajak
Pasal 5 tentang PPnBM
Pasal 5A tentang Pengembalian atau pengurangan PPn atau PPnBM pada masa
sebelumnya
Pasal 6 (dihapus dengan UU No. 18 tahun 2000)
• BAB IV TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK terdiri atas
Pasal 7 tentang tarif dasar pengenaan PPN
Pasal 8 tentang tarif dasar pengenaan PPnBM
Pasal 8A tentang perhitungan pengenaan PPN
Pasal 9 tentang perhitungan pengenaan PPN
Pasal 10 tentang perhitungan pengenaan PPnBM
• BAB V SAAT DAN TEMPAT TERUTANG DAN LAPORAN
PENGHITUNGAN PAJAK terdiri atas
Pasal 11 tentang penetapan pajak terutang dari PPN maupun PPnBM
Pasal 12 tentang Penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak ke DJP
8
Pasal 13 tentang PKP membuat faktur pajak secara benar sesuai undang undang
perpajakan
Pasal 14 tentang OP / Badan belum dikukuhkan PKP tidak boleh membuat faktur
pajak
Pasal 15 (dihapus dengan UU No. 11 tahun 1994)
Pasal 16 (dihapus dengan UU No. 11 tahun 1994)
• BAB VA KETENTUAM KHUSUS terdiri dari
Pasal 16A tentang penyetoran pajak oleh pemungut PPN
Pasal 16B tentang pemungutan sebagian ataupun tidak ada pungutan terhadap
hal tertentu
Pasal 16C tentang PPN atas kegiatan membangun sendiri tidak dalam kegiatan
usaha
Pasal 16D tentang PPN atas penyerahan aktiva oleh PKP
Pasal 16E tentang permintaan kembali barang kena pajak dari PPN dan
PPnBM yang telah dibayar
Pasal 16F tentang tanggungjawab pengguna barang kena pajak atau jasa kena
pajak
BAB VI KETENTUAN LAIN-LAIN terdiri atas
Pasal 17 Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan
berkenaan dengan pelaksanaan Undang-undang yangsecara khusus belum diatur
• BAB VII KETENTUAN PERALIHAN terdiri atas
Pasal 18 tetap berlakunya Undang-undang pajak penjualan 1951 atas
penyerahan BPK, JKP, dan IBKP yang telah dilakukan sebelumnya.
• BAB VIII KETENTUAN PENUTUP terdiri atas
Pasal 19 hal-hal yag belum diatur akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah
9