52
BAB I LATAR BELAKANG A. Latar Belakang Data World Health Organization(WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009). Penelitian di 56 negara dari 192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008). Tindakan pembedahan wajib memperhatikan keselamatan pasien, kesiapan pasien, dan prosedur yang akan dilakukan, karena resiko terjadinya kecelakaan sangat tinggi, jika dalam pelaksanaannya tidak mengikuti standar prosedur operasional yang sudah ditetapkan. Tim kamar bedah tentu tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta menyebutkan bahwa ada pasien yang mengalami KTD (kejadian tidak di harapkan), KNC (kejadian nyaris cedera), ataupun kejadian sentinel yaitu KTD yang menyebabkan kematian atau cedera serius (Depkes,2008), saat dilakukan tindakan pembedahan. Oleh sebab itu diperlukan program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena sebagian KTD merupakan

Latar Belakang SSC

Embed Size (px)

DESCRIPTION

LATAR BELAKANG

Citation preview

Page 1: Latar Belakang SSC

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Latar Belakang

Data World Health Organization(WHO) menunjukkan bahwa selama lebih dari satu

abad perawatan bedah telah menjadi komponen penting dari perawatan kesehatan di

seluruh dunia. Diperkirakan setiap tahun ada 230 juta operasi utama dilakukan di seluruh

dunia, satu untuk setiap 25 orang hidup (Haynes, et al. 2009). Penelitian di 56 negara dari

192 negara anggota WHO tahun 2004 diperkirakan 234,2 juta prosedur pembedahan

dilakukan setiap tahun berpotensi komplikasi dan kematian (Weiser, et al. 2008). 

Tindakan  pembedahan wajib memperhatikan keselamatan pasien, kesiapan pasien,

dan prosedur yang akan dilakukan, karena  resiko terjadinya kecelakaan sangat tinggi, jika

dalam pelaksanaannya tidak mengikuti standar prosedur operasional yang sudah ditetapkan.

Tim kamar bedah tentu tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta

menyebutkan bahwa ada pasien yang mengalami KTD (kejadian tidak di harapkan), KNC

(kejadian nyaris cedera), ataupun kejadian sentinel yaitu KTD yang menyebabkan kematian

atau cedera serius (Depkes,2008), saat dilakukan tindakan pembedahan. Oleh sebab itu

diperlukan program untuk lebih memperbaiki proses pelayanan, karena sebagian KTD

merupakan kesalahan dalam proses pelayanan yang sebetulnya dapat dicegah melalui

program keselamatan pasien.

Komplikasi dan kematian akibat pembedahan menjadi salah satu masalah kesehatan

global. World Health Organization (WHO) memperkirakan sedikitnya ada setengah juta

kematian akibat pembedahan yang sebenarnya bisa dicegah. Di Inggris dan Wales,

National Patient Safety Agency (NPSA) melaporkan 127.419 insiden terkait pembedahan

pada tahun 2007.3 Di negara bagian Minnesota, AS, yang hanya berpopulasi kurang dari

2% dari total populasi AS, dilaporkan terjadi 21 operasi pada sisi yang salah hanya dalam

satu tahun (Oktober 2007 s/d Oktober 2008). Keadaan sesungguhnya kemungkinan besar

lebih parah lagi karena sebagian besar insiden tidak dilaporkan.

Program Keselamatan Pasien safe surgery saves lifes sebagai bagian dari upaya

WHO untuk mengurangi jumlah kematian bedah di seluruh dunia. Tujuan dari program ini

adalah untuk memanfaatkan komitmen  dan kemauan klinis untuk mengatasi isu-isu

Page 2: Latar Belakang SSC

keselamatan yang penting, termasuk praktek-praktek keselamatan anestesi yang tidak

memadai, mencegah infeksi bedah dan komunikasi yang buruk di antara anggota tim.

Untuk membantu tim bedah dalam mengurangi jumlah kejadian ini, WHO menghasilkan

rancangan berupa checklistkeselamatan pasien di kamar bedah sebagai media informasi

yang dapat membina komunikasi yang lebih baik dan kerjasama antara disiplin klinis

Pada Juni 2008, WHO meluncurkan kampanye “Safe Surgery Saves Lives”.

Surgical Safety Checklist digunakan untuk memastikan bahwa seluruh tim operasi

mempunyai pemahaman yang sama terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan dan

kondisi pasiennya, serta memastikan bahwa intervensi seperti antibiotik profilaksi dan

pencegahan deep vein thrombosis sudah diberikan. Checklist ini berisi 19 hal yang harus

dilakukan dalam tiga tahap, sebelum induksi anesthesia (sign in), sebelum insisi kulit (time

out), dan sebelum pasien meninggalkan kamar operasi (sign out). Hal‐hal yang tercantum

dalam checklist ini harus dikonfirmasikan secara verbal kepada pasien dan anggota tim

operasi. 

Selain penggunaan checklist, kelompok penelitian WHO juga melakukan intervensi

perkenalan tim operasi, brifing dan de‐brifing. Safety briefing memungkinkan anggota tim

saling memperkenalkan diri dan perannya dalam tim, kondisi pasien, potensi penyulit yang

mungkin muncul, kebutuhan peralatan khusus, posisi pasien, dll. Tanpa perkenalan yang

cukup, tim operasi bisa jadi bekerja tanpa saling mengetahui nama masing‐masing.

Akibatnya, akan sulit bagi anggota tim untuk bertanya, mengingatkan atau memberitahu

jika ada masalah yang terjadi. Meskipun masih banyak dokter dan perawat yang masih

menganggap proses ini tidak penting, tetapi pada kenyataannya brifing berhasil

meningkatkan level komunikasi dalam tim, mengurangi terjadinya error dan keterlambatan

yang tidak diharapkan Berdasarkan fenomena tersebut kemudian diangkat topic analisis jurnal

terkait Surgical Safety Checklist dalam proses pembedahan, dengan judul “Systematic review and

meta-analysis of the effect of the World Health Organization surgical safety checklist on

postoperative complications”

Page 3: Latar Belakang SSC

B. RumusanMasalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut rumusan permasalahan yang penulis

tetapkan dalam analisis jurnal penelitian ini adalah Bagaimana pengaruh WHO Surgical Safety

Checklist terhadap komplikasi post operasi?

C. Tujuan

Tujuan dari laporan ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari surgical safety checklist

terhadap komplikasi post operasi.

D. Manfaat

1. Bagi Pasien

Untuk pencegahan terjadinya komplikasi pada pasien yang dilakukan tindakan

pembedahan.

2. Bagi Perawat Bedah

Memberikan informasi mengenai penerapan dan manfaat dari surgical safety

checklist dalam suatu proses pembedahan sehingga dapat dilakukan koreksi apabila tidak

sesuai dan dilakukan peningkatan untuk perawatan bedah.

3. Bagi Mahasiswa

Mengetahui iformasi tentang penerapan surgical safety checklist dalam suatu

proses pembedahan sehingga bertambah ilmu pengetahuannya.

Page 4: Latar Belakang SSC

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pelayanan Bedah di Rumah Sakit

Pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang penting dalam pelayanan

kesehatan. Tindakan pembedahan merupakan salah satu tindakan medis yang bertujuan untuk

menyelamatkan nyawa, mencegah kecacatan dan komplikasi (Haynes, et al. 2009). Menurut

Brunner & Sudarth (2010), pembedahan dapat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Bedah Mayor

Bedah mayor merupakan pembedahan yang relatif lebih sulit untuk dilakukan dari

pada pembedahan minor, membutuhkan waktu, dan melibatkan resiko terhadap nyawa

pasien, dan memerlukan bantuan asisten seperti contoh bedah sesar, mammektomi, bedah

torak, bedah otak.

b. Bedah Minor

Bedah minor merupakan pembedahan yang secara relatif dilakukan secara simple,

tidak memiliki risiko terhadap nyawa pasien dan tidak memerlukan bantuan asisten untuk

melakukannya seperti contoh membuka abses superficial, pembersihan luka, inokuasi,

superfisial neuroktomi dan tenotomi.

c. Bedah Emergency

Bedah emergency merupakan pembedahan yang dilakukan darurat, tidak boleh

ditunda dan membutuhkan perhatian segera (gangguan mungkin mengancam jiwa) seperti

contoh luka bakar sangat luas, perdarahan hebat. D

d. Bedah Elektif

Bedah elektif merupakan pembedahan yang dilakukan ketika diperlukan dan kalau

tidak dilakukan juga tidak terlalu membahayakan nyawa. Contoh: hernia sederhana,

perbaikan vaginal.

Page 5: Latar Belakang SSC

Brunner & Sudarth (2010), membagi tingkat luka operasi menjadi luka operasi bersih, luka

operasi bersih terkontaminasi, luka operasi terkontaminasi dan luka operasi kotor. Klasifikasi ini

mempermudah untuk memprediksikan tingkat infeksi luka setelah operasi.

a. Luka Operasi Bersih

Luka operasi bersih mempunyai kriteria elektif, tidak emergency, kasus non trauma,

tertutup secara primer, tidak ada peradangan akut, tidak ada kesalahan pada teknik aseptik,

tidak ada luka tembus ke sistem pernafasan, pencernaa, empedu, saluran kencing dan

kelamin. B

b. Luka Operasi Bersih Terkontaminasi

Luka operasi bersih terkontaminasi mempunyai kriteria darurat namun tidak

emergency atau luka bersih, pembedahan elektif sistem pernafasan, pencernaa, saluran

kemih, tidak termasuk pembukaan saluran empedu yang terinfeksi, kesalahan minor dalam

metode aseptik.

c. Luka Operasi Terkontaminasi

Luka operasi terkontaminasi mempunyai kriteria peradangan non purulen, luka ke

dalam empedu atau saluran kencing yang terinfeksi, kesalahan mayor pada teknik aseptik,

luka tembus kurang dari 4 jam. Luka terbuka kronis yang akan ditutup.

d. Luka Operasi Kotor

Luka operasi kotor mempunyai kriteria peradangan yang purulen (abses), perforasi

saluran pernafasan preoperatif, pencernaa, empedu dan luka tembeus selama 4 jam.

Menurut Cahyono (2008), untuk merancang sistem yang aman dalam tindakan

pembedahan, diperlukan beberapa hal yaitu:

a. Lingkungan Kerja

Lingkungan operasi harus memenuhi persyaratan agar tidak terjadinya

KTD. Lingkungan kerja yang memenuhi persyaratan misalnya tenang, sinar, AC,

sterilitas ruangan, terbebas dari interupsi seperti adanya panggilan atau telpon,

ketersediaan dan pemeliharaan peralatan, kualitas dan kuantitas staf serta beban

kerja staf.

b. Tim Bedah

Page 6: Latar Belakang SSC

Tim bedah harus mempunyai keterampilan, pengalaman kerja dan

komunikasi verbal dan tertulis sesama anggota tim. Tim bedah harus mempunyai

kondisi fisik dan psikologis yang baik (tidak lelah, stres) sehingga kejadian

komplikasi atau kejadian tidak diinginkan (KTD) tidak terjadi.

c. Proses dan Prosedur

Rangkaian tindakan pembedahan merupakan hal yang sangat penting.

Untuk mencegah terjadinya kejadian tidak diinginkan (KTD) pada prosedur dan

proses pembedahan harus dilakukan verifikasi checklist tempat operasi, prosedur

perhitungan instrumen operasi (kasa, gunting), adanya pedoman praktek klinis yang

evidence-based, penilaian operatif dan standarisasi prosedur anestesi dan bedah

d. Individu

Individu yang bertugas pada proses pembedahan adalah individu yang

memiliki pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan dan keterampilan seorang

petugas bedah sangat penting untuk mencegah adanya komplikasi dan kematian

pada pasien. Petugas bedah harus sehat fisik dan mental, bersertifikasi, lisensi dan

terakreditasi.

2. Keselamatan Pasien Operasi

a. Pengertian Keselamatan Pasien Operasi

Menurut Cahyono (2008), patient safety (keselamatan pasien) secara sederhana

dapat diartikan sebagai pemberian layanan yang tidak mencederai atau merugikan

pasien. Selanjutnya, Pasal 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/Menkes/Per/ VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan

bahwa keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit

membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan

pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk

meminimalkantimbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh

kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

seharusnya diambil.

Page 7: Latar Belakang SSC

Pasal 7 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan

bahwa setiap rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien, yang meliputi:

(1) hak pasien; (2) mendidik pasien dan keluarga; (3) keselamatan pasien dalam

kesinambungan pelayanan; (4) penggunaan metode peningkatan kinerja untuk

melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pada pasien; (5) peran

kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien; (6) mendidik staf tentang

keselamatan pasien; (7) komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai

keselamatan pasien

Selanjutnya Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1691/Menkes/Per/VIII/2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit menyebutkan

bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan pemenuhan sasaran keselamatan pasien

yang meliputi 6 sasaran, yaitu: (1) ketepatan identifikasi pasien; (2) peningkatan

komunikasi yang efektif; (3) peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai; (4)

kepastian tepat-lokasi, tepat-prosedur, tepat-pasien operasi; (5) pengurangan risiko

infeksi terkait pelayanan kesehatan; dan (6) pengurangan risiko pasien jatuh.

Berkaitan dengan keselamatan pasien operasi, Cahyono (2008) menyebutkan bahwa

keselamatan pasien operasi merupakan pemberian layanan pembedahan yang aman dan

berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak mencederai atau merugikan

pasien.

3. Waktu dan Cara Pelaksanaan Keselamatan Pasien Operasi

Telah dipaparkan sebelumnya bahwa keselamatan pasien operasi merupakan pemberian

layanan pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien di ruang operasi dengan tidak

mencederai atau merugikan pasien. Dalam hal pembedahan dilakukan oleh tim profesional yang

terdiri dari dokter bedah, dokter anestesi, perawat, dan tenaga lainnnya yang diperlukan. Tim

bedah harus konsisten melakukan pembedahan dengan baik mulai dari the briefing phase, the time

out phase, the debriefing phase sehingga dapat meminimalkan setiap risiko yang tidak diinginkan.

Keselamatan pasien operasi dilakukan melalui 3 tahap, masingmasing sesuai dengan alur

waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in), sebelum insisi kulit (time out) dan sebelum

mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out).

Page 8: Latar Belakang SSC

a) Pada fase sign in sebelum induksi anestesi dilakukan pemeriksaan apakah identitas

pasien telah dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan

dioperasi telah ditandai, persetujuan untuk operasi telah diberikan, oksimeter pulse

pada pasien berfungsi. Selain itu dilakukan konfirmasi faktor resiko pasien, apakah

pasien ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi, dan

sebagainya

b) Pada fase time out setiap anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran

masing-masing. Tim operasi memastikan bahwa semua orang di ruang operasi

saling kenal. Sebelum melakukan sayatan pertama pada kulit tim mengkonfirmasi

dengan suara yang keras mereka melakukan operasi yang benar, pada pasien yang

benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik profilaksis telah diberikan

dalam 60 menit sebelumnya.

c) Pada fase sign out tim bedah akan meninjau operasi yang telah dilakukan.

Dilakukan pengecekan kelengkapan spons, penghitungan instrumen, pemberian

label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain yang perlu ditangani.

Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan memusatkan

perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan

pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008)

4. Surgical Patient Safety Checklist

a. Pengertian Surgical Safety Checklist

Surgical Safety Checklist adalah sebuah daftar periksa untuk memberikan

pembedahan yang aman dan berkualitas pada pasien. Surgical Safety Checklist

merupakan alat komunikasi untuk keselamatan pasien yang digunakan oleh tim

profesional di ruang operasi (Safety & Compliance, 2012)

b. Manfaat Surgical Safety Checklist

1) Mengurangi Kejadian yang tidak diharapkan (KTD)

Surgical Safety Checklist disusun untuk membantu tim bedah untuk

mengurangi angka kejadian yang tidak diharapkan (KTD). Banyaknya kejadian

tidak diinginkan (KTD) yang terjadi akibat pembedahan mengakibatkan WHO

membuat program surgical safety checklist untuk mengurangi kejadian tidak

Page 9: Latar Belakang SSC

diinginkan (KTD). Dalam praktiknya surgical safety checklist bermanfaat untuk

mengurangi angka kematian dan komplikasi, beberapa penelitian menunjukkan

angka kematian dan komplikasi berkurang setelah digunakan surgical safety

checklist.

Penelitian Haynes menunjukkan angka kematian berkurang dari 1,5%

menjadi 0,8% dan angka komplikasi berkurang dari 11% menjadi 7,0% (Haynes, et

al. 2009). Penelitian Latonsky menghasilkan hal yang serupa bahwa jika Surgical

Safety Checklist dilaksanakan secara konsisten maka angka kematian mengalami

penurunan dari 1,5% menjadi 0,8% dan angka komplikasi turun dari 11% menjadi

7% (Latonsky, et al., 2010).

2) Menurunkan surgical site infection dan mengurangi risiko kehilangan darah lebih dari

500 ml.

Penelitian Weiser menunjukkan angka infeksi luka operasi (ILO) mengalami

penurunan setelah dilakukan penelitian dengan menggunakan SSCL. Angka ILO

turun dari 11,2% menjadi 6,6% dan risiko kehilangan darah lebih dari 500 ml turun

dari 20,2% menjadi 13,2% (Weizer, et al. 2008).

3) Menurunkan proporsi pasien yang tidak menerima antibotik sampai insisi kulit

Vries pada penelitian tentang “a Surgical Patient Safety System” menghasilkan

penerapan Surgical Patient Safety System pra operasi menghasilkan waktu yang

lebih lama dari 23,9-29,9 menjadi 32,9 menit, akan tetapi jumlah pasien yang tidak

menerimaantibiotik sampai insisi kulit menurun sebesar 6% (Depkes RI, 2006).

4) Fungsi yang paling umum adalah menyediakan informasi yang detail mengenai kasus

yang sedang dikerjakan, korfimasi detail, penyuaraan fokus diskusi dan kemudian

pembentukan tim (Depkes RI, 2006).

5) Penggunaan checklist kertas

merupakan salah satu solusi karena checklist kertas dapat disediakan dengan

cepat dan membutuhkan biaya sedikit, selain itu checklist kertas juga dapat

disesuaikan ukuran dan bentuknya sesuai dengan kebutuhan serta tidak memerlukan

penguasaan teknologi yang tinggi untuk mengisinya (Depkes RI, 2008).

c. Implementasi Surgical Safety

Page 10: Latar Belakang SSC

Checklist Surgical safety checklist di kamar operasi digunakan melalui 3 tahap,

masing-masing sesuai dengan alur waktu yaitu sebelum induksi anestesi (sign in). Sebelum

insisi kulit (time out) dan sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (sign out)

(Haynes, et al. 2009). Implementasi SurgIcal Safaty Checklist memerlukán seorang

koordinator yang bertanggung jawab untuk memeriksa checklis. Koordinator biasanya

seorang perawat, dokter atau profesional kesehatan lainnya yang terlibat dalam operasi.

Surgical Safety Checklist dibagi tiga tahap yaitu sebelum induksi anestesi (Sign In),

periode setelah induksi dan sebelum bedah sayatan (Time Out), serta periode selama atau

segera setelah penutupan luka sebelum mengeluarkan pasien dari kamar operasi (Sign Out).

Pada setiap fase, koordinator checklist harus diizinkan untuk mengkonfirmasi bahwa tim

telah menyelesaikan tugasnya sebelum melakukan kegiatan lebih lanjut Fase Sign In sebelum

induksi anestesi koordinator secara verbal memeriksa apakah identitas pasien delah

dikonfirmasi, prosedur dan sisi operasi sudah benar, sisi yang akan dioperasi telah ditandai,

persetujuan untuk operasi telah diberikan oksimeter pulse pada pasien berfungsi.

Koordinator dengan profesional anestesi mengkonfirmasi resiko pasien apakah pasien

ada risiko kehilangan darah, kesulitan jalan nafas, reaksi alergi. Fase Time Out setiap

anggota tim operasi memperkenalkan diri dan peran masing-masing. Tim operasi

memastikan bahwa semua orang di ruang operasi saling kenal. Sebelum melakukan sayatan

pertama pada kulit tim mengkonfirmasi dengan suara yang keras mereka melakukan operasi

yang benar, pada pasien yang benar. Mereka juga mengkonfirmasi bahwa antibiotik

profilaksis telah diberikan dalam 60 menit sebelumnya. Fase Sign Out tim bedah akan

meninjau operasi yang telah dilakukan. Dilakukan pengecekan kelengkapan spons,

penghitungan instrumen, pemberian label pada spesimen, kerusakan alat atau masalah lain

yang perlu ditangani. Langkah akhir yang dilakukan tim bedah adalah rencana kunci dan

memusatkan perhatian pada manajemen post operasi serta pemulihan sebelum memindahkan

pasien dari kamar operasi (Surgery & Lives, 2008).

Page 11: Latar Belakang SSC

1) Sebelum induksi anestesi (Sign In) Perawat melakukan sign in di ruang serah terima

sebelum pasien masuk kamar operasi. Langkah-langkah Surgical Safety Checklist

sebagai berikut:

a. Perawat mengkonfirmasi kepada pasien mengenai identitas, sisi yang akan

dioperasi, prosedur dan persetujuan tindakan di ruang serah terima instalasi.

Setelah konfirmasi lengkap maka pasien masuk ruang operasi untuk konfirmasi

tahapan berikutnya. Langkah ini sangat penting dilakukan untuk mencegah

terjadinya operasi pada pasien yang salah, sisi yang salah dan prosedur.

b. Sisi yang akan dioperasi sudah ditandai Pada item pemberian sisi pada pasien yang

akan dioperasi koordinator checklist harus mengkonfirmasikan bahwa ahli bedah

melakukan operasi telah menandai sisi yang akan dilakukan pembedahan.

c. Obat dan mesin anestesi telah diperiksa secara lengkap Koordinator meminta

dokter anestesi memeriksa peralatan anestesi, sistem pernafasan (oksigen dan

inhalansi) apakah berfungsi dengan baik serta memeriksa ketersediaan obat

sebelum melakukan induksi anestesi.

d. Pulse oksimetri pada pasien berfungsi Koordinator checklist menegaskan sebelum

induksi anestesi bahwa oksimeter pulse telah dipasang pada pasien dan berfungsi

Page 12: Latar Belakang SSC

dengan baik. Bila dimungkinkan sebuah sistem suara digunakan untuk

mengingatkan tim bedah tentang denyut nadi dan saturasi oksigen oksimetri. Pulse

oksimetri direkomendasikan oleh WHO sebagai komponen penting dalam

pemberian anesetesi.

e. Apakah pasien memiliki alergi Koordinator checklist menanyakan 2 pertanyaan

pada anestesi profesional. Pertanyaan pertama koordinator checklist menanyakan

apakah pasien mengalami alergi yang telah diketahui anestesi, kemudian sebutkan

jenis alerginya, hal ini dilakukan untuk mengkonfirmasi bahwa anestesi

mengetahui adanya alergi yang akan menimbulkan risiko pada pasien. Jika

koordinator mengetahui bahwa anestesi tidak tahu ada alergi maka informasi ini

harus dikomunikasi.

f. Apakah pasien memiliki risiko aspirasi Dokter anestesi akan menulis kesulitan

jalan nafas pada status sehingga pada tahapan Sign In tim bedah dapat

mengetahuinya dan mengantisipasi pemakaian jenis anestesi yang digunakan.

Risiko aspirasi divevaluasi sebagai bagian dari penilaian jalan nafas. Jika pasien

memiliki gejala refluks aktif atau perut penuh, dokter anestesi harus

mempersiapkan untuk kemungkinan aspirasi. Risiko ini dapat dikurangi dengan

memodifikasi rencana anestesi, misalnya menggunakan teknik induksi cepat dan

dengan bantuan asisten memberikan tekanan krikoid selama induksi untuk

mengantisipasi risiko aspirasi pasien dipuasakan 6 jam sebelum operasi.

g. Apakah pasien memiliki risiko kehiliangan darah lebih dari 500 ml? Kehilangan

darah merupakan salah satu bahaya yang paling umu dan penting bagi pasien. Syok

hipovelemik meningkat ketika darah mengalami kekurangan lebih dari 500 ml (7

mil/ kg pada anak). Pasien yang mempunyai risiko kehilangan darah lebih dari 500

ml dipersiapkan darah sehari sebelum dilakukan operasi. Dokter anestesi akan

mempersiapkan infus 2 jalur atau kateter vena sentral dan tim harus

mengkonfirmasikan ketersediaan darah untuk resusitasi. Untuk meningkatkan

keamanan kehilangan darah harus ditinjau kembali oleh dokter bedah pada waktu

time out.

Page 13: Latar Belakang SSC

2) Sebelum Insisi Kulit (Time Out) Tindakan hening sejenak dengan melakukan doa

bersama dilakukan semua anggota tim bedah sebelum membuat insisi.

a. Konfirmasi identitas tim bedah

Konfirmasi tim bedah dengan cara tim bedah memperkenalkan diri dan

peranannya masing-masing karena anggota tim operasi sering berubah.

b. Dokter, anetesi dan perawat mengkonfirmasi secara lisan pasien, sisi operasi dan

prosedur pembedahan.

Sebelum melakukan tindakan operasi, operator memastikan identitas pasien.

Secara lisan anggota tim mengkonfirmasi nama pasien, sisi operasi, telah menandai

sisi yang di operasi. Sebagai contoh, perawat secara lisan mari kita Time Out dan

kemudian melanjutkan apakah semua orang setuju bahwa ini adalah X pasien,

mengalami Hernia Inguinal kanan. Jika pasien tidak dibius maka pasien dapat

mengkonfirmasi hal yang sama. Hal ini dilakukan untuk memastikan tim bedah

tidak melakukan salah sisi pada pasien.

c. Antisipasi peristiwa kritis

Komponen yang penting dalam operasi adalah mengantisipasi keadaan yang

membahayakan, komunikasi tim yang efektif, kerja tim yang efisiensi dan

pencegahan komplikasi.

d. Dokter review: apa langkah kritis, durasi operasi dan kehilangan darah diantisipasi?

Diskusi langkah-langkah kritis yang dilakukan untuk meminimalkan risiko

pembedahan. Semua anggota tim mendapat informasi dari dokter. Risiko kehilangan

darah yang cepat, cidera atau morbiditas untuk meninjau langkah-langkah yang

memrukan peralatan khusus. Sebelum dilakukan operasi pasien dan anggota

keluarga diberitahukan risiko tindakan dan kemungkinan perubahan prosedur

tindakan.

e. Anaesthesia team reviews: are there any patient-specific concerns? Anggota tim

anestesi memperhatikan penyakit penyerta pasien.

Tim anestesi harus memperhatikan rencana tindakan untuk resusitasi,

penggunaan darah pada pasien yang berisiko kehilangan darah besar, ketidakstabilan

hemodinamik atau lainnya.

Page 14: Latar Belakang SSC

f. Nursing team reviews: has sterility (including indicator results) been confirmed? Are

there equipment issues oe\r any concerns?

Perawat menanyakan kepada dokter bedah mengenai alat-alat yang

diperlukan sehingga perawat memastikan istrumen di kamar operasi telah steril dan

lengkap.

g. Apakah antibiotik profilaksis telah diberikan 60 menit terakhir.

Anggota tim yang bertanggung jawab pada pemberian antibiotik profilaksis

adalah dokter anestesi (WHO, 2009). Jika antibiotik diberikan lebih dari 60 menint

sebelumnya maka tim bedah harus mempertimbangkan pemberian antibiotik ulang

pada pasien.

h. Ahli bedah akan memastikan pemeriksaan penunjang berupa foto apakah perlu

ditampilkan di kamar operasi.

Dokter bedah memberi keputusan apakah foto penunjang diperlukan dalam

pelaksaan operasi atau tidak. Jika foto penunjang diperlukan tapi tidak ada maka

harus diperoleh.

3) Sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi (Sign Out)

a. Procedure Recorded Koordinator checklist mengkonfirmasi pada dokter bedah dan

tim apakah prosedur atau sebagai konfirmasi “kami melakukan prosedur X, benar?”

b. Penghitungan instrumen, jarum dan kasa

Perawat instrumen memberitahukan secara lisan kepada tim mengenai

kelengkapan instrumen, jika jumlah tidak tepat maka anggota tim memeriksa di

lipatan kain operasi dan jika perlu memeriksa di tempat sampah.

c. Jika ada spesimen harus dilakukan pelabelan

Pelabelan sangat penting dilakukan, hal ini dilakukan untuk diagnostik

spesimen patologi. Perawat sirkuler dan dokter bedah membuat label dengan cara

membuat label pada spesimen yang diperoleh selama prosedur operasi dengan

membuat pengantar patologi dan menggambarkan bentuk dan ciri specimen

d. Are there any equipment problems to be addressed?

Page 15: Latar Belakang SSC

Apakah ada masalah peralatan di kamar operasi yang bersifat universal

sehingga koordinator harus mengidentifikasi peralatan yang bermasalah sehingga

dapat ditangani.

e. Surgeon, Anaesthesia Professional And Nurse Review

The Key Concerns For Recovery And Management Of This Patient Pada

tahap akhir, sebelum mengeluarkan pasien dari ruang operasi. Dokter bedah,

anestesi dan perawat harus memperhatikan rencana pemulihan pasca operasi.

Sebelum pasien dikeluarkan dari ruang operasi anggota tim melakukan pemeriksaan

keselamatan, saat pasien dipindahkan dari ruang operasi maka anggota tim bedah

memberikan informasi tentang pasien kepada perawat yang bertanggung jawab di

ruang pemulihan. Tujuan dari langkah ini adalah efisiensi dan tepat trasfer informasi

penting untuk seluruh tim (Surgery & Lives, 2008).

Page 16: Latar Belakang SSC

BAB III

ANALISIS JURNAL

A. IdentitasJurnal

Judul : Systematic review and meta-analysis of the effect of the World Health

Organization surgical safety checklist on postoperative complications

Penulis : Rose Seavey, Seavey Healthcare Consulting, LLC, Arvada, CO

Penerbit : British Journal Surgery Society Ltd

Tahun Terbit : 2014

B. LATAR BELAKANG

Secara Keseluruhan, kejadian buruk di rumah sakit terjadi sekitar 10%, dimana ¾

dari kejadian tersebut terkait dengan proses operasi. Dengan tujuan meningkatkan

keselamatan pasien saat operasi, sebuah checklist telah dikembangkan oleh World Health

Organisasi (WHO), mirip dengan yang digunakan dalam penerbangan, aeronautika dan

produk manufaktur yang disebut dengan Surgical Safety Checklist (SSC).

Surgical Safety Checklist (SSC) terdiri dari 19 item dan digunakan di tiga

perioperatif kritis saat: induksi, insisi dan sebelum pasien meninggalkan ruang operasi. Item

tersebut mengandung konfirmasi lisan oleh tim bedah dengan melengkapi beberapa langkah

kunci untuk memastikan pengiriman yang aman pada anestesi, profilaksis. Tujuan dari

tinjauan ini adalah untuk menilai efektivitas dari WHO SSC. Sasaran pertama adalah untuk

menilai efek dari SSC pada komplikasi pasca operasi dan kematian terkait dengan

implementasinya, kedua adalah untuk menilai hubungan antara hasil klinis dan kepatuhan

terhadap SSC.

C. Metode

a) Sumber data

Pencarian data dilakukan melalui The Cochrane Library, MEDLINE, Embase and

Cumulative Index to Nursing and Allied Health Literature (CINAHL) dilakukan secara

sistematis untuk semua publikasi sampai Februari 2013. Pencarian menggunakan istilah

pencarian sesuai The following medical subject heading (MeSH) dan menggunakan kata

Page 17: Latar Belakang SSC

kunci baik kata kunci tunggal maupun dalam kombinasi : 'pascaoperasi’ ‘complication

'[MESH],' Checklist '[MESH],' postoperative complication’, prevention and

control'[MESH].

Strategi pencarian MEDLINE (Lampiran S1, pendukung informasi) yang

disesuaikan dengan kamus database lain. Ini didampingi oleh permintaan-checklist tertentu

dengan menggunakan kata kunci berikut: prevention and control [MESH], ‘Risk

Management’ [MESH], 'Checklist' [MESH]. Selain itu, bibliografi artikel juga dicari untuk

artikel yang relevan. Selama penyusunan naskah, strategi MEDLINE adalah berkonsultasi

setiap minggu untuk mengidentifikasi potensi publikasi yang relevan terbaru. Penelitian

yang belum jelas atau abu-abu tidak dianggap.

b) Pemilihan Penelitian

Kriteria Inklusi :

Penelitian menggunakan bahasa inggris

. Desain penelitian yang digunakan adalah:

- randomized clinical trials,

- non-randomized controlled trials,

- controlled before–after penelitianes, interrupted time series (ITS)

- repeated-measures penelitianes..

penelitian kuantitatif yang berhubungan dengan dampak dari WHO SSC pada

komplikasi pasca operasi, termasuk kematian pasca operasi,

Kriteria Ekslusi :

Penelitian dieklsusikan jika yang diteliti hanya masalah tertentu atau komplikasi

tertentu saja, seperti yang hanya berfokus pada efektivitas site marking pada operasi

.

c) Ekstraksi data

Setelah melakukan penghapusan duplikat, pilihan pertama referensi dibuat

berdasarkan judul dan abstrak. Jurnal yang terpilih untuk direview teks secara lengkap

discreening sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Dua rewiewer independen

melakukan ekstraksi data dan penilaian kritis termasuk penelitian, jika ada perbedaan

pendapat dapat diselesaikan oleh reviewer ketiga. Tempat penelitian, desain, pemilihan dan

Page 18: Latar Belakang SSC

bias dari pengukuran, dasar dari pengukuran hasil dan karakteristik, risiko kontaminasi,

analisis data, hasil pelaporan selektif, risiko lainnya dari bias, dan isu-isu yang berkaitan

dengan generalisasi dan keberlanjutan selanjutnya diekstraksi dan dicatat. Pengkajian untuk

risiko bias dan penilaian kritis dilakukan menggunakan the Cochrane Collaboration’s

Effective Practice and Organisation of Care Group guidelines

d) Sintesis data dan analisis

Data dianalisis dengan menggunakan R (bahasa dan lingkungan untuk komputasi

statistik). Semua melaporkan nilai P dari dua sisi; P <0,050 dianggap untuk menunjukkan

signifikansi pada statistik. Komplikasi pasca operasi yang dibahas setidaknya ada dalam

dua penelitian yang dimasukkan dalam narasi sintesis. Meta analisis dilakukan untuk

mengukur tiga hasil dari pasien yang utama, yaitu : terjadinya komplikasi pasca operasi,

Infeksi pada area bedah/Surgical Site Infection (SSI) dan kematian. Jika dalam artikel

penelitian tersedia data lebih dari satu situs, data dari situs individu digunakan untuk

mengatasi efek agregat, data pelaporan serta membatasi dalam penelitian heterogenitas.

Rasio risiko (RR) dengan kepercayaan 95% (ci) dihitung sebagai perkiraan dari

efek dengan menggunakan model random-efek, seperti yang diusulkan oleh DerSimonian

dan Laird. Heterogenitas hasil penelitian dinilai menggunakan uji Cochran Q dan uji

Higgins I. P <0,100. Pada uji Cochran Q dan nilai I2 jika >50% dianggap menunjukkan

heterogenitas yang signifikan. Koefisien Yule’s Q contingency itu digunakan sebagai

pengukur dari hubungan antara efektivitas dan kepatuhan. Yule’s Q contingency adalah

transformasi rasio odds (OR) yang dirancang untuk hal yang bervariasi, tidak dari 0 hingga

tak terbatas dengan 1 menunjukkan tidak berpengaruh, tapi dari -1 sampai +1 dengan 0

menunjukkan tidak berpengaruh, karena Korelasi Pearson. Secara konseptual, ini adalah

jumlah pasang dalam persetujuan (ad) dikurangi jumlah yang tidak setuju (Bc) dibagi

dengan jumlah total pasangan observations.

Efektivitas WHO SSC ditunjukkan oleh variabel biner yang menunjukkan

terjadinya RR yang signifikan untuk komplikasi. Semua penulis meninjau langkah-langkah

kepatuhan. Secara individual dan ditentukan apakah kepatuhan yang adekuat dalam

menggunakan SSC bisa diharapkan. Kepatuhan yang adekuat didefinisikan sebagai

kepatuhan terhadap langkah-langkah yang disediakan untuk setidaknya 90 % dari semua

Page 19: Latar Belakang SSC

pasien. Setelah ini penilaian individu, pertemuan konsensus diadakan pada masing masing

situs, di mana consensus atau mufakat merupakan yang dicari dalam kasus ketidaksetujuan.

Sepanjang prosedur ini penulis membutakan hasil dan referensi penelitian. Perjanjian di

antara penulis mengenai interpretasi mereka pada kepatuhan checklist dinilai

menggunakan κ Fleiss '. hasil dari Keputusan dinyatakan sebagai variabel biner yang

mewakili ada atau tidak adanya kepatuhan yang adekuat terhadap WHO SSC.

D. HASIL

Secara total, 723 artikel yang berpotensi relevan dipertahankan. Setelah pengkajian dan

penilaian secara kritis dari judul dan abstrak, sembilan artikel dipilih untuk evaluasi teks

lengkap sementara dua penelitian diekslusikan karena tidak memenuhi kriteria inklusi. Pada

akhirnya, tujuh penelitian dipertimbangkan untuk dianalisis lebih lanjut. Satu penelitian

dikeluarkan dari meta-analisis karena merupakan reanalysis dari sub-kohort pasien yang

menjalani operasi non-elektif dan telah dilaporkan dalam penelitian lain (Gbr. 1).

E. Included Studies

Page 20: Latar Belakang SSC

1. Haynes, et al

Penelitian ini menilai efektivitas WHO SSC di delapan rumah sakit di seluruh dunia

yang dilakukan antara bulan oktober tahun 2007 dan September 2008. Penelitian ini,

menggunakan desain ITS (Interrupted Time Series), termasuk pasien berusia 16 tahun

atau lebih tua yang menjalani operasi non-jantung. Setelah eksplorasi pertama pada

pengukuran awal, masing-masing institusi menerima umpan balik tentang kekurangan

yang telah diidentifikasi dan kemudian diminta untuk melaksanakan WHO SSC.

Checklist telah diperkenalkan ke ruang operasi selama lebih sari 1 minggu sampai 1

bulan. Untuk memfasilitasi pelaksanaan, checklist diterjemahkan ke bahasa lokal dan

disesuaikan agar sesuai ke dalam proses perawatan di masing-masing instituti. Sebuah

tim penelitian local mendedikasikan sebagai pemandu dalam pengenalan checklist untuk

staf. Efektivitas diukur sebagai pengurangan dalam komplikasi utama, termasuk

kematian, selama pasca operasi di rumah sakit (sampai 30 hari) atau sampai debit rumah

sakit. Weiser melakukan analisis ulang dari sebuah sub-sampel pada pasien dewasa

yang menjalani operasi mendesak, noncardiac operasi. Subsampel yang diambil dari data

yang digunakan oleh Haynes dan colleagues

2. Sewell et al.

Page 21: Latar Belakang SSC

Penelitian ini mengevaluasi penggunaan WHO SSC sebelum dan setelah

pelaksanaan program pendidikan di satu rumah sakit di UK. Penelitian ini, menggunakan

desain ITS pada trauma dan bedah ortopedi. Program pendidikan yang dirancang untuk

meningkatkan penggunaan checklist, yang terdiri dari langkah-langkah berikut: Format

SSC ditempatkan di ruang operasi sehingga anggota staf bisa menjadi lebih familiar dengan

penggunaan SSC; pelatihan wajib menggunakan video yang telah diproduksi, merinci cara

yang benar untuk memenuhi checklist; dan sesi pendidikan yang disampaikan akan

membahas penyebab utama efek samping terkait dengan operasi, dan menjelaskan

bagaimana menggunakan checklist dengan tepat. Efektivitas diukur sebagai pengurangan

dalam komplikasi utama, termasuk kematian, selama pasca operasi di rumah sakit, sampai

30 hari atau sampai debit rumah saki

3. Askarian et al

Penelitian ini mengevaluasi efek dari WHO SSC pada tingkat morbiditas dan

mortalitas pasca operasi di sebuah rumah sakit perawatan tersier di Iran. Penelitian ini,

menggunakan desain ITS, termasuk pasien berusia minimal 16 tahun menjalani yang

bedah umum elektif. Pasien dengan stadium akhir dan immunocompromised

diekslusikan. Penilaian awal dilakukan selama 3 bulan pertama penelitian; komplikasi

pasca operasi dicatat dalam empat rumah sakit dari bangsal sampai keluar rumah sakit.

Checklist diperkenalkan selama pertemuan, dan pada paket pendidikan yang berisi

checklist dan disertai buku pedoman, diberikan kepada tim kamar operasi. Efektivitas

diukur sebagai penurunan komplikasi pasca operasi.

4. Van Klei et al

Van klei mengevaluasi efek dari versi disesuaikan dari WHO SSC pada kematian di

rumah sakit, dengan dampak dari hasil kepatuhan pada checklist, di sebuah rumah sakit

tersier di Belanda. Penelitian ini merupakan penelitian dengan kelompok penelitian

retrospektif yang menginklusikan semua pasien dewasa yang menjalani prosedur

pembedahan. Modifikasi WHO SSC dibuat untuk meningkatkan penerapan local yang

menghasilkan 22 item checklist. Seluruh bedah dan Tim anestesi mendiskusikan terlebih

dahulu setiap pasien yang akan dibedah, hal tersebut menggantikan SIGN IN dari WHO

SSC. Memastikan bahwa item checklist sudah tersedia untuk perawat sebelum pasien

masuk dan meninggalkan ruang operasi, terstruktur

Page 22: Latar Belakang SSC

Serah terima dilaksanakan dari bangsal ke ruang operasi, serta dari ruang operasi

ke ruang pemulihan. Informasi Pelaksanaan informasi disediakan baik pada pertemuan

rutin dan selama pertemuan tambahan dengan Seluruh staf (ahli bedah, dokter anestesi

dan perawat), di mana pentingnya checklist itu perlu ditekankan. Tambahan lagi,

checklist yang tersedia telah dibuat dalam format poster di setiap kamar operasi dan

dalam bentuk elektronik di system penjadwalan. Efektivitas diukur untuk mengurangi

adanya pengurangan jumlah kematian selama operasi dalam kurun waktu 30 hari.

5. Bliss et al

Penelitian ini mengevaluasi efek dari Asosiasi Perawat perioperatif secara comprehensif

padaSurgical Safety Checklist di fasilitas dengan 600 tempat tidur perawatan tersier dan

rumah sakit pendidikan di Amerika Serikat. Checklist ini menggabungkan amanat dari

praktek klinis yang diperlukan oleh WHO, Gabungan Komisi, dan Centers for Medicare

dan Medicaid Service. Penelitian ini menggunakan desain ITS dengan historical control

dan termasuk semua pasien berusia 18 tahun atau lebih tua yang menjalani prosedur

bedah beresiko tinggi. pelaksanaan checklist yang melibatkan tiga sesi tim berdasarkan

Program pelatihan. Staf layanan bedah diorientasikan dengan penggunaan checklist, dan

hambatan dalam penggunaan checklist yang dibahas pada sesi latihan. efektivitas adalah

dievaluasi sebagai pengurangan angka kematian 30 hari dan / atau komplikasi pasca

operasi

6. Kwok et al

Penelitian Kwok mengevaluasi efektivitas WHO SSC pada publik, universitas yang

berafiliasi umum dan rumah sakit trauma di Chisinau, Moldova, menggunakan Desain ITS.

Intervensi terdiri rumah sakit yang menggunaakan WHO SSC secara luas. Tim

Implementasi local yang dibentuk yang terdiri dari administrator rumah sakit dan

perwakilan dari bedah, anestesi dan departemen perawat. Tim Implementasi dilatih selama

empat kali menggunaan video konferensi 30-60 menit setiap minggu, dengan menggunakan

checklist dan materi pelatihan oksimetri yang dikembangkan oleh WHO, Harvard School

of Public Health, Federasi Dunia Perhimpunan of anestesi, dan Asosiasi Dokter-dokter

anestesi Britania Raya dan Irlandia.Bahan-bahan ini presentasi disertakan, manual, skenario

Page 23: Latar Belakang SSC

klinis dalam video. Data komplikasi Tiga puluh hari dikumpulkan dan akan didefinisikan

oleh the American College of Surgeons National Surgical Quality Improvement Program.

F. Risiko bias dalam Penelitian

Semua penelitian yang rentan terhadap pengganggu dan bias pada keputusan

metodologis. Semua artikel dalam review ini melaporkan hasil penelitian non-acak,

sehingga potensi bias ada . Sebagai informasi metodologis sulit untuk menemukan, banyak

pertanyaan mengenai bias dan membingungkan sehingga tidak terjawab. Potensi sumber

bias dan pembaur bisa digeneralisasi. Sumber pertama sesuai dengan checklist digunakan.

Enam penelitianes melaporkan pengukuran subkelompok indikator keselamatan yang

sesuai dengan checklist, dengan kisaran antara 0 dan 97, 3%. Semua penelitian

menunjukkan variabilitas yang sesuai diantara antara item checklist. Implementasi yang

tidak lengkap membuat sulit untuk ikut yang diukur menjadi efek pada WHO SSC sendiri.

Sumber kedua bias adalah strategi implementasi yang digunakan dalam berbagai penelitian,

sering tidak jelas, pendekatan implementasi yang digunakan, mungkin menghasilkan

berbagai tingkat kepatuhan dengan WHO SSC. Ketiga, dalam beberapa penelitian

observasi langsung digunakan untuk mengevaluasi berpotensi menyebabkan efek

Hawthorne. Pengaruh checklist digunakan pada pasca operasi komplikasi

Page 24: Latar Belakang SSC

G. Komplikasi Pacsa Operasi

Enam penelitian (Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all, Azkarian et al, Bliss et

al, Kwok et al) melaporkan data pada setiap komplikasi dalam 30 hari setelah operasi atau

sampai dikeluarkan dari rumah sakit (Tabel 1). Lima penelitian menemukan adanya

penurunan tingkat komplikasi:

a. 11, 0 menjadi 7 ,0 % (P <0 · 001) ,

b.4 menjadi 11, 7 % (P = 0 · 001) ;

c. 22, 9 menjadi 10% %(P = 0 · 03) ; ·

Page 25: Latar Belakang SSC

d. 6 menjadi 8 %(P <0 · 001)

e. 21,5 menjadi 8 ,8%(P <0 · 001)

Satu penelitian (Sewell et al) tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara

evaluasi interval (8,5 menjadi7,6 %; RR 0 · 89, 95 % ci 0 · 58-1 · 37). Meta-analisis untuk

setiap komplikasi di lima penelitian menghasilkan RR 0,59 (95 per ci 0 · 47 dengan 0 · 74;

P <0 · 001). Dengan demikian Ada heterogenitas yang signifikan (Cochran Q = 44 · 07, 11

df, P <0 · 001; I2 = 75 (95 per sen c.i. 56-86) %) (Gambar. 2)

H. Tingkat kematian

Kematian selama tiga puluh hari operasi dilaporkan dalam lima penelitian (Van

klei et al, Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all, Azkarian et al, Kwok et al) (Tabel 1).

Sebuah efek yang signifikan pada kematian ketika mengimplementasikan SSC ditemukan

dalam dua penelitian : 1, 5 menjadi 0, 8 % (P = 0 · 003) dan 3 ,7 menjadi 1, 4 % (P = 0 ·

007. Van Klei melaporkan adanya penurunan rata – rata tingkat kematian dari 3,1 sampai 2

,9 %, tapi ini tidak menunjukkan hasil yang signifikan menurut statistik (P = 0 ,19).

Setelah penyesuaian perbedaan dasar, angka kematian menurun secara signifikan

setelah checklist diimplementasikan (OR 0,85; 95% ci 0 ,73-0 ,98). Efek ini sangat terkait

dengan kepatuhan terhadap pengisian checklist; OR adalah 0,44 (0,28-0 ,70) jika checklist

diisi dengan komplit, dibandingkan dengan 1 ,09 (0 ,78-1 ,52) dan 1 ,16 (0 ,86-1 ,56) untuk

parsial dan non-kepatuhan masing-masing. Dua penelitian tidak menunjukkan penurunan

yang signifikan dalam angka kematian. Meta-analisis untuk mortalitas mengungkapkan

bahwa di empat penelitian, RR untuk mortalitas dengan penggunaan WHO SSC adalah 0,

77 (0 ,60-0 ,98; P = 0 ,035), tanpa heterogenitas signifikan (Q Cochran = 13, 15, P = 0,

216; I2 = 24 (0-62) %) (Gambar. 3).

Page 26: Latar Belakang SSC

I. Surgical Site Infection (SSI)

SSI dilaporkan dalam enam penelitian (Haynes et al, Weisel et all, Sewell, et all,

Azkarian et al, Bliss et al, Kwok et al (Tabel 1). Tiga penelitian melaporkan penurunan

signifikan dalam implementasi SSC: Haynes et al melaporkan dari 6 ,2 sampai 3, 4 %(P

<0, 001) ; Weisell et al melaporkan adanya penurunan dari 11,2 menjadi 6, 6 % (P <, 001)

dan Kwok et al melaporkan adanya penurunan 14, 9 menjadi 4 ,7 % (P <0 · 001). Penelitian

lainnya tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam SSI setelah SSC

diimplementasikan: Sewell et al melaporkan 4 ,4 menjadi 3 ,5%, Axkaran et al melaporkan

dari 10 ,4 menjadi5 ,3 %(P = 0, 1) dan Bliss et al melaporkan 6 ,2 menjadi 5 % (P = 0 ·

845) Meta-analisis menunjukkan bahwa lima penelitian RR untuk SSI dengan penggunaan

WHO SSC adalah 0 , 57 (95 % ci 0 · 41-0 · 79; P <0 · 001) yang merupKn heterogenitas

signifikan (Cochran Q = 41 · 74, 11 d.f., P <0 · 001; I2 = 74 (53-85) %) (Gambar. 4)

J. Blood loss

Dua penelitian (Weiser et al dan Bliss et all) melaporkan kehilangan darah. Dalam

artikel oleh Weiser, proporsi pasien yang diperkirakan kehilangan darah lebih dari 500 ml

menurun dari 20 ,3 menjadi 13 ,3 % (P <0 · 001). Bliss et al tidak menunjukkan perbedaan

Page 27: Latar Belakang SSC

yang signifikan dalam %tase yang membutuhkan transfusi untuk perdarahan (6 ·,1 sampai 5·,

5 %;P = 0 · 392)

K. Unplanned Return To Recovery Theater

Tiga penelitian (Haynes et al, Sewell et al, Kwok et al) melaporkan rincian tentang

pasien yang kembali ke ruang operasi padahal tidak direncanakan. Dalam penelitian

Haynes tingkat pengembalian turun dari 2,4 menjadi 1,8 % (P = 0,047), Sewell

melaporkan tingkat pengembalian yang tidak direncanakan kembali ke ruang operasi

setelah 1% prosedur di kedua audit. Kwok melaporkan bahwa tingkat pengembalian yang

tidak direncanakan menurun dari 1 ,9 menjadi 1 5% (P = 0,151).

L. Pneumonia

Pneumonia atau infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang dilaporkan dalam lima

penelitian, satu penelitian melaporkan perbedaan yang signifikan pada penurunan tingkat

pneumonia, dari 4 ,7 menjadi 2, 6 % (P <0 · 001). Sedangkan penelitian yang lain melaporkan

tidak adanya perbedaan yang signifikan 1, 1 berbanding 1,3 % (P = 0, 46; 2,1 menjadi 2 ,5 %,

7, 6 menjadi 3 ,3 % (P = 0 ·,1) dan 2 ,4 menjadi 0 % (P = 0, 362)

.

Page 28: Latar Belakang SSC

M. Hubungan antara checklist kepatuhan dan efektivitas

Enam penelitian mengukur kepatuhan dengan SSC (Haynes et al, Weiser et al, Sewell et

al, Azkarian et al,Bliss et al, Kwok et al). Lima penelitian melaporkan kepatuhan terhadap

subkelompok pada six safety measure sebagai indikator kepatuhan terhadap checklist. Satu

penelitian (Kwok et al ) menggunakan subset dari five safety measure sebagai indicator

kepatuhan checklist (untuk rincian lihat Tabel S1, mendukung informasi). Sebuah RR yang

signifikan dalam penggunaan WHO SSC, ditemukan di enam dari 12 lokasi (Gambar. 2). dalam

Kelompok ini, empat melaporkan kepatuhan yang adekuat terhadap penilaian keamanan,. Dari

lima situs dengan kepatuhan yang adekuat, empat menunjukkan penurunan yang signifikan pada

komplikasi pascaoperasi. Sebaliknya, dua dari tujuh lokasi pelaporan kepatuhan yang tidak

adekuat menunjukkan penurunan yang signifikan komplikasi pasca operasi. Hasil ini

menunjukkan sebuah korelasi antara penurunan yang signifikan dalam komplikasi pascaoperasi

dan kepatuhan yang adekuat untuk melaporkan safety measure (Q = 0 · 82, P = 0 · 042)

N. Diskusi

Hasil meta-analisis ini menunjukkan bahwa WHO SSC mengurangi komplikasi pasca

operasi, termasuk mortalitas. Meta-analisis menunjukkan pengaruh yang signifikan dari

checklist pada komplikasi (RR 0 ,9, 95% c.i. 0, 47 menjadi 0 ,74), mortalitas (RR 0, 77,

0 ,60 menjadi 0, 98) dan SSI (RR 0 · 57, 0 · 41-0 menjadi 0, 79). Penelitian ini juga

menyarankan bahwa lokasi dengan kepatuhan adekuat dengan aspek perawatan dalam

checklist lebih mungkin untuk menunjukkan penurunan yang signifikan dalam komplikasi

pasca operasi. Analisis yang dikumpulkan menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam

komplikasi pasca operasi setelah WHO SSC diimplementasikan. Namun, terdapat

variabilitas efek jumlah dalam penelitian.

Variasi menjadi lebih jelas ketika penelitian Haynes dianalisis di tingkat lokasi (Tabel

1). Bahkan ketika metode pelaksanaan yang seragam digunakan (seperti yang diasumsikan

dalam penelitian Haynes), variasi kepatuhan dan hasil yang diamati. Sangat mungkin bahwa

Metode pelaksanaan memberikan dampak, tetapi bukan satu - satunya penentu. Haynes

menunjukkan bahwa peningkatan hasil pasca operasi dikaitkan dengan peningkatan persepsi

kerja sama tim dan keselamatan iklim antara responden, menunjukkan bahwa perubahan

aspek ini mungkin sebagian bertanggung jawab atas efek checklist.

Page 29: Latar Belakang SSC

Penelitian ini menyoroti bahwa evaluasi dari sebuah tim dengan carra mengisi checklist

secara komplit, yang diukur dengan kepatuhan, sama pentingnya dengan mengevaluasi

outcomes. Administrator rumah sakit, para pemimpin pelaksanaan dan peneliti perlu untuk

mengukur dan melaporkan sesuai dengan checklist dalam hubungan dengan hasil klinis.

Diperlukan untuk metode yang direproduksi dalam mengukur kepatuhan yang

membutuhkan pemahaman yang lebih baik tentang dampak potensial sebagai variabel

pengganggu yang mempengaruhi efisiensi checklist.

Selain itu, ada kebutuhan untuk mengidentifikasi hambatan yang merupakan kunci

meningkatkan kepatuhan terhadap SSC tersebut. Satu review lainnya telah setuju dengan

efektivitas checklist selama operasi. Tinjauan umum oleh Borchard et al tidak

mempertimbangkan WHO SSC secara eksklusif. Tinjauan ini eksklusikan karena

menggunakan SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist, yang secara konsep

berbeda dari WHO SSC. SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist adalah

checklist multidisiplin yang komprehensif dan dibagi menjadi bagian yang sesuai dengan

fase yang berbeda dari seluruh yangjalur bedah (pra operasi, operasi, pemulihan atau

perawatan intensif, dan lamanya tinggal di rumah sait pasca operasi); WHO SSC hanya

mencakup fase perioperatif. Pencantuman

Jikan SURgical PAtient Safety System (SURPASS) checklist itu dimasukkan dalam

review akan membuat metodologis salah karena mengggunakan dua instrument yang

berbeda. Penelitian ini menggunakan item kepatuhan yang dipilih secara individu untuk

pengukuran danuntuk menjelaskan variasi dalam efektivitas antara situs. Hanya satu

penelitian yang menunjukkan hubungan antara kepatuhan dengan WHO SSC dan

pengurangan komplikasi pasca operasi. Dalam penelitiannya van Klei juga menunjukkan

penurunan mortalitas yang terkait dengan tingkat kelengkapan SSC

Temuan ini harus ditinterpretasikan dalam konteks penelitian dan keterbatasan.

Beberapa elemen bias dan pembuat rancu mungkin harus dipertimbangkan. Pertama,

metodologis, klinis dan heterogenitas statistik antara penelitian mungkin menghambat

meta-analisis. Sebagai hasil dari berbagaiisu-isu metodologis dan kurangnya informasi

secara rinci mengenai implementasi dan kepatuhan, meta-regresi tidak dapat dilakukan

untuk menjelaskan statistic heterogenitas. Kedua, karena tingkat kematian yang relative

Page 30: Latar Belakang SSC

rendah, beberapa penelitian kurang bersemangat dan seakan tidak mampu mendeteksi

perbedaan potensial dalam mortalitas.

Ketiga, jumlah dari manfaat ditemukan di penelitian dengan kualitas rendah

ini.Keempat, mengingat kohort yang dipelajari berbeda, pasien anak yang tidak diteliti.

Akhirnya,nterpretasi sesuai dengan SSC didasarkan pada kepatuhan terhadap subkelompok

langkah-langkah keamanan. Ini adalah Perbedaan penting sebagai langkah-langkah yang

dan merupakan kepatuhan terhadap aspek tertentu dari perawatan tdalam WHO checklist.

checklistlengkap mungkin mempunyai fungsi dengan cara yang berbeda untuk masing-

masing item. Penelitian menekankan pentingnyaFungsi tim dan komunikasi yang

digunakan checklist, Faktor tidak termasuk yang diukur dalam kepatuhan penelitian

Kepatuhan dengan subkelompok keselamatan tindakan tidak selalu berarti

penggunaan yang tepat dari checklist. Bukti yang tersedia adalah mendukung pengurangan

komplikasi pasca operasi dan kematian dengan diimplementasikannya WHO SSC, tetapi

tidak dapat dianggap sebagai definitif tanpa adanya penelitian berkualitas tinggi.

Pengurangan komplikasi pasca operasi berkorelasi dengan kepatuhan terhadap aspek

perawatan di WHO SSC.

O. Disclosure

Para penulis menyatakan tidak ada konflik yang penting

Page 31: Latar Belakang SSC

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil penelitian ini sangat direkomendasikan untuk pengurangan komplikasi pasca

operasi dan kematian setelah pelaksanaan WHO SSC, tetapi tidak dapat dianggap sebagai

definitif dengan tidak adanya penelitian berkualitas tinggi

2. Fungsi tim dan komunikasi yang digunakan dalam checklist serta kepatuhan dalam

pengisian WHO SSC juga mendukung pengurangan komplikasi pasca operasi dan

kematian

B. Saran

1. Bagi Mahasiswa

Terus mencari literatur terbaru tentang Surgical Safety Checklist dan mempelajarinya

2. Bagi Tenaga Kesehatan

Menerapkan cara-cara pengisian Surgical Safety Checklist sesuai aturan yang ada secara

komplit

3. Bagi Instansi

Dari hasil penelitian ini, dapat berfungsi sebagai acuan kebijakan dalam melakukan

monitoring urgical Safety Checklist secara rutin.

C. Implikasi Keperawatan

1. Perawat sebagai edukator

Dari hasil penelitian terbaru mengenai manfaat pengisian Surgical Safety Checklist dapat

sharing dengan rekan sejawat, baik sesama perawat maupun dengan staf,

2. Perawat sebagai advokat

Perawat dapat memeriksa apakah pengisian Surgical Safety Checklist sudah sesuai

3. Perawat sebagai peneliti

Melakukan penelitian mengenai Surgical Safety Checklist dengan variable yang berbeda.

4. Perawat sebagai klinisi

Page 32: Latar Belakang SSC

Perawat dalam perannya sebagai tim operasi harus memperhatikan semua hal terutama

pengisian Surgical Safety Checklit secara lengkap.

Page 33: Latar Belakang SSC

Daftar Pustaka

Askarian M, Kouchak F, Palenik CJ. Effect of surgical safety checklists on postoperative

morbidity and mortality rates, Shiraz, Faghihy Hospital, a 1-year study. Qual Manag Health

Care 2011; 20: 293–297.

Bliss LA, Ross-Richardson CB, Sanzari LJ, Shapiro DS, Lukianoff AE, Bernstein BA et al. Thirty-

day outcomes support implementation of a surgical safety checklist. J Am Coll Surg 2012;

215: 766–776.

Haynes AB, Weiser TG, Berry WR, Lipsitz SR, Breizat AH, Dellinger EP et al. A surgical safety

checklist to reduce morbidity and mortality in a global population. N Engl J Med 2009;

360: 491–499. 1

Kwok AC, Funk LM, Baltaga R, Lipsitz SR, Merry AF, Dziekan G et al. Implementation of the

World Health Organization surgical safety checklist, including introduction of pulse

oximetry, in a resource-limited setting. Ann Surg 2012; 257: 633–639

Sewell M, Adebibe M, Jayakumar P, Jowett C, Kong K, Vemulapalli K et al. Use of the WHO

surgical safety checklist in trauma and orthopaedic patients. Int Orthop 2011; 35: 897–901.

Weiser TG, Haynes AB, Dziekan G, Berry WR, Lipsitz SR, Gawande AA; Safe Surgery Saves

Lives Investigators and Study Group. Effect of a 19-item surgical safety checklist during

urgent operations in a global patient population. Ann Surg 2010; 251: 976–980.

Page 34: Latar Belakang SSC

Hasri, Eva Tirtabayu. 2012. Praktik Keselamatan Pasien Bedah di RSUD X. Tesis. Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta

1. Weiser TG, Regenbogen SE, Thompson KD, Haynes AB, Lipsitz SR, Berry WR, et al. An estimation of the

global volume of surgery: a modelling strategy based on available data. Lancet 2008;372(9633):139 44. 2.‐

WHO. Safe surgery saves lives, 2008.

. Haynes AB, Weiser TG, Berry WR, Lipsitz SR, Breizat AH, Dellinger EP, et al. A surgical safety checklist to

reduce morbidity and mortality in a global population. N Engl J Med 2009;360(5):491 9‐

Page 35: Latar Belakang SSC