Upload
hendra-surya-ratsmawan
View
287
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN PENELITIAN
PENGARUH PEMBERIAN KURKUMIN TERHADAP
KADAR SERUM ANTI MULLERIAN HORMONE
PADA TIKUS MODEL ENDOMETRIOSIS
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
Dr. SOETOMO
Oleh :
Nova Hanafi, dr.
Pembimbing :
Ashon Sa’adi, dr., SpOG (K)*
Dr. Widjiati, drh., M.Si**
* DEPARTEMEN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNAIR / RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA
** DEPARTEMEN EMBRIOLOGI FKH UNAIR SURABAYA 2011
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan karunia,
rahmat dan hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan
judul “ Pengaruh Pemberian Kurkumin Terhadap Kadar Serum Anti Mullerian
Hormone Pada Tikus Model Endometriosis “, yang merupakan salah satu tugas akhir
dalam menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis I Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo
Surabaya.
Melalui kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan ucapan terima kasih, rasa
hormat dan penghargaan setinggi-tingginya kepada :
1. Prof. Dr.Agung Pranoto, dr., MSc, SpPD(KEMD) Finasim, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga; Prof.Dr.Muhammad Amin,dr.,SpPK(K);
Prof.Dr.MS Wiyadi,dr.,SpTHT-KL(K), selaku mantan Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk
mengikuti pendidikan spesialis di Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya.
2. Dodo Anondo, dr., MPH sebagai Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya; Dr.Slamet
Riyadi Yuwono,dr.,MARS,DTM&H, selaku mantan Direktur RSUD dr.Soetomo
Surabaya yang telah memberikan saya kesempatan untuk menuntut ilmu di lingkungan
rumah sakit yang beliau pimpin
3. Prof. R. Prajitno Prabowo, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
4. Prof. R. Hariadi, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
5. Prof. Muhammad Dikman Angsar, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya/ RSUD
Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
6. Prof. Lila Dewata Azinar, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
7. Prof. Samsulhadi, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Fertilitas, Endokrinologi
dan Reproduksi Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat,
dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
8. Prof. Suhatno, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Ginekologi Onkologi
Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan
bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
9. Prof. Dr. Agus Abadi, dr., SpOG(K), guru besar, Ketua Divisi Fetomaternal
Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan
bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
10. Prof. Soehartono DS, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
11. Prof. Heru Santoso, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
12. Prof. Djoko Waspodo, dr., SpOG(K) (Alm.), guru besar Departemen / SMF Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
13. Dr. Poedji Rochjati, dr., SpOG(K), Kepala Safe Motherhood Initiative Departemen /
SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang
diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
14. Widohariadi, dr., SpOG(K), Direktur NRC Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
15. Prof. Dr. Erry Gumilar Dachlan, dr., SpOG(K), guru besar Departemen / SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD
Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, bimbingan dan kepercayaan
yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
16. Bambang Trijanto, dr., SpOG(K), Ketua Divisi Obstetri Sosial Departemen / SMF
Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD
Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
17. Hari Paraton, dr., SpOK(K), Ketua Divisi Uroginekologi Rekonstruksi Departemen /
SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang
diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
18. Dr. Hendy Hendarto, dr., SpOG(K), Kepala Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan selama
mengikuti pendidikan spesialis.
19. Dr. Hermanto TJ, dr., SpOG (K), Ketua Program Studi Departemen / SMF Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
20. Brahmana Askandar Tj., dr., SpOG(K), Sekretaris Program Studi Departemen /
SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang
diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
21. Baksono Winardi, dr., SpOG(K), Koordinator Penelitian dan Pengembangan
Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan
bimbingan yang diberikan selama mengikuti pendidikan spesialis.
22. Agus Sulistyono, dr., SpOG(K), Kordinator Pelayanan Departemen / SMF Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya atas segala nasehat, dorongan, dan bimbingan yang diberikan
selama mengikuti pendidikan spesialis.
23. Ashon Sa’adi, dr., SpOG(K), staf pengajar Departemen / SMF Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya selaku pembimbing kami yang senantiasa mendorong kami, memberi
nasehat, meluangkan waktu untuk dapat menyelesaikan penelitian ini.
24. Dr. Widjiati, drh, Msi, staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
Airlangga dan selaku pembimbing penelitian kami atas segala nasehat, dorongan,
bimbingan, teguran dan arahan dan bimbingannya mulai pembuatan proposal
penelitian, pelaksanaan hingga penyusunan laporan penelitian.
25. Dr. Budiono, dr, MKes, staf pengajar Divisi Biostatistik dan Kependudukan
Departemen llmu Kesehatan Masyarakat/Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga dan selaku pembimbing statistik penelitian kami atas
bimbingannnya dengan penuh kesabaran dan dedikasi hingga terselesaikannya
penelitian kami.
26. Seluruh staf pengajar Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala nasehat,
dorongan, bantuan, bimbingan dan arahan dalam menyelesaikan penelitian ini
27. Seluruh rekan PPDS I Departemen / SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan rekan
PPDS I dari departemen keilmuan lain atas segala bantuan dan kerjasamanya selama
kami mengikuti pendidikan spesialis.
28. Seluruh karyawan dan karyawati baik paramedis maupun non paramedis RSUD Dr.
Soetomo atas segala bantuan dan kerjasamanya selama kami mengikuti pendidikan
spesialis.
29. Seluruh pasien dan keluarganya yang pernah dirawat di lingkungan RSUD Dr.
Soetomo khususnya lingkungan Departemen SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas
kesempatan , bantuan dan kerjasama yang diberikan selama kami mengikuti
pendidikan spesialis.
30. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua saya, bapak
Mansur (alm) dan ibu Umi Hanah, kedua mertua saya bapak Laksdya (Purn)
Soeratmin dan ibu Sri Poedjiastuti serta semua kakak, adik dan keponakan saya yang
tercinta yang telah memberikan nasehat, dukungan, dorongan dan doa restu yang tak
terhingga selama saya menjalani pendidikan spesialis ini
31. Akhir kata kepada istriku tercinta dr. Ria Sandy Deneska dan anak-anakku tersayang
Muhammad Alfian Hanafi, Vania Azzahra Hanafi dan Rasyaa Raufa Hanafi atas
pengorbanan, pengertian, dorongan, kesabaran, semangat serta doa yang diberikan
selama saya mengikuti pendidikan spesialis ini
Kami menyadari sepenuhnya bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang akan sangat bermanfaat bagi
penelitian ini. Semoga Allah SWT membalas segala budi baik yang telah diberikan
kepada kami dan senantiasa melimpahkan petunjuk, rahmat dan hidayahNya serta
menjadikan ilmu yang bermanfaat. Amin.
Surabaya, November 2011
Penulis
Nova Hanafi,dr
ABSTRACT
The Effect of Curcumin to the Anti Mullerian Hormone ( AMH ) Concentration
In Serum of Endometriotic Rat Model
Objective : to study the AMH concentration in serum of endometriotic rat model with
curcumin supplementation.
Place and time : experimental animals at embryology laboratory Veterinary Faculty
of Airlangga University, Surabaya, July – October 2011
Design and methods : experimental laboratory tests using 38 female rats (Rattus
Novergicus) with the inclusion criteria. To make endometriotic rat model, each rat was
injected with: both cyclosporin A and ethynil estradiol intramuscularly, human
endometrial tissue of benign ovarian tumors intraperitoneally. The endometriotic rat model
were randomly divided into two groups. The intervention group was comsuming curcumin
24 mg (240 mg/kg) once daily until fourteen days. The rat were sacrificed and the AMH
concentration from serum were measured by ELISA kit assay from Cusabio Biotech,
Wuhan, China.
Result : there was a significant difference in serum concentration of AMH between
curcumin group (44.9 ± 20.1) an placebo group ( 29.8 ± 11.9 ) ( p < 0.05 ).
Conclusion : the concentration of serum AMH is higher in endometriotic rat models with
curcumin supplementation than placebo.
Keywords : curcumin, endometriosis, anti mullerian hormone
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL i
UCAPAN TERIMA KASIH ii
ABSTRAK vii
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR SINGKATAN xiii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar belakang masalah 1
1.2 Rumusan masalah 4
1.3 Tujuan penelitian 4
1.3.1 Tujuan umum 4
1.3.2 Tujuan khusus 4
1.4 Manfat penelitian 4
1.4.1 Aspek ilmu pengetahuan 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1 Endometriosis 5
2.2 Patofisiologi endometriosis 5
2.2.1 Aliran balik menstruasi 5
2.2.2 Imunologi pada endometriosis 6
2.2.3 Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB) 9
2.3 Folikulogenesis 10
2.4 Apoptosis sel granulosa 13
2.5 Anti Mullerian Hormone (AMH) 15
2.5.1 Peran AMH pada perkembangan folikel 15
2.5.2 Mekanisme regulasi AMH 17
2.5.3 Sumber dan pola kadar AMH pada serum 18
2.5.4 AMH dan endometriosis 19
2.6 Terapi medis endometriosis 20
2.7 Kurkumin 21
2.7.1 Farmakokinetik dan efek samping 21
2.7.2 Aktivitas biologi 22
2.8 Binatang percobaan pada penelitian endometriosis 24
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 27
3.1 Kerangka konseptual 27
3.2 Narasi 28
3.3 Hipotesa penelitian 29
BAB 4 METODE PENELITIAN 30
4.1 Desain penelitian 30
4.2 Tempat dan waktu penelitian 30
4.3 Populasi, sampel dan besar sampel 30
4.3.1 Populasi 30
4.3.2 Sampel 30
4.3.3 Besar sampel 30
4.4 Kriteria subyek penelitian, variabel penelitian, dan
definisi operasional 30
4.4.1 Kriteria subyek penelitian 30
4.4.2 Variabel penelitian 31
4.4.3 Definisi operasional 31
4.5 Instrumen penelitian 33
4.6 Prosedur penelitian 33
4.6.1 Prosedur pengambilan sampel 33
4.6.2 Kerangka operasional 34
4.6.3 Alur penelitian 35
4.7 Pengelolaan data 36
4.8 Anggaran 36
4.9 Kelayakan etik 36
BAB 5 HASIL PENELITIAN 37
5.1 Karakteristik sampel penelitian 37
5.2 Analisa hasil penelitian 38
BAB 6 PEMBAHASAN 40
6.1 Model endometriosis 40
6.2 Karakteristik sampel penelitian 41
6.2 Perbandingan kadar serum AMH pada perlakuan dengan
kurkumin dan plasebo 42
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan 46
7.2 Saran 46
BAB 8 DAFTAR PUSTAKA 47
LAMPIRAN 52
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Ekspresi AMH pada folikel ovarium kuda 17
Tabel 5.1 Hasil uji normalitas berat badan tikus kelompok kurkumin
dan plasebo 38
Tabel 5.2 Hasil uji homogenitas berat badan tikus kelompok kurkumin
dan plasebo 38
Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar serum AMH 39
Tabel 5.4 Hasil uji t dua sampel bebas kadar serum AMH 39
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peran sentral makrofag pada patogenesa endometriosis 7
Gambar 2.2 Pengaruh gonadotropin dan berbagai faktor
pertumbuhan pada folikulogenesis 10
Gambar 2.3 Mekanisme apoptosis pada sel 14
Gambar 2.4 Peran AMH pada pertumbuhan folikel ovarium 16
Gambar 2.5 Hubungan berbagai faktor keluarga TGF-β dalam
folikulogenesis 20
Gambar 2.6 Mekanisme kerja Kurkumin pada aktivasi
Cytokine-induced NF-κB 23
DAFTAR SINGKATAN
AP-1 : Activator Protein-1APC : Antigen Presenting CellBDMC : Bisdemethoxycurcumin bFGF : Basic Fibroblast Growth FactorDD : Death DomainDMC : DemethoxycurcuminEGF : Epidermal Growth FactorEGF(R) : Epidermal Growth Factor (Receptor)EGR-1 : Early Growth Factor-1ERK : Extracellular signal-Regulated KinaseFADD : Fas Associated DD proteinGADD : Growth Arrest and DNA DamageHER-2 : Human Epidermal Growth Factor Receptor-2HGF : Hepatocyte Growth FactorIAP : Inhibitor of ApoptosisICAM-1 : Intercelluler Adhesion Molecule-1IFN-γ : Interferon GammaIGF-1 : Insulin-like Growth Factor-1IKK : IκB Kinase ComplexiNOS : Inducible Nitric Oxide SynthaseIκBα : Inhibitory Kappa Beta AlfaJNK : c-Jun NH2 terminal KinasekD : kilo DaltonKIR : Killer Inhibitory ReceptorsLPS : LipopolysaccharideMAPK : Mitogen Activated Protein KinaseMHC : Major Histocompatibility ComplexNIK : NF-κB Inducing KinaseNOS : Nitric Oxide SynthasePPAR-γ : Peroxisome Proliferator Activated Receptor GammaRANTES : Regulated upon Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted ROS : Reactive Oxygen SpeciesSCID : Severe Combined Immuno DefficientsICAM-1 : Soluble Intercelluler Adhesion Molecule-1THC : TetrahydrocurcuminTIMP : Tissue Inhibitors of MMPTNFR : Tumour Necrosis Factor ReceptorTRADD : TNF Receptor Associated Death DomainTRAF : TNF Receptor Associated FactorVEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang masalah
Endometriosis adalah salah satu penyakit yang masih merupakan masalah bagi
kesehatan wanita usia reproduktif. Didapatkan angka prevalensi pada populasi umum
wanita usia reproduktif antara 3-10 % (Sperrof, 2005). Pada umumnya mereka ke dokter
dengan keluhan nyeri pelvis kronis, nyeri haid, nyeri sanggama, dan infertilitas. Data di
Rumah Sakit dr.Soetomo Surabaya menunjukkan kejadian endometriosis pada tindakan
laparoskopi terhadap penderita infertilitas, yaitu pada tahun 1987 sampai 1991 sebesar
23,8 %, pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2 %, dan terakhir pada tahun
2002 mencapai 50 % (Samsulhadi, 2002). Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
tingginya angka infertilitas pada penderita endometriosis, yaitu faktor mekanik berupa
perlekatan organ reproduksi sehingga mengganggu pengambilan oosit oleh fimbria saat
ovulasi serta hambatan pertemuan sperma dan oosit di tuba Falopii, defek dari respon
imunologi dan penurunan kualitas oosit akibat gangguan proses folikulogenesis.
Penurunan kualitas oosit ini akan menyebabkan rendahnya angka kejadian kehamilan pada
wanita endometriosis hingga kurang dari 35 % (Barnhart dkk.2002) dan tingginya angka
kejadian abortus sampai 27 % (Matalliotakis dkk.,2008).
Defek respon imunologi ditandai dengan peningkatan proses inflamasi yang
diinduksi oleh aktifitas makrofag di dalam cairan peritoneum, makrofag tersebut akan
mensekresi secara berlebihan beberapa sitokin diantaranya TNF-α (Bedaiwy dkk., 2002).
TNF-α akan berdifusi dan masuk ke dalam folikel, kemudian melalui ikatan dengan
reseptornya (TNF-R1) pada membran sel granulosa, TNF-α akan mengaktifkan sinyal
kematian sel dan menginduksi terjadinya kaskade dari caspase dan merangsang proses
apoptosis pada sel granulosa (Hussein, 2005). TNF-α juga akan meningkatkan produksi
ROS melalui jalur JNK-1 dan akan meningkatkan stres oksidatif yang menstimulasi proses
apoptosis sel granulosa (Antosiewicz dkk.,2007). Proses apoptosis yang patologis tersebut
akan menyebabkan gangguan pada fungsi sel granulosa. Telah dibuktikan pada penelitian
sebelumnya bahwa pada proses folikulogenesis didapatkan kerjasama antara sel granulosa
dan sel oosit (Elvin dkk.,1999). Kedua sel tersebut saling berkomunikasi melalui jalur
parakrin untuk menghasilkan kualitas oosit yang baik untuk fertilisasi, sehingga apabila
terjadi gangguan pada fungsi sel granulosa dapat mengakibatkan menurunnya kualitas
oosit dan meningkatkan angka infertilitas pada penderita endometriosis.
Terapi yang umum digunakan pada endometriosis adalah dengan pembedahan atau
secara medis dengan obat hormonal atau kombinasi keduanya. Prinsip dasar terapi adalah
menekan gejala dan mencegah progresivitas dengan mengurangi implan endometriosis.
Umumnya terapi yang diberikan berguna untuk menanggulangi keluhan nyeri. Angka
kesembuhan terapi pembedahan sekitar 80%, tetapi terapi pembedahan terlalu invasif dan
angka kekambuhannya sekitar 10 % - 20 % serta masih memerlukan tambahan terapi
( Sperrof, 2005). Beberapa terapi hormonal yang saat ini digunakan bertujuan untuk
menghambat pertumbuhan implan endometriosis dengan jalan menekan hormon steroid
yang dikeluarkan oleh ovarium dan menimbulkan keadaan hipoestrogenik. Terapi medis
endometriosis tersebut hanya bisa digunakan dalam waktu yang terbatas oleh karena efek
samping hipoestrogen yang timbul, sehingga penderita diharapkan pada masalah baru yaitu
infertilitas. Tingginya angka kekambuhan yang mencapai 45% setelah menyelesaikan
terapi medis juga masih menjadi masalah hingga saat ini.
Sejalan dengan kondisi diatas, para ilmuwan berusaha menemukan terapi baru
dengan target molekul yang berbeda, memiliki efektifitas yang tinggi dan efek samping
yang lebih sedikit (Nasu dkk., 2007). Salah satu metode pengobatan medis yang
dikembangkan untuk tujuan tersebut adalah pengobatan dengan menggunakan bahan
herbal yaitu kurkumin. Kurkumin merupakan bahan aktif yang diekstraksi dari Curcuma
longa, dalam bahasa inggris disebut Turmeric dan dalam bahasa indonesia disebut kunir.
Kurkumin diketahui dapat menekan mutagenesis dan digunakan sebagai agen
chemopreventive untuk berbagai kanker seperti kanker usus besar, payudara, prostat,
esofagus, paru-paru, serta menghambat atherosclerosis, menghambat pertumbuhan virus
dan bakteri. Kurkumin juga mempunyai efek anti-inflamasi melalui penekanan aktivasi
nuclear factor- κB (NF-κB), efek antiproliferatif melalui penekanan cyclin D1 dan produk
gen anti-apoptosis, menginduksi pelepasan sitokrom C dan mempunyai efek anti
angiogenesis (Sandur dkk., 2007) serta diketahui pula mempunyai efek antioksidan
(Sharma dkk.,2005).
Pada penelitian sebelumnya telah dibuktikan bahwa kurkumin menghambat
pertumbuhan sel endometriosis melalui penekanan ekspresi VEGF (vascular endothelial
growth factor) (Kuswojo dkk., 2009) yaitu suatu faktor angiogenesis yang poten dan
penelitian oleh Johari telah membuktikan bahwa kurkumin dapat meningkatkan jumlah
dan maturasi ovum pada mencit model endometriosis yang dilakukan stimulasi ovarium
melalui penekanan proses inflamasi (Johari dkk.,2010) sementara penelitian oleh Sa’adi
mendapatkan bahwa kurkumin dapat menekan faktor angiogenesis VEGF dan luas implan
endometriosis pada mencit model endometriosis sebanding dengan progestin (MPA)
(Sa’adi, 2010).
Salah satu marker yang dapat digunakan untuk mengetahui fungsi sel granulosa
adalah AMH (anti Mullerian hormone) atau MIS (mullerian inhibiting substance) yaitu
suatu glikoproterin dimer yang termasuk dalam transforming growth factor-beta (TGF-β)
superfamily. AMH pada wanita dihasilkan oleh sel granulosa folikel pre-antral dan antral
yang ikut berperan pada folikulogenesis (Visser dan Themmen,2005). AMH disekresi oleh
ovarium ke dalam sirkulasi sehingga kadar AMH dapat diukur dalam serum. Kadar AMH
serum didapatkan menurun pada penderita endometriosis dan sebanding dengan
derajatnya, semakin berat maka kadar AMH juga semakin turun (Shebl dkk.,2009) begitu
pula pada kadar AMH dalam cairan folikel (Falconer,2009). AMH mempunyai
keunggulan dalam menggambarkan fungsi sel granulosa oleh karena tidak dipengaruhi
siklus menstruasi dan pemakaian obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase
(Streuli dkk.,2008). AMH suatu marker dengan nilai prognostik yang cukup baik dalam
memprediksi jumlah oosit matur yang didapatkan dalam suatu siklus tehnologi reproduksi
berbantu atau assisted reproductive technology (ART) pasca stimulasi gonadotropin (La-
Marca dkk., 2010). AMH bahkan memiliki nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
marker lainnya seperti FSH, inhibin B, dan estradiol (Hazout dkk., 2004). Kadar serum
AMH penting untuk memprediksi respon ovarium pada wanita endometriosis yang
mengikuti program ART. Diharapkan apabila didapatkan kadar AMH yang tinggi maka
angka keberhasilan program ART diharapkan pula akan meningkat.
Penelitian berikut mengajukan konsep bahwa apoptosis sel granulosa yang terjadi
karena peningkatan faktor inflamasi pada endometriosis akan menyebabkan penurunan
kadar AMH. Diharapkan dengan pemberian kurkumin dapat menghambat proses inflamasi
dan apoptosis sehingga mampu menekan gangguan fungsi sel granulosa yang ditandai
dengan tingginya kadar AMH. Dengan tingginya kadar AMH diharapkan fertilitas juga
meningkat. Mengingat kurkumin belum pernah digunakan pada manusia untuk pengobatan
endometriosis dengan infertilitas dan penelitian pada manusia untuk mengetahui efek
kurkumin terkendala etika, maka pada penelitian ini digunakan tikus sebagai model
endometriosis.
1.2 Rumusan masalah
Apakah kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat
suplementasi kurkumin lebih tinggi daripada plasebo?
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Mempelajari pengaruh pemberian kurkumin terhadap kadar AMH pada serum tikus
model endometriosis.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengukur kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat
suplementasi kurkumin.
2. Mengukur kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang mendapat
suplementasi plasebo.
3. Membandingkan kadar AMH pada serum tikus model endometriosis yang
mendapat suplementasi kurkumin dan plasebo?
1.4 Manfaat penelitian
1.4.1 Aspek ilmu pengetahuan
1. Mendapatkan data yang bisa dipakai sebagai data dasar untuk penelitian lebih
lanjut mengenai khasiat kurkumin terhadap patofisiologi endometriosis
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian selanjutnya pada
tikus model endometriosis sebelum dilakukan uji klinis pada manusia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Endometriosis
Endometriosis adalah suatu penyakit yang jinak. Didefinisikan dengan
didapatkannya kelenjar dan jaringan endometrium di luar rongga uterus (Speroff,2005).
Penyakit ini bersifat kronis dan progresif menimbulkan gejala berupa nyeri haid,nyeri
sanggama, infertilitas, dan nyeri panggul kronis.
Insiden endometriosis meningkat selama lebih dari 30 tahun terakhir. Hal
ini disebabkan semakin meningkatnya kepekaan dalam mendiagnosis endometriosis dan
penggunaan laparoskopi untuk membantu menegakkan diagnosa endometriosis. Angka
prevalensi endometriosis pelvis pada populasi wanita usia reproduktif secara umum
didapatkan sekitar 3-10 %. Sementara pada wanita dengan nyeri pelvik didapatkan
prevalensi antara 5-20 % dan pada wanita dengan infertilitas didapatkan prevalensi 20-40
% (Speroff,2005). Data di Rumah Sakit dr.Soetomo Surabaya menunjukkan kejadian
endometriosis pada tindakan laparoskopi terhadap penderita infertilitas, yaitu pada tahun
1987 sampai 1991 sebesar 23,8 %, pada tahun 1992 sampai 1993 meningkat menjadi 37,2
%, dan terakhir pada tahun 2002 mencapai 50 % (Samsulhadi,2002). Di Rumah Sakit dr.
Cipto Mangunkusumo Jakarta kejadian infertilitas dengan endometriosis sebesar 69,5%
sedangkan di Rumah Sakit dr.Moewardi Solo kejadian infertilitas disertai endometriosis
pada bedah ginekologi pada tahun 2000 sebesar 13,6% ( Hendarto,2007).
2.2 Patofisiologi endometriosis
Banyak teori tentang penjelasan patogenesa endometriosis, tetapi belum ada satu
teori pun yang bisa menjelaskan secara sempurna mengenai semua manifestasi penyakit
ini. Salah satu teori yang paling banyak dianut adalah teori tentang aliran balik menstruasi.
2.2.1 Aliran balik menstruasi
Teori Sampson (1927) berupa retrograde menstruation (aliran balik menstruasi)
paling banyak mendapat dukungan pada mekanisme yang terlibat dalam perkembangan
endometriosis. Aliran balik menstruasi adalah refluks aliran darah menstruasi melalui tuba
fallopii kedalam ke rongga abdomen. Kesimpulan Sampson ini didukung oleh beberapa
pengamatan yaitu:
1. Ditemukannya darah dalam cairan peritoneum pada 75-90% wanita yang menjalani
laparoskopi saat menstruasi dengan tuba yang paten.
2. Prevalensinya meningkat pada wanita yang mengalami hambatan aliran darah
menstruasi melalui vagina.
3. Lokasi implantasi jaringan endometriosis umumnya pada daerah pelvis yaitu
sekitar ovarium, kavum Douglas, dinding belakang uterus dan ligamentum di
sekitarnya. (Speroff,2005).
Walaupun aliran balik menstruasi terjadi pada 70-90 % wanita, ternyata hanya 10%
yang terdiagnosa menjadi endometriosis, artinya hanya sebagian kecil saja yang
berkembang. Hal ini menunjukkan terdapat faktor lain yang menentukan berkembangnya
penyakit ini. Diduga hal tersebut berkaitan dengan perubahan respon imun yang menjadi
abnormal pada penderita endometriosis (Berkkanoglu dan Arici, 2003).
2.2.2 Imunologi pada endometriosis
Pada endometriosis didapatkan perubahan imunitas baik imunitas humoral maupun
seluler. Perubahan tersebut mengakibatkan pembersihan debris refluks darah menstruasi
menjadi tidak efektif. Meskipun cairan peritonium wanita endometriosis mengandung
sejumlah sel imun yang meningkat pada kenyataannya aktivitas sel imun tersebut justru
membantu berkembangnya endometriosis daripada mencegah (Speroff,2005).
Perubahan pada sistem imun humoral dibuktikan dengan ditemukannya banyak
antibodi pada cairan peritonium maupun intravaskuler. Studi oleh Mathur dkk.(1982)
mendapatkan adanya IgG dan IgA anti endometrium dan ovarium pada serum dan sekret
vagina wanita endometriosis. Hal ini diasumsikan sebagai mekanisme pembersihan debris
menstruasi pada saluran reproduktif. Peneliti lain menemukan antibodi dalam sirkulasi
seperti antibodi anti nuclear, anti-DNA dan antiphospolipid atau antibodi lain seperti
antibodi anti endotelial dan antitiroid. Banyaknya antibodi yang ditemukan pada wanita
endometriosis menunjukkan peningkatan aktivitas dari sel limfosit B dan ini diasumsikan
bahwa endometriosis merupakan penyakit autoimun (Mathur dkk.,1982; Nothnick
dkk.,2001).
Abnormalitas dari sistem imun seluler menyangkut perubahan aktivitas dari sel NK
(Natural Killer cell) dan sel makrofag. Oosterlynck menemukan bahwa didapatkan
penurunan sitotoksisitas dari sel NK pada cairan peritonium. Penurunan aktivitas sel NK
semakin meningkat sesuai gradasi endometriosis (Oosterlynck dkk.,1991). Mekanisme
yang menyebabkan penurunan aktivitas sel NK belum jelas, tetapi sarjana Wu
mendapatkan peningkatan ekspresi Killer Inhibitory Receptors (KIR) pada cairan
peritonium penderita endometriosis. Hal ini kemungkinan menjadi salah satu penyebabnya
(Wu dkk.,2000).
Sel makrofag merupakan faktor penting dalam fisiologi imunitas seluler. Pada
siklus menstruasi normal, makrofag berfungsi sebagai scavenger (pembersih) sel
endometrium yang masuk dalam rongga peritonium dan akan mengalami apoptosis setelah
menyelesaikan perannya sebagai sel fagosit agar terhindar dari respon yang berlebihan.
Pada penderita endometriosis didapatkan peningkatan jumlah, konsentrasi dan aktivitas sel
makrofag (Berkkanoglu dan Arici,2003). Selain itu, sel makrofag pada cairan peritonium
penderita endometriosis mengekspresikan faktor anti apoptosis yaitu Bcl-2 lebih tinggi
dibanding normal dan hal ini yang mengakibatkan sel endometrium terlindungi dari proses
apoptosis (McLaren dkk.,1997). Akibat peningkatan jumlah dan aktivitas tersebut
kemudian menyebabkan sel makrofag pada penderita endometriosis dapat menstimulasi
implantasi dan pertumbuhan sel endometrium dengan memproduksi berbagai sitokin dan
faktor pertumbuhan (gambar 2.1) (Lebovic dkk.,2001).
Gambar 2.1 Peran sentral makrofag pada patogenesa endometriosis
Sumber : Lebovic dkk., 2001.
Sitokin merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel makrofag, limfosit atau
sel mesotel peritonium. Pada cairan peritonium wanita endometriosis telah diidentifikasi
beberapa sitokin pro inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang penting, yaitu
interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, Tumor Necrosis Factor (TNF)-α, Regulated on Activation,
Normal T-cell Expressed and Secreted (RANTES) dan Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) .
IL-1 terutama diproduksi oleh monosit dan makrofag. Beberapa penelitian telah
membuktikan peningkatan konsentrasi IL-1 pada cairan peritonium penderita
endometriosis. IL-1 terutama berperan dalam stimulasi faktor angiogenesis yaitu VEGF
dan IL-6 pada stroma sel endometriosis. IL-1 juga membantu sel endometrium lolos dari
surveilans sistem imun dengan menginduksi pelepasan sICAM-1 (Vigano dkk.,1998).
Selain itu juga menstimulasi proliferasi sel B dan produksi antibodi yang diketahui
meningkat pada endometriosis (Senturk dan Arici,1999).
IL-6 merupakan sitokin pleiotropic yang dapat memodulasi sitokin lain,
mempromosi aktivasi sel T dan diferensiasi sel B. Telah diketahui pula bahwa IL-6 dapat
menghambat proliferasi dari sel stroma endometrium. Tetapi di sisi lain pada sel
endometriosis diketahui resisten atau tidak respons terhadap efek inhibisi IL-6. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh penurunan konsentrasi reseptor solubel IL-6 (Rier
dkk.,1995).
IL-8 adalah sebuah kemokin yang menginduksi kemotaksis dari netrofil dan
merupakan faktor angiogenik yang poten. Telah dibuktikan bahwa didapatkan peningkatan
konsentrasi IL-8 pada penderita endometriosis dan berkorelasi dengan gradasi penyakit
(Gazvani dkk.,1998). IL-8 dapat berperan sebagai autokrin faktor pertumbuhan karena
menstimulasi proliferasi sel endometriosis. Diketahui pula TNF-α menstimulasi proliferasi
sel stroma endometriosis melalui induksi gen dan ekspresi protein dari IL-8 (Iwabe
dkk.,2000).
RANTES adalah sebuah sitokin yang berperan sebagai kemoatraktan bagi
makrofag, monosit dan sel T ke dalam peritonium. Konsentrasi RANTES diketahui
meningkat pada cairan peritonium penderita endometriosis dan meningkat sesuai
gradasinya. Produksi RANTES dapat distimulasi oleh sitokin lain. Pada percobaan in vitro,
kultur dari sel stroma endometrium dapat mensintesa mRNA RANTES dan mensekresi
protein bila diinduksi oleh TNF-α dan IFN-γ ( Hornung dkk.,1997).
VEGF adalah suatu mediator penting yang berperan pada angiogenesis lokal yang
diproduksi oleh monosit dan makrofag. VEGF menstimulasi proliferasi dari sel endotel
vaskuler. Faktor–faktor yang berperan menstimulasi produksi VEGF diantaranya adalah
IL-1, TGF-β, faktor–faktor pertumbuhan (PDGF,EGF), dan prostaglandin E2. Pada cairan
peritonium penderita endometriosis didapatkan kadar VEGF yang lebih tinggi dibanding
normal dan kadarnya sebanding dengan derajat penyakitnya (McLaren dkk.,1997)
TNF-α diproduksi oleh netrofil, makrofag, limfosit dan sel NK. Sitokin ini
mempunyai kemampuan untuk inisiasi sekresi berbagai sitokin lain dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan respon inflamasi. TNF-α cairan peritonium berperan untuk fasilitasi
perlekatan jaringan endometrium ektopik pada peritonium sehingga implan tersebut
menjadi berkembang. Konsentrasi TNF-α dalam cairan peritonium wanita endometriosis
meningkat dan berhubungan dengan stadium endometriosis. Dibandingkan sitokin lainnya,
TNF-α dalam cairan peritonium merupakan diskriminator bermakna untuk membedakan
endometriosis dengan bukan endometriosis (Bedaiwy dkk.,2002; Berkkanoglu dan
Arici,2003). Penelitian lain telah membuktikan bahwa kadar TNF-α dalam cairan folikuler
lebih tinggi pada wanita endometriosis dibandingkan wanita dengan gangguan infertilitas
karena faktor tuba (Falconer,2009).
TNF-α sebagai ligand, walaupun dapat berfungsi untuk regulasi fisiologis seperti
respon imun, hematopoisis dan morfogenesis, dapat pula berimplikasi pada tumorigenesis,
syok septik, rejeksi transplantasi, replikasi virus, resorpsi tulang, rheumatoid arthritis dan
diabetes mellitus. TNF-α dapat menstimulasi proliferasi sel, diferensiasi, survival atau
apoptosis (Aggarwal,2003).
2.2.3 Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB)
Banyak bukti telah melaporkan bahwa Nuclear Factor-Kappa B (NF-κB), sebuah
faktor transkripsi yang memiliki peran utama dalam respon inflamasi. NF-κB adalah
heterodimer dari protein homologus c Rel protein, yang normalnya berada di sitoplasma
dari sel dan berikatan dengan IκBα yang membuatnya inaktif. Stimulus seperti sitokin,
virus dan oksidan memecah ikatan NF-κB dengan IκBα. NF-κB lalu pindah ke nukleus
dan berikatan dengan DNA dari gen-gen mediator inflamatori yang mengakibatkan
meningkatnya produksi dan sekresi NF-κB. Sebagai inhibitor glukokortikoid
menginaktivasi NF-κB dengan meningkatkan IκBα dan reaksi inilah yang menjadi basis
dari reaksi inflamasi.
NF-κB berperan penting terhadap respon imun dan inflamasi melalui regulasi gen
yang mengode sitokin pro inflamasi (IL-1,IL-2,IL-12 dan TNF-α), molekul adhesi
(endothelial leukocyte adhesion molecule, vascular cell adhesion molecule dan
intercellular adhesion molecule), kemokin, faktor pertumbuhan dan beberapa enzim
seperti COX-2 dan inducible nitric oxide synthase (iNOS). Molekul ini merupakan
komponen penting respon imun alamiah untuk menginvasi mikroorganisme atau debris
lainnya dan dibutuhkan untuk migrasi sel inflamasi dan sel fagosit dari jaringan. Tikus
model dengan defek pada aktivitas NF-κB atau berkurangnya beberapa sub unit NF-κB
seperti Rel-A (p65) mempengaruhi imunitas alamiah, adaptif dan perkembangan organ
limfoid (Tripathi dan Aggarwal,2006; Ramos dkk.,2007).
Beberapa gen yang diregulasi oleh NF-κB terbukti berdampak pada patofisiologi
endometriosis. Studi in vitro menunjukkan aktivasi NF-κB di dalam sel stroma
endometriosis melalui jalur NF-κB klasik diinduksi oleh IL-1, TNF-α atau lipopolisakarida
(Ramos dkk.,2007). Studi oleh Ramos menunjukkan NF-κB aktif di dalam sel
endometriosis peritonium, lesi merah endometriosis menunjukkan derajat aktivasi NF-κB
lebih tinggi dibanding lesi hitam. Selain itu juga ditemukan ekspresi ICAM-1 meningkat
bermakna pada lesi merah dibanding lesi hitam. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan
meningkatnya aktivitas jalur NF-κB pada lesi endometriosis.
2.3 Folikulogenesis
Pembentukan dan pertumbuhan folikel sudah terjadi sejak janin usia 18-20 minggu
kehamilan. Kebanyakan folikel berada dalam keadaan resting follicle dinamakan sebagai
folikel primordial. Fase istirahat folikel tertahan pada tahap diploten dari profase meiosis I,
tetapi sebagian ada yang masuk ke fase pertumbuhan. Adanya sinyal pertumbuhan oleh
gonadotropin (FSH dan LH memuncak pada usia kehamilan 28-30 minggu) tidak diikuti
ovulasi, sehingga folikel yang tumbuh berakhir dengan atresia. Penipisan cadangan folikel
karena atresia pada mamalia diketahui pada 99 % folikel yang terbentuk, hanya 1% yang
mencapai ovulasi.
Gambar 2.2 Pengaruh gonadotropin dan berbagai faktor pertumbuhan pada
folikulogenesis
Sumber : McGee dan Hsueh, 2000.
Cadangan folikel secara terus menerus tumbuh ke fase pertumbuhan melalui proses
pemilihan awal atau “Initial recruitment”, hormon atau faktor-faktor yang memicu
terjadinya proses tersebut belum diketahui. Hanya sekelompok folikel primordial saja yang
dapat dipengaruhi faktor pemicu dan masuk ke fase pertumbuhan, sedang yang lain tetap
tidak aktif atau “Dormant”. Folikel yang terpilih akan berkembang sampai ke fase
preantral kemudian antral setelah itu terjadi proses pemilihan kembali “Cyclic
recruitment” oleh gonadotropin untuk berlanjut ke fase berikutnya, bila saat itu
gonadotropin kadarnya rendah maka akan terjadi atresia (McGee dan Hsueh, 2000).
Beberapa teori menerangkan terjadinya atresia folikel melalui proses apoptosis,
diantaranya :
1. Folikel mengalami atresia karena disebabkan kelainan oosit, sel granulosa, dan
kondisi lingkungan.
2. Semua folikel mampu mencapai tahap ovulasi kecuali dipicu untuk atresia oleh
stimulan iatrogenik misalnya androgen, IL-6, Fas, dan sebagainya.
3. Atresia memang “takdir” dari folikel itu sendiri.
Folikel yang mengalami apoptosis menunjukkan adanya gambaran involusi, bentuk
menjadi ireguler, sitoplasma mengalami kondensasi, membrane blebbing, hipertrofi sel
teka, kerusakan germinal vesicle, dan fragmentasi oosit menjadi apoptotic body. Multi
studi telah mendemonstrasikan pentingnya peran growth factor dalam menekan terjadinya
apoptosis, antara lain:
a. Gonadotropin, telah diketahui bahwa hilangnya lonjakan gonadotropin akan memicu
dan mempercepat terjadinya atresia dalam 3-4 hari. Perubahan sel granulosa dan sel
teka dipengaruhi gonadotropin sebagai penentu kelangsungan pertumbuhan folikel.
Selanjutnya folikel atretik dapat dicegah dengan pemberian gonadotropin eksogen.
b. IGF-1, berfungsi untuk meningkatkan pengaruh stimulasi gonadotropin pada
diferensiasi folikel. Walaupun demikian peran IGF-1 menghambat atresia folikel
secara pasti belum diketahui. Pemberian IGF-1 di model kultur menunjukan efek
yang sama seperti penggunaan gonadotropin eksogen pada hewan coba hamster.
c. Estrogen dan Androgen. Estrogen dan FSH diketahui dapat meningkatkan indeks
mitosis dan akumulasi reseptor FSH pada sel granulosa sehingga folikel sangat peka
terhadap konsentrasi FSH rendah. Sebaliknya, androgen mempunyai sifat atretogenik
terhadap folikel sehingga banyak terjadi piknotik sel granulosa dan degenerasi sel
oosit. Androgen diproduksi oleh sel teka yang kemudian oleh sel granulosa
digunakan sebagai bahan pembentukan estrogen. Konsentrasi androgen yang rendah
dapat meningkatkan aktifitas aromatase sehingga meningkatkan produksi estrogen,
tetapi pada konsentrasi tinggi akan dimetabolisme oleh sel granulosa menjadi 5α-
androgen yang merupakan androgen paling poten, androgen ini tidak bisa dirubah
menjadi estrogen dan menghambat pembentukan reseptor LH yang esensial untuk
pertumbuhan folikel serta menghambat aktifitas aromatase. Dengan demikian bila
rasio androgen – estrogen folikel meningkat maka akan memicu proses apoptosis
folikel.
d. Selain factor-faktor diatas apoptosis juga dipengaruhi oleh IL6, Fas Ligand, Aktivin,
Inhibin, TGF α, dan lain-lain.
Pada hewan coba tikus dibuktikan bahwa awal pertumbuhan folikel dipicu oleh
gonadotropin. Peran gonadotropin dalam menginisiasi folikel istirahat ke fase
pertumbuhan dianggap yang terpenting. Pertumbuhan folikel ini diawali oleh perubahan
bentuk sel granulosa dari pipih menjadi kuboid (folikel primer), perubahan sel granulosa
tersebut dipengaruhi kadar FSH. Terbukti pada pemberian GnRH analog dimana reseptor
FSH di sel granulosa terblokir menyebabkan tidak terjadinya perubahan tersebut.
Walaupun apoptosis dapat terjadi pada semua fase tetapi saat yang paling mudah
jatuh ke atresia adalah transisi dari preantral (folikel sekunder) ke antral (folikel tertier).
FSH dan LH adalah hormon tropik yang esensial untuk proliferasi sel granulosa dan
pemilihan folikel antral. LH/hCG sendiri tidak efektif untuk mendukung pertumbuhan
folikel sehingga FSH merupakan survival factor predominan pada permulaan pertumbuhan
folikel. Estrogen folikel diperoleh dari aromatisasi androgen di sel granulosa dan
produksinya tergantung dari FSH. Androstenedion diproduksi oleh sel teka dan
dipengaruhi oleh LH. Folikel preovulator (folikel Graafian) juga memerlukan survival
factor untuk terjadinya ovulasi dimana mekanismenya berbeda.
Kerja sama hormon intrafolikular mungkin diperlukan untuk lolosnya satu oosit ke
ovulasi. Terjadinya apoptosis pada folikel preovulatoar dapat dicegah dengan pemberian
FSH dan LH. Selain itu pemberian sejenis growth hormon seperti, IGF-1, TGF-α
(transforming growth factor alpha), terbukti menekan apoptosis. Jadi pada fase
preovulatoar untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya diperlukan kerjasama antara
sistem endokrin, parakrin, autokrin, dan intrakrin (McGee dan Hsueh, 2000).
2.4 Apoptosis sel granulosa
Apoptosis atau programmed cell death adalah proses kematian sel yang terprogram
dimana integritas dan arsitektur jaringan sekitarnya dipertahankan normal. Apoptosis
terjadi melalui dua jalur utama :
1. Jalur ekstrinsik atau Dead Receptor Pathway
2. Jalur intrinsik atau jalur mitokondria.
Jalur ekstrinsik apoptosis dimulai setelah death receptor diduduki oleh protein Fas
atau dengan TNF-α yang diproduksi oleh limfosit T atau makrofag yang teraktivasi.
Reaksi ini akan diikuti oleh apoptotic pathway yang terdiri dari seperangkat enzim yaitu
TRADD, FADD, caspase 8 dan 10 kemudian menggerakkan efektor apoptosis. Sebagian
rangsangan yang berasal dari TNF-α juga akan menstimulasi mitokondria (Beere,2005).
Pada jalur intrinsik inisiasi ditimbulkan oleh bahan-bahan biokimia yang akan
memberi sinyal pada mitokondria. Terbukanya membran mitokondria tersebut ditentukan
pula oleh berbagai protein dari keluarga Bcl-2. Perubahan ini menyebabkan keluarnya
sitokrom-c, selanjutnya akan mengaktivasi caspase 9 yang kemudian akan menggerakkan
efektor apoptosis.
Danudjo (2003) menyatakan bahwa pada penderita endometriosis terjadi apoptosis
patologis di sel granulosa ovarium. Apoptosis ini terjadi karena adanya ikatan Fas Fas-
ligand di folikel imatur akibat rendahnya kadar FSH karena disupresi oleh umpan balik
negatif hormon estrogen. Tingginya hormon estrogen terjadi karena produksi yang
berlebih dari implan endometriosis karena rangsangan IL-6 zalir peritonium melalui enzim
aromatase. Apoptosis sel granulosa yang patologis inilah yang diduga menyebabkan
infertilitas ( Danudjo,2003)
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan produk intermediet pada
metabolisme normal oksigen. Untuk melindungi dari efek merugikan, sel memproduksi
sistem anti oksidan untuk membatasi produksi ROS, menginaktivasi dan memperbaiki
kerusakan sel. Akan tetapi stres oksidatif dapat terbentuk ketika terjadi ketidakseimbangan
antara produksi ROS dan perlindungan anti oksidan. TNF-α ikut berperan dalam
peningkatan kadar stres oksidatif dengan jalan menginduksi produksi ROS melalui jalur
JNK-1 (Antosiewicz dkk.,2007).
Stres oksidatif diketahui menimbulkan efek perusakan pada sel dan menginduksi
terjadinya proses apoptosis. Zeller melaporkan bahwa produksi ROS oleh sel mononuclear
dalam cairan peritonium penderita endometriosis didapatkan meningkat (Zeller,1987).
Beberapa penelitian juga membuktikan peningkatan stres oksidatif pada penderita
endometriosis. Ota dkk berargumen bahwa peningkatan konsentrasi stres oksidatif
diakibatkan oleh peningkatan xanthin oxidase yaitu suatu ROS-generating enzyme (Ota
dkk.,2001). Szczepanska dkk melaporkan bahwa didapatkan penurunan secara signifikan
kadar superoxide dismutase dan glutathione peroxidase (suatu anti oksidan enzimatik)
pada penderita endometriosis dibandingkan penderita infertilitas oleh sebab idiopatik
(Szczepanska dkk.,2003). Sementara itu Seino dkk mendapatkan kadar 8-hydroxy-2-
deoxyguanosine (8-OhdG) yaitu suatu marker kerusakan DNA akibat stres oksidatif,
meningkat dalam sel granulosa penderita endometriosis (Seino dkk., 2002).
Gambar 2.3 Mekanisme apoptosis pada sel
Sumber : Portt dkk.,2011
2.5 Anti Mullerian Hormone ( AMH )
Hormon Anti Mullerian (Anti Mullerian Hormone/AMH) atau disebut juga sebagai
Mullerian Inhibiting Substance (MIS) termasuk dalam kelompok Transforming Growth
Factor β (TGF- β) yang merupakan glikoprotein homodimeric dengan berat molekul 140
kD. Fungsi utama AMH awalnya diketahui pada diferensiasi seks fetus (Josso dkk., 2001).
Pada fase diferensiasi ini dengan pengaruh dari gen sry pada kromosom Y, gonad
pada kromosom laki-laki berdiferensiasi menjadi testis. Diferensiasi ini dipengaruhi
beberapa hormon, yaitu testosteron yang diproduksi oleh sel Leydig dimana hormon ini
berfungsi pada stimulasi perkembangan karakteristik seks laki-laki, seperti diferensiasi
duktus Wolfii menjadi epididimis, vas deferens, dan vesika seminalis. Hormon lainnya
adalah AMH, hormon ini diproduksi sel Sertoli testis yang berfungsi pada regresi duktus
Mullerian, dimana duktus ini pada perempuan akan berkembang menjadi uterus, tuba, dan
vagina bagian proksimal (Visser dan Themmen, 2005).
AMH memiliki dua reseptor, yaitu reseptor tipe I (AMHRI) dan reseptor tipe II
(AMHRII). Reseptor ini merupakan reseptor dengan membran tunggal yang terdiri dari
serin atau threonin kinase. AMHRII merupakan ligand binding yang spesifik dengan TGF-
β dan aktivin. Sedangkan AMHRI memiliki peran dalam tahap akhir signaling pasca
aktivasi oleh AMHRII. Ekspresi gen yang mengatur AMH pada manusia berhasil diisolasi
pada tahun 1995 yang terletak pada kromosom 12 dan terdiri dari 11 exon. Ekspresi
AMHRII didapatkan pada duktus Mulleri dan gonad sedangkan ekspresi AMHRI masih
belum didapatkan secara spesifik (Josso dkk., 2001).
2.5.1 Peran AMH pada Perkembangan Folikel
Perkembangan atau pertumbuhan folikel ovarium dibagi menjadi initial
recruitment, yaitu tahapan maturasi dari folikel primordial dan cyclic recruitment, yaitu
tahapan pertumbuhan folikel antral menjadi folikel dominan sampai terjadinya ovulasi.
Pada tahap initial recruitment terjadi proses pemilihan folikel primordial yang akan
berkembang masuk dalam fase pertumbuhan dimana dalam proses ini tidak tergantung
gonadotropin. Proses ini terus berlangsung mulai dari bayi hingga menopause. Sedangkan
pada tahap cyclic recruitment proses yang terjadi adalah pemilihan folikel antral yang
tidak jatuh dalam proses atresia sehingga akan menjadi folikel dominan dengan bantuan
gonadotropin (gonadotropin dependent) (Findlay dkk.,2009). Follicle-stimulating
hormone (FSH) merupakan hormon utama pada fase cyclic recruitment dan menjadi dasar
siklus menstruasi yaitu dengan adanya sekresi estradiol dari folikel dominan (Broekmans
dkk., 2008).
Awal ekspresi AMH pada wanita adalah pada sel granulosa folikel primordial,
yaitu mulai folikel primer saat umur kehamilan 36 minggu sedangkan pada folikel yang
lebih besar sekresi AMH terutama oleh sel granulosa di sekitar oosit. Ekspresi AMH terus
berlangsung sejalan dengan pertumbuhan folikel di ovarium hingga ukurannya mencapai 4
– 6 mm yang disebut folikel antral. Sehingga ekspresi AMH terjadi pada masa folikel
primordial hingga folikel antral atau khususnya pada folikel-folikel yang tidak
berkembang menjadi folikel dominan. Sehingga fase sebelum folikel primordial dan
setelah folikel antral tidak didapatkan ekspresi AMH (Visser dan Themmen, 2005).
Gambar 2.4 Peran AMH pada pertumbuhan folikel ovarium. Pengaruh inhibisi
pertumbuhan folikel oleh AMH dapat terjadi pada (a) yaitu tahap initial
recruitment folikel primordial dan (b) mempengaruhi sensitifitas folikel
antral terhadap FSH.
Sumber: Broekmans dkk, 2008
Sebuah penelitian melaporkan bahwa oosit dan folikel preantral dan preovulasi
berperan dalam regulasi kadar mRNA AMH intra folikuler. Sehingga salah satu pemegang
regulasi perkembangan dan pertumbuhan folikel adalah oosit. Pola ekspresi AMH ini
menunjukkan kepada kita bahwa AMH memiliki peran penting baik dalam regulasi
pertumbuhan folikel maupun proses seleksi folikel untuk ovulasi (gambar 2.4) (Visser dan
Themmen, 2005).
Penelitian pada kuda untuk melihat ekspresi AMH pada ovarium menunjukkan
bahwa ekspresi AMH pertama kali didapatkan pada sel granulosa folikel primer dan
ekspresinya terbesar didapatkan pada folikel preantral. Ekspresi AMH kemudian menurun
pada folikel antral besar atau folikel yang mengalami atresia (tabel 2.1) (Ball dkk., 2008).
Tabel 2.1 Ekspresi AMH pada folikel ovarium kuda.
Folikel
Primordial
Folikel
Preantral
Folikel Antral
Besar (>30mm)
Folikel
Atresia
Corpus
Luteum
Jumlah Folikel 10 5 3 6 3
Ekspresi AMH - ++(+) +(+) -(+) -
Sumber: Ball dkk, 2008
AMH juga berperan dalam mempengaruhi ambang sensitifitas folikel terhadap
FSH pada proses seleksi folikel dominan. Penelitian invitro pada tikus menunjukkan
folikel antral menjadi lebih sensitif terhadap FSH tanpa adanya AMH (Durlinger dkk.,
2001). Penelitian lainnya juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara jumlah AMH
pada cairan folikel dan kadar estradiol dalam folikel antral kecil, hal ini menunjukan
adanya hubungan antara produksi AMH dengan aktivitas FSH (Andersen dan Byskov,
2006). Ekspresi AMH pada folikel ovarium manusia menurun pada folikel antral besar (6-
8 mm) saat masuk fase cyclic recruitment yang dipengaruhi FSH. Penelitian pada
polimorfisme gen AMH dan AMH reseptor II (AMHRII) menunjukkan bahwa AMH dapat
mempengaruhi produksi Estradiol dari folikel antral dan menginduksi pertumbuhan
folikel, hal ini dapat terjadi akibat penurunan reseptor ligan AMH yang aktif sehingga
menyebabkan peningkatan pengaruh FSH terhadap pertumbuhan dan sintesis hormon pada
folikel (Kevenaar dkk., 2006).
2.5.2 Mekanisme Regulasi AMH
Mekanisme regulasi AMH intrafolikuler hingga kini belum diketahui dengan pasti
namun diduga FSH secara lokal berperan dalam regulasi umpan balik negatif kadar AMH
intrafolikuler melalui sekresi estradiol . Penelitian pada ovarium 24 wanita yang bertujuan
untuk mengevaluasi kadar AMH dan estradiol intrafolikuler menunjukkan adanya korelasi
negatif yang kuat antara kadar AMH dengan konsentrasi estradiol (Nielsen dkk., 2010).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian lainnya yang memperkuat pendapat bahwa
FSH berperan sebagai regulator negatif ekspresi AMH intrafolikuler (Desforges-Bulle
dkk., 2009; Dumesic dkk., 2009). Tetapi peneliti lain mendapatkan bahwa AMH
mengurangi kepekaan folikel terhadap rangsangan FSH. Pendapat ini berdasarkan fakta
bahwa AMH menurunkan aktivitas aromatase di ovarium dan folikel ovarium tikus yang
dihilangkan gen AMH nya menjadi lebih peka terhadap rangsangan FSH dibandingkan
tikus normal (Durlinger dkk.,2001).
Salmon dkk (2004) melakukan penelitian in vitro pada tikus. Ekspresi AMH oleh
sel granulosa akan berkurang bila dilakukan oositektomi dan meningkat kembali bila oosit
dikultur kembali bersama sel granulosa. Menurunnya ekspresi mRNA AMH pada sel
granulosa yang dilakukan oositektomi disebabkan oleh hilangnya sinyal dari oosit,
sehingga diduga oosit berperan pada regulasi AMH oleh sel granulosa.
2.5.3 Sumber dan Pola Kadar AMH pada Serum
Walaupun AMH memiliki kemampuan autokrin dan parakrin pada pertumbuhan
folikel namun pengukuran kadar AMH dilakukan dengan melihat jumlahnya dalam serum.
Kadar AMH serum menurun seiring dengan bertambahnya usia dan berhubungan langsung
dengan penurunan jumlah dan pertumbuhan folikel primordial (Kevenaar dkk.,2006).
Meskipun sumber pasti kadar serum AMH belum diketahui namun folikel antral
merupakan salah satu sumber utama kadar AMH pada serum karena folikel antral
mendapatkan suplai darah yang lebih baik dan jumlah sel granulosa yang lebih banyak bila
dibandingkan folikel preantral (Broekmans dkk.,2008).
Hiperstimulasi ovarium dengan FSH eksogen dapat menunjukkan perbedaan kadar
AMH pada berbagai fase folikel ovarium karena hiperstimulasi ini menyebabkan
banyaknya folikel antral kecil berkembang menjadi folikel dominan. Hiperstimulasi ini
menyebabkan penurunan yang drastis kadar AMH perifer akibat penurunan jumlah folikel
antral kecil dan meningkatnya jumlah folikel dominan.
Kadar AMH pada bayi meningkat beberapa minggu setelah lahir dan
mencapai kadar maksimum setelah pubertas. Hal ini konsisten dangan hasil penelitian
yang menunjukkan bahwa perkembangan ovarium dan peningkatan jumlah folikel antral
sejalan dengan peningkatan usia. Pada wanita dewasa kadar AMH serum menurun sejalan
dengan meningkatnya usia dan menghilang saat menopause. Kadar AMH serum
tampaknya tidak dipengaruhi oleh siklus menstruasi. Sebuah penelitian yang memanipulasi
paparan FSH dengan cara memberikan hormon seks steroids atau gonadotropin releasing
hormone agonist ternyata tidak memberikan pengaruh yang bermakna pada kadar AMH
serum (La Marca dkk.,2004). Sementara penelitian lain membuktikan AMH mempunyai
keunggulan dalam menggambarkan fungsi sel granulosa oleh karena tidak dipengaruhi
siklus menstruasi dan pemakaian obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase
(Streuli dkk.,2008).
2.5.4 AMH dan endometriosis
Pada penderita endometriosis didapatkan kadar AMH serum yang rendah.
Beberapa penelitian telah membuktikan hal tersebut. Lemos dkk. (2008) membuktikan
bahwa kadar AMH serum penderita endometriosis menurun dibandingkan wanita infertil
karena faktor tuba. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Shebl dkk. (2009) yang
melakukan penelitian pada 909 wanita yang melakukan program IVF/ICSI dan
mendapatkan bahwa kadar serum AMH pada penderita endometriosis yang ringan hampir
tidak berbeda dengan kontrol (male factor) tetapi pada penderita stadium berat didapatkan
perbedaan yang signifikan. Akan tetapi penelitian oleh Campos dkk.(2010) mendapatkan
hasil bahwa kadar AMH pada cairan folikel penderita endometriosis ringan adalah sama
dibandingkan wanita infertil karena faktor tuba yang menjalani program IVF.
Perbedaan hasil ini kemungkinan sejalan dengan hipotesa bahwa proses inflamasi
dan faktor-faktor yang berperan di dalamnya mempengaruhi produksi AMH. Falconer
(2009) membuktikan bahwa pada endometriosis didapatkan kadar estradiol dan jumlah
total folikel saat petik oosit antara penderita endometriosis dan faktor tuba tidak berbeda,
tetapi didapatkan kadar AMH yang lebih rendah dan kadar TNF-α yang lebih tinggi pada
penderita endometriosis. Hal ini membuktikan bahwa faktor-faktor inflamasi yang terlibat
dalam patogenesa endometriosis terlibat secara langsung dengan penurunan kadar AMH
pada penderita endometriosis (Falconer, 2009). Hong dkk.(2003) memperlihatkan
keterlibatan TNF-α dalam regulasi AMH pada sel testis tikus meskipun kemungkinan hal
ini berbeda karena perbedaan jenis kelamin dan spesies.
Gambar 2.5 Hubungan berbagai faktor keluarga TGF-β dalam folikulogenesis
Sumber : Knight dkk., 2006.
Diketahui pula bahwa faktor-faktor pertumbuhan yang termasuk dalam kelompok
keluarga Transforming Growth Factor-β (TGF-β) berperan penting dalam folikulogenesis
( gambar 2.6 ). Salah satunya adalah GDF-9 yang diekspresikan oleh oosit. AMH juga
merupakan salah satu keluarga TGF-β yang diproduksi oleh sel granulosa. Seperti sudah
diketahui bahwa pada endometriosis didapatkan gangguan kualitas dan maturasi dari oosit
akibat penurunan ekspresi GDF-9 (Elvin dkk.,1999; Hendarto,2007). Hal ini terjadi akibat
peningkatan faktor inflamasi yaitu TNF-α pada endometriosis. Dengan akibat terjadinya
peningkatan proses apoptosis pada sel granulosa mengakibatkan pula gangguan pada
pertumbuhan sel granulosa yang berdampak pada folikulogenesis dan produksi AMH oleh
sel granulosa. Hal ini telah dibuktikan oleh Elvin dkk.(1999) bahwa didapatkan oosit yang
dikelilingi hanya satu lapis sel granulosa pada terjadinya defisiensi faktor GDF-9 (Elvin
dkk.,1999). Toya dkk.(2000) juga telah membuktikan bahwa pada penderita endometriosis
didapatkan penurunan jumlah sel granulosa pada fase G2/M dan peningkatan pada fase S
yang kemungkinan diakibatkan oleh gangguan siklus sel karena peningkatan aktivitas
sitokin pro inflamasi (Toya dkk., 2000).
2.6 Terapi medis endometriosis
Terapi medis endometriosis selama ini banyak menggunakan preparat hormonal,
sebagai contoh : GnRH agonis, preparat progestin, danazol atau kontrasepsi oral.
Umumnya obat-obat tersebut memberikan efek samping berupa hambatan proses ovulasi,
sehingga penderita dihadapkan pada masalah baru yaitu infertilitas. Diharapkan terapi
yang ideal adalah dapat menekan target sel secara efektif, aman, murah, efek samping
ringan dan tidak mengganggu fertilitas. Salah satu alternatif terapi yang saat ini dapat
dijadikan pilihan adalah terapi herbal. Terapi herbal yang kami bahas adalah tentang
kurkumin.
2.7 Kurkumin
Turmeric (kunir) merupakan akar dari tumbuhan Curcuma Longa, merupakan salah
satu obat tradisional yang telah digunakan selama berabad-abad di kawasan Asia
Tenggara. Turmeric mengandung bahan aktif Kurkumin (diferuloymethane),
Demethoxykurkumin (DMC), Bisdemethoxykurkumin (BDMC) dan minyak turmeric (ar-
turmerones dan α/β-turmerones). Sedangkan Tetrahydrokurkumin (THC) merupakan
metabolit utama dari kurkumin. Berbagai kandungan aktif tersebut mempunyai efek yang
berbeda sebagai anti inflamasi, anti proliferatif, anti angiogenesis. Tapi penelitian yang
dilakukan Sandur menunjukkan gabungan kurkumin tersebut memiliki efek sinergi.
Sediaan kurkumin di pasaran biasanya digunakan untuk penelitian dan uji klinis
mengandung 77 % kurkumin murni, 17 % DMC dan 3 % BDMC ( Sandur dkk.,2007).
Penelitian selama lebih dari 50 tahun menunjukkan bahwa polyphenol ini( struktur
dalam kurkumin) mampu mencegah dan mengobati kanker. Kurkumin mampu menekan
inisiasi, promosi dan metastasis tumor . Potensi anti kanker ini karena kemampuannya
menekan proliferasi sel rnelalui penekanan faktor transkripsi, COX-2, lypoxigenase,
matrixmetalloproteinase (MMP)-9, urinary plasminogen activator, TNF-α, kemokin, cell
surface adhesion molecule dan cycline D1 (Aggarwal dkk, 2006).
Kurkumin diketahui mempunyai efek anti inflamasi melalui penekanan aktivasi
nuclear factor-κB (NF-κB), efek anti proliferatif melalui penekanan cyclin D l dan produk
gen antiapoptosis, menginduksi pelepasan cytocrome C, aktivasi caspase dan p53 dan
mempunyai efek anti angiogenesis melalui down-regulation Vascular Endothelial Growth
Factor (VEGF) (Sandur,2007). Review literatur oleh Sharma dkk, menunjukkan bahwa
kurkumin juga mampu menurunkan aktivitas i-NOS yang merupakan salah satu oksidan
bebas sehingga kurkumin juga berperan sebagai antioksidan (Sharma dkk.,2005).
2.7.1 Farmakokinetik dan efek samping
Absorbsi, metabolisme , distribusi jaringan dari kurkumin telah dipelajari selama
lebih dari tiga dekade. Studi yang dilakukan pada tikus menunjukan absorbsi kurkumin
pada intestinal hingga 60 %. Setelah pernberian intravenous dan intraperitoneal pada tikus,
50 % diekskresikan melalui kandung empedu setelah 5 jam. Penelitian preklinis dosis oral
pada tikus menunjukkan sejumlah kecil kurkumin di plasrna dengan kadar kurkumin
glucoronide dan kurkumin sulfat yang tinggi di plasma dan sejumlah kecil
hexahydrokurkumin, hexahydrocurcumenol, hexydrocurcurmin glucoronidel. Penelitian
kurkumin oral pada tikus yang dilakukan di India mendapatkan peningkatan
bioavailabilitas kurkumin hingga 154 % bila pemberian oral bersamaan dengan piperine.
Kurkumin menunjukkan bioavailabilitas yang rendah pada rodent oleh karena metabolisme
di intestinal dan kurkumin yang telah diserap menjalani first pass metabolisme di hepar
dan dieksresikan di kandung empedu. Sharma dkk (2005) mengemukakan pada penelitian
efek toksik kurkumin pada binatang selama ini dilaporkan rendah dengan dosis hingga 5
g/kg yang diberikan oral pada tikus. Uji preklinis yang didukung pembiayaan dari divisi
pencegahan institut kanker nasional Amerika tidak ditemukannya efek samping pada tikus,
anjing dan monyet pada dosis hingga 3,5 g/kg BB. Satu studi melaporkan kejadian ulkus
lambung tikus tapi tidak diketemukan pada penelitian berikutnya. Uji klinis terbaru
menyebutkan tidak ada efek toksik dari diet 0,2 % kurkumin (1,2 g/kg BB) yang diberikan
pada tikus dan 0,2 % diet (300 mg/kg BB) yang diberikan pada tikus selama l4 hari.
2.7.2 Aktivitas biologi
Penekanan DNA-binding activity dari NF-κB berhubungan dengan harnbatan
aktivitas reporter NF-κB dan dengan menekan NF-κB akan meregulasi produk gen COX-
2, Cyclin Dl dan VEGF, kurkumin paling efektif menekan produk gen tersebut dibanding
DMC dan BDMC (Sandur dkk.,2007). Kemampuan kurkumin menekan aktivasi NF-κB
yang diinduksi oleh TNF-α sangat kuat dibanding 20 obat analog yang diperiksa oleh
Aggarwal dkk pada tahun 2006.
Beberapa gen yang ikut terlibat dalam inisiasi imun, fase akut dan respon inflamasi
diatur pada tahap transkripsi oleh NF-κB. Aktivasi NF-κB diatur secara ketat oleh
penghambat endogen IκB, yang berupa suatu kompleks dengan NF-κB di sitoplasma.
Dengan adanya stimulasi dari sitokin, IκB akan mengalami fosforilasi dan akan mengalami
degradasi oleh proteasome.
Fosforilasil IκBα melibatkan berbagai kinase yang berhubungan dengan cytokine-
specific membran receptor complexes yang akan mengaktifkan NF-κB Inducing Kinase
(NIK). NIK aktif selanjutnya akan memfosforilase dan mengaktifkan IκB Kinase Complex
(IKK). IKK merupakan bagian dari multiprotein kompleks yang mengandung sub unit
IKK-α dan IKK-β, keduanya in vitro dapat memfosforilasi cytokines-induced IκB.
Aktivasi dari kompleks IKK akan mengakibatkan fosforilase dan degradasi IκBα dan akan
diikuti dengan terlepasnya NF-κB kemudian akan bertranslokasi ke dalam nukleus dan
mengaktifkan transkripsi gen multiple κB dependent. Termasuk diantaranya TNF-α, lL-6,
IL-8 dan beberapa kemokin, MHC kelas II, ICAM-1, iNOS, COX-2 ( gambar 2.7 ) (Jobin
dkk,1999).
Gambar 2.6 Mekanisme kerja Kurkumin pada aktivasi Cytokine-induced NF-κB
Sumber : Jobin dkk.,1999.
Kurkumin mampu menekan jalur NF-κB dan gen NF-κB target cytokines, Cao dkk
mendemonstrasikan efek kurkumin pada sel stroma endometriosis, kurkumin menghambat
induksi sitokin pro inflamatori, sitokin angiogenik dan macrofag migration inhibitory
factor oleh NF-κB pada model in vitro. Beberapa penelitian terbaru juga menyebutkan
efek modulasi kurkumin terhadap beberapa target molekul penting (TNF, IL-I, IL-6),
beberapa faktor transkripsi (AP-1, Egr-1, beta catenin dan PPAR gamma), enzim (COX-2,
iNOS), reseptor ( EGFR dan HER2) dan sel siklus protein (cyclin D l, p2l) (Wieser dkk,
2007).
Sel endometrium manusia telah diketahui mengekspresikan protein NF-κB, in vitro
tampak aktivasi NF-κB terhadap IL-lβ dan TNF-α. Selama menstruasi NF-KB teraktivasi
di glandular epitelium dan endothelium dari endometrium. Pada kultur sel stroma
endometrium manusia, TNF-α menstimulasi aktivasi NF-κB sehingga terjadi peningkatan
produksi IL-8. NF-κB juga meningkatkan RANTES pada kultur stroma endometriosis,
RANTES kemungkinan mempunyai peran penting pada patogenesis endometriosis
(Ramos dkk,2007).
Perjalanan translasi DNA memicu transkipsi gen yang mengkode kemokin, sitokin
dan molekul adhesi seperti ICAM-I. NF-κB ini akan berikatan bagian promoter dari DNA
yaitu pada ujung 5'. Kemudian enzim RNA polymerase akan berikatan dengan kompleks
faktor transkripsi dan DNA tersebut, dan membuka susunan double helix DNA. Setelah itu
terjadi transkripsi dari template strand DNA menjadi mRNA. Hasil transkripsi dari mRNA
ini kemudian dibawa ke sitosol untuk ditranslasikan menjadi protein di ribosom. Sitokin
ini penting untuk migrasi faktor inflamasi dan sel fagosit ke jaringan pada saat NF-κB
teraktivasi oleh karena infeksi atau luka. ICAM-1 mRNA ditemukan meningkat dalam sel
stroma endometriosis, hal ini mendukung peranan molekul adhesi dalam patofisiologi
endometriosis (Ramos dkk, 2007).
2.8 Binatang percobaan pada penelitian endometriosis
Satu mekanisme yang diterima luas mengenai perkembangan lesi endometriosis
pada peritoneum adalah adhesi dan pertumbuhan fragmen endometrium kedalam rongga
peritoneum melalui aliran balik menstruasi. Oleh karena aliran balik menstruasi hampir
terjadi pada semua wanita fase reproduksi, maka diperlukan beberapa faktor abnormal
sehingga lesi endometriosis ektopik dapat tumbuh dan berkembang. Sulit untuk meneliti
peran fisiologis pada patogenesa penyakit ini pada manusia. Sebagai tambahan adanya
pertimbangan etik membatasi penelitian eksperimental dan juga tidak memungkinkan
untuk memantau progresivitas tanpa intervensi yang invasif. Penelitian mengenai
mekanisme yang fundamental seperti perlekatan sel endometrium menstruasi, invasi dan
angiogenesis yang mengawali pembentukan dan perkembangan endometriosis, juga terapi
baru endometriosis yang tidak memungkinkan untuk diujicobakan pada manusia,
sebaiknya dilakukan pada hewan coba.
Oleh karena adanya pergeseran sel menstruasi kedalam peritoneum diperlukan
untuk terjadinya penyakit ini secara spontan, endometriosis hanya terjadi pada manusia
dan sebagian primata. Primata telah lama dipakai sebagai hewan coba untuk penelitian
endometriosis, tapi karena biaya yang diperlukan sangat mahal untuk binatang ini maka
pemakaian monyet untuk hewan coba saat ini mulai dibatasi. Oleh karena alasan ini hewan
coba yang kecil seperti tikus mulai dipakai (Grummer, 2006).
Berbeda dengan manusia dan hewan primata, pada tikus tidak mengalami
pergeseran jaringan endometrium, oleh karena itu mereka tidak mengalami endometriosis
spontan. Walau demikian endometriosis dapat diinduksi dengan mentransplantasikan
jaringan endometrium ke bagian ektopik. Dengan cara ini dapat dibedakan dua tipe model
percobaan yaitu homologus dan heterologus. Pada tipe homologus dipakai implan
endometrium yang diambil dengan cara pembedahan pada tikus sejenis, sedangkan tipe
heterologus dipakai implan endometrium yang diambil dari fragmen endometrium manusia
yang ditransfer ke intraperitoneum atau subkutaneus dari tikus yang telah dibuat
imunodefisiensi. Pada penelitian ini kami akan menggunakan tipe heterologus.
Fragmen endometriosis manusia yang diambil saat siklus menstruasi fase
proliferasi atau fase sekresi maupun endometrium menstruasi dapat diimplantasikan
dengan baik pada intraperitoneum atau subkutaneus tikus imunodefisiensi. Fragmen ini
berimplantasi dan membentuk endometriotic-like lession yang mempunyai bentuk
makroskopik dan histologi yang sama dengan penderita endometriosis. Pemeliharaan
reseptor estrogen dan progesteron tampak pada jaringan ektopik manusia tersebut.
Angiogenesis menjamin kelangsungan transplantasi dan transport sistemik obat yang
diberikan untuk jaringan endometrium manusia tersebut. Terbentuknya pembuluh darah
pada tikus terjadi 4 hari setelah transplantasi, terlepas dari lokalisasi lesi ektopiknya.
Ketika jaringan endometrium diinokulasikan kedalan rongga peritoneum, adhesi
peritoneum terjadi 2 hari setelah implantasi. Tempat implantasi fragmen endometriosis
yang paling sering diantaranya usus halus, otot abdomen, hepar, dan jaringan lemak sekitar
organ abdomen. Studi yang dilakukan Grummer tahun 2001 didapatkan angka
penyembuhan sangat bervariasi dari hewan coba yang satu ke yang lain tapi tidak lebih
dari 30%.
Karena pada model tikus heterologous, jaringan manusia yang ditransplantasikan,
waktu yang tersedia untuk pemeliharaan jaringan ini terbatas. Dari beberapa studi yang
pernah melakukan kultur endometrium manusia pada tikus (nude mouse) tidak lebih dari 4
minggu. Setelah 3 minggu inokulasi terjadi banyak perubahan dan infiltrasi limfosit pada
implan endometriosis tersebut.
Dengan semakin berkembangnya penelitian maka diperlukan jaringan implan
manusia yang dapat bertahan lebih lama, sehingga dikembangkan model tikus
heterologous endometriosis yang mengalami defek pada sistem imunnya. Jaringan
endometrium manusia telah berhasil ditransplantasikan pada tikus severe combined
immunodeficient (SCID), tikus ini menunjukkan defisiensi fungsi limfosit T dan B.
Dibandingkan dengan model nude mouse, jaringan endometrium manusia yang
ditransplantasikan ke tikus SCID menunjukkan tingginya angka “take-rate” dari fragmen
dan juga pemeliharaan morfologi serta ekspresi reseptor hormon steroid selama 4 minggu.
Walau tikus ini kekurangan limfosit T dan B, tetapi mereka tetap mempunyai aktifitas sel
NK. Sarjana Matsura-Sawada pada tahun 2005 mengkultur jaringan endometriosis
manusia pada subkutaneus tikus SCID kemudian dibuat defek pada aktifitas sel NK. Pada
model ini mereka membuat siklus menstruasi 28 hari seperti pada manusia dengan
memberi hormon dari luar dan melakukan ooforektomi pada tikus tersebut. Ternyata
didapatkan perubahan histologi seperti pada endometrium eutopik manusia tapi tanpa
tanda desidualisasi (Grummer, 2006).
Kemampuan untuk mentransplantasikan sel endometrium manusia ke binatang
menawarkan keuntungan yang lebih sebagai model endometriosis pada binatang. Tikus
imunokompromis menawarkan kesempatan yang unik untuk mempelajari aktifitas dan
ekspresi biokimia pada sel endometriosis manusia. Tikus SCID memiliki kombinasi
defisiensi fungsi limfosit T dan limfosit B. Sarjana Awwad dan kawan-kawan pada tahun
1999 berhasil mentransplantasikan sel endometrium manusia ke permukaan peritoneum.
Implan endometrium ini tetap mempertahankan struktur intraseluler dan karakteristik
biokimia dengan memelihara pola sitokeratin manusia dan ekspresi C3 (Awwad dkk.,
1999).
Gangguan Proliferasigranulosa
Oosit
Folikel
Granulosa
Gangguan Maturasioosit
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka konseptual
: variabel terkontrol
: variabel bebas
: menstimulasi
: menghambat
3.2 Narasi
AMH folikel ↓
Makrofag aktif ↑
Endometriosis
Inflamasi kronis
AMH serum ↓
KURKUMIN
Akti-vasi NFκβ
IL-1,IL-6,IL-8 ↑
TNF-α↑
RANTES
Stress oksidatif ↑Kaskade kaspase aktif ↑
Apoptosis ↑
VEGF ↑
GDF-9 ↓
----
----
----
Sel endometrium masuk ke dalam rongga peritonium akibat aliran balik menstruasi
dan berkembang menjadi endometriosis. Kemudian menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi. Adanya defek imunologis menyebabkan makrofag mensekresi secara berlebihan
berbagai sitokin termasuk faktor angiogenesis.
Sitokin TNF-α dan interleukin 1 mempengaruhi jalur aktifasi klasik NF-κβ
sehingga terjadi proses transkripsi dari berbagai target gen. Fosforilasi yang terjadi karena
aktifnya kompleks IKK menyebabkan ikatan NF-κβ menjadi bebas didalam sitoplasma.
NF-κβ yang bebas bertranslokasi ke dalam nukleus dan berikatan dengan DNA untuk
memproduksi sitokin TNF-α, molekul adhesi ICAM-1, serta faktor angiogenesis VEGF.
TNF-α juga akan menstimulasi produksi RANTES yang merupakan aktivator poten
makrofag.Hal ini akan membentuk suatu lingkungan mikro yang menguntungkan bagi
pertumbuhan endometriosis.
Peningkatan kadar TNF-α dalam cairan peritoneum mempunyai dampak negatif
pada ovarium melalui reseptor TNFR-1 pada sel granulosa, yang kemudian berikatan
dengan dead receptor dan mengaktifkan kaskade kaspase menyebabkan terjadinya
apoptosis patologis sel granulosa. Pengaruh lain dari peningkatan proses apoptosis adalah
meningkatnya stress oksidatif yang akhirnya makin meningkatkan pula proses apoptosis
dalam sel granulosa.
Apoptosis sel granulosa menyebabkan gangguan pada produksi beberapa faktor
pertumbuhan yang berperan pada proses maturasi oosit.Salah satu faktor pertumbuhan
yang dihasilkan sel oosit adalah GDF-9. Penurunan GDF-9 akan menyebabkan gangguan
pada proliferasi sel granulosa sehingga sel granulosa tidak berkembang. Proses apoptosis
yang meningkat disertai dengan proliferasi sel granulosa yang terhambat akan menurunkan
kadar AMH yang diproduksi sel granulosa sehingga kadar AMH serum juga turun.
Kurkumin dapat menghambat aktifasi NF-κβ sehingga proses apoptosis sel
endometriosis terjadi. Secara tidak langsung produksi VEGF, dan TNF-α dapat dihambat.
Kurkumin mencegah aktifitas makrofag yang berlebihan dan mengembalikan kekuatan
makrofag untuk memfagosit sel endometriosis. Akhirnya, menurunkan kadar sitokin pro
inflamasi TNF-α didalam cairan peritoneum dan cairan folikel. Harapannya adalah
menurunkan apoptosis sel granulosa. Selain itu diharapkan mengembalikan proses
folikulogenesis berjalan normal sehingga kadar AMH juga meningkat.
3.3 Hipotesis penelitian
Kadar serum AMH pada tikus model endometriosis yang mendapat suplementasi
kurkumin lebih tinggi daripada plasebo
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain penelitian
Desain penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium pada tikus
dengan randomisasi sampel disertai kontrol pembanding.
4.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di laboratorium embriologi Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya pada bulan Agustus – Oktober 2011.
4.3 Populasi, sampel dan besar sampel
4.3.1 Populasi
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah tikus (Rattus novergicus)
unit hewan coba laboratorium.
4.3.2 Sampel
Sebagai sampel adalah dua kelompok tikus, yaitu : kelompok A dan
kelompok B disuntik siklosporin A dan mendapat suntikan jaringan endometrium
manusia secara intraperitoneum, selanjutnya diberi suntikan estradiol pada hari-1
dan hari-5, mulai hari-14 kelompok A mendapat kurkumin per sonde selama 14
hari, sedang kelompok B mendapat plasebo per sonde selama 14 hari.
4.3.3 Besar sampel
Rumus Federer : ( n – 1 )( t – 1) ≥ 15; dengan t = 2 (perlakuan), maka
didapatkan : n – 1 ( 2 – 1 ) ≥ 15
n – 1 ( 1 ) ≥ 15
n – 1 ≥ 15
n ≥ 16
Oleh karena dari penelitian terdahulu didapatkan angka kegagalan 12,5% (Vika
dkk., 2006) maka jumlah sampel dikoreksi dengan rumus 16/(1-fail) dengan fail =
0,125 16/(1-0,125) = 18,2 19
4.4 Kriteria subyek penelitian, variabel penelitian, dan definisi operasional
4.4.1 Kriteria subyek penelitian
Kriteria inklusi : Tikus (Rattus novergicus) betina
Berusia 3 bulan
Berat tikus 100 - 150 gram
Dara (belum pernah kawin)
Sehat, ditandai dengan bulu halus, mata bersinar, tidak
pincang, tidak didapatkan adanya bekas luka
Kriteria eksklusi : Pernah dipakai sebagai hewan coba penelitian lain
Kriteria putus uji : Tikus betina yang sakit atau mati sejak perlakuan
adaptasi 1 minggu di kandang.
4.4.2 Variabel penelitian
Variabel bebas : Kurkumin
Variabel tergantung : Kadar AMH serum.
4.4.3 Definisi operasional
1. Mendapatkan suntikan siklosporin A :
Tikus disuntik siklosporin A, penyuntikan siklosporin A intramuskulus
pada paha.
2. Siklosporin A :
Sediaan obat tersebut adalah Sandimmun produksi Novartis. Berisi
Siklosporin A 50 mg/ml dengan kemasan 1 ml/ampul. Adapun dosis
terapi pada manusia 10 mg/kgBB/hari. Setelah dikonversi maka
didapatkan dosis pada tikus sebesar 1,26 mg per tikus.
3. Mendapatkan suntikan estrogen :
Penyuntikan estrogen dilakukan secara intramuskulus pada paha di hari
ke-1 dan ke-5 setelah perlakuan penyuntikan endometrium
intraperitoneum. Sediaan yang digunakan adalah Ovalumon produksi
Wonder. Berisi Ethynil Oestradiol 20.000 IU. Dosis pada tikus adalah
30 µg/kgBB. Maka dosis untuk tikus berat 100 -150 gram akan
memperoleh 3 µg atau 30 IU (1 µg setara 10 IU). Satu vial berisi 30 ml
yang mengandung 20.000 IU, maka 1 ml setara 666 IU, sehingga tiap
tikus akan mendapatkan 0,05 ml yang setara dengan 33,33 IU.
4. Biopsi endometrium :
Biopsi yang diambil dari operasi bahan uterus tumor jinak ovarium,
setelah dilumatkan disimpan dengan media PBS (phosphate buffered
saline). Dilakukan washing 2 x dengan alat sentrifugal putaran 3000
rpm. Supernatan dibuang kemudian ditambahkan PBS dengan
perbandingan 1 : 5, penicillin 200 IU/ml dan streptomisin 200 µg/ml.
Dosis yang diberikan pada tikus adalah 0,1 ml per tikus.
5. Suntikan intraperitoneum :
Penyuntikan jaringan biopsi endometrium secara intraperitoneum,
disuntikkan membuta pada rongga peritoneum, perlahan-lahan selama
60 detik. Tikus diposisikan terlentang dan jarum dimasukkan sejajar
dengan kakinya dengan kemiringan 45O dari permukaan perut tikus,
kemudian didorong melalui dinding abdomen ke dalam rongga
peritoneum. Apabila masuk intraperitoneum akan terasa tekanan yang
berbeda.
6. Suntikan intramuskular :
Suntikan dilakukan didaerah kaki belakang dan muskulus yang disuntik
adalah quadriceps atau triseps. Disuntikkan secara perlahan selama 10
detik untuk mengatasi rasa sakit.
7. Kurkumin personde :
Sediaan kurkumin produksi Merck dengan nama dagang Curcumin,
dalam kemasan botol mengandung bahan aktif kurkumin 95%, dalam
bentuk bubuk berwarna kuning (10 g). Dosis pada tikus adalah 240
mg/kgBB, dengan tikus berat berkisar 100 - 150 gram, maka dosis yang
diberikan tiap tikus adalah 24 mg per tikus. Kurkumin disondekan
dengan alat khusus sonde melalui mulut tikus. Perlakuan ini diberikan
mulai hari ke-14 sampai dengan hari ke-27.
8. Tikus coba :
Hewan coba adalah tikus (Rattus novergicus) betina yang berusia 3
bulan belum pernah bunting, berat berkisar 100 - 150 gram.
9. Tikus betina sakit :
Tikus betina yang ditandai tampak lemas, tidak aktif, mata lebih banyak
terpejam, pellet tidak dimakan, suhu meningkat, frekwensi denyut
jantung dan frekwensi nafas masing-masing diluar rentang. Kondisi
tikus normal : suhu 37,5°C – 39,5°C, frekwensi denyut jantung 330-480
detak permenit, dengan frekwensi pernafasan 80–120 x/menit.
10. Tikus model endometriosis :
Tikus coba yang telah mendapatkan siklosporin A, jaringan
endometrium intraperitoneum, dan estradiol.
11. Kadar AMH :
Adalah kadar Anti Mullerian Hormone ( AMH ) dalam serum tikus
model endometriosis yang diperiksa dengan metode ELISA.
4.5 Instrumen penelitian
4.5.1 Kandang :
Tempat mengelompokkan tikus menjadi dua kelompok. Kelompok A
mendapatkan kurkumin dan kelompok B mendapatkan plasebo. Masing-masing
kandang berisi 19 tikus.
4.5.2 Makanan :
Makanan dan minuman tikus akan mendapatkan jenis dan porsi yang sama.
Semua tikus akan mendapatkan perlakuan yang sama selama masa adaptasi 1
minggu maupun setelah mendapat perlakuan.
4.5.3 Alat suntik :
Alat suntik yang digunakan adalah disposable syringe 1 cc, beserta jarum
khusus untuk memasukkan perlakuan personde dan disposable syringe 3 cc untuk
mengambil darah sampel.
4.6 Prosedur penelitian
4.6.1 Prosedur pengambilan sampel
Bahan yang dipergunakan untuk penelitian ini adalah serum dari darah tikus
model endometriosis. Bahan diambil dengan cara aspirasi darah intrakardiak
kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi dan didiamkan selama kurang lebih 1
jam supaya menggumpal atau mengalami aglutinasi. Kemudian dimasukkan
sentifuge dan diputar dengan kecepatan 3000 rpm selama 10 menit pada suhu 4° C.
Serum diambil dan dimasukkan dalam tabung ependrof.
4.6.2 Kerangka operasional
Tikus betina usia 3 bulanBerat 100 - 150 gr
Adaptasi 1 minggu
Inj. Siklosporin A hr ke-1
Inj. Jaringan Endometrium hr ke-1
Inj. Estrogen hr ke-1 dan ke-5
Kelompok A Kelompok B
Tikus Model Endometriosis
Tikus Model Endometriosis
Plasebo personde hr ke-14 selama 14 hr
Kurkumin personde hr ke-14 selama 14 hr
Pemeriksaan kadar AMH
Ambil darah
Ambil serum
4.6.3 Alur penelitian
1. Seluruh hewan coba yang digunakan diambil dari Unit Hewan Coba
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga.
2. Hewan coba yang digunakan adalah tikus (Rattus novergicus) betina yang
berumur kurang lebih tiga bulan dengan berat 100 - 150 gram, dipilih
berdasar kriteria inklusi dan eksklusi.
3. Adaptasi tikus coba selama 1 minggu sebelumnya di kandang yang bersih,
cukup udara, cukup cahaya, makanan minuman yang cukup dan homogen
4. Tikus tersebut dibagi dalam 2 kelompok masing-masing berjumlah 19
ekor. Kelompok A dan B adalah tikus model endometriosis. Kelompok A
akan mendapat perlakuan suplementasi kurkumin, kelompok B hanya
perlakuan dengan plasebo.
5. Membuat tikus model endometriosis dari bahan biopsi endometrium,
suntikan siklosporin, dan suntikan estrogen.
6. Penyuntikan siklosporin pada hari ke-1 secara intramuskulus pada kedua
kelompok A dan B, masing-masing tikus disuntikkan 0,2 ml, Penyuntikan
dengan disposable syringe 1 ml.
7. Penyuntikan bahan biopsi endometrium pada hari ke-1 secara
intraperitoneum pada kedua kelompok A dan B, masing-masing tikus
disuntikkan 0,7 ml. Penyuntikan dengan disposable syringe 1 ml,
menggunakan jarum berukuran 16 agar jaringan endometrium dapat
masuk.
8. Penyuntikan estrogen pada hari ke-1 dan ke-5 secara intramuskulus pada
kedua kelompok A dan B, masing-masing tikus disuntikkan 0,05 ml,
Penyuntikan dengan disposable syringe 1 ml.
9. Perlakuan suplementasi kurkumin diberikan pada hari ke-14 personde
pada kelompok A. Untuk kelompok B diberikan plasebo. Perlakuan pada
kedua kelompok tersebut sampai hari ke-27 (14 hari).
10. Pengambilan bahan sampel pada hari ke-28.
11. Pemeriksaan kadar AMH dengan kit ELISA.
12. Data penelitian dicatat dalam formulir pengambilan data.
4.7 Pengelolaan data
Data penelitian ini dicatat dalam formulir pengambilan data. Analisa data
menggunakan software SPSS (Software Package for Social Science). Dilakukan uji
normalitas menggunakan uji Kolmogorov Smirnov. Bila data berdistribusi normal
dilanjutkan dengan uji t dua sampel bebas. Bila data tidak berdistribusi normal akan
dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Tingkat kemaknaan yang dipergunakan dalam
penelitian ini sebesar 0,05.
4.8 Anggaran
Anggaran bersifat mandiri.
4.9 Kelayakan etik
Kelayakan etik didapatkan dari komisi etik penelitian Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Airlangga Surabaya.
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2011 di
laboratorium embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya.
Sampel yang digunakan adalah 38 ekor tikus yang telah memenuhi kriteria inklusi. Tikus
kemudian dibuat menjadi model endometriosis, dibagi menjadi dua kelompok yaitu
kelompok perlakuan yang diberi kurkumin dan kelompok kontrol yang diberi plasebo.
Selama penelitian tidak ada tikus yang sakit atau mati, sehingga semua sampel dapat
dimasukkan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan tingkat kemaknaan 0,05 sehingga bila uji statistik
didapatkan harga p ≤ 0,05 dikatakan bermakna, sedangkan bila didapatkan harga p > 0,05
dikatakan tidak bermakna. Sebelum dilakukan analisis statistik variabel penelitian berskala
rasio dilakukan uji normalitas Kolgomorov-Smirnov satu sampel. Apabila hasil uji
normalitas berdistribusi normal, maka dilanjutkan dengan uji statistik parametrik yaitu
perbandingan rerata dua kelompok menggunakan uji t dua sampel bebas.
5.1 Karakteristik sampel penelitian
Setelah dilakukan uji normalitas distribusi Kolmogorov-Smirnov satu sampel pada
variabel berat badan tikus kelompok kurkumin didapatkan p = 0,416 ( sebelum perlakuan )
dan p = 0,712 ( sesudah perlakuan ). Demikian juga pada kelompok plasebo, didapatkan p
= 0,787 (sebelum perlakuan) dan p = 0,711 (sesudah perlakuan). Karena p > 0,05 maka
kedua kelompok berdistribusi normal ( Tabel 5.1 ).
Karena berdistribusi normal, kemudian dilakukan uji t dua sampel bebas, dan
didapatkan p > 0,05 pada kedua kelompok sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada
perbedaan yang bermakna. Demikian pula pada perubahan berat badan antara kedua
kelompok, didapatkan p > 0,05 sehingga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada
kedua kelompok dan dikatakan kedua kelompok adalah homogen. Karena berat badan
tikus adalah homogen maka variabel BB tidak dimasukkan dalam analisis berikutnya
(Tabel 5.2 ).
Tabel 5.1 Hasil uji normalitas berat badan tikus kelompok kurkumin dan plasebo
Kelompok Mean SD harga p Ket.
Kurkumin Sebelum 122,1 9,2 0,416 normal
Sesudah 146,6 13,1 0,712 normal
Plasebo Sebelum 122,4 11,6 0,787 normal
Sesudah 143,9 11,5 0,711 normal
Keterangan : p > 0,05 adalah berdistribusi normal
Tabel 5.2 Hasil uji homogenitas berat badan tikus kelompok kurkumin dan plasebo
Kelompok
Berat badan
( gram ) Perlakuan Kontrol harga p Ket.
(kurkumin) (plasebo)
Sebelum 122,1 ± 9,2 122,4 ± 11,6 0,939 homogen
Sesudah 146,6 ± 13,1 143,9 ± 11,5 0,515 homogen
Perubahan BB 24,4 ± 13,2 21,6 ± 11,4 0,475 homogen
Keterangan : p > 0,05 adalah tidak berbeda bermakna (homogen)
5.2 Analisa hasil penelitian
Pada penelitian ini kadar serum AMH diukur dengan metode ELISA menggunakan
kit assay produksi Cusabio Biotech, Wuhan, Cina. Pelaksanaan pengukuran metode
ELISA dilakukan di Unit layanan pemeriksaan laboratoris, konsultasi dan pelatihan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya. Setelah dibaca dengan
mesin pembaca ( microplate reader ), kadar serum AMH dibuat berdasarkan kurva standar
dengan dasar nilai standar dari pembuat kit assay (Cusabio Biotech). Normalitas variabel
kadar serum AMH diuji menggunakan Kolmogorov-Smirnov satu sampel, dimana
didapatkan p = 0,061 (p > 0,05), berarti berdistribusi normal. Karena berdistribusi normal,
uji statistik yang dipakai adalah uji parametrik dengan memakai uji t dua sampel bebas.
Hasil uji t dua sampel bebas didapatkan harga p = 0,008 ( p ≤ 0,05 ) yang berarti
didapatkan perbedaan yang bermakna rerata kadar serum AMH antara kelompok kurkumin
dan kelompok plasebo (Tabel 5.4).
Tabel 5.3 Hasil uji normalitas kadar serum AMH
Mean SD harga p Ket.
Kadar serum AMH 37,4 18,1 0,061 normal
( ng / ml )
Keterangan : p > 0,05 adalah berdistribusi normal
Tabel 5.4 Hasil uji t dua sampel bebas kadar serum AMH
Kelompok
Perlakuan Kontrol harga p
Ket.
(kurkumin) (plasebo)
Kadar serum AMH 44,9 ± 20,1 29,8 ± 11,9 0,008 berbeda
( ng / ml ) bermakna
Keterangan : p ≤ 0,05 adalah berbeda bermakna
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Model endometriosis
Model endometriosis yang dibuat pada tikus tidak sepenuhnya mewakili keadaan
endometriosis pada manusia. Tetapi endometrial-like lession yang dihasilkan dari
pembuatan model ini paling mirip dengan sel endometriosis pada manusia dari segi
morfologi dan histopatologinya, sehingga keadaan ini dianggap cukup mewakili sebagai
model eksperimental. Pembuatan model tikus endometriosis dilakukan dengan
menurunkan fungsi respon imun secara buatan, yaitu menekan proliferasi dan diferensiasi
limfosit menggunakan siklosporin A (suatu imunosupresan). Selanjutnya, ekstrak sel
endometrium manusia diinjeksikan ke dalam rongga abdomen tikus. Diharapkan akan
terjadi proses inflamasi akibat masuknya benda asing ke dalam rongga abdomen tikus.
Proses ini akan berlangsung sekitar 3-6 hari, kemudian dilanjutkan fase proliferasi yang
bertujuan untuk membentuk jaringan granulasi. Injeksi estrogen intramuskulus digunakan
agar terjadi proliferasi dan pertumbuhan jaringan endometrium di dalam rongga abdomen.
Pembentukan jaringan granulasi berlangsung hingga hari ke 14, proses tersebut dapat
berlanjut hingga hari ke 28 (Fortin dkk.,2003; Grummer, 2006).
Pada hari ke 14, perlakuan kurkumin dan plasebo pada tikus model endometrosis
dimulai. Kami tidak melakukan pemeriksaan konfirmasi kejadian endometriosis secara
makroskopis maupun histopatologi, oleh karena mengacu pada angka keberhasilan
kejadian endometriosis berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Awwad
(1999) sebesar 96 % , Vika (2006) sebesar 87,5 %, Kuswojo (2009) sebesar 89,5 %, dan
Sa’adi (2010) sebesar 80 %.
Pada penelitian ini kami mendapatkan bahwa meskipun secara statistik didapatkan
perbedaan yang bermakna pada rerata kadar AMH pada kedua kelompok, tetapi kami
melihat bahwa hasil pada setiap kelompok adalah tidak seragam. Pada kelompok
kurkumin, kami masih mendapatkan sampel dengan kadar serum AMH yang rendah,
begitu juga pada kelompok plasebo, kami masih mendapatkan kadar serum AMH yang
cukup tinggi. Hal ini kemungkinan dapat dijelaskan oleh penelitian sebelumnya oleh
Grummer dkk.(2001) bahwa hal ini dipengaruhi oleh kemampuan recovery oleh tikus
model itu sendiri. Dikatakan bahwa kemampuan recovery bervariasi pada setiap individu
dan tidak melebihi angka 30 %. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam menganalisa hasil
penelitian, mengingat bila kita akan melakukan uji obat tertentu, karena perbedaan jumlah
lesi pada kedua kelompok hewan coba dapat disebabkan oleh perbedaan recovery pada
awal eksperimen dibanding efek dari obat yang diujikan.
6.2 Karakteristik sampel penelitian
Pada penelitian ini, kami membagi tikus coba secara random dalam 2 kelompok
yaitu kelompok dengan perlakuan pemberian suplemen kurkumin dan satu kelompok
dengan perlakuan pemberian suplemen plasebo (cairan NaCl). Oleh karena itu perlu
diperhatikan karakteristik sampel penelitian yang berpengaruh pada hasil penelitian, yaitu
usia dan berat badan tikus. Kami menggunakan tikus betina dengan usia yang sama yaitu 3
bulan. Pada usia ini, tikus dianggap sudah matang secara seksual sehingga dianggap status
hormonalnya sama. Kami tidak melakukan pemeriksaan hapusan vagina untuk melihat
status birahi tikus pada saat mulai melakukan perlakuan atau saat mengambil sampel darah
karena telah dibuktikan oleh Aoki dkk.(1994) bahwa pertumbuhan sel endometrium yang
ditransplantasikan pada mencit SCID tidak dipengaruhi oleh siklus estrus dari tikus,
sehingga memungkinkan dilakukannya transplantasi jaringan endometrium pada semua
siklus birahi tikus. Selain itu pemeriksaan kadar AMH pada manusia telah dibuktikan oleh
Streuli dkk.(2008), bahwa kadar AMH tidak dipengaruhi siklus menstruasi dan pemakaian
obat kontrasepsi, sehingga dapat diukur pada setiap fase siklus menstruasi, oleh karena itu
pengukuran kadar serum AMH pada tikus coba penelitian kami ini juga dianggap tidak
terpengaruh siklus birahinya.
Berat badan tikus coba pada penelitian kami sekitar 100 – 150 gram. Kami
mengukur berat badan tikus secara random. Berat badan tikus kami uji dengan uji
Kolmogorov Smirnof satu sampel, ternyata didapatkan distribusi yang normal. Setelah itu
kami lakukan analisa statistik dengan uji t dua sampel bebas dan tidak didapatkan
perbedaan yang bermakna pada pengukuran berat badan sebelum dan sesudah perlakuan
maupun pada perubahan berat badan pada kedua kelompok ( p>0,05) sehingga variabel
berat badan adalah homogen. Sebagai perbandingan terdapat beberapa penelitian pada
manusia yang menghubungkan antara body mass index (BMI) dan endometriosis.
Penelitian oleh Ferrero dkk.(2005) mendapatkan bahwa BMI pada 366 wanita dengan
endometriosis lebih rendah dibandingkan 268 wanita yang menjalani laparoskopi karena
masalah ginekologi ringan yang lain. Sementara penelitian oleh Yi dkk.(2009)
mendapatkan adanya hubungan antara derajat endometriosis dengan BMI wanita penderita
endometriosis. Pada wanita dengan derajat endometriosis yang berat didapatkan BMI yang
lebih rendah dibanding dengan derajat ringan atau sedang. Kami analogikan ada
persamaan antara penghitungan berat badan tikus dengan pengukuran BMI pada manusia,
sehingga karena hasilnya homogen maka kemungkinan kami anggap bahwa derajat
endometriosis yang positif pada kedua kelompok adalah sama. Sementara itu pada
penelitian oleh Freeman dkk.(2007) didapatkan bahwa pada wanita yang obesitas memiliki
kadar AMH yang lebih rendah dibanding non obesitas, karena berat badan tikus homogen,
kami menganggap perbedaan kadar serum AMH pada tikus coba tidak terpengaruh oleh
berat badan tikus.
6.3 Perbandingan kadar serum AMH pada perlakuan dengan kurkumin dan
plasebo
Sampai saat ini metode pengobatan untuk endometriosis pada manusia masih
belum memberikan hasil yang menggembirakan. Salah satu permasalahannya adalah
kekhawatiran akan efek samping yang timbul akibat pengobatan tersebut, sebagai contoh
efek hipoestrogenik akibat pemberian GnRH agonis atau efek hiperandrogen pada
pemberian danazol. Pemikiran yang dicoba untuk dikembangkan adalah usaha untuk
menemukan obat baru yang tidak menghambat poros hipotalamus-pituitari-ovarium,
sehingga penderita tidak dihadapkan pada permasalahan infertilitas. Salah satu alternatif
yang bisa digunakan adalah penggunaan media herbal yaitu kurkumin.
Sebuah Randomized Controlled Trial (RCT) tentang khasiat kurkumin pada
pengobatan endometriosis telah dilaporkan oleh Yang dkk.(2006). Pada penelitian ini
dikatakan bahwa campuran beberapa obat diantaranya kurkumin mempunyai keamanan
dan efikasi yang sama dibandingkan gestrinone dalam pencegahan rekurensi pada pasien
endometriosis post operasi. Salah satu mekanisme yang dipercaya sebagai efek kurkumin
disini adalah penekanan sitokin pro inflamasi, hambatan pada COX-2 dan efek anti
oksidan (Wieser dkk.,2007).
Beberapa penelitian telah membuktikan penyebab peningkatan proses apoptosis
pada endometriosis yaitu distimulasi oleh peningkatan sitokin pro inflamasi, diantaranya
yang banyak diteliti adalah TNF-α. Didapatkan peningkatan TNF-α baik dalam cairan
peritonium maupun cairan folikel. Penelitian oleh Hendarto (2007) mendapatkan
peningkatan kadar TNF-α pada cairan peritonium wanita endometriosis dan peningkatan
tersebut sesuai dengan derajat endometriosisnya. Semakin tinggi derajatnya maka kadar
TNF-α semakin meningkat. Sementara pada penelitian oleh Falconer dkk. (2009)
didapatkan kadar TNF-α pada cairan folikel wanita endometriosis lebih tinggi daripada
wanita yang infertil karena faktor tuba.
Mekanisme molekuler yang dapat menjelaskan keterlibatan TNF-α dalam proses
apoptosis tersebut adalah akibat aktivasi salah satu faktor transkripsi yaitu NF-κβ. Studi in
vitro menunjukkan aktivasi NF-κβ di dalam sel stroma endometriosis melalui jalur NF-κβ
klasik yang diinduksi oleh IL-1, TNF-α atau lipopolisakarida (Ramos dkk.,2007). Faktor
transkripsi NF-κβ diketahui berperan dalam patogenesa terjadinya endometriosis, yaitu
merangsang proses adhesi, invasi, angiogenesis, inflamasi, proliferasi, dan menghambat
apoptosis sel endometriosis. Peran aktifasi jalur klasik NF-κβ merupakan respon imunitas
alamiah sehingga merangsang inflamasi dan mempertahankan lesi endometriosis (Ramos
dkk., 2010). Aktivasi faktor transkripsi NF-κβ juga berhubungan dengan peningkatan ROS
(Reactive Oxygen Species). Penelitian oleh Ngo dkk (2009) telah membuktikan
peningkatan ROS pada sel stroma dan epitel dari endometrioma dan endometrium wanita
endometriosis. Bahan ROS yang utama yaitu superoksida ( O2-) akan diubah menjadi H2O2
oleh enzim SOD (super oxide dismutase), selanjutnya dapat membentuk hydroxyl radicals
(OH-) karena pengaruh Ion Fenton terhadap H2O2 atau Haber Weiss reactions terhadap O2-.
Hydroxyl radicals memiliki waktu paruh yang pendek dan jauh lebih reaktif dibandingkan
superoksida. Schreck dkk. (1991) membuktikan H2O2 mengaktifasi faktor transkripsi NF-
κB. H2O2 menyebabkan terlepasnya ikatan NF-κB dengan IκB.
Pada beberapa penelitian telah dibuktikan adanya penurunan kadar AMH baik pada
serum maupun pada cairan folikel wanita endometriosis. Penelitian oleh Lemos dkk.(2008)
mendapatkan kadar AMH pada serum wanita endometriosis lebih rendah dibandingkan
kontrol yaitu wanita dengan infertilitas karena faktor tuba ( 1,26 ± 0,7 vs 2,02 ± 0,72
dengan p = 0,004). Penelitian oleh Shebl (2009) juga membuktikan penurunan kadar AMH
pada serum wanita endometriosis dibandingkan kontrol (faktor suami) dan meningkat
sesuai derajat endometriosisnya, pada wanita dengan endometriosis ringan didapatkan
mean kadar AMH tidak berbeda dengan kontrol ( 3,28 ± 1,93 vs 3,44 ± 2,06 ;p = 0,61)
pada wanita dengan derajat berat didapatkan mean kadar AMH yang berbeda signifikan
(2,38 ± 1,83 vs 3,58 ± 2,46; p<0,0001). Sementara pada penelitian oleh Falconer dkk.
(2009) mendapatkan bukti penurunan kadar AMH pada cairan folikel wanita
endometriosis. Mekanisme penurunan kadar AMH ini belum sepenuhnya dapat dijelaskan,
kemungkinan hal ini dipengaruhi peningkatan kadar TNF-α dalam cairan folikel wanita
endometriosis, yang akhirnya menginduksi terjadinya peningkatan proses apoptosis pada
sel granulosa. Penurunan kadar AMH ini kemungkinan disebabkan oleh berkurangnya
jumlah sel granulosa secara kumulatif akibat peningkatan proses apoptosis. Akan tetapi hal
ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.
Pada penelitian kami, rerata kadar AMH pada tikus model endometriosis kelompok
kurkumin lebih tinggi dibanding kelompok plasebo ( 44,9 ± 20,1 vs 29,8 ± 11,9 )
( tabel 5.4 ). Berdasarkan uji t dua sampel bebas didapatkan perbedaan bermakna antara
dua kelompok tersebut ( p = 0,008 ). Perbedaan hasil ini kemungkinan akibat keberhasilan
kurkumin dalam menghambat proses apoptosis yang terjadi, adapun mekanismenya bisa
melalui beberapa jalur antara lain penghambatan aktivasi faktor transkripsi NF-κβ dengan
berbagai akibatnya, penekanan aktivitas inflamasi melalui penekanan TNF-α secara
langsung atau melalui efek antioksidasi. Singh dan Aggarwal (1995) telah membuktikan
bahwa kurkumin dapat menghambat aktivasi faktor transkripsi NF-κβ dengan target
penekanan sebelum terjadinya fosforilasi Iκβα. Penelitian Jobin (1999) juga telah
membuktikan hal yang sama. Kurkumin terbukti mengurangi dampak negatif akibat defek
imun penderita endometriosis dengan cara anti TNF-α, anti NF-κβ, anti oksidan, anti JNK
dan anti aktivasi jalur kaspase. Kurkumin mampu menekan jalur NF-κB dan gen NF-κB
target cytokines.
Kurkumin juga mempunyai kemampuan antioksidan yang kuat. TNF-α sendiri
menginduksi pembentukan stres oksidatif melalui jalur JNK-1 yang akhirnya dapat
menginduksi proses apoptosis (Antosiewicz dkk.,2007). Kurkumin mempunyai efek anti
oksidan dan hal ini telah dibuktikan pada beberapa penelitian. Kurkumin menghambat
terbentuknya hydroxyl radicals (OH-) akibat reaksi Fenton atau Haber-Weiss dengan
memperbanyak aktivitas antioksidan seperti SOD, GPx, GSH, dan GST. Demikian pula
pemutusan rantai atau penambahan rantai hidrogen pada struktur phenolic dapat
mengkatalisa bahan hidrogen peroksida (H2O2) menjadi H2O dan O2. Kurkumin adalah
antioksidan eksogen dengan cara memecah rantai oksidan sehingga menghambat
peroksidasi lemak (Pari dkk.,2008).
Pada penelitian kami, pada kelompok plasebo didapatkan satu sampel dengan kadar
yang tinggi (67,8 ng/ml) melebihi kadar rerata AMH pada kelompok kurkumin, hal ini
kemungkinan terjadi karena kemampuan recovery akibat pengaruh faktor imun yang lebih
baik pada tikus tersebut, sementara pada kelompok kurkumin kami mendapatkan 2 sampel
dengan kadar AMH yang lebih rendah ( 11,8 ng/ml dan 26,4 ng/ml ) dibanding rerata
AMH pada kelompok plasebo, hal ini kemungkinan karena derajat endometriosis yang
terjadi lebih tinggi daripada pada kelompok plasebo.
Dengan terhambatnya proses apoptosis yang terjadi akan menyebabkan jumlah sel
granulosa yang mampu bertahan menjadi lebih banyak sehingga protein dan hormon yang
disekresi juga menjadi lebih tinggi. Dengan lebih banyaknya sel granulosa yang selamat
dari proses apoptosis abnormal, maka diharapkan akan meningkatkan fertilitas pada
penderita endometriosis. Hal ini telah dibuktikan pada penelitian oleh Johari (2010),
dimana didapatkan efek positif suplementasi kurkumin pada mencit model endometriosis
dengan didapatkannya angka keberhasilan fertilisasi yang lebih tinggi dibanding plasebo
ditinjau dari banyaknya ovum dan kemampuan oosit untuk menyelesaikan meiosisnya.
Pada kelompok yang diberikan suplemen kurkumin didapatkan rerata jumlah ovum 15,42
± 3,17 dibandingkan kelompok plasebo dengan rerata jumlah ovum 8,21±2,82 (p=0,0001).
Hasil ini dapat menjelaskan penelitian kami dimana diduga oosit berperan pada regulasi
AMH oleh sel granulosa. Penelitian oleh Salmon (2004) telah membuktikan bahwa
ekspresi AMH oleh sel granulosa akan berkurang bila dilakukan oositektomi dan
meningkat kembali bila oosit dikultur kembali bersama sel granulosa.
Penelitian yang mempelajari pengaruh kurkumin terhadap kadar AMH sampai saat
ini belum pernah dilaporkan. Penelitian kami telah membuktikan bahwa didapatkan kadar
serum AMH yang lebih tinggi pada kelompok yang mendapat suplementasi kurkumin,
namun perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk lebih memahami mekanisme yang
mendasari hasil penelitian tersebut.
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Kadar serum AMH pada tikus model endometriosis yang mendapat
suplementasi kurkumin lebih tinggi daripada plasebo
7.2 Saran
1. Perlu penelitian lanjutan tentang pengaruh kurkumin terhadap proses apoptosis
dan kadar ROS pada tikus model endometriosis
2. Mengembangkan penelitian lebih lanjut tentang manfaat kurkumin pada
pengobatan endometriosis dan penentuan standar dosisnya
BAB 8
DAFTAR PUSTAKA
Aggarwal BB. 2003. Signalling pathways of the TNF superfamily : A double–edged sword, Nat Rev Immunol 3(9): 745–756.
Aggarwal S, Ichikawa H, Takada Y, Sandur S, Shishodia S, Aggarwal BB, 2006. Curcumin (Diferuloylmethane) down-regulates expression of cell proliferation and antiapoptotic and metastatic gene products through suppression of IκBα kinase and Akt activation. Mol Pharmacol 69 : 195-206.
Andersen CY , Byskov AG, 2006. Estradiol and regulation of anti Mullerian hormone, Inhibin-A, and Inhibin-B secretion: Analysis of small antral and preovulatory human follicles’ fluid. J Clin Endocrinol Metab 91: 4064-4069.
Antosiewicz J, Ziolkowski W, Kaczor JJ, Antosiewicz AH, 2007. Tumor necrosis factor-α induced reactive oxygen species formation is mediated by JNK1-dependent ferritin degradation and elevation of labile iron pool. Free Radic Biol Med 43: 265-270.
Aoki D, Katsuki Y, Shimizu A, Kakinuma C. 1994. Sucessfull heterotransplantation of human endometrium in SCID mice. Obstet Gynecol 83: 220-228
Awwad JT, Sayegh RA, Hassan T, Tao XJ, Issacson K, 1999. The SCID mouse : an experimental modelfor endometriosis. Hum Reprod 14: 3107-3111.
Ball BA, Conley AJ, Grundy SA, Sabeur K, 2008. Expression of anti-Müllerian hormone (AMH) in the equine testis. Theriogenology 69: 624-631.
Bedaiwy MA, Falcone T, Sharma RK, Goldberg JM, Attaran M, Nelson DR, Agarwal A, 2002. Prediction of endometriosis with serum and peritoneal fluid marker: a prospective controlled trial. Hum Reprod 17(2): 426-431.
Beere HM, 2005. Death versus survival : functional interaction between the apoptotic and stress-inducible heat shock protein pathways. J Clin Invest 115(10): 2633-2639.
Berkkanoglu M, Arici A, 2003. Immunology and endometriosis. Am J Reprod Immunol 50(1): 48-59.
Broekmans FJ, Visser JA, Laven JS, Broer SL, Themmen AP, Fauser BC, 2008. Anti Mullerian hormone and ovarian dysfunction. Trends in Endocrinol and Metab 19(9): 340-347.
Campos CS, Vaamonde D, Andreoli C, Martins AC, Genro VK, Souza CA, Chapon R, Cunha-Filho JSL, 2010. Follicular fluid anti Mullerian hormone concentration is similar in patients with endometriosis compared with non endometriotic patients. Reprod Biomed Online 21: 470-473.
Cao WG, Morin M, Metz C, Maheux R, Akoum A, 2005. Stimulation of macrophage migration inhibitory factor expression in endometrial stromal cells by interleukin 1, beta involving the nuclear transcription factor NF-κB. Biol Reprod 73: 565-570
Danudjo TO, 2003. Peran IL-6 serta IL-8 dalam zalir peritoneal penderita infertilitas disertai endometriosis dalam proses apoptosis sel granulosa ovarii yang patologis. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Desforges-Bullet V, Gallo C, Lefebvre C, Pigny P, Dewailly D, Catteau-Jonard S, 2010. Increased anti-Müllerian hormone and decreased FSH levels in follicular fluid obtained in women with polycystic ovaries at the time of follicle puncture for in vitro fertilization. Fertil Steril 94: 198-204.
Dumesic DA, Lesnick TG, Stassart JP, Ball D, Wong A, Abbott DH, 2009. Intrafollicular anti Mullerian hormone (AMH) levels predict follicle responsiveness to FSH in normoandrogenic ovulatory women undergoing GnRH analog/recombinant human FSH therapy for IVF-ET. Fertil Steril 92(1): 217-221
Durlinger AL, Gruijters MJ, Kramer P, Karels B, Kumar TR, Matzuk MM, Rose UM, de Jong FH, Uilenbroek JT, Grootegoed JA, Themmen AP, 2001. Anti Mullerian hormone attenuates the effects of FSH on follicle development in the mouse ovary. Endocrinology 142(11): 4891-4899.
Elvin JA, Clark AT, Wang P, Wolfman NM, Matzuk MM, 1999. Paracrine actions of GDF-9 in the mammalian ovary. Mol Endocrinol 13: 1035-1048.
Falconer H, Sundqvist J, Gemzell-Danielsson K, von Schoultz B, D'Hooghe TM, Fried G.2009. IVF outcome in women with endometriosis in relation to tumour necrosis factor and anti-Müllerian hormone. Reprod Biomed Online 18: 582-588.
Findlay JK, Kerr JB, Britt K, Liew SH, Simpson ER, Rosario D, Drummond A, 2009. Ovarian physiology : follicle development, oocyte and hormone relationships. Anim Reprod 6: 16-19.
Freeman EW, Gracia CR, Sammel MD, Lin H, Lim LC,Strauss JF IIIrd. 2007. Association of anti-Mullerian hormone levels with obesity in late reproductive-age women. Fertil Steril 87:101–106
Gazvani MR, Christmas S, Quenby S, Kirwan J, Johnson PM, Kingsland CR, 1998. Peritoneal fluid concentrations of interleukin-8 in women with endometriosis: relationship to stage of disease. Hum Reprod 13: 1957-1961.
Grummer R, 2006. Animal models in endometriosis research. Hum Reprod Update, 12(5): 641-649.
Hazout A, Bouchard P, Seifer DB, Aussage P, Junca AM, Cohen-Bacrie P, 2004. Serum anti müllerian hormone/müllerian inhibiting substance appears to be a more discriminatory marker of assisted reproductive technology outcome than follicle-stimulating hormone, inhibin B, or estradiol. Fertil Steril 82: 1323-1329.
Hendarto H. 2007. Profil kadar TNF-α, GDF-9 dan Hyaluronan pada gangguan folikulogenesis sebagai gambaran penurunan kualitas oosit pasien infertil dengan endometriosis. Disertasi, Program Pascasarjana, Universitas Airlangga, Surabaya.
Hong CY, Park JH, Seo KH, Kim JM, Im SY, Lee JW, Choi HS, Lee K, 2003. Expression of MIS in the Testis Is Downregulated by Tumor Necrosis Factor Alpha through the Negative Regulation of SF-1 Transactivation by NF-κB. Mol Cell Biol 23: 6000-6012.
Hornung D, Isabelle PR, Chao VA, Vigne JL, Schriock ED, Taylor RN, 1997. Immunolocalization and regulation of the chemokine RANTES in human endometrial and endometriosis tissues and cells. J Clin Endocrinol Metab 82: 1621-1628.
Husein MR, 2005. Apoptosis in the ovary: molecular mechanisms. Hum Reprod Update 11(2): 162-178.
Iwabe T, Harada T, Tsudo T, Nagano Y, Yoshida S, Tanikawa M, Terakawa N, 2000. Tumor Necrosis Factor-a promotes proliferation of endometriotic stromal cells by inducing interleukin-8 gene and protein expression. J Clin Endocrinol Metab 85: 824-829.
Jobin C, Bradham CA, Russo MP, Juma B, Narula AS, Brenner DA, Sartor RB, 1999. Curcumin blocks cytokine-mediated NF-κB activation and proinflammatory gene expression by inhibiting inhibitory factor I-κB kinase activity. J Immunol 163: 3474-3483.
Johari S, Hendarto H, Samsulhadi, Widjiati, 2010. Pengaruh kurkumin terhadap jumlah dan maturasi ovum hasil stimulasi ovarium pada endometriosis. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.
Josso N, Clemente N, Gouedard L, 2001. Anti Mullerian hormone and its receptors. Mol Cell Endorinol 179: 25-32.
Kevenaar ME, Meerasahib MF, Kramer P, van de Lang-Born BM, de Jong FH, Groome NP, Themmen AP,Visser JA, 2006. Serum anti Mullerian hormone levels reflect the size of the primordial follicle pool in mice. Endocrinology 147: 3228-3234.
Knight PG, Glister C, 2006. TGF-β superfamily members and ovarian follicle development. Reproduction 132: 191-206.
Kuswojo H, Sa’adi A, Hendarto H, Samsulhadi, Widjiati, 2009. Pengaruh curcumin terhadap ekspresi VEGF dan luas implant endometriosis. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.
La Marca A, Sighinolfi G, Radi D, Argento C, Baraldi E, Artenisio AC, Stabile G, Volpe A, 2010. Anti Mullerian hormone (AMH) as a predictive marker in assisted reproductive technology (ART). Hum Reprod Update 16: 113-130.
Lebovic DI, Mueller MD, Taylor RN, 2001. Immunology and endometriosis. Fertil Steril 75: 1-10.
Lemos NA, Arbo E, Scalco R, Weiler E, Rosa V, Cunha-Filho JS, 2008. Decreased anti Mullerian hormone and altered ovarian follicular cohort in infertile patients with mild/minimal endometriosis. Fertil Steril 89: 1064-1068.
Mathur S, Peress MR, Wiliamson HO, Youmans CD, Maney SA, Garvin AJ, Rust PF, Fudenberg HH, 1982. Autoimmunity to endometrium and ovary in endometriosis. Clin Exp Immunol 50: 259-266.
McGee EA, Hsueh AJW, 2000. Initial and cyclic recruitment of ovarian follicles. Endocr Rev, 21: 200–214.
McLaren J, Prentice A, Charnock-Jones DS, Smith SK, 1996. VEGF concentrations are elevated in peritoneal fluid of women with endometriosis. Hum Reprod 11: 220-223.
McLaren J, Prentice A, Charnok-Jones DS, Sharkey AM, Smith SK, 1997. Immunolocalization of the apoptosis regulating proteins Bcl-2 and Bax in human endometrium and isolated peritoneal fluid macrophages in endometriosis. Hum Reprod 12: 146-152.
Nasu K, Nishida M, Ueda T, Yuge A, Takai N, Narahara N, 2007. Application of Nuclear-κB inhibitor BAY 11-7085 for the treatment of endometriosis: an invitro study. Am J Phys Endocrinol Metab 293: 16-23.
Nielsen ME, rasmussen IA, Westergaard LG, Andersen CY, 2010. Concentrations of Anti-Müllerian Hormone in fluid from small human antral follicles show a negative correlation with CYP19 mRNA expression in the corresponding granulosa cells. www.molehr.oxfordjournals.org, download pada 20 Mei 2011.
Nothnick WB, 2001. Treating endometriosis as an auto immune disease. Fertil Steril 76: 223-231.
Oosterlynck DJ, Mueleman C, Waer M, Koninckx PR, 1994. TGF-β activity is increased in peritoneal fluid from women with endometriosis. Obstet Gynecol 83: 287-292.
Ota H, Igarashi S, tanaka T, 2001. Xanthine oxidase in eutopic and ectopic endometrium in endometriosis and adenomyosis. Fertil Steril 75: 785-790.
Pari L, Tewas D, Eckel J, 2008. Role of curcumin in health and disease. Arch Phys Biochem 114: 127-149.
Portt L, Norman G, Clapp C, Greenwood M, Greenwood MT, 2011. Anti apoptosis and cell survival : A review. Biochim Biophys Acta 1813: 238-259.
Ramos RG, Donnes J, Defrere S, Leclercq I, Squiflet J, Luosse JC, van Langendonckt A, 2007. Nuclear factor kappa B is constitutively activated in peritoneal endometriosis. Mol Hum Reprod 13: 503-509.
Rier SE, Zarmakoupis PN, Hu X, Becker JL, 1995. Dysregulation of interleukin-6 responses in ectopic endometrial stromal cells: correlation with decreased soluble receptor levels in peritoneal fluid of women with endometriosis. J Clin Endocrinol Metab 80 : 1431- 1437.
Sa’adi A. 2010. Efek curcumin dan progestin (MPA) terhadap ekspresi VEGF dan luas implant endometriosis. Penelitian Konsultan FER Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.
Salmon NA, Handyside AH, Joyce IM, 2004. Oocyte regulation of anti-Mullerian hormone expression in granulosa cells during ovarian follicle development in mice. Develop Biol 266: 201-108.
Samsulhadi, 2002. Endometriosis: Dari biomolekuler sampai masalah klinis. Majalah Obstetri dan Ginekologi, 10(1): 43-50.
Sandur SK, Pandey MK, Sung B, Ahn KS, Akira Murakami A, Sethi G, Limtrakul P, Aggarwal BB, 2007. Curcumin, demethoxycurcumin, bisdemethoxycurcumin, tetrahydrocurcumin and turmerones differentially regulate anti-inflammatory and anti-proliferative responses through a ROS-independent mechanism. Carcinogenesis, 28(7): 1765-1773.
Seino T, Saito H,Kaneko T, Takahashi T, Kawachiya S, Kurachi H, 2002. Eight-hydroxy-2-deoxyguanosine in granulosa cells is correlated with the quality of oocytes and embryos in an in vitro fertilization–embryo transfer program. Fertil Steril 77: 1184-1190.
Senturk LM, Arici A, 1999. Immunology of endometriosis. J Reprod Immunol 43 : 67-83.Sharma RA, Gescher AJ, Steward WP, 2005. Curcumin : the story so far. Eur J Cancer 41:
1955-1968.Shebl O, Ebner T, Sommergrubber M, Sir A, Tews G, 2009. Anti Mullerian hormone
serum levels on women with endometriosis : a case control study. Gynecol Endocrinol 25 : 713-716.
Speroff L, Fritz MA, 2005. Endometriosis. Clinical Gynecologic Endocrinology and Infertility, seventh edition, Philadelphia, Lippincott Williams and Wilkins, pp. 1103-1133.
Szczepanska M, Kozlik J, Skrypczak J, Mikolaczyk M, 2003. Oxidative stress maybe a piece in the endometriosis puzzle. Fertil Steril 79: 1288-1293.
Toya M, Saito H, Ohta N, Saito T, Kaneko T, Hiroi M, 2000. Moderate and severe endometriosis is associated with alterations in the cell cycle of granulosa cells in patients undergoing in vitro fertilization and embryo transfer. Fertil Steril 73 : 344-350.
Tripathi P, Aggarwal A, 2006. NF-κB transcription factor : a key player in the generation of immune response. Curr Science 90: 519-531.
Vigano P, Gaffuri B, Somigliana E, di Blasio AM, Vignali M, 1998. Expression of ICAM-1 mRNA and protein is enhanced in endometriosis versus endometrial stromal cells in culture. Mol Hum Reprod 4 : 1150-1156.
Vika SP, Hendarto H, Suhartono DS, Widjiati, 2006. Pengaruh pemberian siklosporin A sebagai penurun jumlah limfosit serum terhadap terjadinya implant endometriosis pada mencit. Penelitian Departemen/SMF Kebidanan dan Penyakit Kandungan FK Unair/RSUD dr Soetomo Surabaya.
Visser JA, de Jong FH, Laven JS, Themmen AP, 2006. Anti-Mullerian hormone: a new marker for ovarian function. Reproduction 131: 1-9.
Visser JA, Themmen AP, 2005. Anti Mullerian hormone and folliculogenesis. Mol Cell Endocrinol 234: 81-86.
Wieser F, Cohen M, Gaeddert A, 2007. Evolution of medical treatment for endometriosis: back to the roots?. Hum Reprod Update 13: 487-499.
Wu MY, Yang JH, Chao KH, Hwang JL, Yang YS, Ho HN, 2000. Increase in the expression of killer cell inhibitory receptors on peritoneal natural killer cells in women with endometriosis. Fertil Steril 74: 1187-1191.
Zeller JM, Henig I, Radwanska E, Dmowski WP, 1987. Enhancement of human monocyte and peritoneal macrophage chemiluminescence activities in women with endometriosis. Am J Reprod Immunol Microbiol 13: 78-82
Lampiran 1
DATA HASIL PENELITIAN
Berat badan tikus sebelum dan Berat badan tikus sebelum dan
sesudah pemberian kurkumin sesudah pemberian plasebo
Berat badan
sebelum sesudah
125 130
140 160
115 145
130 160
130 155
120 155
125 145
130 155
125 150
125 145
110 115
125 160
110 160
130 140
120 125
115 135
100 150
120 140
125 160
Berat badan
sebelum sesudah
105 130
110 140
125 140
135 160
155 160
115 140
130 140
130 150
120 150
130 160
125 150
120 145
110 150
130 140
120 120
125 135
115 135
115 160
110 130
Kadar serum AMH ( ng/ml ) tiap kelompok perlakuan
Kurkumin Plasebo
70,2 67,8
31,8 34,2
45,4 24,8
26,4 30,8
37,4 14,6
30,4 39,6
29,6 31,8
38,6 34,2
36,8 17,6
33,8 30,8
53,8 20,4
50,2 36,2
96,8 27,4
58,6 26,4
35,2 34,4
36,6 23,8
77,2 36,4
11,8 21,8
54,2 12,8
Lampiran 2
HASIL ANALISA STATISTIK
Kurkumin
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
19 19 19
122.1053 146.5789 24.4737
9.17663 13.12892 13.21770
.203 .160 .157
.142 .153 .116
-.203 -.160 -.157
.884 .699 .684
.416 .712 .737
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
BB_awal BB_akhir Delta BB
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
T-Test
Paired Samples Statistics
146.5789 19 13.12892 3.01198
122.1053 19 9.17663 2.10526
BB_akhir
BB_awal
Pair1
Mean N Std. DeviationStd. Error
Mean
Paired Samples Test
24.47368 13.21770 3.03235 18.10296 30.84441 8.071 18 .000BB_akhir - BB_awalPair 1Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
Placebo
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
19 19 19
122.3684 143.9474 21.5789
11.59123 11.49625 11.43249
.150 .161 .144
.150 .161 .125
-.090 -.129 -.144
.653 .700 .627
.787 .711 .826
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
BB_awal BB_akhir Delta BB
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
T-Test
Paired Samples Statistics
143.9474 19 11.49625 2.63742
122.3684 19 11.59123 2.65921
BB_akhir
BB_awal
Pair1
Mean N Std. DeviationStd. Error
Mean
Paired Samples Test
21.57895 11.43249 2.62279 16.06867 27.08923 8.227 18 .000BB_akhir - BB_awalPair 1Mean Std. Deviation
Std. ErrorMean Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
Paired Differences
t df Sig. (2-tailed)
T-Test
Group Statistics
19 122.1053 9.17663 2.10526
19 122.3684 11.59123 2.65921
19 146.5789 13.12892 3.01198
19 143.9474 11.49625 2.63742
19 24.4737 13.21770 3.03235
19 21.5789 11.43249 2.62279
PerlakuanKurkumin
Placebo
Kurkumin
Placebo
Kurkumin
Placebo
BB_awal
BB_akhir
Delta BB
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Independent Samples Test
.708 .406 -.078 36 .939 -.26316 3.39169 -7.14182 6.61550
-.078 34.200 .939 -.26316 3.39169 -7.15441 6.62810
.208 .651 .657 36 .515 2.63158 4.00350 -5.48789 10.75105
.657 35.383 .515 2.63158 4.00350 -5.49281 10.75597
.221 .641 .722 36 .475 2.89474 4.00926 -5.23642 11.02590
.722 35.268 .475 2.89474 4.00926 -5.24229 11.03176
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
BB_awal
BB_akhir
Delta BB
F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
38
37.3842
18.04501
.214
.214
-.078
1.321
.061
N
Mean
Std. Deviation
Normal Parameters a,b
Absolute
Positive
Negative
Most ExtremeDifferences
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
KADAR AMH( ng/ml )
Test distribution is Normal.a.
Calculated from data.b.
Case Summaries
KADAR AMH ( ng/ml )
19 44.9895 20.08332 4.60743 37.4000 11.80 96.80
19 29.7789 11.99535 2.75192 30.8000 12.80 67.80
38 37.3842 18.04501 2.92729 34.2000 11.80 96.80
PerlakuanKurkumin
Placebo
Total
N Mean Std. DeviationStd. Errorof Mean Median Minimum Maximum
T-Test
Group Statistics
19 44.9895 20.08332 4.60743
19 29.7789 11.99535 2.75192
PerlakuanKurkumin
Placebo
KADAR AMH ( ng/ml )N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Independent Samples Test
4.348 .044 2.834 36 .007 15.21053 5.36670 4.32635 26.09470
2.834 29.393 .008 15.21053 5.36670 4.24076 26.18030
Equal variancesassumed
Equal variancesnot assumed
KADAR AMH ( ng/ml )F Sig.
Levene's Test forEquality of Variances
t df Sig. (2-tailed)Mean
DifferenceStd. ErrorDifference Lower Upper
95% ConfidenceInterval of the
Difference
t-test for Equality of Means
Lampiran 3
Kelaikan Etik
Lampiran 4
Foto kegiatan penelitian
Jaringan endometrium manusia Menyuntik jaringan endometrium
Yang sudah dihaluskan ke dalam intraperitonium
Contoh model endometriosis (+) Contoh model endometriosis ( - )
Aspirasi darah intrakardiak Serum darah setelah di sentrifuge
Sampel serum darah Kit assay untuk AMH tikus
Running ELISA mulai Running ELISA sedang
berjalan
Running ELISA selesai Microplate reader