Lennox Gastout Epilepsi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

epilepsi

Citation preview

18

BAB IPENDAHULUAN

Bangkitan kejang merupakan suatu masalah neurologis yang paling sering dijumpai pada anak dan sekitar 20% merupakan kasus epilepsi. Dalam 5 tahun pertama kehidupan kasus baru epilepsi biasanya bermanifestasi sebagai bangkitan kejang umum dan sindrom Lennox Gestaut adalah salah satu diantaranya. Sindroma Lennox-Gastaut (SLG) mencakup kira-kira 1-2% kasus epilepsi anak dan merupakan sindrom epilepsi yang sulit ditangani (Hauser, 1996). SLG dimulai pada masa anak-anak (usia1- 8 tahun), seringkali memburuk dan menetap hingga dewasa. SLG ditandai oleh trias elektroklinis berupa aktifitas slow spike wave yang general pada rekaman EEG, berbagai tipe bangkitan epilepsy dan adanya keterlambantan perkembangan mental. Merupakan sindrom epilepsi yang refrakter terhadap OAE disertai dengan penurunan kognitif dan masalah perilaku pada individu yang terkena. Jenis kejang terutama berupa tonik aksial, atonik, dan lena atipikal. Beberapa pasien juga mengalami kejang mioklonik, jenis bangkitan kejang yang kurang sering dibandingkan ketiga jenis sebelumnya (Crumrine, 2011; Markand dan Omkar, 2003). Diagnosis dan tatalaksana LGS tidak mudah. Hingga sekarang belum didapatkan OAE yang benar-benar efektif untuk mengatasi sindrom ini. Secara umum SLG dibagi menjadi tipe yang simtomatik dan kriptogenik. Tipe kriptogenik dijumpai pada sekitar sepertiga kasus. Separuh penderita mula-mula memberikan respon yang baik, namun beberapa bulan kemudian, terjadi penurunan keampuhan OAE yang diberikan. Prognosis SLG pada umumnya kurang memuaskan, sebagian besar akan berkembang menjadi epilepsi yang refrakter, mengalami beberapa episode status dan sering memerlukan perawatan (Hauser, 1996; Markand dan Omkar, 2003). Dalam tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai epidemiologi, etiologi, gambaran klinis dan EEG, tatalaksana dan prognosis dari SLG.

BAB IISindrom Lennox Gastaut

Antara tahun 1939 hingga tahun 1952, Gibbs, Lennox dan Davis, mengumpulkan lebih dari 200 gambaran EEG anak yang menunjukkan letupan-letupan (bursts) gelombang paku ombak (spike waves) berfrekuensi lambat dan aritmik (2-2,5/detik), yang mereka sebut sebagai varian petit mal untuk membedakannya dengan petit mal tipikal yang memperlihatkan gelombang paku ombak yang ritmik dengan frekuensi 3 siklus/detik. Anak-anak dengan rekaman EEG demikian memperlihatkan bangkitan kejang dengan durasi singkat yang sangat sering dan intractable terhadap terapi. Bangkitan kejang sering merupakan absans atipik yang disertai gejala otonom dan pada kasus jarang disertai otomatisme dan serangan jatuh. Pada sejumlah kecil kasus kadang ada bangkitan umum atau bangkitan parsial. Pada penderita, dijumpai juga retardasi mental, terutama pada kasus dengan onset usia lebih muda. Pada gambaran EEG kadang dijumpai gelombang lambat yang berlebihan (excess slow waves) disertai letupan-letupan gelombang paku ombak lambat (slow spike-waves), yang disebut varian petit mal, bersama dengan letupan aktifitas cepat yang terutama terjadi saat tidur. Sindroma ini kemudian dinamakan sebagai Sindroma Lennox Gastaut pada tahun 1966 dan disetujui oleh Komisi Klasifikasi Sindroma Epilepsi tahun 1989 (Beaumanoir dan Blume, 2005). Sindroma Lennox Gastaut (SLG) yang tipikal terdiri atas trias simtomatik sebagai berikut (Beaumanoir dan Blume, 2005):1. Bangkitan epilepsi : tonik aksial, atonik dan absans atipik2. Adanya abnormalitas pada rekaman EEG: letupan-letupan gelombang paku ombak yang lambat dan difus (varian petit mal) saat bangun dan letupan-letupan ombak ritmik yang cepat (bursts of fast rhythmic waves) dan polyspikes yang lambat serta aktifitas cepat yang general sekitar 10Hz saat tidur 3. Keterlambatan perkembangan intelektual 2.1. Etiologi Banyak ahli berpendapat bahwa SLG bersifat idiopatik, walaupun karena progresifitasnya menimbulkan kecurigaan adanya proses yang berevolusi. SLG dapat terjadi pada anak yang sebelumnya normal, sehingga menimbulkan dugaan idiopatik, maupun pada anak-anak yang sebelumnya telah mengalami kondisi ensefalopati seperti trauma, malformasi, tumor, penyakit pada masa pre natal dan peri natal, tuberosklerosis, sindroma Down dan radiasi seluruh otak yang dianggap sebagai SLG yang simptomatik. Sekitar 10-25% kasus memiliki riwayat spasme infantil sebelumnya (Crumrine, 2011). Penelitian mengenai dasar proses metabolik atau sitogenik, belum memberikan hasil yang meyakinkan. Biopsi korteks yang dilakukan pada beberapa pasien memperlihatkan hilangnya neuron-neuron korteks, kelainan migrasional, menipisnya dendrit-dendrit di korteks ataupun lesi selektif pada sel-sel pyramidal di lapisan 5 korteks serebri (Renier, 1988).2.2. Epidemiologi dan semiologi onsetKejang merupakan masalah neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, dan sekitar 20% nya merupakan kasus epilepsy. SLG mencakup 1-2% kasus epilepsy pada anak, lebih sering terjadi pada anak laki dibandingkan perempuan. Onset biasanya terjadi pada usia 1-8 tahun dengan onset puncak pada usia 3-5 tahun. Late onset dijumpai pada dewasa muda dengan angka kejadian yang sangat jarang. Tidak dijumpai kasus yang bersifat familial dalam literatur (Hauser, 1994). Kondisi pasien saat onset sindroma ini terjadi, bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya. Dapat saja anak terlihat normal, tidak mengalami abnormalitas psikologis maupun neurologis, tidak memiliki riwayat patologis dengan perkembangan psikomotor yang normal. Namun pada anak lainnya ada yang sudah dijumpai mengalami gangguan psikomotor dan tingkah laku dalam berbagai derajat pada saat onsetnya (Beaumanoir dan Blume, 2005). Pada beberapa kasus, SLG merupakan kelanjutan sindroma epilepsi lain, pada 38 yang diamati oleh Loubier (1974) 11 anak diantaranya menderita syndrome West sebelumnya. Semiologi elektroklinis saat onset belum banyak didokumentasikan. Kejang tonik singkat pada malam hari, yang kurang mendapat perhatian orang tua, sering merupakan gejala awal SLG. Gejala epilepsi tidak sepenuhnya terlihat, hingga beberapa bulan kemudian dengan munculnya bangkitan absans pada siang hari atau terjadinya status epilepsi non konvulsi. Pada saat ini, gangguan psikologis dan regresi intelektual sudah terlihat. Pada kasus lainnya, bangkitan atonik dapat merupakan gejala awal (Beaumanoir dan Blume, 2005). 2.3. Semiologi elektroklinis bangkitanBangkitan kejang yang paling khas dari SLG adalah bangkitan umum, yang secara berurutan menurut insidennya adalah berupa (Beaumanoir dan Blume, 2005):a) Bangkitan kejang tonik aksial (Tonic axial seizures/TAS) yang dapat berupa serangan tonik otonomik, bangkitan tonik dengan otomatisme, bangkitan tonic vibratory, ataupun bangkitan tonik singkat atau spasme aksialb) Absans atipik dengan durasi yang lamac) Bangkitan atonik, baik sejak awal bangkitan (bangkitan atonik tanpa komponen mioklonik) atau setelah mioklonik (bangkitan mioklonik atonik).d) Status epileptikus non konvulsif yang disertai atau tanpa disertai oleh bangkitan motorik yang berulang.e) Bermacam-macam bangkitan seperti mioklonik, bangkitan parsial, bangkitan tonik klonik. Namun jenis bangkitan-bangkitan ini tidaklah khas bagi SLG.Bangkitan TAS umumnya simetris, leher dan badan dalam kedudukan fleksi sementara kedua lengan semi fleksi atau dalam kedudukan ekstensi, kedua tungkai juga mengalami ekstensi sementara otot-otot wajah, utamanya bibir bawah berkontraksi. TAS yang tipikal disertai oleh gejala otonom seperti wajah yang memerah, takikardi, ngompol dan dilatasi pupil. Gerakan tonik terlihat sebagai opistotonus atau emprostotonus tergantung posisi pasien saat onset bangkitan. Pasien dapat terjatuh ke depan atau ke belakang. Jika didudukkan, kepala dapat menekuk hingga menyentuh lutut. Beberapa bangkitan terbatas pada leher dan otot-otot proksimal tubuh, kepala jatuh ke depan sementara kedua bahu terlihat sedikit elevasi. Manifestasi bangkitan seperti ini relatif sering terjadi saat pasien tidur dan jarang saat bangun. Bangkitan tonik tanpa gejala otonom dapat terjadi, walaupun ini kurang spesifik untuk SLG. Kesadaran sering menurun walaupun tidak selalu (Beaumanoir dan Blume,2005).Bangkitan tonik berkepanjangan dapat terjadi, bangkitan jenis ini terlihat seperti tonik diikuti tremor yang terdiri dari serial jerks beramplitudo rendah yang cepat di seluruh tubuh yang dikenal sebagai bangkitan tonic vibratory. Bangkitan ini sering muncul pada malam menjelang pagi. Bangkitan tonik yang diikuti otomatisme lebih sering terjadi pada SLG dengan onset pada usia lebih tua. Gejala otomatisma dapat terjadi selama beberapa menit bahkan beberapa jam. Spasme aksial singkat pada seluruh tubuh dapat menyebabkan pasien terjatuh. Bangkitan tonik merupakan salah satu elemen penting dalam identifikasi SLG, namun tidaklah spesifik untuk SLG (Beaumonoir dan Blume, 2005).TAS bermanifestasi sebagai letupan-letupan aktifitas cepat sekitar 10-20Hz, bersifat difus dengan amplitudo tertinggi terdapat di anterior dan di vertex, yang dapat didahului oleh atenuasi difus aktifitas latar belakang. Letupan ini dapat mencapai 10 detik dan berhenti dengan tiba-tiba diikuti gelombang paku ombak lambat yang panjang. Jika serangan terdiri dari komponen tonik dan otomatisme, aktifitas cepat yang terlihat pada fase tonik mungkin lebih dari 10 detik dan diikuti oleh gelombang paku ombak lambat saat fase otomatisme. Bangkitan tonic vibratory juga telihat sebagai letupan aktifitas cepat yang berkepanjangan, dimana pada fase vibratory tidak didapatkan gambaran spesifik pada perekaman EEG (Beaumanoir dan Blume, 2005; Crumrine, 2011).

Gambar 1: Gambaran EEG saat bangkitan tonik pada seorang anak umur 10 tahun(Beaumanoir dan Blume, 2005)

Bangkitan atonik kurang sering frekuensinya dibandingkan TAS. Bangkitan atonik berupa hilangnya tonus tubuh dan kaki secara bersamaan dan tiba-tiba, berlangsung kira-kira 1 detik, didahului oleh mioklonik yang sering tidak terlihat karena singkatnya, dan dapat diamati pada perkaman, sehingga disebut sebagai serangan mioklonik atonik. Namun bangkitan atonik dapat hanya terbatas berupa anggukan kepala yang tiba-tiba tanpa perubahan mimik wajah, gerakan bola mata maupun tanpa gejala otonom (Beaumanoir dan Blume, 2005; Markard dan Omkar, 2003).Bangkitan mioklonik atau mioklonik atonik dapat terekam sebagai paku ombak lambat, polyspike waves, gelombang paku ombak cepat yang difus atau suatu letupan singkat yang dominan di regio anterior (Beaumanoir dan Blume, 2005).Bangkitan absans yang atipikal sering sulit untuk diidentifikasi onset dan saat berakhirnya karena kejadiannya yang gradual. Durasi bangkitan hampir selalu melebihi 10 detik bahkan dapat melebihi 20 detik. Pasien mungkin dengan atau tanpa kehilangan kesadarannya dan dapat terlihat aktifitas otomatisme. Dapat terjadi gerakan mioklonik di daerah peri-bukal. Serangan absans ini sering disertai oleh hilangnya tonus seluruh tubuh yang menyebabkan pasien terjatuh. Kehilangan tonus dapat terbatas pada wajah dan leher, mulut tampak membuka dan terjadi hipersalivasi akibat aktifitas otonom(Beaumanoir dan Blume, 2005).Bangkitan absans atipikal terlihat sebagai letupan-letupan gelombang paku ombak lambat yang difus pada kedua hemisfer, yang kadangkala dapat dijumpai lateralisasi. Jika berkepanjangan, komponen paku dapat tidak terlihat (Beaumanoir dan Blume, 2005; Markard dan Omkar, 2003).Bermacam-macam tipe bangkitan dapat terlihat pada satu kurun waktu pada satu orang pasien. Hanya rekaman poligraf, yang jika mungkin dilengkapi video dan disaksikan oleh keluarga dan dokter dapat memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap semiologi bangkitan yang heterogen (Crumrine, 2011).

Gambar 2: Bangkitan absans atipik yang terdiri dari gelombang paku ombak lambat ireguler yang difus (Beaumanoir dan Blume, 2005)

Banyak ahli berpendapat bahwa simtomatologi epilepsi pada SLG bersifat age dependent. Bangkitan tonik, yang sering sangat singkat pada anak kecil, bertendensi berlangsung lebih lama pada remaja dan dewasa. Bangkitan tonik-otonomik maupun tonic vibratory sering mulai pada usia dewasa muda. Bangkitan tonic vibratory juga sering mengawali evolusi menjadi bangkitan tonik klonik yang tidak terjadi dalam tahun-tahun pertama perkembangan sindroma ini. Bangkitan absans atipik masih sering dijumpai sementara bangkitan atonik dengan jatuh bertendensi berkurang dengan bertambahnya umur (Beaumanoir, 1985; Illum dkk, 1990). Sekitar 54-97% pengidap SLG mengalami satu atau beberapa episode status epileptikus yang terdiri dari bangkitan kejang absans, tonik atau campuran. Pada kondisi status, 94% penderita memperlihatkan komponen tonik yang dicerminkan oleh irama EEG 10 Hz. Awal munculnya status epileptikus absans biasanya tersembunyi dan mungkin terabaikan untuk beberapa jam atau hari, terlebih pada penderita dengan retardasi mental (Beaumanoir dan Blume, 2005).Pada saat status dapat terjadi periode obtundasi yang lama, tampak komponen mioklonik disertai bangkitan tonik serial yang frekuen. Saat tidur, dapat dijumpai perioral spasme yang singkat disertai perubahan pola nafas dan mata yang terbuka, namun pasien tidak terbangun. Kondisi sebaliknya dapat dijumpai berupa periode panjang fase vibratory yang menyebabkan pasien terbangun. Bangkitan seperti ini memperlihatkan rekaman EEG menyerupai hypsarhythmic dengan aktifitas latar belakang di posterior yang menghilang, muncul gelombang paku lambat dan ombak lambat serta polyspike waves yang multifokal, asinkron dan asimetris. Bangkitan tonik sama seperti kondisi tonik di luar status, kadang sangat singkat menyerupai spasme, pada EEG tampak aktifitas cepat dengan voltase rendah, tidak seperti gambaran spasme pada sindroma West (Beaumanoir dan Blume,2005).Kondisi status epileptikus sering diawali oleh memburuknya temperamen penderita, kondisi yang memprovokasi sering berupa perubahan lingkungan, stress, perubahan terapi baik dosis maupun jenis OAE (Crumrine, 20011). 2.4. Abnormalitas EEG interiktalRekaman EEG saat penderita bangun, pada banyak kasus, sudah dijumpai abnormal sejak onset sindroma ini. Walaupun aktifitas latas belakang masih ada, namun seringkali lambat dan tidak sesuai dengan usianya. Rekaman interiktal dapat dijumpai letupan-letupan gelombang paku ombak lambat 2-2 siklus per detik. Hal ini tidaklah spesifik untuk SLG namun sering dianggap sebagai elemen penting dalam identifikasi sindroma ini. Dapat juga dijumpai gelombang paku ombak cepat yang sinkron bilateral yang dijumpai dominan di anterior. Pada onset sindroma ini, sebelum penderita mendapatkan terapi, rekaman tidur interiktal mungkin normal. Penurunan tidur REM mungkin terjadi. Gelombang ombak lambat saat tidur terselip di anatara letupan aktifitas cepat yang dapat saja disertai atau tidak disertai kejang.

2.5. Simtomatologi klinisTidak ada gejala neurologi spesifik untuk SLG di luar bangkitan epilepsi. Jika sindroma ini tidak disertai proses patologi fokal lain, pemeriksaan neurologi akan normal. Pada penderita yang sudah lama terdiagnosa sebagai penyandang SLG dapat dijumpai berbagai bentuk deformitas dan gangguan stabilitas yang lebih banyak disebabkan oleh trauma berulang, efek samping obat, kurangnya aktifitas fisik disamping karena perkembangan proses patologinya Markand dan Omkar, 2003).Hal yang berbeda dijumpai pada fungsi kognitif, keterlambatan proses pikir merupakan ciri yang dominan dijumpai pada SLG, yang makin nyata dengan bertambahnya usia penderita. Pada beberapa penderita yang tumbuh dewasa dapat dijumpai sindroma lobus frontal. Pada anak-anak dengan sindroma West yang kemudian menderita SLG dapat dijumpai perilaku yang autistik. Gejala psikotik dapat terjadi, banyak faktor yang berperan meliputi penyebab dan lokasi lesi, frekuensi kejang dan kerusakan yang ditimbulkannya serta persepsi keluarga terhadap penderita(Markand dan Omkar, 2003). 2.6. Pemeriksaan imejingPemeriksaan CT sken memperlihatkan atrofi serebral yang bersifat difus atau fokal pada sekitar 50% kasus. Hal yang sama didapatkan pada periksaan MRI, yang pada beberapa kasus juga didapatkan lesi displastik di korteks. Pengamatan oleh peneliti lainnya pada beberapa kasus SLG juga dijumpai gambaran hiperintens pada T2 di mesensefalon. Berbeda dari sindroma West, kejadian SLG tidak berhubungan dengan fakomatosis seperti Tuberosklerosis (Beaumanoir dan Blume, 2005).2.7. TerapiManifestasi bangkitan yang beraneka ragam membutuhkan OAE politerapi. Namun demikian jenis obat sebaiknya dibatasi hingga 3 jenis obat untuk menghindari akumulasi efek samping. SLG merupakan salah satu bentuk intractable epilepsy. Bangkitan kejang pada sindroma ini cenderung tidak berespon baik terhadap berbagai macam OAE. Dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan berbagai penelitian efektifitas OAE baru terhadap penderita sindroma ini yang memperlihatkan berbagai tingkat perbaikan klinis (Crumrine, 2011).Fenitoin dikatakan tidak banyak membantu mengatasi bangkitan walaupun masih efektif pada jenis tonic vibratory yang umumnya dijumpai pada dewasa muda dan kelompok dewasa. Karbamasepin dikatakan dapat mengurangi frekuensi kejang tonik, pemakaiannya memerlukan pemantauan rutin terhadap kemungkinan obat ini memicu munculnya tipe bangkitan yang lain seperti bangkitan absans dan status epileptikus non konvulsif. Jika kontrol kejang tidak memuaskan dengan karbamasepin, dianjurkan untuk tidak melanjutkan pemakaiannya (Beaumanoir dan Blume,2005). Mayoritas peneliti menganjurkan pemakaian golongan benzodiasepin dan asam valproat. Asam valproat dikatakan efektif pada bangkitan absans, sementara golongan benzodiasepin efektif terhadap mayoritas bentuk bangkitan termasuk bangkitan tonik. Clobazam lebih dipilih dari nitrasepam maupun klonazepam karena efek sedatifnya yang lebih ringan. Lamotrigin dianjurkan untuk mengontrol bangkitan atonik yang sampai menyebabkan jatuh (Beaumanoir dan Blume, 2005; Eriksson dkk, 1998).Dalam publikasinya tahun 1999, Cochrane epilepsy group mengadakan kajian sistematik terhadap penelitian acak dengan kontrol terhadap efektifitas terapi farmakologis pada SLG , kajian meta analisa tidak dapat dikerjakan karena beragamnya obat yang digunakan dan bervariasinya outcome. Rufinamid, lamotrigin, topiramat dan felbamat berguna sebagai add-on therapy. Pilihan terapi yang optimal masih belum ada, tidak ada penelitian yang memberi hasil meyakinkan bahwa obat yang satu lebih baik dari obat lain. Klinisi diharapkan mempertimbangkan kondisi pasien secara individual (Hancock dan Cross, 2009). Pengalaman klinis berbagai peneliti membuktikan bahaya pemakaian terapi berlebih. Mengurangi frekuensi bangkitan dan membiarkan beberapa beberapa bangkitan lebih dipilih daripada kemungkinan munculnya status epilepsi klonik maupun yang non konvulsif karena terapi yang eksesif (Crumrine, 2011).

2.8. PrognosisMortalitas meningkat dengan bertambahnya usia dan lamanya menderita sindroma ini. Pada pengamatan yang dilakukan oleh Blatter dan Arfi (1991), terhadap 64 penderita SLG selama 13 hingga 27 tahun, didapatkan angka mortalitas sebesar 27%. Sembuh dalam artian bebas kejang dan masih tetap mempunyai kondisi neuropsikologi yang baik adalah sangat jarang, hanya pada sekitar 6,7% kasus (Oguni dkk, 1996).Perjalanan sindroma ini cenderung menjadi kronis. Setelah beberapa tahun, bangkitan epilepsi dapat menjadi kurang aktif, namun perkembangan intelektual dan psikologis cenderung memburuk. Retardasi mental berat dijumpai pada 44-50% kasus dari 200 kasus yang diamati Beaumanoir dkk selama 10-26 tahun. Hal ini mungkin merupakan akumulasi dari efek OAE, kurangnya stimulasi sosial dan faktor-faktor lainnya. Semakin muda usia saat onset, semakin banyak kejang pada otak yang sedang mengalami maturasi, akan makin memperburuk perkembangan psiko-intelektual. Aspek ini merupan satu hal yang khas dari perjalanan alamiah sindroma ini. Jika gambaran elektroklinis yang khas sudah dijumpai sebelum umur 3 tahun, yang biasanya merupakan lanjutan sindroma West, maka prognosis mentalnya akan jauh lebih buruk (Oguni dkk, 1996).

BAB IIIRINGKASAN

Sindroma Lennox Gastaut adalah sindroma epilepsi berat yang mulai saat anak-anak dan berlanjut hingga dewasa, yang progresif dan sering intractable terhadap OAE. Dijumpai berbagai jenis bangkitan epilepsi pada sindroma ini. Bangkitan tonik aksial dengan letupan-letupan aktifitas cepat pada rekaman EEG selalu dijumpai pada sindroma ini. Gangguan kognitif dan tingkah laku terjadi segera setelah bangkitan pertama muncul dan mempunyai kecenderungan untuk memburuk.Tatalaksana SLG tidak mudah, belum ada AOE yang benar-benar efektif untuk sindroma ini. Pengobatan bertujuan untuk mencapai kontrol kejang terbaik dan mempertahankan kemampuan fungsional pasien semaksimal mungkin dengan penggunaan obat sesuai bangkitan dan pembatasan jenis obat untuk mengurangi efek samping. Selain terapi farmakologis, dilakukan juga terapi diet dan terapi pembedahan untuk beberapa kasus.

Daftar Pustaka

Beaumanoir, A., Blume, W., 2005. The Lennox-Gastaut Syndrome. In Rojer, J., Bureau, M., Dravet, Ch., editors. Epileptic Syndrome in Infancy, Childhood and Adolescence, John Libbey Eurotext.p.125-148.Blatter, Arafi, V., 1991. Long Term Follow-up with Lennox-Gastaut Syndrome. Epileptological aspect, psychomotor development and social adaptation. Shweis Rund sch Med Praxis 36:909-918.Crumrine, P.K., 2011. Management of Seizures in Lennox-Gestaut Syndrome. Pediatr Drugs 2011; 13(2):107-118.Eriksson, A. S., 1998, The Efficacity of Lamotrigine in Children and Adolescent with Refractory Generalized Epilepsy: a Randomized, Double-blind, Crossover Study. Epilepsia 39:495-501.Hancock, E.C., Cross, H. J., 2009. Treatment of Lennox-Gastaut Syndrome available at http://summaries.cochrane.org/CD003277/treatment-of-lennox-gastaut-syndrome, cited at 15 march 2012.Hauser, G.L., 1996. The prevalence and Incidenceof Convulsive Disorders in children. Epilepsia 1996;35(Suppl):S1-6.Oguni, O., et al, 1996. Long Term Prognosis of Lennos-Gastaut Syndrome. Epilipsia 37 (Suppl 3): 44-47.Markand, Omkar, N., 2003. Lennox Gestaut Syndrome (Childhood Epileptic Encephalopathy). Jurnal of Clinical Neurophysiology 2003:20(6):426-441.

Tinjauan Pustaka

Sindroma Lennox Gastaut

Oleh :dr. Ni Putu WitariPembimbing:dr. AnnaMarita GS Sp.S (K)

Fakultas Kedokteran Universitas UdayanaMaret 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat-Nya lah, tinjauan pustaka Sindroma Lennox Gastaut ini dapat diselesaikan. Adapun tinjauan pustaka ini merupakan salah satu tugas yang harus diselesaikan dalam rangka mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Peyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada :1. dr. Anna Marita GS SpS(K), sebagai pembimbing dalam penyusunan tinjauan pustaka ini. 2. Dr. dr. DPG Purwa Samatra SpS(K), sebagai Kepala Bagian Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.3. dr. Made Oka Adnyana SpS (K), sebagai Ketua Program Studi Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.4. Rekan-rekan residen di Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar.Akhir kata saya menyadari bahwa tinjauan pustaka ini masih kurang sempurna, sehingga masih memerlukan bimbingan, kritik dan saran dari para senior dan pembaca lainnya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Penyusun

Ni Putu Witari

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARiDAFTAR ISIiiBAB I PENDAHULUAN1BAB II Sindroma Lennox Gastaut 2.1 Etiologi 4 2.2. 72.1.2 Biopsi kulit92.1.3 Test reflex sudomotor axon.................................................. 11 2.2 Aspek penatalaksaan painful neuropathy 122.2.1 Obat-obatan antidepresan 132.2.2 Obat-obatan anti konvulsan 172.2.3 Opioid 202.2.4 Obat topikal 21Bab III RINGKASAN 23DAFTAR PUSTAKA 24

LEMBAR PENGESAHAN

TINJAUAN PUSTAKASINDROMALENNOX GASTAUT Telah disetujui tanggal ..

Pembimbing

dr. Anna Marita GS, Sp.S (K)

Mengetahui,Kepala Bagian/SMF Ilmu Penyakit SarafFK UNUD/ RSUP Sanglah

Dr. dr.DPG Purwa Samatra Sp.S (K)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHANKATA PENGANTARDAFTAR ISIBAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1BAB II SINDROMA LENNOX GASTAUT..................................................... 32.1. Etiologi................................................................................... 42.2. Epidemiologi dan Semiologi Onset....................................... 52.3. Semiologi elektroklinis bangkitan......................................... 62.4. Abnormalitas EEG interiktal................................................. 132.7. Terapi..................................................................................... 152.8. Prognosis............................................................................... 17BAB III RINGKASAN ...................................................................................... 18