Upload
di-tiano
View
218
Download
10
Embed Size (px)
Citation preview
LITERASI INFORMASI BAGI PUSTAKAWAN DI ERA GLOBAL
I. Pendahuluan
I.1. Latar Belakang
Era global telah menjamah kita, tanda yang signifikan dari era global
adalah banjirnya informasi. Informasi sejagad telah menyebar luas seantero dunia.
Informasi telah masuk ke setiap ruang sehingga tak sejengkal tanahpun tanpa
informasi. Sejak kita bangun pagi hari sampai tidur malam hari, ribuan bahkan
jutaan informasi menyebar ke mana-mana. Informasi tersebut bergerak sesuai
dengan media yang menghantarkannya, seperti : lisan, media cetak, media non-
cetak. Media cetak antara lain : surat kabar, majalah, tabloit, selebaran, spanduk,
papan reklame, dsb. Sedangkan media non cetak seperti : televisi, radio, telepon
genggam, internet, dsb. Membanjirnya informasi itu juga akibat dari terus
berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi.
Era global telah merambah dan melanda semua orang tidak terkecuali
pustakawan. Era global membuka mata hati bahwa didalam kehidupan ini kita perlu
orang lain dimanapun tanpa mengenal batas. Perkembangan teknologi komunikasi
dan telekomunikasi seperti Internet dapat mengubah banyak orang menjadi
kosmopolitan. Picasso yang dikutip Muis (2001) mengatakan bahwa dunia telah
menjadi kosmopolitan dan kita saling mempengaruhi satu sama lain.
Internet dengan muatan-muatan bisnis, pendidikan dsb, telah mampu
mempengaruhi pola pikir kita semua. Ia telah mengubah kehidupan secara drastis.
Internet sudah menjadi suatu media pilihan untuk mendapatkan informasi aktual dan
faktual. Walaupun Internet bukanlah panacea (bukan satu-satunya pilihan), namun
sudah menjadi harapan utama untuk mendapatkan informasi aktual.
Pada era globalisasi ini, pustakawan dituntut tidak hanya trampil
mengurusi buku namun juga dituntut bisa menguasai teknologi informasi (TI).
Kemajuan teknologi telah mendorong para pustakawan harus meningkatkan
kemampuannya dalam bidang teknologi agar mereka dapat memenuhi tuntutan
pengguna dan peran pustakawan akan semakin kompleks.
Sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam
organisasi, karena SDM sangat menentukan arah dan kemajuan organisasi.
1
Pustakawan sebagai SDM dalam perpustakaan harus bekerja secara professional,
sesuai dengan profesionalisme pustakawan yang tercermin pada kemapuan
(pengetahuan, pengalaman, keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan
pelaksanaan pekerjaan di bidang kepustakawanan dan kegiatan lainnya secara
mandiri. Profesionalisme pustakawan pun harus terus ditingkatkan jika
perpustakaan ingin terus tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya yang
terus berubah.
Sumber daya manusia menjadi salah satu sumber daya terpenting bagi
perpustakaan digital. Suatu perpustakaan digital dikembangkan oleh orang, dalam
hal ini pustakawan. Kreativitas, ide dan upaya pustakawan menjadi faktor
penentu. Oleh Karen itu, pustawakan harus mempersiapkan dirinya agar dapat
meningkatkan kualitas kompetensi professional dan personal yang sudah ada
dengan menambah kemampuan penerapan teknologi informasi dalam
menjalankan tugasnya. Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi juga
berpengaruh pada melimpahnya jenis-jenis informasi, jadi seorang pustakawan
saat ini juga harus jeli dalam memilah-milah informasi dengan tepat, cepat dan
akurat.
I.2. Permasalahan
Adapun masalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini adalah yang pertama,
profesionalisme pustakawan di era global. Kedua, kompetensi pustakawan di era
web 2.0. ketiga, Ketiga kompetensi pustakawan di era milinium.
I.3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
profesionalisme pustakawan di era global, kompetensi pustakawan di era web 2.0
dan kompetensi pustakawan di era milinium.
II. Pembahasan
2.1 Profesionalisme Pustakawan di Era Global
Sumberdaya manusia merupakan salah satu unsur yang penting dalam
organisasi. seperti kita ketahui unsur-unsur organisasi yang dikenal dengan 6M
tersebut adalah Sumberdaya Manusia (Man), Peralatan (Machine), bahan-bahan
2
(Materials), biaya (Money), metode (Method), dan pasar (Market). SDM merupakan
unsur yang paling penting. Hal ini karena SDM sangat menentukan arah dan
kemajuan organisasi. Salah satu jenis SDM yang ada di Perpustakaan adalah
Pustakawan selain tenaga-tenaga lain tentunya. Pustakawan diakui sebagai suatu
jabatan profesi dan sejajar dengan profesi-profesi lain seperti profesi peneliti, guru,
dosen, hakim, dokter, dan lain-lain. Profesi secara umum diartikan sebagai pekerjaan.
Dalam “Advanced English-Indonesian Dictionary” (1991: 658) profesi adalah sebagai
suatu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan khusus. Sementara itu
“Encyclopedia of Social Science” (1992) memberikan batasan mengenai
“Professions” dilihat dari ciri khasnya, yaitu pendidikan teknik intelektual yang
diperoleh dari pelatihan khusus yang dapat diterapkan pada beberapa suasana
kehidupan sehari-hari, yang memberikan ciri pembeda satu profesi.
Menurut Sulistyo-Basuki (1991: 148-150) ada beberapa ciri dari suatu profesi
seperti :
(1) Adanya sebuah asosiasi atau organisasi keahlian,
(2) Terdapat pola pendidikan yang jelas,
(3) Adanya kode etik profesi,
(4) Berorientasi pada jasa,
(5) Adanya tingkat kemandirian.
Pustakawan sebagai profesi juga harus memiliki beberapa keterampilan antara lain:
1. Adaptability
Pustakawan hendaknya cepat berubah menyesuaikan keadaan yang menantang.
Sudah saatnya adaptif memanfaatkan teknologi informasi. Pustakawan dalam
memberikan informasi tidak lagi bersandar pada buku teks dan jurnal di rak, tetapi
dengan memanfaatkan internet untuk mendapatkan informasi yang aktual bagi
penggunanya.
2. People Skills (Soft Skill)
Pustakawan adalah mitra intelektual yang memberikan jasa kepada pengguna.
Mereka harus lihai berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan penggunanya.
People Skills ini dapat dikembangkan dengan membaca, mendengarkan kaset-
kaset positif, berkenalan dengan orang-orang positif, bergabung dengan organisasi
positif lain dan kemudian diaplikasikan dalam aktivitas sehari-hari.
3
3. Berpikir Positif
Ketika kita dihadapkan pada suatu pekerjaan yang cukup besar maka pada
umumnya kita berkata: wah…..tidak mungkin; aduh…..sulit!!!! Pustakawan
diharapkan menjadi seorang pemenang yaitu sebagai pemenang yang berpikiran
positif sehingga jika dihadapkan pada pekerjaan besar seharusnya berkata: Yes,
kami bisa.
3. Personal Added Value
Pustakawan harus mempunyai nilai tambah. Pustakawan tidak hanya lihai dalam
mengindeks, mengkatalog, mengadakan bahan pustaka, dan pekerjaan rutin
lainnya. Harus ada nilai tambah misalnya dapat mencarikan informasi yang rinci di
internet dan tahu bagaimana cara cepat mancari informasi tersebut di internet.
4. Berwawasan Enterpreneurship (Kewirausahaan)
Informasi adalah kekuatan, informasi adalah mahal. Maka seyogyanya pustakawan
harus sudah mulai berwawasan enterpreneurship agar dalam perjalanan sejarahnya
nanti dapat bertahan. Lebih-lebih di era otonomi, maka perpustakaan secara
perlahan harus menjadi income generation unit. Memang sudah ada pustakawan
yang berwawasan bisnis, tapi masih belum semuanya. Paradigma lama bahwa
perpustakaan hanya pemberi jasa yang notabene tidak ada uang harus segera
ditinggalkan.
5. Team Work-Sinergi
Di dalam era global yang ditandai dengan ampuhnya internet dan membludaknya
informasi, pustakawan seharusnya tidak lagi bekerja sendiri, mereka harus
membentuk team work untuk bekerja sama mengolah informasi.
Mengutip pendapat Sulistyo-Basuki dalam bukunya Pengantar Ilmu
Perpustakaan, 1991: 147, profesi merupakan sebuah pekerjaan yang memerlukan
pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari teori dan bukan saja dari
praktek, dan diuji dalam bentuk ujian dari sebuah universitas atau lembaga yang
berwenang serta memberikan hak pada orang yang bersangkutan untuk berhubungan
dengan klien. Sedangkan profesionalisme menunjukkan ide, aliran, isme yang
bertujuan mengembangkan profesi, agar profesi dilaksanakan oleh profesional dengan
mengacu norma-norma, standar dan kode etik serta memberikan layanan yang terbaik
kepada klien.
4
Istilah profesionalisme biasanya dikaitkan dengan penguasaan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku dalam mengelola dan melaksanakan pekerjaan/tugas
dalam bidang tertentu. Profesionalisme adalah rasa kepemilikan akan sesuatu, yang
mana dari rasa ini ia benar-benar merasa bahwa sesuatu itu harus dijaga. Adapun
profesionalisme pustakawan hanya dapat dimiliki oleh seorang pustakawan tingkat
ahli/profesional atau pustakawan yang memiliki dasar pendidikan untuk
pengangkatan pertama kali serendah-rendahnya Sarjana Perpustakaan, Dokumentasi
dan Informasi atau Sarjana bidang lain yang disetarakan.
Sedangkan profesionalisme pustakawan adalah pelaksanaan kegiatan
perpustakaan yang didasarkan pada keahlian, rasa tanggung jawab dan pengabdian,
adapun mutu dari hasil kerja yang dilakukan tidak akan dapat dihasilkan oleh tenaga
yang bukan pustakawan, dikarenakan pustakawan yang memiliki jiwa
keprofesionalan terhadap pekerjaannya akan selalu mengembangkan kemampuan dan
keahliannya untuk memberikan hasil kerja yang lebih bermutu dan akan selalu
memberikan sumbangan yang besar kepada masyarakat pengguna perpustakaan.
Profesionalisme pustakawan tercermin pada kemampuan (pengetahuan,
pengalaman, keterampilan) dalam mengelola dan mengembangkan pelaksanaan
pekerjaan di bidang kepustakawanan serta kegiatan terkait lainnya secara mandiri.
Kualitas hasil pekerjaan inilah yang akan menentukan profesionalisme mereka.
Pustakawan profesional dituntut menguasai bidang ilmu kepustakawanan, memiliki
keterampilan dalam melaksanakan tugas/pekerjaan kepustakawanan, melaksanakan
tugas/pekerjaannya dengan motivasi yang tinggi yang dilandasi oleh sikap dan
kepribadian yang menarik, demi mencapai kepuasan pengguna.
Profesionalisme pustakawan harus terus ditingkatkan karena merupakan suatu
hal yang amat penting dan harus dimiliki oleh para pustakawan jika perpustakaan
ingin terus tumbuh dan berkembang dalam lingkungannya yang terus berubah.
Seorang pustakawan di era globalisasi seperti sekarang ini dituntut untuk bekerja
secara profesional dan mampu berkomunikasi ke segenap lapisan masyarakat.
Kalau perlu pustakawan harus beberapa langkah di depan pemakainya, artinya,
pengetahuan dan strategi akses informasi pustakawan harus lebih canggih dari
pemakainya.
Pustakawan memiliki berbagai sarana akses dan mengetahui berbagai
sumber informasi serta strategi untuk mengetahui dan mendapatkannya. Ini hanya
5
dapat dilakukan bila pustakawan selalu mengembangkan wawasan atau
pendidikan, mengikuti pelatihan, studibanding dan share informasi sesama
pustakawan dalam maupun luar negeri serta trampil menggunakan sarana
teknologi informasi dan kemampuan komunikasi, terutama bahasa Inggris.
Selain melayani, pengolahan, dan pengadaan, seorang pustakawan era
globalisasi juga harus mampu memasarkan atau promosi kepada masyarakat,
mampu mengikuti trend, dan berkolega dalam jejaring antara pustakawan atau
pengunjung.
Ciri-ciri pustakawan masa sekarang (globalisasi) yakni ; (1) Kemampuan untuk
mengikuti tren perpustakaan, (2) Kemampuan untuk bekerja di kolegial,
lingkungan jaringan untuk perpustakaan, (3) Menghargai pentingnya
pemasaran/PR . Selanjutnya pustakawan selalu menjadi yang terdepan dalam
penggunaan teknologi, menekankan perangkat tambahan bagi pengguna, dan
bukan hanya teknologi untuk kepentingan teknologi, karena pustakawan memiliki
kesempatan besar untuk berbagi informasi berharga dan bertindak sebagai
pembela bagi kemajuan informasi dan teknologi.
Sedangkan Stueart dan Moran (2002) mengatakan bahwa manajer
informasi atau pustakawan dalam era informasi seharusnya memiliki 7 (tujuh)
kemampuan, yaitu:
1. Technical skill, yaitu seorang pustakawan harus memahami proses pekerjaan
bawahan. Maksudnya tidak mungkin mensupervisi, apabila tidak memahami seluk
beluk pekerjaan yang disupervisi tersebut.
2. Political skill, seorang pustakawan harus memahami masalah sosial,
lingkungan organisasi internal dan eksternal, memiliki wawasan luas.
3. Analytical skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan analisis yang
baik sehingga dapat menjadi bagian dari agen perubahan.
4. Problem-solving skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan untuk
memecahkan masalah yang dihadapi dengan cepat, tepat dan baik.
5. People skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan berkomunikasi
yang baik, termasuk komunikasi interpersonal, memahami dan peduli orang lain.
6. System skills, seorang pustakawan harus memiliki kemampuan bekerja dalam
system dan menggunakan berbagai system jaringan dan komunikasi yang tersedia.
6
7. Business skill, seorang pustakawan harus memiliki naluri bisnis dan semangat
entrepreneurship yang baik. Koleksi yang ada merupakan asset yang harus
dimanfaatkan dengan maksimal.
Selain itu pustakawan juga harus mampu memenuhi tuntutan-tuntutan baru
seperti sebagai spesialis informasi, memiliki pengetahuan mandalam tentang
kelompok saran (pemakai) karena pengunjung perpustakaan terus berubah, serta
pustakawan harus mampu menciptakan dan mengimplementasikan perubahan
dalam berbagai sector atau lini di perpustakaan.
Dan untuk menjadi pustakawan ideal, ada beberapa persyaratan yang harus
dipenuhi, yaitu sebagai berikut:
a. Aspek profesional
Yaitu berpendidikan formal ilmu pengetahuan. Selain itu dituntut gemar
membaca, terampil, kreatif, cerdas, tanggap, berwawasan luas, berorientasi ke
depan, mampu menyerap ilmu lain, obyektif (berorientasi pada data), tetapi
memerlukan disiplin ilmu tertentu dipihak lain, berwawasan lingkungan,
mentaati etika profesi pustakawan, mempunyai motivasi tinggi, berkarya di
bidang kepustakawanan dan mampu melaksanakan penelitian serta
penyuluhan.
b. Aspek kepribadian dan perilaku
Pustakawan Indonesia harus bertakwa kepada Tuhan YME, bermoral
Pancasila, mempunyai tanggungjawab sosial dan kesetiakawanan, memiliki
etos kerja yang tinggi, mandiri, loyalitas tinggi terhadap profesi, luwes,
komunikasi dan sikap suka melayani, ramah dan simpatik, terbuka terhadap
kritik dan saran, selalu siaga dan tanggap terhadap kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, berdisiplin tinggi dan
menjunjung tinggi etika pustakawan Indonesia.Tetapi keterpurukan citra
pustakawan dirusak oleh “pustakawan” sendiri.
Pada saat ini kita sedang menyaksikan sebuah fenomena yang memilukan,
yaitu para pengelola perpustakaan merasa malu atau minder mengenalkan dirinya
sebagai pustakawan. Potret buram pustakawan dalam realitas keindonesiaan. Jika
muncul sebuah pertanyaan: kapasitas apakah yang harus kita miliki untuk
membangun citra pustakawan yang baik? Jawaban pertanyaan ini sebenarnya
7
kembali kepada persoalan visi, misi, dan fungsi pustakawan. Secara umum kita
dapat mengatakan yang diperlukan untuk membangun citra adalah kompetensi
kepakaran kita yang dibentuk oleh dua hal yaitu hard skill dan soft skill. Yang
pertama lebih bersifat scientific achievement, sedangkan yang kedua bersifat
psychological achievement. Yang pertama berkenaan dengan penguasaan teknis
dan detail bidang kepustakawanan dan keperpustakaan, yang kedua berkaitan
dengan kemampuan berpikir strategis sebagai perumus kebijakan, wawasan masa
depan (forward looking), dan kemampuan perencanaan strategis, kemampuan
perencanaan strategis, kemampuan manajerial, kemampuan komunikasi publik,
dan lainnya.
2.2 Kompetensi Pustakawan di Era Web 2.0
Jargon 2.0 merebak di kalangan pengguna dan perancang substansi yang
dipampangkan di internet. Bermula dari istilah Web 2.0 yang lahir pada tahun 2004.
Sejak itu banyak topik yang menyandang label 2.0, seperti: education 2.0, publishing
2.0, enterprise 2.0, marketing 2.0, office 2.0, museum 2.0, identity 2.0, mobile 2.0,
business 2.0, serta banyak lagi 2.0 tanpa ketingalan adalah library 2.0 atau
perpustakaan 2.0 (P 2.0). Istilah ini dikenalkan oleh Michael E Casey pada tahun
2005 dalam blognya yang bernama Library Crunch. Pada dasarnya penyelenggaraan
layanan perpustakaan menggunakan Web 2.0 itulah yang disebut P 2.0. Dengan
layanan tersebut interaksi pemustaka dan perpustakaan akan lebih efektif. Bahkan
dapat dikatakan terjadi transformasi atas konsep perpustakaan terdahulu yang dikenal
dengan istilah users oriented menjadi users centred.
Pada tahun 2004 Tim O'Reilly memprakarsai sebuah konferensi yang
memakai nama Web 2.0. Menurut Paul Graham, nama 2.0 muncul dari sebuah
brainstorming untuk memberi nama konferensi tentang Web yang baru. Mereka
berpendapat bahwa sesuatu yang baru akan muncul. Dan yang baru itulah disebut
Web 2.0 meski masih memiliki banyak ragam interpretasi. Dalam suatu sesi
pertemuan yang dipimpin Tim O’Reilly pada tahun berikutnya (2005) dicoba
mendefinisikan ulang Web 2.0. Batasan yang muncul adalah sederet kriteria berikut :
Web 2.0 menggunakan jaringan sebagai landasan kerja yang menjangkau
semua peralatan terkoneksi;
penerapan web 2.0 memanfaatkan keunggulan intrinsik landasan kerja tersebut;
8
menyediakan peranti lunak yang secara kontinyu diperbaiki karena semakin
banyak pengguna yang berpartisipasi dalam upaya itu;
Memakai dan memadukan data dari beragam sumber termasuk dari setiap
individu pemakai;
Menyediakan data dan jasa dalam format yang memungkinkan dipadukan oleh
pihak lain;
Menciptakan keunggulan jaringan dengan memakai arsitektur yang cocok
untuk partisipasi banyak pihak;
Melebihi kemampuan Web 1.0 karena diperkaya oleh pengalaman para
pengguna.
Kriteria di atas menunjuk pada dua hal yang saling mendukung dan
menguatkan yaitu sisi teknologi dan sisi hubungan manusia dalam bentuk partisipasi.
Sisi teknologi diwakili dengan kelompok peranti blogs, wikis, podcast, RSS, feeds,
dll. Sisi sosial adalah dengan terbentuknya jejaring sosial yang akhir-akhir ini
semakin meluas. Dengan kata lain web 2.0 adalah kecanggihan teknologi dan
kekuatan partisipasi.
Dengan dua hal tersebut wajar bahwa ada pihak yang menaruh minat hanya
pada teknologi, namun juga wajar jika ada pihak yang menaruh minat hanya pada
partisipasi. Idealnya dua-duanya harus seimbang. Namun dalam suatu organisasi
tidak semua orang memiliki dua kemampuan tadi secara seimbang. Dalam hal inilah
tugas manajer untuk membangun tim dengan memadukan dua kekuatan tersebut.
Karena sifatnya, teknologi selalu harus baru sedang partisipasi adalah klasik sehingga
mudah membosankan.
Oleh sebab itu banyak orang yang menyangka bahwa konsentrasi konsep 2.0
adalah pada teknologi. Padahal yang benar yang pertama adalah partisipasi, untuk
meluaskan dan menguatkan partisipasi ini diperlukan teknologi yang mendukung.
Maka muncullah teknologi Web 2.0. Dengan teknologi ini dimungkinkan pustakawan
membangun P 2.0.
Librarian atau pustakawan adalah profesi dimana seseorang mengelola
sebuah lembaga yang dinamakan perpustakaan, profesi ini berkaitan dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan. sebagaimana yang di jelaskan di berbagai
macam tulisan, maupun dijelaskan secara visual melalu berbagai macam film.
Perpustakaan adalah tempat di mana berkumpulnya berbagai macam ilmu
9
pengetahuan. seorang librarian atau pustakawan bertugas untuk mencari,
menyimpan, mengelola dan menyebarkan ilmu pengetahuan tersebut dengan
berbagai macam cara maupun pola.
Terinspirasi oleh poin tersebut, maka tulisan ini pun muncul. dimana
konsep dinamic librarian berasal dari dua kata yaitu, dinamis dan librarian.
dinamis itu sendiri bersifat dinamik/ bergerak maju, sedangkan librarian adalah
seorang yang berprofesi untuk mengelola gudang dari ilmu pengetahuan
(perpustakaan). dinamic librarian adalah seorang yang mengelola ilmu
pengetahuan, dan berpola pikir maju (ninamik).
Konsep tersebut yang seharusnya dimiliki oleh banyak pustakawan saat
ini, terkait dengan berkembangnya zaman, yang berpengaruh kepada banyak
aspek. sehingga untuk memberikan sebuah pengelolaan yang berkualitas, profesi
ini perlu berkembang, mengikuti; berpola pikir maju dan berimprovisasi agar
perpustakaan itupun bergerak maju.
Terkait dengan bidang teknologi maupun inovasi, perpustakaan
memerlukan sebuah inovasi untuk memperjelas paradigma konsep perpustakaan
yang bergeser, dari sebuah perpustakaan yang bersifat konvensional, dan sekarang
perpustakaan yang bersifat kontemporer. pustakawan yang merupakan profesi,
dan sangat menjunjung tinggi sebuah keprofesionalitasan dimana hal tersebut
tidak terkait dengan hal-hal yang statis. konsep kontemporer itu sendiri
merupakan konsep yang bergerak maju, memberikan sebuah kemajuan yang dapat
mekasimalkan kualitas dari perpustakaan itu sendiri, memberantas buta huruf,
memberikan ilmu-ilmu literasi, agar masyarakat (manusia)dapat lebih berperan
untuk bertujuan kepada hidup yang lebih maju dan berkembang.
Faktor knowledge inilah yang memberikan sebuah kenaikan martabat bagi
masyarakat (manusia), selain itu, faktor ini pula yang memberikan sebuah
problem solving bagi permasalahan-permasalahan yang muncul di era sekarang.
Kecerdasan dari sebuah knowledge perlu di tingkatkan, untuk memotivasi
masyarakat agar lebih berkembang. dengan konsep pola pikir dinamic librarian ini
pula, profesi librarian akan lebih diakui, khususnya di indonesia yang mungkin
notabenenya, perpustakaan masih dipandang dengan paradigma perpustakaan
zaman dahulu kala.
10
Pola dinamic librarian ini menuntut para pustakawan menguasai apa yang
disebut kompetensi di bidang library 2.0, berkekspresi seperti halnya membuat
sebuah produk itu berkembang, berinovasi memberikan sebuah kulitas pelayanan,
bereksperimen untuk membuat design interior yang memberikan rasa nyaman,
dan berpikir untuk melakukan aktifitas sharing knowledge.
2.3 Kompetensi Pustakawan di Era Milinium
Perpustakaan didirikan di tengah-tengah masyarakat, sehingga selalu
mengikuti dinamika dalam masyarakat. Bentuk manifestasinya terlihat dalam
format dan layanan yang diberikan kepada masyarakat. Ketika teknologi media
simpan informasi baru mengenal kulit hewan sebagai media simpan maka
perpustakaanpun mengelola berbagai media simpan informasi tersebut sebagai
koleksi perpustakaan. Ketika kertas mulai dikenal masyarakat, perpustakaan
kemudian mengelola koleksi tercetak yang berbahan baku kertas sebagai
koleksinya. Kemudian perpustakaan mengelola koleksi kaset, video, VCD dan
koleksi digital terus berkembang seiring dengan teknologi media simpan
informasi.
Teknologi yang digunakan perpustakaan untuk mengelola berbagai koleksi
di atas juga berubah sesuai dengan tren teknologi dimasa itu. Mulai dari pengelola
secara konvensional sampai dengan pemanfaatan aplikasi berbasis web untuk
mengembangan otomasi perpustakaan dan pengelolaan koleksi digital. Aplikasi
berbasis web merupakan aplikasi yang paling banyak digunakan saat ini.
Perpustakaan saat ini tidak hanya cukup menggunakan CDS/ISIS dalam
memberikan layanan kepada pengguna perpustakaan, namun perpustakaan mulai
memanfaatkan aplikasi berbasis web yang memungkinkan katalog online, aplikasi
otomasi dan aplikasi perpustakaan digital dalam digabung ke dalam satu paket.
Saat ini perpustakaan telah memasuki era milienium yang membawa
perubahan besar bagi masyarakat. Sebagai lembaga yang senantiasa mengikuti
dinamika masyarakat maka perpustakaan harus memberikan respon terhadap
setiap perkembangan yang terjadi di masyarakat. Masyarakat saat ini menjadi
masyarakat dengan mobilitas tinggi serta masyarakat yang menuntut segala
sesuatu dilakukan dan dapat diperoleh secara cepat. Kondisi ini terjadi karena
11
perkembangan teknologi informasi yang terjadi sangat pesat dan memanjakan
masyarakat di era milenium ini. Bahkan aktivitas masyarakat sangat bergantung
pada perangkat-perangkat teknologi informasi. Contoh nyata adalah begitu
tergantungnya masyarakat kepada telepon genggam sebagai sarana komunikasi
atau mahasiswa sangat bergantung pada teknologi wireless yang ada pada setiap
komputer jinjing yang dimiliki (laptop) untuk menelusur informasi atau mencari
bahan-bahan kuliah.
Profil Pengguna di Era Milenium
Sejak tahun 2000 masyarakat telah memasuki era baru yang disebut
dengan era milienium. Di era milenium ini, teknologi informasi menjadi tulang
punggung disetiap bidang kehidupan. Masyarakat mulai bergantung terhadap
produk-produk teknologi informasi dalam mendukung rutinas harian.
Sebagai lembaga yang berkembang dan senantiasa mengikuti dinamika
masyarakat maka perpustakaan juga tidak dapat melepaskan diri dari eksistensi
perangkat teknologi informasi. Perpustakaan mulai memanfaatkan produk-produk
teknologi informasi guna memenuhi tuntutan pengguna terkait dengan perbaikan
kualitas layanan perpustakaan.
Profil pengguna atau siapa pengguna serta tingkat kebutuhannya terhadap
layanan perpustakaan berubah. Pengguna menuntut layanan yang diberikan
perpustakaan semakin cepat dan berkualitas. Selain itu kebutuhan pengguna
perpustakaan berbeda-beda antara seorang pengguna dengan pengguna lainnya.
Untuk mengetahui profil pengguna atau siapa pengguna perpustakaan saat ini
akan lebih mudah jika perpustakaan melakukan kategorisasi pengguna
perpustakaan.
Kategorisasi pengguna perpustakaan dapat dilakukan dengan membagi
pengguna perpustakaan ke dalam tiga generasi. Ketiga generasi tersebut adalah
generasi baby boomer, generasi X atau yang dipopulerkan dengan istilah Gen-X
dan yang terakhir adalah generasi Y atau yang dikenal dengan istilah Gen-Y.
Generasi baby boomer merupakan generasi yang terlahir dari periode 1946 sampa
1962. Setelah generasi baby boomer munculnya generasi X yang lahir antara
periode 1963 sampai dengan 1980.
12
Generasi terakhir adalah generasi Y yang terlahir antara periode 1981
sampai dengan 2000. Generasi Y yang terlahir diawal milienia baru yaitu milenia
21 juga disebut generasi melenia (Kusmayanto Kadiman, 2009;1). Ketiga generasi
inilah yang saat ini mengakses perpustakaan. Pengguna perpustakaan di atas
terlahir dengan pada masa yang berbeda. Setiap masa memiliki budaya, tingkat
pemanfaatan teknologi yang berbeda serta gaya hidup yang berbeda.
Perbedaan budaya, gaya hidup serta tingkat pemanfaatan teknologi
informasi menyebabkan setiap generasi memiliki perilaku yang berbeda dalam
memanfaatkan berbagai layanan dan fasilitas yang disediakan perpustakaan serta
tuntutan kebutuhan yang berbeda terhadap layanan yang disediakan perpustakaan.
Generasi baby boomer akan berbeda perilaku serta serta kebutuhannya dengan
generasi X dan generasi millenia.
Perbedaan tersebut dapat dicermati dari gaya hidup setiap generasi.
Generasi baby boomer yang terlahir pasca dunia ini mengalami revolusi dan
berada pada masa teknologi informasi tidak berkembang secepat seperti sekarang
ini. Pada masa kelahiran baby boomer inilah minicomputer atau mainframe
diproduksi dan diperkenalkan kepada masyarakat (Burhan bungin, 2006;139).
Walaupun telah berhasil memproduksi komputer komersil untuk pertama kalinya
namun perkembangan teknologi informasi tidak terjadi secepat seperti sekarang
ini, akibatnya secara tingkat literasi teknologi generasi baby boomer tidak sebaik
generasi X dan generasi Y.
Komputer dimanfaatkan untuk meningkatkan efisensi dan efektifitas kerja.
Kebutuhan generasi ini terhadap layanan perpustakaan adalah pemenuhan
kebutuhan informasi terutama dari koleksi tercetak serta mengangap komputer
sebagai sarana pelangkap untuk penelusuran informasi. Generasi X terlahir antara
rentang waktu tahun 1963 sampai dengan 1980. Pada generasi ini muncul
personal computer sebagai pengganti minicomputer (Burhan bungin, 2006;140).
Pada masa generasi ini mulai terjadi ledakan informasi yang dipicu oleh
perkembangan teknologi jaringan.
Masyarakat yang hidup generasi ini, memiliki literasi teknologi yang lebih
baik dibandingkan generasi sebelumnya. Pada masa ini komputer mulai
dimanfaatkan sebagai media informasi yang mulai familiar mengakses koleksi
13
digital dan menuntut perpustakaan mengoptimalkan teknologi informasi dalam
memberikan layanan. Sedangkan generasi milenia atau mereka yang berstatus
sebagai generasi muda adalah generasi yang terlahir antara rentang waktu tahun
1981 sampai dengan 2000. Generasi ini hidup ketika mulai dikenalnya sistem
informasi dan perkembangan komputer telah mencapai era mobile computing atau
mobile technolgy. Laptop atau komputer jinjing dan telepon genggam merupakan
contoh dari produk mobile computing dan mobile technology.
Mereka yang hidup di masa ini, akrab dengan internet dan menjadikan
telepon genggam sebagai kebutuhan. Browsing, chatting, e-mail atau update status
pada pada situs jaring sosial seperti twitter dan facebook merupakan bagian dari
gaya hidup. Dengan mudah dapat dijumpai mulai dari anak-anak orang dewasa
atau bahkan mereka yang telah berambut putih menggunakan telepon genggam
untuk berkomunikasi, mendengarkan musik bahkan berinternet.
Di era perkembangan teknologi yang terjadi sangat cepat dan kompleks,
generasi ini menjadi generasi instan yang menginginkan segala sesuatu yang
dibutuhkan secara cepat dan teknologi yang berkembang memungkinkan generasi
ini mendapatkannya. Generasi yang terbiasa memperoleh informasi secara cepat
dengan memanfaatkan internet, tentu juga menuntut perpustakaan menyajikan apa
yang dibutuhkan secara cepat dan tepat.
Layanan berbasis web dengan mengembangkan sistem informasi
perpustakaan berbasis web merupakan solusi untuk memenuhi kebutuhan generasi
ini. Melalui sistem informasi perpustakaan berbasis web ini perpustakaan dapat
menyajikan koleksi digital yang dimiliki serta mendekatkan berbagai layanan
perpustakaan seperti OPAC (Online Public Access Catalog), memesan koleksi,
perpanjangan online, pendaftaran keanggotaan online dan layanan perpustakaan
lainnya. Layanan berbasis web memungkinkan pengguna perpustakaan
mengakses koleksi serta layanan tanpa harus datang ke perpustakaan dan dapat
diakses dengan memanfaatkan perangkat.
Melihat berbagai perilaku serta kebutuhan pengguna terhadap layanan
perpustakaan dari berbagai generasi maka perpustakaan yang menghimpun
koleksi digital dan koleksi tercetak dan didukung oleh teknologi informasi adalah
format ideal bagi perpustakaan di era seperti ini. Dengan format seperti ini maka
14
perpustakaan mampu mengakomodasi seluruh kebutuhan pengguna perpustakaan
dari berbagai generasi.
Format Perpustakaan di Era Milenium
Pengguna perpustakaan saat ini terdiri dari berbagai generasi. Berbagai
generasi tersebut memiliki perilaku, tingkat literasi teknologi serta tingkat
kebutuhan yang berbeda terhadap layanan dan koleksi perpustakaan. Di antara
generasi tersebut, terdapat generasi yang memiliki tingkat literasi teknologi yang
tinggi dan sebaliknya. Dan sebagai lembaga jasa yang ingin produknya diakses
oleh pengguna maka sudah selayaknya jika perpustakaan mengakomodir semua
kebutuhan pengguna perpustakaan dari berbagai generasi.
Untuk mengakomodir kebutuhan dari berbagai generasi yang mengakses
perpustakaan maka perpustakaan harus mampu menyajikan layanan serta koleksi
yang dimiliki baik bagi mereka yang miliki literasi dibidang teknologi informasi
maupun tidak. Agar dapat menyajikan layanan serta koleksi yang dimiliki, baik
bagi mereka yang memiliki literasi teknologi maupun tidak maka perpustakaan
hibrida berbasis web 2.0 adalah solusinya.
Para pustakawan dan teknologi di Inggris mendefinisi perpustakaan
hibrida sebagai perpustakaan yang secara bersama-sama menghimpun koleksi
jenis baru yaitu koleksi digital dengan koleksi jenis lama yaitu koleksi tercetak
(Putu Pendit, 2008, 239). Dengan kedua jenis koleksi ini memungkinkan bagi
mereka yang tidak familiar tengan teknologi informasi tetap mengakses koleksi
tercetak dan bagi mereka yang familiar dengan teknologi informasi dapat
mengakses koleksi digital untuk memenuhi kebutuhan informasinya.
Perpustakaan hibrida berbasis web 2.0 adalah konsep perpustakaan hibrida
yang mengadopsi konsep kerja web 2.0 sehingga menghasilkan konsep kerja
library 2.0. Dengan kata lain konsep ini adalah pengelolaan koleksi yang dimiliki
perpustakaan, baik itu koleksi digital maupun koleksi tercetak dengan bantuan
teknologi informasi khususnya teknologi web 2.0. Penerapan teknologi web 2.0
dalam memberikan layanan kepada pengguna perpustakaan disebut dengan istilah
library 2.0. Dengan demikian perpustakaan hibrada berbasis web 2.0 atau library
2.0 adalah pengelolaan perpustakan secara trandional dan dikombinasikan dengan
teknologi web 2.0 atau library 2.0.
15
Perpustakaan mencoba mengoptimalkan aplikasi berbasis web dengan
teknologi web 2.0 untuk memberikan layanan kepada pengguna perpustakaan.
Perpustakaan memilih aplikasi berbasis web untuk mendukung layanan
perpustakaan dikarenakan aplikasi ini memungkinkan perpustakaan menyajikan
layanan serta koleksi melalui web sehingga pengguna tidak perlu dapat langsung
ke perpustakaan untuk mengakses layanan dan koleksi perpustakaan. Dengan
mengakses web perpustakaan pengguna dapat menikmati berbagai layanan yang
koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Web 2.0 sendiri memiliki definisi sebagai generasi web yang mempunyai
karateristik kerjasama, interaktif, dinamis, dan batas tidak tegas antara pembuatan
dan pemakaian konten web. Web 2.0 bukanlah web penerbitan tekstual melainkan
sebuah web komunikasi multi sensor. Web jenis ini merupakan sebuah matriks
dialog dan bukan kumpulan monolog. Sebuah web yang berpusat pada pengguna
dalam suatu cara yang belum pernah dilakukan selama ini (O’Relly, 2005;2).
Perpustakaan berbasis web 2.0 berarti bahwa perpustakaan memanfaatkan
teknologi web guna mendukung layanan perpustakaan, khususnya teknologi web
2.0. Menurut sebuah teori Library 2.0 setidaknya memiliki 4 elemen penting yaitu
terpusat pada pengguna, menyediakan sebuah layanan multi media, kaya secara
sosial, inovatif secara bersama-sama (Jack M. Mannes, 2006;2). Elemen terpusat
pada pengguna dimaksudkan bahwa pengguna memiliki peran penting dalam
konsep pengelolaan perpustakaan, pengguna tidak hanya berposisi sebagai objek
layanan tetapi juga menjadi subjek layanan.
Implementasi dari elemen pertama antara lain web atau sistem informasi
perpustakaan yang memberikan fasilitas mengunggah koleksi yang dimiliki
pengguna perpustakaan, pesan koleksi, OPAC berbasis web yang memungkinkan
pengguna memberikan penilaian dan komentar terhadap kualitas sebuah koleks,
serta berusaha menyajikan berbagai koleksi digital yang dimiliki perpustakaan
agar dapat diakses pengguna perpustakaan. Elemen kedua, yaitu menyediakan
layanan multimedia dapat diwujudkan dengan menyediakan kolek si audio dan
video yang dimiliki perpustakaan dengan menggunakan media streaming.
Ada beberapa sistem informasi perpustakaan berbasis web yang
menyediakan fasilitas media streaming yaitu IBRA untuk aplikasi komersil dan
16
Senayan untuk aplikasi berbasis free open source software. Bahkan untuk
mengimplementasikan elemen kedua ini perpustakaan dapat membangun web
yang dimilikinya dengan menggunakan CMS Joomla dan menggunakan
komponen media streaming. Elemen ketiga yaitu kekayaaan sosial dapat
diwujudkan dengan pembuatan blog atau wiki serta fasilitas chatting antara
pengelola perpustakaan dengan pengguna. Elemen keempat inovatif secara
bersama-sama dapat diwujudkan dengan membangun forum diskusi atau buku
tamu yang memungkinkan pengguna memberikan masukan atau ide terkait
dengan layanan perpustakaan. Perpustakaan hibrida berbasis web 2.0. akan
mampu memenuhi berbagai kebutuhan dari generasi yang mengakses
perpustakaan.
Bagi mereka yang tidak familiar dengan aplikasi teknologi informasi
perpustakaan tetap menyediakan koleksi tercetak atau koleksi konvensional.
Bahkan dengan bantuan teknologi informasi pengguna yang tidak familiar
memanfaatkan aplikasi teknologi informasi generasi ini dapat memanfaatakan
koleksi lebih nyaman karena perpustakaan memberikan layanan dengan
memanfaatkan aplikasi teknologi informasi sehingga layanan yang diberikan
semakin cepat dan berkualitas.
Sedangkan bagi generasi yang memiliki literasi teknologi informasi
mereka akan semakin dimanjakan karena koleksi perpustakaan dapat diakses oleh
penggunakan perpustakaan dari web perpustakaan selama 24 jam dalam sehari
dan selama 7 hari dalam seminggu.
Pada tulisan di atas telah dijelaskan bahwa format perpustakaan di era
milenium ini adalah perpustakaan hibrida berbasis web 2.0. Perpustkaan hibrida
web 2.0 adalah perpustakaan yang menghimpun koleksi dalam format tercetak
dan koleksi dalam format digital, di mana untuk menyajikan berbagai koleksi
tersebut perpustakaan menggunakan bantuan teknologi informasi berbasis web
2.0. Dengan format perpustakaan seperti ini maka semua generasi atau pengguna
perpustakaan baik pengguna yang memiliki literasi teknologi informasi dapat
memanfaat koleksi yang disediakan perpustakaan.
Apabila telah diketahui format perpustakaan yang sesuai dengan kondisi di
era milenium ini, lalu kompetensi apa yang harus dimiliki oleh pustakawan di era
17
milenium ini. Berdasakan format perpustakaan di era milenium ini maka
kompetensi yang harus dimiliki seorang pustakawan adalah:
1. Menguasai disiplin ilmu perpustakaan
Kompetensi utama dari pustakawan di era milenium ini adalah memahami
disiplin ilmu perpustakaan. Pustakawan yang baik adalah mereka yang paham
betul akan disiplin ilmu perpustakaaan sehingga mampu mengelola
perpustakaan sesuai dengan standar yang ada dalam bidang ilmu perpustakaan.
2. Memiliki kemampuan penelusuran informasi
Produk yang dilayankan perpustakaan kepada pengguna adalah informasi.
Untuk itu seorang perpustakaan harus mampu melakukan penelusuran
informasi baik secara konvensional mampu penulusuran dengan mamanfaatkan
produk-produk teknologi informasi. Keterampilan yang dibutuhkan oleh
pustakawan untuk melakukan penelusuran secara konvensional antara lain
pustakawan mampu menggunakan katalog tercetak, indeks dan abstrak.
Sedangkan terampilan yang dibutuhkan agar pustakawan mampu melakukan
penelusuran dengan menggunakan bantuan produk-produk teknologi informasi
atau penelusuran online adalah mampu menggunakan internet, menelusur
informasi melalaui berbagai katalog online serta mampu menggunakan trik-trik
penelusuran online (seperti logika bolean dan pembatasan penelusuran)
sehingga mampu menemukan informasi yang dibutuhkan secara cepat.
3. Memiliki literasi teknologi informasi.
Dalam menjalankan aktivitas pelayanan perpustakaan hibrida berbasis web 2.0
didukung oleh perangkat teknologi informasi. Untuk itu pustakawan saat ini
harus memiliki kompetensi dibidang teknologi informasi. Kompetensi dibidang
teknologi informasi ini tidak hanya sebatas pada kemampuan mengoperasikan
komputer, namun kompetensi teknologi yang dapat mengurangi
ketergantungan perpustakaan terhadap praktisi dibidang teknologi informasi.
Selama ini relasi antara perpustakaan dengan praktisi teknologi informasi yang
mendukung perpustakaan terjadi tidak sehat karena para praktisi dibidang
teknologi informasi membuat perpustakaan bergantung sepenuhnya kepada
mereka. Untuk itu kedepan pustakawan harus memiliki kemampuan intalasi
komputer, jaringan komputer, aplikasi desain grafis, aplikasi web desain,
18
bahasa pemgrograman web (seperti html dan PHP), aplikasi web server dan
database.Manfaat dari pustakawan yang mampu menguasai berbagai
kompetensi ini adalah pustakawan dapat mengembangkan perpustakaan
berbasis sumber daya manusia perpustakaan sehingga tidak bergantung pada
unit atau orang lain. Nantinya perpustakaan dapat membangun web, aplikasi
otomasi atau pengembangan perpustakaan digital dengan memanfaatkan
sumber daya manusia perpustakaan.
4. Memiliki kemampuaan komunikasi lisan dan tulis yang baik
Kompetensi lain yang harus dimiliki adalah kemampuan berkomunikasi baik
secara lisan maupun tulisan. Kompetensi komunikasi lisan meliputi
kemampuan berbahasa asing serta kemampuan berbicara di depan publik atau
public speaking. Selain itu pustakawan juga harus memiliki kemampuan
menulis sehingga ide atau gagasanya dapat dituangkan dalam bentuk tulisan,
baik itu berupa artikel maupun proposal-proposal untuk pengembangan
perpustakaan.
5. Memiliki motivasi untuk mengembangkan diri
Pustakawan juga harus memiliki motivasi untuk mengembangkan diri. Apabila
pustakawan memiliki motivasi untuk mengembangkan diri maka pustakawan
tersebut akan selalu mengikuti dinamika ilmu pengetahuan serta perkembangan
teknologi informasi. Motivasi ini dapat memberikan dampak positif bagi
perpustakaan karena pustakawan ini dapat mengimplementasikan pengetahuan
baru atau teknologi terbaru yang untuk perpustakaan.
6. Kemampuan membangun jaringan
Kompetensi lain yang tidak kalah penting dimiliki oleh pustakawan adalah
kemampuan membangun jaringan. Dengan memiliki kemampuan membangun
jaringan maka perpustakaan dapat membangun jaringan-jaringan yang
bermanfaat bagi perpustakaan.
7. Berjiwa besar menerima kritikan sebagai masukan
Dengan mengadopsi konsep web 2.0 atau library 2.0 dalam layanan
perpustakaan, maka peluang pengguna untuk terlibat dalam pengelolaan
perpustakaan semakin terbuka lebar. Penguna perpustakaan dapat memberikan
masukan kepada pengelola perpustakaan baik itu melalui sistem informasi
19
perpustakaan maupun melalui web perpustakaan. Untuk itu pustakawan harus
berjiwa besar menerima masukan maupun kritik dari pengguna atau pihak lain
untuk pengembangan atau perbaikan perpustakaan.
20
III. Penutup
Membicarakan literasi informasi tidak akan pernah ada habisnya, terutama
di negara yang selalu saja berpredikat berkembang ini. Jika dengan kemampuan
ini, orang akan belajar secara mandiri dan mampu meningkatkan taraf hidupnya,
maka sudah selayaknya setiap orang yang memiliki kemampuan ini berbagi dan
memberdayakan orang lain. Pemberdayaan akan terdukung dengan adanya
Internet. Jadi jika pendukungnya telah tersedia, tinggal siapa orang-orang yang
mau melakukannya. Jika pemberdayaan ini adalah salah satu peran pustakawan,
maka tinggal bagaimana menggerakkan mereka untuk pemberdayakan diri sendiri
untuk memberdayakan orang lain.
Pada saat ini, teknologi sudah sangat maju, kompetisi sudah semakin
hebat, masyarakat semakin pintar dan kritis dalam menilai keberadaan
perpustakaan dalam memberikan pelayanan. Maka, mau tidak mau perpustakaan
harus berani dan bersedia melakukan terobosan dan perubahan agar dapat
bersaing dalam era globalisasi saat ini.
Era global dan era Internet telah menantang profesionalisme pustakawan.
Tantangan tersebut bukanlah hal yang menakutkan, tetapi justru menjadi peluang
emas bagi pustakawan untuk bergerak maju meretas batas. Pustakawan sudah
sewajarnya mengadopsi perkembangan teknologi informasi untuk meningkatkan
kualitas jasanya.
21
Daftar Pustaka
Ahmad, 2007. Profesionalisme Pustakawan di Era Global, 2-3 : (online), (http://www.lurik.its.ac.id/, diakses 23 April 2011
Hakim, Heri Abi Burachman, 2010. Kompetensi Pustakawan di Era Milenium, 1-7:(online), http:// 118.98.220.106/senayan/ , diakses 9 April 2011.
Risky, Dimas, 2011. Dinamic Librarian = Kompetensi Pustakawan di Era Web 2.0, 1-2 : (online), http://www.tec-search.net/id/, diakses 9 April 2011
Sudarsono, Blasius, 2009. Menerapkan Konsep Perpustakaan 2.0, 2-3 : (online), http ://elib.unikom.ac.id/ , diakses 9 April 2011
Sudarsono, Blasius, 2008. Profesionalisme Pustakawan di Era Global, 1-10 : (online), (http ://www.cilip.org.uk/ , diakses 9 April 2011
22