17
48 BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB I Dasar Teori sebelumnya, bahwa dalam kegiatan eksplorasi di kawasan tambang batubara ini meliputi kegiatan pemetaan topografi, pemetaan geologi dan pemboran. Hasil dari kegiatan pemetaan topografi merupakan peta yang memiliki referensi tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan kegiatan penambangan selanjutnya. Penentuan lokasi untuk titik pengamatan dan/atau titik pengukuran, seperti lokasi singkapan, lokasi contoh, lokasi sumur uji, lokasi pemboran dan sebagainya sangat bergantung dari tahapan eksplorasi. Pada tahapan eksplorasi detail, lokasi singkapan, sumur uji dan lainnya, ditentukan dengan menggunakan alat ukur (minimal T0) yang diikat pada titik ikat terdekat yang sudah ada dan ditentukan dalam koordinat UTM. Lokasi singkapan pada pemetaan geologi kemudian diplot pada peta dasar dengan skala minimal 1 : 5000 atau lebih besar. Dari kegiatan eksplorasi ini, akan didapatkan hasil akhir berupa : 1) Peta lokasi/situasi skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000 2) Peta topografi skala 1 : 500 sampai 1 : 2.000 3) Peta kajian eksplorasi skala 1 : 2.000 sampai 1 : 10.000 (meliputi lokasi singkapan, parit uji, pemboran, dan pengambilan contoh) 4) Peta geologi daerah skala 1 : 500 sampai 1 : 2000 5) Peta perhitungan cadangan skala 1 : 500 sampai 1 : 2000 6) Penampang geologi 7) Penampang sumur uji 8) Penampang bor, dll.

Lidar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Lidar

Citation preview

  • 48

    BAB III

    TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI

    TAMBANG BATUBARA

    3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara

    Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB I Dasar Teori sebelumnya, bahwa dalam

    kegiatan eksplorasi di kawasan tambang batubara ini meliputi kegiatan pemetaan

    topografi, pemetaan geologi dan pemboran. Hasil dari kegiatan pemetaan topografi

    merupakan peta yang memiliki referensi tertentu yang menjadi dasar dalam melakukan

    kegiatan penambangan selanjutnya.

    Penentuan lokasi untuk titik pengamatan dan/atau titik pengukuran, seperti lokasi

    singkapan, lokasi contoh, lokasi sumur uji, lokasi pemboran dan sebagainya sangat

    bergantung dari tahapan eksplorasi. Pada tahapan eksplorasi detail, lokasi singkapan,

    sumur uji dan lainnya, ditentukan dengan menggunakan alat ukur (minimal T0) yang diikat

    pada titik ikat terdekat yang sudah ada dan ditentukan dalam koordinat UTM. Lokasi

    singkapan pada pemetaan geologi kemudian diplot pada peta dasar dengan skala minimal 1

    : 5000 atau lebih besar.

    Dari kegiatan eksplorasi ini, akan didapatkan hasil akhir berupa :

    1) Peta lokasi/situasi skala 1 : 25.000 sampai 1 : 50.000

    2) Peta topografi skala 1 : 500 sampai 1 : 2.000

    3) Peta kajian eksplorasi skala 1 : 2.000 sampai 1 : 10.000 (meliputi lokasi singkapan,

    parit uji, pemboran, dan pengambilan contoh)

    4) Peta geologi daerah skala 1 : 500 sampai 1 : 2000

    5) Peta perhitungan cadangan skala 1 : 500 sampai 1 : 2000

    6) Penampang geologi

    7) Penampang sumur uji

    8) Penampang bor, dll.

  • 49

    Peta geologi, singkapan, lokasi titik bor, sumur uji dan lainnya diperoleh dengan

    melakukan pengeplotan di atas peta topografi (peta dasar) daerah tersebut. Dari skala yang

    ada, dapat dilihat bahwa peta topografi dengan skala yang besar dan teliti sangat

    dibutuhkan dalam kegiatan penambangan batubara khususnya dalam kegiatan eksplorasi.

    Dengan skala yang besar juga berkaitan dengan interval kontur yang digunakan. Adapun

    hubungan tersebut ditunjukkan sebagai berikut :

    Interval kontur = 1/2000 x faktor skala peta [ Jawatan Topografi]

    Untuk mendapatkan interval kontur dengan menggunakan ketentuan di atas, maka untuk

    pemetaan terestrial akan membutuhkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit jika

    wilayah yang dipetakan sangat luas.

    Selain itu, peta topografi dengan ketelitian yang tinggi sangat diperlukan dalam kegiatan

    eksplorasi tambang batubara ini. Dalam skripsi ini, akan dibahas beberapa contoh kasus

    yang berkaitan dengan kebutuhan informasi tinggi dalam kegiatan eksplorasi antara lain

    dalam hal perhitungan cadangan batubara dan perencanaan kedalaman lubang bor untuk

    kegiatan eksplorasi detil. Namun, dalam praktek kegiatan penambangan batubara sering

    ditemukan masalah peta topografi yang tidak merepresentasikan kondisi topografi di

    lapangan.

    Gambar 3.1 Peta Topografi Tidak Menggambarkan Kondisi Topografi Di Lapangan

  • 50

    1) Perhitungan Cadangan Batubara Untuk mengetahui apakah batubara di suatu area layak atau tidak untuk ditambang, maka

    ada beberapa parameter yang harus diperhitungkan, antara lain yaitu stripping ratio,

    kualitas dan kuantitas dari batubara tersebut. Seperti yang telah dijelaskan pada bab dasar

    teori bahwa batubara layak ditambang jika kualitas dan kuantitas dapat memenuhi

    permintaan, stripping ratio berkisar antara 1:3 hingga 1:20, jika lebih dari itu maka

    cadangan yang ada tidak layak untuk ditambang. Stripping ratio merupakan perbandingan

    antara batubara dan overburden (lapisan penutup batubara). Yang sering menjadi

    permasalah dalam perhitungan cadangan batubara ini adalah perhitungan striping ratio

    yang tidak tepat. Pada perhitungan ini, digunakan suatu software tertentu, dimana untuk

    penentuan volume overburden dan seam batubara tersebut menggunakan batas atas (peta

    topografi yang ada) dan batas bawah (berdasarkan hasil survey geologi). Jika peta

    topografi yang ada merupakan representasi dari keadaan topografi di lapangan (ilustrasi

    pada gambar 3.2), maka tidak 50ka nada masalah dalam perhitungan striping ratio ini.

    Namun, jika peta topografi yang digunakan tidak merepresentasikan kondisi topografi

    yang sebenarnya di lapangan, maka hal ini akan mengakibatkan masalah dalam

    perhitungan cadangan batubara. Seperti yang diilustrasikan pada gambar 3.3) dimana peta

    topografi yang digunakan berada di atas (lebih tinggi) dari keadaan topografi yang

    sebenarnya di lapangan. Dalam perhitungan di software dikatakan bahwa cadangan

    tersebut layak untuk ditambang, tapi kenyataannya di lapangan tidak demikian. Dan

    sebaliknya (ilustrasi pada gambar 3.4). Hal ini akan berkaitan langsung dengan rencana

    waktu, biaya dan tenaga yang dibutuhkan untuk kegiatan eksplorasi lanjut.

    Gambar 3.2 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar

  • 51

    Gambar 3.3 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari

    Ketinggian Topografi yang Sebenarnya)

    Gambar 3.4 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari

    Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )

  • 52

    2) Perencanaan Kedalaman Lubang Bor

    Dalam perencanaan lubang bor, juga sama halnya dengan perhitungan cadangan batubara.

    Dengan menggunakan software untuk menentukan kedalaman lubang bor rencana, juga

    memanfaatkan peta topografi sebagai batas atas dari pemodelan tersebut. Jika peta

    topografi yang ada menggambarkan kondisi topografi dilapangan secara benar, maka tidak

    akan ada masalah dalam perencanaan kedalaman lubang bor. Akan tetapi, jika yang terjadi

    adalah seperti gambar 3.5) dimana batas atas yang digunakan berada lebih tinggi dari

    topografi di lapangan (ilustrasi gambar 3.6), maka kedalaman lubang bor yang

    direncanakan harus dapat menembus seam batubara. Akan tetapi, yang terjadi setelah

    diterapkan dilapangan, kedalaman lubang bor yang direncakan menjadi berlebihan

    (ilustrasi gambar 3.7). Demikian juga sebaliknya, jika batas atas yang digunakan

    ketinggiannya lebih rendah dibandingkan ketinggian topografi yang sebenarnya di

    lapangan (ilustrasi gambar 3.8), maka setelah diterapkan di lapangan, lubang bor yang

    direncanakan tidak menembus lapisan batubara (ilustrasi pada gambar 3.9). Hal ini

    mengakibatkan informasi geologi yang diperoleh tidak lengkap. Perencanaan kedalaman

    lubang bor ini menentukan estimasi dalam penentuan alat bor, metode pemboran, biaya,

    tenaga dan waktu yang diperlukan. Semakin dalam kedalaman dari lubang bor tersebut,

    maka semakin mahal biaya yang dibutuhkan, selain itu juga memerlukan waktu dan tenaga

    yang tidak sedikit.

    Gambar 3.5 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Benar

  • 53

    Gambar 3.6 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Tinggi dari

    Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )

    Gambar 3.7 Kedalaman Lubang Bor Rencana Menjadi Berlebihan

  • 54

    Gambar 3.8 Batas Atas yang digunakan dalam Pemodelan Salah(Lebih Rendah dari

    Ketinggian Topografi yang Sebenarnya )

    Gambar 3.9 Kedalaman Lubang Bor Rencana Tidak Menembus Seam Batubara

  • 55

    3.2 Aplikasi Teknologi LIDAR dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara

    Dari beberapa uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa peta dengan informasi tinggi yang

    teliti sangat dibutuhkan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Khususnya dalam

    perhitungan cadangan dan estimasi kedalaman lubang bor rencana. Hal ini sering menjadi

    permasalahan dalam pekerjaan eksplorasi tambang batubara. Dimana peta topografi yang

    digunakan memiliki informasi ketinggian yang kurang tepat.

    Teknologi LIDAR merupakan teknologi yang mampu mengatasi masalah di atas. LIDAR

    mampu memetakan wilayah yang relatif luas dalam waktu singkat dan biaya yang relatif

    murah. Selain itu, ketelitian yang tinggi untuk informasi ketinggian juga dapat diperoleh

    dengan teknologi LIDAR ini. Dalam aplikasi pemetaan, LIDAR diintegrasikan dengan

    ortofoto. Sehingga dalam skripsi ini juga dilengkapi dengan beberapa penjelasan mengenai

    ortofoto tersebut. Adapun fungsi dari ortofoto di sini adalah untuk memperoleh informasi

    planimetrik dan untuk memudahkan dalam penginterpretasian objek-objek yang ada di

    permukaan bumi. Selain itu juga digunakan untuk proses penurunan peta garis. Berikut ini

    akan dijelaskan kemampuan LIDAR dalam memperoleh informasi tinggi yang teliti dalam

    pembuatan peta.

    Gambar 3.10 Kemampuan LIDAR dalam Pengukuran Multiple Retur [lidar.com,

    2009]

  • 56

    Gambar di atas menunjukkan kemampuan sensor LIDAR dalam hal pengukuran multiple

    return. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari objek atau vegetasi yang

    menutupi permukaan tanah. Gelombang yang dipancarkan dan dipantulkan tidak hanya

    mengenai permukaan tanah tapi juga mengenai objek-objek yang ada di atas permukaan

    tanah. Masing-masing pantulan yang dihasilkan diukur intensitasnya, sehingga diperoleh

    gambaran atau bentuk dari objek yang menutupi permukaan tanah tersebut. Pantulan

    pertama akan mengukur jarak dari objek pertama yang ditemui, contohnya pohon.

    Pantulan terakhir akan mengukur jarak objek terakhir, contohnya tanah. Dengan

    memperhatikan data pertama dan terakhir secara simultan, maka akan diperoleh tinggi

    pohon dan topografi permukaan tanah. Multiple return biasanya diaplikasikan untuk

    daerah-daerah yang vegetasinya sangat padat.

    Selain itu, LIDAR juga mampu menghasilkan data dengan interval antar titik yang sangat

    rapat. Untuk vegetasi yang rapat dan jika model topografi tanah merupakan produk akhir

    yang diinginkan, maka harus menggunaan sistem yang memiliki kemampuan seperti

    kecepatan dalam melakukan penyiaman yang tinggi, kecepatan terbang yang rendah, dan

    sudut pancar yang kecil. Kesemuanya berfungsi untuk menghasilkan spasi titik yang rapat

    dan memungkinkan pulsa sampai ke tanah.

    Tabel di bawah ini menunjukkan perbedaan pemetaan topografi wilayah penambangan

    batubara skala besar (1:1000 sampai 1:2500), dengan luas wilayah 10.000 Ha sampai

    dengan 15.000 Ha.

    Tabel 3.1 Perbandingan pemetaan Terestrial, Fotogrametri dan LIDAR

    Terestrial Fotogrametri LIDAR

    Luas Area

    Efektif Relatif kecil (1000Ha)

    Relatif Luas

    (>1000Ha)

    Ketelitian

    Planimetrik

    Relatif Tinggi

    (0.3 x faktor skala peta) Relatif Tinggi

    Relaif Kurang

    (0.2-1 m)

    Ketelitian

    Tinggi

    Relatif Tinggi

    (Faktor skala peta/2000) Relatif Sedang

    Relatif Tinggi

    (10-15 cm)

    Kecepatan

    Proses Relatif Lama Relatif Sedang Relatif Cepat

    Biaya Mahal Murah Relatif Murah

  • 57

    Jumlah

    Informasi

    Terbatas pada objek yang

    diukur

    Sebanyak yang

    mampu

    diinterpretasikan

    dari foto yang ada

    Sebanyak yang

    mampu

    diinterpretasikan

    dari foto yang ada

    Berdasarkan tabel di atas, untuk area penambangan batubara dengan luas daerah lebih dari

    1000 Ha, maka pemetaan dengan metode terestris sangat efektif. Sehingga metode

    fotogrametri dan LIDAR merupakan salah satu alternative pemetaan untuk cakupan area

    yang luas. Akan tetapi, jika produk akhir yang diharapkan berupa peta topografi dengan

    ketelitian tinggi yang bagus, maka pemetaan dengan metode fotogrametri tidak tepat

    diterapkan untuk area dengan tutupan lahan berupa hutan. Karena untuk mendapatkan

    informasi ketinggian dari metode fotogrametri, diperlukan sepasang sinar dari dua foto

    yang bertampalan (ilustrasi pada gambar di bawah ini).

    Gambar 3.11 Metode Fotogrametri Efektif Untuk Wilayah yang tidak Tertutup Pepohonan

    Gambar 3.12 Tinggi yang Diperoleh dari Fotogrametri Bukan Tinggi Topografi yang

    Sebenarnya

  • 58

    Sedangkan dengan teknologi LIDAR sangat tepat jika diterapkan untuk area penambangan

    yang didominasi pepohonan. Karena LIDAR memiliki kemampuan penetrasi (melewati

    celah-celah pepohonan) yang sangat baik dan multiple return. Dengan kemampuan sinar

    laser untuk melakukan pentrasi tersebut, maka informasi topografi permukaan tanah akan

    dapat diperoleh. Seperti ilustrasi pada gambar 3.13) berikut ini.

    Gambar 3.13 Metode LIDAR Sangat Efektif Untuk Wilayah yang Tertutup Pepohonan

    Berikut ini akan dijelaskan mengenai perolehan informasi planimetrik dari pemetaan

    dengan menggunakan metode fotogrametri dan tinggi dengan menggunakan LIDAR.

    3.2.1 DTM LIDAR dan fotoudara

    Ada beberapa definisi DTM yang dapat diperoleh dari literatur-literatur yang ada. Salah

    satu diantaranya LINKWITZ (1970), dikutip dari Budiana, 1982 memberikan definisi

    sebagai berikut :

    Digital Terrain Model adalah suatu sistem pembentukan model permukaan tanah yang

    terdiri dari dua bagian, yaitu :

    1) Pengambilan data terhadap titik yang dapat mewakili keseluruhan bentuk terrain,

    kemudian data tersebut disimpan pada memori Komputer, dan

    2) Rangkaian pekerjaan interpolasi titik-titik yang baru dari hasil pengumpulan data tadi.

    Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa teknik DTM terdiri dari dua tahapan, yaitu :

    1) Pengumpulan parameter-parameter posisi (X,Y,Z) dari titik-titik yang dapat dianggap

    mewakili keseluruhan terrain ke dalam suatu komputer.

  • 59

    2) Pekerjaan komputer untuk menghasilkan informasi dari hasil pengumpulan data-data

    tadi.

    Untuk wilayah yang ditutupi oleh vegetasi yang sangat lebat, akan sangat sulit untuk

    mendapatkan DTM dengan ketelitian yang tinggi pada daerah yang dilingkupi oleh hutan

    jika menggunakan metode fotogrametri. Karena, suatu titik akan dapat diketahui

    ketinggiann dengan menggunakan metode fotogrametri jika titik tersebut berada pada

    minimal dua foto yang saling bertampalan. Sedang jika kondisi liputannya berupa hutan,

    akan sangat sedikit titik ketinggian yang diperoleh pada satu model yang ada, bahkan

    biasanya ketinggian yang diperoleh dengan metode fotogrametri ini untuk wilayah hutan

    merupakan ketinggian dari pepohonan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan interval

    kontur yang rapat dengan metode fotogrametri, perlu dilakukan interpolasi antar titik

    ketinggian yang diperoleh dari digitasi ketinggian pada pengolahan foto udara. Akan

    tetapi, interval ketinggian yang diperoleh dari hasil digitasi tersebut sangat besar, sehingga

    hasil interpolasi antar titik yang dihasilkan kurang teliti.

    Dengan berbagai kendala yang ada pada metode terrestrial, satelit, dan fotogrametri

    tersebut, untuk wilayah tambang batubara yang membutuhkan peta topografi dengan

    interval kontur yang rapat dan teliti, maka teknologi LIDAR merupakan salah satu

    alternatif yang tepat untuk digunakan di wilayah pertambangan batubara. Ketelitian tinggi

    suatu titik di permukaan bumi dapat diperoleh dengan teknologi ini dalam waktu yang

    singkat dan biaya yang relatif lebih murah. Berikut ini diperlihatkan DTM yang diperoleh

    dengan menggunakan metode fotogrametri dan LIDAR. DTM yang diperoleh dengan

    fotogrametri tidak dapat memperlihatkan bentuk-bentuk relief permukaan topografi secara

    menyeluruh. Akan tetapi, dengan menggunakan teknologi LIDAR, bentuk representasi

    permukaan bumi, seperti lereng, patahan, cekungan dan sebagainya.dapat diperlihatkan

    dengan jelas.

  • 60

    DTM Fotogrametri DTM LIDAR

    Gambar 3.14 DTM LIDAR dan Fotogrametri

    3.2.2 Planimetrik LIDAR dan Ortofoto

    Untuk informasi planimetrik dan untuk keperluan pembuatan peta garis, maka yang baik

    digunakan yaitu ortofoto. Karena dalam hal ini ada beberapa pertimbangan antara lain :

    1) Ortofoto menggunakan proyeksi orthogonal, dimana efek kemiringan dan pergeseran

    relief sudah dikoreksi (efek beda tinggi objek tidak dikoreksi). Sedangkan dalam

    LIDAR, untuk koordinat planimetrik kurang teliti karena setiap titik data LIDAR

    memiliki 7 parameter (,,,X,Y,Z,dan jarak). Hal ini akan mengakibatkan semakin

    besarnya akumulasi kesalahan yang diakibatkan oleh IMU dan GPS. Sedangkan pada

    ortofoto, dalam satu foto (terdapat mencapai ribuan titik planimetrik) hanya ada 7

    parameter (,,,X,Y,Z,dan skala). Sehingga akumulasi kesalahan akibat kesalahan

    alat IMU maupun GPS lebih sedikit dibandingkan dengan LIDAR.

    2) Ortofoto yang didapat dari foto udara berwarna asli (contoh : foto pankromatik

    berwarna), dalam hal ini menggunakan spektrum gelombang elektromagnetik cahaya

    tampak, sehingga foto udara yang dihasilkan menunjukkan warna yang sebenarnya dari

    objek tersebut. Hal ini akan mempermudah dalam hal penginterpretasian objek yang

    ada dipermukaan bumi. Jika dibandingkan dengan LIDAR dimana hasil ploting titik-

    titik yang diperoleh bersifat monokromatik, sehingga lebih sulit dalam

    penginterpretasian suatu objek.

  • 61

    Gambar 3.15 Ploting LIDAR dan Ortofoto[Karvak, 2009]

    3.2 Perencanaan Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara

    Pengambilan data LIDAR dan foto udara dilakukan secara bersamaan dengan

    menggunakan wahana yang sama (misal : pesawat). Oleh karena itu, dalam perencanaan

    harus memperhitungkan mengenai teknis pengambilan data LIDAR maupun foto udara.

    Untuk perencanaan sebaran base station sebaiknya antara satu dengan yang lainnya

    berada pada radius 20 km. Hal ini berkaitan dengan tingkat ketelitian data yang

    dihasilkan, semakin jauh radius base stasion yang satu dengan yang lainnya maka semakin

    tidak teliti data yang dihasilkan.

    Adapun untuk perencanaan tinggi terbang dilakukan pada ketinggian yang memungkinkan

    pesawat tidak berada di atas awan atau kabut tebal. Karena sensor LIDAR tidak dapat

    menembus awan maupun kabut tebal tersebut. Selain itu, harus dilakukan pada kondisi

    cuaca yang bagus (tidak ekstrim).

    LIDAR memiliki angle field of view(AFOV) yaitu sudut pancar sensor dan kamera pada

    metode fotogrametri juga memiliki angle field of view yang berbeda. Akan tetapi, untuk

    besarnya angle field of view yang dimiliki oleh kamera sebaiknya sama besar atau lebih

    besar dari angle field of view sensor LIDAR (gambar 3.16). Hal ini karena dalam

  • 62

    perencanaan jalur penerbangan mengikuti jalur penerbangan LIDAR, sehingga jika AFOV

    dari kamera lebih kecil dibandingkan dengan LIDAR maka aka nada area yang tidak

    terpotret (ilustrasi pada gambar 3.17). Hal ini mengakibatkan informasi yang didapat

    kurang.

    Gambar 3.16 Angle Field of View dari Kamera Sama Besar atau Lebih Besar dari Angle

    Field of View sensor LIDAR

    Gambar 3.17 Jalur Penerbangan untuk Pengambilan Data LIDAR dan Foto Udara

    3.3 Integrasi LIDAR dan Fotogrametri untuk Kebutuhan Kegiatan Eksplorasi Tambang Batubara

    Dengan memanfaatkan informasi planimetrik yang diperoleh dengan menggunakan

    fotogrametri dan informasi ketinggian dengan menggunakan LIDAR, maka peta topografi

    dengan ketelitian planimetrik dan tinggi yang baik akan dapat diperoleh. Informasi

  • 63

    planimetrik dari fotogrametri diperoleh dari orto foto yang telah dikoreksi dengan

    melakukan orthorectifikasi. Dibawah ini adalah diagram pengolahan data untuk melakukan

    integrasi antara LIDAR dan foto udara. Pada pengolahan data fotogrametri, biasanya

    untuk mendapatkan kontur ketinggian peta garis maupun foto, maka perlu dilakukan

    pendigitasian terhadap model yang ada. Akan tetapi, kali ini, kontur didapat dari turunan

    data LIDAR (dengan menurunkannya dari DTM LIDAR) dan untuk planimetrik didapat

    dari foto udara.

    Diagram 3.1 Pengintegrasian Data LIDAR dan Foto Udara

    Adapun flow chart pengolahan data dan pengintegrasian/penggabungan data LIDAR dan

    foto udara dapat dilihat pada diagram di atas. Hasil akhir yang didapat dari sini yaitu

    berupa peta garis (X,Y,Z) dan/atau peta foto yang berkontur.

    3.4 Sistem Referensi LIDAR dan Fotogrametri

    Dalam kegiatan penambangan batubara, peta topografi yang digunakan merupakan peta

    yang memiliki arti fisik dipermukaan bumi, khususnya untuk tinggi yang digunakan yaitu

  • 64

    tinggi orthometrik dimana bidang acuannya adalah geoid atau MSL (Mean Sea Level).

    Pemetaan topografi dengan menggunakan LIDAR dan foto udara, tinggi yang diperoleh

    merupakan tinggi terhadap ellipsoid WGS 1984 (koordinat titik kontrol berdasarkan

    pengukuran GPS diferensial). Sehingga untuk memperoleh tinggi terhadap geoid (dalam

    praktis didekati dengan Mean Sea Level (MSL), diperlukan model datum global (EGM 96)

    atau dengan melakukan pengamatan pasut untuk memperoleh tinggi muka air laut rata-rata

    (MSL).

    Gambar 3.18 Hubungan antara Permukaan Bumi, Geoid (MSL), dan Ellipsoid

    H = h - N

    Dimana :

    H = tinggi orthometrik,

    h = tinggi geodetik,

    N = Undulasi geoid

    Geoid memiliki peran yang penting dalam berbagai hal seperti untuk keperluan aplikasi

    geodesi, oseanografi, dan geofisika. Contoh untuk bidang ilmu geodesi yaitu penggunaan

    teknologi GPS dalam penentuan tinggi orthometrik untuk berbagai keperluan praktis

    seperti rekayasa, survei, dan pemetaan membutuhkan infomasi geoid teliti. Hal Ini

    disebabkan karena tinggi GPS bersifat geometrik.

    2009 TA PP A'AN MEIZA 1-COVERCOVERLEMBAR PENGESAHANDAFTAR ISIDAFTAR ISTILAH

    2009 TA PP A'AN MEIZA 1-BAB 12009 TA PP A'AN MEIZA 1-BAB 22009 TA PP A'AN MEIZA 1-BAB 32009 TA PP A'AN MEIZA 1-BAB 42009 TA PP A'AN MEIZA 1-BAB 52009 TA PP A'AN MEIZA 1-PUSTAKA

    V"/Mpe: V$J+7