Upload
alfino-wahyu-s
View
21
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
longsoran
Citation preview
Longsor Jemblung Banjarnegara
Banjarnegara sedang kehujanan. Titik-titik air hujan yang sangat deras meredam segenap
kabupaten tersebut sejak sehari sebelumnya. Stasiun geofisika kelas III Banjarnegara yang
dioperasikan oleh BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) mencatat curah hujan
sepanjang Kamis 11 Desember 2014 TU mencapai 112,7 milimeter. Dan sehari kemudian curah
hujannya masih sebesar 101,8 milimeter. Dalam dua hari saja saja intensitas hujan yang
mengguyur seantero Banjarnegara telah sebesar 214,5 milimeter., hujan sepanjang 11 hingga 12
Desember 2014 di Banjarnegara berkualifikasi hujan sangat deras atau hujan ekstrim.
Gambar 1. Wajah dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) antara sebelum dan sesudah
bencana tanah longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Citra sebelum bencana diambil dari sisi
utara jalan raya Banjarnegara-Dieng menghadap ke barat laut-utara. Nampak masjid al-Iman di
latar belakang. Sementara citra sesudah bencana diambil dari lokasi yang lebih tinggi namun
tidak seberapa jauh dari lokasi pengambilan citra sebelum bencana, dengan arah pandang yang
sama. Nampak semua sudah berubah menjadi timbunan lumpur. Sumber: Nurmansyah, 2014.
meluapnya Sungai Serayu, sungai utama di kabupaten ini, sembari mengalirkan arusnya
demikian deras pun menyebar kemana-mana. Sedemikian berlimpah air sungai ini sehingga
tinggi genangan di Waduk Panglima Besar Sudirman (Mrica), yang ada di aliran sungai Serayu,
pun mencapai maksimum dalam waktu singkat. Akibatnya pengelola dipaksa membuka pintu-
pintu pelimpas air (spillway)-nya untuk tetap menjaga keamanan bendung. Air Serayu pun
menderas ke hilir dan sempat menenggelamkan sejumlah rumah. Kabar tak berkeruncingan pun
menyebar kemana-mana, mewartakan waduk telah bobol dan menenggelamkan hilir sungai
meski hal ini segera dibantah oleh pengelola bendungan. Titik-titik tanah longsor pun
bermunculan dimana-mana di kabupaten ini.
Gambar 2. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dari langit dalam citra
Google Earth pra bencana. Nampak bentangan jalan raya Banjarnegara-Dieng/Banjarnegara-
Pekalongan, sungai Petir dan masjid al-Iman. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google
Earth.
lereng sisi utara Gunung Telagalele yang persis ada di hadapan dusun ini mendadak longsor.
Materialnya mengalir deras tak tertahankan ke kaki gunung. Hampir segenap dusun beserta
penduduknya kontan terkubur di bawah timbunan lumpur tebal. Longsor dahsyat ini juga
menimbun jalan raya beserta kendaraan apapun yang sedang melintasinya saat itu. Luas kawasan
yang terkena hantaman longsor dalam bencana dahsyat ini mencapai tak kurang dari 15 hektar
dan sebagian menyumbat Sungai Petir, salah satu anak sungai Merawu dalam DAS (daerah
aliran sungai) Serayu. Hingga Minggu 13 Desember 2014 TU, tim evakuasi yang kini sudah
beranggotakan lebih dari 2.000 orang dari segenap eksponen relawan telah menemukan 42 jasad
korban. Dari perkiraan 108 jasad yang terkubur, maka masih ada 66 orang yang belum
ditemukan. Ribuan penduduk baik dari desa Sampang maupun desa-desa sekitarnya telah
diungsikan ke tempat-tempat pengungsian sementara, seiring Gunung Telagalele dan bukit-bukit
lainnya di sini yang masih labil. Nama Jemblung dan Sampang pun sontak menjadi episentrum
perhatian hingga skala nasional.
Skala kedahsyatan bencana longsor Jemblung (Sampang) 2014 ini menggamit kembali ingatan
akan sejumlah bencana sejenis yang menerpa Banjarnegara. Misalnya bencana longsor
Gunungraja (Sijeruk) 2006, yang terjadi pada 4 Januari 2006 TU dan merenggut 90 nyawa
dengan 76 jasad korban berhasil ditemukan dan 14 sisanya tetap hilang. Atau bencana longsor
Legetang (Kepakisan) 1955 yang spektakuler, yang terjadi pada 16 April 1955 TU akibat
ambrolnya lereng Gunung Pengamun-amun di Dataran Tinggi Dieng dan menimbun tak kurang
dari 351 orang. Mengapa bencana tanah longsor seakan jadi penyakit kambuhan bagi
Banjarnegara?
Gambar 3. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dalam citra Google Earth
pra bencana ke arah timur-timur laut. Tanda panah kuning menunjukkan arah gerakan tanah saat
bencana longsor dahsyat 12 Desember 2014 TU. Sementara garis putus-putus menandakan
perkiraan batas daerah yang tertimbun tanah dalam bencana tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014
dengan basis Google Earth.
Faktor utamanya terletak pada geologi Banjarnegara yang unik, khususnya kawasan
Karangkobar-Merawu yang menjadi bagian sub-DAS Merawu. Kawasan ini merupakan bagian
dari mandala Pegunungan Serayu Utara yang topografinya relatif bergelombang yang lereng-
lerengnya setengah terjal hingga terjal. Segenap kecamatan Karangkobar terletak di dalam
pegunungan ini, dengan gunung-gunungnya memiliki kemiringan lereng antara 15 hingga 40 %.
Kawasan Karangkobar-Merawu ini dialasi oleh batuan sedimen lempung dan napal hasil
rombakan gunung berapi jauh di masa silam. Permukaannya ditutupi tanah hasil pelapukan yang
cukup tebal. Kekhasan ini masih ditambah dengan terus bergeraknya kawasan Karangkobar-
Merawu akibat desakan dari dalam dari arah selatan. Desakan yang masih terus berlangsung
membuat lempung dan napal seakan diremas-remas. Sejumlah gunung batu relatif padat, yang
adalah sisa intrusi magmatik nun jauh di masa silam dan relatif tahan terhadap pengikisan oleh
cuaca, pun turut terdorong oleh desakan tersebut hingga terputus dari akarnya. Situasi ini kian
menambah rapuh lempung dan napal di segenap kawasan Karangkibar-Merawu. Tak heran jika
tingkat erosi di sini demikian tinggi, bahkan meskipun vegetasi (tumbuhan) berkayu yang rapat
masih menutupi lereng-lerengnya dengan baik. Tanah pucuk (topsoil) yang dihanyutkan air
lantas mengalir ke sungai-sungai kecil yang menjadi bagian sub-DAS Merawu.van Bemmelen
menyebut Sungai Merawu adalah sungai paling berlumpur di Indonesia. Tingginya erosi di sub-
DAS Merawu memberikan kontribusi cukup besar bagi sedimentasi Waduk Panglima Besar
Sudirman.. Tak heran jika PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi)
menempatkan mayoritas kecamatan Karangkobar ke dalam zona kerentanan gerakan tanah
menengah (zona kuning) dan tinggi (zona merah).
Gambar 4. Peta zona kerentanan gerakan tanah untuk kecamatan Karangkobar dan sekitarnya
dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Lingkaran merah menunjukkan lokasi
bencana tanah longsor dahsyat Jemblung (Sampang) 2014. Nampak lokasi bencana dan
sekitarnya didominasi oleh zona rentan gerakan tanah menengah (zona kuning) dan zona rentan
gerakan tanah tinggi (zona merah). Sumber: PVMBG, t.t.
Bencana tanah longsor dahsyat di kawasan Karangkobar-Merawu umumnya disebabkan
akumulasi air hujan dalam lereng setengah terjal hingga terjal sampai mencapai titik jenuh.
Selain menambah bobot lereng, akumulasi air juga membuat bagian bawah tanah lereng tersebut
seakan dilumasi sehingga menciptakan bidang gelincir. Begitu lereng tak lagi sanggup menahan
bobotnya sendiri, bidang gelincir membuat proses melorotnya lereng menjadi lebih mudah. Jika
bidang gelincirnya berbentuk cekung, maka tanah longsor bertipe rotasional pun terjadilah.
Longsor rotasional cukup khas karena mengandung energi besar sehingga saat segenap lereng
merosot, ia mampu meloncatkan kaki lereng (lidah longsor) hingga beberapa puluh atau bahkan
beberapa ratus meter dalam kecepatan cukup tinggi sebelum menyentuh tanah. Sementara
puncak lereng (mahkota longsor) mungkin hanya beringsut beberapa meter hingga beberapa
puluh meter. Loncatan ini sangat sulit dihindari. Namun bencana tanah longsor dalam skala besar
tidaklah terjadi sekonyong-konyong. Selalu terdapat gejala pendahuluan sebelum peristiwa
utamanya terjadi, dalam rupa terbentuk retakan-retakan di bagian atas lereng yang kemudian
terus berkembang memanjang dan kian dalam menjadi retakan lengkung/retakan bulan
sabit/retakan tapal kuda. Dari retakan inilah air hujan lebih mudah memasuki lereng dan
terakumulasi. Tatkala hal ini sudah terjadi, bencana tanah longsor tinggal menunggu waktu.
Gambar 5. Tiga lokasi dalam Kabupaten Banjarnegara yang pernah dilanda bencana tanah
longsor dahsyat hingga melenyapkan hampir segenap dusun. Masing-masing adalah dusun
Legetang desa Kepakisan (kecamatan Batur), dusun Gunungraja desa Sijeruk (kecamatan
Banjarmangu) dan dusun Jemblung desa Sampang (kecamatan Karangkobar). Sumber: Sudibyo,
2014 dengan basis Google Earth.
Legetang dan Gunungraja
Hal tersebut teramati dalam bencana tanah longsor dahsyat Legetang 1955. 70 hari sebelum
bencana terjadi, retakan sudah mulai terlihat di dekat puncak Gunung pengamun-amun (elevasi
2.000 meter dpl) yang berjarak sekitar 500 meter sebelah timur dusun Legetang, desa Kepakisan.
Para pencari rumput dan kayu bakar di gunung yang saat itu tertutupi hutan lebat pun telah
mengetahuinya. Kian lama retakan tersebut kian melebar dan juga kian dalam, mengarah ke sisi
tenggara. Retakan yang terus berkembang ini sering menjadi bahan obrolan sehari-hari penduduk
dusun Legetang, yang terletak pada elevasi sekitar 1.800 meter dpl. Namun tak ada yang merasa
khawatir atau menduga terlalu jauh.
Situasi berubah dramatis pada pertengahan April 1955 TU. Setelah diguyur hujan lebat selama
berhari-hari, lereng sisi tenggara Gunung Pengamun-amun telah demikian berat dan terlumasi
dasarnya sehingga merosot ambrol dalam volume sangat besar. Penyelidikan geolog MM Purbo
dari Jawatan Geologi (kini Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI)
memperlihatkan kombinasi longsor bertipe rotasional dengan halangan bukit kecil dihadapannya
membuat membuat lidah longsor meloncat jauh. Ia membentur bukit dihadapannya. Hingga
akhirnya material longsor pun terbelokkan ke dusun Legetang setelah meloncati sebatang sungai
kecil jelang tengah malam 16 April 1955 TU. Segenap dusun ini pun terkubur di bawah
tumbunan tanah yang sangat tebal beserta 332 penduduknya dan 19 orang dari desa lain yang
sedang bertamu ke dusun tersebut.
Gambar 6. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Legetang (Kepakisan) 1955 terjadi, dalam
ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng tenggara Gunung Pengamun-amun hingga
hampir ke puncaknya merosot dengan tipe rotasional (panah kuning tak terputus), materialnya
segera membentur bukit dihadapannya. Sehingga berbelok arah menjadi mengubur dusun
Legetang (panah kuning putus-putus). 351 orang tewas dan hanya 1 jasad yang berhasil
dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google Earth dan Abdrurrahman, 2013.
Bentang lahan Legetang pun berubah dramatis dari semula cekungan di sebuah lembah menjadi
gundukan sedikit membukit. Dari 351 korban jiwa itu, hanya jasad kepala dusun yang berhasil
dievakuasi. Sisanya terlalu sulit untuk digali akibat tebalnya timbunan tanah. Bencana dahsyat
ini sontak menggemparkan masyarakat Banjarnegara khususnya di Dataran Tinggi Dieng.
Penduduk segera menghubung-hubungkan bencana ini dengan sikap warga dusun Legetang,
yang jauh dari kehidupan religius. Kini di ‘bukit’ yang menimbun Legetang terdapat sebuah tugu
beton sebagai pengingat akan bencana yang paling mematikan di Dataran Tinggi Dieng dan
Banjarnegara.
Hal serupa juga terjadi jelang bencana longsor dahsyat Gunungraja. Bahkan retakan di lereng
bukit Pawinihan sudah terdeteksi semenjak 2004, atau dua tahun sebelumnya. Retakan tersebut
terus berkembang dan melebar akibat erosi parit. Hingga dua minggu jelang bencana, retakan ini
telah sepanjang 25 meter dengan lebar 1 hingga 2 meter sedalam 4 meter. Lebih tak
menguntungkan lagi, erosi parit juga membuat ujung parit ini terbendung oleh material erosi
sehingga air tak leluasa mengalir. Namun sepanjang waktu itu tidak ada langkah antisipasi.
Meski demikian hingga November 2005 TU bencana relatif terhindarkan seiring masih
seimbangnya arus keluaran air (lewat kemampuan tanah bukit untuk menyerap air) dengan arus
masukan air (dari air hujan).
Situasi berubah dramatis pada November 2005 TU saat tanah di kaki bukit diperkeras dengan
aspal sebagai jalan raya lokal yang menghubungkan dusun Gunungraja Wetan dengan dusun
Kendaga, keduanya dalam wilayah desa Sijeruk. Pengaspalan jalan lokal ini jelas bertujuan baik,
untuk memperlancar arus transportasi setempat dengan efek multidimensinya. Namun dalam
analisis pascabencana yang dilakukan tim Dewan Riset Daerah (DRD) Jawa Tengah,
pengaspalan jalan di kaki bukit membuat keseimbangan terganggu. Kini arus masukan air
menjadi lebih besar dari arus keluarannya. Puncaknya terjadi pada selang waktu antara 27
Desember 2005 hingga 4 Januari 2006 TU, saat Banjarnegara diguyur hujan lebat. Masukan air
di lereng bukit Pawinihan itu pun meningkat hebat tanpa diimbangi oleh peningkatan
kemampuan keluaran air. Lereng yang jenuh air membuat bobotnya bertambah besar sembari
menciptakan bidang gelincir didasarnya. Maka bencana tanah longsor dahsyat pun terjadilah, tak
peduli bahwa lereng bukit itu masih tertutupi tumbuh-tumbuhan berakar tunggang dengan baik.
Sebagian dusun Gunungraja pun lenyap di bawah timbunan tanah, yang merenggut nyawa 90
orang dari sekitar 600 orang penduduknya.
Gambar 7. Bagaimana bencana tanah longsor dahsyat Gunungraja (Sijeruk) 2006 terjadi, dalam
ilustrasi berbasis citra Google Earth. Saat lereng timur Bukit Pawinihan merosot dengan tipe
rotasional (panah kuning)materialnya segera meloncat dan mengubur dusun Gunungraja. 90
orang tewas dan 76 jasad yang berhasil dievakuasi. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis Google
Earth dan data dari Sutopo & Wilonoyudho, 2006.
Gambar 8. Panorama dusun Jemblung, desa Sampang (Banjarnegara) dan Gunung Telagalele
dalam ilustrasi berbasis citra Google Earth dengan arah pandang ke selatan. Garis putus-putus
menunjukkan perkiraan posisi asal material longsor. Tanda panah kuning menunjukkan arah
gerakan tanah dalam bencana longsor dahsyat tersebut. Sumber: Sudibyo, 2014 dengan basis
Google Earth dan keterangan Azizah, 2014.
Pasca bencana, tim kaji cepat yang beranggotakan UGM, BMKG, PVMBG, LIPI (Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia), BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dan lainnya
memperlihatkan potensi bencana masih tetap membayangi dusun Jemblung ke depan. Potensi
pertama datang dari material longsoran yang sebagian membendung sungai Petir. Jika hujan
deras, bendungan ini akan menghalangi air sungai untuk beberapa saat sebelum kemudian jebol
menjadi banjir bandang. Sementara potensi kedua datang dari mahkota longsor. Di sini terdapat
telaga sepanjang 30 meter yang digenangi air hingga sedalam 1 meter. Bila hujan deras kembali
mengguyur, air dalam telaga ini dapat menekan tanah dibawahnya yang telah demikian lunak
dan rapuh sehingga longsor dapat kembali terjadi. Bahkan dalam prediksi terburuk, skala
bencananya bisa melampaui apa yang barusan dusun Jemblung alami
Antisipasi
Dalam bencana tanah longsor pada umumnya, sedikitnya ada tiga faktor yang berkontribusi.
Dalam kasus Banjarnegara khususnya di kawasan Karangkobar-Merawu, faktor pertama adalah
kondisi geologi yang unik. Faktor kedua adalah hujan deras hingga hujan ekstrim. Dan faktor
ketiga adalah tersumbatnya drainase sehingga air tidak bisa terbebas dengan leluasa dari lereng
yang berpotensi longsor. Faktor pertama dan kedua adalah faktor yang terberi (given), atau sudah
dari sononya demikian. Sehingga tak bisa dikendalikan manusia. Namun berbeda dengan faktor
ketiga. Manusia dapat mengelola drainase lereng, sehingga tingkat kejenuhan airnya dapat
direduksi. Saluran-saluran drainase sederhana dapat dibangun untuk keperluan itu. Di samping
itu retakan yang sudah terbentuk harus segera ditimbuni lagi hingga rata. Juga tak boleh ada
penggalian baik di lereng maupun kaki lereng, baik kecil-kecilan apalagi besar, atas alasan
apapun.
Gambar 9. Citra medan pandang lebar (wide-field) lokasi bencana tanah longsor dahsyat
Jemblung (Sampang) 2014, diambil Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi per 13
Desember 2014 TU. Arah pandang ke selatan-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan
telaga/genangan air tepat dibawahnya. Sumber: PVMBG, 2014.
Longsor Clapar (Banjarnegara) yang Membuat Hati Bergetar
Pada Kamis 24 Maret 2016 Tarikh Umum (TU) lalu kala sebuah peristiwa menggetarkan terjadi:
bencana tanah longsor Clapar.
Gambar 1. Jembatan kecil yang menjadi saksi bisu bencana longsor Clapar pada hari-hari awal
bencana itu. Jalan yang semula melintasi jembatan ini nampak sudah mulai terputus. Di hari-hari
berikutnya penggal jalan raya ini kian jauh beringsut sekaligus tertimbuni lumpur oleh longsor
rayapan yang terjadi. Sumber: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB, 2016.
yang secara administratif terletak di Rukun Warga (RW) 01 Desa Clapar Kecamatan Madukara,
mendadak meliuk. Tak sekedar merusak jalan raya, gerakan tanah yang sama membuat banyak
rumah dibikin berantakan.
Mujurnya bencana longsor Clapar berjenis longsor rayapan (soil creep) yang secara alamiah
terjadi secara perlahan-lahan. Sehingga pada satu sisi memberikan kesempatan bagi masyarakat
yang bertempat tinggal di lokasi bencana dan sekitarnya untuk menyelamatkan diri. Inilah yang
membedakan bencana longsor Clapar dengan bencana longsor dahsyat yang mendera
Banjarnegara sepanjang sejarahnya.
Gambar 2. Salah satu rumah permanen yang menjadi korban bencana longsor Clapar di hari-hari
awal. Nampak ia rusak parah, telah retak separuh. Pada hari-hari berikutnya rumah ini kian rusak
dan akhirnya runtuh sepenuhnya seiring gerakan tanah yang terus terjadi dalam longsor rayapan
ini. Sumber: Sutopo Purwo Nugroho/BNPB, 2016.
Saat gerakan tanah diawali pada 24 Maret 2016 TU pukul 19:00 WIB, yang disusul pada 25
Maret 2016 TU pukul 01:30 WIB dan pukul 06:00 WIB, luas area longsornya masih sebatas 5
hektar dengan keliling area 1,2 kilometer. Dampak yang diakibatkannya meliputi 9 rumah rusak
berat, 3 rumah rusak sedang dan 2 rusak ringan dengan 29 rumah lain didekatnya pun dalam
kondisi terancam. Jumlah pengungsi mencapai 158 orang. Tetapi berselang seminggu kemudian,
yakni Kamis 31 Maret 2016 TU, gerakan tanah yang terus terjadi selama seminggu tersebut
menyebabkan luas area longsor membengkak menjadi 35 hektar. Jumlah pengungsi pun
melonjak menjadi 296 jiwa yang terbagi ke dalam 85 keluarga.
Gambar 3. Lokasi bencana longsor Clapar dalam citra Google Earth tiga dimensi. Area longsor
ditandai dengan daerah berbayang putih, khususnya pada hari-hari pertama, yang luasnya 5,3
hektar dengan keliling 1,2 kilometer. Nampak alur jalan raya Madukara-Banjarnegara yang
melintasi area longsor. Di latar belakang terlihat kota Banjarnegara. Di hari-hari berikutnya area
longsor Clapar kian meluas seiring terus terjadinya gerakan tanah dalam longsor rayapan.
Sumber: Sudibyo, 2016 dengan basis Google Earth serta data dari Nurmansyah & Andri.
Kemiringan dan Kondisi
Sebagai daerah yang bertempat di kawasan Pegunungan Serayu dan tepat di sisi utara daerah
Karangsambung (Kebumen). Akibatnya lempung dan napal yang mengalasi sebagian
Banjarnegara seakan diremas-remas dengan sangat kuat, membuatnya rapuh. Tak hanya itu,
tanah Banjarnegara pun tidak terlepas dengan aktivitas tektonik. Proses serupa juga dialami
Kebumen bagian utara, yang bahkan lebih kompleks sehingga membentuk daerah
Karangsambung yang khas.
Desa Clapar dan sekitarnya berdiri di atas bebatuan sedimen formasi Rambatan yang terdiri atas
serpih, napal dan batupasir mengandung gamping (karbonat). Dengan ketebalan sekitar 370
meter, formasi Rambatan dibentuk oleh pengendapan di lingkungan dasar laut yang terbuka.
Pengendapan terjadi pada masa Miosen Awal hingga Miosen Tengah (23 hingga 16 juta tahun
silam), menjadikannya satuan batuan tertua di Banjarnegara. Evaluasi oleh Fadlin, geolog
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, di lokasi bencana Clapar, menguak kekhasan lain.
Batuan formasi Rambatan di Clapar telah cukup lapuk akibat dipanasi secara terus-menerus
dalam periode yang cukup lama pada waktu tertentu, kemungkinan di kala Pleistosen (antara 2,5
hingga 0,1 juta tahun silam).
Gambar 4. Penampang melintang lereng bukit yang mengalami longsor rayapan dalam bencana
longsor Clapar, di hari-hari pertama. Penampang melintang ini berimpit dengan sumbu area
longsor yang berarah barat-barat daya ke timur-tenggara. Nampak posisi mahkota longsor dan
lidah longsor serta jalan raya Madukara-Banjarnegara. Panah tebal putus-putus menunjukkan
arah gerakan tanah. sementara tanda persen (%) menunjukkan persentase kemiringan lereng pada
suatu titik. Sumber: Sudibyo, 2016 dengan basis Google Earth serta data dari Nurmansyah.
Sumber panasnya adalah magma, yang melesapkan cairan hidrotermal ke dalam lapisan batuan
formasi Rambatan disekelilingnya. Sehingga terjadi proses alterasi hidrotermal yang kuat. Jejak
magma tersebut masih terlihat di kecamatan Pagentan sebagai batuan beku terobosan (intrusi)
sejarak 4 kilometer sebelah utara-timur laut Clapar. Batuan beku dalam intrusi tersebut
merupakan diorit, terbentuk saat magma panas membeku secara berangsur-angsur jauh di dalam
tanah sehingga menghasilkan bekuan gelap dengan butir-butir sedang hingga kasar. Apabila
magma panas tersebut sempat keluar ke paras Bumi, maka ia akan membentuk batuan beku
andesit. Intrusi diorit di Pagentan bisa saja merupakan fosil gunung berapi, yakni gunung berapi
yang telah mati dan tererosi demikian brutal seiring waktu sehingga tinggal menyisakan bagian
terkerasnya. Namun untuk itu dibutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Yang jelas saat batupasir
formasi Rambatan dikukus magma panas secara terus-menerus untuk jangka waktu yang lama, ia
pun melapuk. Terbentuklah butir-butir lempung yang terkenal licin sehingga berperan menjadi
bidang gelincir dalam banyak bencana tanah longsor.
Selain batuan yang lapuk dan penuh lempung, kekhasan lainnya yang diduga turut berkontribusi
dalam bencana Clapar adalah adanya sesar (patahan). Sebuah sesar geser dengan arah utara-
selatan melintas di sini. Aktivitasnya tidak diketahui dan kemungkinan besar tak aktif di masa
kini. Namun keberadaan sebuah sesar apapun senantiasa diiringi eksisnya zona hancuran. Yakni
sebentuk zona selebar beberapa meter hingga beberapa kilometer yang terbentuk sebagai akibat
penghancuran batuan akibat gerakan sesar hingga berkumpul di jalur tertentu tepat di mana sesar
tersebut melintas. Zona hancuran senantiasa menjadi zona lemah nan rapuh di paras Bumi.
Lokasi bencana longsor Clapar nampaknya terletak di sekitar zona hancuran sesar geser tersebut.
Gambar 5. Peta zona kerentanan gerakan tanah sebagian Kabupaten Banjarnegara khususnya
kecamatan Madukara dan sekitarnya. Lokasi bencana longsor Clapar ditandai dengan lingkaran
merah. Area bencana terletak di zona rentan menengah (untuk lereng bagian atas) dan zona
rentan rendah (untuk lereng bagian bawah). Sumber: PVMBG, 2014.
Dengan kekhasan tersebut, bagaimana longsor Clapar mengambil bentuk yang berbeda
dibandingkan kejadian di Legetang, Sijeruk dan Jemblung?
Salah satu faktornya mungkin terletak pada kemiringan lereng di Clapar. Mahkota longsor
Clapar terletak di elevasi 837 meter dpl (dari paras laut rata-rata) dengan kemiringan 23 %.
Sementara ujung lidah longsor Clapar terletak pada elevasi 705 meter dpl dengan kemiringan
12%. Maka terdapat selisih elevasi 132 meter. Sebagai pembanding mari gunakan kejadian
bencana longsor dahsyat Jemblung. Mahkota longsor Jemblung terletak pada elevasi 1.056 meter
dpl sementara bagian terendahnya pada elevasi 931 meter dpl. Sehingga selisih elevasi longsor
Jemblung adalah 125 meter, sedikit lebih kecil dibanding selisih elevasi longsor Clapar. Akan
tetapi kemiringan lereng Jemblung jauh lebih besar, yakni mencapai 47 % di mahkota longsor.
Sehingga kemiringan lereng Jemblung terkategori sangat curam. Sebaliknya kemiringan lereng
Clapar masih dikategorikan sebagai agak curam. Perbedaan kemiringan lereng ini mungkin
menjadi faktor kunci mengapa bencana longsor Clapar bersifat rayapan. Tak mengambil bentuk
yang sama dengan bencana longsor Jemblung, walaupun selisih elevasi keduanya relatif mirip.
Kemiringan lereng yang lebih rendah ini pula yang nampaknya mendasari Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM RI menempatkan area
di sekitar lokasi longsor Clapar dalam zona rentan menengah (untuk lereng bagian atas) dan
zona rentan rendah (untuk lereng bagian bawah). Bagi zona rentan rendah, potensi terjadinya
gerakan tanah akan timbul manakala terjadi gangguan pada lereng tersebut. Sementara bagi
zona rentan menengah, potensi gerakan tanahnya adalah lebih besar dibanding zona rentan
rendah. Selain gangguan pada lereng, potensi gerakan tanah di zona rentan menengah bisa terjadi
pada lereng yang berbatasan dengan lembah sungai, tebing jalan maupun gawir. Terutama saat
terjadi hujan deras.
Gambar 6. Peta geologi Kabupaten Banjarnegara bagian timur, yang telah dilekatkan ke citra
Google Earth tiga dimensi. Nampak lokasi bencana Clapar terletak di batuan formasi Rambatan,
batuan tertua di Banjarnegara. Sedikit ke utara-timur laut dalam jarak sekitar 4 kilometer terdapat
intrusi diorit Pagentan, magma yang menelusup di masa silam dan kemudian membeku. Intrusi
ini mungkin melesapkan cairan hidrotermal ke batuan disekelilingnya hingga menciptakan
fenomena alterasi hidrotermal. Di latar belakang nampak Gunung Telagalele, lokasi bencana
longsor dahsyat Jemblung pada 2014 TU silam. Sumber: Sudibyo, 2016 dengan peta geologi dari
P3G, 1998.
Evaluasi Fadlin memperlihatkan area lereng di sekitar mahkota longsor Clapar telah berubah
menjadi kebun dengan tanaman budidaya berupa salak. Sebagai tumbuhan monokotil, salak
memiliki sistem akar serabut. Ia membuat tanah tempatnya tumbuh menjadi gembur. Maka
perkebunan salak yang ada pada sebuah lereng menyebabkan lereng tersebut menjadi gembur,
sebuah gangguan bagi lereng tersebut. Terletak di zona rentan menengah, maka curahan hujan
deras pada lereng yang telah terganggu tersebut akan meningkatkan potensi terjadinya gerakan
tanah.
Faktor lainnya yang juga mungkin berperan adalah kondisi tanah. Terkait hal ini ada penelitian
menarik dari Purwanto & Listyani (2008), dua geolog dari UPN Veteran dan STTNAS
Yogyakarta. Di bawah tajuk tinjauan hidrogeologi dan evaluasi gerakan tanah Kabupaten
Banjarnegara, Purwanto & Listyani memperlihatkan bahwa dari 18 titik di 18 desa (pada 11
kecamatan yangberbeda) di Kabupaten Banjarnegara, hampir seluruhnya terkategori sebagai
daerah yang labil dan kritis dalam hal keamanan lereng. Dari ke-18 titik tersebut, tujuh
diantaranya berada di sekitar Desa Clapar yakni di kecamatan Pagentan dan Wanayasa. Dan
dari ketujuh titik tersebut, hanya dua desa yang lebih baik karena tergolong daerah kritis untuk
keamanan lereng. Masing-masing desa Pandansari (kecamatan Wanayasa) dan desa Larangan
(kecamatan Pagentan). Sisa lima desa lainnya seluruhnya tergolong daerah labil untuk keamanan
lereng, sehingga lebih buruk. Yakni desa Karangnangka, Metawana, Sokaraja, Gumingsir
(seluruhnya di kecamatan Pagentan) dan desa Suwidak (kecamatan Wanayasa).
Gambar 7. Distribusi rumah-rumah yang mengalami kerusakan dalam aneka tingkatan pada
bencana longsor Clapar, hingga Sabtu 26 Maret 2016 TU. Sumber: JejakData.id, 2016.
Mayoritas dari ketujuh tempat tersebut memiliki sifat fisik-mekanik tanah yang dipicu oleh
airtanah. Beberapa juga memiliki sifat fisik-mekanik litologi yang dapat berubah jika terkena air
yang cukup banyak, membuat terjadinya penambahan kadar air yang berlebihan dan tiba-tiba di
kala hujan terjadi. Seluruhnya juga memiliki pengaliran air permukaan yang kurang baik,
sehingga luapan air pada saat hujan tak bisa segera dibuang. Situasi ini menjadikan tanah
tersebut mudah jenuh air. Dan dengan keamanan lereng yang rendah (karena terkategori sebagai
daerah kritis atau bahkan labil), potensi terjadinya bencana longsor di musim hujan menjadi
sangat besar.
Catatan distribusi curah hujan sepanjang Februari 2016 TU dari Badan Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Semarang memperlihatkan Kabupaten Banjarnegara
bagian timur menerima curah hujan yang tinggi, yakni antara 301 hingga 400 milimeter untuk
bulan itu. Sehari sebelum bencana longsor Clapar terjadi, hujan deras pun masih mendera
kawasan ini. Kombinasi lereng yang telah terganggu (akibat berkembangnya perkebunan salak),
kondisi tanah yang pengaliran air permukaannya kurang baik sehingga luapan air saat hujan tak
bisa segera hilang dan akumulasi hujan deras yang mungkin menjenuhkan kadar air dalam tanah
nampaknya menjadi faktor-faktor yang berkontribusi dalam bencana ini.
Gambar 8. Dinamika curah hujan berdasarkan citra satelit pada Rabu 23 Maret 2016 TU antara
pukul 15:00 hingga 20:00 WIB, sehari sebelum bencana longsor Clapar mulai terjadi.
Dibangkitkan dengan kanal Hydro Estimator Rainfall pada laman RealEarth. Sumber: RealEarth,
2016.
Gambar 9. Akumulasi curah hujan di propinsi Jawa Tengah sepanjang Februari 2016 TU.
Nampak lokasi bencana longsor Clapar berada di kawasan yang mengalami curah hujan
akumulatif tinggi, yakni antara 301 hingga 400 milimeter dalam bulan itu. Sumber: BMKG,
2016.
Relokasi para korban ke tempat pemukiman yang baru menjadi kebutuhan mutlak untuk jangka
pendek. Demikian halnya relokasi sepenggal jalan raya Madukara-Banjarnegara yang terputus
dalam bencana ini. Dalam jangka panjang, Pemerintah Kabupaten Banjarnegara nampaknya
musti berbenah. Pemukiman-pemukiman yang terletak di area rawan musti dipetakan. Sistem
peringatan dini bencana longsor sebaiknya juga dipasang di tempat-tempat rawan. Dan yang
lebih penting lagi, bagaimana mengupayakan rekayasa teknik untuk meminimalkan potensi
gerakan tanah. Kita memang tak dapat berbuat apa-apa dengan kondisi tanah dan curah hujan.
Namun pengaliran air permukaan di area yang rawan dapat diperbaiki dengan pembuatan dan
pemeliharaan sistem drainase secara rutin.
MITIGASI BANJARNEGARA
Upaya mitigasi struktural yang telah dilakukan oleh Pemebrintah Kabupaten
Banjarnegara, dalam hal ini melalui BPBD Kabupaten Banjarnegara diantaranya :
1. Penyusunan data base daerah potensi bahaya
Data base daerah potensi bencana merupakan koleksi data-data yang
saling berhubungan mengenai suatu potensi kerawanan. Melalui penyusunan
data base daerah potensi bahaya longsor. Pada tahun 2015, sebanyak 46
desa/dusun/dukuh dengan total 803 rumah masuk dalam ketegori rawan longsor.
Selain itu, terdapat beberapa peta wilayah Kabupaten Banjarnegara dengan
fokus wilayah rawan longsor. Peta tersebut termasuk dalam data base yang telah
disusun oleh BAPPEDA Kabupaten Banjarnegara. Peta merupakan salah satu
bagian terpenting dalam upaya mitigasi structural.
Melihat kondisi Kabupaten Banjarnegara yang sebagian besar wilayahnya
rawan terhadap bencana, memang perlu data base yang akurat sehingga
masyarakat mengerti dan memahami kondisi lingkungan yang ditinggali. Peta
lainnya yang diperlukan sebagai bagian data base penting dalam upaya mitigasi
bencana struktural ini adalah peta curah hujan dan peta daerah rawan bencana.
Melalui peta ini, BPBD Kabupaten Banjarnegara melakukan upaya mitigasi
structural lainnya, yaitu dengan adanya pemasangan alat pendeteksi dini
bencana longsor.
2. Pemasangan Early Warning System (EWS)
Pemasangan alat peringatan dini (early warning system/EWS) harus
terpasang di semua zona yang diindikasikan memiliki kerentanan terhadap
bencana alam. Melalui alat ini, warga disekitar lokasi rawan akan mendapat
peringatan ketika terjadi pergeseran tanah. Ironisnya saat ini pemasangan EWS
di beberapa daerah rawan lonsor hanya sedikit dan terbatas di beberapa lokasi
saja.
EWS yang terpasang merupakan EWS sederhana, menggunakan tali nilon
yang dikaitkan dengan megaphone dengan harga berkisar Rp300 ribu.
Sementara itu, EWS canggih biasanya dilengkapi dengan wirelessekstensometer, tiltmeter,
penakar hujan, repeater, lampu peringatan, tower antena, dan server
lokal serta pemetaan,ditambah denga pelatihan kesiapsiagaan masyarakat
lainnya yang membutuhkan biaya banyak kurang lebih Rp300 juta. Cara kerja
EWS sederhana ini adalah dengan adanya tali nilon yang dikatikan dalam 2 tiang.
Apabila terjadi pergeseran tanah, maka tali nilon akan tertarik sehingga
menyebabkan megaphone berbunyi.
EWS merupakan piranti, namun hal yang perlu menjadi fokus utama
implementasi EWS dilapangan adalah budaya sadar dari masyarakat dan
komitmen pemerintah daerah. Permasalahan dilapangan saat ini adalah adanya
penolakan dari masyarakat, karena sering terjadi alarm berbunyi namun tidak
terjadi longsor. Sebagai contoh adalah adanya burung yang bertengger di tali
nilon yang mengakibatkan tali nilon tertarik sehingga alarm berbunyi. Hal inilah
yang menjadi salah satu ketidaknyamanan masyarakat karena menimbulkan
kepanikan yang luar biasa dengan adanya pengalaman longsor besar di Dusun
Sijemblung yang mengakibatkan satu desa hilang.
Selain EWS sederhana ini, terdapat pula EWS canggih Extensometer yang
merupkaan bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Extensometer ini
semula niatannya diperuntukan untuk Kabupaten Wonogiri, namun karena
potensi longsor di Banjarnegara cukup besar maka alat dipindahkan ke
Banjarnegara. Cara kerja Extensometer sedikit berbeda dengan alat canggih EWS
yang sebelum ini ada karena hasil pelaporan alat canggih ini dikirimkan dalam
bentuk Short Message Sevice (SMS) kepada sejumlah nomor tertentu.
Melalui alat ini, begitu terdapat gerakan atau tanda-tanda gerakan tanah,
extensometer secara otomatis akan mengirimkannya kepada nomor penting yang
telah dipilih seperti Kepala RT, Kadus, Satgas SAR desa, Camat, kepala BPBD,
Komandan SAR Kabupaten, dan Bupati. Karena melalui sarana Handphone maka
dimana ada sinyal setiap waktu pesan bisa dikirimkan, sehingga apabila kondisi
gerakan tanah masuk tanda bahaya dapat cepat diambil tindakan.
Akan tetapi, alat ini hanya satu jumlahnya karena nilainya sampai Rp.100
juta. Extensometer ini, merupakan satu-satunya yang dimiliki oleh Balai
Penelitian Teknologi Kehutanan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Balitek DAS)
Jawa Tengah. Hingga sampai saat ini di Banjarnegara telah terpasang 5 alat
EWS. Kelima alat tersebut terpasang di desa Kertosari, Wanayasa; Kalitlaga,
Pagentan; Si Jeruk, Banjarmangu; Pandansari, Wanayasa; dan, Slimpet, Desa
Tlaga, Punggelan. EWS Extensometer ini akan dipasang di daerah Slimpet, Tlaga,
Punggelan.
Mitigasi Non Struktural Bencana Tanah Longsor
Mitigasi Non Strktural lebih menekankan kepada peningkatan kapasitas
masyarakat. Upaya mitigasi ini dapat dilakukan melalui penyebaran informasi
dilakukan antara lain dengan cara: memberikan poster dan leaflet kepada
masyarakat yang bermukim yang rawan bencana, tentang tata cara mengenali,
mencegah dan penanganan bencana.
1. Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang sudah dilakukan oleh BPBD Kab. Banjarnegara
adalah dengan pemasangan poster bahaya longsor serta tanda daerah rawan
longsor. Hal ini dimaksudkan agar setiap masyarakat menyadari bahaya tanah
longsor yang sering terjadi.Pemberian informasi berupa poster atau rambu turut
membantumemberikan kesadaran akan pentingnya upaya mitigasi bencana. Poster danrambu ini
perlu diperbanyak dan dipelihara sehingga masyarakat luas, baik yangtinggal di pemukiman
rawan maupun tidak mampu secara sadar mengertitentang bahaya bencana tanah longsor.
2. Sosialisasi
Sosialisi secara aktif telah dilakukan oleh BPBD Kabupaten Banjarnegardibeberapa lokasi
tertentu. Diantaranya adalah di wilayah rawan bencana serta disekolahsekolah. Hal ini
bermaksud untuk dapat memberikan kesadaran secaradini kepada masyarakat tentang pentingnya
mitigasi bencana. Materi sosialisasi yang diberikan diantaranya adalah pengenalan mengenai
bencana, upayamitigasi bencana, dan apa yang dilakukan oleh masyarakat sebelum
terjadibencana, saat terjadi bencana maupun pasca bencana.
Kegiatan sosialisasi secara aktif dilakukan setiap bulan di lokasi yangberbeda-beda, baik itu di
wilayah rawan bencana maupun di wilayah non rawanbencana. Sosialisasi yang dilakukan juga
melibatkan beberapa stakeholders,diantaranya Kantor Kesatuan Bangsa, Politik dan
Perlindungan Masyarakat, DinasSosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Bagian Kesejahteraan
Rakyat, sertadibantu TNI dan Polri.
3. Pelatihan dan Simulasi Bencana
Pelatihan kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat mengerti danmemahami apa yang
harus dilakukan ketika terjadi bencana. Pelatihan yangdilakukan tidak hanya melibatkan
masyarakat, namun juga SKPD terkait besertarelawan. Kegiatan utama pada pelatihan yang
dilakukan oleh BPBD Kab.Banjarnegara adalah gladi evakuasi atau simulasi bencana.Gladi
evakuasi atau simulasi bencana dibuat untuk lebih mempersiapkanmasyarakat kepada kondisi
nyata apabila terjadi bencana tanah longsor yangsesungguhnya. Apa yang akan dilakukan,
barang-barang apa saja yang akandibawa dan ke arah mana harus menyelamatkan diri serta siapa
yangdiselamatkan terlebih dahulu dan lain sebagainya. Simulasi bencana dilakukanuntuk lebih
kepada mempersiapkan kondisi masyarakat dalam menghadapibencana dan mengurangi situasi
panik sebagai dampak ikutan dari bencana yang
dapat menambah jatuhnya korban.
Analisa Efektifitas Mitigasi Bencana Tanah Longsor yang sudah dilakukan
Beberapa hal terkait upaya mitigasi structural maupun non structural masihmemiliki beberapa
celah yang perlu dilakukan pembenahan. Hal ini dikarenakanrendahnya pemahaman masyarakat
sehingga pelru dilakukan mitigasi yangterfokus pada public education yaitu dengan mengadakan
sosialisasi dan pelatihan tentang bencana alam, perbaikan lingkungan dan jalan yang
berfungsisebagai jalur evakuasi, gladi evakuasi, pembuatan peta rawan bencana,pemasangan alat
sistem peringatan dini yang murah dan sederhana sertarelokasi.Pemasangan alat sistem
peringatan dini yang merupakan bagian darimitigasi bencana dilakukan dengan melibatkan
masyarakat sehingga akan timbulkepedulian dan rasa memiliki alat yang dipasang, disamping
mengetahui sistemkerja dari alat. Sistem peringatan dini gerakan tanah (landslides early
warningsystem) yang dipasang di Desa Sampang yaitu dengan menggabungkanbeberapa alat
seperti extensometer, alat penakar curah hujan, dan peralatanlainnya yang dihubungkan dengan
sirene.Tujuan utama dipasangnya alat deteksi pergerakan tanah adalah untukmemantau adanya
pergerakan tanah hingga batas kondisi kritis sirene berbunyi.Saat sirene (I) berbunyi, berarti
hujan kritis terjadi. Kondisi hujan kritisditentukan berdasarkan angka curah hujan yang telah
ditetapkan pada alat yaitu80 mm per jam. Sirene (I) dibuat untuk mengkondisikan warga untuk
SIAGA(siap evakuasi). Apabila sirene (II) berbunyi, berarti air hujan telah meresap kedalam
tanah dan mengakibatkan retakan tanah melebar hingga mencapai bataskritis yang telah
ditetapkan pada alat yaitu 5 cm. Saat sirene (II) berbunyi, makawarga yang sudah SIAGA harus
segera meninggalkan lokasi tinggal mereka.Untuk membedakan sumber suara sirene, bunyi
sirene (I) dengan bunyi sirene(II) dibuat tidak sama. Dengan sistem peringatan dini ini maka
diharapkan lokasirawan telah bebas dari hunian saat longsor terjadi.Sosialisasi yang dilakukan
harus dilakukan sebelum upaya mitigasi dilaksanakan dengan maksud sebagai pemberitahuan
awal kepada masyarakat
setempat, sehingga tidak terjadi kesalahfahaman akibat tidak adanya komunikasi. Sosialisasi
selanjutnya dilakukan dalam rangka public education yang bertujuan untuk meningkatkan
wawasan dan pemahaman masyarakat serta dapat dilakukan dalam berbagai kesempatan baik
dalam forum resmi dengan melibatkan unsurpemerintah serta pihak terkait lainnya maupun
dalam forum tidak resmi seperti dalam perkumpulan masyarakat (seperti dalam acara dakwah
dan arisan ibu-ibu), hingga kepada anak-anak sekolah dasar dan juga kepada anak-anak usia dini.
Hal inilah yang belum dilakukan oleh BPBD Kab.Banjarnegara.
Upaya Peningkatan Efektifitas Mitigasi Bencana Tanah Longsor
Menurut Yanuarko, (Profil PUM, Majalah Direktorat Jenderal PemerintahanUmum, 2007),
upaya pengurangan bencana harus ditingkatkan. Konferensipengurangan risiko bencana sedunia
(World Conference for DisasterReduction/WCDR) di Kobe, Jepang, pada tanggal 18-25 Januari
2005 dankonferensi asia (Asian Conference fot Disaster Reduction/ACDR) di Beijing,
China,pada tanggal 27-29 September 2005 tentang pengurangan risiko bencana adalah dasar
tekad dan program kerja masyarakat sedunia dalam mengurangi risiko bencana, yang melahirkan
Hyogo Framework for Action/HFA (Kerangka Kerja Aksi Hyogo 2005-2015) yaitu membangun
ketahanan bangsa dan komunitas terhadap bencana (Building the Resilience of nation and
communities todisasters).Hasil ini memahami bahwa sasaran pembangunan tidak akan tercapai
tanpa pertimbangan risiko bencana dan bahwa pembangunan berkelanjutan tidak dapat dicapai
kalau pengurangan risiko bencana tidak diarusutamakan kedalam kebijakan, perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan. Jelasnya, perspektif pengurangan risiko bencana harus dipadukan
kedalam perencanaan pembangunan setiap negara dan dalam strategi pelaksanaannya yang
terkait.Pada pelaksaannya, hal ini sudah didukung perangkat teknologi yang sudah ada dalam
kemampuan untuk mengambil tindakan proaktif untuk mengurangi risiko kerugian akibat
bencana sebelum terjadi.Selanjutnya bencana yang terjadi secara berulang-ulang menjadi suatu
tantangan bagi pembangunan disetiap negara. Dampak bencana semakin meningkat, bantuan
terhadap keadaan darurat juga semakin bertambah, juga