14
Epidemiologi Prevalensi gagal jantung pada seluruh populasi berkisar antara 2 sampai 30% dan yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh populasi. Angka ini cenderung mengikuti pola eksponensial seiring usia, sehingga pada orang tua (70-80 tahun) menjadi 10- 20%.3 Meskipun insidens relatif gagal jantung lebih rendah pada perempuan, perempuan berkontribusi pada setidaknya setengah kasus gagal jantung karena angka harapan hidup mereka lebih tinggi. Di Amerika, prevalensi gagal jantung pada usia 50 tahun ialah sebesar 1%, pada usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di Inggris, prevalensi gagal jantung pada usia 60-70 tahun sebesar 5% dan mencapai 20% pada usia 80 tahun, situasi yang sama terjadi di Italia dan Portugal. Di Cina, prevalensi gagal jantung pada usia 60 tahun ke atas sebesar 0,9%.2 Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung muncul setiap tahunnya di seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagal jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun sejak diagnosis ditegakkan. (Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed. New York: McGraw- Hill; 2005, pp.) GAGAL JANTUNG KANAN Bila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah EDEM Pada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan

DocumentLO

Embed Size (px)

DESCRIPTION

lo

Citation preview

Epidemiologi Prevalensi gagal jantung pada seluruh populasi berkisar antara 2 sampai 30% dan yang asimtomatik sebesar 4% dari seluruh populasi. Angka ini cenderung mengikuti pola eksponensial seiring usia, sehingga pada orang tua (70-80 tahun) menjadi 10- 20%.3 Meskipun insidens relatif gagal jantung lebih rendah pada perempuan, perempuan berkontribusi pada setidaknya setengah kasus gagal jantung karena angka harapan hidup mereka lebih tinggi. Di Amerika, prevalensi gagal jantung pada usia 50 tahun ialah sebesar 1%, pada usia 80 tahun mencapai 7,5%. Di Inggris, prevalensi gagal jantung pada usia 60-70 tahun sebesar 5% dan mencapai 20% pada usia 80 tahun, situasi yang sama terjadi di Italia dan Portugal. Di Cina, prevalensi gagal jantung pada usia 60 tahun ke atas sebesar 0,9%.2 Diperkirakan lebih dari 15 juta kasus baru gagal jantung muncul setiap tahunnya di seluruh dunia. Saat ini 50% penderita gagal jantung akan meninggal dalam waktu 5 tahun sejak diagnosis ditegakkan.(Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th ed. New York: McGraw-Hill; 2005, pp.)GAGAL JANTUNG KANANBila venterikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena.Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemahEDEMPada jantung terjadinya edema yang disebabkan terjadinya dekompensasi jantung (pada kasus payah jantung), bendungan bersifat menyeluruh. Hal ini disebabkan oleh kegagalan venterikel jantung untuk memopakan darah dengan baik sehingga darah terkumpul di daerah vena atau kapiler, dan jaringan akan melepaskan cairan ke intestisial (Syarifuddin, 2001). Edema pada tungkai kaki terjadi karena kegagalan jantung kanan dalam mengosongkan darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Edema ini di mulai pada kaki dan tumit (edema dependen) dan secara bertahap bertambah keatas tungkai dan paha dan akhirnya ke genitalia eksterna dan tubuh bagian bawah. Edema sakral jarang terjadi pada pasien yang berbaring lama, karena daerah sakral menjadi daerah yang dependen. Bila terjadinya edema maka kita harus melihat kedalaman edema dengan pitting edemaPitting edema adalah edema yang akan tetap cekung bahkan setelah penekanan ringan pada ujung jari , baru jelas terlihat setelah terjadinya retensi cairan paling tidak sebanyak 4,5 kg dari berat badan normal selama mengalami edema (Brunner and Suddarth, 2002). Grading edema 1+: pitting sedikit/ 2mm, menghilang dengan cepat 2+: pitting lebih dalam/ 4mm, menghilang dalam waktu 10-15 dtk 3+: lubang yang dalam/6mm, menghilang dalam waktu 1 mnt 4+: lubang yang sangat mendalam/ 8mm berlangsung 2-5 mnt, ekstremitas dep terlalu terdistruksi

Pengaruh posisi elevasi kaki ditinggikan terhadap pengurangan edema Pengaruh posisi kaki ditinggikan 30 derajat terhadap pengurangan edema adalah dapat membantu resusitasi jantung sehingga suplai darah keorgan-organ penting seperti paru, hepar, ginjal dapat mengalir secara sempurna. Tujuan utama dari peninggian posisi ini mencangkup peningkatan suplai darah arteri ke eksteremitas bawah, pengurangan kongesti vena, mengusahakan vasodilatasi pembuluh darah, pencegahan komperesi vaskuler (mencegah dekubitus), pengurangan nyeri, pencapaian atau pemeliharaan integritas kulit.Tindakan yang digunakan untuk pasien ini untuk mencapai salah satu sasaran evalusasi dalam hal positif terhadap seberapa efektif nya pengaruh posisi terhadap pengurangan edema.COR PULMONALECor pulmonale adalah pembesaran ventrikel kanan sekunder terhadap penyakit paru, toraks atau sirkulasi paru. Kadang-kadang disertai dengan gagal ventrikel kanan. Tipe cor pulmonale disebut akut jika dilatasi belahan jantung kanan setelah embolisasi akut paru, tipe kronis ditentukan lamanya gangguan pulmoner yang membawa ke pembesaran jantung. Berapa lama dan sampai tahap apa jantung tetap membesar akan bergantung pada fluktuasi-fluktuasi pada ketinggian tekanan arterial pulmoner. D.EtiologiPenyebab penyakit cor pulmonale antara lain : 1.Penyakit paru menahun dengan hipoksia penyakit paru obstruktif kronik fibrosis paru penyakit fibrokistik cyrptogenik fibrosing alveolitis penyakit paru lain yang berhubungan dengan hipoksia 2.Kelainan dinding dada Kifoskoliosis, torakoplasti, fibrosis pleura Penyakit neuro muskuler 3.Gangguan mekanisme kontrol pernafasan Obesitas, hipoventilasi idiopatik Penyakit serebrovaskular 4.Obstruksi saluran nafas atas pada anak hipertrofi tonsil dan adenoid 5.Kelainan primer pembuluh darah-hipertensi pulmonal primer, emboli paru berulang, vaskulitis pembuluh darah paru.E.Patogenesa Apapun penyebab penyakit awalnya, sebelum timbul cor pulmonale biasanya terjadi peningkatan resistensi vaskular paru-paru dan hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmonar pada akhirnya meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada peningkatan resistensi vaskular paru-paru para arteria dan arteriola kecil. Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru-paru adalah (1) vasokontriksi hipoksik dari pembuluh darah paru-paru dan (2) obstruksi dan atau obliterasi anyaman vaskuler paru-paru. Mekanisme yang pertama paling penting dalam patogenesis cor pulamale. Hipoksemia, hipercapnea, asidosis merupakan ciri khas PPOM bronchitis lanjut adalah contoh yang paling baik. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan rangsangan yang elbih kuat untuk menimbulkan vasokonstriksi pulmonar daripada hipoksemia. Hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola paru-paru sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis, hipercapnea dan hipoksemia bekerja secara sinergistrik dalam menimbulkan vasokontriksi. Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hipercapnea juga ikut meningkatkan tekanan arteria paru-paru. Mekanisme kedua yang turut meningkatkan resistensi vaskular dan tekanan arteria paru-paru adalah bentuk anatomisnya. Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler. Selain itu pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru-paru juga tertekan dari luar karena efek mekanik dari volume paru-paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam patogenesa cor pulmonale. Kira-kira dua pertiga sampai tiga perempat dari anyaman vaskuler harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteria paru-paru yang bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernafasan dan penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi ventilasi. Jadi setiap penyakit paru-paru yang mempengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi atau anyaman vaskuler paru-paru dapat mengakibatkan cor pulmonale.

F.Gambaran Klinis Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas yang berbunyi, mudah fatig kelemahan. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul gagal jantung kanan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan sianosis, jari tabuh, peningkatan tekanan vena jugularis, heaving ventrikel kanan atau irama derap, pulsasi menonjol di sternum bagian bawah atau epigastrium (parasternal lift), pembesaran hepar dan nyeri tekan, ascites, edema. Dispnea timbul sebagai gejala emfisema dengan atau tanpa cor pulmonale. Dispnea yang memburuk dengan mendadak atau kelelahan, sinkop pada waktu bekerja, atau rasa tidak enak angina pada substernal mengisyaratkan keterlibatan jantung.

G. Gambaran Radiologisa).Rontgen Toraks Terdapat kelainan disertai pembesaran ventrikel kanan, dilatasi arteri pulmonal dan atrium kanan yang menonjol. Kardiomegali sering tertutup oleh hiper inflasi paru yang menekan diafragma sehingga jantung tampaknya normal karena vertikal. Pembesaran ventrikel kanan lebih jelas pada posisi oblik atau lateral. Selain itu didapatkan juga diafragma yang rendah dan datar serta ruang udara retrosternal yang lebih besar, sehingga hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan tidak membuat jantung menjadi lebih besar dari normal. b).EkokardiografiDimensi ruang ventrikel kanan membesar, tapi struktur dan dimensi ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang a hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena accoustic window sempit akibat penyakit paru. c).Kateterisasi jantungDitemukan peningkatan tekanan jantung kanan dan tahanan pembuluh paru. Tekanan atrium kiri dan tekanan kapiler paru normal, menandakan bahwa hipertensi pulmonal berasal dari prekapiler dan bukan berasal dari jantung kiri. Pada kasus yang ringan, kelainan ini belum nyata. Penyakit jantung paru tidak jarang disertai penyakit jantung koroner terlebih pada penyakit paru obstruksi menahun karena perokok berat (stenosis koroner pada angiografi).H. Diagnosis Diagnosis cor pulmonale biasanya menunjukkan kombinasi adanya gangguan respirasi yang dihubungkan dengan hipertensi pulmonal dan adanya gangguan pada ventrikel kanan yang didapat secara klinis, radiologis, elektrocardiogram. Dalam praktek sehari-hari sering didapatkan kesulitan dalam membuat diagnosis col pulmonal yakni bila keadaan pasien sedang stabil atau belum terjadi gagal jantung kanan. Untuk itu dianjurkan membuatkan EKG dan pemeriksaan radiologis dada secara serial. I.Diagnosis Banding-Hipertensi vena pulmonal yang biasanya diderita penderita stenosis katup mitral.Gambaran foto toraks berupa pembesaran atrium kiri, pelebaran arteri pulmonal karena peninggian tekanan aorta yang relatif kecil (pada fase lanjut), pembesaran ventrikel kanan, pada paru-paru terlihat tanda-tanda bendungan vena-Perikarditis konstriktifa dapat dibedakan dengan test fungsi paru dan analisa gas darahJ.PenatalaksanaanPenanganan cor pulmonale ditujukan untuk memperbaiki hipoksia alveolar dan vasokonstriksi paru-paru yang diakibatkannya dengan pemberian oksigen konsentrasi rendah dengan hati-hati. Pemakaian O2 yang terus menerus dapat menurunkan hipertensi pulmoner, polisitemia dan takipnea. Memperbaiki keadaan umum dan bronkodilator, antibiotik membantu meredakan obstruksi aliran udara pada pasien PPOM. Pembatasan cairan yang masuk dan diuretik mengurangi tanda-tanda yang timbul akibat gagal ventrikel kanan. Terapi anti koangulansia jangka panjang diperlukan jika terdapat emboli paru-paru berulang. Kadang-kadang perlu trakeostomi untuk membantu aspirasi sekret dan mengurangi ruang mati. Preventif yaitu berhenti merokok, olah raga bertahap dan teratur serta senam pernafasan sangat bermanfaat walaupun jangka panjang. K.PrognosisSangat bervariasi, tergantung perjalanan alamiah penyakit paru yang mendasarinya dan ketaatan pasien berobat. Penyakit bronko pulmoner sistematis angka kematian rata-rata 5 tahun sekitar 40-50%. Juga obstruksi vaskuler paru kronis dengan hipertrofi ventrikel kanan mempunyai prognosis buruk. Biasanya penderita dengan hipertensi pulmonal obstruksi vaskuler kronik hanya hidup 2-3 tahun sejak timbulnya gejala.(http://www.klikparu.com/2013/03/kor-pulmonale-mana-duluan-yang-sakit.html)ETIOLOGIBerbagai penyakit paru kronik dapat menyebabkan kor pulmonale. Sebagian ahli tidak memasukkan hipertensi pulmoner primer, penyakit paru tromboembolik dan penyakit primer pembuluih darah paru ke dalam penyebab kor pulmonale. Ada tiga kelompok utama penyakit paru yang dapat berujung pada hipertensi pulmoner dan kor pulmonale, yaitu:Penyakit paru dengan limitasi aliran udara: PPOK dan penyebab lain obstruksi bronkhial kronik seperti fibrosis kistik, asma dan bronkiektasisPenyakit paru dengan restriksi volume paru oleh penyebab ekstrinsik atau dari parenkim paru, misalnya kifoskoliosis, pneumoconiosis, fibrosis paru interstisial idiopatik, penyakit neuromuskuler dan penyakit jaringan ikat.Gangguan pada rangsang napas yang tidak adekuat sehingga terjadi hipoksia walaupun fungsi mekanis paru dan dinding dada baik, misalnya hipoventilasi alveolar sentral, obesity-hypoventilation syndrome, sleep apnea syndrome.

VENTRIKEL KANAN PADA KOR PULMONALESeiring dengan timbulnya hipertensi pulmoner maka beban kerja ventrikel kanan akan bertambah bersamaan dengan peningkatan afterload. Hipertrofi karena proses adaptasi meningkatkan massa otot dan kebutuhan oksigen. Namun penebalan massa otot dan kekakuan ventrikel kanan sendiri dapat menekan lumen arteri koroner kanan sehingga timbul gangguan perfusi miokard. Akibatnya ventrikel kanan dalam kondisi relative iskemia dan perlahan-lahan mengalami disfungsi. Dilatasi ventrikel kanan juga menyebabkan regurgitasi katup tricuspid dan memperberat beban ventrikel kanan. Bentuk ventrikel kanan yang tadinya bulan sabit perlahan berubah menjadi struktur yang lebih bulat dan mampu menghasilkan kontraksi lebih kuat untuk melawan resistensi paru yang meningkat.

Kor pulmonale kronik dihubungkan dengan perjalanan penyakit yang perlahan. Ventrikel kanan dapat beradaptasi menjadi pompa yang bersifat seperti ventrikel kiri dan mampu mengatasi tekanan tinggi, sehingga fungsinya mungkin dipertahankan normal selama bertahun-tahun. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa sebagian besar pasien PPOK tahap lanjut tidak pernah mengalami episode gagal jantung kanan. Derajat hipertensi pulmoner, kecepatan perburukan serta perjalanannya menjadi gagal jantung kanan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Yang pertama adalah proses perubahan pada fungsi ventilasi, peningkatan tekanan alveolar akan mempengaruhi fungsi ventrikel kanan. Faktor berikutnya adalah perubahan proses pertukaran gas, yaitu perbaikan atau perburukan hipoksemia, hiperkapnia dan asidosis. Perubahan pada beban volume juga berperan penting, yaitu dinamika saat exercise, peningkatan denyut jantung, polisitemia serta retensi garam dan air. Pada suatu titik ventrikel kanan tidak mampu lagi berfungsi dalam kondisi beban tekanan tinggi sehingga terjadi gagal jantung kanan.

Disfungsi ventrikel kiri dapat dijumpai pada sebagian pasien kor pulmonale namun tampaknya bukan disebabkan secara langsung oleh kelainan ventrikel kanan. Penyebab dasarnya adalah gangguan primer ventrikel kiri seperti penyakit arteri koroner atau hipertensi sistemik yang hadir bersamaaan dengan kor pulmonale. Kehadiran gagal jantung kiri merupakan penyulit serius kor pulmonale karena peningkatan tekanan atrium kiri dan retensi cairan secara keseluruhan memperburuk fungsi paru, meningkatkan beban pernapasan, meningkatkan tekanan arteri pulmonal, mengganggu pertukaran gas di paru dan dapat mencetuskan terjadinya gagal napas. Jika gangguan pada ventrikel kiri telah ada sebelumnya maka kehadiran hipoksia, hiperkapnia dan asidosis yang timbul karena penyakit paru akan mencetuskan gagal jantung.

GEJALA KLINISGejala kor pulmonale tidak spesifik diantaranya edema perifer, nyeri dada, sesak napas saat aktivitas, sianosis perifer yang dipicu oleh aktivitas dan rasa mengantuk berlebihan di siang hari. Gejala lain yang biasa menyertai adalah batuk, mengi, hipertensi sistemik ringan, nyeri kepala dan nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis didapatkan tanda-tanda hipertensi pulmoner yaitu komponen pulmonal S2 mengeras dan right ventricular lift di region parasternalis kiri. Jika tekanan arteri pulmonal cukup tinggi maka bisa terjadi regurgitasi katup pulmoner (terdengar sebagai murmur diastolic pelan bersifat blowing dan decrescendo) dan katup tricuspid (terdengar sebagai murmur pansistolik keras). Kadang terdengar juga murmur ejeksi sistolik karena turbulensi saat darah dipompa ventrikel ke dalam arteri pulmoner yang mengalami dilatasi. Bila telah terjadi gagal jantung kanan maka timbul distensi vena jugularis, hepatomegali dan edema perifer.

PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan darahHipertensi pulmoner (HP) dihubungkan dengan hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK, dengan kecenderungan untuk terjadi HP jika PaO2 40 mmHg. Peningkatan nilai hematokrit juga dapat berperan untuk terjadinya HP.

RadiologiGambaran radiologi pasien HP bervariasi sesuai dengan penyebabnya. Hiperinflasi mungkin menandakan emfisema atau penyakit paru obstruktif lainnya. Arteri pulmoner utama tampak mengalami dilatasi disertai pembesaran arteri pulmoner desenden kanan. Pelebaran arteri pulmoner desenden kanan > 16 mm memiliki akurasi 92% untuk prediksi HP pada PPOK. Pelebaran arteri desenden kiri > 18 mm juga berhubungan dengan HP, sedangkan diameter arteri pulmoner utama > 29 mm memiliki sensitiviti dan spesifisiti 87% dan 89%. Ukuran jantung bisa normal atau membesar. Pembesaran ventrikel kanan sulit terlihat pada foto toraks rutin, terlebih pada paru dengan emfisema. Pada foto lateral rongga retrosternal tampak terisi oleh ventrikel kanan yang membesar.

Elektrokardiogram (EKG)Penggunaan EKG untuk evaluasi kor pulmonale sangat spesifik namun kurang sensitive. Beberapa gambaran EKG yang berhubungan dengan kor pulmonale adalah: Deviasi aksis kompleks QRS ke kanan Gelombang P tinggi di sadapan II, menandakan pembesaran atrium dan perubahan posisi atrium Aksis gelombang P +90 derajad atau lebih menggambarkan overload atrium kanan dan hiperinflasi paru Pola gelombang S1-3 walaupun tidak spesifik namun menandakan perubahan arah vector ventrikel kanan yang lebih ke kanan dan superiorPola gelombang S1Q3 lebih sering dijumpai pada kor pulmonale akut namun kadang tampak juga pada kor pulmonale kronikRight bundle branch block (RBBB) berasosiasi kuat dengan kor pulmonale namun dapat pula terjadi karena proses penuaan invividu normal Hipertrofi ventrikel kanan, ditandai oleh gelombang R dominan di V1-2 dan rS di V5-6 (tipe A), pola Rs di V1 dengan amplitude gelombang R yang tidak turun dari V1 ke V6 (tipe B), serta gelombang R kecil dan gelombang S dalam yang muncul persisten di sadapan prekordial (tipe C) Kompleks QRS low-voltage umum dijumpai pada kor pulmonale karena PPOK Depresi segmen ST di sadapan II, III, aVF menggambarkan iskemia segmen inferior ventrikel kiri.

EkokardiografiAnatomi ventrikel kanan yang kompleks dan posisinya yang tepat di bawah sternum menyulitkan evaluasi dengan ekokardiografi. Masalah tersebut diperberat oleh hiperinflasi paru pada PPOK sehingga sulit untuk mendapatkan gambaran yang baik. Ekokardiografi dua dimensi dapat memperlihatkan dimensi ruang-ruang jantung secara multipel sehingga berguna untuk menilai hipertrofi ventrikel kanan dan pergerakan septum kearah ventrikel kiri. Volume ventrikel kanan dapat diperkirakan lebih baik dengan ekokardiografi tiga dimensi namun cara ini rumit dan alat tidak tersedia luas. Ekokardiografi M-Mode memberikan gambaran yang terbatas dalam evaluasi ventrikel kanan namun dapat memperlihatkan pergerakan katup pulmoner abnormal pada hipertensi pulmoner

Ventrikulografi radionuklir dan skintigrafi miokardiumVentrikulografi menggunakan material biologis seperti sel darah merah atau albumin serum yang telah dilabel dengan Technesium-99m untuk mengevaluasi gambaran bentuk dan volume ventrikel kanan serta arteri pulmoner. Kamera gamma mengukur kurva aktiviti radioaktif berdasarkan waktu. Karena kurva ini proporsional terhadap volume maka dapat dihitung fraksi ejeksi ventrikel kanan (right ventricle ejection fraction/RVEF) yang menggambarkan fungsi kontraksi ventrikel kanan. Skintigrafi juga menggunakan materi radioaktif, umumnya Thalium atau Technetium, untuk melihat gambaran miokard pasien dan memperkirakan overload ventrikel kanan dengan sensitivity sekitar 73%. Namun metode ini bersifat kualitatif dan jarang dipakai untuk evaluasi fungsi ventrikel kanan.

Magnetic resonance imaging (MRI)Sampai saat ini MRI merupakan modaliti terbaik untuk menilai dimensi ventrikel kanan. Sebagian besar penelitian terbaru menggunakan MRI sebagai baku emas (gold standard). Teknik ini juga tidak invasif dan tidak memberikan beban radioaktif pada pasien. Kekurangannya adalah mahal dan tidak tersedia secara luas. Dengan MRI dapat dihitung indeks hipertrofi ventrikel kanan, didapat dari membagi ketebalan dinding bebas ventrikel kanan dengan ketebalan dinding posterior ventrikel kiri. Indeks ini berkorelasi baik dengan rerata tekanan arteri pulmoner (r=0,89) sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi hipertensi pulmoner.

Kateterisasi jantung kananKateterisasi jantung kanan adalah baku emas untuk evaluasi fungsi jantung kanan dan diagnosis hipertensi pulmoner. Pemeriksaan ini berperan penting untuk membedakan kor pulmonale dari disfungsi ventrikel kiri jika tampilan klinis meragukan. Melalui kateterisasi dapat dihitung secara langsung tekanan arteri pulmoner, tekanan baji arteri pulmoner dan curah jantung. Kateterisasi jantung merupakan prosedur invasive. Kateter multichannel dimasukkan melalui vena jugularis, femoralis atau cubital. Pada kor pulmonale tekanan diastolic arteri pulmoner lebih tinggi daripada tekanan baji, berbeda dengan gagal jantung kiri dan stenosis mitral. Tekanan arteri pulmoner dapat sangat tinggi pada penyakit vaskuler paru dan penyakit interstisial paru namun hanya sedikit yang meningkat atau bahkan normal pada PPOK. Sekitar 50% pasien PPOK menderita hipertensi pulmoner saat istirahat. Pada pasien dengan nilai normal saat istirahat, hipertensi pulmoner dapat terjadi saat aktivitas atau olahraga.

PENATALAKSANAANTujuan tatalaksana kor pulmonale adalah untuk mengurangi gejala, memperbaiki kapasiti fungsional, menghambat perjalanan penyakit, mengurangi derajat hipertensi pulmoner dan perbaikan fungsi ventrikel kanan. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan memperhatikan patofisiologi penyakit yaitu hipoksemia, asidemia dan aktivasi neurohormonal. Selain itu terapi spesifik terhadap kelainan di paru harus dilakukan. Jika terjadi gagal jantung kanan maka tatalaksana juga meliputi pengobatan gagal jantung secara umum.

Modifikasi gaya hidup meliputi berhenti merokok, restriksi cairan dan natrium, pencapaian berat badan ideal, olah raga sesuai kemampuan dan latihan pernapasan. Pasien dengan hipertensi pulmoner berat dianjurkan untuk menghindari aktivitas berlebihan, kehamilan serta berada di daerah dengan ketinggian lebih dari 4000 kaki (sekitar 1220 meter).

Terapi oksigenHipoksemia merupakan pemicu terjadinya hipertensi pulmoner dan perbaikan tekanan arteri pulmoner dengan perbaikan hipoksemia telah terbukti. Namun pada fase lanjut, telah terjadi vascular remodeling pada pembuluh darah paru, maka perbaikan tekanan arteri pulmoner tidak signifikan. Uji klinis terkontrol yang mencoba memberikan terapi oksigen jangka panjang pasien PPOK menunjukkan perbaikan kesintasan namun efek terhadap penurunan tekanan arteri pulmoner belum dapat dipastikan. Salah satu uji besar (British Medical Research Council) adalah dengan memberikan oksigen minimal 15 jam per hari. Terapi ini dapat menurunkan mortality dan tampaknya dapat menghambat kenaikan tekanan arteri pulmoner dibandingkan kelompok control.

Uji klinis lain (National Institute of Health di Amerika Serikat) membandingkan pemberian oksigen malam hari selama 12 jam dengan pemberian oksigen terus menerus (kontunu). Hasilnya pemberian oksigen kontinu menghasilkan mortality lebih rendah dan tekanan arteri pulmoner yang menurun dibandingkan kelompok oksigen malam hari. Terapi oksigen mencegah HPV (hypoxic pulmonary vasoconstriction) sehingga memperbaiki curah jantung, mengurangi vasokonstriksi simpatis, memperbaiki hipoksia jaringan dan memperbaiki perfusi organ penting seperti jantung dan ginjal. Berdasarkan penelitian tersebut tampaknya pemberian oksigen diindikasikan pada pasien kor pulmonale terutama pada pasien PPOK dengan hipoksemia berat, dengan pemberian minimal 15 jam/hari dan dapat ditingkatkan menjadi terapi oksigen kontinu. Namun perlu diingat bahwa pemberian oksigen konsentrasi tinggi pada pasien kor pulmonale dengan hipoksia dapat menurunkan rangsang napas sehingga perlu pengawasan pada tahap awal.

Terapi medikamentosaa. Diuretik dapat menurunkan volume darah sehingga beban kerja ventrikel kanan berkurang. Namun bila digunakan berlebihan akan menimbulkan gangguan hemodinamik yang signifikan. Pengurangan volume cairan tubuh berlebihan akan menurunkan curah jantung. Penggunaan diuretik berlebihan juga dapat menimbulkan alkalosis metabolik sehingga terapi diuretik pada kor pulmonale harus dimulai dan dipantau dengan hati-hati.b. Vasodilator digunakan untuk menurunkan tekanan arteri pulmoner, diantaranya adalah penghambat kanal kalsium, nitrat, hidralazine, ACE inhibitor sampai pada golongan obat yang lebih baru seperti bosentan atau sildenafil. Obat tersebut lebih efektif pada hipertensi pulmoner primer dibandingkan sekunder. Tekanan arteri pulmoner yang hanya sedikit meningkat pada kor pulmonale akibat PPOK tidak banyak mendapat manfaat dari terapi ini sehingga penggunaan terapi vasodilator pada kelompok pasien ini masih diperdebatkan.c.Digitalis untuk terapi kor pulmonale masih diperdebatkan. Efek digitalis tampaknya lebih baik pada pasien gagal jantung kiri. Walaupun ada penelitian yang mendapatkan perbaikan fungsi ventrikel kanan dengan pemberian digitalis namun sejauh ini digitalis terutama dipakai jika terdapat gangguan ventrikel kiri atau aritmia yang bersamaan dengan kor pulmonale. Digitalis tidak digunakan pada fase akut insufisiensi pernapasan saat pasien dalam kondisi hipoksemia atau asidosis karena akan meningkatkan risiko terjadinya aritmia.d.Teofilin telah dilaporkan dapat menurunkan resistensi vaskuler paru dan memperbaiki fungsi pompa ventrikel kanan dan kiri, sehingga penggunaan teofilin berguna untuk menurunkan afterload dan meningkatkan kontraktiliti. Karena itu teofilin diindikasikan pada pasien kor pulmonale kronik dengan PPOK.e.Anti koagulan. Pemberian warfarin diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi terjadinya tromboemboli, terutama pada pasien dengan hipertensi pulmoner primer dan yang disebabkan oleh tromboemboli kronik. Untuk hipertensi pulmoner sekunder lain dan kor pulmonale pada PPOK sejauh ini belum memberikan efek yang bermakna.f. Almitrine merupakan golongan obat stimulant rangsang napas dengan efek perbaikan pertukaran gas yang juga memiliki efek perbaikan cardiac index dan fungsi sistolik ventrikel. Mekanisme kerjanya adalah alterasi pola napas dan perbaikan respons kemoreseptor perifer terhadap hipoksia. Namun almitrine dapat meningkatkan respons vasokonstriksi pulmonar sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien kor pulmonale dengan hipoksia kronik.g.Amrinone, suatu obat inotropik, dapat menurunkan rerata tekanan arteri pulmoner dan juga mampu menurunkan tekanan baji kapiler pulmoner tanpa perubahan bermakna pada curah jantung, tekanan arteri sistemik serta nilai gas darah pada pasien PPOK dengan kor pulmonale.

FlebotomiFlebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang diturunkan sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien baik saat istirahat maupun aktiviti serta memperbaiki proses pertukaran gas di paru (penurunan resistensi vaskuler paru dan peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan hipertensi pulmoner. Flebotomi dipertimbangkan bila kadar hematokrit di atas 55-60% dengan pengeluaran volume darah yang kecil (200-300 ml) dan dilakukan dengan pengawasan.

Terapi bedahAda beberapa pilihan terapi bedah untuk perbaikan penyakit dasar yang menyebabkan timbulnya kor pulmonale. Uvulopalatopharyngeoplasty merupakan salah satu pilihan terapi pada pasien dengan sleep apnea. Transplantasi paru tunggal, paru ganda serta transplantasi jantung paru dapat merupakan pilihan pada pasien kor pulmonale dan penyakit paru berat. Penyakit paru yang paling sering membutuhkan terapi dengan transplantasi adalah hipertensi pulmoner primer, emfisema, fibrosis paru idiopatik dan fibrosis kistik. Angka daya tahan hidup (survival) 2 tahun untuk transplantasi paru tunggal dan ganda sekitar 60% sedang untuk transplantasi jantung sekitar 80%. Fungsi ventrikel kanan dapat mengalami perbaikan setelah transplantasi paru walaupun sebelumnya telah mendapat beban tekanan tinggi pada kasus hipertensi pulmoner berat.