Upload
phamdien
View
249
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
119
BAB V
Logika Kabur
dan Penalaran Kabur
5.1 Logika Klasik
Logika merupakan suatu ilmu yang mengkaji metode-metode dan prinsip-prinsip penalaran yang benar, dan penalaran sendiri berarti cara untuk mendapatkan suatu proposisi yang baru dari proposisi yang sudah ada. Suatu proposisi merupakan pernyataan yang dapat bernilai benar atau bernilai salah.
Misalkan terdapat n proposisi sederhana, yaitu p1, p2, …, pn, maka suatu proposisi baru dapat diperoleh dengan mendefinisikan suatu fungsi yang menetapkan suatu nilai kebenaran ke proposisi yang baru tersebut untuk masing-masing kombinasi nilai kebenaran dari proposisi p1, p2, …, pn, yaitu:
1 2 nS S S S : ...f (5.1)
di mana S1=S2=…=Sn=S={b, s}, (b=benar, s=salah). Fungsi ini biasa disebut fungsi logika.
Misalkan hanya terdapat dua proposisi, yaitu p1 dan p2, maka akan
terdapat empat elemen dari S1S2, yaitu {(b, b), (b, s), (s, b), (s, s)}. Setiap
pemetaan dari S1S2 ke S akan selalu memberikan nilai b atau s terhadap
setiap pasangan dalam S1S2. Karena masing-masing dari empat pasangan tersebut dapat mempunyai nilai b atau s secara bebas, maka akan terdapat
2222=24=16 pemetaan yang terjadi, seperti terlihat pada Tabel 5.1.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 120
Tabel 5.1 Pemetaan dari SS ke S
p1 p2 f1 f2 f3 f4 f5 f6 f7 f8 f9 f10 f11 f12 f13 f14 f15 f16
b b b b b b b b b b s s S s s s s s
b s b b b b s s s s b b B s s s s s
s b b b s s b b s s b b S s b b s s
s s b s b s b s b s b s B s b s b s
Pada tabel di atas, terlihat bahwa operasi disjungsi muncul pada kolom kedua, konjungsi muncul pada kolom kedelapan, implikasi muncul pada kolom kelima, dan seterusnya. Fungsi logika dari satu atau dua proposisi biasa disebut dengan operasi logika.
Secara umum, jika terdapat n proposisi yang diberikan maka akan terdapat 2n kombinasi yang mungkin dari nilai kebenaran p1, p2, …, pn.
Sehingga akan diperoleh 22
n
fungsi logika. Apabila n cukup besar, maka fungsi logika yang diperoleh akan sangat banyak, sehingga hanya akan digunakan beberapa fungsi logika saja, yang biasa disebut dengan himpunan primitif lengkap. Ada dua himpunan primitif lengkap yang paling umum digunakan, yaitu (i) negasi, konjungsi dan disjungsi; (ii) negasi dan implikasi. Suatu fungsi logika dapat diperoleh dengan mengkombinasikan negasi, disjungsi dan konjungsi dalam ekspresi aljabar yang tepat. Pengkombinasian ini biasa disebut sebagai formula logika, yang didefinisikan secara rekursif sebagai berikut:
(a) jika p adalah proposisi maka p dan p adalah formula logika
(b) jika p dan q adalah formula logika maka pq dan pq juga formula logika.
(c) formula logika adalah yang didefinisikan pada (a) – (b).
Suatu proposisi yang direpresentasikan oleh suatu formula logika selalu bernilai benar tanpa memperdulikan nilai kebenaran yang ditetapkan terhadap proposisi yang menyusun formula logika tersebut biasa disebut tautologi, dan sebaliknya apabila formula logika tersebut selalu bernilai salah
maka disebut kontradiksi. Sebagai contoh, formula logika p(p) dan
(pq)(pq) adalah tautologi, sedangkan formula logika p(p) adalah suatu kontradiksi.
Ada beberapa bentuk tautologi yang dapat digunakan untuk membuat inferensi deduktif. Tautologi yang demikian biasa disebut kaidah
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
121
inferensi. Tautologi yang paling sering digunakan sebagai kaidah inferensi adalah:
1. Modus pones; kaidah inferensi ini menyatakan bahwa jika diberikan dua
proposisi p dan pq yang disebut sebagai premis, maka kebenaran proposisi q yang biasa disebut sebagai kesimpulan, dapat diinfer. Secara simbolik, kaidah inferensi modus pones dinyatakan sebagai
(p(pq)) q (5.2)
2. Modus tollens; kaidah inferensi ini menyatakan bahwa jika diberikan dua
proposisi q dan pq (premis), maka kebenaran proposisi p (kesimpulan) dapat diinfer. Secara simbolik, kaidah inferensi modus tollens dinyatakan sebagai
(q ( pq)) p (5.3)
3. Silogisme; kaidah inferensi ini menyatakan bahwa jika diberikan dua
proposisi pq dan qr (premis), maka kebenaran proposisi pr (kesimpulan) dapat diinfer. Secara simbolik, kaidah inferensi modus tollens dinyatakan sebagai
((pq)( qr)) (pr) (5.4)
Apabila proposisi dari suatu tautologi diganti dengan sebarang formula logika, maka tautologi tersebut akan tetap merupakan suatu tautologi. Sifat ini disebut sebagai kaidah subtitusi.
Proposisi merupakan suatu kalimat yang diekspresikan dalam suatu bahasa. Setiap kalimat yang mengekspresikan suatu proposisi dapat dipecah menjadi suatu subjek dan predikat. Secara umum, suatu proposisi sederhana dapat dinyatakan dalam bentuk:
x adalah P,
di mana x adalah lambang dari subjek dan P adalah lambang dari predikat yang mencirikan suatu sifat. Sebagai contoh, “Malaysia adalah suatu negara yang berbahasa Melayu,” merupakan suatu proposisi. “Malaysia” adalah sebagai subjek sedangkan “suatu negara berbahasa Melayu” adalah sebagai perdikat yang mencirikan suatu sifat khusus, yaitu sifat dari suatu negara yang sebagian besar penduduknya menggunakan bahasa Melayu.
Subjek x dapat dipandang sebagai elemen dari semesta X dan predikat P sebagai fungsi yang didefinisikan pada X, di mana setiap x membentuk suatu proposisi. Proposisi ini biasa disebut predikat dan dinyatakan dengan P(x). Suatu predikat P(x) akan menjadi suatu proposisi yang bernilai benar atau salah apabila suatu subjek tertentu dari X disubtitusi ke x.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 122
Konsep predikat P(x) dapat diperluas dalam dua cara. Pertama, memperluas dengan memberikan lebih dari satu proposisi sehingga akan diperoleh predikat n-ary, yaitu P(x1, x2, …, xn). Untuk n=1 akan menyatakan
suatu sifat, dan untuk n 2 akan menyatakan suatu relasi n-ary di antara
subjek dari semesta Xi (in). Sebagai contoh, “Tono adalah seorang suku
Jawa” merupakan suatu predikat biner, di mana Tono adalah seseorang dari suatu semesta X1 dan suku Jawa adalah suatu suku dari semesta X2. Elemen dari X2 biasa disebut sebagai objek.
Cara kedua memperluas cakupan suatu predikat adalah memberikan kuantitas. Ada dua jenis kuantifikasi yang sering digunakan pada predikat, yaitu kuantifikasi eksistensi dan kuantifikasi universal. Kuantifikasi eksistensi predikat P(x) dinyatakan dalam bentuk
(x) P(x),
yang dibaca sebagai “terdapat xX sedemikian sehingga x adalah P” atau
ekivalen dengan “beberapa xX adalah P. Simbol disebut kuantor eksistensi (existential quantifier). Kuantifikasi universal predikat P(x) dinyatakan dalam bentuk
(x) P(x),
yang dibaca sebagai “untuk setiap xX, x adalah P” atau ekivalen dengan
“semua xX adalah P”. Simbol disebut kuantor universal (universal quantifier).
Pada predikat n-ary, kita dapat menggunakan sampai n kuantor
(kuantor eksistensi atau universal). Sebagai contoh, (x1)(x2)(x3) P(x1, x2,
x3) yang dibaca sebagai “terdapat x1X1 sedemikian sehingga untuk setiap
x2X2 terdapat x3X3 sedemikian sehingga P(x1, x2, x3)”. Misalkan
X1=X2=X3=[0, 1] dan P(x1, x2, x3) berarti x1 x2 x3 maka pernyataan tersebut adalah benar (ambil x1=0 dan x3=1).
5.2 Variabel Linguistik
Kata-kata sering digunakan untuk mendeskripsikan variabel-variabel. Misalnya pernyataan “tekanan darah pasien A rendah”. Kata “rendah” mendeskripsikan variabel “tekanan darah A”. Jadi variabel tersebut mengambil kata rendah sebagai nilainya. Namun variabel tersebut dapat juga mengambil nilai numerik sebagai nilainya, seperti 100/70, 95/60, dan
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
123
sebagainya. Kalau suatu variabel mengambil nilai numerik sebagai nilainya maka permasalahannya akan dapat dirumuskan secara matematis. Akan tetapi, kalau variabel tersebut mengambil kata-kata sebagai nilainya, maka permasalahannya tidak dapat dirumuskan dengan teori matematika klasik. Untuk merumuskan permasalahan yang demikian dalam suatu kerangka yang formal, maka diperkenalkan konsep variabel linguistik yang didefinisikan sebagai berikut:
Definisi 5.1
Variabel linguistik adalah suatu variabel yang dapat mengambil kata-kata sebagai nilainya, dan kata-kata tersebut merupakan himpunan kabur pada semesta di mana variabel tersebut didefinisikan.
Gambar 5.1 Umur seseorang sebagai variabel linguistik
Contoh 5.1
Umur seseorang merupakan suatu variabel x yang nilainya berada dalam interval [0, Umax] di mana Umax adalah maksimum dari umur orang tersebut. Misalkan didefinisikan tiga himpunan kabur pada semesta [0, Umax], yaitu muda, paruh baya, dan tua yang grafik fungsi keanggotaannya seperti diperlihatkan pada Gambar 5.1, maka umur seseorang yang dinyatakan oleh variabel x merupakan suatu variabel linguistik yang nilainya dapat mengambil kata muda, paruh baya atau tua. Dengan demikian, kita dapat mengatakan “x muda”, “x parobaya” , atau “x tua”. Variabel x juga dapat mengambil suatu bilangan dalam interval [0, Umax] sebagai nilainya. Misalnya x dua tahun, lima tahun, dan sebagainya.
Muda Paruh baya Tua
Umur (tahun)
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 124
Suatu definisi yang lebih formal dari variabel linguistik adalah sebagai berikut:
Definisi 5.2
Suatu variabel linguistik dicirikan oleh quatertuple (x, T, U, M), di mana x adalah nama dari variabel linguistik, T adalah himpunan dari nilai-nilai linguistik dari variabel linguistik x, U adalah domain dari nilai kuantitatif variabel linguistik x, dan M adalah kaidah semantik yang mengaitkan masing-masing nilai linguistik dalam T dengan suatu himpunan kabur dalam U.
Contoh 5.2
Dari Contoh 5.1, x adalah “umur seseorang”, T={muda, parobaya, tua}, U=[0, Umax], dan M mengaitkan “muda”, “parobaya”, dan “tua” dengan suatu himpunan kabur pada U, yaitu:
Mmuda={(u, muda
μ u( )) | uU}
Mparobaya={(u, parobaya
μ u( )) | uU }
Mtua={(u, tua
μ u( ))| uU }
Variabel linguistik merupakan hal yang sangat mendasar dalam representasi pengetahuan manusia. Kalau kita menggunakan alat sensor untuk mengukur suatu variabel, maka alat tersebut akan memberikan kepada kita nilai-nilai numerik dari variabel. Akan tetapi, kalau kita meminta seseorang untuk menilai atau mengevaluasi suatu variabel, maka orang tersebut akan memberikan “kata-kata” sebagai nilai dari variabel tersebut. Sebagai contoh, kalau kita menggunakan thermometer untuk mengukur suhu badan “Tono”, maka thermometer tersebut akan memberikan nilai numerik, seperti 300C, 350C, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau kita menyuruh seseorang untuk mengevaluasi atau menilai suhu badan Tono, maka orang tersebut akan memberikan nilai dalam bentuk kata-kata, seperti “Tono panas”, “Tono dingin”, dan sebagainya. Oleh karena itu, dengan memperkenalkan konsep variabel linguistik, kita dapat merumuskan deskripsi samar atau kabur dalam bahasa alami.
5.3 Proposisi Kabur
Pada proposisi biasa, nilai kebenarannya hanya ada dua kemungkinan, yaitu benar atau salah (0 atau 1), sedangkan pada proposisi kabur, nilai kebenarannya merupakan suatu “kadar” atau “derajat” atau “tingkatan” dari
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
125
benar sampai salah. Kalau dipandang sebagai suatu fungsi, maka nilai kebenaran suatu proposisi biasa merupakan nilai fungsi dari suatu fungsi yang dipetakan dari himpunan semua proposisi ke himpunan {0, 1}, yaitu:
T : P {0, 1}
sedemikian sehingga T(p)=p
p
1 jika bernilai benar
0 jika bernilai salah,
di mana P adalah himpunan semua proposisi.
Nilai kebenaran proposisi kabur merupakan perluasan dari nilai kebenaran proposisi biasa, yaitu dari himpunan {0,1} manjadi interval [0, 1]. Nilai kebenaran dari proposisi kabur biasa disebut derajat kebenaran.
Selanjutnya kita bahas proposisi kabur sederhana yang diklasifikasikan dalam tiga jenis berikut:
5.3.1 Proposisi kabur tak bersyarat dan tak terbatas
Proposisi kabur jenis ini mempunyai bentuk:
p : adalah F (5.5)
di mana merupakan suatu variabel linguistik yang nilainya adalah v pada
himpunan semesta V, dan F adalah predikat kabur yang merupakan suatu
himpunan kabur pada V. Apabila suatu nilai dari diberikan, misalnya v,
maka nilai v ini merupakan anggota dari himpunan kabur F dengan derajat
keanggotaan F
μ v( ) . Derajat keanggotaan v dalam F tersebut diinterpre-
tasikan sebagai derajat kebenaran proposisi kabur p, sehingga
T(p) = F
μ v( ) (5.6)
di mana T(p) adalah derajat kebenaran proposisi kabur p yang nilainya ada dalam interval [0, 1].
Contoh 5.3
Misalkan variabel adalah suhu udara pada beberapa tempat tertentu di
permukaan bumi, dan misalkan predikat kabur F adalah “tinggi” yang grafik fungsi keanggotaannya seperti pada Gambar 5.2 (a). Proposisi kabur p dapat dinyatakan sebagai
p : Suhu udara () adalah tinggi (F).
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 126
Derajat kebenaran proposisi kabur p tergantung pada nilai derajat keanggotaan suhu udara yang diberikan (v) dalam himpunan kabur “tinggi” (F). Misalnya pada suatu tempat tertentu di muka bumi mempunyai suhu udara sebesar 300C, maka derajat keanggotaan v dalam F adalah 0.8. Ini berarti bahwa derajat kebenaran proposisi kabur p untuk suhu udara sebesar 300C adalah T(p)=0.8, seperti pada Gambar 5.2 (b).
(a) (b)
Gambar 5.2 Komponen-komponen proposisi kabur p : Suhu udara ()
adalah tinggi (F)
5.3.2 Proposisi kabur tak bersyarat dan terbatas
Proposisi kabur p jenis ini mempunyai bentuk sebagai
p : adalah F adalah S (5.7)
di mana dan F mempunyai makna yang sama dengan (5.5), sedangkan S
adalah qualifier kebenaran kabur yang merupakan himpunan kabur pada interval [0, 1]. Proposisi kabur dalam (5.7) biasa disebut sebagai proposisi kebenaran-terbatas. Secara umum, derajat kebenaran proposisi kabur (5.7) adalah
T(p) = S F
μ μ v( ( )) (5.8)
Contoh 5.4
Proposisi “Ali adalah muda adalah sangat benar” adalah proposisi kebenaran terbatas. Predikat kabur “muda” meru-pakan suatu himpunan kabur dengan grafik fungsi keanggotaan seperti pada Gambar 5.3(a) dan qualifier
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
127
kebenaran terbatas “sangat benar” mempunyai grafik fungsi keanggotaan seperti pada Gambar 5.3(b). Misalkan umur Ali adalah 26 tahun, maka Ali merupakan anggota dari himpunan kabur muda dengan derajat keanggotaan
mudaμ (Ali)= 0.87. Dengan demikian “Ali adalah muda” (berumur 26 tahun)
merupakan anggota dari himpunan kabur “sangat benar” dengan derajat
keanggotaan sangat benar muda
μ μ( (Ali)) = 0.76. Jadi proposisi kabur “Ali adalah
muda adalah sangat benar” di mana Ali berumur 26 tahun, mempunyai derajat kebenaran sebesar 0.76.
(a) (b)
Gambar 5.3 Nilai kebenaran suatu proposisi kabur (Contoh 5.4)
5.3.3 Proposisi kabur bersyarat
Proposisi kabur jenis ini mempunyai bentuk
p : Jika adalah A maka adalah B (5.9)
di mana adalah variabel yang nilainya ada dalam X dan variabel yang
nilainya ada dalam Y, sedangkan A dan B adalah predikat kabur dan merupakan himpunan kabur yang berturut-turut didefinisikan pada X dan Y. Proposisi kabur (5.9) dapat juga dipandang sebagai proposisi yang berbentuk
(, ) adalah R (5.10)
• • •
0,87
0,76
a
1
Sangat benar
Benar
Agak benar
Salah
at
Muda
Umur
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 128
di mana R~
adalah suatu relasi kabur pada XY dengan fungsi keanggotaan
R
μ x y( , )= JA B
μ x μ y[ ( ), ( )]
di mana J menyatakan suatu implikasi kabur (implikasi kabur akan dibahas secara rinci pada Bagian 5.7) dan merupakan suatu operasi biner pada [0, 1]
Contoh 5.5
Misalkan himpunan kabur A dan B masing-masing didefinisikan sebagai:
A = {(x1, 0.1), (x2, 0.8), (x3, 1)} dan B = {(y1, 0.5), (y2, 1)}. Misalkan dipilih
implikasi Kleene-Dienes sebagai implikasi kabur, yaitu JA B
μ x μ y[ ( ), ( )] =
max 1A B
μ x μ y( ( ), ( )) , maka R
μ x y( , ) dapat diperoleh sebagai berikut:
1 1R
μ x y( , ) = max(1 – 0.1, 0.5) = 0.9
1 2R
μ x y( , ) = max(1 – 0.1, 1) = 1
2 1R
μ x y( , ) = max(1 – 0.8, 0.5) = 0.5
2 2R
μ x y( , ) = max(1 – 0.8, 1) = 1
3 1R
μ x y( , ) = max(1 – 1, 0.5) = 0.5
3 2R
μ x y( , ) = max(1 – 1, 1) = 1
sehingga diperoleh relasi R sebagai berikut :
R~
= {((x1, y1), 0.9), ((x1, y2), 1), ((x2, y1), 0.5), ((x2, y2), 1),
((x3, y1), 0.5), ((x3, y2), 1)}.
Ini berarti bahwa pernyataan “jika =x1 adalah A maka =y1 adalah B”
mempunyai derajat kebenaran 0.9, pernyataan “jika =x1 adalah A maka
=y2 adalah B” mempunyai derajat kebenaran 1, dan seterusnya.
5.4 Kuantor Kabur
Seperti pada predikat logika klasik yang dapat diperluas cakupannya dengan memberikan kuantitas, maka pada predikat kabur dapat juga diperluas cakupannya dengan menggunakan kuantor kabur (fuzzy quantifier). Kuantor kabur merupakan suatu bilangan kabur yang terlibat dalam suatu proposisi kabur. Terdapat dua jenis kuantor kabur; pertama, kuantor kabur
yang didefinisikan pada bilangan rill dan merupakan term linguistik, seperti
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
129
sekitar 100, lebih dari 100, dan sebagainya. Kedua, kuantor kabur yang didefinisikan pada interval [0, 1] dan juga merupakan term linguistik, seperti hampir semua, sebagian besar, kira-kira separoh, dan sebagainya.
Proposisi kabur yang melibatkan kuantor kabur jenis pertama mempunyai dua bentuk dasar, yaitu:
(i) Proposisi kabur yang berbentuk:
p : Terdapat Q i dalam I sedemikian sehingga (i) adalah F (5.11)
di mana Q adalah kuantor kabur yang merupakan bilangan kabur yang
didefinisikan pada bilangan rill , (i) adalah nilai dari variabel untuk
individu i dalam I.
Contoh 5.6
Pandang proposisi kabur berikut:
“Terdapat sekitar 5 siswa di kelas tiga yang kemampuan keuangan-
nya adalah tinggi.”
Himpunan dari siswa-siswa di kelas tiga adalah I, kemampuan keuangan
siswa i dalam I merupakan nilai dari variabel untuk siswa i, term linguistik
“tinggi” merupakan himpunan kabur F yang didefinisikan pada nilai-nilai
variabel , dan term linguistik “sekitar 5” merupakan kuantor kabur Q.
Proposisi kabur (5.11) dapat diubah menjadi proposisi yang lain dengan bentuk:
p : Terdapat Q E (5.12)
di mana E adalah suatu himpunan kabur pada I dengan fungsi keanggotaan
E Fμ i μ i( ) ( ( )) , iI (5.13)
Dengan demikian, proposisi kabur pada Contoh 5.6 dapat diganti menjadi:
p : “Terdapat sekitar 5 siswa yang tinggi kemampuan keuangannya
di kelas tiga”.
“Siswa yang tinggi kemampuan keuangannya di kelas tiga” merupakan himpunan kabur E.
Proposisi p dalam (5.12) dapat dibentuk kembali menjadi:
p : adalah Q (5.14)
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 130
di mana merupakan variabel yang nilainya ada dalam dan menyatakan
kardinalitas skalar himpunan kabur E, (=|E|), sehingga
=|E|=
E Fi I i I
i i( ) ( ( )) .
Berdasarkan (5.6), maka derajat kebenaran proposisi p adalah
T(p)=T(p)= Qμ E(| |) (5.15)
Contoh 5.7
Pandang kembali proposisi kabur pada Contoh 5.6. Misalkan himpunan
I={Wati, Budi, Iwan, Ahmad, Rina, Ani, Arman, Tono, Tini}, dan adalah
variabel yang nilainya ada dalam interval [0 , 100,000]. Misalkan masing-masing anggota himpunan I diberikan skor yang merupakan pendapatan
orang tua masing-masing dalam satu hari, yaitu (Wati) = 50,000; (Budi) =
95,000; (Iwan) = 85,000; (Ahmad) = 75,000; (Rina) = 20,000; (Ani) =
25,000; (Arman) = 10,000; (Tono) = 15,000 dan (Tini)=90,000. Misalkan
bilangan kabur Q yang merupakan kuantor kabur pada proposisi kabur p mempunyai fungsi keanggotaan segitiga, yaitu
23
83
0 2 8
2 5
5 8
xQ
x
x x
μ x x
x
atau
( ) , x,
dan himpunan kabur F (kemampuan tinggi) mempunyai grafik fungsi keanggotaan seperti pada Gambar 5.4. Fungsi keanggotaan himpunan kabur E dapat diperoleh dengan menggunakan (5.13), yaitu:
E(Wati) = F(60,000) = 0.5
E(Budi) = F(95,000) = 1
E(Iwan) = F(85,000) = 0.85
E(Ahmad) = F(75,000) = 0.7
E(Rina) = F(20,000) = 0
E(Ani) = F(25,000) = 0
E(Arman) = F(10,000) = 0
E(Tono) = F(15,000) = 0
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
131
E(Tini) = F(90,000) = 0.9
sehingga akan diperoleh kardinalitas himpunan kabur E, yaitu:
|E| = i I
i
Eμ ( )=0.5+1+0.85+0.7+0.9 = 3.95
Dengan demikian, derajat kebenaran dari proposisi kabur p adalah
T(p)= EQμ (| |)= 3 95Qμ ( . )= 0.65.
Gambar 5.4 Grafik fungsi keanggotaan himpunan kabur F
(Contoh 5.7)
(ii) Proposisi kabur yang berbentuk:
p : Terdapat Q i dalam I sedemikian sehingga
1(i) adalah F1 dan 2(i) adalah F2 (5.16)
di mana 1(i) dan 2(i) masing-masing adalah nilai variabel-variabel 1 dan
2 untuk individu i dalam I, F1 dan F2 berturut-turut adalah himpunan kabur
pada V1 dan V2, dan Q adalah kuantor kabur yang merupakan bilangan kabur
pada .
95 90 75 60 85
(i)
dalam ribuan 25 0
0,5
0,7
0,9
1
iF
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 132
Contoh 5.8
Pandang proposisi kabur p berikut:
p : “Terdapat sekitar 5 siswa di kelas tiga yang kemampuan keuangan-
nya tinggi dan umurnya muda.”
Dalam proposisi ini, variabel 1 adalah kemampuan keuangan siswa, variabel
2 adalah umur siswa, kuantor kabur Q adalah “sekitar 5”, F1 adalah predikat
kabur “tinggi”, dan F2 adalah predikat kabur “muda”.
Proposisi kabur (5.16) dapat diubah menjadi proposisi kabur yang lain dengan bentuk:
p : Terdapat Q E1 dan E2 (5.17)
di mana E1 dan E2 adalah himpunan kabur pada I yang mempunyai fungsi keanggotaan:
1 1 1E Fi i ( ) ( ( ))
dan 2 2 2E Fi i ( ) ( ( )) , iI (5.18)
Dengan demikian, proposisi kabur pada Contoh 5.8 dapat diganti menjadi:
p : “Terdapat sekitar 5 siswa yang tinggi kemampuan keuangan-
nya dan muda umurnya di kelas tiga”.
“Siswa yang tinggi kemampuan keuangannya di kelas tiga” merupakan himpunan kabur E1, dan “siswa yang muda umurnya di kelas tiga” merupakan himpunan kabur E2.
Proposisi kabur p dalam (5.17) dapat dibentuk kembali menjadi:
p : adalah Q (5.19)
di mana merupakan variabel yang nilainya ada dalam dan menyatakan
kardinalitas skalar dari himpunan kabur |E1E2|, yaitu = |E1E2|. Dengan
menggunakan t-norm t dan (5.18), maka diperoleh
= Ii
FF iit ))](()),(([ 21 21
Dengan cara seperti pada proposisi (5.5), maka derajat kebenaran dari proposisi kabur (5.16) dan (5.17) adalah
T(p) = T(p) = )(Q (5.20)
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
133
Proposisi kabur yang melibatkan kuantor kabur jenis kedua mempunyai bentuk umum:
p : Di antara i dalam I sedemikian sehingga 1(i) adalah F1 terdapat
Q i dalam I sedemikian sehingga 2(i) adalah F2 (5.21)
di mana Q adalah kuantor kabur yang merupakan bilangan kabur pada [0, 1] yang mengekspresikan term linguistik, seperti “hampir semua”, “kira-kira separoh”, “sebagian besar”, dan sebagainya.
Contoh 5.9
Pandang proposisi kabur p berikut:
p : “Di antara siswa-siswa di kelas tiga yang muda terdapat hampir
semua kemampuan keuangannya adalah tinggi.”
Dalam proposisi ini, 1(i) adalah nilai dari umur siswa i, 2(i) adalah nilai dari
kemampuan keuangan siswa i, F1 adalah predikat kabur “muda” dan me-rupakan himpunan kabur yang didefinisikan pada V1 (umur manusia), dan F2 adalah predikat kabur “tinggi” dan merupakan himpunan kabur yang didefi-nisikan pada V2 (penghasilan orung tua).
Proposisi (5.21) dapat diubah menjadi proposisi lain dengan bentuk:
p : Q E1 adalah E2 (5.22)
di mana E1 dan E2 adalah himpunan kabur yang didefinisikan pada I dengan fungsi keanggotaan
1 1 1E Fi i ( ) ( ( ))
dan 2 2 2E Fi i ( ) ( ( )) , iI (5.23)
Proposisi kabur pada Contoh 5.9 dapat diubah dengan menggunakan (5.22) menjadi proposisi:
p : “Hampir semua siswa yang muda di kelas tiga adalah
siswa yang kemampuan keuangannya tinggi.”
Proposisi (5.22) dapat juga dibentuk menjadi proposisi:
p : adalah Q (5.24)
Di mana merupakan variabel yang nilainya ada dalam dan berbentuk
= 1
1
E E
E
2| |
| |
Dengan menggunakan t-norm t dan (5.23) maka diperoleh
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 134
=
1
i i
i
F Fi I
Fi I
t μ μ
μ
1 2[ ( ( )), ( ( ))]
( ( )) (5.25)
Dengan demikian, derajat kebenaran dari proposisi (5.21) dan (5.24) adalah
T(p) = T(p) = Q( )
5.5 Hedge Linguistik
Hedge linguistik merupakan suatu term linguistik khusus yang “mempertajam” atau “melunakkan” term linguistik yang lain, atau dengan kata lain, hedge linguistik merupakan suatu operasi yang memodifikasi makna dari suatu term linguistik. Contoh dari hedge linguistik adalah sangat, agak, dan sebagainya. Hedge linguistik dapat juga digunakan untuk memodifikasi predikat kabur dan nilai kebenaran proposisi kabur. Sebagai contoh, proposisi “Rina adalah gadis cantik” diasumsikan benar, sehingga menjadi “Rina adalah gadis cantik adalah benar”. Proposisi ini dapat dimodifikasi oleh hedge “sangat” menjadi:
“Rina adalah gadis yang cantik adalah sangat benar”
“Rina adalah gadis yang sangat cantik adalah benar”
“Rina adalah gadis yang sangat cantik adalah sangat benar”
Hedge linguistik tidak dapat dipakai pada predikat biasa (nonfuzzy) dan nilai kebenaran biasa (benar, salah). Sebagai contoh, proposisi : “Rina adalah wanita hamil” diasumsikan benar. Misalkan proposisi tersebut dimodifikasi oleh hedge “sangat”, menjadi:
“Rina adalah wanita yang sangat hamil adalah benar”
“Rina adalah wanita yang hamil adalah sangat benar”
“Rina adalah wanita yang sangat hamil adalah sangat benar”
Ketiga proposisi hasil modifikasi hedge “sangat” tersebut mempunyai makna yang persis sama dengan proposisi awal (Rina adalah wanita hamil adalah benar). Oleh karena itu, hedge linguistik tidak dikenal dalam logika klasik.
Hedge linguistik H dapat diinterpretasikan sebagai suatu opersi unary h
pada interval [0, 1], yaitu h : [0, 1] [0, 1]. Operasi unary h yang merepresentasikan hedge linguistik biasa disebut modifier. Jika h(a) < a,
a[0, 1] maka h disebut modifier kuat, dan jika h(a) > a, a[0, 1] maka h disebut modifier “lemah”. Modifier kuat diklassifikasikan sebagai hedge “konsentrasi”, yaitu mengkonsentrasikan term linguistik dengan mereduksi
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
135
derajat keanggotaannya. Contoh dari hedge linguistik yang termasuk klassifikasi konsentrasi adalah “sangat”, yang didefinisikan sebagai h(a)=a2, sedangkan modifier lemah diklassifikasikan sebagai hedge “dilasi”, yaitu “melunakkan” term linguistik dengan menaikkan derajat keanggotaannya. Contoh dari hedge linguistik yang termasuk klassifikasi dilasi adalah “agak”,
yang didefinisikan sebagai h(a)= a . Oleh karena itu, modifier kuat akan
mempertajam predikat kabur sehingga akan menurunkan derajat kebenaran dari proposisi kabur tersebut; sebaliknya modifier lemah akan melunakkan predikat kabur pada suatu predikat kabur sehingga akan menaikkan derajat kebenaran dari proposisi kabur tersebut.
Contoh 5.10
Misalkan proposisi kabur berikut:
p1 : Kota Surabaya panas.
p2 : Kota Surabaya agak panas.
p3 : Kota Surabaya sangat panas.
Misalkan himpunan kabur “panas” yang merepresentasikan predikat kabur “panas” pada proposisi kabur p1, p2 dan p3 mempunyai fungsi keanggotaan yang berbentuk
xμpanas( ) =
x
x
x
x
530
0 ; 5
; 5 35
1 ; 35
, x.
Misalkan suhu udara di kota Surabaya adalah 320C, maka derajat kebenaran
proposisi kabur p1 adalah T(p1) = )32(panas 0.9. Dengan demikian, derajat
kebenaran dari proposisi kabur p2 adalah T(p2)= panas (32)μ = 0.9 =
0.948, sedangkan derajat kebenaran proposisi kabur p3 adalah T(p3) =
μ 2 2panas( (32)) (0.9) = 0.81.
Suatu modifier h akan memenuhi syarat-syarat berikut:
(a) h(0) = 0 dan h(1) = 1
(b) h adalah fungsi kontinu
(c) Jika h modifier kuat maka h-1 modifier lemah, dan sebaliknya.
(d) Misalkan g adalah suatu modifier, maka g h dan h g juga adalah suatu modifier.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 136
Suatu kelas fungsi yang memenuhi syarat ini adalah
h(a)=a, +, a[0,1], (5.26)
merupakan suatu parameter yang akan membedakan suatu modifier
dengan modifier yang lain dalam kelas ini. Sebagai contoh, modifier “sangat”
mempunayi nilai = 2 dan modifier “agak” mempunayi nilai = ½. Apabila
< 1 maka h merupakan modifier lemah, > 1 maka h merupakan modifier
kuat, dan = 1 maka h1 adalah modifier identitas.
5.6 Inferensi dari Proposisi Kabur Bersyarat
Dalam logika klasik, kaidah inferensi didasarkan pada berbagai tautologi, di antaranya modus pones, modus tollens dan silogisme. Kaidah inferensi itu dapat digeneralisasi dari logika klasik ke logika kabur sehingga dapat dipakai pada penalaran kabur. Dalam bagian ini, dibahas generalisasi dari tiga kaidah inferensi , yaitu modus pones, modus tollens dan silogisme. Generalisasi tersebut didasarkan pada apa yang disebut kaidah inferensi komposisional.
Misalkan variabel mempunyai nilai pada himpunan X dan variable
mempunyai nilai pada himpunan Y, dan diasumsikan bahwa untuk semua x
X dan semua y Y variabel-variabel tersebut dikaitkan oleh suatu fungsi y =
f(x). Kemudian diberikan = x, maka kita dapat menginfer bahwa = f(x),
seperti diperlihatkan pada Gambar 5.5 (a). Dengan cara yang serupa,
diketahui bahwa nilai ada dalam suatu himpunan A, maka kita dapat
menginfer bahwa nilai ada dalam himpunan B = { y Y | y = f(x), x X }
seperti pada Gambar 5.5(b).
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
137
(a) (b)
Gambar 5.5 Hubungan fungsional antara dua variabel
Misalkan sekarang disumsikan bahwa variabel tersebut dikaitkan oleh
sebarang relasi pada XY, tidak perlu suatu fungsi. Kemudian, diberikan =
x0 dan relasi , maka kita dapat menginfer bahwa B ={ y Y | (x0, y)
} seperti diilustrasikan pada Gambar 5.6(a). Dengan cara yang serupa,
diketahui bahwa A, maka kita dapat menginfer B= {yY|(x, y),
xA} seperti yang diilustrasikan pada Gambar 5.6(b).
(a) (b)
Gambar 5.6 Inferensi yang diekspresikan oleh (5.27)
Perhatikan bahwa inferensi ini dapat diekspresikan dengan menggunakan
fungsi karakteristik untuk himpunan A, B, dan relasi , yaitu:
A Ax X
y supmin x x y( ) [ ( ), ( , )] , yY (5.27)
xfy
y
x
xf
xfy
y
x
xf
A
B
A
RB
ox
RB
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 138
Selanjutnya, misalkan bahwa relasi adalah suatu relasi kabur ( R ) pada
XY, dan A adalah himpunan kabur A pada X dan B adalah himpunan
kabur B pada Y. Kemudian jika diberikan relasi kabur R dan himpunan
kabur A maka kita dapat memperoleh himpunan kabur B melalui persamaan
B A R
x X
μ y supmin μ x μ x y( ) [ ( ), ( , )] (5.28)
Persamaan ini biasa disebut sebagai kaidah inferensi komposisional.
Misalkan proposisi p : Jika adalah A maka adalah B, maka proposisi p
dapat juga dinyatakan dalam bentuk
(, ) adalah R ,
di mana R dapat ditentukan derajat keanggotaannya dengan menggunakan rumus
R
μ x y( , ) = J A Bμ x μ y[ ( ), ( )] (5.29)
di mana J menyatakan suatu implikasi kabur (dibahas pada Bagian 5.7).
Dengan menggunakan relasi R yang diperoleh dari proposisi p, dan proposisi kabur q yang lain berbentuk
q : adalah A,
maka kita dapat menyimpulkan bahwa adalah B dengan menggunakan
kaidah inferensi komposisional (5.28). Prosedur ini disebut sebagai modus pones diperluas.
Dengan memandang proposisi p sebagai suatu kaidah dan proposisi q sebagai suatu fakta, modus pones diperluas diekspresikan oleh skema berikut:
Kaidah : Jika adalah A maka adalah B
Fakta : adalah A (5.30)
Kesimpulan : adalah B
Dalam skema ini, B dapat dihitung dengan menggunakan (5.28) dan R dalam persamaan ini ditentukan dengan menggunakan (5.29). Perhatikan bahwa (5.30) akan menjadi modus pones biasa apabila A, B adalah
himpunan biasa dan A = A, B = B.
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
139
Contoh 5.11
Misalkan nilai-nilai variable dan berturut-turut adalah X = {x1, x2, x3} dan
Y = {y1, y2}. Misalkan diberikan suatu proposisi kabur “jika adalah A maka
adalah B”, di mana A = {(x1, 0.5), (x2, 1), (x3, 0.6)} dan B={(y1, 1), (y2, 0.4)}.
Kemudian diberikan suatu fakta bahwa “ adalah A “ di mana A = {(x1, 0.6),
(x2, 0.9), (x3, 0.7)}. Kita dapat menggunakan kaidah inferensi modus pones
untuk menurunkan suatu kesimpulan dalam bentuk “ adalah B “ di mana B
dapat diperoleh sebagai berikut:
Misalkan kita gunakan implikasi Lukasiewicz, maka diperoleh
R = {((x1, y1), 1), ((x1, y2), 0.9), ((x2, y1), 1), ((x2, y2), 0.4),
((x3, y1), 1), ((x3, y2), 0.8)}
Dengan menggunakan kaidah inferensi komposisional, maka diperoleh
1 1
B A Rx X
μ y supmin μ x μ x y( ) [ ( ), ( , )]
= max[min(0.6, 1), min(0.9, 1), min(0.7, 1)]
= 0.9
2 2
B A Rx X
μ y supmin μ x μ x y( ) [ ( ), ( , )]
= max[min(0.6, 0.9), min(0.9, 0.4), min(0.7, 0.8)] = 0.7
Jadi kita dapat menarik kesimpulan bahwa adalah B, di mana B={(y1, 0.9),
(y2, 0.7)}.
Kaidah inferensi lain dalam logika kabur adalah modus tollens diperluas yang diekspresikan oleh skema berikut
Kaidah : Jika adalah A maka adalah B
Fakta : adalah B
Kesimpulan : adalah A
Dalam kasus ini, kaidah inferensi komposisional mempunyai bentuk
A' B' Ry Y
μ x supmin μ y μ x y( ) [ ( ), ( , )] (5.31)
Apabila A=A dan B=B maka akan menjadi modus tollens biasa.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 140
Contoh 5.12
Misalkan X, Y, J, A dan B seperti pada Contoh 5.11. Maka juga akan
diperoleh R yang sama dalam Contoh 5.11. Misalkan diberikan suatu fakta
bahwa adalah B, di mana B={(y1, 0.9), (y2, 0.7)}. Maka kesimpulan
adalah A dapat diperoleh, di mana A didapatkan dengan cara berikut:
Dengan menggunakan (5.31), maka
1 1
A B Ry Y
μ x supmin μ y μ x y( ) [ ( ), ( , )]
= max[min(0.9, 1), min(0.7, 0.9)] = 0.9
2 2
A B Ry Y
μ x supmin μ y μ x y( ) [ ( ), ( , )]
= max[min(0.9, 1), (0.7, 0.4)] = 0.9
3 3
A B Ry Y
μ x supmin μ y μ x y( ) [ ( ), ( , )]
= max[min(0.9, 1), min(0.7, 0.8)] = 0.9
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa adalah A, di mana
A = {(x1, 0.9), (x2, 0.9), (x3, 0.9)}
Terakhir, kaidah inferensi silogisma diperluas, yang didasarkan pada dua proposisi kabur bersyarat yang diekspresikan sebagai berikut:
Kaidah 1: Jika adalah A maka adalah B
Kaidah 2: Jika adalah B maka adalah C
Kesimpulan : Jika adalah A maka adalah C (5.32)
di mana , , dan nilainya berturut-turut ada dalam X, Y dan Z, dan A, B,
C berturut-turut adalah himpunan kabur pada X, Y, Z.
Untuk masing-masing proposisi kabur bersyarat dalam (5.32) terdapat suatu relasi kabur yang ditentukan oleh (5.29). Relasi itu ditentukan
untuk masing-masing xX, yY dan zZ dengan persamaan
R
μ x y1( , ) = J A Bμ x μ y[ ( ), ( )]
2R
μ y z( , ) = J B Cμ y μ z[ ( ), ( )]
R
μ x z3( , ) = J A Cμ x μ z[ ( ), ( )]
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
141
Apabila diperoleh 1R , 2R , 3R dari persamaan ini, maka dikatakan bahwa
silogisme diperluas terpenuhi jika
R
μ x z3( , )=
R R
y Y
supmin μ x y μ y z1 2
[ ( , ), ( , )]
5.7 Implikasi Kabur
Operasi implikasi logika merupakan hal yang sangat mendasar pada penalaran kabur. Secara umum, suatu implikasi kabur, J, merupakan suatu fungsi yang berbentuk
J : [0, 1] [0, 1] [0, 1],
di mana nilai kebenaran a yang mungkin dari proposisi p dan nilai kebenaran b yang mungkin dari proposisi q mendefinisikan nilai kebenaran J(a, b) dari proposisi bersyarat “jika p maka q”. Fungsi ini merupakan perluasan dari
implikasi klasik, pq, dari domain yang dibatasi pada {0, 1} menjadi domain pada interval [0, 1].
Dalam logika klasik, di mana a, b {0, 1}, J dapat didefinisikan dalam bentuk yang berbeda, akan tetapi bentuk-bentuk tersebut adalah eqivalen; sementara perluasannya pada logika kabur, bentuk-bentuk tersebut tidaklah eqivalen. Kenyataan ini membuat konsep implikasi kabur menjadi agak rumit.
Suatu cara untuk mendefinisikan J dalam logika klasik adalah
menggunakan formula logika ab (karena a b ab), sehingga
J(a, b) = ab a, b{0, 1} (5.33)
Apabila formula ini diperluas ke logika kabur, maka operasi disjungsi diinterpretasikan sebagai suatu gabungan kabur (s-norm) dan negasi diinterpretasikan sebagai suatu komplemen, sehingga J dalam logika kabur dapat didefinisikan dengan formula
J(a, b) = s(k(a), b) a, b[0, 1] (5.34)
di mana s menyatakan gabungan kabur dan k menyatakan komplemen kabur. Cara lain mendefinisikan J dalam logika klasik adalah dengan formula
J(a, b) = max{x{0, 1} | a x b} a, b{0, 1} (5.35)
Apabila formula ini diperluas ke logika kabur, maka konjungsi diinterpretasikan sebagai suatu irisan kabur (t-norm), sehingga J dalam logika kabur menjadi
J(a, b) = sup{x[0, 1] | t(a , x) b} a, b[0, 1] (5.36)
di mana t menyatakan irisan kabur yang kontinu.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 142
Pendefinisian (5.33) dan (5.35) untuk implikasi dalam logika klasik adalah eqivalen, sedangkan perluasannya pada (5.34) dan (5.36) dalam logika kabur tidaklah eqivalen. Selanjutnya, (5.33) dapat juga ditulis sebagai (hukum absorpsi dari negasi dalam logika klasik):
J(a, b) = )( baa (5.37)
atau J(a, b) = bba )( (5.38)
Persamaan (5.37) dan (5.38) tersebut dapat diperluas ke logika kabur berturut-turut menjadi:
J(a, b) = s(k(a), t(a, b)) (5.39)
J(a, b) = s(t(k(a), k(b)), b) (5.40)
Persamaan (5.33), (5.37) dan (5.38) adalah eqivalen, sedangkan pasangannya pada logika kabur, yaitu (5.34), (5.39) dan (5.40) tidaklah eqivalen (secara umum hukum absorpsi dari negasi tidak terpenuhi dalam logika kabur).
Persamaan (5.34), (5.36), (5.39) dan (5.40) menghasil-kan kelas-kelas yang berbeda, tergantung pada t-norm, s-norm dan komplemen kabur yang dipilih. Berikut ini diberikan beberapa kelas implikasi kabur yang diperoleh dengan memilih t-norm, s-norm dan komplemen kabur. Implikasi kabur yang diperoleh dari (5.34) biasa dinamakan S-implikasi (simbol S sering digunakan untuk menyatakan s-norm), yang antara lain adalah:
1. Apabila dipilih gabungan kabur standar maka diperoleh suatu fungsi Jb
yang didefinisikan untuk semua a, b[0, 1] dengan formula
Jb(a , b) = max(1 – a , b),
yang biasa disebut implikasi Kleene – Dienes
2. Apabila dipilih jumlah aljabar sebagai gabungan kabur maka diperoleh
suatu fungsi Jr yang didefinisikan untuk semua a, b [0, 1] dengan formula
Jr(a , b) = 1 – a + ab
yang biasa disebut implikasi Reichenbach
3. Jika dipilih jumlah terbatas sebagai gabungan kabur, maka diperoleh
suatu fungsi Ja yang didefinisikan untuk semua a, b [0, 1] dengan formula
Ja(a , b) = min(1 , 1 – a + b)
yang biasa disebut implikasi Lukasiewicz
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
143
4. Apabila dipilih jumlah drastis sebagai gabungan kabur, akan diperoleh
suatu fungsi JLS yang didefinisikan untuk semua a, b [0, 1] dengan formula
JLS(a , b) =
lainyang
bjikaa
bajikab
1
01
yang merupakan S-implikasi terbesar. Kenyataan ini merupakan konsekuensi dari teorema berikut.
Teorema 5.1.
Misalkan s1, s2 adalah s-norm sedemikian sehingga s1(a , b) s2(a , b) a, b
[0 , 1], dan misalkan J1 , J2 adalah S-implikasi yang didasarkan pada komplemen kabur k yang sama dan s1 untuk J1, s2 untuk J2, maka
J1(a , b) J2(a , b) a, b [0 , 1].
Bukti
Dari (5.34) diperoleh bahwa J(a, b) = s(k(a), b) a, b [0, 1], sehingga,
J1(a , b) = s1(k(a) , b) s2(k(a) , b)=J2(a , b), a, b [0,1]. ▄
Karena operator jumlah drastis merupakan s-norm terbesar, maka JLS merupakan S-implikasi terbesar berdasarkan Teorema 5.1. Dengan cara yang
serupa, Jb merupakan S-implikasi terkecil. Secara umum, Jb Jr Ja JLS.
Selanjutnya, implikasi kabur yang diperoleh dari (5.36) biasa dinamakan R-implikasi, yang antara lain adalah:
1. Apabila dipilih irisan kabur standar, maka diperoleh
Jg(a , b) = sup{x | min(a , x) b} = 1
a b
b a b
jika
jika
yang biasa disebut implikasi Gödel.
2. Apabila dipilih hasil kali aljabar, maka diperoleh
J(a , b) = sup{x | ax b} = 1
a b
b a a b
jika
/ jika
yang biasa disebut implikasi Goguen.
3. Apabila dipilih hasil kali terbatas maka diperoleh implikasi
Lukasiewicz yang berbentuk
Ja(a , b) = sup{x | max(0 , a + x - 1) b}
= min(1 , 1 – a + b)
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 144
4. Implikasi yang lain didefinisikan sebagai
JLR(a , b) = 1
1
b ajika
yang lain
yang merupakan batas dari semua R-implikasi.
Teorema 5.2
Misalkan t1, t2 adalah s-norm sedemikian sehingga t1(a , b) t2(a , b) a, b
[0 , 1], dan misalkan J1 adalah R-implikasi yang didasarkan pada t1, J2
adalah R-implikasi yang didasarkan pada t2. Maka J2(a , b) J1(a , b) a, b
[0 , 1].
Bukti
Karena t1(a , b)t2(a , b) a, b [0 , 1], maka t1(a , x0) t2(a , x0) b
x0{x | t2(a , x) b }, sehingga x0 {x | t1(a , x) b }. Akibatnya,
{x | t2(a , x) b } {x | t1(a , x) b }
Dengan demikian,
J2(a, b) = sup{ x|t2(a, x) b } sup{ x|t1(a, x) b } = J1(a, b). ■
Berdasarkan teorema tersebut, Jg merupakan R-implikasi terkecil, dan secara umum
Jg J Ja JLR
Selanjutnya, implikasi kabur yang diperoleh dari (5.39) biasa dinamakan QL-implikasi, yang antara lain adalah:
1. Apabila t adalah operasi min dan s adalah operasi max serta k adalah komplemen kabur standar, diperoleh:
Jm(a , b) = max[1 – a, min(a , b)],
yang biasa disebut implikasi Zadeh
2. Apabila t adalah hasil kali aljabar dan s adalah jumlah aljabar, maka diperoleh
Jp(a , b) = 1 – a + a2b.
3. Apabila t adalah hasil kali terbatas dan s adalah jumlah terbatas, maka diperoleh implikasi Kleene-Dienes Jb.
4. Apabila t adalah hasil kali drastis dan s adalah jumlah drastis, maka diperoleh
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
145
Jq(a , b) =
1
1 1 1
1 1 1
b a
a a b
a b
jika
jika ,
jika ,
Kita juga dapat membentuk implikasi kabur yang baru dengan mengkombinasikan implikasi kabur yang sudah ada, seperti pada Tabel 5.2.
Berikut ini diberikan beberapa aksioma dalam implikasi kabur:
Aksioma 1. Jika a b maka J(a , x) J(b , x) . Ini berarti bahwa nilai kebenaran implikasi kabur naik apabila nilai kebenaran antesedennya turun.
Aksioma 2. Jika a b maka J(x , a) J(x , b). Ini berarti bahwa nilai kebenaran implikasi kabur naik apabila nilai kebenaran konsekuennya naik.
Aksioma 3. J(0 , a) = 1
Aksioma 4. J(1 , b) = b.
Aksioma 5. J(a , a) = 1 (identitas). Ini berarti bahwa implikasi kabur bernilai benar apabila nilai kebenaran anteseden dan konsekuen sama.
Aksioma 6. J(a , J(b , x)) = J(b , J(a , x)). Ini merupakan suatu perluasan dari
ekivalensi antara a (b x) dan b (a x) pada implikasi klasik.
Aksioma 7. J(a , b) = 1 jika dan hanya jika a b. Ini berarti bahwa implikasi kabur bernilai benar jika dan hanya jika sekurang-kurangnya konsekuennya bernilai sama benarnya dengan antesedennya.
Aksioma 8. J(a , b) = J(k(b), k(a)) untuk suatu komplemen kabur k. Ini berarti bahwa implikasi kabur sama nilai kebenarannya apabila anteseden dan konsekuennya dipertukarkan dan dinegasikan.
Aksioma 9. J adalah suatu fungsi kontinu. Sifat ini menjamin bahwa perubahan kecil dalam nilai kebenaran dari anteseden dan konsekuen tidak menyebabkan perubahan besar (diskontinu) dalam nilai kebenaran implikasi kabur.
Kesembilan aksioma tersebut tidak independent antara satu sama lain. Sebagai contoh, Aksioma 3 dan 5 dapat diturunkan dari Aksoma 7, tetapi sebaliknya tidak.
Teorema 5.3.
Suatu fungsi J : [0, 1] [0 ,1] [0, 1] memenuhi Aksioma 1-9 jika dan hanya jika terdapat suatu fungsi kuntinu naik kuat
f : [0 , 1] [0 , ) sedemikian sehingga f(0) = 0,
J(a, b) = f(-1)(f(1) – f(a) + f(b)), a , b [0, 1] (5.41)
dan
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 146
k(a) = f-1(f(1) – f(a)) a [0 , 1] (5.42)
Teorema 5.3 ini dapat digunakan untuk mendapatkan suatu implikasi kabur.
5.8 Pemilihan Implikasi Kabur
Untuk memilih implikasi kabur yang tepat pada penalaran kabur merupakan suatu masalah yang sulit. Beberapa teori sudah tersedia untuk beberapa keadaan, tapi solusi umum pada masalah ini belum tersedia. Pada bagian ini, hanya akan dibahas pemilihan implikasi kabur pada penalaran dengan proposisi kabur tak terbatas (unqualified). Implikasi kabur dengan proposisi kabur tak terbatas mempunyai bentuk (lihat proposisi kabur bersyarat tak terbatas):
p : jika adalah A maka adalah B (5.43)
dan dapat dinyatakan seperti dalam (5.10) sehingga diperoleh
R
μ x y( , ) = J A Bμ x μ y( ( ), ( )) x X, y Y (5.44)
di mana J menyatakan suatu implikasi kabur dan R menyatakan relasi di
antara variable dan yang dilibatkan dalam proposisi p. Untuk masing-
masing x X dan masing-masing y Y, derajat keanggotaan R
μ x y( , )
menyatakan nilai kebenaran proposisi
“pxy : jika = x maka = y “.
Nilai kebenaran proposisi “X=x” diekspressikan oleh derajat keanggotaan
Aμ x( ) dan nilai kebenaran proposisi “Y=y” diekspressikan oleh derajat
keanggotaan Bμ y( ) . Dengan demikian, nilai kebenaran proposisi pxy yang
diberikan oleh R
μ x y( , ) merupakan nilai kebenaran anteseden yang
diberikan oleh Aμ x( ) dan nilai kebenaran konsekuen yang diberikan oleh
Bμ y( ) , seperti diekspressikan pada (5.44).
Pada implikasi logika klasik, maknanya adalah tunggal, tetapi tidak demikian halnya pada implikasi logika kabur, di mana dapat mempunyai beberapa bentuk, sehingga akan timbul pertanyaan: Implikasi kabur yang mana yang seharusnya digunakan sehingga (5.44) dapat diselesaikan? Untuk menjawab pertanyaan ini maka perlu ada kriteria untuk mengevaluasi atau membandingkan implikasi kabur yang akan dipakai. Kriteria tersebut muncul dari kaidah-kaidah inferensi kabur. Berikut ini dibahas kriteria yang muncul
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
147
dari tiga kaidah inferensi kabur yang diperkenalkan dalam Bagian 5.6, yaitu kaidah modus pones yang diperluas, kaidah modus tollens yang diperluas, dan silogisme yang diperluas.
- Kriteria dari modus pones
Menurut kaidah inferensi kabur modus pones, jika diberikan suatu
proposisi kabur bentuk (5.43) dan suatu fakta “ X adalah A,” disimpulkan
bahwa “Y adalah B” dengan kaidah inferensi komposisional
B = At
R ,
di mana t
adalah komposisi sup-t untuk suatu t-norm t. Atau dalam bentuk fungsi keanggotaan,
B'μ y( )= x X
sup t[ A'μ x( ) , J A Bμ x μ y( ( ), ( )) ] (5.45)
Persamaan ini memberikan suatu kriteria bermakna untuk memilih suatu implikasi kabur J yang tepat, yaitu: suatu implikasi kabur yang cocok untuk penalaran kabur yang didasarkan pada modus pones yang diperluas akan memenuhi (5.45) untuk sebarang himpunan kabur A dan B.
Teorema 5.4.
Misalkan A adalah himpunan kabur normal. Untuk suatu t-norm t yang
kontinu dan operator i yang bersesuaian, misalkan J = i ; yaitu,
J A Bμ x μ y( ( ), ( )) = i A Bμ x μ y( ( ), ( )) , xX, yY.
maka (5.45) terpenuhi.
Bukti
Karena t[a , i(a , b)] b a, b [0 , 1], maka
t[ Aμ x( ) , i A Bμ x μ y( ( ), ( )) ] Bμ y( ) , xX, yY.
Di lain pihak, karena A adalah normal, maka terdapat x0X sedemikian
sehingga 0Aμ x( )=1, sehingga
t[ 0Aμ x( ) , i A Bμ x μ y0( ( ), ( )) ] = i 1 Bμ y( , ( )) = Bμ y( )
dengan demikian, x X
sup t[ Aμ x( ) , i A Bμ x μ y( ( ), ( )) ] = Bμ y( ) ■
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 148
Teorema 5.5.
Misalkan jangkauan dari fungsi keanggotaan himpunan kabur A dalam (5.45) meliputi keseluruhan interval [0, 1]. Maka implikasi berikut memenuhi (5.45) untuk suatu t-norm t.
1. Implikasi Gaines-Rescher Js;
2. Implikasi Gödel Jg;
3. Implikasi Wu Jwu.
Bukti
Akan dibuktikan bagian 3 saja (implikasi Wu), yang lain diserahkan kepada pembaca sebagai latihan.
yY, x X
sup t[ Aμ x( ) , Jwu A Bμ x μ y( ( ), ( )) ] = 0 1a
sup[ , ]
t[a, Jwu a Bμ y( , ( )) ]
= max{ Ba μ y
sup( )
t[a, Jwu a Bμ y( , ( )) ], Ba μ y
sup( )
t[a , Jwu a Bμ y( , ( )) ]}
= max{ Bμ y( ) , Ba μ y
sup( )
t[a , min 1 Ba y( , ( )) ]}
= Bμ y( ) ■
Beberapa implikasi kabur dan t-norm untuk kaidah inferensi modus pones diperluas diberikan dalam Tabel 5.3.
Contoh 5.13.
Misalkan digunakan operator hasil kali aljabar untuk t-norm dan implikasi
Godel untuk fungsi J, dan misalkan terdapat kasus: (i) A = A; A=sangat A;
A=kurang lebih A; A=A, dan diasumsikan bahwa himpunan kabur A
adalah normal (
Ax U
sup μ x{ ( )} =1), maka derajat keanggotaan B dapat
ditentukan sebagai berikut:
(i) A = A, maka
'Bμ y( ) =
1
A BA
x X B A B
μ x μ ysup μ x
μ y μ x μ y
; ( ) ( )( ).
( ) ; ( ) ( )
Ada dua kemungkinan, yaitu:
kemungkinan 1: Aμ x( ) Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) = 1
A
x X
sup μ x{ ( ). } = 1
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
149
kemungkinan 2: Aμ x( ) > Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) =
A B
x X
sup μ x μ y{ ( ). ( )} = Bμ y( )
(ii) A = sangat A, maka
'Bμ y( ) = 2
1
A BA
x X B A B
μ x μ ysup μ x
μ y μ x μ y
; ( ) ( )( ( )) .
( ) ; ( ) ( )
Ada dua kemungkinan, yaitu:
kemungkinan 1: Aμ x( ) Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) = 2 1
A
x X
sup μ x{( ( )) . } =1
kemungkinan 2: Aμ x( ) > Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) = 2
A B
x U
sup μ x μ y{( ( )) . ( )} = Bμ y( )
(iii) A =kurang lebih A, maka
'Bμ y( ) =
12
1
A BA
x X B A B
μ x μ ysup μ x
μ y μ x μ y
; ( ) ( )( ( )) .
( ) ; ( ) ( )
Ada dua kemungkinan, yaitu:
kemungkinan 1: Aμ x( ) Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) =
12{( ( )) .1}
Ax X
sup x
= 1
kemungkinan 2: Aμ x( ) > Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) =
12
A B
x X
sup μ x μ y{( ( )) . ( )} = Bμ y( )
(iv) A=A, maka
'Bμ y( ) =
11
A BA
x X B A B
μ x μ ysup μ x
μ y μ x μ y
; ( ) ( )( ( )).
( ) ; ( ) ( )
Ada dua kemungkinan, yaitu:
kemungkinan 1 : Aμ x( ) Bμ y( ) , maka
'Bμ y( ) = 1 1
Ax X
sup μ x{( ( )). } = 0
kemungkinan 2: Aμ x( ) > Bμ y( ) , maka
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 150
'Bμ y( ) = 1
A Bx X
sup μ x μ y{( ( )). ( )} =
B A Bx X
sup μ y μ x μ y{ ( ) ( ). ( )} = 0
- Kaidah dari modus tollens
Implikasi kabur yang sesuai untuk penalaran kabur yang didasarkan pada modus tollens diperluas akan memenuhi persamaan
k( Aμ x( )) = y Y
sup t[k( Bμ y( ) , J x yA Bμ μ( ( ), ( )) ], xX (5.46)
Beberapa implikasi kabur dan t-norm untuk kaidah inferensi modus tollens diperluas diberikan dalam Tabel 5.4.
- Kaidah dari silogisme
Implikasi kabur yang sesuai untuk penalaran kabur yang didasarkan pada silogisme diperluas akan memenuhi persamaan
J x zA Cμ μ( ( ), ( )) = y Y
sup t[J x yA Bμ μ( ( ), ( )) , J y zB Cμ μ( ( ), ( )) ];
xX, zZ (5.47)
Dalam Tabel 5.5, diberikan beberapa implikasi kabur dan t-norm yang memenuhi (ya) maupun tidak memenuhi (tidak) persamaan (5.47). Pada Tabel 5.3 – 5.5, terlihat bahwa hanya implikasi kabur (di antara yang didaftar dalam tabel tersebut) Js, Jwu, Jss dan Jsg yang memenuhi ketiga kriteria dengan empat t-norm yang dipilih. Ini berarti bahwa empat implikasi kabur tersebut cocok untuk modus tollens diperluas, modus pones diperluas dan silogisme diperluas.
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
151
Tabel 5.2. Daftar Implikasi Kabur
Nama simbol kelas fungsi J(a , b)
aksioma
yang ter-
penuhi
Komple-
men
Early Zadeh Jm QL max[1-a, min(a, b)] 1,2,3,4,9 1 - a
Galnes-Rescher Js 1
0
a b
a b
1 – 8
Godel Jg R 1 a b
b a b
1 – 7
Goguen J R 1 a b
b a a b
/
1,2,3,4,5,
6,7,9
Kleene-Dienes Jb S, QL max(1- a, b) 1,2,3,4,6,
8,9
1 - a
Lukasiewicz Ja R, S min(1, 1-a+b) 1 - 9 1 - a
Pseudo- Lukasiewicz
1
J(>-1)
R, S
Min1 (1 )
1[1, ]
a a
a
1 - 9
aa
11
Pseudo- Lukasiewicz
2
Jw(w>0)
R, S
Min12[1, (1 ) ]w wa b
1 - 9
(1-aw)1/w
Reichenbach Jr S 1 – a + ab 1, 2, 3, 4, 6, 8,9
1- a
Willmott Jwi min[max(1-a, b),
max(a, 1-a),
max(b, 1-b)]
4,6,8,9
1- a
Wu Jwu
baba
ba
),1min(
1 1,2,3,5,7,8
1- a
Yager Jy 1 0
a
a b
b yang lain
1,2,3,4,6
Klir & Yuan 1 Jp QL 1 – a + a2b 2,3,4,9 1- a
Klir & Yuan 2
Jq
QL
1
1 1 1
1 1 1
b a
a a b
a b
,
,
2,4
1- a
Sumber: Klir G. J dan Yuan B (2001)
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 152
Tabel 5.3 Modus Pones Diperluas
Nama Irisan standar Hasilkali aljabar Hasilkali
terbatas
Hasilkali
drastis
Early Zadeh
Jm
max 12
[ , ]B max 14
[ , ]B B B
Gaines-Rescher
Js
B
B
B
B
Godel
Jg
B
B
B
B
Goguen
J
B1/2
B
B
B
Klene-Dienes
Jb max 1
2[ , ]B Max 1
4[ , ]B
B
B
Lukasiewicz
Ja 21
(1+B) 41
(1+B)2
B
B
Reichenbach
Jr B21
Max 14 4min( , 1/ 2)
[ , ] B
B
B
B
Wilmott
Jwi max 1
2[ , ]B Max 1
4[ , ]B
B
B
Wu
Jwu
B
B
B
B
Jss B B B B
Jsg B B B B
Jgg B B B B
Jgs B B B B
Sumber: Klir G. J dan Yuan B (2001)
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
153
Tabel 5.4 Modus Tollens diperluas
Nama Irisan standar Hasilkali aljabar Hasilkali
terbatas
Hasilkali
drastis
Early Zadeh
Jm
Max 12
[ , ]A Max 14
[ , ]A A A
Gaines-Rescher
Js
A
A
A
A
Godel
Jg
Max 12
[ , ]A Max 14
[ , ]A A A
Goguen
J A11
Max 14
[ , ]A
A A A
Klene-Dienes
Jb Max 1
2[ , ]A Max 1
4[ , ]A A A
Lukasiewicz
Ja 2A1
4
)2A( 2 A A
Reichenbach
Jr
A11
1 14 2
12
AA
A A
xx
x x
( )( )
( ) ( )
A
A
Wilmott
Jwi Max 1
2[ , ]A Max 1
4[ , ]A A A
Wu
Jwu A A A A
Jss A A A A
Jsg A A A A
Jgg Max 12
[ , ]A Max 14
[ , ]A A A
Jgs Max 12
[ , ]A Max 14
[ , ]A A A
Sumber: Klir G. J dan Yuan B (2001)
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 154
Tabel 5.5. Silogisme diperluas
Nama Irisan
standar Hasilkali aljabar
Hasilkali
terbatas
Hasilkali
drastis
Early Zadeh
Jm
Tidak tidak tidak tidak
Gaines-Rescher
Js
Ya ya ya ya
Godel
Jg
Ya ya ya ya
Goguen
J Tidak ya ya ya
Klene-Dienes
Jb Tidak tidak ya ya
Lukasiewicz
Ja Tidak tidak ya ya
Reichenbach
Jr Tidak tidak tidak tidak
Wilmott
Jwi Tidak tidak tidak tidak
Wu
Jwu Ya ya ya ya
Jss Ya ya ya ya
Jsg Ya ya ya ya
Jgg Ya ya ya ya
Jgs Ya ya ya ya
Sumber: Klir G. J dan Yuan B (2001)
Logika Kabur dan Penalaran Kabur
155
Soal-Soal Latihan
5.1 Perlihatkan bahwa pernyataan berikut adalah tautology
a) ((PQ)P)Q
b) P(PQ)
c) (PQ)P
d) ((PQ)(QR))(PQ)
e) ((PQ)P)Q
5.2 Misalkan himpunan nilai-nilai variable dan berturut-turut adalah
X={x1, x2, x3} dan Y={y1, y2}, dan misalkan diberikan suatu proposisi
kabur “jika adalah A maka adalah B”, di mana A={(x1, 0.6), (x2, 1),
(x3, 0.9)} dan B={(y1, 0.6), (y2, 1)}. Kemudian diberikan suatu fakta
yang diekspresikan dalam proposisi kabur “ adalah A”, di mana
A={(x1, 0.5), (x2, 0.9), (x3, 1)}. Carilah himpunan kabur B untuk
mendapatkan kesimpulan dalam bentuk “ adalah B” dengan
menggunakan implikasi Lukasiewicz.
5.3 Misalkan dalam suatu ruangan terdapat lima gadis yang kecantikannya berbeda-beda, yaitu Carolina, Jeniver, Winni, Sisilia dan Serena. Misalkan kecantikan kelima gadis tersebut dinyatakan dalam himpunan kabur E={(Carolina, 1), (Jeniver, 0.9), (Winni, 0.5), (Sisilia, 0.9), (Serena, 0.1)}. Tentukan nilai kebenaran proposisi kabur berikut di mana kuantor kaburnya adalah bilangan kabur Q yang didefinisikan oleh
12
12
1 1 3
5 3 5
0
Q
x x
μ x x x
x
( ) ;
( ) ( ) ;
yang lain
, x.
a) Terdapat sekitar tiga orang gadis yang cantik dalam ruangan tersebut.
b) Sebagian besar gadis-gadis dalam ruangan tersebut adalah cantik.
c) Separoh di antara gadis-gadis dalam ruangan tersebut adalah cantik.
5.4 Buktikan Teorema 5.5.
Dasar-Dasar Teori Himpunan Kabur dan Logika Kabur 156