49
Krisis intervensi Beberapa semester lalu, para siswa di kelas praktikum saya harus menangani dua kasus siswa bunuh diri; empat kecelakaan kematian baik siswa, guru, maupun orantua; satu tornado yang menghancurkan sebagian gedung sekolah, enam belas kasus penganiyaan anak yang diduga diperlakukan kasar atau diabaikan. Salah satu hal yang membuat saya benar-benar heran adalah hanya ada lima siswa di kelas, masing-masing bekerja selama 10-12 jam dalam seminggu di sekoah dasar atau menengah. Itu mengejutkan bagi saya bahwa ada banyak anak yang terkena dampak krisis di sekolah dasar maupun menengah setiap harinya. Meski pekerjaan konseling sekolah yang ideal memungkinkan konselor untuk focus pada kegiatan pencegahan dan bimbingan perkembangan, realitas memiliki cara masuk ke dalam pekerjaan konselor dalam bentuk krisis. Para konselor telah memberutahu saya bahwa mereka tidak siap untu menghadapi krisis, dan beranggapan bahwa “orang lain di sekolah akan membantu hal semacam itu-seperti kepala sekolah atau perawat atau orang lain”. Apakah benar bahwa semua anggota sekolah harus siap untuk menangani berbagai jenis krisis, seperti bekerja dengan siswa bunuh diri, anak-anak yang disalhgunakan, dimana konselor sekolah adalah orang terbaik yang terlatih dan paling tepat untuk melakukan intervensi. Jika Anda memiliki keinginan untuk menangani berbagai krisis, Anda harus bis a berbagai strategi untuk menanganinya. Bab ini akan menjelaskan :

lengakpnya konan

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: lengakpnya konan

Krisis intervensi

Beberapa semester lalu, para siswa di kelas praktikum saya harus menangani dua kasus

siswa bunuh diri; empat kecelakaan kematian baik siswa, guru, maupun orantua; satu tornado

yang menghancurkan sebagian gedung sekolah, enam belas kasus penganiyaan anak yang

diduga diperlakukan kasar atau diabaikan. Salah satu hal yang membuat saya benar-benar

heran adalah hanya ada lima siswa di kelas, masing-masing bekerja selama 10-12 jam dalam

seminggu di sekoah dasar atau menengah. Itu mengejutkan bagi saya bahwa ada banyak anak

yang terkena dampak krisis di sekolah dasar maupun menengah setiap harinya.

Meski pekerjaan konseling sekolah yang ideal memungkinkan konselor untuk focus pada

kegiatan pencegahan dan bimbingan perkembangan, realitas memiliki cara masuk ke dalam

pekerjaan konselor dalam bentuk krisis. Para konselor telah memberutahu saya bahwa mereka

tidak siap untu menghadapi krisis, dan beranggapan bahwa “orang lain di sekolah akan

membantu hal semacam itu-seperti kepala sekolah atau perawat atau orang lain”. Apakah

benar bahwa semua anggota sekolah harus siap untuk menangani berbagai jenis krisis, seperti

bekerja dengan siswa bunuh diri, anak-anak yang disalhgunakan, dimana konselor sekolah

adalah orang terbaik yang terlatih dan paling tepat untuk melakukan intervensi. Jika Anda

memiliki keinginan untuk menangani berbagai krisis, Anda harus bis a berbagai strategi untuk

menanganinya. Bab ini akan menjelaskan :

Sifat krisis dan tahapan krisis

a. Sebuah metode untuk menggunakan kegiatan bimbingan perkembangan untuk mengajarkan

anak-anak keterampilan untuk mengatasi krisis.

b. Tahapan dan strategi konseling dalam krisis intervensi

c. Teknik untuk mengembangkan rencana krisis intervensi di wilayah sekitar sekolah

d. Isu-isu khusus yang berhubungan dengan bekerja bersama dengan anak-anak bunuh diri,

individu yang mengalami kematian orang terdekatnya, dan anak-anak yang mengalami

kekerasan dan ditelantarkan.

Page 2: lengakpnya konan

Krisis teori

Krisis adalah jenis stress yang parah yang negatif dan mempengaruhi seseorang untuk

berpikir, merencanakan, dan mengatasi situasi (Alan & Anderson, 1986; Caplan, 1964; Janosik,

1983). Biasanya individu yang berada dalam krisis melalui urutan yang bias diramalkan selama

krisis:

a. Mereka mengalami pengendapan peristiwa tertentu

b. Mereka mengannggap acara sebagai ancaman dan merangsang kecemasan

c. Tanggapan mereka terhadap acara tersebut tidak teratur dan idak efektif

d. Mereka mengembangkan strategi penanganan untuk menangani situasi dan tegangan

yang dihasilkan. (Parad & Parad, 1990)

France (1990) menjelaskan 5 unsur yang menjadi karkateristik krisis :

a. Krisis yang dipicu oeh “identifikasi khusus peristiwa menjadi terlalu banyak untuk

ketrampilan mengatasi masalah individu

b. Setiap orang memiliki krisi dalam hidup mereka pada beberapa waktu, ketika mereka

merasa tidak mampu menangani situasi stress dalam hidup meraka.

c. Reaksi setiap orang berbeda-beda terhadap situasi kehidupannya. Apa yang

menyebabkan stress pada satu individu tidak menyebabkan stress pada individu lain. Ini

berarti krisis bersifat pribadi dan subjektif tergantung pada interpretasi individu terhdap

situasi dan tingkat kecemasannya, dan keterampilan menanganinya.

d. Krisis terakhir untuk periode waktu yang relative singkat. Terkadang hal ini disebabkan

oleh kenyataan bahwa individu tidak mampu menahan intensitas stress dan tingkat

ketegangan meskipun masalah tidak diatasi. Kadang-kadang karena fakta bahwa

individu memiliki tambahan motivasi untuk bekerja keras mengatasi krisi untuk

menghindari peningkatan intensitas stress.

e. Ada dua jenis krisi resolusi : adaptif, dimana individu belajar keterampilan baru dalam

mengatasi atau memecahkan masalah. Maladaptif, dimana individu menjadi semakin

lebih tidak teratur atau defensif.

Page 3: lengakpnya konan

Sulit untuk memprediksi situasi yang akan membangkitkan krisis respon dan yang tidak,

karena setiap individu memiliki keterampilan menangani yang berbeda dan berbeda persepsi

dari apa yang merupakan pengendapan peristiwa.ini penting diingat ketika bekerja dengan

anak-anak di sekolah. Seringkali anak-anak datang ke kantor konseling dipengaruhi oleh

sesuatuyang konselor anggap relative sepele atau mudah, seperti sesorang memberitahu

bahwa mereka tidak ingin menjadi teman lagi, atau karena mereka memiliki bintik-bitik, atau

orang memanggil nama mereka dengan sebutan yang tidak mereka sukai. Mungkin krisis-krisis

seperti ini tidak tidak terlihat besar bagi konselor, tetapi meraka sangat nyata dan sangat

menegangkan bagi anak-anak muda. Konselor harus menghormati persepsi anak-anak dan tidak

mengesampingkan kekerasan krisis ketika bekerja bersama mereka.

Perbedaan jenis-jenis krisis

Krisis biasanya dikelompokkan pada 3 klasifikasi utama:

a. Krisis yang berkaitan dengan biologi

b. Krisis yang berkaitan dengan ingkungan, dan

c. Krisis adventif (Parad & Parad, 1990)

Krisis yang berkaitan dengan biologi bersifat universal dan berkembang di alam.

Peristiwa pengendapan dalam jenis krisi ini berasal dari beberapa jenis perubahana biologis

atau tugas perkembangan, seperti mencapai usia sekolah atau pubertas (Alan & Anderson,

1986; Parad & Parad,1990). Karena semua anak di sekolah akhirnya menanggapi krisis

perkembangan yang normal, konselor dapata melayani mereka dengan merancang kegiatan

bimbingan untuk membantu mereka menyiapkan dan mengatasi krisis yang berhubungan

dengan biologi.

Krisis yang terkait lingkungan tidak universal, tetapi mereka sering terjadi dan member

informasi yang cukup dapat diprediksi (Parad&Parad,1990). Peristiwa pengendapan dalam jenis

krisis ini biasanya interpersonal atau situasional, seperti kematian orangtua, perceraian,

pelecehan, kepindahan, atau penyakit kronis. Konselor dapat membantu menangani anak-anak

krisis lingkungan dengan beberapa cara berbeda. Sebagai tindakan pencegahan, karena jenis

Page 4: lengakpnya konan

krisis ini banyak terjadi pada siswa sekolah dasar dan menengah, konselor dapat

menggabungkan pelajaran dengam isu-isu yang terlibat dengan krisi interpersonal dan

situasional dalam program bimbingan perkembangan mereka. Konselor dapat menggunakan

kegiatan ini untuk mengajarkan anak-anak mengatasi jenis krisi dengan strategi yang tepat.

Mereka jug abisa menawarkan konseling kelompok kecil untuk siswa yang berada dalam krisis

tertentu dari alam.

Banyak siswa yang mengalami krisis memperoleh manfaat dari mendengar pengalaman

yang sama dengan orang lain yang mengalami hal serupa. Anak-anak lain mungkin memerlukan

bantuan dan dukungan dari sesi konseling individu. Konselor dapat menawarkan konseling

individual untuk krisis intervensi tetapi mereka mungkin memilih untuk merujuk siswa yang

sedang mengalami masalah dengan konselor di luar lingkungan sekolah.

Reaksi Stres pada Anak-Anak

Sandler dan Ramsay (1980) mempelajari reaksi stress pada anak-anak. Mereka

menemukan hal yang paling membuat stress anak-anak adalah masalah kehilangan, seperti

kematian orangtua mereka, keluarga, atau teman dan kedua orangtua anak bercerai, hal ini

akan membuat anak mengalami kebingungan. Hal lainnya yang membuat anak stress adalah

adanya perubahan lingkungan, seperti kepindahan, pindah sekolah, atau orangtua yang harus

bekerja dil luar rumah. Konflik dengan keluarga, khususnya terkait disik, seperti kecelakaan,

sakit, dan kekerasan, dan adanya bencana alam yang menimbulkan kebingungan pada anak.

Parad dan Parad menjelaskan bahwa ada Sembilan reaksi khas pada situasi krisis:

1. Kebingungan. Individu yang menampilkan reaksi ini biasanya mengalami kesulitan

memahami sesuatu yang terjadi. Mereka tidak ingat bahwa mereka pernah mengalami

kecemasan pada tingkat ini sebelumnya, dan mereka tidak tahu bagaimana cara mengatasi

situasi tersebut atau reaksi mereka.

2. Bahaya. Individu yang merasa terancam akan situasi krisis berprasangka akan ada bahaya

yang datang. Mereka yakin bahwa mereka akan terluka, baik secara fisik ataupun secara

psikologis, akibat krisis tersebut.

Page 5: lengakpnya konan

3. Kebingungan. Individu yang menunjukkan reaksi bingung, memiliki kesulitan untuk

menjelaskan dan tidak dapat membuat perencanaan untuk menyelesaikan krisis yang

terjadi dan menyebabkan mereka menderita.

4. Kebuntuan. Dalam jenis reaksi menghadapi krisis ini, individu merasa terjebak dan tidak

dapat membuat strategi perencanaan alternatif. Mereka meyakini bahwa semua usaha

yang dilakukan akan gagal, dan konsekuensinya mereka akan merasa terhentikan.

5. Putus asa. Orang yang putus asa mau mencoba untuk menyelesaikan masalah, bahkan

dengan menggunakan metode yang tidak biasanya dilakukan atau tidak logis untuk

menyelesaikan suatu keadaan. Mereka mencoba “membuang: kemungkinan untuk

menyelesaikan masalah.

6. Apatis. Orang-orang yang gampang menyerah. Mereka menolak untuk mencoba membuat

perubahan atau menyelesaikan keadaaan krisis tersebut. Mereka percaya bahwa dalam

situasi ini mereka hanya bisa berharap.

7. Tidak berdaya. Orang-orang yang menunjukkan reaksi ini dalam menghadapi suatu krisis,

percaya bahwa mereka tidak dapat membantu diri mereka sendiri dan harus ada orang lain

yang datang untuk membantu mereka.

8. Urgensi. Mereka yang menunjukkan reaksi ini menginginkan jalan keluar atas

permasalahan mereka, dan mereka membutuhkannya segera. Mereka bisa menggunakan

caranya sendiri, atau mereka akan segera mencari bantuan orang lain.

9. Ketidaknyamanan. Dengan adanya perasaan tidak nyaman dalam menghadapi suatu krisis,

mereka akan merasa sengsara, mereka akan kesulitan untuk memikirkan kemungkinan

solusi yang dapat digunakan. Kecemasan tampak dalam diri mereka dalam bentuk

kegelisahan, dan ketidakmampuan dalam berkonsentrasi.

Kebanyakan orang tidak memilki reaksi murni yang tepat pada salah satu kategori

tersebut. Anak-anak di tiap sekolah mungkin akan memiliki kombinasi reaksi yang berbeda,

tergantung pada kepribadian dan keadaan. Mengetahui berbagai kemungkinan akan

membantu konselor untuk merefleksikan perasaan dan keyakinan mereka dan membantu

Page 6: lengakpnya konan

mereka untuk merumuskan pendekatan yang digunakan. Jika konselor menangani Jennifer yang

mengalami kebingunan akibat kematian kucingnya, konselor tidak boleh buru-buru menganani

duka citanya. Konselor harus sangat sabar, dan bekerja sama dengannya, membantunya

memahami perasaannya, dan menjelaskan pemikirannya. Pendekatannya akan berbeda jika

Jennifer menunjukkan reaksi urgensi dan ketidaknyamanan. Jika hal tersebut yang ditunjukkan,

konselor dapat membantunya mengatasi kesedihannya secepatnya, atau konselor dapat

mengajarinya tenteng kesabaran karena proses bersedih membutuhkan waktu. Konselor dapat

mencoba berkomunikasi dengannya bahwa konselor tahu Jennifer ingin secepatnya mengatasi

kesedihannya, namun semua itu membutuhkan waktu.

Akan sangat memmbantu jika konselor mengajarkan guru di sekolah dan orangtua anak

tentang berbagai macam reaksi dalam menghadapi krisis ini. Jika mereka dapat memahami

berbagai macam reaksi tersebut, mereka juga dapat menyesuaikan interaksinya dengan anak

untuk mengakomodir reaksi individu.

Membangun Pertimbangan

Konselor harus selalu membangun pertimbangan ketika mereka berusaha untuk

memahami reaksi seorang anak dalam menghadapi krisis. Anak-anak kecil sering kali tidak

memiliki kesadaran kognitif terhadap suatu keadaan krisis dan bertindak secara normal. Anak

yang lebih tua mungkin memiliki pemahaman intelektual tentang apa yang terjadi, tapi mereka

lebih mencoba memikirkan yang terjadi saat ini dan sekarang. Reaksi mereka biasanya

didasarkan pada kenyataan yang terjadi saat ini dan bukan pada antisipasi masalah yang

muncul. Tanggapan mereka akan tampak sama dengan tanggapan orang dewasa, namun

mereka memiliki perasaan lemah tak berdaya karena mereka memiliki lebih sedikit faktor

eksternal dibandingkan orang dewasa dalam situasi yang sama.

Fase Krisis

Setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang berbeda mengenai reaksi-reaksi

krisis berdasarkan proses dari fase krisisnya. Individu biasanya memiliki 2 dan terkadang 3 fase

Page 7: lengakpnya konan

krisis (France, 1990). Fase krisi yang pertama adalah fase pengaruh, pengalaman seseorang

terhadap suatu kejadian nyata di masa lalu yang menyebabkannya saat ini telah mencapai

tingkatan yang krisis. Biasanya akan membuat seorang individu merasa tak berdaya, panik,

frustrasi, marah, takut, depresi, atau tak dapat dikendalikan. Kejadian tersebuat akan

membekas pada diri anak baik secara fisik maupun psikis. Biasanya kejadian tersebut berupa

kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, dan lain-lain. Ciri-ciri yang akan terlihat

pada anak diantaranya adalah si anak akan bersikap sangat pendiam dan memberikan

tanggapan sangat sederhana terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Hal ini mungkin

terjadi dikarenakan ia masih merasa sangat kaget (shock) akan kejadian yang telah

menimpanya itu. Anak mungkin tidak akan sepenuhnya menyadari dampak dari kejadian

tersebut, ia tidak tahu bagaimana sebaiknya menyampaikan apa yang ia rasa atau apakah ia

hanya akan berpura-pusa persikap seperti anak-anak lain pada umumnya yang tidak mengalami

kejadian seperti yang ia alami.

Fase krisis yang kedua adalah fase peniruan (Caplan 1965; France 1990). Dalam fase ini,

individu mencoba untuk mengubah situasi atau reaksi mereka dalam situasi tertentu. Biasanya

mereka memiliki tingkat ketidaknyamanan dan kecemasan yang selalu bertambah di situasi-

situasi tertentu dan terkadang mereka akan merasa mudah putus asa dan tidak berdaya.

Keunggulan dari fase ini adalah mereka lebih memiliki banyak kesempatan untuk membuka diri

mereka dengan mencoba banyak situasi-situasi yang baru yang nantinya akan memberikan

kontribusi terhadap permasalahan yang mereka miliki. Selain itu mereka juga akan bersikap

lebih terbuka dengan masukan-masukan membangun yang diberikan orang lain. Dalam

beberapa kasus, seseorang akan terfokus pada permasalahannya dan akan mencoba untuk

mengatur dan mempelajari keterampilan yang pernah mereka terapkan saat menghadapi

masalah tersebut sementara individu lain akan mencoba untuk terfokus pada pengaturan

emosi dan mereka akan merubah perasaan mereka sesuai dengan situasi yang terjadi. Ada 2

strategi yang bisa dilakukan, strategi penyesuaian diri mempelajari untuk menerima situasi

seperti yang sudah pernah mereka alami atau strategi tak bisa menyesuaikan diriseperti

mencoba untuk menggunakan obat-obatan terlarang dan alkohol untuk menyembunyikan rasa

sakitnya. Dengan fase ini ada orang yang bisa bertahan ke jalan yang poitif untuk mengatasinya

Page 8: lengakpnya konan

dan juga ada yang menempuh jalan yang negatif. Dalam fase ini, pendekatan yang bisa dipakai

oleh konselor adalah dengan memberikan perhatian terhadap reaksi yang anak tampilkan

kepada konselor. Kesan pertama yang terucap oleh konselor akan di refleksikan pada diri anak

dan akan membantu si anak untuk bisa mengklarifikasi pemikirannya serta akan membangun

kepercayaan si anak.

Fase ketiga adalah penarikan diri (Caplan 1964; France 1990), hal ini terjadi jika

seseorang merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk membantu mengurangi rasa

sakitnya. Ada 2 dasar untuk melakukan penarikan diri, yaitu penarikan diri yang dilakukan

secara sukarela dan yang secara terpaksa. Bunuh diri, merupakan salah satu bentuk dari

penarikan diri yang dilakukan secara sukarela, dimana individu mengakhiri hidupnya atau

mencoba mengakhiri hidupnya untuk menghindari rasa sakit yang dimilikinya dalam situasi

krisis yang berkelnjutan. Penarikan diri secara terpaksa biasanya melibatkan beberapa tipe

psikologi atau disorganisasi emosi. Hal ini mungkin akan memperlihatkan beberapa gangguan

psikotis yang melibatkan gangguan kognisi, suasana hati yang tak menentu, dan gangguan

kepribadian yang lain. Konselor sekolah akan mengamati si anak dan memastikan bahwa

mereka menerima layanan konseling dan bantuan yang sesuai. Jika konselor menemukan anak

yang membutuhkan bantuan untuk mengatasi situasi krisis yang tak bisa mereka tangani

secepatnya, maka konselor harus mengatur ulang program konseling atau melakukan referral

untuk hal di luar jalur konseling.

Panduan Pendekatan Preventif untuk Situasi Krisis

Allan dan Anderson (1986) mengembangkan sebuah modul kurikulum bimbingan kelas

yang dirancang untuk mengajarkan keterampilan koping adaptif anak-anak yang dapat mereka

gunakan dalam situasi krisis. Mereka menyarankan bahwa anak-anak dapat belajar untuk lebih

cukup mengatasi dengan krisis dalam kehidupan mereka jika mereka berpartisipasi dalam

kegiatan bimbingan yang dirancang untuk mengajar mereka: (a) apa peristiwa krisis, (b) apa

jenis perasaan dan pikiran yang dihasilkan oleh suasana krisis, (c) bagaimana perasaan dan

Page 9: lengakpnya konan

pemikiran tentang peristiwa krisis yang biasanya berubah dari waktu ke waktu, dan (d) jenis-

jenis strategi mengatasi yang membantu dalam situasi krisis.

Modul Allan dan Anderson (1986) dikembangkan terdiri dari tiga pelajaran 40 menit.

Dalam pelajaran pertama, anak-anak mendefinisikan kata krisis dan membahas berbagai jenis

peristiwa traumatik. Masing-masing menarik krisis yang mungkin mempengaruhi mereka atau

beberapa anak lainnya. Dalam pelajaran kedua, siswa menulis sebuah cerita tentang krisis yang

telah mereka alami atau yang mereka tahu telah dialami seseorang. Pelajaran ketiga yang

membantu anak-anak menjelajahi perasaan sesaat dan perasaan jangka panjang tentang krisis.

Mereka juga membahas cara yang mungkin untuk mengatasi krisis dan cara untuk orangtua dan

guru untuk membantu anak-anak di saat krisis.

Model ini memiliki potensi besar sebagai alat intervensi pencegahan (preventif)

konselor sekolah. Konselor mungkin ingin mempertimbangkan untuk mengadaptasi beberapa

versi modul bimbingan ini untuk aplikasi di sekolah mereka. Seperti anak-anak di sekolah

konselor memperoleh lebih banyak keterampilan coping untuk menghadapi krisis dalam hidup

mereka, konselor akan mampu mengurangi jumlah waktu dan energi yang diperlukan untuk

membantu mereka memadamkan "api".

Intervensi Krisis di Sekolah

Sementara sekolah mungkin bukan tempat ideal untuk perspektif pengembangan

program bimbingan preventif yang komprehensif, ada banyak alasan mengapa konselor sekolah

harus mempersiapkan diri untuk memberikan layanan krisis intervensi. Konselor sekolah

biasanya memiliki kesinambungan, akses langsung ke anak-anak. Sejak terbatasnya waktu

dalam situasi krisis, beberapa kali konselor sekolah hanya orang yang tersedia dan yang dapat

bekerja dengan anak-anak selama jendela singkat (Steele & Raider, 1991). Cukup sering,

peristiwa traumatik terjadi di sekolah, yang menempatkan konselor sekolah dalam posisi untuk

memulai intervensi krisis dalam fase dampak/akibat. Hal ini memungkinkan konselor untuk

mendapatkan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang sifat dari krisis dan persepsi anak

Page 10: lengakpnya konan

dan reaksi terhadap peristiwa pengendapan. Banyak konselor sekolah mengambil pendekatan

pemecahan masalah daripada pendekatan jangka panjang wawasan berorientasi klinis, untuk

kesulitan anak-anak (Steele & Raider, 1991). Fakta bahwa orientasi ini sangat cocok untuk

intervensi situasi krisis lebih lanjut memvalidasi keterlibatan konselor sekolah dalam intervensi

krisis dengan anak-anak. Agar berhasil memberikan pelayanan intervensi krisis di sekolah,

konselor perlu mengembangkan pemahaman tentang tujuan dari intervensi krisis berbasis

sekolah dan mengeksplorasi keterampilan yang terlibat dalam intervensi dalam situasi krisis di

sekolah.

Tujuan Intervensi Krisis Berbasis Sekolah

Tujuan utama intervensi krisis di sekolah adalah untuk menggantikan perilaku

mengalahkan diri dan pikiran dan perasaan maladaptif dengan keterampilan coping yang tepat

dan efektif dan pikiran dan perasaan adaptif (Steele & Raider, 1991). Untuk melakukan hal ini,

konselor sekolah harus membantu anak-anak dan keluarga mereka mencapai empat tujuan: (a)

menyadari bahwa krisis adalah bagian normal dari kehidupan, (b) memperoleh perspektif yang

berbeda pada peristiwa pengendapan dan situasi saat ini, (c ) mengakui dan menerima

perasaan yang terkait dengan krisis dan, (d) belajar kemampuan pemecahan masalah baru.

Normalisasi Respon Krisis

Dalam membantu anak-anak dan keluarga mereka menormalkan respons mereka

terhadap situasi krisis, konselor sekolah harus membantu mereka dalam menjelaskan apa krisis

ini dan mengapa hal tersebut terjadi (Steele & Rider, 1991). Dia juga dapat membantu mereka

mengeksplorasi mengapa situasi tertentu telah melewati batas keterampilan koping yang

mereka miliki saat ini. Proses ini berfungsi untuk menormalkan reaksi anggota keluarga dan

memungkinkan mereka menyadari bahwa perilaku mereka, pikiran, dan perasaan tidak pantas

dalam situasi.

Page 11: lengakpnya konan

Sebagai contoh, Jeremy Solomon dtang kepada Ms. Lambert, konselor sekolahnya, dan

ingin bicara tentang keinginannya untuk melarikan diri dari rumah karena reaksi orangtuanya

yang memergokinya sedang merokok mariyuana di kamarnya. Ia percaya bahwa ia tidak bisa

tinggal serumah dengan mereka dan mereka tidak percaya untuk masa depannya. Pertama, Ms.

Lambert menyelidiki apa yang terjadi dalam rangka untuk menjelaskan sifat atatu kealamian

krisis. Dia kemudian meminta Jeremy untuk berbicara tentang pikiran, perasaan, dan perilaku

dan mempertimbangkan apa yang orangtuanya pikirkan dan rasakan. Ms. Lambert juga

memintanya untuk menggambarkan apa yang terjadi baik dia maupun orangtuanya dalam

situasi krisis lain di masa lalu. Tujuannya adalah untuk membantu Jeremy melihat bahwa kedua

reaksi dirinya dan reaksi orantuanya yang tidak biasa di dalam situasi ini.

Mengevaluasi Kembali Situasi Krisis

Tujuan berikutnya dalam proses intervensi krisis adalah membantu anak-anak dan

keluarga mereka untuk mengevaluasi kembali situasi krisis dan menggeser persepsi mereka

sehingga mereka "melihat situasi apa adanya, tidak lebih dan tidak kurang" (Steele & Raider,

1991, hal 11). Untuk mencapai tujuan ini, konselor meminta anak-anak dan keluarga mereka

untuk mengeksplorasi informasi baru dan untuk mempertimbangkan kembali apa yang mereka

sudah tahu tentang masalah tersebut. Konselor akan menantang penafsiran negatif atau

menganggu di dalam situasi. Dia (Lk) atau ia (Pr) mungkin menunjukkan bahwa peristiwa

pengendapan tidak menciptakan krisis, melainkan penafsiran dari peristiwa pengendapan yang

menciptakan krisis.

Melanjutkan contoh Jeremy Solomon, Ms Lambert Jeremy bertanya apa yang ada dalam

interaksi dengan orang tuanya yang membuatnya percaya bahwa dia tidak bisa tinggal di rumah

mereka lagi. Ia lebih lanjut meminta dia tentang komentar mereka menyarankan kepadanya

bahwa mereka tidak akan percaya lagi. Ms Lambert lembut tantangan distorsi kognitif Jeremy

dari percakapan dengan orang tuanya. Dia juga tertantang keyakinannya bahwa satu-satunya

solusi yang mungkin untuk masalah ini adalah baginya untuk melarikan diri. Dia menunjukkan

bahwa ada banyak alternatif tanggapan ini situasi yang dia belum dipertimbangkan.

Page 12: lengakpnya konan

Menyadari dan Menerima Perasaan

Tujuan ketiga dalam intervensi krisis di sekolah adalah pengakuan dan penerimaan

terhadap perasaan (Steele & Raider, 1991). Selain persepsi menyimpang dan kognisi, anak-anak

dan keluarga mereka juga mengalami gangguan perasaan. Sebelum mereka dapat membuat

perubahan afektif, mereka harus mengakui bahwa perasaan mereka alami adalah bagian dari

tahapan krisis dan mereka harus mengungkapkannya. Proses ini akan menghilangkan beberapa

ketegangan yang melekat dalam situasi krisis dan akan memungkinkan anak-anak dan keluarga

mereka kesempatan untuk memeriksa perasaan mereka dan membetulkan segala gangguan

yang jelas di tahapan-tahapan afektif mereka. Tujuan dari prosedur ini adalah untuk membantu

mereka memperoleh rasa kontrol atas perasaan yang mereka alami dalam menanggapi krisis.

Jeremy memiliki perasaan banyak dalam situasi tertentu. Dia merasa cemas, putus asa, marah,

malu, takut, tak berdaya, dan putus asa pada berbagai masa krisis ini. Ms Lambert

mencerminkan perasaan dan membantu dia untuk mengenali dan mengungkapkan

perasaannya, menggunakan teknik percakapan dan ekspresif seperti menggambar dan menulis,

Jeremy mulai melihat bahwa ia dapat mengontrol reaksi emosional dan bahwa ia tidak harus

membiarkan emosi mengendalikan dirinya.

Mengembangkan Keterampilan Pengentasan

Tujuan akhir dalam proses ini adalah untuk membantu anak-anak dan keluarga mereka

mengembangkan strategi pemecahan masalah yang lebih adaptif (Steele & Raider, 1991). Ini

mungkin melibatkan membantu mereka dalam mengkaji teknik mengatasi mereka sudah tahu

dan menghasilkan cara-cara menerapkannya dalam situasi krisis tertentu. Mungkin juga

melibatkan mengajarkan mereka keterampilan baru untuk mengatasi keadaan mereka saat ini.

Ms Lambert membantu Jeremy dalam mempertimbangkan mana dari strategi

penanganan yang dia sudah tahu, seperti meminta maaf, bisa membantunya mengatasi situasi

tertentu. Dia meminta dia untuk berpikir tentang bagaimana dia bisa mengadaptasi beberapa

keterampilan biasa memecahkan masalah, seperti pengaturan ide, untuk menemuka solusi

Page 13: lengakpnya konan

dengan orang tuanya. Ms Lambert mengajarkan Jeremy teknik negosiasi beberapa yang dia

percaya mungkin bisa membantunya dalam pemahaman baru dengan orang tuanya. Mereka

berlatih keterampilan ini di kantornya. Dia juga mungkin menyarankan bahwa mereka

mengundang orang tuanya ke kantor sehingga dia dapat membantu pekerjaan seluruh keluarga

pada menghadapi krisis dengan cara yang kooperatif. Keempat tujuan tersebut tidak diskrit

contoh sebelumnya mungkin menyebabkan pembaca untuk percaya. Sebagai konselor bekerja

dengan anak-anak dan keluarga mereka dalam proses intervensi krisis, mereka akan

menemukan bahwa tujuan yang berbeda dan strategi yang mereka gunakan untuk mencapai

mereka akan tumpang tindih. Konselor juga akan menemukan bahwa semua ini terjadi sangat

cepat. Karena fenomena krisis waktu terbatas, selalu ada beberapa derajat telescoping dan

memotong dalam intervensi krisis yang membuat proses yang berbeda bahwa interaksi

konseling biasa. Dalam intervensi krisis, semuanya terjadi lebih cepat dan intensif daripada

yang dilakukannya dalam situasi konseling lainnya.

Tahapan dan Strategi Konseling dalam Intervensi Krisis

Literatur tentang intervensi krisis menunjukkan bahwa intervensi krisis biasanya

mengikuti urutan logis dari tahap (Aguilera, 1990; Perancis, 1990; Steele & Raider, 1991).

Sebuah pengaturan yang sering digunakan intervensi krisis berlangsung melalui tahapan

berikut, yang menyerupai paradigma pemecahan masalah khas: (a) menilai dengan sumber

daya krisis dan pribadi, (b) meningkatkan kejelasan emosional dan pemahaman kognitif tentang

masalah, (c) menghasilkan solusi yang mungkin , (d) menentukan intervensi, (e) perencanaan

untuk pelaksanaan intervensi dan (f) perencanaan untuk evaluasi intervensi.

ASESMEN

Langkah pertama melibatkan beberapa jenis penilaian dari orang dan masalah. Selama

ini langkah pertamanya adalah konselor akan menimbulkan uraian gejolak tentang anak ke

mengarahkan dan mengikuti peristiwa dan perasaan anak tentang krisis. Konselor akan menguji

Page 14: lengakpnya konan

repertoa dari keterampilan yang berhubungan ke keadaan tertentu saat ini. Konselor juga akan

mengevaluasi kemungkinan bahaya yang akan timbul pada anak atau orang lain. Jika konselor

memutuskan bahwa anak berkeinginan bunuh diri atau berbahaya, dia perlu campur tangan

secara langsung dan mengatur untuk memastikan keselamatan anak ini. Ini akan melibatkan

pemberitahuan kepada orangtua dan apapun figur otoritas yang sesuai. Dalam hal ini juga

boleh melibatkan bantuan orangtua untuk menyusun beberapa jenis dari pengobatan atau

intervensi medis lain.

Selama proses ini, pekerjaan utama konselor adalah menganjurkan anak-anak untuk

mengatakan kepada konselor tentang perspektif mereka pada masalah, perasaan mereka, dan

rencana mereka. Keterampilan utama seorang konselor ada dua, yaitu keterampilan tentang

mendengar dan keterampilan mengklarifikasi (France, 1990). Kerap kali, orang-orang di situasi

krisis punya kesulitan mengorganisir pikiran mereka dan rasa dan/atau mengekspresikan diri

mereka sendiri, sehingga konselor mungkin perlu meminta anak-anak untuk menyediakan lebih

banyak keterangan atau untuk menolong mereka fokus pada satu aspek tertentu dari masalah.

Konselor tidak boleh melakukan pemeriksaan ke dalam hubungan antar pribadi yang dasar atau

intrapersonal dinamis dari murid. Kalau di situ adalah waktu dan jenis dari intervensi oleh

konselor sekolah, dia dapat melakukan jenis dari nasehat yang dalam pada satu waktu

kemudian, setelah titik krisis terlewati.

MEMAHAMI PERASAAN DAN PENGAMATAN

Langkah kedua dalam melibatkan bantuan adalah membantu anak menjangkau gol

dengan peningkatannya atau kemampuannya untuk memahami dan mengekspresikan pada

keadaan krisis dan mengembangkan satu pemahaman teori positif dari masalah. Konselor akan

Page 15: lengakpnya konan

menolong anak "mengambil kepemilikan" dari masalah, mengenali bagian permainan anak, dan

mengakui adanya bahwa dia akan mungkin mempunyai untuk membuat beberapa perubahan

pribadi agar memecahkan masalah (France, 1990).

Agar menolong anak memperoleh satu pemahaman yang berhasil dari kerawanan

keadaan krisis dan bagian dia memainkan di dalamnya, konselor biasanya perlu

mempergunakan keterampilan nasehat aktif, mencerminkan arti, konfrontasi, dan

pembingkaian ulang. Dia mungkin perlu menunjuk arti dasar pada pernyataan perbuatan anak.

Karena akibat kebingungan yang tidak bisa dipisahkan di keadaan krisis, anak tidak boleh

memikirkan dengan jelas, dan konselor akan menyoroti ide dan keterangan biasanya akan

menjadi jelas ke anak. Disana akan mungkin menjadi banyak pertentangan di antara anak

sedang mengatakan kepada konselor nonverbalnya, diantara pengamatan anak dan

pengamatan konselor dalam keadaan tersebut. Konselor akan mempergunakan konfrontasi

untuk menunjuk pertentangan ini sangat anak dapat lagi dengan jelas menguji masalah. Karena

anak berlimpah perasaan dan yang tidak dapat rutin menggunakan keterampilan, dia akan

mungkin melihat keadaan keseluruhan dari sisi negatif, perspektif sia-sia. Konselor mungkin

mau mempergunakan pembingkaian ulang untuk menyarankan memakai segi pandangan

berbeda. Kadang kala ini menolong mempergunakan satu sangat tinggi dilebih-lebihkan,

meskipun tidak masuk akal dan harus dibingkai ulang untuk memberikan anak satu kesempatan

untuk melihat kemungkinan penggunaan humor sebagai satu keterampilan. Konselor akan

mempunyai langsung didalam menjelaskan sifat alami krisis, akibat yang mereka punya pada

orang-orang, dan bagaimana konselor melihat koneksi di antara krisis tertentu ini dan

bagaimana ini sedang mempengaruhi anak.

MEMPERTIMBANGKAN SOLUSI

Pada langkah ketiga dari intervensi krisis, tanggung jawab primer konselor adalah untuk

menolong anak mempertimbangkan solusi potensial dan konsekuensi mungkin mereka. Ini

sering sangat menolong dalam pemecahan masalah ke dalam segmen lebih kecil. Sangat

Page 16: lengakpnya konan

sering, satu primer unsur mentalitas krisis memikirkan bahwa seluruh masalah perlu dengan

sepenuhnya diselesaikan langsung. Kalau konselor dapat secara sistematis membagi masalah

ke dalam bagian yang dapat dikendalikan, ini akan tampak kurang berlimpah ke anak dan

konselor dan anak dapat menghasilkan solusi untuk masing-masing komponen secara terpisah.

Dari masalah terbagi, konselor harus memilih yang paling bersedia menerima nasehat ke

perubahan untuk memulai pemecahan masalah mereka. Ini akan memberi anak satu rasa

sukses, yang dapat sangat mendorong anak. Ketika konselor telah memungut bagian dari

masalah dia atau dia mau menolong anak untuk mengerjakan, tiga pertanyaan berikut akan

menolong struktur pemecahan masalah (France, 1990):

1. bagaimana anak berusaha agar kepakat dengan keadaan?

2. bagaimana anak mencoba?

3. sekarang ini, apa kemungkinan lain dapat yang dapat dipikirkan anak?

Urutan pertanyaan ini menolong untuk mengorganisir proses pemecahan masalah dan

memberikan struktur untuk mengeksplorasi kemungkinan dari mekanisme meniru. Konselor

dapat mempergunakan satu strategi untuk menolong klien menghasilkan banyak kemungkinan

jawaban di pertanyaan ketiga. Di pengacuan, konselor meminta klien untuk mendaftarkan

solusi potensial tanpa evaluasi atau pemeriksaan. Konselor menulis segalanya perkataan klien,

bukan masalah apakah solusi adalah sesuai atau kemungkinan. Ini berguna untuk melihat

kreativitas pemikiran dan jalan baru untuk melihat kepada keadaan. Konselor juga boleh

menanyakan kepada anak bagaimana dia memecahkan masalah serupa di masa lalu. Kedua

pertolongan ilmu pengetahuan tentang teknik nasehat ini membangun rasa anak dari kontrol

dan keyakinan diri. Mereka mengirimkan pesan kepada konselor bahwa klien mempunyai

kapasitas untuk mengatasi masalah.

Konselor harus menghindari percobaan untuk menyelesaikan masalah anak.

Bagaimanapun, kadang kala konselor mempunyai satu ide untuk satu solusi mungkin itu anak

belum disebutkan. Ketika ini terjadi, konselor mungkin mau menambahkan ini ke daftar. France

(1990) menyarankan bahwa konselor mempergunakan satu ilmu pengetahuan tentang teknik

secara perumpamaan untuk memperkenalkan solusi tambahan ke anak. Ini akan melibatkan

perkataan seperti tentang, "Pada sekolah lainku aku mengerjakan dengan satu anak laki-laki

Page 17: lengakpnya konan

tahun keenam yang menyerang seperti tahun ketiga anak perempuan. Dia sangat pemalu, tapi

dia menggambarkan satu cara bagaimana menyelesaikannya. Inilah yang dia lakukan..."

mempergunakan cara ini, konselor dapat membuat saran ke anak tanpa meragukan solusi yang

telah dia hasilkan dan tanpa terlihat untuk mau memperbaiki masalah tanpa pertolongan anak.

Mengevaluasi Pilihan

Dalam 4 tahap proses intervensi krisis, konselor membantu klien mengevaluasi pilihan

coping potensi dan memilih salah satu yang tampak paling baik untuk menyelesaikan masalah.

Dari daftar panjang kemungkinan solusi yang ada, konselor memungkinkan untuk

mengeliminasinya. Konselor membantu klien untuk memahami manfaat dan tidak manfaatnya

dari setiap pilihan solusi.

Untuk evaluasi ini, konselor dapat menggunakan teknik reflection of feeling, clarifying,

dan confrontation. Klien masih memiliki kemungkinan untuk menolak solusi yang dihasilkan.

Oleh karena itu, konselor dapat melakukan probing untuk menguatkan komitmen klien, baru

setelah itu masuk ke tahap selanjutnya.

Aplikasi dan Evaluasi Solusi

Proses intervensi krisis memiliki waktu yang terbatas. Oleh karena itu, klien harus segera

menentukan waktu untuk mengaplikasikan solusi. Konselor dapat membantu membuat time-

table; mengajarkan solusi yang belum diketahui; praktek strategi coping, dan mendiskusikan

apakah solusinya sudah berjalan baik dan krisis selesai atau tidak.

Bekerja dengan anak yang ingin bunuh diri

Meskipun kebanyakan orang dewasa cenderung berpikir bahwa anak-anak tidak

melakukan bunuh diri, ada bukti yang menunjukkan bahwa setidaknya 200 anak-anak di bawah

Page 18: lengakpnya konan

usia 14 melakukan bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat, dan ahli menganggap ada

banyak, banyak upaya bunuh diri yang tidak dapat dipastikan (Herring , 1990; Stefanowski-

Harding, 1990). Jumlahnya terus meningkat. Sedangkan meningkatnya tingkat bunuh diri anak-

anak tingkat sekolah dasar dan tingkat menengah masih lebih sedikit dibandingkan dengan

anak-anak tingkat sekolah tinggi, mereka masih cukup tinggi menyebabkan memprihatinkan.

Konselor sekolah dasar dan sekolah menengah harus memahami faktor-faktor yang menjadi

alasan melakukan bunuh diri dan prilaku, program pencegahan melakukan bunuh diri, dan

menilai dan mengintervensi dengan siswa yang melakukan bunuh diri.

Faktor penyebab utama bunuh diri

Para peneliti telah menemukan bahwa perilaku intrapersonal, kognitif, dan kondisi

lingkungan secara signifikan berhubungan dengan perilaku bunuh diri (Blumenthal & Kupfer,

1988). Ada elemen termasuk putus asa, depresi, pyscopathology, kekakuan kognitif, stres,

sistem keluarga, strategi penanganan (Davis & Sandoval, 1991; Orbach, 1988). Individu yang

merasa putus asa dan murung sering memiliki kecenderungan untuk berpikir melakukan

tindakan bunuh diri. Banyak anak yang bunuh diri menderita gangguan psikopatologi yang

parah, terutama penyakit emosional yang diakibatkan kehilangan kontak dengan realitas.

Faktor risiko di kalangan anak-anak adalah kekakuan-kognitif kurangnya fleksibilitas dalam

berpikir bahwa individu mencegah dari mempertimbangkan pemecahan alternatif masalah dan

memberikan kontribusi pada perasaan depresi, ketidakberdayaan, dan keputusasaan.

Tekanan hidup sering memberikan kontribusi terhadap perilaku bunuh diri pada anak-

anak dan remaja. Stres yang sangat meningkatkan kemungkinan dari pikiran bunuh diri dan

masalah disekitar perilaku seksual, tekanan prestasi, bunuh diri keluarga, dan kehilangan

seseorang, seperti kematian teman-teman atau anggota keluarga. Sistem keluarga juga dapat

berfungsi sebagai faktor risiko. Karakteristik berikut dari sistem keluarga dapat meningkatkan

kemungkinan perilaku bunuh diri, permusuhan keluarga dan atau kambing hitam seorang anak

tertentu, penyakit medis dan psikiatris, tekanan ekonomi tinggi, konflik tinggi dan kohesi

Page 19: lengakpnya konan

rendah. Meskipun semua ada faktor risiko dapat berpengaruh pada keinginan bunuh diri dan

tindakan, anak-anak serta remaja yang memiliki strategi mengatasi yang efektif . Oleh karena

itu, mungkin faktor risiko yang paling penting adalah kemampuan memecahkan masalah

kemiskinan. Anak-anak dan remaja yang kurang memiliki kemampuan memecahkan masalah

rentn mengalami ketidak mampuan menghadapi tekanan intrapersonal, kognitif, dan

lingkungan negatif daripada mereka yang memiliki stategies mengatasi yang memungkinkan.

Sebagai seorang konselor sekolah, salah satu metode terbaik yang digunakan untuk

mengenali faktor risiko potensial dalam mengamati teknik mengatasi oleh siswa. Siswa yang

memiliki strategi pemecahan masalah sedikit cenderung menyerah pada salah satu faktor risiko

lainnya. Konselor dan guru di sekolah mereka perlu berhati-hati memantau siswa pada tanda-

tanda putus asa, depresi, kekakuan kognitif dan psikopatologi yang parah. Konselor harus

mendorong siswa t mendiskusikan berbagai tekanan hidup yang mereka alami dengan konselor

dan dengan guru-guru mereka sehingga baik konselor dan guru dapat mengenali para siswa

yang merasa terganggu oleh stres. Dalam berbicara dengan siswa dan orang tua mereka,

konselor mungkin ingin mendalami sistem keluarga sebagai faktor risiko yang negatif dapat

mempengaruhi anak-anak. Konselor dapat mencakup tindakan untuk semua faktor risiko dalam

kurikulum bimbingan mereka, dan mereka belajar untuk mengenali anak-anak yang berada

pada risiko lebih besar untuk perilaku bunuh diri, mereka dapat termasuk anak-anak dalam

kelompok konseling dan melihat mereka dalam sesi konseling individu.

Faktor yang menimbulkan tindakan-tindakan yang memicu krisis bunuh diri (Blumental

& Kupfer, 1988). Dengan remaja, faktor yang terjadi biasanya jatuh ke dalam empat kategori

utama, krisis disiplin, masalah dengan orang tua, pacar. (Davis & Sandoval, 1991). Sering

individu bunuh diri ingin menunjukan emosi yang ditimbulkan oleh peristiwa pengendapan.

Dengan anak-anak muda, acara dapat mempercepat karena kehilangan atau kerugian yang

akan datang, terutama disebabkan oleh kematian atau perceraian, penganiayaan anak atau

kelalaian, agresi keluarga, krisis keluarga, atau tekanan akademis (Orbach, 1988).

Para konselor, Hal utama yang dapat dilakukan untuk mencegah faktor pengendapan

yang benar-benar mendorong upaya bunuh diri adalah meningkatkan faktor protektif dengan

menyediakan layanan bimbingan dan konseling untuk para siswa di sekolah mereka. Konselor

Page 20: lengakpnya konan

tidak akan dapat benar-benar mencegah peristiwa yang paling sering terjadi, tetapi mereka

dapat memberikan anak-anak keterampilan yang mereka butuhkan untuk menangani masalah-

masalah yang terjadi. Konselor dapat merancang kegiatan bimbingan yang meningkatkan

fleksibilitas kognitif, harapan, dan keterampilan persahabatan sehingga siswa dapat

membangun sistem dukungan sosial yang kuat. Mereka dapat menyarankan bahwa guru

membangun peluang untuk meningkatkan kemampuan kognitif ke pelajaran mereka. Konselor

juga dapat terus-menerus memperlihatkan kesediaan mereka sebagai pendengar yang

mendukung, dan mereka dapat mendorong para guru di sekolah mereka untuk belajar

keterampilan mendengarkan sehingga mereka juga bisa memberikan dukungan kepada siswa.

Faktor lain konselor pelindung yang dapat mempengaruhi adalah perlakuan gangguan kejiwaan

dan gangguan kepribadian. Walaupun penyakit ini terlalu berat untuk ditangani oleh konselor

sekolah kebanyakan, mereka dapat belajar untuk mengenali gejala dan merujuk anak-anak

menderita psikopatologi serius untuk konseling dan layanan kejiwaan di masyarakat. Konselor

juga dapat meningkatkan kualitas melindungi diri sendiri dari semua siswa di sekolah mereka

dengan menyediakan program pencegahan bunuh diri secara menyeluruh.

Program Pencegahan Bunuh Diri

Kebanyakan ahli mendukung pendekatan sekolah seluruh sistem pengembangan yang

komprehensif untuk pencegahan bunuh diri (David & Sandoval, 1991; Sattem, 1991; Smaby,

Paterson, Bergmann, dkk). Sebagai upaya pencegahan yang utama, konselor sekolah harus

menyediakan program yang membantu menciptakan iklim sekolah yang positif, membahas

perkembangan emosional dan kesehatan mental siswa dan meningkatkan kesadaran siswa

tentang bunuh diri (Tierney et al, 1991). Konselor sekolah juga harus melihat siswa yang

beresiko, monitor populasi rawan bunuh diri, melibatkan rekan-rekan dalam pencegahan

bunuh diri dan meningkatkan kesadaran masyarakat sekolah tentang bunuh diri (Davis &

Sandoval, 1991).

Karena suasana di sekolah dapat mempengaruhi kesehatan mental siswa, iklim sekolah

harus positif. Interaksi antara siswa dan personil sekolah harus mendorong kepada kedua belah

pihak. Siswa harus terlibat dalam prosedur disiplin dan konsekuensi untuk masalah perilaku

Page 21: lengakpnya konan

harus logis dihubungkan dan dibandingkan dalam pelanggaran hukum. Konselor sekolah dapat

memiliki dampak yang luar biasa pada iklim sekolah dengan bertindak sebagai model peran

bagi interaksi positif dengan siswa dan memberikan umpan balik yang mendorong untuk

personil sekolah dan lainnya.

Banyak konselor sekolah telah mengembangkan program-program bimbingan yang

berfokus pada kesadaran dan pencegahan bunuh diri. Dalam merancang program kesadaran,

konselor ingin membantu siswa memahami pikiran dan perasaan mereka sendiri tentang

bunuh diri dan orang lain (Tierney et al, 1991). Seperti biasa, mereka akan ingin mengambil

tingkat perkembangan siswa ke akun mereka merancang program, menggunakan konsep dan

bahasa yang mudah dimengerti. Karena anak perlu mencurahkan perasaanya, daripada orang

dewasa, beberapa elemen essensial dari program kesadaran adalah (a) cara untuk

mengidentifikasi sinyal peringatan dari orang bunuh diri, (b) bagaimana berbicara dengan

seorang teman yang memanifestasikan ada tanda-tanda peringatan, (c) bagaimana untuk

mendapatkan bantuan teman, dan (d) sumber daya yang tersedia di masyarakat yang dapat

memberikan intervensi bagi anak-anak, remaja dan keluarga mereka (Davis & Sabdova, 1991).

Sebelum konselor menjalankan program peringatan bunuh diri terlebih dahulu

melakukan kesadaran dengan siswa, mereka mungkin akan perlu memastikan bahwa mereka

menyadari pentingnya berkomunikasi seperti stategy pencegahan kepada orang tua dan

personil sekolah lainnya. Ada banyak orang yang masih percaya mitos bahwa membahas bunuh

diri dapat menyisipkan ide bunuh diri ke dalam pikiran individu yang rentan, terutama anak-

anak (Capuzzi, 1988). Bagian dari misi konselor dalam memperkenalkan program-program

pencegahan bunuh diri ke dalam kurikulum sekolah akan pedoman untuk melawan mitos ini

dengan memberikan informasi yang akurat tentang penyebab dan informasi tentang program

guru, staf, admistrators dan orang tua (Nelson & Crawford, 1990) konselor harus

menginformasikan tentang mitos bunuh diri, tanda-tanda peringatan dan rekomendasi konkrit

untuk bagaimana guru dan orang tua dapat menangani situasi dengan anak-anak yang mungkin

bunuh diri (Nelson & Grawford).

Asesmen terhadap Siswa dengan Potensi Bunuh Diri

Page 22: lengakpnya konan

Dalam rangka mengevaluasi siswa yang memiliki kecenderungan bunuh diri, konselor

sekolah harus mengetahui:

a. tanda peringatan yang menandakan kemungkinan bahwa seorang siswa bunuh diri

b. bagaimana menilai kemungkinan mematikan

c. bagaimana mendapatkan komitmen dari anak untuk tidak melakukan hal yang

merugikan dirinya sendiri

d. bagaimana untuk melibatkan keluarga dalam proses melindungi anak (David &

Sandoval, 1991).

Hal ini juga penting bagi semua konselor yang akan bekerja dengan klien bunuh diri

untuk memeriksa ide-ide mereka sendiri dan perasaan tentang kematian dan bunuh diri

sehingga reaksi-reaksi pribadi tidak akan mengganggu pekerjaan mereka dengan klien. Siswa,

personil sekolah, dan orangtua semua harus menyadari tanda-tanda yang menunjukkan

perilaku bunuh diri. Tanda-tanda peringatan biasanya dikelompokka ke dalam beberapa

kategori: (a) petunjuk perilaku, (b) petunjuk verbal, (c) petunjuk situasional, (d) pola kognitif,

dan (e) ciri-ciri kepribadian (Capuzzi, 1986; McBrien, 1983). Sebagian besar anak dan remaja

yang bertindak atas ide-ide bunuh diri menunjukkan lebih dari satu tanda peringatan, tetapi

ada beberapa siswa bunuh diri yang tidak pernah menunjukkan tanda-tanda peringatan.

Petunjuk perilaku yang paling umum melibatkan perubahan perilaku anak (Capuzzi,

1986). Pergeseran perilaku seperti penurunan konsentrasi secara tiba-tiba di kelas, atau

kehilangan minat dengan teman-teman, hobi, dan tujuan. Anak mungkin juga mengalami

perubahan nyata dalam pola tidur atau makan. Dia mungkin mulai mencoba obat-obatan dan

alkohol, melarikan diri, atau menjadi bersetubuh secara seksual(Capuzzi, 1986). Petunjuk

perilaku lain mungkin termasuk memberikan barang berharga, pengumpulan senjata, obat-

obatan, atau benda lainnya yang berpotensi mematikan, mengajukan pertanyaan tentang

akhirat, mengisolasi dari rekan-rekan atau anggota keluarga dekat (Hipple, 1993).

Kadang-kadang anak-anak dan remaja yang bunuh diri mengekspresikan dirinya secara

verbal dengan terang-terangan, dan kadang-kadang mereka mengungkapkan petunjuk verbal

Page 23: lengakpnya konan

lebih halus (Capuzzi, 1986; Hipple, 1993; McBrein, 1983). Adapun peringatan secara verbal

meliputi

Saya akan bunuh diri

Saya berharap saya mati

Anda akan menyesal setelah aku pergi

Jika saya tidak mendapatkan apa yang saya inginkan, saya akan bunuh diri

Hidup adalah harapan

Satu-satunya solusi untuk situasi ini adalah untuk mati

Peringatan verbal tidak langsung biasanya mengandung ancaman terselubung bunuh

diri seperti:

Berapa banyak aspirin yang dibutuhkan untuk membunuh seseorang?

Apa yang akan Anda lakukan jika aku sudah mati?

aku lelah

Ini adalah waktu terakhir Anda akan melihat saya di sini

Konselor juga dapat mempertimbangkan petunjuk situasional sebagai peringatan dari

seorang siswa yang akan melakukan bunuh diri (McBrein, 1983). Petunjuk situasional yang

paling umum adalah depresi jelas, dan upaya bunuh diri sebelumnya. Petunjuk lain situasional

akan menjadi sebuah pergeseran mendadak dalam situasi kehidupan anak, seperti kematian,

perceraian, kehilangan hewan peliharaan, atau kondisi sangat stres lainnya. Konselor dan

personel sekolah lainnya harus waspada untuk semua jenis perubahan drastis dalam situasi

kehidupan siswa di sekolah, karena kadang-kadang anak-anak dan remaja bereaksi terhadap

perubahan mendadak tersebut dengan pikiran untuk bunuh diri dan perilaku. Personil Sekolah

harus memonitor secara ketat perilaku siswa yang mengekspresikan pola berpikir tentang hal-

hal berikut:

lolos dari keadaan tak tertahankan atau konflik yang tidak dapat diputuskan

layak untuk dihukum

Menghindari hukuman

Page 24: lengakpnya konan

Menjadi martir untuk tujuan tertentu

Ingin untuk menghukum orang lain

Ingin bertemu dengan seorang teman atau saudara yang sudah mati

Ingin untuk mengontrol waktu atau metode kematian

Banyak siswa yang mencoba atau bunuh diri menunjukkan berbagai ciri-ciri kepribadian

tertentu (Capuzzi, 1986; Hipple, 1993). Cukup sering, siswa yang memiliki konsep diri yang

buruk, keterampilan komunikasi yang lemah, strategi penanganan yang tidak memadai, dan

kebutuhan yang kuat untuk mencapai yang rentan terhadap perilaku bunuh diri. karakter

kepribadian lain yang mungkin akan menyebabkan kecenderungan tindakan merusak diri

sendiri termasuk kesulitan berurusan dengan peningkatan kadar stres, lemah dalam sistem

dukungan sosial, atau perasaan bersalah yang ekstrim atau tanggung jawab.

Jika terdapat tanda bukti anak yang bunuh diri, konselor anak perlu mengevaluasi

tingkat mematikan sejak dini (Capuzzi, 1988; Hipple, 1993). Untuk melakukan hal ini, konselor

harus mengajukan pertanyaan tentang apakah siswa telah mempertimbangkan potensi untuk

menyakiti dirinya sendiri dan apakah ia memiliki akses yang berpotensi pada kerusakan.

Konselor juga perlu menanyakan, apakah siswa memiliki rencana untuk bunuh diri, termasuk

spesifik seperti di mana, kapan, dan seberapa sering ia berpikir tentang rencana ini. Konselor

harus menanyakan apakah anak pernah mencoba tindakan merusak diri sendiri di masa lalu

dan jika ada yang dapat mencegah dia dari menyakiti dirinya sendiri. Anak-anak yang memiliki

derajat kematian yang tinggi, konselor perlu menghubungi orang tua anak untuk mengatur

beberapa jenis intervensi medis seperti rumah sakit. Ini mungkin satu-satunya cara untuk

melindungi anak dari bahaya. Karena itu adalah penting untuk membantu menghindari seorang

anak dari bunuh diri serius, terlepas dari potensi mematikan, konselor harus mencoba

membuat kontrak tidak bunuh diri-dengan anak (Drye, Goulding, & Goulding, 1973; McBrein,

1983). Dalam kontrak tidak bunuh diri, anak mengatakan bahwa dia setuju untuk menahan diri

dari tindakan yang merusak diri untuk jangka waktu tertentu atau sampai ia memiliki sesi

berikutnya dengan seorang konselor. Hipple (1993) mengemukakan bahwa anak-anak dan

remaja jauh lebih mungkin untuk mematuhi perjanjian dalam waktu terbatas daripada mereka

Page 25: lengakpnya konan

harus menyetujui kesepakatan secara terbuka, sehingga kontrak harus berisi informasi spesifik

tentang interval waktu yang mereka setujui.

Hal ini juga penting bagi konselor untuk melibatkan orang tua anak dalam beberapa

jenis strategi bunuh diri. Konselor memiliki tanggung jawab hukum dan etis untuk memastikan

bahwa orang tua memahami gravitasi situasi anak mereka dan bahwa mereka memiliki

informasi yang mereka butuhkan untuk menyediakan beberapa jenis bantuan profesional untuk

anak mereka. Konselor mungkin tidak berwenang untuk menentukan apakah anak butuh rawat

inap dan dapat memutuskan untuk merujuk ke psikiater keluarga untuk menge`valuasi situasi

(Davis & Sandoval, 1991). Jika konselor memilih untuk tidak melibatkan psikiater, dia harus

selalu berkonsultasi dengan seorang rekan yang berkualitas yang memiliki pengalaman menilai

niat bunuh diri (Capuzzi, 1988). Konselor dapat memutuskan bahwa anak tidak dalam bahaya,

tetapi keluarga harus menghilangkan semua alat di rumah yang berpotensi merusak/menyakiti

diri anak (Davis & Sandoval, 1991).

Intervensi Strategi

Konselor perlu mengintervensi siswa yang berada di titik krisis di mana mereka merasa

seolah-olah bunuh diri adalah satu-satunya solusi yang layak untuk masalah yang sedang

mereka alami. Daftar berikut memberikan beberapa saran untuk strategi intervensi krisis yang

telah efektif dengan anak-anak dan remaja bunuh diri (Capuzzi, 1988; Davis & Sandoval, 1991:

Hipple, 1993; Orbach, 1988):

1. Menjaga ketenangan dan tidak menghakimi

2. Mendorong anak untuk mengungkapkan diri, terutama tentang masalah yang dialami

3. Mengakui bahwa banyak siswa menganggap bunuh diri sebagai salah satu pilihan, tetapi

mendorong anak untuk mengeksplorasi pilihan lain

4. Komunikasikan bahwa Anda peduli tentang anak dan bahwa Anda berharap bahwa ia

akan terus aman

5. Tegas mencerminkan rasa sakit anak, putus asa, dan rasa putus asa

Page 26: lengakpnya konan

6. Jelajahi baik aspek positif dan negatif dari keinginan orang itu - di satu sisi, individu ingin

tetap hidup dan di sisi lain, individu yang ingin mati.

7. Jangan biarkan siswa sendiri, bahkan untuk satu menit

8. Jika Anda merasa bahwa ancaman tidak dekat, mulai mengeksplorasi strategi

pemecahan masalah

Sebagian besar waktu, jika konselor memiliki siswa yang sangat depresi atau ingin bunuh

diri, konselor perlu merujuk siswa untuk mendapatkan bantuan terus menerus dari seorang

profesional kesehatan mental di masyarakat. Konselor harus memiliki daftar tiga atau lebih

profesional di daerah tersebut yang memiliki pelatihan dan pengalaman dalam bekerja dengan

anak-anak dan remaja bunuh diri. Jika karena alasan tertentu konselor harus melakukan

intervensi lanjutan dengan siswa bunuh diri, ia harus mendapatkan pelatihan dalam teknik

khusus yang telah terbukti sukses dengan populasi ini.

Menolong anak menerima kematian

Anak-anak memiliki reaksi yang bermacam-macam mengenai kematian orang yang

dekat dengannya. Anak-anak memiliki bermacam-macam ide mengenai kematian, keterlibatan

kematian, dan mereka memiliki bermacam-macam reaksi tergantung fase perkembangannya.

(cook and Darwin)

Ada tiga tingkatan reaksi anak dalam menghadapi kematian. Tingkatan ini mungkin

hanya dialamatkan pada siswa tingkat SMP dan SMA. Untuk anak usia sekolah taman kanak2,

mereka masih masuk kategori pra sekolah, dimana mereka biasanya berusia sekitar 2-5 tahun.

Mereka beranggapan bahwa kematian sebagai sesuatu yang dapat dibalik, sebuah kondisi

yang sama seperti tidur. Mereka menunjukan perasaan kehilangannya dengan marah

terhadap orang yang meninggal tersebut dan mungkin mereka memindahkan rasa

kemarahannya itu kepada seseorang yang mirip dengan mereka. Ketika orang-orang yang dekat

dengan si anak meninggal, mereka akan fokus berpikir siapa yang akan peduli dengannya nanti.

Mereka mungkin percaya bahwa mereka akan menjadi orang yang selanjutnya meninggal.

Page 27: lengakpnya konan

Mereka mungkin akan bersikap regresi (perilaku yang menurun), seperti ngompol, menghisap

jari, dll. Sangat penting untuk menerangkan pada anak bahwa mereka tetap akan mendapat

perhatian dan perlindungan.

Anak usia lima sampai Sembilan tahun mulai mengerti bahwa kematian adalah akhir,

tetapi mereka berasumsi bahwa hal tersebut hanya kan terjadi pada orang lain (Krupnick,

1984). Jika mereka bertanya mengenai kematian, orang sekitarnya harus memberikan informasi

yang factual. Hal ini akan menolong mereka untuk mengatur perasaan yang diluar control.

Mereka mungkin juga melewati rasa dukacitanya dengan kemarahan, perilaku agresif, dan

negative.

Setelah berusia 10 tahun, anak mulai mengerti mengenai kematian dan mereka

merasa bahwa kematian adalah akhir, tidak bisa dihindari dan bersifat universal.

Di atas usia SD dan SMP anak perlu menyadari bahwa rasa marah dalam berduka cita

itu adalah wajar. Mereka mungkin mengalami perilaku diluar kebiasaan seperti depresi dan

kebingungan. Masalah lain yang mungkin muncul adalah permasalahan dalam tidur, makan,

atau mereka mungkin menjadi berperilaku antisocialada beberapa anak usia ini yang berpikir

bahwa mereka harus mengontrol rasa duka citanya seperti orang dewasa. Mereka tidak berani

untuk meminta pertolongan karena mereka takut dianggap seperti anak-anak, sehingga mereka

menekan perasaannya. Sangat penting bagi orang dewasa untuk member izin pada anak untuk

mengekspresikan perasaannya.

Strategi intervensi

Konselor sekolah harus menyiapkan pelatihan pelayanan untuk guru dan personel

sekolah dalam hal mengatasi rasa kehilangan anak-anak dan menyediakan layanan kepada anak

dan orangtuanya. Cunningham dan Hare (1989) secara menerangkan secara garis besar elemen

Page 28: lengakpnya konan

dari program pelatihan pemberian pelayanan pada anak yang berduka cita. Keterangan dari

pelatihan ini fokus pada empat hal yaitu:

1. Perilaku anak-anak

2. Persepsi anak tentang kematian

3. Perilaku personal guru mengenai kematian

4. Praktek pelatihan dalam menolong anak yang berduka cita

Elemen yang paling penting dalam menolong anak yang tengah berduka cita adalah

mengajarkan orangtua mereka untuk menyediakan dukungan dan pengertian untuk anak

mereka (Krupnick, 1984). Konselor perlu untuk menjelaskan kepada orang tua tentang

bagaimana cara mendengarkan anak mereka, menerangkan kepada anak merka tentang

kematian, dan bagaimana cara menggunakan teknik bermain dan seni untuk memberi

pengertian kepada anak tentang rasa duka cita dan kehilangan. Konselor juga harus

menjelaskan kepada orangtua, meskipun rasa duka cita akan mempengaruhi perilaku anak,

akan tetapi seorang anak tetap membutuhkan bermain, berlari, tertawa, dll. Orang tua juga

harus memberi pengertian kepada anak untuk menghadiri proses pemakaman. meskipun

begitu, orang tua tidak boleh memaksa anak jika merka tidak ingin melakukannya.

Ketika konselor menyediakan pelayanan kepada anak yang sedang berduka, mereka

harus memodifikasi cara komunikasi mereka dengan si anak. Kepada anak yang belum memiliki

kemampuan komunikasi verbal yang abstrak, konselor mungkin dapat menggunakan teknik

bermain dan seni. Dalam proses duka cita seseorang, konselor harus mengingatkan diri mereka

sendiri untuk tidak mengharapkan anak untuk melangkah ke tahap yang lebih spesifik. Menurut

Glass (1991) hal Ini mungkin akan menolong anak-anak jika konselor dapat mengkomunikasikan

ide-ide dibawah ini:

1. Berduka itu proses yang normal

2. Setiap orang yang tengah berduka ada yang memiliki waktu yang lama dan waktu yang

singkat

3. Pembangkitan emosi yang mungkin diekspresikan dengan beberapa cara sepeti,

bermain, menulis puisi, menari, dan lain-lain.

Page 29: lengakpnya konan

4. Tidak seorang pun yang dapat berduka selama-lamanya.

Oleh sebab itulah konselor hendaknya banyak menggunakan katerampilan konselingnya

dalam menghadapi anak yang tengan berduka cita (glass). Banyak dari anak-anak yang tengah

merasa kehilangan beranggapan bahwa mereka penderitaan mereka tidak akan berakhir. Oleh

karena itu mereka membutuhkan konselor untuk mengomunikasikan bahwa waktu akan

berangsur-angsur mengurangi rasa sakit mereka dan mereka dapat melanjutkan hidup.

Konselor harus membantu anak untuk mengingat kenangan-kenangan positif dan merayakan

waktu-waktu yang baik. Konselor juga dapat mengingatkan anak pada kenangan negatifnya dan

mengatasi rasa sakit si anak.

Bekerja dengan Anak yang mendapat kekerasan

Pada tahun 1988, asosiasi konselor sekolah mempublikasikan sebuah posisi yang

menegaskan kekerasan pada anak sebagai penderitaan yang disebabkan oleh orang lain dapat

memberi kerusakan fisik pada anak, dapat berlanjut pada kerusakan psikologis dan penolakan

terhadap kebutuhan emosi. Hal ini termasuk didalamnya seperti kekerasan seksual, kekerasan

psikologis, kekerasan emosi, dan pengabaian. Konselor seharusnya dapat melihat gejala-gejala

kekerasan yang dialami si anak dengan begitu, konselor dapat melakukan monitoring

terhadap siswa di sekolah. Segala bentuk kekerasan dapat mempengaruhi pandangan siswa

tentang dirinya, orang lain, dan dunia serta penampilan dan perilaku mereka di sekolah.

Konsekuensinya, konselor sekolah harus belajar mengenai strategi intervensi dengan begitu,

mereka dapat menolong siswa yang mengalai kekerasan agar dapat bertahan dan mengatasi

pengalaman mereka.

KEKERASAN SEKSUAL PADA ANAK

Sgroi (1982), anak yang memiliki pengalaman kekerasan seksual akan berdampak pada

tingkah lakunya:

1. Berprilaku seksual dan atau bergairah atau “bergaul” dengan siapa saja.

Page 30: lengakpnya konan

2. Ketakutan laur biasa atau kekurang percayaan pada masa remaja3. Pengetahuan yang detail tentang perilaku seksual yang tidak sesuai dengan umur4. Perubahan kebiasaan pola makan dan tidur5. Penurunan pada nilai-nilai atau prestasi akademik6. Tiba-tiba kehilangan ketertarikan pada aktifitas sekolah atau kemampuan yang menurun

untuk konsentrasi pada tugas sekolah7. Tiba disekolah terlalu pagi dan enggan untuk pulang kerumah8. Marah, bermusuhan, atau berprikaku agresive9. Pseudomature (dewasa belum saatnya), mengeluh berlebihan10. Kemunduran tingkahlaku (kekanak-kanakan), seperti mengisap jempol, mengompol,

berbicara seperti bayi11. Suka berahasia, enggan untuk mengutarakan pikiran dan perasaan12. Ekspresi malu berlebihan, rasa bersalah, dan atau kegelisahan 13. Tidak berteman dan memiliki teman14. Selalu pergi dari rumah

Tidak semua kekerasan pada anak akan sama, tetapi konselor dapat memberi perhatian

pada siswa yang menunjukan tingkah laku seperti diatas.

Penanganan masalah kekerasan seksual pada anak memiliki tiga kategori ( Porter, Blick,

dan Sgroi, 1982):

1. Intervensi krisis2. Terapi jangka pendek, (biasanya 6 bulan- satu tahun)3. Terapi jangka panjang, (biasanya lebih dari 2 tahun)

Langkah pertama konselor sekolah ketika menemukan siswa yang mengalami kekerasan

seksual dalam intervensi krisis adalah memberikan perhatian yang dibutuhan anak (Porter et al,

1982). Intervensi krisis sering dilakukan oleh konselor sekolah, terkadang konselor sekolah pun

menyediakan terapi jangka pendek. Tetapi untuk terapi jangka panjang biasanya konselor

sekolah melakukan referal pada ahli lain atau pada psikiatry.

Page 31: lengakpnya konan

Setelah memberikan perhatian, lalu konselor sekolah menjadi pendengar, melakukan

refleksi perasaan dan isi. Konselor sekolah harus tetap santai, natural, dan tidak menjudgemen,

ekspresi konselor tidak boleh terlihat kaget atau panic didepan siswa. Lalu konselor melakukan

tahap disclosure, dimana konselor mengatakan pada anak bahwa baik untuk mengatakannya

pada konselor atau orang dewasa lainnya tentang kejadian yang dialaminya. Sebelum

melaporkan kekerasan yang terjadi, konselor perlu mengatakan pada anak bahwa dia akan

menceritakan situasi pada orang dewasa lainnya untuk memberikan perlindungan pada anak

tersebut. Ini akan menolong anak untuk kuat jika konselor dapat melindungi dengan baik dan

mensuportnya.

Tugas konselor bukan lah meinvestigasi kekerasana seksual pada anak, tetapi tugas

konselor menyediakan segera intervensi krisis dan mensupport anak.

Jika penjahat kekerasan seksual bukan berasal dari keluarga besar, konselor dapat

membentuk kekuatan untuk melindungi anak dari orangtuanya. Jika pelaku kejahatan seksual

berasal dari keluarga konselor memutuskan antara meggunakan atau tidak orangtua dalam

membuat laporan kekerasan seksual.

Jika konselor sekolah memilki kesempatan untu memimpin kasus kekerasan seksual,

maka konselor sekolah dapat membuat desain dasar intervensi untuk perkembangan anak (Gil,

1991; Sgroi, 1982). Bagi anak yang kelasnya lebih rendah atau anak yang berada di kelas yang

lebih tinggi, konselor sekolah dapat menggunakan beberapa bentuk terapi bermain (Gil, 1991;

Marvasti, 1989). Bagi anak sekolah dasar yang kelasnya tinggi dan anak SMP, konselor sekolah

dapat mengkombinasikan terapi menggambar dengan beberapa tipe terapi aktivitas atau terapi

grup (Hussey & Singer, 1989). Untuk memberikan pelayanan jangka pendek, konseling yang

mendalam untuk anak, konselor membutuhkan pelatihan dan pengalaman bekerja dengan

kekerasan seksual pada anak dan remaja.

Tidak ada strategi intervensi pekerjaan, konselor dapat menjadi familiar dengan isue-isu

konseling tentang banyaknya kekerasan seksual pada pelajar (Gil, 1991; Porter et al, 1982).

Permasalahan akan berulangkali datang dalam konseling, dan konselor dpat menggunakan

terapi hubungan untuk membantu anak dalam proses penyembuhan.

Page 32: lengakpnya konan

KEKERASAN FISIK PADA ANAK

Martin dan Rodeheffer (1980) mengatakan pengikut gejala tingkah laku dari kekerasan

fisik pada anak, adalah:

1. Terlalu berhati-hati dalam menghormati tingkah laku orang 2. Kegelisahan yang konstan dan antisipasi pada berbagai macam bahaya3. Ketidak mampuan berinteraksi dengan tepat/baik dengan teman sebaya4. Perilaku bertahan dalam interaksi sosial5. Perilaku “bunglon”, pada perubahan kepribadian yang konstan dan cara berinteraksi

menurut situasi.6. Penolakan untuk merubah usaha menulis (ketidak berdayaan belajar)7. Kecendrungan memberikan perhatian pada kebutuhan fisik dan emotional orangtua8. Nampak mengingkari berbagai macam kontak fisik

Konselor melihat seluruh orang memberikan tanda hati-hati ketika melakukan

investigasi lebih lanjut dari perkataan perawat sekolah tentang kekerasan fisik yang terhadi

pada anak.

Pada beberapa kasus konselor akan menyerahkan pada keluarga untuk konseling

dengan perantara dari luar atau profesi kesehatan mental, beberapa kasus konselor mengikuti

proses konseling. Dalam kekerasan fisik pada anak, konselor menggunakan proses konseling

untuk mencari kebenaran masalah, kebutuhan yang tinggi pada pemeliharaan, mengurangi

kemampuan untuk gembira dan bermain, penghargaan diri yang rendah, ekspresi perasaan

yang terbatas, kecendrungan berprilaku regresi, dan kognitif lemah dan startegi pemecahan

masalah (Kempe, 1987).

KEKERASAN EMOSI DAN PELALAIAN ANAK

Garbarino, Guttaman, dan Seeley (1986) mengatakan bahwa perilaku yang mengikuti

dari karakteristik anak yang mengalami kekerasan emosi dan pelalaian, adalah:

Page 33: lengakpnya konan

1. Gangguan perilaku, termasuk gelisah, bermusuhan, dan menyerang/agresive2. Masalah emosi, termasuk perasaan yang tidak dikehendaki, tidak pantas, dan tidak

menyukai3. Interaksi sosial yang tidak pantas, melambangkan umur-pesimis yang tidak tepat dan

pandangan sinis4. Perasaan rendah dan ketidak cukupan5. Terlalu mandiri atau menghindari onteraksi dengan orangtua6. Harga diri yang tidak bagus7. Perilaku menjahati atau membolos

Jika konselor melihat perilaku seperti diatas, konselor dapat medokumentasikannya.

Kekerasan emosi biasanya berupa ketakutan anak pada ibunya, memanggil namanya, dan

menganggap kecil dirinya. Perlindungan anak hanya akan sedikit membantu untuk mengurangi

panilaian anak atau merubah situasi keluarga. Mungkin untuk kasus kekerasan emosi dan

pelalayan pada anak, hanya konselor sekolah satu-satunya yang dapat membantu anak dengan

kehidupan yang seperti ini.

Penanganan kasus kekerasan emosi atau kelalayan pada anak sama dengan penanganan

kasus kekerasan lain pada anak. Kebutuhan anak untuk berusaha mendirikan dan memelihara

kepercayaan, mereka patut memperoleh ketentraman dari cinta dan suport, pengalaman di

perhatikan, menjalin hubungan dengan orang dewasa, belajar bagaiman menyerang dengan

tepat dan permusuhan sebagai simbol fisik (Szur, 1987). Ini sangat penting untuk memberikan

pertolongan bagi mereka dalam keterampilan sosial, pemecahan masalah, keberfungsian

kognitif, dan harga diri (Szur, 1987).

Pemilihan penanganan pada keluarga dalam kekerasan emosional atau pelalayan adalah

dengan terapi keluarga, konseling keluarga, dan atau pendidikan bagi orangtua (Gabarino et al,

1986). Pada penganiayaan psikologi pada anak, konselor dapat belajar dari keterampilan sosial

dan tingkah laku berinteraksi pada terapi tingkah laku, dan pemecahan masalah dan

keterampilan berhubungan sebagai pelatihan keterampilan sosial (Garbarino et al, 1986).