Upload
handri-tea
View
27
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Demam berdarah atau demam berdarah dengue adalah penyakit febril akut yang
ditemukan di daerah tropis, dengan penyebaran geografis yang mirip dengan malaria.
Demam berdarah dengue pada negara-negara tropis, umumnya meningkat pada musim
penghujan di mana banyak terdapat genangan air bersih yang menjadi tempat
berkembang biak nyamuk Aedes aegypty. Penyakit Demam Berdarah Dengue merupakan
salah satu penyakit menular yang berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu
singkat bila tidak segera ditangani. Umumnya wabah demam berdarah kembali
meningkat menjelang awal musim kemarau di daerah perkotaan. (Suroso & Umar 1999).
Wabah Dengue pertama kali ditemukan di dunia tahun 1635 di Kepulauan Karibia
dan selama abad 18, 19 dan awal abad 20, wabah penyakit yang menyerupai Dengue telah
digambarkan secara global di daerah tropis dan beriklim sedang. Penyakit DBD di Asia
Tenggara ditemukan pertama kali di Manila tahun 1954 dan Bangkok tahun 1958
(Soegijanto S., Sustini F, 2004). Demam Berdarah Dengue dilaporkan menjadi epidemi di
Hanoi (1958), Malaysia (1962-1964), Saigon (1965), dan Calcutta (1963) (Soedarmo,
2002).
DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya tahun 1968, tetapi
konfirmasi virologis baru diperoleh tahun 1970. Kasus pertama di Jakarta dilaporkan
tahun 1968, diikuti laporan dari Bandung (1972) dan Yogyakarta (1972) (Soedarmo,
2002). Epidemi pertama di luar Jawa dilaporkan tahun 1972 di Sumatera Barat dan
Lampung, disusul Riau, Sulawesi Utara, dan Bali (1973), serta Kalimantan Selatan dan
Nusa Tenggara Barat (1974). DBD telah menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia sejak
tahun 1997 dan telah terjangkit di daerah pedesaan (Suroso T, 1999).
Jumlah kasus DBD di Indonesia tahun 2007 mencapai 140.000 kasus dan 1.380
orang meninggal, dengan CFR (Case Fatality Rate) sebesar 0,98%. Selama tahun 2008,
kasus DBD menurun menjadi 137.469 kasus dan jumlah kematian sebanyak 1187 kasus
(CFR 0.86%). Tahun 2009 terdapat 77.489 kasus DBD, angka kematian mencapai 585
orang dengan CFR sebesar 0,76%. (Rita Kusriastuti, 2009)
Berdasarkan data dari Depkes RI pada tahun 2010, jumlah kasus DBD di
Indonesia dari Januari s/d Maret 2010 sebanyak 14.875 kasus, dengan angka kematian
167 orang dengan CFR sebesar 1,13%.
Walaupun jumlah CFR menurun secara signifikan, angka kematian di beberapa
propinsi masih tetap lebih dari 1%. Hal ini berarti bahwa beberapa kabupaten/kota belum
mencapai target nasional CFR, yaitu <1%. (Rita Kusriastuti, 2009)
Berdasarkan pada situasi di atas, WHO menetapkan Indonesia sebagai salah satu
negara hiperendemik dengan jumlah propinsi yang terkena DBD sebanyak 32 propinsi
dari 33 propinsi di Indonesia dan 355 kabupaten/kota dari 444 kota terkena DBD. Hal ini
berarti setiap hari dilaporkan terdapat sebanyak 380 kasus DBD, dan 1-2 orang meninggal
setiap harinya. (Rita Kusriastuti, 2009)
Penyakit DBD di Propinsi Bali pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 di
Kabupaten Badung dan selanjutnya menyebar ke daerah kabupaten lainnya. Daerah Kota
Denpasar mempunyai kasus DBD paling tinggi diantara daerah kabupaten lainnya.
Jumlah kasus dari tahun 2004 sampai dengan 2007 cenderung meningkat, dengan jumlah
kematian paling tinggi terjadi pada tahun 2006 sebanyak 22 orang (CFR:0,73%) dan
Incidence rate (IR) : 505,1 per 100.000 penduduk. Hal tersebut disebabkan karena
mobilitas penduduk dan arus urbanisasi yang tak terkendali, perubahan iklim yang
cenderung menambah jumlah habitat vektor, infrastruktur penyediaan air bersih yang
tidak memadai serta kurangnya peran masyarakat dalam pengendalian DBD. (Gede
Suarta; Retna Siwi Fadmawati; Lutfan Lazuardi. 2009). Demam berdarah dengue di
RSUD kabupaten Badung pada tahun 2008 sebanyak 360 orang atau 11.62%.
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wangaya, Kota Denpasar, hingga kini
mencatat 288 pasien terjangkit DBD. Dinas Kesehatan Bali menetapkan seluruh
Kabupaten/kota di Bali telah menjadi wilayah endemis penularan Demam Berdarah
Dengue (DBD). Penetapan status endemis DBD pada 9 kabupaten/kota di Bali ini
berdasarkan trend kemunculan kasus DBD secara rutin selama 3 tahun berturut turut.
(Berita Bali, 2010)
Berdasarkan data dari Depkes RI, penderita DBD di Bali sampai dengan bulan
Maret 2010 sebanyak 2.175 orang dengan penderita yang meninggal dunia sebanyak 9
orang dengan CFR sebesar 0,41%. Dibandingkan dengan kejadian pada bulan Januari s/d
Maret 2009, maka terjadi peningkatan kejadian DBD, dimana pada bulan Januari s/d
Maret 2009, terdapat penderita DBD sebanyak 1443 orang dengan jumlah penderita yang
meninggal dunia sebanyak 2 orang dengan CFR sebesar 0,15%. (Depkes RI, 2010)
Berdasarkan data dari Puskesmas Kecamatan Kuta Utara, jumlah penderita DBD
di Kecamatan Kuta Utara, pada tahun 2008, tercatat sebanyak 289 kasus demam
berdarah. Tahun 2009, tercatat sebanyak 257 kasus, dan pada tahun 2010 (sampai dengan
bulan April 2010), tercatat sebanyak 101 kasus. Desa Kerobokan Kelod, pada tahun 2009
tercatat 43 kasus, dan desa ini menempati urutan ketiga di Kecamatan Kuta Utara. Angka
Bebas Jentik (ABJ) di Desa Kerobokan Kelod pada tahun 2009 yaitu 87,5% yang mana
masih di bawah target, yang seharusnya lebih dari 95%. Hal ini menunjukkan bahwa
kepadatan jentik Aedes aegypti masih tinggi.
Hasil penerapan/survei COMBI dalam PSN-DBD pada tahun 2009 di 5 Kota
(Kota Bogor, Kota Bekasi, Depok, Batam dan Mataram) menunjukkan bahwa masih
ditemukannya jentik Aedes aegypti di tempat-tempat penampungan air (TPA) seperti; bak
mandi, drum, tempayan, ember dan non TPA seperti; alas pot bunga/kembang, ban
bekas, dll, ABJ sebesar 80,60%. Hal ini disebabkan peran serta masyarakat dalam
melakukan PSN-3M belum menjadi kebiasaan sehari-hari dan masyarakat belum
menganggap penting kegiatan tersebut. Hasil survei juga menunjukkan pengetahuan
tentang penyakit DBD, vektor dan PSN: Baik sebesar 69,2% dan Rendah sebesar 30,8%.
Sikap terhadap pencegahan DBD melalui PSN: Baik sebesar 51,6% dan Rendah sebesar
48,4%. Perilaku terhadap pencegahan DBD melalui PSN: Baik sebesar 62,8% dan
Rendah sebesar 37,2%. Kontainer potensial dengan prosentase jentik terbesar, adalah:
Drum (18,06%) diikuti Bak mandi (11,46%) dan Tempayan (7,19%). Media penyuluhan
yang paling disukai: TV, dengan materi penyuluhan tentang pencegahan dan penyuluh
dari dari tenaga kesehatan. (Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan
Lingkungan, 2009)
Berdasarkan hasil Survei COMBI (Communication for Behavioral Impact) yang
dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Jogjakarta di daerah yang endemis DBD, yaitu di
Kelurahan Warungboto, dan Kelurahan Sorosutan pada tahun 2009, bahwa tempat
penampungan air (TPA) yang ditutup masih terdapat jentik nyamuk, sebanyak 3.98%.
Tempat penampungan air yang dikuras seminggu sekali masih bisa mengandung jentik,
sebanyak 5,86%. Tempat penampungan air yang ditaburi abate, masih terdapat jentik,
sebanyak 4,08%. Tempat penampungan air yang ada ikannya, bebas jentik. (Depkes RI
Dirjen Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan 2009)
Pemberantasan jentik dapat dilakukan dengan cara fisik, kimia, dan biologi. Cara
fisik, dikenal dengan 3M (Menguras tempat penampungan air, menutup rapat tempat
penampungan air, dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi genangan air),
cara kimia dengan cara larvasidasi yaitu menaburkan abate (Temephos 1% SG) di tempat
penampungan air, dan cara biologi dengan cara memelihara ikan pemakan jentik.
Air yang telah diberi larvasida dengan takaran yang benar (1 ppm/ 10 gram / ± 1
sendok makan rata untuk tiap 100 liter air), tidak membahayakan dan tetap aman bila air
itu diminum karena dosis penggunaan sangat rendah serta telah terdaftar di Dep.
Kesehatan RI dengan No. PD 0702000044 dan Komisi Pestisida No. RI 96/6-2002/T.
Penggunaannya juga telah direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Internasional atau
WHO (Technical Report Series No. 513.1973) sehingga keamanannya terjamin bagi
manusia dan binatang peliharaan. Berdasarkan penelitian Pusat Penelitian Ekologi
Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI,
temephos atau abate 1G pada dosis terendah dapat menyebabkan kematian larva hingga
78,6% dan secara kumulatif pada dosis terbesar 832mg/m, dapat membunuh larva hingga
100%. (Amrul Munif, 2007)
Menurut Utomo Sukotjo, Koordinator Tempat-tempat Umum (TTU) Suku Dinas
Kesehatan Jakarta Timur, dalam Tempo Interaktif (2005), ternyata ikan cupang tidak
hanya bermanfaat untuk sekedar hobi, tetapi ikan cupang pun dapat membantu
memberantas demam berdarah. Ikan cupang dapat memakan sampai 50 jentik per hari.
Ikan cupang dapat ditempatkan di toples atau di bak mandi dengan harapan nyamuk akan
bertelur disana, begitu telurnya menetas, ikan cupang akan memakannya. Tahun lalu,
Suku Dinas Kesehatan Jakarta Timur sudah membagikan 2000 ikan cupang ke sepuluh
kecamatan dan sudah mensosialisasikannya kepada warga bersamaan dengan PSN
(pemberantasan sarang nyamuk). Menurut Utomo, ini adalah upaya untuk merangsang
kemandirian warga agar terus berusaha memberantas jentik nyamuk demam berdarah.
(Tempo Interaktif, 2004)
Memutus mata rantai penyebaran DBD, harus dimulai dari jentik, sedangkan
fogging atau pengasapan adalah langkah terakhir dan hanya bisa membasmi nyamuk
dewasa. Masyarakat lebih percaya bila dengan fogging dapat langsung menurunkan
jumlah vektor DBD, padahal masih ada telur dan jentiknya yang masih dapat tumbuh dan
berkembang menjadi nyamuk dewasa. Oleh karena itu, pemberantasan jentik sangat
diperlukan untuk mencegah telur dan jentik berkembang menjadi nyamuk dewasa yang
akan nantinya akan menjadi vektor penular DBD. Pemberantasan jentik memerlukan
tindakan yang terus-menerus, dan kerjasama dari seluruh pihak agar pemberantasan jentik
ini efektif untuk menurunkan jumlah vektor penular DBD.
Berdasarkan survei awal dengan wawancara yang dilakukan terhadap ibu rumah
tangga di Kelurahan Kerobokan Kelod, menunjukkan perilaku keluarga (bapak, ibu, anak,
dan anggota keluarga yang lain) dalam pemberantasan jentik masih kurang. Hal ini
ditunjukkan bahwa sebagian besar keluarga belum melaksanakan pemberantasan jentik
dengan benar dan terus-menerus. Perilaku yang masih kurang mendukung tersebut diduga
ikut berperan terhadap terjadinya DBD. Survei awal dilakukan pada ibu rumah tangga
karena diasumsikan bahwa ibu rumah tangga mengetahui keadaan kesehatan anggota
keluarganya dan memiliki perilaku yang mewakili keluarganya dalam kaitannya dengan
masalah DBD. Perilaku masyarakat mempunyai peranan cukup penting terhadap
penularan DBD. Namun perilaku tersebut harus didukung oleh pengetahuan, sikap, dan
tindakan yang benar sehingga dapat diterapkan dengan benar.
Sekarang ini masih ada anggapan berkembang di masyarakat yang menunjukan
perilaku yang tidak sesuai, seperti adanya anggapan bahwa DBD hanya terjadi di daerah
kumuh dan PSN hasilnya kurang begitu kelihatan bila dibandingkan dengan fogging.
Anggapan seperti ini sering diabaikan, padahal anggapan ini sangat berpengaruh terhadap
perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan khususnya terhadap penularan DBD
(Zuiraini, 2005).
Melihat hal tersebut, peneliti merasa masih perlu dilakukan penelitian tentang
Hubungan Pengetahuan, Sikap, Dan Perilaku Keluarga Dalam Pemberantasan Jentik
Dengan Kejadian DBD di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung,
Bali
B. PERUMUSAN MASALAH
Kegiatan pemberantasan jentik di Indonesia belum berjalan dengan optimal yang
dibuktikan dengan Angka Bebas Jentik (ABJ) yang belum sesuai standar nasional, yaitu
harus lebih dari 95%. Dibuktikan juga dengan kejadian DBD yang selalu meningkat
setiap tahunnya. Propinsi Bali merupakan salah satu propinsi dengan angka kejadian
DBD yang tinggi, yang terlihat dari angka kejadian DBD yang selalu meningkat selama 3
tahun terakhir. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Bali, pada tahun 2010 jumlah
kasus DBD di Bali selama 3 bulan terakhir (Januari-Maret) mencapai 1.500 kasus dan 9
orang diantaranya meninggal dunia.
Kabupaten Badung termasuk salah satu kabupaten yang tinggi angka kejadian
DBD. yaitu sebanyak 1337 kasus pada tahun 2009 dari 9 kabupaten yang terdapat di Bali.
(Dinkes Kabupaten Badung, 2009)
Kecamatan Kuta Utara merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Badung
yang termasuk tinggi angka kejadian DBD, yang dibuktikan dengan angka bebas jentik
(ABJ) pada tahun 2009 sebesar 92,11% dan jumlah kasus DBD sebanyak 101 kasus
selama bulan Januari – April tahun 2010. Pemberantasan jentik dengan metode 3M belum
dilakukan dengan optimal di Kelurahan Kerobokan Kelod, yang mana dibuktikan dengan
angka bebas jentik pada tahun 2009 sebesar 87,5% dan jumlah kasus DBD sebanyak 55
kasus selama tahun 2008, 43 kasus selama tahun 2009, dan 26 kasus selama bulan
Januari-April 2010. (Puskesmas Kecamatan Kuta Utara, 2010)
Tingginya angka kejadian DBB dan angka bebas jentik yang masih di bawah
standar nasional, yaitu > 95% merupakan bukti bahwa pemberantasan jentik dengan
metode 3M belum dilaksanakan secara optimal di masing-masing keluarga di Kelurahan
Kerobokan Kelod. Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti merasa masih perlu
dilakukan penelitian yang berhubungan dengan kejadian DBD terkait dengan
pengetahuan, sikap, dan perilaku pemberantasan jentik di Kelurahan Kerobokan Kelod,
Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali.
C. PERTANYAAN PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di
atas, maka dapat dibuat pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Apakah karakteristik individu (usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan)
mempengaruhi kejadian DBD di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta
Utara, Badung, Bali ?
2. Bagaimana perilaku keluarga (ayah, atau ibu, atau anak) dalam pemberantasan jentik
di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali?
3. Apakah terdapat hubungan antara perilaku keluarga dalam pemberantasan jentik
dengan kejadian DBD di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, Bali ?
D. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
perilaku keluarga dalam pemberantasan jentik dengan kejadian DBD di Kelurahan
Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung Bali.
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya informasi tentang karakteristik individu (usia, jenis kelamin, tingkat
pendidikan, pekerjaan ayah/ibu/anak) di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan
Kuta Utara, Badung, Bali.
b. Diperolehnya informasi tentang tingkat pengetahuan keluarga (ayah/ibu/anak)
dalam pemberantasan jentik di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta
Utara, Badung, Bali.
c. Diperolehnya informasi tentang sikap keluarga (ayah/ibu/anak) dalam
pemberantasan jentik di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, Bali.
d. Diperolehnya informasi tentang perilaku keluarga (ayah/ibu/anak) dalam
pemberantasan jentik di Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara,
Badung, Bali.
E. MANFAAT PENELITIAN
1. Dinas Kesehatan
Sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya bagi Dinas Kesehatan
Kabupaten Badung dalam penentuan arah kebijakan program penanggulangan
penyakit khususnya DBD.
2. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan melalui
pemberian pendidikan kesehatan dan pelaksanaan kegiatan pemberantasan jentik
kepada masyarakat untuk mengurangi angka kejadian DBD.
3. Bagi pendidikan keperawatan
Diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa khususnya mahasiswa
keperawatan dan staf pendidikan pada umumnya mengenai pemberantasan jentik
yaitu dengan cara fisik, kimia, dan biologi.
4. Bagi keluarga
Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat meningkatkan pemahaman
keluarga (ayah/ibu/anak) mengenai pemberantasan jentik untuk mengurangi angka
kejadian DBD.
5. Bagi peneliti
Diharapkan menjadi pengalaman belajar dalam meningkatkan pengetahuan
dan keterampilan serta menambah wawasan untuk penelitian dalam bidang kesehatan.
6. Bagi peneliti lain
Diharapkan dapat menjadi bahan kajian memberikan motivasi untuk penelitian
lebih lanjut guna mengurangi angka kejadian DBD pada masyarakat.
F. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup penelitian ini hanya membahas tentang Hubungan Pengetahuan,
Sikap, Dan Perilaku Keluarga Dalam Pemberantasan Jentik Dengan Kejadian DBD di
Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Badung, Bali.